Anda di halaman 1dari 20

PAPER

SEJARAH SENI RUPA INDONESIA


“PURA”

Disusun Oleh:

Genial Tira Purwasahaya 2100678

Talitha Fidelya Huwaida 2101097

Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan – A

Fakultas Pendidikan Seni dan Desain

Universitas Pendidikan Indonesia

2021
MENGENAL LEBIH DEKAT BANYAKNYA PURA YANG ADA DI INDONESIA

Abstrak
KNOW BETTER THE MANY TEMPLE IN INDONESIA

Abstrak
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Tempat suci, tempat ibadah atau tempat peribadatan merupakan tempat atau bangunan yang
dianggap suci (dikeramatkan). Setiap umat mempunyai tempat suci dalam pelaksanaan ibadahnya.
Adapun tempat ibadah dari agama resmi di Indonesia adalah Masjid (untuk umat Islam), Gereja
(untuk umat Protestan dan Katholik), Pura (untuk umat Hindu), Wihara (untuk umat Buddha) dan
Litang/kelenteng untuk umat Khonghucu. Pemerintah memberikan perlindungan akan tempat
ibadah ini sebagai wujud nyata dari UUD 1945 tentang kebebasan beragama. Bahkan di tempat
umum quip dibangun tempat-tempat ibadah, seperti Bumi Perkemahan Cibubur di Jakarta Timur
menyediakan masjid, gereja, pura dan wihara.

Kahyangan atau Hyang atau Pura merupakan salah satu bentuk "tempat suci" yang didirikan
berdasarkan konsep teologi-filosofis tertentu untuk menjadi tempat sekaligus pusat orientasi
pemujaan. Secara konsepsional goodbye ruang pura yang terdiri atas tiga mandala suci. Pada
dasarnya mandala suci ini merupakan simbolisasi dari Tri Bhuwana, yakni Bhur Loka (Jaba sisi, Nista
Mandala), Bwah Loka (Jaba Tengah, Madhya Mandala), dan Swah Loka (Jeroan, Uttama Mandala).
Jika dibandingkan bangunan candi di Jawa yang merupakan lambang Tri Bhuwana secara vertikal,
maka pemilahan atas tiga mandala suci pura tersebut juga dipahami sebagai pengejawantahan
secara even, tetapi keduanya secara filosofis dimaknai lambang kosmos.

Akan tetapi perkecualian tetap ada, di dalam pura-pura yang kecil sering ditemukan halaman
luar dan tengah digabung menjadi satu, sehingga pura itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu halaman
luar dan halaman dalam. Masing-masing halaman pura dibatasi oleh tembok keliling dengan pintu
masuk berbentuk candi bentar yang terletak antara halaman luar dengan halaman tengah, dan kori
agung atau candi kurung sebagai penghubung halaman tengah dengan halaman dalam.

Di samping pura dalam pandangan Hindu konsep "tempat suci" mencakup pengertian yang
luas, yakni bangunan dan suatu "tempat" (ruang yang bersifat alamiah) yang sudah "disucikan"
melalui suatu upacara penyucian (Pamelaspas), seperti gunung (giri, adri), mata air (patirthan),
sungai, danau, laut (sagara), perempatan jalan (catuspata), dan suatu tanah lapang. Secara mitologis
konsep "tempat suci" di atas menyiratkan adanya kaitan erat dengan paham Siwaisme yang
mengatakan bahwa untuk menjaga keseimbangan (harmony) tatanan alam maka Dewa Siwa play on
words mempresentasikan diri-Nya ke dalam delapan unsur, yaitu Tanah, Air, Api, Angin, Bulan, Ether
(iota), Matahari, dan Yadnya. Upacara Yadnya sebagai salah satu media memuja adalah sekaligus
sebagai wujud Dewa Siwa yang dipuja dalam tatanan kesucian kosmos dalam arti sangat luas.

Dalam sistem penataan (pendirian dan pemeliharaan) terhadap ribuan pura yang ada,
pemahaman tersebut telah terserap dalam konsep goodbye ruang dan kosmologi Hindu Bali, yang
terumuskan menjadi konsep ekologis-religius Tri Hita Karana (parhyangan, Palemahan, dan
Pawongan). Konsep ekologis religius ini telah menjadi landasan setiap Desa Pakraman (Pakertan)
yang ada, yang kemudian secara teritorial terikat dalam bentuk Banjar sebagai sebuah unit
organisasi sosio-religius.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah , di antaranya sebagai
berikut:
1. Bagaimana Sejarah Pura di Indonesia ?
2. Pengelompokan pura
3. Jenis-jenis tempat suci
4. Apa saja struktur yang ada di Pura ?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Agar masyarakat lebih mengenal banyaknya pura yang ada di Indonesia.
2. Agar masyarakat lebih mengetahui jenis-jenis pura yang ada di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini ada dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis, sebagai
berikut.

1. Manfaat Teoritis Pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya khususnya pada bidang
Ilmu Sejarah, Pendidikan Sejarah, dan Antropologi Budaya diharapkan bermanfaat dengan adanya
penelitian ini.

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat secara praktis bagi:

1. Penulis dapat mengembangkan dan mengaplikasikan segala potensi keilmuan yang penulis miliki
dan dapat mengidentifikasi pura di Indonesia
2. Master Sejarah Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya wawasan
dan memberikan kontribusi positif bagi master dalam mengembangkan dan menyampaikan materi
pembelajaran dengan memanfaatkan kajian dari Pura yang ada di Inonesia

3. Masyarakat Diharapkan melalui penelitian ini masyarakat akan mendapatkan informasi tentang
Pura perspektif sejarah, peninggalan dan potensinya sebagai sumber belajar sejarah di SMA,
sehingga hal ini dapat menciptakan kesadaran sejarah dikalangan masyarakat untuk ikut menjaga
dan melestarikan peninggalan sejarah.

4. Siswa Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi siswa untuk memperluas
wawasan mengenai pura yang ada di Indonesia dan ikut menjaga dan melestarikan peninggalan
sejarah.

5. Pemerintah Dari penelitian ini diharapkan bisa dijadikan referensi ataupun acuan dalam membuat
kajian baik yang berhubungan dengan membuat kebijakan konservasi cagar budaya.
BAB II

PEMBAHASAN

Sejarah Pura

Tempat suci (pura) bagi umat hindu adalah suatu tempat yang disucikan, di-keramatkan sebagai
tempat pemujaan bagi umat beragama. Salah satu diantara-nya merupakan tempat melakukan
upacara Yajña yang disesuaikan dengan Desa, Kala, dan Patra.

Pura berasal dari customized structure pur yang artinya benteng atau tempat berlindung. Pura
sebagai tempat berlindung karena umat Hindu merasa wajib untuk melakukan pemujaan di pura,
untuk memohon keselamatan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena pura sebagai tempat pemujaan dan se-bagai tempat berlindung, maka setiap pura wajib
dijaga dan dipelihara oleh umat Hindu di mana pura itu berada. Memelihara pura adalah tanggung
jawab sebagai umat Hindu. Melestarikan pura maksudnya adalah memelihara dan, melaksanakan
Upacara Yajña yang disesuaikan dengan Desa, Kala, dan Patra. Desa artinya tempat, yaitu tempat
dibangunnya sebuah pura. Kala artinya sama dengan waktu, kapan upacara itu dilaksanakan. Patra
artinya keadaan, dalam keadaan bagaimana upacara itu dilaksanakan oleh desa atau masyarakat
penanggung jawab itu.

Jadi, dengan demikian pelaksanaan upacara di masing-masing tempat suci atau pura yang ada di Bali
khususnya ataupun di Indonesia pada umumnya terkadang kita jumpai adanya perbedaan-
perbedaan. Namun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mohon keselamatan lahir dan batin,
(Duwijo dan Darta, 2014:71).

Isilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali,
tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah Pura berasal dari
customized structure sanskerta itu berarti "kota" atau "benteng", yang sekarang berubah arti
menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya customized structure Pura untuk
menamani tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah individualized organization kahyangan
atau hyang. Pada zaman Bali Kuna dan merupakan information tertua ditemui di Bali, disebutkan di
dalam Prasasti Sukawana An I tahun 882 M.

Di dalam Prasasti turunya An I tahun 891 M ada disebutkan "… sanghyang di Turun͂ an" yang artinya
"tempat suci di Turunyan". Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A (tanpa tahun) disebutkan
pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api, dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk
Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api, dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Pura seperti
halnya meru atau caṇḍi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan image
kosmos dari atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono pada akhir
kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa caṇḍi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah
suatu perspektif baru yang menempatkan caṇḍi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat
pemujaan/Pura). Untuk mendukung bahwa Pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan
dapat dilihat dai bentuk (struktur), alleviation, gambar, dan adornment dari sebuah Pura atau caṇḍi.
Pada bangunan suci seperti caṇḍi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, alleviation, dan
hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca devatā, vahana devatā, pohon-
pohon sorga (pārijāta, dan lain-lain), juga mahluk-mahluk suci seperti vidyādhara-vidyādharī dan
kinara-kinarī, yakni seniman sorga, dan lain-lain.

Dalam perkembangan lebih lanjut individualized organization Pura digunakan di samping customized
structure kahyangan atau parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang
Widhi (dengan segala menifestasinya) dan bhaṭṭāra atau dewapitara yaitu roh suci leluhur. Kendati
demikian namun kini masih dijumpai individualized organization Pura yang digunakan untuk
menamai suatu kota misalnya Amlapura atau kota asem (bentuk sanskertanisasi dari karang asem).
Meskipun istilah Pura sebagai tempat suci berasal dari zaman yang tidak begitu tua, namun tempat
pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa
yang amat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah
leluhur di samping juga pemujaan terhadap kekuatan alam yang maha besar yang telah dikenalnya
pada zaman neolithikum, dan berkembang pada periode megalithikum, sebelum kebudayaan India
datang di Indonesia. Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan
unsur kebudayaan Hindu yang menggangap gunung (Mahameru) sebagai alam devata yang
melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para
devata.

Pengelompokan Pura

Dari berbagai jenis Pura di Bali dengan pengertian sebagai temoat suci untuk memuja Hyang
Widhi/dewa dan bhaṭṭāra, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya, yaitu;

(1) Pura yang bersfungsi sebagai tempat untuk memuja Hyang Widhi, para devatā;

(2) Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhaṭṭāra yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok Pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat
pula Pura yang berfungsi gandha yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja
bhaṭṭāra. Hal itu dimungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui upacara
penyucian, roh leluhur tersebut telah mencapai tingkat śiddhadevatā (telah memasuki alam devatā)
dan disebut bhaṭṭāra. Fungsi Pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan)
yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis
ikatan seperti; ikatan social, politik, ekonomi, genealogis (garis kelahiran). Bedasarkan atas ciri-ciri
tersebut, maka terdapat beberapa kelompok Pura berdasarkan atas karakter atau sifat kekhasannya,
sebagai berikut:

1. Pura Umum

sumber : tribun.bali.com

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala
menifestasinya (dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga
sering disebut Kahyangan Jagat Bali. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri-ciri tersebut adalah
Pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala, dan Pura Sadkahyangan. Pura lainnya yang juga
tergolong Pura Umum adalah Pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja
kebesaran jasa seorang Pandita master suci atau Dang Guru. Pura tersebut juga dipuja oleh semua
umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang
Guru atas dasar ajaran agama. Pura yang tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan,
yaitu: Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan, Pura Silayukti,
Pura Lempuyang.
2. Pura Teritorial

Sumber : https://dwimistyriver.files.wordpress.com/2010/08/12.jpg

Pura ini mempunyai ciri kesatua wilayah (regional) sebagai tempat pemujaan dari anggota
masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau
desa. Ciri khas suatu desa pada dasarnya memiliki tiga buah Pura yang disebut Kahyangan Tiga,
yaitu: Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Ada banyak macam Pura Dalem. Namun Pura Dalem
yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki setra (kuburan).

3. Pura Fungsional

Sumber : https://lovehindubali.files.wordpress.com/2012/09/fungsi-pura.jpg?w=584

Pura ini mempunyai karakter fungsional karena adanya ikatan kekaryaan, profesi yang sama dalam
framework mata pencaharian hidup seperti; bertani, berdagang, dan nelayan. Kekaryan karena
bertani, mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura
Bedugul atau Pura Subak. Kemudian dalam ikatan kekaryan sebagai pedagang maka tempat
pemujaannya disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang
dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4. Pura Kawitan

Sumber : https://www.kintamani.id/wp-content/uploads/pura-kawitan.jpg

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan mind atau leluhur berdasarkan
garis kelahiran (genealogis). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk
perkembangan yang lebih luas dari Pura milik warga atau Pura Klen. Klen ini mempunyai tempat
pemujaan yang disebut Pura Dadya sehingga mereka disebut Tunggal Dadya. Keluarga inti disebut
juga keluarga batih (family unit). Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut sanggah atau merajan
yang juga disebut kamulan taksu, sedangkan tempat pemujaan keluarga luas/besar disebut sanggah
gede atau pamarajan agung. Di dalam lontar Sivagama, disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih
patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura Ibu, setiap 10 keluarga
batih supaya membuat palinggih prthivi, dan setiap keluarga batih membuat palinggih kamulan yang
kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci.

Tentang pengelompokan Pura di Bali, dalam Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama
Hindu ke-X tanggal 28-30 Mei 1994 ditetapkan kelompok Pura di Bali, sebagai berikut:

1. Bedasarkan atas fungsinya:

Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala
prabhawa-Nya (manifestasinya).

Pura Kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja ātmāśiddhadevatā (roh suci leluhur).
2. Berdasarkan atas karakterisasinya:

Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhawa-Nya
misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Kahyangan Jagat.

Pura Kahyangan Desa (teritorial), yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh desa
pakraman atau desa adat.

Pura Swagina (Pura Fungsional), yaitu Pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina
(kekaryan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti; Pura Subak, Pura
Melanting, dan sebagainya.

Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan "mind" atau leluhur
berdasarkan garis (vertikal genelogis) seperti; sanggah, pamarajan, ibu, panti, dadya, batur,
penataran, pedharman, dan yang sejenisnya.

Jenis-jenis Tempat Suci

Tempat suci dapat kita kelompokkan menjadi 2 bagian yakni, bersifat khusus dan bersifat umum.

A. Tempat Suci yang bersifat khusus

Tempat suci yang bersifat khusus antara lain: Pura Keluarga/Sanggah Kemulan, Pura Swagina (Pura
Bedugul/Ulun Siwi/Ulun Danu, Pura Melanting, Pura Segara).

1. Pura Keluarga
Sumber :
https://asset.kompas.com/crops/rgykbvddpqwDVOYfFJhf-knqwyU=/0x0:750x500/490x326/
data/photo/2022/01/26/61f0e90288ebb.jpg

Pura Keluarga artinya pura yang dimiliki oleh masing-masing keluarga. Secara umum pada pura
keluarga terdapat bangunan berupa Sanggah Kemulan, Taksu, Pangijeng dan di Jaba terdapat
Palinggih Panunggun Karang (Tugu). Sedangkan dalam keluarga yang lebih besar masih ada
hubungan darah keturunan dari pihak Purusa atau Ayah dan Pradhana atau Ibu selaku kepala
keluarga disebut Sanggah Kawitan. Sanggah Kemulan memakai pintu ruang tiga, dan Sanggah Taksu
memakai pintu ruang satu. Pada beberapa daerah ada pula menyebutkan Sanggah Kemulan itu
sebagai Palinggih Bhatara Guru tetapi dari segi manfaat atau fungsinya sama. yaitu sebagai tempat
memuja Roh Para Leluhur yang telah disucikan. Di samping itu kalau dilihat dari segi pintu ruangnya
ada tiga, maka juga dimanfaatkan untuk memuja manifestasi Tuhan (dalam bukunya I Ketut Wiana
tentang struktur Sanggah Kemulan) Rong tiga merupakan tempat pemujaan terhadap Hyang
Kemimitan/Sang Hyang Widhi Wasa di rong tengah, Sang Hyang Purusa/Ayah di rong kanan, dan
Sang Hyang Pradhana/Ibu di rong kiri.

Fungsi Sanggah Kemulan bagi keluarga di samping sebagai tempat memuja Para Leluhur dan
manifestasi Tuhan juga bermanfaat untuk melakukan Upacara agama pada hari-hari suci seperti:
Purnama, Tilem, Anggara Keliwon, Buda keliwon, Upacara Perkawinan, Upacara Potong Gigi, dan
Upacara Pitra Yajña bagi keluarga, (Duwijo dan Darta, 2014:74).

Tujuan membangun dan memiliki Sanggah Kemulan bagi setiap keluarga adalah agar merasa aman
dan nyaman apabila melaksanakan upacara keagamaan yang sifatnya sangat khusus dan pribadi bagi
keluarga tersebut. Adapun Upacara Pujawali yang dilakukan di masing-masing pura Keluarga sudah
memiliki hari-hari tertentu sesuai dengan hari saat dibangunnya pura tersebut, yang dilakukan setiap
enam bulan sekali atau 210 hari sekali berdasarkan hari, dan Pawukon. Contoh apabila sebuah Pura
Keluarga dibangun dan di pelaspas pada Hari Senin Tolu, maka setiap enam bulan pada Hari Senin
Tolu keluarga tersebut wajib melakukan Upacara Pujawali pada pura tersebut.
2. Pura Swagina

Sumber : https://www.kintamani.id/wp-content/uploads/pura-swagina.jpg

Pura Swagina artinya pura yang berfungsi dan bermanfaat untuk masyarakat tertentu, sesuai dengan
profesi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, (Duwijo dan Darta, 2014:75). Contoh Pura
Swagina antara lain:

a. Pura Bedugul/Ulun Suwi/Ulun Danu yaitu pura tempat pemujaan Ista Dewata sebagai Dewa
Kemak-muran, bagi umat yang bermata pencaharian sebagai petani. Hara-pannya adalah agar
mengeluarkan air dari perut bumi, menurunkan hu-jan dari langit untuk memberikan kesuburan
pada isi alam semesta.

b. Pura Melanting yaitu pura tem-pat pemujaan Ista Dewata dalam manifestasinya sebagai Dewa
Kuwe-ra pemberi kesejahteraan bagi umat Hindu yang berprofesi sebagai peda-pack, dengan
harapan agar Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa memberikan petunjuk serta
tuntunannya agar dapat kebe-runtungan, untuk meningkatkan taraf hidupnya. Di samping itu
menurut Pedanda Made Gunung beliau yang berstana di Pura Melanting memberikan pe-nyupatan
terhadap semua jenis barang dagangan yang diperjualbelikan di dalam pasar. Oleh karena itu, kita
tidak ragu lagi menggunakan bahan yang dibeli di pasar untuk yajña, (Duwijo dan Darta, 2014:76).

c. Pura Segara yaitu pura yang di-bangun di pinggir pantai tempat me-muja Dewa Baruna oleh para
nelayan sebelum pergi melaut agar selamat dalam perjalanan dan mendapat tuntu-nan sehingga
dapat menangkap ikan untuk menunjang kebutuhan hidup ber-sama keluarga. Mereka berharap dari
hasil tangkapannya itu akan mampu membeli sandang, pangan dan papan, dalam menjalankan
kehidupan bersama keluarganya, (Duwijo dan Darta, 2014:77).

B. Pura yang bersifat Umum

Pura umum yaitu pura sebagai tempat pemujaan yang dimanfaatkan oleh masyarakat umum tanpa
membedakan golongan, suku, dan profesi. Adapun pura yang bersifat umum antara lain adalah:

1. Pura Kahyangan Tiga

Sumber : Kalenderbali

Pura Kahyangan Tiga umumnya di Bali meliputi: Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem Mrajapati.
Pura Kahyangan Tiga berada di setiap Desa Pekraman atau Desa Adat yang diemong oleh Warga
Desa Adat. Pura Kahyangan Tiga adalah sebagai tempat pemujaan terhadap tiga manifestasi Tuhan
yaitu:

a. Pura Desa/Pura Bale Agung adalah tempat memuja manifestasi Tuhan se-bagai Dewa Brahma
yaitu Dewa Pen-cipta alam beserta isinya, dengan sakti-nya Dewi Saraswati yang merupakan Dewi
Ilmu Pengetahuan. Bangunan Pura Desa ciri khasnya berupa Bale Yang Besar dan sebuah
Padmasana, Ratu Ngurah dan Ratu Nyoman hal ini sangat tergantung pada Desa Adat se-tempat,
(Duwijo dan Darta, 2014:78).

b. Pura Puseh adalah tempat memuja manifestasi Tuhan sebagai Dewa Wisnu yaitu Dewa Pelindung
atau Pemelihara Isi alam beserta isinya dengan saktinya Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran. Ciri
Khas bentuk bangunan di pura ini secara umum berupa Sebuah Meru tumpang tujuh (7) dan ada
pula yang berbentuk lain. Hal itu juga tergantung pada keadaan setempat.

c. Pura Dalem adalah tempat memuja manifestasi Tuhan sebagai Dewa Siwa yang berfungsi sebagai
pelebur atau Pralina alam beserta isinya. Sakti Dewa Siwa adalah Dewi Durga. Bentuk bangu-nan
Pura Dalem memiliki ciri khas ber-bentuk Gedong.

2. Pura Dang Kahyangan

Sumber :
https://www.balitoursclub.com/gallerys/pura_gunung_payung_di_kutuh__kuta_selatan_50
0.jpg

Pura Dang Kahyangan di Bali khususnya adalah pura yang merupakan peninggalan dari Dang Hyang
Nirarta pada saat datang ke Bali. Beliau membuat tempat pemujaan antara lain yang sekarang ber-
nama Pura Pulaki yang terletak di Bali Barat Pura Batu Bolong, Pura Tanah Lot di Kabupaten
Tabanan,Pura Peti Tenget di Kabupaten Badung, Pura Uluwatu di Denpasar selatan.

3. Tragic Kahyangan Jagat Bali

Pura Sad Kahyangan yang ada di Bali adalah enam (6) buah kahyangan besar yang ada di sebagai
tempat memuja Ista Dewata yang terdapat di beberapa Kabupaten di Bali.

1. Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem.

2. Pura Lempuyang terletak di Kabupaten Karangasem.

3. Pura Goalawah terletak di Kabupaten Klungkung.


4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.

5. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.

6. Pura Bukit Pangelengan/Puncak Mangu di Kabupaten Badung.

Di Bali terdapat Sad Kayangan seperti tersebut di atas. Sedangkan pura umum di luar Bali adalah
Pura Jagatnatha yang fungsinya hampir sama dengan Sad Kahyangan Jagat yang ada di Bali. Pura ini
di manfaatkan sebagai tempat pemujaan oleh masyarakat/umat Hindu dari berbagai golongan, baik
golongan Brahmana, Wesya, Ksatria dan Sudra. Pada intinya pura umum bermanfaat sebagai
pemersatu umat dari golongan manapun, (Duwijo dan Darta, 2014:81).

Referensi

Duwijo dan Darta, I Ketut. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V. Jakarta: Pusat
Kurikulum dan Perbukuan. Balitbang Kemdikbud

Struktur Pura

Pada umumnya struktur atau denah Pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jaba pura atau jaba
pisan (halam luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada
juga Pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halangan ;uar) dan jeroan (halaman
dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti Pura Agung Besakih.
Pembagian halaman Pura ini, didasarkan atas konsepsi macrocosmos (bhuawana agung), yakni:
pembagian atas tiga bagian (halaman) itu adalah lambing dari triloka, yaitu: bhūrloka (bumi),
bhuvaḥloka (langit), dan svaḥloka (sorga). Pembagian Pura atas dua halaman melambangkan alam
atas (urdhaḥ) dan alam bahwa (adhaḥ), yaitu: ākāśa dan pṛthivī. Sedang pembagian Pura atas tujuh
bagian atau halaman atau tingkatan melambangkan saptaloka, yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam
atas, yaitu; bhūrloka, bhuvaḥloka, svaḥloka, mahāloka, janaloka, tapaloka, dan satyaloka. Dan Pura
yang terdiri satu halaman adalah simbolis dari ekabhuvana, yaitu penunggalan antara alam bawah
dan alam atas.

Pembagian halaman Pura umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian even sedang
pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian even itu
melambangkan prakeṛti (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah
simbolis purusa (unsur kejiwaan/otherworldly alam semesta).
Sebuah Pura di kelilingi dengan tembok (bahasa Bali = penyengker) sebagai batas pekarangan yang
disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah padurakṣa (penyangga sudut) yang berfungsi menyangga
sudut-sudut pekarangan tempat suci (dikpālaka). Pada halaman jaba pisan (halam luar) terdapat
bangunan berupa bundle kulkul (bunch tempat kentongan digantung), parcel wantilan (semacam
amphitheater tempat pementasan kesenian), parcel pawaregan (dapur), jineng (lumbung). Halam
kedua jaba tengah (halam tengah) biasanya berisi bangunan bundle agung (bunch panjang) dan
parcel pagongan (bunch tempat gamelan). Halaman yang ketiga disebut jeroan (halaman dalam),
halam ini merupakan halaman yang withering suci berisi bangunan untuk Hyang Widhi beserta
manifestasi-Nya bersthana. Di antara jeroan dan jaba tengah biasanya dipisahkan oleh candi kurung
atau kori agung. Sebelum sampai ke halaman dalam (jeroan) melalui kori agung, terlebih dahulu
harus memasuki candi bentar, yakni pintu masuk pertama dari halaman luar (jabaaan atau jaba
pisan). Candi bentar ini adalah simbolis pencahnya gunung Kailāsa tempat bersemadhinya dewa
Śiva. Dibagian kiri dan kanan candi bentar terdapat arca Dvārapāla (patung penjaga pintu, bahasa
Bali ngapit lawing), berbentung raksasa yang berfungsi sebagai pengawal Pura.

Pintu masuk halaman jeroan disamping disebut kori agung, juga dinamakan gelung agung. Kori
agung ini senantiasa tertutup dan baru dibuka bila ada upacara di Pura. Untuk penyungsung (pemilik
Pura) tidak menggunakan kori agung itu sebagai jalan keluar masuk ke jeroan, tapi biasanya
menggunakan jalan kecil yang disebut bebetelan yang terletak disebelah kiri dan kanan kori agung.

Pada bagian depan pintu masuk (kori agung) terdapat juga arca Dvārapāla yang biasanya bermotif
acra deva-deva. Di atas atau di ambang pintu masuk kori agung terdapat hiasan kepala rakṣasa, yang
pada Pura atau candi di India disebut Kīrttimukha, pada ambang candi pintu masuk candi di Jawa
Tengah disebut Kāla, pada ambang candi di Jawa Timur disebut Bānaspati, dan di Bali disebut
Bhoma. Cerita Bhoma atau Bhomāntaka (matinya Sang Bhoma) dapat dijumpai di Kakawain
Bhomāntaka atau Bhomakāwya. Bhoma adalah Putra Deva Viṣṇu dengan ibunya Dewi Pṛthivī yang
berusaha mengalahkan sorga dan akhirnya dibunuh oleh Viṣṇu sendiri. Menurut cerita Hindu,
penempatan kepala rakṣana Bhoma atau Kīrttimukha pada kori agung dimaksudkan supaya orang
yang mermaksud jahat masuk ke dalam Pura, dihalangi oleh kekuatan rakṣasa itu. Orang-orang yang
berhati suci masuk ke dalam Pura akan memperoleh rakhmat-Nya.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai