Anda di halaman 1dari 14

APLIKASI AJARAN ÚIWA SIDDHANTA DI SITUS WASAN

Implementation of Úiwa Siddhanta Religion in Wasan

Nyoman Rema
Balai Arkeologi Denpasar
Jl. Raya Sesetan No. 80, Denpasar 80223
Email: nyomanrema@yahoo.co.id

Naskah diterima: 07-01-2015; direvisi:10-03-2015; disetujui: 27-03-2015

Abstract
Úiwa Siddhanta is the largest teaching and sect in the philosophy of Shiva. This teaching in
Indonesia is a conglomeration of various schools of thought that once flourished in this country,
especially in Bali which had grown after the 9th century AD. This study aims to determine the
development of Siwa sect in Bali and the application of the Úiwa Siddhanta on archaeological
remains in the Site Wasan. Data collection begins with a literature study, followed by observation.
Once the data is collected, analyzed, and presented in a descriptive-qualitative method. The results
of this study are cultural remains in the form of temple, pond, lingga, a statue of Ganesha, Nandi,
goat statue, Catur Mukha, and arca perwujudan. After studying, it appears that the teaching of
Úiwa Siddhanta application in this site is in the form of worshipping media.
Keywords: wasan site, the remains of culture, úiwa siddhanta, freedom.

Abstrak
Úiwa Siddhanta adalah ajaran dan mazhab terbesar dalam filsafat Siwa. Ajaran ini di Indonesia
merupakan konglomerasi dari berbagai mazhab yang pernah berkembang di negara ini,
khususnya di Bali telah berkembang setelah abad ke-9 Masehi. Tujuannya adalah untuk
mengetahui perkembangan mazhab Siwa di Bali dan aplikasi ajaran Úiwa Siddhanta terhadap
tinggalan arkeologi di Situs Wasan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka,
dilanjutkan dengan observasi langsung di lapangan. Setelah data terkumpul, dianalisis, dan
disajikan secara deskrptif-kualitatif. Beberapa tinggalan budaya yang ditemukan berupa candi,
lingga, arca Ganesa, Nandi, kambing, Catur Mukha, kolam dan arca perwujudan. Berdasarkan
analisis tampak adanya aplikasi ajaran Úiwa Siddhanta dalam wujud media pemujaan.
Kata kunci: situs wasan, tinggalan budaya, úiwa siddhanta, kebebasan.

PENDAHULUAN Siddhanta khas Indonesia, dengan prinsip


Úiwa Siddhanta adalah salah satu mazhab tertinggi adalah Paramaúiwa (Suamba 2009,
yang menonjol dan terbesar dalam filsafat 235). Úiwa Siddhanta Tamil bersifat dualisme;
Siwa, dengan teks dasarnya yang dikenal Siwaisme Indonesia bersifat monisme. Kedua
dengan Úiwagama. Mazhab ini berkembang filsafat ini menempatkan anugraha sebagai hal
di India Selatan, yakni di daerah Tamil, yang penting dalam perjalanan spiritual, sebagaimana
memperlakukan Dewa Siwa sebagai Kekuatan terungkap dalam Úiwaratri Kalpa (Suamba
Tertinggi (Suamba 2009, 232-233). Úiwa 2009, 236).
Siddhanta Indonesia lebih banyak merupakan Pemujaan kepada Dewa Siwa dalam Úiwa
konglomerasi berbagai mazhab yang pernah Siddhanta melalui wujud lingga-yoni, tersebar
berkembang, mereka melakukan upaya-upaya luas di seluruh Asia Selatan, Asia Tenggara,
sintesa sehingga melahirkan corak Úiwa Indonesia sendiri, yang merupakan lambang

Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan 11


Nyoman Rema
Kehampaan Tertinggi (Soebadio 1985, 29). naskah-naskah sebagai pedomannya. Ajaran-
Di Jawa kedudukan Dewa Siwa sebagai Dewa ajaran yang dipakai adalah Úiddhanta yang
Tertinggi termuat dalam Prasasti Canggal 654 tercampur dengan semacam Siwaisme yang agak
Saka yang ditemukan di Kecamatan Salam, kabur dan yang untuk sebagian besar berasal
Magelang. Sebagai Dewa Tertinggi, Siwa dari Úiwa Upanisad. Unsur-unsur pencampuran
mempunyai bermacam-macam nama sesuai Úiwa Siddhanta itu adalah Spekulasi dan upacara,
dengan tugas dan kelebihan sifat-sifatnya, letak jari-jari selama upacara berlangsung
antara lain Bhutéúwara, Candrasékhara, Giriúa, (arcana-mudra), rumus-rumus suci (mantra),
Gaògadhara, Kàla atau Mahàkàla, Nilakantha, rumus utama (kuþamantra), uku kata suci OÝ
Paúupati, Sangkara, Sadaúiwa, Sambhu, (praóawa). Mantra-mantra itu juga berkaitan
Wiúwanatha. Dewa Siwa sebagaimana di India, dengan spekulasi-spekulasi tertentu: letak suku-
sebagai Dewa Tertinggi, dikenal dengan lima suku kata yang mewujudkan suku kata OÝ
aspeknya, yang disebut Pañca Mukha, terdiri yang suci, yaitu pañcàkûara, pañca bràhma;
atas Sadyojata, Bamadéwa, Aghora, Tatpuruúa meditasi dan latihan pernapasan, kepercayaan
dan Iúana. Siwa juga dikenal dalam sembilan akan Tri Puruúa dan perwujudan-perwujudan
aspeknya yang terdiri atas, Úiwa, Iúwara, lain dari Dhat Tertinggi, serta kepercayaan dan
Rudra, Bràhma, Mahéswara, Mahadéwa, spekulasi mengenai lingga yang berasal dari
Sangkara, Wiûóu dan Sambhu. Aspek-aspek ini Paúupata (Soebadio 1985, 43-44).
selalu dihubungkan dengan arah mata angin. Di Pura Gunung Panulisan terdapat
Di Indonesia, khususnya di Jawa dari candi- tinggalan budaya berupa lingga ganda, yaitu
candi Agama Siwa yang masih lengkap dengan sepasang lingga yang dipahatkan di atas satu
arca-arcanya, umumnya Dewa Siwa dalam lapik dan menempel pada sandaran. Uniknya
perwujudannya sebagai Siwa Mahadewa atau lingga semacam ini hanya terdapat di Bali,
dalam wujud lingga diletakkan di bilik tengah. karena belum pernah ditemukan di tempat
Durga Mahisasuramardini, diletakkan di bilik lain. Di sana juga terdapat lingga semu, yaitu
samping utara, Agastya diletakkan di bilik lingga yang terdiri atas dua bagian, yang di
samping selatan. Pada bilik belakang diletakkan belakangnya terdapat inskripsi yang berbunyi:
Dewa Ganesa, Mahakala dan Nandiswara i úaka 996 bulan jyéûþa úukla trayodaúi pasar
bertugas sebagai penjaga, menempati relung bijamanggala: diterjemahkan menjadi “pada
kiri-kanan pintu masuk candi (Maulana 1993, tahun Saka 996, bulan Jyesta, paro terang,
15-16). tanggal 13 pada hari pasaran Wijayamanggala.”
Di Bali, Agama Hindu sekte Úiwa Diduga tidak hanya sekedar lambang Dewa
Siddhanta telah menampakkan pengaruhnya Siwa, tetapi diduga mempunyai arti simbolis
pada abad ke-9 Masehi. Dugaan ini berdasarkan yang berkaitan dengan aliran Úiwa Siddhanta di
temuan fragmen prasasti di Desa Pejeng, yang daerah tersebut, berkembang pada abad ke-10
menyebutkan úiwa (….) ddha…., diperkirakan Masehi (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
berbunyi úiwa siddhanta (Astawa 2007, 103). 1994, 19-20).
Úiwa Siddhanta merupakan sekte yang paling Lingga sebagai simbol Dewa Siwa juga
penting dari semua sekte di Bali, dan dalam ditemukan di Situs Wasan, merupakan situs
perkembangan waktu ajaran dari semua sekte yang masih dimanfaatkan sebagai media
diserap ke dalamnya, sehingga perkembangan pemujaan atau living monument. Jika ditinjau
Hindu di Jawa dan Bali mengalami lebih dalam, Situs Wasan merupakan bukti
perkembangan yang lepas dari India. Goris sejarah masa lampau, refleksi hubungan manusia
menyebutkan bahwa Úiwa Siddhanta adalah dengan Tuhan sebagai wujud persembahan,
agama yang dianut oleh pendeta atau padaóða hubungan manusia dengan sesamanya, dan
di Bali, yaitu Pendeta-pendeta Siwa dengan hubungan manusia terhadap lingkungan.

12 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 1, April 2015 (11 - 24)


Implementasi ketiga interaksi tersebut dalam Tuhan, pawongan yaitu hubungan manusia
kehidupan mencerminkan lingkungan sosial dengan sesama, dan palemahan yaitu hubungan
budaya masyarakat Wasan (Geria 2003, 1). manusia dengan lingkungan (Geria 2003,
Pada situs ini terdapat sebuah candi, kolam, 1-10). Penelitian ini berguna dalam membahas
merupakan suatu bangunan yang berlatar hubungan manusia dengan Tuhan yang
belakang Agama Hindu. Hal ini diperkuat oleh dikaitkan dengan konsep Úiwa Siddhanta, yang
adanya temuan kotak peripih yang berlubang memuja Dewa Siwa sebagai Dewa tertinggi.
sembilan, yang biasa ditempatkan pada Selanjutnya Suarbhawa dalam artikel berjudul
sumuran candi dan di atasnya ditempatkan arca Wasan dan Sekitarnya dalam Telaah Epigrafis
Siwa atau yang mewakilinya, yakni lingga yoni mengulas masalah bukti-bukti tertulis berupa
(Astawa 2003, 30). prasasti yang terkait dengan wilayah, hak dan
Pada Situs Wasan di samping temuan candi kewajiban, keamanan masyarakat Wasan dan
dan kolam, juga ditemukan beberapa tinggalan sekitarnya (Suarbhawa 2003, 12-24). Kegunaan
budaya seperti lingga, Arca Ganesa, Arca penelitian ini untuk mengetahui religi
Catur Mukha, arca perwujudan, arca binatang masyarakat Wasan, yang menurut data prasasti
seperti Nandi yang dibawahnya terdapat relief juga terkait dengan Úiwa Siddhanta. Astawa
tengkorak. Selain itu terdapat juga tinggalan dalam tulisannya berjudul Tinjauan Arsitektur
arca kambing, arca naga, beberapa struktur Candi Wasan, Desa Canggi, Kecamatan
bangunan. Mengingat berbagai bangunan yang Sukawati, Kabupaten Gianyar mengulas tentang
terdapat di kompleks Candi Wasan, awalnya hasil ekskavasi di Situs Wasan berupa lingga,
telah mengalami keruntuhan, sehingga tidak arca perwujudan, dan berbagai sisa bangunan
diketahui dengan pasti posisi masing-masing (Astawa 2003, 26). Penelitian ini berguna untuk
tinggalan tersebut. Kecuali Arca Nandi dan mengulas berbagai tinggalan arkeologi terkait
kambing yang posisinya pada sebelah kiri dengan media pemujaan sebagai wujud aplikasi
dan kanan puing-puing pintu masuk candi, ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan. Badra
dan terdapat kolam di sebelahnya. Hubungan menulis tentang Arca Binatang di Kompleks
antara lingga yoni, arca Catur Mukha, arca Candi Wasan mengulas tentang berbagai arca
perwujudan, kotak peripih, Arca Ganesa, binatang yang diletakkan di kompleks Candi
kolam dengan candi masih sulit diungkapkan. Wasan (Badra 2003, 48). Kegunaan penelitian
Meskipun demikian, berdasarkan tinggalan di ini adalah untuk membahas berbagai arca
situs tersebut, diduga terdapat beberapa sekte binatang yang digunakan terkait wahana yang
antara lain; Pasupata, Ganesha, dan Brahma, nantinya mengantarkan pada dewa utama yang
yang terformulasi ke dalam Úiwa Siddhanta, dipuja di Kompleks Candi Wasan. Ambarawati
yang memposisikan Dewa Siwa sebagai Dewa menulis tentang Fungsi dan Peran Arca Dewa
tertinggi (Sunarya 2003, 62). dan Arca Perwujudan di Kompleks Candi
Berbekal keyakinan, bahwa suatu Wasan mengulas tentang berbagai arca kuno
kompleks pemujaan pastilah memiliki konsep di kompleks Candi Wasan (Ambarawati 2003,
yang jelas, maka berdasarkan tinggalan 56). Penelitian ini berguna untuk mengulas
sebelumnya terkait Situs Wasan ditulis Geria fungsi arca di kompleks Candi Wasan, dikaitkan
yang berjudul “Lingkungan Sosial Budaya dengan perannya dalam aplikasi Ajaran Úiwa
Masyarakat di Sekitar Candi Wasan pada Siddhanta. Sunarya dalam tulisannya berjudul
Masa Lampau” yang mengulas tentang Latar Belakang Keagamaan Situs Wasan
implementasi konsep tri hita karaóa yakni tiga membahas tentang latar belakang pendirian
penyebab manusia mendapatkan kesejahteraan. Situs Wasan yang terkait dengan Agama Hindu
Konsep ini terbagi atas tiga komponen, yaitu: atau Siwa. Berbagai tinggalan yang ada di situs
parhyangan yaitu hubungan manusia dengan tersebut dinyatakan terformulasi ke dalam

Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan 13


Nyoman Rema
Úiwa Siddhanta (Sunarya 2003, 64). Kegunaan Koentjaraningrat, yang mengungkapkan bahwa
penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang konsep relegi terdiri atas lima komponen yang
ajaran Úiwa Siddhanta diterapkan dalam bentuk saling berkaitan. Kelima komponen itu adalah
bangunan di Situs Wasan. Hal senada juga emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem
diungkapkan oleh Suantika dalam tulisannya ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara,
berjudul Kajian Teknoarkeologi terhadap serta umat agama (Koentjaraningrat 1987, 80-
Kompleks Candi Wasan menguraikan tentang 82). Terkait dengan objek penelitian di Pura
teknologi yang terkait dengan bangunan di Puseh Wasan, diuraikan peralatan ritus dan
Kompleks Candi Wasan (Suantika 2003, 73). upacara, kemudian dilanjutkan komponen yang
Penelitian ini dapat memberikan informasi lain seperti sistem keyakinan. Di Pura Puseh
mengenai bentuk bangunan di Kompleks Candi Wasan ditemukan sarana dan peralatan religi
Wasan yang merupakan bangunan suci Hindu. salah satunya berupa lingga. Sarana pemujaan
Selain itu, penelitian sejenis yang terkait ini secara filosofi diyakini sebagai sebuah
dengan Úiwa Siddhanta pernah dilakukan simbol Tuhan, yang memiliki nilai penting bagi
oleh Soebadio dalam bukunya berjudul keharmonisan hidup manusia. Keyakinan ini
Jñanasiddhanta. Buku ini menguraikan tentang berdampak pada sikap masyarakat pendukung
naskah-naskah Jawa Kuno yang ditemukan di akan hal-hal yang keramat dan gaib, yang
Bali yang menguraikan tentang ajaran Úiwa menggerakkan jiwanya, untuk berkomunikasi
Siddhanta yang berkembang di Indonesia dengan penghuni dunia gaib melalui berbagai
khususnya di Bali. Kegunaan penelitian ini tindakan seperti berdoa, sujud, makan bersama,
adalah untuk mengetahui bagaimana ajaran menari dan menyanyi, berprosesi, berseni
Úiwa Siddhanta yang berkembang di Bali, drama suci, berpuasa dan bersamadi, yang
guna dijadikan acuan dalam melihat aplikasi ditujukan kepada Tuhan, dewa-dewa, roh suci,
atau terapan konsep ajaran ini dalam wujud dan mahluk halus lainnya (Koentjaraningrat
bangunan fisik di situs ini (Soebadio 1985, 29- 1987, 83).
41). Kepercayaan yang ada pada suatu
Berdasarkan penelitian tersebut, tinggalan agama, meyakini bahwa dunia ini adalah
di situs ini terformulasi ke dalam ajaran Úiwa fana, tidak langgeng dan yang langgeng
Siddhanta, namun belum terdapat ulasan adalah suatu kenyataan sejati yang bersifat
mengenai hal tersebut, menarik untuk diteliti spiritual. Para spiritualis meyakini bahwa ada
secara khusus, mengenai bagaimanakah aplikasi kekuatan atau kenyataan spiritual di belakang
ajaran Úiwa Siddhanta terhadap tinggalan setiap penampakan atau kejadian. Esensi
arkeologi di Situs Wasan. Secara umum, dari kenyataan spiritual ini adalah berpikir.
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Diakuinya kenyataan sejati sebagai bersifat
perkembangan mazhab Siwa di Bali dan secara spiritual, bukan berarti bahwa para idealis
khusus untuk mengetahui aplikasi ajaran Úiwa menolak kekuatan-kekuatan yang bersifat fisik
Siddhanta terhadap tinggalan arkeologi di Situs atau material dan menolak adanya hukum alam.
Wasan. Penelitian ini secara teoretis diharapkan Kekuatan fisik dan hukum alam ini merupakan
dapat menambah khazanah religi, terutama manifestasi dari kekuatan atau kenyataan sejati
yang berkaitan dengan perkembangan Úiwa yang lebih tinggi, yakni roh absolut. Seperti
Siddhanta di Bali umumnya dan di Situs Wasan halnya kebudayaan dan kesenian merupakan
khususnya. Secara praktis diharapkan dapat manifestasi lahiriah dari jiwa manusia, alam
dijadikan salah satu referensi bagi masyarakat fisik adalah manifestasi lahiriah dari kenyataan
pendukung kebudayaan di Situs Wasan. yang sejati, yakni roh absolut atau Tuhan.
Aplikasi ajaran Úiwa Sidhanta di Situs Bahkan dalam filsafat Hindu disebutkan bahwa
Wasan, dibahas berdasarkan pandangan Sang Jiwa atau Atman atau roh yang ada di

14 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 1, April 2015 (11 - 24)


dalam diri manusia itu merupakan manifestasi tujuan, bukan semata-mata bergerak secara
atau percikan terkecil dari roh absolut atau mekanis. Sumber atau penggerak utama perilaku
Tuhan itu sendiri. Para idealis percaya adanya bukan kekuatan eksternal seperti stimulus atau
gerak pada setiap planet dan adanya hukum syaraf pusat, melainkan kekuatan internal,
alam, tetapi baik gerak pada setiap planet dan yakni jiwa, yang hendak mewujudkan dirinya
adanya hukum alam, sudah didesain terlebih dalam menggapai nilai-nilai pribadinya dan
dahulu oleh kekuatan spiritual (Abidin 2009, norma-norma atau hukum-hukum masyarakat
28). dan agamanya. Tujuan hidup manusia, dengan
Jika kenyataan pada dasarnya bersifat demikian adalah untuk mengaktualisasikan diri
spiritual atau nonfisik maka hal-hal yang dan nilai-nilai yang diyakininya (Abidin 2009,
bersifat ideal dan normatif, seperti agama, 29).
hukum, nilai, cita-cita atau ide, memegang Penganut paham idealisme mempunyai
peran penting dalam kehidupan. Hukum dalam pandangan deterministik mengenai manusia.
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Mereka menyatakan bahwa Roh Absolut
serta agama dan nilai dalam kehidupan dalam hal ini Tuhan adalah bebas dan tak
sosial dan pribadi, merupakan norma-norma berhingga, tetapi manusia sebagai bagian atau
yang menggerakkan perilaku manusia dan perwujudan dari Roh Absolut, tidak bebas dan
masyarakat manusia. Norma-norma dan nilai- berhingga. Untuk itulah perlu adanya ajaran
nilai tersebut adalah panduan dan sekaligus Úiwa Siddhanta, agar tercapainya kebebasan
sasaran ke arah mana manusia hendak menuju jiwa (Abidin 2009, 29). Aplikasi ajaran Úiwa
atau ke arah mana perilaku manusia diarahkan Siddhanta di Situs Wasan dapat disimak pada
untuk mewujudkannya. Jika perilaku manusia model berikut.
diarahkan pada nilai-nilai atau norma-norma, Kompleks Candi Wasan di Situs Wasan
maka hidup manusia adalah bertujuan, terbangun atas konsep Úiwa Siddhanta
yakni hendak menggapai dan sekaligus merupakan perpaduan antara Pemujaan leluhur
mengaktualisasikan nilai, norma, atau hukum. berupa kultus dewa raja dengan pemujaan
Perilaku manusia mengandung maksud dan terhadap Dewa dan manifestasi-Nya. Media

Gambar 1. Model Penelitian Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan.


(Sumber: Dokumen Pribadi)

Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan 15


Nyoman Rema
pemujaannya berupa lingga, yang diduga seperti Candi Wasan, kolam, lingga, Arca
diposisikan di dalam bilik candi, untuk memuja Ganesa, Arca Nandi, arca kambing, Arca Catur
Tri Puruúa yakni Brahma, Wisnu, Siwa dengan Mukha, dan arca perwujudan. Pengumpulan
Siwa sebagai Dewa Tertinggi. Selain itu dipuja data dilakukan melalui observasi lapangan
pula unsur sekte Brahma dilukiskan berupa dan studi kepustakaan. Observasi lapangan
Dewa Raja berwujud Catur Mukha, dan dilaksanakan dengan cara ekskavasi dan
perwujudan leluhur. Sekte Ganesa diwakili mengamati keberadaan tinggalan arkeologi
oleh Arca Ganesha, sekte Agni diwakili oleh di komplek Candi Wasan. Studi kepustakaan
arca kambing. Terdapatnya kolam dalam dilaksanakan dengan penelusuran buku-buku
kompleks pemujaan, berfungsi sebagai sarana yang terkait dengan Úiwa Siddhanta, dan data-
penyucian dan kesuburan. Semua sekte tersebut data lain yang terkait dengan topik penelitian.
terformulasikan ke dalam Úiwa Siddhanta, Setelah data terkumpul, lalu dianalisis secara
yang mengajarkan manusia untuk memahami himpunan yaitu kegiatan analisis terhadap
alam semesta dan dirinya guna mencapai keseluruhan benda-benda temuan dalam
kesejahteraan lahir dan batin, berupa penyatuan satu situs, sehingga dapat diketahui korelasi,
dengan Siwa (gambar 1). dan aplikasi ajaran Úiwa Siddhanta di situs
tersebut. Setelah dianalisis, lalu disajikan
METODE secara deskriptif-kualitatif, diakhiri dengan
Situs Wasan, terletak di Dusun Blahtanah, kesimpulan. Aplikasi Úiwa Siddhanta di Situs
Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Wasan dikaji dalam penelitian ini, didasarkan
Kabupaten Gianyar, secara astronomi terletak atas keinginan untuk mengungkap konsep
pada koordinat 1150 16'43.14" BT dan 80 ajaran yang diterapkan dalam penataan media
33' 42.51" LS dengan ketinggian 113 mdpl pemujaan di situs ini. Berbagai elemen sarana
(gambar 2). Sumber data penelitian ini terdiri pemujaan di situs ini tertata sedemikian
atas data primer dan sekunder. Data primer rupa diberikan arti oleh penciptanya untuk
berupa tinggalan arkeologi di Situs Wasan ditafsirkan maksudnya dan tujuan pembuatan

Gambar 2. Peta lokasi penelitian.


(Sumber: Balai Arkeologi Denpasar)

16 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 1, April 2015 (11 - 24)


media pemujaan ini. Mengenai hasil dari setiap
penafsiran mungkin saja berbeda antara peneliti
satu dengan yang lainnya sesuai dengan
wawasan, dan pemahaman, serta pendekatan
yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Situs Wasan banyak meninggalkan
tinggalan budaya, yang berlatar belakang
Agama Hindu, yang terformulasi ke dalam
Úiwa Siddhanta. Aplikasinya dapat dilihat
melalui penggunaan media pemujaannya
berupa candi (gambar 3), kolam, lingga, Arca
Catur Mukha, Ganesa, Nandi, kambing, naga,
dan perwujudan leluhur. Tinggalan tersebut
menunjukkan adanya tradisi berlanjut, seperti Gambar 4. Lingga di Situs Wasan.
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)
pemujaan roh nenek moyang, berpadu dengan
pemujaan kepada para dewa dan manifestasi- dikenal dengan nitya pùja yang dapat berupa
Nya. abhiséka, yaitu membasahi lingga dengan
cairan berupa air kelapa, madu, air gula, susu
dan sebagainya. Pemujaan lingga dapat pula
dilakukan dengan memberi dupa, membakar
kayu wangi, lepa, dan sebagainya. Selain itu,
dapat pula dengan persembahan naiwédya,
yaitu upacara pemberian aneka makanan
kepada lingga. Setelah berakhirnya upacara,
persembahan berupa makanan dibagikan kepada
yang hadir untuk disantap bersama. Pùja lingga
dapat pula dilakukan di dalam garbhagåha
dengan meletakkan lampu dan untaian bunga
atau bunga-bunga lepas. Dalam upacara besar
selain menggunakan bunga-bunga dan lampu,
juga dipersembahkan musik dan tari-tarian,
sesuai aturan pùja (Titib 2003, 282).
Gambar 3. Struktur kaki Candi Wasan. Orang yang tidak sanggup melaksanakan
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar) tiga ritual yang ditentukan untuk mencapai
pembebasan, hendaknya membuat sebuah
Lingga di Situs Wasan adalah saila lingga Úiwalingga, dan memujanya setiap hari,
yaitu lingga yang menggunakan bahan dasar membangkitkan kesadaran Siwa dengan penuh
batu. Lingga ini terdiri atas tiga bagian dari rasa bhakti. Dengan demikian ia akan sanggup
bawah ke atas: Bràhmabhaga, Wiûóubhaga dan menyeberangi lautan keduniawian. Siwa
Úiwa/Rudrabhaga (gambar 4). Terkait dengan dipuja dalam wujud sakala atau berwujud dan
pemujaan lingga di situs ini, tidak diketahui niskala atau tanpa wujud. Siwa dipuja dalam
bagaimana cara pemujaannya, karena tidak wujud niskala karena identik dengan Brahman
terdapatnya informasi mengenai hal tersebut. Yang Agung. Beliau juga bersifat sakala
Namun menurut Titib, pemujaan lingga karena memiliki wujud yang dapat dilihat.
dilaksanakan melalui upacara pùja lingga atau

Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan 17


Nyoman Rema
Lingga adalah simbol dari aspek niskala Siwa, sedangkan yoni adalah lambang bumi. Api dan
sedangkan aspek sakala-Nya adalah Siwa bumi adalah dua hal yang saling bertentangan,
dengan berbagai atribut kedewaannya. Karena ibarat arus listrik positif dan negatif, bila
memiliki dua wujud ini, dapat dipuja dalam keduanya dipertemukan sama halnya
wujud dewa maupun dalam wujud lingga pertemuan laki-laki dan wanita, keduanya akan
(Sanjaya 2010, 50-51). mendatangkan arus energi (Titib 2003, 273).
Lingga merupakan simbol kekuatan Lingga sebagai Sadaúiwalingga yang
kemakmuran, tanda penciptaan, dan penyebab dipuja oleh Brahma, Wisnu dan dewa-dewa
konsentrasi pikiran, sehingga pikiran dengan lain, untuk menghilangkan lingkaran kelahiran
mudah dapat difokuskan dan terpusat, ketika dan kematian. Lingga juga dipuja untuk
melihat lingga. Ia adalah wujud tunggal dan menghancurkan keinginan, dan membinasakan
tanpa wujud. Hal terpenting adalah melalui kesombongan, meningkatkan kekuatan pikiran
pemujaan lingga diharapkan dapat mencapai dan menyalakan sinar wiwéka atau akal budi,
Siwa yang tanpa wujud. Siwalingga atau serta menghancurkan sejumlah besar dosa-dosa.
Sadasiwa adalah manifestasi dari cahaya Sadaúiwalingga itu juga mem-pralaya semua
kesadaran. Ia adalah sumber dari segala ciptaan milik di dalam delapan aspek, yang merupakan
baik bergerak maupun tidak bergerak, penyebab penyebab dari semua ciptaan dan yang berdiri
dan bersatunya semua dunia. Penopang atau pada astadala. Sadaúiwalingga adalah wujud
Pitham adalah Prakåti atau Parwati dan lingga transendental dan diri tertinggi yang dipuja oleh
adalah Cinmaya Purusa, cahaya sinar yang semua guru para dewa. Siapapun yang memuja
menyinari sendiri. Persatuan dari Prakåti atau Sadaúiwalingga dengan penuh keyakinan
Parwati dan Puruúa atau Úiwalingga adalah melalui mantra-mantra pujaannya akan
sebab dari dunia. Siwa menyatakan bahwa mencapai tempat kediaman tertinggi Siwa dan
orang yang paling sayang kepada-Nya adalah menikmati kebahagiaan dengan Siwa selama-
orang yang memuja-Nya melalui Úiwalingga. lamanya, dan siapapun yang mengulang-ulang
Lingga adalah penyebab dari semua dan dunia atau mendengar Sarwalingga-stawa akan
ini adalah Lingga-Màya atau Caitanya-Màya. memperoleh anak, kekayaan, kelimpahan,
Lingga adalah wujud dari semua dunia, dan Ia bhakti, bhukti dan mùkti (Sivananda 2006, 6-9,
juga adalah tempat kembalinya semua dunia 24).
dan semua mahluk. Persatuan lingga dan yoni Lingga merupakan lambang Dewa Siwa
adalah representasi persatuan abadi di antara atau lambang kehampaan tertinggi. Hal ini jelas
aspek statis dan dinamis dari Kenyataan Mutlak. diuraikan dalam suku kata suci yang terdapat
Ini menjelaskan persatuan spiritual abadi dari dalam gambar linggodbhawa. Aspek ganda
Prinsip Siwa dan Úakti, asal dari fenomena lingga itu juga nampak dalam dua nama, yakni
keragaman. Ini adalah persatuan kekal dari Úiwalingga dan Àtmalingga. Keduanya terkait
keberadaan tetap dan kekuatan dinamis atau dengan aspek penyatuan dengan kehampaan.
sakti mengalirnya semua perubahan. Persatuan Tahap Siwalingga adalah tahap Siwa memasuki
lingga dengan yoni menyimbolkan penciptaan badan manusia, sedangkan Àtmalingga
alam oleh Siwa dalam hubungan dengan Úakti- merupakan tahap jiwa bersatu dengan Siwa
Nya atau kekuatan-Nya (Sivananda 2006, 133- melalui ubun-ubun, bertepatan dengan upacara
135). Úiwaratri atau ketika pemuja memuja lingga
Lingga sebagai sarana peribadatan dihadapannya. Kedua hal tersebut merupakan
sebagaimana disinggung di atas, merupakan ciri paling penting dalam ajaran Siddhanta
kesatuan Siwa-Parwati. Aspek utama lingga (Soebadio 1985, 29). Pemujaan kepada Siwa
melambangkan api atau cahaya sebagai akan mendekatkan dirinya kepada Siwa, berbagai
manifestasi dari kekuatan dan kekuasaan, karma dalam dirinya akan terkendalikan, dan

18 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 1, April 2015 (11 - 24)


penyembah akan masuk ke Úiwa Loka. Jika persatuan suci dengan Tuhan (Soebadio 1985,
elemen halus telah terkendalikan, maka pemuja 39, 41).
akan mengalami kedekatan dengan Siwa, Aplikasi ajaran Úiwa Siddhanta, dalam
kemudian ia akan mencapai kesamaan dengan Úiwa Puraóa disebutkan bahwa pemujaan
Siwa dalam hal atribut dan kegiatan. Jika kepada Dewa Siwa melalui Úiwalingga haruslah
penyembah telah mencapai anugerah tertinggi, dimulai dari pemujaan kepada Dewa Brahma,
maka kecerdasan kosmik atau budhi akan kemudian Dewa Wisnu, maka sampailah
di bawah kendali. Dalam keadaan demikian pemujaannya kepada Siwa. Pemujaan kepada
penyembah telah sama dengan Siwa dan secara Tri Mùrti ini adalah suatu hal yang wajib dalam
perlahan akan mampu mengendalikan prakåti, ajaran Úiwa Siddhanta. Hal ini didasarkan atas
sehingga pemuja Siwa melalu Úiwalinggam alasan bahwa kehidupan di dunia ini tidak
akan mencapai kebebasan (Sanjaya 2010, 125- dapat dilepaskan dari tiga hal, yaitu kelahiran,
126). kehidupan dan kematian, merupakan tugas dari
Terkait dengan yoni, yang disebut pranala ketiga dewa tersebut. Dewa Brahma sebagai
yang dihubungkan dengan lingga. Pertama- pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara,
tama disebut Tri Puruúa: Brahma, Wisnu, dan dan Dewa Siwa sebagai pelebur dan pemberi
Siwa. Siwa disebut lingga, sedangkan Brahma kebebasan. Agar manusia tidak terikat akan
dan Wisnu disebut pranala. Ketiga dewa kelahiran, kehidupan, dan kematiannya maka
tersebut disebut Sang Hyang Lingga Pranala ia harus membebaskan dirinya dari penderitaan
yang merupakan sasaran utama seorang murid yang diakibatkan oleh hal tersebut, serta
sejati yang pantas dihormati bila seseorang berupaya untuk mencapai penyatuan kepada
ingin disucikan dari setiap bentuk kejahatan atau Siwa melalui pemujaan lingga. Diterapkannya
brahmahatya. Dalam Bahasa Sanskerta pranala ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan,
berarti saluran air. Menurut Rao, sebagaimana sebagaimana tertuang dalam inti ajarannya
dikutip Soebadio, kata nala disamakan dengan melalui pemujaan lingga, didasarkan atas alasan
saluran air yang dibuat pada kaki lingga. Pada bahwa semua mahluk termasuk manusia wajib
asitektur India istilah pranalaka diartikan membebaskan dirinya dari berbagai ikatan
sebagai saluran yang dipahat pada dasar, yaitu duniawi. Dewa Siwa tidak mempermasalahkan
yoni, yang mendasari lingga atau patung seorang memuja banyak dewa, karena semua dewa,
dewa yang didirikan di atasnya. Menurut roh manusia yang diperdewa merupakan
Zoetmulder dikutip Soebadio, pranala harus manifestasi-Nya, dan semua itu memposisikan
dipandang sebagai seluruh kaki atau dasar yang Dewa Siwa sebagai wujud tunggalnya yang
menampilkan lingga atau patung dan dilengkapi tertinggi, yang disamakan dengan suku kata suci
dengan sebuah saluran untuk menyalurkan air OÝ. Dewa Siwa-suku kata OÝ dan lingga-yoni
persembahan yang dipercikkan di atas lingga merupakan wujud niskala penyatuan tersebut,
atau patung itu. Istilah lingga-pranala ini, lalu yang selalu didambakan, dipuja sebagai
dimaksudkan seluruh konstruksi yang meliputi pengikat pikiran dan konsentrasi, sekaligus
kaki dan lingga, yakni lingga dan yoni. Berkaitan memohon berkah untuk mencapai kebebasan
dengan tiga serangkai Brahma, Wisnu, dan jiwa semasa hidup maupun setelah meninggal
Siwa, yakni Siwa disebut Lingga sedangkan dunia (Sanjaya 2010, 462-463).
Brahma dan Wisnu bersama-sama diberi nama Úiwa Siddhanta di Indonesia khususnya
Pranala. Ini berarti bahwa Brahma dan Wisnu di Bali meyakini bahwa prinsip tertinggi
dianggap sebagai dasar, yaitu yoni bagi lingga. Siwa dikenal dengan Paramaúiwa. Dunia dan
Pranala disamakan dengan tempat kelahiran segala isinya lahir dari dua prinsip abadi yang
atau tempat sesuatu timbul. Hal ini haruslah mempunyai sifat dan karakter bertentangan,
diketahui oleh orang yang ingin mencapai yaitu cétana atau prinsip kecerdasan dan acétana

Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan 19


Nyoman Rema
atau prinsip kebendaan atau non kesadaran. Dalam Úiwa Puraóa diungkapkan jika ada
Keduanya bertemu kemudian melahirkan dunia sebuah telaga, danau atau mata air di dekat
dan segala isinya, termasuk pañca mahà bhùta sebuah tempat suci maka hendaknya semua itu
atau lima zat alam yang terdiri atas tanah, air, dianggap sebagai Úiwa Gangga (Sanjaya 2010,
cahaya, angin, dan ruang (Suamba 2009, 235). 75). Úiwa Gangga ini terkait dengan ceritera
Dalam mencapai siddhanta diuraikan adanya turunnya Dewi Gangga dari Surga untuk tujuan
Sang Hyang Basma atau abu suci merupakan penyucian, yang ditopang oleh rambutnya
Sang Hyang Nitya atau keabadian, dan juga Dewa Siwa, agar tidak menghancurkan dunia
Sang Hyang Kaiwalya atau isolasi yang (Titib 2003, 258).
sempurna. Sang Hyang Basma merupakan Arca Catur Mukha merupakan salah satu
penyebab pembebasan dan bahkan merupakan temuan di kompleks Candi Wasan, merupakan
pembebasan itu sendiri. Ia juga disebut prakåti perwujudan Dewa Brahma, memiliki perbedaan
dan puruúa, kedua Dhat Utama dalam alam pengarcaan dengan arca Dewa Brahma di
raya yang dimiliki bersama oleh Brahma, tempat lain, karena terkait dengan konsepsi
Wisnu, Iswara dan Bayu. Ini juga dinamakan pengarcaan, dan perbedaan fungsi (gambar 6).
langit yang cerah, yaitu suatu cara lain untuk
melukiskan nampaknya pembebasan. Ia juga
dinamakan Jiwa Tunggal atau dasar jiwa
manusia yang telah pergi, jiwa individual dan
juga “perkumpulan para dewa”, jiwa para
Dewa, Jiwa Dunia. Ia sama dengan suku kata
OÝ yang suci yang merupakan Dewa Siwa itu
sendiri. Hal ini jelas dapat dikaitkan dengan
pembebasan sempurna yang dicapai oleh jiwa
(Soebadio 1985, 39).
Terkait dengan temuan kolam di sebelah
selatan candi, di Situs Wasan (gambar 5), ini
didasarkan atas alasan bahwa suatu bangunan
suci letaknya harus berdekatan dengan air Gambar 6. Arca Catur Mukha di Situs Wasan yakni di
atau tirtha, sebagai pertanda kesucian suatu Pura Puseh Wasan Watu Nginte.
tempat sebagai pusat pemujaan (Kramrisch (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)
dan Soekmono dikutip Astawa 2003, 32). Arca Catur Mukha di Bali tidak semata-mata
hanya pemujaan terhadap dewa, tetapi juga
merupakan perpaduan antara raja atau tokoh
tertentu yang diidentifikasi sebagai penjelmaan
dewa terkait dengan konsep déwaràja. Adanya
penyimpangan dalam penggunaan atribut,
bukan semata-mata subjektivitas seniman
namun lebih ditentukan oleh adanya perpaduan
konsepsi budaya khususnya agama, yaitu
pemujaan Tuhan yang disimbolkan dengan
arca dewa dan pemujaan terhadap leluhur.
Sehingga seorang tokoh wafat dibuatkan arca
dewa atau perwujudan dewa, hanya atributnya
Gambar 5. Temuan kolam di Situs Wasan. tidak persis sama (Geria 2001, 29). Hal ini
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar) merupakan perwujudan dan sekaligus sebagai

20 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 1, April 2015 (11 - 24)


simbol seorang raja yang telah wafat, rohnya dua buah arca naga. Arca binatang tersebut di
telah bersatu dengan dewa yang menjelma ke samping sebagai simbol keagamaan juga sebagai
dalam dirinya (Soekmono 1974, 14). penghias bangunan (Badra 2003, 41-42). Arca
Adanya penyimpangan pengarcaan Catur Nandi dalam fungsinya sebagai wahana Siwa
Mukha di Situs Wasan terhadap ketentuan digambarkan dalam wujud antropomorfis,
pengarcaan India tersebut karena didasari oleh yakni bentuk manusia berkepala sapi (gambar
konsep pengarcaan yang berbeda. Arca dewa 7). Pada perkembangan selanjutnya, arca lembu
dengan atribut yang menyimpang itu adalah ditampilkan sepenuhnya sebagai binatang.
arca perwujudan tokoh. Simbol bulatan yang Sebagai wahana Siwa, lembu biasanya
dibawa oleh arca dewa tersebut berhubungan ditampilkan terpisah dari Siwa (Ardika et al.
dengan pembebasan jiwa. Kuncup teratai 2013, 240). Sementara arca binatang lembu,
berkaitan dengan tahap-tahap yang harus dalam kaitannya dengan dunia kedewataan,
dijalani oleh roh seseorang dalam usahanya sering kali bukanlah binatang biasa, tetapi
mencapai kebahagiaan rohani. Oleh karena merupakan kendaraan dewa, sehingga kehadiran
itu setiap arca yang membawa bulatan dalam arca ini seringkali dapat dijadikan petunjuk
artian atribut menyimpang dari biasanya mengenai dewa utama yang hadir bersamanya
disebut arca perwujudan (Mantra dikutip Bagus (Ardika et al. 2013, 238-239). Terkait dengan
2009, 101). Sunarya mengungkapkan bahwa arca binatang yang ada di Situs Wasan, seperti
terdapatnya arca Catur Mukha di Situs Wasan, Nandi dan kambing tidaklah dikendarai
yakni di Pura Puseh Wasan Watu Nginte, langsung oleh dewa, tetapi diletakkan terpisah.
sebagai bukti berkembangnya Sekte Brahma di Posisi arca ini terdapat pada bagian kanan dan
situs ini pada jaman Bali Kuno (Sunarya 2003, kiri pintu masuk candi, sehingga dapat diduga,
62). Dewa Brahma sebagai pencipta sebagai bahwa arca ini di samping sebagai wahana dewa
kultus déwaràja merupakan manifestasi Siwa, juga sebagai penjaga. Sesuai keterangan di atas,
dan penyatuannya dipandang juga sebagai arca binatang yang ditampilkan dapat dijadikan
penyatuan dengan Siwa sendiri. Demikian pula petunjuk Dewa Utama yang dipuja, maka, kalau
dengan arca perwujudan merupakan simbol di situs ini dapat kemukakan bahwa pemujaan
penyatuan, kedewaan dari tokoh masyarakat dipersembahkan kepada Dewa Tri Mùrti,
Wasan yang telah wafat serta telah bersatu dengan Dewa Siwa sebagai Dewa Tertinggi.
dengan dewa pujaannya, yakni Siwa. Arca binatang pada masa Hindu di
Tinggalan lain yang terdapat di Jawa Tengah berfungsi sebagai wahana dewa-
Situs Wasan adalah arca Ganesa, namun dewa seperti ditemukan di Dieng, berupa
posisinya yang insitu tidak diketahui. Jika arca setengah binatang dan manusia. Pada
diperbandingkan dengan candi di Jawa Timur,
arca Ganesa ini biasanya distanakan di relung
belakang atau timur sebuah bangunan candi.
Di Bali, penempatan arca Ganesa seperti itu
dapat diketahui pada miniatur candi yang
ditemukan di Pura Desa Dapdapan, Pura Puseh
Desa Abianbase, Gianyar (Surasmi dan Redig,
dikutip Astawa 2003, 29). Arca Ganesa ini jika
dikaitkan dengan Dewa Utama yang dipuja,
tentu dapat dipastikan bahwa Dewa Siwalah
sebagai Dewa Utamanya.
Pada Situs Wasan terdapat beberapa arca
Gambar 7. Arca Nandi di Situs Wasan.
binatang, yaitu: Arca Nandi, arca kambing, dan (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)

Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan 21


Nyoman Rema
perkembangan selanjutnya di Jawa Tengah, Siwa sebagai Dewa Tertinggi (Badra 2003, 41,
arca binatang diwujudkan berdiri sendiri seperti 43, 46).
arca lembu di Candi Prambanan. Arca sejenis Berdasarkan pendapat di atas, terkait
ada juga berbentuk relief, seperti di Candi dengan temuan arca di Situs Wasan, seperti
Mendut di Jawa Tengah, Candi Penataran arca binatang Nandi yang pada bagian lapiknya
dan Surawana di Jawa Timur. Arca binatang terdapat pahatan tengkorak, mengindikasikan
seperti Nandi, kambing dan naga di Candi adanya unsur Bhairawa, simbolis kekuatan
Wasan sebagai arca penjaga atau dwarapàla. dahsyat sebagai penolak bala bagi yang hendak
Lembu terkait dengan Dewa Siwa, yakni memasuki ruang candi (gambar 8). Maulana
sebagai wahana-Nya, kambing sebagai wahana menggambarkan bahwa Bhairawa diasosiasikan
Dewa Agni, naga, yakni tiga naga; Taksaka, dengan kekuatan dahsyat yang menggemparkan
Basuki dan Anantaboga sebagai penjelmaan yang diidentikkan dengan kekuatan yang dimiliki
Dewa Tri Mùrti. Dewa Brahma menjadi Naga lingga sebagai perwujudan Siwa Mahadewa.
Anantaboga, kemudian masuk ke dalam tanah, Lingga yang melambangkan kekuatan panas
Dewa Wisnu menjadi Naga Basuki, kemudian umumnya digambarkan sebagai kilatan api
terjun ke sungai, dan Dewa Siwa menjadi yang menjulang tinggi dan menakutkan sama
Naga Taksaka, kemudian terbang ke angkasa dahsyatnya dengan perwujudan Bhairawa yang
dan diibaratkan sebagai angin sehingga sampai juga tinggi besar dengan kekuatan dahsyat yang
sekarang Naga Taksaka dilukiskan sebagai menakutkan (Maulana 1993, 26).
naga yang bersayap. Ketiga Dewa ini menjelma
menjadi naga, karena dunia mengalami bencana
seusai diciptakan oleh Dewi Uma dan Dewa
Siwa lengkap dengan isinya (Badra 2003, 41,
44-46). Sesuai dengan pendapat di atas, ketiga
naga juga mengacu kepada pemujaan Tri Mùrti.
Arca-arca binatang sejenis juga
ditemukan di Pura Hyang Tiba, Pura Canggi dan
sebagainya yang serupa dengan arca binatang
di Candi Wasan, namun memiliki ukuran yang
berbeda. Pada bagian lapik arca binatang di
Pura Hyang Tiba terdapat pahatan angka tahun
Saka: 1258 atau 1336 Masehi. Angka tahun Gambar 8. Relief tengkorak pada lapik arca Nandi.
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)
ini cocok dengan kronogram yang terdapat
pada bagian ambang pintu gapura candi Pura Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bagi
Hyang Tiba, yakni; bulan, mata, busur, dan kita mengenai aplikasi ajaran Úiwa Siddhanta
gajah. Bulan bernilai satu, mata bernilai dua, di Komplek Candi Wasan. Hal tersebut dapat
busur dan anak panahnya bernilai lima, dan dilihat dari penggunaan lingga-yoni sebagai
gajah bernilai delapan. Kronogram ini sebagai sarana pemujaan yang diduga distanakan di
bukti bahwa pura ini dibuat pada abad ke-14 dalam Candi Wasan sebagai salah satu simbol
Masehi. Jika dikaitkan dengan Candi Wasan Dewa Tri Mùrti dengan Dewa Siwa sebagai
kiranya sejaman dengan pura ini, berdasarkan Dewa Tertinggi. Sebagaimana yang dinyatakan
tinggalannya menunjukkan adanya sekte Siwa, oleh Goris di atas, bahwa Úiwa Siddhanta
Waisnawa, Brahma dan Agni, serta kultus di Indonesia khususnya di Bali merupakan
déwaràja seperti arca leluhur dan Catur Mukha konglomerasi dari berbagai mazhab, dan ini
yang terformulasi ke dalam Úiwa Siddhanta dapat dibuktikan dengan sembilan sekte yang
dengan penekanan pemujaan kepada Dewa ada di Bali, yakni Siwa Siddhanta, Pasupata,

22 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 1, April 2015 (11 - 24)


Bhairawa, Waisnawa, Boddha atau Sogata, untuk mencapai ketidak-terikatan inilah yang
Brahmana/Resi, dan Ganapatya, serta Saura dan diinginkan dan diharapkan terjadi untuk
Bhairawa tergabung ke dalam Úiwa Siddhanta masyarakat Wasan, melalui penataan media
(Goris 1974, 11-12). Khusus mengenai Úiwa pemujaannya, dan dilatih secara terus menerus
Siddhanta yang terdapat di Kompleks Candi sampai akhir hayatnya, sehingga kebebasan
Wasan, terdiri atas sekte Pasupata, Brahma, batin itu tidak hanya dicapai setelah meninggal
Ganapatya, Agni, Wisnu, dan Bhairawa yang tetapi sudah dicapai semasa hidupnya.
semuanya itu dirangkai dalam sebuah tatanan
tempat suci, yang mencerminkan keberadaan DAFTAR PUSTAKA
sekte Úiwa Siddhanta, ditambah lagi dengan Abidin, Zainal. 2009. Filsafat Manusia: Memahami
arca perwujudan leluhur, tokoh sebagai wujud Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
kultus déwaràja yang diarcakan dalam wujud
Ambarawati, Ayu. 2003. “Fungsi dan Peran Arca
kedewaannya, yang disebut Déwa Pitra, sebagai
Dewa dan Arca Perwujudan di Kompleks
simbolis bahwa telah terjadinya penyatuan Candi Wasan.” Forum Arkeologi, no. 1: 49-
antara pemuja dengan dewa pujaannya. 56.
Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A.A. Bagus
KESIMPULAN Wirawan. 2013. Sejarah Bali. Denpasar:
Aplikasi ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Udayana University Press.
Wasan dapat dilihat dari berbagai tinggalan Astawa, A.A. Gede Oka. 2003. “Tinjauan Arsitektur
budaya yang ada di Komplek Situs Wasan. Candi Wasan, Desa Canggi, Kecamatan
Tinggalan tersebut antara lain berupa candi, Sukawati, Kabupaten Gianyar.” Forum
kolam, lingga, Arca Ganesa, Arca Nandi, Arkeologi, no. 1: 25-40.
Astawa, A.A. Gede Oka, I Gusti Made Suarbhawa,
arca kambing, arca kultus dewaràja seperti
dan A.A. Gde Bagus. 2007. “Masa Hindu-
arca Catur Mukha, dan arca perwujudan.
Buddha.” Dalam Sejarah Gianyar; dari
Berdasarkan tinggalan budaya tersebut dapat Jaman Prasejarah sampai Masa Baru-
diketahui adanya pemujaan kepada Dewa Modern, disunting oleh I Made Sutaba, A.A.
Tri Mùrti, yakni Brahma, Wisnu dan Siwa, Oka Astawa, dan A.A. Bagus Wirawan,
dengan Dewa Siwa sebagai Dewa Tertinggi. 83-188. Gianyar: Badan Penelitian dan
Lingga sebagai simbol penghormatan kepada Pengembangan Daerah Gianyar.
Tri Mùrti sebagai manifestasi Tuhan sebagai Badra, I Wayan. 2003. “Arca Binatang di Kompleks
pencipta, pemelihara dan pelebur atau pemberi Candi Wasan.” Forum Arkeologi, no.1: 41-
pencerahan dan pembebasan batin yang 48.
melampaui kàla atau ikatan waktu. Pemujaan ini Bagus, A.A. Gde. 2009. “Candi Brahma di Situs
Wasan Gianyar.” Forum Arkeologi, no. 1: 88-
terkait dengan siklus kehidupan manusia yang
104.
terdiri atas kelahiran, kehidupan dan lepasnya
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1994. Pura
Sang Jiwa dari tubuh, kemudian menyatu pada Gunung Panulisan. Jakarta: Departemen
kekosongan, yakni kembali ke asalnya yaitu Pendidikan dan Kebudayaan.
Tuhan Yang Tunggal. Tahapan Brahmabhaga Geria, I Made. 2001. “Konsep Pengarcaan Catur
dan Wisnubhaga dipandang sebagai pranala Muka di Bali: Kajian Arca Catur Muka di
atau saluran dalam rangkaian pencapaian Siwa Kabupaten Gianyar.” Forum Arkeologi, no.
atau Rudrabhaga. Ketiga wujud ini merupakan 1: 26-33.
manifestasi Tuhan yang mengatur sistem alam, ____________. 2003. “Lingkungan Sosial Budaya
yang terjadi terus-menerus, dan untuk memutus Masyarakat di Sekitar Candi Wasan pada
sistem ini hanya dapat dilakukan dengan Masa Lampau.” Forum Arkeologi, no. 1:
1-10.
mencerahkan jiwa akan hakikat sang Jiwa dan
membebaskan diri dari keterikatan. Keinginan

Aplikasi Ajaran Úiwa Siddhanta di Situs Wasan 23


Nyoman Rema
Goris, R. 1974. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta: Bharata. Suamba, I. B. Putu. 2009. Siwa Buddha di
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi Indonesia: Ajaran dan Perkembangannya.
I. Jakarta: Universitas Indonesia. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama
Maulana, Ratnaesih. 1993. Siva dalam Berbagai dan Kebudayaan, Kerjasama dengan Penerbit
Wujud: Suatu Analisis Ikonografi di Jawa Widya Dharma.
Masa Hindu-Budha. Depok: Fakultas Sastra Suantika, I Wayan. 2003. “Kajian Tekno-arkeologi
Universitas Indonesia. terhadap Kompleks Candi Wasan.” Forum
Sanjaya, Gede Oka. 2010. Siva Purana. Surabaya: Arkeologi, no. 1: 65-74.
Paramita. Suarbhawa, I Gusti Made. 2003. “Wasan dan
Sivananda, Sri Swami. 2006. Tuhan Siva dan Sekitarnya dalam Telaah Epigrafis.” Forum
Pemujaannya. Diterjemahkan oleh I Ketut Arkeologi, no. 1: 11-24.
Madra. Surabaya: Paramita. Sunarya, I Nyoman. 2003. “Latar Belakang
Soebadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta: Keagamaan Situs Wasan.” Forum Arkeologi,
Djambatan. no. 1: 57-63.
Soekmono. 1974. “Candi Fungsi dan Pengertiannya.” Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbol-Simbol
Disertasi, Bidang Ilmu Sastra, Universitas dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Indonesia.

24 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 1, April 2015 (11 - 24)

Anda mungkin juga menyukai