Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia meliputi berbagai bidang, terutama
bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial, dan bidang kebudayaan. Pengaruh bidang
politik terutama tampak timbulnya golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu kaum
pedagang dengan hasil bumi yang khas Indonesia. Pengaruh bidang sosial sangat menonjol
yaitu perbedaan masyarakat menjadi 4 golongan (catur varna) yaitu brahmana, ksatriya,
vaisya, dan sudra (Hasan, 1995:336-347).
Dalam bidang kebudayaan, masuknya pengaruh Hindu-Budha banyak memberikan
perkembangan terhadap kebudayaan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bertambah kayanya
kebudayaan Indonesia, seperti dalam hal seni bangunan atau arsitektur, seni patung, seni ukir,
dan seni sastra atau tulisan. Bidang ini dapat diamatai melalui benda-benda arkeologi.
Benda-benda peninggalan pengaruh Hindu-Budha yang memberi petunjuk pengaruh
di bidang politik yaitu ditemukannya prasasti-prasati, seperti prasasti Yupa, Pasir Kolengak,
Tugu, Kota Kapur, Kedukan Bukit, Tuk Mas, Dinaya, Canggal, dan lain-lain. Prasati-prasasti
tersebut menunjukan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, Tarumanegara,
Sriwijaya, Mataram Kuno, dan Majapahit. Prasasti ditulis dengan menggunakan bahasa
Sansekerta, Melayu Kuna, dengan menggunakan huruf Pallawa. Hal ini menunjukkan
pengaruh India di bidang seni sastra/aksara (Marwati & Notosusanto, 1993: 73-76).
Pengaruh Hindu-Budha di bidang seni bangunan atau arsitektur dapat dilihat dari
bangunan kuna yang berupa candi, baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Candi adalah
bangunan kuna yang dibuat dari batu dan ada pula yang dibuat dari batu bata, yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan, tempat penyimpanan abu jenazah raja-raja atau para pendeta
Hindu-Budha, kira-kira abad ke-4 Masehi sampai abad ke-15 Masehi. Candi Induk adalah
candi besar yang dikelilingi sejumlah candi kecil. Kebalikannya adalah candi perwara, yaitu
candi kecil yang mengelilingi candi induk. Percandian berarti daerah tempat candi-candi
(Hasan, 1995:346-350).
Sumber yang lain memaparkan bahwa di kalangan masyarakat luas khususnya di
Pulau Jawa, bangunan peninggalan sejarah dan purbakala dari zaman Hindu-Budha
dinamakan candi. Perkataan candi berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi
Maut, yaitu Candika. Di luar Jawa, yaitu Sumatra istilah candi dekenal pula. Di Lampung ada
candi Jepara, di gugusan Muara Takus ada Candi Bongsu. Di Kalimantan Selatan dijumpai
pula istilah candi, yaitu candi Agung dekat Amuntai. Di Jawa Timur masyarakat setempat
lebih lazim menyebut cungkup daripada candi, sedangkan di Sumatera Utara istilah yang
layak adalah Biaro. Di luar Indonesia, khususnya daratan Asia Tenggara seperti Thailand,
Kamboja, Laos, dan Vietnam sama sekali tidak dikenal istilah candi untuk menamai
bangunan-bangunan purbakala (Moertjipto & Prasetya, 1994:28-29).
Seperti halnya di India, candi-candi di Indonesia berfungsi untuk pemujaan Dewa atau
manifestasinya. Di Jawa Timur fungsi candi sebagai tempat untuk memuja dewa, juga untuk

1
memuja roh suci raja yang sudah diyakini menyatu dengan Instana Dewata, yakni dewa
pujaan bagi sang raja. Yang dipendam dalam sumuran candi adalah pependeman atau
pedagingan yang terbuat dari beberapa jenis logam dan sesaji tertentu atau puspa sebagai
media istana suci dewata, manifestasinya, atau rohnya.
Sebelum masuknya pengaruh seni bangunan candi ke Indonesia, bangsa Indonesia
telah mengenal tempat pemujaan kepada arwah leluhur atau roh nenek moyang, bangunan
tersebut dikenal dengan sebutan punden berundak-undak yang mirip pula dengan bangunan
candi. Melihat bentuknya, candi terdiri dari tiga bagian yaitu kaki candi yang melambangkan
Bhurloka yaitu bumi, badan candi yang melambangkan Bhuvahloka yaitu langit, dan atap
candi melambangkan Syarloka yaitu surga. (Arif dan Sukatno, 2010)
Sebuah bangunan candi utama atau induk biasanya dikelilingi oleh candi-candi
parivara atau pengiring. Dalam sebuah bangunan candi terdapat ruang utama yang disebut
Dhewagrha sebagai tempat arca atau patung dewa atau juga sebuah lingga yaitu lambang
dewa siwa sebagai penguasa jagat raya.
Bentuk pengaruh India yang dapat dilacak melalui arkeologi yang lain, yaitu seni
patung dan seni ukir. Seni patung pada zaman pengaruh India di Indonesia dibedakan dua
bagian, yaitu patung dewa-dewa agama Hindu dan patung dewa-dewa agama Budha. Patung
dewa-dewa dalam agama Hindu terdiri dari patung Siwa, patung Wisnu, dan patung Brahma.
Patung Siwa terdiri dari empat wujud yang memiliki ciri khas masing-masing, kendaraannya
adalah lembu nandi. Patung Wisnu cirinya bertangan empat dengan atribut-atributnya,
kendaraannya adalah garuda. Patung Brahma ciri-cirinya berkepala empat, bertangan empat,
kendaraannya adaah angsa. (Hasan, 1995:355)
Patung-patung dewa dalam agama Budha terdiri dari Dhayani Budha, Manusia Budha
patungnya sama saja. Patung Budha umumnya sama, sangat sederhana tanpa hiasan, hanya
memakai jubah, rambutnya keriting. Di atas kepala ada tonjolan seperti sanggul yang disebut
Unnisa, dan pada keningnya ada semacam jerawat yang disebut Urna. Dewa-dewa dalam
patung Budha hanya dapat diketahui dari sikap tangannya yang disebut Mudra (Hasan,
1995:356-257).
Selain seni patung, seni ukir juga banyak terlihat pada dinding-dinding candi. Yang
menjadi pola hiasan ialah makhluk-makhluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan sesuai dengan
suasana Gunung Mahameru. Banyak dipakai pola hiasan bunga teratai sebagai pola. Hiasan-
hiasan pada dinding candi disesuaikan juga dengan keadaan masyarakat Indonesia seperti ada
yang membajak sawah dengan kerbau, relief Punakawan (Hasan, 1995:357-358).
Komponen candi biasanya terdapat lingga-yoni yang terbuat dari batu andesit.
Komponen tersebut biasanya terletak dalam bilik suatu bangunan candi Hindu yang
melambnagkan kesuburan. Lingga merupakan penggambaran kelamin laki-laki, dan yoni
dianggap penggambaran alat kelamin wanita (Hasan, 1995:359).
Salah satu potensi sosial budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Daerah Tingkat II
Wonosobo dan belum dikembangkan secara optimal adalah rasa bangga terhadap daerahnya
yang didasarkan atas jati diri daerah itu. Rasa bangga ini jika dikembangkan pada saatnya
dapat membangkitkan motivasi dalam mendorong dan mendukung, perlunya penelitian dan
penggalian bukti-bukti sejarah untuk mengetahui dengan tepat jati diri daerah Wonosobo,
sekaligus dapat digunakan sebagai dokumen sejarah daerah itu.

2
Temuan tinggalan masa klasik di Kabupaten Wonisobo ini mulai diketahui sejak tahun
1990-an. Dari laporan para petani dan pemerintah desa yang menemukan tersebut akhirnya
dilaporkan kepada Dinas Kebudayaan bekerjasama dengan Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah untuk melakukan penelitian terhadap penemuan tersebut.
Hal ini juga terbukti dengan ditemukannya tinggalan benda-benda dari masa klasik
(Hindu-Budha) di Kabupaten Wonosobo sekitar abad VII-IX, terutama di sekitar Kecamatan
Kejajar (Desa Dieng), Kecamatan Kertek (Desa Bojasari, Desa Bejiarum, Desa Reco,
Kelurahan Wringianom), Kecamatan Wonosobo (Desa Wonolelo), Kecamatan Mojotengah
(Dero Ndhuwur) dan Kecamatan Selomerto (Desa Tumenggungan, Kelurahan Selomerto).
Beberapa tempat itu terbukti merupakan sumber penemuan situs-situs peninggalan
kebudayaan masa klasik (Hindu-Budha). Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang
terletak di kaki Pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa
Tengah. Kawasan Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut,
memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800 m.
Benda-benda peninggalan masa klasik yang ada di daerah Wonosobo pada umumnya
berasal dari sekitar abad ke VII-IX masehi (Pemda Wonosobo 1994-1995). Benda cagar
budaya di antaranya berupa artefak seperti yoni, lingga, arca, batu candi ditemukan di
wilayah Kabupaten Wonosobo. Tidak hanya peninggalan Kebudayaan Budha yang
dibuktikan dengan ditemukannya situs Candi Bogang di Selomerto.
Sementara tinggalan kebudayaan dari masa arhkaik di Wonosobo, merupakan warisan
budaya yang menyatu dengan hasil budaya masa berkembangnya Hindu-Budha. Hal ini
antara lain ditemukannya menhir, teras berundak, susunan batu, lumping batu dari masa
arhkaik bersama-sama yoni dan arca-arca yang menggambarkan panteon Hindu. (Arif dan
Sukatno, 2010)
Peninggalan masa klasik di Kabupaten Wonosobo ada keterkaitannya dengan budaya
arhkaik di daerah sekitarnya. Perlu diketahui bahwa akulturasi budaya tidak hanya terjadi di
Kabupatan Wonosobo, tetapi juga terjadi di Jawa pada umumnya. Tinggalan megalitik di
situs Linggasari (Pekalongan) merupakan awal dari adanya embrio bangunan Hindu-Budha
yang tumbuh dan berkembang secara subur di Kabupaten Wonosobo. Di situs Linggasari di
temukan susunan batu kali besar dan kecil yang berciri megalitik yang memiliki tiga bagian
dalam kehidupan agama Hindu-Budha, yaitu kamadhatu, rupadhatu, dan arupa dhatu.
Bahkan temuan yoni di Linggasari juga menunjukkan adanya keterpaduan antara
tradisi megalitik dan Hindu selain itu juga ditemukan sebuah yoni yang di pahatkan dengan
kelamin perempuan. Kelamin perempuan dalam tradisi megalitik merupakan tubuh manusia
yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Setelah budaya megalitik menyebar ke daerah
perbukitan di Wonosobo, gejala percampuran masih nyata, baik dengan hasil budaya agama
Hindu maupun Budha.
Umur budaya arhkaik yang dominan dan tersebar di wilayah Wonosobo adalah
berbagai jenis sarana pemujaan megalitik dan kubur batu dengan mempergunakan batu gong
sebagai penutup. Budaya dari masa arhkaik, baik yang berdiri sendiri maupun yang sudah
membaur dengan budaya Hindu-Budha di dominasi oleh tradisi megalitik. Temuan-temuan
tersebut antara lain berupa menhir atau biasa disebut dengan batu tegak, anda budha, teras

3
berundak, susunan batu, lumpang batu, batu gong, batu kasur, batu kendang, batu berhias,
batu tenong, maupun teras batu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik
rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah asal mula penamaan Kabupaten Wonosobo.
2. Menjelaskan benda-benda peninggalan masa klasik (Hindu-Budha) sekitar abad VII
sampai IX di sebagian wilayah Kabupaten Wonosobo.
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang masuk dan berkembangnya Hindu-Budha di Wonosobo.
Penulisan ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan benda-benda peninggalan masa klasik (Hindu-Budha) sekitar abad VII
sampai IX di sebagian wilayah Kabupaten Wonosobo.
2. Menjelaskan asal mula penamaan Kabupaten Wonosobo.
3.

4
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Kebudayaan


Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhayah ialah bentuk jamak dari
buddhi yang berarti budi atau akal.
Secara umum definisi kebudayaan memberikan pengertian bahwa kebudayaan itu
meliputi hasil usaha manusia dalam mempertahankan dan mengembangkan hidupnya.
Kebudayaan sebagai hasil usaha manusia sesuai dengan perkembangan cara berfikir
manusia dalam situasi dan lingkungan yang berkembang dan berbeda-beda, kebudayaan
itupun ikut pula berkembang dalam aneka ragam. Kebudayaan merupakan salah satu
kekayaan dan ciri suatu bangsa atau suatu bangsa yang pada saat-saat tertentu merupakan
suatu kebanggaan sendiri, maka pada hakekatnya semua bangsa di dunia ini berusaha
menghindari musnahnya kebudayaan hasil yang mereka miliki dari nenek moyang mereka.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas dapat dirinci sebagai berikut :
1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia.
Karena itu meliputi :
a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia,
misalnya : alat-alat perlengkapan hidup.
b. Kebudayaan non material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat
dan diraba, misalnya : religi, bahasa, ilmu pengetahuan.
2. Bahwa kebudayaan secara generatif (biologis) melainkan hanya mungkin diperoleh
dengan cara belajar.
3. Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyaraat
akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa
kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat
mempertahankan kehidupannya.
4. Jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia dan hampir semua tindakan manusia
adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu dibiasakan dengan cara belajar, misalnya
tindakan atas dasar naluri (instink), gerak refleks (Widagdho, 2010: 21-22).
Budaya adalah keseluruhan warisan sosial yang dapat dipandang sebagai hasil kerja
yang tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya terdiri dari kebendaan, kemahiran teknik,
fikiran dan gagasan, kebiasaan dan nilai-nilai tertentu, organisasi sosial tertentu dan
sebagainya (Pringgodigdo, 1973).
Sejarah adalah diciptakan oleh manusia baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam
kehidupan sosial (Hasan, 1911:13).
Betapapun berubahnya zaman, kebudayaan dan identitas orang Jawa yang dasarlah
tidak banyak mengalami perubahan, mereka sangat sadar dan bangga dengan komunitas
kebudayaan mereka (Susanti, 2001:47). Hal ini karena demi melestarikan kebudayaan yang
sifatnya turun temurun sekaligus melestarikan kebudayaan warisan leluhur.
5
Kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang
disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan yang lebih baik (Daeng, 2000:45).
Kebudayaan berpedoman pada perubahan kebudayaan yang mengacu pada unsur-
unsur kebudayaan atau cultural universal yang terdiri dari 7 pokok menurut C. Kluckhohn,
yaitu :
a. Bahasa
Sistem perlambangan manusia secara lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi
antara individu satu dengan lainnya. Peran suatu etnografi adalah memberi suatu
deskripsi ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang
bersangkutan, yang disertai pula variasi-variasi dari bahasa itu (Koentjaraningrat,
1985:339). Jadi dapat dijelaskan bahwa bahasa merupakan suatu alat komunikasi
yang terpenting dalam suatu kehidupan, karena bahasa menjadi kebudayaan dan ciri
khas suatu bangsa.
b. Sistem Pengetahuan
Cara- cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari
suku-bangsa dalam karangan etnografi, cukup membatasi diri terhadap teknologi yang
tradisional, yaitu teknoligi dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara
terbatas yang dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1985:341). Manusia tidak akan pernah lepas dari sistem
pengetahuan sebab dengan sistem pengetahuan manusia dapat bertahan hidup, serta
menghasilkan suatu alat untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Organisasi Sosial
Dalam kehidupan masyarakat diorganisasikan atau diatur oleh adat istiadat dan
aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungannya, kesatuan sosial
yang paling dekat dan mesra adalah kasatuan kekerabatan, yaitu keluarga inti yang
dekat dengan kaum kerabat yang lain (Koentjaraningrat, 1985:366). Organisasi sosial
tidak lepas dari adanya nilai dan norma dalam masyarakat. Oleh karenanya, untuk
mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang tegas yang
disebut norma sosial.
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem timbul karena manusia mampu menciptakan barang-barang dan sesuatu
yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia dengan
makhluk hidup yang lain (Koentjaraningrat, 1985:348). Mesin sebagai alat penggerak
pertumbuhan melalui industri. Jika manusia merenungkan masalah teknologi,
menginventarisasi yang dimiliki, memperkirakan apa yang ingin dicapai dan
bagaimana caranya memperoleh teknologi yang diperlukan itu, serta mengamati
betapa besar dampaknya terhadap transformasi budaya.
e. Sistem Mata Pencaharian
Suatu sistem mata pencaharian tradisional yang mengarah terhadap sistem
ekonomi, hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja terutama
dalam rangka perhatian mereka terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara
holistik (Koentjaraningrat, 1985:361-362). Mata pencaharian atau pekerjaan
merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa pekerjaan akan
mengalami kesulitan dalam hidup. Manusia memiliki akal dan kebijaksanaan, dengan
kebijaksanaan dapat mengembangkan kemampuan, memperbaiki, membuat sesuatu
atau memilih pekerjaan yang diinginkan.
f. Sistem Religi

6
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan
keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar
dirinya.
Unsur-unsur khusus dalam rangka sistem religi dibagi menjadi 2 pokok yaitu
(1) sistem religi dan (2) sistem ilmu gaib. Adapun sistem kepercayaan dan segala
gagasan, pelajaran aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi),
tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai
kesusastraan suci.
Teori religi adalah berdasarkan keyakinan akan adanya kekuatan gaib dalam
hal-hal luar biasa dan yang menjadi sebab timbulnya gejala-gejala yang tak dapat
dilakukan manusia biasa.
Bagian yang menarik dalam peninggalan benda-benda purbakala terdapat
tempat-tempat ritual keagamaan seperti candi, batu-batu megalitikum yang
melambangkan sebagai tempat pelaksanaan semedi. Keadaan batu-batu megalitikum
dari masa prasejarah sampai masa Hindu dan Islam ssat ini masih tetap dilangsungkan
upacara sesaji, hal ini menandakan bahwa dalam banyak agama upacara itu tetap
dilaksanakan karena latar belakang keyakinan.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek religi
yang meliputi :
1) Tempat upacara keagamaan dilakukan
2) Saat-saat upacara keagamaan dijalankan
3) Benda-benda dan alat upacara
4) Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara
Dengan pendekatan antropologis, yaitu memahami nilai-nilai budaya yan ada
pada situs purbakala do wilayah Wonosobo serta pengaruhnya terhadap masyarakat.
Sistem religi dalam suatu kebudayaan mempunyai ciri-ciri untuk sedapat
mungkin memelihara emosi keagamaan diantara pengikutnya. Emosi keagamaan
merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama tiga unsur lain, yaitu sistem
keyakinan, sistem upacara keagamaan, suatu umat yang menganut religi itu
(Koentjaranigrat, 1985:377). Dalam suatu sistem keyakinan religi berwujud pikiran
dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang
sifat-sifat tuhan, wujud dari alam gaib, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh
jahat, hantu, dan makhluk halus lainnya.
g. Kesenian
Kesenian merupakan wadah manusia dalam menuangkan suatu kreativitas
yang ada dalam piiran manusia sehingga dapat menghasilkan karya yang melalui
proses pertimbangan artistik sehingga dapat dinilai oleh orang lain.
2.2 Folklore
Folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda,
dalam bentuk lisan dan contoh disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu Danandjaja
menyatakan tentang ciri folklore.
Folklore mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Folklor penyebaran dan pewarisannya secara lisan, disiarkan melalui tutur kata dari
mulut ke mulut.

7
2. Folklor bersifat tradisional, yaitu disiarkan dalam bentuk tetap atau standar dalam
waktu yang cukup lama.
3. Folklor mempunyai bentuk yang beraneka macam karena disebarkan secara lisan.
4. Folklor berbentuk berumus atau berpola, biasanya memakai kata atau kalimat klise
dan ungkapan tradisional.
5. Folklor bersifat pralogis, ialah logikanya tidak sesuai dengan logika umum.
6. Folklor menjadi milik bersama karena penciptanya tidak diketahui lagi sehingga
semua anggota masyarakat ikut memiliki.
7. Folklor bersifat polos dan lugu, walau ada folklor yang merupakan proyeksi emosi
manusia yang paling jujur.
8. Folklor dapat saling mempengaruhi.
Selanjutnya Danandjaja mengelompokan folklor dalam tiga bentuk, yaitu :
1) Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan, seperti bahasa rakyat.
2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya campuran unsur lisan
dan bukan lisan, seperti kepercayaan rakyat.
3) Folklor bukan lisan yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara
pembuatannya diajarkan secara lisan, seperti kerajinan rakyat.
Teori folklor digunakan untuk menjelaskan dan mengungkapkan mitos-mitos atau
cerita lisan yang menyertai peninggalan purbakala di Wonosobo. Dalam folklor unsur budaya
secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu golongan untuk budaya materi bersifat
lisan dan golongan unsur budaya yang berupa upacara. Pada golongan unsur budaya materi
bersifat lisan digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti dalam menjelaskan mitos yang ada
dalam situs benda-benda purbakala di wilayah Wonosobo. Upacara ritual yang ada dalam situs
peninggalan sejarah di wilayah Wonosobo dapat dijelaskan melaui golongan unsur budaya
yang berupa upacara.
Folklor merupakan produk kebudayaan kolektif yang diciptakan masyarakat sehingga
dimanfaatkan secara komunal, terdapat nilai-nilai di dalam folklor lebih bersifat mendalam
karena dianggap sebagai kultur normatif yang berlaku menyeluruh bagi masyarakat yang
memilikinya sehingga jelas betapa besar pengaruh folklor terhadap pembentukan tata nilai
yang berupa sikap dan perilaku yang mampu menunjukkan pribadi dan identitas suatu
masyarakat.
2.3 Teori Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Gagasan (Wujud Ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-
ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya
abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala
atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat menyatakan gagasan
mereka dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam
kenangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarkat.

b. Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat. Wujud ini disebut juga dengan sistem sosial. Sistem
sosial terdiri dari aktivitas-akktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan

8
kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola tertentu yang berdasarkan
adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat
diamati dan di dokumentasikan.
c. Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-
hal yang dapat diraba, dilihat, dan di dokumentasikan. Sifatnya paling konkret
diantara ketiga wujud kebudayaan.

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua


komponen utama :
1. Kebudayaan Material, mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi : candi, prasati, mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan
lain-lain.
2. Kebudayaan Nonmaterial, adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi
ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
2.4 Pendekatan
Pendekatan digunakan untuk memahami nilai-nilai budaya yang ada pada situs-situs
peninggalan sejarah di wilayah Wonosobo serta pengaruh dalam kehidupan masyarakat
Wonosobo dan sekitarnya. Unsur ritual yang terdapat pada susunan letak batu-batu reruntuhan
candi dalam kawasan di wilayah Wonosobo menjelaskan adanya suatu upacara keagamaan.
Teori religi adalah berdasarkan keyakinan akan adanya kekuatan gaib dalam hal-hal luar biasa
dan yang menjadi sebab timbulnya gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa.
Sehingga jelas keberadaan batu-batu runtuhan candi sebagai simbolik dari religi pembuatnya
akan kebradaan sesuatu yang memiliki kekuatan untuk menolong mereka, sebab mereka
percaya adanya suatu roh leluhur yang menempati dalam batu yang mereka anggap sebagai
tuhan.
Bagian yang menarik dalam peninggalan benda-benda masa klasik terdapat tempat-
tempat ritual keagamaan seperti yono, altar/landasan arca, batu-batu komponen candi yang
melambangkan sebagai tempat pelaksanaan semedi.

9
BAB III
DATA DAN PENEMUAN PENELITIAN

1. Candi
1. Komplek Candi Dieng
Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegungungan Dieng,
Wonosobo, Jawa Tengah. Pegunungan Dieng merupakan kawasan berhawa sejuk yang berada
di ketinggian sekitar 2000 mdpl dengan suhu udara rata-rata 13 0C - 170C. Selain itu, kawasan
Dieng dijadikan objek penelitian geologi karena adanya aktivitas gunung berapi dan sumber
daya panas bumi.
Berdasarkan penelitian para ahli sejarah dan kepurbakalaan Dieng merupakan suatu
kawasan yang telah berperadaban tinggi. Berdasarkan sumber prasasti yang ditemukan raja-
raja dari Dinasti Sanjaya telah membangun kompleks percandian Hindu di Dieng pada abad
ke-8 sampai abad ke-11 Masehi. Candi-candi Hindu tersebut berfungsi sebagai sarana
berziarah Dinasti Sanjaya.
Kompleks candi Dieng ditemukan pertama kali oleh orang Belanda bernama H.C
Cornellius yang melakukan penggalian bawah tanah pada tahun 1814. Selanjutnya, penemuan
tersebut dilaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada saat ditemukan kompleks candi
Dieng tersebut masih berupa rawa-rawa. Oleh karena itu, pada tahun 1854 dilakukan
pengeringan rawa tersebut. Selanjutnya, candi-candi tersebut mulai dipugar oleh J. Van
Kinsvergen pada tahun 1856 dan diteliti oleh H.L Leydie Melvile. Pada tahun 1963 kompleks
candi Dieng tersebut mulai dipugar oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Selanjutnya candi
Dieng dijadikan objek penelitian sejarah kepurbakalaan oleh Universitan Leiden.
Mengenai nama Dieng terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan
bahwa Dieng berasal dari kata bahasa Jawa adi (indah) dan aeng (aneh). Selain itu ada yang
beranggapan Dieng berasal dari kata di hyang yang berarti kediaman nenek moyang. Dalam
Kitab Tantu Panggelaran yang mengisahkan mitos terjadinya Pulau Jawa, diceritakan bahwa
penduduk pertama Pulau Jawa pada saat itu belum mempunyai peradaban. Selanjutnya, Dewa
Siwa menitahkan kepada para dewa agar turun ke Pulau Jawa untuk mengajarkan peradaban
kepada semua manusia. Para dewa tersebut turun pertama kali di daerah Dieng. Oleh karena
itu, Dieng dianggap sebagai Gunung Pawinihan (Gunung Pembibitan) atau tempat
pembibitan manusia yang mengenal dewa-dewa.
Kumpulan Candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir
abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa. Candi-candi di
Kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yang
dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab
Mahabarata. Ketiga kelompok candi tersebut antara lain :
a) Kelompok Arjuna
Kelompok Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi
yang berderet memanjang arah Utara-Selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan
(gambar 3.1.1), kemudian berturut-turut kearah utara adalah Candi Srikandi (gambar
3.1.2), Candi Puntadewa (gambar 3.1.3). Tepat di depan Candi Arjuna terdapat Candi
Semar (gambar 3.1.4) dan Candi Sembadra (gambar 3.1.5). Keempat candi di kompleks
ini menghadap ke barat, kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Ajuna.

10
Kelompok candi ini dapat dikatakan yang paling dibandingkan kelompok candi lainnya
di kawasan Dieng. Candi Srikandi Candi Srikandi terletak persis di sebelah utara Candi
Arjuna. Candi Srikandi berbentuk kubus dengan dinding luar yang dihiasi relief Dewa
Whisnu di bagian utara, Dewa Brahma di dinding selatan, dan Dewa Syiwa di dinding
timur. Candi Sembadra berada di sebelah utara Candi Srikandi. Bentuknya kubus di
bagian atap dan bentuk seperti poligon di bagian tubuhnya. Candi Puntadewa terletak di
ujung paling utara dari deretan candi ini. Candi Puntadewa terlihat ramping dan tinggi
karena berdiri diatas batur setinggi 2,5 meter. Candi ini memiliki sebuah ruangan
kosong yang sempit di dalamnya. Candi Semar merupakan satu-satunya candi di
kompleks ini yang letaknya tidak berada dalam satu deret dengan candi lainnya. Candi
Semar terletak persis di depan Candi Arjuna, dan posisinya saling berhadapan. Candi
Semar berbentuk persegi panjang dan mempunyai ukuran yang lebih kecil dari Candi
Arjuna. Dalam Candi Semar hanya ada ruangan kosong dengan dinding yang dihiasi
jendela-jendela kecil.

b) Kelompok Gatutkaca
Kelompok Gatutkaca terdiri atas 5 candi, yaitu Candi Gatutkaca (gambar
3.1.6), Candi Setyaki (gambar 3.1.7), Candi Nakula, Candi Sadewa (gambar 3.1.8)
Candi Petruk dan Candi Nala Gareng. Namun saat ini yang masih dapat dilihat
bagunannya hanya Candi Gatutkaca. Keempat candi lainnya hanya tersisa tinggal
reruntuhannya saja. Candi Gatutkaca berdiri pada sebuah batur bujur sangkar setinggi 1
meter. Candi Gatutkaca memiliki bentuk seperti bangunan bertingkat denga beberapa
relung di sisi luar dindingnya. Candi Gatutkaca menghadap ke arah barat ditandai
dengan adanya tangga kecil dan sebuah pintu masuk di sisi barat candi. Pada dinding
luar terdapat ceruk kecil tempat untuk meletakkan arca. Bagian bawah dan tengah candi
masih tampak baik, namun pada bagian atapnya terlihat sudah rusak.
c) Kelompok Dwarawati
Kelompok Dwarawati terdiri atas 4 candi, yaitu Candi Dwarawati(gambar
3.1.9), Candi Abiyasa, Candi Pandu dan Candi Margasari. Akan tetapi, saat ini yang
berada dalam kondisi relatif utuh hanya satu candi, yaitu Candi Dwarawati.
d) Candi Bima
Candi Bima merupakan satu-satunya candi yang tidak berada dalam satu
kompleks atau kelompok candi. Letaknya menyendiri di kejauhan di atas sebuah bukit.
Candi ini merupakan bangunan terbesar di antara kumpulan Candi Dieng. Bentuknya
berbeda dari candi-candi di Jawa Tengah pada umumnya. Kaki candi mempunyai denah
bujur sangkar, namun karena di setiap sisi terdapat penampil yang agak menonjol
keluar, maka seolah-olah denah dasar Candi Bima berbentuk segi delapan. (gambar
3.1.10)
2. Peninggalan Purbakala di Bejiarum (gambar 3.2.1)
Desa Bejiarum, Kecamatan Kertek ternyata menyimpan khasanah budaya yang luar
biasa. Tak hanya lengger, jaranan dan warokan, desa ini juga menyimpan banyak sekali
benda-benda peninggalan jaman purbakala.
Artefak seperti arca, yoni, lingga, guci, dan batu candi dapat dengan mudah dijumpai
di ladang-ladang milik penduduk dan di rumah-rumah penduduk. Tak banyak yang tahu
tentang asal muasal artefak tersebut, namun konon Desa Bejiarum dahulu merupakan
tempat untuk melakukan bermeditasi dan melakukan kegiatan spiritual lainnya.

11
“Di desa ini dahulu pernah tinggal seorang tokoh yang dianggap tertua di wilayah
Kertek bernama Kyai Jenthit, sehingga desa ini menjadi pusat kegiatan spiritual dan sampai
sekarah masih ada petilasannya”, tutur Adi Oktori, salah seorang perangkat Desa Bejiarum.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, di Bejiarum ini terdapat 1001 candi yang tersebar
di seluruh wilayah desa. Pada era tahun 90-an, ada sekitar 20 buah arca dan batu candi yang
terdapat di sepanjang jalan masuk desa, namun sekarang sudah tidak bisa dijumpai lagi.
Sebagian telah hilang ataupun telah berubah fungsi menjadi material bangunan.
Kepala Seksi Benda Purbakala Disparbud Wonosobo, Oni Wiyono, mengaku
pihaknya tengah menginventarisasi benda-benda purbakala yang ada di Wonosobo,
termasuk yang terdapat di Bejiarum ini, “Benda-benda purbakala yang ada di daerah
Wonosobo pada umumnya berasal dari dinasti Syailendra atau sekitar abad ke-7 Masehi,
termasuk yang berada di Desa Bejiarum ini. Kami juga bekoordinasi dengan Balai
Peninggalan Purbakala (BP3) untuk memastikan usia dan asal dari benda-benda tersebut.
Kami juga bekerjasama dengan pemerintah desa setempat untuk segera melaporkan apabila
menemukan artefak purbakala lainnya.”
Artefak seperti yang ditemukan di Desa Bejiarum dapat dijadikan salah satu indikator
bahwa peradaban di Wonosobo telah cukup tua, namun masih diperlukan perhatian yang
lebih serius dari pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan benda-benda peninggalan
sejarah yang tak ternilai ini.
3. Candi Bogang Wonosobo (gambar 3.3.1 dan gambar 3.3.2)
Candi Bogang, begitulah nama yang disematkan untuk sebuah tempat yang tidak bisa
dikatakan sebagai candi, lebih cenderung sebagai sebuah situs. Situs dengan 2 arca Buddha
berukuran besar. Situs yang terletak di tepi jalan Wonosobo – Banyumas Km 6 ini seolah
tak terkenal, tak banyak literatur yang dapat menjelaskan tempat ini, hanya ada beberapa
buku yang menyebutkan tempat ini, itupun hanya laporan saat evakasi. Nama Candi Bogang
sendiri adalah nama daerah tersebut, sebelum ditemukan adanya arca di daerah tersebut,
nama daerah tersebut sudah Candi Bogang. Situs ini ditemukan oleh pekerja yang akan
membangun pondasi bangunan, seperti yang disebutkan dalam hasil ekskavasi Candi
Bogang. Penemuan berawal dari penemuan kepala arca Buddha pada tanggal 23 Februari
1982. Di area Candi Bogang terdapat 2 arca Budha yang berukuran berbeda satu sama lain,
1 arca sudah dipindahkan ke sebuah Joglo kecil, sedangkan 1 arca yang lain yang berukuran
besar masil tergeletak di tempat asal ditemukan di kedalaman 1 meter dibawah tanah.
Menurut Pak Muslim, penjaga Situs Candi Bogang mengatakan bahwa dulu arca yang lebih
besar telah dicoba untuk diangkat, dengan menggunakan katrol yang mampu mengangkat 6
ton, namun upaya tersebut tidak berhasil. Kedua arca yang berada di Candi Bogang kini
kondisinya tanpa kepala dan tangan. Kepala dan tangan sudah dibawa ke Borobudur,
dengan alasan keamanan. Sampai saat ini, belum dapat dijelaskan apakah Situs Candi
Bogang adalah sebuah candi untuk beribadah atau sebagai hal lain.

12
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Asal Mula Penamaan Kabupaten Wonosobo
a. Letak Wilayah Wonosobo
Wonosobo berasal dari dua kata yaitu Wono dan Sobo. Wono dalam bahasa
Jawa berarti hutan, sedangkan Sobo berarti berkelana. Sedangkan dalam bahasa
Sansekerta, Wono berasal dari kata Wanua yang berarti desa dan Sobo berasal dari
kata Sabha yang berarti besar. Secara emitologi, Wonosobo adalah wanua besar atau
desa besar yang kedudukannya sebagai tempat pertemuan para raja dalam upacara
pendarmaan.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Wono atau Wana berarti hutan,
sedangkan Saba atau Sobo artinya bepergian ke luar rumah/kerap kali mengunjungi
(mendatangi). Jadi Wonosobo merupakan suatu tempat atau hutan yang sering
dikunjungi. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa
Wonosobo merupakan suatu tempat yang awalnya berbentuk hutan belantara. Akan
tetapi karena seringkali dikunjungi dan menjadi daerah yang penting, sehingga
dijadikan kadipaten.
Secara astronomis Wonosobo merupakan daerah tropis yang terletak pada
koordinat 70 04’ 11’’ hingga 70 11’ 17’’ lintang Selatan dan antara 1090 43’ 10’’ hingga
1100 04’ 40’’ bujur Timur. Sedangkan secara admisitratif, sebelah Selatan Wonosobo
berbatasan dengan wilayah Semawung, sebelah Timur berbatsan dengan wilayah
Banyumas, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Magelang,
Temanggung, Parakan, Sedegan dan Muntung.
Berdasarkan penelitian tahun 1999, luas Kabupaten Wonosobo 98.468,38
hektar dan terbagi dalam 4 eks kawedanan atau pembantu bupati yang terdiri atas 13
kecamatan, 28 kelurahan, dan 236 desa. Luas persawahan mencapai 18.500 hektar
dan tanah kering 79,9 hektar. Pada bagian Utara tingginya mencapai 2250 mdpl dan di
dataran rendah di sisi Selatan hanya 250 mdpl. Kota Wonosobo sendiri berada pada
ketinggian 772 m.
b. Keadaan Politik Wilayah Wonosobo
Wonosobo (Ledok dan Gowong) merupakan daerah pedalaman yang terletak
di daerah dataran tinggi. Pada tahun 1522 M, Wonosobo merupakan bagian dari
daerah Pengging. Pengging ialah bekas wilayah Kerajaan Majapahit. Pada masa
pemerintahana Sultan Jin Bun/Al-Fatah, daerah Pengging diperintah oleh Bupati
Dayaningrat. Namun demikian, pengaruh Majapahit di Wonosobo belum dapat
dipastikan karena keterbatasan sunber dan peneliti.
Arsip Wonosobo mulai ditemukan pada masa kekuasaan Mataram Islam. Pada
masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M), Karejaan
Mataram Islam mencapai puncak kejayaan. Kekuasaan Mataram meliputi Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sedangkan wilayah administratif
Mataram yang dibenahi oleh Sultan Agung ialah sebagai berikut :
1. Keraton/istana tempat raja beserta keluarganya yang dibatasi oleh benteng.
2. Nagari/Mataram pusat, tempat tinggal rumah-rumah bangsawan dan
keluarganya.
3. Nagari Ageng/daerah disekitar nagari yang merupakan tanah nafkah raja.

13
4. Mancanegara daerah diluar nagari ageng yang terletak di pedalaman dan
sepanjang pantai Jawa Timur.
5. Pesisir/daerah pantai Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pulau Madura.
Tentang pembagian wilayah Mataram Islam terdapat pada naskah No. 1
(terlampir) yang merupakan arsip sebelum Perjanjian Giyanti. Naskah ini memuat
catatan tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi, dan nama-nama
kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1613-1645 M). Pada naskah ini disebutkan bahwa Sultan Agung Hanyakrakusuma
mulai membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan yang terdiri dari 16 pejabat Bupati
Nayaka Jawi-Lebet serta membagi tanah pedesaan diluar tanah Negara Agung bukan
Mancanegara sebagai berikut :
1. Tanah di Pagelan (Bagelen) dibagi menjadi 2 bagian, sebelah Barat disebut Siti
Sewu, sebelah Timur disebut Siti Numbak Anyar. Penduduk dikedua wilayah
ini diberi kewajiban menyediakan bau-suku, disertai abdi-Dalem Tiyang
Gowong.
2. Tanah di Kedu dibagi menjadi 2 bagian, sebelah Barat disebut Siti Bumi,
sebelah Timur disebut Siti Bumijo. Penduduknya diberi tanggung jawab
menyiapkan perkakas lumpang dan lesung, daun, kayu, sapit-sujen, ancak, dan
sebagainya disertai abdi-Dalem Galadhag.
3. Tanah Pajang dibagi menjadi 2 bagian, sebelah Barat disebut Siti Penumping,
sebelah Timur disebut Siti Panekar. Penduduknya diberi tugas menyiapkan
beras, padi, dan perlengkapannya disertai abdi-Dalem Narawita dan abdi-
Dalem Narakuswa.
4. Tanah yang berada di antara Demak dan Pajang disebut Siti Ageng. Diberi
kewajiban mempersembahkan inya (perempuan) disertai abdi-Dalem Pinggir
dan abdi-Dalem dua orang.
Tanah Pagelan (Bagelen) merupakan tanah yang terletak di Jawa Tengah
sebelah Selatan. Bagelen dan seluruh wilayah Negara Agung pada masa Kerajaan
Mataram Islam merupakan tanah yang berada di bawah Adipati Danureja. Menurut
Serat Pustaka Raja Purwa, Tanah di Pagelen (Bagelen) dibagi menjadi 2 wilayah yaitu
sebelah Barat disebut dengan Siti Sewu dan sebelah Timur disebut sebagai wilayah
Siti Numbak Anyar. Penduduk di kedua wilayah ini diberi kewajiban menyediakan
ban-suku disertai abdi-Dalem Tiyang Gowong.
Wilayah Siti Sewu meliputi wilayah antara sungai Bogowonto ke Barat
mengikuti Dhudhuwala, Telaga Bulu Kapitu, Dhadap Agung sampai sungai yang
mengalir ke Cilacap, sedangkan wilayah Numbak Anyar meliputi daerah antara sungai
Bogowonto sampai sungai Progo. Wilayah Siti Sewu meliputi Banyumas,
Kutowinangun, Remo, Semawung, Wonosobo (Ledok dan Gowong). Sedangkan
wilayah Numbak Anyar terdiri dari Tanggung, Loano, Brosot, dan Dekso.
Wonosobo yang merupakan daerah Siti Sewu terdiri dari 2 wilayah yaitu
Ledok dan Gowong. Wilayah Ledok terdiri dari Batur, Karangkobar, dan Wonosobo,
sedangkan wilayah Gowong yang terdiri dari Kaliwiro, Sapuran, dan Kreteg. Daerah
ini merupakan kayu dengan mantri yang disebut dengan Gowong. Pengiriman kayu
sebagai nafkah pribadinya dilakukan oleh mantri Gowong.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa wilayah Wonosobo (Ledok
dan Gowong) yang terletak diantara Sungai Bogowonto sampai sungai yang mengalir
ke Cilacap merupakan bagian dari Tanah Pagelen (Bagelen). Daerah ini merupakan

14
penghasil kayu dan abdi-Dalem Tiyang Gowong/ tenega kerja di bidang pertukangan.
Pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M), Wonosobo/Ledok dan
Gowong diperintah oelh Ki Tumenggung Wiraduta.
Sementara ini, untuk menggambarkan keadaan kota Wonosobo pada masa
kerajaan Mataram Islam, Muh. Alie menyatakan bahwa :
Pada masa Kerajaan Mataram, letak pusat daerah Wonosobo di desa
Selomanik dan dengan Ki Tumenggung Kartawasesa sebagai kepala
daerahnja dan Ki Butowereng sebagai pepatihnja. Kemudian seperempat
abad dari wafatnya Ki Tumenggung, beralih tempat pusat itu ke desa
Petjekelan (Kalilusi/Kerteg) dengan Ki Tumenggung Wiraduta sebagai bapak
daerahnja. Dan tiada lama dari wafat beliau, berpindah lagi pusat
pemerintahan daerah Wonosobo ke tempat jang disebut Plobangan Ledok. Ki
Tumenggung Jogonegoro jang memegang tampuk pimpinan
pemerintahannja, oleh beliau dipindahkan lagi ke Selomerto, jang dianggap
beliau lebih baik tempat letaknya. Dan achirnja di bawah Bapak Bupati
Setjonegoro dipindah lagi tempat itu ketempat jang sekarang ini Wonosobo
berdiri. Sebagai pembangunan kota jang baru itu beliau mengusahakan
bangunan-bangunan dan djalan-djalan jang di atur sedemikian rani-nja.
Sebelum Wonosobo menempati tempat yang definitif sebagaimana sekarang,
pusat pemerintahan telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Akan
tetapi mengenai waktu pemerintahannya belum diketahui secara pasti. Belum
ditemukan peninggalan pada periode pemerintahannya, selain penjelasan di atas.
Pusat pemerintahan yang pertama ialah Desa Selomanik (Kaliwiro) dengan Ki
Tumenggung Kartawasesa sebagai kepala daerahnya. Kemudian berpindah ke Desa
Pecekelan (Kalilusi) dengan dipimpin oleh Ki Tumenggung Wiraduta. Berpindah lagi
ke Desa Leksono yang dipimpin oleh Adipati Sidokolo. Kemudian di Desa Selomerto
tepatnya Plobangan, diperintah oleh Ki Tumenggung Djogonegoro.
Setalah wafatnya Ki Tumenggung Djogonegoro, putra beliau yang bernama
Tjokrodimedjo menggantikan tahtanya. Namun pemerintahannya tidak berjalan lama
kemudian diangkatlah Surodipoero sebagai penggantinya. Mengenai tahun
pemerintahannya tidak diketahui secara pasti karena baru pada masa kekuasaan
Setjonegoro tahun pemerintahan diketahui dengan jelas yaitu 1815-1832.
Pada tahun 1832 daerah Ledok ditetapkan sebagai bagian dari karesidenan
yang dikenal dengan Afdeling Ledok dengan pusat pemerintahan di Wonosobo
sekarang. Afdeling Ledok meliputi 554 Desa mempunyai lima wilayah distrik yaitu
Wonosobo, Kalialang, Leksono, Kaliwiro, dan Sapuran. Kemudian ketika Afdeling
Ledok dihapuskan tahun 190, secara resmi wilayahnya digabungkan dengan
Karesidenan Kedu. Sejak saat itulah nama Afdeling Ledok diganti dengan nama
Wonosobo di bawah Karesidenan Kedu.
4.2 Benda-Benda Peninggalan Masa Klasik (Hindu-Budha) di Sebagian Wilayah
Wonosobo
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Wonosobo sudah mendapat pengaruh agama
Hindu-Budha. Kebanyakan dari mereka masih percaya adanya kekuatan yang melebihi
segala kekuatan (kesekten) arwah atau leluhur, dan lainnya yang tinggal di sekitar tempat
tinggal mereka yang kesemuanya itu mereka anggap dapat mendatangkan kesuksesan atau
keselamatan. Pengaruh Hindu-Budha di Wonosobo dapat dibuktikan dengan beberapa

15
peninggalan, yaitu perkomplekan candi yang ada di Dieng. Siva Trisirah, Jaladwara,
Lingga, Yoni, dan beberapa prasasti dan peninggalan lain sebagai berikut :
1. Prasasti D. 58 (731 Saka)
Prasasti ini bebahasa dan beraksara Jawa Kuno yang ditemukan di dekat Candi
Arjuna, Dieng, Wonosobo dengan angka tahun 731 Saka (809 M). Isinya menyebutkan
bahwa terdapat status sima (desa istimewa yang dibebaskan dari sebagian pajaknya)
bagi desa Sri Manggala, Wukawatu, dan Panulingan. Nama raja dan pejabat serta
keterangan lain tidak dapat dibaca karena rusak.
Penemuan prasasti ini menggambarkan bahwa tahun 731 Saka (809 M) sudah terdapat
tata tertib dan tata pemerintahan di Dieng. Hal ini dapat dilihat dengan keputusan di
dalam sebuah prasasti batu yang menetapkan desa Sri Manggala, Wukawatu, dan
Panulingan sebagai daerah Sima.
2. Prasasti D. 10 (776 Saka)
Prasasti ini ditemukan di Wayuku, Dieng dengan tinggi 97 cm dan angka
tahun 776 Saka (854 M). Isi dari prasasti ini ialah tentang adanya penetapan tanah
sawah di Wayuku sebagai sima yang dilakukan oleh Rakai Sisair Pu Wiraja dan hasil
sawah itu untuk membiayai perawatan bangunan Abhayananda. Jumlah tulisan yang
ada pada prasasti D. 10 ialah 6 baris. Prasasti ini disebut dengan prasasti Wayuku
karena ditemukan di Wayuku, Dieng. Kemudian dibawa ke Museum Nasional dan
diberi nomor D. 10.
3. Prasasti D. 30 (730 Saka)
Prasasti ini berasal dari Gunung Panggonan, Dieng yang dibawa ke Museum
Nasional dan diberi No. D. 30. Tinggi batunga 53 cm, lebar 32 cm, dan tebal 11 cm.
Aksara dan bahasanya Jawa Kuno, bertulis 18 baris pada satu sisi. Ada alas kaki
prasasti (lapik) yang bertulis 1 baris. Hanya sedikit tulisan yang dapat dibaca, antara
lain Dewa Siwa, angka tahun, nama pejabat Sang Hadyan Juru Wadihati, dan
Kawikuwan atau pertapaan.
4. Prasasti D. 57 (731 Saka)
Prasasti ini berasal dari Dieng yang sebagaimana dilaporkan dalam NBG
1886:29-30; 186-189; NBG. 1887:61-62; 85-86; NBG. 1889:131. Kemudian prasasti
ini dibawa ke Museum Nasional dan diberi No. D. 57. Tulisan yang dapat dibaca
Brandes ada 14 baris. Isinya menyebutkan pemujaan kepada Dewa Siwa dan tentang
seseorang yang membeli tanah untuk dijadikan sima bagi bangunan suci sesuai dengan
janji Guru Hyang.
5. Siva Trisirah merupakan siva berkepala tiga yang merupakan perwakilan dari Hindu,
Siva-mahadewa, dan Trimurti. Peninggalan ini sekarang disimpan di Museum Kailasa,
Dieng.
6. Jaladwara merupakan bagian dari candi yang berguna sebagai saluran air. Jaladwara
juga disimpan di Museum Kailasa, Dieng.
7. Lingga dan Yoni merupakan lambang seorang laki-laki dan perempuan sebagai
lambang kesuburan.
Selain peninggalan tersebut, di daerah Selomerto juga ditemukan candi yang
dikenal Candi Bogang. Berdasarkan observasi peneliti, candi tersebut sudah rusak
sehingga yang jelas tersisa ialah Patung Budha tanpa kepala. Namun terdapat prasasti
yang belum dapat dibaca. Kemudian, di Desa Pakuncen, tepatnya di sekitar makam Ki
Tumenggung Djogonegoro juga ditemukan peninggalan berupa Lingga yang sudah
rusak.

16
Beberapa peninggalan tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh agama
Hindu-Budha sebelum Islam masuk di Wonosobo. Bahkan berdasarkan Prasasti D. 11
dan D. 57, tercatat bahwa jauh sebelumnya, sekitar tahun 772 sudah terdapat pemujaan
kepada Dewa Siwa. Akan tetapi, kerajaan mana yang berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat Wonosobo belum diketahui secara pasti.
Pengaruh agama Hindu-Budha di Wonosobo dapat dilihat dari benda-benda
yang ditinggalkan berupa prasasti, perkomplekan candi di Dieng, Nandi, Ratna, Lingga,
Yoni, dan lain sebagainya. Pada saat itu pengaruh agama Hindu Siwa dan Budha saling
berjalan beriringan, bahkan para pemimpin agama Siwa dan Budha hidup rukun dan
damai (Prasasti D. 15).

17
BAB V
PENUTUP

Bab ini menyajikan kesimpulan, saran dan keterbatasan dari hasil data dan
penemuan penelitian dari penelitian penyebaran agama Hindu-Budha di Wonosobo.

5.1 Simpulan
a. Komplek Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri
yang dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari
Kitab Mahabarata, yaitu :
1. Kelompok Arjuna, terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4
candi yang berderet memanjang arah Utara-Selatan. Candi Arjuna berada di
ujung selatan, kemudian berturut-turut kearah utara adalah Candi Srikandi,
Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Tepat di depan Candi Arjuna terdapat
Candi Semar.
2. Kelompok Gatutkaca, terdiri atas 5 candi, yaitu Candi Gatutkaca, Candi
Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk dan Candi Nala Gareng.
Namun saat ini yang masih dapat dilihat bagunannya hanya Candi Gatutkaca.
3. Kelompok Dwarawati, terdiri atas 4 candi, yaitu Candi Dwarawati, Candi
Abiyasa, Candi Pandu dan Candi Margasari. Akan tetapi, saat ini yang berada
dalam kondisi relatif utuh hanya satu candi, yaitu Candi Dwarawati.
4. Candi Bima, merupakan satu-satunya candi yang tidak berada dalam satu
kompleks atau kelompok candi. Letaknya menyendiri di kejauhan di atas
sebuah bukit. Candi ini merupakan bangunan terbesar di antara kumpulan
Candi Dieng.
b. Peninggalan purbakala di Desa Bejiarum, Kecamatan Kertek ternyata menyimpan
banyak sekali benda-benda peninggalan jaman purbakala. Artefak seperti arca,
yoni, lingga, guci, dan batu candi dapat dengan mudah dijumpai di ladang-ladang
milik penduduk dan di rumah-rumah penduduk. Konon Desa Bejiarum dahulu
merupakan tempat untuk melakukan bermeditasi dan melakukan kegiatan
spiritual lainnya. Menurut cerita dari mulut ke mulut, di Bejiarum ini terdapat
1001 candi yang tersebar di seluruh wilayah desa. Pada era tahun 90-an, ada
sekitar 20 buah arca dan batu candi yang terdapat di sepanjang jalan masuk desa,
namun sekarang sudah tidak bisa dijumpai lagi. Sebagian telah hilang ataupun
telah berubah fungsi menjadi material bangunan. Artefak seperti yang ditemukan
di Desa Bejiarum dapat dijadikan salah satu indikator bahwa peradaban di
Wonosobo telah cukup tua, namun masih diperlukan perhatian yang lebih serius
dari pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan benda-benda peninggalan
sejarah ini.
c. Candi Bogang, nama yang disematkan untuk sebuah tempat yang tidak bisa
dikatakan sebagai candi, lebih cenderung sebagai sebuah situs. Situs dengan 2
arca Buddha berukuran besar yang terletak di tepi jalan Wonosobo – Banyumas
Km 6 ini seolah tak terkenal, tak banyak literatur yang dapat menjelaskan tempat
ini. Candi Bogang adalah nama daerah tersebut. Situs ini ditemukan oleh pekerja
yang akan membangun pondasi bangunan. Penemuan berawal dari penemuan

18
kepala arca Buddha pada tanggal 23 Februari 1982. Di area Candi Bogang
terdapat 2 arca Budha yang berukuran berbeda satu sama lain. Kedua arca yang
berada di Candi Bogang kini kondisinya tanpa kepala dan tangan. Kepala dan
tangan sudah dibawa ke Borobudur, dengan alasan keamanan.
5.2 Saran
Pengecilan informasi ini tidak lain dikarenakan negara kurang berkembang
dan pendidikan yang terbatas sehingga penemuan dan penelitian dilakukan oleh orang
luar bukan orang dari negara sendiri. Harapannya dari makalah ini, ada kesadaran bagi
pemerintah maupun masyarakat setempat untuk lebih bijak dalam bidang pendidikan.
Dari penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis
masih jauh dari kata sempurna. Di penulisan selanjutnya, penulis akan lebih fokus
dalam menulis dan lebih rinci dalam menjelaskan tentang makalah. Tentunya dengan
referensi yang lebih banyak dan dapat dipertanggung jawabkan.
5.2 Keterbatasan
Salah satu potensi sosial budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Daerah Tingkat
II Wonosobo dan belum dikembangkan secara optimal adalah rasa bangga terhadap
daerahnya yang didasarkan atas jati diri daerah itu. Rasa bangga ini jika
dikembangkan pada saatnya dapat membangkitkan motivasi dalam mendorong dan
mendukung, perlunya penelitian dan penggalian bukti-bukti sejarah untuk mengetahui
denga tepat jati diri daerah Wonosobo, sekaligus dapat digunakan sebagai dokumen
sejarah daerah itu.
Di kompleks candi Gatutkaca saat ini yang masih dapat dilihat bagunannya
hanya Candi Gatutkaca. Keempat candi lainnya hanya tersisa tinggal reruntuhannya
saja. Sedangkan kelompok candi Dwarawati saat ini yang berada dalam kondisi relatif
utuh hanya satu candi, yaitu Candi Dwarawati.

19
DAFTAR PUSTAKA

Dendy Sugono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Pusat Bahasa, 2008,
hlm. 1808 dan 1334.
Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo, Purorejo : Lembaga Studi dan
Pengembangan Sosial Budaya, 2002, hlm. 68.
Salamun, dkk., Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Wonosobo
Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan dan
Pariwisata dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional DIY, 2002, hlm. 7-8.
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional IV, Jakarta : Depdikbud, 1975, hlm. 1.
Setiawan, Ferry. 2013. Peninggalan Kebudayaan Masa Klasik (Hindu-Budha) Di
Kabupaten Wonosobo Sekitar Abad VII-IX. FKIP UMP. Purwokerto :
Kusnin Asa, dkk., op. cit., hlm. 105.
Nugraha Hariadi, “Tari Bedhaya Sapto dan Kebijakan Pemerintahan Sultan Agung
Tahun 1613-1629”, Skripsi: tidak diterbitkan, Program Studi Ilmu Sejarah,
Universitas Negeri Yogyakarta, 2009, hlm. 30-31.
S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1876, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004, hlm. 9.
Suharjo Hatmosuprobo, Palungguh pada Zaman Kerajaan Mataram, Yogyakarta :
Jurusan Sejarah dan Geografi Sosial IKIP Sanata Dharma, 1980, hlm. 6.
Sulistiyani, “Islamisasi di Bagelem Purworejo Pada Masa Pemerintahan Sultan Agung
Tahun 1613-1645 M”, Skripsi: tidak diterbitkan, Yogyakarta : Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2009, hlm. 20.
S. Margana, op. cit., hlm. 19. Lihat juga Arsip Surakarta dan Yogyakarta pada
lampiran 5, hlm. 100.
S. Margana, loc. cit., lihat juga Purwadi, Hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung.
Nyutran : Tugu Publiser, 2005, hlm. 134.
Radix Penadi, loc. cit, Lihat lampiran 3, Peta Wilayah Bagelen Pada Masa Kekuasaan
Mataram Islam, hlm. 98.
Vita Ery Oktaviyani, “Perubahan Nama Kadipaten Brengkelen Menjadi Kabupaten
Purworejo oleh Cakraningrat 1 Tahun 1828-1831”, Skripsi: tidak diterbitkan, Program
Studi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2011, hlm. 30.
Kenang-kenangan DPRDS, Kabupaten Wonosobo, 950-1956, t.t, hlm. 104. Lihat pula
Tanti Muljanti, “Rekruitmen dan Partisipasi Politik Perempuan dalam Pemilu
legislatif 2009 di Kabupaten Wonosobo”, Skripsi: tidak diterbitkan, Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Negeri Yogyakarta, 2010, hlm. 90.
Kholiq Arif dan Otto Sukatno, Mata Air Peradaban : Dua Millenium Wonosobo,
Yogyakarta : LkiS, 2010, hlm. 408.
Ibid, hlm 408-409.
Fakih Muntaha, dkk., Mengenal dan Membangun Wonosobo, Wonosobo : Pemkab
Wonosobo, 2002, hlm. 3-4.

20
LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Candi Arjuna

Gambar 3.1.1

2. Candi Srikandi

Gambar 3.1.2

21
3. Candi Puntadewa

Gambar 3.1.3

4. Candi Semar

Gambar 3.1.4

5. Candi Sembadra

Gambar 3.1.5

22
6. Candi Gatutkaca

Gambar 3.1.6

7. Candi Setyaki

Gambar 3.1.7

8. Candi Sadewa

Gambar 3.1.8

23
9. Candi Dwarawati

Gambar 3.1.9

10. Candi Bima

3.1.10

11. Peninggalan Purbakala di Desa Bejiarum


24
Gambar 3.2.1

12. Candi Bogang Wonosobo

Gambar 3.3.1

Gambar 3.3.2

25

Anda mungkin juga menyukai