DI NUSANTARA
Abstrak
Berdasarkan sumber prasasti Kutai, bahwa pengaruh Hindu yang masuk pertama
kali di nusantara. Daerah-daerah yang dicari sebagai tempat kediaman yang
dihindukan ternyata terlalu jauh di pedalaman, seperti Kutai Kalimantan Timur
dan Tarumanagara Jawa Barat. Warisan budaya dari kedua kerajaan tersebut
belum ada yang menampakkan tentang seni budaya. Ketika terjadi
perkembangan yang hebat di Jawa Tengah, kali ini pun tempat kedudukan
kerajaan terletak di daerah pedalaman, seperti di dataran Kedu dan Prambanan.
Seni budaya juga berkembang dengan sangat pesat dan didominasi
bangunan-bangunan candi yang serba monumental. Hal yang sama juga terjadi
ketika pusat kerajaan berada di Jawa Timur, yaitu: pada masa Mpu Sindok,
berlanjut jaman Kediri, Singosari, dan sampai kepada jaman Majapahit,
pusat-pusat kehinduan dipilih di daerah-daerah pedalaman. Namun yang
berbeda, bahwa di Jawa Timur bukan seni arsitektur yang menonjol, melainkan
seni sastra yang berkembang dengan subur. Bali ketika masa Bali Kuna, seperti
halnya di Jawa Tengah dan jawa Timur yang juga memilih tempat sebagai pusat
kehinduan di daerah dekat sungai, tepatnya di daerah aliran sungai (DAS)
Pekerisan dan Petanu, dan desa-desa yang berada di antara kedua sungai
tersebut, yaitu Desa Pejeng dan Desa Bedulu. Warisan keseniannya yang menarik
adalah candi tebing dan ribuan arca. Kemudian sejak jatuhnya Bali ke tangan
Majapahit kehinduan pindah dari Pejeng-Bedulu, dan berkembang dengan pesat
di Gelgel-Klungkung. Pada zaman Gelgel warisan seni sastra mencapai masa
klasiknya seperti pada zaman Kediri.
Hal yang serupa juga dilakukan oleh para seniman Indonesia. Secara
keseluruhan dengan melihat dan mengamati keberadaan bangunan candi, betapa
tingginya semangat hidup keagamaan pada masa pemerintahan raja-raja dari
keturunan Sanjaya. Semangat hidup keagamaannya dapat dilihat dari bangunan
candi yang serba megah, patung-patung yang indah, lukisan-lukisan yang indah,
dengan dilengkapi pementasan teater ketika ada upacara keagamaan, tentu
dengan menjadikan cerita yang dipahatkan pada panil candi sebagai topiknya.
Hal itu semua sebagai bentuk persembahan kepada dewa tri murti (Brahma,
Wisnu, dan Ciwa), dan menempatkan Siwa sebagai dewa tertinggi yang
diwujudkan dalam bentuk bangunan yang lebih besar dan lebih tinggi. Artinya,
pemujaan kepada dewa tri murti dengan memposisikan Siwa sebagai dewa
tertinggi.
Kemudian candi Plaosan, merupakan sebuah bangunan suci yang
dibangun atas kerajasama Rakai Pikatan (Hindu) dan Pramodawardhani (Budha)
(Soekmono, 1973). Namun sesungguhnya hubungan baik (sinkritisme) antara
Siwa dan Budha telah lebih awal dimulai. Hubungan tersebut dapat diketahui
dari prasasti Klurak, yang didalamnya menguraikan tentang sebuah Bodhisatwa
Manjusri didirikan. Manjusri dinamakan dharmesetu, kemudian disebutkan
mutiara berganda tiga, yaitu tri ratna yang terdiri dari Budha, Dharma, dan
Sangha berada di dalamnya. Selanjutnya Manjusri sebagai pendukung Vajra, juga
merupakan tri murti yang terdiri dari Brahma, Wisnu, dan Siwa, dan akhirnya
Manjusri dinamakan Tuhan (Bosch, 1974: 6).
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat juga tidak terlepas dari kebutuhan
hiburan. Prasasti-prasasti dan relef-relief candi Barabudur dan Prambanan Jawa
Tengah memberi data tentang bermacam-macam seni pertunjukan. Ada seni
pertunjukan wayang yang mengambil lakon Bhima Kumara dari cerita Wirata
Parwa (dalang Galigi), petilan wayang orang dengan cerita Kicaka yang sedang
mabuk asmara dengan Drupadi (Arjuna Wiwaha). Selain itu juga lawak mamirus
dan mabanyol, dan kemudian hampir dijumpai dalam setiap prasasti dan pada
relief candi-candi Jawa Timur. Tarian-tarian yang dapat ditarikan bersama oleh
laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan pemuda-pemudi. Namun ada juga
tarian-tarian khusus, seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Tari
Topeng (matapukan); alat-alat musik pengiring, seperti: gendang (padahi), kecer
atau simbal (regang), semacam gambang, saron, kenong, kecapi (wina), dan
seruling yang biasanya dipentaskan berhubungan dengan penetapan sima
(Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 248).
IV Periode Jawa Timur
Abad 11-15 M
Dengan meletusnya gunung Merapi menyebabkan pindahnya pusat
kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Periode Jawa Timur diawali dari
pemerintahan Empu Sendok abad 10 M (929-947 M). Putri Sendok kawin dengan
Rakai Kayuwangi (Dyah Lokapala), dan menurunkan raja masyur Dharmawangsa
yang bersaudara dengan Gunapriyadharmapatni. Ketika masa pemerintahan
Dharmawangsa dilaksanakan proyek besar, yakni menyalin (manjawaken) kitab
Ramayana Kakawin karya pujangga Batti (Batti Kawya) bagian Uttara Kanda dan
9 parwa dari cerita Mahabharata kedalam bahasa Jawa Kuna. Kesembilan parwa
dimaksud, antara lain: Adi Parwa, Sabha Parwa, …….., Wirata Parwa, Udyoga
Parwa, Bhisma Parwa,……. Asramawasana Parwa, Mosala Parwa, Prasthanika
parwa, dan Swargarohana Parwa (Poesponegoro, 1984: 253). Seni sastra yang
dihasilkan adalah kitab Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa.
Setelah Dharmawangsa, kepemimpinan dilanjutkan Airlangga, putra
Dharma Udayana Warmadewa (Bali), atas perkawinannya dengan
Gunapriyadharmapatni (saudara Dharmawangsa). Airlanga sangat menghargai
adanya kebersamaan dalam perbedaan. Hal itu ditunjukkan oleh kehadiran para
pendeta Buda, Siwa, dan Brahmna untuk menobatkan Airlangga sebagai raja
menggantikan Dharmawangsa (Soekmono, 1973: 55). Ketika masa
pemerintahannya, selain seni sastra, juga berkembang kesenian lawak dan
hampir disebutkan pada semua prasasti yang pagelarannya dikaitkan dengan
upacara penetapan sima (Poesponegoro dan Notosusasanto, 1984: 248). Pelawak
mungkin sebagai prototipe dari tokoh-tokoh punakawan yang memiliki tugas
sebagai pengiring tuannya, dan kerapkali dalam sebuah dialognya menyelipkan
lelucon (mabanyol).
Dalam konteknya dengan tradisi mempertunjukan lawak dalam upacara
penetapan sima di Jawa Timur, apakah tidak mungkin merupakan sebuah tradisi
yang dibawa dari Bali? Mengingat bahwa Airlangga adalah putra Udayana
Warmadewa. Airlangga tertarik mementaskan lawak, karena sifatnya menghibur.
Artinya, hiburan tersebut tidak dibutuhkan oleh keluarga istana, namun juga
rakyatnya. Untuk itulah pada setiap upacara penetapan sima, keluarga istana
bersama-sama dengan rakyatnya menikmati hiburan lawak.
Masa Kediri
Abad 11-13 M
Berbeda dengan periode klasik Jawa Tengah yang banyak menghasilkan
bangunan-bangunan candi yang serba monumental, seperti: Borobudur dan
Prambanan. Namun masa klasik seni sastra Jawa Kuna berlangsung pada jaman
Kediri, Jawa Timur. Demikian pula tentang seni pertunjukan, kita mendapatkan
gambaran dari seni sastra, tidak seperti jaman klasik Jawa Tengah, kita
mendapatkan gambaran perihal seni pertunjukan dari relief-relief candi.
Hasil-hasil karya sastra seperti disebut pada bagian berikut merupakan sumber
cerita yang menginspirasi para seniman pertunjukan dalam berkarya pada jaman
Kediri. Berikut hasil karya sastra kakawin yang dihasilkan, antara lain:
Arjunawiwaha dikarang oleh Mpu Kanwa, Krsnayana, dikarang oleh Mpu
Triguna, Sumanasantaka, dikarang oleh Mpu Monaguna, Smaradahana, dikarang
oleh Mpu Dharmaja, Bharatayuda dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh,
Hariwangsa dikarang Mpu Panuluh, Gatotkacasraya dikarang oleh Mpu Panuluh,
Wrtasancaya dikarang oleh Mpu Tanakung, dan Lubdaka dikarang oleh Mpu
Tanakung (Soekmono, 1973).
Artinya:
... petugas yang mengurus pertapaan raja, dikenakan iuran patahil pada
bulan Magha, hari besar kesembilan termasuk peniup sungu, juru seruling,
tukang kendang, sebanyak 2 kupang, setiap kelompoknya, dan iuran tikasan, jika
penabuh, pagending, pande besi...
(2) Prasasti Sading A
... yanada paganding sang ratu ma (ra) nmak, di banwana, br (y)anna ya ma 1 yan
patapukan pamukul menmen banwal pirus sang ratu bryanna ku 2 patulak (Goris,
1954)
Artinya:
...jika ada rombongan penyanyi untuk raja datang di desanya supaya
diberi 1 ma, jika rombongan pemain topeng, pemukul gamelan, menmen
(topeng), dagelan, dan pelawak supaya diberi patulak 2 ku...
(3) Prasasti Pura Batur Abang A
...pande mas, pande wesi, pande tambra, kangsa,
mwang agending amukulanuling, maha ngkana, sapryan sawangunan.... (Goris,
1954)
Artinya:
.........pande mas, pande besi, pande tambra, perunggu (gangsa?) dan
penyanyi, juru tabuh, juru seruling, demikian ketentuan organisasi
(perkumpulan)......…..
Patung Pemakaman
Arca pemakaman yang dimaksud adalah tokoh arca yang di belakangnya
ada tulisan (prasasti) yang mengungkapkan tentang situasi di Bali setahun
sebelum runtuhnya Bali ke tangan Majapahit 1343 M. Prasasti tersebut
berbentuk candra sangkala “kerta rasa tingaling wong”, yang menunjukkan angka
tahun 1264 C atau 1342 M. Suatu peristiwa yang mengagetkan, di mana Sri
Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang pemimpin Bali yang merdeka dari
kekuasaan Majapahit, namun dengan tiba-tiba harus tunduk kepada Majapahit.
Hal itu dilakukan demi kesatuan dan persatuan nusantara, sesuai amanat yang
diucapkan Mahapatih Gajah Mada di paseban agung tahun 1334 M (Slamet
Muljana, 1983: 166).
Gentong (Bejana)
Warisan Bejana ini berada di Pura Pusering Jagat yang oleh masyarakat
setempat disebut Sangku Sudamala. Lukisan yang dipahatkan adalah simbol gunung
yang dipakai mengacaukan (mengaduk) lautan guna mendapatkan air kehidupan
(amerta). Pada bagian pinggiran Bejana terdapat lukisan tahun candra sangkala yang
mengandung arti angka tahun 1251 Caka/ 1329 Masehi (Kempers, 1960: 63). Fungsi
dari Bejana (Sangku Sudamala) adalah sebagai media untuk mohon tirta (air suci)
pembersihan (panglukatan). Di samping ke dua tinggalan tersebut, terdapat puluhan
warisan seni arca dan warisan berupa batu alam, semuanya masih dikeramatkan dan
dipuja oleh masyarakat setempat.
Status pura sebagai kahyangan jagat tempat berstana dan memuja Dewa Siwa.
Suatu hal yang patut diapresiasi adalah bahwa Pemkab Gianyar sudah mulai melirik
Pura Pusering Jagat sebagai salah satu kahyangan jagat di Kabupaten Gianyar. Ketika
Pemkab Gianyar menyelenggarakan upacara tawur pamlepeh jagat “Manawa
Gempang” dipilih Pura Pusering Jagat sebagai locus pelaksanaannya. Dipilihnya Pura
Pusering Jagat selain karena berstatus kahyangan jagat juga sebagai pusar (pusat)nya
pulau Bali. Tawur Manawa Gempang yang diselenggarakan pada hari Senin Keliwon
wuku Landep 17 Maret 2014 dipimpin oleh pendeta Siwa (Geria Sanur, Pejeng) dan
Pendeta Buda (Geria Taman, Sukawati). Tujuannya adalah untuk menetralisir
kekuatan alam Bali agar perputarannya menjadi harmonis kembali.
Periode Gelgel
Abad 14-17 M
Sejak jatuhnya Bali ke tangan Majapahit tahun 1343 M (Slamet Muljana,
1979) pusat kerajaan dipindahkan ke Samprangan (Samplangan) Gianyar dan
dikendalikan oleh dinasti Kepakisan dengan raja pertama Sri Kresna Kepakisan.
Beliau mengendalikan pemerintahan tahun 1350-1380 M. Karena sesuatu dan
lain hal, kemudian salah seorang putranya Dalem Ketut Ngulesir (Dalem Tegal
Besung) memindahkan pusat kerajaannya ke Gelgel, Klungkung. Artinya, Dalem
Ketut Ngulesir merupakan cikal-bakal raja-raja Gelgel dan memimpin Bali sejak
tahun 1380-1460 M.
Selama masa pemerintahannya dimanfaatkan untuk membangun
sendi-sendi kekuatan baik bidang politik maupun keagamaan. Bidang politik,
pemindahan pusat kerajaan dari Samprangan ke Gelgel dilakukan secara damai
tanpa pertumpahan darah. Kemudian dalam hal keagamaan, beliau
menyelenggarakan upacara Sradha untuk memperingati hari wafatnya raja
Astasura Ratna Bhumi Banten 4 Maret 1330, bertempat di Pura Tegeh Koripan,
Sukawana Kintamani, Bangli (Mirsha, 1980). Dengan demikian, para pengikut
atau orang-orang yang mencintai rajanya (Astasura) menjadi puas dengan sikap
dan perilaku sang raja (Dalem Ketut Ngulesir), dengan sendirinya mereka
mendukung kepemimpinannya.
Bahkan yang lebih penting adalah mengakui Pura Besakih sebagai pusat
persembahyangan bagi masyarakat Bali, sekaligus sebagai pura “tri kahyangan”
kerajaan. Menurut Goris, tri kahyangan kerajaan terdiri atas: Pura Gunung, Pura
Penataran, dan Pura Segara. Pada zaman Bali Kuna, saat pusat kerajaan berada di
Pejeng-Bedulu, Pura Penulisan sebagai pura gunung; Pura Penataran Sasih
sebagai pura penataran; dan Pura Pusering Jagat, sebagai pura segara. Kemudian
pada jaman Gelgel, Pura besakih sebagai pura gunung; Pura Dasar Bhuwana,
sebagai pura kerajaan; dan Pura Watu Klotok, sebagai pura segara (Goris, dalam
Srijaya, 2012: 62).
Khususnya di bidang kesenian, sewaktu masa pemerintahan Dalem Ketut
Ngulesir tidak ada disinggung. Namun demikian, aktivitas seni budaya selalu
berjalan sesuai kebutuhan masyarakat, baik untuk melengkapi upacara
keagamaan maupun untuk hiburan. Bagaimanapun juga bahwa berkesenian
merupakan kebutuhan pokok dan tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan
aktivitas keagamaan. Sebagai contoh pada saat kegiatan upacara sradha yang
diselenggarakan di Pura Pucak Penulisan dan upacara keagamaan di Pura
Besakih, misalnya. Kegiatan upacara keagamaan berskala besar seperti yang
dilakukan di kedua tempat tersebut sangat membutuhkan pagelaran seni budaya,
baik sebagai pelengkap upacara maupun untuk hiburan masyarakat. Jenis-jenis
kesenian yang dipertunjukan tampaknya tidak jauh berbeda dengan masa-masa
sebelumnya, baik yang bersifat sakral (berhubungan dengan keagamaan)
maupun yang bersifat profan (hiburan).
Kehidupan seni sastra mengalami masa klasiknya pada masa
pemerintahan Dalem Watu Renggong. Dalam mengendalikan roda pemerintahan
beliau didampingi oleh Dang Hyang Nirartha, seorang brahmana yang maha
bijaksana dan ahli di bidang seni sastra. Bahkan raja sendiri juga senang
membuat syair. Berbagai hasil karya sastra gubahan Dang Hyang Nirartha, antara
lain: Kidung, Wukir Padelegan, Pupuh, Sumaguna, Rareng Cangge, Wilet
Manyuram dan Usana Bali. Selain karya sastra kesusatraan Bali asli, karya sastra
sebelumnya yang merupakan pengaruh dari Jawa Timur, seperti cerita Bharata
Yuda, Arjuna Wiwaha, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya. Salah satu hasil karya sastra
yang sangat terkenal ialah Sutasoma karya Empu Tantular yang di dalamnya
memuat tentang semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (Mirsha, dkk, 1980: 61).
Dalam perjalanan waktu yang relatif panjang sejak berakhirnya jaman Gelgel
hingga saat ini, berbagai bentuk karya sastra yang dapat mengantarkan Gelgel ke
puncak keemasannya masih terpelihara dengan baik di Bali.
VI Penutup
Sebelum Hindu masuk, bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur
budaya asli, seperti: mengenal susunan masyarakat yang teratur; pemujaan
terhadap roh leluhur; tempat suci dengan punden berundak-undak, sistem
penguburan dengan menggunakan sarkopagus; ilmu perbintangan; perdagangan;
mata uang; cosmological dualisme (gunung dan laut); memelihara binatang; dan
kesenian. Unsur-unsur budaya lokal inilah yang menjadi modal dasar menerima
pengaruh agama dan kebudayaan Hindu. Karena di antara kedua negara tersebut
memiliki dasar-dasar kebudayaan yang sama, yaitu kebudayaan neoitikum Asia
tenggara, sehingga dengan mudah dapat diterima dan berakulturasi secara
harmonis dengan budaya asli (Indonesia).
Pengaruh Hindu tertua masuk di daerah-daerah pedalaman, seperti Kutai
Kalimantan Timur dan Tarumanagara Jawa Barat. Warisan budaya dari kedua
kerajaan tersebut belum ada yang menampakkan tentang seni budaya. Ketika
terjadi perkembangan yang hebat di Jawa Tengah, tempat kedudukan kerajaan
pun terletak di daerah pedalaman, seperti di dataran Kedu dan Prambanan. Seni
budaya juga berkembang dengan sangat pesat dan didominasi
bangunan-bangunan yang serba monumental, baik dari Agama Hindu maupun
Agama Budha. Candi-candi dari Agama Hindu, seperti: kelompok Candi Gedong
Songo, Candi Dieng, Jawa Tengah Utara, kelompok Candi Prambanan, Candi
Plaosan, Jawa Tengah Selatan; dan candi-candi dari Agama Budha, seperti: Candi
Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon dan candi-candi Budha lainnya. Periode
abad 8-10 M kemudian lebih dikenal dengan masa klasik Jawa Tengah. Selain seni
bangunan, seni pertunjukan dan seni sastra juga telah berkembang saat itu.
Hal yang sama juga terjadi ketika pusat kerajaan berada di Jawa Timur,
yaitu: pada masa Mpu Sindok, berlanjut jaman Kediri, Singosari, dan sampai
kepada jaman Majapahit, pusat-pusat kehinduan dipilih di daerah-daerah
pedalaman. Namun yang berbeda, bahwa di Jawa Timur bukan seni arsitektur
yang menonjol, melainkan seni sastra yang berkembang dengan subur. Berbagai
karya sastra sang pujangga terkenal dihasilkan pada jaman Kediri dan jaman
Majapahit, seperti berbagai karya sastra yang mengantarkan Kediri ke masa
klasik di bidang sastra. Kemudian pada jaman Majapahit, kehadiran Mpu
Prapanca dengan karya sejarahnya yang sangat terkenal yaitu Kitab
Nagarakretagama 1365 M, yang isinya beberapa hal penting tentang: riwayat
Singosari dan Majapahit; kota Majapahit, daerah jajahan Majapahit; perjalanan
keliling Hayam Wuruk ke Lumajang; upacara sradha untuk roh Gayatri; dan
keagamaan jaman Hayam Wuruk. Prapanca juga memuji keagungan raja Sri
Rajasanagara, dan memandang baginda sebagai titisan Ciwa-Budha dan
penitisannya untuk menetramkan kerajaan (Muljana,1979: 22).
Kemudian Bali ketika masa Bali Kuna, seperti halnya di Jawa Tengah dan
jawa Timur yang juga memilih tempat sebagai pusat kehinduan di daerah dekat
sungai, tepatnya di daerah aliran sungai (DAS) Pekerisan dan Petanu, dan
desa-desa yang berada di antara kedua sungai tersebut, yaitu Desa Pejeng dan
Desa Bedulu. Warisan keseniannya yang menarik adalah candi tebing dan ribuan
warisan seni arca. Sejak jatuhnya Bali ke tangan Majapahit kehinduan pindah
dari Pejeng-Bedulu ke Samprangan untuk beberapa tahun, dan selanjutnya ke
Gelgel-Klungkung. Di bawah kepemimpinan Dalem Waturenggong dan
didampingi oleh Dang Hyang Nirartha sebagai pendeta istana (purohita)
kehidupan seni sastra mengalami masa klasiknya. Pesatnya kemajuan seni sastra,
selain Dang Hyang Nirartha cukup banyak menggubah karya seni sastra dan raja
sendiri senang membuat syair. Kemudian karya seni lokal (Gelgel) dipadukan
dengan karya seni sastra yang dibawa dari Majapahit yang menyebabkan Gelgel
kaya dengan karya seni sastra.
Dalam perjalanan panjang selama 13 abad sejak jaman Kutai Kalimantan
Timur abad 4 M hingga berakhirnya jaman Gelgel, Klungkung Bali abad 17 M,
kehidupan seni budaya nusantara penuh dengan dinamika dan perubahan. Berbagai
ragam bentuk dan jenis kesenian dengan fungsinya masing-masing hidup dan tumbuh
dengan subur di masyarakat. Namun berkaitan dengan skala prioritas bentuk kesenian
yang dikembangkan, hal itu sepenuhnya ditentukan oleh pengendali kekuasaan. Hal
itulah yang menyebabkan bahwa masa klasik kesenian yang dialami masing-masing
daerah berbeda. Seperti Jawa Tengah, mengalami masa klasik di bidang seni
bangunan candi; Jawa Timur, mengalami masa klasik di bidang seni sastra, Bali masa
Bali Kuna, mengalami masa klasik di bidang seni pertunjukan, dan pada jaman Gelgel
masa klasiknya di bidang seni sastra.
Daftar pustaka
Ekawana, I Gusti Putu. 1985. “Selembar Prasasti Raja Patih Kebo Parud”, dalam
Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA III) Ciloto, 23-28 Mei 1983. Proyek
Penelitian Purbakala. Jakarta: Depdikbud.
Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Inscripties Voor Anak Wungsu. Band I. Bandung:
Masa Baru.
Kempers, A.J. Bernet. 1956. Bali Purbakala. Djakarta: Balai Buku Indonesia.
Mirsha, I G N Rai. 1980. Sejarah Bali. Pemda Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Sedyawati, Edi. 1987. “Estetika dalam Arkeologi Indonesia”, dalam Diskusi Ilmiah
Arkeologi II Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Soekanto, dkk. 1980. Album Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta: Proyek
Media Kebudayaan Depdikbud RI, Dirjen Kebudayaan.
Srijaya, I Wayan. 2012. The Spread of Archaelogical Saites along Pakerisan and
Petanu Rivers, dalam Recent Studies in Indonesian Archaeology. Editors:
Edi Sedyawati dan I Wayan Ardika. New Delhi: B.R. Publishing Corporation
425, Nimri Colony Ashok Vihar, Phasde-IV Delhi-110052.
Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV Bali Media
Adhikarsa.