Anda di halaman 1dari 24

PERIODISASI KESENIAN MASA KERAJAAN HINDU

DI NUSANTARA

Anak Agung Gede Raka

Abstrak
Berdasarkan sumber prasasti Kutai, bahwa pengaruh Hindu yang masuk pertama
kali di nusantara. Daerah-daerah yang dicari sebagai tempat kediaman yang
dihindukan ternyata terlalu jauh di pedalaman, seperti Kutai Kalimantan Timur
dan Tarumanagara Jawa Barat. Warisan budaya dari kedua kerajaan tersebut
belum ada yang menampakkan tentang seni budaya. Ketika terjadi
perkembangan yang hebat di Jawa Tengah, kali ini pun tempat kedudukan
kerajaan terletak di daerah pedalaman, seperti di dataran Kedu dan Prambanan.
Seni budaya juga berkembang dengan sangat pesat dan didominasi
bangunan-bangunan candi yang serba monumental. Hal yang sama juga terjadi
ketika pusat kerajaan berada di Jawa Timur, yaitu: pada masa Mpu Sindok,
berlanjut jaman Kediri, Singosari, dan sampai kepada jaman Majapahit,
pusat-pusat kehinduan dipilih di daerah-daerah pedalaman. Namun yang
berbeda, bahwa di Jawa Timur bukan seni arsitektur yang menonjol, melainkan
seni sastra yang berkembang dengan subur. Bali ketika masa Bali Kuna, seperti
halnya di Jawa Tengah dan jawa Timur yang juga memilih tempat sebagai pusat
kehinduan di daerah dekat sungai, tepatnya di daerah aliran sungai (DAS)
Pekerisan dan Petanu, dan desa-desa yang berada di antara kedua sungai
tersebut, yaitu Desa Pejeng dan Desa Bedulu. Warisan keseniannya yang menarik
adalah candi tebing dan ribuan arca. Kemudian sejak jatuhnya Bali ke tangan
Majapahit kehinduan pindah dari Pejeng-Bedulu, dan berkembang dengan pesat
di Gelgel-Klungkung. Pada zaman Gelgel warisan seni sastra mencapai masa
klasiknya seperti pada zaman Kediri.

Kata Kunci: Periodisasi, Kesenian, Kerajaan Hindu, Nusantara


I Pendahuluan
Pengaruh budaya Hindu memiliki arti penting bagi Indonesia, karena
dapat mengantarkan negeri ini untuk meninggalkan jaman prasejarah menuju
jaman sejarah. Dalam hal keagamaan, kehadiran budaya Hindu juga
memperkenalkan sistem pemujaan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi
Tuhan. Keberadaan agama dengan sistem religi dan tatacara upacara keagamaan
yang mendukungnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya
masyarakat, bahkan menyatu bagaikan kulit dan daging. Karena itu, manakala
ingin mengetahui dan memahami nilai-nilai ke-Tuhan-an dalam agama Hindu,
sesungguhnya dapat belajar dari budayanya. Leluhur bangsa kita mengakui
bahwa daerah asal agama Hindu adalah India. Walaupun demikian, sebagai
bangsa berkepribadian tinggi yang memiliki dasar-dasar budaya yang telah
mengakar sejak zaman pra Hindu, tidak serta merta menerima unsur-unsur
budaya asal agama tersebut. Namun dipilih yang mudah dapat menyesuaikan
dengan alam pikiran dan perasaan lokal.
Di depan telah diungkapkan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki
unsur-unsur budaya asli sejak masa pra Hindu. Bahkan ketika masuknya
unsur-unsur budaya Dongson dari Yunnan, Tiongkok Selatan, dengan
mewariskan benda-benda, seperti: nekara, candrasia, berbagai peralatan
upacara, dan lain-lain, leluhur kita tidak hanya meniru model benda-benda yang
dibawanya. Namun beberapa di antara para leluhur kita telah memiliki
kecerdasan dan kreatif dalam penciptaan bentuk-bentuk yang baru. Berkat
kecerdasannya, mampu menciptakan teknik-teknik baru untuk mendapatkan
benda-benda sesuai kebutuhan. Artinya, di negeri kita sudah memiliki
orang-orang (SDM) yang memiliki keterampilan khusus (undagi) dalam hal
mengerjakan benda-benda dari perunggu. Nekara Pejeng Pejeng (Bali)
merupakan salah satu hasil karya penduduk lokal yang kental dengan nilai-nilai
lokalnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984).
Ketika masuk pengaruh budaya Hindu, bahwa daerah-daerah yang dicari
sebagai tempat kediaman yang dihindukan ternyata tempat-tempat yang terlalu
jauh di pedalaman Kalimantan dan Jawa Barat. Ketika terjadi perkembangan
yang hebat di Jawa Tengah, kali ini pun tempat kedudukan kerajaan terletak di
daerah pedalaman, di dataran Kedu dan Prambanan yang dikelilingi oleh gunung
berapi dari segala penjuru dan sukar didatangi dari pantai (Bosch, 1974: 18). Hal
yang sama juga terjadi pada masa selanjutnya saat pusat kerajaan pindah dari
Jawa Tengah ke Jawa Timur, pada masa Mpu Sindok, berlanjut jaman Kediri,
Singosari, dan sampai kepada jaman Majapahit, pusat-pusat kehinduan dipilih di
daerah-daerah pedalaman. Fenomena serupa terjadi di Bali ketika jaman Bali
Kuno, bahwa tempat yang dipilih sebagai pusat kehinduan berada di daerah
dekat sungai, tepatnya di daerah aliran sungai (DAS) Pekerisan dan Petanu, dan
desa-desa yang berada di antara kedua sungai tersebut, yaitu Desa Pejeng dan
Desa Bedulu (Stutterheim, 1935; Kempers, 1956).
Sebagaimana diungkapkan oleh Bosch, Stutterheim, dan Kempers dalam
hal kehinduan di Indonesia berdasarkan hasil karya budaya yang ditinggalkan
dan sampai kepada kita saat ini, bahwa sebagian besar warisannya berupa
benda-benda kesenian. Sehingga sejarah kebudayaan Indonesia terkesan sebagai
sejarah kesenian (Soekmono, 1973). Sedyawati (2006: 309), mengelompokkan
hasil-hasil kesenian di Indonesia menjadi 4 (empat), yaitu: (1) seni rupa (seni
bangunan, seni arca, keramik, dan lain-lain); (2) seni pertunjukan (seni tari, seni
tabuh, seni teater, dan lain sebaginya); seni sastra (puisi, prosa, seni vokal, dan
sebaginya; dan (4) seni media rekam.
Dalam paper ini, akan dipaparkan periodisasi kesenian Hindu Indonesia
sejak Hindu tertua, yaitu: Periode Kutai, Kalimantan Timur dan Jawa Barat, abad
4 M-5 M; Periode Jawa Tengah abad 8-10 M; Periode Jawa Timur, yaitu: Masa
Kediri abad 11-13 M, Masa Singosari abad 13 M, dan Masa Majapahit abad 13-15
M; dan Periode Kesenian Bali, yaitu: Masa Hindu Bali abad 8-10 M, Masa Bali
Kuna abad 10 M-13 M, dan Masa Bali Madya abad 13-14 M; dan Masa Gelgel abad
14-17 M. Perlu dicatat, bahwa jenis-jenis kesenian yang diangkat dalam tulisan
ini dipilih dan diupayakan yang dapat merepresentasikan jamannya
masing-masing.

II Periode Kutai dan Tarumanagara


Abad 4-5 M
Berdasarkan sumber data tertulis berupa prasasti yang sampai kepada
kita, terungkap bahwa pengaruh Hindu yang membuka lembaran sejarah bangsa
Indonesia (Kartodirdjo, 1975). Prasasti yang dimaksud adalah prasasti Kutai
yang dikeluarkan atas perintah raja Mulawarman, anak Aswawarman, cucu
Kundungga. Prasasti ditulis menggunakan hurup Pallawa berbahasa Sanskerta.
Dalam prasasti disebutkan pula pemujaan kepada dewa Ansuman (Matahari);
menyebut tempat suci Waprakeswara (Wapraka Iswara: tempat suci untuk Dewa
Siwa); serta menyebut Aswawarman sebagai wamcakarta (pembentuk keluarga).
Penegasan Aswawarman sebagai pembentuk keluarga, memberi petunjuk bahwa
Kundungga adalah orang Indonesia asli sebagai tokoh pertama penerima
pengaruh Hindu.
Peristiwa penting seperti itu kemudian muncul di Jawa Barat sebagai
Baprapakeswara (tempat suci untuk Dewa Siwa), merupakan tempat suci yang
selalu disebut berhubungan dengan dewa besar tiga, yakni Brahma-Wisnu-Siwa
(Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 36). Kerajaan Tarumanagara yang
dikenal sebagai negara dihias 7 (tujuh) buah prasasti yang dalam hal keyakinan
lebih menekankan pemujaan kepada Wisnu. Hal itu dengan jelas disebutkan
dalam prasasti Ciaruton bahwa kerajaan Tarumanegara dikendalikan oleh raja
Purnawarman sebagai titisan Wisnu. Dalam prasasti juga ada menyebut
kendaraan dewa Indra, yaitu Gajah Airawata. Artinya, selain memuja Wisnu
sebagai dewa tertinggi, Beliau juga memberikan pemujaan kepada Dewa Indra.
Khususnya dalam hal kesenian, tidak ada satu prasasti pun yang
ditinggalkan menyebut tentang kegitan tersebut. Walaupun ada menyebut
tempat suci Waprakeswara (Kutai) dan Babrakeswara (Tarumanagara), seperti
apa wujud bangunannya dan jenis kesenian apa yang dipagelarkan ketika
upacara peresmian prasasti? Tentu sangat sulit untuk menggambarkannya.
Tetapi tradisi yang berkembang di masa kemudian ketika ada upacara peresmian
prasasti dan penetapan sima, sudah biasa dipagelarkan kesenian.
Prasasti-prasasti dan relef-relief candi Barabudur dan Prambanan Jawa Tengah
memberi data tentang bermacam-macam seni pertunjukan (Poesponegoro dan
Notosusanto, 1984: 248). Untuk seni bangunan, bahwa ada sebuah bangunan
candi di desa Cangkuang, Jawa Barat yang berdasarkan teknik penyusunan
batu-batunya, candi ini termasuk golongan candi tertua di Indonesia (Soekanto,
dkk, 1980). Namun untuk menguatkan bahwa candi tersebut tergolong tua,
untuk membuktikannya, tentu dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
III Periode Jawa Tengah
Abad 8-10 M
Dari abad 8 M-10 M merupakan masa klasik Jawa Tengah. Dua dinasti
besar yang berkuasa selama dua abad yaitu dinasti Sanjayawangsa yang
beragama Hindu dan Sailendrawanga yang beragama Budha. Dari kedua dinasti
meninggalkan karya seni bangunan yang serba monumental, yang menyebar di
wilayah Jawa Tengah Utara, candi Dieng dan Gedong Songo (candi-candi Siwa)
dan Jawa Tengah Selatan, kelompok candi Siwa Prambanan abad 8/9M, candi
Sewu, dan candi Plaosan Lor abad 9 M, candi Borobudur-Mendut-Pawon
(candi-candi Budha) di Klaten dan lain-lain. Candi Ciwa Prambanan merupakan
simbol puncak kebesaran dan kejayaan dinasti Sanjaya. Serta candi Plaosan
dibangun sebagai wujud hubungan baik bidang politik, yakni perkawinan antara
Rakai Pikatan beragama Hindu dan Pramodawardhani beragama Budha.
Khususnya bangunan candi Ciwa Prambanan dibangun sangat megah,
dilengkapi arca-arca yang indah, lukisan pada relief yang indah dengan
mengambil cerita Ramayana. Dengan bercermin kepada pernyataan Sutjipto
Wiryosuparto tentang cara-cara bangsa India dalam mencurahkan seluruh
hidupnya bagi keagungan para dewa. Para pemahat dengan seluruh
kemampuannya berusaha menciptakan benda-benda yang dapat dijadikan alat
pemujaan kepada dewa-dewa. Pada bagian berikut kutipan dari ungkapan
Wiryosuparto:
Seni arca menciptakan arca dewa-dewa dipergunakan untuk mengadakan
hubungan dengan dewa-dewa tersebut, sedangkan seni bangun
menciptakan bangunan-banguna sebagai tempat kediaman dewa-dewa;
begitu pula seni lukis menghias tembok-tembok rumah perdewaan
dengan cerita dewata. Di sampingnya ini seni drama mempertunjukan
cerita dewata yang dilakukan oleh pelaku manusia, sedangkan seni musik
dengan seni suaranya memuja kebesaran dewa-dewa (Wiryosuparto,
dalam Ratnaesih Maulana, 1997: 3).

Hal yang serupa juga dilakukan oleh para seniman Indonesia. Secara
keseluruhan dengan melihat dan mengamati keberadaan bangunan candi, betapa
tingginya semangat hidup keagamaan pada masa pemerintahan raja-raja dari
keturunan Sanjaya. Semangat hidup keagamaannya dapat dilihat dari bangunan
candi yang serba megah, patung-patung yang indah, lukisan-lukisan yang indah,
dengan dilengkapi pementasan teater ketika ada upacara keagamaan, tentu
dengan menjadikan cerita yang dipahatkan pada panil candi sebagai topiknya.
Hal itu semua sebagai bentuk persembahan kepada dewa tri murti (Brahma,
Wisnu, dan Ciwa), dan menempatkan Siwa sebagai dewa tertinggi yang
diwujudkan dalam bentuk bangunan yang lebih besar dan lebih tinggi. Artinya,
pemujaan kepada dewa tri murti dengan memposisikan Siwa sebagai dewa
tertinggi.
Kemudian candi Plaosan, merupakan sebuah bangunan suci yang
dibangun atas kerajasama Rakai Pikatan (Hindu) dan Pramodawardhani (Budha)
(Soekmono, 1973). Namun sesungguhnya hubungan baik (sinkritisme) antara
Siwa dan Budha telah lebih awal dimulai. Hubungan tersebut dapat diketahui
dari prasasti Klurak, yang didalamnya menguraikan tentang sebuah Bodhisatwa
Manjusri didirikan. Manjusri dinamakan dharmesetu, kemudian disebutkan
mutiara berganda tiga, yaitu tri ratna yang terdiri dari Budha, Dharma, dan
Sangha berada di dalamnya. Selanjutnya Manjusri sebagai pendukung Vajra, juga
merupakan tri murti yang terdiri dari Brahma, Wisnu, dan Siwa, dan akhirnya
Manjusri dinamakan Tuhan (Bosch, 1974: 6).
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat juga tidak terlepas dari kebutuhan
hiburan. Prasasti-prasasti dan relef-relief candi Barabudur dan Prambanan Jawa
Tengah memberi data tentang bermacam-macam seni pertunjukan. Ada seni
pertunjukan wayang yang mengambil lakon Bhima Kumara dari cerita Wirata
Parwa (dalang Galigi), petilan wayang orang dengan cerita Kicaka yang sedang
mabuk asmara dengan Drupadi (Arjuna Wiwaha). Selain itu juga lawak mamirus
dan mabanyol, dan kemudian hampir dijumpai dalam setiap prasasti dan pada
relief candi-candi Jawa Timur. Tarian-tarian yang dapat ditarikan bersama oleh
laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan pemuda-pemudi. Namun ada juga
tarian-tarian khusus, seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Tari
Topeng (matapukan); alat-alat musik pengiring, seperti: gendang (padahi), kecer
atau simbal (regang), semacam gambang, saron, kenong, kecapi (wina), dan
seruling yang biasanya dipentaskan berhubungan dengan penetapan sima
(Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 248).
IV Periode Jawa Timur
Abad 11-15 M
Dengan meletusnya gunung Merapi menyebabkan pindahnya pusat
kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Periode Jawa Timur diawali dari
pemerintahan Empu Sendok abad 10 M (929-947 M). Putri Sendok kawin dengan
Rakai Kayuwangi (Dyah Lokapala), dan menurunkan raja masyur Dharmawangsa
yang bersaudara dengan Gunapriyadharmapatni. Ketika masa pemerintahan
Dharmawangsa dilaksanakan proyek besar, yakni menyalin (manjawaken) kitab
Ramayana Kakawin karya pujangga Batti (Batti Kawya) bagian Uttara Kanda dan
9 parwa dari cerita Mahabharata kedalam bahasa Jawa Kuna. Kesembilan parwa
dimaksud, antara lain: Adi Parwa, Sabha Parwa, …….., Wirata Parwa, Udyoga
Parwa, Bhisma Parwa,……. Asramawasana Parwa, Mosala Parwa, Prasthanika
parwa, dan Swargarohana Parwa (Poesponegoro, 1984: 253). Seni sastra yang
dihasilkan adalah kitab Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa.
Setelah Dharmawangsa, kepemimpinan dilanjutkan Airlangga, putra
Dharma Udayana Warmadewa (Bali), atas perkawinannya dengan
Gunapriyadharmapatni (saudara Dharmawangsa). Airlanga sangat menghargai
adanya kebersamaan dalam perbedaan. Hal itu ditunjukkan oleh kehadiran para
pendeta Buda, Siwa, dan Brahmna untuk menobatkan Airlangga sebagai raja
menggantikan Dharmawangsa (Soekmono, 1973: 55). Ketika masa
pemerintahannya, selain seni sastra, juga berkembang kesenian lawak dan
hampir disebutkan pada semua prasasti yang pagelarannya dikaitkan dengan
upacara penetapan sima (Poesponegoro dan Notosusasanto, 1984: 248). Pelawak
mungkin sebagai prototipe dari tokoh-tokoh punakawan yang memiliki tugas
sebagai pengiring tuannya, dan kerapkali dalam sebuah dialognya menyelipkan
lelucon (mabanyol).
Dalam konteknya dengan tradisi mempertunjukan lawak dalam upacara
penetapan sima di Jawa Timur, apakah tidak mungkin merupakan sebuah tradisi
yang dibawa dari Bali? Mengingat bahwa Airlangga adalah putra Udayana
Warmadewa. Airlangga tertarik mementaskan lawak, karena sifatnya menghibur.
Artinya, hiburan tersebut tidak dibutuhkan oleh keluarga istana, namun juga
rakyatnya. Untuk itulah pada setiap upacara penetapan sima, keluarga istana
bersama-sama dengan rakyatnya menikmati hiburan lawak.
Masa Kediri
Abad 11-13 M
Berbeda dengan periode klasik Jawa Tengah yang banyak menghasilkan
bangunan-bangunan candi yang serba monumental, seperti: Borobudur dan
Prambanan. Namun masa klasik seni sastra Jawa Kuna berlangsung pada jaman
Kediri, Jawa Timur. Demikian pula tentang seni pertunjukan, kita mendapatkan
gambaran dari seni sastra, tidak seperti jaman klasik Jawa Tengah, kita
mendapatkan gambaran perihal seni pertunjukan dari relief-relief candi.
Hasil-hasil karya sastra seperti disebut pada bagian berikut merupakan sumber
cerita yang menginspirasi para seniman pertunjukan dalam berkarya pada jaman
Kediri. Berikut hasil karya sastra kakawin yang dihasilkan, antara lain:
Arjunawiwaha dikarang oleh Mpu Kanwa, Krsnayana, dikarang oleh Mpu
Triguna, Sumanasantaka, dikarang oleh Mpu Monaguna, Smaradahana, dikarang
oleh Mpu Dharmaja, Bharatayuda dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh,
Hariwangsa dikarang Mpu Panuluh, Gatotkacasraya dikarang oleh Mpu Panuluh,
Wrtasancaya dikarang oleh Mpu Tanakung, dan Lubdaka dikarang oleh Mpu
Tanakung (Soekmono, 1973).

Masa Singosari dan Majapahit


Abad 13-15 Masehi
Pada masa Singosari lebih banyak meninggalkan warisan candi-candi
sebagai pedharmaan raja dan tempat pemujaan. Tetapi yang membedakan
dengan candi-candi agama Budha, bahwa arca-arca yang ada dan menjadi bagian
dari candi dilengkapi laksana (senjata). Sedangkan arca-arca Budha tanpa
dilengkapi laksana, dan untuk membedakan antara tokoh arca satu dengan yang
lainnya ditunjukkan dengan sikap tangan.
Beberapa di antara candi-candi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Candi Kidal, Kecamatan Tumpang, Malang untuk memuliakan roh suci raja
Anusapati, th 1260. Pada bagian kaki candi terdapat pahatan Garuda, pragmen
dari cerita Garudeya membawa guci amerta.
2. Candi Jago, Kecamatan Tumpang, Malang untuk memuliakan roh suci raja
Wisnuwardhana, th 1268 M. Bentuk bangunan teras berundak-undak, dengan
hiasan relief candi, berupa cerita Kunjarakarna, Partayadnya, Kresnayana, dan
Arjunawiwaha.
3. Candi Singosari, Kecamatan Singosari, Malang, untuk memuliakan roh suci raja
Kertanegara yang wafat tahun 1292 M, dan dibangun 1304 M, tepatnya pada
upacara sradha yang dilaksanakan oleh Raden Wijaya.
4. Candi Jawi, Pasuruan, tempat suci raja Kertanagara sebagai Ciwa-Budha
(Soekmono, 1973).
Tampaknya para seniman teater (drama) mendapat sumber inspirasi
dalam mewujudkan karya seninya dari sumber sastra, relief-relief candi, dan dari
bangunan candi itu sendiri. Tentu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh
para seniman Jawa saat ini. Bahwa dalam hal berkarya, banyak di antara mereka
terinspirasi oleh cerita dari tokoh raja yang membangun candi, relief candi,
upacara yang dilaksanakan berhubungan peresmian candi, dan ada juga yang
menjadikan candi itu sendiri sebagai bagian dari cerita. Sebagai contoh: cerita
tentang kesatuan Siwa-Buda, mengangkat candi Jawi sebagai judul cerita; candi
Singosari sebagai judul garapan behubungan dengan Kertanegara sebagai
penekun ajaran Tantrayana, misalnya. Artinya, selain seni arsitektur, bahwa saat
itu juga telah berkembang seni pertunjukan drama (teater). Kesenian sangat
dibutuhkan masyarakat agraris sebagai hiburan untuk mengisi waktu senggang
sehabis melakukan kegiatan di sawah.
Kemudian pada jaman Majapahit kegiatan pembangunan candi masih
tetap dilakukan. Beberapa di antaranya yaitu membangun candi Surawana dan
Tigawangi oleh Hayam Wuruk di dekat Kediri. Pembangunan candi merupakan
sebuah tradisi bagi raja-raja pada jaman Hindu. Ketika ada raja yang wafat, raja
yang mengganti atau keturunannya mempunyai kewajiban untuk membuatkan
candi untuk mendharmakan roh sucinya. Bahkan ketika masa sulit menjelang
runtuhnya Majapahit candi Sukuh dibangun, di kaki gunung Lawu, Ngargoyoso,
Karanganyar. Struktur candi seperti halnya struktur bangunan pura di Bali (Suro
Gedeng, 2010: 4).

Warisan terpenting dari masa Majapahit di antaranya:


1. Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca 1365 M, isinya beberapa hal penting
tentang: riwayat Singosari dan Majapahit; kota Majapahit, daerah jajahan
Majapahit; perjalanan keliling Hayam Wuruk ke Lumajang; upacara sradha untuk
roh Gayatri; dan keagamaan jaman Hayam Wuruk. Prapanca juga memuji
keagungan raja Sri Rajasanagara, dan memandang baginda sebagai titisan
Ciwa-Budha dan penitisannya untuk menetramkan kerajaan (Muljana,1979: 22).
2. Sutasoma karya Mpu Tantular yang di dalamnya menguraikan tentang hal
penting, yakni tentang kemanunggalan Siwa-Budha;
3. Arjunawijaya karya Mpu Tantular, isi pokoknya tentang tunduknya Rahwana
kepada Arjuna Sahasrabahu.
4. Kunjarakarna, isi pokoknya tentang raksasa Kunjarakarna yang ingin menjelma
menjadi manusia, kemudian menghadap Wairocana dan dijinkan melihat neraka.
Karena taat kepada ajaran Budha, keinginannya terkabul.
5. Parthayadnya, isi pokoknya tentang Pandawa setelah main dadu, kemudian
mereka ke hutan, dan Arjuna bertapa.
Selanjutnya yang tegolong Majapahit II, di antaranya: Tantu Pagelaran, Calon
Arang, Bubuksah dan Gagakaking, dan lain-lain (Soekmono, 1973).

V Periode Kesenian Bali


Abad 8-17 Masehi
Periodisasi kesenian Hindu di Bali sejak abad 8 M-17 M secara umum
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: periode kesenian Bali menurut pembabakan W.F.
Stutterheim abad 8-14 M. dan periode kesenian zaman Gelgel abad 14-17 M.
Pertama, periodisasi menurut Stutterheim (1929), yang mengelompokkan
kesenian Bali menjadi 4 (empat) periode, yaitu: Hindu Bali (8-10 M), Bali Kuna
(10-13 M), Bali Tengah (13-14 M), dan Kelompok warisan tanpa penanggalan;
dan Kedua, periodisasi kesenian Hindu jaman Dinasti Kepakisan di Gelgel, abad
14-17 M. Seperti diketahui, bahwa pengelompokkan yang dilakukan oleh
Stutterheim sudah umum diketahui terutama oleh kalangan arkeolog. Kemudian
setelah Bali runtuh ke tangan Majapahit, daerah ini mulai memasuki era baru
yaitu pemerintahan raja-raja dari dinasti Kepakisan dengan memilih pusat
kerajaan di Samprangan. Dalam bentangan waktu 30 tahun berada di
Samprangan, karena sesuatu dan lain hal pusat kerajaan dipindahkan ke Gelgel,
Klungkung.
Walaupun terjadi pergantian dinasti dalam pengendalian pemerintahan,
namun keberadaan seni budaya tetap dipelihara dengan baik sehingga dapat
hidup berkesinambungan sebagaimana yang terjadi di Jawa. Keberadaannya bisa
eksis dan berkelanjutan karena kesenian merupakan bagian yang terpisahkan
dengan kehidupan keagamaan Hindu. Arti penting dari keberlanjutan seni
budaya karena kesenian merupakan salah satu aspek penting untuk dijadikan
sumber penulisan sejarah suatu bangsa. Bertolak dari hal itu pula, dalam tulisan
ini dicoba untuk mengungkap kehidupan dan perkembangan seni budaya pada
masa dinasti Kepakisan berdasarkan sumber-sumber yang ada sejak abad 14
hingga berakhirnya masa Gelgel abad 17 M. Dengan demikian, gambaran tentang
perkembangan kesenian di Indonesia pada umumnya dan khususnya Bali, akan
menjadi semakin lengkap.

Periode Hindu Bali


Abad 8-10 M
Berdasarkan sumber prasasti bahwa agama Budha yang lebih awal masuk
ke Bali. Prasasti tertua yang menyinggung tentang kehadiran agama Budha
diketahui dari stupika-stupka tanah liat yang ditemukan di Pejeng. Di dalam
stupika tersebut terdapat tablet-tablet bertuliskan hurup pra-nagari berasal dari
abad 8 M, sejaman dengan tulisan yang dipahatkan di atas pintu masuk candi
Kalasan Jawa Tengah yang berasal dari abad 8 M (Soekmono, 1973). Sumber
lainnya adalah arca Siwa yang tersimpan di Pura Putra Betara Desa, Bedulu,
Gianyar. Stutterheim menempatkan arca ini kedalam periode Prambanan, Kedu
Selatan abad 8 M. Kemudian dari sumber lainnya yaitu Prasasti Sukawana yang
berasal dari tahun 804 C/ 882 M (Goris, 1951-52), yang di dalamnya menyebut
tentang tokoh-tokoh agama, seperti: Ciwa Kangsita, Ciwa Pradnya, dan Ciwa
Nirmala. Keberadaan ketiga tokoh agama tersebut sudah jelas mengindikasikan
bahwa agama yang berkembang adalah Agama Ciwa. Namun tidak ada yang
menyinggung tentang kesenian.
Dalam beberapa tahun kemudian aktivitas seni budaya mulai berkembang
di masyarakat. Hal itu dapat diketahui dari beberapa sumber prasasti, di
antaranya: Prasasti Bebetin A1 tahun 818 S /896 M, prasasti Trunyan A1, tahun
813 S/ 891 M, dan prasasti Trunyan B, tahun 833 S/ 911 M. Ketiga prasasti
tersebut memberi keterangan tentang kehidupan seni budaya yang telah
berkembang ketika itu, seperti: juru tabuh, penyanyi, bunyi-bunyian, tukang
kendang, juru seruling, topeng, dan wayang. (Goris, 1951-52). Dari unsur-unsur
seni yang disebutkan dalam prasasti, bahwa saat itu sudah ada kelompok (sekaa)
tabuh dengan para pemain, seperti: tukang kendang, juru seruling, dan mereka
yang memainkan peralatan bunyi-bunyian; dan seni pertunjukan topeng, seni
pertunjukan wayang, serta penyanyi.

Periode Bali Kuna


Abad 10-13 M
Di depan telah diuraikan bahwa sumber-sumber yang menguraikan
tentang seni budaya sangat terbatas. Namun yang jelas seni patung sudah mulai
dimanfaatkan sebagai media pemujaan. Berdasarkan sumber prasasti dan seni
rupa, bahwa memasuki masa pemerintahan raja-raja dari dinasti Warmadewa
kegiatan seni budaya berlanjut terus. Tidak hanya terbatas pada seni
pertunjukan, tetapi juga seni rupa, baik seni bangunan maupun seni arca.
Udayana Warmadewa adalah salah seorang raja dari dinasti tersebut dikenal
sebagai raja yang termasyur atau golden agenya Bali Kuno. Sebagai raja yang
berhasil mencapai puncak kejayaannya, tentu banyak hal yang telah diperbuat
berkenaan dengan kepentingan rakyatnya. Khususnya dalam bidang kesenian
(seni pertunjukan) ada tiga buah prasasti yang dikeluarkan pada masa
pemerintahannya, antara lain yaitu:
(1) Prasasti Bwahan A
... yaka tapa haji, patahil ni kahyangan ing magha, mahanawami satikasaning
parsangkha, prasuling, parpadaha, ku 2 ing sawangunan mwang tikasan ing
apukul, paganding, pande wsi...(Goris, 1954)

Artinya:
... petugas yang mengurus pertapaan raja, dikenakan iuran patahil pada
bulan Magha, hari besar kesembilan termasuk peniup sungu, juru seruling,
tukang kendang, sebanyak 2 kupang, setiap kelompoknya, dan iuran tikasan, jika
penabuh, pagending, pande besi...
(2) Prasasti Sading A
... yanada paganding sang ratu ma (ra) nmak, di banwana, br (y)anna ya ma 1 yan
patapukan pamukul menmen banwal pirus sang ratu bryanna ku 2 patulak (Goris,
1954)
Artinya:
...jika ada rombongan penyanyi untuk raja datang di desanya supaya
diberi 1 ma, jika rombongan pemain topeng, pemukul gamelan, menmen
(topeng), dagelan, dan pelawak supaya diberi patulak 2 ku...
(3) Prasasti Pura Batur Abang A
...pande mas, pande wesi, pande tambra, kangsa,
mwang agending amukulanuling, maha ngkana, sapryan sawangunan.... (Goris,
1954)
Artinya:
.........pande mas, pande besi, pande tambra, perunggu (gangsa?) dan
penyanyi, juru tabuh, juru seruling, demikian ketentuan organisasi
(perkumpulan)......…..

Paparan singkat di depan menunjukkan bahwa pada jaman Udayana


kehidupan kesenian khususnya seni pertunjukan mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Bentuk-bentuk kesenian yang telah ada dipelihara dan diperkaya
dengan pengembangan bentuk kesenian lainnya, seperti menmen (topeng),
dagelan, dan pelawak. Kesenian topeng (patapukan) sesungguhnya sudah
disinggung, namun kenapa dimunculkan lagi dalam baris yang sama di dalam
prasasti, yakni dengan menyebutnya menmen (topeng). Apakah menmen
memiliki makna yang berbeda dengan patapukan? Perlu diadakan penelitian
lebih lanjut.
Kemudian dari aspek fungsi, dengan munculnya ungkapan dagelan dan
pelawak, hal itu menunjukkan bahwa keberadaan kesenian di jaman Udayana
tidak hanya untuk tujuan melengkapi upacara keagamaan, namun juga sebagai
hiburan. Sebagaimana diketahui bahwa pelawak tugasnya adalah menghibur.
Demikian pula dagelan, merupakan sebuah bentuk lelucon yang biasanya
diselipkan oleh para pemain (penari) di tengah-tengah mereka pentas.
Tujuannya adalah untuk menghibur atau membuat penonton dapat tertawa agar
terlepas dari suasana yang serius (tegang)
Selain seni pertunjukan, juga sudah berkembang seni sastra. Dalam
prasasti Bwahan ada disebut paganding yang artinya penyanyi, dan dalam
prasasti Sading A juga menyebut pagending. Namun dalam prasasti Batur Pura
Abang A menyebutnya agending yang artinya menyanyi. Baik pegending maupun
agending, tidak ada menampakkan suatu perbedaan yang prinsip. Karena
keduanya berhubungan erat antara profesi dan tugas yang diemban oleh setiap
orang atau kelompok orang yang berprofesi sebagai penyanyi (pegending) dalam
mengemban tugasnya menyanyi (agending). Suatu hal yang patut diketahui
adalah kegiatan menyanyi yang dilakukan. Apakah kegiatan tersebut dilakukan di
keraton, menyanyi keliling, atau dalam upacara keagamaan, sebagai contoh
upacara penetapan sima, misalnya. Namun, bila mencermati adanya kata-kata
pagending dan agending, rupa-rupanya menyanyi keliling (ngamen) telah
berkembang saat itu dan menyanyi di keraton pun juga sudah ada seperti
disebutkan pada prasasti Sading A, yaitu pagending haji (penyanyi keraton).
Kesenian lainnya yang juga berkembang dengan pesat ketika itu adalah
seni rupa (seni arsitektur dan seni arca). Warisan dalam bidang arsitektur
(bangunan) di antaranya berupa permandian, candi, dan Goa Pertapaan, yang
posisinya berada di pinggir DAS Pakerisan dan Petanu. Warisan yang dimaksud
dari hulu ke hilir, yaitu: Tirta Empul sebagaimana disebutkan dalam prasasti
Manukaya 962 M (10 M) yang berkaitan erat dengan masa pemerintahan
Jayasingha Warmadewa; Candi Mengening, sebagai pedharmaan Udayana
Warmadewa, abad 11 M; Candi Gunung Kawi sebagai pedharmaan Anak Wungsu,
abad 11 M; Candi Pengukur-ukuran dan Goa Pertapaan, berhubungan dengan
Jayapangus abad 12 M; Goa Gajah dan Kolam Permandian, berhubungan erat
dengan masa Kediri Jawa Timur abad 11 M; Arca Durga Mahisasura Mardhini
sebagai perwujudan Mahendradatta, abad 11 M (Kempers, 1956: 52), dan
semuanya berada di Kabupaten Gianyar.
Kemudian untuk warisan seni arca yang termasuk dalam periode Bali
Kuna adalah warisan seni arca di Pura Bukit Penulisan. Sumber prasasti yang
menyinggung tentang kehidupan seni arca, antara lain: Prasasti Gunung
Penulisan A 933 S, yang menyebut ……..mpu bga anatah (Mpu Bga memahat);
prasasti Kesihan 945 S, yang menyebutkan …….. irika dewasa sira mpu bga ta ya
mijilaken sang hyang 5 //kaki sangsara, artinya: itulah saatnya beliau Mpu Bga
mengeluarkan sang hyang panca// kaki sangsara. Menurut Stutterheim (1929:
176), bahwa arca yang diapahat Mpu Bga merupakan arca perwujudan Udayana
dan Gunapriya Dharmapatni yang dibuat ketika masa hidupnya. Tetapi hanya saja
tidak menyebut nama tokoh yang dipahatkan.

Periode Bali Madya


Abad 13-14 M
Stutterheim (1929) menempatkan warisan kesenian, seperti:
Patung-patung Pemakaman, Patung Catur Kaya, Patung Pura Kebo Edan, Gentong
Pura Pusering Jagat, Patung Arjuna Metapa, Relief Yeh Pulu, Candi Canggi, Candi
Tebing Tatiapi ke dalam periode abad 13-14 M. Pada bagian berikut dijelaskan
secara singkat semua warisan seni rupa tersebut untuk mendapat gambaran
tentang kehidupan kesenian pada jaman Bali Madya.

Patung Pemakaman
Arca pemakaman yang dimaksud adalah tokoh arca yang di belakangnya
ada tulisan (prasasti) yang mengungkapkan tentang situasi di Bali setahun
sebelum runtuhnya Bali ke tangan Majapahit 1343 M. Prasasti tersebut
berbentuk candra sangkala “kerta rasa tingaling wong”, yang menunjukkan angka
tahun 1264 C atau 1342 M. Suatu peristiwa yang mengagetkan, di mana Sri
Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang pemimpin Bali yang merdeka dari
kekuasaan Majapahit, namun dengan tiba-tiba harus tunduk kepada Majapahit.
Hal itu dilakukan demi kesatuan dan persatuan nusantara, sesuai amanat yang
diucapkan Mahapatih Gajah Mada di paseban agung tahun 1334 M (Slamet
Muljana, 1983: 166).

Patung Catur Kaya


Posisi palinggih di rumah Jero Mangku Munik tepatnya di sebelah utara
palinggih Sanggah Kemulan. Di dalam palinggih terdapat sebuah tokoh arca Catur
Kaya berupa gabungan dari empat arca menjadi satu. Yang berjumlah empat tidak
hanya terbatas pada kepala, sebagaimana terdapat pada dewa-dewa Hindu tertentu,
tetapi badan seluruhnya pun ada empat. Penggabungan demikian adalah salah satu
cara untuk melukiskan sifat-sifat seorang dewa yang banyak ragamnya dalam satu
arca. Yang ganjil ialah keempat mukanya masing-masing tertutup oleh kedok. Lagi
pula bukan kedok biasa, melainkan kedok bergambarkan pola-pola lambang tetapi
bukan muka orang. Di tengah ada pola empat persegi dan di bawahnya menggantung
segitiga-segitiga seperti taring (Kemeprs, 1956: 57).

Patung Ciwa Bhairawa


Pura Kebo Edan posisinya di perbatasan Desa Pejeng dan Bedulu,
kurang-lebih 50 meter di sebelah utara Museum Gedung Arca. Warisan budaya
terpenting yang ada di dalamnya adalah arca Siwa Bhairawa dalam ukuran besar
setinggi 360 cm serta arca-arca pendamping berwujud raksasa. Menurut Surasmi
(2007: 119) melalui pengamatan terhadap sikap arca dengan ayunan kemaluannya ke
arah kiri, menandakan Tantrayana aliran kiri (niwerti). Bhairawa dibangun sebagai
tanda bahwa Bali telah ditundukkan oleh Kertanegara. Ketika itu Bali dipimpin oleh
Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyangning Hyang Adidewa Lancana dari dinasti
Warmadewa (Ekawana, 1985: 507). Kejadian tersebut dengan jelas diuraikan di dalam
Nagarakrtagama pupuh XLII/1-2 yaitu penaklukan Bali tahun 1284 Masehi oleh
Kertanagara dan menjadikan raja Bali sebagai tawanan perang (Muljana, 1979: 294).
Fungsi arca, berdasarkan pada kedok muka yang dipakai menunjukkan tanda
kemujuran Cri, pemberi segala macam kekayaan dan kebahagiaan, termasuk juga
moksahnya jiwa (Kempers, 1960: 61). Selain Arca Siwa Bhairawa, arca-arca lainnya
bercorak bhairawa antara lain yaitu: dua tokoh arca dwarapala, dua tokoh arca kerbau
jantan dan betina, empat arca raksasa sebagai umpak, sebuah arca raksasa, sebuah
Arca Ganesa, dan sebuah arca perwujudan. Fungsi arca Siwa Bhairawa sampai saat
ini warga masyarakat Desa Pejeng meyakini sebagai media untuk memohon
kesuburan dan terlindungi dari bencana. Fungsi pura selanjutnya mengacu kepada
fungsi tokoh arca tersebut yaitu sebagai media memohon kesuburan kepada Hyang
Maha Kuasa.

Gentong (Bejana)
Warisan Bejana ini berada di Pura Pusering Jagat yang oleh masyarakat
setempat disebut Sangku Sudamala. Lukisan yang dipahatkan adalah simbol gunung
yang dipakai mengacaukan (mengaduk) lautan guna mendapatkan air kehidupan
(amerta). Pada bagian pinggiran Bejana terdapat lukisan tahun candra sangkala yang
mengandung arti angka tahun 1251 Caka/ 1329 Masehi (Kempers, 1960: 63). Fungsi
dari Bejana (Sangku Sudamala) adalah sebagai media untuk mohon tirta (air suci)
pembersihan (panglukatan). Di samping ke dua tinggalan tersebut, terdapat puluhan
warisan seni arca dan warisan berupa batu alam, semuanya masih dikeramatkan dan
dipuja oleh masyarakat setempat.
Status pura sebagai kahyangan jagat tempat berstana dan memuja Dewa Siwa.
Suatu hal yang patut diapresiasi adalah bahwa Pemkab Gianyar sudah mulai melirik
Pura Pusering Jagat sebagai salah satu kahyangan jagat di Kabupaten Gianyar. Ketika
Pemkab Gianyar menyelenggarakan upacara tawur pamlepeh jagat “Manawa
Gempang” dipilih Pura Pusering Jagat sebagai locus pelaksanaannya. Dipilihnya Pura
Pusering Jagat selain karena berstatus kahyangan jagat juga sebagai pusar (pusat)nya
pulau Bali. Tawur Manawa Gempang yang diselenggarakan pada hari Senin Keliwon
wuku Landep 17 Maret 2014 dipimpin oleh pendeta Siwa (Geria Sanur, Pejeng) dan
Pendeta Buda (Geria Taman, Sukawati). Tujuannya adalah untuk menetralisir
kekuatan alam Bali agar perputarannya menjadi harmonis kembali.

Patung Arjuna Metapa


Lokasi pura berada di tengah-tengah sawah, kira-kira 50 meter di sebelah barat
Museum Gedung Arca Bedulu-Gianyar. Di dalam palinggih terdapat tiga tokoh arca
yaitu seorang tokoh Arjuna sebagai pertapa didampingi dua orang tokoh punakawan,
yaitu Merdah dan Tualen. Arca dibangun dalam sikap berdiri tegak di atas lapik bulat.
Kedua tangan berada di depan pusar memegang pancuran tembus sampai di belakang
arca. Tokoh arca ketiganya dibuat telanjang dan bagian kemaluannya ditutup seperti
bercawat. Arca dibuat dari batu padas, berukuran tinggi 174 cm, lebar 43 cm dan tebal
44 cm. Mengamati keberadaan arca yaitu sebagai arca pancuran, tampaknya peran
tokoh arca tersebut di kolam petirtaan/ permandian yang berfungsi sebagai penyalur
air. Demikian pula keberadaan dua tokoh arca yang berstatus sebagai punakawan
Merdah dan Tualen juga dibuat telanjang dengan kemaluannya masing-masing ditutup
seperti mengenakan cawat. Rambutnya juga disanggul berbentuk kerucut seperti
tokoh pertapa. Stutterheim menempatkan arca-arca ini kedalam kelompok Sukuh,
Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Relief Yeh Pulu


Relief Yeh Pulu berada di Desa Bedulu, Blahbatuh. Relieh dipahatkan pada
dinding padas di pinggir sawah-sawah antara kali Petanu dan kali Jurang.
Keadaan gambar-gambar reliefnya sangat baik dan jelas. Sebagai permulaan
sebuah lengkung berbentuk ladam, kemudian gambar orang laki-laki yang
mengangkat tangan kanannya ke atas untuk memberi salam. Selanjutnya
terdapat lukisan sebagai berikut: Orang memikul dua periuk, mungkin berisi
tuwak, berjalan di belakang orang perempuan berpakaian indah menuju sebuah
rumah. Seorang perempuan tua (juru tenung) membuka pintu. Di atas
orang-orang yang berjalan tadi ada digoreskan gambar orang laki-laki sedang
memburu beruang. Mungkin sekali ini adalah tambahan kemudian (Kempers,
1956: 48). Berdasarkan langgam pahatannya dan bentuk hiasan-hiasan ikalnya,
Stutterheim (dalam Kempers, 1956: 49) menempatkan relief-relief ini dalam
abad 14 atau 15 M, yaitu jaman keemasan dan permulaan merosotnya Majapahit.
Candi Canggi
Gapura Canggi berposisi di wilayah Sakah Sukawati, tepatnya di Patung
Bayi menuju ke arah timur kurang-lebih 500 meter, membelok ke kanan dan
kemudian bertemu dengan gapura tersebut. Kempers (1956: 38) menempatkan
bangunan tersebut ke dalam periode Majapahit abad 14 M dan bahkan pada
masa kemudiannya. Bentuknya yang kokoh, garis tampangnya yang perkasa, dan
simbar-simbar gantungnya, mengingatkan kita kepada meru di Yeh Gangga
Perean, Tabanan.

Candi Tebing Tatiapi

Candi Tebing Kelebutan terletak di Dusun Tatiapi, Pejeng Kawan, Gianyar,


tepatnya di tebing sungai Kelebutan. Candi dipahatkan pada dinding sungai
menghadap ke arah barat setinggi 3,5 meter, lebar 1,75 cm. Bentuknya lebih langsing
dibandingkan candi tebing yang ada di DAS Pakerisan, dan bangunannya terdiri atas
bagan kaki, bagian tubuh dan bagian atap, dan pada bagian dasar terdapat lubang.
Kempers (1956: 73) menempatkan candi ini lebih muda dari candi-candi padas
lainnya yaitu dari abad 14 M. Di samping tinggalan berupa candi juga terdapat ceruk
pertapaan yang posisinya di sebelah barat sungai berhadap-hadapan dengan bangunan
candi berukuran tinggi 240 Cm, panjang 590 Cm, dan lebar 284 Cm. Baik bangunan
candi maupun ceruk pertapaannya sudah tidak berfungsi lagi bagi warga masyarakat
(dead monument). Oleh karena berstatus sebagai benda cagar budaya (BCB), segala
biaya untuk pemeliharaan bangunannya ditanggung oleh pemerintah melalui Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bedulu-Gianyar.

Periode Gelgel
Abad 14-17 M
Sejak jatuhnya Bali ke tangan Majapahit tahun 1343 M (Slamet Muljana,
1979) pusat kerajaan dipindahkan ke Samprangan (Samplangan) Gianyar dan
dikendalikan oleh dinasti Kepakisan dengan raja pertama Sri Kresna Kepakisan.
Beliau mengendalikan pemerintahan tahun 1350-1380 M. Karena sesuatu dan
lain hal, kemudian salah seorang putranya Dalem Ketut Ngulesir (Dalem Tegal
Besung) memindahkan pusat kerajaannya ke Gelgel, Klungkung. Artinya, Dalem
Ketut Ngulesir merupakan cikal-bakal raja-raja Gelgel dan memimpin Bali sejak
tahun 1380-1460 M.
Selama masa pemerintahannya dimanfaatkan untuk membangun
sendi-sendi kekuatan baik bidang politik maupun keagamaan. Bidang politik,
pemindahan pusat kerajaan dari Samprangan ke Gelgel dilakukan secara damai
tanpa pertumpahan darah. Kemudian dalam hal keagamaan, beliau
menyelenggarakan upacara Sradha untuk memperingati hari wafatnya raja
Astasura Ratna Bhumi Banten 4 Maret 1330, bertempat di Pura Tegeh Koripan,
Sukawana Kintamani, Bangli (Mirsha, 1980). Dengan demikian, para pengikut
atau orang-orang yang mencintai rajanya (Astasura) menjadi puas dengan sikap
dan perilaku sang raja (Dalem Ketut Ngulesir), dengan sendirinya mereka
mendukung kepemimpinannya.
Bahkan yang lebih penting adalah mengakui Pura Besakih sebagai pusat
persembahyangan bagi masyarakat Bali, sekaligus sebagai pura “tri kahyangan”
kerajaan. Menurut Goris, tri kahyangan kerajaan terdiri atas: Pura Gunung, Pura
Penataran, dan Pura Segara. Pada zaman Bali Kuna, saat pusat kerajaan berada di
Pejeng-Bedulu, Pura Penulisan sebagai pura gunung; Pura Penataran Sasih
sebagai pura penataran; dan Pura Pusering Jagat, sebagai pura segara. Kemudian
pada jaman Gelgel, Pura besakih sebagai pura gunung; Pura Dasar Bhuwana,
sebagai pura kerajaan; dan Pura Watu Klotok, sebagai pura segara (Goris, dalam
Srijaya, 2012: 62).
Khususnya di bidang kesenian, sewaktu masa pemerintahan Dalem Ketut
Ngulesir tidak ada disinggung. Namun demikian, aktivitas seni budaya selalu
berjalan sesuai kebutuhan masyarakat, baik untuk melengkapi upacara
keagamaan maupun untuk hiburan. Bagaimanapun juga bahwa berkesenian
merupakan kebutuhan pokok dan tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan
aktivitas keagamaan. Sebagai contoh pada saat kegiatan upacara sradha yang
diselenggarakan di Pura Pucak Penulisan dan upacara keagamaan di Pura
Besakih, misalnya. Kegiatan upacara keagamaan berskala besar seperti yang
dilakukan di kedua tempat tersebut sangat membutuhkan pagelaran seni budaya,
baik sebagai pelengkap upacara maupun untuk hiburan masyarakat. Jenis-jenis
kesenian yang dipertunjukan tampaknya tidak jauh berbeda dengan masa-masa
sebelumnya, baik yang bersifat sakral (berhubungan dengan keagamaan)
maupun yang bersifat profan (hiburan).
Kehidupan seni sastra mengalami masa klasiknya pada masa
pemerintahan Dalem Watu Renggong. Dalam mengendalikan roda pemerintahan
beliau didampingi oleh Dang Hyang Nirartha, seorang brahmana yang maha
bijaksana dan ahli di bidang seni sastra. Bahkan raja sendiri juga senang
membuat syair. Berbagai hasil karya sastra gubahan Dang Hyang Nirartha, antara
lain: Kidung, Wukir Padelegan, Pupuh, Sumaguna, Rareng Cangge, Wilet
Manyuram dan Usana Bali. Selain karya sastra kesusatraan Bali asli, karya sastra
sebelumnya yang merupakan pengaruh dari Jawa Timur, seperti cerita Bharata
Yuda, Arjuna Wiwaha, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya. Salah satu hasil karya sastra
yang sangat terkenal ialah Sutasoma karya Empu Tantular yang di dalamnya
memuat tentang semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (Mirsha, dkk, 1980: 61).
Dalam perjalanan waktu yang relatif panjang sejak berakhirnya jaman Gelgel
hingga saat ini, berbagai bentuk karya sastra yang dapat mengantarkan Gelgel ke
puncak keemasannya masih terpelihara dengan baik di Bali.

VI Penutup
Sebelum Hindu masuk, bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur
budaya asli, seperti: mengenal susunan masyarakat yang teratur; pemujaan
terhadap roh leluhur; tempat suci dengan punden berundak-undak, sistem
penguburan dengan menggunakan sarkopagus; ilmu perbintangan; perdagangan;
mata uang; cosmological dualisme (gunung dan laut); memelihara binatang; dan
kesenian. Unsur-unsur budaya lokal inilah yang menjadi modal dasar menerima
pengaruh agama dan kebudayaan Hindu. Karena di antara kedua negara tersebut
memiliki dasar-dasar kebudayaan yang sama, yaitu kebudayaan neoitikum Asia
tenggara, sehingga dengan mudah dapat diterima dan berakulturasi secara
harmonis dengan budaya asli (Indonesia).
Pengaruh Hindu tertua masuk di daerah-daerah pedalaman, seperti Kutai
Kalimantan Timur dan Tarumanagara Jawa Barat. Warisan budaya dari kedua
kerajaan tersebut belum ada yang menampakkan tentang seni budaya. Ketika
terjadi perkembangan yang hebat di Jawa Tengah, tempat kedudukan kerajaan
pun terletak di daerah pedalaman, seperti di dataran Kedu dan Prambanan. Seni
budaya juga berkembang dengan sangat pesat dan didominasi
bangunan-bangunan yang serba monumental, baik dari Agama Hindu maupun
Agama Budha. Candi-candi dari Agama Hindu, seperti: kelompok Candi Gedong
Songo, Candi Dieng, Jawa Tengah Utara, kelompok Candi Prambanan, Candi
Plaosan, Jawa Tengah Selatan; dan candi-candi dari Agama Budha, seperti: Candi
Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon dan candi-candi Budha lainnya. Periode
abad 8-10 M kemudian lebih dikenal dengan masa klasik Jawa Tengah. Selain seni
bangunan, seni pertunjukan dan seni sastra juga telah berkembang saat itu.
Hal yang sama juga terjadi ketika pusat kerajaan berada di Jawa Timur,
yaitu: pada masa Mpu Sindok, berlanjut jaman Kediri, Singosari, dan sampai
kepada jaman Majapahit, pusat-pusat kehinduan dipilih di daerah-daerah
pedalaman. Namun yang berbeda, bahwa di Jawa Timur bukan seni arsitektur
yang menonjol, melainkan seni sastra yang berkembang dengan subur. Berbagai
karya sastra sang pujangga terkenal dihasilkan pada jaman Kediri dan jaman
Majapahit, seperti berbagai karya sastra yang mengantarkan Kediri ke masa
klasik di bidang sastra. Kemudian pada jaman Majapahit, kehadiran Mpu
Prapanca dengan karya sejarahnya yang sangat terkenal yaitu Kitab
Nagarakretagama 1365 M, yang isinya beberapa hal penting tentang: riwayat
Singosari dan Majapahit; kota Majapahit, daerah jajahan Majapahit; perjalanan
keliling Hayam Wuruk ke Lumajang; upacara sradha untuk roh Gayatri; dan
keagamaan jaman Hayam Wuruk. Prapanca juga memuji keagungan raja Sri
Rajasanagara, dan memandang baginda sebagai titisan Ciwa-Budha dan
penitisannya untuk menetramkan kerajaan (Muljana,1979: 22).
Kemudian Bali ketika masa Bali Kuna, seperti halnya di Jawa Tengah dan
jawa Timur yang juga memilih tempat sebagai pusat kehinduan di daerah dekat
sungai, tepatnya di daerah aliran sungai (DAS) Pekerisan dan Petanu, dan
desa-desa yang berada di antara kedua sungai tersebut, yaitu Desa Pejeng dan
Desa Bedulu. Warisan keseniannya yang menarik adalah candi tebing dan ribuan
warisan seni arca. Sejak jatuhnya Bali ke tangan Majapahit kehinduan pindah
dari Pejeng-Bedulu ke Samprangan untuk beberapa tahun, dan selanjutnya ke
Gelgel-Klungkung. Di bawah kepemimpinan Dalem Waturenggong dan
didampingi oleh Dang Hyang Nirartha sebagai pendeta istana (purohita)
kehidupan seni sastra mengalami masa klasiknya. Pesatnya kemajuan seni sastra,
selain Dang Hyang Nirartha cukup banyak menggubah karya seni sastra dan raja
sendiri senang membuat syair. Kemudian karya seni lokal (Gelgel) dipadukan
dengan karya seni sastra yang dibawa dari Majapahit yang menyebabkan Gelgel
kaya dengan karya seni sastra.
Dalam perjalanan panjang selama 13 abad sejak jaman Kutai Kalimantan
Timur abad 4 M hingga berakhirnya jaman Gelgel, Klungkung Bali abad 17 M,
kehidupan seni budaya nusantara penuh dengan dinamika dan perubahan. Berbagai
ragam bentuk dan jenis kesenian dengan fungsinya masing-masing hidup dan tumbuh
dengan subur di masyarakat. Namun berkaitan dengan skala prioritas bentuk kesenian
yang dikembangkan, hal itu sepenuhnya ditentukan oleh pengendali kekuasaan. Hal
itulah yang menyebabkan bahwa masa klasik kesenian yang dialami masing-masing
daerah berbeda. Seperti Jawa Tengah, mengalami masa klasik di bidang seni
bangunan candi; Jawa Timur, mengalami masa klasik di bidang seni sastra, Bali masa
Bali Kuna, mengalami masa klasik di bidang seni pertunjukan, dan pada jaman Gelgel
masa klasiknya di bidang seni sastra.

Daftar pustaka

Bosch, F.D.K. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia.


Jakarta: Bhratara.

Ekawana, I Gusti Putu. 1985. “Selembar Prasasti Raja Patih Kebo Parud”, dalam
Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA III) Ciloto, 23-28 Mei 1983. Proyek
Penelitian Purbakala. Jakarta: Depdikbud.

Gedeng, Suro. 2010. Candi Sukuh.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Inscripties Voor Anak Wungsu. Band I. Bandung:
Masa Baru.

Kartodirjo, Sartono, dkk. 1974. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kempers, A.J. Bernet. 1956. Bali Purbakala. Djakarta: Balai Buku Indonesia.

Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Fakultas sastra Universitas


Indonesia.

Mirsha, I G N Rai. 1980. Sejarah Bali. Pemda Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Muljana, Slamet. 1979. Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara


Muljana, Slamet. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta:
Inti Idayu Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah


Nasional Indonesia I dan II. Jakarta: Balai Pustaka.

Sedyawati, Edi. 1987. “Estetika dalam Arkeologi Indonesia”, dalam Diskusi Ilmiah
Arkeologi II Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Soekanto, dkk. 1980. Album Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta: Proyek
Media Kebudayaan Depdikbud RI, Dirjen Kebudayaan.

Soekmono, R. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Srijaya, I Wayan. 2012. The Spread of Archaelogical Saites along Pakerisan and
Petanu Rivers, dalam Recent Studies in Indonesian Archaeology. Editors:
Edi Sedyawati dan I Wayan Ardika. New Delhi: B.R. Publishing Corporation
425, Nimri Colony Ashok Vihar, Phasde-IV Delhi-110052.

Stutterheim, W.F. 1929. Oudheden van Bali, terjemahan bebas A.A.Tjakra.

Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV Bali Media
Adhikarsa.

Anda mungkin juga menyukai