Anda di halaman 1dari 18

ARCA DI CANDI CETHO:

INTERPRETASI BARU SEBAGAI ARCA PANJI


Statue in Cetho Temple: New Interpretation is as Panji Statue

Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari


Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Jl. Pulau Nias No. 13, Denpasar
Email: heri.arkeo@gmail.com; anjunary@yahoo.com

Naskah diterima: 04-02-2018; direvisi: 05-04-2018; disetujui: 14-05-2018

Abstract
One of the influence of Indian culture that developed rapidly in the classical Indonesia period
is a manufacute of statues. This remind is not rarely associated with contruction of holy and a
particular religion. Talking about the statue not regardless of the a figures in statue. Furthermore,
thus study wants to identity the statue which is located in the V terrace of Cetho Temple who
contain meaning aesthetic. This statue has a height 99 cm, wide 15 cm, and wearing the head
covering some kind of hat/tekes. Data collection was done through observation and literature
review. Data analysis was using qualitative and comparative. Result showed that this statue is
figure of Panji. It rests upon a comparison with Panji Statue from Selokelir temple and Grogol.
The Panji Statue is used as a medium by the rsi who lived in Cetho Temple at that time. Therefore,
Panji is considered as special person. For it, to hold the cult the Panji of hope can deliver the rsi
to the God.
Keywords: statue, panji, worship.

Abstrak
Salah satu pengaruh kebudayaan India yang berkembang pesat dalam periode Masa Klasik
Indonesia adalah pembuatan arca. Peninggalan ini tidak jarang berkaitan dengan pembangunan
sebuah tempat suci dan agama tertentu. Berbicara mengenai arca tidak terlepas dari tokoh yang
diarcakan. Untuk itu penelitian ini ingin mengidentifikasi arca yang terletak di teras ke lima Candi
Cetho yang sarat mengandung makna estetis. Arca tersebut memiliki tinggi 99 cm, lebar 15 cm,
dan mengenakan penutup kepala semacam topi/tekes. Metode pengumpulan data yang digunakan
meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan kualitatif dan komparatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa arca yang terletak di teras ke lima Candi Cetho merupakan
tokoh Panji. Hal ini berdasarkan atas perbandingan yang dilakukan dengan arca Panji dari
Candi Selokelir dan Grogol. Sangat mungkin tokoh Panji ini dijadikan sebagai media pemujaan
oleh kaum rsi dan pertapa yang tinggal di Candi Cetho kala itu, karena Panji dianggap sebagai
sesosok yang istimewa dan mempunyai kelebihan pada dirinya. Untuk itu dengan mengadakan
pemujaan terhadap Panji berharap dapat menghantarkan si pemuja kepada Tuhan.
Kata kunci: arca, panji, pemujaan.

PENDAHULUAN adalah, dikenalnya bentuk pemerintah atau


Masuknya pengaruh kebudayaan sistem kemasyarakatan, tulisan, agama Hindu
India ke dalam kebudayan Indonesia telah dan Buddha beserta perangkatnya, bangunan-
menimbulkan beberapa perkembangan baru bangunan peribadatan, serta arca-arca dewanya
dalam tatanan kehidupan budaya bangsa yang erat kaitannya dengan pandangan hidup
Indonesia. Perkembangan baru itu diantaranya orang India. Pandangan hidup orang India

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 57


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
selalu bersifat keagamaan, seluruh hidupnya tertentu sering pula disebut dengan istilah
diabdikan untuk agama. Semua perbuatannya devaraja. Konsep devaraja ini berkembang
selalu dihubungkan dengan pengabdian kepada pesat ketika pusat-pusat kerajaan tumbuh
dewa atau Tuhan. Mereka percaya bahwa di Jawa bagian timur. Menurut berita kitab
dalam hal menciptakan arca atau sesuatu benda pararaton, munculnya konsep devaraja sangat
kesenian sama artinya dengan mengabdikan mungkin terjadi pada zaman Kerajaan Kadiri
dirinya pada Tuhan (Maulana 1996, 2). abad ke- 12 Masehi. Walaupun sebenarnya
Pengaruh kebudayaan India yang masa sebelumnya konsep ini sudah dikenal,
berkembang pesat dalam periode Masa Klasik yakni pada zaman kerajaan Tarumanegara
Indonesia salah satunya adalah pembuatan (Munandar 2014b, 107-108).
arca. Peninggalan ini tidak jarang berkaitan Arca yang berdasarkan kedudukannya
dengan pembangunan sebuah bangunan suci. dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni
Sebagai komponen yang berdiri sendiri, arca gramadewata, kuladewata, dan istadewata.
adalah sarana ritual yang digunakan untuk Gramadewata merupakan arca yang
melambangkan kehadiran dewa tertentu, tetapi berkedudukan sebagai dewa utama dan biasanya
dapat pula melambangkan gagasan keagamaan ditempatkan pada bagian dalam sebuah
tertentu. Dalam hal yang pertama, arca bangunan candi (garbhagrha). Kuladewata
dipandang sebagai media yang dapat ‘hidup’ adalah arca yang dipuja bersama-sama dengan
ketika esensi kedewataan masuk ke dalamnya keluarganya, sedangkan istadewata merupakan
melalui suatu upacara tertentu. Hal yang arca yang menjadi objek pemujaan seseorang
kedua, arca dipandang sebagai perlambang dan berharap mendapat perlindungan dari-
hakikat kebenaran tertinggi yang tidak Nya (Atmosudiro dalam Nurkotimah 2014,
dikaitkan dengan kehadiran kekuatan-kekuatan 2). Perkembangan seni arca pada periode
supernatural tertentu (Ardhana et.al 2017, 104). Jawa Tengah memang perwakilan yang
Secara umum arca dapat dibedakan menjadi paling baik dari seni arca klasik awal. Di sini
dua yaitu arca dewa dan arca bukan dewa. Arca memperlihatkan perkembangannya yang sudah
dewa adalah arca yang mempunyai laksana matang dan terlihat mewah pada candi-candi
atau ciri khusus yang membedakan antara Jawa Tengah. Teknik tinggi dan mutu artistik
tokoh dewa dengan tokoh lainnya, misalnya tinggi terlihat pada candi-candi. Walaupun
ardhacandrakapala yang merupakan laksana banyak dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan
Dewa Siwa dan sankha (kerang) merupakan dari India, tetapi konsep-konsep dan keahlian
laksana Dewa Wisnu. Lain hal dengan arca teknik Hindu-Buddha dilokalkan dan ditafsirkan
bukan dewa, yakni arca-arca yang tidak kembali. Seperti halnya susunan tiga dewa
mempunyai laksana tertentu yang merupakan di Candi Prambanan yang merupakan hasil
ciri khas seorang dewa Hindu maupun Buddha tafsiran kembali bangsa Indonesia. Ditambah
(Endang dalam Maulana 1995, 4). penekanan pada Brahma, Candi untuk Brahma
Sementara itu terdapat pula arca yang jarang sekali dibuat di India.
dikatakan sebagai arca perwujudan, adalah Arca-arca sebagian besar yang ditemukan
arca yang menggambarkan tokoh yang telah di Jawa Tengah mempunyai garis lengkung
meninggal kemudian diarcakan sebagai yang sama seperti seni patung India kuno.
dewa sesembahan saat tokoh tersebut masih Badan dibuat agak berisi dan membulat yang
hidup (Munandar 2016, 16). Umumnya arca dilukiskan dengan garis-garis lengkung. Arca
perwujudan seperti ini menggambarkan seorang Jawa Tengah memperlihatkan kecenderungan
tokoh raja tertentu dan ditempatkan pada memperkecil bentuk badan. Dapat disimpulkan
bangunan candi di bagian dalam (grbhagrha). bahwa kecenderungan ini ditentukan oleh selera
Arca perwujudan seorang raja sebagai dewa Jawa bahwa kerampingan badan merupakan

58 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


salah satu syarat kecantikan (Sedyawati 2002, Wisnu, Brahma, Ganesha, Surya, Candra,
88; Ardhana et al. 2017, 104-105). Untuk dan lainnya lagi, sedangkan tokoh dewi
gaya yang berada di Borobudur mempunyai dikenal Parwati, Saraswati, dan Sri Laksmi.
kemiripan gaya zaman gupta di India. Arca-arca Pengarcaan dari tokoh-tokoh tersebut sering
di Jawa Tengah digambarkan secara naturalis ditemukan pada kepurbakalaan di Indonesia.
baik untuk arca dewa maupun reliefnya. Sebagai Selain itu, terdapat arca perwujudan yang
contoh Arca Lara Jonggrang yang dibuat secara menggambarkan tokoh seorang raja yang telah
naturalis, begitupun relief yang terpahat di meninggal dan kemudian diperdewa sebagai
Candi Borobudur digambarkan tidak kaku. dewa tertentu. Sebagai contoh Raja pendiri
Mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa Majapahit diwujudkan sebagai Hari-hara
kuna pada saat itu. (setengah Siwa dan setengah Wisnu) di Candi
Setelah pusat kerajaan pindah ke Jawa Sumberjati (Simping). Jayanegara setelah
bagian timur, pengaruh India mulai pudar. kematiannya didharmakan di Sri Ranggapura
Perkembangan seni Arca pada masa Kadiri tidak sebagai Wisnu. Ratu Tribhuwanotunggadewi
terlalu berkembang tampaknya suatu periode diwujudkan sebagai Dewi Parwati di Candi
“coba-coba” dalam perkembangan gaya seni Ngrimbi, sekarang arca tersebut disimpan di
patung. Pada Masa Kadiri ini banyak ditemukan Museum Nasional Jakarta (Munandar 2015,
arca ganesha. Lebih lanjut gaya klasik dari arca 154-155). Demikian beberapa contoh arca
Singhasari adalah hasil usaha penghalusan gaya perwujudan seorang raja yang telah mangkat
klasik dari puncak perkembangan seni patung sebagai arca dewa/dewi sesuai istadewatanya
Jawa Tengah. Kehalusan dan ketelitian dalam (dewa yang dipuja secara pribadi).
menggarap rinci pada arca Prajnaparamita Sementara itu arca yang terdapat di
sebagai perwujudan putri Ken Dedes adalah Candi Cetho tepatnya di teras ke lima hingga
petunjuk yang kuat bagaimana para pematung sekarang secara pasti belum diketahui sebagai
Indonesia waktu itu telah menguasai benar perwujudan dari tokoh siapa. Asumsi yang
teknik memahat dan mengukir batu. diperoleh dari penelitian-penelitian terdahulu
Proses transformasi budaya pada zaman masih sebatas penyebutan sebagai arca manusia
Majapahit terasa sekali pengaruhnya pada laki-laki, belum merujuk sebagai perwujudan
perubahan ikonografi yang menghasilkan tokoh tertentu (Purnomo 2001, 9; Suhadi et
ekspresi arca dewa sebagai perwujudan raja yang al. 1999/2000, 16; Kismorodati 2007, 18).
meninggal. Gaya sebelumnya menunjukkan Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk
gaya naturalis, sedangkan gaya Majapahit mengidentifikasi arca tersebut.
kaku dan tegang. Walaupun bergaya kaku, Arca tersebut memiliki tinggi 99 cm
namun arca-arca itu tetap memiliki laksana dengan lebar 15 cm mengenakan penutup kepala
yang biasa dimiliki para dewa. Biasanya pada semacam topi atau tekes. Hal ini mengingatkan
prabhamandala arca ini pun diperkaya dengan pada arca Panji Selokelir dan salah satu
hiasan bunga-bunga padma sebagai latar patung Grogol yang sama-sama mengunakan
belakang, suatu hal yang tidak biasa didapati tekes. Untuk itu hipotesis awal yang dapat
pada arca-arca dewa. Ditinjau dari sisi lain diketengahkan dalam tulisan ini bahwa arca yang
penggayaan hiasan ini mengisyaratkan bahwa terletak di teras ke lima Candi Cetho tersebut
arca yang dimaksudkan itu adalah arca seorang mungkin saja merupakan penggambaran tokoh
raja, walaupun beratribut dewa (Magetsari Panji. Hipotesis ini ditelusuri kebenarannya
2008, 251). dalam bahasan berikutnya.
Berbicara mengenai arca tidak terlepas Usaha mengidentifikasi sebuah arca
dari tokoh yang diarcakan. Dalam ajaran Hindu sangat penting dilakukan untuk mengetahui
mengenal tokoh-tokoh dewa seperti Siwa, kehidupan beragama yang dilakukan oleh

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 59


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
masyakat pendukung Candi Cetho pada bentuk kalimat-kalimat atau pernyataan. Data
masa lalu. Telah dijelaskan pada bagian yang berasal dari lapangan akan digabungkan
awal bahwasanya pembuatan arca sangat dan direduksi kembali, kemudian ditunjang
mungkin berkaitan dengan agama tertentu. dengan berbagai sumber-sumber tertulis yang
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk sudah didapatkan.
merekonstruksi sejarah kuno yang berada
di Lereng Barat Gunung Lawu berkenaan HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan kehidupan beragama pada umumnya. Gambaran Umum Candi Cetho
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah Candi Cetho terletak di Dusun Cetho,
mengidentifikasi arca di teras ke lima Candi Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Cetho, sehingga dapat memberikan gambaran Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Terletak
mengenai fungsi dan peranannya pada masa pada daerah Lereng Barat Gunung Lawu dengan
lalu. ketinggian 1470 meter dpl (di atas permukaan
laut) dan secara geografis terletak pada
METODE koordinat 7035’48’’ LS dan 1109’14’’ BT. Luas
Metode yang digunakan dalam penelitian situs kurang lebih 5.834 m2. Di sebelah timur
ini adalah metode pengumpulan data dan laut terdapat Situs Candi Kethek, sedangkan
metode analisis data. Metode pengumpulan sebelah barat daya Candi Cetho terdapat Candi
data meliputi observasi, dokumentasi, dan Sukuh dan Planggatan. Orientasi arah hadap
studi pustaka. Observasi dilakukan dengan cara situs ke tenggara pada azimuth 1060 yaitu relatif
mengamati langsung arca ke situs penelitian mengikuti alur punggungan gunung mengarah
pada bulan Januari hingga Februari 2017, ke puncak Gunung Lawu (konsep chtonis).
diikuti dengan pencatatan dan pengambilan Candi Cetho berada di lingkungan
gambar terhadap arca yang menjadi objek pemukiman pedesaan (sebelah barat), hutan
penelitian. Sementara itu studi pustaka pinus (sebelah utara), Patung Dewi Saraswati,
dilakukan dengan cara mencari atau memahami dan Sendang Pundi Sari (sebelah timur), dan
konsep dan teori dari berbagai sumber. Sumber- perladangan milik masyarakat (sebelah selatan).
sumber itu berupa buku, majalah, laporan Sebagian besar penduduk desa berprofesi
ilmiah, skripsi, tesis, artikel, makalah, laporan sebagai petani dan menganut kepercayaan
penelitian maupun bentuk publikasi lainnya, agama Hindu. Candi Cetho sampai sekarang
sehingga dapat menunjang dalam penyelesaian masih dimanfaatkan oleh penduduk sekitar
penelitian ini. maupun pengunjung sebagai tempat bersemadi,
Setelah data terkumpul, maka tahapan pemujaan, dan rekreasi.
selanjutnya adalah analisis data. Analisis yang Keberadaan Candi Cetho, pertama kali
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dilaporkan oleh Van der Vlis pada tahun 1842,
komparatif dan analisis kualitatif. Analisis bersamaan dengan laporan tentang Candi
komparatif adalah analisis yang menekankan Sukuh. Baru setelah itu, Candi Cetho mendapat
pada perbandingan. Analisis ini dilakukan perhatian pula dari ahli-ahli purbakala lainnya
dengan cara memperbandingkan arca yang seperti: W.F Stutterheim, K.C. Crucq, N.J.
berada di Candi Cetho yang terletak di teras Krom, A.J. Bernet Kempers, dan lain-lain.
ke lima dengan arca Panji dari Candi Selokelir Bahkan pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala
dan arca Panji Grogol. Kemudian analisis Hindia Belanda, candi ini telah digali untuk
tersebut diikuti dengan analisis kualitatif, mencari bahan-bahan rekonstruksi yang lebih
yang menekankan pada pembabaran data yang lengkap lagi. Menurut laporan Van der Vlis
bersifat deskriptif, artinya diuraikan dalam tahun 1842 dan A.J. Bernet Kempers, jumlah

60 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


teras di Candi Cetho ada 14 (Purnomo et al. Teras III
2001, 1; Purwanto 2017a, 38). Panjang teras ini berukuran 2.72 m dan
Pada tahun 1978 Candi Cetho mengalami dibatasi oleh 7 buah anak tangga. Pada teras ini
pemugaran yang luar biasa dan tidak tidak menunjukkan adanya sisa-sisa tinggalan
berpedoman pada kaidah keilmuan. Pemugaran arkeologi baik berupa arca maupun relief.
tersebut merupakan awal perubahan yang
dialami Candi Cetho, terutama perubahan Teras IV
fisik. Adanya kepentingan dan motif tertentu Teras berukuran 13 m ini terdapat sebuah
dari pihak penguasa Orde Baru pada waktu gapura bentar bermodel Bali. Bekas aktivitas
itu menyebabkan Candi Cetho direnovasi masa lalu hingga saat ini belum ditemukan.
tanpa berdasar pada kaidah ilmiah Arkeologi. Sebelah selatan bagian teras ini dibangun rumah
Bahkan, pihak-pihak terkait yang seharusnya kecil yang digunakan untuk pos informasi,
memiliki kewenangan melakukan pemugaran, sedangkan sebelah utara terdapat bangunan
yaitu Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang diperuntukkan pos penjagaan.
(saat ini menjadi Balai Pelestarian Cagar
Budaya Jawa Tengah), tidak disertakan dalam Teras V
“pemugaran” tersebut. Pemugaran pada waktu Teras ini terhubung oleh 4 anak tangga
itu dilakukan hanya berdasar pada wangsit yang dengan panjang teras sekitar 32.50 m. terdapat
diterima oleh seorang paranormal, Soedjono dua buah gundukan tanah yang diperkirakan
Humardani, guru spiritualis Suharto, ketika merupakan bekas bangunan. Beberapa umpak
melakukan semedi di Candi Cetho (Sukanto juga masih ditemukan dan sebuah arca terletak
dalam Kismorodati 2007, 26). sebelah timur gundukan tanah bagian selatan.
Saat ini, candi tersisa 13 teras dengan
tangga naik sebagai penghubung antar teras. Teras VI
Antar teras memiliki anak tangga yang berbeda- Pada teras ini dijumpai bangunan yang
beda. Tiap-tiap teras dijelaskan sebagaimana berbentuk trapesium, saat ini atapnya terbuat
berikut ini. dari bahan ijuk. Bekas-bekas yang diperkiraan
gapura terdapat pada pintu masuk. Arca
Teras I berbahan andesit dengan sikap jongkok dengan
Teras I terletak paling barat dengan posisi kaki kanan diangkat terdapat pada samping
terendah diantara teras lainnya. Mencapai teras kanan gapura menuju teras selanjutnya. Teras
ini harus melewati tangga naik berjumlah 35 ini mempunyai panjang sekitar 15.25 m.
buah. Dapat diperkiraan panjangnya mencapai
7, 25 m. Di sini dijumpai 3 buah arca, kedua arca Teras VII
masih dalam keadaan relatif utuh, sedangkan Pada teras ini dapat dikatakan mempunyai
arca yang terletak paling utara tidak begitu sebaran tinggalan arkeologi yang melimpah.
jelas. Dibelakang arca yang tidak begitu jelas Terbukti beberapa arca tokoh dan binatang
ini terdapat sebuah umpak batu. dapat dijumpai pada teras ini. Salah satunya
yang unik ialah fitur lingga-yoni digabungkan
Teras II dengan relief kura-kura, tepat dibuat pada
Menuju ke teras II melewati anak tangga tengah-tengah teras. Gundukan tanah sebelah
sejumlah 24 buah dengan panjang 4.5 m. selatan dan utara kemungkinan bekas
terdapat sebuah arca yang terletak di tengah- perumahan. Sementara itu, pada gapura sebelah
tengah teras. Arca ini dikelilingi oleh batu-batu selatan tertera pula prasasti pendek. Teras ini
kecil yang ditata membentuk persegi panjang. mempunyai panjang sekitar 18 m.

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 61


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
Teras VIII Teras XIII
Teras berukuran 11.75 m ini terdapat Pada teras ini terdapat bangunan
sejumlah tinggalan arkeologi. Tinggalan yang berbentuk piramida, sama seperti di
tersebut ialah dua buah arca yang terletak Candi Sukuh. Hanya saja bangunan tersebut
pada gapura menuju teras selanjutnya, terdapat merupakan bangunan baru. Tidak ditemukan
bekas pondasi bangunan, panil-panil relief sisa-sisa tinggalan arkeologi.
dikumpulkan menjadi satu. Berdasarkan prasasti yang ditemukan,
Candi Cetho dibangun pada tahun 1397 Saka
Teras IX (1475 M). Sangat mungkin sebelum tahun
Saat ini teras ini dibangun sebuah itu pembangunan Candi Cetho sudah mulai
perumahan beratap ijuk yang merupakan hasil dikerjakan. Sementara itu, relief yang terpahat
pemugaran. Tinggalan arkeologi yang tersisa pada lingga yoni di teras ke VII dianggap
adalah beberapa umpak dan arca binatang yang sebagai sengkalan memet. Pahatan tersebut
diletakkan pada pintu masuk teras berikutnya. ialah ketam (kepiting), belut, dan mimi oleh
Teras ini mempunyai panjang 12.25 m. K.C.Cruq dan A.J. Bernet Kempers dianggap
sebagai sengkalan. Berbunyi “welut wiku
Teras X anahut iku”, apabila diangkakan menjadi 1373
Tinggalan arkeologi di teras ini terlihat Saka (1451 M) (Darmosoetopo 1975/1976, 94).
hanya umpak dan dua buah kemuncak gapura.
Lainnya merupakan bangunan hasil pemugaran, Relief Bertopi di Candi Sukuh dan
yakni dua buah pendopo terbuka. Panjang teras Planggatan
mencapai 12.25 m. Berpijak pada asumsi yang dikemukakan
oleh Kieven (2014a) mengenai relief bertopi
Teras XI yang erat kaitannya dengan cerita Panji,
Banyak umpak yang diletakkan pada maka asumsi ini perlu mendapat perhatian
teras ini, sementara itu arca yang dianggap juga sebagai dasar identifikasi figur bertopi
sebagai Naya Genggong dan Sabdo Palon yang terdapat pada Situs Candi Sukuh dan
ditempatkan pada sebuah bangunan beratap Planggatan. Candi Sukuh dan Planggatan
ijuk. Depan tempat kedua arca itu, terlihat terletak tidak jauh dari Candi Cetho dan sama-
bangunan terbuka yang digunakan untuk sama berlokasi di Lereng Barat Gunung Lawu.
melakukan ritual. Bangunan lainnya ialah Untuk itu penting juga data relief bertopi yang
rumah tertutup dibangun pada bagian selatan berada di kedua candi tersebut dapat dijelaskan,
dan utara. Panjang teras berukuran 8 m. sehingga diharapkan dapat membantu dalam
menafsirkan arca di teras ke limaCandi Cetho.
Teras XII Perlu dikemukakan disini terlebih dahulu
Bangunan-bangunan yang terdapat di mengenai jenis-jenis tokohnya. Figur bertopi
teras ini sama seperti teras XI baik bentuk dan dapat merepresentasikan sebagai orang biasa,
posisinya. Arca yang diletakkan disini ialah arca pelayan kerajaan, prajurit, pemusik, atau
yang dianggap sebagai perwujudan Brawijaya bangsawan lelaki. Sebagai seorang pangeran,
dan linga yoni. Kedua bangunan tertutup Panji memiliki gaya bertopi yang berbentuk
masing-masing terdapat batu tegak (bahan arca) bulan sabit, mirip helm, dan bertepi tajam
yang saat ini masih diberi penghormatan oleh (Kieven 2014a, 73-75). Lebih lanjut menurut
warga sekitar. Panjang teras berukuran 7 m. Munandar (1992, 8-10) ada dua indikasi dalam
suatu panil relief yang menggambarkan cerita
Panji, yakni 1) terdapat tokoh pria yang bertopi
tekes, mengenakan kain sebatas lutut atau

62 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


lebih rendah lagi menutupi tungkainya dan
kadang membawa keris di bagian belakang
pinggangnya. Tokoh tersebut ialah Raden Panji.
2). Tokoh selalu disertai pengiring berjumlah 1,
2, atau lebih dari dua. Para pengiring tersebut
ialah saudara atau teman Panji. Biasanya ada di
antara para pengiring ada yang berperawakan
tinggi besar dengan rambut keriting, dialah
Brajanata atau berperawakan lucu, pendek,
gemuk, dengan rambut dikuncir ke atas dialah
Prasanta. Contoh yang baik mengenai arca Panji
dapat dilihat pada arca dari Candi Selokelir dan
Patung Grogol.
Relief figur bertopi di Candi Sukuh terdapat
pada dua bongkahan batu yang berbentuk kubus. Gambar 1. Relief Bertopi di Candi Sukuh.
Batu yang pertama melukiskan seorang bertopi (Sumber: Dokumen Pribadi)
sedang menunggang kuda dengan diiringi menggambarkan seorang tokoh menunggang
oleh tiga pengiringnya. Dua pengiring tampak kuda dengan membawa sebuah pedang. Topi
mengedepankan tokoh bertopi, sedangkan satu yang digambarkan sangat menunjukkan karakter
pengiring berjalan di depan dengan memayungi Panji yaitu agak meninggi, berbentuk bulan
tokoh tersebut. Terlihat sejumlah senjata juga sabit, dan terlihat tajam pada bagian ujungnya.
dipahatkan pada bagian atas relief. Topinya yang Sejumlah pengiring mendampingi tokoh
dikenakan agak besar menyerupai helm. Relief tersebut, dengan satu pengiring memayunginya.
figur bertopi pada bongkahan batu satunya juga Mungkin saja adegan ini diambil ketika Panji
melihatkan ciri-ciri yang hampir sama. Tokoh dalam situasi persiapan perang.
menunggang Gajah dengan mengenakan topi/ Panil relief satunya memperlihatkan
tekes besar mirip helm. Kain yang dipakai figur bertopi menunggang kuda. Bentuk
hanya sebatas pinggang. Terlihat satu pengiring topinya meninggi, digambarkan tajam bagian
di bagian belakang (gambar 1). Melihat depan. Sejumlah tokoh dipahatkan pula pada
kenyataan tersebut, sangat mungkin tokoh bagian depan dan belakang figur bertopi. Satu
ini merupakan tokoh Panji. Hal ini didukung pengiring bagian depan tampak memayungi
bahwa penggambaran Panji selalu diiringi figur tersebut (gambar 2). Dalam panil ini
oleh satu pengiring (punakawan/kadeyan) atau juga digambarkan perumahan, yang sangat
lebih. Melihat bentuk topi dan ukurannya, mungkin merepresentasikan rumah sungguhan
tafsiran demikian memang beralasan. Ukuran masyarakat pendukung saat itu. Hal ini pernah
topi semakin kecil menunjukkan status tokoh diulas oleh Purwanto dan Titasari (2017, 104-
semakin rendah pula (Kieven, 2014a: 60). 105) bahwasanya relief rumah tersebut dapat
Pada bagian sisi timur bongkahan batu ini dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan
terdapat pahatan dua ekor babi. Babi tersebut perumahan kaum rsi dan pertapa yang tinggal
digambarkan berperut gemuk dan salah satu
babinya mempunyai dua gading. Sangat
mungkin babi yang digambarkan adalah
berjenis babi hutan (sus scrofa).
Sementara itu, figur bertopi yang
merepresentasikan tokoh Panji dapat pula Gambar 2. Relief Bertopi di Candi Sukuh.
ditemukan di Situs Planggatan. Relief ini (Sumber: Dokumen Pribadi)

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 63


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
di Candi Planggatan kala itu. Relief bertopi tersebut sudah dibangun pada abad 12 M, ada
yang berada di Candi Sukuh dan Planggatan pula yang menyampaikan didirikan ketika
tersebut digambarkan dalam situasi persiapan Masa Majapahit yakni pada masa pertengahan
perang. Hal ini dapat dikatakan relief tersebut abad 15 M. Pada tahun 1900-an masyarakat
sebenarnya memiliki makna simbolik akan setempat menyebut candi ini dengan istilah
sesuatu peristiwa pada masa lalu. Pada masa- “Watoe Kelir”. Hal ini berdasarkan laporan
masa dibangunnya kedua candi ini yaitu Abad pejabat Belanda ketika berkunjung tahun 1900
ke 14 – 15 Masehi memang situasi perpolitikan yang kemudian melakukan pendokumentasian
kerajaan Majapahit dapat dikatakan mengalami olehnya. Pendapat Rouffaer yang dikutip oleh
ketegangan. Kieven (2017, 371) menyatakan bahwa tempat
suci ini kemungkinan digunakan sebagai
Arca di Teras V Candi Cetho: Upaya tempat bertapa Kili Suci, hal itu bersandar atas
Identifikasi penampang pemandangan yang cukup luar
Sebelum berbicara mengenai arca biasa indah.
yang berada di teras ke lima Candi Cetho, Arca Panji dari Candi Selokelir saat ini
perlu dijelaskan terlebih dahulu arca Panji disimpan di Perpustakaan Seni Rupa Institut
dari Candi Selokelir dan patung dari Grogol. Teknologi Bandung. Arca ini memiliki tinggi
Candi Selokelir terletak di Desa Kedungudi, 125 cm berbentuk tubuh manusia yang berdiri
Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, di lapik bunga padma (padmasana). Rambut
Propinsi Jawa Timur. Berada di ketinggian 760 di kepalanya terdiri dari beberapa ikal rambut
meter di atas permukaan air laut. Reruntuhan tebal dan ditutupi topi bertepi tajam. Pada
candi ini berada pada punggung sebelah barat bagian depan dan belakang topi digambarkan
daya bukit Sarahklopo, yang menempati lancip. Ada semacam pita kecil di antara rambut
bagian barat daya dari delapan bukit sekeliling dan tepi topi. Apabila dilihat dari arah samping,
puncak Gunung Penanggungan. Bangunan maka topi yang digambarkan menyerupai
candi tersebut merupakan sebuah bentuk bulan sabit sebagaimana penggambaran topi
bangunan punden berundak dengan beberapa bangsawan muda dalam relief-relief candi.
hiasan relief di masing-masing tingkatannya Kepala digarap dengan sedikit tertunduk, hal
(gambar 3). Di bawah Candi Selokelir terdapat ini memberi kesan khusyuk dalam meditasi,
reruntuhan candi kecil. Di teras pertama ditambah dengan pemahatan kedua mata
terdapat sebuah batu mirip nisan dan hiasan yang terpejam. Kedua telinga mengenakan
mirip antefix antara lain berbentuk segitiga anting-anting (kundala) hingga menyentuh
yang disusun menyerupai gunung serta adanya bagian pundak. Bibir terlihat tipis memberi
relief orang-orang yang memakai topi (tekes) kesan lembut dengan tiga guratan melingkar
(Izza 2016, 7). Ada anggapan bahwa candi pada leher. Kalung (hara) yang digunakan
cukup besar dan gelang (kankana) pada kedua
tangannya. Tangan sebelah kiri lurus ke bawah
menempel samping badan, sedangkan tangan
kanan membawa kuncup bunga padma yang
diletakkan di bagian bawah dada. Bagian siku
tangan kanan sudah tidak terlihat lagi karena
memang sudah rusak. Dada terlihat telanjang
dengan dihiasi kain memanjang (upawita) ke
bawah pada sisi kiri arca. Kain yang dikenakan
hingga menutupi mata kaki. Kain tersebut
Gambar 3. Candi Selokelir.
(Sumber: Izza 2016, 7)
tampaknya tidak menerakan ornamen-ornamen

64 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


yang raya (Kieven 2017, 373-374, Kieven dan gelang (kankana). Tangan kanan kadeyan
2016, 3-4). menyingkap kain hingga sebagian kaki terlihat.
Patung grogol yang diidentifikasi sebagai Ketiga arca tersebut memiliki tinggi sekitar 60
Panji seperti pada (gambar 4) sebenarnya cm dan berdiri di sebuah lapik berbentuk kubus.
Hal yang menarik adalah lapik kubus pada
patung Panji terdapat aksara yang berbunyi
sebagai angka tahun yakni 1335 S (1413 M)
(Kieven 2017, 82-83; Kieven 2016, 38-39).
Mengenai identifikasi arca yang terletak di
teras ke lima Candi Cetho sampai saat ini belum
ada peneliti terdahulu yang mengaitkan dengan
tokoh tertentu, hanya disebutkan sebagai arca
manusia laki-laki. Tinggi arca ini 99 cm dengan
lebar 15 cm berdiri di sebuah lapik. Wajah arca
tampak sudah aus, tetapi bagian kepalanya
masih terlihat memakai semacam topi mirip
Gambar 4. Perbandingan gaya arca di teras V Candi helm. Tangan kanan ditekuk ke depan dada,
Cetho dengan arca Panji Selokelir dan Grogol. sedangkan tangan kiri diletakkan di samping
(Sumber: Kieven 2014a, Dokumen pribadi)
badan sambil menyingsingkan kain. Kedua
didampingi oleh dua arca. Dua arca itu adalah tangan memakai gelang (kankana) dan kedua
kadeyan dan punakawan. Panji digambarkan telinga mengenakan anting-anting (kundala).
dengan mengenakan topi bertepi tajam dan Busana kain panjang tanpa motif hingga
berbentuk bulan sabit. Rambutnya terlihat menutupi mata kaki. Kain terlihat disisakan
diikal sebagaimana biasa. Kepala sedikit pada depan sehingga berbentuk U. Pada bagian
menunduk dengan kedua mata terpejam. belakang kain tampak menonjol di bagian
Telinga kanan dan kiri memakai anting-anting punggung. Apabila arca ini dibandingkan
(kundala). Sebagian tangan kanan sudah dengan arca Panji dari Candi Selokelir dan salah
patah hingga jari-jarinya sudah tidak terlihat, satu patung Grogol yang ditafsirkan sebagai
sedangkan tangan kiri menempel samping Panji, maka kemiripan tersebut akan tampak,
badan dengan menyingsingkan kain ke arah lebih jelasnya lihat gambar di bawah.
atas. Lipatan kain dipinggang menyisakan Berdasarkan gambar di atas, kemiripan
sebagian hingga membentuk huruf U. Bagian ditunjukkan dalam hal berbusana, yaitu
dada telanjang, sedangkan kain dikenakan menyisakan sedikit kain pada bagian depan
pada bagian pinggang ke bawah. Sementara berbentuk U. Tangan menggambarkan sikap
itu, patung punakawan digarap agak pendek yang sama dengan menyingkap sedikit kain.
dibandingkan dengan Panji dan kadeyan. Topi yang dipakai arca di Candi Cetho mirip
Berperut gendut dan bertelanjang dada. Kepala helm, sedangkan arca Panji Grogol dan
digambarkan berbentuk kotak dengan kedua Selokelir berbentuk bulan sabit dengan tajam
mata terpejam serta berkumis. Tangan kanan pada bagian belakang dan depan. Mungkin
sudah rusak sedangkan tangan kiri sedikit saja arca di Candi Cetho juga tajam pada
menyingsingkan kain, hingga kaki kiri terlihat. bagian depan seperti diperlihatkan pada relief
Kain yang digunakan polos tanpa motif. Secara di Planggatan. Kemudian arca di Candi Cetho
umum penggarapan patung kadeyan hampir dan Selokelir tangan kanannya sama-sama
sama dengan kedua arca sebelumnya. Hanya ditekuk ke depan dada (mengenai perbandingan
saja rambut kadeyan terlihat sangat keriting, ikonografis ketiga arca tersebut lihat tabel 1 dan
kedua tangan mengenakan kelat bahu (keyura) lampiran).

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 65


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
Tabel. 1 Keterangan gambar 4.
(A) Arca Panji dari Candi Selokelir (1) Menggunakan topi/tekes
(B) Arca Panji Grogol (2) Sikap tangan kanan ditekuk ke bagian dada
(C) Arca di teras V Candi Cetho (3) Menyisakan kain berbentuk U
(4) Tangan kiri mengangkat kain
(Sumber: Dokumen pribadi)

Sementara itu perbedaan terletak pada seorang pengiring atau lebih. Berdasarkan
penggarapan tubuh arca, arca Panji Grogol hasil pengamatan memang belum ditemukan
dan dari candi Selokelir dibuat secara halus arca yang mencirikan sebagai identitas
dan berkesan lembut. Lain hal arca di Candi kadeyan untuk Panji. Apabila diletakkan ke
Cetho digarap tidak begitu proporsional dan dalam empat makna warisan budaya yang
berkesan kasar. Hal ini dapat dipahami karena disampaikan oleh Williaw Lipe (dalam Ardika
sebagian besar arca-arca yang tersebar di 2015, 30-31) yaitu makna informatif, asosiatif,
Lereng Barat Gunung Lawu digarap tidak simbolik, dan estestis, maka dapat dikatakan
begitu halus. Mengenai hal ini dapat pula arca yang tersebut memiliki makna estetis.
meminjam pendapatnya Susanti yang dikutip Makna ini menitiberatkan pada hal keindahan
oleh Wibisono (2006, 9) tentang perkembangan serta berkaitan suatu gaya tertentu. Jelas
aksara bercorak khusus. Adapun beberapa butir bahwasanya arca Panji di Candi Cetho memiliki
yang menyebabkan perubahan aksara menjadi gaya tersendiri dibandingkan dengan arca-arca
aksara yang tidak lazim (baca: corak khusus), lainnya di sekitaran situs tersebut.
yakni a) berubah dengan sendirinya karena
faktor intrinsik atau perubahan sarana berupa Pemujaan Terhadap Panji
alat tulis dan bahan; b) unsur kesengajaaan Berdasarkan bukti-bukti yang tersedia
sebagai kreativitas pujangga dalam tampaknya situs-situs yang terletak di Lereng
mewujudkan nilai-nilai yang berkembang pada Barat Gunung Lawu merupakan tempat
masa tersebut; c) ada inovasi, yaitu seseorang pendidikan agama pada masa lalu atau sering
atau sekelompok orang yang menciptakan disebut dengan istilah mandala kedewaguruan.
aksara baru; d) diciptakan variasi bentuk aksara Asumsi tersebut bersandar atas kesesuaian
oleh sekelompok masyarakat yang hidup di luar syarat-syarat sebuah mandala. Syarat itu adalah
lingkungan pusat kerajaan (masyarakat pesisir bangunan suci yang jauh dari keramaian,
atau masyarakat mandala). Faktor-faktor terdapat lingga pranala atau lingga yoni, dan
tersebut dapat pula berlaku pada perkembangan bekas-bekas yang menunjukkan perumahan
gaya arca yang terdapat di situs-situs Lereng atau pedukuhan. Bukti mengenai perumahan
Barat Gunung Lawu. ditunjukkan atas temuan berupa umpak. Temuan
Atas uraian itu cukup berasalan apabila ini terutama tersebar di Candi Sukuh dan Cetho.
penulis memberikan anasir baru terhadap arca Sementara itu, relief yang dipahatkan di Sukuh,
di teras V Candi Cetho tersebut sebagai arca Cetho, dan Planggatan menggambarkan bentuk
Panji. Hal ini didukung pula dengan keberadaan perumahan (Purwanto 2017b, 92-93; Purwanto
arca-arca di sekitaran situs Candi Cetho. 2017c, 73-74; Purwanto dan Titasari 2017,
Gaya berbusana yang demikian hanya terlihat 102-103). Pola penempatan perumahan yang
pada arca Panji. Rupanya masyarakat saat itu didirikan di lingkungan mandala sudah diatur
memberikan identitas khusus untuk memberikan dalam kitab Sutasoma dan Arjunawijaya.
perbedaan arca Panji dengan arca tokoh lainnya Oleh karena itu, kaum yang
di Candi Cetho. Jika tafsiran ini benar, maka berkepentingan di situs-situs Lereng Barat
sudah barang tentu arca Panji didampingi oleh Gunung Lawu, termasuk Candi Cetho tiada

66 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


lain mereka adalah kaum rsi dan pertapa yang menguraikan tentang jalan kalepasan jiwa
memang sengaja mengundurkan diri dari dunia melalui bertapa. Lebih lanjut bertapa dapat
keramaian. Mereka mencari tempat-tempat dilakukan dengan tiga tahapan yakni: 1)
yang sunyi untuk mendekatkan diri kepada vahya-vairagya yaitu tapa dengan melepaskan
Yang Maha Pencipta. Kaum rsi dan pertapa ini ikatan inderawi, 2) para-vairagya, yakni tapa
menjalankan salah satu ajaran Agama Hindu yang bebas dari raga atau pertapa kehilangan
yang disebut catur asrama. Sangat mungkin segala sesuatu yang sifatnya sukaria, 3) isvara-
mereka dalam tahap wanaprastha atau pranidhana, yaitu tekun melakukan yoga
sanyasin. Wanaprastha adalah jenjang hidup dengan memuja Siwa (Soebadio 1985, 221).
dalam memohon jalan kalepasan dengan cara Menurut naskah Wrhaspati Tatwa, Ganapati
mengundurkan diri ke tempat-tempat sunyi Tatwa, dan Sutasoma pupuh XXXX untuk
atau ke hutan. Sanyasin atau bhiksuka jenjang menuju kalepasan jiwa dapat menjalankan tapa
hidup yang telah mencapai kesempurnaan diri, yang disebut dengan sadanggayoga. Tahapan
walaupun masih hidup (Munandar 2014b, 201- sadanggayoga diuraikan sebagai berikut.
202). Sebagaimana yang diungkapkan oleh 1. Pratyāharayoga artinya pengendalian
Santiko (2005, 135) bahwa para rsi dan pertapa diri dari hawa nafsu.
mengundurkan diri ke tempat yang terpencil 2. Dhyānayoga artinya pengendalian diri
mempunyai dorongan khusus atau tujuan yang terhadap pikiran, supaya selalu tenang
hendak dicapai. Ungkapan tersebut dapat dilihat dan tidak gelisah.
di bawah ini. 3. Prānāyāmayoga artinya pengendalian
“Apabila kita pelajari isi sastra tutur diri dengan konsentrasi pengaturan nafas.
Saiwa Siddhanta di Jawa dan Bali, maka 4. Dhāranayoga artinya pengendalian diri
tujuan tapa golongan rsi adalah mencapai jalan dengan memusatkan Om-kara dalam hati,
kalepasan jiwa dengan menyatukan diri dengan bertujuan untuk menutup pengaruh yang
Zat Tertinggi melalui meditasi. Untuk mencapai berasal dari unsur jasmaniah.
tujuan tersebut seseorang harus membekali 5. Tarkkayoga artinya pelaksanaan
dirinya dengan pengetahuan suci mengenai pengendalian diri dengan cara
Zat Tertinggi serta berbagai pengetahuan mengosongkan pikiran. Pikiran yang
konkrit tentang tata upacara keagamaan yang tidak terpengaruh oleh sesuatu apapun,
diperlukan. Untuk keperluan itulah maka termasuk suara. Bagaikan angkasa tanpa
kebanyakan para rsi menjadi murid (sisya) pada suara itulah hasil dari tapa ini.
mandala-mandala dan belajar dari maharsi”. 6. Samadhiyoga adalah tapa dalam
Berdasarkan uraian di atas dapat tingkatan tinggi, seseorang dalam tahap
dipahami bahwa penyatuan diri dengan Zat ini tidak akan melakukan aktivitas, tanpa
Tertinggi (Tuhan) adalah tujuan utama dari keinginan, tanpa pengakuan, dan tanpa
para rsi. Salah satu cara untuk mencapai keperluan (Tim Penterjemah 1994, 72-
tujuan tersebut dapat melakukan meditasi atau 78 dan 33-34; Ngurah dan Windhu 1982,
tapa. Tapa merupakan pengendalian diri dari 32).
belenggu duniawi atau dapat berarti sebagai Kaum rsi dan pertapa yang tinggal di
usaha seseorang untuk menjadikan dirinya Candi Cetho dahulu sangat mungkin mempunyai
suci. Menurut Avalon seperti yang dikutip oleh waktu-waktu tertentu untuk melakukan tapa di
Munandar (1990, 425) pengendalian diri terdiri tempat-tempat yang jauh dari perumahan atau di
dari tiga macam yaitu: 1) sariraka yaitu tapa gua-gua pertapaan sebagaimana yang terdapat
badaniah, 2) vacika yaitu tapa dalam ucapan, pada karsyan pawitra. Namun hingga sekarang
3) manasa yaitu tapa pikiran. Sementara itu, belum ada penyelidikan terhadap keberadaan
dalam kitab Jnanasiddhanta pupuh XIX juga gua-gua di sekitaran situs penelitian. Kemudian

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 67


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
apabila hendak melakukan upacara keagamaan, Panji (Bali), Serat Sritanjung (bahasa Jawa
mereka berkumpul di bangunan-bangunan Tengahan), Serat Panji Majapahit, Serat
suci untuk melakukan pemujaan terhadap Rengganis (dizaman Islam), Serat Menak,
dewa-dewa, tokoh semi-dewa, atau juga para Serat Panji, Hikayat Cekel Wanengpati (sastra
leluhurnya. Seperangkat upacara berupa sarana Melayu), Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah,
dan prasarana tentunya dibuat secara bersamaan. Serat Panji Smarabangun, Hikayat Panji
Dalam hal ini di lingkungan Candi Cetho kala Kuda Semirang, Hikayat Misa Taman Jeyeng
itu tampaknya mengadakan pemujaan terhadap Kusuma (Malaysia), Hikayat Dewa Asmara
seorang tokoh yang disebut dengan Panji. Jaya (Malaya), Hikayat Undakan Penurat
Lebih lanjut Munandar pernah (Solo), dan Panji Gurawangsa (Manuaba et al.
menyampaikan bahwa kaum rsi dan pertapa 2013, 64).
Masa Majapahit sangat mungkin memuliakan Lebih lanjut menurut Poerbatjaraka
tokoh (1) Siwa, (2) Budhha, (3) Siwa-Budhha, sebagaimana dikutip oleh Kieven (2017, 38)
(4) Parwatarajadewa (dewa penguasa berpendapat bahwa cerita Panji pertama kali
gunung), (5) arwah leluhur yang diperdewa, diciptakan pada masa kejayaan atau bahkan
serta (6) tokoh dewata lainnya seperti Ganesa, masa pasca-kejayaan Majapahit di Jawa,
Wisnu, dan bahkan Panji (Munandar 2013a, yaitu pertengahan abad ke 14 M atau lebih
5; Munandar 2013b, 17). Pendapat ini dengan belakangan lagi. Kemudian berangsur-angsur
sendirinya menguatkan tafsiran penulis menyebar ke daerah-daerah lainnya hingga
bahwasanya arca yang terletak di teras ke lima ke Asia Tenggara. Namun mengenai setting
Candi Cetho adalah arca Panji. Kaum rsi dan sejarah dalam ceritanya adalah berasal dari masa
pertapa yang hidup di tempat-tempat sunyi Kerajaan Kadiri di abad 11 M. Bahwa Kisah
rupanya sudah akrab dan senantiasa melakukan Panji dinyatakannya merupakan cerminan
pemujaan terhadap Panji. Barangkali situs-situs dari kisah raja dan ratu Kadiri yang namanya
lainnya yang berlokasi di Lereng Barat Gunung tercantum dalam kakawin Smaradhahana karya
Lawu seperti Candi Sukuh, Planggatan, dan Mpu Dharmaja. Raja Kadiri yaitu Kameswara
Menggung juga dijadikan sebagai tempat mempunyai permaisuri Sri Kiranaratu putri dari
pemujaan kepada tokoh Panji. Kerajaan Janggala, demikian yang diungkapkan
Keberadaan Panji berpangkal pada dalam Smaradahana. Raja itu kemudian dikenal
sebuah cerita yang menuturkan Pangeran Panji dengan nama Hinu (Inu) Kertapati dalam cerita
untuk mendapatkan kembali tunangannya. Panji, sedangkan permaisurinya juga bernama
Panji berasal dari Kerajaan Janggala/Kuripan, Kirana, yaitu Dewi Candrakirana (Poerbatjaraka
sementara tunangannya (Candrakirana) adalah dalam Munandar 2014a, 5). Walaupun demikian
seorang putri dari Daha/Kediri. Cerita Panji banyak para ahli mengungkapkan dan saling
menjadi semakin populer pada Masa Majapahit. mengklaim kebenarannya mengenai kisah
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peristiwa sejarah dalam kisah Panji. Misalnya
penggambaran cerita Panji pada relief naratif saja Berg menyatakan bahwa penyebaran cerita-
di Candi-candi pada Masa Majapahit (Kieven, cerita Panji di Nusantara terjadi seiring dengan
2014a: 29). Cerita Panji segera menyebar peristiwa Pamalayu tahun 1277 M (dalam kitab
seiring pengaruh kekuasaan Majapahit ke Nâgarakŗtâgama disebutkan bahwa Pamalayu
beberapa daerah lain bahkan sampai di Asia terjadi tahun 1275 M), sebagai patokan awal
Tenggara. Oleh karena itu, cerita mengenai Panji penyebaran dan sekitar tahun 1400 M sebagai
melahirkan versi-versi yang baru. Diantaranya batas akhir penyebarannya (Munandar 2014a,
adalah Kidung Malat Kung (Bali), Kakawin 5; Kieven 2017, 38-39). Agar lebih jelas
(Bali), Geguritan Megantaka (Bali), Geguritan mengenai hasil kajian dari berbagai ahli tentang
Pakang Raras, Kakawin Smaradahana, Serat kisah panji dapat dilihat pada (tabel 2).

68 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


Tabel 2. Data ringkas mengenai kisah panji menurut berbagai kajian.
R.M.Ng.
W.H.RASSERS
C.C.BERG (1927) POERBATJARAKA Agus Aris Munandar (2005)
(1982)
(1957 & 1968)
Setting sejarah dari
keruntuhan Singhasari,
SETTING SEJARAH awal Majapahit
Tidak diungkapkan
Setting sejarah berasal Setting sejarah dari masa pemerintahan Raden
perihal setting sejarah
dari zaman kejayaan Kerajaan Kadiri (abad Wijaya, Jayanagara,
dari kisah Panji.
Majapahit dalam era Hayam ke-11). Tribhuwanottunggadewi,
Wuruk. hingga akhir pemerintahan
Hayam Wuruk
tahun 1389 M.

TOKOH Acuan tokoh Panji


Tokoh Panji mungkin
Acuan tokoh cerita adalah Raden Wijaya,
Tokoh Panji mengacu dapat dihubungkan
Panji adalah Jayanagara, dan Hayam
kepada raja Kameswara dengan tokoh Ken
Rajasanagara (Hayam Wuruk.
dan Sekar Taji mengacu Angrok yang
Wuruk), dialah tokoh Acuan Dewi
kepada permaisuri mendirikan kerajaan
Raden Inu/Hino sang Angreni/Martalangu
Kameswara, yaitu Sri Singhasari pada tahun
putera mahkota, namun ialah Putri Sunda, Sekar
Kiranaratu. 1222 M dan juga Raden
tidak dijelaskan acuan Taji adalah Indu Dewi
Wijaya.
tokoh-tokoh lainnya. atau Paduka Sori.

Digubah setelah
Digubah pada zaman
PENCIPTAAN Merupakan tuturan terjadinya Pabubat-
Kejayaan atau akhir
Sebelum tahun 1277 lisan dari masa purba Sunda, dikembangkan
kejayaan Majapahit
sudah dikenal cerita sebelum masuknya dalam varian-varian
(sekitar tahun 1400-
Panji. budaya India hingga pertengahan
an)
abad ke-15.

PENYEBARAN
Penyebaran Kisah Panji Penyebaran ke luar Jawa
Penyebaran awal Kisah
terjadi dalam periode Tidak ada penjelasan Timur terjadi dalam
Panji terjadi bersamaan
surutnya kuasa tentang penyebaran abad ke-15—16, dalam
dengan peristiwa
Majapahit, bahkan kisah Panji keluar Jawa masa pemerintahan raja-raja
Pamalayu tahun 1277
sampai era penyebaran Timur. pengganti Hayam
dan berakhir sekitar
Islam di Jawa Wuruk.
tahun 1400 M
(Sumber: Munandar 2014a, 7)

Disamping perbedaan sudut pandang para Bertemunya kembali dua tokoh utama, yang
ahli di atas, hal yang menarik adalah inti dari kemudian diikat dengan perkawinan. Sementara
cerita Panji. Walaupun ditemukan banyak versi itu sedikit berbeda dengan Lydia Kieven (2017,
namun yang menjadi tokoh sentral dalam tiap 33) yang membahas mengenai kisah Panji
kisah tetap sama yaitu tokoh Panji itu sendiri. yang tertuang dalam bentuk relief candi-candi
Menurut Poerbatjaraka (Munandar 1992, 2-3; di Jawa Timur. Unsur-unsur utama cerita Panji
Sumaryono 2011, 20) inti dari cerita Panji meliputi 1) perpisahan dan kerinduan antara
adalah sebagai berikut. 1) Pelaku utama ialah Panji dan Candrakirana, 2) Panji melakukan
Inu Kertapati, putra Raja Kuripan, dan Candra perjalanan bersama pengiringnya untuk
Kirana putri Raja Daha, 2) Pertemuan Panji mencari Candrakirana, 3) Panji terlibat perang,
dengan kekasih pertama, seorang dari kalangan 4) Panji terlibat dalam hubungan asmara
rakyat, dalam suatu perburuan, 3) Terbunuhnya dengan perempuan lain, 5) Panji beraksi
sang kekasih, 4) Hilangnya Candra Kirana, sebagai pemusik atau penyair, 6) Panji bertapa,
calon permaisuri Panji, 5) Adegan-adegan dan 7) Panji dan Candrakirana bersatu kembali.
pengembaraan dua tokoh utama, dan 5) Berdasarkan dua versi tersebut tampaknya hal

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 69


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
penting dalam kisah Panji adalah perpisahan dan
kerinduan, yang berujung pada pencarian, dan
pada akhirnya bertemu kembali (penyatuan).
Ketiga hal tersebut dapat dilihat dalam sinopsis
singkat di bawah ini.
“Alkisah, terdapat empat kerajaan yang
dipimpin oleh empat bersaudara yaitu Koripan
atau Kahuripan (Janggala = keling), Daha
(Kadiri = Mamenang), Gegelang (urawan), dan
Gambar 5. Di Teras Pendopo, Candi Panataran (A)
Singhasari. Pernikahan antara putra mahkota Panji duduk dalam suasana kerinduan, (B) Panji
Koripan dengan putri Daha merupaka tema berkelana bersama Kertolo dan panakawan, dan (C)
pokok bagi semua cerita Panji. Sang Pangeran Panji dan Candrakirana menyatu.
bisanya disebut raden panji atau raden Ino, (Sumber: Kieven 2014b, 12)
selain nama lainnya adalah Wira Namtani
dalam waseng, Makaradwaja dalam Wangbang yang tidak baik. Panji memang dalam berbagai
Wideya, Nusapati dalam Malat. Sang puteri kisah digambarkan sebagai idola, tokoh sentral
biasanya disebut raden galuh (Candrakirana), yang selalu identik dengan nilai-nilai kebaikan
dengan nama lain seperti Amahi Lara. Pada (Manuaba et al. 2013, 63).
awal cerita mereka sudah bertunangan, tetapi Panji merupakan bagian dari kultus lokal
sang putri menghilang dan Panji meninggalkan Jawa yang telah berkembang sendiri tanpa
keraton untuk mencarinya. Masing-masing tergantung pada tradisi India kuna, dan dia
memakai nama-nama lain. seringkali ia tinggal telah menjadi objek pemujaan. Jejak kultus
tidak jauh dari kekasihnya, namun tanpa ini sudah ditemukan dengan adanya patung
diketahui identitasnya. Semua cerita berakhir Grogol hingga arca Panji dari Selokelir yang
dengan adegan kedua kekasih saling mengenali merepresentasikan klimaks dari meningkatnya
kembali, rakyat sukaria dan bermuara pada taraf pemujaan Panji pada masa Majapahit
sebuah pernikahan. Cinta Panji bagi putri Akhir. Pada salah satu panel di Candi Miri
Daha tidak merupakan halangan baginya untuk gambar melukiskan seorang perempuan duduk
terlibat dalam pertualangan asmara....”. menyembah Panji yang berada di posisi lebih
Mengenai tiga pokok penting dalam tinggi (lihat gambar 6). Panji tersebut dijadikan
kisah Panji yang tertuang dalam sinopsis di sebagai obyek pemujaan yang dilakukan
atas, apabila dilihat pada penggambaran relief dengan cara yang sama seperti pemujaan dewa,
candi dapat dilihat pada (gambar 5) di bawah akan tetapi tidak dianggap sebagai dewa yang
ini. Kisah Panji ini banyak mengandung muatan sebenarnya. Hal ini seiring dengan naiknya
nilai-nilai hidup yang dapat direfleksikan dalam
kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada sepuluh
nilai yang terkandung dalam cerita Panji.
Kesepuluh nilai tersebut, yaitu (a) kesejarahan,
(b) edukatif, (c) keteladanan, (d) kepahlawanan,
(e) budaya, (f) estetika, (g) kearifan lokal, (h)
ekologis, (i) politis, dan (j) moral. Misalnya
saja nilai keteladanan yang dapat diketahui
dari kisah-kisah penggembaraan, penyamaran,
dan pencarian Panji. Panji selalu menunjukkan
sikap baik, arif bijaksana, dan hampir tidak Gambar 6. Lukisan Seorang perempuan sedang
pernah dikisahkan sebagai tokoh atau sosok menyembah Panji.
(Sumber: Kieven 2017, 329)

70 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


status tokoh lainya seperti Bima, Hanuman, dan KESIMPULAN
Sadewa menjadi semi-dewa (Kieven 2014a, Pengaruh kebudayaan India yang
371-376). Dalam kesimpulannya, Kieven berkembang pesat dalam periode Masa Klasik
(2014a) menyatakan bahwa Panji merupakan Indonesia salah satunya adalah pembuatan
tokoh ideal sebagai perantara para peziarah arca. Peninggalan ini tidak jarang berkaitan
ke dalam tahap penyatuan (kalepasan). Oleh dengan pembangunan sebuah bangunan suci
karena itu, cerita Panji dapat juga menyimbolkan dan juga tokoh yang diarcakan. Keberadaan
sebuah penyatuan seksual antara laki-laki arca yang ditemukan di Candi Cetho memang
dengan perempuan. Penyatuan tersebut dapat cukup melimpah, akan tetapi penelitian secara
dilihat dari gambaran kisah Panji yang kembali khusus terhadap arca-arca tersebut hingga kini
bersatu dengan kekasihnya Candrakirana. dapat dikatakan minim. Salah satu temuan
Selaras dengan pemujaan terhadap Siwa yang yang menarik adalah arca yang terletak di teras
memberikan tanda sebuah penyatuan. Rupanya ke lima Candi Cetho. Arca ini apabila dilihat
wacana seperti ini yang ditangkap oleh kaum secara sepintas memang tidak menunjukkan
rsi yang berdiam di mandala Cetho, yang identitas yang cukup menonjol, setelah diamati
mengarcakan Panji sebagai media pemujaan. dengan seksama rupanya arca ini mengenakan
Mengenai adanya tokoh yang peranannya topi (tekes). Oleh karenanya, berdasarkan hasil
sebagai perantara si pemuja dengan yang di penelitian ini penulis memberikan asumsi baru
puja, sebenarnya Santiko pernah menawarkan bahwa arca tersebut merupakan perwujudan
sebuah konsep yang disebut dengan tokoh dari tokoh Panji. Ada beberapa hal mendasari
mediator. Tokoh-tokoh ini dianggap dugaan tersebut yakni menggunakan topi
mempunyai keistimewaan dan kelebihan pada (tekes), tangan kanan di tekuk ke depan dada,
dirinya. Oleh sebab itu dapat bertindak sebagai kain yang digunakan disisakan sedikit hingga
penghubung antara Tuhan dengan manusia. berbentuk U, dan tangan kiri menyingkap kain
Konsep “penghubung” (mediation-mediator) ke arah atas. Hal demikian selaras dengan
muncul karena anggapan adanya celah antara ciri-ciri arca Panji yang ditemukan di Candi
Tuhan yang bersifat transenden dengan Selokelir dan Grogol.
manusia yang penuh dosa. Untuk itu celah Panji merupakan bagian dari kultus lokal
ini perlu ada penghubungnya. Dalam agama Jawa yang telah berkembang sendiri tanpa
Hindu-Saiwa pada Masa Jawa Kuna setidaknya tergantung pada tradisi India kuno, dan dia
ada tiga tokoh mediator yaitu Rsi Agastya, telah menjadi objek pemujaan. Jejak kultus
Sadewa, dan Bhima (Santiko 2005, 51-66). ini sudah ditemukan dengan adanya patung
Dengan memahami uraian tersebut maka Panji Grogol hingga arca Panji dari Selokelir yang
pun termasuk dalam lingkup sebagai tokoh merepresentasikan klimaks dari meningkatnya
mediator. Apabila dalam relief naratif berfungsi taraf pemujaan Panji pada masa Majapahit
sebagai pengantar seorang penziarah ke tahap Akhir. Sudah barang tentu pula pengarcaan
pengalaman religius yang tinggi, sangat tokoh Panji ini dijadikan sebagai pemujaan
mungkin Panji dalam bentuk arca dianggap oleh komunitas yang tinggal di Candi Cetho,
sebagai tokoh yang mampu penghantar/ tiada lain mereka adalah kaum rsi dan pertapa.
perantara si pemuja dengan Tuhan. Relief Panji Kelompok masyarakat ini sengaja memuliakan
yang tertera di Candi Sukuh dan Planggatan tokoh Panji sebagai bentuk harapan dapat
hingga berakhir pada wujudnya sebagai sebuah menghubungan/menghantarkan kepada Tuhan
arca Panji di Candi Cetho, oleh kaum rsi dipuja (Siwa).
dan dipercayai mampu memediatori mereka
menuju tahap pelepasan diri ~ manungalling
kawula lan gusti.

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 71


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
SARAN Kieven, Lydia. 2014a. Menelusuri Figur Bertopi
Candi Cetho sebagai hasil budaya dalam Relief Candi Zaman Majapahit:
materi yang merupakan kekayaan bangsa Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius
dengan mengandung nilai-nilai luhur nenek Candi-Candi Periode Jawa Timur Abad ke-
moyang kita. Sudah barang tentu lambat laun 14 dan ke-15. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
akan mengalami kerusakan baik disebabkan
Kieven, Lydia. 2014b. “Simbolisme Cerita
oleh faktor manusia maupun alam. Oleh Panji dalam Relief-relief di Candi Zaman
sebab itu pihak-pihak yang berkepentingan Majapahit dan Nilainya pada Masa Kini”.
dengan warisan itu, khususnya masyarakat Makalah dipresentasikan dalam Seminar
setempat wajib melindungi dan melestarikan Naskah Panji di Perpustakaan Nasional
agar keberadaannya dapat dilihat hingga Republik Indonesia, Jakarta 28-29 Oktober.
masa yang akan datang. Bagi Pemerintah Kieven, Lydia. 2016. “Pañji And Candrakirana Lost
Kabupaten Karanganyar, khususnya Dinas In Separation – Three Ancient East Javanese
Pariwisata hendaknya juga memperhatikan Sculptures”. Amerta 34 (1): 31-48.
dampak-dampak yang ditimbulkan dengan Kieven, Lydia. 2017. Menelusuri Panji di Candi-
ditetapkannya situs-situs arkeologi sebagai Candi: Relief Figur Bertopi di Candi-candi
Zaman Majapahit. Jakarta: Kepustakaan
tempat wisata. Hal ini dapat dilakukan dengan
Populer Gramedia.
cara membuat peraturan-peraturan atau alat Kismorodati, Weningtyas. 2007. “Makna Candi
yang tidak mengakibatkan kerusakan langsung Cetha Bagi Masyarakat Lokal Masa Kini.”
terhadap eksistensi situs. Mengingat bebatuan Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
yang di Candi Cetho banyak ditemukan corat- Gadjah Mada.
coret hasil ulah wisawatan, sehingga nilai Magetsari, Noerhadi. 2008. “Agama di Majapahit.”
ekonomis yang berasal dari sana sedapat dalam Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu
mungkin dikembalikan pula ke situs yang Indonesia I, 246-255. Jakarta: ORCHID
bersangkutan. Media Creasindo.
Manuaba, Ida Bagus Putera, Adi Setijowati, dan
DAFTAR PUSTAKA Puji Karyanto. 2013. “Keberadaan dan
Ardhana, I Ketut, I Ketut Setiawan, dan Sulandjari. Bentuk Transformasi Cerita Panji”. Litera 12
2017. Kediri: Dalam Perspektif Arkeologi, (1): 53-67.
Sejarah, dan pariwisata. Denpasar: Pustaka Maulana, Ratnaesih. 1995. “Kaitan Pura dan Arca
Larasan. di Bali.” Laporan Penelitian, Fakultas Sastra
Ardika, I Wayan. 2015. Warisan Budaya: Perspekti Univeritas Indonesia, Jakarta.
Masa Kini. Denpasar: Udayana University Maulana, Ratnaesih. 1996/1997. “Perkembangan
Press. Seni Arca di Indonesia.” Laporan Penelitian,
Darmosoetopo, Riboet. 1975/1976. Peninggalan Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
Peninggalan Kebubayaan di Lereng Jakarta.
Barat Gunung Lawu. laporan penelitian. Munandar, Agus Aris. 1990. “Kegiatan Keagamaan
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Di Pawitra: Gunung Suci di Jawa Timur Abad
Izza, Nainunis Aulia. 2016. “Karakteristik Bangunan 14—5 M”. Tesis, Fakultas Sastra, Universitas
Suci Bercorak Hindu-Buddha di Gunung Indonesia.
Penanggungan dan Gunung Wajak: Sebuah Munandar, Agus Aris. 1992.“Cerita Panji dalam
Tinjuan Perbandingan”. Kapata Arkeologi 12 Masyarakat Majapahit Akhir” dalam
(1): 1-14. Lembaran Sastra Universitas Indonesia,
1-16. Depok: Fakultas Sastra UI.

72 Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


Munandar, Agus Aris. 2013a. Tak Ada Kanal di Purwanto, Heri. 2017a. “Beberapa Keistimewaan
Majapahit. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Candi Cetho di Kabupaten Karangnyar”.
Munandar, Agus Aris. 2013b. “Istana dan Kaum Jurnal Sejarah: Candra Sangkala 18 (16):
Agamawan Dalam Masa Majapahit”. 35-45.
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Purwanto, Heri. 2017b. “Candi Sukuh Sebagai
Nasional dengan Tema “Mengungkap Tempat Kegiatan Kaum Rsi”. Berkala
Kebesaran Majapahit” di Gedung Widya Arkeologi 37(1): 69-84.
Sabha Fakultas Ilmu Budaya Universitas Purwanto, Heri. 2017c. “Kehidupan Beragama
Udayana, Denpasar 11 Oktober. di Lereng Barat Gunung Lawu Kabupaten
Munandar, Agus Aris. 2014a. “Panji dan para Karanganyar, Jawa Tengah Abad ke-14-15
Kadeyan Mengembara dalam Kebudayaan Masehi”. Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya,
Nusantara”. Dalam Panji dalam Berbagai Universitas Udayana.
Tradisi Nusantara, disunting oleh St. Santiko, Hariani. 2005.”Tokoh-Tokoh Mediator
Hanggar B. Prasetya dan I Wayan Dana, 3-19. dalam Agama Hindu-Siwa di Jawa”, dalam
Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesenian dan Hari-Hara: Kumpulan Tulisan Tentang
Perfilman. Agama Veda dan Hindu di Indonesia abad
Munandar, Agus Aris. 2014b. Mitra Satata: Kajian IV-XVI Masehi, 51-70. Jakarta: Universitas
Asia Tenggara Kuna. Jakarta: Wedatama Indonesia.
Widya Sastra. Sedyawati, Edi. 2002. “Seni Arca Klasik Awal”.
Munandar, Agus Aris. 2015. Keistimewaan Candi- dalam Indonesia Heritage: Sejarah Awal,
Candi Zaman Majapahit. Jakarta: Wedatama disusun oleh John Miksic, 88-89. Jakarta:
Widya Sastra. Antar Bangsa.
Munandar, Agus Aris. 2016. Arkeologi Pawitra. Soebadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta:
Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Djambatan
Ngurah, Bagus Ida, Ida Bagus Oka Windhu. Suhadi, Machi, P.E.J Fernandus, Amelia, Agustijanto
1982/1983. Sutasoma: Terjemahan dari Indrajaya. 1999/2000. “Penelitian Arsitektur
Lontar. Denpasar: Seksi Dokumentasi dan di Kabupetan Karanganyar, Provinsi
Informasi, Taman Budaya Denpasar. Jawa Tengah.” Laporan Penelitian, Pusat
Nurkotimah. 2014. “Pengarcaan Narasimhavatara Arkeologi, Jakarta.
pada Masa Jawa Kuna Abad IX-XV M”. Sumaryono. 2011. “Cerita Panji Antara Sejarah,
Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mitos, dan Legenda”. Mudra 26 (1): 17-24.
Gadjah Mada. Tim Penterjemah. 1994. Wrhaspati Tatwa,
Purnomo, Babar Lambang, Tri Wismabudhi, Ganapati Tatwa, Tatwa Jnana: Kajian Teks
Sugito, Hanung Rajendra. 2001. “Pengolahan dan Terjemahannya. Denpasar: UPT. Kantor
data Candi Cetho Karanganyar.” Laporan Dokumentasi Budaya Bali.
penelitian, Suaka Peninggalan Sejarah dan Wibisono, Anton. 2006. “Perkembangan Aksara
Purbakala Jawa Tengah, Jawa Tengah. Becorak Khusus pada Prasasti-Prasasti Abad
Purwanto, Heri dan Coleta Palupi Titasari. XV Masehi: Sebuah Kajian Paleografi”.
2017. “Candi Planggatan Di Kabupaten Skripsi, Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya,
Karanganyar, Jawa Tengah: Bangunan Suci Universitas Indonesia.
Milik Kaum Rsi”. Naditira Widya 11(2): 97-
110.

Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru Sebagai Arca Panji 73


Heri Purwanto dan Coleta Palupi Titasari
LAMPIRAN 1

Forum Arkeologi Volume 31, Nomor 1, April 2018 (57 - 74)


Tabel: Perbandingan Ikonografi Arca Panji
Keterangan: x (ketidakhadiran), v (kehadiran), - (tidak jelas).
(Sumber: Dokumen pribadi)

74

Anda mungkin juga menyukai