ABSTRAK
Secara historis Indonesia yang dahulu disebut dengan Nusantara ini kaya akan budaya dan
kehidupan spiritualnya. Di era modern ini eksistensi agama lokal yang terdapat di Indonesia ini
masih dapat kita jumpai. Sunda Wiwitan adalah contohnya. Sejarah Sunda Wiwitan yang
dikenalkan oleh Sadewa Alibasa Koesoema Widajayaningrat atau disebut sebagai Pangeran
Madrais dimana kisah kehidupannya yang begitu kontroversial. Metode penelitian ini dilakukan
dengan studi literatur untuk mengkaji secara detail mengenai nilai spiritualitas Ritual Sajen
Sunda Wiwitan yang merupakan wujud pelestarian kearifan lokal yang masih eksis di wilayah
Banten (Kanekes, Lebak), Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Kuningan) dan
sebagian di wilayah pesisir Utara Jawa (Brebes) serta bagaimana tantangan yang dihadapi oleh
penganut Sunda Wiwitan di Indonesia.
Kata kunci : nilai spiritual, Sunda Wiwitan, studi literatur
A. PENDAHULUAN
Secara historis Indonesia yang dahulunya adalah Nusantara dimana pertama kali
digunakan pada masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Bukti penggunaan
istilah Nusantara pada masa Majapahit dapat dilihat dari isi Sumpah Palapa yang
diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada yang berbunyi, “Lamun huwus kalah
Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seram, Tanjung Pura,
ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana
isun amukti palapa.”
Artinya, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa.
Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa.” Hal ini dapat
diketahui bahwa Nusantara (kini Indonesia) mempunyai nilai-nilai sejarah yang
mencakup nilai kegigihan, keuletan dan perjuangan, nilai budaya, nilai sosial serta
nilai spiritual yang sudah tertanam dengan kuat.
Menurut Soekamto (2012:56), nilai adalah suatu yang dapat dijadikan sasaran
untuk mencapai tujuan yang menjadi sifat keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua
atau lebih dari komponen satu sama lainnya saling mempengaruhi. Sedangkan
pengertian nilai menurut Chabib Thoha (1996:62) adalah “Esensi yang melekat pada
sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia.”
Pengertian secara etimologis spiritual, spiritualitas atau spiritualisme berasal
dari kata spirit. Makna dari spirit, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:960)
dijelaskan bahwa spirit memiliki arti semangat, jiwa, sukma dan roh. Dan spiritual
diartikan sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (jiwa atau rohani).
Spiritual merupakan dasar bagi tumbuhnya harga diri nilai-nilai, moral dan rasa
memiliki. Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch (2001:20), spiritualitas adalah dasar
1
tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki dan memberi arah dan arti
pada kehidupan, suatu kesadaran yang menghubungkan seseorang dengan Tuhan, atau
apapun yang disebut dengan sumber keberadaan dan hakikat kehidupan.
Adapun yang dimaksud dengan spiritualisme adalah agama penyembah sesuatu
(zat) yang ghaib, yang tidak tampak secara lahiriyah, sesuatu yang tidak dapat dilihat
dan tidak berbentuk. Spiritualisme ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Agama
Ketuhanan (theistic religion) dan Agama penyembah roh (agama duniawi). Pendapat
Koentjaraningrat bahwa Agama duniawi disebut juga agama budaya yang didalamnya
terdapat hal-hal yang bersifat religi.
Koentjaraningrat mengutip pendapat Durkheim, mengatakan bahwa agama
merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan keyakinan dan upacara-upacara yang
bersifat keramat. Timbulnya agama dan budaya dalam pikiran manusia dikarenakan
getaran jiwa yang disebut emosi keagamaan. Dimana dalam batin manusia sendiri
timbul pemikiran, perilaku kepercayaan terhadap suatu benda yang dianggap
mempunyai kekuatan yang luar biasa (Koentjaraningrat, 1987:95).
Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan arwah
leluhur atau dikenal dengan istilah Animisme dan Dinamisme. Sunda Wiwitan
merupakan kepercayaan yang sudah lama dianut oleh masyarakat Sunda sebelum
datangnya ajaran Hindu dan Islam. Dalam praktiknya, penganut agama lokal Sunda
Wiwitan menerapkan sistem monotheisme purba lewat kehadiran kekuasaan tertinggi
atau disebut dengan Sang Hyang Keresa atau Gusti Sikang Sawiji-wiji (Tuhan Yang
Maha Tunggal).
Menurut Koentjaraningrat (2002 : 349) sesaji merupakan salah satu sarana
upacara yang tidak bisa ditinggalkan, dan disebut juga dengan sesajen yang
dihaturkan pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap makluk halus,
yang berada ditempat-tempat tertentu.
Kemudian, Menurut Wazin (2021:1) sesajen merupakan warisan budaya
tradisional yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu
tempat (pohon, batu, persimpangan, dan lain-lain) yang mereka yakini dapat
mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan, seperti upacara menjelang panen
yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang masih
dipraktekkan di sebagian daerah Jawa dan Banten. Upacara nglarung (membuang
kesialan) ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir
pantai Selatan pulau Jawa dan juga di beberapa pesisir Banten.
Wahyana Giri (2010:76) menyatakan bahwa sesajen memiliki nilai yang sangat
sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, Tujuan dari
pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya
dilakukan di tempat - tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang
tinggi. Prosesi tersebut telah terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan berasal dari
nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran - pemikiran yang mistis.
Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan atau
terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi. Saat ini orang beranggapan bahwa
menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol dan
makna di dalam sesajen yang harus dipelajari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara literatur seperti apakah nilai
spiritual Ritual Sajen pada Agama Lokal Sunda Wiwitan sebagai wujud pelestarian
kearifan lokal dan bagaimana tantangan yang dihadapi oleh para penganut agama
lokal Sunda Wiwitan di Indonesia?
2
B. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan studi literatur. Nazir (1998 : 112) menyatakan
bahwa studi kepustakaan merupakan langkah yang penting dimana setelah seorang
peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian
yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian
teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan
yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku, jurnal,
majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang
sesuai (internet, koran dll).
Menurut Danial dan Wasriah (2009:80), Studi Literatur adalah merupakan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku,
majalah yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Sementara menurut J.
Supranto seperti yang dikutip Ruslan dalam bukunya metode Penelitian Public
Relations dan Komunikasi, bahwa studi kepustakaan adalah dilakukan mencari data
atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan
bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan (Ruslan, 2008:31).
3
yang akan dilakukan dan diusahakan menunjukkan kondisi mutakhir dari bidang ilmu
tersebut. Studi kepustakaan yang dilakukan sebelum melakukan penelitian bertujuan
untuk:
1. Menemukan suatu masalah untuk diteliti.
2. Mencari informasi yang relevan dengan masalah yang diteliti.
3. Mengkaji beberapa teori dasar yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.
Untuk membuat uraian teoritik dan empirik yang berkaitan dengan faktor,
indikator, variable dan parameter penelitian yang tercermin di dalam masalah-
masalah yang ingin dipecahkan.
4. Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah dan bidang yang akan
diteliti.
5. Mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian
yang akan dilakukan. Artinya hasil penelitian terdahulu mengenai hal yang
akan diteliti dan atau mengenai hal lain yang berkaitan dengan hal yang akan
diteliti.
6. Mendapat informasi tentang aspek-aspek mana dari suatu masalah yang sudah
pernah diteliti untuk menghindari agar tidak meneliti hal yang sama.
B. PEMBAHASAN
Menurut Melina dan Suzy S. Azeharie dalam jurnalnya yang berjudul “Ritual
Sajen pada Penganut Sunda Wiwitan (Studi Komunikasi Budaya pada Penganut
4
Sunda Wiwitan) Vol. 3, No. 2, Desember 2019, Hal 427-434, memaparkan bahwa
tradisi ritual sajen sudah ada sejak zaman megalithikum atau batu besar. Sajen
merupakan hasil olah karya manusia yang dihidangkan sebagai bentuk penghargaan
kepada Sang Hyang Kersa atau Sang Pencipta. Selain itu sajen juga diberikan kepada
makhluk yang tidak tampak dan hewan kecil yang tampak seperti semut, belalang
yang ikut mencicipi hasil karya manusia. Jadi makna sajen cukup adiluhung atau
mulia karena kehalusan dan kepekaan rasa terhadap sang maha pencipta dan ciptaan
lainnya (wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur, Kuningan pada tanggal 21
September 2019 pukul 08.30 WIB).
5
b. Waktu pelaksanaan ritual
Waktu pelaksanaan ritual adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat untuk
melaksanakan suatu ritual (Koentjaraningrat, 1967). Pangeran Gumirat mengatakan
bahwa ritual sajen dilakukan sebelum diadakannya acara besar seperti Seren Taun.
Seren Taun merupakan upacara adat panen padi yang setiap tahun dilakukan oleh
masyarakat Sunda Wiwitan. Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur atas hasil
panen padi kepada Sang Pencipta (wawancara terhadap Pangeran Gumirat di Cigugur,
Kuningan pada tanggal 21 September 2019 pukul 08.30 WIB).
Sementara Ira Indrawardana mengatakan bahwa ritual sajen dapat dilakukan
sebelum acara ulang tahun, acara syukuran atas kelahiran, acara pernikahan. Pada saat
acara tersebut akan disediakan nasi tumpeng, teh pahit, teh manis, kopi pahit dan kopi
manis. Hal tersebut juga termasuk sebagai bentuk sajen (wawancara terhadap Ira
Indrawardana via WhatsApp pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 12.15 WIB).
c. Benda-benda ritual
Benda-benda ritual merupakan alat-alat yang digunakan dalam menjalan suatu
ritual seperti wadah untuk tempat sajen, alat kecil seperti sendok, pisau dan lain-lain
(Koentjaraningrat, 1967). Pangeran Gumirat menjelaskan bahwa benda-benda ritual
adalah barang-barang atau perlengkapan yang digunakan pada saat ritual sajen.
Benda-benda ritual pada saat ritual sajen adalah pakaian putih untuk perempuan,
pakaian hitam untuk laki-laki, nampan yang terbuat dari bambu, teh manis, teh pahit,
kopi manis, kopi pahit, air putih, nasi congcot, pengikat kepala berbentuk segi empat
(wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur, Kuningan pada tanggal 21
September 2019 pukul 08.30 WIB).
Subrata mengatakan selain benda-benda yang disebutkan di atas, terdapat
benda-benda lainnya yaitu kerupuk berwarna putih dan merah, pisang, rujakan,
ketupat yang memiliki lima sisi, bakakak ayam, bunga tujuh warna, telur asin dan
kujang yang menancap di atas kelapa (wawancara dengan Subrata di Cigugur,
Kuningan pada tanggal 21 September 2019 pukul 10.25 WIB).
6
(wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur, Kuningan pada tanggal 21
September 2019 pukul 08.30 WIB).
7
Sehingga dapat diketahui bahwa nilai spiritual dari ritual sajen adalah untuk
melestarikan tradisi (nilai kearifan lokal) turun temurun yang mana menyimbolkan
hubungan antara manusia dengan para leluhur dan Sang Pencipta.
C. Simpulan
Nilai spiritual merupakan suatu hal fundamental yang ada di setiap diri manusia
yang tak tampak secara lahiriyah. Karena sejatinya, manusia adalah makhluk hidup
yang memiliki naluri untuk beragama atau berkeyakinan. Kita dapat menyimpulkan
bahwa ritual sajen penganut Sunda Wiwitan memiliki nilai kearifan lokal dan nilai
spiritual yang luhur yaitu sebagai tradisi leluhur yang telah dilestarikan secara turun
8
temurun dan sebagai simbol hubungan antara manusia dengan para leluhur dan Sang
Pencipta.
D. DAFTAR PUSTAKA
Balai Pustaka. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta:
Depdikbud.
Danial, Endang dan Nanan Wasriah. 2009. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung:
Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan UPI.
Doe, Mimi dan Marsha Walch. (2001). 10 Prinsip Spiritual Parenting. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Humaeni Ayatullah, dkk. (2021). Sesajen: Menelusuri Makna dan Akar Tradisi
Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali. Banten: LP2M
UIN Sultan Maulana Hasanuddin.
Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia
Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta
MC, Wahyana Giri. (2010). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi
Melina dan Suzy S. Azeharie (2019). Ritual Sajen pada Penganut Sunda Wiwitan
(Studi Komunikasi Budaya pada Penganut Sunda Wiwitan) Koneksi Vol. 3, No.
2, Desember 2019, Hal 427-434
Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Ruslan, Rosady. 2008. Manajemen Public Relations & Media. Komunikasi. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.
Soekanto, S., & Sulistyowati, B. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali
Pers.
Thoha, Chabib. (1996). Kapita Selekta Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Budayawan: Nusantara Punya Makna Spiritual dan Historis (mediaindonesia.com)
Diskriminasi terhadap Penghayat Sunda Wiwitan Terus Terjadi - Kompas.id