Anda di halaman 1dari 9

NILAI SPIRITUALITAS RITUAL SAJEN PADA AGAMA LOKAL SUNDA

WIWITAN SEBAGAI WUJUD PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL DAN


TANTANGANNYA DI INDONESIA

Electra Septarani1 , Kama Abdul Hakam2


Program Studi Pendidikan Umum dan Karakter
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: electra.sept1990@gmail.com

ABSTRAK
Secara historis Indonesia yang dahulu disebut dengan Nusantara ini kaya akan budaya dan
kehidupan spiritualnya. Di era modern ini eksistensi agama lokal yang terdapat di Indonesia ini
masih dapat kita jumpai. Sunda Wiwitan adalah contohnya. Sejarah Sunda Wiwitan yang
dikenalkan oleh Sadewa Alibasa Koesoema Widajayaningrat atau disebut sebagai Pangeran
Madrais dimana kisah kehidupannya yang begitu kontroversial. Metode penelitian ini dilakukan
dengan studi literatur untuk mengkaji secara detail mengenai nilai spiritualitas Ritual Sajen
Sunda Wiwitan yang merupakan wujud pelestarian kearifan lokal yang masih eksis di wilayah
Banten (Kanekes, Lebak), Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Kuningan) dan
sebagian di wilayah pesisir Utara Jawa (Brebes) serta bagaimana tantangan yang dihadapi oleh
penganut Sunda Wiwitan di Indonesia.
Kata kunci : nilai spiritual, Sunda Wiwitan, studi literatur

A. PENDAHULUAN
Secara historis Indonesia yang dahulunya adalah Nusantara dimana pertama kali
digunakan pada masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Bukti penggunaan
istilah Nusantara pada masa Majapahit dapat dilihat dari isi Sumpah Palapa yang
diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada yang berbunyi, “Lamun huwus kalah
Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seram, Tanjung Pura,
ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana
isun amukti palapa.”
Artinya, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa.
Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa.” Hal ini dapat
diketahui bahwa Nusantara (kini Indonesia) mempunyai nilai-nilai sejarah yang
mencakup nilai kegigihan, keuletan dan perjuangan, nilai budaya, nilai sosial serta
nilai spiritual yang sudah tertanam dengan kuat.
Menurut Soekamto (2012:56), nilai adalah suatu yang dapat dijadikan sasaran
untuk mencapai tujuan yang menjadi sifat keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua
atau lebih dari komponen satu sama lainnya saling mempengaruhi. Sedangkan
pengertian nilai menurut Chabib Thoha (1996:62) adalah “Esensi yang melekat pada
sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia.”
Pengertian secara etimologis spiritual, spiritualitas atau spiritualisme berasal
dari kata spirit. Makna dari spirit, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:960)
dijelaskan bahwa spirit memiliki arti semangat, jiwa, sukma dan roh. Dan spiritual
diartikan sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (jiwa atau rohani).
Spiritual merupakan dasar bagi tumbuhnya harga diri nilai-nilai, moral dan rasa
memiliki. Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch (2001:20), spiritualitas adalah dasar

1
tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki dan memberi arah dan arti
pada kehidupan, suatu kesadaran yang menghubungkan seseorang dengan Tuhan, atau
apapun yang disebut dengan sumber keberadaan dan hakikat kehidupan.
Adapun yang dimaksud dengan spiritualisme adalah agama penyembah sesuatu
(zat) yang ghaib, yang tidak tampak secara lahiriyah, sesuatu yang tidak dapat dilihat
dan tidak berbentuk. Spiritualisme ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Agama
Ketuhanan (theistic religion) dan Agama penyembah roh (agama duniawi). Pendapat
Koentjaraningrat bahwa Agama duniawi disebut juga agama budaya yang didalamnya
terdapat hal-hal yang bersifat religi.
Koentjaraningrat mengutip pendapat Durkheim, mengatakan bahwa agama
merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan keyakinan dan upacara-upacara yang
bersifat keramat. Timbulnya agama dan budaya dalam pikiran manusia dikarenakan
getaran jiwa yang disebut emosi keagamaan. Dimana dalam batin manusia sendiri
timbul pemikiran, perilaku kepercayaan terhadap suatu benda yang dianggap
mempunyai kekuatan yang luar biasa (Koentjaraningrat, 1987:95).
Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan arwah
leluhur atau dikenal dengan istilah Animisme dan Dinamisme. Sunda Wiwitan
merupakan kepercayaan yang sudah lama dianut oleh masyarakat Sunda sebelum
datangnya ajaran Hindu dan Islam. Dalam praktiknya, penganut agama lokal Sunda
Wiwitan menerapkan sistem monotheisme purba lewat kehadiran kekuasaan tertinggi
atau disebut dengan Sang Hyang Keresa atau Gusti Sikang Sawiji-wiji (Tuhan Yang
Maha Tunggal).
Menurut Koentjaraningrat (2002 : 349) sesaji merupakan salah satu sarana
upacara yang tidak bisa ditinggalkan, dan disebut juga dengan sesajen yang
dihaturkan pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap makluk halus,
yang berada ditempat-tempat tertentu.
Kemudian, Menurut Wazin (2021:1) sesajen merupakan warisan budaya
tradisional yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu
tempat (pohon, batu, persimpangan, dan lain-lain) yang mereka yakini dapat
mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan, seperti upacara menjelang panen
yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang masih
dipraktekkan di sebagian daerah Jawa dan Banten. Upacara nglarung (membuang
kesialan) ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir
pantai Selatan pulau Jawa dan juga di beberapa pesisir Banten.
Wahyana Giri (2010:76) menyatakan bahwa sesajen memiliki nilai yang sangat
sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, Tujuan dari
pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya
dilakukan di tempat - tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang
tinggi. Prosesi tersebut telah terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan berasal dari
nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran - pemikiran yang mistis.
Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan atau
terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi. Saat ini orang beranggapan bahwa
menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol dan
makna di dalam sesajen yang harus dipelajari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara literatur seperti apakah nilai
spiritual Ritual Sajen pada Agama Lokal Sunda Wiwitan sebagai wujud pelestarian
kearifan lokal dan bagaimana tantangan yang dihadapi oleh para penganut agama
lokal Sunda Wiwitan di Indonesia?

2
B. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan studi literatur. Nazir (1998 : 112) menyatakan
bahwa studi kepustakaan merupakan langkah yang penting dimana setelah seorang
peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian
yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian
teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan
yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku, jurnal,
majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang
sesuai (internet, koran dll).
Menurut Danial dan Wasriah (2009:80), Studi Literatur adalah merupakan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku,
majalah yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Sementara menurut J.
Supranto seperti yang dikutip Ruslan dalam bukunya metode Penelitian Public
Relations dan Komunikasi, bahwa studi kepustakaan adalah dilakukan mencari data
atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan
bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan (Ruslan, 2008:31).

Ciri Penelitian Studi Literatur


Terdapat empat ciri utama sebuah studi literatur. Ciri tersebut akan
mempengaruhi sifat da cara kerja penelitiannya. Ciri-ciri tersebut diantaranya:
1. Berbentuk Teks
Peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan
pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang atau
lainnya. Teks memiliki sifat-sifatnya sendiri dan memerlukan pendekatan tersendiri
pula. Kritik teks merupakan metode yang biasa dikembangkan dalam studi fisiologi,
dll. Jadi perpustakaan adalah laborat peneliti kepustakaan dan karena itu, teknik
membaca teks menjadi bagian fundamental dalam penelitian kepustakaan.
2. Bersifat Siap Pakai
Data pustaka bersifat siap pakai (ready mode), artinya peneliti tidak kemana-
mana kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia
di perpustakaan. Ibarat orang belajar naik sepeda, orang tidak perlu membaca buku
artikel atau buku tentang bagaimana teori naik sepeda, begitu pula halnya dengan riset
pustaka. Satu-satunya cara untuk belajar menggunakan perpustakaan dengan tepat
ialah langsung menggunakannya. Meskipun demikian, peneliti yang ingin
memanfaatkan jasa perpustakaan, tentu masih perlu mengenal seluk-beluk studi
perpustakaan untuk kepentingan penelitian atau pembuatan makalah.
3. Bersumber dari Tangan Kedua
Data perpustakaan umumnya sumber sekunder, artinya bahwa peneliti
memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di
lapangan.
4. Tidak Dibatasi Ruang dan Waktu
Bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi ruang dan waktu. Peneliti berhadapan
dengan info statis atau tetap, artinya kapanpun ia datang dan pergi data tersebut tidak
akan berubah karena ia sudah merupakan data mati yang tersimpan dalam rekaman
tertulis (teks, angka, gambar, rekan tape atau film).

Tujuan Studi Kepustakaan


Peneliti akan melakukan studi kepustakaan, baik sebelum maupun selama dia
melakukan penelitian. Studi kepustakaan memuat uraian sistematis tentang kajian
literatur dan hasil penelitian sebelumnya yang ada hubungannya dengan penelitian

3
yang akan dilakukan dan diusahakan menunjukkan kondisi mutakhir dari bidang ilmu
tersebut. Studi kepustakaan yang dilakukan sebelum melakukan penelitian bertujuan
untuk:
1. Menemukan suatu masalah untuk diteliti.
2. Mencari informasi yang relevan dengan masalah yang diteliti.
3. Mengkaji beberapa teori dasar yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.
Untuk membuat uraian teoritik dan empirik yang berkaitan dengan faktor,
indikator, variable dan parameter penelitian yang tercermin di dalam masalah-
masalah yang ingin dipecahkan.
4. Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah dan bidang yang akan
diteliti.
5. Mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian
yang akan dilakukan. Artinya hasil penelitian terdahulu mengenai hal yang
akan diteliti dan atau mengenai hal lain yang berkaitan dengan hal yang akan
diteliti.
6. Mendapat informasi tentang aspek-aspek mana dari suatu masalah yang sudah
pernah diteliti untuk menghindari agar tidak meneliti hal yang sama.

Proses Studi Literatur


Bila kita telah memperoleh kepustakaan yang relevan, maka segera untuk
disusun secara teratur untuk dipergunakan dalam penelitian. Menurut Hasan (2002)
studi literatur dilakukan melalui tiga tahap, yakni:
1. Mengetahui jenis pustaka,yang dibutuhkan yaitu:
1) Berdasarkan bentuk pustaka, dibedakan atas sumber tertulis, seperti buku-buku
pengetahuan, surat kabar, majalah. dan sebagainya dan sumber tidak tertulis,
seperti film, slide, manuskrip, relief dan sebagainya.
2) Berdasarkan isi pustaka, dibedakan atas:
Sumber primer, merupakan sumber bahan yang dikemukakan sendiri oleh
orang/pihak pada waktu terjadinya peristiwa atau mengalami peristiwa itu
sendiri, seperti buku harian, notulen rapat, dan sebagainya.
Sumber sekunder, merupakan sumber bahan kajian yang dikemukakan oleh
orang atau pihak yang hadir pada saat terjadinya peristiwa/tidak mengalami
langsung peristiwa itu sendiri, seperti buku-buku teks.
2. Mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka Pengkajian dan pengumpulan bahan
pustaka biasanya dilakukan dengan menggunakan alat bantu yang disebut kartu
bibliografi atau kartu kutipan. Pengkajian dan pengumpulan hasil kajian dalam
kartu bibliografi minimal harus mencakup: – Nama variabel atau pokok masalah,
Nama pengarang atau pencetus ide tentang pokok masalah,
Nama sumber di mana dimuat penjelasan tentang variabel atau pokok masalah,
Tahun yang menunjukkan pada waktu sumber tersebut dibuat atau diterbitkan
Nama instansi (lembaga, unit, penerbit dan sebagainya) yang bertanggung
jawab atas penerbitan sumber kajian,
Nama kota tempat penulisan atau penerbitan sumber kajian.
Isi penjelasan tentang variabel atau pokok masalah.
3. Menyajikan studi kepustakaan Penyajian studi kepustakaan dapat dilakukan dengan
cara kutipan langsung dan kutipan tidak langsung.

B. PEMBAHASAN
Menurut Melina dan Suzy S. Azeharie dalam jurnalnya yang berjudul “Ritual
Sajen pada Penganut Sunda Wiwitan (Studi Komunikasi Budaya pada Penganut

4
Sunda Wiwitan) Vol. 3, No. 2, Desember 2019, Hal 427-434, memaparkan bahwa
tradisi ritual sajen sudah ada sejak zaman megalithikum atau batu besar. Sajen
merupakan hasil olah karya manusia yang dihidangkan sebagai bentuk penghargaan
kepada Sang Hyang Kersa atau Sang Pencipta. Selain itu sajen juga diberikan kepada
makhluk yang tidak tampak dan hewan kecil yang tampak seperti semut, belalang
yang ikut mencicipi hasil karya manusia. Jadi makna sajen cukup adiluhung atau
mulia karena kehalusan dan kepekaan rasa terhadap sang maha pencipta dan ciptaan
lainnya (wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur, Kuningan pada tanggal 21
September 2019 pukul 08.30 WIB).

Pelaksaan Ritual Sajen


Menurut Koentjaraningrat ada empat komponen pokok yang terdapat dalam
pelaksanaan ritual yaitu:
a. Tempat berlangsungnya ritual
Tempat yang digunakan untuk melaksanakan suatu ritual adalah tempat khusus
yang bersifat keramat dan hanya orang berkepentingan saja yang boleh menggunakan
tempat tersebut (Koentjaraningrat, 1967).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Melina dan Suzy S. Azeharie
terhadap Pangeran Gumirat tempat berlangsungnya ritual sajen adalah di ruangan
pendopo yang merupakan tempat berkumpul dan berdoa masyarakat penganut Sunda
Wiwitan dan tempat letak singgasana Pangeran Madrais yang merupakan pendiri
kepercayaan Sunda Wiwitan (wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur,
Kuningan pada tanggal 21 September 2019 pukul 08.30 WIB).

Gambar 1. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal

Sumber: Melina & Suzy S. Azeharie

Gambar 2. Ruangan Pendopo Tempat Berlangsungnya Ritual

Sumber: Melina & Suzy S. Azeharie

5
b. Waktu pelaksanaan ritual
Waktu pelaksanaan ritual adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat untuk
melaksanakan suatu ritual (Koentjaraningrat, 1967). Pangeran Gumirat mengatakan
bahwa ritual sajen dilakukan sebelum diadakannya acara besar seperti Seren Taun.
Seren Taun merupakan upacara adat panen padi yang setiap tahun dilakukan oleh
masyarakat Sunda Wiwitan. Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur atas hasil
panen padi kepada Sang Pencipta (wawancara terhadap Pangeran Gumirat di Cigugur,
Kuningan pada tanggal 21 September 2019 pukul 08.30 WIB).
Sementara Ira Indrawardana mengatakan bahwa ritual sajen dapat dilakukan
sebelum acara ulang tahun, acara syukuran atas kelahiran, acara pernikahan. Pada saat
acara tersebut akan disediakan nasi tumpeng, teh pahit, teh manis, kopi pahit dan kopi
manis. Hal tersebut juga termasuk sebagai bentuk sajen (wawancara terhadap Ira
Indrawardana via WhatsApp pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 12.15 WIB).
c. Benda-benda ritual
Benda-benda ritual merupakan alat-alat yang digunakan dalam menjalan suatu
ritual seperti wadah untuk tempat sajen, alat kecil seperti sendok, pisau dan lain-lain
(Koentjaraningrat, 1967). Pangeran Gumirat menjelaskan bahwa benda-benda ritual
adalah barang-barang atau perlengkapan yang digunakan pada saat ritual sajen.
Benda-benda ritual pada saat ritual sajen adalah pakaian putih untuk perempuan,
pakaian hitam untuk laki-laki, nampan yang terbuat dari bambu, teh manis, teh pahit,
kopi manis, kopi pahit, air putih, nasi congcot, pengikat kepala berbentuk segi empat
(wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur, Kuningan pada tanggal 21
September 2019 pukul 08.30 WIB).
Subrata mengatakan selain benda-benda yang disebutkan di atas, terdapat
benda-benda lainnya yaitu kerupuk berwarna putih dan merah, pisang, rujakan,
ketupat yang memiliki lima sisi, bakakak ayam, bunga tujuh warna, telur asin dan
kujang yang menancap di atas kelapa (wawancara dengan Subrata di Cigugur,
Kuningan pada tanggal 21 September 2019 pukul 10.25 WIB).

Gambar 3. Perlengkapan Ritual Sajen

Sumber. Dokumentasi Pangeran Gumirat

d. Orang-orang yang terlibat dalam ritual


Orang-orang yang terlibat dalam ritual adalah orang yang bertindak sebagai
pemimpin jalannya ritual dan orang yang paham tentang suatu ritual
(Koentjaraningrat, 1967). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Melina
dan Suzy S. Azeharie terhadap Pangeran Gumirat orang-orang yang terlibat dalam
ritual adalah Ketua Adat masyarakat penganut Sunda Wiwitan, para ais pangampih
dan masyarakat penganut Sunda Wiwitan mulai dari anak kecil dan orang dewasa

6
(wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur, Kuningan pada tanggal 21
September 2019 pukul 08.30 WIB).

Gambar 4. Orang-orang yang terlibat

Sumber: Dokumentasi Pangeran Gumirat

Masih dalam buku yang sama Koentjaraningrat menjelaskan terdapat dua


indikator perbuatan yang terkait dalam pelaksanaan suatu ritual yaitu:
a. Berdoa
Berdoa adalah unsur yang terdapat dalam berbagai ritual. Doa adalah ucapan
dari keinginan manusia kepada para leluhur dan juga doa merupakan ucapan hormat
dan pujian kepada para leluhur. Biasanya doa diiringi dengan gerak dan sikap
menghormat serta merendahkan diri terhadap para leluhur (Koentjaraningrat, 1967).
Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Pangeran Gumirat bahwa sajen yang
akan disajikan didoakan terlebih dahulu secara bersama-sama dan dipimpin oleh
Ketua Adat dan para ais pangampih di ruangan pendopo Gedung Paseban. Doa yang
dipanjatkan berisi pengaharapan dan permohonan agar diberi keberkahan dan
keselamatan (wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur, Kuningan pada
tanggal 21 September 2019 pukul 08.30 WIB).
b. Bersaji
Bersaji adalah perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makanan, benda-benda
atau yang lainnya kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang. Bersaji menjadi
suatu kebiasaan dan dianggap sebagai suatu aktivitas yang secara otomatis akan
menghasilkan apa yang di maksud (Koentjaraningrat, 1967).
Pangeran Gumirat menjelaskan bahwa setelah sajen didoakan, sajen dibawa
keluar dan diletakkan di dalam lumbung padi, di empat penjuru arah mata angin, di
delapan penjuru arah mata angin (wawancara dengan Pangeran Gumirat di Cigugur,
Kuningan pada tanggal 21 September 2019 pukul 08.30 WIB).

Nilai Spiritualitas Ritual Sajen Sunda Wiwitan


Menurut Pangeran Gumirat bahwa secara umum ritual sajen diturunkan kepada
generasi muda karena melalui ritual sajen orang mengetahui dan menyaksikan bahwa
ritual ini merupakan ajaran dan amanat dari leluhur dan sebagai warga adat wajib
untuk melestarikan tradisi yang sudah turun temurun. Ritual sajen juga merupakan
media yang menyimbolkan hubungan antara manusia dengan para leluhur dan Sang
Pencipta (wawancara yang dilakukan oleh Melina dan Suzy S. Azeharie terhadap Ira
Indrawardana via WhatsApp pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 21.15 WIB).

7
Sehingga dapat diketahui bahwa nilai spiritual dari ritual sajen adalah untuk
melestarikan tradisi (nilai kearifan lokal) turun temurun yang mana menyimbolkan
hubungan antara manusia dengan para leluhur dan Sang Pencipta.

Tantangan Penganut Sunda Wiwitan di Indonesia


Dilansir dari Kompas.id (Diskriminasi terhadap Penghayat Sunda Wiwitan
Terus Terjadi - Kompas.id) bahwa diskriminasi terhadap Penghayat Sunda Wiwitan di
Kuningan, Jawa Barat terus terjadi. Mulai dalam hal pencatatan dokumen sipil hingga
ekspresi berkeyakinan. Hal ini juga di pertegas dengan pernyataan, ”Kami meyakini
diskriminasi belum berakhir,” oleh Dewi Kanti, Girang Pangaping (pendamping)
masyarakat Akur Sunda Wiwitan, saat ditemui di Cigugur, Kuningan, Selasa
(25/5/2021). Kasus terbaru sekaligus menjadi tantangan adalah keputusan Pemkab
Kuningan yang tidak mengakui permohonan komunitas Sunda Wiwitan sebagai
masyarakat hukum adat (MHA) berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
52 Tahun 2014 terkait pengakuan MHA, yakni sejarah, wilayah adat, hukum adat,
harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, serta kelembagaan/sistem pemerintahan
adat.
Padahal Menurut Dewi, berbagai dokumen terkait MHA sudah diserahkan
kepada Pemkab. Penolakan itu dinilai mengancam tanah adat yang merupakan sumber
pangan masyarakat. Pihaknya juga kesulitan mempertahankan tanah adat karena tidak
memiliki legal standing (kedudukan hukum) saat sengketa tanah.
Hal tersebut menimbulkan ironi, karena nyatanya, masyarakat Akur Sunda
Wiwitan sudah ada sebelum NKRI berdiri. Cikal bakal Sunda Wiwitan berasal dari
Agama Djawa Sunda (ADS) pada 1800-an yang didirikan Pangeran Madrais Sadewa
Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939). Ajaran spiritual leluhur Sunda ini,
antara lain, menjaga cara-ciri manusia dan bangsa.
Seperti agama lainnya, ajaran Sunda Wiwitan juga mengakui keesaan atau
ketunggalan Tuhan. Ini terpatri di dalam penamaan rumah adat Sunda Wiwitan yang
diberi nama Paseban Tri Panca Tunggal.
Tantangan serta diskriminasi yang dihadapi oleh Penganut Sunda Wiwitan
berikutnya adalah soal status pernikahan yang belum diakui negara. Selama ini,
pernikahan dalam komunitas Sunda Wiwitan hanya tercatat secara adat, bukan dalam
dokumen pencatatan sipil. Sebab, Sunda Wiwitan tidak termasuk dalam organisasi
penghayat yang tercatat oleh pemerintah.
Menurut Dewi Kanti, konsekuensinya adalah bagi perempuan ada stigma
bahwa perempuan tersebut menikah secara liar. Selain itu, akta kelahiran anaknya
juga seolah tidak mengakui ayah kandungnya. Misalnya, dalam akta tertulis ’telah
lahir seorang anak bernama X, anak kedua dari seorang perempuan bernama Y
(ibunya) yang telah diakui oleh seorang laki-laki bernama Z (ayahnya).
Dampaknya, lagi-lagi, stigma anak lahir di luar nikah. Hubungan ayah dan anak
juga bisa terputus,” katanya. Itu sebabnya, menurut Dewi, meskipun kartu tanda
penduduk masyarakat Akur tidak lagi dikosongkan atau garis datar, diskriminasi
dalam pencatatan sipil dan kependudukan masih mereka alami.

C. Simpulan
Nilai spiritual merupakan suatu hal fundamental yang ada di setiap diri manusia
yang tak tampak secara lahiriyah. Karena sejatinya, manusia adalah makhluk hidup
yang memiliki naluri untuk beragama atau berkeyakinan. Kita dapat menyimpulkan
bahwa ritual sajen penganut Sunda Wiwitan memiliki nilai kearifan lokal dan nilai
spiritual yang luhur yaitu sebagai tradisi leluhur yang telah dilestarikan secara turun

8
temurun dan sebagai simbol hubungan antara manusia dengan para leluhur dan Sang
Pencipta.

D. DAFTAR PUSTAKA

Balai Pustaka. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta:
Depdikbud.
Danial, Endang dan Nanan Wasriah. 2009. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung:
Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan UPI.
Doe, Mimi dan Marsha Walch. (2001). 10 Prinsip Spiritual Parenting. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Humaeni Ayatullah, dkk. (2021). Sesajen: Menelusuri Makna dan Akar Tradisi
Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali. Banten: LP2M
UIN Sultan Maulana Hasanuddin.
Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia
Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta
MC, Wahyana Giri. (2010). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi
Melina dan Suzy S. Azeharie (2019). Ritual Sajen pada Penganut Sunda Wiwitan
(Studi Komunikasi Budaya pada Penganut Sunda Wiwitan) Koneksi Vol. 3, No.
2, Desember 2019, Hal 427-434
Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Ruslan, Rosady. 2008. Manajemen Public Relations & Media. Komunikasi. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.
Soekanto, S., & Sulistyowati, B. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali
Pers.
Thoha, Chabib. (1996). Kapita Selekta Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Budayawan: Nusantara Punya Makna Spiritual dan Historis (mediaindonesia.com)
Diskriminasi terhadap Penghayat Sunda Wiwitan Terus Terjadi - Kompas.id

Anda mungkin juga menyukai