Anda di halaman 1dari 13

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai Tradisi Mameakhon Sipanganon dalam etnis Batak Toba

Di Desa Rianiate belum pernah dilakukan, hal tersebut menyebabkan sangat

kurangnya literatur yang dapat digunakan sebagai acuan. Oleh sebab itu,

penelitian Tradisi Mameakhon Sipanganon yang dilaksanakan ini, menggunakan

narasumber dan ingatan kolektif masyarakat khususnya yang berhubungan dengan

tradisi mameakhon sipanganon.

Berdasarkan beberapa penelitian yang terdahulu, ada beberapa hasil

penelitian yang relevan digunakan untuk menjaga keabsahan penelitian ini.

Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian terhadulu yang berkaitan dengan

tradisi pemberian sesaji/sasajen yang dianggap relevan dengan penelitian yang

dilakukan.

Kajian pertama, yakni penelitian yang dilakukan oleh Yuliyani (2010) yang

berjudul “Makna Tradisi Selametan Petik Pari Sebagai Wujud Nilai-Nilai

Religious Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang”.

Dari hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa, asal-usul tradisi Selamatan

Petik Pari telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Jawa. Prosesi

pelaksanaan tradisi ini dimulai dengan mempersiapkan sesajian dan tumpeng,

kemudian sesajian dan tumpeng dibawa kesawah yang hendak dipanen dan

dimulailah ritual membaca mantra yang di pimpin oleh ketua adat setempat,
9

kemudian sesajian dan sisa tumpeng dibawa kembali kerumah untuk dihajatkan

kembali. Keterkaitan religi dan tradisi dalam tradisi Selamatan Petik Pari adalah

mereka menjalankan tradisi karena percaya dengan hal–hal mistik tapi dalam

penyampaian doanya selalu ditujukan kepada Yang Maha Kuasa.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah tentang

pemberian sesajen dan bagaimana proses pelaksanaannya. Sementara perbedaan

antara penelitian diatas dengan penelitian yang dilakukan terletak pada tujuan

pemberian sesajen dan penyampaian doa-doa, dimana dalam penelitian tersebut

doa selalu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sementara dalam penelitian

yang akan dilakukan ini doa yang diucapkan pada pelaksaan Mameakhon

Sipanganon ditujukan kepada arwah nenek moyang mereka.

Kajian kedua, hasil penelitian yang dilakukan oleh E. P. Sari (2015) yang

berjudul “Mitos Dalam Ritual Larung Sesaji Bumi Masyarakat Jawa Kota

Probolinggo”. Hasil penelitian ini adalah masyarakat Jawa di Kota Probolinggo

memiliki kepercayaan terhadap Dewi Lanjar (Penguasa Laut Utara). Rangkaian

acara ritual terdiri dari pembuatan sesaji, acara seremonial, kirab sesaji, dan

pelarungan gethek. Nilai budaya yang terkandung dalam mitos ritual ini, yakni

nilai religius, nilai kepribadian, nilai social. Cara pewarisan mitos dalam ritual ini

dilakukan secara turun temurun oleh pewaris kepada ahli waris yang ditentukan

dengan beberapa kriteria dan ujian tertentu. Penelitian ini membahas tentang

pemberian sesajen, tujuan pemberian sesajen, rangkaian proses pelaksanaan, dan

cara pewaarisan tradisi.


10

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah membahas

tentang pemberian sesajen. Sedangkan perbedaannya adalah, kajian kedua lebih

membahas tentang mitos-mitos yang terkandung dalam ritual tersebut dan

bagaimana cara pelestariannya, sementara penelitian yang dilakukan ini lebih

membahas bagaimana tradisinya, apa makna dari tradisi tersebut, dan bagaimana

proses pelaksanaannya.

Kajian Ketiga, artikel yang ditulis oleh Indrahti (2017) yang berjudul “Ragam

Kuliner Dalam Upacara Tradisi Di Kabupaten Jepara”. Artikel ini merupakan

salah satu kajian tentang berbagai macam kuliner yang disajikan dalam kegiatan

budaya yang terdapat di Jepara. Aktivitas budaya tersebut dikatakan menjadi

destinasi wisata yang menarik bagi para wisatawan. Tulisan ini membahas

kegiatan budaya yang menggunakan sesajen dalam proses berbagai upacara tradisi

di Kabupaten Jepara, proses pelaksanaan serta jenis sesaji yang disediakan untuk

ritual tersebut.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada

kegiatan budaya yang menggunakan sesajen dalam prosesnya. Sedangkan

perbedaannya adalah, kajian ketiga lebih terfokus kepada macam-macam kuliner

yang disajikan dalam acara tersebut dan tujuannya untuk mengembangkan budaya

kuliner yang ada tersebut untuk tujuan pengembangan wisata didaerah tersebut.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih mengarah kepada

bagaimana tradisinya, apa makna dari tradisi tersebut, dan bagaimana proses

pelaksanaan tradisi tersebut.


11

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Budaya

Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu

diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat. Menurut

Koentjaraningrat (2000: 181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari

bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti

“budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya

budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari

cipta, karsa, dan rasa itu.

Pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari

kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan atau disingkat

budaya, menurut Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga

wujud, yaitu : (Mattulada, 1997)

a) Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan,


nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya
b) Wujud Kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat
c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama berbentuk abstrak serta berada di dalam pikiran masyarakat.

Ide atau gagasan hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan tersebut selalu

berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Wujud

kebudayaan yang kedua disebut sebagai sistem sosial. Sistem social dijelaskan
12

sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang

berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas tersebut dilakukan setiap waktu

dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Wujud kebudayaan yang ketiga disebut dengan kebudayaan

fisik. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari

segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam

masyarakat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, yang menjadi ide atau gagasan

adalah Latar belakang pelaksanaan Tradisi Mameakhon Sipanganon, yang

menjadi aktivitas adalah Tradisi Mameakhon Sipanganon, dan yang menjadi

wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia adalah Sesajen.

2.2.2 Teori Religi

Religi dan upacara religi merupakan salah satu unsur dalam kehidupan

masyarakat suku-suku bangsa. Menurut Koentjaraningrat (1987), religi adalah

bagian dari kebudayaan. Pendapat dari Koentjaraningrat mengacu pada sebagian

konsep yang dikembangkan oleh Emile Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar

religi dengan lima komponen, yaitu : (Koentjaraningrat, 1987)

1. Emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menggerakkan manusia


untuk bersikap religius dan melakukan kegiatan yang bersifat legius;
Emosi keagamaan membuat segala hal menjadi scared atau memiliki nilai
keramat. Emosi keagamaan merupakan komponen yang sangat penting,
karena tanpa emosi keagamaan yang kuat, masyarakat tidak akan bisa
melakukan kegiatan religius dengan baik.
2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-
bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan yang dianggap sebagai
Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia
dengan Tuhan, Dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami
alam gaib; Upacara keagamaan terdiri dari empat komponen, yakni : (1)
13

tempat upacara, (2) momen pada saat upacara, (3) benda-benda dan alat
upacara, dan (4) orang-orang yang melakukan upacara.
4. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut sistem kepercayaan tersebut.
5. Peralatan Ritus dan Upacara

Menurut Koentjaraningrat ada tiga kelompok asal mula religi, yakni :

1) Teori-teori yang pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi.

2) Teori-teori yang pendekatannya berorientasi kepada sikap manusia

terhadap alam gaib atau hal-hal gaib.

3) Teori-teori yang pendekatannya berorientasi kepada upacara religi.

Menurut E.B. Tylor tentang asal mula religi, animisme pada dasarnya

merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiami alam semesta, merupakan

bentuk yang tertua dari religi. Pada tingkat kedua, manusia yakin bahwa gerak

alam yang hidup itu juga disebabkan oleh adanya jiwa di belakang peristiwa dan

gejala-gejala alam tersebut. Gunung yang meletus, sungai yang mengalir, gempa

bumi, gerak matahari, tumbuhnya tumbuhan, dan sebagainya, disebabkan oleh

mahkluk-mahkluk halus yang menempati alam.

Menurut J.G. Frazer dalam Koentjaraningrat (1980) manusia dalam

kehidupannya selalu memecahkan berbagai persoalan hidup dengan perantaraan

akal dan ilmu pengetahuan; namun dalam kenyataannya bahwa akal dan sistem

pengetahuan itu sangat terbatas sekali. Persoalan hidup yang tidak bisa

dipecahkan dengan akal, dicoba dipecahkan melalu magic (ilmu gaib).

(Koentjaraningrat, 1980)
14

Magic diartikan sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu

maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada pada alam, serta seluruh kompleks

anggapan yang ada dibelakangnya; pada mulanya manusia hanya mempergunakan

ilmu gaib untuk memecehkan segala persoalan hidup yang ada di luar batas

kemampuan dan pengetahuan akalnya. Religi waktu itu belum ada dalam

kebudayaan manusia, perlahan-lahan terbukti bahwa banyak dari perbuatan magic

itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka pada saat itu orang mulai

percaya bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa

darinya, maka mulailah manusia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus

yang mendiami alam itu, dan timbullah religi.

Menurut Frazer, memang ada suatu perbedaan yang besar antara magic dan

religi; magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai

suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hukum-

hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi adalah segala sistem

perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri

kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti ruh-ruh, dewa, dan

sebagainya.

Hal tersebut lah yang membuat masyarakat Batak Toba di Desa Rianiate

masih melakukan tradisi Mameakhon Sipanganon. Mereka melaksanakan tradisi

tersebut bukan karena tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun karena

mereka masih percaya bahwa bahwa sahala (arwah) nenek moyang mereka masih

tetap berada disekitar mereka.


15

2.3 Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual adalah rangkaian-rangkaian logis yang dicapai untuk

mengarahkan jalan pemikiran dalam penelitian agar diperoleh letak masalah yang

tepat. Dalam suatu penelitian kerangka konseptual sangat dibutuhkan untuk

menghindari perbedaan pandangan terhadap masalah yang dibicarakan. Untuk itu

peneliti menentukan kerangka konseptual sebagai berikut :

2.3.1 Tradisi

Tradisi adalah adat kebiasaan yang diajarkan turun-temurun dan masih

dilakukan (Prihantini, 2015). Secara sederhana, tradisi diartikan sebagai sesuatu

yang telah dilakukan sejak lama dan telah menjadi bagian dari kehidupan suatu

kelompok masyarakat.

Menurut Yuliani (2010), tradisi adalah suatu hal yang telah menjadi

kebiasaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang telah melewati proses

yang cukup lama yaitu dari nenek moyang sampai sekarang hingga tradisi pun

dapat mengalami beberapa perubahan.

Koentjaraningrat secara teoritik lebih melihat budaya sebagai tradition.

Tradisi ini bersifat dinamis, apabila tidak dapat menjawab tantangan zaman, akan

berubah secara wajar atau lenyap dengan sendirinya.

Berdasarkan penjelasan tentang tradisi diatas, maka dapat dilihat jika syarat-

syarat tradisi adalah sebagai berikut :

1) Merupakan adat-istiadat.

2) Dilakukan dalam kurun waktu yang lama

3) Bersifat dinamis
16

Dalam sebuah tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan

manusia lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan terhadap

alam yang lain. Tradisi berkembang menjadi sebuah sistem yang memiliki pola

dan norma, dan sekaligus mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap

pelanggaran dan penyimpangan.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tradisi adalah hasil karya

kebudayaan yang telah ada sejak jaman dahulu yang kemudian diteruskan oleh

generasi-generasi berikutnya secara berkesinambungan. Kebudayaan yang

dimaksud adalah Mameakhon Sipanganon.

2.3.2 Mameakhon Sipanganon

Istilah Mameakhon Sipanganon berasal dari kata Mameakhon yang memiliki

arti secara harfiah adalah meletakkan, namun dalam istilah ini Mameakhon

memiliki arti Menyajikan/memberikan.

Arti Sipanganon secara harfiah adalah makanan. Makanan merupakan salah

satu karya budaya masyarakat. (Haryono, 2013). Makanan untuk berbagai

keperluan upacara biasanya disebut sebagai sesajen (sesaji).

Berdasarkan pengertian diatas mameakhon sipanganon dapat diartikan

sebagai “memberikan sesaji/sesajen”. Mameakhon sipanganon merupakan acara

pemberian sesajen kepada arwah atau sahala nenek moyangnya, yang sering

dilaksanakan oleh orang Batak Toba Di desa Rianiate. Acara ini sering dilakukan

pada saat hari libur besar, dimana pada saat itu seluruh anggota keluarga pulang

ke kampung halaman dan berkumpul bersama.


17

2.3.3 Masyarakat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba merupakan sub etnis Batak yang paling besar

diantara sub etnis lainnya. Menurut mitologi Batak, Debata Mula Jadi Na Bolon

(Sang Pencipta) mengutus putrinya yakni si Boru Deak Parujar dari Banua Atas

untuk membuat bumi dari gumpalan tanah. Si Boru Deak Parujar melaksanakan

titah Sang Pencipta, namun selalu diganggu ikeh raja Padoha (Naga Padoha). Si

Boru Deak Parujar baru selesai setelah Naga Padoha diikat di Benua Bawah.

Setelah tugasnya selesai, si Boru Deak Parujar menikah dengan Raja Odadolop.

Dari pernikahan itu lahirlah Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, keduanya

kembar dan dari pernikahan mereka lah lahir si Raja Batak.

Dalam buku Silsilah Batak (1996) dikatakan :

“...orang Batak berasal dari Sianjur Mulamula, disebelah barat Gunung Pusuk
Buhit yaitu tempat kediaman si raja Batak. Turunan Batak menyebar dari
sekitar Pusuk Buhit ke Samosir dan daerah lain di Tapanuli dan Simalungun,
Karo dan Tapanuli Selatan.
Pusat tanah Batak ialah Pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba. Dari
abad ke abad terjadi pergeseran/percampuran antar marga dengan marga,
tetapi pada akhirnya masing-masing marga menguasai tanah perkampungan
dan persawahan tersendiri. Seluruh suku Batak seperti Dairi, Karo,
Simalungun, Angkola, dan Mandailing berasal dari Suku Toba”.

Simanjuntak (2011) dalam bukunya juga mengatakan bahwa etnis Batak

merupakan salah satu etnis terbesar yang ada di Indonesia. Etnis Batak memiliki 6

sub-etnis, antara lain Toba, Simalungun, Karo, Pak-pak, Angkola, Sipirok dan

Mandailing. Diantara keenam sub-etnis tersebut terdapat persamaan bahasa dan

budaya, namun ada pula perbedaannya. Misalnya dalam hal dialek, tulisan, istilah-

istilah dan beberapa adat kebiasaan.


18

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka

mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mula Jadi Na Bolon

yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud

dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:

 Tendi / Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan,

oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat

sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan

seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan

upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

 Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua

orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala

sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau

hula-hula.

Sahala manusia berbeda-beda kualitasnya, bisa bertambah atau berkurang.

Misalnya sahala yang dimiliki seorang raja, datu (dukun) dan orang-orang

tertentu yang memiliki keahlian atau keterampilan yang istimewa lebih

tinggi dibandingkan dengan sahala dari orang biasa. Berkurangnya sahala

yang dimiliki oleh seseorang menyebabkan dirinya kurang disegani,

bahkan kurang dihormati.

 Begu : adalah.

Menurut Simanjuntak (2015) ada beberapa golongan begu yang disegani

orang Batak dan sering diberi sesaji adalah :


19

1) Sombaon
Begu yang menghuni pegunungan, hutan rimba yang lebat, gelap
dan mengerikan.
2) Solobean
Begu yang menguasai tempat-tempat tertentu seperti sungai, danau,
jurang, dan sebagainya.
3) Silan
Begu yang mendiami pohon besar, batu-batu besar, dan
sebagainya.
4) Begu Ganjang
Begu yang sangat ditakuti karena dapat dipelihara orang dan dapat
disuruh oleh pemeliharanya untuk membunuh dan mencelakakan
orang lain.

2.4 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir berisi tentang dimensi kajian utama, factor kunci, variabel

dan hubungan antar dimensi yang disusun dalam bentuk narasi ataupun grafis.

Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah :

Tradisi Mameakhon Sipanganon

Etnis Batak Toba Di Desa


Rianiate

Latar Belakang Makna Proses

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir


20

Penjelasan Bagan :

Bagan penelitian diatas menjelaskan bahwa Mameakhon Sipanganon

merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh Etnis Batak Toba Di Desa

Rianiate. Tradisi Mameakhon Sipanganon memiliki Latar belakang, Makna

dilaksanakannya tradisi tersebut dan juga proses pelaksanaan tradisi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai