Abstract
This paper is the result of observations and analysis of religious sociology on the traditional mangongkal
holi rituals in Pahae Julu, North Tapanuli Regency, North Sumatra. This paper aims to explore and explain
the social and cultural values contained in this traditional ritual. This ritual survives and adheres to the
Toba Batak tribe even though its implementation has been adapted to the teachings of Christianity
prevailing in the Batak Land. Some of the social and cultural values contained in the ritual still survive and
are important for the Toba Batak people. To approach this problem, theoretical references from Emile
Durkheim and Max Weber are used. Data was collected through literature studies, interviews, and direct
observations of these traditional rituals in the Pahae Julu area, as well as qualitative analysis. This paper
concludes that this traditional ritual contains mechanical solidarity and the role of the charismatic ritual
leader for the Batak people.
Keywords: Mangongkal Holi, Toba Batak, Mechanical Solidarity, Charismatic Ritual Leader
How to Cite: Hutagaol, F.O. & Prayitno, I.S.P. (2020). Perkembangan Ritual Adat Mangongkal Holi Batak
Toba dalam Kekristenan di Tanah Batak, Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of
Social and Cultural Anthropology) 6(1): 84-92.
*Corresponding author: ISSN 2460-4585 (Print)
E-mail: hutagaol.firman8@gmail.com ISSN 2460-4593 (Online)
84
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (1) (2020): 84-92
85
Firman Oktavianus Hutagaol & Iky Sumarthina P. Prayitno, Perkembangan Ritual Adat
merupakan salah satu tradisi tertentu beragama Kristen dari jemaat HKBP Tor
dalam ilmu pengetahuan sosial yang pada Dolok Nauli Ressort Sarulla, Tapanuli Utara,
dasarnya bergantung kepada pengamatan sembari melaksanakan kegiatan Praktek
terhadap kehidupan manusia, baik dalam Lapangan II (dua) di lingkungan gereja
kawasan maupun peristiwa dengan cara tersebut, sehingga dapat berbaur,
mengidentifikasi hal-hal yang relevan berkomunikasi, dan juga berdiskusi dengan
dengan beragam keadaan manusia, dunia, masyarakat yang ada di wilayah tersebut
tindakan, kepercayaan dan juga minat tentang ritual adat mangongkal holi di
dengan fokus pada perbedaan sehingga tengah-tengah Kekristenan yang ada di
menghasilkan jawaban dan makna yang sana. Selain itu, hal ini semakin
berbeda-beda. memudahkan peneliti untuk mengamati
Dari berbagai pendapat di atas, dapat secara langsung kegiatan ritual adat
dipahami bahwa metode penelitian tersebut.
kualitatif merupakan metode penelitian
yang meneliti berbagai fenomena sosisal HASIL DAN PEMBAHASAN
yang terjadi dalam kehidupan secara Mangongkal Holi dan Agama Kristen
realitas dengan mengambil sampel data Penulis mengikuti ritual adat
secara deskriptif, baik itu dari pengamatan, mangongkal holi (penggalian tulang-
sejarah dan juga wawancara, sehingga belulang leluhur) yang dilaksanakan di
hasilnya dapat analisis serta desa Aek Horsik, Pahae Julu, Kabupaten
diinterpretasikan. Metode di atas, Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara,
digunakan untuk memahami kehidupan pada hari Jumat, 22 Juni 2018. Saat itu,
sosial manusia terhadap ritual, adat penulis sedang menjalani Kegiatan Praktek
maupun budaya yang terjadi dalam Lapangan II (dua) sebagai salah satu
masyarakat. Dengan adanya metode program pendidikan dari Lembaga STT
kualitatif, maka peneliti dapat memahami HKBP Pematangsiantar dan ditempatkan di
serta menangkap arti dari budaya tersebut. gereja HKBP Sarulla Ressort Sarulla Distrik
Itu merupakan unsur yang sangat penting II Silindung, Kabupaten Tapanuli Utara,
dan harus dipahami serta diketahui oleh Provinsi Sumatera Utara. Berikut adalah
peneliti (Raco, 2010). Apabila peneliti yang hasil lapangan yang penulis dapatkan
ingin memahami suatu ritual, adat maupun ketika mengikuti serta mengamati ritual
budaya dari suatu komunitas masyarakat, adat tersebut.
maka ia harus memberikan waktu untuk Kegiatan ritual adat mangongkal holi
hidup, tinggal dan berbaur dengan ini merupakan permintaan dari keluarga
komunitas masyarakat tersebut, sembari besar pomparan Ompung Tumpak
mengamati, melakukan wawancara dan Nainggolan. Keluarga tersebut merupakan
juga obeservasi terhadap objek yang anggota jemaat gereja HKBP Tor Dolok
diamati. Nauli, bagian dari jemaat induk HKBP
Peneliti menggunakan metode Sarulla. Keluarga memohon kepada majelis
penelitian kualitatif ini dalam rangka gereja untuk melaksanakan ritual adat
meneliti ritual adat mangongkal holi di mangongkal holi, dibawah pengawasan
tengah-tengah Kekristenan yang ada di majelis gereja HKBP, sesuai dengan aturan
Tanah Batak, tepatnya di daerah Pahae Julu, dan hukum siasat gereja HKBP yang
Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi mengatur tentang ritual adat mangongkal
Sumatera Utara. Daerah tersebut dihuni holi, yakni dalam Ruhut Parmahanion
oleh mayoritas masyarakat suku Batak dohot Paminsangon (RPP) HKBP, halaman
Toba beragama Kristen dan juga Islam. 47-48. Sebelum melaksanakan ritual adat
Peneliti melakukan penelitian tersebut mangongkal holi, tentunya majelis gereja
terhadap masyarakat suku Batak Toba menanyakan apa yang menjadi alasan
86
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (1) (2020): 84-92
87
Firman Oktavianus Hutagaol & Iky Sumarthina P. Prayitno, Perkembangan Ritual Adat
untuk keluarga Boru, Hula-hula, dan sudah meninggal dunia setelah beberapa
dongan Sabutuha. Setelah selesai makan tahun silam dan memindahkannya ke
bersama, acara dilanjutkan dengan bagian makam baru, dan lebih baik dari yang
ramah tamah. Pada momen tersebut, sebelumnya diikuti dengan acara adat dan
keluarga besar menyampaikan ucapan juga pesta.
terima kasih kepada seluruh tamu dan juga Ritual mangongkal holi, hampir mirip
pihak yang berpartisipasi pada ritual adat dengan ritual rambu solo di Toraja,
tersebut. Sulawesi Selatan, karena berhubungan
Setelah acara ramah tamah berakhir, dengan ritual kematian dan penghormatan
acara ditutup dengan doa oleh majelis kepada roh leluhur maupun orang
gereja, dan pihak keluarga besar berangkat meninggal diikuti dengan pesta besar dan
menuju daerah Tanah Jawa untuk juga makan bersama (Nasution, 2019).
memakamkan tulang belulang tersebut Mangongkal holi sudah dilakukan oleh
pada tambak milik keluarga. Namun, jarak nenek moyang suku Batak Toba hingga
antara Kabupaten Tapanuli Utara dengan sekarang ini. Ritual ini berkaitan dengan
Kabupaten Simalungun cukup jauh dan pesan yang diwariskan oleh leluhur kepada
memakan durasi perjalanan kurang lebih keturunannya.
sekitar enam jam sehingga ada Orang tua maupun leluhur suku Batak
kemungkinan tiba pada malam hari di Toba sejak dulu selalu menekankan pada
daerah Tanah Jawa. Keluarga membawa keturunannya agar memiliki tanah dan
surat izin dari pihak gereja HKBP Sarulla tinggal di tanah kelahirannya tersebut
dan Tor Dolok Nauli untuk menitipkan peti (Bona Pasogit), ketika orang tua atau
kecil tersebut kepada pihak gereja HKBP leluhur telah meninggal dunia di tempat
Tanah Jawa sambil menunggu keesokan kelahiran maupun perantauan, maka
harinya. Hari berikutnya, acara jenazah maupun tulang belulangnya harus
pemindahan ke makam yang baru dibawa kembali ke tanah kelahiran (Bona
dilakukan oleh pihak majelis gereja HKBP Pasogit) tersebut. Itu sebabnya, setiap
Tanah Jawa. Demikianlah laporan keturunan marga memiliki kuburan
pengamatan terhadap kegiatan ritual adat (tambak) yang besar dan megah di tanah
mangongkal holi dalam tradisi Kekristenan kelahiran sebagai simbol penghormatan
dan Batak yang ada di daerah Pahae Jae, dan juga status sosial keturunan marga
Sumatera Utara. mereka (Sinaga & Supsiloani, 2016).
Menurut J. Warneck, seorang Pendeta Sebelum mereka melaksanakan ritual
Jerman yang pernah melayani di Tanah mangongkal holi, keluarga terlebih dahulu
Batak dan menuliskan Kamus Bahasa Batak berdiskusi dengan berbagai pihak yang
Toba menjelaskan bahwa istilah terlibat di dalamnya, seperti hula-hula atau
mangongkal holi dalam bahasa Indonesia tulang dari marga, tetua adat, pemerintah
diartikan sebagai kegiatan menggali tulang- setempat, dan lain sebagainya. Pelaksanaan
belulang orang meninggal dengan tujuan ritual adat ini harus dipersiapkan dengan
untuk dikuburkan kembali ke tempat lain baik dan juga tersusun rapi, sehingga
diikuti dengan upacara pesta (Warneck, pembagian tugas serta proses
2001). Istilah mangongkal holi dapat berlangsungnya acara dapat berjalan
diartikan ke dalam bahasa Indonesia, dengan baik.
terdiri dari dua kata, yakni mangongkal, Ritual ini merupakan salah satu ritual
yang berarti menggali, dan holi, yang yang cukup rumit, karena banyak
berarti tulang belulang (Tiarma, dkk., mempertimbangkan tenaga kerja, waktu,
1999). Dengan demikian, mangongkal holi dana serta interaksi sosial dengan berbagai
dipahami sebagai kegiatan menggali pihak yang bersangkutan (Silalahi &
kembali tulang belulang manusia yang Sibarani, 2015). Dalam pelaksanaannya,
88
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (1) (2020): 84-92
ritual mangongkal holi ini cenderung sering Mangongkal Holi Sebagai Solidaritas
dilakukan kepada makam nenek moyang Mekanik Yang Menyatukan Masyarakat
atau leluhur yang dikenal dengan istilah Suku Batak Toba
Ompung, yang menjelaskan status orang Ritual mangongkal holi mengandung
tua, kakek/nenek, dan juga leluhur (Sagala, solidaritas mekanik Durkheim.
2008). Menurutnya, solidaritas mekanik
Menurut penuturan orang tua dahulu, merupakan solidaritas yang membuat
sebelum masuknya Kekristenan di Tanah orang-orang di sekitarnya bersatu karena
Batak, ritual ini dilakukan dengan ada ikatan yang umum, di mana ikatan
memindahkan tulang belulang leluhur dari tersebut membuat orang yang terlibat di
makam batu lama menuju makam batu dalamnya memiliki tanggung jawab, dan
baru, dan dikenal dengan istilah batu na pir juga kegiatan yang sama. Di dalamnya
(tugu batu) (Simanihuruk & Muchtar, terdapat berbagai aturan, moral serta
2013). Namun, seiring dengan tanggung jawab yang didasarkan pada
perkembangan zaman, maka leluhur di kesadaran kolektif bersama sebagai
makamkan dalam suatu makam baru, besar sesuatu yang mempersatukan dan juga
dan megah yang dikenal dengan istilah tugu mempererat masyarakat di dalamnya
maupun tambak (Sagala, 2008). (Ritzer, 2012). Apa yang disampaikan oleh
Ritual ini diikuti dengan perayaan Durkheim tersebut sudah ada pada ritual
besar seperti pesta, makan bersama, dan tersebut. Ritual itu menunjukkan adanya
juga tor-tor serta gondang Batak yang suatu bentuk solidaritas mekanik yang
meriah. Untuk menu makanan bersama, terjadi di dalam masyarakat suku Batak
mereka akan memasak daging babi dan Toba.
juga kerbau untuk memenuhi kebutuhan Dalam pelaksanaannya, ritual
selama diselenggarakannya ritual adat mangongkal holi secara langsung
tersebut. Sementara untuk musik dan juga mempersatukan seluruh keturunan yang
tari-tarian, mereka melibatkan gondang berasal dari leluhur tersebut dari berbagai
sabangunan dan tortor Batak Toba. Itu daerah (Simangunsong, 2008). Selain itu,
sebabnya, gondang sabangunan dan tortor ritual adat mangongkal holi dilakukan
selalu berkaitan dengan ritual dengan tujuan agar mendapatkan
hasipelebeguon maupun adat leluhur, hagabeon (panjang umur), hasangapon
seperti mamele sumangot hingga (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan)
mangongkal holi (Purba, 2014). Namun, dari leluhur kepada keturunannya. Ritual
setelah masuknya Kekristenan, pihak ini menunjukkan bagaimana kekerabatan
gereja menolak hal demikian karena antar masyarakat suku Batak Toba dan
dianggap sebagai bagian daripada keturunan marga tetap bertahan serta
sinkritisme dan berpotensi menimbulkan terjalin dengan baik.
perdebatan, sehingga dalam Ritual ini menjadi tempat
pelaksanaannya saat ini, pihak gereja berkumpulnya antar generasi leluhur
mengganti gondang dan tortor Batak maupun marga, sehingga dapat saling
dengan doa dan nyanyian gerejawi. Dari mengenal satu sama lain (Hutapea, 2015).
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Apabila ritual adat tersebut berhasil
perayaan mangongkal holi merupakan dilaksanakan, maka timbul perasaan
perayaan yang penting dan menyatukan bangga, puas, dan bahagia bagi keturunan
masyarakat suku Batak Toba dan leluhur tersebut, karena kerja sama dan
keturunannya, meskipun pelaksanaannya perjuangan mereka untuk leluhur tidak sia-
cenderung menelan biaya besar dan waktu sia. Keberhasilan pelaksanaan acara ini
yang lama (Putri & Nurjanah, 2015). semakin mempererat hubungan antar
keturunan (Putri & Nurjanah, 2015).
89
Firman Oktavianus Hutagaol & Iky Sumarthina P. Prayitno, Perkembangan Ritual Adat
Ritual ini menunjukkan bagaimana dianggap sebagai salah satu ritual yang
solidaritas mekanik itu hadir dalam sakral dan tidak boleh sembarangan
konteks masyarakat Batak ketika kegiatan dilakukan dalam Suku Batak Toba, sehingga
tersebut dilaksanakan. Status sosial dalam memerlukan pemimpin ritual yang dapat
keluarga juga tidak menjadi perbandingan memimpin serta mengarahkan ritual
untuk ikut berpartisipasi melaksanakan tersebut dengan baik.
acara tersebut. Baik keluarga kaya maupun Masuknya ajaran Kekristenan ke
miskin, semua anggota keluarga keturunan Tanah Batak membawa pencerahan dari
tersebut dapat bersatu serta berkontribusi sisi agama sehingga membuat peran datu
dalam ritual adat mangongkal holi tersebut. (dukun) dalam ritual adat tergantikan oleh
Itu semua dilakukan berdasarkan ikatan Pendeta, Imam dan juga majelis gereja
serta kesadaran kolektif bersama sebagai (Situmorang, 2009). Perubahan peran
masyarakat suku Batak Toba, khususnya pemimpin ritual dalam ritual ini mengarah
kepada kelompok keturunan leluhur kepada teori Weber tentang pemimpin
tersebut (Reid & Loir-Chambert, 2006). kharismatis dalam agama dan ritual.
Teori Durkheim, dapat dipahami Menurut Weber, setiap praktik
bahwa ritual ini memainkan fungsi yang keagamaan maupun ritual yang terdapat
penting pada masyarakat suku Batak dalam agama primitif maupun modern
secara keseluruhan untuk menjaga bergantung kepada peranan pemimpin
solidaritas, stabilitas, dan kohesi sosial ritual, sebagai orang yang memahami
secara kolektif dalam suku Batak Toba, simbol dan juga tindakan simbolik dalam
berdasarkan ikatan marga dan kultus maupun ritual yang dilakukan. Ritual
kekeluargaan suku Batak Toba terhadap merupakan salah satu cara untuk
leluhurnya, sehingga mereka menghubungkan diri dengan yang sakral
melaksanakan ritual tersebut dengan sesuai dengan kesadaran kolektif bersama,
serius dan saling bekerja sama (Norris & sehingga memerlukan pemimpin untuk
Inglehart, 2009). memimpin kultus maupun ritual tersebut.
Weber membaginya ke dalam dua hal,
Peran Pemimpin Ritual Mangongkal Holi yakni ahli magis dan juga Imam (Pendeta).
Pada Masa Dahulu dan Sekarang Jika dihubungkan dengan ritual adat
Mangongkal holi merupakan salah mangongkal holi, dapat dipahami bahwa
satu ritual yang sakral, karena selain datu (dukun) merupakan ahli magis dalam
melakukan penggalian dan juga suku Batak Toba, karena mereka
pemindahan, mereka juga menyampaikan memahami simbol ritual dan juga tindakan
doa serta ritual untuk roh orang mati, simbolik ritus lebih dalam, termasuk dalam
sehingga keturunannya diberkati dan juga ritual mangongkal holi. Akan tetapi, seiring
dijauhkan dari segala bahaya yang ada masuknya Kekristenan ke Tanah Batak,
(Schreiner, 2003). Ritual tersebut tidak maka pemimpin ritus telah mengalami
dapat dipimpin oleh sembarang orang. transisi menjadi Imam atau Pendeta.
Ritual tersebut biasanya dipimpin oleh datu Tentunya, Imam atau Pendeta berlawanan
(dukun) atau orang tua yang dipandang dengan para ahli magis, di mana ritual
penting dalam suku Batak Toba tersebut. primitif menjadi lebih tidak rasional.
Datu (dukun) maupun Natuatua ni Huta Karena Imam atau Pendeta lebih menjalani
(orang tua yang paling dihormati di desa) pelatihan secara sistematik dan memiliki
memiliki ilmu tinggi dalam suku Batak dan spesifikasi, maka mereka menghasilkan
dianggap sebagai orang yang dapat konsep religius yang berbeda serta
berhubungan langsung dengan dunia roh memisahkan diri dari ahli magis.
orang mati tersebut. Itu sebabnya, pada Imam maupun Pendeta juga mulai
zaman dahulu, ritual mangongkal holi mengambil peran pastoral dalam
90
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (1) (2020): 84-92
91
Firman Oktavianus Hutagaol & Iky Sumarthina P. Prayitno, Perkembangan Ritual Adat
Kecamatan Banuarea, Kota Tarutung Sagala, M, (2008). Injil dan Adat Batak: Menggali
Sumatera Utara, Universitas Udayana, Tulang-belulang Ompung. Jakarta: Yayasan
Humanis: Journal of Arts and Humanities, 11 Bina Muda.
(2), 1-7. Schreiner, L, (2003). Adat dan Injil: Perjumpaan Adat
Nasution, F.H., (2019). 70 Tradisi Unik Suku Bangsa dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta:
Di Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. PT. BPK Gunung Mulia.
Norris, P, & Inglehart, R. (2009). Sekularisasi Ditinjau Silalahi, C.D.M., & Sibarani, R, (2015), Mangongkal
Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa Holi As The Highest Level Tradition In Batak
Ini. Tangerang: Pustaka Alvabet. Toba Society, Universitas Methodist
Purba, M, (2014), Musik Tiup dan Upacara Adat: Indonesia, Majalah Ilmiah Methoda, 5 (3), 1-
Kasus Pengayaan Identitas Kebudayaan 9.
Musikal pada Masyarakat Batak Toba di Kota Sinaga, F. & Supsiloani, (2016), Fungsi Tanah dan
Medan, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Kaitannya dengan Konflik Tanah pada
Bandung, Panggung: Jurnal Seni Budaya, 24 Masyarakat Batak Toba, Universitas Negeri
(3), 258-274. Medan, Anthropos: Jurnal Antroplogi Sosial
Putri, D.F & Nurjanah, (2015). Makna Simbolik dan Budaya, 2 (1), 14-30.
Upacara Mangongkal Holi Bagi Masyarakat Simanihuruk, B. & Muchtar, M. (2013), Analysis Of
Batak Toba Di Desa Simando Kecamatan Translation Techniques And Shifts Of Batak
Simanindo Kabupaten Samosir Provinsi Toba Cultural Terms In Inside Sumatera:
Sumatera Utara, Universitas Riau, Jurnal Tourism And Lifestyle Magazine, Universitas
Online Mahasiswa (JOM) FISIP, 2 (2), 1-15. Sumatera Utara, Kajian Linguistik: Program
Raco, J.R., (2010). Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Studi Linguistik USU, 10 (2), 195-207.
Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: Simangunsong, D, (2008). Bahaya Sinkritisme: Suatu
Grasindo. Studi Empiris. Medan: Kantor HKBP Distrik X
Reid, A, & Loir-Chambert, H. (2006). Kuasa Leluhur: Medan-Aceh.
Nenek Moyang, Orang Suci dan Pahlawan di Singgih, E.G, (2007). Berteologi dalam Konteks.
Indonesia Kontemporer. Medan: Bina Media Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Perintis. Situmorang, S, (2009). Toba Na Sae. Jakarta:
Ritzer, G, (2012). Teori Sosiologi Klasik: Dari Komunitas Bambu.
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Tiarma, R., dkk., (1999). Untaian Manik-manik
Terakhir Postmodern (Edisi Kedepalan). Nusantara. Jakart: Direktorat Jenderal
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kebudayaan.
Rukajat, A, (2018). Pendekatan Penelitian Kualitatif: Warneck, J., (2001). Kamus Batak Toba-Indonesia.
Qualitative Research Approach. Yogyakarta: Medan: Bina Media.
Deepublish.
92