Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan yang tersebar diseluruh

nusantara yang masing-masing daerah di tiap etniknya memiki kebudayaan tersendiri

yang menjadikan hal itu sebagai identitas sosial budaya yang melekat pada setiap

masyarakatnya. Oleh karena itu kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya

manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi

dan karyanya itu (Koentjaraningrat, 2015:11). Dengan demikian masyarakat kita

secara umum harus mampu memaknai kebudayaan itu baik itu dari segi wujud

kebudayaannya maupun simbol-simbol yang terkandung dalam sebuah kebudayaan.

Tidak hanya itu, dalam undang-undang kebudayaan pasal 1 nomor 3 tahun 2017

menegaskan bahwa pemajuan kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan

budaya dan kontribusi ketahanan budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui

perlindungan, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan dan publikasi.

Keberangamaan kebudayaaan bangsa Indonesia di dalamnya mencapai

beberapa aspek budaya yang dikenal dengan istilah tujuh unsur kebudayaan

diantaranya bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan

teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian (Koentjaraningrat,

2015:164). Dengan demikian tiap-tiap unsur kebudayaan universal, misalnya dalam

sistem religi di dalamnya terkandung banyak tradisi-tradisi masyarakat yang selalu di

1
pegang teguh bahkaan hal itu menjadikan sebagai sebuah kekayaan kebudayaan serta

identitas kebangaan tiap etniknya sehingga selalu di pertaahankan.

Masyarakat Sulawesi tenggara pada umumnya merupakan masyarakat

multikultural yang di kenal dengan keberagaman etnik sehingga di dalamnya terdapat

berbagai etnik diantaranya Muna, Tolaki, Buton, Moronene, Wawonii, Bajo,

Mekongga, Bugis, Jawa dan etnik lainnya. Oleh karena itu dengan keberagaman etnik

tentu di dalamnya terdapat berbagai aneka kebudayaan yang menjadikan sebagai

sebuah simbol identitas masing-masing. Sehingga masyarakat multikulturalisme di

wujudkan bukan hanya soal perbedaan dan identitas melainkan menyangkut semua hal

yang tertanam dan di topang oleh budaya Bhiku Parekh dalam (Molan, 2015:31).

Kabupaten Muna yang secara umum masi mempertahankan adat dan

kebudayaannya utamanya upacara adat yang dilakukan secara turun temurun. Sebab

upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih dianggap

memiliki nilai-nilai yang masih di pertahankan bagi kebutuhan masyarakat

pendukungnya. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat berhubungan dengan arwah

para leluhurnya, juga merupakan perwujudan untuk menyesuaikan diriterhadap alam,

kepercayaan religius dan lingkungannya dalam arti luas. (Koentjaraningrat,1985: 243-

246) menjelaskan bahwa ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat

berdasarkan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, kepercayaan seperti inilah

yang mendorong manusia untuk melakukan berbagaai perbuatan atau tindakan yang

bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib penguasa alam melalui ritual-ritual,

2
baik ritual keagamaan (religious ceremonies) maupun ritual-ritual adat yang lainnya

yang dirasakan oleh masyarakat sebagai saat-saat genting, yang bias membawa bahaya

gaib, kesengsaraan, dan penyakit kepada manusia. Dalam istilah Emile Durkheim

agama dapat mengantarkan para individu anggota masyarakat menjadi mahluk sosial.

Agama melestarikan masyarakat, memeliharanya di hadapan manusia dalam arti

memberi nilai bagi manusia itu sendiri, masyarakat mengukuhkan kembali dirinya

kedalam perbuatan simbolik yang menampakan sikapnya. Sementara itu, ritus itu

sendiri merupakan sarana bagi kelompok sosial untuk secara periodik mengukuhkan

kembali dirinya (Narwoko et.al, 2004:254).

Salah satu masyarakat yang masih mempertahankan tradisinya adalah

masyarakat pada etnik bajo secara khusus yang terdapat di desa Bontu-bontu

kecamatan Towea masi memegang teguh adat dan tradisinya seperti pelaksanaan

upacara adat patoba (pengislaman) yang dilakuakan ketika anak mereka menginjak

usia dewasa. Dalam tradisi tersebut terdapat banyak nilai-nilai simbolik yang dijadikan

sebagai sebuah pemahaman yang kokoh dan menjaga hubungan manusia dengan sang

penciptanya, lewat uapacara adat patoba yang dilakukan etnik bajo di desa bontu-

bontu kecamatan Towea Kabupaten Muna memiliki harapan bahwa akan adanya

kesempurnaan keagamaan yang dilakukan dan sebagai salah satu bentuk tradisi yang

dilakukan secara turun temurun yang di yakini bahwa tradisi tersebut adalah wajib

sebab hal tersebut termaksud dari bagian penyempurnaan agama pada etnik bajo yang

generasinya ketika masuk usia dewasa.

3
Tradisi patoba (pengislaman) pada etnik bajo dilakukan pada saat anak

menginjak usia dewasa, dengan niat bahwa anak tersebut akan di beri berbagai

wejangan dari salah satu tokoh agama, mengantarkan anak tersebut untuk

mengucapkan kalimat tauhid, serta nasehat-nasehat positif dan menjelaskan berbagai

jenis larangan-larangan beragama maupun anjuran-anjuran yang akan dilakukan dalam

beragama. Akan tetapi dalam pelaksanaan tradisi upacara adat patoba (pengislaman)

pada etnik bajo terdapat berbagai macam simbol-simbol yang memiliki banyak makna

keagamaan yang harus di teladani oleh pelaku dalam tradisi tersebut.

Seiring berjalannya perputaran waktu utamanya pada perkembangan era

moderenisme ataupun dengan adanya perkembangan globalisasi sehingga hal ini

menjadi sebuah ancaman bagi tradisi patoba itu sendiri. Sebab masyarakat khususnya

etnik bajo yang memiliki kepercayaan uapacara adat patoba (pengislaman) menjadi

seuah ancaman sebab perkembangan teknologi di era modern bias membawa dampak

pada perubahan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian keberadaan

tradisi ini akan mengalami sebuah ancaman. Perkembangan zaman telah

mempengaruhi pola pikir masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya perubahan

pada setiap tradisi serta mengalami pergeseran simbolik dalam sebuah tradisi yang

telah di pegang teguh oleh masyarakat secara turun temurun. Dengan demikian kondisi

terkini tradisi upacara adat patoba (pengislaman) pada etnik bajo di desa Bontu-bontu

kecamatan Towea Kabupaten Muna akan mengalami sebuah ancaman dengan

hadirnya berbagai perkembangan teknologi.

4
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian ini guna untuk mengkaji secara mendalam makna simbolik tradisi upacara

patoba (pengislaman) pada etnik bajo serta keberadaan tradisi ini di masa sekarang.

Sehingga penulis mengangkat sebuah topic yang berjudul “Makna Simbolik Upacara

Adat Patoba (Pengislaman) Pada Etnik Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea

Kabupaten Muna”

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian latar belakang di atas,maka peneliti merumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut.

1. Apakah makna simbolik upacara adat patoba pada etnik bajo?

2. Bagaimana keberadaan tradisi patoba pada etnik bajo dimasa sekarang ini?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui makna simbolik upacara adat patoba pada etnik

bajo?

2. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan tradisi patoba pada etnik bajo

dimasa sekarang ini?

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1.4.1 Manfaat Praktis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

ilmu pengetahuan Antropologi secara logis. Baik pada kajian Antropologi

Simbolik, Antropologi Agama, Antropologi Terapan, dan Etnografi Bajo.

5
1.4.2 Manfaat Teoritis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pihak-pihak tertentu khususnya :

1. Bagi Masyarakat, agar dapat memahami makna simbolik upacara adat

patoba pada etnik bajo di pulau Bontu-bontu, Kecamatan Towea,

Kabupaten Muna.

2. Bagi pemerintah, dapat menjadikan tradisi ini sebagai warisan budaya

etnik bajo agar dapat di pertahankan secara turun temurun.

3. Bagi Mahasiswa, dapat menjadi bahan bacaan dan rujukan untuk

penelitian berikutnya.

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR

2.1 KAJIAN PUSTAKA

Demi menjaga keaslian sebuah penelitian maka penulis merujuk beberapa

peneliti terdahulu diantaranya Penelitian Hendri (2017) Tentang Prosesi dan makna

ritual katoba pada masyarakat muna (studi di desa wakadia kecamatan watopute

kabupaten muna) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Prosesi Ritual Katoba

Pada Masyarakat Muna di Desa Wakadia di Kecamatan Watopue Kabupaten Muna

dan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam Prosesi Ritual Katoba Pada

Masyarakat Muna di Desa Wakadia Kecamatan Watopute Kabupaten Muna.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif melalui wawancara langsung

kepada keluarga yang telah melaksanakan ritual katoba, tokoh agama, dan tokoh adat.

Sedangkan metode pengambilan sampel secara purposive sampling, Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 1). Prosesi ritual katoba tahap pertama acara pembukaan dengan

proses takbiran, dan Imam defetapa atau minta izin. Tahap kedua adalah penyampaian

syarat toba, Tahap ketiga adalah penyampaian inti toba. Tahapan keempat merupakan

acara penutup, pembacaan doa haroa. 2). Makna yang terkandung dalam prosesi ritual

katoba yaitu a) Memutuskan atau melupakan (debhotuki), memutuskan dosa-dosa

terhadap Allah SWT, Nabi dan terhadap manusia. b) Menyesali atau yang harus

disesali (nisosogho), yaitu menyesali dosadosa kepada Allah SWT, Nabi dan terhadap

manusia. c) Menjauhkan atau yang harus dihindari (defekakodoho), menjauhi

perbuatan yang tidak baik. d) Hak sesame manusia (hakunasi), yaitu tidak boleh

7
mengambil hak orang lain. e) Empat yang harus ditakuti di dunia ini (popa nimotehi),

yaitu pertama orang tua laki-laki sebagai pengganti Allah SWT, kedua orang tua

perempuan sebagai pengganti Nabi Muhammad, ketiga kakak kandung sebagai

pengganti Malaikat, keempat yaitu adik kandung sebagai pengganti kaum Mukmin.

f).Tidak kelihatan sifat itu tetapi dilihat (mina natewora ofeiilimaitu taaka doworae)

yaitu sifat kita tidak dapat dilihat oleh diri kita sendiri tapi dilihat oleh orang lain.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara

penelitian penulis dengan penelitian Hendri, yang menjadi perbedaan dalam penelitian

ini adalah dari segi lokasi dan tahun penelitian yakni penelitian ini dilakukan di desa

Wakadia pada tahun 2017 sedangkan peneliti akan melakukan penelitian di pulau

bontu-bontu di tahun 2018. Selain itu penelaitian ini mengalami perbedaan dari sisi

focus penelitiannya yakni penelitian ini berfokus pada makna ritual katoba sedangkan

penelitian ini melihat makna simbolik upacara adat patoba akan tetapi secara makna

memili symbol yang sama yakni sama-sama melihat tradisi pengislaman hanya yang

membedakannya adalah praktik tiap etniknya sebab penelitian ini melihat pada etnik

Muna sedangkan peneliti pada etnik bajo, dari segi metode penelitian ini sama-sama

menggunakan teknik wawancara akan tetapi teknik yang lainnya berbeda dimana

penelitian ini cara mengambil data di tambahkan dengan pengambilan sampel

sedangkan peneliti dengan cara observasi akan tetapi sama-sama menggunakan cara

purposive sampling.

8
Selanjutnya Penelitian Hadirman (2016) tentang Tradisi Katoba sebagai media

komunikasi tradisional dalam masyarakat Muna. Penelitian ini bertujuan

mendeskripsikan bentuk praktikkomunikasi ritual dalam tradisi katoba pada

masyarakat Muna dan menemukan strategi komunikasi dan fungsi-fungsi tradisi

katoba sebagai media komunikasi tradisional dalam praktik komunikasi ritual pada

masyarakat Muna. landasan konseptual yang digunakan adalah konsep ritual, katoba

dan komunikasi. Landasan teori yang digunakan adalah teori media komunikasi

tradisional dan komunikasi ritual. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Muna menggunakan

tradisi katoba sebagai media komunikasi tradisional mereka. Tradisi ini telah

memenuhi unsur-unsur dalam komunikasi, serta dalam prakteknya merupakan refleksi

dari komunikasi ritual. Fungsi tradisi katoba pada masyarakat Muna, yakni fungsi

membawa informasi (pesan), fungsi pendidikan, dan fungsi warisan social budaya.

Dalam penelitian ini digunakan penulis sebagai tinjauan pustaka sebab dalam

penelitian ini sangat relevan untuk digunakan sebab di dalamnya memiliki perbedaan

dan persamaan. Adapun yang menjadi perbedaannya adalah dari segi waktu dan

tempatnya dimana penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dengan mengangkat topic

tentang katoba sebagai media komunikasi tradisional Muna sedangkan peneliti

mengankat topik tentang makna simbolik upacara patoba (pengislaman) pada etnik

bajo yang akan di lakukan pada tahun 2018. Metode yang di gunakan penelitian ini

adalah kualitatif sedangkan penulis menggunakan etnografi, akan tetapi cara

9
pengumpulan data yang digunakan memiliki kesamaan yakni sama-sama

menggunakan metode wawancara dan observasi.

Selanjutnya penelitian Erlianti (2017) tentang pelaksanaan tradisi duata

(pengobatan) pada masyarakat bajo studi di desa mola selatan kecamatan wangi-

wangi selatan kabupaten wakatobi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1)

Bagaimana Pelaksaan tradisi Duata (pengobatan) pada masyarakat Bajo di Desa Mola

Selatan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi (2) Bagaimana nilai-

nilai yang terkandung pada tradisi Duata (pengobatan) pada masyarakat Bajo di Desa

Mola Selatan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi dan (3) Apakah

upaya yang dilakukan masyarakat Bajo untuk mempertahankan tradisi Duata

(pengobatan) pada masyarakat Bajo di Desa Mola selatan Kecamatan Wangi-Wangi

Selatan Kabupaten Wakatobi. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui

pelaksaan tradisi Duata (pengobatan) pada masyarakat Bajo di Desa Mola Selatan

Kabupaten Wakatobi (2) Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung pada tradisi

Duata (pengobatan) pada masyarakat Bajo di Desa Mola Selatan Kecamatan Wangi-

Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi dan (3) Untuk mengetahui upaya yang dilakukan

dalam mempertahankan tradisi Duata (pengobatan) pada masyarakat Bajo di Desa

Mola selatan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Sumber data

penelitian ini menggunakan data primer yaitu data melalui kegiatan observasi dan

wawancara guna menjawab permasalahan penelitian dan data sekunder yaitu data yang

berupa catatan-catatan dan dokumentasi tentang keadaan geografis lokasi. Penelitian

10
ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Tehnik pengumpulan data yang di

gunakan adalah wawancara mendalam dan observasi. Untuk tehnik pengambilan

sampel digunakan tehnik Snowball sampling. Tehnik analisis data yang digunakan

yaitu analisis model interaktif yang menggunakan tiga tahapan yaitu reduksi

data,penyajian data, dan penarikan kesimpulan .Hasil dalam penelitian ini menunjukan

proses pelaksanaan tradisi duata (pengobatan) pada masyarakat Bajo memiliki muatan

niali-nilai luhur yang terkandung didalamnya yang sampai sekarang masih

dipertahankan oleh masyarakat Bajo seperti Nilai Religi, Nilai Estetika dan Nilai

Moral. Dan untuk mempertahankan tradisi duata (pengobatan) pada masyarakat bajo

agar tetap eksis maka dilakukan berbagai upaya untuk mempertahankannya seperti

Pemberdayaan, Pendokumentasian dan Pengembangan.

Dalam penelitian ini memiliki banyak perbedaan dan persamaan antara

penelitian Erliati dan penelitian penulis, yang menjadi perbedaan utamanya adalah dari

segi waktudan lokasi. Selanjutnya penelitian ini berfokus pada tradisi duata

pengobatan pada etnik bajo sedangkan peneliti melihat tradisi upacara patoba pada

etnik bajo. Selanjutnya penelitian ini memiliki persamaan yakni sama-sama

menggunakan pengunpulan data yang sama yakni sama-sama menggunakan

wawancara dan observasi, akan tetapi dalam pengumpulan data yang digunakan

mengalami perbedaan diamana dalam penelitian ini menggunakan Snowball Sampling

sedangkan peneliti menggunakan Purposiv Sampling.

11
Selanjutnya Kurais (2016) penelitian tentang Islamisasi Suku Bajo di Bima

(Suatu Tinjauan Historis) Skripsi ini adalah studi tentang islamisasi Suku Bajo di

Bima. Adapun masalah pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana islamisasi Suku

Bajo di Bima? Sebagai sub masalah: Pertama, bagaimana kondisi Suku Bajo sebelum

menerima Islam? Kedua, bagaimana proses penerimaan dan pengembangan Islam?

Ketiga, bagaimana pengaruh Islam dalam kehidupan Suku Bajo? Oleh karena

penelitian ini adalah jenis penelitian historis, maka untuk memperoleh data, peneliti

melakukan studi lapangan dan perpustakaan. Selanjutnya peneliti menggunakan

tahapan penulisan sejarah yang meliputi tahap heuristic (pengumpulan data), kritik

sumber, interpretasi dan historiografi. Untuk menganalisis penelitian ini, peneliti

mengaplikasikan sebagai hasil penelitian: Pertama, Kondis Suku Bajo sebelum

menerima Islam. Kondisi social politik, Suku Bajo berperan sebagai pasukan laut

Kerajaan Sriwijaya abad ke-7 sampai abad ke-13. Kapal-kapal yang melintas di

perairan laut Kerajaan dipaksa singgah untuk membayar pajak. Singkatnya, kebesaran

maritim Kerajaan ini tidak lepas dari kontribusi Suku Bajo. Kondisi sosial ekonomi,

tersebarnya Suku Bajo di pulau-pulau Nusantara tidak terlepas dari pada

perkembangan perdagangan hasil laut seperti ikan Teripang dan lain-lain, yang dikenal

sebagai makanan lezat orang Cina. Kondisi sosial masyarakat, Suku Bajo sebelum

menerima Islam memiliki kehidupan yang sangat heterogen, yakni hidup berkelompok

dan dikepalai oleh seseorang yang kharismatik, atau biasa disebut Punggawa atau

Pemimpin. Kondisi sosial budaya dan Agama, dalam sejarah kehidupan Suku Bajo

12
masa lampau selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sehinga tidak heran jika

Suku Bajo ditemukan hampir di semua Negara yang memiliki pesisir pantai. Meskipun

demikian Suku Bajo tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi yang ada, salah

satunya adalah tradisi atau budaya Duata. Kedua, proses penerimaan dan

pengembangan Islam. Kedatangan Islam di Suku Bajo, merupakan peristiwa yang

sangat penting dalam sejarah Suku Bajo. Antara islamisasi Suku Bajo dengan

islamisasi di Nusantara tidak dapat dipisahkan, karena melalui jalur perdaganganlah

Islam masuk di Nusantara, dan Suku Bajo merupakan bagian dari masyarakat

Nusantara, ataupun Suku pengembara Laut. Penerimaan Islam di Suku Bajo, suatu hal

yang merupakan ciri khas dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Suku

Bajo, masuk dan berkembangnya Islam berjalan dngan lancar tanpa menerima banyak

tantangan. Hal ini terjadi dikarenakan orang-orang yang menyebarkan Islam di

Nusantara adalah para pedagang, yang dalam melaksanakan aktifitas perdagangannya

senantiasa memperlihatkan reputasi yang baik dan menarik simpati masyarakat

pribumi. Pengembangan Islam di Suku Bajo, dalam upaya pengembangan Islam yang

dapat kita lihat sampai sekarang antara lain, membangun tempat pendidikan,

membangun Masjid, dan lain-lain. Ketiga, pengaruh Islam dalam kehidupan Suku

Bajo. Pengaruh Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, hasil pengamatan

penulis di lapangan bahwa pendidikan merupakan hal yang paling penting sehingga

mampu mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dalam mempertahankan

kelangsungan hidupnya. Pengaruh Islam terhadap kehidupan politik, loyalitas Suku

13
Bajo terhadap Sultan tidak diragukan lagi. Ketika Malaka dikuasai oleh Portugis 1511,

mereka mendukung dan mendampingi Sultan Mahmud Sahah menghindar dari

negerinya kemudian ke Muar, selanjutnya ke Johor dan Riau. Pengaruh Islam pada

seni dan arsitektur masyarakat Suku Bajo, antara lain seni sastra dan seni tari maupun

arsitektur Masjid dan lain-lain.Penelitian sejarah masuk dan berkembangnya Islam di

Suku Bajo sedapat mungkin ditingkatkan pelaksanaannya. Oleh karena itu, secara

umum disarankan kepada seluruh pihak pemerintah yang ada di Indonesia khususnya

di Bima, kiranya penelitian sejarah masuknya Islam tersebut dijadikan perioritas dan

dimasukan dalam proyek penelitian sejarah. Hal ini penting, karena peristiwa-

peristiwa masa lampau sangat bermanfaat sebagai bahan perbandingan peneliti-peneliti

dimasa mendatang.Semoga Islam tetap disebarluaskan sampai keseluruh penjuru dunia

melalui jalur dakwah Islam, supaya kedepannya Islam tetap berjaya yang pernah

menguasai dua pertiga dunia.

Dalam penelitian ini memiliki banyak perbedaan yakni lokasi dan waktu

penelitian telah mengalami perbedaan antara penelitian ini dan peneliti, akan tetapi

memiliki kesamaan yakni sama-sama meneliti etnik bajo akan tetapi mengalami

perbedaan fokus kajian dimana penelitian ini meneliti islamisasi suku bajo di Bima

sedangkan peneliti mengkaji tentang makna simbolik upacara adat patoba pada etnik

bajo, yang menjadi perbedaan yang lainnya adalah metode pengumpulan data yang di

gunakan dimana penelitian ini menggunakan studi lapangan, studi pustaka, dan

14
interpretasi historiografi sedangkan peneliti menggunakan metode etnografi dengan

pengumpulan data yang digunakan adaalah wawancara dan observasi.

2.2 LANDASAN TEORI

Teori yang digunakan untuk membaca data penelitian adalah teori Interpretasi

simbolik oleh Clifford Geertz.

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai:

satu, suatu system keteraturan dari makna dan symbol-simbol. Dua, suatu pola makna

makna yang ditranmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk

simbolis. Tiga, suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku. Empat, oleh karena

kebudayaan adalah suatu system symbol, maka proses kebudayaan harus dipahami,

diterjemahkan dan diinterpretasi. Symbol-simbol yang menunjukan suatu kebudayaan

adalah wahana dari konsepsi, kebudayaan yang memberikan unsure intelektual dan

proses social sehingga dengan teori ini digunakan untuk menjawab permasalahan

mengenai makna simbolik upacara adat patoba (pengislaman) pada etnik bajo di pulau

Bontu-bontu. Bermula Dari Antropologi Simbolik Symbol adalah objek, kejadian,

bunyi bicara atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Kassirer

mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut: manusia

tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta

simbolik sehingga dalam pengkajian makna simbolik tradisi upacara patoba yang di

kaji bukan hanya sebatas mengamati makna secara fisik saja, akan tetapi akan

dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai makna-makna simbolik yang tidak

15
Nampak secara fisik. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu modal dari

manusia sebagai spesies yang menggunakan symbol. Charles Pierce, peletak dasar

disiplin semiltik modern, mengidentifikasi tiga tipe tanda: satu, tanda ikonik yang

mencerminkan objeknya dalam hal tertentu. Dua, tanda indeks yang secara fisik terkait

dengan objeknya. Tiga symbol-simbol seperti bahasa yang berarti bagi objeknya

karena ditafsirkan sedemikian melalui kesepakatan dan penggunaan. Kata-kata adalah

persepsi konseptual mengenai dunia, yang terkandung dalam symbol-simbol. Victor

Turner (1975) mengelompokkan antropologi simbolik menjadi dua. Pertama,

kelompok yang memusatkan perhatian pada sistem abstrak yang meliputi ahli liguistik,

strukturalis dan antropolog kognitif. Kedua, kelompok yang memusatkan perhatian

pada symbol dan kelompok dinamika social. Masyarakat adalah hasil dari perilaku dan

tindakan orang-orang yang saling terjalin satu sama lain yang menempati batas-batas

dan konteks social yang berbeda-beda, dan kerap kali secara simultan.

Interpretivisme Simbolik Sebagai Paradigma Interpretivisme Clifford Geertz

Antropologi humanistic adalah mentalis dalam orientasinya, yang memandang

kebudayaan sebagai system gagasan nilai-nilai dan makna. Kajian ideografig adalah

khusus dan didasarkan pada kasus yang sedemikian rupa dapat menangkap totalitas

kehidupan dalam kompleksitas suatu masyarakat dan variasinya. Geertz menemukan

makna yang didasarkan pada pandangan native sesungguhnya relative fisik,

maksudnya adalah suatu pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri

sendiri, persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain,

16
persepsi orang lain dan pemahaman orang lain. Pandangan Geertz tentang antropologi

sejalan dengan Heidegger dan Gadamer. Geertz menulis, “gagasan kita, nilai-nilai kita,

perilaku kita, bahkan emosi kita, seperti halnya system persarafan, adalah produk

kebudayaan-dibangun, di luar kecenderungan-kecenderungan kapasitas, dan diposisi

yang kita miliki ketika kita dilahirkan, melainkan dibangun dan terus dibangun

Interpretivisme Simbolik Sebagai Paradigma Interpretivisme simbolik adalah kajian

mengenai istilah-istilah dasar yang dengannya kita memandang diri kita sendiri

sebgaia manusia dan sebagai anggota masyarakat dan mengenai bagaimana istilah-

istilah dasar ini digunakan oleh manusia untuk membangun suatu mode kehidupan

bagi diri mereka sendiri. Prinsip-prinsip epistemology dari antropologi simbolik secara

alamiah tergantung pada premis-premis ontologis. Asumsi-asumsi dan konsep-konsep

juga diasosiasikan dengan antroplogi penduduk simbolik. Pertama, adalah konsep

Victor Turner (1969) mengenai karakter symbol multivokalik atau kemampuan

symbol untuk merepresentasi beberapa makna yang berbeda-beda sekaligus. Oleh

karena itu teori ini dgunakan untuk mendeskripsikan dan mengintepretasi symbol-

simbol yang terkandung dalam tradisi patoba pada etnik bajo.

17
2.3 KERANGKA PIKIR

Upacara Adat Patoba

Etnik Bajo

Makna Simbolik Upacara Adat Keberadaan Tradisi Patoba di


Patoba Masa Sekarang

Clifford Geertz (1973)


Interpretasi Simbolik

Makna Simbolik Upacara Adat Patoba (Pengislaman) Pada Etnik Bajo di


Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea Kabupaten Muna

Bagan Kerangka Pikir

Sugiyono (2010 : 60) mengemukakan kerangka pikir merupakan sintesa

tentang hubungan antara variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah di

deskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan tersebut, selanjutnya

dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang

hubungan antar variabel yang diteliti.

18
Berdasarkan kerangka pikir di atas, yang menjadi obyek penelitiannya adalah

masyarakat etnik bajo yang masi memegang teguh tradisi patoba di Desa Bontu-bontu

Kecamatan Towea, Kabupaten Muna. Hal-hal yang akan di kaji dalam penelitian ini

adalah makna simbolik upacara adat patoba dan keberadaan tradisi upacara adat

patoba dengan mengacu teori Interpretasi simbolik oleh Clifford Geertz dimana

melihat makna-makna yang terkandung secara simbolis dalam upacara patoba serta

mengkaji keberadaan upacara patoba dimasa sekarang ini.

19
BAB III

METODE PENELITIAN

Pokok bahasan dalam metode penelitian yang digunakan di antaranya adalah:

Lokasi Penelitian, Penentuan Informan, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik

Analisis Data.

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bontu-Bontu, Kecamatan Towea

Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini dipilih sebagai lokasi

penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1) Desa Bontu-

bontu merupakan salah satu pedesaan yang ada di kecamatan Towea Kabupaten Muna

yang merupakan kawasan pesisir dan terdapat banyak etnik bajo yang bermukim di

wilaya tersebut dan masi menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhurnya(2) Daerah ini

memenuhi syarat karena masyarakatnya masi menjalankan tradisi patoba secara turun

temurun.

3.2 Penentuan Informan

Informan dalam penelitian ini adalah masarakat Desa Bontu-bontu Kecamatan

Towea Kabupaten Muna, yang ditentukan secara sengaja dan terbagi atas beberapa

informan yaitu informan kunci dan informan biasa. Adapun informan kunci yaitu salah

satu tokoh masarakat yang dituakan dan dianggap mampuh menjadi juru kunci.

sedangkan informan biasa yaitu masyarakat setempat yang berperan sebagai

masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi patoba padaetnik bajo dalam

20
penelitian ini menggunakan metode etnografi, yaitu pemilihan informan berdasarkan

kebutuhan penelitian atau pemilihan informan secara sengaja seorang informan

sebaiknya mereka yang dianggap mengetahui secara tepat permasalahan penelitian,

sehingga diperoleh informasi sebanyak mungkin dalam menjawab permasalahan

penelitian terkait makna simbolik tradisi patoba (pengislaman) pada etnik bajo.

Adapun yang akan dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini yakni masyarakat

khususnya orang yang terlibat langsung dalam pelaksanaan tradisi patoba.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data

yang memenuhi standar yang ditetapkan. Selain itu menurut Sujarweni (2014: 74)

pengumpulan data merupakan cara yang dilakukan peneliti untuk mengungkap atau

menjaring informasi

3.3.1 Pengamatan Terlibat (Participation Observation)

Seperti yang telah dijelaskan Kutha Ratna (2016: 217) Observasi merupakan

salahsatu teknik yang paling banyak dilakukan dalam penelitian, baik kuantitatif

maupun kualitatif, baik sosial maupun humaniora. Dalam etnografi teknik observasi

dikategorikan sebagai aliraan utama. Faktor terpenting dalam teknik observasi adalah

observer (pengamat) dan orang yang diamati yang kemudian juga berfungsi sebagai

pemberi informs, yaitu informan. Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan

21
yang dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang

diperoleh melalui observasi (Sugiyono, 2009:226)

Penelitian lapangan dilakukan secara intensif selama beberapa bulan.

Penelitian ini diawali dengan pengamatan terhadap makna simbolik upacara adat

patoba terhadap masyarakat pelaku tradisi patoba tersebut. Pengamatan yang

dilakukan adalah pengamatan terlibat, dimana peneliti turun langsung untuk

mengamati makna-makna yang terkandung dalam tradisi patoba yang di lakukan etnik

bajo di desa Bontu-bontu, Kecamatan Towea, Kabupaten Muna. Pengamatan terlibat

dimana peneliti turun langsung untuk mengamati langsung masyarakat yang masih

menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi upacara patoba.

3.3.2 Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Wawancara Etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus.

Setiap kebudayaan memiliki banyak kesempatan sosial yang terutama diidentifikasi

dengan jenis percakapan yang terjadi (Spradley, 2006:79). Wawancara dalah

hubungan ini para informan, termaksud responden, bermanfaat untuk mengetahui

penerimaan masyarakat dalam mengungkapkan pikiran-pikiran kolektifitas selama

proses penelitian (Kutha Ratna, 2011:223)

Dari hasil pengamatan, baik pengamatan biasa selanjutnya peneliti

menggunakan teknik wawancara mendalam, teknik ini digunakan agar peneliti mampu

untuk menggali informasi secara mendalam mengenai makna simbolik upacara patoba

22
pada etnik bajo. Adapun hal-hal yang dipertanyakan adalah makna yang terkandung

dalam tradisi patoba serta bagaimana kondisi implementasi tradisi patoba saat ini.

Wawancara dilakukan dengan mengadakan pertemuan dan tatap muka

langsung dengan informan dan melakukan tanya jawab. Dengan kegiatan wawancara

yang dilakukan secara mendalam, peneliti dapat menggali informasi sedetail mungkin

dari setiap informan. Proses wawancara ini dilakukan dengan menggunakan pedoman

wawancara (wawancara terstruktur) kemudian dikembangkan dalam wawancara lebih

mendalam (depth Interview), dalam rangka mengungkapkan permasalahan mengenai

makna simbolik tradisi patoba serta keberadaannya saat ini di kalangan masyarakat

Bajo di desa Bontu-bontu kecamatan Towea Kabupaten Muna.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data telah dilakukan secara etik yang menggacu pada pandangan

peneliti terkait dengan makna simbolik tradisi patoba serta kondisi tradisi patoba saat

ini Desa Bontu-bontu, Kecamatan Towea, Kabupaten Muna melalui langkah-langka

(1) menyusun satuan-satuan seluruh data yang dikumpul dari hasil wawancara,

observasi, kemudian dilakukan reduksi guna mengeliminir data yang kurang relevan,

membuar abstraksi dan menyusun satuan-satuan data, (2) melakukan kategorisasi data,

(3) menyusun antar kategori data yang lainnya, sehingga dapat ditemukan makna

kesimpulannya.

23
Daftar Pustaka

Sumber Buku:

Koentjaraningrat.1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

----------------------.2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

----------------------.2015. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Molan, Benyamin. 2015. Multikulturalisme Cerdas Membangun Hidup Bersama


yang Stabil dan Dinamis. Jakarta: PT Indeks.

Narwoko. Dwi. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana
Media Group.

Ratna, Nyoman Kutha. 2016. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Spradley. James. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sujarweni, V Wiratna.2014. Metodologi Penelitian; Lengkap, Praktis, dan Mudah


Dipahami. Yogyakarta: PT.Pustaka Baru.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfa Beta.

-------------.2009. Metode Penelitian Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfa Beta.

Sumber Lain:

Erliati.2017. Pelaksanaan Tradisi Duata (Pengobatan) Pada Masyarakat Bajo


Studi di Desa Mola Selatan Kecamatan Wangi-wangi.Kabupaten Wakatobi.
Kendari: Skripsi Universitas Halu Oleo.

Hadirman.2016. Tradisi Katoba Sebagai Media Komunikasi Tradisional Dalam


Masyarakat Muna. Kendari: Skripsi IAIN Manado.

24
Hendri.2017. Persepsi dan Makna Ritual Katoba Pada Masyarakat Muna.
Kendari : Skripsi Universitas Halu Oleo.

Ikha Qniek. (2011). Teori Interpretasi Simbolik di akses melalui http://ikha-


luphsosant.blogspot.co.id/2011/03/teori-interpretivisme-simbolik.html
[18/04/2018]

Kurais. 2016. Islamisasi Suku Bajo di Bima (Suatu Tinjauan Historis). Makassar:
Skripsi UIN Alaudin Makassar.

25

Anda mungkin juga menyukai