Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pancasila Indonesia merupakan aturan umum yang mengatur tentang hal

berbangsa dan bernegara yang semestinya, hal ini di karenakan Pancasila sebagai

dasar utama dari semua jenis aturan dan kebijakan bangsa Indonesia. Berbicara

tentang Pancasila Indonesia tidak terlepas dari nilai-nilai, butir-butir serta

pengalaman-pengalamanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai

pancasila memilikik makna yang mendalam baik dari sejarah pembentukan dan

pengamalanya. Pancasila sendiri merupakan dasar negara dan merupakan

landasan untuk menuju cita-cita bangsa Indonesia dan untuk memotivasi bangsa

dalam mencapai cita-cita tersebut. Dewasa ini, dengan perkembangan teknologi,

modernisasi, westernisasi yang tak lain adalah globalisasi telah mengikis nilai-

nilai tersebut dalam kehidupan bermasyrakat, sehingga mengakibatkan

ketidaktahuan masyarakat Indonesia terhadap nilai-nilai, butir-butir dan

pengamalan-pengamalan Pancasila bangsa Indonesia.

Berkaitan dengan nilai-nilai pancasila di Indonesia sangat berkaitan erat

dengan adat istiadat yang sangat kental dan menjadi ciri khas dari pida bangsa

Indonesia sendiri. Adat istiadat itu sendiri dewasa ini masih sangat kental dan

tetap dijaga pengamalan-pengamalannya seperti di Propinsi Nusa Tenggara

Timur. Secara umum, Propinsi NTT masih sangat kental dan bergantung terhadap

1
adat istiadat dann budayanya. Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan

wilayah kepulauan yang didiami oleh berbagai macam etnis dengan latar belakang

sejarah dan budaya yang bereaneka ragam. Keberagaman budaya yang ada di

Nusa Tenggara Timur (NTT) harus dipandang sebagai kekayaan bersama dengan

cara merubah pandangan yang melihat perbedaan budaya etnis sebagai perbedaan

kontradiktif menjadi perbedaan yang variatif yang menghendaki agar kebudayaan

setiap suku bangsa perlu dipelihara keberlangsungannya.

Salah satu contoh suku yang masih kental dengan nilai adat dan budaya di

NTT adalah suku Bangsa Dawan/Atoni merupakan salah satu etnis terbesar yang

mendiami Pulau Timor (Barat) yakni meliputi Kabupaten Timor Tengah Utara,

Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Kupang dengan memiliki budaya material

dan non material yang berbeda dengan etnis-etnis lain di daerah NTT. Salah satu

warisan budaya yang masih tumbuh dan berkembang adalah ritus-ritus adat yang

berhubungan dengan siklus hidup manusia yakni kelahiran, perkawinan dan

kematian yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai tradisional yang diwariskan

secara turun temurun.

Masyarakat Dawan/Atoni merupakan suatu kesatuan masyarakat yang

menempati Wilayah Pulau Timor bagian Barat dengan pola susunan sosial

masyarakat tersendiri serta mempunyai bentuk-bentuk kearifan lokal tersendiri

yang menentukan identitas suku. Kearifan tradisional/lokal masyarakat Boti

berawal dari berbagai konsep yang berkembang pada masyrakat itu sendiri berupa

sistem nilai, norma, hukum adat, etika, upacara, kepercayaan dan sebagainya.

2
Kearifan lokal biasanya berwujud sebagai sistem filosofi, nilai, norma,

hukum adat, etika, lembaga sosial dan sistem kepercayaan melalui upacara.

Sumber kearifan lokal yang mampu menata kehidupan suatu komunitas

adalah sumber kearifan yang diwadahi dari sistem kepercayaan (religi). Sistem

kepercayaan masyarakat Boti ini merupakan implementasi dari sila pertama

Pancasila yaitu ( KetuhananYang Maha Esa) yang mengandung makna bahwa,

bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini berarti

bahwa manusia Indonesia, dalam kehidupan sehari-harinya harus

mengembangkan, sikap saling menghormati, memberi kesempatan dan kebebasan

menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, tidak

memaksakan suatu agama dan atau kepercayaan dengan cara apapun kepada

orang yang sudah menganut agama dan kepercayaan yang resmi.

Secara konseptual kearifan lokal masyarakat Boti merupakan kebijakan

komunitas masyarakat Boti bersandar pada konsep-konsep tradisional yang telah

terseleksi, teruji dan bermanfaat bagi komunitas bersangkutan. Segala kebiasaan,

adat-istiadat, norma, etika termasuk kepercayaan yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat lokal atau masyarakat adat biasanya disebut dengan kearifan

lokal yang sangat erat kaitannya dengan masyarakat adat.

Senada dengan hal diatas perkawinan merupakan salah satu kearifan lokal

masyarakat Boti yang dapat berlangsung sesuai tata cara yang telah diwariskan

3
oleh nenek moyang mereka dengan berlandaskan pada adat dan kebiasaan yang

diberlakukan di kalangan sendiri khususnya pada masyarakat Boti dalam.

Tata cara adat perkawinan masyarakat Boti terdiri dari beberapa tahap yang

membutuhkan waktu selama tiga tahun lamanya mulai dari peminangan, hidup

berkeluarga (berumah tangga) sampai dengan peresmian secara adat. Tahap-tahap

yang harus dilewati dalam adat perkawinan masyarakat Boti sebagai berikut:

a. Peminangan (Toit Bife); sebelum masuk pada proses atau tahap

perkawinan harus melewati suatu tahapan yang oleh masyarakat suku

bangsa dawan menyebut tahap “Toit Bife” (meminang gadis) dan

memberikan tanda ikatan. Bagi masyarakat Boti peminangan dilakukan

oleh perantara yang merupakan utusan pihak laki-laki. Perantara ini disebut

“nete lenan” yakni seorang tua adat mendatangi orang tua gadis.

b. Ikatan perkawinan (Mafutus Neo Mafet Manonet); tahap ini merupakan

tindak lanjut dari kesepakatan waktu yang sudah ditentukan pada tahap

peminangan. Ikatan adat itu disebut “Mafut nekat” merupakan tahap

penyerahan syarat dalam ikatan adat. Dalam masyarakat Boti Dalam, istilah

penyerahan syarat ikatan adat berupa “Tua boit mese”, Noin sol mese”,

maka orang tua gadis dengan rela hati menyerahkan anak gadis kepada

keluarga laki-laki dan tinggal serumah dengan laki-laki yang melamarnya

sebagai suami istri.

c. Tahap berumah tangga; pada tahap ini muncul adat perkawinan masyarakat

Boti, belum sah secara penuh dalam suatu proses perkawinan. Ini sebagai

tahap awal untuk menjalankan tanggung jawab secara mandiri dalam

4
kerangka mempersiapkan segala kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan di

dalam rumah tangga sebagai suami dan istri.

Berkaitan dengan hal tersebut syarat-syarat cara perkawinan ini

diberlakukan hanya semata-mata untuk tetap mempertahankan kemurnian dan

keberlanjutan adat kebiasaan yang semakin terkikis oleh transformasi kebudayaan

yang semakin mendesak dan menggeser kebiasaan-kebiasaan yang diwariskan

oleh leluhur mereka. Secara garis besar masih terdapat budaya yang sedikit

bertantangan dengan nilai pacasila, misalnya menyangkut dengan sistem

perjodohan dalam perkawinan, hal tersebut sangat bertantangan dengan nilai

pancasila dalam hal ini sila ke IV dalam Pancasila yaitu ( Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia). Dari sila ke IV Pancasila tersebut dijelaskan bahwa

masyarakat memiliki hak atau kebebasan dalam segala hal, misalnya dalam hal ini

adalah memilih pasangan hidupnya. Sehingga tidak boleh ada intervensi dari

pihak manapun dan oleh siapapun karna kebebasan setiap orang dimana invidu

memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya dan dilindungi

oleh negara.

Berdasarkan uraian di atas maka mendorong peneliti melakukan suatu

penelitian tentang apakah nilai-nilai Pancasila sejalan dengan kearifan lokal

masyarakat Boti khususnya dalam upacara perkawinan. Sejauh ini sepengetahuan

penulis belum ada peneliti tedahulu yang melakukan penelitian mengenai hal

tersebut. Maka hal inilah yang mendorong peneliti merasa tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul : ” NILAI-NILAI PANCASILA DALAM

5
KEARIFAN LOKAL UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT BOTI,

KECAMATAN KI’E, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN ”.

B. Rumusan Masalah

Banyak hal yang terkandung dalam nilai-nilai kearifan lokal masyarakat

Boti yang perlu dikaji lebih mendalam dan ditinjau dari aspek kebudayaan. Dari

latar belakang yang dijelaskan dapat diambil beberapa identifikasi masalah yang

sekaligus menjadi batasan masalah. Adapun perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Nilai Pancasila apa sajakah yang teradapat dalam kearifan lokal upacara

perkawinan adat Boti?

2. Bagaimanakah upacara perkawinan adat Boti?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam kearifan lokal

upacara perkawinan adat Boti.

2. Untuk mengetahui tata cara upacara perkawinan adat Boti.

6
2. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengharapkan penelitian ini memberikan

hasil yang bermanfaat dan berguna yaitu sebagai berikut:

1. Bagi penulis kiranya bermanfaat untuk mengetahui tentang nilai-nilai

pancasila dalam kearifan lokal upacara perkawinan masyarakat Boti.

2. Sebagai bahan informasi budaya bagi generasi yang akan datang.

3. Sebagai bahan untuk memperkenalkan kearifan lokal upacara

perkawinan pada masyarakat Boti.

4. Sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan

pada jurusan PPKn FKIP UNDANA.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjuan Pustaka

Banyak peneliti yang telah di lakukan yang mempunyai kemiripan dengan

penelitian sekarang ini namun terdapat perbedaan pada isi, objek, fokus masalah,

danmetode penelitian yang di gunakan.

Berikut ini terdapat beberapa penelitian yang memiliki ke miripan, yaitu

Suryana ( 2008 ), jurusan sejarah dan kebudayaan islam dengan judul skripsi “

Upacara perkawinan palembang “ dengan rumusan masalah sebagai berikut

bagaimana latar belakang terbentuknya sosial budaya masyarakat palembang.

Proses apa saja yang dapat di laksanakan sebelum pernikahan berlangsung,

dan simbol apa saja dan makna dari simbol – simbol dari pernikahan tersebut.

8
Dalam proses upacara perkawinan palembang sebelum pernikahan di

langsungkan si bujang dan si gadis calon mempelai tidak di perkenankan keluar

rumah, mereka di anjurkan mandi uap.

Dalam tradisi upacara perkawinan adat palembang sebelum di laksanakan

nya adat perkawinan di adakan beberapa tingkatan adat yang tidak boleh di

tinggalkan , salah satunya adalah enjukan.

Yang dimaksut dengan adat enjukan berupa uang jujur dan mas kawin

yang harus di penuhi oleh seorang laki – laki yang hendak mempersunting

seorang perempuan dan ini merupakan syarat yang harus di penuhi dalam upacara

adat perkawinan di palembang.

Penentuan besar kecilnya mas kawin tergantung hubungan yang telah

terjalin antara laki – laki dan perempuan, dan biasanya dari pihak perempuanlah

yang menentukan terkadang keluarga perempuan memperbesar mas kawin maka

seringkali dalam perkawinan adat ini ada sistem tawar menawar antara pihak laki-

laki dan pihak perempuan dalam memutuskan mas kawin maka seringkali terjadi

ketidak sepakatan antara kedua bela pihak.

Selain enjukan di kenal juga adat berangkat, dalam adat ini selain

memutuskan mas kawin, di tetapkan pula bahwa perkawinan harus di angkat

menurut adat dan perkawinan menurut adat.

Bentuk adat berangkat antara lain : mas kawin, seturunan, duit timbang

pengantin dan lain – lain ( Suryana 2008 ).

9
Perbedaan dengan penelitian sekarang ini di tekankan pada fokus masalah

dan tujuan penelitian.

Di mana peneliti sekarang ini mengangkat masalah bagaimana makna

budaya yang terkandung Nilai-nilai pancasila dalam kearifan lokal upacara

perkawinan masyarakat Boti kecamatan Ki’e Kabupaten Timor Tengah Selatan (

TTS ).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna budaya yang

terkandung Nilai – nilai pancasila dalam kearifan lokal upacara perkawinan

masyarakat Boti.

Metode penelitian bersifat deskriptif kualitatif teknik pengumpulan data

menggunakan wawancara mendalam.

Studi kepustakaan dan dokumentasi untuk memperoleh data.

Penelitian berikut yang ada ke miripan dengan penelitian sekarang ini

adalah penelitian yang dilakukan oleh Lanata mahasiswa Universitas Nusa

Cendana ( 2005 ) jurusan pendidikan sejarah dengan judul skripsi “ belis adat

perkawinan masyarakat desa Likwatung kecamatan Alor Tengah Utara kabupaten

Alor ” .

Dengan fokus masalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mahalnya

nilai belis dalam upacara perkawinan di Desa Likwatung Alor Tengah Utara

kabupaten Alor.

10
Tujuannya yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan nilai

belis dalam upacara adat perkawinan masyarakat di Desa Likwatung Alor Tengah

Utara kabupaten Utara.

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif, kualitatif yang menjelaskan latar belakang mahalnya nilai belis, proses

pelaksanaannya.

Cara penentuan belis serta pengaruhnya dalam sosial budaya masyarakat

pada umumnya dengan tujuan menggambarkan fenomena-fenomena yang

ditemukan di lapangan.

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa besarnya nilai belis dalam adat

perkawinan di Desa Likwatung disebabkan beberapa hal yaitu besarnya belis ibu

dari anak, status sosial keluarga, pilihan jenis perkawinan dan status ekonomi.

Belis adalah suatu bentuk pemberian yang telah disepakati bersama dan

harus didasarkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan dan

sebaliknya keluarga perempuan memberi imbalan atau balas jasa kepada keluarga

laki-laki dalam suatu perkawinan.

Pemberian belis ini mempunyai tujuan sebagai penghargaan,

penghormatan dan pengakuan sosial terhadap kaum perempuan dan keluarganya

dalam masyarakat dan balas jasa terhadap orang tua ( Lanata 2005 ) .

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah penulis

mengkaji lebih dalam tentang upacara perkawinan khususnya budaya yang

11
terkandung nilai-nilai pancasila dalam kearifan lokal upacara perkawinan

masyarakat Boti kecamatan Ki’e kabupaten Timor Tengah Selatan ( TTS ) karena

menurut penulis budaya yang terkandung nilai-nilai pancasila dalam kearifan

lokal upacara perkawinan sangat penting untuk diteliti dan memiliki makna

tersendiri dalam suatu proses perkawinan secara adat sehingga perlu untuk

menjadi bahan penelitian bagi penulis.

B. Konsep

1. Nilai-nilai Pancasila

1. Nilai Ketuhanan

Didalam pancasila sila pertama yang berbunyi “ Ketuhanan Yang Maha Esa”
terkandung nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan adalah nilai yang menggambarkan
bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang memiliki agama dan menyakini akan
adanya Tuhan. Dengan keyakinan tersebut maka secara langsung harus bertakwa
kepada Tuhan dan menjalankan aturan-aturan yang ada didalam agama oleh setiap
pemeluknya. Dengan kata lain menjalankan semua perintahNya dan menjauhi
segala laranganNya.

Implementasi nilai ketuhanan adalah :

1. Percaya dan takwa terhadap Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing.
2. Hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan
hidup.
3. Saling menghormati dan kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Pengertian Kearifan Lokal

12
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan

budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu

dengan sistem kepercayaan, nilai, norma, hukum adat dan budaya serta

diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Kearifan lokal dilihat dari kamus inggris indonesia terdiri dari 2 kata yaitu

kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal berarti setempat dan wisdom sama

dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapt dipahami

sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat lokal yang

bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan

diikutiolehmasyarakatsekarang.

Kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis,

berkembang dan diteruskan oleh populasi tetentu yang terintegrasi dengan

pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. kearifan lokal adalah

sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan

oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam

dan budaya sekitarnya.

Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal

di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan

kegiatan masyarakat pedesaan.

Ciri-cirinya adalah:

a. Mampu bertahan terhadap budaya luar.

b. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.

13
c. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam

budaya asli.

d. Mempunyai kemampuan mengendalikan.

e. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Gobyah dalam “berpijak pada kearifan lokal” dalam (http://www.balipos.co.id,

didowload pada 17/9/2013), menyatakan bahwa kearifan lokal (local genius)

adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal

merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang

ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat

maupun kondisi geografis dalam arti luas.

Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-

menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi

nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal. Secara konseptual, kearifan

lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar

pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara

tradisional.

Kearifan lokal merupakan nilai yang dianggap baik dan benar sehingga

dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan adat

dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta

dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara

alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan

sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan. Apabila suatu tindakan

dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara

14
terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap

baik atau mengandung kebaikan.

Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh

penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.

Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan

masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik

dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal

berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan

pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam

sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily

problem solving).Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik

dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu

masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal

bersemayam pada budaya lokal (local culture).

Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah) merupakan istilah yang

biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional

(Indonesia) dan budaya Global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh

masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari

budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain.

Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan

budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan

yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi

sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem

15
religi, dan kesenian. Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen

Sosial RI) dianggap pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai

strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat

lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Dengan pengertian-pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar

nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai

daya-guna untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga

secara universal yang didamba-dambakan oleh manusia. Dari definisi-definisi

itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang

dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar

mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan

memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi.

Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita,

legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum

setempat. Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika

masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan

mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah,

kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.

Jenis-jenis kearifan lokal, antara lain;

1. Tata kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok

sosial (kades).

2. Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional

yang mengatur etika.

16
3. Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk

melestarikan alam.

4. Pemilihan tempat dan ruangan

3. Perkawinan Adat Masyarakat Boti

Bagi warga masyarakat Boti Dalam, adat kawin mawin atau perkawinan
secara adat hanya berlangsung di lingkungan sesama sukunya. Bila ada pria (laki-
laki) dari luar suku Boti Dalam yang jatuh hati dengan wanita asli suku Boti
Dalam dan bila berniat untuk memperistrinya, maka pria tersebut harus berjanji
bahwa Ia bersedia mengikuti tradisi Suku Boti Dalam.

Demikian juga sebaliknya, bila terjadi ada gadis suku Boti Dalam menjalin
hubungan dengan laki-laki diluar sukunya, maka dia hanya diperkenankan
menetap di kampung Adat Boti Dalam, apabila pria idamannya itu ikhlas untuk
mengikuti adat istiadat suku Boti Dalam dan tinggal dalam lingkungan suku Boti
Dalam.

Adat perkawinan suku Boti Dalam terdiri dari beberapa tahapan yang
membutuhkan proses waktu tiga tahun lamanya, mulai dari proses melamar
(masuk minta) hidup berkeluarga, sampai dengan peresmian adat setelah tiga
tahun, kedua anak manusia tersebut tinggal serumah.

Tahap-tahap Perkawinan suku Boti :

A. Masuk Minta

Untuk memperoleh seorang istri yang akan mendampingi hidupnya dalam


rumah tangga, pertama-tama keluarga anak laki-laki yang diwakili seorang tua
adat, menghadap orang tua si gadis.

Setelah kedua belah pihak saling melakukan tegur sapa, maka keluarga anak
laki-laki segera mengutarakan isi hatinya menurut tutur adat setempat, bahwa
kehadiran mereka untuk mencari tahu, apakah anak gadisnya sudah mempunyai
calon suami atau belum.

Jika jawaban yang diperoleh, ternyata si gadis telah dilamar orang, maka
pembicaraan lebih lanjut tidak dapat diteruskan. Namun apabila jawabannya
belum ada yang melamar atau belum mempunyai jodoh, maka pada saat itu juga

17
keluarga laki-laki akan menyampaikan maksudnya bahwa kedatangan mereka itu
untuk melamar anak gadisnya.

B. Ikatan Adat

Apabila orang tua si gadis menerima lamarannya, maka acara berikutnya


adalah pihak keluarga laki-laki menyerahkan syarat adat sebagai ikatan berupa
satu botol gula air (minuman tradisional yang berasal dari pohon nira) disertai satu
keping uang logam perak bernilai 25 rupiah atau 50 rupaih. Hanya inilah
persyaratan adat yang diserahkan kepada keluarga perempuan.

Setelah menyerahkan syarat adat tersebut, maka orang tua si gadis dengan rela
hati akan menyerahkan anaknya tinggal serumah dengan laki-laki yang
melamarnya.

Namun sebelumnya kepada pasangan baru yang akan mengarungi bahtera


rumah tangga, diberikan nasehat khusus oleh orang tua mereka masing-masing,
yang intinya sama yaitu agar mereka bahu membahu bekerja keras memeras
keringat mengolah hidupnya sehingga kelak dapat menjadi manusia yang berguna.
Kepada mereka juga diingatkan agar mematuhi aturan adat, selalu berbuat baik
kepada sesama, menjaga dan merawat lingkungan alam sekitar, tidak merusak
hutan atau membunuh binatang yang ada di dalamnya, hemat dalam hidup,
menabung bila ada kelebihan apabila ada kesulitan sudah ada persediaan

C. Tinggal Serumah

Setelah mendapat restu dari kedua orang tua si gadis bahwa secara adat
mereka boleh tinggal serumah, maka sejak itu bahtera rumah tangga dijalani.
Seperti sebuah permulaan yang sulit, maka mereka harus memulai dari bawah
yaitu membongkar tanah, membersihkan akar-akar rumput, memberi pupuk,
menanti musim hujan, kemudian menanaminya dengan berbagai jenis bibit.
Ketika bibitnya tumbuh, mereka harus membersihkan rumput, menggemburkan
tanahnya, menjaganya agar tidak diganggu hama dan penyakit.

Bila tiba saatnya musim panen, dan upacara adatnya telah dilaksanakan,
mereka harus bekerja keras mengumpulkan hasilnya, membersihkan dan
menyimpan selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari harus pandai
mengatur, mana yang bisa dijual untuk membeli kelengkapan alat rumah tangga
atau kebutuhan hidup lainnya.

Namun tidak boleh dilupakan, mereka harus mengaturnya dengan baik, agar
persiapan syukuran adat setelah tiga tahun hidup berkeluarga dapat terlaksana
karena merukapan kewajiban yang harus dilaksanakan, sebagaimana yang telah
diikrarkan bersama dihadapan kedua orang tuanya.

18
Apabila sampai terjadi ikrar tersebut tidak dilaksanakan, maka hidup mereka
tidak akan luput dari musibah dan bencana, entah berupa sakit, penderitaan
maupun gangguan lainnya.

D. Syukuran Adat

Setelah tiga tahun mengarungi bahtera rumah tangga, tiga tahun lamanya
menyusun ekonomi rumah tangga, banyak suka dan duka dilalui, itulah kehidupan
yang tidak akan terbebaskan dari sisi gelap dan terang dalam hidup berumah
tangga menurut masyarakat suku Boti.

Sebagai sebuah keluarga yang bernaung di bawah aturan adat, upacara


syukuran setelah tiga tahun hidup berkeluarga mutlak harus dilaksanakan karena
itu semua bahan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pesta adat tersebut
jauh-jauh hari telah dipersiapkan dan merupakan tanggung jawab kelurga baru
tadi.

Setelah pesta selesai dilaksanakan, maka resmilah kedua anak manusia ini
menjadi suami istri yang sah menurut hukum adat Boti, dan ini berarti proses
waktu yang dibutuhkan oleh warga suku Boti untuk dapat hidup secara sah sesuai
adat istiadat yang diwariskan leluhurnya adalah tiga tahun lamanya.

E. Upacara Menyambut Kelahiran

Dalam kehidupan rumah tangga, kehadiran seorang bayi bagi sebuah keluarga
suku Boti diterima sebagai berkat paling berharga dari Tuhan Maha Pencipta.
Masyarakat suku Boti menyambutnya dengan penuh rasa syukur melalui sebuah
upacara adat.

Pada saat melahirkan, menurut adat suku Boti, sang ibu dan bayinya, hanya
tinggal dalam rumah selama empat hari, bersama seorang pembantu wanita yang
secara khusus ditugaskan untuk menjaga, melayani dan merawatnya.

Ada sebuah syarat lain yang dijalankan selama empat hari tersebut, bahwa
tempat pembaringan ibu dan bayinya di tempatkan di dekat tungku api yang
baranya selalu menyala.

Menurut kepercayaan warga Boti, kehangatan api bagi si bayi dan ibunya
adalah untuk mendapatkan kekuatan, memulihkan tenaga, memberikan semangat
hidup.

Empat hari beristirahat bagi sang ibu merupakan saat untuk mengembalikan
kelelahan tubuh yang amat menegangkan dalam hidupnya. Sedangkan empat hari

19
bagi si bayi merupakan kesempatan pertama menikmati dunia baru, di mana ia
mendapat kekuatan dari kehangatan pelukan dan air kehidupan dari susu ibunya.

Saat ini ia dengan bebas menangis, meronta-ronta semaunya. Dan setelah


empat hari berlalu, ibu bersama bayinya diperkenankan keluar rumah setelah
melaksanakan upacara adat.

Setelah empat hari lamanya mengurung diri di dalam rumah, ibu bersama
bayinya akan diterima dengan upacara adat yang telah dipersiapkan para tetua
adat setempat. Untuk pesta syukuran ini semua keperluan upacara telah
dipersiapkan sebelumnya.

Ketika saatnya tiba, ibu bersama bayinya ditemani pembantu yang merawat
mereka, telah siap berdiri di depan pintu rumah bagian dalam, sementara di
luarnya telah menanti para tetua adat yang siap menyambutnya. Pada saat inilah
berlangsung tegur sapa dalam bahasa Timor yang terjemahannya sebagai berikut :

 Tua Adat (TA) : Kamu berasal dari mana, Ibu Bayi (IB) : kami berasal
dari Lunu

 Tua Adat (TA) : Kamu hendak kemanaIbu Bayi (IB) : kami ingin ke Seki
 Tua Adat (TA) : Untuk apa kamu ke sana Ibu Bayi (IB) : Mau memetik
sirih dan pinang

 Tua Adat (TA) : kamu datang membawa apa (kalau bayinya perempuan
ibunya akan menjawab)

 Ibu Bayi (IB) : Kami datang membawa Ike dan Suti (peralatan menenun)

 Tua Adat (TA) : Bekerjalah dengan sepenuh hati untuk memperindah


hidupmu (kalau bayinya laki-laki ibunya akan menjawab)

 Ibu Bayi (IB) : Kami datang membawa parang dan kapak

 Tua Adat (TA) : Bekerjalah dengan sungguh-sungguh agar hidupmu


berhasil

Setelah dialog singkat usai, ibu bersama bayinya keluar dari dalam rumah,
menyalami tetua adat yang telah menanti di luar bersama warga setempat, sambil
menikmati sirih pinang yang disuguhkan. Selanjutnya ia diantar menuju sungai
(mata air) Sesampainya di tempat ini sang ibu mencelupkan kedua kakinya dalam
air, kaki bayinya kemudian dibasuh.

20
Setelah semuanya dijalani, mereka akan kembali ke rumah, disambut
keloneng gong dan gedebam tambur, sebagai pertanda warga ikut bersuka cita,
karena telah bertambah satu lagi jumlah penduduk Suku Boti.

Pada kesempatan ini pada pergelangan tangan dan kaki si bayi dilingkar
seutas benang berbentuk gelang sebagai simbol bahwa bayinya belum mempunyai
nama panggilan. Ini berarti ia harus menanti sampai usianya sudah empat bulan,
barulah berhak memperoleh nama panggilan sendiri.

Setelah bayi berumur empat bulan, maka akan dilangsungkan upacara


pemberian nama, yang dipimpin oleh tetua adat setempat. Di rumah orang tua si
bayi, telah dibentangkan selembar tikar yang di atasnya tersedia dua buah
tempurung berisi air yang telah diberi doa secara adat. Dihadapan warga yang
hadir, air dalam tempurung kemudian dipercikkan kepada si bayi yang dilakukan
oleh tetua adat.

Untuk memulai acara pemberian nama, syaratnya harus menunggu


bayinya menangis.

Di saat sedang menangis, masing-masing warga yang hadir secara


bergiliran mengucapkan nama-nama yang ada hubungannya dengan silsilah
keturunan warga Suku Boti seperti, Molo, Nune, Heka, Tosi, Woi, dan yang
lainnya.

Pada saat penyebutan salah satu nama tadi bila tiba-tiba si anak berhenti
menangis, maka nama yang disebutkan terakhir itulah yang akan ditetapkan
sebagai nama dari bayi tadi. Nama inilah yang nantinya menjadi nama panggilan
bagi si bayi sepanjang hidupnya.

Menurut kepercayaan masyarakat Suku Boti, ada makna yang tersirat


dibalik sikap menangis dan berhenti menangis dari si bayi yang masih suci
jiwanya. Menangis berarti ia meminta diberi nama, Berhenti dari menangis
pertanda ia senang dengan nama yang diucapkan terakhir itu.

Potong rambut atau cukur rambut yang dilakukan terhadap anak-anak suku
Boti telah berlangsung sejak turun temurun. Anak-anak yang lahir baru akan
dicukur rambutnya apabila ibunya telah hamil lagi.

Apabila kita melihat seorang anak dari suku Boti rambutnya dicukur, ini
merupakan pertanda bahwa ibunya sedang hamil. Menurut kepercayaan
masyarakat suku Boti, kematian merupakan bagian dari kehidupan.

Hidup dan mati merupakan satu kesatuan yang tak dapat dihindarkan oleh
setiap manusia. Sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya, kematian bukanlah
akhir dari segalanya, sebab dibalik kematian ada kehidupan yang baru.

21
Dalam pengertian yang lebih dalam, mereka mempercayai, apa yang telah
diperbuat oleh manusia selama hidup di dunia, akan menentukan jalan hidupnya
sesudah mengalami kematian. Semua perbuatannya selama hidup di dunia entah
baik ataupun jahat, akan selalu diketahui oleh Uis Pah dan Uis Neno, dan hanya
perbuatan yang baik sajalah yang akan diterima oleh Sang Pencipta, sedangkan
perbuatan jahat akan mendapat hukuman atau ganjaran.

Karena itu peristiwa kematian bagi suku Boti merupakan kenyataan yang
harus diterima sebagai bagian dari kehidupan manusia dan harus diupacarakan
secara adat.

Bila ada warga yang meninggal dunia, maka keluarga duka akan segera
menyampaikan peristiwa kematian tersebut kepada kepala suku Boti Dalam dan
meminta petunjuk lebih lanjut untuk acara penguburannya.
Sesuai dengan adat yang berlaku, setiap warga suku Boti Dalam yang
meninggal dunia, tidak boleh jenazahnya disimpan lebih dari satu hari, artinya
paling lama satu hari harus sudah dikebumikan.

Orang Boti Dalam yang meninggal dunia mayatnya tidak boleh


dimasukkan ke dalam peti, mereka hanya menggunakan dua batang kayu bulat
yang digunakan untuk mengusungnya.

Sebelum jenazah dikuburkan, terlebih dahulu saudara perempuan dari


orang yang meninggal dunia membuang uang perak seratus rupiah ke tanah. Uang
ini kemudian dipungut oleh Toinamaf (orang yang ditunjuk sebagai penanggung
jawab sekaligus pemimpin upacara).

Toinamaf kemudian berjalan paling depan menuju ke tempat pelaksanaan


pemakaman suku Boti Dalam yang bernama Ayo Fanu, diikuti oleh pengusung
mayat dan warga lainnya. Setibanya di lokasi, toinamaf membuat goresan di tanah
dengan uang seratus perak tadi, sebagai isyarat bahwa di situlah tempat kuburnya
mayat tersebut. Secara serempak warga yang sudah ditugaskan langsung menggali
di tempat toinamaf menggoreskan uang tadi.

Selesai menggali liang lahat, toinamaf membuang uang seratus perak tadi
ke dalam liang kubur, disusul jenazah. Setelah ditutup dengan tanah, di atas
makam diletakkan satu tandan pisang, dua buah kelapa, tujuh bulir jagung dan
satu ekor anak babi yang telah dibunuh. Tujuannya adalah agar bahan makanan
tadi menjadi bekal bagi orang yang meninggal menuju alam baka.

Ketika acara penguburan selesai dilaksanakan, Toinamaf bersama warga


suku lainnya kembali ke rumah duka untuk mengikuti acara lanjutan, antara lain
menikmati makanan, dan minuman yang telah disiapkan. Pada kesempatan ini

22
dibicarakan pula hal-hal yang berhubungan dengan rencana mengadakan upacara
adat berikutnya.

Pada hari keempat keluarga duka kembali membuat upacara adat dengan
membunuh dua ekor babi, satu besar dan satu kecil. Babi besar untuk jamuan
makan bersama, sedangkan babi kecil untuk disimpan dalam rumah duka.
Bersamaan dengan ini juga disiapkan dua buah tempat sirih pinang (okomama).
Tempat sirih pinang tersebut yang satu untuk kaum wanita yang namanya okusloi
dan satu lagi untuk kaum laki-laki yang disebut alumama. Kedua tempat sirih
pinang ini digantung pada sebatang tiang yang ada dalam rumah keluarga duka.

Dan alat-alat yang digantung ini baru dapat dibuka setelah tiga tahun
peringatan meninggalnya anggota keluarga mereka. Setelah penantian yaitu tiga
tahun meninggalnya anggota keluaga mereka, diselenggarakan acara adat untuk
memperingatinya. Pada kesempatan ini tempat sirih pinang yang digantung pada
tiang rumahnya, diturunkan dan dibuka isinya kemudian dibagi-bagikan kepada
anak-anak yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal.

Menurut keyakinan warga suku Boti, orang yang sudah meninggal


mempunyai tanggung jawab menjaga dan menyuburkan lingkungan hutan di
sekitarnya. Karena itu, di pekuburan ayofanu, warga setempat selalu
membersihkannya dan menanaminya dengan berbagai jenis pepohonan.

Pada setiap musim panen yang berlangsung setahun sekali, segenap warga
Boti selalu menyambutnya dengan mengadakan upacara adat yang dipimpin
langsung oleh kepala Suku Boti. Sebelum upacara dimulai, segenap warga Boti
dilarang menikmati hasil panen mereka yang ada di kebun masing-masing.

Apabila ada warga yang melanggar aturan adat ini, maka yang
bersangkutan akan mendapat hukuman, berupa sakit atau musibah dalam
hidupnya. Upacara panen ini berlangsung di hutan Fainmaten, tempat khusus bagi
suku Boti untuk mengadakan doa dan persembahan kepada Uis Pah dan Uis
Neno. Bahan-bahan yang dipergunakan antara lain sejumlah alat masak-memasak,
peralatan makan dan minum, beras, babi, kambing dan sapi.

Hewan-hewan ini akan disembelih sebagai hewan kurban, bagian dari


syarat adat, juga disiapkan batangan jagung berbulir, tepung jagung dan jagung
titi dicampur beras yang disimpan dalam tempat khusus. Bagi warga suku Boti,
hutan fainmaten, dianggap sebagai hutan keramat yang tidak boleh dimasuki oleh
kaum perempuan. Karena itu yang memasak dan melayani dan mengikuti upacara
syukuran panen di hutan fainmaten adalah kaum laki-laki.

Doa syukur ini dipimpin langsung oleh kepala suku Boti sambil berdiri di
depan tola yaitu altar adat, yang terbuat dari sebatang kayu yang berdiri tegak
dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan dasarnya tertanam dalam tanah. Di sekitar

23
kayu tegak tersebut, disusun batu-batu ceper, sebagai tempat untuk menyimpan
bahan-bahan persembahan, sambil meniupkan seruling yang selalu bergantung di
lehernya. Segenap warga suku Boti yang hadir dalam upacara ini sudah
mengetahui maksud dari bunyi suling, dan dengan sendirinya mereka akan datang
mendekat ke altar.

Setelah kepala suku memanjatkan doa-doa yang disampaikan dalam


bahasa adat sebagai ungkapan syukur atas panen yang mereka peroleh, kemudian
diteruskan dengan menyembelih seekor babi berbulu merah. Darah yang
mengucur segera ditadah, kemudian diteteskan pada batu yang telah disiapkan
dekat altar. Selanjutnya menaruh tiga genggam tepung jagung, tiga genggam
jagung titi bercampur beras, masing-masing tiga kumpul di atas batu yang terletak
di dekat altar.

Selesai menghaturkan persembahan tadi, kepala suku Boti sebagai


pemimpin upacara akan menutupnya dengan memanjatkan doa memohon kepada
Uis Pah agar meneruskan doa-doa persembahan mereka yang amat sederhana
kepada Uis Neno.

Selesai mengadakan doa syukur kepada Uis Pah, dilanjutkan doa syukur
kepada Uis Neno yang juga dipimpin oleh ketua suku Boti. Adapun tempat
melaksanakan doa ini adalah di puncak Bukit Fainmaten. Untuk mencapai tempat
ini warga harus menapaki 73 anak tangga yang dibuat dari batu alam. Kepala suku
berjalan paling pertama ke tempat pelaksanaan doa syukur ini. Setelah sampai di
puncak bukit kepala suku akan meniup suling, sebagai pertanda bagi warga yang
berada dekat altar persembahan yang berada di bawah pohon beringin tua.

Setelah semua hadir, pimpinan upacara menyampaikan doa dalam bahasa


adat sebagai ungkapan rasa syukur atas perlindungan dan keselamatan yang
diberikan Uis Neno kepada warga Boti, melalui hasil panen yang cukup. Selesai
berdoa kemudian dilanjutkan dengan menyembelih babi hitam. Darah segar yang
pertama diteteskan pada batu persembahan yang sudah disiapkan dekat altar.
Kemudian dilanjutkan dengan meletakkan tiga kumpul tepung jagung dan tiga
jagung titi campur beras (setiap kumpul satu genggam) di batu yang telah
disiapkan. Semua bahan persembahan ini disampaikan kepada Uis Neno. Sebagai
penutup acara, kepala suku Boti memanjatkan doa kepada Uis Neno bahwa apa
yang mereka persembahkan itu jauh dari kesempurnaan dan memehon dengan
segala kerendahan hati, kiranya Sang Dewa sudi menyempurnakannya, seraya
memohon berkat dan perlindungan bagi segenap warga Boti agar diajauhkan dari
dosa, musibah dan aneka bencana.

E. Kerangka Berpikir

24
Nilai-nilai pancasila Kearifan lokal
n

Nilai-nilai perkawinan
adat boti

keterangan dari kerangka berpikir diatas adalah :

Nilai-nilai pancasila memiliki makna yang mendalam baik dari sejarah

pembentukan dan pengamalanya. Pancasila sendiri merupakan dasar negara dan

merupakan landasan untuk menuju cita-cita bangsa Indonesia dan untuk

memotivasi bangsa dalam mencapai cita-cita tersebut. Berkaitan dengan nilai-nilai

pancasila di Indonesia sangat berkaitan erat dengan adat istiadat yang sangat

kental dan menjadi ciri khas darapida bangsa Indonesia sendiri. Adat istiadat itu

sendiri dewasa ini masih sangat kental dan tetap dijaga pengamalan-

pengamalannya seperti di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara umum, Propinsi

NTT masih sangat kental dan bergantung terhadap adat istiadat, budaya dan

merupakan kearifan lokal sebagai sistem filosofi, nilai, norma, hukum adat, etika,

lembaga sosial dan sistem kepercayaan melalui upacara. Sumber kearifan lokal

25
yang mampu menata kehidupan suatu komunitas adalah sumber kearifan yang

diwadahi dari sistem kepercayaan (religi).

Senada dengan hal diatas perkawinan merupakan salah satu kearifan lokal

masyarakat Boti yang dapat berlangsung sesuai tata cara yang telah diwariskan

oleh nenek moyang mereka dengan berlandaskan pada nilai-nilai perkawinan adat

dan kebiasaan yang diberlakukan di kalangan sendiri khususnya pada masyarakat

Boti dalam.

Tata cara adat perkawinan masyarakat Boti terdiri dari beberapa tahap yang

membutuhkan waktu selama tiga tahun lamanya mulai dari peminangan, hidup

berkeluarga (berumah tangga) sampai dengan peresmian secara adat. Tahap-tahap

yang harus dilewati dalam adat perkawinan masyarakat Boti sebagai berikut:

1. Peminangan (Toit Bife); sebelum masuk pada proses atau tahap perkawinan

harus melewati suatu tahapan yang oleh masyarakat suku bangsa dawan

menyebut tahap “Toit Bife”(meminang gadis) dan memberikan tanda ikatan.

Bagi masyarakt Boti peminangan dilakukan oleh perantara yang merupakan

utusan pihak laki-laki. Perantara ini disebut “nete lenan” yakni seorang tua adat

mendatangi orang tua gadis.

2. Ikatan perkawinan (Mafutus Neo Mafet Manonet); tahap ini merupakan

tindak lanjut dari kesepakatan waktu yang sudah ditentukan pada tahap

peminangan. Ikatan adat itu disebut “Mafut nekat” merupakan tahap

penyerahan syarat dalam ikatan adat. Dalam masyarakat Boti Dalam,istilah

penyerahan syarat ikatan adat berupa “Tua boit mese”, Noin sol mese”, maka

orang tua gadis dengan rela hati menyerahkan anak gadis kepada keluarga

26
laki-laki dan tinggal serumah dengan laki-laki yang melamarnya sebagai

suami istri.

3. Tahap berumah tangga; pada tahap ini muncul adat perkawinan masyarakat

Boti, belum sah secara penuh dalam suatu proses perkawinan. Ini sebagai tahap

awal untuk menjalankan tanggung jawab secara mandiri dalam kerangka

mempersiapkan segala kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan di dalam rumah

tangga sebagai suami dan istri.

Berkaitan dengan hal tersebut syarat-syarat cara perkawinan ini

diberlakukan hanya semata-mata untuk tetap mempertahankan kemurnian

dan keberlanjutan adat kebiasaan yang semakin terkikis oleh transformasi

kebudayaan yang semakin mendesak dan menggeser kebiasaan-kebiasaan

yang diwariskan oleh leluhur mereka.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di kecamatan Ki’e kabupaten Timor Tengah Telatan

yang sesuai dengan judul penelitiany yang diangkat oleh peneliti yaitu Nilai-nilai

Pancasila dalam Kearifan Lokal Upacara Perkawinan Masyarakat Boti,

Kecamatan Ki’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan”.

27
Alasan peneliti memilih daerah ini sebagai lokasi penelitian adalah sebagai

berikut :

1. Di kecamatan ki’e kabupaten timor tengah selatan merupakan tempat

tinggal masyarakat suku boti.

2. Penulis mengenal secara sosial maupun budaya masyarakat boti

sehingga memudahkan peneliti berkomunikasi atau berinteraksi

dengan masyarakat setempat untuk mengumpulkan informasi atau

data yang berkaitan dengan penelitian ini

3. Selain itu, lokasi peneliti merupakan daerah tempat tinggal peneliti

berasal, sehingga akan lebih mudah bagi peneliti mendapatkan data

dari masyarakat maupun instansi yang terkait dengan penelitian

nantinya dan lebih mudah pula berinteraksi dengan masyarakat

sehingga akan mempermudah dalam hal memperoleh data dari

informan.

B. Subjek Penelitian

Subjek penilitian ini adalah Tokoh adat, Tokoh masyarakat Boti yang

berada di kecamatan kie kabupaten timor tengah selatan .

C. Teknik pengumpulan data

28
Menurut Moleong ( 2004 : 135 ) di samping menggunakan metode yang

tepat juga perlu memilih teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Adapun

teknik pengumpulan data yang di pakai dalam penelitian ini yaitu:

1) Wawancara mendalam sebagai teknik utama yaitu data yang di kumpulkan

dengan hasil dialog langsung dengan responden berdasarkan acuan

pertanyaan yang di susun.

2) Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung di lokasi penelitian

untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian dan deskripsi

permasalahan.

3) Dokumentasi pengambilan data yang di peroleh dari dokumen-dokumen

dan benda – benda tertulis lainya seperti buku-buku notulen harian dan

sebagainya.

D. Jenis dan sumber data

1) Data primer : jenis data yang di peroleh langsung dari obyek penelitian

sebagai bahan informasi yang di cari ( Azwar, 1998 : 91 ). Data yang di

29
maksud adalah data yang di peroleh langsung dari informan dalam hal ini

Tokoh – Tokoh adat dan Tokoh masyarakat setempat.

2) Data sekunder : yaitu data yang mendukung data primer dan dapat di

peroleh di luar obyek penelitian ( Hadi, 1993 : 11 ). Yang menjadi data

sekunder dalam penelitian ini adalah data tentang Nilai – nilai pancasila

dalam kearifan lokal upacara perkawinan masyarakat boti dan peta lokasi

yang di peroleh dari kecamatan setempat yang berkaitan dengan penelitian

ini.

E. Teknik Analisis Data

Data yang dapat di kumpulkan dan di analisis dengan menggunakan

deskriptif kualitatif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi dengan

menggunakan analisis kualitatif. Data yang telah di kumpulkan baik data primer

maupun sekunder yang di peroleh dari lapangan yang akan di eksplorasi secara

mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpilan yang dapat

menjelaskan masalah yang akan di amati.

Dalam penelitian ini data yang telah di kumpulkan akan di analisis secara

deskriptif kualitatif yakni data yang di peroleh akan di analisis dalam bentuk kata-

kata lisan maupun tulisan . teknik ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang

umum dan menyeluru dari obyek penelitian. Serta hasil – hasil penelitian baik

dari hasil studi lapangan maupun studi literatur untuk kemudian memperjelas

gambaran hasil penelitian.

30
F. Jadwal penelitian.

Pra penelitian : 1 minggu

Pengumpulan data : 5 minggu

Konsultasi : 3 minggu

Pengolahan data : 2 minggu

Hasil penelitian : 2 minggu

Jumlah : 13 minggu

G. Biaya pennelitian

31
NO Jadwal kegiatan Jumlah biaya

1. Tahap persiapan

Penyusunan proposal penelitian Rp. 100. 000

Konsultasi Rp. 150. 000

Seminar Rp. 250. 000

Pembuatan instrumen penelitian Rp. 50.000

Izin penelitian Rp. 50.000

2. Tahap pelaksanaan

Melaksanakan penelitian Rp. 800. 000

3. Tahap penyusunan laporan

Menyusun laporan penelitian Rp. 200.000

Ujian hasil penelitian Rp. 250.000

Perbaikan laporan Rp. 100.000

Laporan penelitian Rp. 200.000

Jumlah Rp. 2. 150. 000

32
H . Personalia Penelitian

Yang melaksanakan penelitian ini adalah :

1. Peneliti

Nama : Ricky A. Nomleni

Nim : 1301072058

Semester : VIII

Jurusan : PPKn

Fakultas : keguruan dan ilmu pendidikan

2. Pembimbing I

Nama : Dr. A. Deo Datus, MA

Nip : 19440822 19607 1001

3. Pembimbing II

Nama : Dr. L. Lobo, M. Kes

Nip : 19591231 198702 1005

33
DAFTAR PUSTAKA

I Made satyananda. Adat budaya suku boti.dalam

http://varianwisatabudayasundakecil.biogspot.com.

Ayatrohaedi.1986. pengertian kearifan lokal.dalam http://kubus kecil blogspot.com/

di akses pada tanggal 15/05/2015

Gobyah “ berpijak pada kearifan lokal ” dalam ( http://www.balipos.co.id di akses

pada tanggal 25/05/2015

Suryana ( 2008 ) “ Upacara perkawinan Palembang”. skipsitidakditerbitkan.

Kupang. SEJARAH FKIP UNDANA.

Lanata ( 2005 ) “ Belis adat perkawinan masyarakat desa Likwatung kecamatan Alor

tengah utara kabupaten Alor”. Skripsitidakditerbitkan. Kupang. SEJARAH FKIP

UNDANA.

34
35

Anda mungkin juga menyukai