Anda di halaman 1dari 25

Tugas Individu

ETNOGRAFI KOMUNIKASI

(Etnografi Tradisi dalam Bahasa Katoba/pengislaman sebagai Media Pengembangan


Akhlak Anak pada Masyarakat Muna)

OLEH:

NAMA : WA ODE FIFI

NIM : (C1B117257)

KELAS : C

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
DAFTAR ISI

Daftar Isi.............................................................................1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................2
1.2 Rumusan Masalah...................................................4
1.3 Tujuan.....................................................................4
1.4 Manfaat Penulisaan.................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep...................................................................5
2.1.2 etnografi.........................................................5
2.1.2 Tradisi............................................................6
2.1.3 Simbol Budaya..............................................8
2.1.4 Katoba............................................................9
2.2 Landasan Teori...................................................10
2.2.1 Teori Kode Bicara.......................................10
2.2.2 Teori Media Komunikasi Tradisional.........10
2.2.3 Teori Komunikasi Ritual.............................11
BAB III METODE PENULISAN
3.1 Metode Penulisan.................................................13
3.2 Lokasi Penelitian..................................................13
3.3 Jenis dan Sumber Data.........................................13
3.4 Penentuan Informan.............................................14
3.5 Teknik Pengumpulan Data...................................14
3.6 Teknik Analisis Data............................................15
3.7 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data..................15

BAB IV PEMBAHASAN...............................................16
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan...........................................................23
5.2 Saran....................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.....................................................24

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Katoba adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang dimiliki suku Muna di
Kabupaten Muna dan Kabupaten Muna Barat di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada
hakikatnya, katoba dipahami sebagai ritual pada anak yang memasuki usia dewasa (6-
11 tahun). Pelaksanaan ritual ini terdapat ungkapan adat dan budaya yang dituturkan
secara lisan oleh seorang penutur (iman desa) kepada anak yang diupacarai
(dikatoba). Rentetan upacara dan penyampaian informasi moral dan etika2kepada
anak yang di-katoba adalah hal yang harus tercipta dalam tradisi lisan ini. Meskipun
katoba tergolong ritual siklus kehidupan pada masyarakat Muna, namun keberadaan
sudah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan yang
dimaksud tidak demikian esensial, karena substansi informasi masih tetap bertahan
hingga sekarang. Kuatnya eksistensi katoba ini karena menyatu dengan agama
mayoritas Muna, yakni Islam.

Meminjam istilah Waluyo dan Amali (2013-189) jenis-jenis seni dapat


memberikan edukasi dan pesan2moral, juga termasuk wujud prosesi religi. Tradisi
katoba dilihat dari perspektif ini, disamping sebagai media menyampaikan pesan
moral dan etika pada anak yang dikatoba turut serta juga di dalamnya sebagai proses
religius yang bernapaskan Islam. Bahkan, beberapa kajian ilmiah dikatakan bahwa
ritual ini juga merupakan upaya mengukuhkan dan melegitimasi keislam seorang
anak di Muna (Hadirman 2009; Sarmadan 2013).

Sebagai salah satu bentuk tradisi lisan, katoba dipergunakan sebagai salah satu
media komunikasi tradisional dalam masyarakat Muna dari dulu hingga sekarang.
Bahkan, katoba ini masih dipelihara, dan diwariskan secara turun-temurun oleh
sebagian besar masyarakat Muna, bahkan dalam pekembangannya tidak mengalami
2
benturan dari Islam fanatik di Muna. Bentuk pelaksanaannya pun tidak berubah dari
generasi ke generasi, hanya ada versi-versi tuturan sesuai dengan pengalaman dan
pengetahuan penutur. Akan tetapi, secara hakikat dan substansi adalah sama, yakni
mengajarkan syahadat, penyucian diri, dan nasihat-nasihat moral dan etika pada anak
yang di-katoba. Dilihat dari cara dan proses penyampaiannya, katoba memiliki
kemampuan dalam membawakan pesan (informasi). Meskipun tidak semua
bentuk/jenis kesenian tradisional atau seni pertunjukan rakyat dapat dikategorikan
sebagai media komunikasi tradisional.

Siswayasa, dkk. (1993, 8-9) (dalam Hadirman, 2016) menegaskan tentang hal
ini. Argumentasi di atas menggambarkan bahwa tidak semua kesenian rakyat itu
dapat dikelompokkan sebagai media komunikasi tradisional. Mengenai hal ini,
Siswayasa, dkk. (1993, 8-9) (dalam Hadirman, 2016) mengatakan bahwa kesenian
tradisional hanya dapat digolongkan sebagai media komunikasi tradisional bila
memenuhi unsur-unsur, yaitu: komunikator (sender), pesan yang disampaikan
sehingga terjadi proses komunikasi, dan penerima (receiver). Media komunikasi
tradisional yang 3dimaksudkan dalam penelitian ini adalah saluran (sebagai alat)
yang dimiliki masyarakat secara turun-temurun dan dipergunakan untuk
menyampaikan pesan/informasi/lambang secara lisan atau bukan lisan baik ditujukan
pada individu, kelompok, atau keseluruhan warga yang ikut serta dalam ritual atau
pertunjukan. Keunikan-keunikan lain dari masyarakat Muna terlihat pada komitmen
mereka dalam menghargai, menjaga, dan mentransmisikan adat dan budaya yang
dimilikinya.3

Hingga saat ini katoba juga masih sangat diyakini sebagai salah satu langkah
yang harus ditempuh oleh para orang tua sebelum anak-anak mereka beranjak
dewasa. Masyarakat Muna berpandangan bahwa jika anak-anak mereka tidak
dikatoba (diislamkan) selain anak mereka dianggap belum bersih dan orang tua juga
dianggap telah melakukan perbuatan dosa karena telah melalaikan kewajibannya

3
dalam mengislamkan anak-anaknya. Selain itu masyarakat juga percaya bahwa
katoba sangat penting karena dianggap sebagai bekal bagi sang anak dalam menuju
kedewasaan dalam hal ini adalah berkaitan dengkan perubahan akhlak anak dari tidak
baik menjadi baik.

1.2 Rumusan Masalah

Uraian latar belakang di atas menghasilkan sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa “katoba” (pengislaman) begitu diyakini oleh masyarakat Muna
sebagai media pengembangan akhlak pada anak?

1.3 Tujuan
Tujuan dari tulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh bahasa “katoba” dalam pengembangan akhlak
anak pada masyarakat Muna.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari tulisan ini adalah:
1. Meningkatkan pemahaman anak tentang makna-makna yang terdapat dalam
bahasa “katoba”.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat Muna tentang pentingnya memahami
dan mengamalkan anjuran bahasa “katoba” dalam kehidupan sehari-hari,
bukan hanya sebagai kewajiban yang turun temurun.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Etnografi

Etnografi berasal dari kata ethos, yaitu bangsa atau suku bangsa dan graphein
yaitu tulisan atau uraian. Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan
suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni,
religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah
etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat
atau kelompok (Richards dkk.,1985) (dalam Ahmad, 2010).

Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi, etnografi


merupakan embrio dari antropologi, lahir pada tahap pertama dari perkembangannya
sebelum tahun 1800-an. Etnogarafi juga merupakan hasil catatan penjelajah Eropa
tatkala mencari rempah-rempah ke Indonesia. Koentjaraningrat, 1989:1 (dalam
Ahmad, 2010): “Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama
perjalanannya, antara lain berisi entang adat istiastiadat, susunan masyarakat, bahasa
dan ciri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut”.

Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya merupakan kegiatan


peneliti untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui
fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Etnogarafi adalah pelukisan yang sistematis
dan analisis suatu kebudayaan kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang
dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama.

Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah


etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemberian
pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya

5
melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi
tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda
(signing). Pemakaian tuturan Apa khabar?, Comment alle vous? (bahasa Perancis),
Hoe gaat het? (bahasa Belanda) dengan arti yang sama tentu saja berbeda modus
kemunculannya dengan tuturan Dengan hormat, Dear Sir, Beste Meneer, Hormat
kami, sincerely yours.

2.1.2 Tradisi

Tradisi atau disebut juga dengan kebiasaan merupakan sesuatu yang sudah
dilaksanakan sejak lama dan terus menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, seringkali dilakukan oleh suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama
yang sama.

Pengertian lain dari tradisi adalah segala sesuatu yang diwariskan atau
disalurkan dari masa lalu ke masa saat ini atau sekarang. Tradisi dalam arti yang
sempit yaitu suatu warisan-warisan sosial khusus yang memenuhi syarat yakni yang
tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih tetap kuat ikatannya dengan kehidupan
masa kini.

Tradisi dari sudut aspek benda materialnya adalah benda material yang
menunjukkan dan mengingatkan hubungan khususnya dengan kehidupan masa lalu.
Misalnya adalah candi, puing kuno, kereta kencana, beberapa benda-benda
peninggalan lainnya, jelas termasuk ke dalam pengertian tradisi.

Tradisi yang ada pada masyarakat memiliki tujuan supaya hidup manusia
kaya akan budaya dan nilai-nilai bersejarah. Selain itu, tradisi juga akan membuat
kehidupan menjadi harmonis. Tetapi hal ini akan terwujud jika manusia menghargai,
menghormati dan menjalankan suatu tradisi dengan baik dan benar dan juga sesuai
dengan aturan.

Berikut ini adalah beberapa fungsi dari tradisi:


6
1. Penyedia Fragmen Warisan Historis

Fungsi dari tradisi adalah sebagai penyedia fragmen warisan historis


yang kita pandang bermanfaat. Tradisi yang seperti suatu gagasan dan
material yang bisa dipergunakan orang dalam tindakan saat ini dan untuk
membangun masa depan dengan dasar pengalaman masa lalu. Misalnya
adalah peran yang harus diteladani seperti tradisi kepahlawanan,
kepemimpinan karismatis dan lain sebagainya.

2. Memberikan Legitimasi Pandangan Hidup

Fungsi tradisi adalah untuk sebagai pemberi legitimasi pada


pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan yang telah ada. Semuanya ini
membutuhkan pembenaran agar bisa mengikat anggotanya. Seperti wewenang
seorang raja yang disahkan oleh tradisi deri seluruh dinasti terdahulu.

3. Menyediakan Simbol Identitas Kolektif

Fungsi tradisi adalah menyediakan simbol identitas kolektif yang


meyakinkan, memperkuat loyalitas primodial kepada bangsa, komunitas dan
kelompok. Seperti tradisi nasional dengan lagu, bendera, emblem, mitologi
dan ritual umum.

4. Sebagai Tempat Pelarian

Fungsi tradisi adalah untuk membantu sebagai tempat pelarian dari


keluhan, ketidakpuasan dan kekecewaan kehidupan modern. Tradisi yang
mengesankan masa lalu yang lebih bahagian menyediakan sumber pengganti
kebangaan jika masyarakat berada dalam kritis. Tradisi kedaulatan dan
kemerdekaan di masa lalu bisa membantuk suatu bangsa untuk bertahan hidup
ketika berada dalam penjajahan. Tradisi kehilangan kemerdekaan, cepat atau

7
lambat akan merusak sistem tirani atau kediktatoran yang tidak berkurang di
masa kini.

2.1.3 Simbol Budaya

Geertz (dalam Sobur, 2006: 178) mengatakan bahwa kebudayaan adalah


sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan
melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang
diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia
berkomunikasi, mengekalkan, dan memperkembangkan pengetahuan tentang
kebudayaan dan bersikap terhadap kehidupan ini.

Mengamati apa yang diungkapkan oleh Geertz tersebut dapat diambil sebuah
pemahaman bahwa manusia, sebagai makhluk berbudaya, berkomunikasi dengan
melontarkan dan memaknai simbol melalui jalinan interaksi sosial yang terjadi.
Simbol dengan demikian merupakan sebuah petunjuk dalam memerluas cakrawala
wawasan para masyarakat budaya. Proses komunikasi adalah proses pemaknaan
terhadap simbol-simbol tersebut. Melalui pemaknaan inilah kemudian manusia
mencari tahu dan berbagi mengenai realitas. Melalui pemaknaan ini pulalah manusia
mengambil peranannya dalam kebudayaan.

Syam (2009: 42) mengungkapkan bahwa simbol mengungkapkan sesuatu


yang sangat berguna untuk melakukan komunikasi. Berdasarkan apa yang
disampaikan Syam tersebut, simbol dengan demikian memiliki peran penting dalam
terjadinya komunikasi. Dalam kajian interaksionisme simbolik, simbol sendiri
diciptakan dan dimanipulasi oleh individu-individu yang bersangkutan demi meraih
pemahamannya, baik tentang diri maupun tentang masyarakat.

Pada dasarnya simbol dapat dimaknai baik dalam bentuk bahasa verbal
maupun bentuk bahasa non verbal pada pemaknaannya dan wujud riil dari interaksi
simbol ini terjadi dalam kegiatan komunikasi. Saat seorang komunikator
8
memancarkan suatu isyarat (pesan), baik verbal maupun non verbal, komunikan
berusaha memaknai stimuli tersebut.

Di sinilah terjadi sebuah proses sosial dimana kedua belah pihak berusaha
untuk memberi andil terhadap proses komunikasi yang terjadi saat itu. Karena itu
komunikasi sebenarnya tidak bisa dilihat sebagai sebuah proses sederhana untuk
berinteraksi antar simbol melainkan lebih jauh lagi, komunikasi merupakan proses
interaksi makna yang terkandung dalam simbol-simbol yang digunakan.

Dengan demikian, proses komunikasi dapat pula menjadi sarana yang


digunakan untuk meperkenalkan sesuatu kepada pihak lain melalui lambang yang
digunakannya untuk menyampaikan suatu pesan. Adapun perihal lambang atau
simbol di sini menyangkut tentang simbol verbal yang disampaikan dengan
menggunakan bahasa dan juga lambang yang diperlihatkan melalui kebendaan,
warna, dan hal penunjang lainnya.

https://communication.binus.ac.id/2015/12/04/simbol-dalam-budaya-merupakan-
bagian-dari-komunikasi/.

2.1.4 Katoba (pengislaman)

Jaya (2015) (dalam Hadirman, 2016) mengatakan bahwa katoba secara


etimologis berasal dari kata “toba” yang diserap dari bahasa Arab, yakni dari kata
taubah (tobat). Pandangan filosofis orang Muna, muncul sebuah klaim bahwa anak-
anak yang belum dewasa (6-11 tahun) belum memiliki kemampuan untuk memilah
baik-buruk. Atas dasar inilah, tradisi katoba menjadi suatu keharusan dilaksanakan
pada anak yang menginjak dewasa. 9Pelaksanaan tradisi katoba dapat pula dilekatkan
padanya sebagai bentuk learning social, yakni bentuk proteksi dini yang diupayakan
orang tua (diwakili oleh Iman Desa) untuk mengajarkan nilai-nilai Islam dan praktik
sosio-kultural.

9
Islam tergambar pada isi katoba berupa lafal dua kalimat syahadat (Asshadu
Alla Ilaha Ilallah, Wa Asshadu Annamuhammadan Abduhu Warasulullah). Tahapan-
tahapan transfer pengetahuan dari imam desa kepada anak yang di-katoba (1)
menghindari perbuatan negatif (tercela) di mata Tuhan dan manusia, menjalankan
syariat Islam, dan mengetahui cara bersuci dan air yang suci lagi
mensucikan.Ungkapan syahadat, merupakan upaya orang tua untuk melegitimasi
status keislaman seorang anak di Muna (Sarmadan 2013) (dalam Hadirman).

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Kode Bicara

Gerry Phillipsen dalam teorinya ini berusaha menjelaskan bagaimana


keberadaan kode bicara dalam suatu budaya. Dan juga bagaimana kekuatan dan dan
substansinya dalam sebuah budaya. Lebih lanjut ia menjelaskan kiranya terdapat lima
proporsi dalam teori ini yaitu dimanapun ada budaya, disana pasti ada kode bahasa
yang menjadi ciri khas. Sebuah kode bahasa mencangkup sosiologi budaya, retorika
dan psikologi budaya. Pembicaraan yang signifikan bergantung pada kode bicara
yang digunakan pembicara dan pendengar untuk mengkreasikan dan
menginterprestasi komunikasi mereka Berbagai istilah aturan dan premis terkait
dalam pembicaraan itu sendiri Kegunaan suatu kode bicara adalah untuk menciptakan
kondisi yang memadai. Kondisi yang terkait dengan prediksi, penjelasan dan kontrol
guna menciptakan formula wacana tentang kecerdasan, kebijaksanaan dan moralitas
perilaku dalam berkomunikasi.

2.2.2 Teori Media Komunikasi Tradisional

Coseteng & Nemenzo (Trisnawati 2011) mendefinisikan media tradisional


sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan, dan visual yang dikenal dan diakrabi
rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukan untuk mereka
dengan maksud menghibur, menjelaskan, mengajar, dan mendidik (mengajar).
10
Walujo (2011, 2) (dalam Hadirman, 2016) mengatakan bahwa media tradisional
selain berfungsi memberikan hiburan, media tradisional dapat memberikan informasi
bagi penontonnya. Media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-
simbol yang mudah dimengerti penggemarnya. Selaras dengan itu, para ahli media
tradisional seperti Ranganath (1976) dan Dissayanake (1977) menyatakan sifat-sifat
umum media tradisional yaitu mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada,
menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel,
memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan-pesan yang dibawanya, komunikasi
dua arah, dan sebagainya.

Fungsi media tradisional menurut kedua ahli di atas, yakni sebagai sarana
hiburan, sarana pendidikan, sarana kontrol sosial, sarana deseminasi informasi, sarana
pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya bangsa dan sarana perekat persatuan
dan kesatuan bangsa (Walujo 2011, 3) (dalam Hadirman, 2016). Silvana (2007)
dalam (Santoso dkk. 2014, 234) komunikasi tradisional adalah proses penyampaian
pesan dari satu pihak ke pihak lain, dengan menggunakan media tradisional yang
sudah lama digunakan di suatu tempat sebelum kebudayaannya tersentuh oleh
teknologi modern. Santoso dkk (2014, 235) mengemukakan bahwa media
komunikasi tradisional sering disebut bentuk folklor. Fungsi folklor sebagai media
tradisional adalah (1) sebagai sistem proyeksi, (2) sebagai pengesahan/penguat adat,
(3) sebagai alat pendidikan, dan (4) sebagai alat pengendalian sosial agar norma-
norma masyarakat dipatuhi oleh anggotanya.

2.2.3 Teori Komunikasi Ritual

Komunikasi ritual pertama kalinya dicetuskan oleh James W. Carey (1992)


yang mengatakan bahwa dalam perspektif 11ritual, komunikasi berkaitan dengan
berbagi, partisipasi, perkumpulan/asosiasi, persahabatan, dan kepemilikan akan
keyakinan yang sama. Ritual dalam komunikasi tidak secara langsung diarahkan

11
untuk menyebarluaskan pesan dalam suatu ruang, namun lebih kepada pemeliharaan
suatu komunitas dalam suatu waktu.

Komunikasi ritual biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering


melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang
disebut para antropolog sebagai rites of passage (Mulyana 2011, 27). Samad (dalam
Hadirman 2016), komunikasi ritual adalah hubungan yang erat dengan kegiatan
berbagi, berpartisipasi, berkumpul, bersahabat dari suatu komunitas yang memiliki
keyakinan yang sama. Lebih lanjut, Susanti (2015, 7), komunikasi ritual dapat
dimaknai sebagai proses pemaknaan pesan sebuah kelompok terhadap aktivitas religi
dan sistem kepercayaan yang dianutnya. Dalam prosesnya selalu terjadi pemaknaan
simbol-simbol tertentu yang menandalan terjadinya proses komunikasi ritual tersebut.

12

12
BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan rancangan kualitatif. Oleh karena itu, bentuk


uraiannya dirancang secara fleksibel dan dinamis. Rancangan penulisan kualitatif ini,
digunakan metode kualitatif yang terdiri atas tiga tahapan, yaitu: 1) tahap
pengumpulan data, 2) analisis dan interpretasi, dan 3) pembuatan laporan (Strauss dan
Corbin 2003, 9-10).

3.2 Lokasi Penelitian

Lingkup spasial dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna, Provinsi


Sulawesi Tenggara. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan di Kabupaten
Muna ini masih memegang teguh tradisi katoba. Bahkan, upacara katoba
dilaksanakan oleh seluruh keluarga warga masyarakat yang memiliki anak berusia
antara (6-11) tahun.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu: a) data kualitatif,
berupa kata-kata yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan ritual katoba,
dan b) data kuantitatif, berbentuk data statistik dari BPS Kabupaten Muna yang
menyangkut data geografis, data demografi, dan sebagainya (Hadirman, 2016).

Adapun sumber data dalam penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber
data primer (primary sources) dan b) sumber data sekunder (secondary sources).
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari wawancara dengan
sejumlah informan, seperti imam desa, orang tua/wali anak, dan anak yang di-katoba.
Selanjutnya, sumber data sekunder, diperoleh dari literature atau referensi ilmiah,
seperti: buku, jurnal, hasil-hasil penelitian, majalah, dan internet (Hadirman, 2016).
13
3.4 Penentuan Informan

Informasi ini diperoleh dari informan melalui wawancara dan perekaman


pelaksanaan ritual katoba. Informan kunci dalam penelitian ini adalah La Ngkuni
(pemimpin ritual katoba)/komunikator di Desa Latugho, Kecamatan Lawa,
Kabupaten Muna Barat. Perekaman dilaksanakan pada saat ritual katoba di rumah
keluarga La Ringe. Anak yang di-katoba adalah La Isal/komunikan (anak Bapak La
Ringe) yang berusia 9 tahun. Pelaksanaan pengumpulan informasi dilakukan dengan
teknik purposive. Teknik ini digunakan karena informan yang diwawancarai
dianggap mempunyai pengetahuan tentang tradisi katoba. Penggunaan teknik
purposive dianggap sesuai untuk menangkap realitas yang tidak tunggal, sehingga
teknik ini, memberikan kesempatan maksimal pada kemampuan peneliti untuk
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan, 14menyusun teori yang dibentuk di
lapangan (grounded theory), serta memperhatikan kondisi subjek penelitian dengan
keharusan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo 1996, 37), (Hadirman, 2016).

Instrumen Penelitian Sesuai dengan karakteristik dari penelitian kualitatif,


maka yang menjadi instrument utama adalah peneliti sendiri (human instrument).
Oleh karena itu, pada waktu pengumpulan data di lapangan, peneliti berusaha untuk
terlibat dalam berbagai kegiatan masyarakat atau pengamatan langsung. Di dalam
pengamatan langsung digunakan pedoman wawancara yang didukung alat perekam
audio visual, kamera foto, dan tape recorder (Hadirman, 2016).

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara (1) pengamatan terlibat, (2)


wawancara mendalam dan (3) studi dokumen. Pengamatan terlibat dilakukan pada
saat pelaksanaan tradisi katoba dengan penggunaan alat perekam berupa kamera
digital untuk merekam dan mengambil gambar. Wawancara mendalam digunakan
untuk memperoleh data yang valid mengenai proses tradisi katoba yang dilakukan

14
dan dialami oleh informan. Studi dokumen dilakukan untuk menemukan informasi
yang berkaitan dengan objek penelitian melalui buku, hasil penelitian, jurnal, dan
media online (internet).

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif dan


interpretatif. Analisis datanya dilakukan secara berkelanjutan dan dikembangkan
selama proses penelitian berlangsung. Adapun tahapan analisis data yang dilakukan
dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Miles dan Huberman (1992), yaitu terdiri
atas reduksi (penyederhanaan) data, penyajian data dan penafsiran, serta penarikan
kesimpulan (Hadirman, 2016).

3.7 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data dikemukakan secara informal dalam bentuk deskriptif


naratif (narasi, kata-kata, ungkapan, dan kalimat) yang diformulasikan dan
dikontekstualisasikan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah kajian komunikasi. Guna
menghindari distorsi dan manipulasi pemaknaan, peneliti juga menyajikan sejumlah
istilah atau kata-kata dalam bentuk bahasa aslinya (native) sebagaimana dituturkan
informan pada saat wawancara dan perekaman dilakukan. Penyajian hasil analisis,
selanjutnya dituangkan dalam bentuk laporan hasil penelitian dengan tata cara
penulisan dan penyusunan jurnal, sesuai dengan pedoman yang berlaku di Jurnal
Penelitian dan Opini Publik BPPKI Manado (Hadirman, 2016).15

15
BAB IV

PEMBAHASAN

Fungsi Tradisi Katoba sebagai Media Pendidikan Karakter Anak pada


Masyarakat Muna Menurut riwayatnya, tradisi katoba telah dimulai sejak zaman
pemerintahan raja Muna ke-16 bernama La Ode Abdul Rahman dengan gelar Sangia
Latugho (1671-1718). Diperkirakan La Ode Abdul Rahman menerima tradisi ini dari
salah seorang sufi keturunan Arab bernama Syarif Muhammad yang bisa dikenal pula
dengan nama Saidhi Raba yang datang ke Buton dan Muna (Supriyanto, dkk, 2009:
167) (dalam Agustina Heksa, 2017). Katoba merupakan salah satu pendidikan yang
sifatnya non formal, yang di dalamnya mengandung pendidikan karakter dan
mengenalkan tentang konsep ketuhanan, katoba dapat juga dikatakan sebagai batas
transisi pra baliq seorang anak. Prosesi katoba akan dilakukan setelah anak tersebut
disunat atau dikhitan (dongkiloe), serta sudah aqil balig.

Katoba mengandung tentang pendidikan karakter terutama untuk anak yang


ditoba, karena dalam tradisi katoba mengandung ajaran-ajaran tentang moral dan
etika manusia dalam kehidupan sehari-hari. Secara sistematika setiap bagian dari
prosesi katoba mengandung nilai-nilai pendidikan yang berguna bagi anak maupun
orang tua anak yang akan ditoba. Dalam prosesi pelaksanaan katoba, harus dilakukan
secara sistematis dan terpadu, dimana pelaksanaannya harus dilakukan berdasarkan
tahapan-tahapannya dan tidak boleh saling mendahului. Prosesi katoba yang
terpenting adalah hadirnya empat unsur pokok, yaitu:

(1) Tokoh agama merangkap tokoh adat (penutur katoba); (2) Anak yang
ditoba (objek turunan); (3) Keluarga terdekat yang memangku sang anak pada saat
ditoba; dan (4) Keluarga terdekat yang bertindak sebagai saksi pelaksanaan katoba
(Supriyanto, dkk, 2009: 167-172) (dalam Agustina Heksa, 2017).
16
Dalam pelaksanaan katoba selalu diawali dengan doa dan diakhiri dengan doa,
hal ini mengajarkan kepada anak bahwa apapun yang akan dilakukan harus diawali
dengan berdoa dan diakhiri dengan berdoa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam prosesi katoba tiap tahapan-tahapannya mempunyai fungsi bagi anak yang
akan ditoba. Adapun fungsi katoba yaitu:

1. Katoba sebagai penyempurna ke-Islaman dan penyucian anak

Katoba diartiakan sebagai penyempurnaan ke-Islaman seseorang, ini


ditandai dengan pengucapan dua kalimat Syahadat, katoba juga dapat
diartikan sebagai kaefokanggelahi atau proses penyucian, dalam hal ini anak
yang ditoba dikembalikan dalam keadaan yang suci atau menjadikannya suci
kembali seperti bayi yang baru lahir. Katoba juga merupakan salah satu
bentuk pertanggung jawaban orang tua terhadap anaknya dalam mendidik
karakternya, dan wajib dilakukan bagi anak yang sudah aqil baliq (La Gawu
Buduni, wawancara 6 Februari 2018) (dalam Agustina Heksa, 2017).

Jadi, dalam tradisi Muna jika seorang anak belum di-toba, maka anak
tersebut dapat dikatakan ke-Islamannya belum sempurna, serta adanya
anggapan dimasyarakat bahwa, jika seorang anak belum ditoba, maka yang
disalahkan adalah orang tua anak tersebut. Dalam proses katoba sang anak
diperkenalkan jenis-jenis air yang dapat menyucikan. Dalam hal ini anak
ditekankan untuk mampu membedakan mana air yang halal dan air yang
haram untuk bersuci. Air-air tersebut di antaranya adalah oeno ghuse (air
hujan), oeno kamparigi (air sumur), oeno tehi (air laut), oeno aloma (air
embun), oeno saliji (air salju/es), oeno laa (air telaga/sungai) dan oeno lede
(air ledeng). Ajaran ini juga mengenalkan tentang benda-benda yang suci dan
benda-benda yang mengandung najis. Selain itu anak diajarkan tata cara
bersuci (alano oe) atau menghilangkan hadist. Serta mengenalkan kepada
anak tentang minuman-minuman yang haram dikonsumsi contohnya seperti
17
minuman-minuman yang mengandung alkohol, walaupun dalam tradisi Muna
kameko (minuman yang mengandung alkohol) merupakan minuman wajib
dalam suatu acara kebudayaan. Tujuan ajaran ini adalah agar saat mendirikan
Shalat atau ibadah yang lain, seseorang (anak) sudah dipastikan dalam
keadaan yang suci (bersih) dari hadast dan najis (dalam Agustina Heksa,
2017).

2. Katoba membentuk watak anak

Katoba mengandung ajaran-ajaran tentang manusia dalam kehidupan


sehari-hari yang dapat membentuk watak anak, ajaran-ajaran tersebut dapat di
lihat melalui proses pelaksanaan katoba, yaitu:

a. Proses pembukaan katoba, petama-tama yang dilakukan dalam tahap


ini, seorang imam akan memberikan pengantar atau dofetapa
(meminta izin) kepada orang tua atau wali anak dan keluarga besar
yang hadir dalam prosesi tersebut. Setelah itu anak tersebut akan
dimandikan oleh pendamping imam. Prosesi di atas bertujuan untuk
menanyakan kesiapan para saksi dan peserta katoba. Secara psikolog
pertanyaan di atas memberikan pengaruh pada anak bahwa manusia
harus selalu meminta izin dan dizinkan dalam melakukan hal apapun
dikehidupannya, terutama kepada kedua orang tua.

b. Proses inti, dalam prosesi ini anak, pertama-tama membaca Surah Al-
Fatiha, kedua mengucapkan istigfar sebanyak 3 (tiga) dan ditirukan
anak-anak yang ditoba. Pembacaan Surah Al-Fatiha, istigfar, dan dua
kalimat Syahadat di atas berfungsi sebagai syarat sah seorang anak
yang sudah baliq (dewasa) untuk menjadi Islam yang sempurna, dan
dapat menyadari dirinya sebagai umat Islam yang sejati, serta
memohon ampun kepada Allah SWT, orang tua, dan sesama manusia

18
atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, sehingga anak yang “ditoba”
diharapkan suci secara batinia. Selanjutnya pembacaan sumpah Toba
(Wambano toba) adalah bagian yang paling penting dalam upacara ini.
Pemaknaan dari ajaran ini, Ayah bukanlah pengganti Allah melainkan
sebagai sosok yang mempresentasikan sifat ketuhanan (sifat illahiyah)
dalam keluarga. Yang disebut ayah dalam “katoba” bukan, saja ayah
yang sesungguhnya, akan tetapi siapa saja laki-laki yang sudah tua
atau sudah menikah, harus ditakuti (dihormati).

Demikian halnya dengan ibu dan kakak mereka bukanlah


pengganti Nabi dan Malaikat tapi sebagai sosok yang
mempresentasikan sifat kenabian dan kemalaikatan dalam lingkungan
keluarga. Adik harus disayangi dan dibina, karena dalam ajaran islam
sesama kaum Mukmin harus saling menyayangi. Ruang lingkup dari
tingkat pengakuan, penghormatan, dan penghargaan kepada sosok
ayah, ibu, kakak, dan adik tidak hanya sebatas dalam lingkungan
keluarga sendiri, tetapi harus dialamatkan kepada siapa saja yang
sebaya dengan mereka (ayah, ibu, kakak, dan adik) (Ibaranur, 2013:
25) (dalam Agustina Heksa, 2017). 19 19

Pembacaan wambano toba ini menurut Niampe (2008: 8)


(dalam Agustina Heksa, 2017) mengandung ajaran budi pekerti yang
bersifat Islami. Imam mengajarkan agar takut kepada Tuhan, takut
kepada Nabi Muhammad, takut kepada Malaikat dan menyayangi
sesama umat manusia. Agar hal-hal tersebut menjadi lebih dekat dan
nyata dalam kehidupan sang anak, imam menggunakan pendekatan
tassawuf, filsafati, atau yang dalam dunia pengajaran modern dikenal
dengan pendekatan kontekstual, yaitu hal-hal yang bersifat abstrak

19
diwujudkan dalam bentuk yang konkret sehingga anak mudah
memahaminya.

Takut kepada Tuhan ditamsilkan takut kepada orang tua laki-


laki, takut kepada nabi Muhammad ditamsilkan takut kepada orang tua
perempuan, takut kepada Malaikat ditamsilkan takut kepada yang
lebih kakak dan menyayangi sesama manusia ditamsilkan menyayangi
yang lebih muda usia (dalam Agustina Heksa, 2017). 20

3. Untuk memberikan anak-anak nasehat-nasehat kehidupan

Pengajaran ini yaitu dengan cara memberikan nasehat-nasehat tentang


agama dan nasehat-nasehat adat yang akan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu hal-hal yang perlu dilakukan sebagai manusia dan tidak
boleh dilakukan sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari. Poin-poin
nasihat tersebut yaitu:

a. Poin yang paling penting dalam nasihat ini, menjalankan perintah


Allah SWT. Anak yang ditoba diajarkan bahwa ia harus menjalankan
perintah Allah SWT. dan menjauhi larangannya. Anak sangat
ditekankan harus melaksanakan Shalat lima waktu, berpuasa, dan hal-
hal yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an, serta menjauhi
larangan Allah SWT misalnya tidak boleh mencuri, tidak boleh
berjudi, tidak boleh meminum minuman beralkohol dan hal-hal yang
dilarang dalam Al-Qur’an.

b. Poin kedua, tentang mengikuti apa yang dikatakan orang tua, dalam
poin ini apa yang dikatakan orang tua harus diikuti oleh anak tersebut
sebab, karena apa yang disampaikan atau dilarang orang tua, itu demi
kebaikan anak itu sendiri (La Radio, wawancara 11 Februari 2018)
(dalam Agustina Heksa, 2017). Namun jika yang disampaikan
20
bertentangan dengan agama harus ditolak, tetapi penolakan tersebut
harus dalam bentuk yang sopan dan tanpa menyakiti hati orang tua.

c. Pengajaran mengenai hakunasi (hak orang lain), ajaran ini bertujuan


megenalkan kepada anak tetang kepemilikan diri sendiri dan
kepemilikan orang lain. Berbicara mengenai hakunasi, perbuatan
mengambil hak orang lain walaupun yang diambil dalam bentuk kecil
tetap sama dosanya mengambil dalam bentuk yang besar, hal ini
didukung dengan anjuran agama, jadi mencuri, mengorupsi, atau
mengambil hak orang lain adalah berdosa, sehingga dengan adanya
nasehat-nasehat katoba, dapat mengubah karakter anak tersebut, dari
tadinya anak tersebut nakal dapat berubah menjadi baik, itu adalah
salah satu tujuan dari Katoba (La Nita, wawancara 10 Februari 2018)
(dalam Agustina Heksa, 2017).

d. Dososo (menyesal) adalah menyesal jika melakukan kesalahan. Anak


yang harus berkomitmen untuk menyesali seluruh perbuatan dosa yang
dilakukan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dalam
hal ini anak dinasehati untuk melakukan intropeksi diri dan menyesali
jika telah melakukan kekeliruan atau kesalahan hidup.

e. Bhotuki (memutuskan), yaitu memutuskan untuk tidak mengulangi


kesalahan. Anak dinasehati untuk tidak mengulangi kesalahan yang
pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang
sama lagi.

f. Fekakodoho (menjauhkan), anak menjauhkan diri dari dosa dan


kesalahan. Anak dinasehati untuk selalu menjaga dirinya dan
menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak baik menurut ajaran agama
Islam maupun tradisi.

21
g. Fekomiinahi (menolak), anak dinasehati agar memiliki ketegaran dan
kekuatan hati untuk menolak kejahatan yang ditawarkan kepada anak
tersebut. Contohnya jika ada yang mengajak untuk mengomsumsi
minuman-minuman keras atau mencuri, harus segera ditolak.

h. Peduli terhadap lingkungan, Anak juga diajarkan agar peduli terhadap


lingkungan sekitar, agar selalu menjaga dan melestariakan alam, dan
tidak 22merusak lingkungan seperti membuang sampah sembarangan
atau sesuatu yang dapat merusak lingkungan.

i. Sikap, poin ini mengajarkan anak dalam tata cara bersikap sopan satun
dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Contohnya cara
berbicara kepada orang yang lebih tua atau lebih muda, serta tata cara
berjalan dihadapan orang yang lebih tua.

j. Yang terakhir adalah nasehat tentang batasan-batasan aurat seorang


umat Islam, dan dianjurkan untuk menutup aurat tersebut. Para orang
tua, imam, dan saksi katoba yang melangsungkan tradisi ini berharap
terjadi pewarisan moral dan etika dari generasi tua ke generasi muda,
Sehingga anak yang sudah ditoba dapat memiliki watak yang baik,
serta mengaplikasikan dengan sempurna dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga akan membentuk karakter anak yang religious, jujur, sopan,
menghargai sesama, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan yang terakhir
tanggung jawab. Serta dapat menghidari norma-norma yang tidak
terpuji.

22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Katoba sebagai penyempurna ke-Islaman dan penyucian anak

Katoba diartiakan sebagai penyempurnaan ke-Islaman seseorang, ini


ditandai dengan pengucapan dua kalimat Syahadat, katoba juga dapat
diartikan sebagai kaefokanggelahi atau proses penyucian, dalam hal ini
anak yang ditoba dikembalikan dalam keadaan yang suci atau
menjadikannya suci kembali seperti bayi yang baru lahir.

2. Katoba mengandung tentang pendidikan karakter terutama untuk anak


yang ditoba, karena dalam tradisi katoba mengandung ajaran-ajaran
tentang moral dan etika manusia dalam kehidupan sehari-hari. Secara
sistematika setiap bagian dari prosesi katoba mengandung nilai-nilai
pendidikan yang berguna bagi anak maupun orang tua anak yang akan
ditoba.
5.2 Saran
Penulisan tugas ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata
kuliah Etnografi Komunikasi. Segala bentuk kekurangan yang ada dalam tulisan ini
mohon dimaafkan, sebaliknya saran dan kritikan yang membangun sangat diperlukan
agar kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ini kedepannya dapat diperbaiki.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Simbol dalam Budaya Merupakan Bagian dari Komunikasi. https://
Communication.binus.ac.id/2015/12/04/simbol-dalam-budaya-merupakan
-bagian-dari-komunikasi/.(28 Maret 2020).
______ 2020. Pengertian Tradisi, Tujuan, Fungsi, Macam, Contoh. Dan Perubahan
-nya. http://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/03/pengertian-tradisi.html.
(28 Maret 2020).
Hadirman. 2016. Tradisi Katoba sebagai Media Komunikasi Tradisional
dalam Masyarakat Muna. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini
Publik. 20 (1):11-30.
Heksa, Agustina. 2017. Tradisi Katoba sebagai Media Pendidikan Karakter Anak
pada Masyarakat Desa Kondongia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Tahun
1960-2017. Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah. 2 (2):08.

24

Anda mungkin juga menyukai