ETNOGRAFI KOMUNIKASI
OLEH:
NIM : (C1B117257)
KELAS : C
KENDARI
2020
DAFTAR ISI
Daftar Isi.............................................................................1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................2
1.2 Rumusan Masalah...................................................4
1.3 Tujuan.....................................................................4
1.4 Manfaat Penulisaan.................................................4
BAB IV PEMBAHASAN...............................................16
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan...........................................................23
5.2 Saran....................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.....................................................24
1
BAB I
PENDAHULUAN
Katoba adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang dimiliki suku Muna di
Kabupaten Muna dan Kabupaten Muna Barat di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada
hakikatnya, katoba dipahami sebagai ritual pada anak yang memasuki usia dewasa (6-
11 tahun). Pelaksanaan ritual ini terdapat ungkapan adat dan budaya yang dituturkan
secara lisan oleh seorang penutur (iman desa) kepada anak yang diupacarai
(dikatoba). Rentetan upacara dan penyampaian informasi moral dan etika2kepada
anak yang di-katoba adalah hal yang harus tercipta dalam tradisi lisan ini. Meskipun
katoba tergolong ritual siklus kehidupan pada masyarakat Muna, namun keberadaan
sudah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan yang
dimaksud tidak demikian esensial, karena substansi informasi masih tetap bertahan
hingga sekarang. Kuatnya eksistensi katoba ini karena menyatu dengan agama
mayoritas Muna, yakni Islam.
Sebagai salah satu bentuk tradisi lisan, katoba dipergunakan sebagai salah satu
media komunikasi tradisional dalam masyarakat Muna dari dulu hingga sekarang.
Bahkan, katoba ini masih dipelihara, dan diwariskan secara turun-temurun oleh
sebagian besar masyarakat Muna, bahkan dalam pekembangannya tidak mengalami
2
benturan dari Islam fanatik di Muna. Bentuk pelaksanaannya pun tidak berubah dari
generasi ke generasi, hanya ada versi-versi tuturan sesuai dengan pengalaman dan
pengetahuan penutur. Akan tetapi, secara hakikat dan substansi adalah sama, yakni
mengajarkan syahadat, penyucian diri, dan nasihat-nasihat moral dan etika pada anak
yang di-katoba. Dilihat dari cara dan proses penyampaiannya, katoba memiliki
kemampuan dalam membawakan pesan (informasi). Meskipun tidak semua
bentuk/jenis kesenian tradisional atau seni pertunjukan rakyat dapat dikategorikan
sebagai media komunikasi tradisional.
Siswayasa, dkk. (1993, 8-9) (dalam Hadirman, 2016) menegaskan tentang hal
ini. Argumentasi di atas menggambarkan bahwa tidak semua kesenian rakyat itu
dapat dikelompokkan sebagai media komunikasi tradisional. Mengenai hal ini,
Siswayasa, dkk. (1993, 8-9) (dalam Hadirman, 2016) mengatakan bahwa kesenian
tradisional hanya dapat digolongkan sebagai media komunikasi tradisional bila
memenuhi unsur-unsur, yaitu: komunikator (sender), pesan yang disampaikan
sehingga terjadi proses komunikasi, dan penerima (receiver). Media komunikasi
tradisional yang 3dimaksudkan dalam penelitian ini adalah saluran (sebagai alat)
yang dimiliki masyarakat secara turun-temurun dan dipergunakan untuk
menyampaikan pesan/informasi/lambang secara lisan atau bukan lisan baik ditujukan
pada individu, kelompok, atau keseluruhan warga yang ikut serta dalam ritual atau
pertunjukan. Keunikan-keunikan lain dari masyarakat Muna terlihat pada komitmen
mereka dalam menghargai, menjaga, dan mentransmisikan adat dan budaya yang
dimilikinya.3
Hingga saat ini katoba juga masih sangat diyakini sebagai salah satu langkah
yang harus ditempuh oleh para orang tua sebelum anak-anak mereka beranjak
dewasa. Masyarakat Muna berpandangan bahwa jika anak-anak mereka tidak
dikatoba (diislamkan) selain anak mereka dianggap belum bersih dan orang tua juga
dianggap telah melakukan perbuatan dosa karena telah melalaikan kewajibannya
3
dalam mengislamkan anak-anaknya. Selain itu masyarakat juga percaya bahwa
katoba sangat penting karena dianggap sebagai bekal bagi sang anak dalam menuju
kedewasaan dalam hal ini adalah berkaitan dengkan perubahan akhlak anak dari tidak
baik menjadi baik.
Uraian latar belakang di atas menghasilkan sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa “katoba” (pengislaman) begitu diyakini oleh masyarakat Muna
sebagai media pengembangan akhlak pada anak?
1.3 Tujuan
Tujuan dari tulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh bahasa “katoba” dalam pengembangan akhlak
anak pada masyarakat Muna.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Etnografi
Etnografi berasal dari kata ethos, yaitu bangsa atau suku bangsa dan graphein
yaitu tulisan atau uraian. Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan
suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni,
religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah
etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat
atau kelompok (Richards dkk.,1985) (dalam Ahmad, 2010).
5
melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi
tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda
(signing). Pemakaian tuturan Apa khabar?, Comment alle vous? (bahasa Perancis),
Hoe gaat het? (bahasa Belanda) dengan arti yang sama tentu saja berbeda modus
kemunculannya dengan tuturan Dengan hormat, Dear Sir, Beste Meneer, Hormat
kami, sincerely yours.
2.1.2 Tradisi
Tradisi atau disebut juga dengan kebiasaan merupakan sesuatu yang sudah
dilaksanakan sejak lama dan terus menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, seringkali dilakukan oleh suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama
yang sama.
Pengertian lain dari tradisi adalah segala sesuatu yang diwariskan atau
disalurkan dari masa lalu ke masa saat ini atau sekarang. Tradisi dalam arti yang
sempit yaitu suatu warisan-warisan sosial khusus yang memenuhi syarat yakni yang
tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih tetap kuat ikatannya dengan kehidupan
masa kini.
Tradisi dari sudut aspek benda materialnya adalah benda material yang
menunjukkan dan mengingatkan hubungan khususnya dengan kehidupan masa lalu.
Misalnya adalah candi, puing kuno, kereta kencana, beberapa benda-benda
peninggalan lainnya, jelas termasuk ke dalam pengertian tradisi.
Tradisi yang ada pada masyarakat memiliki tujuan supaya hidup manusia
kaya akan budaya dan nilai-nilai bersejarah. Selain itu, tradisi juga akan membuat
kehidupan menjadi harmonis. Tetapi hal ini akan terwujud jika manusia menghargai,
menghormati dan menjalankan suatu tradisi dengan baik dan benar dan juga sesuai
dengan aturan.
7
lambat akan merusak sistem tirani atau kediktatoran yang tidak berkurang di
masa kini.
Mengamati apa yang diungkapkan oleh Geertz tersebut dapat diambil sebuah
pemahaman bahwa manusia, sebagai makhluk berbudaya, berkomunikasi dengan
melontarkan dan memaknai simbol melalui jalinan interaksi sosial yang terjadi.
Simbol dengan demikian merupakan sebuah petunjuk dalam memerluas cakrawala
wawasan para masyarakat budaya. Proses komunikasi adalah proses pemaknaan
terhadap simbol-simbol tersebut. Melalui pemaknaan inilah kemudian manusia
mencari tahu dan berbagi mengenai realitas. Melalui pemaknaan ini pulalah manusia
mengambil peranannya dalam kebudayaan.
Pada dasarnya simbol dapat dimaknai baik dalam bentuk bahasa verbal
maupun bentuk bahasa non verbal pada pemaknaannya dan wujud riil dari interaksi
simbol ini terjadi dalam kegiatan komunikasi. Saat seorang komunikator
8
memancarkan suatu isyarat (pesan), baik verbal maupun non verbal, komunikan
berusaha memaknai stimuli tersebut.
Di sinilah terjadi sebuah proses sosial dimana kedua belah pihak berusaha
untuk memberi andil terhadap proses komunikasi yang terjadi saat itu. Karena itu
komunikasi sebenarnya tidak bisa dilihat sebagai sebuah proses sederhana untuk
berinteraksi antar simbol melainkan lebih jauh lagi, komunikasi merupakan proses
interaksi makna yang terkandung dalam simbol-simbol yang digunakan.
https://communication.binus.ac.id/2015/12/04/simbol-dalam-budaya-merupakan-
bagian-dari-komunikasi/.
9
Islam tergambar pada isi katoba berupa lafal dua kalimat syahadat (Asshadu
Alla Ilaha Ilallah, Wa Asshadu Annamuhammadan Abduhu Warasulullah). Tahapan-
tahapan transfer pengetahuan dari imam desa kepada anak yang di-katoba (1)
menghindari perbuatan negatif (tercela) di mata Tuhan dan manusia, menjalankan
syariat Islam, dan mengetahui cara bersuci dan air yang suci lagi
mensucikan.Ungkapan syahadat, merupakan upaya orang tua untuk melegitimasi
status keislaman seorang anak di Muna (Sarmadan 2013) (dalam Hadirman).
Fungsi media tradisional menurut kedua ahli di atas, yakni sebagai sarana
hiburan, sarana pendidikan, sarana kontrol sosial, sarana deseminasi informasi, sarana
pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya bangsa dan sarana perekat persatuan
dan kesatuan bangsa (Walujo 2011, 3) (dalam Hadirman, 2016). Silvana (2007)
dalam (Santoso dkk. 2014, 234) komunikasi tradisional adalah proses penyampaian
pesan dari satu pihak ke pihak lain, dengan menggunakan media tradisional yang
sudah lama digunakan di suatu tempat sebelum kebudayaannya tersentuh oleh
teknologi modern. Santoso dkk (2014, 235) mengemukakan bahwa media
komunikasi tradisional sering disebut bentuk folklor. Fungsi folklor sebagai media
tradisional adalah (1) sebagai sistem proyeksi, (2) sebagai pengesahan/penguat adat,
(3) sebagai alat pendidikan, dan (4) sebagai alat pengendalian sosial agar norma-
norma masyarakat dipatuhi oleh anggotanya.
11
untuk menyebarluaskan pesan dalam suatu ruang, namun lebih kepada pemeliharaan
suatu komunitas dalam suatu waktu.
12
12
BAB III
METODE PENULISAN
Jenis data dalam penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu: a) data kualitatif,
berupa kata-kata yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan ritual katoba,
dan b) data kuantitatif, berbentuk data statistik dari BPS Kabupaten Muna yang
menyangkut data geografis, data demografi, dan sebagainya (Hadirman, 2016).
Adapun sumber data dalam penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber
data primer (primary sources) dan b) sumber data sekunder (secondary sources).
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari wawancara dengan
sejumlah informan, seperti imam desa, orang tua/wali anak, dan anak yang di-katoba.
Selanjutnya, sumber data sekunder, diperoleh dari literature atau referensi ilmiah,
seperti: buku, jurnal, hasil-hasil penelitian, majalah, dan internet (Hadirman, 2016).
13
3.4 Penentuan Informan
14
dan dialami oleh informan. Studi dokumen dilakukan untuk menemukan informasi
yang berkaitan dengan objek penelitian melalui buku, hasil penelitian, jurnal, dan
media online (internet).
15
BAB IV
PEMBAHASAN
(1) Tokoh agama merangkap tokoh adat (penutur katoba); (2) Anak yang
ditoba (objek turunan); (3) Keluarga terdekat yang memangku sang anak pada saat
ditoba; dan (4) Keluarga terdekat yang bertindak sebagai saksi pelaksanaan katoba
(Supriyanto, dkk, 2009: 167-172) (dalam Agustina Heksa, 2017).
16
Dalam pelaksanaan katoba selalu diawali dengan doa dan diakhiri dengan doa,
hal ini mengajarkan kepada anak bahwa apapun yang akan dilakukan harus diawali
dengan berdoa dan diakhiri dengan berdoa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam prosesi katoba tiap tahapan-tahapannya mempunyai fungsi bagi anak yang
akan ditoba. Adapun fungsi katoba yaitu:
Jadi, dalam tradisi Muna jika seorang anak belum di-toba, maka anak
tersebut dapat dikatakan ke-Islamannya belum sempurna, serta adanya
anggapan dimasyarakat bahwa, jika seorang anak belum ditoba, maka yang
disalahkan adalah orang tua anak tersebut. Dalam proses katoba sang anak
diperkenalkan jenis-jenis air yang dapat menyucikan. Dalam hal ini anak
ditekankan untuk mampu membedakan mana air yang halal dan air yang
haram untuk bersuci. Air-air tersebut di antaranya adalah oeno ghuse (air
hujan), oeno kamparigi (air sumur), oeno tehi (air laut), oeno aloma (air
embun), oeno saliji (air salju/es), oeno laa (air telaga/sungai) dan oeno lede
(air ledeng). Ajaran ini juga mengenalkan tentang benda-benda yang suci dan
benda-benda yang mengandung najis. Selain itu anak diajarkan tata cara
bersuci (alano oe) atau menghilangkan hadist. Serta mengenalkan kepada
anak tentang minuman-minuman yang haram dikonsumsi contohnya seperti
17
minuman-minuman yang mengandung alkohol, walaupun dalam tradisi Muna
kameko (minuman yang mengandung alkohol) merupakan minuman wajib
dalam suatu acara kebudayaan. Tujuan ajaran ini adalah agar saat mendirikan
Shalat atau ibadah yang lain, seseorang (anak) sudah dipastikan dalam
keadaan yang suci (bersih) dari hadast dan najis (dalam Agustina Heksa,
2017).
b. Proses inti, dalam prosesi ini anak, pertama-tama membaca Surah Al-
Fatiha, kedua mengucapkan istigfar sebanyak 3 (tiga) dan ditirukan
anak-anak yang ditoba. Pembacaan Surah Al-Fatiha, istigfar, dan dua
kalimat Syahadat di atas berfungsi sebagai syarat sah seorang anak
yang sudah baliq (dewasa) untuk menjadi Islam yang sempurna, dan
dapat menyadari dirinya sebagai umat Islam yang sejati, serta
memohon ampun kepada Allah SWT, orang tua, dan sesama manusia
18
atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, sehingga anak yang “ditoba”
diharapkan suci secara batinia. Selanjutnya pembacaan sumpah Toba
(Wambano toba) adalah bagian yang paling penting dalam upacara ini.
Pemaknaan dari ajaran ini, Ayah bukanlah pengganti Allah melainkan
sebagai sosok yang mempresentasikan sifat ketuhanan (sifat illahiyah)
dalam keluarga. Yang disebut ayah dalam “katoba” bukan, saja ayah
yang sesungguhnya, akan tetapi siapa saja laki-laki yang sudah tua
atau sudah menikah, harus ditakuti (dihormati).
19
diwujudkan dalam bentuk yang konkret sehingga anak mudah
memahaminya.
b. Poin kedua, tentang mengikuti apa yang dikatakan orang tua, dalam
poin ini apa yang dikatakan orang tua harus diikuti oleh anak tersebut
sebab, karena apa yang disampaikan atau dilarang orang tua, itu demi
kebaikan anak itu sendiri (La Radio, wawancara 11 Februari 2018)
(dalam Agustina Heksa, 2017). Namun jika yang disampaikan
20
bertentangan dengan agama harus ditolak, tetapi penolakan tersebut
harus dalam bentuk yang sopan dan tanpa menyakiti hati orang tua.
21
g. Fekomiinahi (menolak), anak dinasehati agar memiliki ketegaran dan
kekuatan hati untuk menolak kejahatan yang ditawarkan kepada anak
tersebut. Contohnya jika ada yang mengajak untuk mengomsumsi
minuman-minuman keras atau mencuri, harus segera ditolak.
i. Sikap, poin ini mengajarkan anak dalam tata cara bersikap sopan satun
dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Contohnya cara
berbicara kepada orang yang lebih tua atau lebih muda, serta tata cara
berjalan dihadapan orang yang lebih tua.
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Katoba sebagai penyempurna ke-Islaman dan penyucian anak
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. Simbol dalam Budaya Merupakan Bagian dari Komunikasi. https://
Communication.binus.ac.id/2015/12/04/simbol-dalam-budaya-merupakan
-bagian-dari-komunikasi/.(28 Maret 2020).
______ 2020. Pengertian Tradisi, Tujuan, Fungsi, Macam, Contoh. Dan Perubahan
-nya. http://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/03/pengertian-tradisi.html.
(28 Maret 2020).
Hadirman. 2016. Tradisi Katoba sebagai Media Komunikasi Tradisional
dalam Masyarakat Muna. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini
Publik. 20 (1):11-30.
Heksa, Agustina. 2017. Tradisi Katoba sebagai Media Pendidikan Karakter Anak
pada Masyarakat Desa Kondongia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Tahun
1960-2017. Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah. 2 (2):08.
24