Anda di halaman 1dari 6

Nama : ESTER SIMANJUNTAK

NIM : 190201038

Sem/Grup : VI/B

M.K : Teologi Agama-Agama

Baca dan pahami buku Paul F. Knitter (satu bumi banyak agama, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006.) bab 4 dan 5 dan lakukan peninjauan, tuliskan pemahaman anda tentang bacaan
diatas, masing-masing bab maksimal 2-3 halaman.

BAB 4

Penderitaan Global Menuntut Tanggung Jawab Global

Setelah saya membaca buku dari Paul F. Knitter bab 4 ini maka saya dapat memahami
bahwa ternyata selama ini masih sangat minim kepedulian global mengenai penderitaan
global yang dialami oleh setiap rakyat dari negara masing-masing. Dalam mengatasi sebuah
masalah maka diperlukan adanya kerjasama yang baik dari setiap orang tanpa memandang
suku, ras, agama, negara dan agamanya, semuanya harus menjalin tali yang erat agar dapat
tercipta yang Namanya kedamaian dan kesejahteraan.

Persoalan kelaparan, permukiman yang tidak manusiawi, ditribusi kekayaan yang


tidak adil, perusakan lingkungan adalah contoh penderitaan yang tidak dapat dilakukan oleh
satu pihak tetapi membutuhkan tanggungjawab dan bantuan dari segala pihak yang ada.
Sehingga penderitaan ini harus dijadikan sebagai sebuah dasar Bersama dan alasan Bersama
dalam bekerja sama. Walaupun kita hidup dalam kepelbagaian namun kita harus dapat
mengupayakan sesuatu yang dapat mempersatukan kita dalam keprihatinan dan tindakan
Bersama untuk mengatasi penderitaan sesama kita.

Kaufman mengatakan bahwa teologi Kristen bisa diterapkan dalam dialog antar
agama adalah hanya teologi atau dialog yang memberi sumbangan hakiki terhadap
humanisasi. Dan Hugo Assmann mengatakan bahwa keadaan dominasi dan dependensi
dimana dua pertiga penduduk hidup, dengan tingkat rata-rata kematian karena kelaparan dan
malnutrisi mencapai tiga puluh juta pertahun, Ia mengatakan bahwa teologi (dialog) tidak
bisa dirasakan manfaatnya dalam situasi nyata.

Di dalam buku ini ada disebutkan bahwa penderitaan memiliki latar belakang seperti:

a. Penderitaan badaniah karena kemiskinan. Jumlah kemiskinan kinni sudah sangat


besar sehingga menuntut adanya kesadaran. Daerah Etiopia pada tahun 1984 dan
Somalia tahun 1992 adalah tempat terjadinya kebinasaan massal akibat kelaparan.
40 juta jiwa meninggal setiap tahunnya karena kelaparan atau sebab yang
berhubungan dengan kelaparan dan masih banyak kasus lainya. Para teolog
pembebasan mengatakan bahwa kemiskinan membunuh, kemiskinan membantai,
kemiskinan adalah kekerasan.

b. Penderitaan bumi karena penyalahgunaan. Ada 37,4 juta area hutan yang dirusak
oleh manusia setiap tahunya, 13 juta area lahan yang kering dan kehilangan
lapisan atasnya sehingga menjadi lahan kering, 25 persen peningkatan suhu udara
karena karbon dioksida dalam atmosfer sejak masa sebelum zaman industry
karena pembaaran batu bara dan masih banyak lagi pengrusakan yang dituliskan
dalam buku ini. Selain mengasihi sesame kita harus juga mengasihi bumi dan
untuk melakukan itu kita membutuhkan kasih, dan disini selain penulis buku ini
saya juga setuju kepada Sallie McFague tentang kesadaran Kristen dan teologi
bisa dipahami dan diyakini oleh semua pengikut agama lainya. “merasakan
kedalaman dari kemanusaian kita dimana kita adalah bagian tak terpisahkan dari
ekosisten yang evolusioner dari kosmos kita merupakan prasyarat bagi teologi
Kristen kontemporer.

c. Penderitaan Roh, viktimisasi (ketidakadilan). Penyebab dari penderitaan manusia


dan lingkungan sebagian besar adalah akibat dari berbagai keputusan manusia,
akibat dari keputusan sebagian manusia yang berkuasa atas sesamanya. Biasanya
pada kasus ini orientasinya adalah untuk kepentingan pribadi yang biasanya
bersifat ekonomis. Ini adalah bentuk penderitaan yang paling menyakitkan yang
dialami manusia dan juga bumi. Bukan hanya tubuh tetapi juga jiwa, identitas dan
juga rasa harga diri dilumpuhkan atau dirusak. Masalah-masalah yang mengancam
manusia kini membutuhkan penanganan Bersama dan terpadu dan akan terjadi
jika didasarkan dan diarahkan oleh satu persetujuan etis dan cara-cara etisnya
yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. King berpendapat bahwa etika global
tidak dapat dirumuskan tanpa sumbangan agama. Jadi tidak akan ada etika global
tanpa masukan dari dialog antar agama yang sifatnya global.

d. Penderitaan karena kekerasan: disamping penderitaan fisik nyata yang


diakibatkan oleh kekerasan perang, disamping penderitaan psikologis sebagai
akibat pemikiran bahwa manusia kini terpaksa dan mengancam pemakaian
bersenjata yang dapat memusnahkan manusia, ada juga penderitaan yang terjadi
setiap hari dimana uang dan sumber daya dalam jumlah besar dipakau untuk
peralatan militer. Ini merupakan penghinaan dan kekejian proses viktimisasi.
Bahwa begitu banyak sumber alam bumi dan produksi manusia harus dipakai
untuk penghancuran dan ancaman terhadap kehidupan ketika begitu banyak orang
tidak dapat menyediakan hidup yang layak bagi mereka sendiri dan anak-anak
mereka.

Perdamaian adalah simbol agama karena kita tidak dapat memikirkan perdamaian dan
kondisi-kondisi yang memungkinkanya tanpa berhadapan dan berdialog tentang masalah-
masalah agama. Tidak ada perdamaian tanpa suatu revolusi atau perubahan atas keberdaan
dan cara berpikir kita. Untuk menciptakan revolusi itu maka diperlukan adanya sebuah etika
Global

Etika global ini berisi seperti yang dijelaskan oleh Kung dan Swidler, harus lebih
lanjut dirumuskan dalam dialog aktual antar-bangsa yang memberi usulan tentang nilai, sikap
atau prinsip fundamental yang berhubungan dengan masalah ini. Mengusulkan mengenai
perlunya mengatasi masalah atau konflik tanpa adanya kekerasan, mengatasi penderitaan
manusia karena kemiskinan, melindungi mereka yang tidak bisa melindungi diri mereka
sendiri, mendasari semua pembangunan sosio-ekonomi atas dasar suatu etika tanggung jawab
yang bersifat ekologis dan planeter.

BAB V

TANGGUNG JAWAB GLOBAL: DASAR BERSAMA BAGI DIALOG


ANTAR AGAMA. Memberikan Prioritas kepada Praktis dan suara para korban
Setelah saya membaca bab V ini saya setuju dengan pendapat penulis yang
mengatakan bahwa kita tidak dapat menerima tanggung jawab terhadap dunia ini tanpa
mengakui dan bergumul dalam berbagai kepelbagaian perspektif tentang arti tanggung jawab.
Kita diharuskan untuk menghargai yang namanya kepelbagaian dan mengubahnya menjadi
suatu sumber bagi tanggung jawab yang benar-benar beragam (diversified), komunal, dan
dialogis.

Para kritikus mengakui bahwa harus ada suatu jalan tengah antara modernitas dan
pascamodernitas. David Kriever, “suatu jalan tengah diantara klaim tak berdasar terhadap
universalitas sebagai ciri khas modernisme dan pemujaan terhadap pluralisme sebagai ciri
khas pascamodernitas. Jhon Cobb, karena kehati-hatianya dengan mengusulkan agenda
Bersama atau persyaratan berdialog, mendesak agama-agama mencari jalan tengah diantara
“esensialisme” monolitik dan “relativisme konseptual” yang tak terkendali. William Placher
sesudah mendesak tiap agama untuk memikirkan dirinya sendiri sendiri, mencoba menelusuri
sebuah jalan setapak diantara fideisme yang mengkungkung kita didalam lahan kita sendiri-
sendiri dan teologi natural yang relativistic yang memungkinkan kita semua menanam
tanaman yang sama dalam lahan kita masing-masing.

Ada muncul pertanyaan apakah didalam kepercayaan dan pandangan dunia semua
agama terdapat pengakuan mengenai perlunya untuk berdialog dengan tradisi-tradisi lain?
Disinilah kita dapat menemukan tanggungjawab global bagi penderitaan manusia dan
ekologi. Ini dapat memberikan dari suatu sumber bersama diluar tradisi, motivasi untuk
mendorong kebutuhan untuk berdialog yang diakui secara global. Umat dari semua tradisi
agama bisa melihat, merasakan, dan menanggapi krisis tersebut dan rasa solidaritas
merupakan undangan untuk berinteraksi dan berdialog. Solidaritas dan tanggung jawab
global bisa juga membantu para peserta dialog untuk menjawab salah satu pertanyaan penting
yang mereka hadapi: dari mana harus dimulai, atau seperti kata Heidegger, bagaimana bisa
masuk ke lingkaran hermeneutis. Kalalu setiap tindak pemahaman adalah suatu lingkaran
pertanyaan dan jawaban, pra-pemahaman dan data baru, dibagian lingkaran manakah kita
bisa berdialog. Dialog dimulai dengan melampaui tradisi-tradisi tersebut masuk kedalam api
penderitaan manusia dan bumi ini yang sedang membara disekitar kita.

Soteria atau tanggungjawab global atas kesejahteraan manusia dan ekologi bisa
memberikan isi yang jelas dan menjanjikan terhadap konsep Gadamer yang abstrak tentang
“sejarah yang efektif”, yang memungkinkan berbagai horizon berbeda-beda untuk fungsi
sejarah yang menerima dampak dari tanggungjawab hermeneutis yaitu sejarah perjuangan
kita untuk melindungi dan memelihara serta mempertahankan kehidupan.

Keprihatinan bersama atas penderitaan para korban membuat kita sensitif terhadap
sejumlah cara berbeda dalam menangani proses viktimisasi mereka; kita menjadi terbuka
terhadap semua cara karena bagi kita yang paling penting adalah bukan mempertahankan cara
kita tetapi menghilangkan penderitaan yang mereka alami.

Dialog antar agama tidak cukup hanya sekedar suatu pertukaran informasi akademis
tentang berbagai tradisi yang berbeda, tetapi juga harus menerapkan semacam taktik
korelasional, seanalogi dengan metode korelasi yang ada dalam teologi kristen, mitra dialog
tidak hanya berbicara tentang tradisi relogius mereka masing-masing tetapi juga tentang
bagaimana tradisi itu bisa dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer kita.
Dengan kata lain dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita dan dunia
ini. Saya pribadi setuju dengan kalimat ini karena sebuah dialog tidak akan berguna jika
didak membuahkan hasil baik atau hanya sekilah untuk mengetahui mengenai agama orang
lain tetapi bagaimana melalui dialog ini dapat menemukan sebuah solusi yang baik untuk
membantu permasalahan global yang terjadi.

Dunia pascamodrend menampilkan segitiga kenyataan dan tuntutan yaitu seperti yang
diistilahkan oleh Mark Kline Taylor sebagai trilema adalah harus setia kepada identitas dan
tradisi kita sendiri, harus benar-benar terbuka terhadap pluralitas tradisi lainya, dan harus
menentang dominasi yang merusak dunia kita. Terkadang kestiaan terhadap kesetiaan kepada
tradisi atau hubunganya dengan pluralitas tradisi lain dilaksanakan tanpa kesadaran terhadap
ketidakadilan tanpa kesadaran terhadap ketidakadilan dan dominasi sehingga menyebabkan
begitu banyak penderitaan manusia dan ekologi. Seringkali kita membicarakan tentang
kesamaan pengalaman manusia atau kodosi manusia atau kemanusiaan tanpa sadar bahwa
kondisi atau pengalaman kebanyakan orang adalah kondisi atau pengalaman dominasi dan
penderitaan. Kita harus menyepakati suatu hak utama atau keutamaan dari suara mereka
yang menderitta; jika tidak dialog menjadi tidak representatif atau tidak responsif terhadap
dunia sebagaimana adanya. Rebecca Chopp menjelaskan bahwa hanya dengan berdiri
bersama mereka yang menderita, yang miskin dan tertindas, yang hidup dan yang mati kita
akan melihat realitas keberadaan manusia.

Penderitaan bersifat universal dan bersifat langsung sehingga menjadi ranah yang
sangat cocok, dan diperlukan, untuk membangun suatu dasar bersama dalam melaksanakan
perjumpaan antar-agama. Hubungan langsung ini terdapat dalam semua agama dan budaya.
Jika suara dari kaum tak bersuara tidaj didengar, percakapan akan kandas dan rasionalitas kita
tak ada artinya. Hanya dengan cara itu dialog menjadi cukup luas dan serius. Oleh karena itu
suara korban yang tersingkir termasuk mereka yang berbicara atas nama bumi yang
dikorbankan memiliki tempat terhormat dala dialog, bukan karena mereka begitu berbeda
namun karena perbedaan mereka menantang dan bisa merusak atau mengalihkan kesadaran
kita. Tempat istemewa para korban berarti bahwa dialog belum dianggap komplet kecuali
suara mereka yang menderita didengar, bukan hanya pertama-tama tetapi juga terus menerus
dan serius.

Kewajiban moral untuk menjadikan tanggung jawab global sebagai suatu bagian
penting dari dialog bisa menjadi suatu bagian penting dari dialog bisa menjadi suatu
kesempatan hermeneutis yang dapat memberikan dinamisme dan terang baru terhadap
berbagai upaya saling memahami tradisi agama kita.

Anda mungkin juga menyukai