Anda di halaman 1dari 45

Draft pengantar untuk diskusi kelompok

EATWOT
Pertimbangan mengenai Teologi
Publik
Yang Berorientasi Pembebasan
Holistik

J.B. Banawiratma

Catatan singkat berikut ini menyampaikan


beberapa pertimbangan mengenai teologi
publik yang berorientasi pembebasan
holistik: (1) Pengertian teologi publik, (2)
kerangka analisis sosial struktural
multidimensional, (3) visi pembebasan
holitik, (4) kontribusi praktis dari teologi
publik.

1. Pengertian Teologi Publik

Kata publik berasal dari kata Latin


publica dan biasanya disambung dengan
kata res yang berarti “hal”. Res publica

1
berarti hal publik. Badan-badan publik
dalam sebuah Republik (berasal dari res
publica) semestinya menyediakan
pelayanan umum. Sejak dahulu sampai
sekarang ini perihal umum itu tidak pernah
tunggal tetapi plural sesuai dengan
perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat seperti perbedaan kelas,
perbedaan kultur, perbedaan pilihan politik,
dan perbedaan konteks. Oleh karena itu
teologi publik sebagai usaha untuk
mempertangungjawabkan hidup beriman di
tengah-tengah realitas publik tidakkah
tunggal, dan mendapat bentuk plural, yaitu
teologi-teologi publik (Smit 2017:75).
Sebastian Kim dan Katie Day, editor
dari buku A Companion to Public Theology
(2017) mengingatkan pentingnya untuk
menegaskan apa yang dimaksud dengan
publik.
“Proses aktual keterlibatan teologis
dengan isyu publik adalah mulai
dengan menentukan apa yang
dimaksud dengan publik. Selama publik
dimengerti secara abstrak dan tidak
berbentuk, usaha keterlibatan teologis
akan abstrak dan tidak relevan. Premis

2
teologi publik adalah bahwa diskursus
komunitas para teolog akademis tidak
hanya melayani dirinya sendiri
melainkan dekat dengan kepedulian
rakyat biasa. Teologi publik merupakan
diskursus dalam konteks tertentu
mengenai isyu tertentu. Contohnya:
Konferensi para Uskup Amerika Serikat
mengenai ekonomi dan para teolog
Kairos dalam konteks apartheid Afrika
Selatan” (Day dan Kim 2017:11).
Konferensi para Uskup Amerika Serikat itu
(1986) mencanangkan keadilan ekonomi
bagi semua orang, dan para teolog Kairos di
Afrika Selatan bergerak bersama Nelson
Mandela dan Desmond Tutu untuk
pemerdekaan rakyat dari diskriminasi dan
peminggiran karena warna kulit. Nelson
Mandela bernegosiasi dengan
Presiden Frederik Willem de Klerk untuk
menghapuskan apartheid dan
melaksanakan pemilu multiras tahun 1994.
Kita lanjutkan usulan Kim dan Day di
atas tentang pentingnya nenegaskan
pengertian mengenai publik. Publik
berhubungan juga dengan kata Latin
“publicare” artinya meng-umum-kan.

3
Dengan demikian hal yang belum publik
menjadi publik karena telah di-umum-kan
atau di-publikasi-kan. Hal yang menjadi
publik tidak lagi merupakan hal privat atau
tertutup pada orang-orang tertentu saja.
Jadi publik berhubungan dengan kelompok
atau komunitas yang mengetahui, entah
tersentuh atau tidak tersentuh secara positif
ataupun secara negatif. Komunitas itu bisa
kecil bisa besar. Komunitas itu hidup dalam
relasi internal yang kuat atau dengan relasi
yang sangat cair. Komunitas juga bisa
bersifat mikro, meso atau makro, bisa lokal,
nasional, regional sampai internasional.
Yang penting untuk teologi publik adalah
perlunya menegaskan bersama komunitas
mana teologi itu dikembangkan. Teologi
publik yang berorientasi pembebasan
holistik berteologi bersama dengan
komunitas dan alam yang menjadi korban
ketidakadilan.
Sebenarnya sejak awal jemaat kristiani
sudah berteologi publik untuk menjalami
hidup beriman di tengah-tengah realitas
publik. Didorong oleh memoria kolektif
akan hidup dan gerakan Yesus di tengah-
tengah realitas penjajahan politik dan

4
ekonomi, jemaat awal menjalani hidup
bersama dalam solidaritas yang sangat kuat.
Mereka hidup bersama dalam persaudaraan
communis (panta koina, Kis 4:32) dengan
tetap mempertahankan kepemilikan privat.
Paulus menegur jemaat Korintus yang
hidup dalam realitas publik ketimpangan
antara yang kaya dan yang miskin. Jemaat
Korintus ditegur karena perjamuan kudus
mereka melegitimasikan pemisahan antara
yang kaya dan yang miskin sehingga banyak
yang lemah dan sakit dan tidak sedikit yang
meninggal (1 Kor 11:17-34). Teologi publik
Martin Luther berbeda dengan Thomas
Müntzer mengenai pemberontakan kaum
petani (1525). Uskup Oscar Arnulfo Romero
berteologi publik bersama orang-orang
miskin, orang-orang yang disiksa dan
dibunuh oleh Junta militer El Salvado,
dengan akibat dia ditembak ketika sedang
memimpin perjamuan ekaristi (1980).
Komunitas Yesuit pengelola Universitas
José Simeón Cañas juga berteologi publik
pada fihak para korban kekerasan Junta
mileter El Salvador itu. Akibatnya, seluruh
komunitas diberondong peluru (1989).
Teologi publik Pdt. Gianto (2017) tidak
berada pada fihak perusahaan bisnis kelapa

5
sawit PT Bangun Nusa Indah Lampung
(BNIL), melainkan pada Serikat Tani
Korban Gusuran BNIL (STKGB). Akibatnya,
dia masuk penjara.
Demikianlah res publica tidak bebas
dari konflik kepentingan dan konflik
pilihan. Dalam konflik kepentingan itu
teologi publik tidak netral, sebab posisi
netral berarti membiarkan yang lemah
kalah, dan yang dipinggir tersingkir.
Bersikap netral berarti berada pada pihak
kekuatan yang mengalahkan dan yang
menyingkirkan. Buku yang berjudul Roh
Allah Melayang di atas Air. Teologi Air
bagi Keutuhan Ciptaan” (Lim & Mutiara
Andalas 2021) yang ditulis oleh kelompok
EATWOT adalah contoh teologi publik.
Buku itu merefeksikan isyu air yang
merupakan kepentingan publik sangat luas
menyangkut petani, kaum miskin,
perempuan dan alam raya dari berbagai
narasi dan sudut pandang.
Dalam konteks realitas publik yang
plural dan konfliktif Felix Wilfred, dalam
bukunya, Asian Public Theology. Critical
Concerns in Challenging Times (2010: xii-
xv), menunjuk empat wilayah sangat

6
penting sebagai subjek teologi publik Asia,
yakni (1) membela kebebasan melawan
bebagai macam dan berbagai tingkat
kelaliman dari fihak negara, (2) membela
kaum miskin berhadapan dengan tirani
pasar, (3) menciptakan komunitas-
komunitas yang tidak eksklusif dan yang
harmonis, dan (4) melindungi lingkungan
hidup. Indonesia termasuk Asia yang
mengandung 4 hal itu, yang sebenarnya
juga merupakan hal publik yang
menyangkut semua orang untuk melawan
kematian bersama agar dapat membangun
kehidupan bersama dalam satu kosmos,
rumah bersama dari keluarga Allah.
Sekurang-kurangnya dapat dibedakan
empat macam teologi publik sebagai
berikut.
(1) Model pertama adalah teologi yang
mengkaji isyu publik berpangkal pada
tradisi-tradisi kristen sejak Alkitab yang
terus-menerus ditafsirkan sampai
sekarang, dengan maksud untuk
memberikan orientasi etis bagi Gereja.
Teologi publik di sini melayani Gereja.
(2) Model kedua adalah teologi yang
mengkaji isyu publik dari perspektif
7
tradisi kristen dan dari pespektif ilmu-
ilmu yang bersangkutan misalnya ilmu-
ilmu sosial, political economy, ilmu
kedokteran, ilmu fisika, ilmu biologi
lingkungan dll. Dua atau lebih
pendekatan diolah dalam dialog kristis.
Dalam hal ini teolog harus bisa masuk
dalam ilmu yang bersangkutan mengikuti
logika internal ilmu itu. Teologi yang
dihasilkan bisa dimengerti oleh Gereja,
oleh masyarakat akademis ilmu-ilmu
non-teologi atau oleh masyarakat umum.
Keterbatasan teolog dalam hal ilmu lain
dapat diatasi misalnya dengan bekerja
dalam tim.
(3) Model ketiga adalah teologi yang
mengkaji isyu publik dalam dialog
dengan tradisi agama lain. Hasil dari
teologi publik model ketiga ini bisa
dimengerti oleh umat lintas agama.
Agama tidak dibatasi pada agama-agama
besar, melainkan juga agama-agama
suku dan komunitas-komunitas yang
terikat pada unsur transenden yang
mengatasi komunitas itu. Agama berasal
dari kata Sansekerta “gam” artinya
berjalan atau pergi dan “a” artinya tidak,
agama berarti tidak berjalan atau tidak

8
pergi; komunitas beragama terikat oleh
unsur transdenden yang mengatasi
komunitas. Arti serupa, kata Inggris
“religion” berhubungan dengan kata
Latin “religare” yang artinya “mengikat”.
Ikatan itu kemudian menjadi tradisi.
Keterbatasan teolog dalam hal tradisi-
tradisi agama lain dapat diatasi misalnya
dengan bekerja dalam tim. Teologi yang
dihasilkan bisa dimengerti oleh
masyarakat akademis dan masyarakat
umum lintas agama.
(4) Model keempat adalah teologi publik
yang bergerak sejak awal bersama publik,
menentukan fokus penelitian bersama
publik, menjalani proses penelitiannya
bersama publik, menegaskan nilai yang
akan dikembangkan dan analisis yang
akan dipakai bersama publik, dan
akhirnya menghasilkan teologi dapat
dimengerti oleh dan melayani
kepentingan publik yang terlibat. Di
sinipun publik bisa melibatkan
komunitas luas atau terbatas, atau
bahkan terbatas pada pemimpin
komunitasnya, seperti Paus Fransiskus
dengan Imam Besar Al-Azhar Ahmad Al-
Tayyeb. Tahun 2019 Paus Fransiskus

9
bersama Imam Besar Al-Azhar Ahmad
Al-Tayyeb menandatangani “A Document
on Human Fraternity for World Peace
and Living Together”. Di situ opsi untuk
peduli terhadap saudara-saudari yang
miskin dan termarginalkan menjadi satu
dengan atau merupakan wujud dari
penyembahan kepada Allah, “In the
name of God … In the name of the poor,
the destitute, the marginalized and those
most in need …”.
Keempat model teologi publik di atas
bisa mempunyai orientasi yang sejalan
dengan pembebasan holistik atau
berorientasi lain entah apa namanya, entah
ke mana arahnya, atau bisa berorientasi
yang berlawanan dengan pembebasan
holistik. Analsis kritis yang baik berusaha
seobyektif mungkin mengaji data. Meskipun
demikian sekarang ini umumnya diterima
bahwa tidak ada analisis sosial yang seratus
persen bebas nilai. Oleh karena itu lebih
baik kalau teologi publik merumuskan dulu
nilai apa yang mau dibela dan
dikembangkan, misalnya untuk
mengembangkan solidaritas para petani dan

10
mengembangkan kehidupan ekonomi
mereka.
Gagasan mengenai teologi publik
berorientasi pembebasan holistik di sini
memilih model analisis sosial struktural
yang berakar pada analisis Karl Marx.
Dalam struktur itu terdapat bangungan atas
dan bangunan bawah, terdapat ideologi dan
ekonomi, terdapat pemilik kapital serta alat-
alat produksi dan buruh. Inspirasi analisis
sosial struktural dari Karl Marx itu sudah
jauh dikembangkan dengan melihat
macam-macam unsur dan dimensi yang
dahulu belum masuk dalam analisis Karl
Marx. Berikut salah satu contoh kerangka
analisis sosial struktural multi-dimensional

2.Kerangka Analisis Sosial Struktural


Multi-dimensional: Sebuah Contoh

Dalam kerangka analisis sosial


struktural multidimensional berikut ini
terdapat ketimpangan dan ketidakadilan
dalam relasi-relasi antara kelas dalam
masyartakat, begitu pula dalam relasi-relasi

11
laki-laki perempuan dan orientasi gender,
dan juga dalam pelanggaran hak asasi
manusia terhadap yang lemah dan
tersingkir, tak terlupakan ketidakadilan
yang ditanggung oleh alam raya. Semua itu
saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, ketidakadilan bersifat
struktural, meresapi dan dilestarikan oleh
struktur-struktur yang tidak adil. Data
mengenai inequality Indonesia dan dunia
dapat dilihat melalui internet, termasuk
data tentang akibat dari ketimpangan dan
ketidakadilan itu, antara lain kematian
karena kelaparan per harinya dalam jumlah
yang besar. Update kondisi kerusakan
lingkungan hidup juga bisa dilihat melalui
internet.
Kerangka analisis sosial struktural
multi-dimensional berikut ini muncul dalam
rangka berbagai lokakarya bersama
berbagai aktivis dan kelompok
pemberdayaan dengan tema
“Pemberdayaan kaum miskin dengan
perspektif adil gender, HAM dan
lingkungan hidup” tahun 80-an sampai 90-
an. Bentuk dasar kerangka lahir dari diskusi

12
dengan Wiladi Budiharga, mitra
pendamping.

Ketimpangan dan ketidakadilan


nasional dan lokal juga dipengaruhi oleh
globalisasi ekonomi yang didukung oleh
globalisasi teknologi dan revolusi industri
4.0. Dalam bukunya yang berjudul Revolusi
Industri Keempat Klaus Schwab menulis:
“Kita juga hidup dalam dunia dengan
ketidak-setaraan yg kian meningkat,
sebuah fenomen yg akan diperburuk
dengan perubahan besar-besaran dalam
dunia kerja … Melebarnya marginalisasi
sosial, tantangan untk menemukan
sumber-sumber yg dapat diandalkan
13
untk memaknai dunia modern, dan
kekecewaan terhadap elite dan struktur
yg sudah mapan, sebagaimana yg
dirasakan maupun yg benar-benar
terjadi, telah memotovasi gerakan-
gerakan ekstrem dan mengizinkan
mereka untuk merekrut sebuah
perlawnan penuh kekerasan melawan
sistem-sistem yg ada sekarang”
(Schwab 2019:104).
Siapa yang beruntung? Menurut Schwab:
“Pihak-pihak yang memperoleh
keuntungan dari industri keempat
merupakan penyedia modal intelektual
maupun fisik: para inovator, investor,
dan pemegang saham, yang
menjelaskan semakin besarnya jurang
kekayaan antara yang tergantung pada
kerja dan mereka yang memiliki modal”
(Schwab 2019: 10).
Klaus Schwab menyerukan “Sekarang
semuanya kembali kepada kita” (2019:104),
dan juga menyerukan etika menjadi pusat
yang menggerakkan secara individual dan
kolektif, dan lagi mengenai sistem: “Kita
harus mulai membentuk ulang sistem

14
ekonomi, sosial, dan politik kita agar dapat
mengambil keuntungan penuh dari pelbagai
peluang yang ada” (2019:146). Dalam
analisisnya, Schwab tidak memasukkan isyu
ketidakadilan dan konflik kepentingan
dalam ketimpangan dan jurang kekayaan
itu. Oleh karena itu dia juga tidak
memperhitungkan bahwa dalam apa yang ia
sebut “kita” terdapat konflik kepentingan,
bahwa peluang yang ada itu tidak tersedia
bagi yang lemah dan terpinggir, yang tidak
ikut mengambil keuntungan, yang malahan
makin tersingkir. Klaus Schwab adalah
pendiri dan ketua eksekutif World
Economic Forum. Memang struktur-
struktur untuk melawan ketidakadilan
dalam ketimpangan dan jurang kekayaan itu
akan menggoyang perdagangan bebas dan
pasar global yang menguntungkan orang-
orang berkapital dari World Economic
Forum itu.
Untuk mempertajam pikiran struktural
multi-dimensional diatas kiranya analisis
mengenai tiga poros kekuasaan yang saling
berhubungan dan menentukan ranah publik
sangat membantu, yaitu kekuasaan pasar,
kekuasaan negara, dan kekuasaan

15
komunitas (Herry-Priyono 2004a dan
2004b).

Komunitas menunjuk hubungan dan


kegiatan spontan dari para warga masarakat
tanpa ciri transaksi atau administrasi.
Kerekatan antar warga menentukan hidup
komunitas. Komunitas dapat terbentuk atas
dasar sejarah, daerah, suku, ras, agama,
profesi dan lain sebagaimya yang sama.
Negara secara konkrit berarti tindakan-
tindakan melalui badan-badan publik, yang

16
bertanggungjawab untuk terwujudnya
tatanan hidupan publik demi kesejahteraan
bersama. Mereka juga mempunyai kuasa
untuk mengatur tatanan sosial. Pasar
menunjuk transaksi ekonomis antara
penjual dan pembeli yang dijalankan secara
sukarela sesuai dengan barang dan jasa
yang ada, dalam lingkup mikro, meso,
makro atau global. Untung-rugi dan
efisiensi ekonomis merupakan motif yang
mendorong begeraknya pasar.
Tiga poros kekuasaan itu menentukan
ranah publik, yg meliputi asset dan barang-
barang publik, ruang publik, pelayanan
pelayanan publik seperti kesehatan dan
pendidikan, lapangan kerja. Semakin ketiga
poros kekuasaan itu berfungsi baik, semakin
tercipta masyarakat yang adil, dan ranah
publik semakin terjangkau oleh semua
warga, juga oleh kaum miskin dan yang
paling lemah. Berbagai konflik kepentingan
juga bermain dalam interaksi antara ketiga
poros kekuasaan itu. Dalam konteks baru di
mana terbuka disrupsi inovatif, di antara
ketiga poros itu yang paling lincah, paling
kreatif, dan paling agresif adalah poros
pasar. Sehubungan dengan ini peneletian

17
Thomas Piketty sangat penting untuk
dipertimbangkan.
Thomas Piketty adalah Profesor pada
École d’économie de Paris dan Direktur dari
École des hautes études en sciences sociales
di Paris. Tahun 2013 terbit bukunya
berjudul Le Capital au XXIe siècle. Tahun
2014 terbit terjemahannya dengan judul
Capital in the Twenty-first Century.
Meskipun berbeda paradigma berfikirnya,
judul itu memancing asosiasi pada buku
Das Kapital dari Karl Marx yang volume
pertamanya terbit lebih dari satu setengah
abad lalu (1867). T. Piketty tidak menamai
ilmunya “economic science”, melainkan
“political economy”. Sebab, bagi dia ilmu
ekonomi merupakan subdisiplin dari ilmu-
ilmu sosial bersama dengan sejarah,
sosiologi, antropologi dan ilmu politik.
Buku Capital in the Twenty-first
Century merupakan hasil penelitian
historsnya selama 15 tahun. Penelitian
historis yang sangat luas itu menegaskan
tesis mengenai kontradiksi pokok dari kapi-
talisme, yang ia sebut r > g (r = rate of
return on capital; g = rate of growth of
income and output).

18
“… the private rate of return on capital,
r, can be significantly higher for long
periods of time than the rate of growth
of income and output, g. The inequality
r > g implies that wealth accumulated
in the past grows more rapidly than
output and wages. This inequality
expresses a fundamental logical
contradiction” (Piketty 2014:571).
Keuntungan yang kembali ke kapital dapat
luar biasa jauh lebih tinggi dari pada
pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran.
Lama kelamaan kontradiksi itu
mengakibatkan adanya konsentrasi
kekayaan pada segelintir orang serta
membawa ketimpangan dan lagi
ketimpangan (lih. juga Herry-Priyono
2014).
Tahun 2019 Piketty menerbitkan buku
Capital et idéologie, yang diterjemahkan
dalam bahasa Inggris dengan judul Capital
and Ideology 2020. Buku ini dapat
dikatakan melanjutkan buku 2014, yaitu
mencari jalan keluar dari ketimpangan
melalui penelitian historis yang luas dan
mengusulkan hal-hal yang perlu untuk
mengatasi ketimpangan itu dalam suatu

19
masyarakat yang adil. Buku ini memberikan
sumbangan pemikiran dan analisis
berhubungan dengan pasar, negara dan
komunitas.
“Sejarah masyarakat sampai sekarang
ini adalah sejarah perjuangan kelas”, begitu
pernyataan Karl Marx dan Friedrich Engels
dalam Manifesto Komunis 1848. Menurut
Piketty pernyataan itu masih relevan. Hanya
saja ia merumuskannya kembali: “Sejarah
masyarakat-masyarakat sampai sekarang ini
adalah sejarah perjuangan ideologi dan
pencarian keadilan” (Piketty 2020:1035).
Sebab begitulah yang ditemukan oleh
Piketty, bahwa sejarah rejim ketimpangan
sejak zaman primitif sampai pasca kolonial
dan hiperkapitalisme sekarang ini disangga
oleh ideologi (Piketty 2020:1035-1037).
Dalam arti tertentu teologi juga merupakan
bagian dari ideologi itu.
Piketty mendefinisikan masyarakat adil
sebagai berikut.
“Masyarakat yang adil adalah
masyarakat yang memungkinkan
semua anggotanya mendapatkan akses
untuk kesehatan, hak suara, dan secara

20
lebih umum untuk berpartisipasi
sepenuh mungkin dalam pelbagai
bentuk kehidupan sosial, kutural,
ekonomik, civik, dan politik.
Masyarakat yang adil
mengorganisasikan hubungan-
hubungan sosio-ekonomik hak-hak
kepemilikan, dan distribusi pendapatan
serta kekayaan begitu rupa sehingga
memungkinkan anggota yang paling
tidak diuntungkan untuk menikmati
kondisi kehidupan setinggi mungkin.
Masyarakat adil sama sekali tidak
menuntut keseragaman dan kesetaraan
absolut. Sejauh ketidaksetaraan dalam
penghasilan dan kekayaan merupakan
akibat dari aspirasi-aspirasi yang
berbeda dan pilihan-pilihan hidup
tertentu, atau sejauh memungkinkan
kemajuan standar hidup dan tersedia
peluasan peluang bagi yang kurang
beruntung, masyarakat itu masih bisa
dianggap adil. Tertapi bukti mengenai
hal itu harus ditunjukkan, tidak hanya
diasumsikan, apalagi argumen ini tidak
dapat digunakan untuk membenarkan
tingkat ketidaksetaraan manapun,

21
sebagaimana sering terjadi” (Piketty
2020:967-968).
Piketty mengakui bahwa definisi itu tidak
sempurna. Meskipun demikian bagi kita
dapat membantu karena prinsip-prinsip
tertentu yang berguna untuk mengamati
fenomena apakah masyarakat menuju ke
keadilan atau memperlebar ketimpangan
dan ketidakadilan. Dia masih
menambahkan prinsip penting, bahwa
dalam masyarakat yang adil:
“Kesetaraan untuk akses terhadap
kebutuhan-kebutuhan dasar harus
bersifat absolut: masyarakat adil tidak
dapat memberikan partisipasi politik
lebih besar, peluasan pendidikan, atau
penghasilan lebih tinggi kepada
kelompok-kelompok tertentu dan
bersamaan dengan itu terhadap yang
lain menghilangkan hak suara,
kesempatan untuk bersekolah atau
untuk menerima pelayanan kesehatan”
(Piketty 2020:968)
Dahulu Piketty percaya bahwa
sosialisme merupakan gagasan yang gagal.
Tapi kemudian dia melihat kapitalisme

22
sudah bergerak terlalu jauh. Dia berbicara
mengenai hiperkapitalisme antara lain
dihubungkan dengan bentuk-bentuk
ketimpangan pada abad 21 (2020:648-653),
pemiskinan dari negara-negara miskin serta
liberalisasi perdagangan (2020:693-696),
sakralisasi kepemilikan privat (2020:120-
124), dari ilusi filantropik ke sakralisasi
kaum miliarder (2020:713-716), dan
kemudian juga dalam hubungan dengan
keadilan sosial serta keadilan iklim
(2020:661-665).
Sistem kapitalisme sekarang ini perlu
diatasi karena telah memperdalam
ketimpangan dan menguras bumi. Yang
dibutuhkan sekarang adalah sosialisme
yang didesentralisasikan, yang federal,
demokratis, ekologis, multirasial dan
feminis (Piketty 2021: noema.com). Piketty
menggunakan istilah “sosialisme
partisipatoris”. Dia tidak membayangkan
perubahan menuju sosialisme partisipatoris
itu melalui revolusi, melainkan melalui
gerakan dan gerakan jangka panjang.
Mungkin bisa dikatakan melalui proses
panjang sekali dengan banyak perdebatan di
mana-mana mengenai ideologi yang

23
mendukung ketimpangan sekarang ini dan
melalui pencarian keadilan terus-menerus.
Wawancara Narayan Lakshman dengan
Piketty (2021, thehindu.com piketty),
menceriterakan pandangan Piketty sebagai
berikut.
“Gagasan dasar dari sosialisme
partisipatoris adalah bahwa setiap
orang mempunyai kekuatan untuk
ambil bagian dalam kehidupan
ekonomi. Ini berarti bahwa setiap
orang mempunyai akses pada milik
pribadi. - Saya percaya pada
kepemilikan privat dan tidak ingin
kepemilikan negara atau
komunisme. - Hal itu menuntut
sistem pajak yang lebih progresif
untuk mengurangi penarikan pajak
pada kelompok-kelompok yang
paling miskin dalam masyarakat
dan barangkali sampai pada
membayarkan dana atau warisan
yang diterima oleh setiap orang.
Sekarang kita menerima adanya
peluang yang sama, tetapi kita
hidup dalam dunia di mana 50%
penduduk kelas bawah tidak

24
menerima kekayaan warisan dari
kelas atas, sedangkan orang-orang
tertentu menerima jutaan atau
milaran.
Dimensi lain dari sosialisme
partisipatoris itu adalah bahwa para
buruh harus dapat berpartisipasi
dalam pengelolaan perusahaan-
perusahaan mereka entah mereka
ikut ambil bagian dalam modal atau
tidak.”
Pajak progresif dikenakan pada
kepemilikan, kekayaan warisan dan
pedapatan (2020:981-985). Hasil pajak
itulah yang akan dipakai untuk membiayai
pendapatan pokok dan untuk dana modal
bagi setiap warga. Dengan demikian
dimungkinakan terjadinya sirkulasi yang
lebih besar dari kekuasaan dan kepemilikan.
Kepemilikan kapital menjadi sementara dan
tidak absolut. Piketty juga menghubungkan
diskusi mengenai pajak progresif dengan
landreform (2020:985-989). Bisa
dibayangkan, kalau sirkulasi kekuasaan dan
kepemilikan atas tanah itu berjalan terus,
para petami gurem dan petani penggarap

25
akan menjadi lebih berpartisipasi dan
berproduksi.

3.Visi Pembebasan Holistik: Laudato


Si’, Sebuah Contoh

Uraian tentang Laudato Si’ (LS) ini


sudah masuk dalam Kamus Gereja dan
Teologi Kristen sebagai bagian dari entri
“Ajaran Sosial Gereja”, di sini ada sedikit
tambahan uraian dan tambahan kutipan. LS
(2015) menyampaikan visi pembebasan
holistik, yang mendengarkan “jeritan bumi
maupun jeritan kaum miskin” (LS art. 49).
“Baik pengalaman hidup sehari-hari maupun
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa efek
paling parah dari semua perusakan
lingkungan diderita oleh kaum miskin” (LS
art.48). Pembebasan tidak hanya diperlukan
oleh kaum miskin. Mereka yang memegang
kekuasaan politis, ekonomis dan sosial juga
diundang untuk memasuki gaya hidup yang
sejalan dengan gerakan pembebasan holistik
rumah yang kita bersama ini (LS art. 206).
Dokumen ajaran sosial ini
membicarakan masalah-masalah sosial
secara menyeluruh. Lebih dari peduli

26
terhadap lingkungan hidup yang terbatas,
Paus Fransiskus secara radikal
membicarakan realitas ekologis (oikos,
rumah/keluarga), de communi domo,
rumah kita bersama, yang sangat mendesak
mengundang kesadaran dan tanggungjawab
manusia. Ensiklik ini mulai dengan
kenyataan yang terjadi dalam rumah kita
bersama: polusi dan perubahan iklim,
limbah dan budaya buang sampah, masalah
air, hilangnya keanekaragaman hayati,
penurunan kualitas hidup manusia dan
kemerosotan sosial, ketimpangan global (LS
art. 17-52).
Antroposentrisme sesat yang biasa
dianggap bertanggungjawab atas ekologi
tidak diganti dengan biosentrisme. Paus
Fransiskus menolak di satu sisi
“pengagungan teknokrasi yang tidak
mengakui nilai intrinsik makhluk-makhluk
lain” dan di sisi lain tidak menerima “reaksi
yang menolak nilai khusus apa pun kepada
manusia” (LS art. 118). “Manusia tidak
dapat diharapkan melibatkan diri penuh
hormat ke dalam dunia, jika tidak serentak
ada pengakuan dan penghargaan terhadap
kemampuannya yang unik berupa

27
pengetahuan, kehendak, kebebasan, dan
tanggung jawab” (LS art. 118).
Dalam rumah kita bersama ini terdapat
ketimpangan global (LS art. 48-52). Salah
satu akar besar yang menyebabkannya
adalah globalisasi paradigma teknokratis
yang mendominasi ekonomi dan politik.
Meskipun tidak disebut istilahnya, namun
jelas yang dimaksudkan adalah kapitalisme
global melalui mekanisme pasar bebas yang
didukung atau dibiarkan oleh politik global.
Artikel 109 memberikan gambaran yang
jelas. Berikut kutipan seluruh artikel.
“Paradigma teknokratis juga cenderung
untuk mendominasi bidang ekonomi
dan politik. Ekonomi menerima setiap
kemajuan teknologi yang membawa
keuntungan, tanpa memperhatikan
kemungkinan dampak negatif bagi
manusia. Dunia keuangan melemahkan
ekonomi riil. Kita belum belajar dari
krisis keuangan global, dan kita
terlambat belajar dari kerusakan
lingkungan. Beberapa kalangan
mempertahankan pandangan bahwa
ekonomi dan teknologi sekarang ini
akan menyelesaikan semua masalah

28
lingkungan. Demikian pula, dikatakan,
dalam bahasa yang kurang akademis,
bahwa masalah kelaparan dan
kemiskinan di dunia akan diselesaikan
melalui pertumbuhan pasar saja. Ini
bukan soal keabsahan teori ekonomi
yang mungkin saat ini tidak seorang
pun berani pertahankan, tetapi soal
penerapannya dalam pengembangan
ekonomi. Mereka yang mungkin tidak
mengiakan teori tersebut dengan kata-
kata, tetap mendukungnya dengan
perbuatan yang tidak menunjukkan
perhatian pada tingkat produksi yang
lebih seimbang, distribusi kekayaan
yang lebih baik, kepedulian terhadap
lingkungan, dan hak-hak generasi
mendatang. Perilaku mereka
menunjukkan bahwa hal
memaksimalkan keuntungan sudah
cukup bagi mereka. Tetapi pasar tidak
dengan sendirinya menjamin
pengembangan manusia secara integral
atau pelibatan sosial. Pada saat yang
sama, kita menyaksikan “semacam
‘superdevelopment’ berbentuk hidup
boros dan konsumtif, yang harus
ditolak karena kontras dengan situasi

29
penderitaan tak manusiawi yang
berlangsung terus”; sementara kita
amat terlambat dalam mengembangkan
lembaga-lembaga ekonomi dan
prakarsa sosial yang dapat memberi
orang miskin akses teratur ke sumber-
sumber daya yang mendasar. Kita gagal
untuk melihat akar terdalam dari
ketimpangan saat ini yang terkait
dengan arah, tujuan, makna, dan
konteks sosial perkembangan teknologi
dan ekonomi.” (LS 109)
Pernyataan di atas mengingatkan akan
teori “trickle down effect” yang mungkin
tidak ada lagi pembelanya, tetapi tetap
terjadi praktek yang memprioritaskan profit
ketimbang solidaritas terhadap yang lemah
dan mendesaknya pemeliharaan
lingkungan. Teologi publik tidak bisa
menghindar dari diskusi-diskusi analitis
pada level teoretis untuk melihat yang mana
berada pada fihak kepentingan siapa. Sebab,
unsur-unsur teoretis yang sepintas tampak
jauh dari komunitas mikro atau meso tetap
mempunyai pengaruh praktis, misalnya
sehubungan dengan apa yang dimakan, apa
yang dikenakan, nilai-nilai mana yang

30
dikembangkan dalam kehidupan rakyat
biasa dan dalam pendidikan anak.
Bagi Paus Fransiskus hubungan
manusia dengan manusia, dengan alam dan
dengan Allah tidak terpisahkan (LS art. 119).
Laudato Si’ mengutip “Gita Sang Surya”
dari Santo Fransiskus Assisi (LS art. 87).
Dalam menerjemahkan “Gita Sang Surya”
itu, Romo Martin Harun memberi catatan
tentang kata Latin “per” yang mungkin
diterjemahkan dengan “karena” atau
“melalui”. Kiranya baik kalau dua-duanya
diperhatikan. “Karena” menunjukkan alam
raya sebagai alasan yang menyebabkan
meluapnya pujian dan syukur kepada Tuhan
Allah. “Melalui” menunjukkan alam raya
sebagai tanda dan sarana, sebagai
“sakramen” kehadiran dan karya Allah,
“bahasa cinta Allah, kasih-sayang-Nya yang
tak terbatas bagi kita” (LS art. 84). Paus
Fransiskus mengutip para Uskup Brasil:
“Dalam setiap makhluk tinggallah Roh-Nya
yang memberi hidup dan memanggil kita
untuk masuk ke dalam hubungan dengan
Dia. Menemukan kehadiran ini mendorong
kita untuk mengembangkan ‘kebajikan-
kebajikan ekologis’.” (LS art. 88).

31
LS mengapresiasi gerakan-gerakan
kolektif maupun perorangan yang
mengatasi atau mengurangi dampak negatif
dan yang menjalani gaya hidup
bertanggungjawab dalam situasi yang rawan
dan kacau, begitu pula negara-negara yang
secara serius memperhatikan situasi rumah
kita bersama. Diapresiasi juga “ekologi
manusiawi yang dapat dikembangkan orang
miskin di tengah begitu banyak
keterbatasan” (LS art. 148).
Namun, secara tegas Paus Fransiskus
menyatakan: ”Apa yang sekarang sedang
terjadi, mendesak kita untuk bergerak maju
dalam sebuah revolusi budaya yang berani”
(LS art. 114). Mengapa bergerak maju dalam
revolusi kultural? Pengertian mengenai
kemajuan perlu didefinisikan ulang.
Sekarang kita menghadapi budaya
“membuang” (throwaway culture) yang
mempengaruhi seluruh planet (LS art. 20-
22), bahkan yang kita hadapi juga budaya
kematian (culture of death, LS art. 213).
Kita perlu mengubah model pembangunan
global (LS art. 194).
Revolusi kultural bukanlah gerakan
jangka pendek, melainkan memerlukan

32
ketahanan jangka panjang. Bab 5 (LS art.
163-201) membicarakan beberapa pedoman
untuk orientasi dan aksi, yaitu (1) dialog
tentang lingkungan dalam politik
internasional, (2) dialog untuk kebijakan
baru nasional dan lokal, (3) dialog dan
transparansi dalam pengambilan
keputusan, (6) politik dan ekonomi dalam
dialog untuk pemenuhan manusia, dan (7)
agama-agama dalam dialog dengan ilmu.
Semakin luas partisipasi dalam gerakan
pembebasan holitik ini semakin jauh pula
jangkauan yang dicapai. Akhirnya LS bab 6
(LS art. 202-246) menunjuk perlunya
pendidikan dan spiritualitas ekologis.
Perubahan kultural yang meluas dan
mendalam tidak mungkin tanpa pendidikan
yang mengubah cara hidup dan bertindak.
Visi Laudato Si’ di atas dapat disebut visi
teologis publik berorientasi pembebasan
holistik, yang tidak dikomunikasikan oleh
teolog akademis, melainkan oleh pemimpin
Gereja. Teologi publik ini mengadopsi analisis
sosial struktural dalam kehidupan ekonomi,
politik, budaya serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dokumen yang
sejalan dengan Laudato Si’ ini pernah

33
diterbitkan juga oleh Dewan Gereja Sedunia
(World Council of Churches) tahun 2006
dengan judul Alternative Globalization,
Addressing Peoples and Earth (AGAPE).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia 2008
berjudul Globalisasi Alternatif Mengutamakan
Rakyat dan Bumi. Sayang sekali dokumen ini
tidak banyak dipelajari dan didiskusikan.

4.Kontribusi praktis dari teologi


publik:
Sebuah contoh mengenai komunitas
perusahaan dan komunitas pasar

Untuk sampai pada kontribusi praktis


teologi publik perlu ikut menjawab secara
bertanggungjawab pertanyaan “bagaimana”,
meskipun tidak mungkin memberikan resep
jadi. Untuk itu teologi publik perlu
mengadopsi hasil penelitian ilmu lain yang
dapat dipertangungjawabkan. Kalau tidak,
kontribusi praktis tidak terjadi. Yang terjadi
adalah respons secara pragmatis, yaitu mana
yang lebih mudah untuk dijalankan dan
mana yang lebih menguntungkan. Kehendak
baik mungkin cukup untuk masuk surga,

34
tetapi pasti tidak cukup untuk perubahan
sosial dan ekologis. Perubahan sosial dan
perubahan ekologis membutukan analisis
dan gerakan.
Misalnya, teologi praktis mengadopsi
penelitian ilmu kedokteran dan kesehatan
mengenai pencegahan Covid-19. Kontribusi
praktis dapat dikomunikasikan misalnya
bahwa cinta yang biasanya diungkapkan
dengan mencium dan memeluk harus
berubah menjadi tidak menyentuh dan
menjaga jarak serta memakai masker.
Bukan: Jesus is the solution, mari datang
berbondong-bondong untuk berbakti.
Teologi publik tidak bebas dari ideologi.
Ideologi yang sehat adalah yang terbuka dan
kritis untuk berargumertasi dengan
alternatif-alternatif lain dan tidak menjadi
tertutup.
Catatan ini misalnya mengadopsi
penelitian Thomas Piketty, Ernst Friedrich
Schumacher, dan David Korten. Kita ingat
bahwa tahun 1973 Schumacher sudah
menulis buku Small is beautiful, A Study of
Economics as if People Mattered.
Schumacher adalah ahli ekonomi Jerman-
Inggris yang berpengalaman memimpin
perusahaan. Mengapa small is beautiful?

35
Dia menilai kepemilikan privat dalam
perusahaan model kecil, medium dan besar
sebagai berikut (1973: 223):
(a) “Dalam perusahaan model kecil,
kepemilikan privat bersifat alami,
berhasil dan adil.”
(b) “Dalam perusahaan model
medium, kepemilikan privat sampai
ukuran tertentu sudah secara
fungsional tidak perlu. Pengertian
mengenai ‘milik’ menjadi kaku, tidak
berguna, dan tidak adil. Jikalau
pemiliknya hanya satu atau
sekelompok kecil, mungkin dan
seharusnya, ada yang sukarela
menyerahkan hak-hak istimewanya
bagi kelompok yang lebih luas dari
karyawan aktual … Tindakan
kemurahan hati semacam itu rupanya
tidak mungkin terjadi apabila terdapat
sejumlah besar pemilik anonim, tetapi
bisa diusahakan pengaturan legal.”
(c) “Dalam perusahaan model besar,
kepemilikan privat merupakan suatu
rekaan yang bertujuan untuk
membuat pemilik, yang tidak

36
mempunyai fungsi, hidup sebagai
parasit atas pekerjaan orang-orang
lain. Hal ini tidak hanya tidak adil
tetapi juga merupakan elemen
irrasional yang merusak semua
hubungan dalam perusahaan.”
Apa yang dirumuskan oleh
Schumacher setengan abad yang lalu
dengan istilah “parasit” mengandung
pengertian yang sejalan dengan apa yang
dikatakan Thomas Piketty mengenai
kontradiksi kapitalisme, yang
mengakibatkan konsentrasi kekayaan pada
orang-orang tertentu, dan yang pada
gilirannya didukung oleh ideologi yang
bersifat hiperkapitalis.
Pengertian itu juga didukung oleh
David Korten, Professor dari Harvard
Business School, yang kemudian juga
menjadi aksivis sosial-politik. Dia
memberikan pemikiran mengenai firma
sehat dalam ukuran kecil dan medium
berhadapan dengan kapitalisme dengan
ukuran firma sangat besar. Kapitalisme
yang berorientasi pada uang telah mendesak
pasar sehat untuk kehidupan rakyat. Berikut

37
perbedaannya secara sistematis (Korten
1999:41).

Kapitalisme Pasar sehat

(1) Prinsip (1) Uang (1) Kehidupan.


menentuk
an
(2) Penghela (2) Menggunak (2) Memanfaat
dominan an uang kan
untuk sumber-
mendapatka sumber
n uang bagi yang
mereka yang tersedia un-
mempunyai tuk
uang memenuhi
kebutuhan
dasar setiap
orang.
(3) Ukuran (3) Sangat besar (3) Kecil dan
firma medium
(4) Biaya (4) Ditanggung (4) Ditanggung
oleh publik oleh
pemakai
(5) Kepemilik (5) Impersonal, (5) Personal,
an absentee rooted

38
(6) Financial (6) Global tanpa (6) Lokal/nasio
capital batas nal dengan
batas-batas
yang jelas
(7) Tujuan (7) Memaximal (7) Meningkatk
investasi kan an hasil
keuntungan yang
pribadi berguna
(8) Posisi (8) Sasaran (8) Suatu
keuntung semaksimal insentif
an mungkin untuk
memajukan
produk-
tivitas
(9) Mekanis (9) Direncanaka (9) Pasar-pasar
me n secara dan jaring-
Pengatura sentral oleh an-jaringan
n mega- yang meng-
korporasi orga-
nisasikan
dirinya
(10) Tujuan (10) Mengelimin (10) Meningkatk
kompetisi asi yang an efisiensi
tidak sehat dan inovasi
(11) Peranan (11) Melindungi (11) Memajukan
Pemerint kepentingan kepentinga
ah property/as n
sets manusiawi
(12) Perdagan (12) Bebas (12) Fair and
gan balanced

39
(13) Orientasi (13) Elitis, (13) Populis,
politis demokrasi demokrasi
dollar pribadi-
pribadi
manusia

Para teolog umumnya tidak dapat


membuat penelitian political economy
sendiri, tetapi bisa masuk dalam logika
penelitian mereka dan bisa memilih untuk
menolak atau mengadopsi hasil penelitian
para ahli dalam bidang mereka. Para teolog
tidak hanya bisa masuk ke logika internal
dari pandangan yang dikemukakan. Lebih
jauh, yang dirumuskan secara akademis
oleh ilmu-ilmu lain itu bisa menyentuh
indera para teolog itu, yang mendengar
omongan yang beredar dari kiri dan kanan,
yang melihat rumah-rumah kumuh dan reot
di dekat bangunan-bangunan megah dan
mewah. Mereka makan seadanya dan
banyak anak mereka tidak bersekolah, dan
tidak mendapat cukup pelayanan kesehatan.
Akhir-akhir ini kita baca ceritera
keberhasilan usaha-usaha di desa. Misalnya,
BUMDes dan Badan Kerja Antar-Desa
(BKAD) Kecamatan Kebasen, Banyumas. Di

40
kecamatan Kebasen itu terdapat 200
kelompok usaha dari 12 desa. Unit
Pengelola Kegiatan Simpan Pinjam untuk
Perempuan (UPK SPP) awalnya mengelola
asset Rp 2,39 miliar, sekarang ini menjadi
Rp 5,1 miliar (Megandika Wicaksono
2020:16).
BUMDes Au Wula di Desa Detusoko
Barat, kabupaten Ende, NTT,
mengembangkan lumbung produk
pertanian, peternakan dan perkebunan dan
memasarkan secara digital. BUMDes “Tirta
Mandiri” dari Desa Ponggok, kabupaten
Klaten, Jawa Tengah bergerak dengan
modal awal Rp 100 juta pada tahun 2009,
dan pada tahun 2017 berpendapatan lebih
dari Rp 100 miliar per tahun. Di Ponggok
ini Universitas Gajah Mada Yogyakarta
berjasa dalam membantu masyarakat untuk
memetakan potensi ekonomi dan
pemberdayaan sumber daya manusia (Aris
Prasetyo (2020: 9). Selayaknya Lembaga-
lembaga Pendidikan Tinggi melakukan
gerakan seperti itu. Lembaga-lembaga
Perguruan Tinggi tidak usah menjadi LSM
yang mendampingi gerakan mereka, tetapi
bisa menyumbangkan penelitian yang

41
berguna bagi masyarakat yang jauh dari
keberuntungan.

Daftar Acuan

Aris Prasetyo
2020 “Jangan Remehkan Peran
BUMDes”. Dalam: Kompas 10
Juli 2020:9.
Day, Katie and Sebastian Kim
2017 “Introduction”. Dalam: Sebastian
Kim dan Katie Day (Eds), A
Companion to Public Theology,
Leiden, Boston (Brill):1-21.
Fransiskus, Paus
2015 Laudato Si (LS). Tentang
Perawatan Rumah Kita
Bersama. Terjemahan Martin
Harun. Obor: Jakarta.
Fransiskus, Paus, bersama dengan Imam
Besar Al-Azhar Ahmad Al-Tayyeb

42
2019 “A Document on Human
Fraternity for World Peace and
Living Together”. Vatican:
Multimedia Libreria Editrice
Vaticana.
Herry-Priyono
2004a “Tiga Poros Indonesia”. Dalam
Kompas Jan 9, 2004.
2004b “Ranah Publik. Dari Mulut
Pemerintah ke Rahang Pasar”.
Manuscript.
2014 “Meledakkan ketimpangan”.
Dalam: Basis 63 No. 11 – 12:4-15.
Korten, David
1999 (1st 1995) When Corporation Rule
the World. West Hartford:
Kumarian Press.
Lakshman, Narayan
2020 “India has to come to terms with
inequality: Thomas Piketty”.
Dalam: The Hindu May 20, 2020
23:24 IST,
http://www.thehindu.com
piketty, diakses 1 Desember 2021

43
Piketty, Thomas
2014 Capital in the Twenty-First
Century. Cambridge: The Belknap
Press of Harvard University Press.
Aslinya: 2013 Le Capital au XXIe
siècle. Paris: Éditions du Seuil.
2020 Capital and Ideology. Cambridge,
London: The Belknap Press of
Harvard University Press.
Aslinya: 2019 Capital et
Idéologie. Paris: Éditions du
Seuil.
2021 “Long Live Participatory
Socialism!” Dalam:
https://www.noemamag.com >
long-live-participatory-socialism,
diunduh 1 Desember 2021.
Schwab, Klaus
2019 Revolusi Industri Keempat.
Jakarta: Gramedia Pusaka Utama.
Diterjemahkan dari: 2016 The
Fourth Industrial Revolution.
Cologny, Switzerland: World
Economic Forum.
Schumacher, Ernst Friedrich

44
1973 Small is beautiful, A Study of
Economics as if People Mattered.
Blond & Brigg
Smit, Dirk J.
2017 “Does it Matter? On Whether
there is Method in the Madness”.
Dalam: Sebastian Kim dan Katie
Day (Eds), A Companion to Public
Theology, Leiden, Boston
(Brill):67-92.
Wilfred, Felix
2010 Asian Public Theology. Critical
Concerns in Challenging Times.
Delhi: ISPCK, Tercentenary
Publication
World Council of Churches (Dewan Gereja
Sedunia)
2006 Alternative Globalization,
Addressing Peoples and Earth
(AGAPE). Geneva. Terjemahan
Indonesia 2008, Globalisasi
Alternatif Mengutamakan
Rakyat dan Bumi. Jakarta: PMK
HKBP.

45

Anda mungkin juga menyukai