Anda di halaman 1dari 59

Jaebi duduk berhadapan dengan Selgie yang memakan pisang goreng kejunya.

Cewek itu
memakai celana kain hitam dengan hoodie jumper merah. Tudung jaket menutupi kepala dan
rambutnya, dengan tali yang ia kencangkan dan ikat di bawah dagu hingga membuat wajah
cantiknya itu bulat seperti telur.
"Beneran Gi nggak papa keluar jam segini?" tanya Jaebi kembali memastikan. Saat tadi datang
ke rumah Selgie cewek itu sudah menunggu dan segera menyuruh Jaebi pergi menemaninya
keluar.
Rumah Selgie tak terlalu di dalam. Perumahan itu berada di belakang area pertokoan dan
sebuah mall apartemen. Kini keduanya ada di warung kaki lima di samping pertokoan.
"Sans mah orangtua gue nggak ketat gitu kok," jawab Selgie santai. "Lagian kesel banget si
Juwi bilang kopinya abis jadi gue nungguin sia-sia. Tu anak belum pernah baca cerita adek
durhaka dikutuk jadi asbak kali ya?" omelnya panjang lebar dengan cepat.
Bibir Jaebi jadi tersenyum. Selgie dengan kepala tertutup kupluk jaket jadi makin
menggemaskan dengan wajah putih orientalnya itu. Mata sipit Selgie yang tajam terlihat berkilat
marah tapi tetap saja malah membuatnya jadi seperti anak kucing lucu.
Selgie meraih minuman es kopi dalam gelas plastik, menyedotnya sesaat berhenti melanjutkan
makan. "Elo sendiri, kenapa jam segini belum balik? Galau bener lo? Jangan bunuh diri atuh Bi,
masih banyak cewek lain," kata Selgie dengan gaya berlebihan.
Jaebi terkekeh kecil, meraih garpu kecil di piring di tengah-tengah mereka. Memain-mainkan
keju di sana. "Masih nggak percaya aja sih," katanya melirih pelan.
Selgie melengos, melipat kedua tangan di atas meja menghadap Jaebi. "Tapi serius deh Bi,
cewek lo napa dah? Apalagi selingkuhnya di Mixme, yang jelas tempat tongkrongan anak EHS.
Lah lu kan waketos, pasti terkenal seantero EHS. Kayak sengaja gitu nggak sih biar lo tau?"
kata Selgie mulai menuduh curiga.
Jaebi tersenyum miring, terkekeh lagi. Bukan karena kalimat itu, justru karena menyadari Selgie
jadi lebih cerewet dari biasanya makin malam begini.
"Tapi emang cantik banget sih, wajar aja kalau lo bucin," kata Selgie manggut-manggut kecil,
"lah gue apaan. Baru tiga hari putus si Benji udah punya pacar lain," katanya melanjutkan
dengan sungguh-sungguh.
Jaebi jadi tertawa, mendongak memandang wajah merenggut Selgie yang jadi manyun sebal.
"Ya elu lah," katanya menyalahkan membuat Selgie makin mendelik, "kan lo yang nggak
sayang beneran sama dia. Ya kan?"
Selgie agak tersentak. Cewek itu tergagap kecil, tapi mencoba menguasai diri. "Sotil lo,"
katanya meraih gelas es kopinya lagi, menyedotnya menenangkan diri.
"Yeee keliatan kali," sahut Jaebi santai, "elonya naksir Jevon tapi yang nembak si Benji."
"Sekalian aja Bi lo tulis di caption IG biar makin jelas," kata Selgie sinis.
Jaebi kembali tertawa.
"Kisah cinta gue miris, kisah cinta lo miris. Pantes kita akrab Bi," kata Selgie menyeletuk,
membuat Jaebi makin tertawa, walau kini jadi terdengar menertawai diri sendiri dengan miris.
Selgie melengos pelan, "eh waktu itu gue pernah ditawarin sama Candra nih. Jaket gitu Bi. Lo
mau kembar sama gue nggak?" katanya membuat Jaebi mengangkat alis. "Tulisannya, 'Aku
bisa bahagia tanpa kamu'."
Jaebi hampir saja mengumpat kali ini.
Sementara Selgie malah tertawa sendiri, "eh lucu kalau kita kembaran pake itu hahaha
yaampun akhirnya gue punya temen ngenes hahahahahahaha HAHAHAHAHAHAHAHA..."
Jaebi gatal ingin memasukkan pisang keju di depannya ini ke mulut terbuka Selgie. Walau
pemuda itu jadi geli sendiri, melihat Selgie yang berwajah bulat dengan tali kupluk jaket di
bawah dagu tertawa puas sampai kedua matanya makin menipis seakan hilang.
"Bahagia lo jadi ngenes?" tanya Jaebi iseng.
"Kalau nggak sendirian ya bahagia, kan ada yang nemenin," jawab Selgie santai.
"Dih pedean, gue nggak mau nemenin lo," sahut Jaebi menolak.
Wajah ceria Selgie yang masih menyisakan tawa langsung hilang dalam sekejap. Ganti jadi
ekspresi seakan tertohok dan kecewa. Membuat kini tawa Jaebi yang menyembur keluar.
Jaebi memandangi wajah gadis itu yang kini datar menatapnya, membuatnya makin tertawa
dengan puas.
"Sekarang gue paham kenapa cewek lo selingkuhin lo," kata Selgie menunjuk Jaebi sengit.
Jeabi jadi terkekeh sinis, "wahhhhh gitu mainnya ya," katanya dengan gaya tersinggung. "Lo
mau berantem pake cara gitu? Gue punya banyak nih bahasannya buat lo."
Selgie yang mengerti langsung membelalak. Dan berikutnya garis wajahnya berubah drastis,
meringis lebar membuat kedua matanya membentuk eye smile. "Eit, canda dong Kak Jaebi kan
kita friends," katanya dengan manis.
Selgie mengacungkan jari kelingkingnya, memain-mainkan ke depan Jaebi sambil tersenyum
meringis. Membuat Jaebi mendecih, walau tak bisa menahan senyum memandang wajah
Selgie.
"Udahlah. Kita tidak boleh membahas masa lalu. Yang lalu, biar lah belalu," kata Selgie dengan
gaya berlebihan, "sekarang liat aja apa yang ada di depan. Oke?"
"Lah depan gue elu," kata Jaebi membuat Selgie tersentak.
"Eh iya bener," kata Selgie jadi tersadar, "kalau gitu, mulai besok aja liat yang di depan. Jangan
sekarang, nanti malah gue yang lo taksir."
Garis wajah Jaebi berubah. Entah kenapa merasa sesuatu saat mendengar itu. Seperti sebuah
tamparan kecil, membuatnya terkejut sendiri. Melebarkan mata tertegun memandang Selgie
yang dengan santai mengambil pisang keju dan melahapnya cuek.
Jaebi mengerjap. Segera mengalihkan pikirannya, "Eh Gi coba liat hape deh."
"Hm?" Selgie mengernyit, "napa?" walaupun bingung, nyatanya Selgie tetap merogoh kantong
hoodie. Menghidupkan layar hape dan melebarkan mata.
"Berapa?" tanya Jaebi singkat.
"Sebelas sembilan," kata Selgie mengerucutkan bibir, "kurang dua menit."
"Yah, elu sih kecepetan," tuduh Jaebi.
"Lo yang negur gue duluan," kata Selgie tak mau kalah. Berikutnya tersadar, "napa deh Bi lo
sekarang jadi percaya sebelas sebelas? Katanya nggak percaya gituan," sindirnya keras.
"Emang nggak yeee," balas Jaebi membela diri, "mainan lo sih, jadi gue ikut-ikut aja."
"Hilih," sahut Selgie menaruh hape ke atas meja.
Jaebi baru akan membalas ketika merasa hapenya bergetar. Cowok itu mengatupkan bibir,
merogoh hape. Ia mengangkat alis melihat personal chat masuk.
Jaebi diam sejenak, kemudian menggerakkan hape. Memajukan sedikit memoto gelas plastik
Selgie dan piring pisang keju di atas meja membuat Selgie mengernyit.
"Kenapa Bi?" tanya Selgie ingin tau.
"Teteh gue nanyain," jawab Jaebi santai, "ya gue jawab aja emang belum pulang lagi makan
sama cewek."
Selgie mendelik mendengar kalimat itu, tapi jadi mengernyit bingung. "Emang lo punya kakak?"
"Nggak," jawab Jaebi santai.
"Lah jadi?"
"Hanin," jawab Jaebi masih santai, merunduk mengetikkan sesuatu.
Selgie makin mengernyit, "wah... lo sedeket itu sama Hanin sampai kayak keluarga?"
"Nggak juga sih," kata Jaebi tertawa kecil, "gue sama Hanin emang temen lama, tapi ya nggak
lengket banget. Sering ketemu karena rumah kita satu perumahan. Cuma pas di 2A3 jadi deket
sama yang lain juga. Jadi bukan cuma Hanin."
Selgie mengangguk-angguk. Dalam hati merasa iri menyadari kelas Jaebi memang seakrab itu.
Kelas Selgie juga memang punya rasa kekeluargaan, hanya saja masih ada beberapa geng-
geng kecil. Sementara 11 IPA 3 terlihat menyatu satu sama lain tanpa ada yang tertinggal.
Jaebi tertawa kecil sendiri, merunduk membaca chat. Membuat Selgie melirik dengan garis
wajah mulai berubah. Selgie mengerjap, entah mengapa jadi merasa canggung menyadari
Jaebi sedang berkirim pesan dengan Hanin.
"Pasti Hanin lagi ngirim meme ya?" celetuk Selgie tak mau diangguri.
"Bukan," jawab Jaebi singkat, yang kemudian tertawa lagi. Berikutnya menggeleng kecil meraih
minumnya menenangkan diri. Sementara Selgie terus memandangi itu.
"Bentar ya Gi," kata Jaebi sesaat, sebelum kembali merunduk pada hape mengetik.
Selgie merapatkan bibir, ganti jadi meraih hapenya. Melebarkan mata melihat angka 11:11 di
sana. Tapi ia melirik, melihat Jaebi masih belum mengalihkan perhatian.
Sementara itu, di layar hape Jaebi sekarang....
Chat 2a3
Jaebi ingin melanjutkan. Tapi tak sengaja melirik, lalu jadi mengangkat wajah seutuhnya.
Melihat Selgie mengacungkan layar hape ke depan wajah, membuka mulut lebar menghadap
hape.
Jaebi langsung mendelik, "lo main tiktok Gi?" serunya begitu saja, membuat Selgie terkejut
kaget.
Selgie langsung menurunkan hape di depan wajahnya. "Lo kelamaan jadi gue main sticker
face," kata Selgie mengeluh.
Jaebi tertawa, "sorry sorry, suka bikin lupa diri mereka."
"Mereka?" Selgie mengernyit, "lah bukannya chat sama Hanin?"
"Hm?" Jaebi tertawa kecil, "Hanin ngasih tau nama gue lagi dibahas di grup kelas jadi gue buka
grup."
Selgie membulatkan bibir, manggut-manggut kecil. "Ah lo, tadi ketinggalan sebelas kembar
tuh."
"Eh?" Jaebi merunduk, melihat jam di layar hape. Jaebi melebarkan mata, langsung
mendongak. "Udah malem banget, setengah dua belas. Balik yuk," katanya bersiap pergi.
Selgie menghabiskan satu potong pisang keju, menyedot sisa es kopinya. Sebelum menurut
meraih hape dan beranjak. Bersama Jaebi keluar dari warung pinggir jalan itu menuju parkiran
motor.
"Sorry ya Gi," kata Jaebi melangkah di samping Selgie, membuat Selgie mengernyit. "Tadi gue
jadi nyuekin lo."
Selgie tertawa kecil, "sans lah. Gue kan juga temen lo, masa nuntut sih," katanya penuh arti.
Jaebi memandangi Selgie beberapa saat, kemudian berhenti membuat Selgie jadi mengangkat
alis ikut berhenti menghadapnya.
"Gue baru sadar deh. Gue pikir hari ini bakal jadi hari menyedihkan buat gue," kata Jaebi
tersadar, "Tapi... kenapa gue harus sedih kalau gue punya temen-temen kayak 2A3 juga
sekarang ditemenin sama lo?"
Selgie mengerjap, melebarkan mata perlahan tertegun.
Jaebi membalas tatapan itu. Diam beberapa lama, memandangi manik bening Selgie yang
mengerjap polos di depannya tanpa ekspresi.
Jaebi perlahan tersenyum.
"Kenapa kita baru temenannya sekarang ya Gi?"
Selgie agak memiringkan kepala, memandang Jaebi lurus. Baru tersadar hal itu juga. Kenal dari
lama, hanya sekedar nama karena alasan 'satu sekolah yang sama'. Dan baru di semester dua
kelas sebelas ini Selgie akrab dengan Jaebi. Selama ini kemana saja? Padahal mereka
nyambung dan asik satu sama lain.
"Sejak sebelas kembar?" celetuk Selgie mencoba mengingat, "sejak gue kasih tau elo tentang
itu."
Jaebi tertawa kecil, "iya juga," katanya mengangguk-angguk. "Jangan-jangan waktu itu lo
ngewish biar bisa dapat temen keren kayak gue?" tanyanya percaya diri.
"Dih," elak Selgie segera.
"Jadi apa?" tanya Jaebi dengan gaya meledek.
Selgie mencibir, "gue pengen punya—"
Ucapan Selgie terhenti begitu saja. Ia mendadak tersadar. Terkejut sendiri seakan baru teringat
sesuatu. Melebarkan mata dengan bibir agak terbuka menatap Jaebi yang memandangnya
lurus.
"Punya apa?" tanya Jaebi mengernyitkan kening.
Selgie terdiam. Mengerjap-ngerjap. Yang kemudian entah kenapa jadi canggung, "anu—
pengen.... pengen punya kuota buat update! Astaga iya tadi tuh gue update snapgram tapi
belom kesend," katanya meracau, segera merogoh hape dan beranjak. Melangkah pergi begitu
saja sibuk merunduk dengan hape.
Jaebi mendelik. Dengan bingung segera mengikuti Selgie. Ia merunduk pada hape sebentar,
melihat grup chat sudah mulai agak sepi karena beberapa pamit tidur. Mereka semua tuh kayak
jomblo, mau tidur aja pamit di grup.
Jaebi mengangkat wajah lagi. Melihat punggung Selgie yang masih merunduk pada hape. Jaebi
menoleh mendengar suara mesin motor, membuat cowok itu dengan refleks segera berlari
maju. Menarik lengan Selgie menyelamatkan gadis itu yang hampir saja tertabrak motor yang
melaju di depannya.
Selgie sempat memekik kaget. Dengan terkejut menoleh pada motor yang tau-tau melintas di
depannya, lalu menoleh pada Jaebi yang jelas panik.
"Udah udah nanti dulu hapenya," kata Jaebi menurunkan tangan Selgie, "Malam gini orang-
orang laju, Gi," katanya menarih lengan Selgie, segera menuju ke arah motornya di parkir.
Trotoar tempat mereka berjalan memang sempit, menyatu dengan aspal jalanan hingga
membuat kemungkinan besar motor-motor melaju dekat.
Selgie menurut saja. Tertarik pasrah masih dengan penampilan kepala ditutupi tudung jaket.
Cewek itu mengerjap-ngerjap, memandang Jaebi yang mendadak tadi jadi terlihat jauh lebih
gentle melindungi.
Selgie jadi tak banyak bicara. Tapi pikirannya mulai bercabang. Seakan banyak suara yang
menghantui. Memberitaunya ini dan itu, hal-hal yang berbeda. Mengaku dan mengelak.
Membuatnya jadi bingung sendiri.
Selgie baru saja ingat wishnya siang itu saat bertemu Jaebi di waktu pulang sekolah.
Selgie ingin punya seseorang yang membuatnya merasa spesial lagi.
Apa.... sebelas kembar sedang mengabulkan permintaan itu?

***
Selgie duduk di bangku pinggir lapangan, setelah tadi mengurusi para anak futsal yang bersiap
tanding. Selgie diam-diam melirik, memerhatikan Jaebi yang dari tadi bolak balik dengan sibuk.
Festival sekolah memang ditangani Jaebi, sementara Pensi di tangan Ezra. Karena itu, di saat
begini sosok Jaebi yang paling terlihat dimana-mana.
Kasian ya tu cowok. Baru aja putusan, sekarang sibuk kegiatan. Kalau dia capek yang
semangatin siapa? Kalau dia bete yang hibur siapa?
"Gi?"
Selgie hampir saja terloncat kecil, menoleh kaget. "Eh? Ya, Jev?"
"Pak Sani minta data anggota tuh," kata Jevon menggerakkan dagu pada pria muda yang
sedang mengobrol serius dengan si jangkung Denis.
"Data?" Selgie menoleh kanan kiri, "aduh, dimana ya? Eh, nggak gue bawa kayaknya," katanya
jadi panik.
"Ketinggalan di rumah?"
"Bukan, di kelas," kata Selgie langsung berdiri, "Bentar ya gue ambil dulu."
"Sendirian aja? Mau gue te-"
"Nggak, nggak usah. Lo kan mau tanding," potong Selgie segera, langsung berbalik segera
berlari kecil pergi.
Jevon tuh apa-apaan sih. Dia pernah nggak make otaknya dengan benar gitu?
Sering banget nawarin nemenin Selgie. Ya oke. Baginya biasa. Tapikan biar gimanapun Selgie
cewek. Lebih pake perasaan. Dan mereka dulu 'pernah pake perasaan'. Gimana bisa si Jevon
biasa-biasa aja gitu?
Selgie menaiki tangga lantai dua, melangkah ke koridor kelasnya. Ia sempat berpapasan sesaat
dengan Jelo dan Haylie yang menuruni tangga berdua. Terlalu terburu, Selgie hanya menyapa
walau melihat ada yang berbeda dari keduanya. Tapi ia tak terlalu memikirkan dan segera ke
kelas mengambil jurnal futsal.
"Ugi."
Selgie yang baru keluar kelas jadi menoleh kaget. Suara familiar itu membuat matanya
melebar, tapi kemudian jadi merenggut. "Apaan Ugi-ugi?!" tanyanya galak.
"Sett dah," kata Jaebi mendekat, "kan biar imut," jawabnya dengan wajah mengejek.
Selgie hanya memutar bola mata sebal. "Kok lo di sini? Nggak urus di lapangan?"
"Hehe tadi lagi ngurus pendaftaran olim," jawab Jaebi berdiri ke samping Selgie, "lo juga
manager kok kelayapan?"
"Yeee ambil buku nih!" jawab Selgie mengacungkan jurnalnya.
Jaebi tersenyum, "bareng yuk," ajak pemuda itu mulai melangkah.
Selgie mengangguk, berjalan di samping Jaebi menuju tangga dan menuruninya.
"Mau ini nggak?" tawar Jaebi merogoh saku, menyodorkan sebungkus permen.
Selgie mengerjap, menerimanya begitu saja. "Thanks," ucapnya singkat. Ia memandangi cowok
itu, melihat garis wajah lelah di sana. Walau pemuda itu masih bisa tersenyum. Selgie
mendesah pelan.
"Duluan ya, Gi," kata Jaebi pamit saat mereka memasuki area lapangan. Ia sudah beranjak
menuju berdirinya Mr Simon dan Ezra.
"Bi, jangan lupa makan."
Jaebi tersentak. Menoleh kaget, "hm?"
"Elo tuh. Jangan sampe lupa makan," kata Selgie menatap pemuda itu. "Kalau ada waktu
mending istirahat, tiduran di UKS. Jangan dipaksain gitu."
Jaebi melebarkan mata, memandangi gadis itu dengan tatapan tak terbaca.
Sementara Selgie tersenyum perlahan. Membuat garis matanya makin menyipit dengan pipi
bulat yang menggemaskan membentuk eye smile sempurna. "Semangat ya!" katanya bersorak
kecil.
Selgie tertawa renyah kemudian beranjak dan berlari kecil menuju bangku para pemain futsal.
Meninggalkan Jaebi yang mematung.
Entah kenapa hatinya berdesir hangat....
Sementara itu, Selgie merunduk melihat bungkus permen ungu yang diberikan Jaebi. Permen
Kiss itu memang biasa ada tulisan kecil di belakangnya. Mata Selgie menyipit, membaca tulisan
kecil di sana.
'I'm fallin in love'
Gadis itu melebarkan mata, kemudian tertawa tanpa sadar. Dengan senyum, ia menyimpan
permen itu ke dalam saku seragamnya. Hatinya meringan begitu saja.
Hm... me too.

***
"Iya iya gue masakinnnn," kata Selgie gemas, sudah di ubun-ubun emosi sedari tadi Cakra
mengintilinya dari belakang. "Tapikan lagi festival, jadi sabar oke? Nggak bisa besok."
"Kan janji lo kak. Eh gue pahlawan loh!" kata Cakra masih ngotot, menyebutkan tadi ia yang
menyetak satu-satunya angka kemenangan sekolah di pertandingan final futsal sekolah.
"Iya, Kra. Sabar dikit napa sih? Perhatiin pipi lo tuh, makin lama makin mau jatoh," ledek Selgie
menunjuk wajah bulat Cakra.
"Bodo. Gue chubby tetep ganteng," sahut Cakra pede membuat Selgie memutar bola mata.
"Dah sana, entar gue kasih tau kalau gue bawain makanannya," kata Selgie mengusir saat
mereka sudah di simpangan koridor.
"Yang enak ya. Yang banyak," kata Cakra tegas, "Dan, cuma buat gue." Cowok jangkung itu
meringis, kemudian berbelok dan berjalan menuju koridor kelas sepuluh.
Selgie mencibir pelan memandangi junior di futsal yang paling dekat dengannya itu.
"Mau juga dong dimasakin Kak Ugi."
Selgie hampir saja latah, menoleh kaget. Koridor yang memang ada beberapa orang
membuatnya tak sadar sedari tadi ada seseorang mengekornya bersama Cakra.
Jaebi menyeringai, berjalan menghampiri gadis itu. "Elo tuh bener-bener kayak emaknya anak
futsal tau," katanya berdiri di samping gadis itu.
Selgie mencibir, "gue janji kalau ada yang ngengol gue kasih hadiah. Tapi karena lagi bokek,
jadi gue bilang aja gue masakin. Ehhh yang ngegol malah si tukang makan Cakra. Ya dia jadi
ngotot gitu," curhat Selgie menggerutu.
Jaebi jadi tertawa memandangi ekspresi wajah cantik tersebut. "Eh, gue ke kelas dulu ya. Anak-
anak mau ke rumah Bobi," pamit cowok itu mengarahkan pada koridor lurus di depan,
sementara Selgie harus menaiki tangga ke lantai dua.
"Ah? Hm, oke," kata Selgie menganggukkan kepala.
"Sebenarnya gue mau nganter lo pulang hari ini, tapi 2A3 lagi formasi lengkap jadi nggak enak
kalau gue ilang sendiri."
Mendengar itu Selgie mengernyit, "emang kenapa mau nganter gue pulang?"
Jaebi terkekeh kecil, "kan katanya kalau menang final mau gue beliin es krim?"
Mata Selgie membulat, tertegun mendengar pemuda ini yang mengingat janjinya lebih dulu. Ia
mengerjap, lalu kemudian jadi tersenyum lebar. "Gue ngerti kok. Gue bukan Cakra yang maksa
mau sekarang juga kali. Jadi nggak papa kalau bukan hari ini."
Jaebi mengangguk kecil sambil bergumam mengerti. "Oke, gue duluan ya. Yang lain entar
ngomel," pamit pemuda itu ingin beranjak.
Selgie awalnya ingin mengangguk, "eh, Bi-" tahannya membuat Jaebi menoleh kembali. Selgie
merogoh kantongnya, kemudian mengacungkan sesuatu ke depan Jaebi.
Alis Jaebi terangkat tinggi, menerima permen berbentuk kaki warna merah dengan bungkus
biru.
"Tadi dapat kembalian banyak. Tuh satu buat lo, hehe," ucap Selgie meringis, membuat kedua
matanya menyipit hilang.
Jaebi merunduk, memandangi permen itu. Tak lama keningnya berkerut, mendongak
memandang Selgie. "Kok permen kaki sih?" protesnya membuat Selgie tersentak, "Tadi gue
ngasih permen Kiss, napa lo balikinnya permen Kaki?"
"Ya emang napa sih?" tanya Selgie tak mengerti.
"Kiss. Abis itu ditendang. Ngerti nggak sih lo?" sahut Jaebi jadi mengomel.
Selgie memutar bola matanya, "Susah ya baru jomblo, baperan," ledeknya lalu memajukan bibir
bawah. "Sini kalau nggak mau," tagih cewek itu galak, menjulurkan tangan.
Kali ini Jaebi tak tahan. Gagal mengerjai gadis itu lebih jauh, ia malah tertawa. Apalagi melihat
wajah cantik itu berkerut sebal. Tangan Jaebi maju, mengacak rambut Selgie sesaat.
"Gue duluan ya," pamit Jaebi tersenyum, kemudian berbalik dan melangkah pergi.
Selgie melebarkan mata, merapikan rambutnya dan berdehem pelan. Ia melirik, entah kenapa
merasa malu sendiri berada di tengah koridor yang agak ramai. Gadis itu mengembungkan pipi,
berlari kecil menuju tangga segera.
Tak tau, Jaebi berjalan sambil memandangi permen kaki di tangannya. Ia kemudian
mengangkan telapak tangan, memandangi tangan yang baru saja mengelus kepala Selgie tadi
tanpa sadar.
Pemuda itu merutuk.
Ck. Apaan sih. Temen kok usap-usap rambut gitu.
Tidak, tidak. Jaebi tidak boleh bawa perasaan.
Karena biar gimanapun, Selena Mugie itu pernah punya cerita bersama sahabatnya sendiri.
Dan akan tak nyaman jika Jaebi muncul di antara mereka. Selgie layak move on ke pemuda
lain lebih baik.
Dan itu bukan Jaebi.

***
Selgie mengernyitkan kening, memandangi ruang OSIS. Tak menemukan sosok Jaebi. Ada
Ezra dan yang lain, tapi si waketos itu tak ada.
Gadis itu jadi kepikiran. Pasalnya, tadi ketika melewati kelas 11 IPA 3, Jaebi juga tak terlihat.
Dan di ruang OSIS yang merupakan rumah kedua cowok itu pun, ia tak ada.
Selgie keluar dari ruang OSIS setelah memberikan data ekskul. Melangkah bersama Jelo
menuju kelas mereka, 11 IPS 2. Gadis itu menoleh kanan kiri, menelusuri tiap sudut sekolah
yang ia pandang.
"Nyari siapa?" tanya Jelo jadi kepo gadis itu sedari tadi tak berceloteh seperti biasa.
"Jaebi," jawab Selgie singkat.
Jelo mengernyit, "emang urusan apa? Kan futsalnya udah selesai," katanya tak tahu menahu,
membahas bahwa festival ekskul mereka sudah selesai.
"Hm?" Selgie menoleh, jadi diam begitu saja. Ia malah jadi bingung sendiri.
Kok dia nyariin Jaebi ya?
"A... Nggak, tumben aja Jaebi nggak ada gitu," kata Selgie mengelak, menghindari pandangan
Jelo. "Eh gue ke kelas adek gue dulu ya. Lo langsung aja," pamit Selgie mengalihkan
pembicaraan.
Jelo juga tak lanjut ingin tahu. Cowok jangkung itu mengangguk, berbelok menuju koridor
kelasnya. Berpisah dengan Selgie yang melangkah lurus.
Selgie menghela nafas panjang, kembali memandang kanan kiri. Aneh saja rasanya jika tak
lihat sosok Jaebi barang sekali. Biasanya, cowok itu ada saja sibuk melakukan sesuatu entah di
ruang guru, perpus, sampai ruang pramuka.
Bener-bener deh. Si Jaebi itu makan apa sih sampai staminanya sekuat itu?
Mata kecil Selgie melebar, melihat si mungil Yena terlihat berjalan riang di koridor sambil
membawa tumpukan kertas di tangan. Selgie segera mendekat dan menyapa.
"Yena!" sapa Selgie ceria. Yena menghentikan langkah dan menoleh. Selgie tersenyum basa
basi sesaat, "Jaebi hari ini masuk sekolah, Na?"
"Jaebi? Ada kok," jawab Yena mendekat. "Tapi lagi sakit."
"Eh?"
Yena mengangguk, "dia seharian di kelas. Tadi aja tidur di pojok. Disuruh pulang nggak mau,
emang batu tu anak," katanya lanjut mengomel. "Kenapa? Urusan futsal ya?"
"Hm?" Selgie mengerjap, entah kenapa agak canggung. "Ng... nggak sih. Ada... ada urusan
lain. Hehe," jawabnya membuat kedua matanya makin menyipit.
"Datangin aja ke kelas. Masih mojok di ambal kelas tuh tadi."
Kelas?
Selgie terdiam, jadi ragu. 11 IPA 3? Melewatinya saja Selgie jarang dan sekarang malah
kesana?
"Nggak usah, Na. Salamin aja," kata Selgie menolak dengan senyum, "gue duluan ya."
"Oh iya, Gi. Nanti gue sampein kok," sahut Yena balas tersenyum. Melambai kecil ketika Selgie
beranjak dan melangkah pergi.
Selgie menghela nafas berat melangkah pelan menyusuri koridor. Ia jadi mendecak kecil. Baru
saja dia memuji stamina tubuh cowok itu, sekarang malah dapat kabar dia sakit.
Selgie memain-mainkan jemarinya, gelisah sambil menggigiti bibir. Ia sempat ingin berbelok ke
koridor IPA, tapi mengurungkan niat dan kembali berjalan. Entah kemana. Yang ada malah
berkeliling sekolah tanpa tujuan.
Selgie mengembungkan kedua pipi, merogoh hapenya dan memilih mengirim pesan.
Selgie: bi, kalau sakit ke uks aja
Selgie: gak usah sok jagoan lo ditahan2 gitu
Selgie: tiduran di uks atau dianter pulang temen lo aja
Selgie: lo tuh manusia, bukan robot.
Selgie: jgn dipaksain
Selgie melengos, memandangi chat yang sudah terkirim namun tak ada tanda telah dibaca.
Gadis cantik itu mendecak, menurunkan kedua bahu dengan tak semangat.

"Ck. Kok nggak ngomong sih?" omel Selgie galak, membuat Juwi di depannya jadi
memundurkan wajah sambil merapatkan bibir. "Terus gimana? Seenaknya bilang sama Mas
Hendo nggak usah jemput. Kamu sih iya lagi kerja kelompok, terus kakak? Yang tua itu siapa
sih? Kok kamu yang ambil keputusan gitu aja?"
"Sssstt, kak," tegur Juwi menoleh kanan kiri, merasa malu diomeli di depan kelas begini. "Kak
Sel kan banyak temen, nebeng aja."
"Enak bener ya lo kalau ngomong," sahut Selgie sudah melotot, membuat Juwi kembali ciut.
"Nggak liat lagi mendung ha? Yang lain udah cepet-cepet pulang."
Juwi menipiskan bibir, "mau ikut aku di kelas?" tawarnya tanpa dosa membuat Selgie tak tahan
menjitak kening gadis itu membuatnya mengaduh sakit.
"Kalau bukan di sekolah udah gue ulek lo," ancamnya Selgie galak, dengan sebal berbalik dan
melangkah pergi.
Juwi mencuatkan bibir saja, dan dengan tak peduli membalikkan tubuh kembali masuk ke kelas.
Selgie dengan bibir manyun merunduk, sibuk mencari kontak teman di hapenya. Tapi ya pasti
tak ada yang siap siaga. Semua sudah otw pulang. Paling juga yang stay di sekolah sedang
sibuk. Entah persiapan pensi ataupun lomba kelas nanti.
Selgie jadi berjalan menyeberangi gedung, ingin menuju koperasi atau semacamnya. Tempat
buat ngadem daripada marah-marah nggak jelas. Kakinya makin berlari cepat saat hujan
perlahan turun. Cewek itu menggerutu, merasa makin sial.
Ia melebarkan mata melihat koperasi sudah tutup. Padahal biasanya ruangan itu masih satu
jam bertahan setelah bel pulang. Selgie jadi menaiki tangga, berniat menuju UKS di lantai dua.
Tapi baru di belokan tangga, ia tersentak dan menghentikan langkah.
"Lah? Kok Mbak Indah pulang?" protes gadis itu begitu saja membuat Mbak Indah terkejut
setengah mati.
"Kenapa? Kamu mau teh?"
"Ih bukan," balas Selgie jadi gemas wanita itu bertanya santai begitu. "Ujan, mbak. Mau
ngadem."
"Staff lagi mau rapat, Gi. Sorry ya," kata Mbak Indah singkat, menepuk pundak gadis itu
sebelum melangkah menuruni tangga.
Selgie menggeram, merasa sebal. Ia menggerutu melanjutkan langkahnya menaiki tangga.
Beberapa murid berpapasan dengannya. Meninggalkan koridor lantai dua yang jadi sepi. Gadis
itu berbelok dengan wajah bertekuk. Ingin menuju UKS duduk di bangku panjang depan
ruangan itu.
"WOAH!"
Jaebi sontak meloncat ke belakang, refleks memegang dadanya yang ikut melompat kaget tiba-
tiba saja bertabrakan dengan cewek itu dan dapat pekikan nyaring.
"Eh? Lah?" Mata Selgie membelalak, kaget setengah mati. "Ngapain lo?"
Jaebi yang masih berusaha menenangkan diri menoleh. "Mau pulang lah, Gi," jawabnya
dengan suara parau yang jelas. Mendelik kecil cewek ini nampak sewot begini.
Garis wajah Selgie berubah. "Kok? Kok di sini? Kelas lo kan di seberang."
"Tadi dari UKS. Katanya kalau sakit ke UKS?"
Selgie tersentak, tertegun mendengar itu. "Lo... baca chat gue?"
"Hm," Jaebi mengangguk dengan senyum tipis. "Tapi sorry nggak sempet bales."
Selgie jadi melemaskan bahu, lebih tenang dari sebelumnya. Gadis itu menjulurkan tangan,
menempelkan telapak tangan pada kening Jaebi. Jaebi pasrah saja mengerjap memandangi
cewek itu.
"Ck. Demam loh," ucap Selgie cemas. "Kayak gini lo tetep sekolah? Dasar sinting."
Mendengar itu, Jaebi malah terkekeh. "Napa sih lu? PMS? Galak amat," katanya tenang.
Selgie mendecih saja, "mau kemana? Pulang? Ujan gitu," ucap cewek itu menggerakkan dagu
ke arah hujan yang turun semakin deras.
"Eung... Nyebrang aja deh, ke ruang OSIS."
"Ya jangan lah. Nanti lo basah," kata Selgie menahan. "Udah, sini. Temenin gue aja. Bete gara-
gara si Juwi," kata gadis itu menggerutu, lalu berjalan begitu saja melewati Jaebi dan
mendudukkan diri ke bangku depan UKS.
Jaebi memandanginya, tersenyum samar dan menurut ikut mendekat duduk ke samping Selgie.
"Kenapa adek lo?"
Selgie mendengus keras, lalu mengembungkan kedua pipi. Ia mulai bercerita, dengan wajah
berkerut sebal mencurahkan kekesalannya pada Juwi.
Jaebi di samping gadis itu bersandar memandangi Selgie. Memerhatikan lekat raut wajah
Selgie yang kadang mencuatkan bibirnya. Cowok itu tanpa sadar tersenyum samar dengan
mata berbinar.
Entah ya. Selgie tuh punya garis wajah gimana kok bisa seadem ini. Bahkan ngeliat mukanya
aja udah bikin senyum. Cewek ini seakan terus memberi energi positif yang menyenangkan,
juga menenangkan.
Jaebi mendengus, terbatuk kecil dan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong jaketnya
membuat Selgie jadi berhenti bicara dan menoleh. Gadis itu tersentak, baru sadar Jaebi sedang
sakit.
"Lo nggak papa?" tanya Selgie membuat Jaebi menoleh dan mengangkat alis. "Masih pusing?"
"Nggak kok," jawab Jaebi tersenyum menenangkan. "Agak nggak enak badan aja."
Selgie memandanginya, lalu melengos. Ia memandangi rintik hujan yang masih deras. "Tidur
gih."
Jaebi jadi terkekeh, "terus yang dengerin curhatan lo siapa?"
Selgie mencibirkan bibir, "udahlah, gantian. Gue temenin. Kalau reda gue bangunin," kata gadis
itu tersenyum.
Jaebi meredupkan mata, tersenyum samar. Cowok itu memperbaiki posisi duduk, mencari
posisi nyaman. Kepalanya bersandar ke dinding di belakangnya. Cowok itu agak menyayukan
mata, tapi masih melirik Selgie yang kini mengambil hape dan merunduk membuka aplikasi
chat. Ia merasa nafasnya hangat, dengan angin yang berhembus membuatnya mengeratkan
tangan di saku jaket. Bahunya terasa pegal, membuat cowok itu jadi larut perlahan. Matanya
semakin berat, bersandar pada dinding di belakangnya.
Sementara itu Selgie melengos samar sambil memasukkan hape ke dalam saku seragam,
mendecak masih belum menemukan teman untuk pulang. Ia kembali merutuki Juwi. Andai saja
anak kecil itu tidak macam-macam, sekarang Selgie sudah selimutan di mobilnya.
Karena, selimutan di dalam mobil dalam keadaan hujan itu enak. Nggak tahu kenapa.
Sedang melamunkan bagaimana keadaan selimut oranye di mobilnya yang selalu ada di jok
belakang, Selgie terlonjak setengah mati tiba-tiba pundaknya disentuh kepala Jaebi. Gadis itu
menoleh, melihat kepala Jaebi terjatuh di ujung bahunya dengan mata terpejam.
Jaebi terkejut sendiri, ia refleks membuka mata dan mengangkat wajah. Menegakkan tubuh
menoleh pada Selgie yang terdiam.
"Eh, sorry," kata Jaebi jadi canggung, membenarkan posisi duduk dan merutuk.
Selgie menipiskan bibir, mengalihkan wajah. "Hm," katanya singkat. Dengan raut tak terbaca
memandang rintik hujan yang turun.
Hening.
Keduanya jadi canggung. Membuat Selgie melengos pelan.
"Kalau emang capek, nyender aja."
Jaebi mengangkat alis tinggi, menoleh kaget.
Selgie diam-diam berusaha menenangkan diri. "Daripada leher lo sakit nyender tegak gitu,"
katanya pelan. Ia lalu menoleh kanan kiri, "ini juga lagi sepi. Jadi nggak akan ada yang salah
paham."
Jaebi terdiam sendiri, memandangi Selgie dengan perasaan campur aduk yang tak jelas.
"Ya... maksud gue... Elokan temen gue gitu. Ya santai aja, tapi mungkin ada yang nggak ngerti
jadi ya.... karena lagi nggak ada orang tuh... ya maksudnya..." Selgie merutuk, sebal sendiri
karena tataan bahasanya jadi acak adul begini.
Jaebi membasahi bibir, tanpa sadar merapat. "Nggak papa?" tanyanya pelan, tak bisa
menyembunyikan intonasi berharap.
Selgie tak menoleh. Malah memandang hujan dengan ekspresi mencoba tenang. "Hm."
Jaebi berdehem, agak salah tingkah. Ia setengah mati menahan senyum yang hampir saja
terlukis. Cowok itu bergerak kecil, dan dengan perlahan menaruh kepala ke bahu Selgie.
Bersandar agak kaku di sana.
Selgie menaruh kedua tangan di atas pahanya yang terlipat. Memandangi rintik hujan dengan
khusyuk seakan ia tak pernah melihat hujan sebelumnya.
Jaebi bergerak pelan, mencari posisi terbaik. Kini jadi bersandar nyaman di bahu cewek itu.
Dapat merasakan harum simpel yang wangi dari gadis ini. Ada aroma buah seperti campuran
apel, juga bunga seperti lily. Membuatnya makin larut dan memejamkan mata perlahan. Tanpa
sadar pula, menikmati irama detak jantungnya yang berdegup cepat.
Jaebi membuka mata sedikit, bola matanya melirik. Pada tangan kanan gadis itu yang berjarak
beberapa senti dari lengannya. Jaebi entah kenapa merasa gugup, secara naluri
menggerakkan samar lengannya. Sampai punggung tangan cowok itu menyentuh pelan
punggung tangan Selgie.
Selgie yang diam-diam menyanyi lagu Tik Tik Bunyi Hujan di dalam hati sambil memandangi
deras hujan jadi tersentak. Ia menegak, melirik kulit tangan keduanya bersentuhan. Selgie
makin tertegun, menyadari jemari Jaebi bergerak pelan, membuat jantungnya langsung
berdebar cepat tak karuan.
Jaebi masih meredupkan kelopak mata, memandangi jari putih lentik Selgie yang hanya
berbatas selapis udara dari tangannya. Cowok itu merasa jemarinya sendiri terasa gatal, gemas
ingin menyentuh gadis ini.
Jaebi menarik nafas, menghembuskan pelan. Ia berusaha menguasai diri. Membuat jemarinya
perlahan mengepal, jadi agak menjauh dari tangan Selgie. Dan kemudian kembali ia masukkan
ke dalam kantong jaketnya. Ia memejamkan mata lagi, membentaki dirinya yang hampir saja
keluar dari batas.
Di sampingnya, Selgie mengangkat alis melihat itu. Ia menggigit bibir, tanpa sadar merasa
kecewa sendiri.
Selgie menghela nafas, bersandar pada dinding dan kembali memandangi rintik hujan. Gadis
itu mengerjap, berusaha menahan hatinya yang tadi tanpa sadar sudah melambung tinggi.
Tidak. Ia tidak boleh larut dalam rasa nyaman.

***
Selgie merengek, membuat Juwi yang sedang enak-enaknya mengemili cheetos melirik kesal.
Walau Juwi mencoba tak peduli dan fokus menonton televisi.
Selgie merengek makin panjang. Menekuk kedua lutut, kemudian rolling ke belakang di atas
sofa membuat Juwi refleks segera menjauh.
Walau telat, karena pipinya masih terkena pelan kaki Selgie.
"APASIH AHHH SANA KE KAMAR!" usir Juwi sebal setengah mati. "MAH KAKAK INI
AKROBAT DI SOFA!"
Selgie tak peduli. Kembali mengeluarkan suara aneh dengan gelisah.
"Ah udah ah mau denger radio aja!" kata Selgie tiba-tiba, lalu melompat dari sofa dan berjalan
menuju kamar.
Juwi dengan sebal mendecak. Tak bingung atau kaget. Apalagi melontarkan pertanyaan.
Karena Selgie memang serandom itu, apalagi kalau di rumah. Sosok manager futsal yang galak
dan tegas pudar sepenuhnya.
Selgie meraih hape dan earphone. Teringat hari ini jadwal Joy siaran di radio sekolah. Ia naik
ke atas tempat tidur. Mencoba menenangkan diri.
Ya gimana nggak gelisah. Selgie bingung harus bertanya pada siapa. Malu rasanya.
Selama ini Selgie punya banyak temen cowok, semua akrab. Dari si Jelo, Ical, Candra, Oji,
sampe anak-anak futsal seperti Hanbin, Hoshi, Cakra, juga Seno. Selgie terkenal cuek dan
mudah berbaur. Jadi, nggak ada tuh baper-baperan sama temen cowok.
Dan sialnya, hari ini dia ngerasa aneh.
Yakali sih dua baper?
Karena itu Selgie malu sendiri. Bingung harus menanyakan pendapat pada siapa. Selgie saja
masih mengelak untuk mengakuinya.
Suara Joy mulai terdengar. Teman sekelas Selgie itu mulai bercuap-cuap di seberang. Memberi
tau kalau para pendengar bisa mengirim pesan untuk memesan lagu.
Selgie bergumam. Tanpa sadar sudah mengingat-ngingat lagu apa yang cocok dengan cerita
teman yang menyukai laki-laki yang baru saja dicampakkan perempuan lain.
Selgie tersentak sendiri. Langsung menggeleng cepat sampai menjerit. Kembali rolling depan di
atas ranjang. Kali ini ditambah menendang-nendang kaki sambil merengek-rengek gila.
"Pesannya, cepet sembuh untuk waketos kita..."
Selgie terkejut setengah mati. Cewek itu menarik nafas kaget, langsung meloncat dan duduk
tegak mengernyitkan kening mendengarkan suara radio.
Lah sialan. Siapa nih yang nyelip dia?!
"Katanya, Kak Jibi—eh buset imut amat Jaebi jadi Jibi," suara Joy terdengar, "Kak Jibi, ini aku
spesial ngasih pesan untukmu. Cepet sembuh kak, jangan ditungguin pesan dari dia. Mbaknya
udah tidur."
Selgie mendelik sendiri. Jadi merenggut memperbaiki posisi duduk dengan perasaan mulai
merasa kesal, entah kenapa.
"Waduh waduh Jaebi mbak yang mana nih? Dapat salam dari degem tapi nungguin mbak lain,
hmmm waketos ku memang seperti kue basah di bulan puasa," kata Joy merocos santai.
Selgie memanyunkan bibir. Bersandar di ranjang dan mendengus keras, tak suka.
"Ngomong-ngomong dari gue, cepet sembuh juga ya waketos kebanggaan. Seperti yang
diucap dedek ini, udah nggak usah ditungguin pesan dari dia. Chat langsung dong hadooohhh
mentang-mentang lagi sakit nggak usah manja, Bi!" kata Joy jadi sewot.
"Ini juga yang merasa gebetannya Jaebi, hadeehh peka dong. Mamasnya lagi butuh perhatian
neh. Elu mah futsal aja yang diurusin."
Selgie membelalak. Hampir saja mengumpat.
Eh bentar.
Bentar.
BENTAR.
Joy kembali melanjutkan dengan tawa kencang, "HAHAHAHAHAHAHA eh salah salah kok
futsal adohhh gue nggak fokus. Yekali futsal masa si Hanbin atau Jelo? Hahahaha..."
Tawa ngeselin Joy buat Selgie hampir saja terkena serangan jantung.
"Oke lagunya Cinta dan Rahasia dari Yura Yunita feat Gleen Friedly. Hhhhh lagu ini laku
banget, udah berapa kali direquest. Kayaknya anak-anak EHS emang hobi terjebak di kisah
friendzone gitu," kata Joy sambil melengos dengan nada mengejek.
Dan berikutnya Joy bersenandung pelan, "Ku cinta padamu namun kau milih sahabatku...
dilema... hatiku... andai ku bisa berkata sejujurnya............. ASEK ASEK ASEK!"
Selgie mengumpat. Refleks melepas earphone karena kaget Joy tiba-tiba heboh sendiri.
"ADOHHH DALEM BENER LIRIKNYA BOR," kata Joy dengan heboh, "mantab banget emang
ini lagunya Jaebi."
Selgie mengernyit.
Tapi Joy kembali melanjutkan.
"Lagu gue juga. Lagu lo. Lagu kita. Lagu anak-anak EHS. Lagu universal. Lagu kebangsaan
anak Epik. Pak Kepsek bisa nggak tiap senin kita nyanyi lagu ini setelah mars sekolah?"
Selgie tanpa sadar menggeram. Hampir menghujat kesal.
Berikutnya Joy sudah membicarakan pesan lain, membuat fokus Selgie teralih. Cewek itu
menghela nafas panjang. Terdiam sendiri.
Mau geer, tapi pasti bukan.
Mau baper, tapi entar malu.
Ini juga yang ngirim pesan adek kelas siapa sih? Emang ada ya adek kelas yang deket sama
Jaebi? Setau Selgie Jaebi itu lengketnya ya sama temen-temen kelasnya. Sama orang luar dia
akrab. Cuma akrab, nggak deket gitu.
Setau Selgie sih....
Tapi kan bisa aja Jaebi deket sama orang lain. Jaebi kan bukan siapa-siapa Selgie. Yekali
semua hal tentang cowok itu Selgie harus tau?
Selgie mendecak. Perasaannya seperti diayun-ayunkan tak jelas.
Sampai ada chat masuk.
Membuat Selgie buru-buru membuka layar sambil harap-harap cemas.
"Ah apaan sih Jelo sialan," gumam Selgie tanpa sadar, membuat chat dari Jelo.
Chat Jelo dan Selgie
Selgie menggeram sebal. Ya Selgie tau Jelo emang udah lama ngejar pacarnya yang sekarang,
bahkan satu kelas 11 IPS 2 sudah hapal betul siapa incaran Jelo. Tapi ya nggak gini juga sih.
Baru juga diterima jadi pacar dah norak banget.
Selgie mencibir sendiri. Beranjak meraih buku data futsalnya. Tapi ia terdiam sendiri. Duduk di
kursi sambil bergerak kecil gelisah.
Tapi sebelum keberaniannya hilang, cewek itu segera membuka room chat lain.
Chat selgie dan jaebi
Selgie mengembungkan pipi. Berusaha menguasai diri menaruh hape di atas meja. Ia meneguk
ludah, menggeleng kecil berusaha menguasai diri.
Udahlah. Jaebi itu cowok baik. Dia cowok asik.
Jaebi tidak bersikap spesial.
Jadi Selgie tidak seharusnya merasa spesial.

***
Selgie melirik, memindai ruang OSIS. Ia mengernyit, nampak gelisah di tengah riuhnya para
anggota futsal lain.
"Woi, woi kak!"
Gadis itu menoleh, mengangkat alis Cakra mendekat ke sampingnya.
"Ini elo kan?" tanya Cakra mengacungkan selembar poto dalam plastik bening rapi.
Selgie mengernyit, merunduk melihatnya. Garis wajahnya berubah.
Di sana adalah potret ia bersama Jevon. Memakai mahkota dari kertas dan berdiri di atas
panggung aula sekolah sambil sama-sama tersenyum malu dengan nametage masing-masing
di dada.
"Bulet bener lo, matanya ilang lagi. Baru lulus SMP masih polos mukanya," komentar Cakra
terkekeh menatapi poto itu.
Selgie hanya tersenyum tipis, tak minat menyahuti.
"Gue pikir cuma mitos doang Jevon tuh Raja MOS, eh beneran," kata Cakra tertawa.
Selgie mengerjap, berdehem. "Eh kemaren yang jadi Raja MOS lo siapa?" tanyanya
membelokkan pembicaraan.
"Ya adek lo kan?"
"Raja geblek. Bukan Ratu."
"Eh oh ya," Cakra menepuk keningnya sendiri, "si Rocky tuh. Padahal mah lebih pantes gue."
"Oh..." Selgie manggut-manggut, mengalihkan wajah tak lagi berlanjut.
Tapi, Cakra Januar yang memang dikenal dengan tingkat kepekaan nol persen itu tak berhenti
di sana.
"JEV SINI DAH!!! LIAT GUE PUNYA APA!"
Selgie mendecak, merasa terganggu. Ia melirik saat Jevon dengan tenang beranjak dan
mendekat. Gadis itu mendesah, lalu melangkah ingin pergi.
"Eh kak, dulu kok bisa sih lo sama Jevon yang kepilih?"
Selgie mendelik, tapi kemudian mendesah sabar dan menoleh. Tepat saat Jevon menghampiri
keduanya.
"Paan? Ada apa?" tanya Jevon ingin tau, mendekat pada Cakra. Kini ia dan Selgie jadi
dipisahkan si bongsor Cakra yang mengacungkan poto MOS mereka.
"Lah? Ini siapa yang moto? Kok gue baru tau ada poto ini Gi?" tanya Jevon mengernyit.
"Gue juga nggak tau," jawab Selgie singkat.
"Ini lo nyogok OSISnya ya? Makanya kepilih?" tanya Cakra menyeletuk membuat Jevon
mengumpat.
"Jev, si Jaebi nggak masuk ya?"
Jevon tersentak. Ia mengangkat wajah, kaget cewek itu tiba-tiba menanyakan hal tersebut.
"Hm?" Jevon mengernyit menatap Selgie, membuat Selgie segera mengalihkan tatapan
menjauh.
"Jaebi kok nggak keliatan? Bukannya dia ketua panitia festival?" tanya Selgie agak canggung.
"Iya, dia nggak masuk sekolah. Sakit, kecapekan mungkin," jawab Jevon membuat Selgie
menoleh dan tertegun.
Suara Pak Sean yang menyuruh mereka bubar membuat ketiganya menoleh dan segera
menurut.
"Eh, Ka. Sini potonya mau gue scan," kata Jevon mengambil lembar poto dari tangan Cakra
membuat Selgie melebarkan mata.
Jevon dengan santai memegangi poto itu sambil berjalan ke arah salah satu meja di ruang
OSIS. Ia bicara sesaat pada Hanna yang memang kebetulan di sana. Mereka mengobrol
sesaat, sebelum Hanna beranjak dan menyilahkan Jevon duduk mulai sibuk dengan alat scan.
Selgie memandangi itu. Ia menggigit bibir, tapi kemudian mendekat. "Jev."
Jevon yang awalnya fokus jadi menoleh. "Hm?" sahutnya singkat, mulai sibuk menyentuh
tombol touchscreen pada scanner.
"Mau lo apain potonya?" tanya Selgie agak serak.
"Simpen," jawab Jevon tenang tanpa beban.
Membuat Selgie gemas. Ia melirik, melihat anak futsal mulai keluar dan meninggalkan ruangan.
Gadis itu menghela nafas, "nggak usah deh, Jev," katanya tak setuju membuat Jevon menoleh
dan mengernyit. "Gue nggak mau ada masalah."
"Hm? Maksud lo?" Jevon mengernyit, masih sambil melanjutkan pekerjaannya.
Selgie mendecak, "inget kan pas Wendy ngesnap kita berdua di lapangan futsal? Cukup sekali
aja jadi besar gitu-"
"Sans kali, Gi. Ini kan udah lama," potong Jevon diam-diam merasa tersinggung.
"Gue nggak mau cewek lo salah paham, Jev-"
"Jane nggak kayak gitu." Jevon kembali menyela, membuat Selgie terdiam. Cowok itu menarik
nafas, kemudian mendesah dan menoleh lagi memandang Selgie.
"Gi, Jane bukan tipe cewek yang jealousan kok. Dia nggak bakal marah kalau nggak ada yang
komporin. Jadi santai aja," kata Jevon serius, membuat Selgie terdiam merasa tertohok.
"Dia nggak bakal sewot walaupun kita dulu....." Jevon terdiam, mengatupkan bibir dan menjilat
bibir bawah sesaat, "..... walau dulu kita pernah deket," lanjutnya dengan nada mulai berbeda.
Selgie merapatkan bibir, mencoba tenang. "Gue nggak mau dapat masalah lagi," katanya kini
terdengar datar.
Jevon mendesah, menoleh pada layar LED di depannya dan mulai belagak sibuk dengan
mouse mengirim poto scan melalui email.
"Ini cuma kenangan. Nggak ada artinya."
Selgie tersentak. Matanya melebar, memandang Jevon yang tak menoleh padanya. Gadis itu
terpaku. Walau hatinya merasa patah dan melebur kini.
Jevon mendesah, kemudian berdiri. Pemuda itu mengambil selembar poto tadi. "Ini tadi Cakra
dapat dima-"
Ucapannya terhenti, ketika mengangkat wajah memandang gadis itu. Jevon terdiam, tertegun
menatap kelopak mata basah Selgie dengan hidung memerah gadis itu yang jelas terlihat.
Selgie meneguk ludah, mencoba menguatkan diri. Gadis itu menggigit bibir sesaat, menatap
Jevon dengan tatapan terluka. "Gue tau yang gue lakuin ke elo dulu tuh jahat. Tapi bukan
berarti lo bisa ngomong setajam itu sih, Jev...." katanya dingin juga bergetar.
Garis wajah Jevon berubah, terdiam begitu saja.
"Nggak ada artinya?" Selgie mengulang kalimat cowok itu dengan lirih, kemudian menarik nafas
mencoba menahan bening hangat yang hampir menetes dari mata kecilnya. "Gue serendah itu,
Jev?"
Jevon mengulum bibir, mengalihkan wajah sesaat. Pemuda itu mendesah, saat ia menolehkan
kepala untuk membuka suara, gadis itu sudah berbalik dan berjalan pergi meninggalkannya.
Jevon mengepalkan tangan. Ia menaruh poto tadi kemeja di belakangnya, langkahnya cepat
mengejar Selgie keluar ruangan. Pemuda itu segera berjalan ke depan Selgie, menghentikan
gadis itu yang sudah menahan ledakan isaknya.
"Gi...."
Selgie merunduk, menarik nafas mencoba menguatkan diri.
"Gue nggak maksud gitu," kata Jevon dengan lembut.
Jevon meneguk ludah. Ia maju, dengan canggung menyentuh bahu Selgie. Mengusapnya
pelan, "maaf ya..."
Selgie menarik nafas lagi, menenangkan diri. Ia berdehem pelan, kemudian mengangkat wajah.
Tapi baru saja bibirnya terbuka, gadis itu tersentak. Garis wajahnya berubah seketika,
memandang ke arah belakang punggung Jevon.
Jevon mengernyit, refleks menoleh ke belakang.
Langkah Jane berhenti ketika pemuda itu menoleh. Gadis itu terpaku begitu saja. Padahal detik
lalu ia berdoa sendiri bahwa pemuda yang bersama Selgie itu bukanlah kekasihnya. Tapi kini
justru jelas yang berdiri dan mengusap pundak Selgie adalah Jevon Irsandi.
Jevon melepaskan pegangan pada pundak Selgie, kini membalikkan tubuh seutuhnya.
Menegang kaget seakan ketahuan mencuri sesuatu. Selgie sendiri juga refleks menjauhkan diri,
meneguk ludah membeku menatap ekspresi Jane yang perlahan berubah.
Jane mencoba menguasai diri melangkah mendekat. Jevon meneguk ludah, entah kenapa
merasa gemetar dan menciut kecil.
Jane berhenti. Gadis itu memandangi Selgie lurus, menggigit bibir sesaat sebelum menoleh
pada Jevon. "Kalian ngapain?"
Jevon menatap gadis itu. Ia tak langsung menjawab, mencoba memikirkan kalimat tepat.
"Kita dari ruang OSIS, Jane," suara Selgie membuat Jevon menoleh, melihat gadis itu
berekspresi datar tak terbaca. "Tadi masih ada urusan futsal jadi gue sama Jevon yang keluar
terakhir."
Jane mengernyit. Gadis itu memilih diam tak menyahut.
Selgie berdehem pelan, "Jevon dari tadi nyariin elo kok," katanya samar terdengar bergetar.
Selgie diam-diam menarik nafas, "duluan ya," pamit gadis itu lirih, segera beranjak dan
melangkah cepat melewati Jane.
Jane menipiskan bibir, kini jadi memandang Jevon seutuhnya. Gadis itu menghela nafas, "kamu
apain dia?" tanyanya dingin membuat Jevon terdiam. "Udah jelas dia abis nangis, Jevon."
Jevon kini berusaha menghindari tatapan Jane. Pemuda itu berdehem pelan, "Nggak, Jane.
Nggak ada apa-apa," kata pemuda itu mencoba tenang, lalu meraih lengan Jane. "Yuk balik-"
"Jevon." Suara tegas dan dingin Jane membuat Jevon terdiam lagi. Jane menghela nafas
panjang. "Aku udah bilang, kan? Kalau ada yang belum selesai, selesaiin sekarang."
Jevon jadi mengeraskan rahang, menatap gadis itu serius. "Aku sama Selgie nggak pernah
memulai apapun, Jane. Apanya yang diselesaiin?" katanya tegas.
Jane menggigit bibir lagi. Tatapannya jadi nanar memandang pemuda tampan itu. Gadis itu
mencoba menguasai diri. Dengan lirih bertanya.
"Kalau waktu itu aku nggak datang... kamu bakal apa?"
Jevon tersentak. Pemuda itu mengernyit tak mengerti.
"Aku datang pas Selena putus, kan? Kalau aku nggak pernah datang ke 2A3.... Kamu bakal
apa?"
Jevon mendecak, "Jane-"
"Kalau waktu itu kamu nggak bikin grup chat, atau kalau waktu itu kita nggak nonton bareng..."
Jane diam sesaat, dengan intonasi makin melirih menatap pemuda itu. "... Kamu bakal balik ke
dia, kan?"
Jevon mengatupkan bibir. Pemuda itu meneguk ludah. Kini jadi diam tak berkutik. Membuat
Jane mengerti tanpa membutuhkan jawaban.
"Sekarang kamu masih bilang kalau nggak ada yang perlu diselesaiin?" tanya Jane lirih,
membuat Jevon makin tersudut.
Jane menatap pemuda itu dengan kelopak mata yang sudah menghangat basah. Gadis itu
menggigit bibir. Merasa tak tahan, ia berbalik dan segera berjalan cepat pergi membuat Jevon
tersentak.
Jevon ingin mengejar, tapi pemuda itu dengan bodohnya malah terdiam. Ia merasa tungkainya
melemas dengan hati yang perlahan terasa dingin. Ia menyadari sesuatu.
Memang, kisah tak jelas yang tak tahu mana awal ataupun akhirnya... jauh lebih sulit dilupakan.
Selama ini Jevon bertingkah masa bodoh, yang pada nyatanya cara mengelak bahwa ia masih
memikirkan Selgie. Tanpa sadar... bayang Selgie masih ada di hati pemuda itu.

*
Selgie berlari ke dalam toilet. Gadis itu masuk ke dalam bilik, menutupnya rapat. Tangisnya
pecah begitu saja. Lagi-lagi penyesalan itu datang. Merutukinya kenapa bertingkah terlalu
bodoh dulu.
Kenapa bisa dia menyadari saat pemuda itu sudah berpaling? Kenapa bisa dia baru merasakan
ketika pemuda itu sudah digandeng yang lain? Kenapa semuanya begitu terlambat?
Dulu Selgie tak tau apa yang dia lakukan. Hanya mengikuti arahan teman, gadis itu menerima
pernyataan cinta Benji. Benji membawanya jadi gadis eksis seperti sekarang. Membuatnya
tanpa sadar terbuai, melupakan si Raja MOS itu begitu saja.
Lalu saat Selgie sadar atas kebodohannya dan mencoba memperbaiki semua... Jevon telah
menjalin kasih dengan anak baru itu.
Waktu seakan tak pernah berpihak pada keduanya.
Selgie tak pernah membenci Jane ataupun menyumpahi kedatangan gadis itu. Ia justru
merutuki dirinya sendiri. Seakan karma menamparnya keras. Terus menghantuinya dengan
penyesalan.
Bukan kenangan ataupun pemuda itu yang membuat Selgie sulit move on. Tapi penyesalannya
yang tak pernah berhenti menyiksa ini yang selalu menghantuinya.
Ini juga kenapa Selgie selalu mengucap permohonan. Menunggu 11:11 untuk menyebutkan
permintaannya.
Ia hanya ingin bebas dari penyesalan ini. Apa itu begitu sulit terkabul?

***
Jaebi: woi 11:11
Jaebi: tumben gi udah tidur?
Jaebi: ugi?
Jaebi yang awalnya malas-malasan di atas tempat tidur jadi mengernyitkan kening. Ia
menegakkan posisi tubuh kini, duduk dan menatap layar hapenya. Entah kenapa firasatnya tak
nyaman. Apalagi seharian Selgie seakan menghilang. Gadis itu juga tak muncul di twitter
seperti biasa.
Jaebi terbatuk pelan. Ia memijat pelan leher belakangnya, sambil menggerakkan jempol di atas
touchscreen membuka grup chatnya.
Chat 2a3
Jaebi yang awalnya sudah dapat posisi nyaman bersandar di tumpukan bantal di tempat
tidurnya langsung menegak. Pemuda itu melebarkan mata membaca chat yang terus masuk.
Chat 2a3
Jaebi menipiskan bibir. Ia menarik nafas dalam. Pikirannya mulai berkecamuk.
Dan perasaannya makin merumit.
***
"Nanti gue ke sana kok. Sorry, ada urusan bentar," kata Jaebi pada telpon, kemudian menutup
sambungan dengan si ketua OSIS Ezra. Pemuda itu mendesah, menoleh pada teman-
temannya yang sibuk mengemasi barang-barang di lab kimia.
Setelah jam pelajaran ini, beberapa akan dispen untuk persiapan pensi. Seperti Haylie, Jevon,
Hanbin, Hanna, dan Jaebi yang jadi panitia pensi. Kesempatan Jaebi hanya sekarang. Pemuda
itu sedari tadi mencari waktu yang tepat.
Satu persatu mulai keluar. Jaebi beranjak dan melangkah, menghampiri Jevon yang sibuk
menyampirkan ransel ke pundak.
"Jev, gue mau ngomong," kata Jaebi begitu saja, menahan Jevon yang ingin berbalik pergi.
Jevon menoleh. Alisnya berkerut, jadi berhenti dan kini berhadapan dengan Jaebi. Theo dan
yang lain sempat menoleh keduanya kenapa tak keluar lab, tapi tak terlalu mencemaskan dan
pergi meninggalkan mereka. Jaebi melirik, melihat Jesya dan Yena masih di dalam lab.
"Kenapa Jeb? Penting?" tanya Jevon melihat jelas pemuda itu ingin bicara empat mata
dengannya.
"Hm," Jaebi mengangguk. Pemuda itu mendesah ketika akhirnya Jesya dan Yena pergi keluar
lab. Menyisakan ia berdua dengan Jevon.
"Paan nih? Gue jadi salting," racau Jevon menyeletuk.
Jaebi hanya menanggapi dengan senyum tipis. "Tentang Selgie," kata Jaebi tak berbasa basi
membuat Jevon tersentak dengan raut wajah yang berubah drastis.
Jevon melirik ke arah pintu, memerhatikan masih ada bayang beberapa orang di sana. Ia
membasahi bibir bawah, kemudian menoleh lagi pada Jaebi. "Kenapa tiba-tiba bahas Selgie?"
tanyanya jadi terdengar lebih serak dan rendah.
Jaebi merapatkan bibir sejenak. "Mungkin lo cuma pengen temenan biasa. Tapi biar
gimanapun, elo udah punya Jane. Harusnya lo hargai Jane, Jev," kata Jaebi terdengar kalem.
"Jangan bawa-bawa Selgie terus."
Jevon mengangkat sebelah alis, "kayaknya ini masalah gue sama Jane deh, Jeb," katanya
menyindir halus. Walau memang sering memecahkan masalah bersama, namun 2A3 tau betul
akan batas privasi tiap anggotanya. Jevon merasa kali ini Jaebi, entah kenapa, jadi terkesan
melewati batas itu.
"Hm. Gue juga bukan guruin lo atau ikut campur tentang lo sama Jane," sahut Jaebi tenang. Ia
diam sejenak, memandang Jevon lurus.
"Tapi ini bukan tentang lo berdua, kan? Ada orang lain yang dianggap sebagai orang ketiga di
sini. Gue nggak bisa biarin itu."
Jevon terdiam. Pemuda itu tertegun. Cukup lama. Ia mengerjap, agak berdehem canggung.
"Gue sadar belakangan ini lo sering sama Selgie. Tapi gue nggak tau kalian sedekat ini?"
tanyanya mencoba tak terdengar kaku dan tetap santai menatap Jaebi.
Jaebi menipiskan bibir. "Dia sahabat gue," katanya dengan intonasi belum berubah, masih
terdengar kalem. "Gue nggak mau ada salah paham antara Selgie sama lo berdua. Apalagi di
sini kesannya Selgie yang salah, bukannya wajar kalau gue belain dia?"
Jevon mengangkat alis mendengar itu.
"Elo temen gue, Jev. Gue tau lo cowok baik. Jadi jangan nyakitin Selgie terus," ucap Jaebi
serius.
Waketos itu menarik nafas, menghela nafas pelan. Ia memberi tatapan jika obrolan mereka
sudah selesai, kemudian berbalik dan beranjak lebih dulu.
"Elo suka ya?"
Jaebi terkejut. Ia yang baru sampai di pintu menoleh kaget membalas tatapan lurus Jevon.
"Elo suka sama Selgie?"
Jaebi diam. Tak langsung menjawab. Pikiran dan suara hatinya langsung bertengkar, berseteru
dilema apa yang harus dilakukan cowok itu sekarang. Keduanya di pihak berbeda, membuat
Jaebi terdiam dan menghindari tatapan Jevon. Merasa goyah begitu saja, merutuk kenapa tiba-
tiba ia yang selalu tau apa yang harus dilakukan, kini jadi tak berkutik diam.
"Jeb?" suara serak Jevon terdengar, menuntut jawaban.
Jaebi menarik nafas dalam, menghembuskan pelan. Pemuda itu berdehem kecil, kemudian
menggerakkan kepala menatap Jevon tepat. Ia mencoba meyakinkan diri dan menyahut
dengan intonasi tenang.
"Hm. Gue suka."
Jawaban itu membuat Jevon tersentak. Walau sudah berekspetasi, tetap saja Jevon tak
menyangka Jaebi akan mengiyakan.
Jaebi mendesah lagi, menatap Jevon serius. "Jadi lo tau kan harus apa?" tanyanya penuh arti.
Jaebi menipiskan bibir, kemudian berbalik dan melangkah keluar lab lebih dulu. Jaebi
mendecak kecil, berjalan di koridor dengan perasaan mulai gundah. Ia menggeram kecil,
frustasi sendiri.
Ah, sial. Sekarang dia jadi cemas. Jangan sampai ia dan Jevon akan jadi canggung karena
jawabannya yang jelas menantang. Jevon bukan hanya sahabat Jaebi. Jevon adalah bagian
dari keluarga 2A3, keluarga Jaebi. Tak seharusnya Jaebi menyinggungnya begitu.
Tapi di sisi lain... Ini adalah Selgie. Jaebi tak bisa diam jika gadis itu disakiti. Selgie selama ini
sudah menjaga jarak sejauh mungkin untuk menyembuhkan hati. Lalu kenapa Jevon selalu
mengusiknya? Jelas sekali di sini siapa yang salah dan bertingkah bodoh.
Jaebi melengos keras, merogoh hape untuk menghubungi Ezra menanyakan keberadaan
ketuanya tersebut. Ia mengangkat alis, saat baru menyalakan layar muncul jam digital dengan
angka kembar.
11:11.
Pemuda berhenti melangkah. Garis wajahnya berubah begitu saja. Kelopak matanya
menyendu. Ia diam sendiri, tak tahu harus mengucap permintaan apa. Sepertinya, saat ini lebih
dari satu permohonan yang ingin ia kabulkan. Pemuda itu hanya membatin nama Selgie, tak
mengucap kata lainnya.
Sebuah pop-up message muncul. Membuat matanya membulat, membaca nama adik kelas
mengirimnya pesan.
Faili: kak jaebi, aku mau ngadu sesuatu

***
Chat selgie dan jaebi

Jaebi memandangi chat akhir. Hanya bisa tersenyum tipis tak ada lagi balasan dari Selgie.
Cowok itu menghela nafas panjang, kemudian mulai melangkah.
Jaebi memandangi koridor, melihat para murid terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Saat-saat begini memang hal paling menyenangkan di SMA. Festival sekolah dan persiapan
pensi. Selain classmeets yang bisa terjadi tiga kali seminggu ataupun jam kosong yang jadi
lebih sering, juga hal ini membuat para murid tiap kelas jadi semakin dekat dan kompak. Jaebi
pun, walau ia jauh lebih sibuk karena merupakan panitia -bahkan menjadi ketua panitia
Festival-, pemuda itu tetap merasa senang. Ia menikmati hal-hal seperti ini.
"Cie lagi liatin siapa."
Sebuah celetukan membuat pemuda itu terkejut dan menoleh. Bibirnya tersenyum begitu saja
melihat Selgie berjalan mendekat.
"Kayaknya lo terpesona gitu. Siapa sih? Gebetan ya?" celetuk Selgie sambil menoleh kanan
kiri.
"Kebanyakan liatin jam kembar ya gini, otak lo jadi nggak jalan dengan benar," ledek Jaebi
menoyor pelan kening Selgie dengan telunjuk, "ngaco mulu."
Jaebi tertawa renyah, berbalik dan mulai melangkah membuat Selgie refleks mengikuti di
sampingnya. "Elo kenapa nggak bareng temen-temen lo, malah di kelas aja?" tanyanya
membuka obrolan, memasukkan kedua tangan ke kantung jaket abu-abu yang ia kenakan.
Selgie diam sejenak, mendesah pelan. "Nggak papa," jawabnya singkat.
Jaebi melirik, "lagi ngambek ya?" tanyanya menggoda, membuat Selgie tersentak. "Elo marah
sama Joy?"
Mata Selgie membulat, "tau dari mana?"
Jaebi malah tersenyum misterius, "udahlah, nggak usah dipikirin. Elo kayak gini kayak salah
aja," katanya kalem sambil berjalan dengan tenang. "Jevon sama Jane juga keliatan baik-baik
aja. Orang-orang bakal mikir buat percaya gosip itu bener atau nggak."
Selgie menghela nafas, berjalan di samping Jaebi dengan ekspresi menyendu. "Ya tetep aja Bi,
pada bilang gue sama Jevon sama-sama gamon. Digosipin kan nggak enak, jadi orang ketiga
gitu lagi," katanya mengomel kecil. "Apalagi temen-temen kelas gue sendiri. Gimana nggak
sakit hati?"
Jaebi memandangi gadis itu. Ia tersenyum, mengeluarkan tangan dari kantong jaket dan
menjulurkannya. Menepuk kepala Selgie membuat Selgie menoleh seutuhnya. Jaebi tersenyum
lembut dan menepuk-nepuk pelan puncak kepala Selgie.
"Semua bakal baik-baik aja, percaya sama gue."
Mata Selgie membulat. Gadis itu merona, mengalihkan wajah membuat Jaebi menurunkan
tangan dan kembali memasukkannya ke dalam kantong jaket, merasa canggung.
Jaebi menggigiti bibir, memandang depan dan kemudian berhenti di ujung pintu masuk
kafetaria membuat Selgie ikut berhenti. "Dah, kan? Gue anter sampe sini."
"Loh? Nggak ikut makan?"
Jaebi menggeleng. Ia melirik, memerhatikan sesaat isi kafetaria. "Gue harus ngurus panggung,"
katanya membuat Selgie tanpa sadar mendecak kecewa. "Tuh, ada temen-temen kelas lo.
Mending baikan sana, nggak usah sok ngambek. Lagian Joy juga nggak maksud kok."
Selgie mendelik kecil, lalu mencibir. "Iya iya," katanya menurut.
Jaebi memandangi gadis itu, lalu tersenyum. "Duluan ya," pamit pemuda tersebut yang entah
kenapa membuat Selgie jadi berdebar aneh.
"H-hm," Selgie hanya bisa mengangguk. Setelah memandang Jaebi berbalik sampai pemuda
itu melangkah pergi, ia mulai memasuki kafetaria.
Baru juga masuk beberapa langkah, mata Selgie melebar kaget sosok Joy sudah berlari
datang. Sepertinya cewek itu sedari tadi memerhatikan dan menunggu kesempatan yang tepat.
"Apa?!" tanya Selgie galak saat Joy datang membuat Joy refleks meringis lebar.
"Ah, masih ngambek aja sahabatku yang tercantik ini," kata Joy dengan manis, bahkan
mendekat dan memeluk lengan Selgie seperti tak merasa bersalah. "Santuy, Sel. Udah gue
klarifikasi kok kalau ternyata cuma urusan futsal doang kemaren tuh. He he."
Selgie mendecih tak peduli, ingin melangkah tapi Joy menahannya. Suara Joy jadi berubah
menjadi berbisik.
"Kok lo dianter waketos? Terus usap-usap kepala?" tanya Joy melebarkan mata, heboh sendiri.
"Untung tadi gue pas noleh pas lo diusap-usap gitu. Ih kok Jaebi ganteng ya Sel?"
"Apa?" Selgie yang awalnya mendengarkan malas jadi langsung mendelik.
"Kayak gentle aja gitu," jawab Joy dengan mata berbinar, "eh, emang lo akrab sama dia? Kok
kayaknya udah deket gitu?" tanyanya semangat.
Selgie mendecak, merasa malas. "Nggak ada apa-apa. Cuma sahab-" Selgie terdiam sendiri. Ia
tiba-tiba menghentikan kalimatnya.
"Kenapa Sel?" tanya Joy jadi bingung menaikkan sebelah alisnya.
Selgie merutuk dalam hati, berdehem mencoba menguasai diri. "Gue sama dia temenan.
Apalagi pas pertandingan futsal tuh kita sering ketemu," katanya dengan santai.
"Oh, gitu..." Joy manggut-manggut, berikutnya jadi mengeratkan pelukan pada lengan Selgie
dan tersenyum manis. "Dia abis jomblo kemaren masih free kan Sel? Nggak ada yang deket?"
"Ck, kenapa sih?" Selgie mendelik, menggeliat minta dilepaskan dengan wajah merenggut tak
suka.
"Tadi ganteng gitu, Sel," kata Joy polos.
"Dia emang ganteng kali," sahut Selgie begitu saja. Membuatnya tersentak sendiri.
"Hm?" Joy melirik, dengan ekspresi tak terbaca memandangi Selgie yang terlihat panik sendiri.
"Eh gue laper yaampun ayo cepet pesen makan deh keburu bel nih," kata Selgie cepat,
langsung menarik Joy pergi dari sana. "Si Wendy mana? Eh Naya juga mana? Di sana ya?
Kesana dulu apa pesen dulu?" tanya Selgie seperti kereta api tanpa rem. Gadis itu langsung
sibuk menarik Joy ke sana kemari.
Joy tertarik pasrah, diam-diam geli sendiri. Sementara Selgie jadi merutuki diri. Kok dia jadi
salting begini sih?!

***
Jaebi mengangkat alis melihat gadis itu ada di sisi panggung, sibuk merapikan rambut Mauryn.
Merasa ada yang memerhatikan, Faili menoleh. Ia melebarkan mata, refleks tersenyum lebar
dan melambai ceria.
Jaebi tersenyum tipis, memberi tanda menyuruh gadis itu mendekat. Faili melepaskan tangan
pada rambut Mauryn begitu saja, langsung berjalan menghampiri Jaebi dengan riang.
"Gimana kak? Udah?" tanya Faili dengan mata melebar semangat.
Jaebi menggeleng, "belum ada waktu, Fai. Masih ngurus ini dulu." Ia mendesah pelan, "tapi tadi
udah ketemu Selgie sih."
Mendengar itu Faili manggut-manggut kecil. Lalu tersenyum senang, "bukan Kak Joy, kak. Jadi
emang tiba-tiba rame gitu katanya Kak Jevon sama Kak Jane lagi berantem soalnya tumben
nggak lengket, apalagi kan lagi classmeeting gini. Terus ada yang bilang liat Kak Jevon sama
Kak Selgie kemaren. Jadi, Kak Joy langsung nongol buat klarifikasi, begituuuu," katanya
panjang lebar.
Jaebi mengangguk-angguk kecil, "Tau kok. Dia juga bilang anak kelas IPS 2 juga pada nanya
ke Joy tentang ini. Kayaknya itu sih alasan Selgie ngambek."
"Jujur sih kak, dulu aku tuh sempat tim kontra Kak Selgie karna aku ngefans sama Kak Jevon,"
aku Faili polos, "tapi sekarang... aku tim Kak Jaebi sepenuhnya! Pokoknya, Kak Jaebi butuh
apa aku pasti bakal coba bantu."
Jaebi tertawa, mengangguk-angguk. "Thanks ya. Tapi Fai, seperti yang biasa gue bilang. Gue
sama Selgie temenan. Gue kayak gini karena peduli sama dia sebagai temen."
Faili mengangkat alis, lalu terkekeh membuat Jaebi mengernyit. "Tapi Kak Jaebi ngarep lebih,
kan?" tanyanya menembak tepat, membuat Jaebi tersentak.
"Fai..." Jaebi jadi diam, berpikir kalimat sanggahan yang tepat.
"Selama ini, Kak Jaebi cuma bisa baper diem-diem, peduli secara sembunyi-sembunyi. Pas aku
ngadu tentang gosip Kak Selgie Kak Jevon, Kak Jaebi bilang Kak Jaebi udah ngaku ke Kak
Jevon tentang perasaan kakak. Terus, Kak Jaebi juga setuju sama saran aku," ucap Faili
panjang lebar membuat Jaebi makin terdiam.
Faili memandang pemuda itu, melipat kedua tangan di depan dada seakan menghakimi. Tapi
gadis itu tersenyum menggoda, "itu semua karna hati kecil Kak Jaebi ngeliat ada kesempatan.
Naluri cowoknya Kak Jaebi tanpa sadar tuh jadi berkobar gitu kak. Nyuruh Kak Jaebi buat maju
selangkah dari batas yang Kak Jaebi bilang teman itu," katanya menyudutkan, membuat Jaebi
tertegun.
Jaebi diam lama. Seakan dihakimi, ia tak bisa lagi mengelak. Dia jadi ingat, Theo berkali-kali
mengatakan bahwa gadisnya ini adalah anak kecil yang tak berpikir panjang. Ia sering kali
membuat masalah di dalam masalah. Tapi kadang, saran kekanakkan dan cara berpikir naifnya
itu memang benar.
"Udah deh, kak. Jangan friendzone mulu. Udah cukup banyak korban friendzone di sekolah ini,
Kak Jaebi nggak usah gabung sama mereka," celetuk Faili membuat Jaebi mengangkat alis.
Faili tersenyum lebar, "contoh dong ketua kelasnya. Nggak pake lama, nggak pake muter-
muter, langsung gas sampai tujuan dengan cepat," katanya dengan ceria. Berikutnya Faili jadi
menyeringai senang dan tersipu sendiri, "kadang aku suka kesel sih sama Kak Teyong yang
suka ngegas tiba-tiba, tapi itu yang bikin aku suka. Karena Kak Teyong nggak perlu banyak
teori, dia sigap baca situasinya," curhat gadis itu malah jadi tersenyum-senyum membayangkan
sosok sang pacar.
Jaebi tertawa pelan dan menggeleng kecil, sebenarnya sudah biasa karena Faili pasti saja
membahas tentang Theo di kesempatan apapun.
"Eh, kak, udah mulai tuh," tegur Faili ketika suara Ezra terdengar.
"Oh, ya. Duluan ya, Fai. Sekali lagi thanks," pamit Jaebi tersenyum, "kalau ada apa-apa lagi,
gue masih boleh repotin kan?"
Faili meringis lebar, "santuy mah. Aku juga sering repotin Kak Jaebi kalau lagi berantem sama
Kak Teyong, hehe."
Jaebi tersenyum, kemudian berbalik dan segera menaiki panggung membantu persiapan yang
lain. Siang itu para panitia akan melakukan gladi resik dan arahan untuk pensi nanti. Haylie dan
duo Alvenz –Candra dan Mauryn- yang jadi bintang tamu pensi akan cek sound hari ini.
Langit agak mendung. Tapi para murid masih menyebar di sekitar lapangan untuk melihat gladi
resik yang ada. Banyak juga diantara mereka yang sibuk berlatih dan mempersiapkan pensi
nanti. Ezra berdiri di tengah panggung, memegang mik mengatur para pengisi acara.
Jaebi mengangkat kupluk jaket, turun dari panggung dan mengangkat meja untuk
menyusunnya di pinggir lapangan. Pemuda itu menoleh dan tersenyum ramah beberapa kali
ketika para siswi sibuk menyapanya dan mencoba tebar pesona.
Si waketos ganteng lagi pake jaket hoodie gitu gantengnya makin nambah. Mereka tak bisa
menahan diri untuk tidak maju, berlomba ingin dinotice dengan cara memanggil namanya
dengan manis dan nyaring.
Ketika ingin kembali ke sisi panggung, pandangan Jaebi tak sengaja menoleh. Melihat seorang
gadis berdiri agak di tengah lapangan, mengobrol dengan teman-teman di sisinya menunggu
untuk menonton soundcek.
Jaebi beberapa kali melirik, memerhatikannya dari jauh. Pemuda itu diam lama. Saran Faili
terngiang-ngiang, membuatnya merasa sekarang adalah waktu yang tepat.
Apalagi perlahan mulai terasa ada tetes-tetesan gerimis. Tapi para murid masih di lapangan
karena gerimis yang tidak deras sama sekali. Hanya jatuh satu persatu. Hal itu membuat Jaebi
makin tak bisa menahan diri.
Jaebi menarik nafas dalam, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia melirik, para siswi yang
tadi menyapanya masih memerhatikan pemuda itu. Jaebi menoleh ke sisi kanan, koridor
kelasnya sendiri. Memandang para murid 2A3 sedang duduk di anak tangga menuju lapangan.
Ada Jevon sedang tertawa-tawa gila bersama Juan dan Bobi. Sepertinya Hanbin sedang
melawak lagi karena berdiri di depan mereka.
"Gue kesana bentar," pamit Jaebi menepuk lengan Ezra sesaat.
Cowok itu beranjak. Tak melalui pinggir lapangan, tapi lurus dari panggung menuju tengah
lapangan. Tepatnya pada gadis itu yang tak sengaja menoleh dan mengangkat alis melihatnya.
Selgie entah kenapa jadi gugup. Ia mengerjap-ngerjap, menyadari Jaebi kini memandangnya
lurus. Selgie mengerjap, jadi terdiam kaku entah kenapa.
Joy, Wendy, Naya, dan Shasha di sampingnya sedang asik menunjuk-nunjuk Candra yang ada
di atas panggung sibuk menyiapkan gitar. Para cewek itu tertawa-tawa karena tadi Candra
hampir tersandung kabel gitarnya sendiri. Si badut kelas mereka itu memang tiap saat ada saja
membuat malu, di manapun.
Jaebi membasahi bibir, masih melangkah tenang. Ia perlahan menarik lengan jaket,
melepaskan jaketnya. Cowok itu makin mendekat, membuat Joy dan yang lain tersadar dan
menoleh.
Para cewek IPS 2 itu -oh, sekarang ditambah hampir seluruh murid di sekitar sana-, terkejut
dengan mata melebar. Joy bahkan tenganga, dengan Shasha yang tanpa sadar memekik dan
menepuk bibir dengan telapak tangan.
Jaebi merentangkan jaketnya saat sampai di depan Selgie. Ia maju dan memakaikan jaket ke
pundak Selgie. Membuat lengannya ke belakang gadis itu dengan tubuh condong, seakan
memeluk. Jaebi dengan kalem merapikan letak jaket di pundak Selgie, kemudian menaikkan
hoodie ke kepala Selgie.
Selgie bengong.
Mungkin jiwanya sudah hilang.
Apalagi Jaebi menatapnya, kemudian tersenyum lembut. "Udah mulai ujan, nontonnya di
koridor aja," kata cowok itu kalem.
Bukan cuma Selgie yang terkejut, Joy di samping Selgie juga hampir pingsan. 2A3 yang melihat
itu bahkan kompak berdiri, ikut tercengang tak percaya.
Para adik kelas pun sibuk menggigiti bibir tak karuan. Di kumpulan X4, Yera dan Shaeron
sudah pukul-pukulan gemas satu sama lain. Jinny seperti meleleh, terlihat ada bentuk love-love
di kedua matanya menatap Jaebi. Sementara Faili tersenyum lebar dengan bangga. Ternyata
sarannya cukup berguna, apalagi sekarang satu sekolah jadi memandangi itu. Juga, alam
seakan membantu semua. Menurunkan hujan sampai adegan ini pun terjadi.
"Tunggu gue pas ini selesai ya," kata Jaebi menggerakkan pelan kepala ke arah panggung.
Tapi Selgie masih bengong. Seakan tak paham, Jaebi menjulurkan tangan dan mengusap
kepala Selgie yang tertutup hoodie jaketnya. "Nanti gue chat. Oke?"
Bibir Selgie agak terbuka dengan mata mengerjap pelan. Gadis itu mencoba menguasai diri,
"a? Ah, i-iya..." katanya kikuk dengan pipi merona.
Jaebi tersenyum tampan, mengelus pelan kepala Selgie. Sebelum kemudian berbalik dan
berjalan tenang kembali ke arah panggung. Masih diikuti tatapan terpana para murid yang
memerhatikan kejadian itu.
Gerimis seakan menambah suasana dramatis. Adegan ala manga shoujo Jepang itu sukses
membuat para murid merasa sedang menonton film drama. Ini seperti plot twistnya. Selama ini
yang mereka tau Selgie masih punya cerita dengan Jevon. Tapi tiba-tiba... Jaebi datang begitu
saja. Tak ada rumor atau gosip apapun, waketos itu tau-tau terlihat peduli dan...... sayang pada
gadis tersebut. Ia mengakhiri keseluruhan cerita. Menutup semua klimaks dengan manis.
Tapi tidak ada yang tau. Hati Selgie sendiri yang mulai meragu. Menyadari maksud perlakuan
Jaebi ini.

***
Selgie berdiri bersandar, melamun samar. Gadis itu memegangi ujung jaket abu-abu Jaebi yang
tersampir di pundaknya. Kelopak matanya menyayu. Pikirannya berkecamuk. Bingung harus
bagaimana.
Lega atau justru kecewa?
Karena Selgie paham. Dan itu mengganggunya.
Suara langkah mendekat membuat Selgie terkejut dan menoleh. Ia menegak, melihat Jaebi
datang dengan tumpukan kertas di tangan. Gadis itu mendesah pelan, melepaskan jaketnya.
"Makasih," kata Selgie menyodorkan jaket saat Jaebi berhenti.
Jaebi mengangkat alis, "pake aja. Lagi mendung, mungkin pulang nanti ujan," katanya tenang,
merunduk membaca tumpukan kertas di tangannya sekilas.
Selgie menipiskan bibir. Ia menurut, kini memakai jaket abu-abu itu sepenuhnya.
"Temenin ke kelas yuk," ajak Jaebi membuat Selgie terkejut.
Tak menunggu jawaban, Jaebi dengan tenang kembali melangkah.
"Jaebi," tahan Selgie membuat cowok itu berhenti dan menoleh.
Selgie diam, tak segera melanjutkan. Gadis itu menghela nafas, kemudian meneguk ludah dan
memantapkan diri menatap Jaebi tepat.
"Kenapa lo baik banget sama gue?"
Jaebi tersentak setengah mati. Matanya melebar, refleks membalikkan tubuh seutuhnya
menghadap Selgie.
Selgie diam-diam menggigit bibir, tapi ia menarik nafas dan kembali melanjutkan. "Gue tau kok,
Bi. Lo sengaja, kan? Elo kayak gini biar gosip tentang gue sama Jevon berenti?"
Selgie diam sejenak, lalu intonasi suaranya agak terdengar berubah.
".... Lo cuma pura-pura, kan?"
Jaebi membulatkan mata. Cowok itu terdiam.
"Kenapa sih, Bi? Elo sadar nggak sih kayak gini bakal bikin lo jadi dibawa-bawa. Malah nanti lo
juga digangguin sama gosipnya," kata Selgie merasa tak enak.
Bibir Jaebi terkatup rapat. Ia kehilangan kata. Walau ada banyak kalimat yang ingin ia katakan.
Apalagi kalimat Faili tadi terngiang. Bahwa Jaebi mengiyakan ini karena memang hati kecilnya
melihat kesempatan itu. Bahwa naluri prianya membentakinya menyuruhnya untuk jadi gentle,
maju selangkah melewati batas mereka.
"Kenapa lo baik banget sama gue?" tanya Selgie mengulang pertanyaannya.
'Karena gue sayang sama lo.'
Jaebi merutuk, merasa menciut bodoh. Lidahnya kelu. Pemuda itu menatap Selgie dengan
perasaan yang tak karuan.
"Karena lo temen gue, Gi."
Kalimat itu yang tercetus. Membuat Jaebi merasa jadi seorang pengecut. Pemuda itu tak
sesempurna yang terlihat. Seorang Jaebi juga sering bertingkah bodoh begini.
Selgie menggigit bibir. Kedua kelopak matanya menyayu, "tapi nggak seharusnya lo akting
kayak gini..." katanya mulai melirih.
'Perlakuan lo buat gue ngerasa istimewa...' sambung Selgie dalam hati, merasa patah sendiri.
Walau ia sudah menduga dengan hal ini, tetap saja kekecewaan itu tetap datang.
Jaebi meneguk ludah, berdehem mencoba menguasai diri. Ia mendesah samar, "sekarang ke
kelas yuk. Elo harus selesaiin semua," katanya tegas membuat Selgie merapatkan bibir.
"Nggak perlu berhadapan langsung sama Jane Jevon, tapi seenggaknya lo tunjukin kalau
memang nggak ada apa-apa antara kalian."
Selgie mengulum bibir, agak ragu. Ia mengangkat wajah ketika Jaebi maju satu langkah lebih
dekat di hadapannya.
"Ada gue, Gi. Gue temenin lo," kata Jaebi meyakinkan.
Selgie menarik nafas, menghembuskannya panjang. Ia mengangguk dua kali, mencoba
tersenyum.
Jaebi berbalik lagi, mulai beranjak. Selgie melangkah di sampingnya. Keduanya beriringan
berdua di koridor.
Dengan perasaan yang masih sama-sama bersembunyi satu sama lain.

***
"Bi, beneran nggak papa?" bisik Selgie cemas, meremas-remas ujung jaket Jaebi yang ia
kenakan.
"Kenapa?" tanya Jaebi santai sambil terus melangkah.
"Jane marah sama gue," kata Selgie merasa bersalah.
"Siapa yang bilang?" balas Jaebi menoleh sesaat, "udahlah. Percaya sama gue," katanya
menarik pelan lengan Selgie sampai merapat padanya.
Jaebi tersenyum sesaat, melangkah pelan menuju kelasnya. Diam-diam, pemuda itu juga
merasa gugup. Bagaimana kalau semua berjalan tak sesuai rencana? Apalagi perlu diingat ini
adalah saran gila dari Faili, menyuruh Jaebi yang memasang badan melindungi Selgie.
Menyebarkan seisi sekolah bahwa mereka punya 'hubungan' dekat. Dan yang paling utama, ke
depan Jevon dan Jane untuk meluruskan semua.
Selgie melirik, melihat keadaan ramai 2A3. Ia jadi berhenti di ambang pintu saat Jaebi masuk,
membuat Jaebi jadi berhenti beberapa langkah di depannya dan berbalik dengan kening
berkerut.
"EH IBU MANAGER!!!" sapa Hanbin melambai-lambai, membuat beberapa murid jadi menoleh
menyadari keberadaan Selgie.
Jevon yang duduk di meja pojok depan dengan Theo dan Eno melirik, namun hanya diam
kembali merunduk pada hapenya.
"ASIKKKK BESAN BARU NIHHH," celetuk Rosi nyaring.
"Masuk dong Sel, masuk sini," ajak Jesya mengibas-ngibaskan tangan.
Jaebi dengan tenang memandang Selgie, mengulurkan telapak tangannya yang terbuka. "Sini,"
ajaknya pelan, membuat gadis itu tertegun.
Selgie dengan kikuk menerima uluran tangan Jaebi, melangkah pelan memasuki kelas sambil
mencoba tersenyum canggung pada orang yang ia kenal.
"Gi, anget nggak jaketnya?" goda Juan ramai.
"Harum Kak waketos nggghhh," Hanbin mulai mengeluarkan suara ambigu.
Theo diam-diam memandangi Jaebi. Melihat ekspresi temannya itu. Theo diam sesaat, lalu
menoleh pada Jevon yang diam. Pemuda itu menendang pelan kursi Jevon membuat Jevon
tersentak, menoleh dengan delikan.
"Ikutan sono," bisik Theo menggerakkan dagu pelan.
"Ha? Ngapain?" balas Jevon juga ikut berbisik.
"Ikut, bego," sahut Theo gemas, tak menjawab jelas pertanyaan Jevon.
Jevon mengatupkan bibir. Ia dengan ragu memandang Selgie yang terlihat malu-malu di
samping Jaebi yang berdiri di meja depan membuka tas ranselnya.
"Jaebi gerakan bawah tanah njer," celetuk Bobi membuat Jaebi hanya tersenyum tipis tak
menjawab.
"Kenalin dong elahhh masa nggak di-mos," kata Haylie ikut nimbrung.
Yoyo juga diam-diam memerhatikan Jaebi. Agak mengernyit, merasa ada maksud dari cowok
itu membawa Selgie ke kelas ini.
Jevon berdehem, "Wah Bin lo kaya nih entar, banyak yang peje," celetuk cowok itu nyaring.
"WO IYA DONG!" Hanbin langsung menyambut ceria, "eh tapi untuk ibu manager mah selow,
sekotak aja its okay its love!"
Yoyo melebarkan mata, melihat Jaebi merunduk dan samar tersenyum puas. Pemuda itu jadi
menoleh, memandang Jane yang terlihat tersentak.
"Pon, sekalian anak futsal juga mintain peje Pon!" kata Yoyo langsung ikut serta ketika sudah
membaca situasi.
"WO MANTAP!" sambut Hanbin dan Jevon kompak.
Selgie jadi membelalak kecil, "kok gue sih?" protesnya tak terima.
"Hm, palakin aja dia," kata Jaebi tanpa dosa menunjuk Selgie, membuat gadis itu memukul
lengannya pelan.
"AIGUUUUUUUUU," goda Haylie, Jiyo, Rosi, Hanna, dan Jesya kompak. Diikuti suara Hanbin
dan cowok-cowok bobrok lain makin heboh.
"Woi udah jangan digangguin entar nggak mau ke sini lagi, diem lo semua!" tegur Hanin galak.
"Selena maaf ya, temennya Jaebi emang otaknya nggak ada yang waras," kata Miya membuat
Selgie menoleh dan meringis kecil.
"Dih elo aja, gue mah normal," kata Jevon jadi aktif.
"Apalagi elo," balas Lisa tak terima.
"Cowok lo tuh virusnya!" sahut Jevon menunjuk Hanbin.
"Akuuu???" Hanbin menunjuk diri sendiri, "jadi duta sam—ARGH!" ucapannya langsung
terhenti saat Lisa sudah menabok keningnya keras.
Hal itu membuat Selgie tertawa, jadi lebih ringan dari sebelumnya.
"Ck, ayo balik Gi. Lama-lama di sini entar lo kena virusnya juga," kata Jaebi setelah menaruh
ranselnya kembali, kemudian menggandeng Selgie disambut sorakan yang lain.
"GI HATI-HATI AJA SIH KALEM MAH LUARNYA JAEBI DOANG! ASLINYA LIAR!" teriak Juan
tanpa dosa.
Jaebi hanya mencibir, dengan tenang terus menggandeng tangan Selgie keluar dari kelas.
"ADUH PADA PUNYA PACAR SEMUA AKU KAPAN HUHUHUHUHU," suara rengekan Jiyo
membuat semua jadi makin menyoraki ramai.
"Tenang, Ji. Makhluk kayak Haylie aja akhirnya ada yang mau," celetuk Jevon santai.
Haylie mengumpat, langsung melempar buku terdekat ke wajah Jevon tepat. Ia menoleh pada
Jane, "Jane, gue tanya ya sama lo. Lo kok mau sih sama makhluk jenis gitu? Hiiiii," balasnya
sambil bergidik.
Jane melebarkan mata, tapi hanya tersenyum saja.
"Yah cinta mah buta," celetuk Yoyo membela.
Lalu
"CINTA ITU BUTA DAN TULIIIIIIIII!!!!"
Rosi langsung menyahut. Kemudian diekori Bobi. Yang diikuti Juan, Hanbin, Yoyo yang segera
bangkit dan berdiri ke atas kursi.
"TAK MELIHAT TAK MENDENGARRRRRR!!!"
Hanin memandangi teman-temannya yang sudah bernyanyi-nyanyi. Ia melengos pelan, "ini nih.
Yang bikin gue pengen cepet lulus terus kawin sama Mr Simon dan bahagia selamanya,"
gumamnya menggerutu sendiri.
"EHEM."
Jaebi yang baru keluar dari koperasi sekolah dengan botol minum di tangan mengernyit, sontak
menoleh mendengar deheman itu.
Gadis cantik yang berdiri di depan dinding koperasi mengangkat alis, memasang wajah sok
tenang. Membuat Jaebi mengernyit, lalu menoleh kanan kiri memastikan gadis itu benar-benar
memandangnya.
"Kak Jaebi, kan?"
Jaebi mengangkat alis. Ia diam sejenak lalu melangkah mendekat, "hm," sahutnya singkat.
"Tau aku nggak?" Gadis itu menyampirkan anak rambut ke belakang telinga dengan dagu agak
mendongak begaya sombong.
Jaebi mengangguk, "adeknya Selgie, kan?"
"Hm, aku Juwita," kata gadis itu tak bersahabat. Melipat kedua tangan di depan dada dan
menatap Jaebi dingin. "Kok aku nggak tau ya kakak ku deket sama waketos?"
"Maksudnya?"
"Selama di sekolah... Kak Selgie nggak pernah keliatan sama kakak," kata Juwi seakan
menghakimi. "So, who are you? Siapa lo di kehidupan kakak gue?"
Jaebi mengernyit, agak memundurkan diri disemprot begitu. Sementara Juwi makin
menatapnya tajam dengan wajah merenggut seakan menuduh curiga.
"Eung.... Temen?" Jaebi mengernyit, bingung sendiri.
"Temen? Lucu," sahut Juwi sinis, "mana ada temen yang pakein jaket gitu apalagi usap-usap
kepala ih apalagi jelas gue liat tatapan kakak tuh dalam banget. Kesel aja masa dari semua
murid di sekolah ini yang shock, gue juga termasuk salah satunya. Padahal kan, cewek itu
kakak gue sendiri!"
Jaebi membasahi bibir bawah. Agak terkejut gadis yang ia kira kalem dan hanya 'liar' saat
bersama Selgie nyatanya benar-benar segarang kakaknya. Dan, ditambah cerewet.
"Oke, oke. Jadi maksudnya gimana? Elo mau apa?" tanya Jaebi mencoba meluruskan.
Juwi diam. Raut wajahnya agak berubah. Ia berdehem, kembali agak mendongakkan leher
memasang ekspresi tak bersahabat. "Ya... apa ya... perkenalan kek," katanya menyindir
membuat Jaebi menaikkan sebelah alis. "Ya... kayak... hm...."
Jaebi mengernyit, menunggu Juwi menyelesaikan kalimatnya.
"Hmmm. Ef-wai-ai nih ya kak, sebagai kakak satu-satunya, aku bakal ngejaga Kak Selgie hidup
dan matiku. Jadi, aku bukan adek yang rela rela aja tuh kakak aku sama cowok sembarangan,"
kata Juwi menyindir.
Jaebi mendesah pelan, "lo mau apa?"
Juwi tiba-tiba terbatuk kecil, "aduh, tenggorokkan gue kering uhuk uhuk," seru gadis itu
membuat Jaebi tersentak. "Ck, dingin gini enaknya susu cokelat atau indomie kuah nih...
hm....." Juwi menggerakkan bola mata, melirik Jaebi yang agak melongo.
Jaebi mengatupkan bibir. Ia agak menggaruk kepalanya yang tak gatal, kemudian meringis
kecil. "Mau makan?" tanya pemuda itu membuat wajah Juwi merekah.
"Tapi gue masih harus ngurus pensi..."
Secepat kilat, Juwi kembali menatap sinis tak bersahabat. Membuat Jaebi merapatkan bibir.
Jaebi mendesah, merogoh kantung celana. Ia menyodorkan nametag dengan tali merah
menjulur, membuat Juwi mengernyit menerimanya.
"Beli aja di kantin. Bilang nanti gue yang bayar, pake itu," kata Jaebi kalem.
Wajah Juwi langsung berbinar. Ia jadi memegang nametag Jaebi dengan kedua tangan dan
mengacungkan di depan wajah cantiknya.
"Aduh, jadi nggak enak nih," kata Juwi membuat Jaebi malah tersenyum geli, "nggak nyangka
Kak Jaebi emang baik. Cocok sama kakak aku," katanya kini jadi bersahabat dan ramah.
Juwi menyeringai lebar, "ini... kupon sepuasnya apa gimana?" tanyanya dengan mata berharap.
Jaebi mendesah pelan, "ya tau diri juga kali," jawabnya seadanya membuat Juwi jadi meringis
kecil. "Nanti balikin ke kakak lo aja, biar dia yang ngasih ke gue."
"Okey!" seru Juwi tersenyum lebar. "Eh, oh ya. Tau nggak kebiasaannya Kak Selgie yang orang
lain tuh jarang tau?" tanyanya membuat Jaebi langsung tertarik dan mendekat.
"Kak Selgie tuh kalau lagi sedih, khawatir, gugup, pokoknya nggak tenang gitu deh. Dia
biasanya minum es vanilla latte."
"Vanilla latte?"
"Hm. Bahkan, sebelum tidur Kak Selgie minum itu, bukan susu," jawab Juwi jujur. "Kak Selgie
suka banget kopi. Pernah waktu itu dia gagal di lomba modelling gitu kan, ayah aku beliin dia es
vanilla latte Kak Selgie langsung diem."
"Oh ya?"
"Es vanilla latte ya kak. Bukan kopi anget," kata Juwi menegaskan. "Yaudah, cuma mau ngasih
tau itu. Duluan ya!" pamit gadis itu melambai, berbalik riang.
"Eh, Juwita!" tahan Jaebi membuat Juwi jadi berbalik dan mengernyit. "Eung... beli di kafetaria
aja, lebih banyak pilihan," katanya menunjuk nametag di tangan Juwi membuat mata Juwi
membelalak.
"Serius? Boleh nih?" tanya Juwi menaikkan intonasi riang. Ia menyeringai lebar, membuat
kedua matanya sampai menyipit, "Kak Jaebi emang kakak ipar idaman. Kapan-kapan main ke
rumah ya. Aku sama keluargaku suka martabak brownies red velvet. He he."
Jaebi tersenyum mengerti, membuat Juwi tertawa dan berbalik dengan riang. Tak lama senyum
Jaebi jadi senyum kecil yang samar.
"Vanilla latte?" gumam pemuda itu tersenyum sendiri.

Selgie berdiri menunggu di lobi depan sekolah. Gadis itu merunduk, dengan satu kaki
mengetuk-ngetuk lantai. Matanya meredup, memikirkan hal yang sudah ia putuskan.
"Ugi?"
Selgie menoleh, langsung menegak. Memandang Jaebi yang berjalan lurus ke arahnya dan
berhenti di depan gadis itu. Selgie merapatkan bibir sesaat.
"Hei."
Selgie jadi merutuk sendiri kenapa jadi menyapa canggung begitu. Ia makin merutuk melihat
Jaebi mengernyitkan kening.
"Eum... ini," Selgie segera menyodorkan nametag Jaebi yang dititipkan Juwi tadi.
Jaebi menerima tali merah tersebut, "mau pulang?"
Selgie mengangguk. Gadis itu diam. Jadi agak ragu. Jari-jarinya dimain-mainkan sambil
beberapa kali membasahi bibir mencoba bicara.
Jaebi jadi ikut diam. Menatap gadis itu menunggu. "Ada yang mau lo omongin?"
Selgie meneguk ludah. "Eung... Nggak sih... Nggak... nggak penting..." Ia kembali canggung,
lalu memberanikan diri mendongak. "Gue cuma pengen ucapin makasih."
"Hm?"
Selgie mengerjap, lalu mencoba tersenyum. "Besok udah puncak pensi. Festival sekolah
selesai," kata gadis itu membuat Jaebi makin mengernyit, mulai merasa tak enak.
"Makasih ya, Bi. Elo nemenin gue selama festival pensi. Elo selalu ada kalau gue capek
ngurusin anak-anak futsal."
Raut wajah Jaebi berubah perlahan. Ia berdehem, mencoba menguasai diri. "Kok... kok kayak
perpisahan gini sih?" tanyanya mencoba terlihat tetap tenang.
Selgie meringis canggung, "selama ini... kita sering ketemu di jam 11. Ngucap permohonan
aneh-aneh dan ngereceh bareng setelah capek seharian sama festival sekolah. Gue seneng
deh karena festival ini kita bisa deket."
Jaebi menggigit bibir, diam menatap gadis itu.
"Mulai lusa, kita akan kembali ke aktifitas masing-masing. Kesibukan masing-masing. Nggak
ada alasan lagi untuk ketemu..."
Jaebi meneguk ludah, "kok gue kayak lagi diputusin gini ya?" gumam pemuda itu menyeletuk,
mencoba tetap santai mencairkan suasana yang terasa canggung.
Selgie tertawa kecil dengan pahit, "nggak gitu, Bi—"
"Emang kita nggak bisa masih temenan?"
Selgie terdiam. Raut wajahnya berubah sesaat, tapi ia segera menguasai diri. "Bisa lah. Tapi
kan nggak ada hal gitu buat-" Selgie terdiam sendiri, mencoba mencari alasan lain.
Jaebi menatapi gadis itu, lalu maju selangkah. "Kenapa sih Gi? Gue ada salah sampai lo mau
ngejauh gini?"
"Nggak gitu Bi..." ulang Selgie merunduk, bingung harus menjelaskan bagaimana.
"Ya ini agak canggung sih... Tapi jelas gue ngerti, lo nyuruh gue untuk ngejauh."
Selgie tak berani mengangkat wajah. Jadi tersudut begitu saja.
"Kenapa?"
Selgie menggigit bibir mendengar suara serak itu. Ia diam beberapa saat. Lalu mencoba
menguasai diri dan mendongak.
"Gue nggak mau ada yang salah paham."
Jaebi mengernyit lagi, "apanya?" tanyanya benar-benar tak paham,
Selgie mengerjap, meneguk ludah sesaat. "Bi, wish gue di 11:11 untuk move on mungkin akan
terwujud," katanya mencoba menaikkan intonasi ceria.
"..... gue suka sama seseorang."
"Hm?" Bahu Jaebi melemas begitu saja. Menatap gadis ini tertegun.
"Jadi... gue nggak mau dia salah paham......... gitu...." Selgie menjauhi tatapan Jaebi dengan
agak kikuk, "Ya... kita masih bisa temenan lah. Pasti. Tapi maksud gue... Kebiasaan kita untuk
selalu ketemu di jam 11 itu.... Mungkin........ harus dikurangi...."
Jaebi diam. Belum menyahut karena mencoba menguasai tenggorokkan yang tiba-tiba terasa
kering. Ia masih tak paham dengan situasi aneh ini. Apa yang terjadi sebenarnya?
Selgie menggigit bibir, lalu mencoba memandang pemuda itu. "Makasih ya, Bi. Elo juga udah
belain gue dari Jevon. Udah bantuin gue ngelurusin gosip yang ada. Elo temen yang baik,"
katanya mencoba tersenyum.
Jaebi menipiskan bibir. Masih mencoba menguasai diri.
"Eum, udah jam segini. Elo nggak ke lapangan, Bi?" kata Selgie mengalihkan pembicaraan,
"eung gue balik duluan ya," pamitnya segera, kemudian beranjak dan melangkah cepat.
"Elo suka sama siapa?"
Gadis itu berhenti. Kaget setengah mati pemuda itu tiba-tiba bertanya.
Jaebi diam sejenak, menoleh menatap punggung Selgie yang membelakanginya. "Gue kenal?"
Selgie meneguk ludah. Ia berbalik, berusaha tersenyum kecil. "Rahasia dong," kata gadis itu
mencoba ceria.
Jaebi mengangkat alis, tak bereaksi banyak. Sementara Selgie mencoba tersenyum lagi,
kemudian berbalik dan melanjutkan langkahnya pergi.
Jaebi terdiam di tempatnya berdiri. Pemuda itu tanpa sadar mengeraskan rahang, mengalihkan
wajah. Ia menarik nafas dalam, berharap sesak di rongga dadanya sedikit berkurang.
"Kak Jaebii!!!!"
Sebuah suara membuat Jaebi menoleh, melihat Faili si adik kelas tersenyum ceria berlari
mendekat dengan sebuah plastik bening.
"Aku pikir di lapangan elah. Nih, titipannya," kata gadis itu menyodorkan plastik tersebut.
Kedua kelopak mata Jaebi meredup. Ia menerimanya, mengeluarkan sekaleng vanilla latte di
sana.
"Yaudah, duluan ya kak-"
"Fai," tahan Jaebi ketika Faili baru akan berbalik lagi. Pemuda itu diam sejenak, menyodorkan
kembali plastik tersebut.
"Buat lo aja."
"Ha?"
Jaebi merapatkan bibir. Ia maju, mengambil tangan Faili memaksa gadis itu menerima kaleng
kopi dingin tersebut.
"Thanks ya," kata Jaebi kalem. Kemudian tanpa banyak kata beranjak dan pergi. Meninggalkan
Faili yang bengong di tempat.
Faili mengernyitkan kening tak mengerti. Ia kemudian merunduk, menatap kaleng vanilla latte di
tangannya. Wajahnya jadi merekah, "he he nggak papa deh rejeki, gue juga suka kopi yuhuuu!"
serunya riang dengan senang.
Sementara itu, Selgie melangkah keluar dari sekolah dengan perasaan tak tentu. Gadis itu
menggeleng kecil, mencoba mengenyahkan perasaan itu.
"Ck, kok jadi sedih gini sih," katanya merutuk sendiri.
Selgie menarik nafas dalam, mencoba mengisi kekosongan di dadanya. Gadis itu meneguk
ludah, mencoba menguatkan diri atas keputusannya. Bahwa memang harus seperti ini.
Sebelum mereka melewati batas terlalu jauh.
Selgie hanya mencoba melindungi hatinya sendiri.
Karena yang ia pikir, ini hanya perasaan sepihaknya. Jaebi melakukan semua kebaikan ini
karena bertugas sebagai teman. Dan Selgie tak ingin jadi yang tersakiti lagi jika ia mulai
berharap lebih.

***
Joy menghela nafas. Menatap serius Selgie di depannya yang tanpa ekspresi tanpa semangat
tanpa henti juga, memakani kentang goreng seperti seorang robot.
"Jadi, lo nggak pacaran?" tanya Shasha memulai duluan.
Selgie menggeleng. Masih dengan pandangan melamun tanpa fokus dengan tangan terus
mengambil kentang, mengunyahnya, mengambil lagi setelah menelan.
"Terus, elo mundur karena nggak mau baper?" tanya Shasha mencoba menahan emosinya
yang gemas sendiri.
Selgie mengangguk kali ini.
"Kebodohan yang hakiki," kata Joy tak percaya sendiri.
Naya melengos. Sejak tadi diam merasa prihatin sendiri. Ia mendecak, memperbaiki posisi
duduk menghadap Selgie. "Gi, gini loh. Lo nggak tau perasaan Jaebi Gi—"
"Dia nganggap gue sebagai temen." Kali ini Selgie bersua, langsung memotong membuat Naya
terdiam.
"Siapa yang bilang? Sini lawan sama gua!" kata Joy jadi emosi sendiri.
Selgie mendecak, "Elo tuh nggak ngerti!"
"Elo yang nggak ngerti goblo!" gemas Joy menoyor Selgie membuat Selgie hampir mengumpat.
"Elo tau kenapa Jaebi bilang dia temen lo? Karena dia lagi cari waktu. Jaebi lagi cari timing
yang tepat karena biar gimanapun, Jevon tuh sahabatnya dia. Jaebi lagi nenangin semuanya
dulu. Elo ngerti nggak ha!?"
"Sabar, Joy, sabar, lagi di kafe," kata Shasha mendorong Joy untuk duduk bersandar.
"Tapi Jaebi kayak gitu!" balas Selgie membela diri, "dia tuh terlalu baik. Dia kayak gitu semata-
mata karena emang dia baik," katanya ngotot sendiri. "Gue nggak mau ngerasain kesalahan
yang sama lagi. Gue nggak mau terbuai, jadi baper sendirian."
Joy melotot, gemas ingin membalas tapi Shasha kembali mendorongnya menahan.
"Bahkan Juwi udah percaya kalau Jaebi tuh pacar gue. Ini tuh udah terlalu jauh," kata Selgie
frustasi sendiri, "gue nggak mau Jaebi disangkut pautkan sama gue. Dan gue sendiri nggak
mau kembali ngulang kesalahan yang dulu."
Joy tenganga. Ia ingin bersua, tapi segera menahan diri dan menelan kembali kalimatnya.
Gadis itu merasa gemas sekali.
"Tapi, Gi," Naya mendesah, mencoba sabar. "Elo baru aja ngulang kesalahan."
Selgie mengernyit, jadi menoleh dan diam.
"Dulu, lo milih Benji gitu aja dan ninggalin Jevon. Elo berpikir Jevon nggak ada rasa sama lo?
Elo salah, kan? Jevon juga suka sama lo ternyata," Naya berhenti sejenak, "dan sekarang, elo
baru aja ngelakuin hal yang sama. Lo ninggalin cowok yang jelas bisa memperlakukan lo lebih
baik."
"Nay-"
"Semua orang bisa ngeliat, Gi," potong Naya segera. "Jaebi tuh emang baik. Dia ramah sama
semua orang. Tapi jelas sikap dia ke elo beda. Elo nggak sadar karena lo nggak liat. Kita
semua yang ngeliat. Dia lebih gentle saat di samping lo. Bahkan, jujur nih, Jaebi jauh lebih
ganteng saat dia sama lo."
"Yang berarti naluri cowok dia tuh ningkat karena ada elo," kata Joy menyambung.
"Ck, apa sih. Gue jadi ngerasa salah nih," kata Selgie kesal sendiri.
"YA EMANG!!!!"
"Sssstttt," kata Shasha menegur. Menoleh kanan kiri merasa malu.
"Tapi, gue sama Jaebi tuh---" Selgie diam, jadi bingung harus bicara apa.
"Udahlah udah, selesai," kata Joy geleng-geleng. "Seenggaknya ada hal baiknya."
"Apaan?" Naya mengernyitkan kening.
Joy mendesah pelan, memasang raut wajah serius. "Jaebi sekarang free jadi gue bisa ngegas
dia. He he."
Selgie mengumpat.

"Napa euy waketos sayang?" goda Bobi mendudukkan diri ke samping Jaebi yang duduk
melamun sendiri. Kini kelas mereka sedang berkumpul di rumah Bobi.
Jaebi menoleh, agak kaget. Ia mencoba menguasai diri kembali meraih barang-barang di
dekatnya membereskan untuk bazaar besok. "Paan?"
"Elo tuh. Dari tadi mingkem. Tau nggak? Anak 2A3 kalau lagi ngumpul gini terus ada yang
mingkem, horror," kata Bobi menggerakkan dagu pada teman-teman lain yang tertawa-tawa
gila sambil membereskan barang jualan mereka besok.
Jaebi terkekeh kecil, "Lagi capek aja elah, biasa," sahutnya kalem.
"Galau lo?" tanya Bobi mengacuhkan ucapan Jaebi. "Kenapa? Mbak manager ya?"
Jaebi mendesah pelan. Hanya tersenyum tipis tak menjawab.
"Apa diganggu Jevon lagi, Jeb?" celetuk Bobi tanpa saring, lalu dengan tanpa dosa
menolehkan kepala, "WOI JEVON SINI LO!"
Jaebi dengan sebal memukulkan gulungan karton ke kepala Bobi membuat Bobi mengaduh.
"Apaan sih? Dude Herlino dipanggil mulu," protes Jevon yang dari tadi sibuk membuka lilitan
pita.
Jane melengos melihat itu. "Bin, please banget lo tolong jangan nyebarin virus aneh-aneh. Liat
cowok gue sekarang jadi apa," kata Jane menoleh pada Hanbin dengan wajah serius.
"Gue mulu, anjeng," balas Hanbin tersinggung. Ia berdiri mendatangi Jevon, lalu menjulurkan
tangan. "He Dude Herlino, lama nggak ketemu gue Teuku Wisnu."
"Wo brader!" sambut Jevon balas uluran tangan Hanbin lalu tos ala-ala anak Hiphop.
"Irwansyah di sini guys!!!!" kata Jay lambai-lambai dari pojokan sofa sibuk mendata barang
bersama Jiyo.
"Ariel Tatum boleh join?" celetuk Hanna juga nimbrung.
"Woi para artis baru cium tangan dulu sama senior nih, Indra Brugman!" kata Yoyo menunjuk
Theo membuat Theo mengumpat.
"Lah Song Hye Kyo salah nih ada di sini," kata Jiyo dengan raut wajah kecewa.
"Apasih lo Tappasa," sahut Wondi membuat Jiyo melotot kesal.
"Eh aku Chelsea Islan ya!" kata Haylie mengangkat tangan.
"Elo mah Fatin," sahut Juan membuat Haylie langsung mengatupkan bibir diam dan disambut
tawa yang lain.
"DAM DI DAM DI DAM DI E E," nyanyi Rosi nyaring langsung turn on.
Jaebi memandangi teman-temannya sambil tertawa. Galaunya hilang begitu saja. Bobi di
sampingnya bahkan sudah mengikuti Rosi bernyanyi-nyanyi.
Kadang memang, yang dibutuhin di saat galau begini ya ketidak warasan para teman.

***
Faili membaca chat terakhir. Ia menghela nafas pelan. Lalu menoleh dan mengangkat alis
melihat seseorang memasuki kelasnya. Gadis itu segera berdiri mendatangi.
"Cuwi," colek Faili pada lengan Juwi yang ingin mendatangi Yera membuat Juwi menoleh, "gue
mau nanya."
"Apa? Ulangan Biologi? Lupa gue soalnya. Tadi Cakra udah nanya di depan," sahut Juwi
santai. Padahal dia kelas X-3, tapi paling rajin mainnya ke kelas ini, X-4.
"Bukan, ege," gemas Faili meraih lengan Juwi, lalu menariknya agak menjauh membuat Juwi
merenggut kesal.
Faili menarik Juwi ke mejanya, kemudian duduk berdua bersampingan. "Cu, lo tau nggak-"
"Nggak," jawab Juwi begitu saja, "apapun yang lo tanya, gue nggak tau. Karena gue yakin lo
bakal nanya hal yang nggak berhubungan sama gue."
"Hm. Seenggaknya lo agak pinter dikit," kata Faili membenarkan. Tapi jadi serius lagi.
"Kakak lo lagi naksir siapa?"
"Ha?"
"Kak Selgie. Lagi naksir siapa?" tanya Faili kepo.
Juwi diam. Ia mengernyitkan kening lama. "..... Kak Jaebi?" jawabnya polos.
Mata Faili melebar, "lah? Kak Jaebi?"
"Lah?" balas Juwi mengulang, "bukannya itu pacarnya Kak Selgie?"
Faili mendecak. Ternyata gadis ini sama saja seperti yang lain. Ia tidak tau apapun.
"Emang napa?"
Faili melirik. Diam tak langsung menjawab. Gadis itu berpikir, memandangi Juwi ragu apa
cewek ini bisa diajak kerja sama atau nggak.
Tapi mengingat betapa rempongnya ni anak, Faili jadi semakin ragu.
Tapi minta tolong Juwi bisa aja sih.
Tapi biasanya Juwi justru tim perusak rencana.
Tapi............. Jaebi tadi bilang kalau dia juga nggak papa sama keputusan Selgie, jadi Faili
nggak perlu rempong nolong. Lagian Jaebi juga curhat, nggak minta bantuan.
TAPI LAGI
MASA IYA JAEBI 'NGGAK PAPA' SAMA KEPUTUSAN SELGIE????
FAILI JUGA NGGAK TERIMA KAKAK FAVORITNYA JADI KORBAN PHP GINI!
"Cu, gini loh," Faili mengubah posisi jadi memandang Juwi serius, "masa ya, kakak lo tuh bilang
ke Kak Jaebi—eh nggak nggak," Faili menggeleng sendiri, merasa salah bicara.
"Apaan?"
"Bentar," Faili diam, berpikir lagi, "eh lo coba tanya deh ke kakak lo dia sama Kak Jaebi tuh
pacaran apa nggak? Karena ya Cu, gue denger-denger sih Kak Jaebi tuh kayak cuma
pelampiasan dari Kak Jevon."
"He mulut lo ya!" sahut Juwi terpancing. Membuat Faili tersenyum kompornya meledak sukses.
"Kak Selgie tuh beneran kok. Kakak gue, walau emang kalau mikir tuh polos polos bego soal
cowok, tapi dia tulus ya, Fai," kata Juwi membela. Walau juga masih sempat menghina.
"Ha? Masa sih?" tanya Faili tak percaya, "buktinya ya, sekarang dia udah nggak pernah tuh
deket sama Kak Jaebi. Udah capek kali ya?"
Juwi mengumpat, "denger ya. Kak Selgie tuh pacaran sama Kak Jaebi. Percaya sama gue."
"Apa buktinya?"
"Oke! Bentar, gue tanyain kakak gue!" Juwi langsung berdiri, dengan emosi beranjak
melangkah pergi.
Faili memandangi itu, kemudian tersenyum puas. "Ngatain kakaknya bego nyatanya dia juga
bego."

Selgie melirik, melihat para murid 2A3 berkumpul di anak tangga koridor menuju lapangan
basket. Mereka tertawa-tawa bersama dengan asiknya.
"Datengin sono, nggak usah diliatin dari jauh aja," celetuk Naya tiba-tiba membuat Selgie
hampir saja menjerit.
"Ck, apa sih," elak gadis itu segera. "Kalian tuh berenti deh bikin gue geer."
"Ih apaan?" tanya Naya mendelik.
"Liat tuh kan? Dia baik-baik aja. Dia sama sekali nggak keliatan galau padahal udah dua harian
nggak ada chat sama gue nggak ada ngobrol sama gue. Liat tuh liat, dia malah ketawa-ketawa
bahagia," kata Selgie sewot sendiri.
"Ya kan lagi sama temen-temennya ngapain dia ngedangdut njir," balas Naya membuat Selgie
mencibir.
"Terus kenapa dia nggak ada usaha buat balik?"
"Ya karena lo nyuruh dia mundur!!!" balas Naya gemas sendiri. "Jaebi tuh anaknya kayaknya
lurus banget, Gi. Elo ngasih lampu ijo ya dia maju. Lo kasih lampu merah? Jelas Jaebi berenti.
Karena dia mikir ini yang lo mau."
"Ck, nggak ah."
"IH GUNDULIN JUGA NIH!!!" gemas Naya ingin mencakar Selgie yang segera menjauh.
"Nay, gue tuh punya firasat dia emang nganggap gue sahabatnya. Udah ya? Oke. Gue nggak
mau terlalu jauh," tegas Selgie tak mau dibantah, kemudian berbalik dan berdiri bersandar di
dinding pembatas tempatnya berdiri bersama Naya.
"Joy masih lama nggak?" tanya Selgie yang sedari tadi menunggu Joy sibuk mengatur mading
sekolah tak jauh di depannya.
Naya melirik saja, melipat kedua tangan dia tas dinding pembatas yang sedadanya. Tapi ia
tersentak. Matanya melebar kaget, melihat di antara kerumunan 2A3 ada satu kepala yang
menoleh.
"Gi, Gi!!! Selgie," panggil Naya heboh menggoyangkan lengan Selgie yang membelakangi
lapangan.
"Apa sih ah?" jawab Selgie terusik, kembali memandang Joy. "He, kutu. Jangan lama-lama ayo
balik!"
Naya mendecak. Ia kembali melirik. Gadis itu heboh lagi. Melihat Jaebi beberapa kali melirik ke
arah mereka berdiri. Pemuda itu menoleh lama, kemudian kembali memandang teman-
temannya. Lalu mencuri pandang beberapa kali.
"Astaga goblok, Gi!!!!" bisik Naya gregetan sendiri, "noleh anjir noleh!!!!"
Selgie dengan sebal membalikkan tubuh, "apa sih apa?!?!?! Lo mau gigit gue!? Nggak takut ya
gue pake tameng!!!!" sahutnya sudah meracau tak jelas, menyinggung dua gigi kelinci Naya.
Naya menggeram. Dengan kesal meraih kepala Selgie lalu menolehkannya paksa agak
memandang ke anak tangga di pinggir lapangan.
"Apaan?"
"Ha?"
Naya melongo, kembali memandang Jaebi. Cowok itu sedang menertawai Bobi yang sepertinya
menceritakan hal seru dengan heboh.
Naya mengumpat.
"Apa sih lo? Obatnya abis?" Selgie mendecih, lalu melepaskan tangan Naya dan memilih pergi
mendatangi Joy.
Naya masih melongo di tempat. Lalu kemudian menggerutu sendiri.
"Gue berasa nonton sinetron gini.... gregetan ampun-ampunan."

"Kak..."
Selgie mengunyah permen di mulutnya, menoleh tenang. "Apa?"
"Aku kesel," adu Juwi membuat Selgie mengernyit. "Masa kata temenku kakak tuh nggak
pacaran sama Kak Jaebi."
Selgie langsung tersedak. Hampir saja permen di mulutnya tertelan begitu saja.
"Denger ya kak, temen gue itu ular. Gue curiga dia juga lagi mangsa Kak Jaebi," kata Juwi
dengan raut wajah serius.
"Ck, apa sih," elak Selgie melangkah lebih cepat, ingin segera masuk kelas. Tapi Juwi segera
mempercepat langkah menyamai Selgie.
"Padahal Kak Jaebi udah baik gitu. Kak Selgie kenapa sih? Lagi marahan?"
"Diem deh bocah," kata Selgie masih belum mau menanggapi seutuhnya.
"Kak Jaebi udah jadi kakak ipar yang baik," kata Juwi membuat Selgie jadi tersentak dan
berhenti. Selgie menoleh, mengernyitkan kening tak paham.
"Kalau dia nggak sayang sama Kak Selgie, harusnya kemaren dia ngusir aku. Tapi dia malah
jajanin aku."
"Apa?" Selgie mengubah posisi menghadap Juwi, "kamu minta apa sama dia?" tanyanya mulai
menaikkan intonasi bicara.
"Ih nggakkk!!! Kak Jaebi sendiri kok yang nawarin," elak Juwi membela diri. "Makanya kan,
mana mungkin Kak Jaebi kayak gitu kalau dia bukan pacar kakak. Temen aku tuh sok tau
banget hi!" omel Juwi gemas sendiri.
Selgie mengernyit, "wait. Gimana bisa Jaebi jajanin lo kalau lo nggak minta?" tanyanya curiga.
"Aku cuma bilang aku adeknya Kak Selgie teruskan ngobrol tuh terus aku bilang aku aus," kata
Juwi menceritakan dengan lancar.
"Jangan bohong," tegas Selgie mulai seram.
"Tanya aja Kak Jaebi!" sahut Juwi membela diri lagi, "pokoknya, intinya nih, Kak Jaebi mau
jajanin aku. Emang kalau bukan pacar Kak Selgie dia mau? Atau mungkin aja sih. Berarti dia
sukanya sama gue. Hahahaha."
"Ha ha ha ha," balas Selgie tertawa palsu yang dibuat manis membuat Juwi langsung
mengatupkan bibir mengerti.
"Katanya kalian lagi jauhan ya? Kenapa? Marahan? Ih jangan lah. Sayang banget kan Kak
Jaebi belum ke rumah," kata Juwi membuat Selgie memutar bola mata tak peduli.
Walau berikutnya Selgie teringat sesuatu. "Bentar.... waktu lo pinjam nametag Jaebi... lo bilang
itu ketinggalan? Terus, sekarang kamu bilang lo dijajanin. Jadi," Selgie melipat kedua tangan di
depan dada dan menatap Juwi tajam, "lo sedekat apa sama Jaebi?"
"Hm? Why? Kak Selgie jealous sama aku?" balas Juwi dengan wajah tanpa dosa.
"Bentar. Jangan bilang selama ini Jaebi sering tau apa yang aku alamin, atau pas dia tau kalau
aku bete... itu dari kamu?" tuduh Selgie membuat Juwi kali ini mendelik.
"Nggak tuh," jawab Juwi mengedikkan bahu.
"Terus? Dari siapa?"
Juwi melengos, menatap Selgie dengan tatapan miris membuat Selgie mendelik. "Ya mungkin
dia nanya sana sini kali? Wajar kali. Kak Selgie kan pacarnya. Jadi itu cara Kak Jaebi ngejaga
Kak Selgie."
Selgie tersentak, jadi tertegun.
"Huhuhuhu so sweet sekali. Kapan lagi nemu kakak ipar begini? Yaampun kak aku yang
terharu," cerocos Juwi sudah kegirangan sendiri.
Selgie melengos, menoleh tenang. "Udah, udah. Sana balik kelas. Berisik lo," katanya menoyor
kening Juwi dan melangkah pergi.
Juwi mencuatkan bibir, sudah mencak-mencak tak jelas.
Selgie melangkah sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu diam lama. Dia agak dilema dan ragu.
Tapi kemudian mencoba meyakinkan diri merogoh hape dan mengetikkan sesuatu dengan
cepat sebelum keberaniannya hilang.
Line!
Selgie: he bi, lo ada ngomong apa sama adek gue?
Yha, akhirnya ada alibi.

***
"Jadikan gue udah ngegas tuh ya ngeeengg ngeeenggg eh tiba-tiba diteriakin, 'WOI NJING
GUE MASIH DISINI!"
Selgie ngakak, langsung tertawa keras mendengarkan cerita Candra yang menggebu-gebu.
"Kok bisa ketinggalan sih?" tanya Shasha tak mengerti.
"Si Jelo pas gue naro makanannya di gantungan motor, dia baikin celana. Kan kakinya panjang,
jadi dia berdiri njir. Pas dia berdiri gue ngegas gitu aja."
Selgie tertawa lagi. Kini makin nyaring sampai kedua matanya berair. Memang, di kelas ini yang
paling receh ya si manajer futsal. Candra baru ngeluarin suara harimau aja dia udah ngakak.
Dan sampai lima menit pun Selgie masih tertawa-tawa.
"Gi, udah woi. Lo kayak orang sinting," kata Oji kesal sendiri.
Selgie mencoba meredakan tawa. Tapi detik kemudian tertawa lagi. "Goblok njir kenapa juga lo
yang bawa bukan Jelo, HAHAHAHAHAHA," kini Selgie sampai jatoh ke lantai karena mereka
sedang lelesan di depan kelas.
"Woi beda lagi pas gue bonceng Oji," kata Candra menambahi, "kita ditilang njir dikira anak SD
naik motor!!!!" lanjutnya jadi emosi sendiri.
Ya gimana. Oji si Fauzi ini memang murid paling mungil di kelas. Bahkan lebih tinggi Selgie
beberapa senti. Wajahnya juga masih baby face. Beda sekali dengan Jelo si jangkung yang
tingginya sudah hampir mencapai 180.
"Woi jadi inget yang kemaren gotik sama gue. Oji duduk di depan lo," kata Shasha menyahuti.
"Iya gue kayak nganter anak sekolah," kata Candra membuat Oji menatapnya sinis.
Selgie sendiri sudah hampir mati hilang nafas karena guling-guling di lantai.
"Woi, woi, Gi, anjir, goblok!" panggil Wendy sudah menghumpat, menggoyang-goyangkan kaki
Selgie.
Selgie mencoba mereda ngakak. Terengah-engah sambil menempelkan kepala ke lantai. "Eh,
kalau Oji sama Jelo boncengan gimana ya? Hahahahaha," katanya memulai lagi.
"Ha apasih?" tanya Shasha malah jadi tak paham lucunya dimana.
"Gi, goblok!" panggil Candra sama gemasnya. "Sadar woi sadar!!!"
Selgie berguling, kini mengubah posisi jadi terlentang. Tepat ketika seseorang berhenti di atas
kepalanya, lalu berjongkok dan merunduk menghadap wajah gadis itu tepat.
Hening.
Garis wajah Selgie langsung berubah. Tawanya berhenti begitu saja. Bengong melihat pemuda
itu tersenyum samar memandanginya.
"WOAH!" jerit gadis itu mendorong wajah Jaebi begitu saja sampai Jaebi terjatuh ke belakang.
Selgie langsung bangkit, disambut Candra yang lain menertawainya puas.
"Kalau jadi elo mah gue bukan pulang lagi, ganti muka aja!" celetuk Oji meledeki.
Selgie merapikan rambut, melotot pada teman-temannya dengan pipi sudah semerah tomat.
"Jeb, kasih obat deh Jeb. Takut gue kalau emang sakitnya udah parah," kata Candra dengan
nada prihatin.
"Diem lo!" sahut Selgie galak. Walau jadi diam saat Jaebi mendekat.
Jaebi menjulurkan tangan, menyentuh kening Selgie. "Hm. Demam nih. Mukanya aja merah."
"WOAAAAHHHHH!!!!!!!"
"CIEEEEEE"
"UHUUYYYYYY"
"GAASSSSSSSS"
"GI PEGANGAN JANGAN AMBYAR!"
Jaebi malah tertawa mendengar sorakan kelas 11 IPS 2 yang sudah heboh. Selgie dengan
sebal mengumpat, langsung berdiri dari duduknya.
"Sini lo ikut gua!" kata Selgie galak, melotot pada Jaebi dengan malu. Langsung berbalik dan
berjalan pergi.
"Woi yang aman di gedung baru noh! Masih sepi!" celetuk Candra tanpa dosa.
"Sangpah," sahut Wendy langsung menabok Candra sampai cowok itu terjatuh ke belakang.
Jaebi hanya tertawa kalem. Berdiri dan dengan tenang mengekori langkah Selgie.

****

Selgie menghela nafas. Sedari tadi memang mencoba menenangkan diri. Ia berhenti di ujung
koridor, kemudian berbalik. Membuat langkah Jaebi berhenti.
"Apa? Kenapa?" tanya Selgie sok tenang.
"Tadi lo mau tanya tentang adek lo," sahut Jaebi kalem.
Selgie mengangkat sebelah alis, "oh? Lo baca? Kenapa nggak bales, malah datangin gue ke
kelas?"
Jaebi diam, tak langsung menjawab. Ia mengerjap, mengulum bibir sesaat. ".... Batre gue abis
jadi nggak sempet bales," jawabnya beralasan.
Selgie mencuatkan bibir sesaat. Ia kemudian melipat kedua tangan di depan dada. "So? Lo
ngomong apa sama adek gue?"
"Ngomong apa?" tanya Jaebi tak mengerti.
"Kenapa nametag lo ada sama Juwi? Dia bilang ketinggalan tapi gue tau dia pasti boong.
Kalian ngapain sih?" tanya Selgie menginterogasi.
"Nggak ada apa-apa," jawab Jaebi tenang, "dia mau beli sesuatu, tapi gue sibuk. Jadi gue
bilang aja pake nametag gue karena gue nggak bisa nemenin."
"Ha?" Selgie diam, mencoba mencerna. "Lo ngajak Juwi makan bareng? Eh gimana?"
Jaebi mendesah pelan dengan sabar, "adek lo mau beli minum. Gue bilang pake nametag gue
aja buat gantiin nanti. Gitu doang," jawab Jaebi tenang, lalu melanjutkan. "Gue nggak pernah
ngajak makan kakaknya kenapa malah ngajak adeknya makan bareng..."
Selgie melirik. Gadis itu diam, hanya menipiskan bibir tak merespon banyak.
Selgie berdehem pelan, "ngapain sih lo manjain adek gue? Tu anak pasti ngelunjak."
"Ya karena dia adek lo," jawab Jaebi masih tenang tanpa beban.
"Hn?" Selgie mengernyit, lagi-lagi tak paham.
Jaebi diam sejenak. Pemuda itu membasah bibir bawah dan maju mendekat, menatap gadis ini
lurus. "Kenapa? Cowok yang lo suka nggak kayak gini?"
Gadis itu hampir saja tersedak. Refleks mengalihkan wajah, "apanya?" tanyanya sok galak,
menyembunyikan salah tingkah.
Jaebi diam-diam menghela nafas. Ia diam sejenak, berdehem pelan. "Udah? Mau tanya itu
aja?"
Selgie jadi menarik diri, agak mengkerut kecil. "Apa sih.... kok jadi jutek?" tanyanya memerotes
pelan.
"Entar gebetan lo liat kita ngobrol berdua gini," ucap Jaebi kini dengan datar.
Selgie mengatupkan bibir. Gadis itu membuang muka. Rasanya ingin terjun saja ke lapangan
bawah sekarang juga.
Jaebi memandang gadis itu, kemudian mendesah dan memundurkan diri. "Gue balik, Gi,"
katanya singkat, lalu membalikkan tubuh dan mulai berjalan pergi.
Selgie memain-mainkan jemarinya, jadi bergerak-gerak tak jelas merasa cemas sendiri. Ia
mendecak kecil, ingin menahan. Tapi kembali mengurungkan niat. Hanya bisa memandangi
punggung Jaebi yang makin menjauh.

"Jadi, gue sangat yakin nggak ada cowok lain selain Kak Jaebi untuk saat ini," kata Juwi
dengan gaya yakin sepenuh hati.
"Bener?" tanya Faili memastikan, Juwi menjawab dengan anggukan.
Faili bergumam panjang, dengan kening berkerut ia mencoba menyelidik maksud Selgie. Gadis
itu diam lama, kemudian merogoh hape.
"Udah, Cu, pergi sono," usirnya mengibaskan tangan, lalu mulai berjalan pergi membuat Juwi
mengumpat.
Chat Faili dan Jaebi.

***
Theo mengangkat alis. Memandangi Jaebi yang berjalan keluar kelas sambil memijat leher. Si
ketua kelas 11 IPA 3 itu diam sejenak, kemudian menolehkan kepala. Tepat saat sosok Miya
beranjak membawa ransel karena sudah jam pulang sekolah. Theo tanpa kata menarik ujung
ransel Miya, membuat Miya tertarik dan berhenti, menoleh kaget.
"Jaebi bakal lanjut ngurus OSIS. Suruh dia istirahat dulu di Taman Sari," kata Theo pelan.
Miya langsung mengerti, karena kelas ini memiliki lima murid –termasuk dirinya- yang tinggal di
komplek terdekat sekolah, Taman Sari. Jadi tempat 'peristirahatan' jika ada kegiatan di sekolah
sore hari.
Gadis itu segera mempercepat langkah, menyusul Jaebi yang melangkah keluar. Ia tak butuh
penjelasan Theo, karena Miya sendiri mengerti Theo yang tak banyak bicara itu memang tak
suka memperlihatkan perhatian secara langsung. Lagipula, Jaebi adalah murid yang keras
kepala di 11 IPA 3. Ia selalu bertindak sendiri tanpa bantuan atau pendapat lainnya. Miya
paham jika Theo yang maju juga Jaebi tak akan mendengarkan.
"Biii," panggil Miya ketika dekat, segera ke depan Jaebi membuat Jaebi agak terkejut dan
berhenti. "Mau langsung ngurus pensi?"
"Hm. Udah minggu ini acaranya kan," jawab Jaebi santai, ingin melangkah lagi tapi Miya segera
menahan.
"Emang nggak bisa sorean dikit? Ke rumah Hanbin kuy, gue sama Yoyo mau masak," ajak
Miya membuat Jaebi mengernyit.
"Dadakan banget?" tanya Jaebi mengernyit.
"Yo'i. Kayak tahu bulat!" ucap sebuah suara tiba-tiba nongol, membuat Jaebi maupun Miya
terkejut. Yang tak lama beberapa lain ikut datang, baru saja keluar dari kelas 11 IPA 3.
"Mau kemana mau kemana ikut donggg," lanjut Hanbin sudah merangkul Jaebi sok asik.
"Heee Jaebinya lagi capek!" omel Miya segera menarik lengan Hanbin yang bersandar pada
Jaebi.
"Lah gimana? Katanya mau ke rumah lo," kata Jaebi makin tak paham.
Miya melirik Hanbin, membuat Hanbin mengernyit tak paham. Yoyo dan Jay yang bersamanya
juga memandang Miya meminta penjelasan.
"Maksud gue, lo istirahat dulu di Taman Sari. Makan bentar, baru balik ke sini," kata Miya
memberi penjelasan. "Lo datang buat ngecek aja kali Bi."
"Ohh," Yoyo manggut-manggut, jadi menoleh. "Hm. Anak buah lo kan banyak, suruh mereka
kasih laporan aja. Lo dah sakit kemaren."
"Motor lo tinggal sekolah aja, jadi entar dianter," kata Jay juga ambil suara.
Jaebi menghela nafas, "nggak usah lah. Nggak papa sekalian aja," kata Jaebi menolak.
"Weisss superman," celetuk Yoyo meledek.
"Gatotkaca," balas Jay menambahi.
"Ultraman Kosmos," kata Hanbin menepuk-nepuk bahu Jaebi membuat Jaebi melengos sebal
karena mengerti sindiran ini.
"Udah sana balik lah, gue mau ke lapangan," tolak Jaebi menjauhkan diri, ingin beranjak lagi.
"Bi, ah!" tahan Miya segera. "Lo udah kecapekan banget. Tadi jam istirahat aja lo ngurus pensi,
sekarang pulang ngurus pensi—"
"Sesekali urus Kak Mugie aja!" potong Hanbin lalu menoleh, "OI GI!"
Selgie yang menuruni tangga IPS dekat tempat mereka berhenti tersentak, karena sejak
melihat gerombolan itu diam-diam memerhatikan menajamkan telinga. Ia tanpa sadar
memelototi Hanbin dengan mata kecilnya, merapat pada Joy yang melangkah dengannya.
Jaebi tak bisa menahan diri untuk tak melirik, yang kemudian menoleh sepenuhnya.
Berpandangan dengan Selgie.
Yang kemudian di detik yang sama keduanya mengerjap sama-sama saling membuang muka
ke arah lain.
Selgie meraih lengan Joy, memilih lurus menuruni tangga koridor menuju lapangan daripada
melewati koridor tempat Jaebi dan teman-temannya berdiri. Joy sendiri hanya bisa merapatkan
bibir tak banyak bicara.
Hanbin melirik Jaebi dan Selgie bergantian beberapa saat. Tapi melihat Jaebi yang tak fokus, ia
langsung mengambil kesempatan. "Ya! Ke Taman Sari ayo pulang!!!" katanya merangkul Jaebi
dan langsung menyeretnya pergi dengan paksa.
"Yeee ayo pulang!" sorak Miya ikutan, ke belakang punggung Jaebi mendorongnya.
Jay segera mengikuti mereka. Yoyo masih mengernyit, memandang punggung Selgie yang
menjauh, lalu balik memandang Jaebi.
"Gue nyusul!" teriak Yoyo sebelum berbalik, membuat Miya dan yang lain terkejut.
"Sekalian bilang Juan gue langsung ke depan!" kata Miya sesaat.
Yoyo segera mempercepat langkah kembali ke kelas. Memandangi isi kelas yang masih ramai
lainnya merapikan kelas karena sedang minggu lomba dekor. Yoyo tak lupa menyampaikan
pesan Miya lebih dulu pada Juan yang membantu Rosi mengangkat kardus-kardus karena
tugas piket.
Yoyo langsung menghampiri Jevon, yang duduk di meja sibuk bermain games di hape. "Eh
nyet, nyet!"
"Apa anjing, anjing," kaget Jevon latah, melompat kecil mendongak. Cowok ganteng satu ini
memang pesonanya sering luntur gara-gara latahnya.
Yoyo ikut duduk ke samping Jevon, membuat Jevon merasa terganggu menjauhkan diri kecil.
"Lo dah baekan kan sama Jane?" tanya Yoyo langsung to the point.
"Napa dah Yo mau lo langsung kawinin jadi penghulunya?" jawab Jevon santai, mengangkat
satu kaki menekuk lutut ke atas meja dan lanjut bermain.
"Beneran ini anjir. Lo tuh bacot mulu," balas Yoyo kesal, "Sekali aja jangan jadi bego napa sih,
Pon. Susah amat."
"Apa anjing ini gue udah level akhir lawan musuh besar! Bukti gue pinter, bego!" kata Jevon
marah-marah, menunjuk layar hapenya sesaat.
Yoyo melengos keras, "gue langsung nyari Jane aja lah, capek sendiri sama lo."
Jevon langsung menoleh, mengernyitkan kening. "Apaan sih njing?" tanyanya masih saja kasar.
Yoyo kembali melengos, "gue nggak mau ikut-ikutan atau repot sendiri. Tapi gatel juga lama-
lama si Jaebi nggak pernah ngomong," kata Yoyo membuat Jevon mengangkat alis.
Yoyo menolehkan kepala, makin memperpelan suara. "Emang Teyong nggak ada ngomong
sama lo? Nggak mungkin ah, pasti dia ada nyuruh lo lakuin sesuatu," kata Yoyo membut Jevon
harus mengkerutkan kening dulu mencerna maksud kalimat itu.
Jevon mendesah keras, kembali memandang hape acuh tak acuh. "Ada," jawabnya singkat.
Yoyo manggut-manggut. Theo, walaupun merupakan musuh utama Jevon sewot-sewotan di
kelas, nyatanya memang teman terdekat Jevon di kelas ini. Tentu saja ketua kelas satu itu tak
angkat tangan tentang masalah Jevon, Jaebi, dan juga Jane ini. Pasalnya, ketiganya adalah
anggota 2A3, kelas mereka.
"Jev, mending lo lurusin sekarang lah. Lo mah gitu amat sama temen sendiri," kata Yoyo
membuat Jevon mendecak malas, "biar sama-sama enak, kan. Lo sama Jane, Jaebi sama
Selgie. Nah udah. Kayak akhir bahagia film India."
"Napa harus film India sih gobs," celetuk Jevon bingung sendiri.
"Ah lo mah nggak pernah nonton yang biasanya satu film ada tiga kisah cinta terus—"
"Iya iya oke," potong Jevon segera. Jevon melengos keras, "dah. Gue juga udah minta maap
langsung sama Selgie kemaren. Untung ada Hanbin, kadang dia tuh ada gunanya walau dikit.
Jadi gue nggak kaku-kaku amat sekarang udah bisa temenan."
"Weissss," seru Yoyo berlebihan, "bener nih? Soalnya tadi si Jaebi diem-diem sama
sesembaknya," kata Yoyo sudah dengan gaya gosip membuat Jevon mendenguskan hidung.
"Ya udah urusan Jaebi lah nyet. Nggak ada urusan sama gua lagi," kata Jevon tak peduli
banyak.
Yoyo mendecak kecil, "gue pikir masih kasus sama lo. Makanya gue langsung datengin lo."
"Heleh sok ngelabrak lo," kata Jevon santai. "Lagian lo tau sendiri temen lo si Justin itu nggak
suka curhat-curhat gitu. Dia mah gerak sendirian. Jadi ya nggak tau masalahnya apaan."
Yoyo merapatkan bibir, tak yakin. "Nggak juga ah Pon. Jaebi kan anaknya random, susah
ditebak. Bisa aja diam-diam sering curhat ke Hanin kek, Yena, atau siapa."
"Ya pasti bukan elo lah lo lambe turah," kata Jevon sambil memainkan games dengan tenang.
Yoyo mengumpat kasar tanpa suara.
Jevon menyadari sesuatu tiba-tiba, mengangkat wajah dan menoleh sekeliling. "Btw Jane
kemana dah? Belum balik-balik?"
"Lah tadi pamit kemana gobs?" tanya Yoyo ikut bingung. Ia tau Jevon tetap di kelas karena ini
hari piket Jane, jadi ia menunggui kekasihnya itu.
"Pergi bentar, gitu," jawab Jevon polos.
"Diambil anak basket kali," celetuk Yoyo yang memang Jane pernah hampir didekati salah satu
anak basket.
Kini gantian Jevon yang mengumpat kasar tanpa suara.

Joy masih misuh mengomeli Selgie yang melengos pasrah saja. Melangkah ke arah ruang
radio bersama. Joy terus saja membahas kenapa Selgie bersikap sok cuek seperti tadi.
Sampai Joy tiba-tiba menarik nafas kaget dan berhenti, membuat Selgie terkejut.
"Eh? Jane?" seru Joy melebarkan mata, melihat Jane yang menolehkan kepala. Juga tersentak
kecil, berdiri di depan ruang radio sendiri.
Selgie melirik Joy, namun segera menguasai diri mengikuti Joy melangkah lagi. Merasa agak
kikuk kali ini.
"Ada perlu paan? Tumben ke ruang radio," tanya Joy bingung.
"Eum... ini, nemenin Faili katanya mau ambil sesuatu di dalam," kata Jane menunjuk ke arah
pintu yang terbuka.
"Oh..." Joy manggut-manggut, tanpa kata melepaskan lengan Selgie langsung melangkah
begitu saja membuat Selgie agak panik. "He Pai!" panggil Joy dengan santai memasuki ruang
radio.
Meninggalkan dua gadis itu di depan.
Dan hening.
Jane menggerakkan bola mata, memandangi sekitar dengan canggung.
Tadi Faili memanggilnya, meminta tolong menemani bertemu Cessa anak cheers kelas sebelas
yang terkenal galak. Kebetulan Jamne adalah anggota cheers, jadi segera mengiyakan. Tapi
Faili selaku anggota radio itu berbelok, katanya mampir ke ruang radio dan Jane disuruh
menunggu di luar sebentar.
Selgie memegangi tali tasnya. Ia melirik kursi panjang depan ruang radio. Berniat akan duduk di
sana daripada berdiri kikuk berhadapan begini. Tapi jadi ragu-ragu sendiri. Bergerak kecil maju,
namun berhenti. Lalu ingin bergerak lagi, tapi diurungkan lagi.
"Sel..."
Selgie hampir saja menjerit, terkejut setengah mati. Ia refleks menoleh segera, "ya?" ucapnya
tanpa sadar memekik kecil.
Jane mengerjap, berusaha memberanikan diri. Lagipula terbiasa ada di samping Hanin, Theo,
sampai Jaebi juga, Jane jadi sadar tak perlu menunggu pergerakan yang lain. Jadi orang yang
berani lebih dulu maju untuk meluruskan masalah yang ada.
"Eum..." Jane merapatkan bibir sejenak, "maaf ya."
Selgie mengerjapkan mata beberapa saat, "ya?" ulangnya sekali lagi. Kali ini dengan wajah
bengong.
Jane meringis, "maafin Jevon," ucap Jane membuat Selgie terkejut. "Dia pasti udah ganggu lo."
Selgie tertegun. Ia bengong tanpa sadar. Teringat ucapan beberapa teman kelasnya termasuk
Joy sampai Naya si anak cheers yang akrab dengan Jane, mengatakan bahwa Jane punya sifat
yang tak bisa dibenci. Gadis ini seakan terlalu baik.
Selgie mencoba menguasai diri, berdehem kecil. "Harusnya gue yang minta maaf, Jane,"
katanya agak kaku. "Maaf bikin lo marah."
Jane segera menggeleng mengelak, "nggak kok. Gue sama sekali nggak marah sama lo,"
katanya tulus. "Gue sadar kok. Jevon emang anaknya suka nggak tau situasi juga nggak peka.
Kadang, dia nggak bermaksud ngelakuin kesalahan. Tapi akhirnya, pastiiii aja dia salah."
Melihat wajah polos Jane yang seakan miris sendiri menceritakan Jevon, membuat Selgie
melebarkan mata. Tanpa sadar berbinar, hampir saja menyunggingkan senyum melihat
ekspresi Jane yang lelah sendiri.
"Lo nggak perlu ngerasa nggak enak Sel. Karena itu gue minta maaf Jevon udah ganggu lo
sampe bikin lo ngerasa bersalah gini," kata Jane menjelaskan.
Selgie memandang Jane melebarkan mata. Yang kemudian perlahan tersenyum, mengangguk
kecil. Merasa lebih baik.
"Btw..." Jane diam sejenak, "gue boleh minta tolong?"
Selgie mengernyit, "kenapa? Ngomong aja."
Jane tersenyum tipis, "Jaebi."
Selgie tersentak, jadi tertegun lagi.
"Anak kelas sering banget ngomelin dia ini itu, tapi Jaebi pasti nggak nanggapin. Iya iya aja tapi
tetep dilakuin. Jaebi selalu ngerasa bisa ngadepin semua sendirian," kata Jane membuat Selgie
terdiam, "Jaebi juga nggak pernah ngeluh di depan kita. Malah buat kita semua khawatir."
Jane menarik nafas sesaat, "jadi.... bisa kan lo jagain dia? Gue tau sih, pasti lo udah tau harus
apa. Hanya aja, gue pengen gue sama 2A3 seenggaknya lebih tenang kalau ada elo."
Bibir Selgie terbuka, tak menyangka akan mendapat pesan seperti ini. Ia terpaku. Teringat tadi
sempat merasa terganggukecil saat mendengar Miya begitu perhatian ke Jaebi. Ia jadi
menyadari sesuatu kini.
Selgie meneguk ludah sesaat, "gue.... gue nggak yakin gue bisa lebih baik dari 2A3...." katanya
tak percaya diri.
Jane jadi tersenyum, memperlihatkan gummy smilenya membuat kedua matanya agak
menyipit. "Pasti lah, Sel. 2A3 kan cuma temannya Jaebi. Elo orang yang lebih dari temen."
Selgie kembali dibuat terkejut.
Jane kembali tersenyum. Ingin kembali membuka mulut, sebelum tersentak. Mengernyit dan
menoleh, mendengar suara tawa Joy dan Faili yang nyaring dan ngakak keras.
Selgie yang juga menyadari itu ikut mengernyit, lalu bersama-sama Jane jadi mendekat ke pintu
radio. Melongok ke dalam, melihat Joy dan Faili sudah jatuh ke lantai sambil tertawa geli
bersama tanpa henti.
Jane jadi mendelik, masuk sedikit. "Faiii kok malah ketawaan sih? Gue ditungguin loh," katanya
jadi mengomel.
Faili menoleh baru tersadar. "Oh ya astaga Kak Joyi nih!" katanya menyalahkan, memukul Joy
sesaat.
"Gi, Gi, coba sini Gi!" kata Joy masih tertawa ngakak.
Selgie segera masuk, ingin tau. Jane yang jadi penasaran juga mendekat. Selgie ikut duduk
lesehan di karpet ruang radio itu, meraih hape dari Joy. Diikuti Jane yang tanpa sadar jadi
merapat. Kini keduanya sama-sama melihat ke satu hape di tangan Selgie.
"Lah siapa ini?" tanya Selgie bingung, "kayak kenal?" katanya melihat poto yang terpampang
seorang pemuda kecil sipit yang berdiri menghadap dinding berposter. Tangan kanannya
memegang dinding, sementara tangan kirinya memegang bokongnya, menoleh ke belakang
memandang kamera dengan bibir tergigit.
"LAH BENTAR?!" pekik Selgie tersadar. "LAH ANJIR? HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA."
Joy lanjut tertawa keras. "Itu si Candra goblok mau ngirim poto playlist lagunya jadi salah kirim
potonya pas SMP!" katanya lalu kembali tertawa.
Kini Selgie juga langsung mengikuti. Sudah saling pukul-pukulan dengan Joy di sampingnya
sangking gelinya.
"Predebut kak," kata Faili masih tertawa ngakak sampai wajahnya memerah.
Jane, satu-satunya yang tak terlalu mengenal Candra, hanya bisa geleng-geleng melihat wujud
asli si gitaris sekolah itu. Ia menoleh, memandang Selgie kini sudah ikut terjatuh ke belakang
seperti Joy dan Faili tadi. Tertawa lepas sampai perutnya sakit. Jane tersenyum geli begitu saja.
Karena setidaknya, kali ini Jane lebih merasa bersahabat dengan Selgie karena melihat cewek
ini tertawa lepas di sampingnya.

Jaebi memakan snack di toples dengan santai, lesehan bersandar pada bantal sofa di ruangan
itu. Bukan ke rumah Hanbin, cowok itu ke rumah Jay. Karena di rumah Hanbin sedang ada ibu-
ibu sedang kumpul di terasnya, entah heboh berkumpul apa. Miya masih ganti baju di
rumahnya sementara Yoyo dan Hanbin sedang belanja di minimarket.
"Jeb, kalau misalnya gue juga usaha baju kayak Jiyo gimana ya? Entar dicap aneh-aneh lagi
cowok jualan baju," kata Jay serius, sudah memakai kaos oblong dan celana pendek duduk di
ruangan itu.
Tokonya.
Di depan rumah Jay memang ada toko milik keluarga yang cukup lebar. Area belakang lemari
terdapat ambal tebal dan bantalan besar empuk dengan tivi untuk tempat menunggui jualan.
Permintaan kakak Jay, si Jihan, yang sekarang sudah bekerja menjaga restoran keluarga. Jadi
kini tempat ini seperti 'markas' utama Jay.
"Jangan lah woi, lapaknya Jiyo," kata Jaebi menegur. "Elo dah jualan apa aja masih aja
kurang."
"Mayan satu baju 20 ribu, gue paling makanan atau alat tulis cuma seribu dua ribu," kata Jay
dengan gaya sungguh-sungguh.
Jaebi melengos, "tapikan jualan lo lebih banyak laku," katanya masih saja tak setuju. Takutnya
nanti beneran ada pertumpahan darah dan perpecahan persahabatan karena masalah uang
dan bisnis. Hal utama yang membuat manusia lupa diri.
"WAAAANNN!!!!" panggilan dari sang bapak dari dalam rumah membuat Jay terkejut.
"Bentar bentar," pamit Jay sambil berdiri, segera berlari keluar toko.
Jaebi memandangi geli itu. Jinwandi Jaelani yang berbadan mungil ini sebenarnya memang
masih anak-anak. Masih polos, naif, ingat Tuhan, sabar, juga penurut orangtua. Sayang, kalau
di sekolah ia selalu bilang,
"Gue pengen jadi badboy. Jadi panggil gue Jay, biar keren."
Suara mesin motor membuat Jaebi menoleh. Merasa ada yang datang, Jaebi segera bangkit. Ia
berdiri, melewati lemari kaca tinggi kemudian keluar.
Tepat saat gadis itu mendekat. Yang kemudian terkejut setengah mati dengan mata melebar
melihat Jaebi memunculkan diri.
Jaebi mengerjap, terpaku beberapa saat.
"Eh? Arisa?"
Jaebi mengernyitkan kening, masih terkejut tak menyangka.
Sementara gadis cantik berambut panjang itu melebarkan mata. Ia tergagap, menoleh kanan
kiri. Kali-kali saja dia salah rumah. Tapi jelas ini Toko Ahmad. Ada tulisan gede di atasnya.
Ah.
Arissa barus adar. Jinwandi si anak bungsu adalah murid EHS. Apalagi mengingat Jaebi adalah
wakil ketua OSIS sekolah, wajar saja jika banyak teman yang ia kenal di Taman Sari ini.
Perumahan terdekat dengan EHS.
Sementara itu Jaebi masih tak paham kedatangan cewek ini tiba-tiba. Arissa kan tidak tinggal di
Taman Sari. Kenapa bisa dia datang dengan pakaian santai dan membawa motor sendiri tanpa
helm begini? Seakan rumahnya hanya 10 meter dari rumah Jay.
Melihat gadis itu masih diam bingung, Jaebi mengangkat alis. Jangan-jangan Arissa ngira Jaebi
anak bungsu Pak Ahmad lagi mengingat nama depan Jae hanya beda tipis dengan Jay.
"Mau gue panggilin yang punya rumah? Ada perlu apa?" tanya Jaebi memecah hening.
Arissa agak terkejut. Ia jadi canggung, "eum... iya. Gue mau ketemu yang punya rumah,"
katanya berharap Jaebi segera berbalik pergi saat ini juga dengan alasan memanggil si tuan
rumah.
Canggung kan ketemu mantan pacar yang baru belum ada tiga bulanan putus.
Apalagi terakhir ketemu keciduk lagi selingkuh.
Jaebi mengangguk-angguk kecil, ingin berbalik untuk memanggilkan Jay. Tapi terkejut sosok
mungil itu sudah terlihat keluar dari pintu rumah bersiap datang ke tokonya.
"Eh, Ris?" seru Jay melebarkan mata, membuat Jaebi ikut melebarkan mata.
Eh? Jay kenal Arissa?!
Lah sejak kapan?
Jaebi pacaran sama Arissa setahunan lebih. Dari awal SMA karena cewek itu teman
sekolahnya di SMP. Gimana bisa selama itu Jaebi nggak ngeh Arissa kenal sama sahabatnya
sendiri?!
"Gimana gimana? Mau ambil lagi?" tanya Jay santai sambil mendekat, "mama gue belum
pulang. Eh ini ada katalog baru nih kalau mau liat," kata Jay masih sempat ke etalase depan,
meraih sebuah buku dan segera menghampiri Arissa.
Membuat Jaebi langsung mengerti.
"Nggak dulu deh, masih sisa dua kali bayar gue," tolak Arissa halus, mendekat kecil melirik
Jaebi sesaat. Lalu kembali memandang Jay dan merogoh dompet.
Jaebi mengernyit, "kamu sejak kapan langganan Tupperware?"
Arissa terkejut.
Jay ikut tersentak dan refleks menoleh penuh.
Dan Jaebi sendiri juga mengerjap tersadar.
...kamu?
"Lah? Kenal?" Jay mengernyit bingung. Jay memandang Jaebi penuh pertanyaan, "siapa lo?"
Jaebi merapatkan bibir. Menjawab dalam hati, '....mantan yang kemaren mau dibotakin Hanin.'
"Temen lama," jawab Jaebi singkat.
Nggak salah sih. Arissa pernah jadi temennya pas SMP. Kan lama.
Arissa makin merasa canggung, "gue nggak tau kalian juga saling kenal," katanya mencoba
tetap terlihat santai.
"Sekelas," jawab Jay satu-satunya yang memang tenang, "kita seringnya main ke rumah ketua
kelas sih, jadi mungkin lo jarang ngeliat Jaebi di sini."
Jaebi kembali mengernyit, "emang Arissa anak Taman Sari?" tanyanya bingung.
"Rumah nenek di blok sebelah," jawab Arissa membuat Jaebi menoleh. "Gue sering main ke
sini."
"Kok gue nggak ta—" Jaebi segera menahan diri. Menelan kembali protesnya.
Emang ya. Mantan itu suka bikin lupa diri.
Hampir saja Jaebi kebablasan.
Seseorang datang memasuki halaman luas rumah Jay, membuat mereka menoleh. Miya
dengan riang mendekat, dengan roll rambut di poninya dan kaos oblong serta celana kain
pendek.
"Eh ada paan pada berdiri begini?" celetuk Miya riang dengan senyum lebar. Ia menoleh,
memandang Arissa. "Eh?" serunya refleks dengan kening berkerut.
Miya bengong beberapa saat, kemudian menoleh pada Jaebi. Jaebi yang ditatap hanya
merapatkan bibir, tak mengucap apapun.
"Eh, haiiiii," sapa Miya mendadak ramah, langsung mengambil tempat di antara Jaebi dan
Arissa, memberi jarak makin jauh di antara mereka yang awalnya memang berjarak. Bahkan
Miya mendorong pelan Jaebi agar mundur ke belakangnya.
Arissa jadi makin canggung, "eum, nih Jay," katanya segera menyodorkan sejumlah uang. "Titip
ke mama ya."
Jay menerima sambil mengangguk-angguk.
"Loh elo customernya Jinwan? Beli apa?" tanya Miya kepo.
"Kredit tupperware sama nyokap," jawab Jay santai, "Arissa cucunya Nenek Mega, sepupunya
si Mega."
"OHHHHHHH," Miya mengangguk-angguk lagi, "pantes nggak pernah liat. Jauh banget beli
tupperware aja di rumah nenek lo, hehe."
Jaebi melirik, tapi diam saja berdiri agak di belakang punggung cewek dengan roll rambut ini.
Arissa meringis, "waktu itu nggak sengaja aja kok pas ada demo. Lagian ini juga punya mama.
Gue yang sering bayar kalau main ke sini," jawab Arissa masih kaku.
Miya mengangguk-angguk. Ia mencoba menahan diri. Tapi rasanya bibirnya gatal untuk tidak
berucap.
"Ohhh kirain pacar lo anak sini."
Arissa agak terkejut. Menegak begitu saja.
Miya jadi meringis, "kirain tadi lo suka main ke sini karena ada pacar gitu hehe. Eh, punya pacar
kan ya? Cantik gini."
Jaebi mendekat, diam-diam menarik ujung kaos Miya ingin menghentikan gadis itu tapi Miya
malah makin maju tanpa sadar.
Arissa tergagap kecil. Ia tanpa sadar melirik Jaebi, kemudian jadi merasa salah tingkah sendiri.
"Ada Ris? Eh gue ada jaket couple lagi diskon nih, mau nggak?" tawar Jay tiba-tiba menyerobot
maju.
"Bisa nih Wan kalau lo endorse," kata Miya justru menyambut, kembali menoleh pada Arissa.
"Elo pasti punya banyak followers deh. Atau couple goals instagram? Bisa keleus nih endorse
ya kan, Wan?" kata Miya menoleh pada Jay, tersenyum meringis. "Nih gue bantu bisnis lo nih."
Jay mengerjap-ngerjap, tak paham apapun.
"Eung, nggak kok," jawab Arissa agak malu, "gue nggak sehits itu. Jarang main instagram
juga."
"Eh kenapa? Padahal cantik," kata Miya menyahut. Kini berusaha terlihat biasa walau tanpa
sadar tatapannya menajam, "kirain lo justru tipe yang aktif sosmed gitu yang dikit-dikit update
sampe lupa balesin chat pacar."
Arissa mengatupkan bibir. Kali ini ekspresinya mulai berubah. Merasa tertohok kecil.
"Eh tapi pasti sering update sama pacar lo, kan?" tanya Miya membuat Arissa makin terdiam.
Jaebi mengulum bibir, tak tahu harus menghentikan Miya bagaimana. Memang sedikit yang tau
sosok kekasih Jaebi seperti apa. Tapi cewek-cewek seperti Hanin, Miya, juga Yena sempat jadi
'stalker' saat dulu Jaebi mengeluh kekasihnya tak ada kabar. Cewek-cewek itu yang jadi agen
mencari tau, juga jadi orang yang kerap kali menyadarkan Jaebi bahwa 'kekasihnya' itu sedang
mendua.
Arissa meneguk ludah, berusaha menguasai diri. "Nggak. Biasa aja kok," jawabnya tenang.
Miya mengangkat kedua alis, "kenapa?" Miya diam sejenak, menatap Arissa tepat membuat
Arissa balas menatapnya tanpa ekspresi. ".... biar nggak ketahuan ya?"
Arissa terkejut kembali. Jaebi juga menoleh, refleks ke samping Miya menghentikan gadis itu.
"INGAT MATI INGAT SAKIT INGATLAH SAAT KAU SULIT—"
Suara cempreng Hanbin yang bernyanyi-nyanyi keras dengan santai memasuki halaman rumah
Jay. Namun jadi terkejut kaget ternyata ada orang lain di halaman rumah Jay yang tadinya ia
yakini hanya melihat sosok Miya dan Jaebi.
"Sampah banget anjir," kata Yoyo yang menyusul, mendorong wajah Hanbin menjauh dan
segera mendekat sambil membawa plastik belanjaan.
Tapi Yoyo jadi berhenti, kemudian mengernyit memandangi satu persatu Jay, Jaebi, Miya, juga
gadis cantik asing yang berdiri di sana.
"Weis, ada paan neh kayak acara Rumah Uya," celetuk Yoyo merasakan suasana berbeda.
"Hilih paling bayar tupperware," celetuk Hanbin datang, "Oi, Ris. Gimana brownies gue
gimana?" tanya Hanbin akrab sambil mendekat ke Arissa yang canggung.
Arissa merapatkan bibir, merasa tak nyaman. "G-gue balik dulu," pamitnya melirik, entah
tepatnya pada siapa. Langsung membalikkan badan.
"Loh kenapa?" tahan Miya tiba-tiba, membuat Jaebi mendelik cewek ini belum juga selesai.
Langkah Arissa refleks berhenti. Mulai merasa malu dan tersudut.
"Padahal gue masih mau ngobrol sama lo," kata Miya dengan nada biasa.
"Nggak usah Ris, entar diajak mangkal depan Mang Didin," kata Hanbin menyeletuk.
Miya tak menyahuti. Menatap lurus Arissa yang kini perlahan membalikkan tubuh kembali,
membalas tatapan Miya.
Jaebi merapatkan bibir mengingat cewek ini dulunya saat SMP memang bagian dari geng
cewek hits sekolah yang dilabeli sebagai 'Mean Girls'. Arissa mungkin sudah mengerti sindiran
Miya, dan memilih berani menghadapinya.
Miya melipat kedua tangan depan dada, agak mendongakkan dagu menatap Arissa datar. "Oh
ya. Lupa ngenalin diri," kata Miya dengan intonasi tetap biasa. "Gue Miya. Temen sekelasnya
Jaebi. Kalau lo?"
Jaebi menghela nafas. Kembali bingung harus bicara apa.
Arissa mengatupkan bibir. Ia menarik nafas sesaat, "elo pacarnya Jaebi?" tanyanya tak
menjawab pertanyaan Miya.
Membuat para cowok di sana jadi diam saling pandang, kecuali Jaebi yang menggaruk
tengkuknya melirik Miya.
"Gue kan bilang gue temennya," jawab Miya santai, "kalau pacarnya sih lagi di sekolah, tadi
masih ada urusan ekskul gitu. Ya, kan Bi?"
Jaebi memandang Miya, tak mengatakan apapun. Membuat Miya yang paham tak peduli dan
kembali memandang Arissa.
"Lah Arissa kenal Jaebi?" tanya Hanbin bingung. Ia kemudian mengernyit, samar-samar
memandang lekat Arissa. Yoyo juga ikut mengerutkan kening, merasa wajah gadis ini familiar.
"Eh? Bukannya elo yang waktu jadi wallpaper Jae—OW," Hanbin memotong ucapan sendiri,
tersadar sendiri melebarkan mata. Baru tersadar cewek yang sering ia sapa di blok sebelah ini
ternyata tidak lain tidak bukan mantan pacar Jaebi, teman kelasnya sendiri.
"Lah iya," gumam Jay juga baru sadar. Memandang Jaebi dan Arissa bergantian dengan
melongo.
Arissa menghela nafas, berusaha tetap tenang. "Gue nggak bisa lama-lama, gue harus balik
sekarang," katanya tegas menatap Miya.
Miya sebenarnya masih ingin menghakimi. Tapi tersadar kedatangan Hanbin membawa aura-
aura tidak menyenangkan dan pasti akan merusak suasana, Miya memilih menatapnya tajam
tanpa kata.
Arissa berbalik lagi, melangkah pergi menuju motornya yang terparkir di depan area halaman
rumah Jay.
"Ris."
Semua tersentak, refleks menggerakkan kepala menoleh kompak. Makin membelalak melihat
Jaebi berlari kecil mengejar Arissa.
Miya tenganga. Hampir saja maju ingin menjambak Jaebi dan menyeretnya pergi. Sementara
Yoyo juga tak habis pikir kenapa Jaebi mengejar gadis itu lagi.
Arissa diam di tempat. Menolehkan kepala memandang Jaebi tanpa eskpresi.
Jaebi pun juga sama, berhenti dengan tatapan tak terbaca. Menatap kedua bola mata Arissa
tepat, menyampaikan hal yang baru saja ia sadari. Hal yang menurut Jaebi harus segera ia
sampaikan selagi ada kesempatan.
Miya sudah hampir mengumpat dan ingin maju sebelum Jay di dekatnya menarik lengan gadis
itu menahan. Yoyo yang mengerti situasi sudah menarik Hanbin pergi, juga mendorong pelan
Miya dan Jay agar masuk ke dalam toko. Membebaskan Jaebi dengan cewek itu berdua.
Jaebi menarik nafas sesaat, berdiri berhadapan dengan Arissa. "Sorry," katanya dengan
singkat membuat Arissa melebarkan mata.
Arissa melirik Miya sesaat dari balik punggung Jaebi, kemudian lebih memelankan suara. "Gue
pikir dia cewek baru lo. Rempong banget nyindirnya," katanya merasa terganggu.
Jaebi meringis kecil, "temen sekelas gue emang sedekat itu kayak keluarga. Jadi ya... mereka
emang secare itu, bukan bermaksud ikut campur," katanya menjelaskan.
Arissa mengernyit, "oh ya? Gue baru tau lo punya temen deket," katanya yang memang Jaebi
selama ini terkenal berteman dengan siapapun, tanpa geng atau perkumpulan tertentu.
Jaebi tersenyum tipis kali ini. "Gue juga baru tau lo kenal temen-temen gue."
Arissa mengatupkan bibir. Begitupula Jaebi yang sesaat merapatkan bibir.
"Hm. Gue sama lo udah kenal lama, deket setahunan, tapi masih banyak yang gue ataupun lo
saling nggak tau," kata Jaebi lebih pelan, membuat Arissa tertegun.
Jaebi kembali tersenyum tipis, "kayaknya emang buktiin, bukan gue yang bisa jagain lo,"
ucapnya membuat Arissa makin terpaku.
"Waktu itu, gue nggak sempet ngomong ini. Tapi..." Jaebi diam sejenak, meringis kecil
memandang Arissa. "Maaf ya. Gue belum bisa jadi yang terbaik."
Arissa merasa tertohok. Gadis cantik itu terdiam hilang kata. Jaebi memang terlalu baik. Hal
yang membuat Arissa sering merasa jengah merasa Jaebi terlalu datar dan lempeng.
"Sekarang gue udah ngerasa lega karena akhirnya gue nemuin alasan kenapa gue sama lo
nggak bisa lanjut," kata Jaebi membuat Arissa meneguk ludah. "Bukan salah gue, ataupun
salah lo. Emang kita aja yang nggak bisa cocok."
Arissa merapatkan bibir, mulai merasa bersalah.
Hening beberapa lama dan canggung. Arissa jadi meneguk ludah mencoba bicara.
"Pacar lo yang sekarang... gimana?" tanya Arissa canggung, membuat Jaebi yang mengerti
membisu beberapa saat.
"Hm... dia...." Bola mata Jaebi bergerak, agak merenung kecil. "Gue ngeliat diri gue sendiri di
dia," katanya membuat Arissa agak mengernyit, "dia tau temen-temen gue, gue kenal temen-
temennya. Kita juga, bisa sama-sama random jadi diri sendiri di depan satu sama lain..."
Jaebi mengerjap, merasa miris sendiri mengucapkan hal ini. Pacar? Sudah jelas yang ia
ceritakan ini hanya seorang teman.
"Elo gimana?" tanya Jaebi mengalihkan pembicaraan, kemudian mencoba tersenyum.
"Sekarang pasti udah ngerasa lebih baik?"
Arissa tertegun. Gadis itu terdiam. Perlahan merasakan sesuatu. Membuat tenggorokannya
kering memandangi Jaebi tak terbaca.
"Hmm." Akhirnya, Arissa hanya menganggukkan kepala kecil.
Arissa merasa makin kikuk, "balik dulu ya. Beneran udah kelamaan," katanya membuat Jaebi
tersadar dan segera mempersilahkan.
Arissa mencoba melemparkan senyum, yang dibalas Jaebi tanpa beban. Cewek itu berbalik,
melangkah menuju motornya. Dan perasaan itupun makin membesar.
Perasaan menyesal yang mulai melebar.
Karena, cowok terlalu baik memang terasa datar. Tapi ketika cowok terlalu baik itu pergi, baru
disadari berharganya ketulusan yang ia berikan.

***

"Lo nggak tau seberapa dendamnya gue dan gimana gemesnya gue pas liat muka dia di depan
mata!" omel Miya melotot, masih dengan roll rambut di poninya.
Jaebi diam saja, memakani makaroni pedas dengan tak semangat.
"Gue jadi inget Hanin bilang mau ngerendem pacarnya Jaebi di minyak panas Mang Didin,"
kata Yoyo di sebelah Jaebi dengan tangan ikut mengemil.
"Udahlah. Kan dah beres. Lo dah wakilin Hanin sama yang lain tadi ngelabrak dia walau nggak
langsung," kata Jay mencoba menenangkan.
"Dih apaan anjir nggak seru," protes Hanbin tak puas, dibantu anggukan Yoyo.
Jay dengan gemas melemparkan buku di dekatnya. Tapi ingat itu buku katalog Tupperware
Mama, cowok mungil itu segera mengambil kembali dan merapikannya.
Miya mendengus, "pasti dah tu cewek sekarang nyesel. HA HA KARMA ITU KARMA!" katanya
marah-marah dengan gemas, membuat Hanbin di sampingnya menjauhkan diri perlahan.
"Emang dah jalannya kali ya, Jeb," kata Yoyo berkomentar, "biar dibukain mata elo tuh
pantesnya buat Selena."
"WUASEKKKK," seru Hanbin langsung bersorak.
Jaebi kali ini menolehkan kepala dengan alis terangkat. Ia diam lama. Tapi kemudian menghela
nafas akhirnya mengaku, "...... gue nggak pacaran."
"He?" "Ha?" "Lah?"
Miya, Hanbin, Yoyo, serta Jay menoleh kompak pada Jaebi dengan wajah melongo.
"Boong banget. Udah jelas ada love love di udara!" kata Yoyo ngotot.
Tapi tersadar satu hal, ketika tadi Selgie dan Jaebi saling membuang muka dan tak bertegur
sapa.
"Putus lo? Cepet amat," kata Yoyo melanjutkan.
Jaebi mendecak kecil, "kemaren cuma pura-pura buat nutupin gosip Jevon Selgie," kata Jaebi
menjelaskan dengan lirih.
"Pura-pura?" tanya Miya tak percaya. "Tapi lo pake hati beneran kan?" tebaknya membuat
Jaebi melirik kecil, tak menjawab.
"Buset dah Jeb, goblok bener," umpat Hanbin mengatai.
Miya ikut mendecak, "kenapa sih lo tuh jadi cowok baik banget?!" katanya merasa gemas.
"Ho'. Cowok baik itu takdirnya ya kayak elo. Kalau nggak diselingkuhin, jadi friendzone," kata
Yoyo menunjuk membuat Jaebi tersinggung sebal.
"Iya iya bener," kata Hanbin mengangguk semangat dengan setuju. "Untung gue nggak baek."
"Tapi bego," lanjut Jay membuat Hanbin dengan sebal menendangnya kecil.
Yoyo menarik nafas panjang, memandang Jaebi yang masih tak membuka mulut. "Napa
sekarang? Galau lo mau balik gara-gara serangan mantan?" katanya menebak.
Jaebi mendecak, "nggak lah," sahutnya kini menjawab, "justru plong semua bener-bener udah
selesai dengan jelas."
Yoyo merapatkan bibir melihat itu. "Jevon Selena dah adem. Jane Selena juga gue rasa dah
aman. Elo sama mantan dah selesai. Terus, apa lagi yang lo tunggu?"
"Nunggu si Benji balik kali," celetuk Hanbin menyebutkan mantan pacar Selgie membuat Jaebi
kali ini melempar sebungkus snack ke arah kepalanya.
Hanbin mencuatkan bibir sesaat, "eh tapi lo sama Selgie beneran cocok, Jeb. Soalnya ya, Kak
Mugie tuh kadang bisa tiba-tiba nggak jelas kayak elu," katanya menunjuk Jaebi membuat
Jaebi mengangkat sebelah alis. "Apalagi kalau gue ngechat dia malam. Kemaren aja mau order
brownies dia malah nanya, 'Bin kalau brownies itu kata orang brondong manis kalau redvelvet
artinya apa?' YA MANA GUE TAU ANYING!"
"Sabar, sabar," kata Jay segera menenangkan amukan Hanbin yang gemas.
"Hm. Lagian anak kelas udah seneng sama Selgie. Nggak kayak mantan lo lampir tadi," kata
Miya masih saja dendam.
Jaebi jadi termenung. Merasa dapat dukungan, cowok itu mulai percaya diri lagi. Walau karena
Arissa tadi, Jaebi tersadar satu hal.
Jaebi dan Selgie adalah teman baik. Jaebi merasa bertemu teman lama. Bersama Selgie selalu
nyaman sampai kadang ia lupa waktu. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan
seru dan menyenangkan.
Selgie sangat jauh berbeda dengan Arissa. Di depan Arissa Jaebi benar-benar ingin
menunjukkan pesonanya, sampai kadang tanpa sadar bersikap jaim karena tak ingin
menunjukkan kelemahan di depan Arissa. Tapi di depan Selgie? Jaebi lebih merasa bebas,
menjadi diri sendiri dan tertawa lepas.
Bukankah... itu perasaan seorang teman?
Jika Jaebi melanjutkan untuk melangkah lebih jauh... apakah keseruan dalam pertemanan
mereka ini akan lenyap secara perlahan?
Walau sudah mendapat dukungan penuh dari teman-temannya ini, tetap saja Jaebi merasa
kepastian perasaan Selgie lah yang utama.
Hape Jaebi bergetar, membuat ia segera tersadar. Jaebi melirik jam sesaat, sebelum kemudian
merogoh hape sambil berkemas diri.
"Gue balik sekolah dulu," pamitnya membuat yang lain tersentak.
"Beneran nih? Tenaganya dah kumpul lagi?" tanya Miya memastikan.
"Iya, udah kelamaan istirahatnya," kata Jaebi membuat Hanbin dan Jay saling
pandang.Padahal satu jam saja belum berlalu.
"Seger ya Jeb abis ketemu mantan?" celetuk Yoyo menggoda, membuat Jaebi yang baru
berdiri menendangnya dengan kesal.
"Thanks ya. Balik dulu!" pamit Jaebi meraih tas dan berjalan keluar, langsung menginjak
sepatunya tanpa benar-benar memakai.
Jaebi mengangkat hape, membuka chat yang masuk. Yang ia kira datang dari pengurus OSIS.
Tapi yang muncul adalah nama Faili.
Faili: Kak Jibiiiii
Jaebi mengangkat alis membaca chat berikutnya. Ia meneguk ludah, yang kemudian segera
mempercepat langkah bergegas kembali ke sekolah.

***

"Huhuhuhuhuhuhu huhuhuhuh hu huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu...."


Joy melengos, capek sendiri memandangi gadis itu yang menempelkan pipi di meja dalam
ruang Radio dan tersedu-sedu lebay sejak tadi. Tanpa air mata. Hanya mengeluarkan suara
'HUHU' berkali-kali.
"Kenapa sih gue gengsi bangetttttt kenapaaaaaaaa????"
Joy merapatkan bibir, "Gi, mau beli minyak ikan salmon nggak? Biar otak lo baekan,"
celetuknya membuat gadis itu malah makin tersedu.
"Gi, gue minta temenin lo karena bantu beresin ruang radio. Tapi kenapa ini jadi tempat galau lo
gitu?" tanya Joy lelah sendiri. "Apa sih? Jaebi?"
Selgie mengatupkan bibir, kini mengeluarkan suara tak jelas dengan bibir tertutup membuat Joy
makin tenganga.
"Gi, gue tau lo tipe orang yang bisa random tiba-tiba. Tapi gue nggak tau lo bisa serandom ini
karena wakil ketos," kata Joy berargumen, "udahlah, paling dia masih gamon dari mantannya
yang cantik itu."
Rengekan Selgie langsung berhenti. "Bacot, anjeng."
"Dih kasar???" Joy mendelik, kemudian mencibir. "Lagian lu yang nggak jelas. Pas didatangin
malah ngindar. Dijauhin kangen. Gue nggak paham maksud lo tuh apa, mau lo tuh apa. Apalagi
Jaebi yang cowok?"
Selgie merengek lagi, menghentak-hentakan kedua kaki di bawah meja. "Gue tuh hanya
mencoba menjaga perasaan gue," katanya membela diri.
"Elo sibuk mikirin perasaan lo sampai nggak sadar lo udah nyakitin perasaan orang lain," sahut
Joy seakan skakmat. Membuat Selgie langsung bungkam.
"Seenak jidat lo buang Jaebi gitu aja, abis dia udah ngelakuin semua buat lo. Udah belain lo,
lindungin lo. Bahkan tanpa sadar dia berhasil bikin lo move on dari Jevon ataupun Benji. Terus
yang lo lakuin apa?" Joy menoleh, memandang gadis itu geram. "Makasih ya Bi, elo udah jadi
temen gue," katanya memeragakan gaya Selgie dengan manis dan mata yang dibuat menyipit
seakan melihat benda silau.
"Ck ck ck," Selgie masih menempelkan pipi ke atas meja, menatap Joy prihatin. "Begitulah
manusia. Gampang komentarin kehidupan orang tapi diri sendiri sama aja nggak paham sama
masalahnya," sindirnya membuat Joy mendelik.
Joy mendengus, ingin membalas tapi bola matanya bergerak. Ia mengangkat alis, lalu
menguasai raut wajah kembali memandang Selgie. "Gi, kalau lo suka tuh ya harusnya lo biarin
aja dia ngedeket. Buka hati lo, kayak kata Armada noh," kata Joy mengajari.
"Diem lo, kutu," balas Selgie sebal, mencuatkan bibir kecil.
"Gi, lo harus ngaku kalau lo cuma ngarang suka sama cowok lain. Karena cowok lain itu nggak
pernah ada," kata Joy tegas.
Selgie mencuatkan bibir, "malu lah," elaknya tak mau.
"Lah kenapa??? Lo kan kemaren ngelakuin itu karena lo salah paham sama perasaan lo
sendiri."
Selgie menggeram, frustasi sendiri. "Sekarang jam berapa deh?" tanyanya tiba-tiba membuat
Joy mendelik, "jam 11 dah lewat belum?"
"JAM DUA ANJER LO KEMANA AJA?!" sahut Joy langsung mengamuk sampai Selgie menarik
diri dan mengkerut kecil.
Selgie kembali menghentakkan kaki ke lantai dan bergerak-gerak merengek. "SEBELAS
SEBELAS TOLONG AKUUUUUUU," katanya sudah frustasi, "bawa diaaaaa huhuhuhuhu..."
Joy menepuk keningnya sendiri, entah kenapa dia yang malu. Cewek itu mendecak, "Gi!"
panggilnya menarik bahu Selgie memaksanya untuk mengangkat kepala. Joy lalu
menggerakkan paksa kepala Selgie agak berbalik dan memandang ke arah pintu.
"Dikabulin."
"HUA!"
Selgie langsung melompat, hampir saja jatoh dari kursi melihat Jaebi sudah berdiri tenang
bersandar di pintu dan menatapnya dengan senyum samar.
Gadis itu tenganga, dengan panik berbalik memandang Joy yang sebenarnya tadi latah karena
teriakannya. "LO NGAPAIN SIH!?" amuk Selgie berdiri, langsung meraih rambut Joy membuat
Joy berteriak mohon ampun.
"GUE NGGAK NGAPA-NGAPAIN DIA DATANG SENDIRI!!!!"
"KENAPA LO NGGAK BILANG!!??!?!?!"
"AAAA GI AMPUN GUE NGGAK TAU APA-APA!!!"
Amukan Selgie harus berhenti saat sebuah tangan menarik gadis itu memisahkannya,
membuatnya langsung terdiam entah kenapa jadi lemas dengan pipi makin memerah panas.
"Kalem, Gi. Nanti kepala temen lo copot," celetuk Jaebi meraih lengan gadis itu
menjauhkannya.
Selgie menahan pekikan, lalu mendelik menatap Jaebi. Gadis itu tak bisa menahan diri. Dan
berikutnya ganti meraih kepala Jaebi dengan kedua tangan lalu menariknya brutal.
"LO NGAPAIN HA?! LO NGAPAIN?!?!??! KENAPA LO SELALU NGGAK TAU DIRI?!!??!
SEKALI AJA BIKIN GUE NGGAK USAH JANTUNGAN NGGAK BISA?!?!?! LO JANGAN SOK
KALEM YA LO GINI AJA DAH BIKIN GUE MAU MATI TAU NGGAK?!?!?!!?"
Joy yang mencoba menjauhkan diri jadi panik mencari hapenya. Mau ngerekam.
"Gi ampun Gi iya ampun!" pekik Jaebi meronta minta dilepaskan. Kedua tangannya memegangi
tangan Selgie mencoba melepaskan.
"NGAPAIN TIBA-TIBA DATANG HA??? NGAPAIN???? KENAPA NGGAK SALAM DULU
MALAH NGUPING GUE??!?! LO TAU NGGAK GUE MALU HA?! LO PIKIR GUE NGGAK BISA
MALU!? GUE SELALU MALU DI DEPAN LO LO TAU NGGAK?!" amuk Selgie sudah hilang
kendali.
Selgie menarik lagi rambut pemuda itu, membuat Jaebi terdorong dan merintih. Jaebi dengan
sigap meraih pergelangan tangan Selgie lalu mendongakkan kepala dan menarik gadis itu.
Membuat Selgie yang tak siap jadi tertarik dan terjatuh menabraknya pelan.
Jaebi diam.
Selgie juga jadi diam.
Joy ke pojokan. Dengan kedua tangan diangkat ke atas, "Aku adalah pot bunga."
Celetukan itu membuat Selgie dan Jaebi tersadar, refleks segera menjauhkan diri dengan Jaebi
yang melepaskan pegangan pada tangan gadis itu. Jaebi berdehem, merapikan rambutnya dan
mengusap kepalanya yang berdenyut sakit.
Joy memandangi mereka, kemudian mulai berjalan masih dengan gaya sama. "Aku adalah pot
bunga yang bisa berjalan," kata gadis itu mengambil langkah besar ke arah pintu.
Joy meraih kenop, lalu mengerling. "Kalau ada perkembangan segera call me ya, aku juga ingin
tau ceritanya. Hehe," celetuk gadis itu riang. Dan tanpa dosa langsung menutup pintu rapat.
Jaebi mengulum bibir. Pemuda itu masih mengusap kepalanya, meneguk ludah kikuk.
Begitupula Selgie yang menghela nafas dan mengalihkan wajah dengan pipi memerah.
***

Jaebi meraih ransel yang ia bawa, duduk di kursi itu bersampingan dengan Selgie di dalam
ruang radio setelah semua tenang. Pemuda itu membukanya, meraih seplastik bening
kemudian menyodorkan sesuatu pada Selgie.
Selgie sontak mengernyit, "vanilla latte?" ucapnya menerima kaleng dingin itu.
"Hm," Jaebi mengangguk kalem, mengambil sekaleng cappucino untuknya dari plastik tersebut.
"Katanya lo di sini, jadi gue samperin. Tapi tadi lewatin kafetaria jadi beli aja."
Selgie membulatkan, entah mengapa tersenyum. "Thanks," katanya bergumam pelan.
"Minum aja dulu, entar ngamuk lagi," ledek Jaebi membuat Selgie mendecak.
"Biii," rengek gadis itu malu, tak ingin membahas beberapa menit lalu sudah hilang kendali.
Jaebi tertawa, "padahal biasanya di sekolah bisa kalem. Tapi sekarang jam randomnya udah
dua puluh empat jam gitu."
"Diem deh," sahut Selgie galak, mencuatkan bibir sambil memain-mainkan tutup kaleng kecil
itu.
Jaebi tertawa, menyenderkan tubuh ke kursi dan ikut memain-mainkan tutup kaleng. Entah
kenapa jadi canggung.
Pemuda itu melirik sesaat, ".... jadi... semua cuma boong?" tanyanya serak, membuat Selgie
tersentak karena mengerti.
Selgie mengalihkan wajah, merutuk dengan pipi memanas dan rasanya ingin terjun ke jurang
saja saat ini juga.
Jaebi membasahi bibir, mengulumnya karena merasa kaku. Pemuda itu meneguk ludah sesaat,
"gue hargain sih sikap lo kemaren..." katanya membuat Selgie tertegun dan agak melirik.
Jaebi menarik nafas sebelum melanjutkan, "karena.... eung..." Pemuda itu berhenti sejenak,
"kayaknya... emang bakal aneh...." Jaebi kembali menjeda, kemudian agak merunduk. "Kalau
kita lebih dari temen."
Selgie terdiam. Ia meremas pegangan pada kaleng di tangannya, melirik perlahan ke arah
pemuda itu.
Jaebi samar tersenyum miris, "kita bakal canggung dan kaku kayak gini... jadi, gue ngehargain
kalau emang lo ngindar," ucapnya serak.
'Nggak, gue nggak masud gitu....' Selgie menggigit bibir, merutuki diri sendiri. 'Ayo dong Gi
ngomong sebelum dia pergi lagi....' gemasnya ingin menampol diri sendiri.
Jaebi diam, merenung kecil memandang tak fokus. Pemuda itu mencoba meyakinkan diri,
kemudian melirik gadis di sampingnya.
"Tapi sorry, Gi. Gue nggak bisa."
Selgie tersentak. Refleks mengangkat wajah dengan kening berkerut.
Jaebi merendahkan intonasi bicara, "...gue nggak bisa biarin lo ngejauh lagi."
Mata Selgie melebar. Gadis itu tertegun, menegak tak percaya.
Jaebi agak kikuk, merunduk memandangi kaleng di tangannya. "Kalaupun kita bakal canggung,
atau kita jadi sama-sama berubah... Gue mau nikmatin itu. Karena itu proses, kan?"
Jaebi mendongakkan kepala, membalas tatapan Selgie yang terpaku memandangnya. Ia diam
sejenak.
"Gue mau terus sama-sama lo...."
Gadis itu terperangah. Hatinya berdesir, membuatnya terpaku seakan hilang kata. Pemuda ini
tak memakai kalimat mainstream seperti 'aku sayang kamu' ataupun 'I love you'. Kalimatnya
lebih sederhana dan apa adanya, tapi jelas membuat gadis ini lumer tak karuan.
"Jadi," Jaebi berdehem, menutupi salah tingkah. "Gimana kalau kita pacaran?"
Baru saja kalimat itu selesai, pintu ruang radio tiba-tiba dibuka membuat keduanya refleks
menoleh. Terkejut kaget bersamaan dengan seorang gadis yang juga melompat dan memekik
kecil melihat keduanya.
"Astaga yaampun aku kira setan," seru gadis itu memegangi dadanya dengan lutut melemas.
Jaebi dan Selgie refleks menegakkan tubuh dan menjauhkan diri. Keduanya langsung awkward
satu sama lain. Selgie mengalihkan wajah, merutuk karena tak bisa menahan wajah memerah
panasnya. Sementara Jaebi mengusap leher dengan gugup.
"Kak Jaebi sama Kak Selgie ngapain? Loh kok di sini?" tanya Faili masih berdiri di ambang
pintu.
"Eung... Joy nggak ada di depan Fai?" tanya Selgie salah tingkah, tak menjawab pertanyaan
Faili.
"Ada," jawab Faili lalu melongok ke belakang. Gadis itu mengernyit, kembali memandang Selgie
dan Jaebi. "Lah? Ilang," katanya polos. "Tadi Kak Joy nyuruh aku buka pintu ini suruh liat. Eh
ternyata ada Kak Jaebi sama Kak Selgie."
Jaebi meneguk ludah, berdehem pelan. "Ah, mau dipake ya Fai? Sorry sorry," katanya berdiri,
meraih ransel dan kaleng kopi yang masih tertutup. Selgie segera mengikuti.
"Eh? Aku nggak ngusir loh," kata Faili jadi panik kecil. "Kalau mau berdua---Eh, wait," Faili
menegak. Lalu melebarkan mata memandang keduanya. "Kak Jaebi..... sama Kak Selgie.....
lagi ngapain?"
Selgie dan Jaebi sama-sama membelalak, makin gugup ditatap curiga gadis itu. Apalagi
intonasi menggoda Faili yang jelas.
"Wah..... Wakil osis panutan semuanya..... wah....." seru Faili dengan gaya berlebihan, "kalian...
wahhhh di sekolah???? WAHHHHHH..."
"Apa sih Fai," elak Jaebi merona, lalu beranjak. "Ayo, Gi. Penunggu ruangannya udah datang,"
katanya ingin meraih tangan gadis itu, tapi malah canggung sendiri dan mengurungkan niat
berjalan lebih dulu.
Selgie menipiskan bibir, segera meraih tas dan kaleng kopinya. Lalu mengekori Jaebi melewati
Faili yang masih menggoda keduanya.
"Kak Selgie aku nggak maksud ganggu loh, beneran," kata Faili dengan kerlipan polos.
Selgie dengan malu melotot kecil pada gadis itu, "diem deh, Fai. Kita nggak ngapa-ngapain,"
katanya galak.
Faili malah menaikkan sebelah alis dengan senyum tertahan. "Ih, emang Kak Selgie kira aku
mikir apaan sih? Aku mah nggak kayak Juwi yang pikirannya bercabang banyak. Aku masih
polos," ucap gadis itu membuat Selgie gemas.
Jaebi yang mendengar itu jadi mendecih sinis membuat Faili menoleh. "Lucu. Emang lo pikir
gue nggak tau pacar lo kayak apa. Mana mungkin polos," sindirnya membuat Faili
mengatupkan bibir.
"Eung...... Kak Selgie tuh udah ditunggu udah sana gih aku mau bersihin ruangannya ya oke,"
usir Faili mendorong pelan Selgie agar pergi.
Selgie yang terdorong-dorong jadi tertawa, berjalan menghampiri Jaebi. Walau ia mengernyit
pemuda itu masih berdiri memandang Faili, membuat Selgie lebih dulu melewatinya.
Setelah Selgie berpaling, ekspresi Faili langsung berubah. Memandang Jaebi dan berkata
tanpa suara, "gimana?"
Tapi gadis itu tersentak, menatap Jaebi yang perlahan menyipitkan mata padanya dengan sinis.
Dan saat Selgie menjauh, Jaebi dengan sebal menggeram seakan ingin melahap Faili bulat-
bulat. Faili jadi tenganga, tak merasa bersalah sama sekali.
Selgie melirik di sudut mata, menyadari Jaebi berjalan tenang mengekorinya. Gadis itu
menggigit bibir, kemudian berbalik menghentikan langkah Jaebi.
"Duluan ya, Bi!" pamit Selgie agak salah tingkah, "makasih kopinya," ucap gadis itu
mengacungkan kaleng kopi dingin di tangan, kemudian berbalik dan segera beranjak pergi.
Jaebi memandangi gadis itu. Ia menghela nafas, "Gi..."
Selgie refleks berhenti. Ia menggigit bibir, kembali berbalik. Gadis itu mengerjap, melihat Jaebi
melangkah mendekat.
"Nggak pulang bareng?" tawar Jaebi ke samping gadis itu.
"Eung..." mata Selgie bergerak, menggigiti bibir ragu. "Gue dijemput sih...." jawabnya merasa
tak enak. "Juwi juga masih di kelas buat kerja kelompok..."
Jaebi jadi memajukan bibir bawah, "emang nggak bisa bilang Juwi buat sendirian aja?"
tanyanya berharap.
"Ck, tu anak pasti panjang dulu penjelasan baru mau sendirian nunggu. Beda kalau dia nyuruh
gue yang nunggu sendirian, pasti nggak mau tau," kata Selgie kesal, jadi curcol sambil
menggerutu.
Jaebi jadi tertawa, "yaudah gue yang ngomong sama dia," katanya kalem.
"Nggak usah ih nanti dibajakin lagi!" tahan Selgie gemas.
"Nggak elahh, santai," kata Jaebi tenang sambil melangkah lagi.
Selgie mendecak mengikuti pemuda itu. Gadis itu merunduk, membuka tutup kaleng kopi di
tangannya. Membuat Jaebi menoleh, lalu menjulurkan tangan meraih kaleng tersebut. Selgie
jadi mengangkat wajah dengan kening mengernyit. Jaebi merunduk, membukakan kaleng
kemudian menyodorkan kembali pada Selgie.
Selgie jadi bengong.
Padahal cuma dibukain tutup kaleng. Tapi dah baper gini.
"Ugi? Mau nggak?" tanya Jaebi makin mengacungkan kaleng, membuat Selgie mengerjap dan
tersadar.
"Eh, mau lah. Hehe," kata gadis itu menerimanya. Membuat Jaebi tersenyum kecil.
"Jadi, kalau jadi pacar gue mau nggak?"
"Ha?"
Selgie melongo lagi. Gadis itu tenganga kecil, lalu tersadar dan dengan panik menoleh kanan
kiri. Ada beberapa murid yang masih ada di sekitar koridor, membuatnya malu sendiri jika ada
yang melihat.
"Bi, apa sih!" tegur Selgie malu, melotot dan memukul pemuda itu. "Elo tuh nggak tau ya kalau
di Epik High tuh ada admin lambe turahnya? Orang-orang yang eksis kayak lo nih yang sering
diomongin. Napa terang-terangan gini sih!?" omel gadis itu merona.
Jaebi menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kemudian menoleh kanan kiri. Ia mengangkat alis
melihat beberapa murid tak terlihat memerhatikan mereka. "Ah, nggak ah. Mereka sibuk
masing-masing," kata cowok itu tenang.
"Ya untungnya gitu," balas Selgie gemas. Gadis itu mencuatkan bibir, mengalihkan wajah lalu
meneguk minumannya untuk menenangkan diri.
"Jadi pacaran nggak?"
"Uhuk uhuk," Selgie langsung tersedak, tersembur kecil dengan kaget. Ia segera mengusap
sekitar bibir, melotot menoleh pada Jaebi yang malah tersenyum tertahan memandangi gadis
ini.
"Elo tuh ya! Nggak bisa pelan-pelan!?" omel Selgie berbisik dengan gemas.
"Udah pelan elah," sahut Jaebi santai, kemudian mendekat. "Yaudah sini gue bisikin."
"Jaebi gue siram ya!?" amuk Selgie melotot antara galak tapi juga salting. Membuat Jaebi yang
menyodorkan diri jadi kembali menegak dan tertawa.
"Katanya Juwi kalau minum vanilla latte jadi kaleman, ini mah apa makin jadi monster," ledek
Jaebi membuat Selgie mendelik.
Selgie mendesis kesal, kembali meneguk minuman ingin menenangkan diri. Gadis itu kemudian
menghela nafas sambil mengusap sekitar bibir, merasa agak lebih bisa kalem.
"Cepet elah," celetuk Jaebi tiba-tiba membuat ketenangan Selgie hanya bertahan sedetik.
"Bilang iya aja masih sok mikir dulu."
"DIEM NGGAK!?" Selgie langsung maju, ingin mencekik pemuda itu tapi Jaebi dengan gesit
segera menghindar dan menepis pelan tangan gadis itu.
"Kalem aja kali Gi? Di koridor nih, entar bener masuk lambe turah gimana?" tegur Jaebi
mengerling jahil, membuat Selgie makin geram ingin mencakar pemuda itu.
"Ah udah ah gue mau ke tempat Juwi mau pulang!" kata Selgie ngambek, langsung beranjak
ingin pergi.
Jaebi malah tertawa, segera mengekor. "Tadi kan mau pulang bareng, Ugii," kata pemuda itu
menyamai langkah dengan Selgie.
Selgie melirik tajam, lalu mendecih dan kembali meneguk kopi kalengnya mencoba
menenangkan diri. Gadis itu menghabiskannya, kemudian dengan tenang membuang ke
tempat sampah yang ia lewati. Tak sadar pemuda di sampingnya terus memerhatikan gerakkan
kecil itu.
"Gi, mau pulang bareng, kan?" tanya Jaebi sekali lagi. "Mampir Mixme deh."
"Cih, disogok," kata Selgie mendecih kecil.
Jaebi tertawa ringan, "mau nggak? Udah jalan ke parkiran nih."
"Iya, mau. Bawel," jawab Selgie sok galak.
"Ke Mixme mau nggak?"
"Iya, mau."
"Jadi pacar gue?"
"Mau."
".................."
".................."
Jaebi setengah mati menahan senyum lebar yang hampir terlukis di wajahnya. "Hm, oke," kata
pemuda itu senang, kemudian berjalan dengan riang.
Selgie mengalihkan wajah, merutuk dengan malu. Gadis itu dengan gemas mengikuti Jaebi,
lalu tanpa kata menonjok keras lengan pemuda itu sampai Jaebi merintih kaget.
"Apa sih, Gi? Sakit," kata Jaebi sok merintih, walau wajahnya menahan senyum menatap gadis
ini yang merona.
Selgie mencuatkan bibir, "nggak usah alay," katanya galak.
Jaebi tertawa, "ah, gimanapun lo suka," godanya membuat gadis itu makin salah tingkah.
"Dih siapa bilang?" balas Selgie menjulurkan lidah.
"Joy."
Selgie melotot, langsung menoleh sepenuhnya.
Jaebi malah tertawa, "dia beberapa kali kok ngomong ke gue. Candra juga. Kadang Jelo. Adek
lo, ataupun Faili yang beberapa kali cari info," kata Jaebi santai membuat mata Selgie makin
membelalak dengan bibir terbuka.
Jaebi tersenyum, "lo nggak tahu, kan? Gue nih bos lambe turahnya Epik High. Mata-mata gue
banyak."
Selgie makin tenganga, "jadi selama ini............... lo nyari tau!? Tentang gue?!"
Jaebi mengangguk santai.
Selgie makin tenganga. Tak tau harus merespon apa. Gadis itu hanya berbisik lirih, "kenapa?"
Jaebi mengangkat alis, dengan tenang melangkah sambil menjawab. "Karena gue suka sama
lo. Tapi cuma bisa bersikap sebagai temen."
Selgie tertegun.
Sementara Jaebi tersenyum perlahan, mengusap sesaat rambut Selgie. "Ayo pulang," kata
pemuda kalem, melangkah lebih dulu mendahului Selgie dengan tenang.
Selgie masih bengong di tempat. Gadis itu benar-benar tak menyangka. Jadi, karena itu selama
ini Jaebi sering kali tau semuanya tanpa Selgie beritahu? Dia ternyata bukan peka, tapi emang
ada usaha.
"Ugiiii...."
Selgie mengerjap, jadi menoleh. Memandang pemuda itu yang sudah di ambang masuk
parkiran menatapnya tenang.
Selgie terpana begitu saja. Wakil ketua OSIS ini sekarang entah kenapa kegantengannya jadi
nanjak drastis. Kenapa juga Selgie baru sadar sih kalau dia begitu beruntung jatuh hati pada
sosok Jaebi Imanuel?
Selgie mengulum bibir. Entah kenapa merona sendiri. Gadis itu melangkah mendekat dengan
agak malu-malu. Apalagi Jaebi menjulurkan tangan, membuka kelima jarinya. Selgie menahan
senyum, menerima uluran itu. Membalas genggaman Jaebi dan melangkah bersama memasuki
parkiran sekolah.
"Jaebi," panggil Selgie pelan, agak mendekatkan diri ke samping bahu Jaebi.
"Hm?" Jaebi menoleh tenang, menatap gadis ini.
Selgie mengerjap, dan memantapkan diri berbisik pelan. Membuat Jaebi tersentak, yang
kemudian malah jadi gantian merona karena gadis ini.
"Gue juga suka sama lo."

Anda mungkin juga menyukai