Anda di halaman 1dari 22

Prolog

Cowok itu menutup ruang OSIS. Ia mengacak rambutnya sendiri, menghela nafas panjang.
Lagi-lagi harus pulang telat. Padahal ini hari Jumat bebas. Pensi yang semakin dekat
membuatnya jadi super sibuk. Ini pensi besar tahunan di sekolah, persiapannya bahkan sudah
dari setahun lalu sejak Ezra belum diangkat jadi ketua OSIS dan dirinya sendiri pun belum jadi
wakil seperti sekarang.
"Jaebi!"
Cowok itu menoleh namanya disebut, memandang seorang gadis cantik dengan wajah
Chinnese kental dan pipi bulatnya itu melangkah mendekat. Alisnya terangkat.
"Selgie? Kok belum pulang?" tanya cowok itu memperbaiki letak tali tas di pundak.
Selena Mugie, nama lengkap gadis itu, berhenti di depan Jaebi. "Masih ngurus kelas tadi,"
jawab cewek keals 11 IPS 2 itu seadanya. "Oh ya. Tadi lo nyari gue ya? Kenapa?"
Jaebi mengernyit sesaat, lalu tersentak sendiri baru ingat. "Elo manager futsal kan? Gue minta
data anak-anak futsal yang ikut pertandingan nanti. Kalau bisa hari Jumat udah dikumpul,"
katanya menjelaskan.
"Duh, kita belum bentuk tim inti nih buat pertandingan nanti," kata Selgie merasa bersalah.
Jaebi mendecak, "ya cepetlah Gi. Bentar lagi loh pertandingannya," katanya mengomel kecil.
"Sore ini kalian rapat aja. Mumpung pulang cepet, kan?"
Selgie mendesah pelan, "gue hubungi Jelo deh," katanya menyebutkan nama kapten. Ia
merogoh hape, ingin membuka lockscreen tapi gadis itu memekik tiba-tiba membuat Jaebi
terkejut.
"Kenapa?" tanya Jaebi agak panik, mendekat pada gadis itu.
Jaebi mengernyit melihat garis wajah Selgie merekah. Cewek itu malah mencicit senang, lalu
memeluk hape putihnya dan memejamkan mata.
He?
"Gi?" panggil Jaebi ngeri sendiri.
Selgie membuka mata, lalu menoleh. Cewek cantik itu meringis, mengacungkan layar hape ke
depan Jaebi.
"Liat nih! Jam sebelas kembar!"
Jaebi mendelik kecil, "emang kenapa kalau jam sebelas kembar?"
"Katanya bisa ngabulin permohonan. Lo nggak tahu?" tanya Selgie agak merasa kecewa.
"Nggak, nggak suka percaya gituan."
Selgie mendelik, agak mencuatkan bibir. "Kalau kita nggak sengaja liat jam sebelas kembar,
kita bisa minta permohonan. Kayak bintang jatuh gitu deh," ucap cewek itu menjelaskan.
Jaebi mengangkat alis, lalu menghela nafas. "Yaudah nggak ada urusan juga sama gue.
Sekarang hubungin Jelo," katanya kembali pada topik pembicaraan membuat garis wajah
Selgie menurun.
Selgie mendecih kecil, menurut merunduk pada hapenya.
Hening.
Membuat Jaebi merasa jengah dengan kecanggungan ini. Pasalnya, mereka berdua memang
tak dekat. Berbeda jurusan tetapi saling mengenal nama, hanya itu.
"Lo nggak minta macem-macem kan tadi?" tanya Jaebi iseng, membuka suara lebih dulu.
Selgie justru mencibir, "lo pikir?" tanyanya agak sewot, kini jadi sibuk membalas chat Jelo.
Jaebi tertawa, ingin berucap lagi sampai sebuah suara memanggilnya.
"Woi Jeb!"
Selgie ikut tersentak. Mengenali suara familiar itu. Ia mengintip sedikit, walau kali ini jadi
sepenuhnya memandang cowok tak jauh di belakang Jaebi ketika Jaebi menoleh membalikkan
tubuh.
Ah, Jevon Irsandi. Teman sekelas Jaebi di 11 IPA 3. Salah satu anggota futsal.
"Eh, Selgie," ceplos Jevon begitu saja ketika melihat gadis cantik itu berdiri di depan Jaebi. Ia
meringis, "belum pulang?"
"Lo nanya siapa? Gue atau dia?" tanya Jaebi mengarahkan jempol pada Selgie yang jadi
canggung.
"Elo dulu deh," jawab Jevon santai. "Tadi anak-anak nungguin loh di kelas."
"Gue sibuk OSIS," jawab Jaebi santai.
Jevon mencibir saja, sok tak percaya. Matanya menangkap lirikan Selgie. Cowok itu diam
sejenak, lalu mencoba tersenyum.
"Eh, oh ya Jev," kata Selgie berusaha menguasai diri. "Nanti sore kumpul futsal ya. Bilangin
Hanbin juga."
Jevon mengangkat alis, lalu mengangguk mengacungkan jempol. "Sipp."
Selgie ingin tersenyum, tapi jadi diam kembali melihat sosok gadis cantik mulai terlihat
melangkah mendatangi Jevon. Selgie refleks mengalihkan wajah sesaat, berusaha memasang
ekspresi datar tak terbacanya.
"Eh gue duluan ya!" pamit Jevon mengangkat telapak tangan pamit dengan gadis itu, Jane
pacarnya, berhenti di sampingnya.
Jane menoleh, melihat ke arah yang Jevon lihat. "Jaebi, duluan!" katanya ikut pamit dan
melambai. Ia melirik cewek cantik di sebelah Jaebi, hanya tersenyum singkat lalu menggait
lengan Jevon dan mulai melangkah pergi.
Jaebi memandangi kedua orang itu lama. Kemudian mendesah pelan dan berbalik, menoleh
pada Selgie yang diam. Jaebi memandangi cewek itu lama.
"Permintaan jam sebelas kembar lo itu... bukan tentang move on kan?" celetuk Jaebi membuat
Selgie terkejut dan melebarkan mata menoleh.
Jaebi justru mengerling jahil. "Gi, jinnya Aladin aja dah negasin. Dia bisa ngabulin semua
permintaan, kecuali satu. Perasaan manusia. Jadi nggak ada gunanya lo minta macem-macem
gitu."
Selgie langsung mendelik cowok itu menuduhnya sembarangan. "Elo nggak usah sok tau deh!"
ucapnya mendesis kesal.
Jaebi justru terkekeh sombong, "gue tahu kok. Dari muka lo dah keliatan."
"Berisik," balas Selgie jutek, mengalihkan wajah. "Dah ah. Ngapain juga gue lama-lama sama
lo," sambung cewek itu galak.
"Yeee elo sendiri yang betah samping gue," balas Jaebi tak mau kalah. Malah memeletkan
lidah membuat Selgie ingin menonjok si wakil ketos itu.
"Bye!" kata Selgie galak, langsung berbalik.
Membuat Jaebi malah menertawai itu. Bertepatan ketika hapenya bergetar. Ia segera
merogohnya, membaca nama pemanggil dan mengangkat telpon.
"Iya, yang?"
Langkah Selgie terhenti. Cewek itu jadi mengernyit, menoleh kembali. Menemukan Jaebi
sedang mengangkat telpon.
Merasa Selgie berhenti, Jaebi jadi menggerakkan kepala balas pandangannya.
Keduanya bertatapan.
Sampai Selgie hanya mencibir kecil, berbalik lagi dan kembali melangkah.
Jaebi terdiam begitu saja. Alisnya terangkat tinggi. Entah kenapa merasa sesuatu tiba-tiba
melihat gadis itu mencibir tadi.
Tapi ia tak lagi memedulikan ketika suara manis di seberang terdengar.
Jaebi kembali menelpon, berjalan dengan arah berlawanan dari Selgie.
Walau ia malah jadi tersenyum kecil.
Selgie tuh gemesin juga ya anaknya.

***

Jevon membuang botol kosong yang baru saja ia habiskan ke tong sampah. Cowok itu
memainkan gantungan kunci motor sambil melangkah menuju parkiran. Ia memang pulang
paling akhir karena tadi mojok dulu, nelpon Jane yang lagi keluar kota.
Masih dengan seragam futsal dan jaket yang belum dipakai, pemuda tampan itu menuruni
tangga. Ia hampir saja berbelok kalau tidak melihat sosok familiar berdiri di depan tempat
latihan futsalnya sendirian. Si manager futsal.
Jevon terdiam sendiri memandanginya.
Datangin nggak ya?
Sebenarnya sih, Jevon biasa aja. Iya, nggak canggung sama sekali walau cewek itu dulu
pernah deket sama dia.
Tapi masalahnya…
Sekarang cewek itu lagi sendirian. Jevon lagi sendirian. Sendirian ketemu sendirian jadinya
berduaan.
Berduaan sama mantan gebetan.
Jevon memainkan bibir. Ia memutuskan berbelok menuju parkiran motor.
Yaudahlah biarin aja si Selgie mau apa. Mau berdiri disitu sendirian juga Jevon nggak ambil
pusing.
Lagian dulu Selgie juga nggak pernah peduli perasaan Jevon saat dia lebih milih Benji si alumni
itu.
Jevon tersentak sendiri. Lalu merutuk kenapa tiba-tiba ingat hal itu.
Selgie yang tiba-tiba pergi meninggalkannya dan lebih memilih Benji sempat membuat Jevon
retak tak karuan. Belum ikhlas rasanya.
Tapi sekarang jelas berbeda. Jevon sudah terobati, kenapa masih harus ingat hal-hal dulu lagi?
Jevon naik ke atas motor dan memakai helm. Ia memakai jaket hitamnya sambil melirik, melihat
sosok Selgie masih di sana sendirian.
Selain status mantan gebetan, Selgie tuh juga seorang perempuan, Jev. Yakali dibiarin gitu.
Jevon mendecak sendiri, memerotes pada kata hatinya kenapa menghasut seperti itu.
Ia menyalakan motor, mulai mengeluarkannya. Mulai menarik gas pergi dan menuntun
motornya.
Berhenti di depan Selgie.
Selgie tersentak. Menoleh kaget. Cewek itu mengerjap. "Loh? Belum pulang?"
Jevon mematikan mesin, meringis kecil. "Iya, tadi gue masih di dalam. Lo sendiri?"
Selgie menipiskan bibir, "nyokap masih nungguin Juwi yang lagi nyalon nih. Jadi nunggu,"
jawabnya menyebutkan nama si adik yang juga satu sekolah dengan mereka.
"Masih lama?"
Selgie mengedikkan bahu.
"Mau bareng gue?"
Lah Jevon goblok.
Jevon merutuk sendiri. Hampir saja menghantamkan kepala sendiri ke motornya karena terlalu
bodoh keceplosan begitu.
Selgie sendiri juga terkejut. "Eh? Nggak usah, Jev," tolaknya segera.
Bukannya nggak paham apapun, tapi Selgie udah tahu kalau dia pernah jadi alasan Jane dan
Jevon berantem. Selgie sampai sekarang masih sering disangkut pautkan dengan Jevon.
Karena dulu jadi Raja dan Ratu MOS, satu sekolah seakan memutuskan bahwa Selgie
pasangan Jevon dan Jevon pasangan Selgie.
Tapi kedatangan Jane sebagai anak baru dan pacar baru Jevon jelas membuat semua berubah
dan itu masih agak aneh.
Sementara itu nama Jane sering disebut di askfm Selgie. Banyak anon yang mengirim link
jawaban Jane tentang dirinya ke askfm Selgie. Seakan ingin jadi wasit peperangan dua cewek
ini.
'Oh, yaudah...'
Harusnya Jevon jawab itu.
Tapi bibirnya malah nyahut kalimat lain.
"Nggak papa lah, Gi. Daripada lo nunggu gini."
Selgie jadi merapatkan bibir, "eum... tapi...."
"Gi, udah mulai mendung nih," kata Jevon mendongak, melihat langit tanpa bintang malam ini.
Selgie jadi agak canggung, "ngggak papa, Jev?" tanyanya memastikan.
"Iya, santai aja," jawab Jevon tenang. "Yuk."
"Eung... Gue ngomong nyokap dulu deh, siapa tahu udah deket," kata Selgie agak salah
tingkah, berusaha mengalihkan fokus pada cowok itu dan merunduk pada hapenya.
Jevon mengangguk, mempersilahkan. Ia melirik, memerhatikan Selgie yang menempelkan
hape ke samping telinga.
"Mah? Dimana?" Selgie mengernyit, "oh gitu.... Aku pulang sama temen kalau gitu.... Iya mah."
"Gimana?" tanya Jevon setelah Selgie menutup telpon.
"Masih di salon," jawab Selgie mendesah pelan sambil mendongak.
Jevon tersenyum, "yuk," katanya sambil menyalakan mesin kembali.
Selgie melebarkan mata.
Walau hanya beberapa detik, tapi tadi kedua matanya bertatapan tepat dengan Jevon ketika
cowok itu tersenyum.
Selgie naik ke atas motor duduk di belakang Jevon. Ia mulai merutuki hatinya sendiri.
Menyalahkan kenapa harus merasa berdebar tak karuan sekarang.
Di sisi lain, penyesalan itu kembali datang.
Jevon sendiri juga tak bicara lagi. Diam saja selama perjalanan. Dalam hening, ada banyak
cerita yang diungkapkan.
Tentang kisah yang tak pernah selesai tapi dipaksa berhenti.
Tentang kata yang keduanya tak pernah sempat untuk saling mengaku satu sama lain.
Juga tentang waktu, yang terus saja tak pernah berpihak pada keduanya.

***
Hari senin. Hari merapihkan kelas
Jaebi menutup bukunya. Cowok itu memijat pelipis, merasa lelah menyusun laporan ekskul
OSIS. Ia meminum botol air mineral di atas meja belajar, lalu meraih hape.
Jaebi merenggangkan otot bahu sambil mengetik.
Jaebi: yang, aku telpon ya?
Ia berdiri, melangkah menuju tempat tidur. Lalu menjatuhkan diri ke atas ranjang empuknya,
merasa lelah. Kembali diangkatnya layar hape. Tapi belum ada balasan. Cowok itu mendecak.
Apalagi yang datang malah chat dari Theo si ketua kelas, menanyakan tentang jadwal festival
pensi dan perlombaan kelas.
Jaebi menghela nafas panjang, terlentang menghadap langit-langit kamar. Ia makin merasa
lelah. Lelah fisik juga lelah hati.
Makin hari hubungannya dengan si pacar makin merenggang.
Apalagi gadis itu memang punya sikap manja yang tak suka diabaikan. Jaebi telah
menghubungi sedikit saja ia sudah merajuk. Membuat Jaebi merasa lelah. Kenapa gadis itu tak
bisa mengerti bahwa Jaebi sedang sibuk begini?
Padahal baru aja beda sekolah, belum beda kota. Apa sesusah ini untuk berkomunikasi?
Jaebi menggigit bibir, mengangkat layar hape. Melihat lockscreennya sekarang adalah poto
kebersamaan kelasnya 11 IPA 3 saat kemarin kumpul lengkap di ulang tahun adiknya Hanbin,
Embun.
Karena sekarang yang membuat Jaebi merasa tak sendiri memang teman kelasnya. Memang
sih, isinya manusia-manusia bobrok ampas, tapi biar gimanapun mereka yang membuat hari
Jaebi lebih berwarna.
Malah aneh kalau 2A3 sepi. Jaebi jadi merasa tertekan dan mudah lelah.
Walau ini agak menjijikan dan aneh, tapi harus Jaebi akui 2A3 itu adalah vitaminnya.
Menggantikan sosok sang pacar.
Jaebi menghela nafas sambil membuka galeri. Ia melihat lagi poto yang sebulan lalu jadi
lockscreen hapenya sebelum digantikan poto 2A3 ini. Poto kebersamaan terakhir ia dan Arissa,
si pacar yang sudah setahunan lebih menjalin hubungan dengannya.
Cowok itu tersenyum miris.
Merasa kangen tapi disisi lain merasa tertekan.
Ingin pergi tapi juga ingin mendekat.
Jaebi kembali membuka chat. Melihat tanda read belum juga muncul.
Ia memutuskan menelpon begitu saja. Cowok itu menunggu sampai nada sambung terdengar.
Namun tetap tak ada jawaban.
Jaebi mengernyit, lalu mendecak. Entah sudah berapa kali ia mendecak begini.
Jaebi memutuskan sambungan. Ia diam lama, lalu kembali mengangkat hape membuka kunci
layar.
Matanya melebar melihat angka yang terpampang jelas di layar hapenya.
11.11
Jaebi mengangkat alis. Ia diam lama. Teringat sesuatu.
Sampai kemudian cowok itu menarik nafas dan memejamkan mata.
Mengucap permohonan.
Kalau memang gadis itu masih membutuhkannya, biarkan Jaebi bertahan. Tapi kalau memang
tak bisa lagi, berilah Jaebi cara agar bisa lepas dari perasaan dalam ini.
Jaebi membuka mata. Ia jadi mengubah posisi menjadi duduk. Cowok itu diam lama. Entah
kenapa kepikiran.
Si Selgie lagi apa ya? Apa dia lagi liat jam kembar juga?
Jaebi bergumam sesaat, lalu membuka chatroom si manager futsal yang biasanya ia chat untuk
menanyakan tentang dokumen ekskul.
Jaebi: woi sel, gue liat jam 11 kembar
Tak butuh lama, chat balasan datang.
Chat Jaebi dan Selgie
Dan malam itu, akhirnya Jaebi kembali merasakan tidur nyenyak dengan perasaan lebih ringan
dari biasanya.
Entah kenapa.

***
"Sssssttt sssttt psssttt psssttt..."
Selgie yang memejamkan mata menempelkan pipi ke atas meja jadi menghela nafas
mendengar suara itu. Ia bergumam pelan, "bisa nggak sih ular-ular menjauh dari gue?"
Perempuan berambut sebahu itu tertawa, segera menarik kursi dan duduk ke samping Selgie.
"Gi, bangun dulu," katanya mencolek lengan Selgie.
Selgie mendecak, mengganti posisi tidur menghadap arah berlawanan.
"Eh mau nanya dong," desak teman sekelasnya itu makin merepat. "Woi, Selena! Selena
Gomez!"
Selgie menggeram, akhirnya bangun dan menoleh kesal. "Apasih Joy apa?!" tanyanya galak
pada perempuan berambut sebahu itu.
"Uuu sabar atuh, galak bener," goda Joy cengengesan.
Selgi menggerutu kecil, merasa sebal. "Gue mau tidur elah tadi malam begadang," katanya
mengeluh.
"Ah lo mah jadi tidur malam mulu sejak putus sama Kak Benji," celetuk Joy tanpa dosa
membuat garis wajah Selgie langsung menatapnya tajam.
Joy jadi menyeringai, "eh eh gue tadi sama Hanin ke kantin," katanya memberi laporan,
menyebutkan nama sahabat dekatnya di IPA.
Selgie mendelik, "lalu hubungan sama gue apa?" tanyanya tak paham.
"Di mejanya ada anak 2A3 lain," kata Joy mulai bisik-bisik heboh. "Itu tuh... si Jane."
Selgi mengangkat alis, ia berusaha terlihat datar. "Terus?" tanyanya tak minat.
"Tadi ada Jane sama Hanna. Gue baru pertama kali ngobrol sama Jane," kata Joy bercerita
dengan gayanya yang selalu antusias itu. "Ternyata anaknya baik banget, Gi. Kan kita kira
sombong gitu ya—"
"Dih kita??? Lo aja," potong Selgie segera, merasa tak terima.
Joy mencibir. Menatap Selgie sinis. Pasalnya saat membicarakan kehadiran baru Jane di kelas
11 IPA 3 memang para anak kelas 11 IPS 2 ini ramai-ramai membicarakan. Jane langsung
terkenal di angkatan karena kecantikan gadis itu. Para murid 11 IPS 2 pun kerap kali
mengomentari sikap diam Jane yang terkesan anggun dan classy.
"Terus ya Gi, dia juga lucu," kata Joy melanjutkan. "Apalagi tadi nanya-nanya gue kan gue
merasa jadi dihargain keberadaannya ya bukan cuma tempelan doang di meja itu gara-gara
ngekorin Hanin. Biasanya kalau gue ngikut Hanin atau Erin ke temen mereka tuh pasti gue kek
tambahan doang. Tapi tadi si Jane bikin gue ngerasa nyaman eh Gi. Dia tuh kayak sayang-able
gitu loh."
Selgie masih berusaha menguasai air mukanya. Ia merasa tak nyaman begitu saja. Kenapa
juga Joy harus mengatakan hal-hal tidak penting begini? Jane baik? Jane sayang-able?
Kenapa Selgie harus peduli.
Jadi itu alasan Jevon menyukainya? Ini alasan Jevon langsung 'mengikat' Jane begitu saja?
Berbeda saat bersama Selgie dulu Jevon menggantungi perasannya begitu lama. Tapi saat
bersama Jane, Jevon tak perlu membutuhkan waktu lama.
"Gi, sesekali deh lo teguran sama dia," kata Joy membuat Selgie refleks mendelik.
"Lah buat apa? Jurusan aja beda," kata Selgie mengelak.
"Ya biar nggak ada gosip aneh-aneh itu loh. Orang-orang yang adu domba lo berdua nggak
abis-abis. Kan biar orang tau lo sama Jane tuh akur, nggak ada masalah," kata Joy dengan
gaya sok dewasa.
Selgie mendecih, "bukannya lo ya yang bikin rame gosip aneh-aneh itu?" tanyanya frontal.
Karena memang Joyceline Anggita ini terkenal sebagai kutu loncat sekolah yang hobinya
menyebarkan informasi ini dan itu (re: gosip).
Joy jadi mencibir, "he, gue yang bagian meluruskan ya. Banyak noh orang-orang yang nanya
ke gue tentang lo sama Jepon tapi gue pasti jawab 'please deh Selgie udah move on dan Jevon
juga, stop sangkut pautin Raja dan Ratu sudah beda kerajaan'," katanya dengan gaya
berlebihan khasnya.
Selgie melengos panjang. Gadis itu diam lama, kemudian kembali menoleh dan menatap Joy
curiga. "Elo... nggak ada bahas gue kan pas sama Jane tadi?" tanyanya menuduh.
"Kagak elahhhh," jawab Joy segera. "Yekali lagi ketawa ketiwi terus gue nyeletuk, 'eh Jane
kenal Selgie nggak dulu pernah diphp-in cowok lo tuh'."
Selgie segera menarik rambut Joy membuat gadis itu mengaduh. Selgie menggeram sebal,
"udah deh nggak usah bahas oknum J lagi capek gue," katanya malas. Kemudian berdiri dan
ingin beranjak pergi.
"Lah bentar oknum J berarti nama gue juga dong?" celetuk Joy menunjuk dirinya sendiri.
"Bodo," kata Selgie mencibir, mendorong si jangkung Jelo yang menghalangi jalannya dan
berjalan pergi keluar.
Jelo yang terdorong tak berdaya jadi mendelik sampai berputar memandangi kepergian Selgie.
Ia lalu menoleh pada Joy yang masih di tempatnya. "Lo apain lagi si Selgie?" tanyanya
menuduh.
Di kelas ini memang kalau Selgie sudah ngambek itu dikarenakan Joy kalau nggak Candra, si
badut kelas. Padahal Selgie termasuk orang yang gampang ketawa, sangat receh. Jadi kalau
dia ngambek, biasanya satu kelas yang kena badmoodnya.
"Gue tanyain tentang Jevon," jawab Joy tanpa dosa.
Jelo menghela nafas keras. Kemudian bertepuk tangan pelan, geleng-geleng kecil seakan
kagum.
*

Malam itu Jaebi melengos, mengusap kasar wajah dengan frustasi. Lagi-lagi, Arissa tak bisa
dihubungi seharian.
Tapi dia update instagram.
Rasanya Jaebi ingin berlari ke rumah Arissa. Tapi tadi ia harus bertemu Ezra untuk membahas
festival pensi. Sehingga Jaebi tak punya waktu sampai malam begini.
Jaebi duduk di meja belajar depan laptopnya. Ia harus mengurus data ekskul sekolahnya.
Walau masih terus kepikiran.
Sebenarnya Arissa kenapa sih?
Apa Jaebi sudah buat salah?
Memangnya apa yang sudah Jaebi lakukan?
Lama-lama Jaebi tak tahan untuk tidak mengatakan perpisahan lebih dulu.
Tapi biar bagaimanapun ia pria. Harus jadi peran yang paling bertahan dalam hubungan.
Jaebi merasa tak bisa fokus. Ia pun memilih membuka Mozilla, ingin mencari hiburan ke
twitternya.
Jam segini, jam sebelas malam, timeline sepi. Hanya ada akun-akun official. Akun retweetan
galau. Akun bot retweet jualan olshop. Akun berita. Akun penerbit buku lagi puisi malam. Akun
galau lagi.
Eh?
Selgie?
Jaebi menegak, ia jadi tertawa sendiri. Menyadari sejak tadi yang meretweet akun galau di
timeline adalah Selgie.
Tapi sekarang cewek itu nggak galau.
Lagi main kuis sendirian.
Selenamugie: passwordnya apa? mie sedap white churry tidak kembung di lambung
Selenamugie: passwordnya apa? Kamu lebih memilih dia dibanding aku
Selenamugie: password: irit gesit semakin di depan kayak doi ke gebetannya
Selenamugie: askfm gue passwordnya apa gue lupa TT
Selenamugie: abis re-instal askfm tapi lupa password TT
Jaebi tertawa sendiri. Emang kayaknya melewati jam sebelas malam Selgie tuh bisa berubah.
Padahal di sekolah dia dikenal jadi kakel cantik idaman. Beda kayak Jesya teman kelasnya 11
IPA 3 yang cantik-bobrok, atau Krystal 11 IPS 2 yang cantik-classy.
Masuk deretan most wanted girl, Selgie justru biasa aja.
Ya maksudnya.... Nggak ada something spesial. Dia eksis, tapi auranya beda.
Dia baik, banget. Anaknya ramah dan suka ketawa. Jadi nggak canggung kalau dideketin.
Tapi cewek itu punya sisi lain.
Gemesin.
Nggak jelas.
Nggak jelasnya gemesin.
Jaebi melirik jam di sudut layar laptop. Ia tersenyum, melihat sudah menunjukkan 11:11.
Ia segera mengetikkan sesuatu.
ImJaebi_ : 11:11 PM, semoga Selena Mugie menemukan password otaknya
Tak perlu waktu lama, balasan datang.
Selenamugie: @imJaebi_ ef yu kak Jaebi
Jaebi tertawa sendiri. Ia melihat ke timeline. Cewek itu makin menggila.
Selenamugie: OI OI 11 KEMBAR HUHUHUHU
Selenamugie: wish 11 kembar: Dia.
Selenamugie: oh tuhan... ku cinta dia ku sayang dia, rindu dia, inginkan diaaaaa
ImJaebi_: @Selenamugie tapi dianya nggak
Selenamugie: @imJaebi_ eh bisa diem gak ya gue lagi nyanyi
Selenamugie: bobo aja ada wakil ketos sewotan iyuh, Bye
Jaebi tersenyum. Ia jadi ikut menutup tab twitter, kembali ke urusan OSISnya. Cowok itu masih
terus tersenyum.
Ia diam lama, tapi kemudian meraih hapenya.
Chat Jaebi dan Selgie
Jaebi terkejut sendiri. Keasikan chat tanpa sadar malah sudah ngajak makan bareng.
Ia mengerjap-ngerjap, jadi tak membalas lagi.
Jaebi terdiam begitu saja.
Bentar... apa ini benar?
Kenapa tiba-tiba ia merasa akrab sama Selena?
Tapi, Selgie membawa hal beda. Rasa familiar yang rasanya sudah lama tak ia rasakan.
Sebuah pertemanan.... mungkin?
Jaebi mengangguk sendiri. Hm, Selgie hanya teman. Apanya yang salah?
Chat Jaebi dan Selgie
Jaebi memandangi chat itu sekali lagi. Tanpa bisa menahan garis bibirnya tertarik ke atas sejak
tadi. Ia menggeleng kecil. Heran sendiri kenapa baru sekarang akrab sama orang seasik
Selgie.

***
Selgie bersenandung riang, menyisir rambutnya berjalan keluar kamar. Ia berputar, menari-nari
melewati ruang tengah menuju dapur. Membuat sang adik tunggal, Juwita, melirik dengan
penuh hujatan di kursi ruang makan.
"Mah, stop deh beliin persediaan kopi buat Kak Selena. Dia udah kebanyakan kafein," kata Juwi
sinis.
Selgie yang membuka lemari dapur jadi menoleh, masih dengan ceria. "Mah, who hurt her?
Masih pagi udah judes hadeehhh pantes jomblo," ledek Selgie riang sambil meraih kotak bekal.
Juwi memutar bola mata, "apa yang bisa dibanggain dari seorang gamon?"
"Dih sorry ya gue happehhh," kata Selgie dengan berlebihan, "daripada lo? Ha? Apa? Oh ya
Kak Theonya diambil temen sendiri," sindirnya karena si adik awal masuk sekolah kerap kali
menanyakan sosok Theodoric si kelas 11 IPA 3 pada Selgie.
"MAH KAK SELENA NIH!" amuk Juwi menoleh sebal dan merajuk.
Sang mamah sendiri belagak tak dengar sibuk membuatkan susu untuk keduanya.
"Eh kan kamu sempet sama si anak kelas sebelah tuh, Aryan. Kenapa sih? Nggak jadian ya?
Diphp-in doang?" ledek Selgie makin jadi. "Si Aryan mah emang nggak cari pacar, main-main
doang dia."
"Mamaaaahhh!!!" rengek Juwi makin kesal.
Mamah mendecak, menarik cuping telinga Selgie membuat gadis itu merintih kecil. "Masih pagi,
nggak usah usil!" omelnya membuat Selgie memajukan bibir mengusap-usap telinga.
Perhatian mamah jadi teralih pada kotak bekal di tangan Selgie. "Tumben bawa bekal?"
Selgie mengangkat alis, "ah... ini buat temen," jawabnya ringan, kemudian beranjak ke meja
makan. Masih sempat menoyor kepala Juwi membuat Juwi kembali merengek.
Tapi Juwi juga jadi penasaran, "ngapain kakak bawain bekal buat temen?"
"Dia sibuk, kasian," jawab Selgie meraih roti dengan tenang. Lalu berpikir, "eh enakan selai
strawberry atau kacang?"
"Dia cowok apa cewek?" tanya Juwi mengernyit.
"Cowok," jawab Selgie singkat.
"Kacang."
"Oke," Selgie mengangguk menurut, menarik toples selai mendekat.
Juwi diam, mengernyit. Lalu tersadar, "lah? Cowok?" tanyanya menoleh, "siapa?"
"Kamu nggak kenal," jawab Selgie masa bodoh, mengoles selai di rotinya.
Juwi jadi mendelik, "terus kenapa kakak bawain bekal? Emang dia sespesial itu?"
"Lah kan dia sibuk itu loh nggak sempet makan," kata Selgie mendongak, jadi mengomel sebal.
"Yaudah urusan dia, kenapa kakak sibuk banget?"
"Ya karena kan—" Ucapan Selgie berhenti, membuat mulutnya terbuka seakan memause.
Gadis itu hilang kata sendiri.
Wait.
Kenapa ya.
Selgie membatu. Ia mengerjap-ngerjap, kemudian mengatupkan mulut dan diam sendiri.
Ia lupa. Tadi malam kan Jaebi cuma ngajak ngantin bareng, kenapa Selgie sampai mau buatin
bekal gini gara-gara Jaebi ngeluh sering makan sendirian karena kesibukannya?
Ditambah lagi, pagi ini Selgie merasa lebih semangat dan riang karena akan makan bareng
cowok itu nanti.
Bentar.
Ini ada yang aneh.
"Ohhhhh... gebetan baru?" celetuk Juwi membuat Selgie tersentak.
"Dih nggak," elak Selgie segera, "ya emang napa sih ah sewot banget sih lo," katanya
mendelik.
"Siapa yang sewot? Lo aja yang ngegas," balas Juwi membuat Selgie melotot mengancam.
"Kak ini ada daging ham di kulkas nggak mau pake ini aja?" tawar Mamah membuat Selgie
segera beranjak, berhasil mengalihkan perhatian.
"Iya deh daging aja sama telur," kata Selgie segera ke dapur untuk menyiapkan.
Sementara itu, Juwi mengernyit. Jarang-jarang melihat Selgie sepeduli ini terhadap cowok.
Berbeda dengan Juwi yang cowoknya gonta-ganti (tidak pacaran sih, hanya teman tapi mesra
doang), si Selgie justru jarang baper-baperan. Selgie lebih tomboy, jadi temen cowoknya
banyak. Bahkan dia jadi manager futsal karena sikap tegas dan cueknya. Tapi... siapa cowok
yang buat Selgie jadi rela buatin bekal begini?

*
Jaebi menghela nafas kasar, menempelkan hape ke samping telinga duduk di atas motornya di
depan rumah itu.
"Emang nggak boleh aku jemput? Kenapa langsung pergi?" tanya Jaebi pada si penelpon.
"Sekolah kita cuma dipisahin simpang empat doang. Aku juga biasanya jemput kan? Minggu-
minggu ini aja nggak, itu juga karena kamu yang suruh. Sekarang nggak boleh aku jemput?"
"Ya kamu nggak ngomong kalau jemput," balas suara perempuan di telpon.
"Kamu balas chat aku nggak? Aku langsung datangin kamu karena kamu nggak bisa
dihubungin," balas Jaebi tegas.
"Ya tapi aku masih angkat telpon kamu kan? Kenapa tadi nggak nelpon," jawab si perempuan
tak ingin disalahkan.
"Ris—"
"Udah sana pergi. Nanti kamu telat, nggak usah lama-lama di rumah aku," kata perempuan itu
yang kemudian mematikan sambungan begitu saja.
Jaebi terpaku. Cowok itu terasa tertohok. Ia menurunkan hape, menghela nafas pelan. Jaebi
memasukkan hape ke kantong seragam dan memakai helm kembali. Cowok itu berusaha
mengendalikan diri, memutar motornya dan pergi dari sana.
Dengan hati yang makin terasa patah karena penolakan.

Selgie duduk di anak tangga pinggir lapangan futsal. Ia membuka kotak bekalnya. Ada dua roti
isi telur dan daging dengan satu roti isi selai. Ia meraih isi selai, memegang dengan kedua
tangan dan ingin menggigitnya. Tapi mendengar suara langkah, Selgie menoleh. Melihat Jaebi
datang sendiri. Kemudian mendudukkan diri ke sampingnya.
"Elah kirain nasi goreng seafood apa kek lah ini roti isi doang," keluh Jaebi memandang ke
kotak bekal hijau muda Selgie.
"Dih, kenapa sih? Gue kan nggak buatin untuk lo ngapain lo protes," sahut Selgie galak,
menjauhkan kotak bekal dari Jaebi yang jadi menatapnya masam.
Jaebi mendengus, lalu merunduk menusukkan sedotan ke jus kotakannya.
"Bi," panggil Selgie membuat Jaebi menggumam menjawab. "Ada yang mau lo omongin sama
gue ya?"
Jaebi mengernyit, menolehkan kepala.
"Lo ngajak gue makan bareng gini. Kenapa?" tanyanya ingin tau.
Jaebi diam, tak langsung menjawab. "Em... nggak ada sih," jawab cuek, memandang ke arah
lapangan futsal dengan tenang.
"Terus? Ngapain manggil gue?"
"Nggak tahu. Pengen sama lo aja," jawab Jaebi tanpa beban, masih tak memandang ke arah
Selgie yang melebarkan mata kaget.
Selgie agak mengerutkan kening tak paham. Namun ia tak terlalu memikirkan dan menggigit
roti isinya lagi. Bertepatan ketika melihat dua orang datang.
"Kak Jaebiii!!!"
Jaebi menoleh mendengar sapaan manis itu. Ia lalu tersenyum singkat, "hm, Fai," balasnya
menggerakkan dagu menyapa. Ia melirik pemuda tampan yang datang bersama Faili si adik
kelas.
"Kak, tadi gue udah ke kelas lo tapi lo nggak ada," kata cowok itu, Seno, menjulurkan selembar
kertas ke depan Selgie. "Ini data punya gue ya. Udah kan?" katanya yang memang merupakan
anggota futsal dari kelas X-4.
Selgie menerimanya, membaca sekilas. Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Nanti sore latihan
ya, Sen. Bilangin temen lo si Cakra, kemaren kan dia bolos," ucapnya dengan wajah galak.
Jaebi di samping gadis itu diam-diam menahan senyum melihat Selgie yang sok tegas sebagai
manajer futsal.
"Nah itu kak. Si Cakra katanya jadi takut latihan entar dimarahin Kak Selgie, gitu katanya," adu
Seno tanpa dosa. "Dia mau masuk minggu depan aja. Lagian dia nggak ikut pertandingan
nanti."
Selgie langsung mendelik, "bilangin Cakra, pulang nanti siap-siap aja gue seret dari kelasnya,"
ancamnya dengan serius.
Jaebi jadi terkekeh membuat Selgie menoleh, "sok galak lo."
"Lo diem aja deh, Bi," sahut Selgie menyikut Jaebi di sampingnya.
Faili memekik kecil membuat Jaebi dan Selgie menoleh, "Aku pikir pacarnya Kak Jaebi bukan
anak sekolah sini," ceplos gadis itu tiba-tiba membuat Jaebi jadi mengernyit. Faili jadi
tersenyum menggoda, "ternyata sama Kak Selena toh pacarannya."
Jaebi dan Selgie sama-sama tersentak. Mereka membelalak kompak, refleks menggeleng
bersamaan.
"Oh, nggak kok nggak. Ini lagi pengen makan bareng aja," kata Selgie segera meralat, "Jaebi
mah temen gue."
Jaebi mengangguk setuju, "bukan kok, Fai, bukan," katanya meringis kecil.
"Hm. Lagian Kak Selgie tuh sama Kak Jevon," sahut Seno polos memandang pada Faili. Selgie
langsung melotot.
"Loh? Kak Jevon kan sama Kak Jane," balas Faili tak mengerti.
"Dulu sama Kak Jevon," kata Seno tanpa dosa. Walau berikutnya langsung memekik kaget
karena Selgie tiba-tiba melompat maju dan menabok kepalanya keras.
"Pergi sana lo pergi!" usir Selgie membalikkan tubuh Seno dan mendorongnya paksa.
"Aduhhh iya iya kak," rintih Seno bersungut, menurut pergi.
"Kak Jaebi, Kak Selgie, duluan ya!" pamit Faili melambai, tersenyum lebar lalu berbalik berlari
kecil mengekori Seno pergi.
Selgie mendengus, berbalik dengan wajah berkerut dan kembali duduk ke samping Jaebi yang
memandangi kepergian Faili dan Seno dalam diam.
"Lo masih sering diceng-cengin anak futsal tentang Jevon?" celetuk Jaebi ketika Selgie ingin
meraih roti isinya lagi.
Selgie melengos, "Gitu deh. Si Jevon kan anaknya juga nista-able ya. Jadi kalau dia udah
dibully sama anak futsal biasanya gue diikut-ikutin," kata Selgie lalu mencibir.
"Hm..." Jaebi mengangguk-angguk mengerti, lalu kembali memandang ke bayang Seno dan
Faili yang masih terlihat. Yang tak lama menghilang di belokan koridor.
Menyadari hal itu, Selgie mengernyit. "Napa?"
Jaebi menoleh, lalu mendesah pelan. "Jadi inget Theo," jawabnya pelan, "si Theo kan sering
berantem sama Faili gara-gara Faili deket banget sama Seno," katanya menyebutkan ketua
kelas yang memang kekasih Faili.
Selgie mengangkat alis, "hm... terus?" tanyanya tak mengerti.
Jaebi mendesah lagi. "Gue liat Theo sama Faili berantem mulu. Kayaknya kalau Theo liat
mereka pasti bakal perang lagi," kata cowok itu dengan nada merendah. "Ya... gue jadi
kepikiran aja...." Jaebi diam sejenak, lalu mengalihkan wajah ke arah lapangan dan melamun
jauh. "Kenapa masih pacaran kalau berantem terus?"
Selgie tersentak. Alisnya jadi terangkat tinggi.
"Kita masih sekolah. Pacar itu kan ada buat nyemangatin kita, buat nemenin kita. Tapi kalau dia
jadi alasan kita punya bad day... Kenapa masih bertahan ya?" tanya Jaebi melirih, seakan
bertanya pada diri sendiri.
Selgie tertegun. Ia mengerjap pelan, mulai mengerti. Lalu tak lama terkekeh mengejek, "curhat
lo dalem banget," sindirnya meledek.
Jaebi menolehkan kepala, mencibir pelan tak menyahuti. Wajahnya muram kini.
Selgie merapatkan bibir sejenak, "kenapa nggak lo coba pertahanin aja sih? Lo liat deh si Theo.
Dia biar gimanapun tetep pertahanin si Faili, kan?"
"Udah, Gi," jawab Jaebi lemas. "Berkali-kali. Tapi lama-lama gue sadar gue berjuang sendirian
sekarang." Ia lalu menghela nafas berat. "Theo bertahan karena dia masih punya alasan.
Sedangkan gue... lama-lama semua alasan kenapa gue harus bertahan udah nggak ada."
Selgie jadi melembaskan bahu, entah kenapa terhanyut ikut galau.
Jaebi diam lama. Ia menarik nafas, lalu menghembuskannya panjang. Pemuda itu menolehkan
kepala ke arah Selgie.
"Salah nggak sih kalau gue yang mutusin duluan?"
Selgie melebarkan mata, tak menyangka dengan pertanyaan itu.
"Ya... nggak sopan aja rasanya kalau gue yang bilang putus. Kayaknya, gue yang cowok tapi
gue yang nyerah duluan, gitu," sambung Jaebi dengan dilema. "Walau kayaknya dia udah
bilang putus secara nggak langsung sih..."
Selgie mengerjapkan kelopak mata perlahan. Bibirnya agak terbuka, tanpa sadar terpana begitu
saja.
"Bi..."
Jaebi menoleh, mengernyitkan kening.
"Lo keren," puji Selgie polos, membuat Jaebi jadi mendelik kecil.
Mata Selgie berbinar, "Baru sekarang nih gue nemuin cowok yang bilang gitu, Bi. Lo hargain
cewek banget," kata cewek itu terpukau. Ia lalu menyeringai lebar, entah kenapa geli sendiri.
"Cowok kayak lo ada lagi nggak sih? Mau gue pacarin."
Jaebi tersentak. Ia mengangkat alis tinggi, "pacaran sama gue aja," ceplosnya tanpa beban.
"Lo dah punya pacar," balas Selgie becanda, menggigit roti isinya lagi.
"Yaudah, abis gue putus kita pacaran ya?" kata Jaebi menyamai candaan.
Selgie tertawa, "lo punya mobil berapa ha berani nembak gue?" katanya dengan sengak.
Jaebi mengerucutkan bibir, "ya gue nggak punya apapun sekarang.... Tapi, kalau nanti kita
pacaran, gue punya sesuatu yang paling berharga di dunia," ia menolehkan kepala, menatap
Selgie tepat. "... elo."
Selgie langsung tersedak. Langsung terbatuk-batuk dan mengalihkan wajah, hampir
memuntahkan isi kunyahan dari mulutnya. Sementara tawa Jaebi langsung pecah seketika.
"Eh, kata-kata gue keren banget ya? Anjis besok mau nantang Deny Cagur ah gantiin jadi Raja
Gombal," kata Jaebi sambil tertawa ngakak.
Selgie masih terbatuk-batuk, memukul-mukul pelan dadanya dan mencoba menenangkan diri.
Cewek itu menoleh, menatap Jaebi garang.
"MUSNAH SANA LO!!!!!!!"
Jaebi agak terjatuh dari anak tangga. Masih dengan tawa gelinya. Ia kembali ke posisi awal,
tertawa-tawa memandang Selgie yang mendelik kesal.
"Geli tau Bi ih," kata Selgie menggetarkan tubuh. "Eh lo ngingetin gue sama Candra tau nggak
sih. Kalau gombal gini nih, receh amat."
"Ya sorry gue diajarin Bobi," celetuk Jaebi asal. Menyebutkan teman kelasnya yang punya
julukan Buayanya sekolah.
"Nggak yakin ah gue, elo kayaknya dari lahir udah gini," kata Selgie menuduh.
"Iya, ganteng," sahut Jaebi tanpa dosa.
"Ahh... ternyata bukan malam aja, waketos itu emang sinting," kata Selgie meledek.
"Ya elo sih mancing," kata Jaebi membuat Selgie mendelik. "Gue mah kalau temennya kalem
ya diem. Kalau temennya bobrok ya ikutan, kan biar seimbang."
"Apanya sih ih," Selgie hampir saja mengumpat, jadi gemas pada pemuda ini yang tertawa
ringan.
Bel berbunyi, membuat keduanya tersentak.
Selgie diam-diam melirik kotak bekalnya, tapi berusaha menguasai diri sambil menghabiskan
sisa roti di tangan.
"Duluan ya, gue harus ngOSIS," pamit Jaebi berdiri membawa sampah minuman kotaknya.
"Bi," panggil Selgie sebelum Jaebi benar-benar beranjak. Selgie diam, kemudian menyodorkan
kotak bekal hijaunya. "Tadi lo nggak makan tuh, ambil roti gue aja. Masih banyak."
"Hm?" Jaebi merunduk, memandangi kotak itu. "Nggak usah, nggak papa kok," tolaknya
mendongak, menggeleng singkat pada Selgie yang diam-diam kecewa.
"Gue udah nggak mau, elo aja abisin," kata Selgie beralasan, menyodorkan kotak bekalnya
lebih maju.
"Nggak perlu elah Gi, buat siapa kek temen lo. Atau buat lo entar siang," tolak Jaebi masih
menggeleng.
'Ya tapi lo belum makan,' batiin Selgie menahan untuk tak melontarkan kalimat itu. Kesannya
terlalu peduli.
"Satu aja deh, kasian gue entar lo pingsan lagi," celetuk Selgie asal. Kini membuka kotak bekal
dan menyodorkan pada Jaebi.
Jaebi memandangi gadis itu. Ia akhirnya tersenyum, "iya iya," katanya menurut. Meraih kotak
bekal Selgie dan juga tutupnya. "Buat gue?"
Selgie mengangguk, berusaha menguasai ekspresi wajah tetap datar.
Jaebi menutup kotak bekal lagi, kemudian membawanya. Ia tersenyum, "makasih ya Selena,"
katanya mengerling. Kemudian menuruni tangga dan mulai beranjak pergi.
Selgie memandanginya, tersenyum perlahan. "Iya Justin..." gumamnya pelan, memandangi
kepergian Jaebi yang makin jauh.
Selgie jadi menghela nafas pelan. Entah mengapa merasa aneh.
Kok... nyaman banget ya kalau sama Jaebi? Rasanya pengen lama-lama terus.

***
Selgie mencuatkan bibir, berjalan keluar dari area sekolah dengan malas-malasan. Baru saja
adiknya mengatakan supir tak bisa menjemput, dan Selgie harus pulang sendiri lagi senja itu.
Biasanya sih ia bisa menebeng Jelo, tapi teman sekelasnya tersebut sedang cedera dan tak
menghadiri latihan futsal hari ini.
"Woi kak!"
Panggilan dan tepukan di bahunya membuat gadis itu menoleh, menemukan sosok Seno
datang bersama Cakra.
"Jangan ngelamun maghrib-maghrib gini, ati-ati lo!" celetuk Seno menakuti.
Selgie mendelik, mencibir sebal. "Eh, lo pulang sama siapa?" tanyanya begitu saja tanpa basa-
basi.
"Caka," jawab Seno menunjuk Cakra yang asyik menoleh ke arah belakang sedang saling
melempar ejekan pada beberapa anak futsal. Ya biasalah, si Cakra memang dimanapun
kapanpun selalu punya musuh.
Selgie mendesah, jadi manyun sebal.
"Emang rumah lo dimana?" tanya Seno, "gue cariin deh yang bisa anter."
Cakra jadi menoleh, memandang Selgie. "Elah, kak. Dah gede masa nggak bisa pulang sendiri.
Kan jomblo harusnya mandiri dong!"
Selgie dengan sebal langsung menunjuk lengan pemuda bongsor itu. Rasanya ingin mengulek
kepala cowok itu kesal. Tapi ia jadi mendengus mencoba sabar dan mengucapkan alamatnya
pada Seno.
Cakra melebarkan mata, "lah searah sama Jevon tuh!" pekiknya nyaring, membuat Selgie
mendelik. Begitupula Seno yang jadi tersentak.
Cakra tanpa menunggu sudah berbalik ke belakang, "WOI JEVON! PULANG SAMA SIAPA
LO?"
Selgie mengumpat, benar-benar ingin mencakar Cakra. Walau jadi terdiam dan membeku
melirik Jevon mendekat dengan Hanbin dan Hoshi bersamanya.
"Paan?" tanya Jevon menentang jaket merahnya. "Mau nebeng? Ogah. Rumah lo jauh,"
tolaknya begitu saja, melewati mereka bertiga ingin menyusul Hanbin dan Hoshi yang sudah
sempat pamit pada Selgie dan yang lain mendahuluinya.
"Bukan, ler," kata Cakra menahan lengan Jevon hingga Jevon berhenti. "Nih, Kak Selgie pulang
sendirian."
Jevon jadi tersentak, melebarkan mata dan tertegun. Pemuda itu jadi diam, lalu berdehem tiba-
tiba menjadi kaku dan menoleh pada Selgie yang sedari tadi sudah tak nyaman. "Pulang
sendiri, Gi?" tanyanya dengan perubahan jelas.
Selgie melirik, mau tak mau mengangguk jujur. Seno yang menangkap ekspresi itu merasa
kasihan juga, merutuki Cakra yang kadang tingkat kepintaran dan kepekaan terhadap
lingkungan sekitar memang nol besar.
Jevon merapatkan bibir sejenak, melirik ke arah parkiran. Melihat bayang Hanbin mulai
mendekati motornya. Cowok itu menunggu, memastikan Hanbin sudah memakai helm dan
menyalakan mesin motornya.
"Yaudah, bareng aja. Gue juga sendiri," ajak Jevon membuat Selgie tersentak.
Cakra dengan tenang memandang keduanya bergantian. "Ya dah, gue sama Seno duluan ya!"
pamitnya yang agak mengernyit melihat Selgie menatapnya tajam seakan ingin mencincang-
cincang daging pemuda itu.
"Duluan kak," pamti Seno lebih kalem, langsung beranjak segera diekori Cakra.
Meninggalkan Selgie dan Jevon di lobi depan gedung sekolah.
Selgie mendesah pelan, "Jev..." panggilnya membuat Jevon menoleh seutuhnya. "Nggak papa
nganter gue pulang?" tanyanya dengan tak enak.
"Nggak papa lah. Emang napa?" balas Jevon tenang. "Yuk, keburu maghrib," ajaknya ingin
beranjak. Walau Jevon jadi berhenti dan mengernyit, memandang Selgie yang masih berdiri
ragu.
"Kenapa? Nunggu abis maghrib aja?" tanya Jevon membuat Selgie tersentak. "Yaudah kuy ke
Bu Tiyem dulu, gue juga mau minum dulu," ajaknya menyebutkan nama penjual di warung
depan sekolah.
Selgie merutuk dalam hati, "Jev—"
"Jevon!"
Sebuah panggilan membuat keduanya tersentak.
Terutama Selgie yang merasa melompat kecil mendengar suara familiar itu.
Mereka berdua menoleh ke belakang, menemukan sosok Jaebi melangkah mendekat dari
dalam sekolah.
Wajah Selgie merekah begitu saja seakan melihat seorang superhero yang bisa
menyelamatkannya kini. Ia memandangi Jaebi yang mendekat, sempat memberi lirikan
kepadanya sebelum memandang Jevon lagi.
"Untung lo belum balik. Nanti bilangin sama anak-anak, mereka ada di segmen enam. Masalah
musik sama perijinan udah fix. Gue juga udah daftarin nama grupnya," kata Jaebi kalem.
Jevon mengernyit, "kok lewat gue?" tanyanya bingung.
Jaebi mengangkat sebelah alis, "lah? Bukannya sekarang lo harus ke rumah Bobi buat jemput
Jane yang latihan disana?" katanya dengan sengaja.
Jevon tersentak. Pemuda itu langsung terdiam begitu saja. Tersadar harus ada yang ia lakukan.
Sementara Selgie diam-diam mencoba menguasai diri walau makin merasa tak nyaman.
Jaebi kini jadi menolehkan kepala pada Selgie, "lo kenapa masih disini? Nggak pulang?"
Selgie tersentak, menoleh kaget. "Eh? Ah, anu gue... gue nggak dijemput..." katanya
menjawab.
Jaebi mengangkat alis, langsung paham dengan keadaan. Ia jadi melirik Jevon sesaat, "bareng
gue. Tapi tunggu bentar, masih ada yang harus diurus," katanya tenang, yang membuat Selgie
diam-diam menahan untuk tidak bersorak lega.
"Hm, yaudah Gi sama Jaebi aja," kata Jevon tanpa beban. "Kalau gitu gue duluan ya!" pamitnya
pada Jaebi dan Selgie, lalu berbalik dan mulai melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
Setelah memastikan Jevon benar-benar jauh, Selgie jadi menghela nafas panjang dengan lega.
"Kenapa sih nggak hubungin gue aja?" omel Jaebi begitu saja membuat Selgie menoleh. "Kan
gue juga masih di sekolah. Lo bisa minta gue yang nganter lo. Ngapain minta tolong Jevon?"
Selgie jadi mendelik, "si bocah sialan Cakra tuh yang tiba-tiba bikin Jevon nganter gue pulang!"
adunya tak terima dituduh begitu. "Dari tadi gue juga mikir gimana caranya ngindar."
Jaebi merapatkan bibir, "gue lagi ngurusin dekorasi sekolah untung liat lo dari jauh tahu nggak,"
katanya membuat Selgie memutar bola mata.
"Iya, iya, makasih ya Kak Jaebiiiiii," kata Selgie dengan nada dibuat-buat. Ia lalu mendengus,
"dah ah, mau pulang," katanya berbalik dan ingin pergi.
"Nggak jadi sama gua?"
Selgie berhenti begitu saja, menoleh refleks. "Lah? Emang beneran? Kirain cuma mau bantu
gue," kata gadis itu polos.
Jaebi jadi tertawa, tanpa sadar maju mengacak puncak kepala Selgie gemas. "Ya bener lah!"
kata pemuda itu sambil tersenyum, "tunggu bentar, gue masih harus cek beberapa sudut dulu."
Selgie yang tiba-tiba merasa ada yang aneh jadi mengerjap segera menguasai diri.
"Eh, temenin aja deh Gi. Daripada lo sendirian senja-senja gini, nanti diculik wewe gombel,"
kata Jaebi meracau.
"Cot lo," balas Selgie menoyor kepala Jaebi kesal.
Jaebi malah tertawa lagi, lalu mulai melangkah diikuti Selgie di sampingnya. Pemuda itu melirik,
tersenyum samar memerhatikan wajah cantik gadis itu.
Beberapa saat kemudian, Selgie menoleh sepenuhnya pada Jaebi.
"Gue sadar deh," celetuk Selgie tiba-tiba membuat Jaebi mengernyit.
Selgie menatap cowok itu tepat, perlahan tersenyum meringis. Memperlihatkan gummy
smilenya dengan mata seperti bulan sabit diputar sembilan puluh derajat membentuk eye smile.
"Ternyata ada gunanya ya gue temanan sama lo."

Jaebi menghela nafas berat, membuat Selgie yang memain-mainkan sedotan untuk mengambil
bubble di gelas plastiknya menoleh dengan alis terangkat. Jaebi merunduk, memandangi hape
dengan kelopak mata sendu.
"Cewek lo nggak ada kabar lagi?" tanya Selgie membuat Jaebi menoleh.
"Ck, tau deh," sahut Jaebi tak minat, bersandar di kepala bangku yang ia duduki di taman itu.
Tangan kirinya memegang gelas Bubble Tea dengan menggantung.
Selgie memandangi itu, kemudian mendesah. "Masih ada aja ya spesies cowok kayak lo,"
celetuknya membuat Jaebi mengangkat sebelah alis dan melirik.
"Cowok mah kalau ceweknya nggak ada kabar, udah cari yang baru," kata Selgie mencuatkan
bibirnya.
Jaebi malah terkekeh geli, "elo sering ya digituin?" tanyanya menggoda.
Selgie segera mendelik, "diem deh lo," balasnya dengan sewot.
Jaebi menertawai itu kembali. Hapenya bergetar membuat pemuda itu tersentak dan segera
melihat pesan masuk.
Hanin: he
Hanin: lo putusan ya?
Jaebi tersentak. Alisnya jadi berkerut bingung membuat Selgie dia-diam memerhatikan itu.
Hanin: gue liat cewek lo di mixme
Hanin: gandengan sama cowok
Hanin: perlu gue jambak gak nih buat wakilin elo?
Jaebi terkejut dan menegakkan tubuh. Cowok itu langsung menyentuh tombol telpon,
menempelkan hape ke samping telinga.
"Kapan?" tanya Jaebi segera saat Hanin mengangkat telpon.
"Ini sekarang. Gue lagi sama Joy. Kita di area bawah dia di dekat meja bar," kata Hanin di
seberang sana. "Ck. Elo tuh ya. Dah dibilangin kan? Elo tuh dibegoin. Masih aja sok jadi cowok
setia."
Jaebi mengeraskan rahang, walau sudah biasa dapat omelan begini dari teman-teman
kelasnya. Terutama para cewek yang merasa gemas kenapa cowok itu mau-mau saja
mengemis cinta begitu.
Apalagi Hanindya ini, temannya sejak kecil yang juga satu kelas di 11 IPA 3. Yang sudah
bagaikan kakak perempuan Jaebi sendiri.
"Oke. Gue kesana sekarang. Gue aja yang urus."
Jaebi menutup sambungan, menarik nafas sedalam mungkin dan menghembuskannya. Selgie
di sampingnya menyedot bubble tea dengan wajah polos memandanginya.
Jaebi menolehkan kepala pada cewek itu, "mau ikut gue nggak?"

***
"Jaebi," panggi Selgie menahan lengan Jaebi yang baru selesai menaruh helm, "jangan tubir.
Ini udah malam dan lo masih pake baju sekolah," katanya dengan serius berdiri di samping
motor Jaebi di area parkiran.
Jaebi mengangkat alis, kemudian tersenyum tenang. "Nggak lah, Gi. Gue cuma mau nyelesein
apa yang harusnya selesai dari dulu," katanya dengan kalem.
Selgie mengangkat alis, diam tak melanjutkan.
"Tunggu sini ya," ucap cowok itu beranjak, membuat Selgie pasrah melepaskan pegangannya
pada lengan cowok itu.
Jaebi menarik nafas dalam, melangkah menaiki anak tangga memasuki kafe Mixme. Cowok itu
mencoba mempersiapkan diri. Melewati pintu ia sudah bisa menemukan sosok cantik berambut
panjang yang sedang duduk mengobrol dengan seseorang di depannya dengan santai.
Gadis itu menolehkan kepala, terkejut setengah mati. Ia langsung menarik nafas dan menegak
kaget membalas tatapan Jaebi yang lurus tenang menghampirinya. "Jaebi?" kaget gadis itu
berbisik.
Jaebi justru menarik bibir, tersenyum tipis dan berdiri berhenti di samping meja itu. Ia melirik,
melihat pemuda tampan di depan Arissa mendongak memandangnya dengan pandangan tak
mengenal.
Jaebi menatap Arissa, mencoba menguasai diri. "Harusnya kalau memang udah nggak bisa
lagi, kamu ngomong. Jangan ninggalin gini aja," ucap cowok itu kalem, walau nyatanya
membuat Arissa terdiam seakan dipanah tepat. "Kalau kamu capek sama aku, seleseiin dulu.
Jangan langsung cari yang baru."
"Jaebi-" Arissa jadi diam. Tak tahu harus berkata apa. Terlalu hilang kata. Cowok di depannya
memandangi gadis itu, meminta penjelasan.
Jaebi diam-diam menarik nafas dalam, "makasih buat satu tahunnya," kata cowok itu tegas, lalu
berbalik dan melangkah pergi begitu saja. Ingin segera cepat pergi dari sana.
"Arissa?" panggil cowok yang duduk di depan Arissa, meminta penjelasan.
Arissa yang kebingungan tak menjawab, langsung berdiri dan berlari kecil mengejar Jaebi yang
keluar dari Mixme.
Selgie yang berdiri bersandar di motor sambil bergumam kecil menyanyi-nyanyi jadi menoleh
kaget melihat Jaebi sudah keluar dari kafe secepat itu. Ia jadi menegakkan tubuh melihat
seorang perempuan cantik mengejar Jaebi dan memanggil nama cowok itu.
Selgie memandangi mereka, melihat Jaebi berdiri diam ketika cewek itu berusaha menjelaskan
padanya. Gadis itu mendesah pelan. Pantas saja si Jaebi kayak cinta mati gitu. Pacarnya cantik
banget.
Selgie melebarkan mata saat Jaebi melangkah cepat menghampirinya, meninggalkan gadis itu
yang mulai terisak.
"Ayo pulang, Gi," kata Jaebi dingin, mengambil helm dan segera memakainya.
Selgie segera meminggirkan tubuh, mempersilahkan Jaebi menaiki motornya. Ia melirik Arissa
sekali lagi, tapi segera duduk ke belakang Jaebi.
Tak butuh lama Jaebi sudah menarik gas pergi. Motornya melaju meninggalkan Mixme dan
berbelok ke arah jalan raya besar.
Selgie memekik kencang, memegang pinggang Jaebi ketika merasa kecepatan motor
meningkat drastis. Mata kecilnya melotot, "Woi, woi, Bi! Gue tahu lo emosi tapi inget-inget disini
ada gue woiii!!!" kata gadis itu panik, memukul-mukul bahu Jaebi agar cowok itu tersadar.
Selgie mengangkat alis, ketika motor Jaebi perlahan jadi menepi. Ia jadi mendesah pelan,
mengerti.
"Sorry, sorry. Gue lupa," kata Jaebi menoleh ke belakang, wajahnya terlihat linglung.
"Hn, gue paham kok," kata Selgie menepuk pundak Jaebi. "Gue turun aja ya? Lo butuh sendiri
kayaknya," ucap gadis itu beranjak dan turun dari motor berdiri ke trotoar sampingnya.
Jaebi tersentak dan menoleh. "Ehhh nggak. Nggak boleh. Kan tadi gue bilang gue mau anter lo
pulang," ucapnya menolak tegas. "Sorry sorry gue bawa motornya tadi nggak kekontrol," ucap
Jaebi menyesal.
Selgie jadi menipiskan bibir, "udahlah jangan dipikirin banget. Elo kan lumayan, pasti gampang
lah move onnya," kata gadis itu mencoba menghibur.
Jaebi mengangkat alis menatap gadis itu, kemudian terkekeh membuat Selgie mendelik. "Elo
tuh ngomongin move on kok gampang banget. Elo sendiri udah bisa belum?"
Seugi dengan sebal langsung menggeram, "elo tuh ya. Terus aja bully gue padaha baru aja
putusan," omel Selgie sebal.
Jaebi kembali tertawa, "ledekin lo hiburan buat gue. Kan gue lagi sedih jadi gue butuh hiburan."
"Jadi lo butuh gue?"
Tawa kecil Jaebi berhenti begitu saja. "Hn?"
Selgie juga jadi terdiam. Merasa salah bicara, "eung... hehe." Selgie jadi tertawa kaku membuat
kedua matanya makin menyipit, "Anu-maksudnya-"
Jaebi tanpa sadar tersenyum melihat tingkah cewek ini. "Naik lagi gih. Udah malem," tegurnya
memberi isyarat.
"Bener nih lo nggak pengen sendiri?" tanya Selgie memastikan.
"Iya, Selenaaa," kata Jaebi jadi gemas.
Selgie kembali tertawa kikuk. "Eh, Bi. Daripada galau mending lo beliin gue es krim," kata
Selgie sambil kembali naik ke jok motor Jaebi.
Jaebi tertawa kecil, "besok kalau tim futsal lo menang, bakal gue beliin," katanya membuat
Selgie tersentak.
"Beneran, Bi? Yes!" girang gadis itu saat Jaebi mulai menarik gas kembali. "Tenang, Bi. Nanti
gue kenalin deh lo sama temen gue yang cantik. Eh, IPS 2 tuh terkenal karena diisi cewek-
cewek cakep tahu. Nanti lo ke kelas gue aja tinggal lo pilih nanti gue yang bantuin!" cerocos
gadis itu tanpa henti.
Jaebi tersenyum tipis, tak menanggapi banyak sambil terus memandang ke depan.
"Eh atau lo mau sama temennya adek gue? Anak kelas satu kan cakep-cakep juga tuh
angkatan Juwi ini," kata Selgie lagi.
"Nggak usah repot-repot," kata Jaebi menoleh sesaat, "cukup sering ingetin gue jam 11
kembar, nggak usah cariin cewek lain."
Selgie melebarkan mata, kemudian jadi tertawa. "Cieeee yang sering nungguin 11 kembar,"
goda cewek itu membuat Jaebi mencibir.
"Efek kebanyakan gaul sama elo nih," kata Jaebi menuduh.
Selgie malah kembali tertawa, "sans, Bi. Nanti gue ingetin. Eh, tapi. 11 kembar kan nggak bisa
ngabulin permintaan move on," kata gadis itu menyeletuk, "Bi, Jinnya Aladdin aja udah bilang
dia bisa ngabulin semua permintaa, kecuali perasaan manusia," katanya dengan gaya
menggurui.
"Haha, sialan lo," kata Jaebi tertawa, mengerti sindiran itu.
"Mending lo bikin permohonan semoga besok nggak ujan jadi lapangan futsal nggak becek
karena besokkan final kasian anak-anak gue kalau ujan-ujanan," kata Selgie dengan
menyendu.
Jaebi kembali tertawa, "Asik dong. Bisa liat Jevon basah-basahan."
Selgie langsung memukul helm Jaebi, walau berikutnya jadi kesakitan sendiri. Gadis itu melirik
ke spion, menemukan wajah cerah Jaebi yang tersenyum sambil memandang jalan. Ia jadi
balas tersenyum samar, entah kenapa.

Jaebi mendecak mendengar umpatan kasar Theo. Cowok itu berusaha fokus, walau berikutnya
ia yang mengumpat dan melempar hape kesal ke ranjang yang ia duduki.
Theo mendengus, menolehkan kepala. "Udah gue bilang. Kalau galau jangan ngegames.
Nggak fokus bego," katanya sebal sambil berdiri dari kursi kamarnya. Mendatangi charger untuk
mengisi batrai.
Jaebi melengos keras. Menjatuhkan tubuh ke ranjang Theo dan mengulet sejenak. Ia masih
bingung harus apa. Jaebi tadi segera menyelesaikan semua. Tak ingin masalah ini
berkepanjangan. Berharap lukanya pun juga tertutupi dengan cepat.
Nyatanya tidak.
Siapa yang tidak kecewa dikhianati orang yang paling diharapkan kehadirannya?
Apalagi, selama ini orang-orang di sekitar Jaebi sudah memperingatkan. Tapi Jaebi tetap keras
kepala. Tetap percaya bahwa perasaan mereka masih sama.
Rasanya malu, jadi cowok bodoh seperti ini.
"Masukin motor lo ke garasi, udah malam," kata Theo tenang, merunduk pada hape tanpa
menoleh.
Jaebi melengos keras, kemudian berdiri. "Nggak usah Yong. Balik aja gue," katanya meraih
hape dan jaket di dekatnya setelah setengah jaman tiduran di kamar Theo sambil bemain
games berdua.
"Tidur aja dulu. Gue juga masih ada soal dari Mr Simon. Entar kalau dah enak baru balik," kata
Theo masih santai. Berdiri menuju meja belajar untuk meraih laptopnya.
"Sans mah. Lagian masih jam sepuluhan gini, mending balik," kata Jaebi turun dari tempat tidur.
"Noh, grup kelas lo lagi rame bahas perwakilan pensi."
Theo melengos, "biarin aja," jawab Theo tak peduli. Walau pada nyatanya tiap malam saat mau
tidur ia selalu bertanya pada Hanbin, si penjaga grup aktif, apa saja pembahasan utama hari ini.
Hanbin sebagai wakil ketua seakan sudah naluri memberi tau, bahkan kadang tanpa Theo
menagih ia sudah memberi laporan lengkap.
Jaebi melangkah ke pintu kamar yang terbuka, tapi berhenti dan menoleh.
"Yong, jangan terlalu sibuk."
Theo terkejut, menoleh kaget mendapat teguran begitu.
"Gue kehilangan gara-gara gue nggak prioritasin dia. Nggak enak rasanya, Yong," kata Jaebi
membuat Theo melebarkan mata. "Walau gue yakin lo bisa nanganin Faili, tapi kita nggak tau
pikiran cewek tuh gimana."
Theo menipiskan bibir, agak merasa prihatin pada sosok yang selama ini tegas dan kalem di
kelas ini. Jaebi sudah dianggap jadi seperti kakak kedua bersama Hanin di kelas, jadi tempat
mengadu dan minta perlindungan.
Sekarang Jaebi jelas terlihat terluka seakan hilang arah, bukan Jaebi Imanuel yang biasa Theo
lihat. Biasanya Jaebi tau mana yang salah mana yang benar. Tapi kali ini ia malah
menyalahkan diri sendiri, padahal sudah jelas Jaebi yang disakiti.
"Gimana kalau lo aja yang buka grup kelas?" kata Theo membuat Jaebi yang ingin beranjak jadi
melirik.
Jaebi tertegun, mengerti. Ia mengerjap, yang tak lama hanya tersenyum singkat. "Gue balik,"
pamitnya sebelum keluar kamar.
Jaebi melangkah keluar rumah Theo. Sebelumnya dengan sopan pamit pada ibu dan kakak
laki-laki Theo, menuju motornya yang terpakir di halaman rumah. Cowok itu duduk di atasnya,
sebelum meraih helm ia terdiam agak lama.
Jaebi menarik nafas pelan, kemudian merogoh hape dan memilih mengikuti saran si ketua
kelasnya.
Chat 2a3
Jaebi menipiskan bibir. Jadi mumet sendiri. Orang-orang tuh sadar nggak sih kalau ngetik pakai
capslock yang baca jadi teriak dalam hati? Apa cuma Jaebi doang yang begitu?
Jaebi mendecak. Sudahlah. Nanti aja. Keadaan grup lagi panas. Jaebi juga merasa Hanin
belum memberi tau apapun ke kelas. Sebaiknya nanti saja saat orang-orang seperti Hanbin,
Jevon, Bobi, Haylie, Yoyo, sampai Rosi sudah kehabisan bahan recehan.
Walau sepertinya harus menunggu sampai Jaebi ketemu sosok Selena Gomez beneran.
Eh?
Pemuda itu tersentak sendiri dengan pikirannya.
Ia menoleh ke belakang, melihat jalanan di depan rumah Theo. Tadi langsung lari ke sini
setelah mengantar Selgie karena jarak rumah Theo dan Selgie tak terlalu jauh, bersebelahan
perumahan.
Jaebi agak ragu awalnya, kemudian membuka chatroom lain.
Jaebi chat selgie
Jaebi hampir mengetikkan emoticon senyum. Yang kemudian mendelik pada dirinya sendiri,
segera menghapus dan membalas singkat.
Dalam hati merasa geli saat bersiap pergi.
Apa-apaan sih, dia baru aja putusan masa udah cari pengganti?
Apalagi, Selgie kan cuma temannya.

Anda mungkin juga menyukai