Anda di halaman 1dari 73

CERITA MINI

By:
GRUP OBSESI PENULIS
Kejutan Dari Lili
Oleh: Mariani dan Yuyun Sukarsih

Menunggu, adalah hal yang paling membosankan bagi semua orang. Termasuk Lili,
cewek 20 tahun itu hanya bisa mondar-mandir di taman sambil menunggu seseorang. Jika
punya tanduk, mungkin tanduk di kepalanya sudah muncul pertanda cewek itu siap memarahi
habis-habisan orang yang sudah membuatnya lama menunggu. Sesekali diliriknya jam tangan
besi putih berbentuk kepala mickey mouse, bola mata coklat Lili memutar usai melihat jam yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya itu.
Kekesalan semakin terlihat jelas pada air mukanya. Bagaimana tidak, jam sudah
menunjukkan pukul tiga sore, itu artinya sudah tiga jam Lili menunggu dari waktu yang
dijanjikan.
"Kamu keterlaluan, Eko!" pekik Lili. Kedua kakinya kini dihentak-hentakkan seperti anak
kecil. Isak tangis pun lolos dari bibir mungilnya.
***
Sementara di tempat lain, di tengah jalanan yang ramai dengan berbagai macam
kendaraan, hingar-bingar dan suara klakson yang sengaja mengguncang gendang telinga,
salah satunya telinga Eko. Ya, Eko kini tengah berjuang melawan kemacetan. Pasalnya sudah
dari satu jam yang lalu Eko berada di sana. Tak ada jalan lain, hanya itu satu-satunya jalan
yang harus dilalui. Laju motornya pun hanya bisa dipacu di bawah 20 saja saking ramainya.
Eko hanya bisa pasrah. Pasrah melewati jalanan yang macet dan pasrah menerima omelan
dari kekasihnya, Lili yang saat ini tengah menunggunya. Eko siap menerima segala amukan
dari Lili, toh ini semua memang salahnya.
"Andai saja aku tadi tidak ketiduran," batinnya.
***
Tingkat kesabaran Lili sudah sampai puncaknya. Lili beranjak dari tempat duduknya.
Sebelum melangkah, dihentak-hentakkan kakinya karena kesal sambil membenarkan tali tas
yang tersampir di bahu kanannya. Lili pun meninggalkan taman sambil bibir tipisnya
mengeluarkan makian kecil. Merutuki dirinya sendiri, kenapa dirinya bisa sebodoh itu sampai
harus menunggu tiga jam lamanya.
Setelah bersusah payah Eko menyalip-nyalip kendaraan, akhirnya Eko bisa memacu
motornya lebih kencang. Dalam dua menit saja, Eko sudah menuju taman. Dari kejauhan
dilihatnya Lili sudah berjalan meninggalkan taman, Eko semakin mempercepat laju motornya.
Setelah cukup dekat, Eko menghentikan motornya dan memilih berlari untuk mengejar Lili. Eko

1
sadar, saat ini kekasihnya itu sudah pasti sangat kecewa padanya. Sedari tadi Eko memanggil,
tak dihiraukan oleh Lili. Eko tak putus asa, sedikit berlari, Eko berhasil meraih tangan Lili dan
membuat langkahnya terhenti.
"Maafkan aku, Li," tutur Eko lembut. Napasnya terengah-engah.
Tak ada respon dari Lili, Eko pun menarik Lili lebih dekat dan membenamkan wajah Lili
ke dalam pelukannya. Hal yang sering dilakukan Eko ketika pujaan hatinya itu berada di puncak
emosi. Dengan memeluk dan mengusap-usap kepala cewek itu, emosi Lili perlahan akan
mereda. Benar saja, saat ini Lili membalas pelukan Eko dengan melingkarkan tangannya ke
pinggang Eko. Lili juga mendengar detak jantung Eko yang berdebar lebih cepat karena lelah
mengejarnya tadi. Namun, Lili juga tak bisa berbohong kalau rasa kesal itu masih ada,
dilepaskannya pelukan Eko. Eko hanya tersenyum.
"Maafkan aku, Li. Aku tahu aku salah lagi, aku tadi ...."
"Iya. Aku paham, kok. Tapi kali ini apalagi alasan kamu selain antar mama, lupa, macet
apa ketiduran?" protes Lili.
Eko hanya tersenyum melihat wajah kesal pujaan hatinya. Wajah putih mulus itu masih
terlihat memerah di bagian hidung dan matanya. Eko dengan lembut merapikan anak rambut
Lili yang acak-acakan dan menyampirkannya di belakang telinga Lili.
"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."
"Kemana! aku udah nggak mood lagi ngapa-ngapain," ketus Lili.
"Aku tahu kamu masih marah, tapi aku mohon ya," pinta Eko.
Lili pun mengiyakan. Eko tersenyum senang dan kembali mengusap-usap pucuk kepala
Lili. Diraihnya tangan Lili menuju motornya. Dengan penuh kasih sayang Eko memakaikan helm
di kepala Lili. Tak lama motornya pun dipacu menuju suatu tempat.
Beberapa menit kemudian, Eko memarkirkan motornya. Sebelum ke tempat tujuan, Eko
meminta Lili untuk ditutup matanya dengan sapu tangan. Awalnya Lili protes, karena Lili belum
tahu apa tujuannya dan kenapa matanya harus ditutup. Dengan sabarnya Eko memohon
kepada Lili lagi, dan Lili pun akhirnya setuju juga.
Perlahan Eko menuntun langkah Lili. Setelah sampai Eko membuka ikatan sapu tangan
dan membiarkan Lili membuka matanya perlahan. Beberapa detik kemudian, Lili kaget melihat
apa yang ada di hadapannya.
"Ini? Kamu menemukan tempat ini?" tanya Lili takjub ketika mendapati ia tengah berada
di air terjun Sibohe. Air terjun terlarang. Sudah lama Lili menantikan bisa kembali ke tempat ini.
Dan Eko adalah sasaran utamanya untuk menemukan ini. Akhirnya, selama satu tahun
menunggu, waktu ini pun tiba.

2
"Kamu suka?" Eko yang masih tidak mengerti dengan permintaan aneh kekasihnya
hanya mencoba menanyakan hal itu.
"Su ... ka." Suara berat Lili semakin terdengar. Aura dari air terjun ini begitu kuat hingga
menarik kekuatan hitam yang sesungguhnya masuk ke tubuh Lili. Mata Lili yang awalnya coklat
berubah menjadi merah. Rambutnya yang hitam sebahu kini memanjang membentuk dandan
hingga jejak ke tanah. Begitu pula pakaiannya yang berubah menjadi gaun berwarna hitam
merah panjang.
Eko melotot. Menyaksikan sendiri pemandangan aneh. Ia mundur hati-hati. Namun
sebuah senyuman sinis dari Lili berhasil membuat cowok itu tak bergerak. Lili menghembuskan
kekuatan serbuk debunya ke sekitar, guna penghalang penglihatan manusia. Sehingga mereka
tidak akan menemukan tempat ini.
"Li, Lili ... kamu?"
"Ya. Aku adalah dewi penjaga air terjun terkutuk ini."
"Tapi, kamu ...," Eko kehabisan kata-kata. Yang ia tahu selama ini Lili adalah manusia
biasa sama sepertinya. Dan dewi penjaga? Menurutnya hal ini hanyalah mitos.
Lili mendekati Eko. "Maafkan aku, Ko." Lili memeluk Eko yang masih membeku. Eko
menangis seraya tersenyum.
"Sekarang, aku tahu semuanya. Aroma ini menghipnotisku. Membuatku tahu dosa besar
yang memang harus kutebus," ujarnya dalam hati.
Perlahan-lahan tubuh Eko mengeras menjadi batu.
"Karena ayahmu telah membunuh suamiku. Maka, saatnya kamu yang membayar
nyawanya. Maafkan, aku ...."
Lili mencoba menatap Eko terakhir kalinya. Jujur, meskipun ia membenci keluarga Eko.
Tapi, entah kenapa tetap saja rasanya sedikit berat.
"Maafkan aku, Lili."
Prang!!
Tubuh Eko pun hancur menjadi kerikil-kerikil kecil. Perlahan, air terjun terlarang tersebut
berbinar-binar. Arusnya pun menjadi laju. Tanaman di sekitar kembali mekar.
"Air terjun ini, hilang dari kutukan. Pengorbananmu tidak sia-sia, Eko."
***

3
Sebuah Akhir
Oleh: Ferindi Ningtias dan Rinjani Magenta Jannahve

Ruangan itu remang bahkan hampir berkesan gelap, pengap, dan berbau anyir. Sebuah
suara gesekan pelan baju dengan lantai menghilangkan kesunyian yang sesaat lalu sedikit
mencekam.
"Kau sudah sadar rupanya."
Sebuah suara yang mengiringi terbukanya pintu ruangan tersebut terdengar dingin.
Lelaki di ambang pintu itu tampak sedang memainkan pisau lipat di tangan. Ia mendekat, lalu
dengan gerakan cepat menorehkan sayatan baru di tubuh Gyan yang tergeletak tanpa daya.
"Sudah kukatakan, jangan pernah berhubungan dengan gadis itu!" Kali ini ia menginjak
pundak Gyan.
"Hen ... hentikan!"
"Hentikan? Oh, tidak. Aku selalu senang mendengarmu merintih, memohon. Kau tahu
itu."
"Robin ...."
"Ya?"
"Kumohon."
"Apa permohonanmu?"
"Lepaskan aku."
"Apa?"
"Ku ... kumohon, kita akhiri saja."
Wajah Robin mendadak merah padam, dadanya naik turun dengan cepat.
"Kau ingin ini berakhir?" tanya Robin seraya menginjak dada Gyan dengan kuat.
"Rob!" Gyan terbatuk, darah mengalir dari mulutnya.
"Baiklah. Jika kau tak ingin bersamaku lagi, maka kau tak boleh bersama dan dimiliki
siapapun. Termasuk gadis itu. Karena kau, seperti janji kita, adalah milikku. Kau hanya milikku,
Gyan."
***
Semesta, 21 November 2017

4
Ziliaris
Oleh : Thresia Alfina dan Dini

“Iieeel!” teriak seorang gadis cantik, langsung memeluk Nuriel yang baru keluar dari
ruang operasi tanpa mempedulikan pandangan orang lain yang tertuju pada mereka.
“Sofie, kenapa nggak nunggu aku jemput di bandara?” tanya Nuriel dengan tampang
cemberut.
“Aku kan nggak mau merepotkanmu, Dokter Nuriel.” Gadis itu mengembungkan pipinya
manja.
Nuriel yang gemas dengan sepupunya itu, lantas mencubit kedua pipi cuby gadis itu.
“Kau sama sekali nggak berubah Sofie. Tetap menggemaskan seperti dulu.”
Sofie menepis tangan Nuriel dari pipinya. “Aku memang selalu cantik. Seperti dulu,” ucapnya
dengan bangga.
“-Dan, menyebalkan,” lanjut Nuriel, membuat gadis itu kembali mengerucutkan bibirnya.
Nuriel terkekeh melihat tinggah Sofie dan langsung mengacak pucuk rambut gadis itu gemas.
Mereka terkekeh, lalu berjalan menuju kantin rumah sakit dengan Sofie yang mengelayut di
tangan Nuriel manja.
Tanpa mereka sadari. Berjarak tidak jauh. Seorang gadis berseragam putih, tengah
menatap mereka berdua dengan sorot tajam dan tangan yang terkepal kuat.
Malam ini, Nuriel mengajak Sofie berkenalan dengan calon istrinya, Eliza. Eliza adalah
gadis manis yang ia kenal beberapa bulan lalu di rumah sakit. Saat tiba di rumah Eliza, Sofie
terkejut melihat kediaman gadis berkaca mata itu. Bagaimana tidak. Saat mereka baru
memesuki ruang tamu, rumah bernuansa hitam itu menampilkan banyak lukisan-lukisan aneh
yang terpampang di setiap sudutnya. Belum lagi ruang makan yang di hiasi dengan banyak
lilin-lilin kecil, justru membuat suasana menjadi lebih menyeramkan. Dan... Bau-bau aneh yang
membuat Sofie kehilangan selera makannya.
Dalam perjalanan pulang. Sofie memaksa Nuriel menemaninya makan, karna ia sangat
lapar sekarang. Suasana di rumah Eliza benar-benar membuatnya tidak bisa menelan satu
sendok makanan pun.
“Aku bingung, deh. Gimana bisa kamu makan dengan lahap dalam suasana seperti itu,”
ucap Sofie salmbil kembali menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
Nuriel hanya nengerutkan dahinya. “Maksud kamu?” tanyanya bingung.
“Memangnya kamu nggak menciun sesuatu yang aneh, tadi. Aku saja sampai tidak bisa
menelan secuil makanan pun,” ujar Sofie.

5
“Bau seperti apa? Aku tidak mencium bau apa-apa.”
“Aneh,” guman Sofie, namun masih bisa terdengar oleh Nuriel.
“Apa yang aneh?” tanyanya.
“Bukankah gadis itu, Eliza maksudku. Eliza Bathory? Bukankan dia gadis yang aneh.
Kamu yakin akan menikahi gadis seperti dia? Dia berbeda sekali dengan Rac-“
“Sofie ...,” potong Nuriel. “Dia memang memiliki kebiasaan yang sedikit unik. Tapi El
adalah gadis yang baik. Kau tau aku hanya seorang diri. Hanya punya punya kau dan Racel
dalam hidupku. Tapi kau memutuskan untuk tinggal di luar negeri, dan setelah kematian Racel.
El adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa tidak sendiri."
Aku memintamu datang, untuk membantu pernikahanku. Bukan untuk menghakimi
calon istriku. Jadi kumuhon, berhentilah berpikir negatif tentang El,” ucap Nuriel panjang lebar.
Sedangkan Sofie hanya mengerucutkan bibirnya.
Hari ini Nuriel mengajak Eliza untuk makan malam di luar. Sedangkan Sofie tidak bisa
ikut. Katanya ia memiliki urusan yang sangat penting. Nuriel menumpahkan segala penatnya
kepada Eliza. Tentang kegiatannya di rumah sakit yang melelahkan akibat salah satu susternya
tiba-tiba menghilang tanpa izin. Dan tentang Sofie yang terus saja membicarakan hal aneh.
Seperti biasa. Eliza menanggapinya dengan banyak senyuman yang membuat Nuriel
tenang, dan memberinya banyak semangat. Nuriel terkejut. Baru saja ia sampai di rumah, Sofie
menyerbunya dengan banyak pernyataan gila.
“Aku mohon, percayalah sama aku. Eliza Bathory bukanlah gadis yang baik. Dia gila!”
“Sofie!” bentak Nuriel. “Kau sudah benar-benar keterlaluan. Kamu nggak punya hak
memfitnah calon istriku,” ucapnya penuh amarah.
“Baiklah, kamu boleh nggak percaya sama aku sekarang. Tapi kamu bisa
membuktikannya sendiri,” ucap Sofie, lalu pergi meninggalkan Nuriel.
Hari sudah beranjak larut. Semenjak pertengkarannya dengan Sofie kemarin malah,
gadis itu tidak pulang kerumah. Nuriel tidak bisa menghubunginya. Sofie hanya meninggalkan
secarik kertas bertuliskan; kalau tidak percaya, lihat dan buktikan sendiri. Sebuah ruang rahasia
di balik tembok. Lukisan Elizabeth Bathory.
Setelah kembali membaca tulisan itu, Nuriel mulai teringat akan sesuatu. Lukisan
Elizabeth Bathory. Ia segera lari menuju mobil, dan memacunya dengan kecepatan penuh
menuju Rumah Eliza.
Sesampainya Nuriel di rumah Eliza. Ia mendapati pintu rumah tidak terkunci. Berkali-kali
ia memanggil gadis itu, tetap saja tidak ada sahutan. Sampai akhirnya Nuriel berdiri tepat di

6
sebuah lukisan seorang wanita. Dan di pojok kiri bawah lukisan itu, terdapat tulisan ‘Elizabeth
Bathory’ di sana. Sial! Harusnya Nuriel sadar akan hal ini.
Nuriel tidak sengaja mendorong tembok itu. Lalu tiba-tiba, tembok terbuka dengan
sendirinya menanpakan ruang yang gelap. Dengan perasaan takut, Nuriel memasuki ruang
tersebut. Matanya terbelak kala mendapati dua orang wanita di sana.
Seorang wanita terbaring tak berdaya di atas kasur putih, bersimbah darah, dan
beberapa bagian tubuh yang tidak lagi berkulit. Wanita itu adalah suster yang menghilang
beberapa hari lalu. Dan ... Sofie. Dengan tangan dan kaki yang terikat, serta mulut yang
tersumpal. Ia seperti sedang berusaha untuk meneriakan sesuatu. Namun saat Nuriel hendak
mendekat. Seseorang memukulnya dari bekang hingga ia jatuh pingsan.
Nuriel mengerjap pelan. Ia merasakan nyeri di bagian belakang kepalanya. ia berusaha
meronta-ronta dengan kaki dan tangan yang terikat kuat.
“Sudah bangun, Sayang?” tanya gadis berkaca mata itu sambil tersenyum. “Kamu gila,
El! Apa yang sedang kamu lakukan? Lepaskan aku!” Nuriel berteriak sambil terus meronta-
ronta.
“Kamu bilang aku gila, Sayang?” Eliza memasang tampang sedih. “Oh, kau sangat
menyakitiku. Padahal aku sangat mencintaimu, Iel.” Eliza melepaskan kaca mata dan
meletakannya di atas meja.
“Eliza Bathory! Kenapa kau melakukan semua ini?!” teriak Nuriel dengan penuh amarah.
Eliza tertawa sinis. “Kenapa kau tidak percaya? Sudah kubilang karna aku mencintaimu.
Sejak pertama kali aku bertemu dengan mu di rumah sakit beberapa bulan lalu, aku langsung
menyukaimu. Karna kau berbau--” Eliza mendekat dan mengendus aroma tubuh Nuriel.
“Darah,” ucapnya sambil tersenyum menyeringai.
“Lalu kenapa kau melakukan ini semua, El? Suster itu. Sofie, lalu aku. Apa yang kau
inginkan?” suara Nuriel melemah. Ia menatap Eliza nanar.
Eliza membalik badan membelakangi Nuriel. “Kamu ingat, Sayang? Pertama kali aku
melihatmu, saat itu kamu baru saja keluar dari ruang operasi. Bau darah segar itu masih begitu
melekat. Aku langsung menyukaimu. Tapi kamu malah bermesraan dengan seorang wanita.
Heum, siapa namanya?” Eliza meletakan tangan di dagu, berusaha mengingat-ingat.
“Ah, iya, Racel. Aku begitu membenci gadis itu karna telah lancang menggoda milikku,”
ucapnya sambil membelai pipi Nuriel. Sedangkan Nuriel hanya menatapnya dengan tatapan
jijik, berusaha untuk mendengarkan penjelasan gadis gila itu.
“Jadi aku mendorongnya. Dari atas gedung rumah sakit,” bisik Eliza membuat emosi
Nuriel meledak.

7
“Jadi, kamu-“
“Iya, aku yang membunuhnya. Aku cemburu padanya yang terus menempel padamu.
dan setelah kematiannya, aku tau kau pasti butuh seseorang untuk menghibur. Aku yang selalu
menemanimu Nuriel! Tapi jalang itu ...,” Eliza menunjuk kearah suster yang sudah tak
bernyawa.
"Dia menatapmu dengan marah saat Sofie memelukmu. Harusnya aku yang cemburu!
Bukan dia. Dia menyukaimu. Dan aku tidak akan membiarkan hal itu.”
Eliza berjalan mendekati Sofie. “Dan jalang ini.” Ia menepuk-nepuk pipi Sofie yang
sudah basah oleh air mata. Sofie hanya menangis dan sesekali berusaha meronta.
“Kamu memang cukup pintar karena berhasil menemukan makna di balik lukisan
Elizabeth Bathory. Andai saja kamu tidak lancang masuk ke sarang psikopat. Mungkin kamu
bisa berumur lebih panjang, tapi kamu sudah memilih jalan ini. Selamat tinggal, calon adik
iparku tersayang.”
Eliza menancapkan pisau ke dada Eliza da dan menariknya turun ke perut, hingga
organ dalam Sofie menonjol keluar. Nuriel yang menyaksikannya hanya bisa terdiam membeku.
Ia tidak bisa mengeluarkan satu kata pun.
Eliza kembali menyeringai, dan melangkah mendekati Nuriel. “Aku menyukaimu.
Mungkin bermain-mian denganmu akan jauh lebih menyenangkan.”
“Agrhh!!!” teriakan nyari Nuriel menggema di setiap sudut ruangan, kala pisau yang
masih berlumur darah segar itu menancap tepat di jantungnya. Eliza menyeringai sambil terus
menancapkan pisau ke bagian tubuh Nuriel yang lain. Ia menjilat pisau tajam berlumur darah
itu, lalu kembali menyeringai. “Darahmu memang yang terbaik."

..AND..
Sekedar pengetahua : Elizabet Bathory merupakan salah satu bangsawan melegenda di Eropa.
Dia merupakan wanita terkejam dalam sejarah. Yang telah membunuh 650 orang, untuk
memuaskan hasratnya.

8
SAYAP-SAYAP UNTUK TERBANG
Author : Neng Rifa & Wildan Pratama

Sering sekali menemui tulisan seperti ini HARAP TENANG SEDANG UJIAN. Tulisan itu
seperti hal horor yang menjelma menjadi bayang-bayang menakutkan dalam pikiran para
siswa/mahasiswa dan atau setiap orang yang akan menghadapi tes. Yang namanya UJIAN
pokoknya horror bagi kebanyakan orang.
Tak jarang para pelajar yang melakukan SKS (Sistem Kebut Semalam) demi
mempersiapkan ujiannya. Sebelum menjalankan ujian nasional, banyak sekali bimbingan,
simulasi dan lainnya dalam mempersiapkan ujian itu. Lantas bagaimana ujian dalam bidang
kehidupan yang justru menjadi tolak ukur paling benar dan nyata terjadi dan harus dihadapi.
Ini adalah salah satu kisah ujian yang dihadapi Zemi sewaktu mengakhiri putih abu-abunya.
Zemi adalah siswa SMK di Ponogoro dan tinggal di asrama yang menyatu dengan
sekolahnya. Waktu itu tahun 2015, menjelang ujian nasional, sidang prakerin, ujian Kompetensi
serta ujian akhir sekolah. Zemi ditelfon ayahnya agar segera pulang ke rumah. Mendapat kabar
yang tiba-tiba, dan seperti intruksi jendral yang tidak bisa ditolak. Zemi kebingungan harus
melakukan apa.
Zemi ingin sekali fokus untuk menghadapi ujian-ujian di penghujung masa sekolahnya
tapi ia terlalu segan untuk menolak perintah ayahnya. Ia sempat memberanikan diri untuk
menolak mengabulkan permintaan sang ayah, tapi terdengar suara yang semakin meninggi dari
jarak berapa puluh kilometer yang tak sanggup ia bantah.
Akhirnya Zemi tidak memiliki pilihan lain kecuali mencoba meminta izin kepada
pembimbing asrama agar ia bisa pulang hari itu juga walaupun hanya sebentar. Beliau memberi
izin pada Zemi dengan berbagai pertimbangan. Mungkin ini adalah satu-satunya perjalanan
pulang dari asrama ke rumah yang tak bisa ia nikmati. Setelah ia harus memikul beban ujian
akhir masa sekolahnya, kini ia memiliki tambahan berupa tanda tanya besar dari ayahnya.
Setelah melewati beberapa jam perjalanan, sampailah Zemi di rumah yang sama, yang selama
ini ia singgahi namun dengan suasana yang berbeda dari biasanya. Ayahnya menyambut
dengan raut muka serius, mempersilahkannya untuk duduk beristirahat sambil menikmati teh
hangat yang telah disiapkan. Sementara sang ibu duduk di kursi yang tepat di depan ayah.
Suasana semakin asing bagi mereka, seakan-akan ini bukanlah satu keluarga kecil yang
sedang duduk-duduk santai di ruang keluarga. Sebelum suasana berubah menjadi semakin
asing, tanpa basa-basi sang ayah memecah segala kesunyian di ruangan itu.
“Nak, ayah dan ibumu akan bercerai.”

9
Booom! ini seperti ledakan Bom bunuh diri. Zemi menggigit lidah dan tubuh seperti
kehilangan kekuatan. Ia hafal banyak kosakata, tapi tak bisa menjawab sepatah katapun. Ia
cukup cerdas di sekolah, tapi untuk beberapa saat ia tak bisa memikirkan apapun. Ia
mengalami mimpi buruk dengan mata terbuka dan entah seperti apa ia akan mengatasi
semuanya.
Tak seperti ujian sekolah yang bisa diketahui tanggal terjadinya, ujian dalam hidup
datang bahkan tanpa permisi sedikitpun. Menerimanya, menghadapinya dengan pandangan ke
depan seraya berharap pada Tuhan adalah jawaban terbaiknya. Inilah cara yang dilakukan
manusia awam dalam mengungkap rasa yang ia miliki. Ujian yang dihadapi diyakini akan
menjadi sayap-sayap untuk terbang lebih tinggi lagi, meninggalkan bumi yang penuh dengan
hati yang patah.

10
Bukan Jodoh
By: Fairy dan Icha Sischa

"Jangan pernah sekali-kali kamu temui aku lagi!!"


Ria sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Cukup sudah luka yang diberikan oleh
Revan.
"Ri, tunggu!! Maafkan aku."
Ria terus berlari, ia tidak memperdulikan dinginnya air hujan membasahi tubuhnya. Tapi
langkah kakinya tertahan, tangannya ditarik paksa oleh Revan. Lelaki itu membawa tubuh Ria
ke dalam pelukannya.
"Aku janji tidak akan menyakitimu. Berikan aku kesempatan kedua," ujar Revan.
Kesempatan macam apalagi yang harus Ria berikan. Semuanya sudah pernah ia
lakukan. Tapi, lagi dan lagi hanya luka yang di terima olehnya.
"Biarkan aku pergi, Revan."
Ria meletakkan kalung liontin huruf R pemberian dari Revan.
"Aku kembalikan."
Ria akan melupakan Revan. Kebahagiaannya bukan lagi Revan.

11
Airin dan Pentackel Kuni
Penulis : Upil Ganteng dan Widi

Langit senja mulai menurun. Tampak dari kejauhan seorang remaja berlari lari kecil
berusaha mengejar malam. Di tangannya tergenggam lima batang lilin dan korek api. Kakinya
berhenti di depan gubuk tua yang sudah agak usang. Dibukanya pintu rumah dan langsung
berhadapan dengan seorang nenek yang memelototinya. Ah, salahnya sendiri. Pergi seharian
tanpa memberi kabar
"Dari mana, lu?" tanya Mak Kasim saat melihat cucu kesayangannya pulang membawa
lilin. "Itu juga, ngapain bawa-bawa lilin?"
"Apaan sih, Mak. Kepo deh." Tak menghiraukan neneknya, Airin langsung menuju
kamarnya dan segera menutup pintu yang penuh dengan ornamen spongebob.
"Elu mau ngepet, ya?" dengan sisa tenaga tuanya, Mak Kasim menggedor-gedor pintu
kamar cucu pertamanya. "Keluar Rin! Atau mak dobrak nih!"
"Emak sok-sokan mau ngedobrak, emang kuat?" sindir gadis setengah gempal dengan
tompel di pipi kiri dari dalam kamarnya.
Nenek berusia setengah abad dengan kepala yang ditutup ciput berwarna krem itu
berhenti menggedor, "Mmm… enggak juga, sih," lirihnya.
"Makanya, kalo udah tua itu duduk, diem. Jangan kayak gitu. Entar kalo asam uratnya
kumat gimana?"
Di luar kamar, Mak Kasim hanya manggut manggut saat mendengarkan omelan cucu
semata wayangnya tersebut. "Eh, kok malah elu sih yang ngomelin Emak? Kan harusnya gue
yang ngomel!"
"Salah Emak juga, sih, pake ngedengerin omelan Airin," jawab Airin tak acuh.
Mak Kasim meninggalkan kamar Airin dengan bersungut kesal. Tak ada gunanya
berdebat dengan anak bebal macam itu. Sepertinya Airin punya segudang bantahan.
Sementara Airin, dia sibuk menggeser tempat tidurnya menepi hingga hampir mencapai pintu.
Kemarin tanpa sengaja dia melihat sebuah pentacle dengan bahasa Yunani kuno.
Airin selalu tertarik dengan pentacle. Dia merasa ada sesuatu kekuatan ketika dia
menggambar pentacle. Percaya atau tidak, tapi Airin yakin pentacle bisa membuatnya pindah
ke dimensi lain.
"Wow!" kata pertama yang muncul ketika dia berhasil melihat keseluruhan pentacle itu.
Pentacle itu begitu indah dengan ukiran bunga di sekeliling lingkarannya. Sementara bagian

12
dalam pentacle terdapat bahasa Yunani, yang dapat dengan mudah dia baca. Airin suka
mempelajari segala hal tentang Yunani dan Romawi.
Sesuai petunjuk di luar lingkaran, Airin harus meletakkan lima buah lilin di masing-
masing ujung pentacle. Kemudian dia berdiri di tengah pentacle dan perlahan membaca
mantra.
Tak ada reaksi apa-apa setelah satu menit Airin membaca mantra. Dia masih menunggu
dengan jantung berdebar. Kabut putih perlahan muncul dari bawah kakinya, membuatnya
takjub luar biasa. Tak menyangka bahwa dia benar-benar bisa pergi ke dimensi lain.
Saat kabut itu menyelimuti tubuhnya, Airin mulai merasa kedinginan. Seraut wajah tiba-tiba
muncul di hadapannya membuatnya nyaris berteriak kaget.
"Anda belum beruntung. Silakan coba lagi!"
Kemudian secepat munculnya, kabut putih itu pun cepat pula perginya. Meninggalkan
Airin yang terpaku tanpa sempat mengatupkan mulutnya.
"Tiidaaaaaaaaaaaaaakkkk!!!" teriakan Airin melolong di tengah sunyinya malam.
"Airin!! Berisik. Buruan tidur!"

13
Bila Habis Waktu
Oleh : Annisa & Ana

“Cepat sembuh ya, Ayah,” gumam gadis mungil yang kini menggenggam jemari sang
raja tanpa mahkota yang selalu dihormatinya. Gadis itu tertunduk lesu, hampir dua hari ayahnya
terbaring sakit dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.
Tangan mungilnya menyentuh name tag yang menempel di seragam sekolahnya. Dea
Veronica, nama cantik itu pemberian sang ayah. Tanpa terasa air matanya jatuh bergulir di
pipinya yang mulus, dan menjadi pintu keluar untuk meluncurnya kristal bening lainnya. Dia
hanya seorang gadis berseragam putih-merah, melihat wajah pucat akibat demam yang
menyerang ayahnya, dia kalap. Bahkan, Dea sampai tidak bisa tidur nyenyak dua hari terakhir.
Fokusnya hanya tertuju kepada ayah tercinta, dia pun sampai tidak masuk sekolah demi untuk
tetap berada di sisi Wijaya—ayahnya.
Waktu seakan berputar lebih cepat dari biasanya. Tentu saja itu hanya prasangka Dea.
Karena faktanya, waktu tidak bekerja lebih lambat atau lebih cepat dari keseharusan. Akan
tetapi, wajah murung Dea tidak lantas berubah hingga jam besar model modern yang terletak di
kamar Wijaya menunjukkan angka sembilan. Bagaimana Dea bisa menampilkan wajah cerah
sememesona sinar mentari kalau satu-satunya alasan dia bahagia sedang terbaring sakit.
Dea memejamkan matanya. Ada rasa sesak yang mengendap di relung hati hingga
melebur bersama gelisah yang tiada tara. Namun, ketika dia membuka mata, dadanya
mencelos dilingkupi perasaan bahagia.
“Ayah,” ucapnya lirih, “aku rindu ayah.”
Lagi, Dea menangis tersedu tatkala manik teduh sang ayah terbuka sempurna. Dua
hari, hanya dua hari saja sudah cukup membuat Dea merindukan ayahnya. Tidak kuasa
menahan luapan yang begitu bergelora, Dea bermaksud hendak memeluk Wijaya.
“Jangan sentuh aku! Berapa kali sudah kukatakan, jangan pernah menyentuhku!”
“Ayah—“
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Haruskah aku menutup mulutmu agar terdiam,
hah?!” Wijaya menepis kain yang menempel di keningnya, tidak mau menerima perhatian
sedikit pun dari Dea. Kendatipun kepalanya masih berdenyut nyeri, Wijaya tetap bangkit dan
menyibak selimut dengan kasar.
“Ayah, ayah masih sakit. Tetaplah istiraha—“
“Diam! Aku tidak peduli apakah aku sakit atau tidak, bagiku memiliki anak sepertimu
adalah hal termenyakitkan.”

14
Dea terdiam saat kekata bernada tinggi itu terlontar dari mulut sang ayah. Bukan hanya
sekali atau dua kali, Dea sudah sering mendengar banyak penolakan dari Wijaya. Namun,
gadis mungil itu tidak pernah jera. Bagai tersayat sembilu, Dea luruh ke lantai ketika mendengar
perkataan Wijaya selanjutnya.
“Andai saja aku bisa memilih, aku akan lebih bahagia jika kau tidak pernah ada di dunia
ini,” ucap Wijaya, seolah belum puas menggores belati di hati anaknya, Wijaya kembali berkata,
“kalau pun kamu mati, tidak akan ada yang menangisimu, termasuk aku.”
Wijaya berjalan keluar kamar tanpa penoleh sekali pun, tak acuh dengan denyutan di
kepalanya. Bahkan, berjalan pun dia terhuyung-huyung, tapi itu tidak membuatnya menerima
bantuan dari Dea yang keras kepala.
Dea kuekeuh hendak membantu sang ayah, meski berulang kali tangannya ditepis.
“Berikan aku izin sekali ini saja, Ayah. Hanya sekali, biarkan aku membantu Ayah, setelah itu,
aku tidak akan meminta apa pun lagi,” kata Dea. Jemari mungilnya masih menggenggam jaket
yang dipakaikannya saat sang ayah terlelap.
Alih-alih memberi izin, Wijaya kembali menepis tangan yang masih menempel di kain
yang dipakainya. Tanpa ragu, dilepaskannya jaket berbahan jeans itu, dan dilemparkan ke arah
Dea. Lalu, melanjutkan langkah menuruni tangga. Dea kembali terisak sambil memeluk
lututnya.
Semenyakitkan inikah? Bahkan, dia tidak tahu alasan apa yang membuat ayahnya
teramat sangat memebenci kehadirannya. Dia pun ingin seperti anak-anak lainnya. Dia pun
punya banyak hal yang ingin dilakukan bersama dengan sosok seorang ayah. Dea juga ingin
merasakan dijemput setiap kali pulang sekolah. Gadis mungil itu pun ingin merasakan bekal
pemberian ayahnya. Dea ... Dea juga ingin bisa memeluk sang ayah ketika dia mendapat
presatasi di sekolah. Si kecil Dea berhak untuk bahagia walau hanya sebatas main di taman
bersama Wijaya, sosok ayah yang selalu diharapkan akan memeluknya disaat dia rapuh.
Dea menelusurkan pandang ke penjuru rumah besar yang menjadi tempat mereka
tinggal. Perabotan dengan nominal harga yang akan membuat banyak orang merasa silau. Di
kalangan pebisnis, siapa yang tidak kenal Barasetya Wijaya, pengusaha muda yang memiliki
banyak aset berharga. Apalagi Wijaya adalah seorang pemimpin di perusahaan milik keluarga
yang dipercayakan untuk dikelola, dan sekarang perusahaan itu semakin berkembang di bawah
pimpinan Wijaya. Banyak orang menghormati Wijaya, segan terhadap kekuasaan laki-laki
beranak satu yang telah menyandang status duda sejak kelahiran Dea Veronica, puteri
kandung sekaligus satu-satunya orang yang selalu dipandang dengan tatapan dingin.

15
Harta berlimpah, kemewahan membalut, tapi itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Sebab
kebahagiaan yang paling utama adalah kehangatan keluarga.
“Sstt .... Jangan sedih. Mungkin Pak Wijaya sedang lelah saja, Non.”
Dea menoleh, tidak terkejut mendapati sosok Bi Nah di belakangnya dengan wajah
cemas. Bi Nah duduk berjongkok, meraih Dea ke dalam pelukannya.
“Tidak apa-apa. Suatu saat, ayah Non pasti akan menyayangi Non,” kata Bi Nah
menenangkan.
Bi Nah adalah kepala pelayan di rumah Wijaya. Sudah sejak lama dia bekerja di sana,
dan mendapati sikap Wijaya terhadap puterinya yang terkesan cuek bukanlah hal baru. Bi Nah
pun tidak tau tentang sebab perubahan sikap Wijaya. Yang Bi Nah tahu, Wijaya yang dulu
bukan sosok tak tersentuh seperti sekarang.
“Sudah, ya. Yuk, Bibi antar Non ke kamar. Lebih baik Non belajar yang giat, agar nanti
menjadi kebanggaan ayah. Ya?”
Dea mengangguk lemah. Dia semakin sesenggukan ketika jemari Bi Nah menghapus
jejak air mata di pipinya.
**
Seminggu sejak saat itu. Dea masih saja keras kepala menunjukkan kasih sayangnya
pada Wijaya. Dia tak acuh dengan sikap Wijaya yang jelas tidak memeberi respons positif.
Pagi-pagi sekali, seperti kebiasaannya, Dea akan membukakan tirai kamar ayahnya. Siangnya,
sepulang sekolah, dia menyiapkan makan untuk ayahnya dan bergegas mengantar ke kantor.
Malamnya, dia selalu menyiapkan susu dan air putih. Begitu seterusnya. Rutinitas itu tidak
pernah terlupakan oleh Dea.
Tentu saja Wijaya tidak menggubris apa pun yang dilakukan Dea. Baginya, asal Dea
tidak menyentuh dan tidak memanggilnya dengan sebutan ‘ayah’ itu sudah cukup. Diam adalah
hal yang Wijaya pilih.
Sementara bagi Dea, tidak apa-apa dia didiamkan oleh ayahnya. Toh, ayahnya tidak
pernah marah acapkali dia membuka tirai, menyiapkan makan ataupun menyiapkan susu di
malam hari. Ya, meskipun Dea sadar, diamnya sang ayah bukan karena peduli dengan
keberadaannya, tapi karena tidak mau repot menanggapi apa pun itu yang dilakukannya.
Mentari bersinar, menyambut hari baru. Rekahan senyum di wajah Dea kian melebar.
Tidak biasanya dia telat membuka tirai kamar sang ayah. Ah, atau memang Wijaya yang
bangun terlalu pagi. Yang jelas, ranjang telah kosong ketika Dea memasuki kamar tersebut.
Dea asik menikmati semilir angin pagi yang masuk dari balkon yang sengaja dia buka,
pandangannya terarah ke kolam renang dekat taman yang sesekali dipakai oleh ayahnya. Ya,

16
kamar Wijaya terletak di lantai dua, didominasi dengan cat abu-abu. Dea sangat senang,
karena ayahnya tipe laki-laki yang sangat rapi.
Puas menikmati pemandangan, Dea berbalik, terkejut manakala sosok ayahnya telah
duduk di ranjang dengan tatapan tajam mengarah padanya.
“Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu,” ucap Dea.
“Keluar.”
Satu kata bermakna itu meluncur dari mulut Wijaya.
Bukan segera menuruti perintah ayahnya, Dea justru menyunggingkan senyum tipis lalu
berkata, “Ayah, nanti datang ke sekolah, ya. Hari ini pengumuman kenaikan kelas.”
Wijaya bergeming.
Sadar situasi, Dea kembali berkata, “Kalau Ayah tidak bisa hadir, tidak apa-apa. Ayah
pasti sibuk di kantor, kan?”
Tidak ada jawaban. Wijaya memilih memutus pandangan, meraih dasi yang sudah
tersedia di ranjang dan memakainya tanpa mengeluarkan satu patah kata pun. Lalu, bangkit
dan meninggalkan Dea yang masih tetap di posisi yang sama.
Dea meringis. Tidak apa-apa, batinnya.
**
Wijaya merasakan desiran. Entah perasaan apa itu, tapi deguban yang berasal dari
dadanya semakin keras dan berhasil menimbulkan satu rasa yang disebut gelisah. Dia meraih
bingkai foto mendiang istrinya yang sengaja diletakkan di meja kerjanya, dipandanginya foto itu
dengan dahi berkerut. Perasaannya semakin kacau. Baru saja dia akan meletakkan foto itu,
bunyi telepon berdering. Dengan tanpa melepaskan genggaman tangannya pada ingkai foto,
Wijaya menganggkat telepon.
“Ya?”
“Pak, Non Dea kecelakaan. Aduh, Pak, saya bingung harus bagaimana, pihak rumah
sakit meminta seseorang untuk mengisi administrasi. Saya—“
“Saya segera ke sana.” Wijaya segera mematikan sambungan telepon yang dia yakini
dari Bi Nah.
Kaki panjangnya mengambil langkah lebar. Bergegas menuju rumah sakit yang jelas dia tau
letaknya. Jantungnya bekerja kian menggila, detaknya semakin sulit terkontrol. Wijaya
mengabaikan tatapan heran para karyawan, dia melangkah semakin cepat menuju parkiran
khusus petinggi perusahaan.
Laju mobilnya dipercepat. Beberapa kali menyumpah serapah saat terjebak lampu
merah. Dua puluh lima menit kemudian, Wijaya sampai di rumah sakit. Tangan bergetarnya

17
mengetuk meja resepsionist berkali-kali saat menanyakan ruang rawat atas nama puterinya.
Dan betapa terkejutnya Wijaya saat telah sampai di depan ruang itu, tampak Bi Nah meraung
keras.
Saat sebuah brangkar didorong keluar oleh para suster, lengkap dengan kain putih
menutupi bagian atasnya. Tepat pada waktu itu, Wijaya menyadari satu hal, dia telah
kehilangan permatanya.
Rasanya sakit. Sesak. Dia gagal. Bagaskara Wijaya, tidak punya kesempatan kedua
untuk menjadi ayah yang baik untuk Dea Veronica. Andai saja waktu bisa diulang, Wijaya pasti
tidak akan memilih tenggelam dalam lautan kesedihan akibat kematian isterinya sebab
melahirkan buah cinta mereka. Andai saja dia bisa bersikap layaknya seorang ayah, yang tidak
menyalahkan puterinya atas takdir Tuhan. Namun, perandaian tidak ada gunanya, bukan?
Sebab waktu tidak bisa diulang apa pun gantinya.
Wijaya harus menerim kemalangan dihari berikutnya, dia tidak akan bisa lagi diam-diam
memandangi sosok mungil yang selalu membuka tirai. Wijaya tidak akan bisa lagi diam-diam
menikmati makan siang yang dibuatkan puteri kecilnya. Wijaya tidak akan bisa lagi menjadi
pengamat rahasia, yang tanpa disadari siapa pun selalu menjaga Dea dari kejauhan. Tidak ada
yang tahu, sampai dia lengah dan kecelakaan itu terjadi. Bohong kalau dia berkata tidak
menyayangi Dea sama sekali. Dusta kalau dia berkata menginginkan kematian anaknya.
Karena faktanya, orang tua tidak akan benar-benar membenci buah hatinya.

18
TUMBAL
By : Ayni & Dolphine

Gadis itu merapalkan doa-doa yang entah membantunya atau tidak. Kini, ia tengah
berlari sekencang mungkin menjauhi rumahnya. Dunia di matanya tak ada bedanya dengan
neraka yang sering kali orang bilang. Tak ada harapan, tak ada cahaya, tak ada ketenangan,
dan tentunya Tuhan tak ada bersama orang yang ada di dalam sana. Mata penduduk
menatapnya nanar. Mungkin pikir mereka, mana ada seorang gadis muda berlarian seperti
dikejar setan di siang bolong begini? Namun gadis itu sama sekali tak peduli. Peluh ia abaikan,
rasa lelah ia matikan, dan pendengarannya ia lumpuhkan. Kalau dibanding gadis seusianya, dia
termasuk dalam kategori gadis manis yang diperebutkan oleh setiap laki-laki seusianya.
Rambutnya tergerai panjang, tapi sayangnya tak terawat. Matanya lebar dengan bulu
mata yang lentik menambah kesan manis di wajahnya. Bajunya yang terlihat mewah,
memperkuat dugaan kalau dia berasal dari keluarga berada. Tapi mengapa dia kabur dari
rumah?
Gadis itu terus berlari, hingga sampai di jalan raya. Ia menengok ke belakang, takut
nantinya jika sesuatu yang mengejarnya sudah dekat. Saat kaki mungilnya akan menyebrang
jalan, tiba-tiba sebuah mobil sedan melaju dengan kencang dan alhasil menabrak gadis itu.
Tapi aneh, sungguh. Gadis itu sama sekali tak luka, bahkan mobil dari si penabraklah yang
rusak parah.
"Aduh, maafkan saya, Nona. Kau tak apa?" Seorang pemuda keluar dari mobil dan
menanyai keadaan si gadis.
Pemuda itu sempat syok karena mobil bagian depannya penyok. Ia menatap lama ke
arah si gadis, dan menyunggingkan senyum ramah.
"Kurasa kau tak apa-apa. Malah mobilku yang rusak parah, hahaha," katanya, yang
hanya ditanggapi oleh tatapan tak suka dari si gadis.
"Oh ya, aku Joseph. Namamu?" Pemuda bernama Joseph itu menyodorkan tangannya
agar dijabat oleh gadis misterius di depannya. Namun, entah kenapa gadis itu malah diam saja,
lantas bersiap-siap kabur dari hadapan Joseph. Dengan sigap dan agak kurang ajar, pemuda
itu menarik lengan si gadis dan membuat gadis itu tersentak.
"Hei, kau mau ke mana, sih? Buru-buru begitu." Gadis itu melotot menatap jauh ke
depan, yang langsung saja menarik perhatian Joseph. Ia nampak ketakutan dan mencoba
menyembunyikan dirinya.
"Kau kenapa, sih?"

19
"Kumohon! Bawa aku pergi kemanapun!" kata gadis itu sambil berlari masuk ke dalam
mobil Joseph.
Pemuda berumur 19 tahunan itu bingung, lantaran gadis yang awalnya tak peduli
sekarang malah minta diajak pergi. "Kumohon cepatlah! Atau mereka akan menemukanku,"
kata gadis itu lagi seraya meringkuk ketakutan.
Joseph tak punya pilihan, ia pun memasuki mobilnya dan melaju dengan kecepatan
penuh sesuai yang diinginkan si gadis. Dalam perjalanan gadis itu hanya menunduk, menatap
setiap jemarinya. Dan apa yang terlihat di mata joseph adalah hal yang sangat tak lazim.
Tangan gadis itu penuh dengan luka goresan. Kulit putihnya semakin menampakkan
kesan luka sebelum luka di atasnya. "Apa gadis ini orang tak waras?" batin Joseph.
"Kau, jangan mengotori pikiranmu dengan memikirkanku," ketus gadis itu.
"Apa maksudmu?" Joseph berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Mengapa gadis
ini bisa membaca pikirannya?
"Dengan tatapanmu yang seperti itu, orang gila juga akan tahu kau sedang memikirkan
sesuatu tentangku." Gadis itu merobek sedikit ujung gaunnya, kemudian melilitkan pada
pergelangannya.
"Tolong berhenti di sana," perintah gadis itu sembari menunjuk ke arah toko tua di
perempatan. Jika dilihat sekilas keadaan toko itu amatlah mengerikan. Setiap sisi luarnya ada
bercak-bercak darah kering atau mungkin cat merah.
Sebelum gadis itu keluar. Diraihnya cincin yang sedari tadi melekat di jari manisnya.
"Pakai ini, dan jangan pernah temui aku lagi. Jika ada hal aneh menimpamu, cukup
usap cincin ini," perintah gadis itu. Kemudian dia hilang dibalik pintu toko.
"Siapa dia?" tanya Joseph pada dirinya sendiri sambil menilik cincin pemberian gadis
misterius itu. "Raizela," gumamnya.
Di tempat lain, sesosok makhluk tak bermata dengan gigi runcing berusaha mendekati
mobil di hadapannya. Semakin ia berusaha semakin besar kekuatan yang mendorongnya
hingga beberapa kali terjatuh.
"Kurang ajar, gadis itu memilih melindungi korban dari pada hidupnya sendiri, tunggu
pembalasanku!!!" jerit makhluk itu kesal.
Tiba-tiba saja pintu toko terbuka dengan sendirinya. Raizela terkejut bukan main.
Matanya dengan cepat menangkap sosok mengerikan di hadapannya. "Kau mencoba lari dan
melindungi korbanmu?" Makhluk itu menyeringai. "Itu artinya darahmu telah halal untukku,
hahaha," ucap makhuk itu diiringi tawanya yang menggelegar.

20
Seluruh isi toko berputar mengelilingi tubuh mungil gadis itu. Semakin lama pusaran itu
semakin tinggi. Gadis itu mulai meringis dengan luka sayatan di pergelangan tangannya yang
semakin membesar. Mengeluarkan bau anyir dan juga busuk.
Kali ini adalah giliranmu. Kau, dan seluruh keluargamu harus tunduk padaku!!!" Makhluk
itu berteriak lantang.
"Tidaaak!!!" jerit Raizela diiringi rasa perih di bagian belakangnya. Dilihatnya besi
runcing menembus perutnya. Darah segar membasahi lantai toko tua itu. Makhluk mengerikan
itu tertawa dengan keras sebelum tubuh mungil Raizela ambruk.
"Tugas terlaksanakan, Tuan," ucap seorang laki-laki yang tak lain adalah Joseph.
"Hamba patuh padamu, Tuan," sambungnya sambil berlutut di hadapan makhluk itu.
Besi yang menancap kuat di tubuh kaku Raizela dicabut dengan sigap.
"Tak seharusnya kau melepaskan cincin pelindungmu, bodoh," ucap Joseph sembari
meninggalkan toko itu. Makhluk mengerikan itu juga menghilang tanpa jejak usai melahap habis
darah segar di lantai.

21
Gagal
(Menyakitkan, Tapi Lebih Sakit Kau Tak Pernah Memiliki Kesempatan Untuk Membuktikan)
Oleh: Dandelion & Nurma SF

Aku Sania, remaja yang kini telah duduk di bangku terakhir sekolah menengah atas. Di
sekolah yang terletak jauh dari pusat kota, pun juga jauh dari kata istimewa. Teman seangkatan
saja hanya berisikan 11 siswa. 3 laki-laki dan perempuan sisanya.
Bangunan yang catnya telah banyak mengelupas, yang langit-langit atapnya banyak
yang terlepas dan juga ubin yang telah banyak lepas. Miris memang. Ini bukan soal tak ada
sekolah yang lebih bagus di sekitarku, melainkan, jika sekolah yang lebih bagus maka biayanya
juga harus semakin mahal, bukan?
Ada sih memang, bantuan dari pemerintah, tapi itukan cuman buat SPP saja, yang
banyak 'kan lain-lainnya. Lagi pula anak seorang janda yang kerjanya tiap pagi jualan sayur
kangkung keliling desa, mana pantas sekolah di sana.
Yang penting sekolah, tamat SMA. Itu kata emak, tapi tidak bagiku. Aku ingin melihat
luas dunia, menjajal sampai di mana pengetahuan dan kemampuan. Ya, setelah lulus aku
berencana kuliah di luar kota.
Bukan mau sombong, meski hanya berisikan sebelas siswa, tapi aku selalu juara 1 di
kelas dan sering juga memenangkan olimpiade dan macam-macam lomba. Telah banyak yang
kualami, belajar banyaknya ilmu dan pengetahuan, pun juga belajar dari keras garam
kehidupan. Kuputuskan, karena keterbatasan biaya
"Emakku Sayang. Sania, kan, sudah lulus SMA, nih!" ucapku di suatu pagi, sebelum
berangkat sekolah ketika membantu emak menata sayuran di bakulnya.
"Lalu?" tanya emak tanpa berniat mengalihkan tatapan dari sayur kangkung. Emak
memang begitu, kalau pagi begini, posisiku sebagai anak digantikan oleh si kangkung. Tragis
banget, kan?
"Sania mau kuliah lah, Mak! Kita enggak bisa hidup kayak gini terus!" balasku mantap.
Emak tidak juga menjawab, sibuk menata kangkung-kangkungnya. Rasanya, tuh, pengen
mutilasi si kangkung, kalau saja tidak ingat kangkung sebagai mata pencaharian emak.
Aku mengulurkan tangan, berniat menyelami tangan emak. Sudah mau pukul tujuh, harus ke
sekolah, urus berkas setelah kemarin dinyatakan lulus.
"Nanti, ibu kenalkan kamu dengan seorang laki-laki. Menikah saja, tidak perlu kuliah."
Keningku yang hampir menyentuh punggung tangan emak terhenti, mendongak heran. Apa aku
harus kaget? Menikah? Aku saja baru lulus SMA. Menikah tidak pernah ada di kepalaku.

22
Semua ucapan selamat itu menjadi percuma, nilai kelulusan tertinggi seangkatan di
sekolah tidak berarti apa-apa. Emak tetap kukuh dengan pendapatnya, aku tidak boleh kuliah.
Tapi aku, Sania, tidak akan menyerah.
"Mak, Sania minta izin kerja. Ngumpulin uang buat kuliah!" ungkapku.
"Biaya kuliah mahal, Nak! Dua atau tiga tahun kerja pun, ibu tidak yakin uang yang
kamu kumpulin cukup."
Emak benar, tapi itu kalau aku kerja di kampung.
"Sania akan cari kerja di kota, Mak! Penghasilannya lebih besar. Kalau sudah cukup,
Sania bisa daftar kuliah dan kuliah sambil kerja."
Aku tidak ingin emak menolak. Aku tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan hasil
jualan kangkung. Emak harus bahagia, berhenti kerja dan istirahat. Namun, gelengan lemah itu
tetap emak berikan kepadaku.
"Apa Sania tega ninggalin ibu sendirian?" Pertanyaan emak sukses membuatku tak bisa
berkutik.

23
Rahasia Hati Jihan
By: Rizqi Amiroh dan Mutiara Indah Kamuning

"Permisi ... Permisi," kata seorang laki-laki membuyarkan antrean.


"Eh, Mas, tolong dong antre!!! Jangan serobot antean orang. Semua juga pengen daftar
sekolah!!!" bentak seorang gadis manis yang protes. Rasya senyum-senyum mengingat
kejadian awal perkenalannya dengan Jihan. Gadis yang menyebalkan sekaligus tambatan
hatinya sekarang.
Jam pelajaran hari ini sudah berakhir. Rasya mengemasi bukunya dan memasukkan ke
tas. Ia sama sekali tidak bisa fokus selama pelajaran karena gadis di sebelahnya. Gadis itu
membuatnya geram karena bisa tidur selama jam pelajaran terakhir, tanpa ada yang tahu.
“Woy, tiang listrik. Bangun!” Rasya menyikut gadis di sebelahnya kasar.
“Cih, lu ngganggu aja, pohon toge. Asal lu tahu ya, gue lagi bayangin naik kuda berdua
sama pangeran tampan,” jawab Jihan sambil mendelik ke Rasya.
PLETAK. Rasya menjitak kepala Jihan. Membuat gadis itu memegang kepala dan
meringis kesakitan.
“Ingat pacar, woy!” ketus Rasya.
“Gue singlelillah tahu. Lu aja yang ngaku-ngaku pacar gue,” cibir Jihan.
PLETAK. Jitakan kedua dari Rasya mendarat dengan mulus di kepala Jihan.
“Jangan mutar balikin fakta. Lu yang nembak gue duluan!” sungut Rasya.
“Kapan? Gue lupa. Ini gara-gara kebanyakan lu jitak kepala gue. Amnesia, kan jadinya.”
“Terserah gue mau ngapain lu. Kan, lu yang bilang sendiri kalau lu itu milik gue. Udah
ah, malas debat gue. Ntar malam ada waktu nggak?”
“Kenapa? Mau ngajak gue jalan?” Mata Jihan berbinar-binar menatap Rasya.
“Nggak. Gue mau lu bantuin gue.”
"Ok."
“Gue jadian sama lu juga karena gue ngerasa hutang budi, karena lu udah bantuin gue,
Sya, saat gue mau ditampar sama mantan pacar si Jodi brengsek itu,” batin Jihan mengingat
pertengkaran hebat antara Jihan dan Jodi, dan Rasya bak pahlawan yang melindungi Jihan dari
amukan Jodi.
***
Malam ini seperti yang dibilang Rasya. Jihan berangkat ke rumah Rasya tepat setelah
isya. Kedua tangannya menenteng tas yang sangat besar. Kekasihnya itu benar-benar

24
menyusahkan Jihan. Hanya karena badan Jihan lebih tinggi dan lebih besar. Rasya tega
menyuruh Jihan membawa barang-barang berat.
“Dasar, cowok gila!” gerutu Jihan di perjalanan. Langkah Jihan terhenti begitu melihat
mobil ambulan dari arah rumah Rasya. Secepat kilat, gadis itu berlari ke rumah Rasya dan
membuang kedua tas besar itu sembarangan. Tiba-tiba firasat tidak enak menghampirinya. Ia
takut terjadi sesuatu dengan Rasya. Dengan napas yang tersengal, Jihan langsung masuk ke
rumah Rasya. Matanya menyelidik mencari keberadaan Sang Kekasih. Ia memasuki semua
ruangan di rumah Rasya, tapi nihil Rasya tidak ada di manapun.
Pikiran Jihan dipenuhi hal negatif sekarang. Ia takut jika ginjal Rasya sakit lagi. Ia takut
penyakit gagal ginjal akan melukai Rasya lagi. Ia tidak siap jika hal itu sampai terjadi. Mendadak
kaki Jihan lemas, badannya limbung. Ia merasa jika kegelapan semakin menelannya. Dalam.
Lebih dalam sampai ia kehilangan kesadaran.
***
Jihan mengerjapkan matanya berkali-kali. Pupilnya mencoba untuk mengatur
banyaknya cahaya yang masuk ke dalam matanya. Pikirannya kembali memuat kejadian yang
terjadi. Dan tanpa sadar, buliran air hangat turun membasahi kedua pipi tirusnya. Isak tangis tak
bisa terelakkan. Jihan menangis sekencangnya. Sampai sebuah suara membuatnya berhenti.
“Pakai ini,” Rasya mengulurkan sapu tangan baby blue kepada Jihan.
“Rasya, kok lu bisa ada di sini? Tapi, ambulance itu tadi ...”
“Sstt!!” telunjuk Rasya menyentuh bibir Jihan. Mengisyaratkan agar Jihan diam. “Gue
nggak apa-apa. Sekarang gue udah nggak kayak dulu. Itu tadi tetangga sebelah jatuh kepleset
di kamar mandi. Gue ikut naik ambulance, anaknya belum pulang. Jadi, gue yang ngantar.”
Rasya ganti menjelaskan panjang lebar.
“Beneran?” tanya Jihan memastikan. Rasya mengangguk, lalu bertanya, “Mana barang-
barang yang gue minta?”
“Gue buang di jalan.”
“APA!! Haduh, punya pacar kok gini amat, ya. Udah cengeng, nggak bisa diandalin,
bodoh juga.” Rasya menepuk dahinya.
“Maaf,” lirih Jihan. Matanya kembali berkaca-kaca menahan air mata.
“STOP! Oke? Plis, jangan nangis. Muka lu tambah jelek. Bikin gue nggak nafsu makan.”
“Huwa ... Rasya bego, pendek, nyebelin, jahat!”
“Woy, jangan keras-keras. Ntar dikira gue ngapa-ngapain lu,” Rasya mencoba
menenangkan Jihan, tapi Jihan menangis semakin keras.

25
“Oke. Gue kalah.” Rasya mengangkat kedua tangannya. “Jihanku Sayang, udah ya.
Jangan nangis lagi. Nanti bedak –eh maksudku cantiknya luntur, lho. Besok aku ajak shoping,
deh. Jangan nangis lagi, ya, Cintaku.”
"Oke." Jihan langsung tersenyum.
"Sekarang, lu udah sehat, kan? Cepetan bangun, dan bantu gue nyariin barang yang lu
buang!" perintah Rasya. Jihan mengangguk mantap.
***
"Untung tas besarnya ketemu dirawat sama pak Satpam komplek, jadi masih rejeki kita,
hehehe." Jihan cengengesan.
"Syukur deh."
"Buat apa sih tasnya?"
"Buat ngangkut barang yang udah simbok siapin di rumah gue."
"Kok pake tas beginian?"
"Ntar juga lu bakal tahu sendiri, Han."
Sesampainya di rumah Rasya, Rasya pun memasukkan barang-barang yang sudah
dipersiapkan simbok di atas meja. Ada buku tulis, pensil, buku cerita, makanan, peralatan tulis
lainnya, seragam sekolah merah putih, dan mainan.
"Ini buat apa, Sya?"
"Buat anak panti."
"Sebanyak ini?"
"Iya, kenapa? Kaget?"
Jihan hanya mengangguk pelan.
"Lu harus ikut bantu gue bagiin ke anak-anak panti itu."
"Kenapa?"
"Gue pengen berbagi sedikit dunia gue sama lu." Jihan hanya berusaha memahami
Rasya dengan pandangan berbinar, seolah dunia membuat Jihan jatuh cinta berkali-kali tanpa
ampun kepada Rasya. Laki-laki didepannya ini yang awal perkenalannya menyebalkan, lalu jadi
pahlawan, kadang menjengkelkan, namun masih punya sifat dermawan kepada anak-anak
panti.
***
Kicauan burung masih terdengar di sekitar wilayah panti. Anak-anak panti bermain
bersama di halaman saat Rasya dan Jihan tiba di panti Minggu pagi. Anak-anak mengetahui
kehadiran Rasya, lalu berlari dan berteriak memanggil nama Rasya dengan bangga. Jihan
hanya melonggo melihat kejadian itu. Seolah tak percaya bahwa laki-laki yang tidak begitu

26
tampan, tidak begitu tinggi darinya, tidak begitu punya banyak kelebihan ini membuat Jihan
takjub. Jihan hanya mengamati segala kegiatan Rasya di panti. Sesekali Jihan diam-diam
mencuri gambar Rasya dengan memotret kebersamaan Rasya dan anak panti menggunakan
ponselnya.
"Mbak."
Seseorang menyentuh bahu Jihan. Jihan buyar dari lamunannya. Ada seseorang yang
memergoki Jihan yang sedari tadi memperhatikan Rasya dan anak-anak panti di halaman.
"I-iya," sentak Jihan kaget, tangannya menepuk-nepuk dadanya sendiri pertanda bahwa
ia benar-benar kaget.
"Maaf mengagetkan. Pacarnya mas Rasya, ya?" Jihan hanya menjawabnya dengan
senyuman.
"Mbak sudah tahu kalau dulu Mas Rasya dari panti ini?"
"Maksud ibu, Rasya dulu diadobsi dari panti ini?" Ibu Rena, pengurus panti Kasih Bunda
itu hanya menjawab dengan anggukan.
"Rasya dulu diangkat anak oleh keluarga kaya, namun keluarga itu tidak bisa memiliki
keturunan. Itu kenapa Rasya sering kemari, memberikan banyak hadiah kepada adik-adiknya di
sini. Mbak beruntung jika bisa menjadi isteri mas Rasya," ibu panti menepuk-nepuk bahu Jihan.
Jihan hanya tersenyum.
Dari kejauhan seorang perempuan cantik mungil menghampiri Rasya. Hati Jihan seolah
kelu merasakan ketidakrelaannya jika ada wanita lain yang berusaha dekat-dekat dengan
Rasya. Spontan Jihan menanyakan kegelisahannya pada ibu panti.
"Wanita itu siapa bu?"
"Oh, itu Ratna. Sahabat Rasya dari kecil." Jihan hanya mengangguk, tanda ia mengerti.
Ibu panti pun berlalu pamit masuk ke panti. Jihan mendekati Rasya yang asyik mengobrol
dengan Ratna. Rasya sampai tak menyadari kehadiran Jihan, saking terlalu asyiknya
mengobrol dengan Ratna. Mata Ratna menatap ke arah belakang Rasya, Rasya lalu berbalik
melihat arah pandangan Ratna.
"Eh, kamu, sini aku kenalin sama sahabatku, namanya Ratna. Ratna pun mengulurkan
tangannya kepada Jihan dengan ramah.
"Ratna," katanya sambil tersenyum manis.
"Jihan," balasnya. Jihan lalu permisi ke kamar mandi. Tak lama setelah Jihan pamit ke
kamar mandi. Tangisnya pecah. Ia menangis sendirian di kamar mandi. Ada rasa kelu, tak rela,
cemburu atas kedekatan Rasya dengan Ratna. Jihan merasa kalah saing dengan pesona
Ratna. Hingga ada hal yang membuat Rasya berubah seketika di depan Ratna tadi. Rasya

27
memanggil Jihan dengan sebutan aku-kamu di depan Ratna, biasanya gue-elo. Jihan merasa
kehilangan. Dadanya berkecamuk antara hal positif atau negatif.
Jihan, apa yang terjadi denganmu? Bukankah dulu kau berpacaran dengan Rasya
hanya untuk memanfaatkannya agar ada seseorang yang melindungimu dari laki-laki brengsek
seperti Jodi. Lalu kenapa sekarang kamu menangis saat ada wanita lain begitu akrab dengan
Rasya. Apa kau mulai mencintainya terlalu dalam? Bukankah kau akan memutuskan Rasya
saat kau berulang tahun?
"Diam!" bentak Jihan pada dirinya sendiri yang sedari tadi seperti ada suara yang tidak
terima jika Jihan memang mulai mencintai Rasya. Tangan kanannya memegang dinding kamar
mandi, tangan kirinya mengepal memukul-mukul dadanya. Tubuhnya lemas tak berdaya di
sudut kamar mandi, Jihan jongkok lemas bersender tembok. Setelah Jihan agak tenangan.
Jihan memutuskan untuk pulang ke rumah tanpa sepengetahuan Rasya.
***
Keesokan harinya saat Rasya bertemu dengan Jihan di sekolah, banyak pertanyaan
yang diajukan Rasya kepada Jihan.
"Kemarin kemana? Kenapa pulang nggak bilang?"
"Nggak apa-apa, lagi Mens."
"Menstruasi?"
"Iya."
"Kan gue bisa nganterin lu pulang. Tembus ya?"
"Au ah gelap."
"Ngomong-ngomong mens itu enak nggak sih? Rasanya gimana? Apa aja yang keluar?
Sakit atau enak?" berondongan pertanyaan yang Rasya ajukan membuat Jihan malu. Wajah
Jihan memerah bak kepiting rebus.
"Apa sih lu, pagi-pagi pertanyaannya kayak gitu. Makanya jadi cewek biar paham."
"Iya udah, ntar pulang sekolah kita tukeran peran aja. Gue pengen ngrasain Mens,"
goda Rasya pada Jihan.
"Terus gue harus ngarasain mimpi basah gitu?"
"Hooh."
"Ogah!"
"Ssssttttt!! Kalian ini, pagi-pagi malah ngomongin begituan. Dasar sarap," omel Danu
teman yang duduk di belakang mereka berdua. "Udah kalian ngomongin bulan madunya ntar
aja pas udah di rumah ya," sambung Roni teman sebangku Danu. Jihan hanya manyun

28
memandang Rasya berharap tak ada yang menyadari betapa malunya dirinya. Rasya hanya
membalas dengan ketawa ngakak tanpa dosa.
***
"Kita putus."
Kata-kata itu tiba-tiba mendarat langsung dari mulut Jihan, saat Rasya memberikan
kejutan ulang tahun pada Jihan.
"Kenapa? Apa salah gue?"
"Nggak apa-apa, gue pengen fokus sekolah, nggak mau pacaran."
"Lu mutusin gue saat lu ultah? Saat gue sudah nyiapin semua hadiah ini buat lu? Lu
nggak punya perasaan, Han!" bentak Rasya. Rasya lalu meninggalkan Jihan. Jihan menangis
setelah mengucapkan itu semua. Ada kesesakan dan ketidakikhlasan saat sikap itu diambil.
Jihan merasa hampa. Ia seharian mengurung diri di kamar, memastikan hatinya.
***
Siang menjelang sore saat bel pulang sekolah berbunyi, saat itu juga Jihan ingin
mengatakan langsung pada Rasya bahwa ia minta maaf, niat Jihan ingin balikan juga. Setelah
3 hari Rasya tiba-tiba pindah tempat duduk, dan bangku Rasya digantikan oleh Gilang. Bahkan
seluruh kelas mencurigai kepindahan tempat duduk Rasya ada hubungannya dengan putusnya
hubungan Jihan dan Rasya.
"Rasya, kita harus bicara."
"Nggak ada yang perlu kita bicarain. Gue malas debat sama lu."
"Gue cuma mau ngejelasin. Gue mutusin lu cuma ingin meyakinkan perasaan gue kalau
gue benar-benar mencintai lu. Gue pengen kita balik lagi seperti dulu. Maafin gue kemarin."
"Han, nggak segampang itu nyembuhin luka. Nggak segampang itu juga lu mutusin gue
terus dengan entengnya lu ngajak balik lagi. Tenang aja, Han. Gue sudah maafin lu kok. Tapi
maaf, gue nggak bisa balikan lagi sama lu. Gue udah jadian sama Ratna. Semoga lu dapatin
laki-laki yang lebih baik dari gue. Maaf ya, kita masih bisa jadi teman kok."
Jihan terpaku, hatinya remuk seketika. Ada rasa sesal hebat melanda hatinya.
"Gue pamit pulang dulu ya, udah janjian sama Ratna mau jalan." Rasya segera berlalu
meninggalkan Ratna yang masih mematung.
Bahwa ini hatiku. Aku benar-benar telah hancur sekarang. Aku menyesal telah
melepaskanmu. Tadinya memastikan hati ini agar niat baikku menjalin hubungan denganmu ini
benar. Namun aku salah. Melepaskanmu itu adalah kesalahanku terfatal yang tak bisa
kumaafkan. Rasya, terima kasih sudah menyadarkan aku tentang arti sebuah hubungan dan
niat yang baik, bukan niat yang keliru dimana aku telah melakukannya padamu. Maafkan aku.

29
Air mata Jihan menetes tak henti saat ia pulang sekolah. Merenungi dan menyesali
sikapnya sendiri.

30
Another Side Of Love
Oleh : Aizahjung dan Husnul

Aku terisak sementara kelima satria gagah itu menunggu reaksi berikutnya dariku.
Mereka belum sepenuhnya mengerti maksudku menangis seharian ini. Aku menghela lantas
berkata, "Maaf, Bang. Aku sudah jatuh."
Akhirnya aku mengaku. Kuobati rasa penasaran mereka. Nampak saraf-saraf di lengan
abangku merekah. Terbit hasrat ingin meninju.
"Dik, bicaralah yang gamblang! Keparat mana yang membuatmu jatuh?" Abang tertuaku
menyahut. Wajahnya yang kekar tidak menyimpan keakraban sama sekali. Lalu, aku
menggeleng tegas. Tak kusangka sungai di sudut mataku makin menjadi. Banjir sudah!
Abang-abangku yang lain juga semakin gerah. Namun, sebelum mereka bertindak
dengan kejantanan masing-masing, aku mendahului. Kubiarkan kelima pasang manik hitam
yang ramah itu menelusuri wajahku. Paras mereka memang garang tetapi hati kelima abangku
selembut cheese cake strawberry favoritku.
"Bang," ucapku. Selagi kutatap mereka satu per satu, aku menuturkan.
"Aku tidak mampu menjadi manusia yang sama sekali tidak jatuh, Bang. Bahkan, meski
nasihat kalian kujadikan panutan, kodratnya aku memang wanita, Bang. Tidak mungkin tidak
menangis, apalagi tidak terjatuh. Kalian sekarang bisa menyimpulkan bahwa hatiku yang gagah
sudah direnggut lelaki keparat, anggap saja begitu. Tapi, janganlah Bang kalian bersusah
payah menodai tinju kalian demi menjaga adik semata wayangmu ini. Karena, aku memang
payah dan tidak berupaya menjaga amanah kalian semua, Bang."
Hening. Aku mengisi ruang hatiku dengan ketegangan yang memadat dalam ruang
keluarga, tempat kami sekarang duduk melingkar di atas tikar. Paras abang-abangku
memajang rona melas. Mereka serentak perihatin padaku.
Abangku yang termuda, yang paling tampan dan paling bijak mulai berdalil. Aku
berharap ini menjadi dialog pamungkas yang mampu mencairkan ketegangan malam ini.
"Dik, abang semua paham kodratmu. Kau mau memberi kesimpulan yang bertolak
dengan pendapat kami, bukan? Aku tahu, aku paham. Wanita katanya lemah dan perlu
perlindungan. Tapi, jangan jadikan tolok ukur hidupmu, Dik!"
"Kau tahu kenapa kami semua memintamu untuk tidak jatuh? Itu bukan berarti dengan
egonya kami memaksamu untuk selamanya tidak jatuh cinta." Dia menggeleng, lalu diam
sejenak.

31
"Dik, abang-abangmu ini pernah sepertimu. Kami pernah terjatuh, Dik.Tidak sekadar
jatuh saat kami berlatih karate mati-matian, tapi kami jatuh seperti kamu sekarang. Dan nikmat
sakitnya bukan main. Aku yakin kita semua pernah terjatuh dengan kisah yang seratus persen
beda, bukan? Termasuk dengan kisahmu, Dik." Kami mengangguk serentak.
Abangku yang ketiga tiba-tiba menyahut pelan, "Kamu jatuh cinta, Dik?" Tidak kubalas
ratapannya, aku hanya mengangguk sendiri.
"Kalau begitu kamu perlu bangun lagi, Dik. Kamu tidak ditakdirkan jatuh selamanya
pada laki-laki semacam dirinya. Dia sebatas laki-laki musiman di mata kami. Laki-laki seperti dia
tidak pantas kamu perjuangkan. Ayo, Dik, bangun! Abang semua siap menantingmu. Jangan
buat air matamu menitik tak berfaedah, ya!"
Abangku yang kedua menyingkap sisa gerimis di kedua sudut mataku. Lalu, jari
berototnya memainkan sudut runcing di bibirku menciptakan lengkungan baru. Aku berhasil
tersenyum.
"Ayo. Ayo, Dik bangun!" Abangku yang keempat mengulurkan lengan kanannya yang
meliuk penuh serat. Lalu,
Kelima abangku berdiri menanti giliranku. Kutangkupkan jemariku dengan segenap
tenaga di atas telapak tangannya tadi. Akhirnya, aku bangun. Dan aku masih tersenyum.
Selanjutnya, kami saling bergandengan erat seperti tidak ingin saling melepaskan. Jika
divisualisasikan, malam ini adalah adegan sebuah film yang menayangkan bagian dimana
terdapat kasih sayang kelima abang kepada adik semata wayangnya yang jatuh karena cinta.

32
Judul: Jodoh Tak Disangka
Kustina dan Shopi

Langit jingga telah memenuhi angkasa. Namun gadis mungil itu tetap tak mau beranjak
dari persinggahannya. Satu dua wulfdots melewatinya dengan tatapan heran. Dia sudah ingon
pergi, tapi ...
"Hei, kau!" teriak seorang pria di belakangnya.
"Ya?" jawab gadis mungil itu.
"Lihat, aku robot yang baru diciptakan. Hei, ngapain kau disana? Lekas turun dari
kardus jinggamu itu!"
"Baiklah," ucap lirih gadis mungil dengan rambutnya yang dikepang dua.
"Halo adik kecilku!" sapa hangat seorang gadis bernama Fia. Namun, adiknya itu tetap
tak mau berkutik dari mainan robot kesayangannya.
"Hei, berhentilah kau berimajinasi dengan mainanmu itu, sekarang saatnya kau makan!"
ucap Fia dengan nada lebih tinggi. Dan lagi, adiknya itu tetap tak menghiraukannya.
"Lihat, aku membawakanmu sosis. Apa kau masih tak mau makan?"
"Benarkah?" tanya Denis dengan nada antusias.
"Haha, makanlah yang banyak adik kecilku," kata Fia seraya mencubit pipi cabi adiknya
itu.
Ya, hanya ini yang bisa diberikannya kepada adiknya. Sudah 3 tahun sejak ayahnya
meninggal mereka hidup seperti ini. Ibunya yang telah lama meninggalkan mereka pun sampai
saat ini entah dimana keberadaannya. Terkadang, rumah mereka yang terbuat dari kardus itu
terempas oleh angin saat hujan deras.
Fia selalu berpikir akan kehidupannya yang miris ini. Sehari-harinya ia memungut
sampah kemudian dijual dan mendapatkan uang yang hanya cukup untuk kebutuhan perut dia
dan Denis. Sebenarnya fia iri akan kehidupan orang-orang yang jauh beruntung dari dirinya. Ia
sering sekali membayangkan bagaimana ia dapat memakai pakaian yang bagus, makan
ditempat makan yang enak, dan juga pergi ke suatu tempat yang indah yang tak pernah ia lihat
sebelumnya.
Fia sempat ingin memutuskan untuk mengakhiri hidupnya yang hina ini. Ya, baginya
hidup seperti ini adalah hidup yang penuh dengan kehinaan karena tak ada satupun
kenikmatan duniawi yang ia rasakan. Namun, ia teringat akan Denis. Ya, Denis yang membuat
hari-harinya lebih bersemangat.

33
"Denis, maafkan Kakak yang masih belum bisa membahagiakan kamu. Tapi suatu saat
nanti, Kakak pasti akan membuat kamu bahagia, Dek," bisik Fia di telinga Denis saat Denis
tengah tertidur.
Mentari pun tengah memancarkan sinarnya. Tanda pagi hari telah tiba. Fia Bersiap-siap
untuk memungut sampah sebagai aktivitasnya sehari-hari. Ia berpamitan dengan Denis, " Dek,
Kakak berangkat dulu yaa," kata Fia. Denis hanya mengangguk mengisyaratkan iya.
Fia menyusuri jalan demi jalan untuk memungut sampah. Dan kejadian yang tidak diinginkan fia
pun terjadi. Sebuah mobil avanza berwarna silver tiba-tiba menabrak ia dari belakang. Sontak
fia terpelanting jauh dr posisinya. Tubuh fia bersimbah darah. Darah segar keluar dari
kepalanya.
Veri, pengendara mobil tersebut keluar dari mobil kemudian melihat kondisi Fia. Veri
begitu ketakutan. Badannya bergemetar. Ia takut perempuan tersebut mati karenanya. Tapi
nasib berkata lain. Fia masih tetap bernapas kemudian veri langsung membawanya ke rumah
sakit.
Di rumah sakit, Fia diberi perawatan intensif. Sempat dokter mengatakan bahwa tak ada
harapan hidup baginya. Veri benar-benar sangat sedih dan juga sangat benci kepada dirinya
sendiri. Ia telah lalai sehingga jika perempuan tersebut mati, ia menjadi seorang pembunuh.
Dalam hati ia berjanji jika perempuan tersebut sembuh dari masa kritisnya, ia akan menikahi
perempuan tersebut. Ia akan menerima segala kekurangan dari perempuan tersebut. Dan
keajaiban pun terjadi. Fia dapat bangun dari masa kritisnya dan selama sebulan dirawat di
rumah sakit dia dapat sembuh sedia kala. Kemudian sesuai dengan janjinya Veri akhirnya
menikahi Fia dan mereka hidup bahagia selamanya.

34
Aku dan pikiranku
Oleh: Widad Ardina dan Farhan Ramadhan

Malam telah menyapa, terasa sudah letih menghampiri diri ini yang telah membanting
tubuh ke kasur. Lelah, sangat lelah. Dengan riasan yang masih melekat, aku terlelap dalam
tidur tanpa sadar. Jangan tanya bagaimana rupaku? Sungguh berantakan.
Baiklah aku tertidur sudah. Kini ayam telah bersuara dan pagi telah mengganti tugas
malam. Kubangkit dari kasur dan meregang diri. Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan
meninggalkan kamar. Perlahan menuju kamar mandi. Namun apa kalian menyangka tiba-tiba
diseluruh bak mandi ruangan ini penuh akan warna merah, darah?
"A-aaapa ini?!" tanyaku terperanjat dan seluruh badan ini bergetar hebat karena sangat
takut. "Ta--adi malam?" tanyaku mengingat kejadian semalam namun aku hanya mengingat
saat sebelum tidur.
Kulirik jam tak jauh dari sini, tampak jarum pendek itu menunjukkan pukul 7 pagi. Ada
apa ini? Dengan tubuh yang bergetar, aku mencoba masuk dan jongkok melihat sekumpulan
darah tersebut. Dan benar ini darah!
Aku sungguh tak percaya yang terjadi saat ini. Darah? Dari mana datangnya? Seribu
pertanyaan merasuk dalam pikiran gundahku. Tak kusangka pagi ini menjadi sangat
menakutkan bagiku. Dan aku bisa jamin itu darah mayat.
"Hmm, ini aneh! Jika ada darah, berarti ada mayat di sini!?" sekali lagi aku bertanya
pada diri sendiri.
Kemudian kulangkahkan kaki keluar dari kamar menyelidiki dari mana darah ini dan
mengapa bisa ada di kamar mandi. "Bu, ibu kok di kamar Rani ada darah si pagi pagi?"
"Owh kalo itu mah darah ikan yang baru ibu bersihkan tadi," jelas ibu kepadaku dengan
gaya bicara yang santai.
Ternyata tebakanku soal darah mayat itu salah, ternyata hanya darah ikan yg lupa
dibuang oleh Ibu. "Sepertinya aku harus mengurangi menonton film horror nih, biar nggak
menyangka yang tidak-tidak," gumamku sambil melihat Ibu.
Pagi itu Aku kembali ke aktivitasku seperti biasa yakni, menjadi seorang siswi SMA di
kampungku. Di perjalanan lagi-lagi mataku disuguhi dengan hal aneh di jalan, tiba-tiba ada dua
anak laki laki yang jatuh dari kendaraannya tanpa ada gangguan dari pengguna jalan lain. Itu
bukan suatu insiden kecelakaan menurutku. Namun, hanya kelalaian si pengendara.
"Aduhh, aku tambah bingung memikirkannya, lebih baik aku pelan-pelan saja.”

35
Dua kejadian ini menjadi sebuah misteri bagiku. Apakah juga pertanda akan ada
sesuatu yang mengejutkan hari ini.
Akhirnya setelah menempuh kurang lebih 30 menit, aku tiba di sekolah tepat pukul
08.00 pagi. Hariku di sekolah berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan. Satu persatu
pelajaran kulalui dan tiba pelajaran terakhir yakni pelajaran olahraga dengan guru yang
menurutku populer karena prestasinya. Ya, nama guru itu adalah Budi, pernah juara bulu
tangkis tingkat provinsi, volly, renang dan hampir seluruh olahraga ia kuasai. Tapi satu yang
sangat aku suka darinya yaitu leluconnya, yang tak ada habisnya dan menyenangkan sekali.
Contoh nya saja yang paling ku ingat seberat apapun masalah mu jangan di timbang, gak
bakalan laku.
Saat pelajaran berlangsung selama 20 menit ia bertanya, "Anak-anak. Bapak mau
bertanya nih, buah apa yang bikin bahagia?"
Murid-muridpun bingung menjawabnya, tapi terlintas dalam benakkku tuk menjawabnya,
"Pak aku mau jawab. Buah hati ya, Pak".
"Wah benar sekali tapi lebih tepatnya buah cinta murid-murid".
"Hahaha." Lawakannya pun membuat suasana berubah menjadi gelak tawa, dan aku
sangat senang pada saat itu.
Akhirnya bel tanda berakhirnya jam pelajaran terakhir berbunyi sekaligus menandakan
akhir dari sekolahku hari ini.

36
Bersama Berarti Mati
Oleh: Imas Pupu dan Saras Belinda

“Abimanyu, cepat bangun! Ini sudah siang, nanti terlambat ke kampus!” Suara nenek
sudah mulai memasuki setiap sudut kamar Abimanyu. Tapi yang di suruh bangun masih tetap
memejamkan mata, bahkan menggulung tubuhnya dengan selimut tebal.
Nenek yang tak tahan melihat tingkah cucu tunggalnya, segera menghampiri Abimanyu
dengan membawa segelas air dingin dan “Byurr,” air itu tepat mengenai wajah Abimanyu.
“Ah, Nenek. Abimanyu masih ngantuk.” Abimanyu masih sibuk mengucek matanya.
“Lah kamu ini bagaimana to, itu perempuan dari tadi sudah menunggumu di ruang tamu.
Dia bilang mau ngerjain tugas bareng kamu, Nduk.”
“Perempuan? Ah ya, itu pasti Ayu. Abimanyu mandi dulu ya, Nek. Nenek ajak ngobrol
Ayu dulu ya.” Sejurus kemudian Abimanyu segera bergegas ke kamar mandi meninggalkan
nenek yang kebingungan melihat tingkahnya.
****
“Monggo dimakan, Nduk. Abimanyu mandi dulu.” Nenek menyuguhkan beberapa
cemilan dan segelas teh manis, lantas duduk di samping Ayu.
“Iya, Nek. Terima kasih. Oh ya, perkenalkan nama saya Ayu, teman Abimanyu. Maaf
tadi tidak sempat mengenalkan diri.” Ayu tersenyum begitu indah.
“Oh ... Ayu, namanya secantik parasnya. Nenek ini neneknya Abimanyu. Sejak
Abimanyu lahir, dia tinggal bersama nenek.”
“Ayah dan ibu Abimanyu kemana, Nek?”
“Emm, kalau itu ... hmm anu orangtua Abimanyu ....”
“Eh Ayu, maaf lama.” Belum sempat nenek menceritakan orangtua Abimanyu,
Abimanyu telah datang tiba-tiba. Nenek kembali ke dapur, katanya harus masak.
Sementara Ayu masih penasaran perihal keberadaan orangtua Abimanyu. Sebenarnya Ayu
telah berteman lama dengan Abimanyu, sekitar 5 tahun yang lalu saat mereka menduduki
bangku kelas 2 SMA. Dan sekarang mereka masih bersama dalam satu kampus dengan
jurusan yang sama. Ini kali pertama Ayu datang ke rumah Abimanyu, biasanya Abimanyu lah
yang selalu datang ke rumah Ayu.
“Emm, kalau dilihat-lihat struktur bangunan rumahmu sangat bagus, Bi. Arsitekturnya
masih kental dengan arsitektur pedesaan pada umumnya. Ini menjadikan daya tarik tersendiri
bagi rumahmu yang berada di pusat kota seperti ini.” Ayu terus saja membahas tentang struktur
bangunan rumah Abimanyu, sementara Abimanyu sendiri masih sibuk menatap kecantikan

37
Ayu. Sebenarnya ada rasa aneh dalam hati Abimanyu, tapi dia tak tahu rasa apa sebenarnya
yang tengah dia rasakan.
“Hei, Abimanyu Satyagraha jangan melamun kayak gitu, jelek tau.” Berulang kali Ayu
menjentikkan jarinya di depan Abimanyu, tapi Abimanyu masih saja melamun.
“Eh, ma ... maaf, Yu. Ah maaf aku malah melamun,” ucap Abimanyu gugup, setelah dia
sadar bahwa sedari tadi dia sibuk dengan lamunannya.
“Kamu ngelamunin apa sih? Serius bener,” ketus Ayu memalingkan wajahnya.
“Jangan gitu dong, Yu. Maaf maaf.” Abimanyu berusaha membujuk Ayu, dia mencubit
pipi Ayu seperti biasa.
“Aww, sakit. Iya, iya aku maafin. Tapi sebenarnya siapa sih yang suka memenuhi
otakmu sehingga terus saja melamun saat aku berbicara?”
“Kamu, Yu. Kamu yang selalu membuatku melamun. Kamu, perempuan yang sudah
lama bersamaku,” ucapan itu keluar tanpa disadari oleh Abimanyu sendiri, bahkan perkataan itu
sempat membuatnya kaget sejenak. Begitu pun dengan Ayu. Mata mereka saling menatap satu
sama lain. Ada rasa yang sama yang telah lama bersarang di hati Ayu.
“Maksudmu apa, Bi?”
“Sudahlah lupakan, aku hanya sedang banyak pikiran saja. Maaf, Aku ke toilet dulu ya.”
Abimanyu berdiri, bergegas meninggalkan Ayu. Tapi, tangan Ayu mencegahnya pergi. Kini Ayu
pun berdiri, mereka saling berhadapan.
“Aku tahu semua tentangmu, Bi. Tentang kamu yang bahkan tak pernah bisa
menyatakan cinta pada perempuan yang kamu sukai sejak dulu. Kamu yang selalu bilang,
sebuah persahabatan tetaplah persahabatan, tidak boleh ada cinta di dalamnya. Tapi, kamu
salah, Bi. Justru persahabatan antara lelaki dan perempun tidak mungkin jika tidak memendam
perasaan yang lebih satu sama lain. Bahkan dari persahabatan sebuah cinta itu bisa terlahir.
Jujur saja, aku selalu menunggu kamu mengatakan hal ini. Hingga akhirnya, sekarang aku
yakin kamu memang menyayangiku.” Ayu masih menatap lekat mata Abimanyu. Di sana dia
melihat bahwa Abimanyu benar-benar menyayanginya.
“Maaf, Yu. Aku tak pernah mengatakan ini sebelumnya.” Abimanyu tersenyum
membalas tatapan Ayu, bahkan dia memeluk Ayu begitu erat, seperti tak ingin melepasnya.
Beberapa saat kemudian Abimanyu menyadari sesuatu.
“Kita tak bisa bersama, Maaf Yu.” Abimanyu melepas pelukan Ayu, dia bergegas pergi
keluar rumah. Memakai motor dan pergi begitu saja, meninggalkan banyak tanya di hati dan
pikiran Ayu.

38
“Abimanyu mau pergi kemana, Nduk?” Nenek sudah berada di samping Ayu.
“Tidak tahu, Nek. Abimanyu pergi begitu saja. Ayu bingung ada apa dengan Abimanyu?”
Sepersekian detik kemudian Ayu menangis, menutupi wajah dengan kedua tangannya dan
duduk di kursi.
“Ada apa sebenarnya, Nduk? Kenapa kamu menangis?” Nenek segera duduk di
samping Ayu, mengelus rambutnya begitu tulus. Ayu mulai menjelaskan semuanya tentang
yang terjadi barusan.
“Nenek tahu alasan kenapa Abimanyu pergi. Kamu tidak bisa bersama dengan
Abimanyu, akan ada yang mati diantara kalian.”
“Apa yang nenek katakan? Aku akan selalu bersama Abimanyu, Nek. Aku
menyayanginya, bahkan perasaan ini telah tumbuh sejak lama.” Ayu kembali terisak, wajah ayu
nya kini sedikit pudar.
“Nenek tidak bisa menjelaskan lebih jauh, ini rahasia nenek dan Abimanyu, lebih
tepatnya keluarga Satyagraha. Pulang saja, Nduk. Lupakan Abimanyu. Jangan lagi dekati dia.”
Nenek segera berdiri, dia tak ingin orang lain tahu mengenai rahasia keluarga Satyagraha. Tai
langkahnya terhenti, ketika tangannya ditarik oleh Ayu.
“Nek, Ayu mohon jelaskan semuanya, Ayu akan menjaga rahasia ini. Ayu mohon, Nek.”
Ayu terus saja memohon kepada Nenek, dia tidak ingin melupakan Abimanyu atau
menjauhinya. Cinta Ayu terlalu besar kepada Abimanyu.
Dengan berat hati, nenek menjelaskan semuanya kepada Ayu, tapi sebelum Ayu
mengetahui rahasia ini, Ayu dibawa oleh nenek ke sebuah ruangan. Ruangan itu sangat rapi,
dengan cat biru langit yang indah dan dipenuhi banyak lukisan berlatar hitam putih. Ayu sendiri
masih heran lukisan siapa sebenarnya yang terpajang di dinding kamar ini. Di lukisan itu hanya
ada satu lelaki berbagai ekspresi yang wajahnya mirip dengan Abimanyu. Ada sekitar 10
lukisan di kamar itu.
“Itu orangtua Abimanyu.” Nenek menunjuk salah satu lukisan, dimana didalamnya
terdapat seorang lelaki yang seperti merangkul seseorang. Ayu bingung dengan penjelasan
Nenek, mungkin yang dimaksud nenek adalah ayahnya Abimanyu bukan orangtua Abimanyu.
Karena di lukisan itu tidak terdapat ibunya Abimanyu. “Nek, kenapa tidak ada ibunya
Abimanyu?”
“Itulah rahasianya, ibu Abimanyu tidak akan pernah terlihat oleh siapapun, kecuali oleh
Abimanyu sendiri.” Nenek menatap lekat wajah Ayu. Ayu semakin kebingungan dengan apa
yang dijelaskan oleh nenek. Bahkan berkali-kali dia mengernyitkan alisnya. Ayu diajak duduk
oleh nenek di kasur yang ada di ruangan itu. Nenek pun mulai menjelaskan semuanya.

39
“Dulu, sekitar 30 tahun yang lalu ada kisah cinta yang bahkan hanya diketahui sedikit
orang zaman sekarang, kisah cinta yang lebih tragis dari kisah cinta romeo dan juliet. Kisah
cinta antara manusia dan jin, yang tentulah sangat dilarang. Akibatnya akan fatal jika hubungan
itu terjadi. Salah satu dari mereka harus hidup di dunia manusia atau gaib. Maka bisa saja
manusia yang dibawa ke alam gaib atau sebaliknya dan buah hatinya pun harus dibawa
bersama mereka. Kisah cinta ini banyak mendapat pertentangan dari banyak orang, terutama
dari ibu sang lelaki sendiri. Dan ibu itu adalah nenek, sedangkan kisah cinta yang diceritakan ini
adalah kisah cinta antara ayah dan ibunya Abimanyu. Abimanyu keturunan jin, dia tidak akan
bisa menikah dengan siapapun. Karena, perempuan yang nantinya bersama Abimanyu akan
meninggal. Hal ini terjadi karena sebuah perjanjian antara Brames Satyagraha, ayahnya
Abimanyu dan Pravati Maheswari, ibunya Abimanyu. Perjanjian itu melibatkan Abimanyu, jika
ayahnya tidak ingin ikut ke dunia Pravati, maka Abimanyu akan dibawanya. Tapi, jika Abimanyu
yang ditinggal di alam manusia, maka dia tidak bisa menikah dengan siapapun. Itulah sebab
kenapa Abimanyu tidak bisa bersamamu.”
Ayu sempat terkejut mendengar penjelasan nenek, tapi dia berusaha menerima dengan
akal sehat. Cintanya bahkan lebih besar daripada penjelasan yang tak masuk akal ini.
“Pasti ada cara kan, Nek? Agar aku bisa bersama dengan Abimanyu. Beri aku solusi,
Nek,” rengek Ayu.
“Maaf, tidak ada, Yu. Ini sudah perjanjian mutlak, tak ada satu pun cara untuk membuat
kamu bisa bersatu dengan Abimanyu.” Nenek menundukkan kepala, wajahnya terlihat murung.
Ayu hanya diam, tak tahu apa yang harus dilakukan. Matanya kembali mengeluarkan
bulir cinta yang tak sampai. Hingga dia pun mempunyai ide bodoh dan segera saja meminta
kertas beserta pulpen kepada nenek. Ayu menulis surat untuk Abimanyu.
****
Suara motor mulai terdengar memasuki halaman rumah. Sorot lampunya masuk lewat
celah bilik rumah. Seseorang dengan postur tubuh tegap, berkulit putih, hidung mancung dan
mata yang bulat mulai memasuki rumah.
“Kemana saja kamu?” Nenek membukakan pintu, setelah beberapa kali Abimanyu
mengetuk pintu.
“Aku hanya pergi ke taman kota, Nek. Ingin menenangkan sejenak pikiranku. Maafkan
aku, Nek. Aku tak bisa mencegah rasa cinta ini.”
“Nenek mengerti, Nduk. Ayo masuk nenek sudah memasak makanan kesukaanmu. Oh
iya, tadi Ayu mmenitipkan surat ini untukmu.” Nenek meyodorkan sebuah kertas putih kepada

40
Abimanyu.
Sepersekian detik, Abimanyu langsung membuka surat itu.

Untuk yang terkasih,


Abimanyu Satyagraha

Terima kasih untuk 5 tahun ini. Sekarang aku sudah tahu semuanya. Tentang ayahmu,
ibumu dan juga kamu. Maaf, mungkin inilah yang terbaik. Kita tak bisa bersama di dunia ini, tapi
aku berdoa agar di kehidupan berikutnya kita bisa bersama. Aku pergi, jangan tanya aku
dimana, jangan cari aku. Karena aku ada di hatimu. Semoga kamu selalu sehat, Abimanyu.

Yang menyayangimu,
Ayu Anandita Raqilla

Abimanyu sangat kaget membaca surat itu. Dia kembali keluar, mencari Ayu. Dari mulai
ke rumah Ayu, ke rumah saudara sampai ke rumah teman-teman Ayu tapi tak ada satu pun
yang mengetahui Ayu dimana. Bahkan ibunya Ayu sedari tadi menelepon Ayu dan nomornya
tidak aktif. Pencarian Abimanyu terus dilakukan, dia pun mencari ke tempat dimana selalu dia
habiskan bersama Ayu. Padang rumput yang terhampar luas dan di sisi kanan ada jurang yang
tinggi. Abimanyu segera memacu motornya untuk pergi kesana. Dia mencari Ayu ke setiap
sudut padang rumput tersebut, tapi nihil dia tidak menemukannya. Hingga akhirnya dia melihat
jasad Ayu di dasar jurang. Ayu telah meninggal, sejam sebelum Abimanyu datang ke tempat itu.

41
Maaf, Cinta
Oleh: Tsamarataa dan Sumiyati

*Senin, 17 Agustus 2016*

Gadis itu mendengus. Sekarang adalah pembagian pasangan ospek di kampusnya,


namun, namanya belum disebut juga. Ia melihat ke arah barisan senior yang juga belum
disebut namanya. Tak ada wajah yang ia kenal. Semuanya terlihat suram. Tak lama, sayup-
sayup namanya terdengar lewat speaker.
"Selanjutnya pasangan ke 26, Mutiara Indah Kamuning dengan Aryanto."
Gadis tadi, Mutiara pun, mulai celingukan mencari senior dengan nametag 'Aryanto' itu. Dan
begitu ketemu, ia langsung menghampiri Aryanto. Pemuda bernama Aryanto ini lumayan tinggi,
dengan rambutnya yang ikal dan kacamata itu seharusnya ia terlihat culun, namun, di mata
Mutiara sosok Aryanto ini malah terlihat agak tengil, dan ehm, sok cool.
"Jadi, kau yang bernama Mutiara? Kenapa nametag-mu ..., " Aryanto nampak melirik
nametag Mutiara.
"Mika itu nama panggilanku." jawab Mutiara singkat.
"Oh," lalu ia melanjutkan, "namaku Aryanto, but you can call me just Aryan," sahut Aryan
singkat.
"Sok inggris," desis Mutiara sangat pelan.
"Apa katamu?" Tapi ternyata, Aryan mendengarnya. Pendengaran yang cukup bagus.
"Ah tidak, aku tak bicara apapun kok."
"Ah, baiklah terserah kau. Aku tak mau memperdulikannya. Oh iya, Mutiara."
"Mika," ralat Mika.
"Ck, iya Mika. Eum, baiklah karena kita akan berpasangan selama ospek seminggu ke
depan. Jadi, mohon kerja samanya, ya," ucap Aryan acuh tak acuh.
"Hmm, baiklah. Aku juga mohon bimbinganmu," jawab Mika singkat.
***
Ya. Begitulah perkenalan singkat Mika dengan Aryan. Tidak ada yang istimewa. Karena
memang, mulanya, tidak ada yang Mika kagumi dari seorang Aryan dengan penampakannya
yang seperti itu. Rambut kribo, jangkung, berkacamata, dan cerewet. Mulanya. Penegasan.
Mengapa 'mulanya'? Ya, karena bukankah, tak ada yang tahu kisah kehidupan seseorang
selanjutnya?

42
Begitu pula dengan Mika. Tak ada yang sadar pada perubahan batin Mika. Bahkan diri
Mika sendiri. Tak ada yang sadar bahwa sesuatu tentang Aryan telah menyelip di sela-sela
hatinya. Sesuatu yang tumbuh seiring semakin akrabnya mereka. Seiring lebih mengenalnya
mereka satu sama lain. Seiring rasa nyaman yang juga Mika rasakan tiap kali bersama Aryan.
Satu hal yang Mika sadari, dan pada akhirnya membuat Mika kagum dari seorang
Aryan. Aryan adalah pribadi yang sangat santun, peduli, dan perhatian terutama pada makhluk
yang bernama wanita, meskipun terkadang Aryan masih berlagak dingin saat ada Mika.
Dan, satu hal itu cukup untuk membuat bayang-bayang Aryan tak kunjung pergi dari otak Mika.
Mika tak tahu harus apa dengan perasaan yang menggejolak dalam hatinya kini. Ia bimbang.
Karena tak mungkin ia berterus terang pada Aryan tentang perasaannya. Ada hal yang
membuat ia memang tak bisa terlalu bahagia dengan orang lain. Sesuatu yang tak bisa ia
katakan pada siapapun kecuali keluarganya, terutama Aryan. Sementara pula belum genap
sebulan ia mengenalnya. Mika akui, ia telah jatuh hati pada senior ospeknya itu dan tak kuasa
mengendalikan perasaan tersebut.
Sementara tanpa Mika sadari, ternyata Aryan memiliki rasa yang sama dengan Mika. Ia
cukup tertarik dengan kepribadian Mika yang tak banyak bicara namun cerdas itu. Bedanya, ia
terlalu gengsi untuk menunjukkan perasaannya. Dan terlalu malu untuk mengungkapkannya.
Makanya ia lebih memilih menjadi senior yang nampak sok cool di depan Mika.
Saling mencintai dalam diam. Sebuah keputusan yang sangat terhormat bagi mereka. Tak perlu
berkoar untuk menunjukkan embel-embel janji untuk saling bersama selamanya. Cukup
rahasiakan, simpan, dan jaga perasaan ini. Karena Tuhan tahu apa yang pantas maupun tidak
untuk hati ini.
***
*Selasa, 26 September 2016*

Aryan menghela napas berkali-kali. Entah kenapa ini membuatnya sangat gugup.
Padahal berhadapan dengan dosen killer sekalipun tak pernah membuatnya gentar seperti ini.
Aryan menunggu di perpustakaan gedung C kampusnya. Suhu dingin AC malah membuatnya
tambah gelisah. Padahal ia hanya ingin bertemu dengan Mika, gadis berparas manis yang kini
lekat di hatinya. Juniornya itu memang telah berhasil membuat hati Aryan kembali meleleh
setelah sekian lama beku dan buta dengan apa yang dinamakan cinta. Aryan sadar, bahwa
Mika lebih berharga daripada sekedar menjadi junior di hidupnya. Aryan ingin Mika jadi yang
terakhir di hatinya. Aryan terus memikirkan Mika, sampai-sampai tidak sadar bahwa gadis itu
sebenarnya sudah berdiri di belakangnya sedari tadi.

43
"Kak Aryan."
"Eh, Mi-mika." Aryan bahkan tidak tahu kenapa ia tergagap seketika.
"Kak Aryan? Ada apa menyuruhku datang ke sini?" tanya Mika dengan ekspresi serius.
Matanya yang bening serasa menusuk mata Aryan. Membuat jantung Aryan semakin
berdegup kencang.
"A-aku, mau ngomong sesuatu ke kamu." Mika masih mendengarkan dengan serius,
"Tapi, jangan tertawa ya." Mika mengangguk lalu tersenyum, "Untuk apa aku tertawa
kalau memang tidak ada yang lucu?" Aryan tersenyum. Ia lega Mika membuatnya merasa
tenang dan tidak gugup lagi.
"Aku ... ehmm aku." Mika menunggu apa yang hendak dikatakan Aryan selanjutnya.
Kepalanya ditelengkan sebelah. Menurut Aryan, itu membuat Mika semakin terlihat lucu.
"Aku--" Aryan menghela napas. Berkali-kali sampai ia benar-benar merasa yakin. Ia
mencoba mendinginkan ekspresinya kembali. Ia tak mau kelihatan lugu di depan Mika.
"Aku--" Aryan kembali memotong ucapannya. Sementara Mika masih menunggu. Kalau
bukan Mika pasti sudah tidak sabar.
"Aku--" sempat terpotong namun akhirnya ia ungkapkan juga, "Aku mencintaimu,"
Mika terdiam. Ia bingung. Bukan bingung hendak menjawab apa. Tapi, bingung karena ia tidak
tahu bagaimana cara menjawabnya.
Sebenarnya, dalam hati, Mika juga sangat mencintai Aryan. Tapi ada sesuatu hal yang
tak mungkin Mika ungkapkan saat ini. Sesuatu hal yang membuatnya tak bisa menerima cinta
Aryan. Sesuatu hal yaang membuat hati Mika sakit jika mengingatnya.
Perlahan, air mata Mika jatuh. Ia tidak tahu kenapa ia menangis. Tapi sepertinya ia
mulai merasakan sakit yang jarang sekali orang lain pernah merasakannya juga. Sakit ketika
tahu bahwa Mika tak bisa memiliki, namun kehendak hati berbeda dengan keinginannya. Hati
jatuh tanpa diminta. Tanpa dapat ditolong. Tanpa bisa dibangunkan. Jika hati sudah jatuh ke
lubang yang sangat dalam, maka susah sekali untuk mendaki dan menghindari lubang tersebut.
Dan seperti itulah keadaan hati Mika saat ini. Bergerak dan jatuh di luar kehendaknya.
"Maaf, Kak Aryan, a-aku ...," suara Mika tercekat di tenggorokan. Sungguh ia tak tega
untuk mengatakannya. "Aku ... tak bisa."
"Maaf ya, sepertinya ini terlalu cepat bagimu."
"Tidak, bukan begitu. Sungguh aku tidak ada maksud seperti itu, bukan--" Mika cepat-
cepat menyela omongan Aryan. Aryan hanya bisa tersenyum. "Tidak apa, Mika. Mungkin aku
memang terlalu cepat. Lagipula, mana mungkin aku bisa memenangkan hati gadis sebaik

44
kamu?" Masih dengan tersenyum, Aryan melanjutkan, "kalau begitu, aku permisi dulu,
terimakasih atas segalanya" Aryan bangkit.
Entahlah, kakinya bagai berjalan sendiri menuju pintu keluar. Namun baru beberapa
langkah, kepalanya sudah kembali menengok, "Oh iya, maaf juga karena aku sudah
mengganggu waktumu."
Aryan pergi. Benar-benar meninggalkan Mika sendirian di perpus. Sementara Mika
hanya bisa mambisu. Pandangannya kosong. Hatinya hanya bisa menjerit liar. Penuh
penyesalan. Karena telah melakukan sesuatu diluar kehendak hati. Sakit rasanya. Tapi, Mika
pun tak bisa menggambarkan sakit seperti apakah itu yang sedang dialaminya kini.

45
The power of kepepet
By: Lili dan Tiodora

“Lili, gimana nih? Kita pakai genre apa?”


Saat ini, Arietta sedang berusaha mengabari Lili, adik kelasnya, yang sekarang
merangkap sebagai partnernya membuat cerpen. Sebenarnya bukan partner sungguhan, tapi
lebih kepada tantangan berpartner dari salah satu komunitas menulis yang mereka ikuti.
“Bentar, Kak. Aku masih di sekolah. Hehehehe.”
Dengan sedikit tawa kecil, Arietta membalas kembali pesan Lili.
“Aku juga masih di kampus. Ntar malem aja berarti ya.”
Arietta melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti. Menjadi mahasiswi memang
tidak seseru menjadi siswi. Ada banyak sekali tugas yang menanti diberi perhatian. Belum lagi
dosen yang terkadang berbuat seenaknya. Ahh, rasanya Arietta ingin meliburkan diri saja.
“Haduh, Kak demi tiang listrik yang ditabrak papa, nih otak kayaknya emang ga bisa
diajak kompromi deh. Apa jangan jangan otakku benjol sebesar bakpao ya?”
Lili menggerutu sambil memasang emot ngiler kejayaannya. Anak satu ini memang
sedikit melenceng. Kenapa dia jadi menyambung berita terhangat?
“Mohon bersabar, Dek, ini kutukan.”
“Kemana nih perginya cahaya imajinasiku? Kenapa otakku begitu gelap, Kak? Apa
jangan jangan tiang listrik di otakku lagi pergi jenguk temannya yang baru tertimpa musibah?”
“Benar kan? Lili ini sebenarnya makhluk jenis apa? Tolong jangan tanyakan.”
“Tenang dulu. Imajinasi boleh buntu, asal semangat tetap laju, Li.”
“Terus kita mau buat cerita tentang apa, Kak? Tiang listrik terdzolimi? Fortuner
pembawa berkah? Atau papa jangan pura pura? Aku bingung, nih.”
“Dek, kalau cari cerita bisa gak yang agak masuk akal dikit? Ya kali ada orang yang mau
baca cerita kayak gitu.”
“Terus cerita tentang apa, Kak?”
“Gimana kalau kutukan benjolan bakpao?”
Baiklah ini tidak bagus. Arietta malah mengikuti alur cerita absurd ala chat ini. Mereka
berdua gila.
“Boleh tuh, Kak.”
Bukannya membuat cerita mereka berdua malah bercanda dan membuat judul aneh
yang tidak masuk akal. Bahkan mereka berdua sempat ingin membuat cerita berjudul; Kamu

46
Membicarakanku di Perosotan. Tapi mau bagaimana lagi? Buntu tetaplah buntu. Di lubangi pun
belum tentu bisa.
“Li, gimana kalau kita buat cerita teenfiction?”
“Hah? Apaan tuh, Kak?”
“Itu tuh cerita tentang konflik remaja jaman now.”
“Hmmm... Boleh boleh. Kakak yang buat prolog dan aku yang lanjutin.”
“Oke. Tunggu sebentar ya aku mau buat dulu.”
Akhirnya Arietta pun membuat cerita tentang gadis tomboi yang tidak pernah berteman
sama cewek, bandel dan cekikikan. Dirasa sudah cukup banyak akhirnya Arietta mengirimnya
ke Lili untuk dilanjutkan.
“Tuh, Dek. Silahkan lanjutin.”
“Siap, Kak.”
Akhirnya Lili mulai berpikir dan menggunakan otaknya yang gelap tanpa pencerahan
dari tiang listrik, berharap ceritanya bisa dikumpulkan hari ini. Setelah menulis beberapa
paragraf, Lili mengirimkan nya kepada Arietta.
“Gimana Kak ceritanya?”
“Boleh juga ide kamu, Li. Tapi emang ga kepanjangan ya buat cerita kayak gini?”
“Kalau panjang sih jelas, Kak. Soalnya ini konflik yang gak biasa. Bahkan Naruto harus
bekerjasama dengan Goku untuk mencari bola naga dan berharap konfliknya bakalan kelar.”
“Kan tantangannya membuat cerita pendek.”
“Lah terus gimana? Masa iya kita buat dari awal? Waktunya tinggal 2 jam lagi nih. Kakak
punya ide cemerlang kah?”
Dua jam berdiskusi dan membuat cerita sampai kepada ending. Orang gila mana yang
berbuat seperti itu? Oh, baiklah, aku lupa kalau mereka berdua memang nyatanya segila itu.
Secepat kilatan cahaya yang menyambar, tiba-tiba ide itu muncul begitu saja. Tak heran
jika ada quotes yang mengatakan "The Power Of Kepepet".
“Kita bikin cerita tentang kita aja, Li. Konfliknya gimana kita ngejar deadline yang udah di
depan mata.”
Ketikan itu secepat kilat sampai kepada Lili. Sambil tertawa, Lili akhirnya menyetujuinya.
Maka bergeraklah dua manusia ajaib itu menyusun kerangka cerita. Berpacu dengan waktu,
tentu bukanlah hal yang lucu. Tapi, entah mengapa, dua manusia ini malah tertawa kecil
sembari mengetik dan menyusun cerita gabungan mereka. Di bumbui genre komedi, cerita
yang mereka hasilkan malah semakin jauh dari tema yang di sepakati di awal. Baiklah, jangan
lupakan bahwa mereka berdua memang gila.

47
Pencungkil Mata
Oleh: M. Arianto dan Dede Yogi Darsita

Pada tahun 1995, mungkin jadi hari terburuk sepanjang hidup. Aku terlilit hutang di bank
dan karena tidak dapat melunasi, akhirnya pihak bank memutuskan untuk menyita rumah,
karena hal tersebut, aku memutuskan pindah ke sebuah desa kecil yang mungkin hanya
berpenduduk sekitar 50 kepala keluarga di kota Logtown. Konon, Di desa ini ada mitos tentang
Si Pencungkil Mata, Banyak yang telah menjadi korbann. Tapi sungguh, aku tidak terlalu
memperdulikan.
Dari sisa tabungan sang istri, akhirnya kami mampu menyewa sebuah rumah tua di
pinggir desa. Disewakan dengan harga yang benar-benar murah. Entahlah mengapa demikian,
namun yang pasti ini menjadi kesempatan untuk memulai hidup baru. Ya! Hidup baru.
Di desa ini jarak antara rumah penduduk berjauhan, tetangga yang paling dekat denganku
adalah rumah milik seorang lelaki paruh baya. Ia seperti punya pribadi aneh, setiap hari selalu
terlihat mengasah senjata di depan rumahnya.
Hari itu aku tidak bisa pulang tepat waktu karena suatu alasan. Sesegera mungkin aku
menghubungi istri, bahwa akan pulang larut dan menyuruhnya untuk mengunci pintu dan
jendela sampai aku pulang. Ia menjawab dan mengiyakan.
Ketika pulang. Anehnya, pintu tidak terkunci. Rumah dalam keadaan gelap. Mungkin ia
tidur dan lupa pesan yang sudah disampaikan. Atau jangan-jangan ada perampok? Mata ini
langsung menatap arah sekitar memastikan tak ada yang mencurigakan. Kaki ini melangkah
perlahan ke dalam kamar. Syukurlah, perkiraanku salah. Aku lihat perempuan yang kunikahi
tengah terlelap. Berselimut. Walau terlihat hanya berupa bayangannya saja. Saat menyalakan
lampu dan menyingkap selimut, Justru hal di luar dugaan yang kusaksikan. Itu memang istriku,
tepatnya adalah kepala isttiku yang terpisah dari tubuh, badan tercabik-cabik hingga bola
matanya menghilang.
Anakku? Kekhawatiran semakin mengguncang. Namun nihil. Ia tak ditemukan dalam
kamarnya. Aku mencari dan terus mencari. Tapi mata indahnya pun belum terlihat. Rasanya
kepalaku ingin pecah. Apa yang sebenarnya terjadi? Mangapa harus keluargaku?
Seketika aku mengingat sesuatu. Siapa yang punya senjata tajam di area rumah kami, selain ---
Hati kecil mengatakan, anakku pasti dibawa olehnya. Segera pistol dalam lemari
kubawa. kemudian menuju rumahnya. Tidak ada yang terpikirkan apa-apa selain ingin
membunuhnya. Saat sampai di lokasi yang kucurigai, pintu rumahnya terbuka. Aku mendapati
ia dengan pakaian yang telah berlumuran darah. Amarah pun memuncak kemudian tanpa

48
berpikir panjang, satu tembakan menembus kepala tetanggaku itu. Setelah dirasa ia tak
bernyawa, aku memanggil anakku, tapi tak ada jawaban. Yang kutemukan hanyalah lumuran
darah dari ayam potong yang baru disembelih.
Apakah aku salah menembak? Sempat terpikir dalam benak. Kembali ke rumah dengan
beribu penyesalan yang tak dimengerti. Seharusnya aku pulang seperti biasa, mungkin aku
masih bisa melihat senyum dan tawa anak istriku. Saat dalam lamunan, jerit kesakitan
terdengar. Anakku? Segera kumencari sumber suara tapi tak dapat kutemukan. Terus mencari
hingga akhirnya aku mendapati itu berasal dari bawah kolong tempat tidur. Ada sebuah lubang
yang cukup besar di sana. Itu adalah ruangan bawah tanah. Kumasi lubang tersebut dengan
membawa senter kecil di tangan kiri dan sebuah pistol ditangan kanan. Suara jeritan itu
menghilang, terus kususuri ruang bawah tanah dengan perlahan dan penuh kehati-hatian. Tak
ada suara lagi, semua hening. Yang terdengar hanyalah suara sepatuku tang melangkah.
Hingga diri ini dikejutkan dengan suara benda jatuh. Tiba-tiba saja, suara menggeram
terdengar tepat di belakang tengkuk, “Grrhh ... hmm.” Saat memalingkan wajah, aku mendapati
sepasang mata merah, dan taring panjang dengan wajah yang dipenuhi bulu hitam. Ia
menyeringai, lantas mengembuskan napas beratnya ke wajahku. Kemudian ia tertawa yang
membuat ketakutan amat hebat hingga tubuh lemas.
Aku terjatuh lalu melihat anakku yang tak nerdaya. Makhluk itu berpostur besar dengan
balutan bulu hitam disekujur tubuh. Perlahan ia memakan jari-jari mungil dari tubuh anakku
satu-persatu. Kemudian ia mencungkil bola mata dan mulai memakannya. Tangan ini refleks
mengarahkan senjata, menembakinya tanpa henti karena terlalu dikuasai rasa takut, tembak
demi tembak meleset, sama sekali tidak menembus bahkan menyentuh monster tersebut.
Dalam sekejap, tubuh besar itu menghilang dari hadapan. Ditinggalkannya mayat anakku
dengan kondisi hampir sama seperti Ibunya tadi. Kuletakkan pistol dan senter yang kupegang di
samping. Mata ini menangisinya hingga tak peduli tentang makhluk aneh tadi. Aku terus
memeluk tubuhnya, berharap ia dapat kembali hidup.
Namun ternyata, semua belum berakhir. Kurasakan bulu kasar menyentuh leher, kulihat
kuku hitam panjang dan runcing dipundak. Tiba-tiba semua menjadi gelap hingga tak dapat
kurasakan tubuh sendiri. Dan anehnya, saat membuka mata, sangat jelas aku melihat diriku
sendiri sedang memeluk mayat anakku di sudut ruangan.

49
Alien kecantol tawanan
Oleh : Dian kartika dan Zyreennatasya Octoviani Wohangara panggabayan Nysrin Azhaar

Malam di akhir bulan November, bintang bintang bertebaran di langit, bulan


menggantung indah dan terang. Di pinggiran kota Jakarta, tepatnya lapangan SMP Pertiwi 06
Jakarta sebuah gumpalan bening jatuh dari langit, tidak menimbulkan suara menggelegar atau
ledakan. Gumpalan bening yang hampir seperti malam itu nampak tenang di tanah. Beberapa
menit berlalu dan tak ada pergerakan apapun yang terjadi.
Tapi aneh, langit yang bertabur bintang, dan bulanpun menggantung indah, tiba-tiba
rintik hujan turun seperti mengkhianati alam semesta. Mengolok bintang dan bulan malam itu.
Sedang di lapangan SMP Pertiwi 06 Jakarta gumpalan itu bersinar saat terkena rintik hujan itu,
lalu membelah.
Sosok gelap berjubah keluar dari gumpalan bening itu. Ia memakai sebuah alat di
telinga kanannya.
"Zed 406 sampai di bumi, misi akan dilaksanakan," ucap sosok itu. Setelahnya alat itu
dilempar pada gumpalan yang terbelah itu, seketika gumpalan itu kembali bersinar dan
musnah. Sosok itu melangkah ke area sekolahan dengan seringainya.
***
Mentari bersinar dengan terangnya, udara seperti biasanya di kota, dengan hiruk pikuk
lalu lintas yang padat dan acap kali terjadi kemacetan. Suara klakson mobil, motor, bajai,
metromini, sampai tukang bubur ayam, maksudku mangkok tukang bubur ayam yang dipukul
dan mengeluarkan bunyi ting ting ting. Semua orang terlihat sibuk, cepat-cepat seperti sedang
dikejar setoran. Beberapa anak sekolah berdempet-dempetan di dalam metromini dan bus,
bahkan ada yang berani berdiri dengan satu kaki di dalam bus dan satu kaki menggantung
saking penuhnya.
Ada juga yang setengah berlari, takut terlambat ke sekolah karena ketinggalan bus.
Tidak jauh dari SMP Pertiwi 06 Jakarta, dua orang siswa dan siswi mengayuh sepedanya
beriringan, saling melempar senyum. Mereka adalah Ray dan Yesa. Ray adalah siswa kelas
9A, dan Yesa siswi kelas 8C, mereka memiliki kecintaan dan hobi yang sama, yaitu menulis.
Karena hobi mereka yang sama, keduanya sering pergi ke perpustakan, toko buku, dan tempat
bazar buku bersama. Kebersamaan mereka seperti kebiasaan, dan entah siapa yang
mengatakan cinta dulu, mereka akhirnya menjadi sepasang kekasih. Seperti cinta bersemi
karena biasa, dan sering bersama.

50
"Ray, apa kamu semalam bisa tidur?" tanya Yesa membuka percakapan, setelah
memarkirkan sepedanya.
"Semalam...," Ray menjeda ucapannya, "aku bahkan tidak tidur, Baby." Mendengar
jawaban kekasihnya, Yesa mengerutkan alisnya lalu bertanya lagi, "kenapa?"
Keduanya saling menggenggam, berjalan di koridor sekolah yang masih sepi.
"Semalam semua warga komplek keluar rumah, mereka ribut, ada juga yang menjerit
ketakutan." Lagi-lagi Ray menjeda kalimatnya, ia merangkul bahu Yesa agar lebih mesra, "Kau
tahu, Baby, semalam keajaiban terjadi, hujan turun saat bintang dan bulan ada, apa itu bukan
ajaib?"
Yesa tampak berpikir, lalu ia menanggapi Ray. "Itu keajaiban atau keanehan, Yang. Kau
tahu ‘kan, itu janggal dan entah kenapa imajinasiku membuatku takut."
"Baby, tapi kau lihat sendiri pagi ini, tidak ada yang terjadi, maksudku mentari terbit
seperti biasanya, dan tunggu sepertinya aku lupa sesuatu." Yesa berhenti, ia penasaran.
"Kenapa, Yang? Apa ada yang janggal?" tanya Yesa dengan air muka yang sarat penuh
kekhawatiran.
"Pagi ini ada yang berbeda," ucap Ray.
"Apa, Yang. Cepat katakan."
"Sepertinya aku lihat, kamu pagi ini tambah cantik, Baby." Mendengar gombalan Ray,
Yesa bersemu dan mencubit perut kekasihnya. Mereka berdua berjalan beriringan dan
tersenyum. Di balik dinding sepasang mata memerhatikan keduanya.
***
Anak-anak semuanya telah pulang, hanya Ray dan Yesa yang masih berada di parkiran.
Mereka sedang menunggu teman Ray. "Siapa sih, Yang?" tanya Yesa tak sabar, karena lama
menunggu.
"Dani, Baby. Kamu tahu kan, dia bilang ke toilet, tapi kenapa lama banget."
"Susul sana, takut dia kehabisan tisu toilet." Ray memandang ke koridor, berharap Dani
berjalan disana, agar ia tak repot menyusulnya, tapi nihil. Tidak ada tanda tanda kemunculan
Dani. Akhirnya Ray pergi menyusul Dani, meninggalkan Yesa sendirian di tempat parkir.
Sosok itu mendekati Yesa yang duduk, tanpa mengeluarkan suara, langkah kakinya
benar benar tidak bersuara. Dan sepersekian detik, Yesa berada digendongannya dan ia
membawa Yesa pergi.
Tas dan buku milik Yesa berantakan di ubin. Sosok itu membawa Yesa ke sebuah
tempat yang begitu jauh dari keramaian namun berada di tengah-tengah keramaian. Beberapa
menit kemudian, Yesa pun tersadar dari pingsannya. Ia menatapi setiap inci demi inci sudut

51
ruangan itu. Ruangan yang begitu indah, siapapun yang melihatnya akan merasa nyaman
disitu. Namun dia baru ingat, dimanakah dia? Dengan siapa dia? Dia terus mencari kekasihnya
Ray dan terus memanggil-manggilnya. Namun nyatanya, Ray tidak juga datang melainkan
sosok yang sama sekali tak di kenal oleh Yesa yang datang menghampirinya.
Sosok itu berjalan perlahan demi perlahan ke arah Yesa. Badan Yesa pun bergetar tak
menentu. Keringat dingin pun mengalir di tubuh Yesa. Dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Dan tiba-tiba, "Hallo! Kenalkan saya Zed 406," ucap alien itu dengan nada manjanya
Yesa hanya terdiam dan membisu memandangi sosok yang berdiri di hadapannya tanpa
mengedipkan matanya sedetik pun.
"Hai nona cantik. Apa anda tidak mendengar saya?" ucapnya membuyarkan lamunan
Yesa.
"Eh, oh iya hah. Tadi siapa namanya? Kapal jet? Yang bisa terbang itu? Unik juga,"
jawab Yesa dengan wajah polosnya
"Saya Zed 406 nona. Bukan kapal jet!" ucapnya menegaskan
Yesa terus memandangi sosok itu, sosok di hadapannya, "Dia begitu tampan, matanya
bulat, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, bibirnya pun tipis, giginya tersusun rapi,
kulitnya pun putih bersih. Tapi mengapa namanya seaneh itu? Kapal jet? Unik juga. Dari
manakah dia berasal? Dari planet antah berantahkah? Atau mungkin dari paris belok kiri terus
terjun ke jurang, eh ke sasar deh. Alien zaman now mungkin memang begini kali ya.
Gantengnya aja ngalahin chen oppa," ucapnya dalam hati.
"Hmm. Aku Yesa," katanya sembari mengulurkan tangannya pada alien yang bernama
Zed 406 itu.
Dia pun membalas uluran tangan Yesa.
"Tadi tuh, aku tuh niatnya sih mau nyulik kamu. Tapi, karena liat tampang kamu yang
cantik dan polos plus menggemaskan ini. Akyu jadi gak tega nyulik kamu. Aku mau bebasin
kamu aja deh," sahutnya dengan nada yang sangat manja sekali
"Ini orang atau apa. Alien macam apa ini? Heran saya," ucap Yesa dalam hati sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya
"Eh you kenapa? Pucing ya?" tanya Zed pada Yesa.
"Eh nggak kok, nggak apa-apa. Yaudah lepasin aku sekarang," jawab Yesa
Zed 406 itu pun segera melepaskan Yesa. Zed mengantarkan Yesa ke pintu depan
"Kamu berasal dari mana?" ucap Yesa membuka percakapan.
"I berasal dari planet Kepler 438b," jawabnya singkat
"Pantesan aneh," ucap Yesa dalam hati

52
-------*****--------
Keesokan harinya, Yesa segera mencari Ray kekasihnya. Yesa pun menemukan Ray di
kantin sekolahnya. Baru saja Yesa akan berbicara, tapi Ray malah mendahuluinya
"Eh, Baby. Katanya mau ada murid baru ya di kelas kamu?" tanya Ray dengan santai
pada Yesa. Yesa pun mengembungkan pipinya dan melipatkan kedua tangannya di dadanya,
"Kamu kenapa, Baby?" tanya Ray sekali lagi.
"Kamu itu ya, Yang. Bukannya tanya kabar aku atau gimana kek. Malah nanyain hal
yang lain. Gak khawatir gitu sama aku?" jawab Yesa dengan nada tinggi.
Baru saja Ray akan menjawab, namun lonceng tanda masuk kelas pun sudah berbunyi.
Yesa dan Ray pun segera bergegas menuju kelasnya masing-masing.
"Anak-anak, kita kedatangan seorang murid baru," ucap wali kelas Yesa
Satu kelas pum menjadi heboh setelah mendengar ucapan dari wali kelasnya itu.
Ibu Reva yaitu wali kelas dari kelas 8C itu pun mempersilahkan murid barunya untuk masuk ke
dalam kelas. Dan WAW. Ternyata murid baru itu adalah Zed 406.
"Dia alien beneran atau banci?" tanya Yesa dalam hati
Seluruh siswa dan siswi kelas 8C pun heboh setelah melihat wajah Zed yang begitu
tampan. Zed 406 itu berpenampilan seperti manusia biasa, kecuali ketampanan yang memang
luar biasa bak dewa yunani kuno. Ia tidak langsung memperkenalkan diri, ia menghampiri Yesa.
Gadis yang pernah ia culik dan ia lepaskan, tapi kepergiannya membawa serta hatinya. Ia
mengkhianati planetnya, misinya. Karena tawanannya berhasil menawan hatinya.
"Hai, aku merindukanmu!" katanya tegas. Seluruh isi kelas bergemuruh, dan Ray yang
mendengar kejadian itu dari ketika melewati kelas Yesa menjadi seperti cacing yang terbakar.
Setelah mendengar itu Ray pun segera bergegas masuk ke dalam kelas Yesa dan
menghampiri Zed. "Apa maksudmu!" tukas Ray, yang sudah mencengkram leher Zed.
Tapi yang terjadi, dengan jari telunjuk Zed, ia menghempaskan Ray jauh, menabrak
tembok. Melihat itu, seluruh isi kelas berhamburan keluar. Teriakan, jeritan, dan tangis
ketakutan menggema disetiap lorong. Yesa tetap diam ditempat, kakinya enggan beranjak
pergi. Ia memandang Zed, dan Ray bergantian. Lalu ia mendekat ke arah Zed.
"Heh, Jet!" Panggilnya.
"Iya, Beb. Ada apa?" jawab Zed, suaranya melembut. Tapi tak ia duga, gadis yang ia
cintai malah menarik telinganya.
"Ayo kencan!" ucap Yesa, jemarinya masih menempel pada telinga Zed, sedang Zed
meringis kesakitan karena lehernya yang telah dicengkeram kuat oleh Ray namun dicampuri
rasa bahagia juga.

53
Ray pun menatap kosong, terkejut. Ia diputuskan secara sepihak. Sungguh sakit sekali
rasanya. Sakitnya tuh di sebelah kanan dekat jantung. Ray pun segera beranjak pergi menuju
kelasnya dengan badan yang terkulai lemas

54
VIONA
Genre: Adventure-Comedy.

“Leon!”
Sedetik kemudian aku berbalik setelah seseorang berteriak memanggil namaku begitu
kencang. Dia seorang gadis bermata biru sapphire dengan rambut coklat krem yang panjang
dan bergelombang. Di punggungnya nampak anak panah dan busur menggelantung. Dua kuda
poni berbulu putih membuntutinya dari belakang. Ia berjalan mendekatiku. Tapi, aku sama
sekali tidak mengenalnya.
“Selamat datang di Desa Feroyn,” ucapnya kemudian tersenyum.
“Kamu tahu namaku? A-apa? Desa apa?” Kurasa telingaku masih berfungsi dengan
baik dan aku tidak salah dengar. Tapi, nama desa itu terasa sangat asing di telingaku. Juga
tempat ini, entah bagaimana bisa aku sampai ke tempat ini. Kupikir seseorang sengaja
membuatku mabuk dan pergi ke sini dalam keadaan tak sepenuhnya sadar.
“Ini adalah Desa Feroyn, tempat aku lahir dan dibesarkan. Kamu pasti Leonardo, ‘kan?
Ayo kita bergegas, kita tak punya banyak waktu, aku diutus sang Raja untuk membawamu ke
kerajaan dan menemui Sang Raja. Di desa ini semua orang berbahagia karenaRaja disini
memiliki tongkat kebahagiaan, yang akan segera mengubah kehidupan mu menjadi 1000x lipat
lebih bahagia!” Gadis itu menjelaskan dengan antusias. Waw, siapa yang tidak ingin bahagia
seumur hidupnya? Aku sangat ingin. Pasti ibuku yang memberikan tugas padaku untuk
menemui Sang Raja. Karena siapa lagi yang berani menyuruhku selain dia. Ya, hanya dia.
“Perkenalkan, aku Viona,” sambungnya lagi seraya mengulurkan tangan.
“Senang bertemu denganmu,” jawabku lalu menyambut uluran tersebut.
“Ayo kita berangkat!”
Kami pergi dengan menunggangi kuda ke arah yang ditunjukkan oleh Viona menuju
Kerajaan. Tentu saja, aku berjalan lebih jauh di depan Viona karena aku tidak ingin terlihat
lemah dengan berada di belakang wanita. Aku akan melindungi Viona jika bahaya sewaktu-
waktu mengancam.
Beberapa kali kami harus menyebrangi sungai, untunglah batu-batu itu cukup besar
untuk dapat dilewati kaki kuda. Juga hutan yang dipenuhi dengan sarang laba-laba. Beberapa
kali kuda yang kutunggangi mengeluh dengan mengeluarkan suara yang sangat asing tuk ku
dengar. Namun Aku tak tahu apa yang dia mau.

55
“Leon, berhenti!” Viona berteriak dari belakang sana. Aku terkejut luar biasa dan
langsung menarik pacu agar si kuda mau berhenti. Untunglah kuda ini menurut. Aku segera
turun untuk memastikan apa maksud Viona memintaku berhenti.
“Ada apa?” tanyaku sambil membantu Viona yang sedang berusaha turun dari kuda
poninya. Tapi dia mengabaikanku setelah aku berhasil membantunya. Lantas berjalan menuju
kuda yang tadi kutunggangi.
“Kau lihat ini?” Viona menunjuk tetesan darah yang bercecer di atas dedaunan kering.
“Aku tidak terluka. Jadi, itu darah siapa?” aku menatap Viona penuh tanya. Tapi, ia
justru memutar bola matanya. Lalu menyentuh kaki kuda yang tadi aku tunggangi.
“Kalau bukan kau, sudah pasti dia. Duri di hutan ini sangat tajam dan ukurannya lebih
besar dari yang biasa kita lihat. Pasti dia sudah mengerang kesakitan sejak tadi.” Aku
ternganga melihat luka di sela kuku kuda itu. Seperti bukan telukai oleh duri. Luka itu menganga
begitu lebar seperti luka sayatan dari pisau yang tumpul.
Aku mengangguk, mengakui bahwa memang sedari tadi kuda itu mengerang tapi tak
kunjung kuhiraukan. Lagi-lagi Viona memutar bola matanya yang indah. Lalu kembali fokus
pada kaki kuda itu. Ia mengoleskan cairan dari dalam botol kecil yang ia dapat dari dalam saku
celananya pada luka yang menganga itu. Herannya si kuda hanya diam saja. Padahal dapat
kupastikan bahwa cairan itu adalah getah dari tumbuh-tumbuhan liar. Pasti pedih sekali jika
mengenai luka.
“Uhuk!” aku nyaris muntah mencium bau cairan yang sengaja kuambil dari tangan
Viona.
“Kau tahu ‘kan ini bukan parfum.” Viona mengejekku melalui tatapan dan senyuman
yang tak kupungkiri kelewat manis itu. Lalu segera beralih pada kuda yang terluka,
menuntunnya menuju suatu pohon besar yang begitu rindang dengan rerumputan yang tumbuh
subur di bawanya. Ia mengikat kuda itu di pohon tersebut.
“Apa? Jadi?”
“Iya, kita menunggangi satu kuda saja. Kasihan, dia bisa lebih kesakitan,” jawabnya
lembut seraya mengusap poni milik si kuda.
“Baiklah.”
“Tenang ... Sebentar lagi kita sampai,” ucapnya lagi dengan kilat antusias yang sama di
wajahnya seperti saat pertama kami bertemu. Ia berjalan mendekat, meraih lenganku dan
membimbingku menuju kuda miliknya. Aku segera naik dan bersiap untuk membantu Viona
agar naik ke belakang.

56
“Apa? Aku tidak salah dengar? Kamu mau membiarkanku jatuh karena duduk di
belakang?” gerutu ku seraya menghentakkan kaki. Namun lagi-lagi, Viona membuat ekspresi
yang terkesan mengejek. Meskipun nadanya seperti orang yang sedang marah, aku selalu
dapat menangkap niat jahil dari sorot matanya.
Tapi jujur, tatapan dan senyuman itu—sejak awal pertemuan kami tadi—selalu berhasil
membuat satu ruang dalam diriku terasa sesak dan berdenyut hebat. Seperti akan meledak.
Apa ini yang dinamakan cinta?
Kami berdua menunggangi kuda yang sama, menyusuri jalan yang agak lebih baik dari
pada jalan yang kami lewati sebelumnya. Aku tak tahu harus bagaimana ketika rambut panjang
Viona yang begitu harum terurai dengan bebas. Aku hanya berharap semoga Kerajaan yang
akan kami tuju masih sangat jauh, sehingga aku bisa berlama-lama seperti ini bersama Viona.
Tapi, tiba-tiba, “Lihat itu, Leon!” Viona berteriak seraya menunjuk pada cahaya biru yang
amat menyilaukan. Cahaya itu keluar dari pintu besar sebuah bangunan yang begitu megah.
Kulihat di sana ada berbagai macam bunga di sisi-sisi salah satu tembok yang menjulang tinggi.
Lalu …
“BANGUUUUUUUN UDAH SIANG! KAMU NGGAK SEKOLAH APA?”
Apa? Suara siapa itu?
“Please, jangan merusak kebahagiaanku sama bidadari!” celetukku menjawab suara itu.
“Bidadari?! Buruan bangun, udah jam 7 ini!”
Benar-benar menyebalkan! Suara yang sangat mengganggu untuk membangunkan
mimpi indahku. Lebih baik kututup telingaku rapat-rapat dengan bantal yang baunya—sudah—
tak—enak. Tak apalah, lagi pula ini bantalku sendiri. berharap semoga jeritan kekesalan ibu
tidak masuk ke gendang telingaku. Aku sudah berkorban banyak untuk itu. Awas saja kalau
masih masuk!
“LEONARDO GIOVANNO. CEPAT BANGUUUUNNNN” teriaknya lagi sambil
menggedor pintu kamar. Ah, sial. Aku melempar jauh-jauh bantal bau iler yang tidak ada
gunanya sama sekali itu.
Oh, ya … itu ibuku. Satu-satunya orang di rumah ini yang berani memerintahku. Selain
karena memang aku anak yang bandel, juga karena memang hanya ada aku dan dia di rumah
ini. Ayahku sedang pergi ke luar kota untuk bekerja. Adik dan kakakku, mereka tidak pernah
dilahirkan. Aku adalah anak tunggal. Anak paling tampan, baik dan pintar, dan hanya ibuku
yang bilang begitu pada saat menggosip dengan para ibu-ibu. Aku sangat menyayangi ibuku
meskipun dia cerewet dan suka memfitnah anaknya sendiri. Fitnah? Benar, dengan cara
mengatakan kalau aku ini pintar. Aku sama sekali tidak pintar. Kalau tampan sih, iya. Hihihihi.

57
Aku membuka mataku perlahan. Kulirik jam yang menempel di dinding kamarku, tepat di
atas pintu. Ini masih jam 5! Dan ibuku bilang ini sudah jam 7. Astaga, apa aku baru saja
menjadi korban penipuan? Oleh ibuku sendiri? Aku kembali menjatuhkan tubuhku di kasur.
Merenungkan betapa hebatnya ibuku itu. Selain suka memfitnah, dia juga pandai sekali menipu.
Dan korbannya adalah aku! aku! anaknya sendiri.
Lagi-lagi ibuku berteriak-teriak di depan pintu kamar. Memukul-mukul pintu seperti
menghajar seorang bocah. Mataku seketika terbuka lebar-lebar. Kulirik jam di dinding. Dan, aku
shock berat! Ini sudah jam 7! Aku ketiduran lagi selama 2 jam.
Aku tak memperdulikan tampilanku, aku langsung menggunakan baju seragam dan
menggandongtas sekolahku. Aku tidak boleh melewatkan hari ini. Sebab, Guru Bahasa Inggris
sudah menanti untuk aku melakukan remedial. Bisa-bisa aku ditelannya bulat-bulat kalau hari
ini tidak berangkat—lagi.
BRAKKKKK!
Aku membuka pintu kamarku bak Super Hero yang hendak menyelamatkan Tuan Puteri
yang disandera. Tapi, bukan Tuan Puteri yang aku lihat, justru ibu-ibu yang mengenakan daster
merah jambu dan handuk yang melingkar di kepalanya. Itu ibuku. Aku segera kabur sebelum
ibu berhasil meraih telingaku dan menariknya hingga terlepas dari tempatnya. Tidak, aku tidak
akan membiarkan dia melakukan itu.
“Berangkat dulu ya, Mak!” teriakku pada ibu yang kini tengah berkacak pinggang di
depan pintu rumah kami. Aku terkekeh beberapa saat melihat ekspresi wajah ibuku yang
seperti udang rebus menahan amarah.
Aku berjalan ke pinggir jalan. Untung saja masih ada bus yang lewat. Pfft. Aku langsung
naik dan duduk dengan cemas di dalamnya. Sudah tidak ada lagi anak sekolah yang
menumpang di bus ini. Aku tahu, aku sudah terlambat sejak aku bangun tidur tadi. Bel masuk
sekolahku pukul 7 pagi.
Aku melangkah dengan gontai menuju gerbang sekolah. Sungguh ini menyesakkan.
Sudah rela tidak mandi, pakai baju belum dikancing, dasi belum dipasang dan kaos kaki tinggi
sebelah. Serta betapa bodohnya aku yang hanya membawa tas yang isinya pakaian kotor
bekas aku menginap tempat temanku kemarin. Arrggghhh. Mana pintu gerbang sudah dikunci
lagi. Ditambah satpam konyol itu melet-melet mengejekku yang tidak bisa masuk.
Aku minggir-minggir, menyelinap agar tidak terlihat oleh guru Konseling. Aku tidak ingin
tertangkap dan mendapat pengurangan poin. Lebih baik aku mati saja! Eh, bolos saja
maksudnya. Muehehe.
“Eitsss!”

58
Tamat sudah riwayatku. Seseorang berhasil menemukanku dan kini menarik kerah
bajuku. Membuatku mundur-mundur mengikuti geraknya. Aku masih belum tahu siapa guru
yang menemukanku. Tapi, aku berharap dia adalah guru koneseling baru yang muda dan cantik
itu.
“Iya, Bu, ampun… ampun…,” pintaku memohon ampun.
“Oke, aku ampuni! Tapi, kamu harus temenin aku masuk dan terima hukuman!”
Apaaa? Aku jelas langsung tahu kalau ternyata dia bukanlah guru. Aku berbalik dan
langsung menatap wajahnya yang tak lebih dari 30 cm di hadapanku. Dan … Oh, Tuhan,apa ini
yang dinamakan cinta? Kuharap tidak ada yang menetes dari arah mulutku yang menganga
sebab kecantikannya. Tapi, wajah cantik itu begitu familiar. Siapa dia?
“Salam kenal, aku anak baru di sini.” Gadis itu tersenyum, mata biru sapphire-nya
menatapku antusias. Aku memperhatikan wajahnya, entah menapa terasa makin familiar,
Bukan hanya wajah cantiknya, Tapi mata blue saphirenya, Juga harum rambutnya. Aaa aku
teringat, bahwa dia adalah gadis yang ada di dalam mimpiku tadi malam.
“Namaku Viona.”

59
Menunggu dan Move On
Oleh: Enies nabila dan Mery Kristiantary

Maafkan aku yang mengharapkan cintamu.


Bila belum saatnya kusabar menunggu.

Mungkin hati Zia sudah terbiasa dibikin nyesek oleh sahabatnya sendiri.
"Zia,aku mau curhat hari ini.Tunggu aku di tempat biasa." Lagi lagi pesan singkat dari
Defan membuat tubuh Zia lemas.
"Sampai kapan elu bakal curhat tentang cewek lain ke gue, Fan? Gue capek nunggu elu
peka." Zia lagi lagi curhat sendiri dalam hati.
Perasaan itu semua bermula saat Zia dan Defan di hukum beresin buku di perpustakaan
sekolah. Namun, mereka malah kabur bareng sampai akhirnya mereka merasa cocok dan
sering jalan bareng kemana-mana namun lagi lagi hanya friendzone.
Kita teman... cukup hanya teman.
***
“Apa hanya elu anggap sebatas teman saja gue ini, Defan?” gerutu Zia, dalam hati.
Mata Zia tak lepas memandang seraut muka Defan yang kini duduk di depannya. Seperti biasa,
Kafetaria yang terletak di pojok pertigaan Jalan Merjosari inilah tempat nongkrong Zia dan
Defan sepulang sekolah, selain tempatnya yang nyaman, kafe ini juga menyediakan Free Wifi
sehingga jaringan hotspot buat internet sangat terjangkau dan cepat, tidak hanya sesekali
mereka menjadikan tempat ini sebagai tempat tongkrongan sekaligus tempat untuk
mengerjakan tugas rumah (PR) mereka.
Defan, dengan seragam kemeja putihnya yang keluar dan rambutnya yang berantakan,
sesekali menatap Zia.
"Hayo deh, elu pasti mau curhat lagi, kan?" Zia coba memulai pembicaraan.
"Kok lu tau Zi? Iya nih zi. Ini masalah Salsa." Defan mulai merunduk.
"Yaelah, elu susah amat. Datangin aja dia dan lu tembak." Zi memalingkan wajah
karena sebentar lagi hujan akan membasahi pipi chuby-nya.
"Lagian lu udah ganteng dan pintar gini masih aja takut ditolak." Suara Zi mulai tak
karuan karena menahan tangis.
Saat mereka tengah diam dengan perasaan masing masing, Salsa entah datang dari
mana. Sekarang berada tepat di hadapan mereka berdua. Dengan wajah heran bin bingung,
Salsa memberanikan diri mengatakan kepada Defan.

60
"Ayo pulang bareng pacarku.” Defan terkejut tak percaya. Ternyata salsa telah
menerima cintanya. Seketika itu juga Zia memalingkan wajahnya yang sudah basah sejak tadi.
"Mungkin ini saat nya aku mundur, De," gumam Zia dalam hatinya yang sekarang
semakin kacau. Di sisi lain ternyata selama ini pergerakan Zia selalu di awasi oleh Radit.
Teman sekelas Zia dan Defan. Beberapa orang pernah bilang bahwa Radit ini suka dengan Zia.
Tapi, entahlah. Hati Zia masih belum terbuka dengan yang lain, karena saat ini hanya ada satu
nama yang sudah memenuhi hatinya. Defan, sosok yang saat Ini telah pergi dengan cewek lain,
Salsa. Kacau pikiran Zia.
***
Keesokan harinya Salsa memberanikan diri mendekati Zia. Zia yang sedang asik
dengan kuaci di tangannya bukan dimakan namun di lempar ke kolam ikan depan kelasnya.
"Zia, melamun aja.” Zia kaget dan tanpa sengaja melempar kuaci tersebut ke arah
seorang siswi yang sedang lewat yang tak lain adalah Salsa. Seketika saja.
"Eh, Zia apa apaan ini. Elu sengaja ya, kan?" teriak Salsa dengan keras.
"Siapa suruh lu lewat situ,” balas Zia kesal
"Gue tau lu pasti cemburu karena gue jadian sama Defan, kan? Elu suka Defan dari
dulu, kan? Zia Fiandra ...,” Salsa membalas dengan semua celotehnya.
"Maksud lo apa, Salsa?" Tiba-tiba Defan muncul tepat di belakang Salsa. Tapi tanpa
diduga Zia sebelumnya. Defan menyalahkan Zia dan menerima argumen Salsa.
Radit, lagi-lagi hari ini melihat Zia gusar dan gelisah, sudah dua hari Zia seperti ini sejak
kedatangan Salsa dan pengakuan Salsa ke Defan. Defan setidaknya 155 derajat telah berubah.
Defan yang sekarang bukan seperti yang dulu.
“Kamu kenapa, Zi? Sendiri?” tanya Radit, pada Zia yang duduk sendirian dengan buku
yang dibawanya tapi matanya tidak terdokuskan untuk membaca tulisan apik itu.
“Eh ya! Radit!!!” kata Zia, kaget. “Sejak kapan elu di sini?” tanya Zi dengan nada
khasnya.
“Sejak kamu tidak menyadari keberadaanku,” jawab Radit, sambil menyunggingkan
senyuman pada Zia, gigi gingsulnya membuatnya semakin manis.
“Bisa-bisanya gue serius, Dit,” kata Zia.
“Aku juga serius,” sahut Radit. “Kamunya aja yang tidak pernah menyadarinya,” lanjut
Radit.
“Maksudnya apa?” tanya Zia, yang mulai tidak paham dengan arah pembicaraan Radit.
“Zi ...”
“Ya?”

61
“Sebenarnya aku suka sama kamu.”
“Hah?! Suka?” tanya Zi, masih tidak percaya.
“Betul Zi. Aku serius dan aku tidak berbohong. Sejak pertemuan kita yang pertama di
gerbang sekolah karena kita sama-sama terlambat. Rasa itu mulai merasuki relung urat ruang
di hatiku”
“Radit, elu serius? Kenapa bisa elu suka sama gue?”
“Kenapa elu suka sama Defan?” tanya balik Radit.
“Gue gak ngerti. Entah kenapa gue suka sama Defan.”
“Zi, dengarkan aku, cinta itu tidak butuh alasan. Karena cinta itu datang, sebagai fithrah,
cinta itu alami, cinta akan datang di waktu dan tepat dan akan pergi jika di inginkan. Tapi yang
aku tau untuk menjaga cinta ini aku harus segera mendapatkan separuh bagiannya yang
hilang,” Jelas Radit, “dan cintaku adalah kamu Zi,” lanjut Radit. Zia terdiam, mencerna kata-kata
Radit yang begitu rumit pikir Zia. Tapi ... dengan tatapan mata Radit, Zia tau terdapat
kesungguhan di dalamnya. Seketika Zia mengingat bahwa Defan bersama Salsa, maka dengan
cepat Zi membalas perkataan Radit.
“Gue tau. Gue suka Defan, dan elu ... gue sedikit khawatir, tapi jika memang elu yakin
bahwa gue adalah bagian dari separuh itu, gue akan berusaha melengkapinya,” jawab Zia,
mantap.
“Artinya ... apa kita jadian sekarang?” tanya Radit, tidak percaya. Hanya anggukan dan
senyum simpul yang diberikan Zia, pertanda bahwa ia setuju.
Hari hari Zia pun perlahan berubah, Radit mulai bisa mengubah isi hati Zia yang
sebelumnya hanya ada Defan. Di sisi lain, "Defan, elu kemana aja sih semingguan ini, gue itu
mau ke tempat nongkrong gak ada yang antar jemput!!!" Salsa mulai menampakan sifat
buruknya.
"Setelah gue pikir, lu beda ya dari Zia. Gue nyesel gak nyadarin perasaan gue ke Zia
lebih cepat. Dan ... kita putus Salsa." Salsa berpaling lalu berlari sambil menangis sesegukan.
Defan tidak memperdulikan sakitnya perasaan Salsa sekarang.Di pikiran nya sekarang adalah
menyatakan perasaan nya pada Zia.
"Tunggu aku, Zia," Gumam Defan dalam hati sambil memacu kencang motornya
.Namun terhenti saat pandangannya tertuju pada sebuah bangku di taman dan di sana terlihat
Zia tersenyum manis sambil memperhatikan Radit yang asik bercerita.
“Elu udah bahagia sekarang Zi. Maafin gue yang dari dulu gak peka sama perasaan lo."
Sesal Defan sangat dalam namun semua sudah terlambat saat Zia mulai memperbaiki hatinya
yang terlanjur menyerah dan kalah.Namun sekarang tumbuh kembali bersama Radit.

62
Berujung Karma
Penulis : Augie Rosmytha & Dian Kartina

Senja mulai tenggelam di ujung sana. Kegelapan menggantikan keindahannya, tapi


senja masih terpatri dalam hati yang memandangnya. Seperti cinta Fay kepada Fian, pria yang
selama dua tahun menjadi kekasihnya, menjadi alasan untuk tetap tersenyum, bahagia, walau
ia yatim piatu.
Fian, pria tinggi berambut ikal yang menjadi sumber kebahagiaannya selama dua tahun
terakhir, sejak ia kehilangan kedua orangtuanya dalam sebuah kecelakaan. Pria yang menjadi
satu-satunya harapan mengisi hari-hari kedepan dengan senyuman tanpa kegelisahan.
"Mas, kamu nggak akan meninggalkanku, kan?" tanya Fay pada pria yang memeluknya.
Mereka, Fian dan Fay, duduk di teras rumah Fay, di sore yang tenang, selepas hujan di
awal bulan Desember.
"Tidak ada alasanku untuk meninggalkanmu, Fay," ucapnya lembut dekat telinga Fay.
"Dan lagi, seminggu lagi kita akan menikah, bukan?"
Mendengar kata manis itu, Fay begitu gembira, bahagia. Ia bisa tenang, akan ada
seseorang yang akan menemaninya setiap hari. Akan ada seseorang yang akan selalu ada
disetiap keterpurukan dan kebahagiannya. Fay merasa sangat bahagia.
Tapi siapa sangka, kebahagiaan yang selama ini ia impikan, harus hancur dalam
hitungan hari. Fian, pria yang begitu ia percaya tak akan menyakitinya, nyata tega menyakitinya
dengan sebuah penghianatan. Itu sangat menyakitkan bagi Fay, melebihi sakitnya ditikam
belati.
Hari itu, tepat tiga hari sebelum hari pernikahannya dengan Fian, ia harus menelan
pahitnya kekecewaan. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat bagaimana Fian
mengkhianatinya. Dan sulit bagi Fay untuk memaafkan Fian, toh memaafkan Fian pun takkan
merubah keadaan, dan mengembalikan mimpi-mimpinya yang sudah terbang bersama
kekecewaan.
Berulang kali Fian meminta maaf, namun tak mampu menerjang kerasnya hati Fay. Hati
Fay benar-benar seperti batu, keras dan dingin.
"Aku ingin pernikahan kita dibatalkan, Mas!" ujar Fay tegas, sementara Fian hanya
menghela napas, tahu bahwa kata-kata itu akan keluar dari bibir Fay.
"Tapi, Fay. Apa tidak bisa dibicarakan lagi baik-baik?" Fian masih mencoba membujuk.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas! Keputusanku sudah bulat," jawaban Fay
semakin membuat Fian lemas.

63
"Fay, kamu salah paham. Aku bisa jelaskan semuanya. Aku memang pernah punya
hubungan dengan wanita itu, tapi itu sudah setahun yang lalu."
"Setahun yang lalu," potong Fay, tanpa membiarkan Fian menyelesaikan ucapannya,
"kamu sudah menghianati aku sejak setahun yang lalu, dan aku baru tahu sekarang. Kamu
memang keterlaluan, Mas," ujar Fay, suaranya parau.
"Maafkan aku, Fay. Tapi akhirnya aku sadar, bahwa wanita yang benar-benar aku cintai
itu cuma kamu, Fay. Aku meninggalkan wanita itu, agar bisa hidup bahagia denganmu," lanjut
Fian.
Fay menggeleng berulang kali. "Terlambat, Mas. Anak itu, dia anakmu kan, Mas? Anak
dari hubungan gelapmu dengan wanita itu."
"Fay, harus berapa kali aku bilang, anak itu bukan anakku." Fian membela diri.
"Entahlah, Mas. Siapa yang bisa kupercaya saat ini. Yang jelas wanita dan anak itu
membutuhkan pengakuan darimu, Mas. Sekarang kamu bisa pergi dengan mereka, aku ikhlas,"
ujar Fay lemah. Tenaganya seperti terkuras habis untuk berdebat dengan Fian.
Bohong, kalau Fay bilang ia ikhlas. Tak ada wanita yang bisa benar-benar ikhlas
melepas orang yang dicintainya untuk orang lain. Itu jelas sangat menyakitkan. Tapi bagi Fay,
penghianatan Fian jauh lebih menyakitkan, dari pada melepaskannya. Jadi melepaskan Fian
adalah satu-satunya cara agar ia bisa melupakan betapa menyakitkannya sebuah
penghianatan.
Fian sadar, ini semua memang salahnya. Keputusannya meninggalkan wanita yang
pernah menjadi cinta sesaat baginya, ternyata tak berjalan mulus. Wanita itu muncul disaat
detik-detik bahagianya dengan Fay.
Fian hanya bisa pasrah, mungkin ini memang karma baginya, kehilangan Fay adalah
hukuman terbesar atas dosanya. Dan kini, ia harus mencoba memulai kehidupan yang tak
pernah ia impikan sama sekali. Hidup bersama wanita yang tidak benar-benar dicintainya, dan
anak yang entah dari benihnya atau bukan. Ini akan jadi penyesalan yang tak akan ada
ujungnya bagi Fian.

64
Senja yang Hilang
Penulis: Hamdika Putra & Yuliawanti Dewi

"Aku suka kamu. Maukah kamu menjadi pacarku?"


"Maaf, aku tidak tertarik,"
Lelaki itu diam sesaat. Mencoba tersenyum, namun hatinya yang terlanjur perih berhasil
melemahkan kedua kakinya sehingga tak sanggup lagi berdiri. Sementara Yuriko, tatapan gadis
itu tetap sama. Dingin tanpa ada seulas senyumanpun di bibirnya. Ia berjalan pergi melewati
lelaki berambut coklat yang telah ia tolak cintanya tanpa belas kasihan.
Yuriko. Gadis bersurai panjang yang tak pernah tersenyum. Hal yang paling ia benci di
dunia ini hanya satu, para kaum adam. Ia sungguh membenci para makhluk itu. Tentu saja
semua ada alasannya. Ia pernah mengalami masa pahit yang membuat ia enggan
bersosialisasi dengan mereka.
****
Gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih turun perlahan menyelimuti aspal, atap-
atap rumah, tanah dan menyihir kota Tokyo menjadi serba putih. Yuriko menghela napas berat.
Ia membuka pintu dengan perlahan.
"Selamat pagi yuriko," sapa pemuda bermantel coklat.
Yuriko mendelik sekilas tanpa menjawab sapaan pemuda tersebut. Ia pergi begitu saja keluar
dari apartemennya.
"Yuriko hari ini kamu mau kemana," tanya pemuda bermantel coklat itu seraya
mendekati Yuriko.
Yuriko tidak menjawab. Ia tetap berjalan menyusuri anak tangga yang membawanya
sampai ke bawah apartemen. "Yuriko, apakah kamu bisu? Aku bertanya, hari ini kamu pergi
kemana? Kenapa kamu tak menjawabnya?"
Yuriko menghentikan langkahnya. Ia menatap dingin pemuda di sebelahnya yang tiada
lain adalah seorang warga Indonesia. Ia bernama Zidan.
"Bukan urusanmu," sinisnya sembari melanjutkan kembali langkah kakinya.
Zidan menghela napas pendek, ia tersenyum melihat Yuriko yang selalu cuek padanya,
namun sifatnya itu yang membuat Zidan tertarik.
Yuriko berjalan dengan langkah cepat namun tetap waspada. Ia merapatkan jaketnya
dan memasuki sebuah cafe untuk membeli hot coffe sekadar untuk menghangatkan tubuhnya
yang kedinginan, padahal sedari tadi tubuhnya di lapisi jaket tebal namun itu tetap sia-sia di
musim salju seperti ini. Yuriko mengangkat hot cofeenya dengan kedua tangan.

65
"Hangatnya." Kemudian ia meminumnya dengan pelan.
"Yuriko?" panggil satu suara disampingnya
Yuriko menoleh ke arah suara, ternyata masih orang yang tadi. Yuriko menghiraukan
panggilannya itu, ia kembali meminum hot coffenya. Zidan tersenyum simpul. Ia duduk tepat
berhadapan dengan Yuriko.
"Kau kedinginan, ya?"
Yuriko tak menjawab.
"Yuriko, sudah lama aku tinggal bersebelahan dengan kamarmu tapi kau tidak kunjung
jua membuka diri. Sebenarnya, apa yang ...,"
"Bukan urusanmu!" potong Yuriko dengan dingin.
"Jangan dingin begitu Yuriko, kita kan--"
"Sudahlah, aku mau pergi." Yuriko menggeser sedikit kursinya dan bergegas ke arah
kasir untuk membayar minumannya. Kemudian, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Zidan, ia
berjalan keluar dari cafe seorang diri.
"Haatchih," Yuriko merapatkan jaketnya lebih erat lagi. Hidungnya merah. Kedua
kakinya bergetar karena kedinginan, dan kepalanya pusing sekali.
"Hatchiih!" Ia kembali bersin. Oh, ada apakah dengan dirinya? Tak mungkin ia sakitu
karena hal sepele. Tapi, entah kenapa tiba-tiba pandangannya menjadi kabur dan semuanya
gelap.
Yuriko membuka matanya perlahan, ia menatap setiap sudut ruangan itu, ternyata ia
berada di dalam apartemennya.
"Yuriko kamu sudah bangun," ujar Zidan sambil membawa bubur hangat buatannya. Ia
melangkah mendekati Yuriko yang terbaring lemas di atas kasur dan meletakan buburnya di
meja dekatnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" ucap Yuriko sambil memalingkan wajahnya
"Tentu saja untuk merawatmu,"balasnya dengan lembut. "Kau sedang sakit, Yu-Chan.
Tapi kau tetap nekat pergi keluar padahal cuaca sedang dingin seperti ini."
"Bukan urusanmu," sinis Yuriko tanpa menatap wajah Zidan.
Zidan hanya tersenyum melihat tingkah Yuriko. "Makanlah bubur ini selagi masih
hangat. Atau mau aku suapin?"
Yuriko diam membisu, ia tetap memalingkan wajahnya tanpa menoleh sedikitpun ke
arah Zidan. Zidan menghela napas berat, ia bangkit dari duduknya, "Semoga lekas sembuh ya,
Yu-chan, jika kamu butuh apa-apa panggil saja aku," ucap Zidan. Ia melangkah meninggalkan
Yuriko.

66
Tiba-tiba, arghhh!
Zidan jatuh tersungkur menabrak pintu apartemen Yuriko sambil memegangi kepalanya.
Ia meringis kesakitan. Yuriko yang melihat hal tersebut tentu saja kaget dan spontan bangkit
dari kasurnya kemudian menghampiri Zidan.
"Apa yang terjadi? Ada apa ini? Kau kenapa? Hei, kau kenapa?"
Yuriko tampak panik, ia menghiraukan sakit kepalanya sendiri. Segera ia membantu
Zidan untuk bangkit, namun itu sia-sia. Tubuhnya terlalu kecil hanya untuk memindahkan satu
lengan Zidan ke pundaknya. Justru, Yuriko malah jatuh ke pangkuan Zidan. Hal tersebut
membuat kedua pipi Yuriko merah padam.
"Yu-chan," kata Zidan ketika ia membuka matanya dan melihat Yuriko ada di
pangkuannya.
"Zi-Zidan jangan salah paham dulu, aku hanya panik melihatmu tiba-tiba terjatuh," kata
Yuriko tersimpuh malu
"Dasar! kau memang menarik," Zidan berusaha bangkit dan berkata, "Terima kasih Yu-
chan,"
"A-apa maksudmu?" Tiba-tiba saja Yuriko menjadi kaku. Ia bingung dengan situasi yang
terjadi. Jantungnya berdegup kencang. Kencang sekali.
"A-arggh!" Zidan kembali meringis. Ia kembali terbaring di lantai sambil memegang
kepalanya.
"Zi-zidan, apa yang terjadi? Kau kenapa?" ucapnya dengan serak. "A-ah, a-aku akan
memanggil ambulance! Kau tunggu disini! Bertahanlah!" Yuriko segera bangkit dan bersiap
berlari keluar, namun tangan lemah Zidan menghentikannya.
"Jangan Yu-chan, jangan repot-repot."
"Bodoh! Kau sedang kesakitan! Mana mungkin aku diam saja!" teriak Yuriko dengan air
mata yang mulai bercucuran.
Zidan menatap Yuriko tak percaya. Ada apa ini?
"Ada apa, Yu-chan? Kenapa kamu menangis," ujar Zidan setengah tidak percaya.
Arghhh, tiba-tiba Zidan kembali tersungkur sambil memegangi kepalanya. Ia terus meringis
kesakitan. Perlahan pandangannya mulai pudar dan gelap.
Zidan membuka matanya, ia pandangi sekilingnya dan berkata, "Dimana aku?"
"Kamu di rumah sakit, kata dokter ... kamu ... hiks," Yuriko tak mampu bicara lagi. Ia
menangis. Terus menangis.
Zidan tersenyum tenang, ia berusaha memegang tangan Yuriko.
"Jangan menangis."

67
Yuriko tak mendengarkan. Tangisnya malah semakin menjadi.
"Yuriko, dengarkan aku. Aku tidak akan pergi, tenanglah. Usap air matamu,"
"Kau akan pergi, aku tahu. Kau akan pergi, a-aku ... a-ku," Yuriko menggenggam erat
tangan Zidan. Ia sangat menyesal, menyesal sekali kenapa dulu ia tidak peka. Tangisnya malah
semakin menjadi.
"Tenanglah, Yu-chan. Aku tidak apa-apa," ujar Zidan sambil tersenyum
"Bodoh, Zidan bodoh," kata Yuriko sambil memukul tubuh Zidan.
"Yuriko jangan dipukul terus aku kesakitan,"
"Kenapa kamu peduli padaku, Zidan?"
"Kenapa ya? Mungkin karena dirimu menarik,"
"Bodoh, aku menarik darimana padahal aku selalu cuek padamu, dasar!"
"Hihi, oh iya Yuriko kenapa begitu cuek padaku, padahal aku selalu menyapamu setiap
pagi."
"Kau ini! Kenapa bertanya hal seperti itu! Sebenarnya apa mau ..."
Tiba-tiba tubuh Zidan bergetar hebat, tangannya begitu dingin. Yuriko berteriak kaget
dan segera memanggil Dokter.
Dokter beserta asistennya berdatangan dan segera melakukan pertolongan kepada
Zidan. Namun, Tuhan berkata lain. Nyawa Zidan tidak bisa terselamatkan. Sudah lama Zidan
menderita kanker otak. Tapi ia mengabaikannya sampai akhirnya memasuki stadium 4. Yuriko
begitu terpukul atas kepergian Zidan, ia sangat sedih. Hidupnya begitu hampa.
Hanya satu perkataan Zidan yang ia ingat, yaitu, "Yuriko, jangan larut dalam
kesedihanmu. Teruslah hidup dengan semangat. Kamu cantik, Yuriko."

68
12 Kesatria Komondor
Penulis: Fery Setiawan dan Irwan Is Pratama

Di wilayah yang bernama Land Of Down, sedang terjadi pembantaian umat manusia
yang dilakukan oleh horor tidak ada yang tahu darimana datangnya horor dan mahluk jenis apa
mereka. Tapi, bukan manusia namanya jika mudah menyerah .
“Serang!” ucap pemimpin dari klan lighn. Klan lighn adalah klan yang memiliki keahlian
dalam pertarungan jarak dekat dan ahli dalam penggunaan pedang.
“Hyaa ... serang yang besar di sebelah sana,” ucap Nash. Nash adalah anak muda tapi
kemampuannya dalam berperang tidak bisa diremehkan. Dia juga merupakan calon pemimpin
klan lighn
“Kalian berpencar lah. Bagi tim menjadi 6 kelompok, yang terdiri atas dua orang aku
akan bersama dengan kapten,” ucap Carl. Carl adalah wakil sekaligus pengawal dari Nash lighn
“Baik!”
“Jika ada masalah segera minta bantuan kepada kelompok yang lain, kami akan
memberikan bantuan sesegera mungkin.”
“Kapten awas!” dengan reflek yang cepat Nash menebas horor yang mencoba
menyerangnya.
“Woah reaksimu luar biasa, benar benar insting seorang petarung sejati.”
“Ah, ini belum seberapa dasar bodoh.”
“Siapa yang kau sebut bodoh ? Dasar kapten sialan.”
“Hoi hoi, kurang ajar sekali kau hah! Kau ingin uang gajimu dipotong, ya ?”
“Memangnya aku pernah digaji oleh kapten? Bukankah yang memberi upah itu
ayahmu? Dasar kapten idiot.”
Sementara kapten dan wakil kapten berdebat karena hal konyol, horor yang ada di
sekitar mereka pun mencoba untuk menyerang. Bukannya memperdulikan horor yang
menyerang mereka malah tetap asik dengan perdebatan konyol yang mereka mulai. Tiba-tiba,
"Bruakkk!" Sebatang pohon hasil lemparan para musuh hampir saja menimpa mereka tanpa
mereka sadari.
"Aaaaargh, sial!" erang Nash meringis kesakitan.
Terlihat patahan ranting menancap di pantat kapten Nash.
"Kapten, kau tidak apa apa?"
"Ini semua salahmu, Carl. Andai saja kau tidak mengajakku berdebat pasti tidak akan
seperti ini. Hufft!"

69
"Ayolah, jangan cengeng, Kapten. Ini tidak terlalu dalam, biar kubantu mencabutnya,"
ledek Carl.
Dengan cekatan Carl mencabut patahan ranting itu dari pantat kapten Nash. "Srat ...
srat," seketika itu pula, Carl mengayunkan pedang dan menebas kepala Horor yang hendak
menyerang mereka.
Sementara itu, terlihat segerombolan Horor mulai mendekat menuruni gunung
Komondor, gunung berapi yang kering dan tandus. Sepertinya di gunung berapi itulah para
Horor bersembunyi selama ini.
Melihat hal itu, kapten Nash memerintahkan Carl dan kesepuluh kesatria untuk mundur
memasuki hutan kegelapan lebih dalam, karena Nash tau, posisinya sekarang berada di tempat
yang sedikit terbuka, tentusaja itu tidak menguntungkan buat mereka. Bisa bisa mereka di
bantai habis habisan oleh para Horor. Hanya setrategi itulah yang terpikirkan oleh Nash saat itu.
Tapi ternyata, perkiraan Nash salah, mereka telah terkepung dan tersudut di tepi jurang
tanpa dasar, yang ada hanya tebing tinggi dan jurang.
"Srat ... Sratt," meskipun telah tersudut, mereka tetap berjuang sampai titik darah
terakhir.
"Kapten. Suatu kehormatan bisa berperang di sampingmu," ucap salah satu kesatria.
Dalam suasana haru, merekapun berpelukan layaknya teletubies.
"Tunggu, meskipun pada akhirnya kita tetap akan mati, tapi kita harus menghancurkan
mereka," ucap Nash penuh semangat.
"Carl, bukankah kau pendaki yang handal, ambil peledak di kereta kuda, panjatlah
tebing itu dan pergilah dan ledakkan kawah gunung komondor, hanya itulah cara untuk
melenyapkan mereka," terang Nash sambil bercucuran air mata.
"Sratttt." Cakaran demi cakaran mendarat di tubuh para kesatria itu sampai akhirnya,
"Duaaaaaarrrr!!" letusan gunung berapi komondor meluluh lantahkan mereka semua tanpa sisa.
Karena kegigihan para kesatria itu, mereka dikenang dengan sebutan 12 kesatria komondor.

70
Kisah Si Anjay yang Gaje
Penulis: Sgpd dan Enjay Jaenudin

Tersebutlah seorang pemuda bernama Anjay sedang mancing bersama temannya


Sgpd. Dalam keheningan menunggu umpan yang sukses terkail. Sebuah obrolan pun terjadi di
antara mereka berdua.
"Pret, kok lu masih jomblo?" tanya Anjay membuka obrolan.
"Karena gue bukan si Pret," senyum Sgpd.
"Bodo amat."
"Serius ini, kampret! Lu ngapa masih jomblo?" sekali lagi tanya Anjay penasaran.
"Karna gue ga punya pacar qaqa," jawab polos Sgpd.
"Au ah elap."
Karena bad mood, Anjay tidak lagi bertanya apapun kepada rekan kampretnya itu.
Menjelang sore, kedua pemuda itu pun pulang ke rumah masing-masing.
Nyam nyam nyam glek!
Anjay makan begitu lahap, dengan lauk ikan goreng tangkapannya tadi siang.
"Yang tadi sore lu pancing kan ikan idup, bukan ikan goreng," protes Sgpd kepada si
pembuat cerita.
Uhuk!
Anjay keselek.
"Kok lu di sini?" Anjay kaget dengan kemunculan Sgpd.
"Pan gue ngekos bareng elu."
"Anjay!"
Mendengar itu Anjay pun bodo amat dengan jalannya cerita yang mengkisahkan dirinya
ini.

71
TAMAT

72

Anda mungkin juga menyukai