Anda di halaman 1dari 50

Jesya refleks mendongak, saat Bobi memakaikan kupluk jaket menutupi kepala gadis itu.

"Gue nggak bawa topi. Jadi pake ini aja," kata Bobi dengan suara seraknya, membuat Jesya
melebarkan mata dan tertegun.
Bobi memandang depan lagi, kembali melangkah lebih dulu. Jesya mengerjap, segera
menguasai diri. Ia ikut menapakkan kaki mulai mengekori Bobi. Jesya agak memperbaiki
kupluknya karena panas makin terik.
"Sepi banget ya," kataBobi memecah hening.
"Hm. Jam segini siapa yang mau keluar rumah? Panas banget," jawab Jesya memandangi
jalanan yang kini kosong. Hanya ada beberapa angkot dan motor melintas.
Memang, sejam setelah jam pulang sekolah jalanan akan sangat sepi dan lenggang. Ketika
mereka berbelok di simpangan, jalanan benar-benar kosong. Hanya ada keduanya jalan
bersisian di trotoar.
"Anjir. Ini orang-orang lagi lebaran?" celetuk Bobi menoleh kanan kiri, memandang jalan sepi
dan kosong. "Atau jangan-jangan ada car free day?"
Bobi dengan iseng melompat dari trotoar, berlari ke tengah. Jesya mendelik, memandangi si
tengil satu itu yang sudah berdiri di tengah-tengah jalanan.
"Woi woi potoin gua!" kata Bobi heboh, sudah menari-nari bodoh di tengah jalan.
Jesya menggeleng sambil merogoh hape. Gadis itu tertawa, ketika Bobi bertingkah konyol dan
tak tahu malu. Bahkan ia menidurkan diri di atas apal.
"ANJIR PANAS!" teriak Bobi segera bangkit, membuat tawa Jesya makin keras. "Jesya! Sini
gabung!" ajaknya ketika melihat cewek itu sudah selesai memotretnya.
Jesya menoleh kanan kiri, melihat benar-benar tak ada kendaraan dan orang. Cewek itu sambil
tertawa berlari menghampiri Bobi. Entah kenapa ia merasa senang saat berhasil berdiri tengah
jalanan besar ini.
Bobi memimpin, berlari sambil teriak-teriak riang. Jesya –dengan bodohnya- mengikuti berlari
sambil tertawa-tawa sampai kupluknya terjatuh ke belakang.
Ketika Jesya di sampingnya, Bobi meraih tangan cewek itu. Menggandengnya dan memain-
mainkan sambil berlari di tengah jalan.
"SEPANJANG JALAN KENANGAN! KITA BERGANDENGAN TAAAAAANGAAN..." nyanyi Bobi
dengan suara serak beratnya yang berisik itu, menggoyang-goyangkan lengan Jesya yang
tertawa riang.
TIIINNN
Keduanya terlonjak setengah mati. Mereka menoleh ke belakang, melihat sebuah mobil
mendekat. Bobi dengan segera menarik Jesya kembali ke tepi. Jesya malah makin tertawa
tertarik oleh Bobi kembali ke trotoar.
Melihat mobil itu sudah melintas, Jesya memandang Bobi semangat. "Ayo lagi Bob! Lagi!"
pintanya dengan riang.
"Yeee lagi, lagi. Itu Mixmenya kelewatan!" kata Bobi menunjuk ke bangunan merah yang sudah
mereka lewati.
Jesya tersentak, tersadar ia datang untuk makan. "Hehe, oh ya," katanya lalu tertawa nyaring
dengan bahagia.
Berikutnya, jadi cewek itu yang menarik tangan Bobi. Jesya dengan riang melangkah di koridor,
menggoyang-goyangkan lengan Bobi mengikuti apa yang dilakukan Bobi tadi. Bibirnya
tersenyum riang, entah kenapa merasa bahagia menggenggam jemari kokoh cowok itu.
Bobi sendiri sudah larut dan menikmati keadaan ini. Hatinya melambung tinggi, tersenyum lebar
memandangi Jesya yang tak henti-hentinya tertawa riang.

***
Namanya Jesya (sebelum Bobi ke rumah Cakra untuk membper)

"Bobi..."
Bobi yang asyik menghabiskan makan malam jadi menoleh. "Iya, Mah?" sahutnya pada sang
ibu yang duduk membentuk sudut dengannya di meja makan.
"Kamu... pernah ketemu Tante Maya di mall ya?"
Bobi yang baru akan memasukkan potongan ayam rica-rica ke dalam mulut langsung terdiam.
Pemuda itu membatu sejenak, namun mencoba tetap tenang. "Ah, iya. Udah agak lama,"
jawabnya lalu memasukkan makanan dan mengunyah dalam mulut. Dengan mata yang
menghindari tatapan sang ibu.
"Tante Maya bilang... kamu datang sama cewek?"
Bobi diam-diam merutuk, kini merunduk memainkan sendok di nasinya.
"Siapa? Sejak kapan kamu punya pacar?"
Bobi samar tersenyum miring. Bobi punya banyak malah, batinnya.
"Bobi, Mamah lagi ngomong ya."
Bobi mau tak mau menolehkan kepala mendengar suara menegas mamahnya itu. "Iya, Ma,
iya," jawab Bobi dengan tak minat. Ia masih memasang wajah tenang, "Emang kenapa sih?"
Mamah jadi melengos kasar, "Bobi, kamu nggak mikirin Iren?" protesnya membuat Bobi jadi
mengeraskan rahang.
"Mah. Iren tuh nggak mau sama Bobi. Udah berapa kali sih Bobi bilang?" tanya cowok dengan
lelah.
"Ya harusnya kamu kejar lah," sahut sang mamah tak mau kalah.
"Bobi juga nggak mau sama Iren," balas Bobi tegas, membuat bibir sang Mamah jadi terkatup.
Pemuda begigi kelinci itu mendesah berat, menaruh sendok dan garpu di atas piring begitu
saja. Ia meneguk sejenak air putihnya, kemudian berdiri dan beranjak.
"Mau kemana kamu?" tahan sang mamah dengan nada tajamnya membuat langkah Bobi agak
terhenti.
"Tadi Bobi sudah bilang, kan? Abis makan mau ke rumah temen," jawab cowok itu menoleh
sedikit.
"Makanan kamu belum habis."
"Bobi udah kenyang," jawab Bobi segera.
Sang mamah jadi mendesah keras mendengar intonasi itu. "Siapa teman kamu?"
Bobi diam sejenak. Cowok itu mendesah pelan. Sebelum pergi, ia menjawab dengan suara
seraknya.
"Namanya Jesya."

(Bobi Ketemu Jesya)


***
Topeng

Bobi bicara dengan Jesya

***
Perasaan Sebenarnya

Jesya mendengus kecil. Hidungnya memerah dengan mata sembab. Ia merapat ke kepala
ranjang, menangis tanpa suara. Hatinya terasa sangat sesak dan ingin meledak saat ini juga.
Rambutnya sudah berantakan tak karuan.
Setelah lima menitan, gadis itu mencoba menarik kembali air matanya. Ia merangkak kecil,
meraih hape di atas meja samping tempat tidur.
Meminta tolong pada siapapun, bahwa saat ini ia benar-benar sudah tak tahan lagi.
Sampai tak lama, pintu kamar diketuk. Jesya mengusap pipi basahnya, lalu berteriak kecil.
"Langsung masuk aja, Chua!"
Pintu dibuka. Gadis kecil berambut pirang itu menutup lagi dan berlari kecil langsung melompat
ke samping Jesya. Untung rumah mereka hanya berjarak beberapa rumah, membuat Chua
segera berlari ke sini mendengar isak dari telpon.
"Kenapa?" tanya Chua panik, secara naluri melingkarkan lengan di pundak Jesya dan
merangkul hangat temannya sejak kecil itu.
Entah kenapa tangis Jesya pecah kembali. Gadis itu menjatuhkan kepala di bahu Chua dengan
lemas. Dengan tersendat, ia menceritakan semua. Mengulang kembali tiap kalimat pemuda itu
tadi dengan penuh luka.
Chua mengusap-usap lengan Jesya dalam diam, mendengarkan dengan seksama.
"...Dia boleh sama siapapun... Gue udah biasa liat dia nempel ke cewek lain. Tapi kenapa
sekarang dia serius sama satu cewek?" tanya Jesya bergetar.
Chua menarik nafas sejenak, "Kak, gue udah bilang, kan? Memutuskan jadi seorang teman
untuk orang yang lo suka tuh beresiko. Selama ini lo selalu ngotot bilang it's okay selama dia
ada di samping lo. Lalu sekarang... lo sadar nggak akan bisa jadi seorang teman buat orang
yang lo suka."
Air mata Jesya kembali menetes. "Gue nggak tahu bakal kayak gini..." Ia menelan ludah
sejenak, mencoba berusara dengan suara bergetar. "Dulu gue tahu Bobi nggak pernah benar-
benar pakai hati sama cewek-ceweknya. Tapi sekarang beda. Dia bahkan berubah karena
cewek itu... Bobi bilang dia serius..." Jesya terbatuk kecil dan kembali tersedu.
"Gue memilih jadi sahabatnya karena gue ingin jadi orang yang dia cari pas dia butuh. Gue
nggak mau jadi cewek-cewek yang dia tinggalin sesuka hati itu. Gue udah cukup kesiksa
selama ini.... tapi sekarang udah puncaknya. Kali ini gue bakal egois. Gue nggak mau Bobi
suka sama cewek lain."
Chua merapatkan bibir, "gue tahu ini klasik. Tapi... banyak cowok lain. Lo bisa cari yang lain.
Emang udah dari dulu elo harusnya move on. Nggak akan mungkin lo terus sembunyi jadi
temen gini."
Jesya mendengus, mengusap hidung merahnya. "Anehnya cuma si biadab Bobi yang bikin gue
nyaman. Gue nggak bisa buka hati sama siapapun karena dia."
Chua mendesah lagi, "kak, udah berapa kali sih lo bohong gara-gara dia? Sampai kapan kayak
gini terus?" Chua mendecak, "lagian lo selalu ngata-ngatain Bobi brengsek, Bobi nggak peka,
Bobi hati batu, apalah. Tapi cowok brengsek itu yang selalu bikin lo nangis kayak gini."
Jesya mendengus, kali ini tak bisa menjawab. Gadis itu merunduk, tersedu dan terlena dalam
tangisannya. Membuat Chua makin mempererat rangkulannya.

Grup Chat Hi Kak

***
Hilang

Grup Chat 2a3

***
Cupid Hanna

Hanna chat bobi


*
Hanna chat yoyo

***
Akting

"Maksud kalian apa sih?" tanya Jesya mendelik kesal, sudah sampai di salah satu lantai mall
setelah mendengar penjelasan dari Hanna dan yang lain.
Jesya yang sebenarnya ingin seharian berada di kamarnya menjauhi teman-temannya harus
mengalah ketika Yoyo dan Hanna menjemputnya. Langsung mengajak Jesya pergi begitu saja.
Ada Junaid dan Cakra ikut serta. Kini membawa Jesya ke sebuah mall dan menjelaskan
semuanya.
"Bukannya Bobi udah yakin sama Iren Iren itu? Terus gue harus apa?" tanya Jesya
mengerutkan kening, karena Hanna mengatakan Bobi membutuhkan pertolongan Jesya
sekarang.
Hanna mendesah, "Bobi tuh maksain dirinya, Jes. Dia masih muda gitu. Masa lo tega temen lo
dijadiin boneka bisnis gitu?" tanyanya meyakinkan. "Cuma lo yang bisa nolong karena saat
ketemu Tante Maya elo yang dikenalin Bobi sebagai pacarnya. Gue nggak mungkin bisa bantu
karena bagi mereka gue tuh mantannya Bobi."
"Mantan-Apa?" Jesya terkejut kaget, begitu pula Hanna yang ikut kaget.
"Lah, Bobi belum cerita?" tanya Cakra bingung.
Jesya tenganga, "bentar-bentar.... Ini maksudnya apa sih? Gue cuma tahu Bobi dijodohin sama
Iren. Gue nggak ngerti apapun boneka bisnis terus elo apa sih ha?!"
Hanna menepuk keningnya sendiri, merutuk pada kebodohannya. Sementara Yoyo melengos
kecil.
"Intinya ya. Si Bobi tuh dijodohin sama Iren karena urusan sosialita mamanya. Dulu Bobi sama
Hanna pernah ngalamin hal itu dan harus pura-pura selama masa pemilu buat naikin nama
orangtua mereka doang. Dan sekarang Hanna sudah bebas dari itu. Tinggal Bobi yang nggak
pernah bisa ngebantah mamanya. Sekarang dia malah harus ngalamin hal ini lagi," jelas Yoyo
secara perlahan agar Jesya cepat mencernanya.
Yoyo melanjutkan. "Jadi lo ngerti kan kenapa ini gawat banget? Si Bobi walau nista gitu juga
manusia biasa, Jes. Biar mukanya aja yang jelek hidunya jangan juga lah."
Emang kasihan Bobi. Nggak ada orangnya masih aja dinajisin.
Jesya terdiam lama. Gadis itu menghela nafas panjang, "terus... sekarang gue harus apa?"

Iren mengangkat wajah, memandang pemuda berahang tegas yang berdiri di sampingnya ini
dan diam tak seperti biasa. Gadis itu jadi mendesah pelan, "napa lo? Dah minum obat makanya
normal?" celetuknya ingin mencairkan suasana kaku di sudut lobby itu.
Bobi menoleh tanpa minat. "Hn. Gue kalau normal ganteng, kan? Jadi diem aja dan pandangin
gue sepuasnya. Ada banyak waktu untuk terpesona kok," jawabnya tenang membuat Iren
mendelik jijik.
"Tumben lo mau semobil sama gue," kata Iren menyindir tadi Bobi datang menjemput keluarga
Iren yang sekarang sibuk berhenti di pinggir area parkir karena tak sengaja bertemu kolega
mereka dan Bobi serta Iren tak ingin ikut-ikutan jadi hanya menunggu di lobby.
Bobi mendesah berat, "kan calon tunangan," jawabnya ringan tanpa beban.
Iren malah jadi menertawai itu. "Mana cewek lo?" tanyanya seakan ingin menegaskan alasan
kenapa ia menolak hal ini.
Bobi tersenyum miris. "Dah bahagia sama pacar baru," celetuknya asal.
"Ck. Lo napa nggak pernah serius sih kalau diajak ngobrol," protes Iren jadi sebal. "Pantes
cewek lo pergi," sambungnya mengejek.
Bobi hanya tersenyum miring, tak banyak menanggapi. Sampai mamanya datang mendekat
bersama Tante Maya membuat pemuda itu mengangkat wajah dan berdiri tegap. Iren juga jadi
ikut menoleh.
"Yuk masuk. Dah ditungguin loh," kata Tante Maya menggapit lengan Iren dan mulai memasuki
area Mall.
'Padahal mereka yang bikin lama,' batin Bobi merapatkan bibir mengekori di belakang. Cowok
dengan sweater navy itu diam saja sedari tadi.
Keempatnya berjalan menyusuri area mall, lalu menuruni lantai menuju tempat pertemuan.
Baru berbelok ketika sampai di lantai satu, langkah Bobi terhenti begitu saja. Matanya langsung
menangkap segerombol familiar berdiri tak jauh dari sana.
Jesya tanpa sengaja menoleh, terkejut melihat sosok Bobi tahu-tahu sudah datang. Yang lain
juga segera tersadar. Hanna dengan segera bersembunyi ke balik punggung Yoyo,
menghindari pandangan tante-tante yang sering ia temui di acara mamahnya itu.
Bobi mengangkat alis, melihat sosok Junaid dan Cakra juga di sana. Ia berpandangan dengan
Junaid, seakan sahabatnya itu memberi tanda melalui tatapan. Membuat Bobi mulai mengerti
perlahan. Kemudian kembali memandang Jesya yang juga datang untuknya.
Tante Maya dan Mama Bobi masih tak menyadari dan terus mengobrol heboh tertawa-tawa
cantik sambil terus melangkah. Sampai Iren merasa ada yang hilang, membuatnya berhenti dan
menoleh ke belakang. Memandang Bobi yang terdiam di tempatnya.
Keberhentian Iren otomatis membuat Tante Maya berhenti juga. Ia ikut menoleh, memandang
Bobi di belakangnya.
"Bobi?" panggilan sang mamah membuat pemuda itu terkejut dan menoleh kaget. "Kok
bengong? Ayo."
Bobi diam. Ia menggerakkan kepala lagi, bertatapan dengan Jesya yang juga menatapnya
lurus. Bobi meneguk ludah, berusaha meyakinkan diri.
Semua terkejut, ketika pemuda bersweater navy itu berbelok arah. Melangkah mantap
mendatangi Jesya yang didorong pelan Cakra agar segera menemui pemuda itu.
Tante Maya melebarkan mata, terdiam begitu saja mengenali wajah cantik gadis itu yang kini
menghampiri Bobi dan berhenti berharapan.
Jesya menatap Bobi lurus, kemudian mengerjap pelan. Membuat pemuda itu entah kenapa
tersenyum begitu saja. Hatinya langsung meringan melihat keberadaan gadis cantik itu.
"Kok disini?" tanya Bobi dengan suara dilantangkan.
Membuat Jesya mengerti drama sudah dimulai.
Jesya balas tersenyum, "mau ngerjain tugas sama mereka," jawabnya mengerling pada Junaid,
Cakra, serta Yoyo yang berdiri merapat. Sengaja karena menyembunyikan Hanna yang tak
mau ikut-ikutan.
Tante Maya berdehem nyaring, membuat Bobi dan Jesya menoleh perlahan. Deheman itu juga
menyadarkan Mama Bobi yang ikut tersentak.
Mama Bobi jadi mengernyitkan kening, lalu berjalan mendekat diikuti Tante Maya yang segera
menarik paksa Iren yang ogah-ogahan.
Jesya meneguk ludah, berusaha menyiapkan diri.
"Siapa Bob?" tanya Mama Bobi dengan anggun.
Bobi meneguk ludah, berdehem kecil dan kini mengambil posisi ke samping Jesya. "Ini
temennya Bobi yang namanya Jesya."
Raut wajah Mama Bobi langsung berubah. Mengenali nama yang Bobi tegaskan kala itu.
Bobi menoleh ke arah Yoyo dan yang lain. Ketiganya langsung menegak mengerjap-ngerjap
memandang Bobi. "Kalian udah mau pulang?" tanyanya dengan kerlingan memberi tanda.
"Ya!" jawab Cakra lantang, dibantu anggukan kompak Yoyo dan Junaid.
Bobi menoleh lagi pada sang mama. "Kalau gitu Bobi anter Jesya pulang dulu ya, Mah. Nanti
nyusul kesini lagi. Nggak enak sama mereka," katanya membuat ekspresi sang ibu makin
mengeruh. Jesya meneguk ludah dan mencoba tetap tenang.
"Iren boleh ikut?" celetukan Tante Maya membuat Bobi tersentak, begitupula Iren yang
namanya disebut.
Iren yang mengerti keadaan merapatkan bibir. "Bobikan mau antar pacarnya pulang kenapa
Iren harus nemenin?" tanyanya seakan menantang membuat Tante Maya jadi mendelik.
Iren menipiskan bibir lagi, menoleh pada Jesya. Ia tersenyum ramah, "oh, ini pertama kali kita
ketemu ya? Aku Iren, temennya Bobi."
Jesya dengan canggung tersenyum membalas.
Melihat itu dada Bobi makin meringan membuatnya tersenyum lebar. Semangatnya datang
begitu saja dari sebelumnya tanpa antusias sama sekali.
"Oh, ya, Ren. Ini Jesya... Pacar gue." Sambil mengatakannya, Bobi meraih jemari Jesya. Walau
matanya masih menghindari tatapan tajam sang ibu yang tak terima.
Melihat aura semakin tak mengenakkan, Bobi mendesah pelan.
"Bobi anter Jesya dulu ya. Nanti janji kesini lagi kok," pamitnya tersenyum lebar
memperlihatkan dua gigi kelincinya.
"Ehm. Permisi tante," pamit Jesya kaku, mengangguk sopan pada Tante Maya ataupun Mama
Bobi yang masih dingin padanya.
Bobi langsung beranjak, menarik pergi gadis itu. "Ayo," ajaknya pada Yoyo dan yang lain.
Hanna dengan segera menjatuhkan rambut panjangnya menyembunyikan wajah. Meraih
lengan Yoyo merapat dan berjalan cepat mengekori Bobi dan Jesya yang memimpin di depan
melangkah pergi meninggalkan tiga wanita di belakang itu.
Saat sudah jauh dan di luar pandangan sang ibu, Bobi menghela nafas panjang sambil
menoleh ke belakang.
Ekspresinya berubah seketika.
"WOI ANJING GUE KEREN BANGET NGGAK SIH TADI?! GILA ANJING JANTUNG GUE MAU
MATI ANJING GUE KIRA GUE MAU DIKUTUK JADI MALIN KUNDANG TADI!"
Jesya langsung tenganga, berbanding terbalik dengan Cakra yang bersorak riang menyambut
Bobi.
"Kak anjir gue tadi kayak nonton Boy sama Reva ketemu Adriana!" kata Cakra heboh. "Ini
Jesya... Pacar gue. ANJENG GENTLE AMAT LO BELAJAR DARI MANA!" katanya bangga
mengulangi gaya Bobi tadi.
"BOBBEHHH!!!" ucap Bobi menepuk dadanya dengan sombong. Keduanya jadi bersorak riang
bersama dengan bahagia.
"Iya Bob, Iya. Serah lu," kata Junaid malas.
"Kenapa sih kalian tuh idiot banget?" tanya Hanna dengan nada lelah.
Yoyo melengos panjang, lalu menoleh memandang gadis cantik yang berdiri di samping Bobi.
Raut wajahnya tak terbaca menatapi pemuda bergigi kelinci itu yang asyik berheboh ria
bersama Cakra.
"MANTAB ANJIR GUE KAYAK ALIANDO AJA TADI TUH!" kata Bobi masih tak habis-habis.
Tapi tawa puasnya terhenti, ketika matanya bertemu pada gadis yang sedari tadi diam di
sampingnya. Raut wajah Bobi langsung berubah, begitupula yang lain jadi terdiam.
Jesya menghela nafas panjang menatap Bobi tak terbaca. "Dasar bego," gumamnya singkat.
Lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi, membuat Bobi jadi terdiam.
Bobi tersenyum sendiri, "Jesya sayang tungguin dong!" celetuknya riang sambil berlari
mendekat menyusul Jesya dengan senyum lebar yang tak kunjung hilang.

***
Sahabat

Bobi mendudukkan diri ke samping gadis itu yang sedari tadi diam duduk sendiri di taman
belakang mall. Pemuda itu menyodorkan segelas Bubble Tea rasa Taro.
"Kesukaan lo kan?" tanya Bobi tersenyum lebar, membuat Jesya menerimanya dan hanya
diam.
Bobi tersenyum lagi, "thanks ya."
"Hm," Jesya berdehem saja, mulai meminum bubble tea dari sedotan besarnya. Ia melirik,
melihat Hanna dan yang lain memilih duduk di meja kafe Bubble Tea dan membiarkan Bobi
mendatangi Jesya berdua saja.
"Tunangan lo cantik," kata Jesya pelan, membuat Bobi terkekeh kecil.
"Hn. Makanya gue nggak nolak," sahut pemuda itu tertawa tanpa dosa. Ia menoleh,
memandang wajah Jesya dari samping. "Tapi kalau urusan muka doang mah, cantikan elo kali
Jes."
Jesya agak tersedak, tapi hanya mengangkat sebelah alis tak minat menyahut.
"Sekarang ada alasan Tante Maya ilfil sama gue. Tinggal nanti gue ngadepin nyokap di rumah
aja nih," kata cowok itu mendesah panjang. Ia diam sejenak, lalu kembali memandang Jesya.
"Nanti temenin yah?" pintanya berharap.
Jesya mengangguk begitu saja, tak perlu bepikir dua kali.
Bobi tersenyum menyeringai, "Ah, elo emang sahabat terbaek gue," katanya riang, merangkul
gadis itu dengan bahagia.
Jesya tak melepaskan gigitan bibir pada sedotannya. Gadis itu tak menyahut. Pasrah saja
terjatuh lemas di dada bidang Bobi karena pemuda itu kini jadi memeluknya dengan satu
lengan.
Tak ada yang tahu diam-diam ia mencoba menguatkan dirinya sekali lagi.
Merutuki kenapa tadi sempat terbang ketika pemuda itu menegaskan namanya, menggenggam
jemarinya dengan kerlingan tegas memperkenalkan nama Jesya sebagai kekasihnya. Jesya
lagi-lagi dibuat terpesona. Jesya lagi-lagi dibuat merona. Dan lagi-lagi, jantungnya dibuat
berdebar hangat dan ringan.
Tapi semua tak berlangsung lama.
Ketika jemari Bobi terlepas begitu saja. Bersorak riang bahwa aktingnya telah berhasil.
Akting.
Jesya tersenyum miris mengingat itu. Ia segera menegakkan tubuh, menjauhkan diri dari Bobi
yang jadi menolehkan kepala.
"Ayo pulang. Nyokap lo nanti nungguin," kata Jesya mengalihkan wajah, tak mau Bobi melihat
ekspresinya kini.
"Ah biar aja. Gue masih mau sama lo," celetuk Bobi tanpa beban. "Nanti juga kalau balik pasti
gue dikasih tatapan leser. Jadi mending gue nunggu sampe pulang aja dah baru jemput."
Jesya menipiskan bibir, "kalau gitu gue yang pulang," katanya sambil memperbaiki posisi
slingbagnya dan berdiri.
Tapi Jesya kembali terduduk begitu saja saat Bobi meraih tangannya dan menariknya lembut
agar duduk kembali.
"Ck. Nanti dulu," kata Bobi dengan gaya memaksa. "Bentar aja deh. Sini dulu sama gue."
Jesya memutar mata sebal, "mau apa sih ha?"
"Yeee elo kenapa sih nggak mau banget duduk berdua sama Nam Joo Hyuk," sahut Bobi kesal.
"Bob, jangan mulai lagi," kata Jesya dengan nada lelah.
Bobi jadi mencibir. "Elo tuh ya. Duduk sama Nam Joo Hyuk nggak mau. Apalagi baper sama
Nam Joo Hyuk, katanya ogah."
Jesya terdiam. Gadis itu menipiskan bibir dan segera menguasai diri mencibirkan bibir.
"Gue lagi Nam Joo Hyuk mode on nih," kata Bobi dengan wajah meyakinkan. "Masa lo nggak
tergerak sama sekali gitu?"
Jesya mendelik, "lo ngomong apa sih?" katanya belagak tak mengerti.
Bobi merapatkan bibir, lalu menatap Jesya tepat dengan sorotan serius. "Lo pernah nggak sih
mikir gitu bertanya-tanya di lubuk hati lo yang terdalam ataupun bertanya pada bulan dan
bintang di malam hari," katanya dengan gaya sungguh-sungguh walau tetap rangkaian katanya
meracau asal. "Kenapa gue selalu menyamakan diri sama Nam Joo Hyuk?"
Jesya diam. Gadis itu mengernyitkan kening. Ia diam lama, "eum... karena dia ganteng?"
"Dih. Gue juga ganteng," sahut Bobi segera membuat Jesya mendelik. "Lalu kemaren, gue
sempet nyamain diri sama Song Jong Ki. Lo nggak pernah mikir gitu kenapa?"
"Emang ada alasannya?" tanya Jesya tak mengerti.
"Ada. Banget. Karena lo."
Jesya terkejut, menatap bingung Bobi yang mendadak tegas di depannya.
"Berapa kali lo bilang Nam Joo Hyuk ganteng Nam Joo Hyuk ganteng. Nam Joo Hyuk tipe gue.
Kapan punya pacar kayak Nam Joo Hyuk," kata Bobi dengan gaya memerankan Jesya yang
dibuat-buat. "Lalu lo sempet kena demam Bigboss Bigboss itu. Lo ngomongin Sijin sijin Jongki
Jongki. Gue jadi ikutan!"
Jesya tenganga, "kenapa gitu?" tanyanya masih tak mengerti.
Bobi dengan sebal menatap gadis ini gemas. "Karena lo selalu nyebut mereka gue jadi
terperanguh tahu nggak. Gue tuh selalu merhatiin lo. Jadi apapun hal kecil yang lo lakuin ya
gue inget. Jadinya gini nih. Terkontaminasi."
Mata Jesya melebar. Terdiam begitu saja.
"Padahal mah, jelas kerenan gue. Si Nam Joo Hyuk jadi keenakan tuh disama-samain sama
gue," kata Bobi penuh percaya diri.
Bobi mendesah, membuang muka sejenak. Pemuda itu menarik nafas pelan, lalu menoleh.
"Kapan sih lo mandang gue sama kayak saat lo mandang Nam Joo Hyuk?"
Jesya tersentak lagi. Gadis itu ditembak secara tiba-tiba membuatnya merasa jantungnya
seakan berhenti berdetak.
Jesya mencoba menyembunyikan gugupnya dengan meminum bubble teanya kembali. Gadis
itu mengecap lidah sejenak, menolehkan kepala membalas tatapan Bobi.
Jesya mencibirkan bibir, "keep dreaming," jawabnya sinis.
Ya, dia memilih kembali memakai topengnya.
Bobi mengangkat alis, lalu tertawa. Pemuda itu membuang muka, memandang jauh tanpa
fokus beberapa saat.
"Aku mah apa ya. Selalu jadi ampas di mata lo," kata Bobi dengan gaya drama.
"Lo bedakan gimana pun ya tetep sama," kata Jesya dengan cuek.
Bobi tersenyum. Ia diam beberapa saat, lalu menoleh kembali memandang Jesya.
"Tapi biar jelek gini tetep temen lo yang paling baik hati kan Jes?"
"Idih."
Bobi jadi tertawa lagi, "temen lo yang paling kalem ya cuma gue."
Jesya dengan sebal menjitak kepala Bobi, mengerucutkan bibir memerotes. "Dasar buaya
ciliwung," katanya mengejek.
Bobi jadi menjulurkan lidah. "Gue tahu mah saling ngatain itu tanda sayang," katanya dengan
gaya ringan. Ia tersenyum menyeringai, memandang wajah Jesya dari samping.
"Emang sahabat tuh gitu. Longlastnya harus pake hina dina dulu."
Jesya mendecih saja, lalu kembali menyedot bubble teanya.
"Asek dong lo nanti sahabatan lama sama gua," kata Bobi dengan riang.
"Serah yu dah," jawab Jesya malas-malasan.
Bobi tertawa, mengacak rambut Jesya sejenak. Sebelum kemudian membuang muka ke arah
lain. Pemuda itu menarik nafas sedalam mungkin, menghembuskan pelan dan menguatkan
dirinya sendiri.
Karena memang tak semudah itu. Mungkin Bobi terbiasa berceloteh ringan mengumbar cinta.
Tapi kali ini berbeda. Dia ada dua persimpangan. Sudah nyaman dengan hubungan atas nama
persahabatan ini. Tapi di sisi lain ingin melewati batasnya dan menggenggam jemari gadis ini
sebagai seorang spesial.
Tapi tetap saja Bobi takut.
Ia sendiri tak mengerti benar apa isi hatinya. Bobi tak ingin Jesya terluka jika harus egois
merusak persahabatan ini.
Bobi kini mulai berpikir... jika ini hanya perasaan lewat yang akan membuat persahabatannya
goyah.
Dan Bobi tak ingin itu terjadi.
Terlalu larut dalam perasaannya sendiri, pemuda bergigi kelinci itu tak menyadari.
Bahwa gadis di sampingnya ini sedari tadi sudah mendongak menatap langit malam yang
berlawanan dengan Bobi. Menahan beningan hangat agar tak terjatuh dari kelopak matanya
yang sudah menghangat dan basah.

***
Bobi Galau

Grup Hi Kak

Sementara di tempatnya, Bobi mengulet kanan kiri. Merasa gelisah belum tuntas-tuntas. Seperti
ada hal yang harus ia lakukan, tapi tidak berani membuat pergerakan.
Bobi merutuki diri. Baru kali ini benar-benar merasa hilang arah masalah perempuan. Cowok itu
mendecak, kembali mengangkat hape dan menghubungi seseorang.
Bobi: yang :((((
Bobi menghela nafas memandangi harapan terbesarnya kali ini. Yang tak lama ada balasan
chat.
Bobi chat Theo
Bobi jadi bangkit dari posisi berbaringnya. Ia menarik nafas sedalam mungkin. Jarinya mencari
room chat Jesya. Cowok itu meneguk ludah membukanya.
Yang kemudian merutuk dan buru-buru menutup room chat, berganti ke yang lain lagi.
Bobi Chat Yoyo.

"Chaa, ada temen tuh."


Jesya yang sedang malas-malasan di atas tempat tidur jadi mengernyit. Ia yang baru selesai
mandi sebenarnya ingin tidur lagi dalam keadaan rambut setengah basah. Cuma pakai piyama.
Selimutan. Ugh enak banget.
Tapi abangnya menganggunya.
"Bilang aja aku tidur," jawab Jesya malas.
"Katanya mau ditungguin," kata kakak Jesya membuat Jesya mengernyit.
Jesya diam sejenak, lalu mau tak mau bangkit. Ia menghela nafas pasrah merangkak turun dari
tempat tidur dan mengambil ikat rambutnya, mengikat asal rambut panjangnya.
"Siapa sih?" tanya Jesya melangkah keluar kamar.
Jesya dengan malas-malasan menuju teras rumah. Kalau saja ini salah satu dari anggota
Taman Sari Sq, Jesya akan memukulnya keras karena menganggu hari libur indahnya ini.
"PAGI JESYA!"
Jesya terperanjat.
Gadis itu langsung loncat ke belakang.
Mata mengantuknya seakan ingin mencelat melihat pemuda bergigi kelinci itu sudah berdiri di
depan rumahnya dengan cengiran lebar.
Ah bukan cuma itu.
Dia tak sendiri.
Ada boneka beruang putih besar di pelukannya.
Eh?

***
Date

Jesya masih bengong. Menatap Bobi seperti hilang kesadaran. Gadis itu mengerjap-ngerjap,
mungkin saja ia masih mengantuk dan berhalusinasi.
Tapi Bobi masih di sana.
Memegang boneka besar seukuran setengah badannya. Dengan cengiran lebar khas bunny-
smile nya.
Ibaratnya tuh jadi kelinci lagi bawa beruang putih.
Masih dengan piyama biru muda bergambar bunga merah jambu Jesya tenganga. Ia
menggaruk kecil rambut lembabnya yang terikat asal.
"Ngapain lo?" tanya Jesya dengan wajah bengongnya.
Bobi dengan riang mendekat. Bobi yang di sekolah sok badboy jadi cowok bandel nan bobrok
dan sering godain cewek.... Pagi ini meluk boneka beruang putih besar sambil tersenyum lebar.
"Mau surprise dong biar kayak relationship goals..."
…… Gagal ganteng.
Jesya mencibir. Sama sekali tidak terlihat tersentuh.
Nggak. Dalam hati dia sudah lumer sendiri.
"Nih, ucapan terima kasih dari Abang Bobi," kata Bobi menyodorkan boneka itu, membuat
Jesya otomatis menerima dan memeluk leher boneka. Bobi menyeringai lebar, "kemaren nggak
kayak biasa, nyokap gue malah terima aja dan nggak bahas Iren lagi," ucapnya dengan riang.
Alis Jesya terangkat tinggi, "ih, serius?" tanyanya tanpa sadar meninggikan suara ikut senang.
"Jadi hari ini... gue mau ajak lo pergi untuk merayakannya!" kata Bobi dengan senyum lebar.
Bobi mendekat, dengan beruang putih itu kini satu-satunya pemisah diantara mereka. Pemuda
itu mendengus, "lo udah mandi, kan? Baru mandi?" Ia mendengus lagi, "shampoo lo harum,
Jes."
"Ck, apasih lo," kata Jesya segera mundur menjauh.
Bobi mengangkat alis, kemudian menyeringai lagi. "Cepet sana ganti baju. Kita sarapan!"
Jesya mendesah pasrah. Ia membalikkan tubuh, tapi kemudian menoleh lagi. "Berdua aja?"
"Iyalah. Ngapain rame-rame," sahut Bobi tersenyum.
Jesya agak mengernyit, tapi kemudian berbalik memasuki rumah. Ketika wajahnya
membelakangi pemuda itu, senyumnya mengembang begitu saja mengeratkan pelukan pada
beruang putih di kedua tangannya.

Jesya memandangi pemuda di depannya itu, yang kini sibuk merunduk pada hape duduk
berhadapan di meja kafe pinggir pantai.
Iya, pinggir pantai.
Pagi pagi gini, Bobi ngajak Jesya makan di pinggir pantai.
"Eh, nanti malam ke rumah Hanbin?" tanya Bobi merunduk membaca chat dari hapenya.
"Iya. Si Embun ulang tahun. Terus katanya karena ada banyak makanan jadi temen-temennya
Hanbin diundang pas malem," jawab Jesya dengan tangan kini memainkan sendok pada
mashed potatoes-nya.
"Tapi anak-anak pada minta sore nih, Jes," kata Bobi lalu mendongakkan kepala. Bibirnya agak
berkerut kecil, "kan gue mau ngajak jalan lo sampe sore..."
Jesya jadi mendelik, "emang mau apa sih sampe sore?" tanyanya tak mengerti. "Lagian juga...
elo kesurupan apa sih? Dah tadi pagi ngasih gue boneka, terus bawa gue pantai, abis itu malah
traktir gue makanan mahal gini," katanya menunjuk sarapan ala West di depannya.
Bobi merapatkan bibir, menaruh hape ke samping piringnya. "Hari ini gue mau romantis,"
katanya membuat Jesya tenganga kecil. "Sekali-sekali kita romantis kek Jes jangan bobrok
mulu."
Jesya langsung tersedak. Gadis itu terkejut setengah mati. Mendadak ia jadi salah tingkah.
"Ha? Apaan? Biar apa?" tanya gadis itu cepat, sebenarnya menyembunyikan rasa gugupnya.
Bobi malah tersenyum, meraih garpu dan sendok tak menanggapi dan belagak sibuk
memotong sandwichnya.
Hening.
Cuma terdengar suara ombak.
"Ah anjir nggak enak ya kalau romantis," celetuk Bobi akhirnya tak tahan.
Jesya langsung mencibir, "ya elo juga. Cewek lo banyak napa yang dibawa romantisan malah
gue," protesnya geleng-geleng kecil.
"Ish elo tuh," kata Bobi gemas membuat Jesya mendelik. "Gue tuh maunya sama lo. Jangan
bahas yang lain deh."
Jesya mengkerut bingung, "kenapa harus sama gue?"
"Karena yang bikin gue seneng ya elo."
Jesya terdiam begitu saja. Gadis itu mengerjap, menatap Bobi di depannya yang mendadak
serius.
"Dulu gue ngajak jalan cewek-cewek lain karena emang gue akui itu cuma pelarian gue dari
nyokap. Tapi sekarang gue sadar ada elo. Kenapa gue harus repot-repot ke yang lain lagi?
Kenapa gue harus lari kesana kemari buat cari kebahagiaan kalau sebenarnya udah ada elo
disini."
Jesya tertegun. Keningnya masih berkerut. Gadis itu mencoba menenangkan jantungnya yang
seakan ingin meledak. Ia berdehem, menatap Bobi lurus.
"Karena gue sahabat lo?" tanya gadis itu serak.
Bobi seakan ditembak tepat di dada. Pemuda itu membeku sesaat, sampai kemudian
mendesah dan membuang muka ke arah laut. Tak menjawab membuat Jesya kali ini jadi tak
mengerti.
Hening lagi.
Jesya memain-mainkan sendok di krim supnya. Ia diam sejenak, "ah, Bob. Cepet deh abisin,
kita cari kado buat Embun. Kayaknya gue harus lebih cepet kesana deh. Nggak enak sama
mamahnya," katanya mengalihkan pembicaraan.
Bobi tersenyum tipis, "iya," jawabnya singkat, lalu merunduk memainkan garpu di atas lelehan
keju pada sandwichnya. Pemuda itu merasa patah begitu saja. Hanya karena satu kata ia
langsung mundur dan menciut.
Sahabat.

"Embun suka apaan sih?" tanya Bobi mengitari toko serba ada di salah satu mal besar.
"Eum... kayaknya dia lagi seneng Ultraman deh," jawab Jesya, yang kini malah sibuk
memandangi tas-tas tote lucu di salah satu sudut toko.
Bobi mendelik, "anak cewek kok ultraman?"
"Ya abangnya gitu," sahut Jesya begitu saja. "Elo juga kalau punya adek paling adek lo lo jejelin
aneh-aneh. Elo sama Hanbin kan kembar."
"Dih, gantengan gua," protes Bobi tak terima.
"Serah yu tong," kata Jesya tak peduli dan berjalan lagi. "Aduhhh ini semua lucu-lucu, lama-
lama gue yang beli nih bukan buat Embun," katanya yang hampir khilaf sudah mupeng
memandangi barang-barang menggemaskan ala cewek di toko itu.
Bobi yang mengekori gadis itu jadi mencibir. Ia tak sengaja memandang ke salah satu
gantungan di dinding, lalu mengernyit merasa familiar dengan kostum binatang berbentuk
piyama itu. "Si Jane sama Jevon belinya disini ya?" tanyanya memandangi baju-baju tidur itu
membuat Jesya menoleh.
"Hn. Anak-anak cewek di kelas emang belanjanya sering disini. Kan ada toko onlinenya juga,"
jawab Jesya kembali mengitari dan menoleh kanan kiri. "Disini kan jual barang-barang couple,
mainan, terus make up, alat-alat tulis, pokoknya yang lucu-lucu kayak ala-ala tumblr," lanjut
Jesya berhenti di salah satu spot. Tangannya terjulur meraih aneka case handphone di
depannya.
"Woi woi Embun kagak punya hape," kata Bobi di sampingnya membuat Jesya terlonjak.
Jesya mendecak, "ih kenapa sih. Lucu tahu," katanya sambil meraih salah satu kotak,
bergambar Mickey mouse favoritnya. Gadis itu mencuatkan bibir, "sejak Jevon punya pacar gue
dah jarang beli Mickey Mouse..." gumamnya tersadar hal itu. "Kan sayang tuh banyak promo
Mickey Minnie couple harga diskon."
Bobi jadi tertawa, tangannya meraih satu kotak bergampar Minnie Mouse. "Yaudah ambil. Gue
beliin," katanya membuat Jesya menoleh.
"Yakin lo couple an sama gue?" tanya Jesya tak percaya. "Nanti kalau gebetan lo liat lo punya
casing couple an dia pergi lo."
Bobi dengan sebal mendecak sambil mengacak rambut panjang Jesya. Jesya dengan sebal
menjauhkan diri memukul lengannya.
Bobi mendengus, "bagus dong kalau orang-orang tahu gue couple an sama lo. Jadi nggak ada
yang deketin lo lagi."
Mendengar itu Jesya langsung menoleh seutuhnya dengan kening berkerut. Walau ia mulai
merasa salah tingkah. Untuk menutupinya gadis itu mencubit hidung Bobi dan menariknya
gemas. Membuat Bobi mengaduh sakit.
"Ini jadi nggak nih dibeli?" tanya Jesya mengacungkan case hape itu.
"Iya iya, bawel lu," sahut Bobi memegangi hidungnya.
Jesya mengangguk-angguk kecil, lalu mulai berjalan lagi. Bobi mengekori di belakangnya.
Matanya bergerak sedikit, melihat kini tangan Jesya terjatuh di samping tubuhnya dan
menggantung ringan. Pemuda itu merapatkan bibir, meremas jemarinya sendiri merasa gatal
ingin menggenggam jemari itu.
Sampai akhirnya mereka membelikan Embun Snapback anak-anak berwarna hitam-pink dan
kaos kaki bergambar Pikachu. Kalau snapback kata Jesya si Embun kecil-kecil udah sok hip-
hop sering pakai boots sama jeans robek dengan topi terbalik. Kalau Pikachu kata Bobi
kemaren dia sempet diambekin Embun karena ngambilin banyak pokemon di rumah Hanbin.
"Ini grup kelas kapan sepi ya," komentar Jesya ketika menginjak kaki di escalator dan
merunduk membaca chat grup.
"Ya anak kelas kan emang nggak ada kerjaan," jawab Bobi memegang tas belanjaan mereka.
"Lagi rame nih si Eno mau ikut ke rumah Hanbin," kata Jesya memberi laporan.
"Tumben?" tanya Bobi mengernyit.
"Hm. Tu anak makin aktif aja semenjak kita heboh Yena pacaran sama Jeka," kata Jesya
geleng-geleng kecil menyebutkan nama kapten basket yang terkenal.
"Patah hati lo?" sindir Bobi membuat Jesya sontak tertawa.
"Nggak, sekarang mah tenang. Karena cabe sq sudah menetapkan Mr Simon sebagai cokiber
kita," kata Jesya dengan kalem.
Bobi tertawa sinis, "Mr Simon sudah punya pacar, nyet."
"Dih bodoamat. Kan nggak kita menelin cuma kita kagumi saja diam-diam," sahut Jesya lalu
memeletkan lidah. Ia kemudian merunduk lagi, membalas chat dari grupnya. "Elahh Yena
nggak nongol. Giliran Yena aktif si Eno nggak pernah ada. Sekarang Eno aktif si Yena yang
jarang nongol."
Bobi tertawa, "bener kata orang. Cinta itu nggak pernah salah. Cuma waktu aja yang nggak
pernah tepat."
"Aish," sahut Jesya segera. Ia malah menertawai itu. "Sok ide lo."
Bobi mencibir saja. Menuruni eskalator dan berjalan beriringan dengan Jesya di lantai mall itu.
Pemuda itu melirik kanan kiri, merasa terganggu. Sampai akhirnya ia tak tahan.
Jesya tersentak ketika tiba-tiba lengan Bobi melingkar ke bahunya, menarik gadis itu dan
merangkulnya rapat. Jesya mengernyit, refleks menoleh sepenuhnya.
Bobi mendengus tanpa menatap Jesya. "Minggu gini emang banyak terong-terongan
nongkrong di mall. Daritadi banyak yang ngeliatin lo," bisiknya menjelaskan, lalu cuek menarik
Jesya dan kembali berjalan.
Jesya mengernyit, melirik sama sekitar. Beberapa pemuda yang berada di sana memang sering
kali mencuri pandang padanya. Gadis itu merunduk, menahan senyum tak melepaskan
rangkulan Bobi.
"Elo kenapa jadi protektif gini sih," gumam Jesya geli sendiri. "Biasanya juga bodoamat,"
lanjutnya sambil tersenyum tanpa sadar.
Bobi dengan cuek malah memeluk leher Jesya membuat kepala keduanya makin mendekat.
"Udah, lo jangan senyum," katanya membuat Jesya mendelik kecil. "Nanti mereka malah makin
terpesona, tahu. Yang boleh terpesona sama lo cuma gue."
Gadis itu terkejut lagi. "Elahh apa sih, Bob. Alay lu," sahutnya segera, menutupi jantung yang
sudah salah tingkah.
"Bodo," sahut Bobi tak peduli, terus merangkul rapat Jesya berjalan berdua.

***
Ulang Tahun Embun

Jesya mengernyit. Melihat cowok itu lagi-lagi datang sore ini. Padahal baru dua jam mereka
pisah.
"Ikut gue yuk," ajak Bobi dengan tenang bersandar di mobil hitamnya.
"Mau kemana?" tanya Jesya bingung dan mendekat. Ia sendiri sudah siap dengan sweater crop
navy dan jeans biru panjang.
"Anak-anak nggak tahu diri itu minta jemput," kata Bobi memajukan bibir mengeluh. "Ya
sebagai pangeran baik hati gue iyain."
Jesya memutar bola mata, "Dih, si bego. Kan rumah Hanbin depan mata doang. Kenapa lo
pake jemput gue dulu, oneng."
Bobi mengerucutkan bibir, "ya gue mau sama lo baru ke tempat yang lain."
Jesya mendengus.
"Ayo dong, cepet. Nanti kelamaan," kata Bobi lalu dengan santai menuju pintu pengemudi.
Jesya menghela nafas, menurut begitu saja. Gadis itu membuka pintu mobil dan masuk ke
dalamnya. Ia melirik, melihat pemuda itu mulai menyalakan mesin.
"Safety belt lo Jes," tegur Bobi sambil menarik gigi mesin.
Jesya menurut. Ia kembali menoleh, menatap Bobi bingung.
"Kenapa?" tanya Bobi santai, menoleh sekilas sambil mulai menginjak gas pergi. "Udah mulai
sadar gue mirip Nam Joo Hyuk?"
Jesya menipiskan bibir, tak menanggapi. Gadis itu lalu menghela nafas sambil memandang
depan. Tak lama ia mendecak kecil.
"Elo tuh sadar nggak sih seharian ini lo ngegas mulu?" sindirnya tak tahan merasa terganggu
karena kepikiran mulu.
Bobi mengangkat alis, "asikkkk, baper dong?" celetuknya menggoda membuat Jesya
mengumpat.
Jesya mendengus, membuang muka ke arah lain. 'IYA ANJIR BEGO DASAR.'
Bobi melirik, kemudian memandang depan lagi menggerakkan stir mobil dengan tenang.
"Elo inget nggak sih ucapan lo waktu itu?" tanyanya tiba-tiba membuat Jesya mengernyit. "Elo
bilang... aneh rasanya baper-baperan sama anak kelas karena kita semua keluarga. Lo
ngerasa nggak suka..."
Jesya merapatkan bibir. Gadis itu seperti diadili begitu saja. Seakan ditampar karena selama ini
telah berpura-pura dengan sempurna. Pada nyatanya, kalimat itu ia tegaskan hanya untuk
membuat benteng menyembunyikan diri.
Bobi berdehem pelan, "... apa gue harus nunggu sampai kenaikan kelas Jes, sampe lo bisa
baper sama gue?"
Jesya terkejut lagi. Hari ini sepertinya jantungnya sedang lemah-lemahnya hingga berkali-kali
melompat kaget tak siap.
"M-maksud lo?"
Bobi diam. Rahang tajamnya menegas, seakan jadi kebiasaan jika cowok itu mulai serius. Ia
menatap jalanan di depan dengan lurus. Walau kelopak matanya mulai meneduh.
"Elo segitu jijiknya sama gue ya sampe nggak pernah geter gitu deket-deket gue?" celetuknya
dengan kalimat asal.
Tapi Jesya mengerti kali ini cowok itu serius.
Bobi memang bukan tipe yang bisa ngomong manis dengan kalimat serius yang kaku. Cowok
itu tetap pakai kosakata asal tanpa pikir panjang.
Bobi berdehem, kemudian merapatkan bibir. Ia diam sejenak, "mungkin lo ngerasa aneh
kenapa tiba-tiba gue gini. Gue pake ngasih lo boneka gede, ngajak lo jalan berdua, mau aja beli
barang couple...."
Bobi mendesah pelan. "Hanya aja... Kata Yoyo, kalau lo nganggap seseorang istimewa lo harus
memperlakukan dia istimewa..."
Jesya menegak. Gadis itu menoleh perlahan. Menatap tak percaya Bobi yang dengan tenang
membelokkan mobilnya. Tak lama kemudian mobil memelan dan menepi. Berhenti di depan
rumah Rosi.
Bobi menarik nafas sesaat, kemudian menolehkan kepala membalas tatapan Jesya yang
menatapnya lurus. "Jadi sekarang, ya terserah lo tetap nganggap gue temen atau sahabat. Tapi
gue bakal tetap memperlakukan lo istimewa. Ucapan terima kasih gue karena lo buat gue
ngerasain hal yang beda. Lo buat gue seneng dan nyaman. Sekarang yang penting gue bisa
bikin lo bahagia, balasan karena lo selalu buat gue bahagia. Sesimpel itu kok."
Jesya terpaku di duduknya. Gadis itu menggigit bibir, mencoba menguatkan hati tak kehilangan
nyawa saat ini juga. Walau kali ini aktingnya gagal karena tubuhnya menolak perkataan
otaknya. Pipinya memerah begitu saja dengan bibir yang hampir tersenyum begitu saja.
"Kok... lo bisa mikir gitu?" tanya Jesya terlihat tak percaya.
Bobi mengedikkan bahu, "lo yang buat gue mikir gitu," jawabnya tenang. "Gue emang nggak
tahu perasaan gue ini sayang sebagai sahabat atau juga kagum sebagai teman. Tapi yang
jelas, elo bikin gue ngerasa beda. Jadi gue harap lo nggak akan terganggu..."
Jesya terdiam. Seperti hilang kata ia hanya bisa membeku saat ini juga.
"Walaupun ini cuma perasaan yang lewat diantara persahabatan kita... Yang penting gue
pernah ngerasain itu. Dan selama itu juga gue pengen bisa bahagiain lo."
Jesya meneguk ludah. Membalas tatapan Bobi yang dalam.
Suara pintu dibuka membuat keduanya terlonjak setengah mati. Jesya bahkan menarik nafas
kaget dan segera membuang muka. Begitupula Bobi yang segera menegakkan tubuh dengan
gugup.
"Sorry sorry tadi gue cari sepatu dulu," kata Rosi sambil melompat masuk. "Ke rumah Lisa ya.
Dia juga mau ikut," kata cewek itu sambil memperbaiki tali sepatunya.
Bobi berdehem, "elo datang ketok pintu dulu salam dulu kek," omelnya sambil memperbaiki
posisi duduk dan mulai menarik gigi mesin lagi.
"Yeee kirain udah buru-buru. Jadi gue langsung lompat," balas Rosi tanpa dosa.
Bobi hanya merapatkan bibir, tak menanggapi dan mulai menginjak gas pergi. Jesya di
sampingnya juga memain-mainkan jemari di atas kedua pahanya mencoba menguasai diri.
"Ih, sepi. Bob setel lagu dong," kata Rosi sambil memajukan diri.
Dan suasana canggung itu langsung berubah begitu saja.
Diwarnai suara Zaskia Gotik yang membuat jiwa koplo Bobi langsung turn on.
Walau Bobi diam-diam mengumpat.
Emang ya, anak kelasnya tuh walau cuma satu biji tapi perusak suasana semua.

Jesya mengatur potongan brownies di atas piring, membantu Mama Hanbin bersam Lisa dan
Miya. Mereka menyiapkan untuk makan malam bersama perayaan ulang tahun Embun. Walau
Embun sendiri sudah sibuk membuka kado dari teman-temannya karena acara utama baru saja
selesai. Kini halaman belakang rumah Hanbin diisi oleh teman-teman kelas Hanbin yang
diundang khusus.
Suara tawa serak berat yang khas membuat Jesya mengangkat wajah dan menoleh refleks.
Melihat sosok Bobi berlari sambil tertawa riang dengan topi boneka berbentuk Pikachu, dikejar
sosok mungil Embun di belakangnya yang mengacungkan boneka hiu dengan suara dibuat
menyeramkan, maksudnya menyerang.
Hiu lawan Pikachu.
Jesya tertawa begitu saja, memerhatikan Bobi yang kini mengalah dan berakting jatuh. Pemuda
itu dengan berlebihan memegang dadanya seakan terluka ketika Embun memukul-mukulkan
boneka hiu itu ke arah Bobi.
Gemes ya.
Embunnya. Bonekanya. Pikachunya.
Bobinya apalagi.
Jesya mengulum bibir, mengalihkan wajah begitu saja. Merasa malu sendiri sudah terpesona
pada cowok gila itu.
Seseorang mendekat ke sampingnya membuat Jesya menoleh. Gadis itu mengangkat wajah
melihat Hanna merapat.
"Tadi gimana?" bisik Hanna ingin tahu membuat Jesya mengernyit.
"Apanya?" tanya Jesya tak mengerti.
"Kan lo seharian jalan sama si ciliwung," kata Hanna menggerakkan dagu ke arah Bobi yang
kini kembali ke halaman belakang sambil ditarik paksa oleh Embun. Hanna melirik Jesya,
memberikan tatapan menggoda yang penasaran. "Dia ada ngomong sesuatu nggak?"
Jesya terentak. Gadis itu diam beberapa saat. Tapi kemudian mengerucutkan bibir. "Tau deh
dia kenapa hari ini. Masa katanya mau romantis momen. Terus gue diajak makan dipinggir
pantai. Untung nggak masuk angin," kata Jesya mengomel, lalu kembali menyibukkan diri
menyusun brownies ke piring.
"Terus dia ngomong apa? Masa Bobi nggak ada ngomong sesuatu gitu?" tanya Hanna terlihat
tak puas dengan jawaban Jesya.
"Apaan ya? Lupa," kata Jesya tak membalas tatapan Hanna. "Tante, ini udah!" katanya
menoleh pada Mama Hanbin sambil menyodorkan piring brownies.
Hanna yang ditinggalkan Jesya jadi mengernyitkan kening. Dalam hati menyumpahi Bobi. Tu
anak masa belum nembak-nembak juga sih?

Bobi memandangi halaman belakang rumah Hanbin. Embun si tuan acara sudah tertidur di
lantai atas bersama sang mama. Kini pesta itu hanya diisi teman-teman Hanbin yang belum
juga bosan.
Hari ini memang momen paling jarang terjadi. Kelas mereka lengkap. Bahkan Eno, Wondi, dan
Jiyo yang jarang bersama mereka hari ini ikut datang.
Walau Theo sekarang lagi buka sesi rapat membahas tentang kesiapan kelas untuk lomba
mading dan pensi nanti.
Yena sendiri masih sibuk dengan kameranya, mengabadikan. Yoyo kini jadi co-host menemani
Yena.
Juan juga tak mendengarkan Theo sibuk bergitar ria bersama Rosi dan Haylie (kalau tanpa
Bobi, Hanbin, dan Yoyo, Rosi tuh jadi penyanyi keren banget).
Eno dan Jevon sedari tadi lengket berdua belum juga pisah. Janenya malah asyik berpoto ria
bersama Jiyo dan Hanin. Hanna sibuk menghabisi kue sus di atas meja bersama Jay di
sampingnya yang memegang hape membalasi pesanan para customer. Sementara sisanya
mendengarkan Theo dan bertukar pendapat.
Bobi mengangkat alis, menyadari Jesya yang tadi duduk di samping Hanna sekarang tak
terlihat.
"Jesya mana Bin?" tanya Bobi pada Hanbin di sampingnya.
"Hn?" Hanbin tersentak, lalu memandang sekeliling, "nggak tahu. Nggak ada laporan sama gue
kalau pergi."
Bobi menipiskan bibir, "Jesya mana Han?" tanyanya pada Hanna yang baru saja melambai-
lambai cantik pada kamera Yena.
"Ah? Masuk tuh ke dalam. Ke kamar mandi, sekalian ambil sisa kue tadi."
Bobi mendelik. Menyadari pasti cewek berpipi bulat satu ini yang meminta Jesya sekalian
membawakan sisa kue.
Bobi berdiri dari duduknya. Cowok itu lalu beranjak, berjalan memasuki area rumah Hanbin. Ia
memandang ke arah kamar mandi sesaat, lalu memilih menuju dapur.
KLIK.
Lampu rumah mendadak mati ketika Bobi baru sampai ke area ruang makan.
"KYA!"
Bobi terkejut setengah mati mendengar jeritan suara Jesya. Cowok itu berlari ke sumber suara
yang terdengar dekat.
"Jesya?"

***
Poppo

"Jesya?"
Jesya makin terkejut kaget saat Bobi datang dan memegang lengannya khawatir.
"Apa? Apa? Kenapa?" tanya Bobi panik. Sekarang hanya ada cahaya bulan dari ventilasi di
dapur menerangi mereka.
Jesya agak kaget tiba-tiba cowok ini datang entah darimana, "ah-anu," dia tergagap sesaat,
"gue.... Kaget liat bayangan lo.........."
"Anjing," Bobi langsung mengumpat melepaskan pegangan di lengan Jesya. "Sialan lo gue kira
kenapa."
"Ya elo juga! Pas lampunya mati gue noleh kaget liat elo!" balas Jesya tak mau kalah.
Bobi mendengus, "yaudah yuk keluar aja. Gelap nih," katanya kembali meraih lengan Jesya.
"Eh, atau mau disini aja sama abang?"
Jesya mengumpat kecil, memukul cowok itu keras sampai Bobi mengaduh. Walau tanpa sadar
tangan Bobi yang memegang lengan Jesya menarik pelan cewek itu, membuat Jesya terjatuh
begitu saja menyentuh tubuh Bobi.
Keduanya sama-sama terkejut.
Bobi yang bahkan tak berniat melakukannya mendadak jadi patung yang memiliki jantung.
Tubuhnya membeku tapi detak jantungnya bergetar heboh.
Sampai degup itu bisa dirasakan Jesya yang menempel padanya, membuat Jesya tersentak
sendiri.
Jesya mengerjap pelan, "elo... kenapa deg-degan?" ucapnya pelan, membuat Bobi merapatkan
bibir sejenak.
Bobi menatap gadis itu tepat di tengah minimnya cahaya. "Karena gue suka sama lo," katanya
begitu saja membuat Jesya merasa jantungnya terpanah saat ini juga.
Bobi menyendukan kelopak matanya dengan intonasi suara yang merendah, "elo juga deg-
degan," katanya dengan suara serak dalam itu.
Tubuh Jesya sudah menegang, belum juga menjauh dari Bobi. Gadis itu menggigit bibir
membalas tatapan dalam pemuda ini. Ia merasa ingin meledak namun juga melemas saat ini
juga.
"E-entahlah...." Jesya meneguk ludah, "detak jantung kita.... Kayak seirama..."
Bobi melebarkan mata. Cowok itu jadi makin merendahkan suara beratnya, "kenapa?" tanyanya
membuat Jesya merasa tungkainya melemas. "Karena kita ngerasain yang sama?"
Jesya makin merasa membeku. Ia merasa nafasnya jadi tertahan. Apalagi saat melihat tatapan
Bobi meneduh. Rahang Bobi menegas, tanpa sadar menarik tubuh Jesya makin merapat.
Dengan wajah yang perlahan merunduk maju, agak memiringkannya pada Jesya yang perlahan
menyayukan kelopak mata.
KLIK
Lampu mendadak nyala.
Membuat gerakkan Bobi terhenti refleks. Tepat ketika hidung bangirnya telah menyentuh ujung
hidung Jesya. Membuat keduanya saling bertatapan dekat.
Walau mereka sama-sama segera menegakkan tubuh dan menjauh cepat ketika mendengar
suara langkah mendekat. Jesya buru-buru membalikkan tubuh, merasa meledak saat ini juga.
Begitupula Bobi yang tiba-tiba sibuk menggaruk leher dan berdehem dengan pipi memerah
panas.
Bobi menoleh, "Eh, Yo," sapanya begitu saja dengang gugup.
Yoyo mengangkat alis, melihat wajah panik Bobi seperti habis ketahuan maling ayam.
Jesya sendiri membelakangi mereka sibuk merutuki wajahnya yang sudah merah padam
dengan tubuh bergetar hebat seakan ingin kebelet pipis. Gadis itu belagak sibuk mencari piring.
Entah untuk apa.
"Temenin gue kuy. Ke tempat Jinwan ambil nomer token. Sekalian mau ambil motor gue," kata
Yoyo yang tak tahu menahu.
Bobi berdehem salah tingkah, "ah, oh ya," katanya masih linglung. Ia menoleh sesaat pada
Jesya, lalu berjalan cepat menghampiri Yoyo sambil menenangkan dadanya yang sudah
meledak-ledak tak karuan.
"Eh? Btw kalian ngapain gelap-gelapan?" tanya Yoyo baru sadar, membuat Bobi berhenti di
sampingnya dan Jesya yang menoleh dengan mata melebar. Yoyo mengangkat alis, lalu
memberikan tatapan curiga pada Bobi yang memasang wajah polos.
Bobi merapatkan bibir, menggaruk lehernya yang tak gatal. Ia melirik, melihat Jesya terdiam di
tempat.
"...... Gue ganggu ya Bob?" tanya Yoyo tanpa rasa bersalah, membuat Bobi meliriknya tajam.
Bobi mendecak, "ah, tanggung," celetuknya tiba-tiba dan berbalik kembali ke Jesya membuat
Jesya terkejut.
Jesya hampir saja memekik ketika Bobi tahu-tahu menarik lengannya dan mengecup pipi gadis
itu.
Bahkan Yoyo tersedak begitu saja padahal tidak sedang memakan apapun. Cowok itu
tenganga saat Bobi dengan santai segera berbalik dan berlari kecil menghampirinya.
"Ayo!" kata Bobi sudah menahan senyum sementara Jesya masih membeku tak mampu
bergerak sama sekali.
Yoyo masih tenganga, menatap Bobi tak percaya. Sampai......
"WOI BOBI ECHA JADIAN WOY BOB—HHHMPPPTTTT"
Bobi dengan cepat membekap mulut Yoyo dan menarik pemuda itu cepat-cepat pergi. Yoyo
masih berusaha berkoar-koar dengan mulut dibekap, terseret pasrah meninggalkan area dapur.
Dan Jesya yang ditinggalkan masih terpaku. Ia perlahan menyentuh pipi kanannya, merasakan
jiwanya sudah hilang entah kemana.

***
Falling For You

Bobi berlari kecil memasuki rumah Hanbin. Ia menoleh kanan kiri, segera mencari gadis cantik
itu.
"Ayo Bob pulang," kata Rosi menepuk pundak Bobi. "Dah malem."
"Jesya mana?" tanya Bobi masih mencari kanan kiri.
"Lah Jesya kan rumahnya disitu doang ngapain ikut pake mobil?" tanya Rosi tak mengerti.
"Ck. Tapi Jesyanya mana?" tanya Bobi gemas, malas menjawab pertanyaan itu.
"Udah pulang duluan," jawab Rosi lalu berbalik memanggil Lisa dan yang lain. "Yuk yuk
pulang," katanya dengan santai melewati Bobi yang sudah merutuk dan mengumpat kecil.

Jesya menutup pintu kamarnya. Setelah menyadari kini ia hanya sendirian, gadis itu langsung
berlari melompat ke atas ranjang. Berteriak-teriak tertahan dengan wajah dibenamkan ke salah
satu bantal. Gadis itu menendang-nendang kaki seperti kesetanan. Berikutnya ia jadi
menggulingkan badan kanan kiri sampai membuat sprai ranjangnya kusut berantakan.
Jesya masih ingat jelas ketika wajah Bobi mendekat di minimnya cahaya.
Membuat kedua bola mata bening Bobi terlihat berbinar memabukkan.
Apalagi degupan jantung pemuda itu terdengar begitu keras sampai Jesya bisa merasakannya.
Bobi juga gugup.
Pemuda itu benar-benar deg-degan.
Jesya menggigit bibir bawah sambil memekik nyaring. Ia kembali berguling-guling tak jelas.

*
Update Path
Foto
Bobi Listening to "1975 – Falling For You"
Komentar:
Hanbin: MANA PEJENYA ANJENG
Lihat di chptr 21

***
Titik Dua dan Bintang

Bobi spam chat Jesya

*
Jesya balas chat bobi

Bobi yang sedang memakan sarapan langsung membelalak kaget saat baru membuka chat
linenya. Pemuda itu segera mengambil segelas susunya, meneguknya sampai habis. Ia
langsung berdiri membuat Mama dan Papa yang ada di meja itu terlonjak kaget.
"Bobi pergi ya!" pamit Bobi langsung berbalik dan berlari.
"Loh? Bo-" Ucapan mamahnya terhenti saat Bobi berbalik kembali lagi.
Pemuda itu meringis meraih tas ranselnya yang masih di kursi, "Hehe, ketinggalan," katanya
dengan senyuman lebar.
Sang Mama jadi mendelik, "nggak pake cium tangan dulu. Nggak salam dulu. Langsung aja,"
omelnya membuat Bobi makin meringis.
Bobi segera mencium tangan kedua orang tua, "sorry, sorry. Pacar tumben mau dijemput nih,"
katanya dengan riang, lalu tertawa gila dan berlari pergi.
Sementara sang mamah menggeleng kecil. Walau ada senyum geli melihat anak tunggalnya itu
sebahagia ini.

Bobi menghentikan motor di depan pagar rumah krem itu. Pemuda itu merasa gugup begitu
saja. Ia berdehem kecil, lalu membuka kaca helm. Sudah ingin turun tapi melihat pintu rumah
Jesya yang terbuka menampilkan sosok gadis cantik itu keluar dari sana.
Bobi langsung menegak. Ia setengah mati menahan senyum lebar. Pemuda itu mengulum bibir
lalu berlagak memasang ekspresi cool.
Walau gagal.
Bobi tak tahan untuk tidak menyeringai melihat Jesya berjalan mendekat sambil membawa
helm putih.
"Hai," sapa Bobi meringis bodoh.
Jesya mengangkat alis, menahan senyum geli. "Napa lo?" tanyanya sambil menyiapkan tali
helm, lalu beranjak ingin menaiki motor.
Tapi tangan Bobi segera menahan pergelangan lengan gadis itu membuat Jesya menoleh.
Garis wajah Bobi jadi menurun begitu saja dengan kedua bahu melemas. Bobi melengos
memerotes.
"Tuh, kan. Elo mah php," keluh Bobi dengan ekspresi manyun, "liat nih, gue sampe nggak
masang dasi nggak pake jaket," katanya menunjuk seragam putihnya yang polos. Untung
sudah terkancing semua.
Jesya terkikik kecil, "pake gih jaketnya," katanya masih masa bodoh.
Bobi mendengus. Pemuda itu dengan wajah manyun menyampirkan ransel ke depan,
membukanya mengeluarkan jaket hitam.
"Dasinya, nyet. Sekalian," kata Jesya membuat Bobi merapatkan bibir mencari dasinya.
Jesya mengangkat alis, memerhatikan cowok itu yang merunduk mengalungi dasi abu-abunya.
Wajahnya sudah tak seceria tadi membuat Jesya ingin meledakkan tawa geli.
"Ngambekan ah lo," ledek Jesya sambil mendekat. Ia menggantungkan helm putihnya ke stang
motor Bobi, kemudian kedua tangannya meraih dasi abu-abu pemuda itu, memakaikannya.
Bobi memandangi Jesya yang berada dekat di depannya, mengatur dasi Bobi serapi mungkin.
Pemuda itu belagak memasang wajah manyunnya, "nggak usah sok perhatian. Hati gue ini
lemah," sindirnya sok sinis.
Jesya mengulum bibir menahan tawa, merapikan dasi dan kerah seragam Bobi. Walau
berikutnya kedua tangannya jadi mencekik leher cowok itu membuat Bobi memekik kaget.
"Alay lo," ucap Jesya meledek. "Pakai jaketnya," katanya mengancam kecil, lalu meraih helm
putihnya kembali.
Bobi mengerucutkan bibir sambil memakai jaket hitamnya. Ia kembali memegang lengan Jesya
ketika cewek itu mau beranjak. "Ih, kan tadi udah janji," katanya mengerang kecil dengan
manja.
"Janji apa?" tanya Jesya tak mengerti.
"Ck. Tadi katanya kalau jemput dikasih apa!?" sahut Bobi gemas. "Tuh, kan. Php dasar.
Penyakit lama."
Jesya langsung mencibir mengerti itu, "apaan sih dibahas?! Gue bahas juga nih ya penyakit
lo?!"
"Dih, gue dah tobat," balas Bobi menjulurkan lidah tak mau kalah. "Lah elo. Nih gue korban nih,"
katanya menunjuk dirinya sendiri membuat Jesya gatal ingin menaboknya.
Jesya mendengus. Ia merogoh hape membuat Bobi mengernyit. Bobi agak panik mengira
Jesya mengetik chat untuk meminta jemput cowok lain, mengingat cewek ini punya banyak
'supir' yang rela melesat saat ini juga untuknya.
"Nih. Puas lo?" kata Jesya mengacungkan layar hape ke depan wajah Bobi.
Menampilkan chatroom mereka dengan chat baru dari Jesya yang singkat: titik dua dan
bintang.
Bobi mengangkat alis. Melihat emoticon itu dikirim dari Jesya saja sudah membuatnya ingin
tersenyum lebar.
Tapi cowok itu berdehem, "Elahhh kirain," katanya belagak kecewa.
"Apaan?"
Bobi mengerling pada Jesya, "lanjutan tadi malam.... ARGH!" Ia mengaduh ketika atas helmnya
dipukul Jesya dengan keras.
"Gas aja teros. Gue pake sabuk pengaman kok sekarang, jadi nggak ngampang jatoh," kata
Jesya penuh arti. Lalu dengan cuek merapikan rambut ingin memakai helm.
"Oh ya? Yesss," sorak Bobi kegirangan membuat Jesya mendelik. "Tapi cuma gue yang boleh
ngegas ya, yang lain harus lewatin gue."
Jesya mengangkat alis, tak menanggapi banyak. Walau pipinya seakan menjawab karena
merona merah. Ia menutupi salah tingkah mencoba sok fokus mengaitkan tali helm.
Bobi menjulurkan tangan, menyentuh tangan Jesya dan memakaikan pengait tali. Pemuda itu
tersenyum samar. Menyadari merasa bahagia begitu saja hanya karena hal kecil seperti ini.
Jesya berusaha tak terlihat gugup. Ia menegakkan tubuh saat helmnya sudah terpasang
sempurna. Gadis itu langsung beranjak ke belakang Bobi, menaiki motor hitam cowok itu.
"Pegangan dong," kata Bobi menggoda sambil menyalakan mesin. "Nanti kalau nggak
dipegang erat-erat gue diambil orang loh."
Jesya melotot, langsung memukul kepala Bobi dari belakang sampai pemuda itu mengaduh
dengan kepala tertoyor ke depan. Jesya menipiskan bibir, memperbaiki posisi duduk dengan
tangan memegang ujung jaket Bobi.
Bobi tiba-tiba menoleh ke belakang, "Eh, emang gue punya lo Jes?" tanyanya dengan kerlingan
menggoda.
Jesya mengumpat. Gadis itu merasa malu begitu saja. "Cott ah cepet pergi nanti telat," katanya
mengalihkan pembicaraa.
"Dih, jawab dulu," ucap Bobi keras kepala. "Nanti dapat hati abang Bobi sepenuhnya loh."
Jesya memutar bola mata, "serah yu," sahutnya pendek, "ayo pergi," sambungnya mengalihkan
wajah tak membalas tatapan Bobi yang menoleh sepenuhnya padanya.
"Najis lo sok malu-malu," ejek Bobi tertawa. Jesya mencubit pinggang cowok itu.
Bobi agak menarik diri. Tapi pemuda itu tertawa riang. Ia masih menoleh ke belakang dengan
mesin motor menyala yang belum juga digas pergi.
"Gue ada dua pilihan," ucap Bobi mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, Jesya
mengernyit. "Pertama, friend with benefit. Temenan tapi sayang," katanya membuat Jesya
tersentak melebarkan mata. "Kedua, pacaran tapi sahabatan. Kita bakal tetep jadi temen kayak
sama yang lain. Tapi gue punya lo, dan lo punya gue. Saat berdua, kita dua orang yang saling
sayang."
Jesya terperangah. Gadis itu tertegun menatap Bobi yang sebenarnya sedang gugup.
"Kalau lo tetep mau temenan sama gue, it's okay. Tapi gue sayang sama lo. Gue bakal tetap
ngomong manis ke elo. Bahasa tumblrnya flirtionship. Bahasa gaulnya HTS-an. Bahasa
galaunya friendzone," kata Bobi agak cepat, terlalu gugup.
"Tapi kalau lo terima gue, elo bakal jadi princess satu-satunya di hidup Bobi Denise Suherman.
Gue bakal tunjukin lo siapa gue sebenarnya. Kalau gue bener-bener bakal jadi seorang cowok
buat lo."
Jesya melebarkan mata. Gadis itu terdiam lama. "Elo... elo maksudnya.... Nembak gue?"
tanyanya meminta penjelasan.
Bobi merapatkan bibir. Matanya bergerak ke arah lain sesaat, tapi kemudian menoleh ke
belakang lagi dan menganggukkan kepala.
Membuat Jesya membelalak kaget.
Bobi nembak dia di depan rumahnya, pas lagi duduk di atas motor yang mesinnya nyala dan
belum juga jalan.
"Kalau mau dipikirin ya nggak papa. Sambil jalan ke sekolah," kata Bobi memandang ke arah
depan lagi dan menegakkan tubuh. Yang kemudian merutuk merasa malu sendiri ketika
membelakangi cewek itu. 'Bego anjir gue ngomong apasih. Sok keren banget najis,' rutuknya
pada diri sendiri.
Bobi menginjak gigi mesin, belum mendengar jawaban dari Jesya. Cowok itu menoleh sesaat,
"kalau iya, lo cukup meluk gue," katanya serak, sebelum kemudian mulai menarik gas perlahan
melajukan motor hitam itu.
Jesya hampir refleks meraih pinggang Bobi ketika mesin bergerak. Tapi jemarinya meremas
sendiri dengan tubuh berjarak dari Bobi. Gadis itu terdiam. Memandangi tangannya sendiri, lalu
berganti pada punggung tegap di depannya ini.

***
END

Bobi belum tenang sama sekali. Mata kecilnya lurus ke jalanan, mencoba fokus. Tapi tetap saja
ia menunggu dan berharap.
Kali ini Bobi tak melakukan kebiasaan ngebutnya, justru menarik gas pelan dan lebih sabar.
Ingin memanjangkan jarak ke sekolah. Agar waktu yang terlewati lebih lama.
Pemuda itu berhenti ketika lampu merah. Ia menghela nafas, melirik ke pinggangnya sendiri. Ia
menggigit bibir, entah kenapa mulai menguatkan hati. Pemuda itu melepaskan pegangan di
stank motor, mengusap telapak tangannya yang basah berkeringat.
Ini sudah di persimpangan. Belok kanan, jalan menuju sekolah dua puluh meter. Gadis ini
sepertinya sudah memberi jawaban.
Bobi hampir tak fokus ketika menarik gas pergi. Namun ia mengeraskan rahang dan segera
membawa motornya sampai di sekolah. Pemuda itu makin menguatkan hati.
Ia sudah sering kok ditolak cewek. Ini bukan yang pertama. Jadi Bobi santai aja.
Nggak.
Kali ini beda. Mana bisa Bobi santai? Apalagi cewek yang menolaknya ini sahabatnya sendiri.
Bagaimana mereka ke depannya nanti?
Motor hitam itu memasuki area parkir. Dan Jesya masih duduk tegak di belakang Bobi.
Bobi mencari area yang masih kosong, agar tersudut jauh di belakang area tanpa atap, tempat
sisa karena ia memang datang lebih siang.
Bobi menghentikan motor masih dengan mulut bungkam. Ia mematikan mesin dan menarik
kunci. Cowok itu melepaskan helmnya, menghela nafas.
Sampai ia menegak, ketika tiba-tiba dua lengan dari belakang merengkuhnya. Pemuda itu
hampir saja memekik, menarik nafas kaget dan menoleh refleks. Melihat Jesya di belakangnya
tak berani menatap sepasang mata Bobi.
"Walau udah berenti waktunya masih berlaku nggak sih?" tanya Jesya pelan dengan pipi mulai
memerah. Gadis itu agak bersungut kecil, "tadi keluar Taman Sari ada Pak Bondan.... Dia di
deket kita terus... Malu tahu...." ucap Jesya tanpa sadar menempelkan dagu ke bahu Bobi.
Mata Bobi membulat, masih menegak seperti dikutuk jadi batu masih dalam pelukan cewek ini
dari belakang.
"........................ ha?"
Jesya tersentak, menatap cowok itu yang melongo seperti orang bodoh. Gadis itu jadi mendelik,
lalu melepaskan pelukan. "Ha ho ha ho ha ho! Untung baru mandi lu, odolnya masih kecium!"
omelnya menoyor kepala Bobi dari belakang.
Jesya bersungut, walau kedua pipinya masih memerah panas. Gadis itu turun dari motor sambil
melepaskan helm putihnya. Jesya berdiri di samping Bobi yang masih mengumpulkan
kesadaran dengan mata mengerjap-ngerjap. Gadis itu menyodorkan paksa helmnya ke tangan
Bobi.
"Gue pilih pilihan kedua. Karena itu, nggak usah koar-koar," kata Jesya setengah mengancam.
Gadis itu langsung berbalik, meninggalkan Bobi begitu saja. Ia benar-benar tak tahan belagak
jutek padahal aslinya ingin meledak ataupun berguling-guling di aspal sambil tertawa-tawa
keras.
Di tempatnya duduk, Bobi mengerjap lagi. Mulutnya sudah terbuka dari tadi tanpa sadar. Cowok
itu segera menyadarkan diri. Menaruh helm putih Jesya di samping helmnya dan segera turun
dari motor berlari menyusul gadis itu.
Bobi segera memegang lengan Jesya menahan gadis itu dan memaksanya berbalik
memandangnya.
"Wait, wait," ucap Bobi terengah, terdengar grogi. "Anu, berarti, itu, anu," ucapnya terbata
membuat Jesya yang menatapnya mengernyit.
Bobi mengulum bibir, kemudian berdehem menyadari ia sudah terlihat seperti seperti anak SMP
salah tingkah didatangin gebetannya.
Walau yang dilakukan pemuda itu malah memain-mainkan kedua telunjuknya, menempel-
nempelkan ujung-ujungnya satu sama lain. "Bobi... Jesya.... Gini," kata Bobi perlahan, masih
memainkan ujung-ujung kedua telunjuknya.
Bobi menatap Jesya, kemudian meringis kecil. "A-a... Ayang Jesya," panggilnya malu-malu,
membuat Jesya merasa jijik enek tapi sialnya di saat yang sama ia juga ikut merona.
Jesya menggigit bibir, menahan senyum. Ia lalu menjitak kepala Bobi membuat Bobi langsung
mengaduh, "nggak usah menjijikan, berapa sih?" candanya sok galak.
Bobi bersungut kecil, "padahal gue sering ngatain Hanbin kalau udah digebukin Lisa....
Ternyata gue juga. Apa ini karma?" gumamnya membuat Jesya malah jadi menaboknya
kembali.
Bobi mengaduh lagi. Namun berikutnya ia malah jadi menyeringai, membuat kedua matanya
menyipit dengan gigi-gigi kelincinya yang terlihat jelas.
Ini nih yang bikin Jesya suka.
Bobi tuh gantengnya tiba-tiba.
Kalau lagi serius, dia bakal ganteng banget karena diem dan karismanya keluar.
Dan kalau lagi seneng gini, dia bakal jadi imut banget gemesin.
Buat jantungnya Jesya olahraga mulu.
"Jes, kalau gitu—"
"Eh? PAGI MR SIMON!"
Ucapan Bobi langsung terhenti dengan senyumnya yang jadi gagal terukir. Cowok itu langsung
tenganga, melihat Jesya menoleh begitu saja mengalihkan wajah darinya dan tersenyum
manis.
"Pagi," balas pria tampan itu mendekat, tersenyum ramah. "Kalian datang bareng?"
"Iya Sir," ucap Jesya tersenyum manis. Bobi merapat kesampingnya, ingin memegang jemari
gadis itu tapi Jesya langsung menepuk punggung tangan itu menolak. "Mister tumben agak
siangan gini?"
"Tadi ngantar ibu saya dulu," jawab Mr Simon tak sadar Bobi diam-diam sudah memberikan
tatapan mengutuk Avadakadavra.
"Oh ya. Mau sekalian bareng? Mau minta tolong antarkan dokumen—"
"Maulah Sir!" sambut Jesya segera saat baru seperempat detik Mr Simon selesai bicara. Gadis
itu langsung maju, tersenyum riang mulai melangkah di samping Mr Simon yang beranjak.
Bobi tersenyum kecut, lalu segera menyusul. Ia menyeruak diantara Jesya dan Mr Simon, "Sir,
hari ini classmeet ya?" tanyanya basa-basi, diam-diam mendorong lengan Jesya menjauh
hingga gadis itu hampir jatuh ke samping.
Jesya mengumpat dalam hati, segera menegak dan mencubit lengan Bobi membuat Bobi
segera mendorongnya lagi.
"Setelah istirahat pertama, iya. Mau bahas pensi lagi," jawab Mr Simon sambil melangkah lebih
dulu menaiki tangga menuju lantai dua.
Bobi langsung mengambil kesempatan menahan Jesya, "sono lo balik kelas! Gue aja sama Mr
Simon," bisiknya mengomel membuat Jesya mendelik.
"Loh kok jadi elo!?" balas Jesya juga berbisik.
"Emang lo pikir lo aja yang bisa menelin Mr Simon? Gue nggak mau kalah!" balas cowok itu
sewot, langsung berlari menaiki tangga menyusul Mr Simon tak menunggu jawaban Jesya.
"Lah anj- BOBI!!!!"

***
Extra Chptr

Chat Bobi sama Jesya


*

Bobi tengkurap di atas ranjangnya. Ia memandang ke layar hape, kemudian menggeram kesal
dan menendang-nendang kedua kaki ke segala arah. Teman-temannya tadi baru saja pulang –
karena sudah menjadikan rumah Bobi jadi tempat menginap dadakan karena pesta tadi malam-
menyebabkan rumahnya kembali sepi.
Bobi memandang ke layar hape, melihat sudah menunjukan pukul 10 pagi. Cowok itu
melengos, menopang dagu di atas bantal dan makin malas-malasan. Apalagi ia merasa
badannya tak enak dengan kepala agak berdenyut pusing.
Bobi terus tengkurap dan malas-malasan. Walau terus berharap hapenya menunjukan tanda
kehidupan dengan datangnya chat dari sang kekasih.
Tapi sampai sekarang, Jesya benar-benar tak terlihat.
Bobi sedikit merasa kesal. Bobi tak bohong kalau dia sedang sakit. Cowok itu benar-benar
butuh perhatian. Orangtuanya tak ada di rumah karena pergi keluar negeri. Ia lagi-lagi merasa
jadi anak terlantar yang sendiri.
Bobi tiba-tiba mengangkat wajah. Ia diam sejenak, meraih hape.
"Ah, nggak, nggak," katanya pada diri sendiri, menggeleng menaruh hape lagi mengurungkan
niat. "Nggak, nggak. Gue harus kuat. Gue harus setia. Nggak, setan setan pergi sana lo!"
racaunya bicara sendiri dengan frustasi.
Dia baru saja niat menghubungi salah satu kontak cewek di hapenya. Mencari perlarian seperti
dulu.
Tapi Bobi meraih hape lagi, membuka salah satu grupchat.

Chat Grup Hi Kak

Bobi mendecak, melempar pelan hape dan kembali menidurkan kepala di atas bantal. Ia masih
dengan posisi semula, tengkurap di atas ranjangnya. Cowok itu melengos panjang,
memejamkan mata kembali.
Tak lama ia mendengar langkah memasuki kamarnya, membuat cowok itu sempat ingin
membuka mata tapi diurungkan karena pasti salah satu asisten rumah tangganya yang
memasuki kamar. Entah ingin membersihkan kamar atau memanggil Bobi untuk makan siang.
Bobi agak tersentak orang itu duduk ke atas ranjang di dekatnya. Dan makin terkejut
merasakan sebuah tangan menyentuh kepala pemuda itu dengan lembut. Ia membuka mata,
terkejut setengah mati melihat Jesya menatap pemuda itu dalam.
Jesya mendesah panjang, "oh, masih hidup toh," katanya menurunkan tangannya dari kepala
pemuda itu membuat Bobi langsung mendelik dan merenggut.
"Oh. Masih punya hati toh," balas Bobi tak mau kalah. "Kirain sudah nggak peduli," sindirnya
sambil memeluk bantal dan belum mau bangkit.
Jesya merapatkan bibir, "tadi masak dulu, jadi lama. Tuh, aku bawain sop," kata gadis itu
menggerakkan dagu ke arah luar.
Bobi merenggut, membuang muka ke arah berlawanan. Jesya malah memukul lengan cowok
itu.
"Nggak usah sok ngambek deh. Kan harusnya gue yang ngambek," kata Jesya membuat Bobi
menoleh dan mendelik. "Kenapa nggak ngomong mau pergi?"
"Gue ngomong, Jes," protes Bobi tak terima, "guekan bilang gue mau pergi sama anak-anak."
"Tapi nggak bilang kalau ke club kan?" tanya Jesya menembak tepat membuat Bobi langsung
terdiam.
Gadis itu jadi menajamkan tatapan dan melipat kedua tangan depan dada. "Gimana? Semalam
dapat berapa dada sama paha?" tanyanya menyindir.
Bobi jadi mengatupkan bibir, mengerjap-ngerjap belagak memasang wajah polos. Ia jadi
merangkak mendekat, "anu—"
"Ck," Jesya segera menepis tangan pemuda itu yang ingin meraih lengannya.
"Nggak ada ceweknya, Sayang..." kata Bobi mulai membujuk.
Jesya langsung tersenyum sinis, "hn. Tapikan di sana banyak cabe-cabe pake hotpants sama
kutangan doang, Sa-yang..." balasnya dengan nada ditekan.
Jesya mendengus, "apalagi ada pestanya si anak kelas sepuluh itu kan? Emily? Rame lah,"
katanya dengan sinis.
"Aish, gue nemenin Teyong," kata Bobi membuat Jesya mendelik tak percaya. "Iya, sumpah. Si
Jevon sama Yuta aja yang kelayapan, atau Aryan sama Jeka tuh. Gue mah kalem samping
Teyong."
"Mana mungkin Teyong ikut kalian," kata Jesya tak percaya.
"Ck, tau apasih," kata Bobi mencolek dagu Jesya, "Teyong mah luarnya aja alim. Dia lagi stress
banget. Jadi gue temenin."
Jesya mengernyit, masih meragu. Walau berikutnya tersentak saat Bobi merengkuh
pinggangnya dan kemudian menaruh kepala di paha gadis itu. Mengulet manja membuat Jesya
tak tega juga, mengusap kepala Bobi yang terasa hangat.
Jesya menjitak kecil kepala itu, "tuh, kualat pergi ke tempat kayak gitu," omelnya.
Bobi mendengus, "Sekali dua kali doang."
Jesya mencibir, "emang lo pikir gue nggak tahu anak basketnya mainnya gimana?" tanyanya
menyindir membuat Bobi menyeringai tanpa dosa.
"Si Aming noh, cari tante-tante buat minta jajan," celetuk Bobi asal. "Gue mah dapat lo udah
tobat."
Jesya kembali menjitak pemuda itu, "udah tobat tapi masih main!?"
"Nemenin Teyong, astaga..." kata Bobi mengusap kepalanya. "Tadi malam aja pada nginap
disini. Kalau Teyong nggak maksa gue juga nggak ikut."
"Tadi katanya ada Jevon? Kalau udah ada Jevon ngapain dia minta elo juga ikut?!"
Bobi kicep. "A-anu...."
"Ck udah ah. Ngeles mulu makin boong lo," kata Jesya mengacak rambut Bobi sesaat, "sana
makan."
Bobi mendengus, pasrah melepaskan pelukannya dan mencoba bangkit. Jesya berdiri,
beranjak lebih dulu.
"Eh, Jes," panggil Bobi membuat Jesya berhenti dan menoleh.
Bobi mengubah posisi jadi duduk bersila, menatap gadis itu. "Teyong udah tahu kalau kita
pacaran."
Jesya mengangkat alis, diam lama. "..... Oh..."
"Jeka juga."
Jesya mengernyit, "Jeka?"
Bobi mengangguk, "gue tonjok. Dia minta kenalan sama lo."
Jesya langsung mendelik, "ngapain pake tonjok?"
"Ya dia nggak percaya gue pacar lo. Mau ngegas lo katanya, kan anjing," ucap Bobi diakhiri
umpatan.
Bobi mendesah, menatap cewek itu serius. "Di perpisahan kelas nanti, gue bakal umumin kalau
gue pacar lo dan lo pacar gue. Jadi nggak ada lagi yang godain lo."
Jesya membulatkan mata, tertegun diam.
"Atau besok aja? Pas pensi gue pake mik di atas panggung bilang kalau Jesya 2A3 tuh official
punya gue," kata Bobi sungguh-sungguh. "Sekarang, hal yang paling gue nggak suka itu kalau
ada cowok yang deketin lo. Bahkan nyepik lo doang gue nggak bisa sabar."
Jesya diam lama, kemudian tersenyum tipis. "Protektif banget sih lo," katanya mengerling kecil.
Bobi mencuatkan bibir sesaat, "bodo. Elokan punya gue."
Jesya mengangkat alis, tersenyum kecil yang kemudian jadi mencibir.
Bobi beranjak. Turun dari ranjang rendahnya dan melangkah mendekat. Cowok itu membuka
lebar kedua lengan, merengkuh tubuh gadis itu erat dengan dagu ditempelkan ke bahu Jesya.
"Pokoknya kalau ada yang berani chat atau nyepik apapun, langsung lapor gue. Elo tuh diincer
satu sekolah tahu nggak. Denger lo jomblo ya mereka ngegas," ucap cowok itu serak.
Jesya mendecih kecil, "dulunya juga hobi ngegas siapapun," ledek cewek itu tak menolak
pelukan Bobi.
"Ya kan dulu. Makanya karena sekarang udah tobat, gue harus jagain lo baek-baek," balas Bobi
makin memeluk Jesya manja. "Gue nanti juga mau kasih tahu Mr Simon."
Jesya tersentak, melotot kecil dan langsung mendorong Bobi menjauh. "Ih, apaan?" protes
cewek itu merenggut.
Bobi jadi balas melotot, "oh jadi lo masih pilih Mr Simon?" tanya cowok itu kesal, "besok gue
menelin Miss Jessie lo jangan nangis ya."
Jesya tertawa sinis, "Mr Simon punya posisi yang beda sama lo. Dan Miss Jessie? Haha lucu.
Lo baru semeter di dekatnya aja udah kena tatapan laser tahu, nggak!" balasnya tak mau kalah.
"Dih siapa bilang? Lo nggak tahu aja Miss Jessie sering nanyain id line gue," balas Bobi sewot.
Walau berikutnya pemuda itu jadi terbatuk kecil dan mendengus, lalu kemudian memalingkan
wajah dan bersin.
Jesya mendecak, menjulurkan tangan mengacak lembut rambut Bobi. "Tuh, kualat lagi. Ayo
makan," katanya meraih lengan Bobi dan menariknya pelan.
Bobi mengusap hidupnya, kembali terbatuk kecil. "Ck, ah. Kok pilek sih," gumamnya
menggerutu. "Padahalkan mau cium..."
Jesya langsung melepaskan pegangannya, "mati aja lo sana," ketus gadis itu langsung melotot,
beranjak dan berjalan cepat lebih dulu menuruni tangga.
Bobi melebarkan mata, "e-ehhh canda," paniknya segera menahan.
Walau Jesya terus melangkah tak menoleh.
"CANDA IH ECHA! WOI GUE LAGI SAKIT! YAAAANNGG!"

***
Flutter
Pas ulangan aja Yera nggak pernah keliatan baca buku gini.
Mauryn melewati mejanya sendiri, hanya menaruh tas dan menarik kursi Faili yang masih
kosong duduk di depan Yera. "Yer," panggilnya membuat si empu nama berdehem menjawab.
"Baca apa? Serius amat."
Yera belum mendongak, "buku."
"Kirain baca prasasti," sahut Mauryn sewot, "apaan sih? Liat dong. Novel rated ya?"
"Anju," Yera langsung mendongak dan mengumpat. "Emang gue Jinny yang bacaan
wattpadnya novel terjemahan dewasa," katanya langsung sewot.
"Terus apaan?" Mauryn mencondongkan diri lebih dekat.
"Ini, buku tips cewek gitu," kata Yera menunjukkan sampul ungu-pink buku. "Ada yang seru."
"Apa?" tanya Mauryn penasaran.
Yera merunduk, kembali membaca. "Tanda-tanda jika doi menyukai kamu."
"He????"
Yera menatap Mauryn, lalu menyeringai. "Lucu tahu. Gemes. Bikin senyum sendiri."
"Hn. Bikin geer juga ya?" ejek Mauryn membuat garis wajah Yera langsung sangar. Mauryn jadi
menertawainya.

"Salah satunya adalah, kamu jadi sering bertemu dia. Karena tanpa sadar ia selalu
mengikutimu," baca Yera pada buku yang terbuka di depannya, duduk di salah satu meja
kafetaria bersama Mauryn, Faili, Jinny, dan Shaeron yang mendengarkan fokus mengabaikan
makan siang mereka.
"Kamu akan mulai sadar, karena saat berada di dekatmu dia mencoba bertatapan denganmu.
Dari situlah kamu tahu kalau dia sering ada dimana-mana, padahal sebenarnya dia sengaja
mengikutimu."
"Kak Teyong!" seru Faili tiba-tiba, membuat semua tersentak dan menoleh padanya kompak.
Gadis itu meringis kecil, "awal gue kenal tu cowok kan, dia tiba-tiba ada dimana-mana. Ih,
berarti dia yang naksir gue duluan dong?" tanyanya dengan senyum kesenangan.
Yera, Jinny, Shaeron, dan Mauryn saling pandang. Kemudian sama-sama mencibir tak peduli.
"Lanjut Yer," kata Jinny membuat Faili jadi mencuatkan bibir.
Mauryn jadi tak terlalu memerhatikan dan mulai memakan batagornya.
"A-" Yera yang baru membuka mulut, jadi terdiam karena tak sengaja menolehkan kepala.
Gadis itu mengatupkan mulut, lalu tersenyum manis. "Eh, Kak Hanbin," sapanya membuat
empat gadis lainnya kompak menolehkan kepala, memandang ke arah yang Yera lihat.
Hanbin menoleh. Disampingnya ada Jay, Yoyo, dengan Jevon dan Theo mengekor.
"Eh adek adek," sapa Hanbin menyeringai lebar, "wih, formasi lengkap nih? Arisan ya? Eh
jangan lupa loh brownies abang dipromosiin! Ini nggak pada mau makan brownies nih?
Mending beli brownies satu kotak sama abang terus dimakan ba ---HMPPTTT" ucapan Hanbin
langsung terhenti ketika Yoyo dari belakang membekap cowok itu.
"Sorry sorry," ucap Yoyo meringis, lalu menarik Hanbin pergi membuat Yera dan teman-
temannya terkikik menertawai itu.
Walau tawa Mauryn terhenti ketika matanya bertatapan dengan Jay. Gadis itu tersentak
pemuda itu memandanginya.
Ketika tatapannya dibalas Mauryn, Jay refleks melempar senyum. Membuat gadis itu
melebarkan mata, lalu balas senyum canggung. Jay kemudian mengekori Hanbin dan Yoyo
pergi.
Theo masih sempat menoyor kepala Faili dari belakang membuat gadis itu mendecak sebal.
"Paan sih. Sok kenal," umpat gadis itu sebal mencibiri punggung Theo yang menjauh.
"Najis. Tadi lo nyebut namanya kesenengan," ejek Jinny sinis.
"Ck diem. Udah itu lanjut," ucap Faili kembali mengarah pada Yera yang segera teringat
bukunya lagi.
Yera berdehem, kembali membaca. "Ahli bahasa tubuh percaya bahwa perempuan memiliki
sekitar 52 bahasa tubuh untuk menunjukkan ketertarikan pada lelaki, dan laki-laki hanya punya
10," katanya melanjutkan. "Salah satu yang paling sederhana adalah dia akan sering
memandangi kamu. Seperti jika saat kamu bersama teman-temanmu bertemu dengannya,
tatapannya hanya tertuju padamu."
Jinny tiba-tiba memekik, membuat semua terlonjak kaget dan menoleh.
"Apaan? Apaan?" tanya Shaeron mengusap saus kacang di ujung bibir.
Jinny memasang wajah sungguh-sungguh, berbisik pelan. "Tadi...Kak Jevon natap gue...."
Faili langsung mengumpat. Begitupula Yera yang hampir melemparkan buku di tangannya pada
Jinny yang tepat duduk di depannya. Shaeron mendengus sebal, memakan potongan batagor
sekali lahap. Begitupula Mauryn yang mencibir.
"Ah udah ah. Nggak seru. Mending makan," kata Mauryn tak peduli lanjut, kini benar-benar
fokus menghabiskan batagornya.
Yera mendecak dan kembali melanjutkan. "Cara lainnya adalah, pandang wajahnya selama
empat detik. Lalu tengoklah ke arah lain. Kemudian lihat kembali. Jika ia menjaga kontak mata
denganmu, ia tertarik. Di sisi lain, jika ia sudah memutus kontak mata dan melihat ke arah lain,
ia tidak tertarik."
Shaeron, Jinny, dan Faili saling pandang.
"Emang bisa kayak gitu?" tanya Faili polos.
"Coba gih," ucap Shaeron membuat yang lain mendelik.
"Emang diantara kita yang punya doi siapa sih? Satu orang aja cowok idaman bisa lima,"
celetuk Jinny membuat Yera melotot menyuruhnya diam.
"Lah itu Faili punya pacar gobs," kata Mauryn di tengah mengunyah batagor.
Faili segera menggeleng, "Takut ah," katanya jadi memucat. "Nanti kalau Kak Teyong nggak liat
ke gue gimana? Ih pedih. Pacaran satu arah."
"Lah bukannya selama ini emang Kak Theo macarin lo karena nggak tega?" celetuk Shaeron
tanpa merasa bersalah membuat Faili langsung mengumpat kasar.
"Coba aja. Itu mejanya deket kita," bisik Yera memaksa, mengarahkan dagu pada meja sekitar
tiga meter dari mereka.
Faili melengos, pasrah dijadikan kelinci percobaan. Ia meneguk ludah, menegakkan tubuh dan
menolehkan kepala. Memandang Theo yang sedang mendengarkan ocehan Yoyo di meja itu.
Theo langsung balas tatapan Faili, membuat gadis itu terkejut.
"Satu," bisik Yera melirik, begitupula yang lain belagak tak peduli padahal ujung mata mereka
memerhatikan. "Dua, Tiga, Empat."
Faili mengerjap, mengalihkan wajah. "Anju ini gue ngapain sih!?" bisiknya malu tercekat.
"Sssttt diem," kata Yera melotot mengancam. "Sekarang tarik nafas," katanya membuat Faili
otomatis menurut. "Tenangkan dirimu.... Toleh."
Faili meneguk ludah, kemudian perlahan menggerakkan kepala. Menoleh lagi. Begitupula
teman-temannya yang melirik kecil.
Theo kini menopang pipi dengan tangan menyiku di meja. Menatap lurus gadis itu tanpa kedip
membuat Faili tersentak lagi.
Theo mengangkat sebelah alis, menggerakkan dagu bertanya membuat Faili agak tergagap.
Gadis berambut panjang itu jadi menggeleng menjawab, segera mengalihkan wajah mengubah
posisi menjauhi tatapan Theo.
Faili, Jinny, Yera, Shaeron, dan Mauryn kini jadi saling pandang.
Dengan kompak mereka memekik tertahan. Berteriak melalui tatapan dan bibir terkatup rapat.
"Udah gue duga Kak Teyong juga suka gue!!!" bisik Faili memekik tertahan dengan senang. Ia
bertepuk tangan girang dengan pipi memerah.
"Huhuhu cowok lo ganteng," ucap Yera ikut heboh, yang langsung membuat garis wajah Faili
berubah sangar.
"Diem lo," kata Faili diakhiri umpatan.
"Eh lagi Yer lagi!" kata Shaeron jadi semangat, tak memedulikan batagornya dan merapat pada
Yera.
Yera mencibir, "yeee dia jadi doyan," ejeknya lalu kembali membaca didengarkan fokus yang
lain.
Mauryn melirik, memain-mainkan sendoknya. Ia diam sejenak, perlahan menggerakkan kepala.
Menoleh pada meja sekitar tiga meter darinya. Gadis itu menggigit bibir berharap, menatap
fokus pada satu sosok yang sedang menyedot jusnya dengan tenang.
Merasa diperhatikan, Jay menolehkan kepala. Membalas tatapan Mauryn yang jadi tergagap.
Mauryn meneguk ludah, mengerjap dan mengalihkan wajah. Gadis itu jadi salah tingkah sendiri.
Mauryn merutuk kecil, tak memedulikan teman-temannya yang sudah heboh kali ini tertawa-
tawa kecil dengan centil entah tentang apa. Ia menarik nafas pelan, lalu kembali menoleh pada
Jay dengan jantung berdegup cepat.
Matanya melebar melihat Jay masih memandanginya.
Pemuda itu kini jadi gantian tersentak. Seperti maling tertangkap, Jay membuang muka dan
menegakkan tubuh dengan kikuk. Ia mengusap lehernya tanpa sebab, berkali-kali melirik ke
arah Mauryn.
"WOI MAURYN!"
"YA APA!"
Mauryn refleks menjerit, langsung menutup mulut kaget sendiri. Begitupula keempat temannya
yang jadi tenganga.
"Napa lu?" tanya Jinny mendorong pelan Mauryn.
Pipi Mauryn memanas begitu saja, merasa malu sendiri. "Eung... apa? Kenapa? Ada apa?"
tanyanya cepat dan gugup.
Yera menatapi itu, lalu menipiskan bibir. "Kagak sih. Mau godain aja. Tadi si Caka lewat,"
katanya menggerakkan dagu dengan tenang.
Mauryn jadi mencibir, "yeeee iler. Kirain apa."
Tanpa Mauryn sadari, pemuda yang duduk tak jauh darinya itu kembali memandanginya. Ada
senyum samar di wajah Jay sekarang.
***
Drama Teman

Jay memandangi hapenya, menggigit bibir ragu. Ia duduk di sudut ranjangnya dengan gelisah.
Line!
Jay: hei [delete]
Jay: sore Mauryn [delete]
Jay: cek ig kita yuk [delete]
'Anjis jiwa mbak olshop gue kenapa nggak bisa mati sih,' gumam Jay dalam hati merutuk diri
sendiir.
Chat Jay dan Mauryn
Jay tertawa nyaring membaca chat itu. Cowok itu menari-nari riang di atas ranjang dengan
kesenangan.
Linenya bunyi lagi buat dia segera mengambil hape mengira Mauryn kembali mengirim pesan.
Chua: kak, lagi sibuk nggak?
Eh?

Faili melangkah menyusuri rak di toko buku itu, memerhatikan buku-buku catatan yang
bercover lucu. Membuat pemuda yang mengekorinya mendesah pelan.
"Fai, kok malah cari notebook sih? Ini perlu apalagi?" tanya Seno mengacungkan plastik
transparan belanjaan mereka yang berisi pita dan kertas hias.
"Bentar deh, bawel lu," sahut Faili tak peduli, "udah sana cari staples, stabilo, sama yang lain,"
katanya cuek dan kembali mengambil satu buku untuk melihatnya.
Seno melengos. Mulai merutuk kenapa ia mengiyakan menemani ketua kelasnya ini membeli
perlengkapan untuk menghias kelas besok dalam rangka festival pensi. Cakra sendiri yang
awalnya ikut serta malah ketiduran dan belum membalas pesan sampai sekarang.
Faili berbelok, ingin menuju rak lainnya. Seno mengikuti pasrah, sampai ia terkejut ketika Faili
memekik kaget dan menarik tangannya menjauh bersembunyi di salah satu rak.
"Eh? Kenapa?"
Faili tak menjawab. Gadis itu malah berdiri di ujung rak, mengintip dan menyipitkan mata.
Menajamkan pandangan pada eskalator.
Sosok yang ia kenal baru saja terlihat datang bersama seorang gadis cantik.
Hal itu membuat Faili mendelik heran.
"Lah? Mauryn bilang mereka mau makan bareng," gumam Faili bingung, yang segera
bersembunyi lagi melihat Jay hampir menoleh padanya.
"Apaan sih?" Seno menoleh kanan kiri bingung, ingin tahu.
Tapi Faili tak menjawab. Keningnya berkerut keras tak mengerti.
Ia kembali mengintip, melihat Jay nampak akrab dengan seorang gadis imut berambut pirang
panjang dengan paras cantik. Faili sendiri bahkan tenganga melihat cewek itu tertawa.
"Mauryn mah cuma upil," gumam Faili tanpa sadar membandingkan sahabatnya sendiri dengan
cewek itu.
Gadis berambut panjang itu diam lama, kemudian merogoh hape. Seno di sampingnya hanya
menipiskan bibir tak memerotes.
Chat Yoo Shi Jin Never Die
Seno mendelik, melihat temannya ini tiba-tiba mengacungkan hape secara mengendap-
ngendap. Ia tenganga, melihat Faili memotret pasangan tak jauh dari mereka.
"Fai, lo ngapain sih?" protes Seno membuat Faili mendecak dan menoleh.
"Diem aja lo," ancam cewek itu melotot kecil, lalu kembali merunduk pada hape.
Chat Yoo Sijin Never Die

"Kalau gue jadi elo ya, gue protes minta penjelasan!" kata Jinny dengan gaya berlebihan,
menunjuk-nunjuk Mauryn masih dengan potongan martabak manis di tangannya.
Mauryn yang memeluk boneka kelinci besarnya mengangkat alis, lalu melengos saja. Kini
sudah berkumpul di ruang tamunya bersama yang lain.
"Ini bukannya yang kedua kali?" tanya Yera sebelum menyedot indomilk banana-nya. "Elo mah
emang cuma dianggap adek kelas, nggak ada harapan."
"Hn," Faili mengangguk membenarkan, "entah emang ini PHP atau emang Kak Jay sendiri
nggak pernah ngasih harapan sih," ia menoleh, memandang Mauryn yang kembali murung.
"Yaudahlah. Dih, elo mah. Ngapain baper sama kakak kelas, adanya makan ati!"
Ucapan itu sontak membuat Jinny, Yera, dan Shaeron menoleh serempak pada Faili. Ketiganya
menatap malas gadis itu yang dengan cuek mengunyah martabak keju.
"Kalau makan ati ngapain lo macarin kakak kelas."
Sebuah suara pemuda membuat mereka tersadar kini masih ada satu orang cowok di ruang
tamu itu. Mereka menoleh, melihat Seno duduk bersandar di sofa ujung sambil memainkan
hape.
"Dasar cewek," sambung Seno tak mengangkat wajah fokus pada layar hape.
"Elo nggak usah jebe jebe deh," kata Yera sewot.
Seno mendelik, lalu mendengus. "Cakra di depan. Sono ambilin," katanya pada Mauryn yang
tersentak.
"Lah dia ngapain?" tanya Mauryn menaruh bonekanya dan berdiri. Segera berlari kecil menuju
keluar.
"Nemenin gue diantara cecabean," jawab Seno membuat Shaeron segera melemparkan bantal
sofa ke wajah tampan itu.
"Aneh deh si Mauryn," kata Jinny ketika Mauryn sudah keluar rumah. "Padahal ada Caka gitu,
ngapain dia ngarepin kakel?"
Faili mengangguk, "apalagi mereka sekelas, apa-apa dah bareng. Sayang banget nggak
jadian," katanya setuju. "Masa cuma endorse semua goyah."
"Apalagi Kak Jay cuma php. Cuih," ucap Yera lalu menggigit potongan martabaknya. "Ganteng
sih ganteng, tapi nggak gitu juga."
"HALOOOOO!"
Sebuah suara memasuki ruang tamu Mauryn membuat mereka menoleh malas. Menemukan
wajah riang si jangkung Cakra datang bersama Mauryn di depannya.
"Kok mendadak ngumpul? Ada apaan?" tanya Cakra dengan santai duduk ke samping
Shaeron, langsung mencomot martabak di atas meja. "Eh, Fai. Udah beli bahannya?"
Faili mengangguk, "he. Lo suka sama Mauryn nggak?" tanyanya menembak tiba-tiba, membuat
Jinny bahkan tersedak dan Mauryn yang baru duduk melotot.
"Ha?" Cakra langsung melongo, tak paham.
"Udah, udah. Sekarang aja resmiin," kata Faili dengan santai, "kasian Mauryn ngarepin nggak
nyata."
Mauryn mengumpat tanpa suara, memukulkan boneka kelincinya pada Faili yang duduk
membentuk sudut darinya. "Diem deh lo."
Cakra mengernyit, "oh... jadi ini pertemuan karena Mauryn diphp-in?" katanya langsung
menyimpulkan.
Mauryn mendelik ketika Faili, Yera, Jinny, serta Shaeron mengangguk membenarkan.
"Sama siapa?" tanya Cakra sambil mengunyah. "Elo sih ah, baperan," sambungnya mengejek.
"Elo mending diem aja deh," kata Mauryn jutek.
"Jay anak 2A3," kata Seno dengan santai masih memainkan hape. Mauryn langsung
mengumpat kecil, karena ingat sedang berada di rumah sendiri.
"Oh ya... Kak Jay..." kata Cakra mengangguk-angguk kecil, "mau gue tanyain? Gue sering main
sama dia."
Kalimat itu membuat Faili dan yang lain langsung menegak melebarkan mata.
"Eh, oh ya. Elokan temenan sama Kak Bobi ya? Elo mainnya sama anak 2A3," kata Jinny baru
sadar.
"Emang Kak Jay ngapain sih?" tanya Cakra mengunyah dengan tenang. "Padahal kemaren dia
nanyain Mauryn."
Mauryn melotot, "ha? Apa?"
"Nanya elo sama gue pacaran apa nggak," jawab Cakra ringan tanpa beban, malah sibuk
menjilati lumeran keju di martabaknya. "Ya gue bilang itu cuma becandaan kelas gitu. Terus dia
senyum."
Yera mengumpat, langsung menoleh pada Mauryn yang membeku.
"Nggak, nggak. Jangan geer. Barusan dia sama cewek. Elo harus kuat. Nggak, nggak. Nggak
boleh baper," kata Faili mengingatkan sambil memegang lengan Mauryn.
"Kenapa hati gue yang ngerasa diombang-ambing gini," kata Shaeron menempelkan telapak
tangan ke dada.
"Dia sama cewek siapa?" tanya Cakra membuat Faili menoleh, "Setau gue Kak Jay punya
kakak cewek yang mukanya mirip banget sama dia."
Faili langsung menggeleng, "Tadi ceweknya cantik banget. Rambutnya pirang. Mukanya agak
familiar sih tapi gue lupa."
"Elo yakin bukan anak 2A3? Siapa tahu temen kelasnya gitu ada urusan mendadak. Tugas
kelompok kek apa kek makanya Kak Jay batalin janji," kata Yera tiba-tiba jadi membela Jay.
"Atau nggak urusan tokonya. Kak Jay kayaknya tipe yang bakal ngorbanin apapun demi
kemajuan bisnisnya," sambung Jinny yang juga tiba-tiba berpikir positif.
"Ih tapi tadi tuh Kak Jay cuma berdua sama cewek loh! Ceweknya cantik lagi!" kata Faili masih
ngotot.
Seno berdehem, membuat semua tersentak dan mengalihkan perhatian padanya. Cowok itu
menegak, kini memandang Mauryn serius. "Boleh jebe nggak?"
"Kenapa?" tanya Mauryn mengernyit.
Seno mendesah pelan, "Faili lebay."
Faili langsung mendelik, "apaan?!"
Seno mendecak sekilas pada cewek itu, lalu memandang Mauryn lagi. "Yang gue liat tadi
mereka biasa aja. Nggak ada apa-apa. Kalaupun itu gebetan atau pacarnya, seenggaknya si
Jay sibuk curi pandang atau natap dalam gitu. Tapi yang gue perhatiin justru mereka ada jarak,
yang berarti Jay sama cewek itu nggak sedekat yang kalian kira," ucap cowok panjang lebar
dengan kalem. "Jadi, mending lo tanya ke dia langsung apa alasan jelas dia batalin janji.
Bukannya terbawa suasana ngikutin drama temen-temen lo."
Faili dan yang lain langsung melotot tersinggung. Sementara Cakra tak memedulikan dan sibuk
mengambil satu potong martabak lagi.
"Gitu ya Sen?" tanya Mauryn polos setelah sekian lama tertegun diam.
"Itu sih yang gue liat. Tapi juga bukan berarti gue dukung lo ngarep. Karena emang biar
gimanapun Jay nggak pernah ngasih tanda yang jelas," jawab Seno tenang.
"Cih, sok banget," celetuk Shaeron sewot. "Elo jomblo aja nggak usah sok jadi pakar cinta."
Seno mendelik, membalas melempar bantal yang tadi Shaeron lempar tapi malah mengenai
Cakra yang merunduk maju meraih kotak martabak.
"Apa sih lo?!" protes Cakra sebal, melempar balik bantal.
"Gue mau lempar ke si Saeton!" kata Seno menunjuk Shaeron yang sudah tertawa puas.
"Makasih sudah melindungiku," ucap Shaeron menepuk-nepuk pundak Cakra senang.
"Najis lo ngabisin berapa potong sih?!" protes Jinny berdiri, menyadari Cakra sudah makan
tanpa henti.
"Ka! Kok tinggal segini!? "kata Yera ikutan berdiri dan maju.
"Nggak, gu-" belaan Cakra terhenti karena ia langsung diserang Jinny dan Yera yang
mengamuk. Ia segera memasukkan sepotong martabak ke dalam mulutnya bulat-bulat,
menepis amukan kedua cewek itu.
Faili tak ikutan. Ia memandang Mauryn yang kembali diam dan galau.

***
Salah Paham

Chua turun dari motor, melepaskan helm dan menyampirkan rambut panjangnya ke bahu. Ia
memandang Jay yang masih di atas motor.
"Makasih ya kak," ucap Chua tersenyum. "Selain Kak Jinwan nggak tahu lagi minta tolong
siapa."
Jay tersenyum, "iya, Chua. Nggak papa kok," katanya ramah. "Sukses ya tugasnya."
Chua meringis, "makasih juga tadi sampe mau nemenin ke toko buku, hehe. Kak Jinwan mah
jago ginian."
Jay tertawa, "ya iyalah. Demi masa depan bisnis nih!" katanya penuh percaya diri. "Pokoknya
sekarang udah tahu kan kalau mau beli bahan grosir murah dimana? Jadi nanti kalau ada tugas
lagi bisa kesana ya."
Chua mengangguk, "aku juga minta maaf tadi si Juno harus pulang duluan jadi Kak Jay yang
bawain belanjaan sama nganter aku pulang," katanya menyebutkan nama sang pacar.
Jay tertawa lagi, "iya santai aja. Yang penting dia dah mesen tiga baju couple di gue!" katanya
dengan puas membuat Chua jadi menertawai itu. "Eh, udah ya. Gue harus pergi nih," katanya
pamit.
"Eh? Mau kemana? Kirain langsung pulang," tanya Chua mengernyit.
Jay meringis, "mau beli Martabak Mang Didin. Dah janji sama seseorang," ucap pemuda itu
tersenyum.
"Oh..." Chua mengangguk-ngangguk, "sekali lagi makasih ya kak udah nganterin aku sama
Juno tadi."
Jay mengacungkan jempol, "inget nanti jangan lupa repost akun os gue," celetuknya
mengerling becanda.
"Iya kak," sahut Chua tertawa. "Hati-hati," ucapnya melambai mengiring Jay yang mulai
membawa motornya pergi.

Jay memelankan tarikan gas, lalu menepi. Ia berhenti di seberang rumah putih itu. Kaca
helmnya terbuka, mendongak memandang teras rumah Mauryn yang ramai beberapa orang
baru keluar. Jay bisa menangkap sosok yang ia kenali seperti Faili, Yera, ataupun Cakra.
Cowok itu menegak. Matanya melebar melihat Cakra berdiri di samping Mauryn, tertawa
bersama. Ia tertegun ketika Cakra mengacak puncak kepala Mauryn, yang dibalas Mauryn
dengan tonjokan kecil di perutnya.
Jay merapatkan bibir. Ia menghela nafas, mencoba menenangkan diri sendiri.
Cowok itu merunduk, memandang plastik putih berisi kotak yang menggantung di motornya. Ia
merutuki diri sendiri.
Emang ya. Biar gimanapun, cowok tinggi tetap jadi pilihan pertama.

Mauryn menghela nafas, duduk di atas ranjang dan termenung lagi. Ia melirik pada hape yang
tergeletak tak jauh darinya. Cewek itu diam sejenak.
Mauryn meraih hapenya, menjatuhkan diri tertidur di atas ranjang. Ia menggigiti bibir dan
membuka chat room.
Spam Chat delete Mauryn ke Jay
Mauryn mendecak dan menyerah. Malah jadi merengek sendiri tak tahu harus apa.

Jay melepas jaket dan melemparnya asal. Cowok itu duduk ke sudut ranjang, mengeluarkan
hape. Ia melengos, memandang layar hapenya sendiri.
Banyak notif pesan datang.
Dari whatsapp, grup chat kelas laknatnya juga grup unfaedahnya.
Dari line, kebanyakan kenalannya yang sibuk bertanya harga promo jualan Jay.
Dari kakaotalk, yang benar-benar full bertanya tentang jualan.
Jay mengacak rambut, merasa tak ingin diganggu. Bodoamat tentang pendiriannya yang bilang
'bisnis adalah yang utama!'
Sekarang Jay benar-benar tak bisa menanggapi para customer.
Ia sibuk menata kepingan hatinya.
Ternyata patah hati itu sesesak ini ya?
Sama halnya kayak custumer yang banyak nanya ujung-ujungnya nggak ada kabar.
Ataupun barang yang siap dikirim tapi pelanggannya nipu.
Tapi ini lebih perih sih.
Ya... seenggaknya kalau bisnisnya ditipu, Jay bisa minta tolong mama dan keluarga. Cari lewat
polisi. Lampiasin post nomer hape dan id line pelanggan ke IG masuk dalam blacklist.
Tapi kalau ini?
Lampiasin gimana?
Jay jadi merutuk tadi mengiyakan ajakan Chua. Cewek itu meminta tolong untuk tugas
sekolahnya, bertanya tempat grosir bahan murah dimana karena ia membutuhkan banyak.
Karena sulit menjelaskan, Jay mau tak mau ikut menemani. Apalagi pacar Chua menjanjikan
akan membeli couple-tee baru dari jualan Jay dan Chua sendiri janji akan mempromosikan
olshop Jay ke ignya sendiri.
Chuakan followersnya banyak. Jay nggak mau lepas kesempatan.
Tapi hal ini malah buat dia membatalkan janji dengan Mauryn.
Dan yang ada?
Cewek itu asik sama si cowok jangkung.
Jangkung.
Jay mengumpat sendiri.
Dia tahu Mauryn dekat dan akrab dengan Cakra. Cakra sendiri sudah bilang kalau dia tidak ada
apa-apa dengan Mauryn
Tapi ya tetep aja.
Mana ada 'cuma temen' pake usap-usap kepala sambil ketawa akrab gitu?
Jay melempar asal hape ke atas bantal. Ia emosi kembali.
Cowok itu diam lama.
Sampai kemudian ia kembali meraih hape.
'Ini pertaruhan terakhir,' batinnya.
Line!
Jay: Mauryn

***
Badmood

Mauryn membuka kedua matanya yang masih terasa berat. Gadis itu bergumam kecil merasa
tak ingin bangun dari tempat tidurnya. Ia melirik, melihat hapenya tergeletak tak jauh dari
wajahnya. Bibirnya mencuat menyadari ia sampai tertidur menunggu chat dari Jay semalam.
Mauryn merasa nafasnya hangat, membuat ia mengernyit sendiri sambil mencoba duduk.
Mauryn jadi ingat semalam ia sempat melempar asal hape dan berlari ke kamar mandi untuk
muntah.
Nggak tau abis makan apa, perut Mauryn benar-benar tak nyaman sejak semalam.
Gadis itu menoleh, memandang jam dinding.
Sudah jam 9.
Mauryn mengerjap-ngerjap.
Jadi tadi itu bukan mimpi.
Saat Candra meraba keningnya dan berkata sesuatu, seperti menyuruh Mauryn istirahat atau
semacamnya.
Ah sial.
Jadi nggak sekolah.
Padahal pengen ketemu Jay.
Mauryn menghela nafas, meraih hape. Gadis itu mengusap hidungnya melihat ada pop up
message dari grup kelas. Gadis itu membuka apilkasi chat, yang isinya kebanyakan dari anak
kelasnya sendiri.
Ia membuka chat paling atas dari Cakra.
Whatssupp
Cakra
He?
Lo sakit? Kok bisa?
Cakra: mampuy sih kemaren makan martabak terus minta sushi
Cakra: goblo
Mauryn melengos, mencoba sabar. Lagian memang tak ada kekuatan untuk kesal atau sekedar
mengumpat.
Berikutnya ia buka lagi chat dari Yera.
Yera: IH KENAPA SIH NGGAK TURUN WOI PR MATEMATIKA GUE GIMANA T______T
Mauryn tersenyum pahit. Emang temennya tuh nggak pernah ada yang semanis kayak di
sinetron-sinetron anak sekolahan.
Ketik sendiri.

Jevon melirik, kemudian mendelik kecil. Teman di sampingnya ini sedari tadi diam. Emang sih,
Jay tuh nggak sebacot Hanbin atau Bobi tapi tetep aja dia bukan golongan anak kalem.
"Jae," Jevon menendang pelan kursi Jay membuat Jay menoleh. "Lo sakit perut ya?" tebaknya
begitu saja. "Toilet sana, jangan disini."
Jay menyipitkan mata, melengos kesal dan membuang muka lagi.
Jevon tak mau berhenti. "Jae, ada pembeli nipu lagi ya? Dah, laporin polisi aja nggak usah
dimanjain."
"Bodoamat, Pon," jawab Jay tak peduli.
"Jae, tadi gue denger anak-anak pada belok beli kuota di Haylie konter," kata Jevon memanasi.
Jay menghela nafas berat, "serah."
Jawaban itu membuat Jevon membelalak.
Wah, ini masalah serius.
Jay tetep nggak peduli walau pelanggannya pindah lapak???
Jevon berdehem, mengubah posisi jadi agak condong ke Jay. "Ada apaan? Sini cerita sama
abang."
Jay melirik, "jijik, Pon."
Jevon jadi mencibir. "Elo galau?" tebaknya sekali lagi. "Cewek?"
Jay menghela nafas. "Bacot lo," katanya dengan sebal berdiri, sudah tak tahan. Membuat
Jevon jadi mendelik sebal.
Jay maju, pamit ke toilet pada Miss Dara.
Cowok itu melangkah keluar kelas, kemudian menaiki tangga ke atas. Dengan tak peduli,
bahkan tak takut ketangkap guru, cowok itu menyusuri koridor.
Ia lalu masuk ke dalam UKS.
"Pagi Mbak Indah," sapa Jay basa basi, membuat wanita setengah baya di UKS menoleh.
"Numpang tidur ya? Lagi nggak enak badan." Jay langsung masuk menuju ke tempat tidur
paling pojok.
"Mau dibuatin teh?" tawar Mbak Indah, "surat ijinnya gimana?"
"Nggak usah mbak. Nggak pake surat juga nggak papa, kelas lagi kosong," jawab Jay malas
sambil menidurkan diri.
Hapenya bergetar membuat ia dengan malas merogohnya. Mau diacuhkan tapi Jay merasa tak
bisa tidur dan jadi memainkan hape sambil tiduran di UKS.
UnFaedah grup
Jay sudah tak lagi membuka grup chatnya. Karena ada chat masuk yang membuatnya
langsung terduduk dari tidur.
Chat Faili ke jay
Mulut Jay terbuka begitu saja. Ia diam lama, sampai kemudian melompat turun dari ranjang
segera keluar dari UKS membuat Mbak Indah terkaget-kaget.
"LOH JAY UDAH SEMBUH?!???"
"UDAH MBAK!" balas Jay tanpa menoleh, kini malah berlari menuju tangga.
Ia sadar beberapa menit lagi istirahat. Cowok itu mengetik beberapa chat pada teman kelasnya,
Haylie.
Jay: li, si candra ips 2 kan?

***
Teh Botol Candra

Candra memperbaiki kacamata beningnya, mengernyit ketika Jay datang membawa dua botol
teh dan duduk di depannya. Candra sudah dibuat bingung ketika Jay menunggunya di ujung
koridor IPS, terus mengajaknya ke kantin bersama.
Candra memang kenal Jay, tapi kenal biasa aja. Terus kenapa tiba-tiba Jay ngajak makan
bareng gini? Astaga.... Candra memang lama jomblo tapi dia masih napsu sama cewek sih.
Yakali si Jay mau ngajakin dia jadi cinta pelangi.
"Ehm, Can..." Jay memegangi botol tehnya, agak gugup.
Candra jadi menarik diri menjauh. Tuh, kan.... Jay kayaknya mau nembak dia sekarang nih.
Pake grogi gini.
"Ya?" sahut Candra belagak cool.
"Eung.... Ada yang mau gue omongin..."
TUH KAN..........
Candra langsung menegakkan tubuh, berdehem dengan agak canggung. "Anu, gini, eung...
gue-"
"Adek lo sakit ya?"
"Eh?"
Jay mengerjap, menatap Candra penuh ingin tahu. "Si Mauryn? Lagi sakit? Sakit apa?"
"Oh... dia nggak enak badan gitu. Kayaknya salah makan," jawab Candra melemaskan bahu.
Sadar pikiran kacaunya memang hanya imajinasi liar-sialan-nya semata. "Kenapa? Mau
endorse lagi?"
Jay meringis kecil. "Eung, gini... Eh minum dulu minum," katanya menyodorkan botol teh lebih
dekat. Candra menurut, meminum dari sedotan botol.
"Gue mau jenguk adek lo."
Candra mengangkat sebelah alis, melepaskan sedotan dari bibir. "Jenguk?"
Jay mengangguk, "kemaren gue janji sama dia buat beliin martabak, tapi kemarin gue ada
keperluan mendadak. Dan gue baru tahu kalau adek lo sakit, jadi... gue mau jenguk dia."
Candra diam beberapa saat, "elo sendirian?"
Jay mengangguk.
Wajah Candra perlahan mengeruh, "ngapain lo jenguk adek gue sendirian gitu? Kalian kan
cuma rekan bisnis," katanya mulai curiga.
Jay kembali meringis kecil, "ya... gue..." Jay berusaha menguasai diri, mengembungkan kedua
pipinya sesaat. "Gue pengen tahu keadaan dia sih...."
Candra mengangkat alis, "nggak usah repot-repot. Kalau emang janjiin martabak, kasih aja
lewat gue," tegas Candra membuat Jay terdiam. Candra berdiri, langsung beranjak.
Tapi ia jadi mengurungkan niat dan kembali, membuat wajah Jay merekah berharap Candra
berubah pikiran.
"Ketinggalan," ucap Candra meraih botol tehnya, lalu dengan cuek menyedotnya dan berjalan
pergi.
Jay melengos. Ia diam beberapa saat, tapi kemudian mendecak dan berdiri bergegas mengejar
Candra.
Dengan cepat Jay langsung melesat ke depan Candra, menghadang jalan cowok berkacamata
itu.
"Oke, nggak perlu basa basi lagi," kata Jay kini lebih tegas. Ia menarik nafas sesaat,
menghembuskan pelan dan menatap Candra serius.
"Gue suka sama adek lo."
Candra langsung tersedak. Bahkan teh dari sedotan menyembur kecil membuat Jay segera
memundurkan. Ia terbatuk beberapa saat, lalu melebarkan mata menatap Jay tak percaya.
Jay mendesah pelan, "gue mau serius. Dan gue tahu gue harus dapat ijin dari lo dulu."
Candra masih melebarkan mata dari balik kacamata beningnya. Ia tertegun tak menyangka.
Baru kali ini ada cowok terang-terangan bilang suka ke adiknya dan meminta ijin begini.
"Gue mau jenguk Mauryn. Mau ngerawat adek lo. Boleh kan?"
Candra mendelik samar, memandang Jay yang berharap. Cowok itu masih setengah tenganga
tak percaya.

***
Taktik Candra
Grup Unfaedah

Candra mendelik, melihat sang adik sedari tadi sibuk di depan kaca memperbaiki penampilan.
Wajah pucatnya agak samar karena gadis itu memakai bedak dan lipbalm.
Padahalkan dia mau dijenguk, bukan mau diajak ngedate.
"He," panggil Candra membuat Mauryn yang sibuk menata rambut menoleh. "Gitu caranya si
Jay bakal ngira lo bolos, nggak ada sakit-sakitnya."
Mauryn mendelik, "ih, aku sakit kok," jawabnya dengan suara parau.
"Ya ngapain dandan sih?" protes Candra tak mengerti.
"Ck. Kan jelek kalau pucet."
"Halah lo dikasih bedak berapa lapis juga masih jelek."
Mauryn menyipitkan mata kesal. "MAMAH!!!! KAKAK NIH MAURYN DIGANGGUIN PADAHAL
LAGI SAKIT!!!!" teriaknya mengadu membuat mata Candra membelalak.
"CANDRAAAAAAAA!!!!!!!!!"
Candra mengumpat tanpa suara, menatap sang adik geram. "Kalau bukan tanpa ijin gue si
bantet nggak bakal kesini," katanya dengan sebal, lalu berbalik dan berjalan pergi.
Mauryn mencibir, "bantet ngatain bantet. Kak Jay mah bantet imut lah lu mah apa," gerutunya
kecil. "UHUK UHUK."
Dan gadis Itu langsung terbatuk-batuk. Perutnya kembali terasa sakit.
"Sial. Gue ketulahan ngatain kakak sendiri nih."

Candra berlari kecil ketika bel rumah berbunyi. Cowok itu yang tak memakai kacamatanya
berjalan ke ruang tamu, lalu membuka pintu. Ia melebarkan mata, melihat sosok Jay sudah rapi
di depan pintu.
Jay memakai kemeja biru kotak-kotak dengan jeans biru tua panjang.
Yaelah... Nggak cewek nggak cowok, salah lapak dua-duanya. Emang mereka mau ngedate
apa, pake serapi gini?
Melihat Candra menatapnya dengan delikan dan mata menyipit (sebenarnya karena dia rabun
tapi Jay menganggap Candra menatapnya tajam), Jay agak merapatkan bibir lalu
mengacungkan kresek putih yang ia bawa.
"Nih. Pesenan lo," kata Jay agak jutek, seperti tak ikhlas.
Candra melebarkan mata,menerima plastik putih itu. Ia membukanya, mengeluarkan sebuah
jaket berwarna hijau.
"Itu sama persis kayak yang dipakai Pak Jokowi. Puas kan lo?"
Candra menyeringai lebar, lalu kembali melihat ke isi plastik. Matanya menyipit, agak kabur
mengacungkan topi baseball putih.
"Wih, cakeppp," kata Candra puas, lalu memakai topi itu yang pas dengan kepalanya.
Jay sendiri tak mendengarkan dan sibuk melolongkan kepala ke arah dalam rumah.
"Elo nggak bawa apa-apa lagi?" tanya Candra sambil bersandar ke dinding di sebelahnya dan
melipat kedua tangan di depan dada. Gayanya sudah sok keren dengan jaket hijau di tangan
dan topi putih di kepalanya.
Jay mendelik, "bawa apa?"
"Lah buat nyokap gue?"
Jay tenganga, hampir saja mengumpat. "Gue juga harus ngasih sesuatu ke nyokap lo?" tanya
cowok itu tercekat.
Candra merapatkan bibir, "bukan gitu, nyet. Kan lo lagi mau jenguk. Lo nggak bawa kue, soto,
atau apa gitu," sindirnya melirik Jay dengan alis terangkat sebelah.
Jay mendesah panjang, "nggak ada," jawabnya pasrah.
Candra mengerucutkan bibir, "jadi lo datang dengan tangan kosong?"
Kali ini Jay benar-benar mengumpat. "Gue bawain lo jaket sama topi Can!??!?!" tunjuknya
menahan emosi geram.
"KAAAAKKK SIAPA SIH??? KOK LAMAAA?"
Suara sang mamah membuat keduanya tersentak.
"MAS JNE MAAAA! NGANTERIN BARANG ONLINESHOP PESANAN CANDRA!" jawab
Candra santai, membuat mata Jay seakan ingin mencelat.
Candra menoleh pada Jay lagi. "Mending lo beli itu, tuh, browniesnya Hanbin. Baru ketemu
adek gue," katanya mengibaskan tangan mengusir.
Jay tenganga, "Can, sumpah. Lo setega itu sama gue?" tanya tak percaya dengan gaya
dramatis. "Gue masih SMA, Can... Duit jajan gue aja nggak sampe duapuluh ribu.... "
Candra mendengus, "he, ini gue lagi bantuin lo. Elo tuh cowok pertama, ya anggaplah spesial
ya, buat adek gue datang ke rumah. Ya masa lo nggak mau punya first impression bagus gitu
dari nyokap gue?"
Jay mendelik. Ia diam lama, lalu mendecak pelan. "Yaudah, yaudah. Gue delivery aja," katanya
pasrah sambil merogoh hape.
Candra menyeringai lebar dengan puas memandang Jay yang menelpon dan memesan
makanan. Harusnya dari dulu ia melakukan strategi begini. Sebenarnya Jay bukan cowok
pertama yang mencoba mendekati adiknya, tapi cowok ini cukup nekat bicara langsung dengan
Candra sebelum pada Mauryn sendiri.
"Dah, kan? Mana adek lo?" kata Jay setelah menutup telpon.
"Hm... Boleh jujur nggak?"
Jay mengernyit, merasa firasat tak enak.
"Barusan nih, baru aja, abis minum obat.... Adek gue tidur."
"Lo tau anjing nggak sih, Can?"

***
Sang Penyelamat.

Jay menghela nafas sekali lagi. Ia menidurkan kepala ke samping di atas mejanya pagi ini.
Merasa perasaan campur aduk sejak kemarin.
Gagal ketemu Mauryn.
Dikerjain si Candra anak setan.
Dan yang paling ngeselin........ CANDRA BELUM POST BOMBER JAKET YANG DIA KASIH
PADAHAL KATANYA ITU BARANG ENDORSE TAPI DIA BELUM JUGA PROMO DI
SOSMEDNYA.
Jay melengos, mengacak rambut frustasi. Sekarang yang paling menyebalkan adalah dia
belum juga bertemu Mauryn. Jay tak pernah merasa seperti ini. Perasaan rindu amat dalam
yang menyiksa batinnya.
Sial.
Kenapa sih Mauryn harus punya kakak titisan penghuni neraka begitu?
"Jae, Jaelani!"
Jay dengan malas menoleh ketika lengannya dicolek-colek seseorang yang baru datang.
"Pinjem biologi dong. Gue kurang dua soal nih," pinta Haylie dengan wajah memelas.
Jay merapatkan bibir, "ambil aja sendiri. Yang sampul ijo," katanya malas-malasan tanpa minat.
Haylie segera meraih ransel Jay, membuka dan mencari buku yang dimaksud. Sampai gadis itu
hampir terjatuh ke belakang ketika Jay tiba-tiba menegakkan tubuhnya kemudian memandangi
gadis itu mata berbinar.
"W-what?" tanya Haylie jadi takut-takut dan masih kaget.
"Haylie....." Jay perlahan jadi merengek, "Li.... Astaga anjir gue nggak kepikiran elo..." Jay
berdiri, lalu gantian memasang wajah memelas. "Li, bantu gue ya please, lo harapan terakhir
gue..."
Haylie jadi mengernyit. "Apaan sih?"

Jay tersenyum-senyum tertahan, tak sabar berdiri menunggu di sudut lorong sekolah lantai dua.
Ia merasa dadanya membusung, seakan sudah dapat kemenangan.
Cowok itu menegakkan tubuh melihat sosok Candra terlihat dan datang menghampirinya.
"Paan?" tanya Candra malas-malasan Jay kembali memanggilnya untuk bertemu. "Kalau nggak
ngasih gue jajan nggak usah manggil gue."
Jay mengumpat kecil.
"Eh, ngomong di kantin aja lah, Jay," kata Candra menggerakkan dagu untuk pergi. Berharap
akan kembali ditraktir seperti kemarin.
"Disini aja lah, biar bisa ngeliatin doi," kata Jay membuat Candra tersentak dan jadi mengernyit.
Jay dengan tenang menoleh ke bawah, "Tuh, tuh, dia tuh," katanya menunjuk ke arah lapangan
di bawah, dimana segerombol siswi sedang bersiap bermain voli di sana.
Candra ikut menoleh. Mata kecil di balik kacamata beningnya melebar, langsung membeku
begitu saja.
Melihat itu, Jay tak tahan untuk tidak tersenyum puas. Ia berdehem keras.
"Kenapa nggak ngomong sih Can? Gue mah punya nomernya, dia kan langganan gue. Anak
Taman Sari tuh," kata Jay tenang.
Candra diam-diam melemas dan mati kutu, tapi mencoba terlihat biasa saja.
"Gampang mah kalau sama gue. Sepik dikit juga pasti mau gue buat kenalan sama lo," kata
Jay dengan godaan samar, makin merasa menang melihat pipi Candra mulai memerah.
Jay mendekat, berdehem pelan. "So? Adek lo mana?"
Candra dengan sebal melirik Jay tajam, merasa kesal kali ini tak bisa melawan lagi.
*

Jay menyusuri koridor dengan perasaan lebih riang. Hatinya meringan tinggi dengan senyum
senang. Bahkan tanpa sadar langkahnya terayun-ayun seperti anak TK bersiap untuk
berwisata.
Ia merasa makin tak sabar karena mengetahui Mauryn sudah turun sekolah hari ini. Pemuda itu
tak sabar ingin segera bertemu karena pengganggunya nomer satu –aka Candra Alvenzi-
sudah mati kutu dikalahkan telak olehnya tadi.
Jay yang awalnya ingin menuju koridor kelas sepuluh, jadi mengurungkan niat. Ia
mengernyitkan kening, melihat samar para murid X-4 di lapangan futsal. Jay jadi membelokkan
langkah berlari kecil ke arah sana.
Namun langkahnya memelan, menemukan sosok Mauryn duduk di pinggir lapangan
memandangi teman-temannya. Tak sendirian. Ada si jangkung Cakra menemaninya.

*
Chat Candra dan Haylie

***
Bunga Asoka

"Dia nggak ada chat lo?" tanya Cakra sekali lagi. Mauryn di sampingnya mengangguk lesu.
"Yaudahlah," ucap Mauryn sambil menghela nafas berat, "emang nggak peduli kali."
"Lo aja gih chat duluan," kata Cakra membuat Mauryn mendelik.
"Ih, nggak. Guekan cewek, masa harus gas duluan," protes Mauryn tak setuju.
Cakra jadi mencibir, "elo pasukannya si Faili sih ya. Jadi ikutan gengsian kayak dia," ejeknya
membuat Mauryn memutar bola mata sebal.
Mauryn menghela nafas panjang. "Emang buat dia gue tuh cuma temen bisnisnya sih," keluh
Mauryn bersungut.
Cakra mengangkat alis, lalu memandang ke arah lapangan tempat teman-temannya sedang
bermain basket bersama. "Kok si Jay gitu ya? Kok dia nggak ngegas?" tanya Cakra bingung
sendiri, "ya sebagai cowok gue liat jelas-jelas dia ada rasa sama lo."
"Ck. Lo diem aja deh, Ka. Nggak usah bikin gue ngarep," sahut Mauryn kembali bersungut.
"Yeu si iler. He, kalau dia nggak punya rasa ngapain kemaren dia mau jenguk elo?" tanya
Cakra jadi sewot.
Mauryn memajukan bibir mengingat itu. "Kemaren juga Kak Candra kenapa nggak bangunin
gue sih pas dia datang," keluhnya jadi merengek kecil.
Cakra diam lama, lalu mendesah pelan seakan mengerti sesuatu. "Ini pasti gara-gara kakak lo,
Ryn," katanya dengan ekspresi yakin membuat Mauryn mendelik kecil. "Kakak laki-laki itu
emang pengganggu nomer satu," ucapnya seperti menyindir seseorang dengan dendam. "Pasti
kakak lo ngalang-ngalangin gitu, deh."
Mauryn mengernyit, tapi tak menjawab.
"CAKA!!!!"
Keduanya terlonjak kaget. Ketika tiba-tiba Jinny melesat datang dan melompat ke samping
Cakra, langsung menggampit lengan pemuda itu. Ditambah Yera yang juga datang.
"Ka kok disini sih? Yuk ikut main yuk!" ajak Yera memaksa, menarik lengan Cakra bersamaan
dengan Jinny yang menarik lengan satu lagi.
Cakra langsung tenganga-nganga bingung, "ha? Apaan sih?" tanyanya tak paham apapun
pasrah ditarik dua cewek itu pergi.
Jinny dan Yera tak mendengarkan, menarik lengan Cakra paksa memasuki lapangan lagi.
Menghampiri Faili dan Shaeron yang berdiri menungggu.
"Lo ngapain sih ha bayi bekantan?!" omel Jinny saat jauh, melotot mengancam pada Cakra.
"Odong emang lo!" tambah Yera kini menoyor kepala Cakra.
"Lah gue ngapain?" tanya Cakra tak tahu menahu.
"Lo ngapain duduk berdua sama Mauryn gitu!?" geram Yera dengan emosi tertahan, meremas
lengan Cakra gemas membuat Cakra mengaduh.
"Ya gue capek, Nyet. Mau istirahat," jawab Cakra apa adanya, lalu menoleh pada Faili yang
sudah di depannya. "Fai, emang gue salah? Gue cuma duduk, kan?"
Faili melipat kedua tangan di depan dada, melengos panjang. "Ya nggak salah. Tapi ada Kak
Jay yang ngeliatin lo berdua."
Cakra membelalak, refleks menoleh ke belakang tapi tangan Yera segera menoyor kepalanya
untuk tak berbalik kentara.
"Udah, deh. Sekarang sini aja. Lo tuh pho dasar!" tuduh Jinny mengomel.
"Anjir pho apaan? Gebet cewek aja gue belum bisa malah sok jadi pho," sahut Cakra malah jadi
curhat.
Cakra menggeram, "Yaudah yaudah oke. Tapi jangan rebutin gue gini juga," katanya mengarah
pada Yera dan Jinny di sisi-sisinya yang masih memegangi lengan cowok itu.
Kedua cewek itu langsung mendelik kompak, Yera segera melepaskan pegangan dan
mendorong Cakra. Begitupula Jinny yang langsung menabok keras kepala cowok satu itu.

Jay masih berdiri di tempatnya. Memandang lurus gadis itu yang kini ditinggalkan dan duduk
sendiri. Jay menghela nafas pelan.
"SENDIRIAN AJA LO KAYAK JOMBLO!"
Sebuah suara cempreng mengagetkannya membuatnya langsung menoleh, terkejut setengah
mati Hanbin tahu-tahu melompat datang. Malah, beberapa murid 2A3 mendekat.
"Wan, nggak ke lab?" tanya Jesya mendekat.
"Lah kan belum bel?" tanya Jay bingung, walau mengambil ransel yang dibawakan Yoyo
untuknya.
"Lo ngapain sih disini?" tanya Bobi tak mengindahkan ucapan Jay, malah merangkulnya dan
ikut memandang ke arah yang tadi Jay perhatikan.
Jay langsung menegak.
Ah, sial.
Teman-temannya sudah kumpul.
Siap-siap aja dibikin malu.
Dan benar saja…
"CIE MAURYN YA CIEEEEE!!!"
Suara itu membuat Mauryn sang pemilik nama terkejut dan refleks menoleh. Begitupula teman-
teman X-4 nya yang terkejut dan baru menyadari kehadiran para murid 11 IPA 3 tak jauh dari
pinggir lapangan futsal.
"Apaan sih njir! Bubar lo semua!" panik Jay mencoba pergi dari teman-temannya yang makin
bergerombol menahan cowok kecil itu.
"YANG MANA SIH JAE YANG MANA?" tanya Rosi makin maju menyaringkan suara.
"YANG ITU JAE? ITU MAH GUE KENAL MAU GUE SALAMIN NGGAK?" teriak Haylie makin
jadi.
"LAH WAN ITUKAN MODEL ENDORSE LO!" ucap Yoyo nyaring.
"OH JADI SELAMA INI GITU TOH," ucap Jiyo menyindir keras, "AWALNYA KENALAN
KARENA BISNIS, LAMA-LAMA KOK ADA HATI YANG BERDEBAR GITU YA."
Jay mengumpat, segera ingin pergi tapi kembali lagi pasukan bobrok sialan itu menahannya.
Mauryn sendiri melebarkan mata, langsung salah tingkah. Ia mengalihkan wajah,
menyembunyikan pipi bulatnya yang merona dengan rambut panjangnya. Gadis itu langsung
berdiri, berlari kecil bergabung bersama teman-temannya ke tengah lapangan.
"YAH MAURYNNYA PERGI!" kata Jevon nyaring.
"ELO SIH JAE KELAMAAN AH," ucap Bobi kini malah maju, keasikan liat para adek kelas
cantik di sana.
"MAKANYA JAE GECE DONG GECE, NGENG NGENG NGEENGGG," ucap Rosi sambil
meragakan menarik gas motor. Membuat Jay kembali ingin mengumpat.
"Wan, maju dong Wan, maju," ucap Miya mendorong-dorong Jay agar ke depan.
Hal itu malah membuat para murid 2A3 saling pandang, lalu dengan kompak mendorong paksa
Jay agar maju membuat cowok mungil itu melotot kaget. Hanbin bahkan menarik lengan Jay
yang terseret-seret menuju lapangan futsal.
"Fai, temen-temen cowok lo napa sih," bisik Mauryn di samping Faili yang sedari tadi
terbengong-bengong melihat kelakuan kakak kelas mereka itu. Gadis berpipi bulat itu sudah
memerah tomat dengan malu.
"Mending lo kesana gih," kata Faili mendorong Mauryn membuat mata kecil Mauryn
membelalak.
"Ih ngapain?" cicit Mauryn sudah salah tingkah.
"Biar diem itu. Heboh banget," jawab Faili menggerakkan kepala ke arah 2A3 yang kini jadi ke
pinggir lapangan futsal dan duduk bersama di anak tangga.
"CIW CIW PAILI CIW CIW! LIAT SINI DONG!"
"TELOLET FAI TELOLET!"
Faili mendelik, menoleh pada Hanbin dan Bobi yang heboh memanggilnya. Tapi ia jadi
tersentak, melihat Hanbin –oh, hampir semua anak 2A3- menunjuk-nunjuk Mauryn seakan
memberi kode. Faili tenganga kecil, tak paham sama sekali.
"Yong, cewek lo kebanyakan ngemil micin ya gini aja nggak ngerti," kata Jevon pada Theo yang
sedari tadi tenang membuat Theo menendangnya tanpa membuka suara.
"Jae, lo aja sana maju!" ucap Juan mendorong Jay yang sedari tadi salah tingkah.
"Mau ngapain sih anjir," tanya Jay melotot sebal.
"Mumpung lagi pertemuan dua kelas nih. Kita jadi saksi!" kata Jane menggebu-gebu. "Shoot
shoot shoot!"
"Ha? Gila lo!" Jay langsung berdiri tegak tersadar apa maksud teman-temannya ini.
Tapi seakan tak dengar, mereka malah makin mendorong Jay memaksanya maju. Hanbin
merasa tak sabar, langsung bangkit berdiri dan menarik lengan Jay membuat Jay merasa
lututnya melemas.
Faili kini mulai membaca keadaan, ia langsung mendorong pelan Mauryn agar maju
menghampiri Jay. Membuat Mauryn jadi panik dan bingung. Faili terus mendorong gadis itu
sampai ke tengah lapangan, lalu berbalik dan meninggalkan Mauryn begitu saja.
Mauryn ingin menahan, tapi terdiam saat Jay didorong Hanbin dan berhenti di depannya. Mulut
Mauryn langsung terbungkam diam. Sementara Jay yang ditinggalkan Hanbin jadi semakin
grogi.
Hening.
Para anak-anak X-4 menyebar di beberapa titik lapangan, tapi masih memandang temannya itu
penuh antisipasi. Sementara para murid 11A3 yang berkumpul di pinggir lapangan sudah sibuk
dengan kamera hape masing-masing merekam diam-diam, dan sisanya ikut memerhatikan
kedua orang itu.
Jay bergerak gelisah, lalu berdehem pelan. "Eung... kamu-eh, elo... udah sembuh?"
Mauryn membulatkan mata, tapi kemudian mengangguk.
"Oh...." Jay mengangguk-angguk kecil, ".... Yaudah..."
Mauryn melirik, melihat Jay meringis kecil. Jay tersenyum masam, kemudian membalikkan
tubuh dan ini beranjak pergi.
Yang langsung membuat para anak 2A3 bersorak heboh dengan kecewa.
Jay jadi berhenti, mendelik ke arah teman-temannya. "Apaan?" tanyanya tanpa suara,
membuat Rosi dan yang lain semakin gemas.
Mauryn sendiri mendesah pelan. Diam-diam merasa kecewa. Ia juga membalikkan tubuh, ingin
menghampiri teman-temannya yang tenganga-nganga melihat Jay meninggalkan Mauryn
begitu saja.
Mauryn menipiskan bibir, mulai melangkah lesu.
"Mauryn!"
Gadis itu tersentak, langsung menoleh kaget. Ia jadi membalikkan tubuh, menatap Jay yang
berdiri sekitar tiga meter darinya.
Jay menarik nafas samar, lalu menghembuskan pelan.
"Gue suka sama lo."
Yera dan Jinny refleks tenganga maksimal, Cakra yang sedang minum bahkan tersedak.
Sementara 2A3 langsung menjerit heboh, seakan tim sepak bola kesayangan mereka baru saja
mencetak gol indah.
Jay langsung merutuk. Tersadar suaranya sudah begitu nyaring. Pemuda itu langsung merasa
ingin menggali kuburannya saat ini juga. Apalagi makin merasa malu mendengar koaran
berlebihan teman-temannya.
Mauryn sendiri melebarkan mata dan membeku. Menatap Jay tak percaya dengan jantung yang
seakan sudah meledak-ledak tak karuan.
Suara kasak-kasak heboh di belakangnya membuat Jay yakin teman-teman sudah
merencanakan sesuatu. Dan benar saja, dengan Rosi berdiri di depan, mereka kompak
menyanyikan lagu dari Maliq & D Essentials.
"MAU KAH KAU TUK MENJADI PILIHANKU MENJADI YANG TERAKHIR DALAM HIDUPKU!"
"ASEK ASEK JOS!"
"MAUKAH KAU TUK---eh liriknya gimana sih gue lupa..."
Jay menepuk pelan wajahnya dengan telapak tangan, kemudian berbalik menatap kesal teman-
temannya yang sibuk menyoraki Rosi. "Suh suh," katanya mengusir dengan gemas.
Tapi ia jadi melotot ketika Hanbin –entah sejak kapan- memetik bunga terdekat dan berlari
memberikan pada Jay yang jadi makin kebingungan.
Ini bunga Asoka.
Iya, ASOKA.
Sebatang-batangnya.
"Udah, udah, apa adanya aja kan dadakan," kata Hanbin mendorong Jay agar maju lagi.
Hal itu membuat para adik kelas tertawa kecil dengan geli.
Jay tenganga-tenganga, melangkah maju ke depan Mauryn yang sudah menutup mulut dengan
telapak tangan. Jay merutuk, merasa lututnya makin lemas. Seumur-umur, sepertinya ini hal
yang paling memalukan yang pernah ia lakukan.
"Maaf ya..." ucap Jay meringis kecil, membuat Mauryn makin merasa meledak.
Koaran dan sorakan langsung heboh dimana-mana,bahkan beberapa orang di koridor jadi
berhenti dan menoleh.
Ketika Jay menekuk kaki dan berlutut ke depan Mauryn.
Sudah basah, nyebur aja sekalian.
Jesya dan Jane yang sebelahan sudah saling peluk dan merasa melting sendiri. Haylie dengan
kurang ajarnya agak maju, merekam dengan smartphonenya. Hanbin, Yoyo, Juan, dan Bobi tak
henti-hentinya memekik kecentilan seakan ikut meleleh. Hanin berdiri bertepuk tangan dengan
Jiyo dan Yena yang malah tertawa keras. Theo yang duduk di belakang jadi ikut tersenyum
memandangi dari jauh.
Jay meneguk ludah, diam-diam juga ingin meledak saat ini juga. Ia memegang batang Asoka itu
dengan kedua tangan, menatap Mauryn yang sudah salah tingkah setengah mati.
"Please ini gue udah malu banget, terima ya," pinta Jay memelas, seakan sudah putus asa.
Mauryn merasa meledak saat ini juga. Kedua tangannya sudah basah berkeringat, dengan
debaran jantung makin tak terkendali.
Tapi menyadari Jay sudah merasa sangat malu, Mauryn tak tega membiarkan ini berlangsung
lama. Cewek itu langsung maju, mengambil alih bunga dari tangan Jay.
Jeritan dan teriakan menggoda langsung heboh tak terkendali. Jevon bahkan sudah melompat
bersama Juan dan Yoyo sudah bersorak tak karuan. Bobi yang biasa memimpin justru
tenganga merasa kalah melihat sikap berani Jay. Hanbin sudah memegang dadanya dengan
ekspresi haru. Rosi dan Lisa berjoget-joget bersorak bersama-sama.
Haylie juga berlutut dengan kedua tangan melemas. "Adek gue aja dah punya pacar gue
kapan...." rengek gadis itu tak terima.
Jesya bahkan benar-benar berkaca-kaca. "Iwanku udah gede huhuhuhu anak mamah..."
rengeknya memeluk Jane di sampingnya.
Jay merasa ada yang hilang dari dadanya yang sedari tadi merasa amat sesak karena bergetar
begitu cepat. Rasanya plong. Cowok itu jadi lebih percaya diri, tersenyum lebar sambil berdiri
kembali.
"Kamu... mau jadi pacarku?" tanya cowok itu berharap, membuat Mauryn makin merasa
wajahnya sudah semerah kepiting rebus.
Mauryn tersenyum tertahan dengan malu, lalu menganggukkan kepala.
Kali ini 2A3 langsung melompat bersamaan, berdiri dari duduk dan bersorak bertepuk tangan
heboh. X-4 yang masih tenganga tak percaya jadi tersadar dan ikut bertepuk tangan.
Entah tepuk tangan untuk apa.
"Huhuhuhu najis berarti tinggal kita yang jomblo," kata Yera sudah memeluk Jinny dengan
kedua lengan.
Jinny tersentak, juga menyadari itu. "Huhuhuhuhuhu iyaaaa..."
Berikutnya, keduanya jadi merengek bersamaan.
Seno di dekat mereka menoleh pada Cakra yang bersorak paling heboh seperti orang gila.
"Ka," katanya menepuk pundak Cakra membuat Cakra menoleh. "Elo nggak papa? Itukan istri
lo."
Cakra malah tertawa ringan, "dah, gue dah cerei," katanya dengan tenang. "Gue mau cari istri
baru. Yang sah."
"Siapa?"
"Adek lo."
"...."
"...."
"Argh!"
"Mati aja lo njing."
Cakra jadi bersungut kecil memegangi kepalanya yang sudah ditabok keras. Untung saja
otaknya masih normal. Ia jadi berniat dalam hati. Ingin berguru pada Jay bagaimana cara
meluluhkan kakak laki-laki pujaan hatinya.

Anda mungkin juga menyukai