Anda di halaman 1dari 12

CERPEN BERBEDA JALAN

Nama : Marsha Aurellia Nursabrina


Kelas : XI MIPA 3
MAPEL : Bahasa Indonesia
Tanggal : 22 NOVEMBER 2022

Sma negeri 4 tanjung pinang


Dua sejoli kembali dipertemukan tanpa sengaja. Ya, lagi-lagi mereka dipertemukan
karena takdir. Dan takdir pula yang membawa mereka sampai disini.

Ada kecangungan diantara mereka, setelah sekian lama tak bertemu. Mereka saling
melemparkan senyuman walaupun pada akhirnya sama-sama menundukan kepala. Dan
itu mereka lakukan secara spontan, tanpa ada aba-aba, tanpa ada perjanjian. Seperti
perasaan mereka dulu.

“Apa kabar?” tanya laki-laki itu yang sudah mampu memecahkan keheningan diantara
mereka sekaligus memulai pembicaraan dengan pertanyaan basa-basi.

Si perempuan itu melengkungkan senyuman, masih tetap dengan kepala tertunduk.


“Alhamdulillah aku baik. Kamu?”

Semburat senyum juga terukir diwajah laki-laki itu. “Puji Tuhan, aku juga baik.”

Keheningan mulai menjalar diantara mereka. Hanya terdengar hembusan angin yang
mulai menyapa. Mereka masih tetap pada posisi berdiri dengan kepala tertunduk.

“udah lama yah kita tidak bertemu,” gumam mereka serentak.

“dan lagi-lagi kita dipertemukan karena takdir,” imbuh laki-laki itu.

“iya, mempertemukan kembali Ify Latifah Safanah dengan Gabriel Christiano,” sahut
perempuan itu yang tidak lain bernama Ify.

Laki-laki itu, Gabriel atau biasa dipanggil Iyel tersenyum kecut. Dada mereka seketika
seperti tertusuk-tusuk dan terhimpit. Tidak! Bukan hanya Iyel yang merasakan itu.
Tetapi, Ify juga merasakannya.

Ify terus mempercepat langkahnya, bahkan kali ini dia sudah berlari. Ketika sudah
sampai dipengkolan ojek, tidak ada satupun motor yang bejejer disana. Tumben? Tanya
Ify dalam hati.

Ify mulai berdiri di koridor dengan terus-terusan melirik kearah jam tangannya. Dia
mulai mengembungkan pipinya dan bibirnya ditarik kedepan. tak lama motor beat
mulai melintas. Ify menghadang motor itu.

“mas antar saya ke alamat ini!” Ify langsung menunjukan secarcik kertas dan
menyerahkannya. Dia juga langsung mengambil helm yang tergatung di motor itu.
Tanpa ba-bi-bu, Ify langsung mengambil posisi duduk di jok belakang motor itu.

“Ayo dong mas, cepetan!” Ify menepuk-nepuk bahu mas-sebutannya-ketukang-ojek-


itu. Si mas itu mulai menghidupkan motornya dan meluncur kearah tempat tujuan.
Azan mulai berkumandang. Ify sempat berpikir sejenak. Jika acaranya sampai sore
otomatis sholat dzuhur terlewatkan. Ify kembali menepuk bahu si empunya motor. “Mas
cari masjid atau mushola. Saya mau sholat dulu.”

Tidak ada sahutan dari si mas.

“Soalnya acara saya ini sepertinya sampai sore. Jadi kemungkinan sholat dzuhur akan
terlewati,” imbuh Ify seraya manggut-manggut.

Motor ini mulai berhenti di depan masjid. Ify segera turun dan melepaskan helm yang
kemudian dia taruh diatas jok motor itu. Ify bergegas masuk, namun langkahnya
terhenti.

“Mas tidak sholat?” tanya Ify dengan suara yang cukup kencang. Si mas itu
menggeleng. “kalau begitu, tunggu saya yah.” Mas itu mengangguk. Ify melanjutkan
langkahnya dengan sedikit berlari-lari kecil.

Tidak lama, Ify mulai muncul dari bingkai pintu masjid itu dengan wajah yang berseri-
seri dan kemudian berjalan perlahan-lahan menuruni anak tangga. Entah, kenapa si mas
itu terus memperhatikan Ify dari balik helmnya.

“Ayo mas kita lanjut lagi!” pinta Ify dengan melengkungkan senyumnya. Ify mulai naik
kembali ke jok belakang motor itu dan memasang helm pada kepalanya. Tapi tidak ada
tanda-tanda bahwa si empunya motor sudah siap untuk meluncur kembali.

“Mas, mas!” Ify menepuk-nepuk bahu si empunya motor. Si mas itu sedikit tersentak.
Tersentak karena membuyarkan lamunannya. Si mas mulai menyalakan motornya dan
kembali melanjutkan perjalanannya.

Sepanjang perjalanan itu, ponsel Ify selalu bergetar. Alhasil Ify lebih fokus ke
ponselnya dibanding melihat pemandangan disepanjang jalan. Tanpa terasa, Ify tiba
ditempat tujuannya.

Ify masih merogoh tasnya, mengambil uang untuk membayar ojek ini. Setelah
mendapatkan uangnya, si mas ojek sudah tidak ada lagi dihadapannya. Ify mengedarkan
pandangannya dan berjalan disekitar, mencoba mencari si tukang ojek itu. Tapi, nihil.
Ify hanya bisa menggangkat bahunya.

Ify dan Gabriel mulai terkekeh, ketika perlahan-lahan masa lalu itu menari-nari dan
menyeret mereka untuk masuk kedalamnya. Tetapi, satu yang pasti. Semua sudah
terbalut dengan perasaan yang berbeda. Perasaan ketika dulu dan sekarang.

“takdir itu sepertinya begitu ngotot mempertemukan kita,” ungkap Gabriel dengan
senyum penuh kegetiran.

Kali ini tidak ada sahutan dari Ify. Dia tetap tertunduk.
*

BRUK!

Ify menyadari bahwa dia sudah melalukan kesalahan. Dia menabrak seseorang dan
parahnya lagi minumannya juga ikut tertumpah tepat di baju orang yang dia tabrak.

“Duh, maaf. Aku enggak lihat tadi. Serius!” Ify dengan cekatan langsung mengambil
tisu yang ada diatas salah satu meja dan langsung menggelap baju orang yang ditabrak
barusan.

“iya, iya enggak apa-apa. Udah aku bisa sendiri kok.”

Ify menengadahkan kepalanya. Matanya langsung melotot. Dihadapannya kini, ada


seorang laki-laki yang mengenakan baju kemeja dan berkulit hitam manis “Mas tukang
ojek itukan?” tanya Ify yang terus-terusan memandang orang yang ada dihadapannya.
Mata sempat beradu dan mereka sempat terpaku.

Orang yang ada dihadapan Ify itu mulai bangkit dan mengulurkan tangannya kearah Ify.
Lalu mengajak Ify untuk berjalan ke salah satu bangku yang ada di caffe itu.

“beneran kan, ini Mas tukang ojek itu?”

“Mas kenapa main hilang gitu aja? Padahal aku belum bayar loh.”

“dan Mas juga lupa yah sama helm? Helmnya masih sama aku.”

“dan Mas kenapa…?” Ify langsung menutup mulutnya ketika ditatap orang itu.

“Udah ngomongnya? Kamu itu bawel benar.”

Ify cengar-cengir. Tangannya mulai merogoh saku celananya dan setelah ketemu
langsung disodorkannya kearah orang itu. “Ini uangnya. Kalau helmnya ada
dirumahku.”

“nama aku itu Gabriel bukan mas tukang ojek! Lagian aku juga bukan tukang ojek. Jadi
wajarlah aku langsung pergi, pas kamu mau bayar.”

Ify manggut-manggut namun tetap menyodorkan uangnya. “Maaf, kalau soal itu. aku
kebiasaan sih ngira ojek itu dari helmnya hehehe. Ini uang sebagai pengganti
bensinmu.”

Gabriel menggeleng. “Enggak usah. Kalau aku terima uangmu ini, berarti aku meminta
imbalan. Lah, niat aku kan buat nolongin kamu. Jadi, simpan saja uangmu dan berikan
pada orang yang membutuhkan.”

“tapi…”
“enggak usah pakai tapi, tapian. Berbuat baik itu enggak pakai embel-embelan.”

“dan satu lagi. Kenapa aku tidak sholat? Karena aku non muslim.”

Ify menelan air ludahnya. “maaf, maaf, maaf.”

“pertama, aku mau minta maaf karena aku ngira kamu tukang ojek. Kedua, aku minta
maaf karena… aku enggak tahu kalau kamu non muslim. Dan yang terakhir, aku minta
maaf karena udah bikin baju kamu basah. Maaf…”

Kepala Ify langsung tertunduk. Tiga kesalahan sekaligus yang dia lakukan. Dalam
waktu yang berdekatan.

“udah biasa aja. Lagian, wajarlah orang kita enggak saling kenalkan?” tanya Gabriel
sambil menatap Ify.

Ify mengganguk sembari menggigit setiap sudut bibirnya. Gabriel mengulum senyum
dibibirnya melihat tingkah Ify yang mulai kaku. “namamu siapa?” tanya Gabriel.

Ify mengangkat kepalanya. Matanya mulai beradu dengan mata Gabriel. Melihat
senyum itu, jantung Ify tiba-tiba saja berdegup kencang.

“namamu siapa?” tanya Gabriel sekali lagi dengan melambai-lambaikan tangannya


didepan mata Ify.

Mata Ify sama sekali tidak berkedip. Jemari Gabriel mulai menyentuh tangan Ify.

“melamun yah?”

Ify tersentak. “hah…? enggak kok, enggak. Aku masih sendiri.” Ify langsung menutup
mulutnya dengan bantuan kedua telapak tangannya. Sepertinya ada yang salah dengan
ucapannya barusan. Gabriel saja seolah menahan sesuatu dari senyumnya itu.

“mikirin apa sih? Yang aku tanya itu, namamu siapa?”

“oh nanyain nama?”

Gabriel mengangguk.

“Ify Latifah Safanah. Panggil saja Ify.”

Ify langsung mengulurkan tangannya dan disambut dengan tangan Gabriel. Jantungnya
kembali berloncatan dan semakin kencang. Gabriel langsung menarik dan menyeret Ify.
Mereka mulai berjalan keluar.

“Loh aku mau dibawa kemana?”


“helmku kan masih ada padamu.”

Ify yang sedari tadi diam mulai membuka mulutnya dengan terkekeh dibalik telapak
tangannya. Tak lama Gabriel juga ikut-ikutan Ify. Tetapi, Ify menghentikan itu ketika
Gabriel melakukan hal sama dengannya.

“Betapa bodohnya aku! Padahal sejak kita bertemu perbedaan itu sudah ada diantara
kita.”

“Terus kamu menyesal?”

Dengan mantap Ify menggeleng. “Bagiku inilah penyesalan yang terindah.”

Mendengar pelontaran itu, Gabriel langsung mengulas senyum.

Sejak kejadiaan itu hubungan Ify dan Gabriel semakin erat, mereka cepat akrab.
Bahkan, Gabriel sering mengantar-jemput Ify secara rutin. Dan Ify tidak perlu
menunggu apalagi mencari ojek. Seiringnya waktu jua, getaran-getaran yang ada dihati
mereka semakin besar dan kuat. Perasaan itu juga tidak bisa dibendung. Mereka
tuangkan itu semua dengan saling memberikan perhatian mereka.

Ify berjalan menyamperin Gabriel yang tengah duduk dibawah pohon dengan wajah
yang berseri-seri dan bola mata yang bersinar menyala-nyala.

“Sudah sholatnya?”

Ify mengangguk dan mulai berbalik bertanya.”Kamu sudah ke gereja?”

“Sudah,”jawab Gabriel singkat.

“Fy…”panggil Gabriel lirih dan sontak langsung membuat Ify langsung menoleh.

“Menurut kamu kenapa ada perbedaan di dunia ini?”

Ify yang ditanya langsung mengulas senyum kecut. Ify mengerti maksud arah
pembicaraan ini. “Supaya kita enggak bosan. Masa iya, semua orang kurus-kurus. Masa
iya, terus-terusan siang. Mataharinya juga capek kali. Hahaha.”

Gabriel langsung mengacak-ngacak rambut Ify dan ikut tertawa. Tertawa miris lebih
tepatnya.

“terus salah kalau aku punya perasaan ini ke kamu?”tanya Gabriel dengan menatap Ify
dalam. Ify yang ditatap langsung menundukkan kepalanya.
“Tapi kita itu beda, Yel…”

“Bukankah perbedaan itu indah?”

“Tapi… kita tetap beda…”

“Biarkan aku dan kamu menjadi kita. Lalu, biarkan kita bersatu… Walaupun hanya
untuk sesaat.”

Ify menggigit bibir bawahnya seraya menahan air yang sudah mengambang di kedua
sudut matanya.

“Bukankah perasaan ini anugerah dari Tuhan? Lantas sekarang salah siapa jika hatiku
sudah jatuh di kamu?”

Ify mulai terisak.

“Salah aku? Salah kamu? Salah kita? Atau salah Tuhan?”

Air mata Ify mulai berjatuhan mengalir membasahi pipinya. “Yang pasti ini semua
bukan salah Tuhan.”

“Oh iya aku lupa. Lupa kalau Tuhan itu tidak pernah salah. Berarti ini salah kita
ya?”Gabriel mengangkat wajah Ify.

“Perasaan ini mengalir begitu saja, tanpa pernah aku pinta. Sekalipun aku tahu bahwa
ada perbedaan diantara kita. Tapi, itu semua tidak membuat perasaan itu jadi hilang
seketika,”tambah Gabriel.

“Baik, kita coba sama-sama. Takdir yang mempertemukan kita, takdir pula yang akan
memisahkan kita. Jangan sia-siain kebersamaan kita yang singkat ini,”imbuh Ify seraya
melengkungkan senyum yang penuh kegetiran.

Mendengar pelontaran itu, Gabriel langsung menganggukan kepalanya dan tersenyum


sumringah dengan menatap Ify dalam.

“Jika saja aku bisa mengerem semua perasaan itu. sudah pasti aku rem. Tapi, aku sama
sekali tak bisa. Maaf, Fy…”

Ify tersenyum kecut. “perasaan itu anugerah Tuhan kan? Bukannya kamu sendiri yang
pernah bilang itu ke aku. Jadi, tidak ada yang perlu di maafkan apalagi disesalkan.
Semua sudah terjadi begitu saja dan semua itu tidak akan bisa di ulang lagi…”

“Ada Tuhan diantara kita,”cetus Gabriel.


Ify mengangguk. “Dengan ini, Tuhan mengajarkan pada kita untuk lebih kuat. Banyak
hikmah yang bisa dipetik dari semua ini. Apa yang kita pikirkan baik untuk kita, belum
tentu Tuhan berpikiran yang sama. Sebab Tuhan ingin memberikan yang terbaik untuk
kita. Jadi, tanpa campur tangan Tuhan, kita enggak ada apa-apanya.”

Mereke terus berjalan pelan-pelan dengan langkah yang sama.

Hubungan macam apa ini? Hubungan yang tidak seperti layaknya kebanyakan orang.
Ify dan Gabriel harus sembunyi-sembunyi. Mereka sama sekali tak ingin terusik dengan
nada sumbang orang-orang. Terlalu berisik dan memperkeruh suasana saja.

Benar saja, hubungan Ify dan Gabriel mulai tercium oleh keluarga mereka masing-
masing. Bahkan intensitas mereka bertemu mulai berkurang dan kemudian menjadi
jarang sekali.

Ketika Gabriel ke rumah Ify. Dia di tolak mentah-mentah oleh abahnya. Ify yang
mengintip dari balik pintu saja langsung disuruh abahnya masuk kedalam kamarnya.

Baru saja, kisah itu dimulai Ify dan Gabriel langsung merasakan kepahitan. Apakah
sesingkat ini hubungan mereka?

“sebelum hubungan kalian semakin jauh. Akhirilah semuanya!”bentak abah Ify yang
terdengar samar-samar dari kamar Ify.

Isak tangis Ify semakin berkejar-kejaran. Ify juga mendengar bahwa Gabriel menolak
untuk melakukan hal itu.

“saya bisa menjaga Ify, layaknya seperti laki-laki yang lain. Saya tidak akan pernah
menyakitinya.”

“Tapi, kalian itu berbeda!”

“perbedaan macam apa? Perbedaan dalam menyebut nama Tuhan?”

“Kalian tidak akan pernah bersatu! Hentikanlah semua ini!”

Ify dan Gabriel terus berjalan menyusuri jalan dengan keheningan dan pikiran yang
mulai berkecambuk dalam diri mereka masing-masing.

Ify membentangkan sajadah dan tubuhnya mulai terbalut mukenah berwarna putih. Ify
menjalankan ibadahnya kepada Tuhan. Ketika bersimpuh sujud yang terakhir kali,
tangis Ify mulai tumpah. Apalagi ketika Ify menengadahkan tangannya.
“Apakah ini akhirnya, ya Allah? Kami memang bersatu hanya untuk sesaat?”

“Beri kami sedikit waktu lagi ya Allah…”

“sedikit saja ya Allah…”

Di tempat lain, di Gereja. Gabriel sudah berdiri dan melipat kedua tangan seraya
memejamkan matanya.

“Tuhan maafkan kami…”

“Tuhan… izini aku buat menjaga dia. Walaupun hanya sebentar saja…”

“Tuhan, bukankah ini anugerahmu? Biarkan kami merasakan manisnya… “

“Mengapa selalu pahit yang menghampiri kebersamaan kami?”

Bulir air mata Gabriel mulai berjatuhan.

Ify dan Gabriel mulai menghentikan langkahnya diujung jalan ketika berada di
persimpangan tiga. Mereka dihadapakan dengan jalan yang lurus, jalan belok ke arah
kanan atau Kiri.

Ify kali ini nekat untuk bertemu dengan Gabriel ditemani dengan Sivia. Agar kedua
orang tua mereka percaya. Ify menemui Gabriel di taman. Dan orang yang ditemuinya
itu sudah duduk dengan wajah yang sudah tertunduk lesu.

“Gabriel!”panggil Ify dan langsung duduk disamping Gabriel sedangkan Sivia mulai
melepaskan diri dari Ify.

“Ify… aku kira kamu enggak bakalan datang,”sahut Gabriel dengan melemparkan
senyum kecut.

Ify mengela nafas. “Aku pasti datang menemuimu, Yel. Dan mungkin, datang untuk
menemuimu yang terakhir kalinya.”

“Kenapa kamu bilang seperi ini, Fy?”

“Bukan aku yang bilang seperti ini. Mungkin aku hanya perantara dari suratan takdir.
Kini, takdir yang mengingikan kita untuk berpisah.”

“Fy…”
“Gabriel, maaf karena aku lebih mencintai Tuhanku. Aku tidak bisa mengkhianati-Nya.
Mungkin ini terdengar sangat egois. Tapi, inilah kenyataannya,”gumam Ify dengan
suara yang mulai bergetar.

“Tapi, Fy… apa hanya itu jalan keluarnya? Bukankah masih ada jalan-jalan yang lain?”

Ify menganggukan kepalanya. “walaupun masih banyak jalan, tetap saja kita akan
bertemu dengan ujung perjalanan ini. Kita tidak akan bersatu jika masih ada perbedaan
diantara kita. Kamu juga pasti berpikiran yang sama, Yel. Sama-sama tak ingin
mengkhianati, Tuhan…”

Air mata Ify perlahan-lahan mulai berjatuhan. “Ini berat bagiku, Yel. Berat untuk
meninggalkanmu.”

“jika kamu berat untuk melakukan itu. mengapa kamu lakukan, Fy?”

“Ini takdir kita, Yel…”

Mata Gabriel mulai berkaca-kaca. Sejak menjalin hubungan dengan Ify, Gabriel lebih
sering mengeluarkan tangisan dibandingkan canda tawa tak seperti pasangan yang
lainnya yang malah berbanding terbalik.

“Sekat-sekat ini terlalu kuat ya, Fy? Hingga kita tidak mampu menerobosnya?”tanya
Gabriel lirih.

Ify mengangguk. “dan aku yakin, Yel. Perasaan ini lama-lama akan pudar. Aku tahu ini
butuh waktu yang lama. Tapi, kita harus yakin, Tuhan yang memberikan rasa ini dan
Tuhan pula yang akan mengikis perasaan ini.”

“tapi, Fy…”

Gabriel mulai kembali menghiasi wajahnya dengan senyuman.

“kamu semakin terlihat anggun ya, Fy setelah mengenakan hijab ini,”ungkap Gabriel.

“Kamu bisa aja sih, Yel hehehe. Doakan aku supaya aku tetap memakai hijab, sampai
kapanpun.”

“Amin…”

Ify terus-terusan menggelengkan kepalanya. “Gabriel… kita udah enggak bisa nolak
lagi, Yel. Inilah ujung dari perjalanan kita. Inilah akhir cerita kita…”
“Aku yakin Tuhan sudah menyiapkan seseorang untukmu. Tapi yang pasti, itu bukan
aku, Yel,”sambung Ify.

Rintik-rintik air mulai berjatuhan membasahi bumi dan membasahi…. wajah Gabriel
dan Ify. Gabriel teus-terusan menatap dalam mata Ify sedangkan Ify hanya bisa
tertunduk. Ify sudah tidak sanggup lagi lagi melihat bola mata Gabriel yang penuh
dengan kepiluan.

“Ify, untuk pertama dan terakhir kalinya. Aku ingin…”

“Kamu ingin apa, Yel?”

“Aku ingin…”

“Ingin apa, Yel? Jika aku bisa membantumu, aku akan menolongmu.”

“Aku ingin meminjam bahumu. Aku ingin menangis bersama hujan dan kamu.”

Ify tersentak, hatinya bagaikan tersusuk jarum-jarum kecil secara bersamaan hingga
menimbulkan keperihan. Ify mengangguk dan kepala Gabriel segera bersender di bahu
Ify. Air hujan mulai menguyur, begitu juga dengan air mata Gabriel.

“Kamu boleh berpikiran bahwa aku ini cengeng. Tapi kamu juga harus tahu, Fy. Aku
cengeng karena kamu dan karena hatiku sudah terlalu rapuh.”

“Aku juga merasakan apa yang kamu rasain, Gabriel. Tapi, ini adalah jalan terbaik
untuk kita…”

Ify dan Gabriel, air matanya sama-sama luruh ditengah hujan yang semakin deras.

“Aku mau minta maaf. Jika kebersamaan kita nantinya akan terputar kembali di
otakku,”ungkap Gabriel.

“Gabriel, aku sudah ditunggu nih.”

“Kok sama sih, Fy?”

“Takdir, mungkin,”jawab Ify dengan merekahkan senyuman.

“Lagi-lagi takdir yang berbicara hehehe. Oh iya, semoga kamu berbahagia


dengannya,”ujar Gabriel.

“semoga kamu juga, Yel.”


Gabriel mulai melangkahkan kakinya dan berjalan belok kearah Kiri. Ify juga
melakukan jal yang sama dengan Gabriel. Namun, Ify berjalan belok kearah kanan.
Seperti kisah mereka. Mereka tidak memilih untuk tetap berjalan lurus kedepan.

Gabriel segera menghampiri seorang wanita yang sudah berdiri dan melambaikan
tangannya kearah Gabriel. Lagi-lagi, Ify juga melakukan hal yang sama dengan Gabriel.
Ify menghampiri seorang laki-laki yang sudah melemparkan senyuman ke arahnya.

“Saras!”panggil Gabriel dan sekarang Gabriel sudah berada disamping wanita itu.

“Ray!”panggil Ify juga kepada laki-laki yang melemparkan senyuman tadi.

Gabriel dan saras mulai melambaikan tangan mereka kearah Ray dan Ify dengan
tersenyum.
Begiyulah akhir kisah dua sejoli ini , meskipun berbeda jalan mereka masing masing
sudah menerima dan bersyukur pada takdir Tuhan

TAMAT

PUISI GURU
Selamat Hari Guru
Kami datang untuk tahu
Engkau memberi kami ilmu
Kami datang dengan angan
Engkau memberi kami masa depan

Segala yang kau lakukan


Tanpa mengharap suatu imbalan

Engkau berikan penerangan dalam hidupku


Engkau luruskan tujuanku

Terima kasih atas semua pengorbananmu


Terima kasih atas semua jasamu

Anda mungkin juga menyukai