Anda di halaman 1dari 6

Surya menyapa, pagi yang cerah ini bel sekolah SMKN 2 PPU sudah berbunyi.

Guru masuk
dan memberikan tugas kepada anak-anak berupa projek kelas. Yang dimana mereka akan
membuat makalah tentang salah satu suku di Indonesia dan menggalinya dari leluhur
bersuku Jawa.

Kelompok projek itu terdiri dari 8 orang anggota dengan terdiri dari 4 kelompok.

Kelompok 3, mereka sedang berdiskusi tentang suku mana yang akan ia perdalami untuk
dijadikan makalah.

“Bapak mau kalian selesaikan secepatnya besok jika tidak maka nilai kalian kosong,
diskusikan dengan temang kelompok kalian.”

“Suku Jawa aja, sebagai suku terbesar di Indonesia biar kita dapat lebih luas
pemahamannya.” usul Arofi setelah lama keterdiaman mereka.

Icha mendelik, “Gak jelas jawir, mentang-mentang kamu jawa.”

Arofi menggaruk tengkuknya, “Aku cuma ngasih usulan kan.”

Icha menyenye, “Diam deh.”

“Kita harus cari suku yang jarang dieksplor gitu biar beda.”

“Kalau gitu aku bantu sebisanya karena pasti susah.” tutur Arofi.

“Yang simple aja Ca.” timpal Sultan, “Deadline nya takut gak keburu.” lanjutnya.

Percakapan berakhir disitu, kelompok mereka belum menemukan topik apa yang akan
dibahas. Deadline hanya sampai besok Arofi yang takut Icha kelamaan mengambil
keputusan akhirnya berinisiatif mengerjakannya, hitungan cadangan mereka.
Arofi hanya mengerjakan detail asal mula dan sejarahnya saja tidak sampai membuat
makalah karena tau belum menjadi kesepakatan.

“Arofi kamu kerjain apa?” tanya Zaini duduk di samping Arofi karena sedari tadi mengamati
cowok itu sibuk dengan laptopnya.

“Kerjain tugas kemarin.” ujarnya masih terfokus.

Zaini melotot saat membaca judul yang tertulis, berani sekali Arofi menentang keputusan
Icha, gadis yang terkenal cerewet dan banyak mau itu.

Ica sendiri duduk bersama temannya memikirkan tugas dari Pak Dendra, “Aku bisa aja
nyuruh jasa online buat joki tugas.”

“Wah itu pasti mahal Icha.” tutur Sifa.


“Mending ikut saran Arofi aja deh apa bedanya suku Jawa kan sama-sama suku juga, kita
dapat nilai juga tetap dari pada kamu pusing mikir gini.” ujar Suci.

Icha menggebrak meja, “Gak akan mau, apa banget mending eksplor suku Dayak.” ujarnya
menyebutkan sukunya.

“Kan sudah kelompok 1 yang ambil.”

“Icha icha!”

“Apa sih Zain.”

“Arofi buat tugas duluan tentang suku Jawa buset deh.” adunya.

“Bagus dong.” celetuk Intan.

“Bagus apanya? Tuh anak gak hargain kita sebagai kelompok apaan banget.”

“Bukan gak hargain kan kamu sendiri yang gak mau ambil jalan musyawarah malah mau
tetap keputusanmu.” Intang membelam

Icha kesal disalahkan begini.

Akhirnya tugas dikumpul juga, untung Arofi menyelesaikannya jika menunggu Icha tidak
akan jadi juga.

“Ca jangan hanya karena perbedaan pendapat kamu jadi benci Arofi gini.” nasehat Intan,
“harusnya kalian musyawarah dan harus ambil keputusan segera jangan bersikap
kekanak-kanakan.”

Ica mendengus, “Sok iyes banget.”

Sejak itu Icha tidak suka pada Arofi, saat Arofi berjalan memasuki kelas dengan sengaja
Icha memasang kakinya hingga cowok itu terjatuh membuatnya menjadi bahan tertawaan
anak kelas.

“Arofi cukup kulit kamu aja yang gelap penglihatan juga jangan yah.” ejeknya.

Arofi mengepalkan tangannya, Sultan membantu cowok itu berdiri dan menenangkannya.

“Terlahir hitam itu salah yah tan?”

Sultan menggeleng, “Gak ada yang salah kok. Bagaimanapun fisik kamu tuhan kan sudah
ciptakan manusia sebaik-baiknya. Omongan Icha jangan ambil hati cewek caper gitu kok.”
Sultan memenangkan.

“Icha marah perihal tugas kemarin padahal aku rasa gak ada yang salah.”
“Memang Icha yang saraf.”

Keduanya tertawa bersamaan,

“Aku memang jawa, bapakku jawa putih. Lah aku Jawir, Jawa ireng.”heran Arofi menopang
dagunya menerawang jauh.

Perbedaan dirinya dan keluarganya sangat jelas sekali, mungkin karena ia mengikuti gen
Kakeknya yang memang berkulit hitam.

“Lah kita sama.” Sultan nyengir kuda membuat Arofi terkekeh kecil.

“Icha Arofi suka kamu nih!” teriak Dafa tiba-tiba membuat Arofi yang sebenarnya
memperhatikan tas baru Icha jadi kaget.

“Apaan sih Daf.” kesal Icha.

Dafa tertawa, “Ganteng gini Arofi ditolak parah sih.”

“Padahal P’Bai aktor Thailand kamu aja kalah.” timpal Zaini.

Icha tertawa keras, “Dia sama bulu hidung P’Bai aja kebanting.” ujarnya disela tawa, “Tapi
ada yang sama.” lanjutnya.

“Apa tuh?” tanya Sifa.

“Sama-sama warna hitam.” tawa Icha pecah.

“Sudah woy, Arofi ini ngejar loh.” ujar Suci

“Eh gigit gak sih?” celetuk Sifa bertanya.

“Sama kandang berapa?” kini Zaini juga.

Arofi mengepalkan tangannya, saat mereka terbahak begitu kerasnya Arofi mati-matian
menahan amarahnya, sakit hati yang ia rasakan.

“Fi sabar, jangan didengerin.”

Arofi abai, cowok itu maju dengan wajah merah padam dan tangan mengepal.

“Kenapa kalau aku hitam?”

Kelas mendadak hening.

Icha terkikik, “Kenapa? Yah gak papa sih.”


Arofi mendorong Icha hingga gadis itu tersungkur mengenaskan, bibirnya sudah maju 5
centi mendapat perlakuan tak mengenakkan.

“Mulut apa ember sih?” bentak Arofi bertanya, “Kamu marah perihal tugas, padahal kalau
tunggu keputusanmu nilai kita taruhannya. Kamu malah nyalahin aku gini?”

Icha bangkit, “Yang nyalahin kamu siapa?” ujarnya emosi sendiri.

“Perlakuan kamu buat aku berfikir gitu. Awalnya aku ngerasa gak ada masalah kamu hina
aku, hina aku lagi karena aku hitam. Tapi kamu udah keterlaluan dengan permalukan aku
depan anak-anak. Kamu pikir aku gak bisa sakit hati dan tersinggung sama sikap kamu?”

Dirinya cowok. Namun mati-matian menahan air matanya, “Kalian tau gimana rasanya
direndahkan gak sih?” bentaknya sekali lagi mendorong Icha ke tembok hingga Pak Dendra
datang atas panggilan Sipa.

“Kalian ini!” geram Pak Dendra, “Arofi ikut saya ke kantor, masih kecil sok jagoan dengan
melakukan kekerasan terhadap cewek.”

Arofi diseret Pak Dendra ke ruang BK. Sultan berlari menyusul, Pak Dendra tidak melihat
sebenarnya, sebagaimana pun pembullyan tidak diwajarkan, Arofi hanya membela dirinya.

“Kalian kenapa sih?” tanya Intan tak habis pikir dengan jalan pikiran temannya.

“Arofi memang berbeda, kulitnya hitam seperti yang kalian sebut Jawir jawir, memang ada
yang mengganggu kalian dengan itu? Kamu juga Icha memang ada yang salah dengan
usulan Arofi mengeksplor sukunya sendiri untuk tugas kita?” gemas Intan tak habis pikir.

“Entah Jawa, Dayak, Bugis, apapun itu tetap sama tugas kita juga selesai. Tetap sama kita
tetap sama-sama Indonesia kan?”

Sekelas hening mendengar perkataan Intan.

“Terimakasih dong sama Arofi, kalau gak karena dia yah udah kosong nilai kita.”

“Kalian tau gak, apa yang Arofi alami? Apa dia punya trauma di bully verbal begini? Kalian
lihat kan? Kalian punya mata buat lihat gimana merahnya muka dia, bahkan cowok yang
katanya jarang nangis tadi kalian lihat sendiri dia mati-matian nahan tangisnya.”

“Sepele gak sih? Mungkin bagi kalian biasa aja diejek gitu, tapi gimana sama Arofi?”

“Kalian belajar PKN kan dari sekolah dasar, Bhineka tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu
jua kalian amalin gak?” tanyanya menatap bergantian orang-orang yang tadi merendahkan
Arofi. “Kita itu sama, Kita Indonesia kan, satu cita-cita juga.”

“Terakhir deh, Arofi pernah jahat gak sama kalian? Pernah gak ngatain kekurangan kalian?
Pernah gak Arofi dendam? Yang ada dia masih bantu kalian, bantu Icha buat beresin
kekacauan waktu kelas 10 dia pecahin kaca kelas, bantu Zaini buat proposal OSIS, bantu
Sifa juga buat nombokin uang khas yang hilang dan banyak dia bantu tanpa mandang kalian
yang suka ngejek dia.”

Icha berlari ke ruang BK, dia harus menjelaskan sekaligus meminta maaf pada Arofi.

Disini Icha berbeda menjelaskan dengan menunduk, Pak Dendra membentak gadis itu
habis-habisan.

“Icha kamu mikir gak sih ini sudah termasuk pembullyan secara verbal.”

“Gak tau pak, makanya saya kesini baru minta maafnya.” ujarnya jujur.

“Icha!”

“Pak tapi saya tulus, saya akuin saya salah ga pernah sadar sama omongan saya yang
nyakitin orang bukan cuma Arofi, padahal saya siapa bukan siapa-siapa yang selalu
meninggi.” lirihnya menunduk penuh sesal.

Icha kini menatap Arofi penuh penyesalan, “Arofi maaf aku minta maaf ya sama kesalahan
aku ke kamu, aku baru sadar waktu kamu marah ternyata aku udah keterlaluan bicaranya.”
tunduknya penuh sesal.

Arofi membuang muka,

Sultan menepuk bahu temannya itu, “Gak ada salahnya kesempatan kedua dan berlapang
dada memaafkan, kan kita juga teman, saudara sebangsa setanah air juga.”

Arofi sadar, “Aku juga minta maaf yah soal tugas kemarin yang gak nunggu keputusanmu.”

Pak Dendra tersenyum senang melihat mereka saling memaafkan.

“Arofi bapak juga minta maaf udah marah tanpa dengar penjelasan kamu.”

Arofi tersenyum dan mengangguk.

“Arofi kami juga minta maaf.” teriakan kedatangan 2 gadis dan 2 pemuda itu.

“Rof aku sama Dafa juga minta maaf yah, mulut kami macam cewek waktu ngatain kamu.”
sesal Zaini.

“Aku sama Sifa juga Pi, maaf buat perkataan kami.” ujar Suci menatap Arofi dengan penuh
sesal disana.

“Pada akhirnya semua terselesaikan, yang dipelajari adalah warna kulit, suku, golongan,
maupun agama tidak menjadi pembeda. Karena kita tetap sama dimata tuhan dan
sama-sama bangsa Indonesia.” ujar Dendra di akhir ending.

Anda mungkin juga menyukai