Anda di halaman 1dari 19

Prolog : Sebercak Masa Lalu.

26 Mei 2015.

Hari ini, awan mendung menyelimuti langit kelabu di Kota Balikpapan. Langit seolah
– olah menggumpalkan uap air yang akan diluruhkannya melalui seluruh rintik hujan.

Iqha Aprillia atau sering dipanggil Icha menatap dua pusara tanah basah yang
diselimuti oleh berbagai kelopak bunga mawar dan kenanga. Tatapan Icha kosong. Masih
sulit baginya untuk menerima kenyataan pahit ini. Dia masih tidak percaya bahwa dia
hanyalah satu – satunya keluarga yang tersisa, masih teringat beberapa hari yang lalu dia dan
kedua orangtuanya bercanda gurau. Namun lihatlah, dia yatim piatu sekarang.

Satu persatu para pelayat mulai bepergian meninggalkan tanah pemakaman setelah
mengucapkan rasa belasungkawanya kepada keluarga yang ditinggalkan. Suara tangisan,
huru – hara, kepedihan akibat ditinggalkan oleh kedua orang yang sangat Icha cintai kian
memekakan telinga.Tangannya mencengkram kuat salah satu sisi bajunya. Sesak, satu kata
yang menggambarkan perasaan Icha saat ini.

Setelah kepergian pelayat terakhir, Icha tidak sanggup. Dia terjatuh dan bersimpuh
disisi makam kedua orangtuanya. Tangannya terulur mengusap nisan batu kedua
orangtuanya, menyandarkan kepalanya berharap kesedihan yang menggerogoti hatinya bisa
hilang dengan ajaibnya.

Ketika kata – kata tidak mampu lagi mengutarakan isi hati dan kepala, maka air mata
adalah satu – satunya pilihan. Menangis, menangis sejadi – jadinya hanyalah pilihan yang
tepat untuk saat ini. Icha ingin melepaskan seluruh amarah, emosi, kesedihannya, hingga dia
pun lupa caranya untuk kembali menangis.

Pikiran Icha berkelana menerawang disaat – saat dia dan kedua orangtuanya bersama.
Saat dia, ayahnya dan ibunya berkumpul bersama di meja makan, menyantap sarapan pagi
bersama dengan penuh tawa dan kasih sayang. Ayahnya akan bercerita tentang apa saja setiap
harinya, entah pertemuan lucunya dengan Abang Ojek di depan gang rumahnya ataupun
ketika telepon salah sambung yang sering diterima Ayahnya. Lalu ibunya akan setia
mendengarkan setiap perkataan ayahnya. Semua terasa sempurna.

Dan hari ini, kesempurnaan hidup Icha hilang.

“Nak,” seseorang laki – laki paruh baya menyentuh pundaknya. “Sudah, ikhlaskan
saja Ayah dan Ibumu.”

Sebelumnya Icha tidak pernah tahu bahwa lisan lebih ringan dibandingkan perasaan
seseorang hingga saat ini. Mereka yang berbelasungkawa kepadanya, mengucapkan kata
manis itu tanpa tahu seperti apa perasaanya.

Ikhlaskan? Icha tersenyum getir. Manis sekali kalimat itu. Namun, bagaimana Icha
bisa merelakan semua hal yang terjadi padanya saat ini. Ditinggalkan sendirian oleh kedua
orangtuanya, menjadi satu – satunya keluarga yang ada. Ini bagaikan mimpi buruk di siang
hari dan Icha berharap mimpi buruk ini segera selesai.

Gadis kecil berusia 13 tahun itu ingin menyalahkan keadaannya, tetapi kepada siapa.
Dia bahkan tidak bisa menyalahkan Tuhan yang membuat skenario drama ini. Lalu kepada
siapa dia harus menyalahkan takdir ini?

“Icha...”

Icha menyeka air matanya dengan jari – jari tangannya, lalu mendongak. Saat itulah
dia tersadar bahwa laki – laki paruh baya tadi adalah pamannya, adik dari Almarhum
Ayahnya. Tubuhnya tinggi menjulang tegap dengan garis wajah tegas laki – laki itu.
Sosoknya bukanlah seseorang yang dapat dengan mudah Icha kenali, dia harus memutar balik
ingatannya tentang sosok didepannya. Tetapi Icha yakin bahwa didepannya adalah adik dari
Almarhum Ayahnya.

Almarhum Ayahnya dan adiknya tidak terlalu memiliki hubungan yang cukup baik
diingatan Icha. Terakhir kali mereka bertemu juga bukanlah pertemuan yang akan membekas.
Icha teringat, saat itu Almarhum Ayahnya marah besar kepada adiknya. Icha dahulu tidak
tahu - menahu mengenai konflik yang terjadi, hingga Icha melihat Almarhum Ayahnya
mengusir adiknya sendiri dengan emosi.

Lalu dia kembali memandang sosok pamannya itu. Dia baru tersadar bahwa di
pemakaman ini bukan hanya dia dan pamannya saja, namun ada seseorang wanita paruh baya
yang mungkin seumuran dengan pamannya dan seorang anak perempuan kecil cantik berdiri
tidak jauh dari tempatnya.

“Nak, ayo ikut tinggal dengan paman, tante dan sepupumu, Lisa.”

Hari itu, Icha kembali mempunyai keluarga.


Bab 1 : Si Sombong.

Iqha Aprillia atau sering dipanggil Icha.

Gadis cantik berwajah manis dengan lesung pipi dikedua pipinya berjalan menelusuri
tangga tribun menuju bangku teratas. Sambil menenteng beberapa berkas dokumen dan
sebotol air putih ditangannya, dia mendaratkan pantatnya dibangku sisi paling ujung.
Sendirian.

Walaupun Icha sendirian, toh, itu bukanlah suatu hambatan baginya. Dia bisa
melakukan apa saja walupun hanya seorang diri.

Suasana tribun sangat penuh dan ramai. Teriakan maupun sorakan dari para
pendukung saling sahut – menyahut. Hampir seluruh kaum hawa bersorak – sorak dengan
suara melengking mereka, mengabadikan setiap momen dengan ponsel masing – masing.

Lihatlah dilapangan sana.

Mata Icha berbinar dan sesekalinya mulutnya berdecak kagum, tidak kuasa
memandang seseorang di lapangan sana. Dipangkunya beberapa berkas dokumen yang dia
bawa, bola mata hitam kelamnya fokus berkelana mengikuti setiap pergerakan orang tersebut.
Jari – jarinya saling bertautan, saling mencengkram satu sama lain. Dilihatnya dari atas
tribun, pertandingan basket semakin memanas. Skor yang didapat dari pemain sekolah Icha
tertinggal tidak jauh dengan skor lawan, namun cukup mengkhawatirkan para pemain dan
para pendukung.

Tujuan Icha menonton pertandingan ini sama saja dengan teman – temannya yang
lain. Selain ingin melupakan mimpi buruk yang dia dapat tadi pagi, Icha ingin memandang
seseorang di lapangan sana. Alvin Andara, namanya. Dia salah satu pemain basket yang lihai,
sekaligus teman sekelas Icha selama tiga tahun ini. Laki – laki yang tidak terlalu populer,
namun cukup membuat Icha mengaguminya dari jauh.

Icha merahasiakan perasaannya ini, tidak ada yang mengetahuinya selain dirinya
sendiri dan Tuhan. Lagian siapa Icha? Hanyalah seorang gadis dari keluarga ‘cacat’ tidak
begitu menarik.

Sedang asyik menonton pertandingan yang sedang berlangsung atau lebih tepatnya
memandang dengan kagum permainan Alvin dari atas tribun, Icha dikejutkan dengan
kehadiran Barra yang tiba – tiba muncul disampingnya. Mengejutkan Icha dengan menepuk
pundaknya keras.

Icha mendelik kesal. Yang ditatapnya masih sibuk mengatur napas akibat berlari – lari
menuju tribun.

Icha berdecak kesal. Barra adalah teman seangkatan Icha, sekaligus anggota OSIS
seperti Icha. Mereka tidak terlalu akrab sejujurnya, hanya sebatas tanggung jawab sebagai
anggota OSIS. Dan jika Barra mencari dia hingga di tribun ini, pasti berkaitan dengan
organisasi yang dia ikutin sejak masuk SMA ini.
Baru saja menarik napas sejenak, Barra tanpa aba – aba langsung menarik tangan Icha
hingga keluar tribun. Tidak ada lagi suara teriak – teriakan ataupun sorakan. Suara orang
berlalu lalang terdengar ditelinga Icha.

Ruang OSIS. Ya, Barra menarik Icha hingga didepan ruang OSIS. Dari depan,
ruangan itu tertutup rapat, hanya pemandangan seperti pintu pada umumnya dengan papan
ditengahnya yang bertulis ‘RUANG OSIS’. Namun siapa sangka dibalik pintu itu, suara sahut
– menyahut, perdebatan terdengar. Icha tidak merasakan gugup ataupun takut, bahkan
mungkin dia telah lupa dengan perasaan itu.

Barra mendorong pintu itu perlahan.

Seperti biasa, tidak ada yang menghiraukan. Anggota OSIS yang lain tetap berdebat
mempertahankan ego masing – masing. Saat ini mereka sedang sibuk mempersiapkan event
selanjutnya. Sebentar lagi akan dilaksanakanya acara Pentas Seni dalam memperingati Ulang
Tahun Sekolah, sehingga mereka mempersiapkan acara ini dengan sangat detail dan perinci.
Karena menurut anggota OSIS yang saat ini kelas 12, ini telah dibagian penghujung masa
jabatan mereka jadi mereka ingin membuat sesuatu yang besar dan berkenang untuk seluruh
siswa disini. Merasa terabaikan, Icha dan Barra yang melangkah masuk. Namun sepasang
mata tidak menghiraukan mereka.

“Icha!”

Icha tersentak kaget. Seketika ruangan kecil itu sunyi, tidak ada perdebatan ego,
hanya suara napas tertahan. Segera mata Icha mencari pemilik suara tersebut. Rupanya,
Ketua OSIS. Noval memandang Icha dengan amarah yang tertahan, matanya seakan meminta
Icha untuk menghadap ke dirinya segera. Dengan wajah angkuhnya, Icha maju berjalan ke
arah Noval.

“Kamu ini sekretaris, Icha. Seharusnya kamu hadir lebih awal dibanding kita semua.
Mana tanggung jawabmu.” Seru Noval keras. Dia lupa, dia lupa jadwal rapat hari ini.

“Mana berkas revisi yang ku minta?”

Dengan cepat Icha mengeluarkan berkas yang diminta dari tumpukan dokumen yang
dia bawa. Namun beberapa kali Icha membuka lembaran demi lembaran, dia tidak dapat
menemukannya. Dengan penuh harap, Icha memeriksa tumpukan dokumen yang dia bawa
sekali lagi. Tetapi tidak ada.

Icha kembali mengingat dimana berkas yang dimaksud Noval dia letakan. Tadi
malam Icha merevisi berkas tersebut sesuai yang diminta oleh Noval, kemudian dia
memprintnya. Karena sangat ngantuk, Icha menaruhnya di-

Meja belajar! Seru Icha dalam hati.

Bodoh. Icha terus merutuki dirinya sendiri, tanpa menyadari beberapa pasang mata
melihat ke arahnya. Hingga Barra menyenggol lengannya, mengembalikan Icha ke dunia
nyata.
“Mana, Icha?” pinta Noval tidak sabar.

Bisik – bisikan terdengar.

“Liat si sombong melakukan kesalahan.”

“Hahaha. Aku mau lihat sampai mana muka angkuhnya itu bertahan.”

Salah satu dari anggota OSIS menyelutuk, “Ketinggalan kali.”

Icha merasa bersalah. Meskipun diluar Icha tampak sombong dan angkuh, tetapi
baginya tanggung jawab adalah hal yang penting.

Setelah itu, bisikan menjadi omongan. Noval menatap sejenak anggotanya yang lain,
lalu kembali memandang Icha. “Benarkan ketinggalan atau kau lupa merevisinya?”

Takut terjadi salah paham, Icha menjawab dengan cepat, kelewat cepat. “Tidak
Noval. Sungguh, aku lupa membawanya.”

“Kamu tau bukan target acara kita kapan. Sedangkan proposal terus direvisi oleh
pembina, belum terkonfirmasi.” Luap Noval. Noval mengusap wajahnya kasar, dan menghela
napas panjang. Frustasi.

Icha merasa bersalah. Baru pertama kali dia terkena amukan dari Noval. Sebelumnya
Icha tidak pernah seceroboh ini. Icha bukanlah orang yang melupakan tanggung jawabnya.
Seluruh sekolah tahu bahwa Icha adalah orang yang teliti dan perfeksionis terhadap apa yang
dia ambil. Dia bahkan orang yang berani mengambil resiko. Mangkannya anggota OSIS yang
lain termasuk Noval cukup terkejut dengan kecerobohan Icha kali ini. Namun kejadian kali
ini juga membuktikan bahwa Icha adalah manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan.

“Aku maafkan, mengingat kinerjamu yang sebelumnya cukup mengesankan. Kau


seperti bukan Icha yang ku kenal. Ada apa denganmu hari ini?” tanya Noval kepada Icha.

“Tidak ada masalah. Maafkan-“

Noval memotong perkataan Icha ketika melihat waktu yang berjalan dengan cepat
tanpa terasa.

“Sudah lupakan. Ayo kita lanjutkan pembahasan kita sebelumnya!”

Icha menghela napas panjang.

Icha tidak peduli dengan teman – teman OSIS nya yang bergosip tentang dirinya.
Mengatakan bahwa dirinya tidak punya rasa bersalah ataupun wanita kejam yang tidak punya
perasaan. Mereka hanya melihat luarnya saja, tidak berusaha menggali dalamnya.

****
Rapat OSIS telah selesai beberapa menit yang lalu. Anggota OSIS yang lainnya pun
telah lama meninggalkan kawasan sekolah. Hanya tersisa beberapa manusia yang berlalu
lalang.

Kini Icha sendirian menatap jalan yang mulai lenggang. Langit mulai menampakan
warna oranye keunguan, hawa dingin menusuk ke tulang. Mata Icha sesekali melirik
ponselnya sembari mengecek apakah ada balasan dari nomor yang sudah dia hubungin
sebelumnya.

Tepukan di pundak Icha mengagetkannya. Lalu dia menoleh mendapati Noval yang
menepuknya. Noval tersenyum manis disebelahnya. Tangannya kembali bersedekap penuh
wibawa.

“Maaf ya tadi. Kamu tahu, aku ingin mengejar target. Itu saja.” Ujar Noval.

Icha ingin sekali berkata bahwa dia sebenarnya jengkel dengan Noval yang
memarahinya di depan anggota OSIS yang lainnya, apalagi disana terdapat adik kelas. Rusak
sudah citra yang dia buat selama ini. Tetapi Icha cukup tahu diri. Ini kesalahannya, dia yang
seharusnya merasa bersalah dan berujar minta maaf. Bukan Noval.

Icha menyerngit. “Noval, kamu wajar marah sama aku tadi. Yang salah aku, aku yang
ceroboh. Ngapain kamu pakai acara minta maaf segala?”

“Iya kan aku takut kamu marah. Nanti penggemarmu bisa gorok aku lagi.” Canda
Noval. Lalu dia terkekeh.

Di OSIS ataupun dikelas, selain Noval tidak ada yang mau berteman dengannya.
Mereka beranggapan Icha adalah makhluk yang sombong, tidak berperikemanusiaan hanya
karena Icha selalu menolak ajakan mereka. Lagian lucu sekali pertemanan yang ada saat ini.
Mereka berteman, namun selalu membicarakan temannya sendiri dibelakang. Lucu bukan?

“Apaan sih. Udahlah, aku gak marah juga. Kamu kok tumben gak bawa motor?”

“Motorku ada di warung Mbak Inem. Lagian aku malas nungguin pacarku di depan
sekolahnya. Masih lama juga jam 5.” Ujar Noval santai.

Secara reflek, Icha melihat jam yang ada di ponselnya. Jam 17.15.

“Ngomong – ngomong ini sudah jam 5 lewat.”

Noval otomatis langsung melihat jam yang ada ditangannya, lalu menepuk jidatnya.
“Aduh, bisa kena ceramah nyonya besar ini. Aku duluan, Cha.” Segera dia berlari menuju
warung Mbak Inem yang terletak didepan sekolah.

Icha menggeleng – gelengkan kepalanya. Walaupun Noval adalah Ketua Osis, tapi
kelakuannya tidak seperti deskripsi Ketua Osis yang sering dia baca di novel. Sangat jauh
berbeda.
Lagi – lagi Icha sendirian. Matanya kembali mengecek notifikasi ponselnya, tetapi
nihil. Tidak ada satupun balasan atau panggilan terjawab dari sana.

Icha menghela napas, lelah menunggu. Apa lebih baik dia memesan ojek online saja?
Tetapi nanti Ayahnya datang menjemput. Icha bimbang. Namun dia segera menoleh saat
dirasa seseorang menepuk bahu kanannya lagi. Mengapa hari ini banyak sekali orang yang
menepuk bahu Icha? Apa di punggung Icha ada tulisan ‘Silahkan menepuk bahu saya’.
Reflek, Icha meraba punggungnya. Namun saat menoleh, matanya membulat. Sesegera
mungkin dia menetralkan keterkejutannya.

“Kamu punya pulsa kah?” Suara berat khas laki – laki itu terdengar di telinga Icha.

“Alvin?” reflek Icha menyebut nama Alvin. Iya, laki – laki di depannya yang
menepuk bahunya adalah Alvin.

“Kamu tahu aku?” tanya Alvin menatap Icha dengan baik. Matanya menatap lekat
Icha dari atas hingga bawah. Seketika Icha merasa gugup. Lalu Alvin menepuk tangannya
sendiri sekali seakan teringat. “Oh, Iqha, bukan? Kita sekelas ya.”

Benar – benar, Icha sampai tidak mempercayai pendengarannya. Alvin tidak


mengenalinya. Memalukan.
Bab 2 : Dibalik Topeng.

Pukul 18.45.

Icha dan Ayahnya sampai dirumah. Rumah mereka hanyalah rumah sederhana, tidak
seperti cerita dalam novel. Jauh dari padatnya perkotaan, hampir mendekati pinggiran kota.
Tidak ada sambutan seorang Ibu di depan pintu selayaknya keluarga harmonis. Hanya ada
kesunyian dan suara jangkrik.

“Assalamualaikum.”

Tidak ada sahutan dari dalam rumah, seperti biasa. Walaupun didalam rumah ini ada
kehidupan, namun kesunyian tetap mendominasi. Ayahnya dan Icha langsung melenggang
masuk menuju kamar masing – masing. Ketika Icha memasuki kamarnya, hawa sejuk dari
pendingin ruangan langsung menerpa kulitnya.

Icha bergegas mengganti seragam sekolahnya menjadi pakaian rumah yang biasa dia
pakai. Tangannya mengeluarkan buku – buku yang ada didalam tasnya, memilah tugas, dan
menyusun pelajaran yang ada di besok hari. Direbahkan tubuhnya dikasur yang empuk,
memandang langit – langit kamar.

Icha menghela napas panjang, sambil matanya memejam. Lagi dan lagi, suara gaduh
terdengar dari ruang tengah. Hampir setiap malam, malam Icha diwarnai dengan perdebatan
kedua orangtua angkat Icha. Pertengkaran demi pertengkaran menjadi makanan sehari – hari,
tidak mudah diantar dua orang yang saling menyalahkan.

Icha muak, tentu saja. Namun apa yang harus dia lakukan. Awal permasalahan
mereka berawal dari dirinya, semenjak dirinya masuk di keluarga ini.

Saat itu, Icha datang pertama kalinya di rumah ini. Suasana asri tercium, tidak ada
pertengkaran ataupun keributan seperti yang dia dengar setiap harinya. Icha menyadari, Ibu
angkatnya tidak menyukainya. Semenjak tatapan mata mereka bertemu di pemakaman saat
itu, Icha menyadarinya. Namun hari itu, entah mengapa suasana rumah ini berubah.
Mencekam, dan penuh sahutan tiap malamnya. Adik sepupunya pun ikut terbawa perubahan
suasana itu, dan menjadi korban pelampiasan emosi Ibu angkatnya.

Tidak ada yang bisa Icha lakukan. Ayah angkatnya sering melakukan dinas diluar
kota hingga tidak pulang dalam beberapa minggu, bahkan bulan. Icha tidak bisa berbuat
banyak selain menghibur adik sepupunya yang menjadi boneka ibunya sendiri. Semua ini
salahnya. Icha takut untuk mengatakan sejujurnya kepada adik sepupunya meskipun dia
masih berusia muda, tetapi Icha yakin suatu saat Lisa akan mengerti mengapa ini semua
terjadi.

Rasanya ingin Icha seperti orang lain, hidup dengan bahagia dengan keluarga yang
utuh, menjalani hari – hari dengan tenang tanpa ada rasa muak ataupun takut melihat
pertengkaran. Icha ingin menjadi bagian orang – orang beruntung dengan memiliki keluarga
dengan penuh keceriaan.
Icha rindu. Rindu dengan keluarga kandungnya. Rindu segala hal yang berkaitan
keluarga kandungnya. Senyum dan tawa di meja makan atau guruan lucu yang sering
dikhotbahkan oleh Ayahnya. Namun sayangnya hal itu hanyalah mimpi disiang bolong.

Andai ayah dan ibu kandungnya turut membawanya ke alam sana saat itu, mungkin
dia tidak akan menyusahkan keluarga ayah angkatnya ini. Mungkin keluarga ini akan tetap
berjalan harmonis seperti sebelum kehadirannya. Jika ada doa yang paling sering Icha
panjatkan hanyalah “Tuhan, panggil aku saat ini juga.” Maka itulah yang sering akan Icha
panjatkan.

Kata-Nya, Engkau tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan? Tapi bagi
Icha ini sudah diluar batas kemampuannya.

Tanpa sadar, air matanya mengalir dari sudut pinggir matanya.

Suara pintu dibuka mengejutkan Icha. Disekanya air matanya dengan kasar, lalu dia
bangkit dari tidurnya. Tidak terkejut Icha melihat adik sepupunya berada di dalam kamarnya.
Mungkin mereka sama – sama muak. Tetapi sekali lagi Icha bertanya, apa yang harus
dilakukan gadis berusia 17 tahun dan gadis berusia 10 tahun jika diposisi mereka?

“Kak Icha, Lisa tidur sama kakak lagi ya?”

Mata bulat penuh harap dari Lisa seakan meminta permohonan kepada Icha. Mana
berani Icha menolak permintaan dari adik sepupunya yang manis seperti Lisa. Lagian tanpa
Lisa memohon pun, Icha sudah pasti akan mempersilahkan adi sepupunya itu untuk tidur
sekamar dengannya.

Segera kepala Icha mengangguk, mempersilahkan adiknya sepupunya untuk masuk.


Icha memasang kembali wajah cerianya, tersenyum hangat, dan menepuk sisi kasur yang
kosong disebelahnya.

Diliriknya jam dinding yang beada tepat diatas pintu kamarnya. Tidak terasa waktu
berjalan sangat cepat. Jam telah menunjukan pukul sepuluh malam.

“Belum tidur?”tanya Icha kepada adik sepupunya. Sembari merebahkan dirinya di


kasur setelah melakukan ritual sebelum tidur.

Lisa mengangguk samar dalam posisi tidurnya. Icha menghembuskan napasnya.


Suara keributan di ruang tengah masih terdengar sedari tadi, tidak ada titik
pemberhentiannya. Dia menatap Lisa kasihan, usianya terbilang cukup muda untuk melihat
dan mendengar pertengkaran kedua orangtuanya.

“Bagaimana dengan sekolahmu?” tanya Icha.

“Membosankan seperti biasa, kak.” Lisa menjawab dengan jujur.

Lisa terkekeh mendengarnya.

“Bagaimana dengan kakak?” Lisa ganti bertanya.


Icha menjawab seperti yang dijawab oleh Lisa. Lalu mereka tertawa kecil. Icha
bersyukur masih melihat tawa adik sepupunya. Icha berusaha membuat adik sepupunya itu
tertawa, tetapi kenyataan Icha hanya tidak ingin melihat Lisa menangis kesendiriannya. Lalu
dia teringat, dia sempat menemukan buku cerita anak kecil di perpustakaan sekolahnya tadi
siang. Diturunkannya kedua kaki Icha, dan berjalan menuju meja belajarnya.

“Lisa...”

Lisa berbalik dari posisi tidur sebelumnya, menatap Icha. Wajah Lisa terlihat bingung,
sesekali matanya mengedip lucu.

“Kakak ada buku cerita. Mau kakak bacakan?” tanya Icha sembari berjalan menuju
kasurnya kembali. Lisa menganggukan kepalanya tanda setuju.

Sedikit memposisikan dirinya di kasur dengan setengah rebahan, Icha mulai


mengawali bacaan ceritanya. “Pada suatu hari.....”

Icha membacakan buku cerita itu hingga tanpa sadar waktu semakin larut. Lisa sudah
terlelap dialam bawah sadarnya. Icha memandang adik sepupunya dengan damai, dan
mengakhiri bacaan ceritanya. “....mereka pun hidup bahagia.”

Hidup bahagia? Semua cerita yang Icha baca selalu berakhir bahagia. Pembodohan
sekali. Itu adalah sebuah kisah dari negeri dongeng yang berharap terjadi dikehidupan nyata.
Orang – orang yang membaca cerita seperti itu pasti adalah orang gila yang berhalusinasi
akan hidup yang berakhir bahagia. Beruntung sekali tokoh – tokoh dalam cerita itu. Mereka
bisa hidup bahagia dan sempurna, sedangkan Icha. Entah apa yang Tuhan persiapkan untuk
Icha, hanya berharap rasa pilu ini segera berakhir, entah diganti dengan kebahagian atau
bertemu dengan kematian.

Icha menaruh kembali buku ceritanya di meja belajarnya. Lalu dia ikut terlelap
disamping Lisa.

****

Berulang kali Icha membolak – balikan lembaran demi lembaran buku tebal yang
bertuliskan ‘Sejarah Indonesia’ yang saat ini berada di tangannya. Icha heran mengapa guru
yang membuat jadwal pelajaran kelasnya, harus memasukan pelajaran Sejarah di siang hari.
Mata pelajaran yang penuh cerita ini pastinya akan membuat para siswa mengantuk.

Matanya beralih melihat sekeliling teman – teman sekelasnya, tidak sedikit yang tidak
menghiraukan penjelasan Bu Rahma di depan. Ada yang berbicara sendiri, ada yang main
ponselnya. Meskipun banyak yang tidak mendengarkan penjelasan Bu Rahma, namun
sepertinya Bu Rahma tetap larut dalam penjelasannya sendiri.

Icha kembali memusatkan pandangannya ke buku tebal di depannya. Saking


fokusnya, Icha tidak sadar jika sudah ada orang yang menempati bangku kosong
disampingnya. Seperti yang Icha katakan sebelumnya, Icha tidak membutuhkan teman.
Begitupun dia tidak membutuhkan teman yang duduk sebangku dengannya.
Icha terkejut bukan main, namun segera dia mengontrol ekspresi wajahnya. Tangan
kanannya, Icha gunakan untuk menutup rapat – rapat mulutnya yang hampir mengeluarkan
suara keterkejutannya.

Bagaimana Icha tidak kaget? Yang sekarang duduk disampingnya adalah Alvin. Ya,
Alvin Andara. Icha tidak percaya ini. Icha terus menatap ke arah wajah tampan Alvin yang
berada disampingnya. Menelisik dengan cermat apakah benar ini Alvin atau hanya
khayalannya saja?

Icha mencubit tangannya sendiri, mencoba menyadarkan dirinya. Namun yang dia
rasakan sengatan cubitannya sakit. Ini nyata.

Icha berusaha menetralkan wajahnya, namun tanpa dikhendaki wajahnya kian


memerah. Rambutnya yang terurai panjang menutupi setengah wajah merah Icha. Icha
bahkan tidak berani mendongakan kepalanya.

Icha sejujurnya sadar. Bisik – bisikan teman sekelasnya yang melihat kejadian ini.
Bahkan mereka dengan lantangnya membicarakan Icha yang notabenya teman sekelasnya.
Mereka beranggapan bahwa bagaimana bisa gadis sombong seperti Icha bisa berdekatan
dengan Alvin? Kalau mereka umpamakan, Alvin adalah malaikat dan Icha adalah malaikat
pencabut nyawa.

Icha menggelengkan kepalanya, menghilangkan gosipan teman – temannya dari


pikirannya.

Sebuah tepukan dipundaknya membuat Icha seketika menegang. “Kamu kenapa?”


Suara yang dikelurkan Alvin mampu membuat seluruf saraf Icha melemas.

Icha mencoba mengangkat kepalanya yang terasa berat . Matanya menatap laki – laki
yang duduk disampingnya saat ini. Alvin tersenyum simpul, manis. Icha menyukai
senyumannya.

“Icha, kamu manis.”

Alvin mengatakan bahwa dia manis. Apa Icha tidak salah dengar?

Seketika pasokan udara disekeliling Icha menghilang. Icha membeku, tidak bergerak
sedikit pun.

Dia pun tersadar saat suara bel istirahat berbunyi, seolah menyelamatkan Icha. Segera
dia mengambil banyak pasokan oksigen untuk dirinya. Untung saja dia ingat cara bernapas.

Alvin terkekeh geli. Dia baru sadar memiliki teman sekelas semanis Icha. Kemana
saja selama ini dia. Apa Icha terlalu tidak terlihat dimata Alvin? Rasanya tidak mungkin.

Beberapa menit berlalu dengan posisi yang sama, Alvin teringat sesuatu. Mereka
belum pernah memperkenalkan diri masing – masing secara formal.
“Hei. Kita belum kenal masing – masing secara formal, bukan? Aku Alvin Andara.
Teserah mau panggil Alvin, Andara, ataupun Andra.” Sedetik kemudian, Alvin mengulurkan
tangan kanannya.

Icha memberanikan diri untuk menatap Alvin. Mata alvin sangat indah. Bola matanya
bewarna hitam kecoklatan yang dihiasi dengan alis tebal. Sempurna sekali.

Lalu Icha melirik uluran tangan Alvin yang menggantung diudara. Icha ragu
menerima uluran tersebut. Bukan karena teman sekelasnya mencuri – curi pandang menatap
mereka, Icha tahu akan hal itu sedari tadi. Tetapi uluran tangan itu. Tangan yang diimpikan
Icha untuk dijabatnya.

Dengan ragu, Icha menerima uluran tangan Alvin. Hangat.

“Icha,”
Bab 3 : Petuah Manis.

Sudah beberapa minggu semenjak perkenalan resmi Icha dengan Alvin dikelas temp
hari. Semenjak saat itu pula, mereka semakin dekat. Namun cibiran orang – orang tentang
kedekatan Icha dengan Alvin kian memanas. Tidak ada yang salah dengan anggapan orang
terhadap dirinya, pandangan yang selalu menganggap hidup Icha beruntung, dan Icha juga
tidak salah jika dia hanya memperlihatkan kesombongan dalam hidupnya berlaku seakan
semuanya baik – baik saja. Icha tidak peduli.

Keluaraga Icha pun tetap seperti biasa, tidak ada perubahan yang menarik. Malahan
semakin parah, pertengkaran demi pertengkaran terus berlanjut.

“Icha! Icha!”

“Sini!”

Icha menoleh mendapati sekitar empat orang gadis yang tidak Icha kenali. Tapi
beberapa dari mereka Icha kenal sebagai primadona sekolah. Tentu mereka adalah teman
seangkatan dan satu jurusan dengan Icha. Lucu sekali menyebut kata ‘teman’ disini. Seperti
biasa, Icha menggelengkan kepalanya formalitas.

Bisa ditebak hal selanjutnya yang terjadi. Apalagi ketika Icha melihat raut wajah
mereka langsung berubah. Namun salah satu dari mereka terlihat muak dengan Icha, muak
melihat Icha selalu menolak ajakan mereka namun berteman dengan Alvin yang notabenya
laki – laki populer disekolah. Dasar lanji, pikir salah satu dari mereka.

Lalu salah satu dari mereka yang merasa muak, langsung menggebrak meja kantin
dan berteriak didepanku. “Hei! Apakah kamu ratu? Bisakah sekali saja kamu menerima
ajakan ini? Kamu pikir kami mengajak mu untuk apa? Karena kami kasihan melihatmu
sendiri.”

“Iya benar. Lagian ku lihat kamu selalu dekat dengan Alvin akhir – akhir ini. Mulai
suka cari perhatian ke laki – laki ya.” Yang lainnya pun mulai ikut menyuarakan pikiran
mereka.

Icha meremas tanganku sendiri, merasa kesal sekali. Bisa – bisanya mereka memaki
dirinya. Lagian siapa yang berniat berteman dengan mereka kalau mereka seperti itu?

“Sudahlah. Ga enak dilihat yang lain.” Salah satu dari mereka berempat berusaha
melerai. Itu yang membuat Icha lebih muak. Penjilat. Perempuan itu lalu membungkukan
badannya, meminta maaf. “Maafkan kami yang mengganggumu.”

“Lana, kamu tidak usah berbaik hati ke manusia seperti dia. Sombong sekali, tidak
mau berteman dengan siapapun selain Alvin. Padahal dia hanya perempuan miskin dari
keluarga broken home.”
Icha memejamkan mata, menahan emosi yang meluap. Dia harus mengontrol emosi
dan tidak boleh bertindak gegabah. Icha tidak mau menyusahkan Ayah angkatnya sekarang
hanya karena emosi remaja.

Icha menatap mereka lurus, berusaha tenang. Lalu mengangkat dagu


sombong.”Kalian benar. Aku memang tidak punya teman. Tapi bukan berarti aku kesepian,
aku tidak membutuhkan kalian. Karena apa? Menurutku itu sama sekali tidak berguna.
Terima kasih telah memberi empati kepadaku, tapi sekali lagi, aku tidak membutuhkannya.”

Icha tersenyum miring, menata mereka. Lalu dia hendak berbalik, namun
dirasakannya kemarahan salah satu mereka terlihatkan dengan salah satu tangannya yang
berniat menamparnys. Icha menunggu, dia membiarkan orang itu menamparnya. Jadi dia bisa
memberikan tuntutan kepada orang itu atas peloncohan atau penyerangan.

Namun beberapa saat Icha menunggu, tetapi tidak ada tanda – tanda tangan itu
mengenai pipinya. Dilihatnya, Alvin menahan tamparan orang itu.

“Alvin.” Kejut orang yang berniat menampar Icha tadi.

Alvin tidak menjawab ataupun menoleh. Lalu tangan Alvin menggenggam tanganku,
menarikku, membawaku pergi dari keributan tadi. Aku terkisap dengan apa yang
dilakukannya.

Rasanya baru saja Icha merasakan emosi, namun dengan mudahnya perasaannya
berubah. Dengan mudahnya seorang Alvin merubahnya. Kembali lagi hati Icha seperti diacak
– acak. Degup yang tidak menentu. Paru – paru yang terasa sesak. Kupu – kupu beterbangan.
Icha sekali lagi melirik tangannya yang digenggam Alvin. Icha tersenyum simpul.

“Terima kasih,” ujar Icha setelah mereka berhenti di kursi taman sekolah.

Dia mengangguk. “Sudah seharusnya teman membantu temannya.”

Icha tersenyum tipis, menganggap tidak mendengar kata pertemanan tadi ataupun
kertibutan di kantin. Yang ada dipikiran Icha saat ini hanya dia dan Alvin.

“Tadi kamu sangat keterlaluan.” Ujar Alvi tiba – tiba.

Icha yang tadi memejamkan matanya berniat berisirahat sejenak, otomatis menoleh.
“Maksudmu?”

“Mereka teman – temanmu. Itu terlalu kasar.” Ujar Alvin. Icha kehabisan kata – kata.
“Kalau kamu terus seperti itu, kamu akan tidak memiliki teman atau bahkan orang yang
sebenarnya peduli padamu.”

Lagi – lagi, Alvin memberikan sebuah tamparan keras pada Icha. Begitu menyakitkan
ketika keluar dari mulut Alvin. Tidakkah Alvin tahu bahwa Icha sudah begitu tertekan
dengan semua ini, sekarang bahkan dia menyalahkan Icha. Bagaimana Alvin bisa berkata
seperti itu semantara dia sendiri juga sejahat itu padanya.
Icha menatap Alvin sinis, mengintimidasi. Penuh rasa kesal dan amarah. Namun yang
paling Icha rasakan saat ini adalah perih, hatinya perih.

“Alvin, tolong sadarkan dirimu. Kita bahkan baru mengenal beberapa minggu yang
lalu. Kamu tidak tahu diriku, oke?”

Alvin tertegun. Dia diam untuk beberapa saat hingga kemudian dia mengangguk.
“Maaf. Maaf, aku salah menilaimu.”

Bahkan dia meminta maaf bukan untuk kata – katanya yang menyakitkan Icha.
Bukankah Alvin seharusnya menjadi orang yang memahami Icha?

****

“Ini bunganya, nak.”

Laki – laki itu mengambil bunga yang dia beli dan memberi uang sesuai harga yang
telah ada. Dia mengangguk kepada ibu penjual itu, berterima kasih.

Kakinya membawa laki – laki itu memasuki suatu tempat. Tanah pemakaman.

Alvin Andara menatap tempat sunyi itu, berjalan menuju kuburan yang ada disana.
Kedua nisan yang bertulis ‘Rais Fadlan dan Marina’ dengan tanggal kematian 26 Mei 2015.

Alvin menghela napas , mengusap nisan itu.

Dia masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Perkataan Icha tanpa dia sadar
membuat dia kembali ingat mengapa dia melakukan semua ini.

Alvin ingat semua tentang Icha. Iya, Icha adalah teman kecilnya.

Jujur Alvin sebenarnya juga tidak ingin berpura – pura tidak mengenal Icha selama
tiga tahun terakhir ini. Tapi Alvin tidak ingin dengan mengingat dirinya, membuat Icha tidak
bisa melupakan masa lalunya tentang kedua orangtuanya. Alvin, orangtua Icha akan menjadi
kenangan buruk bagi Icha. Dan Alvin tidak ingin Icha sedih dan menangis seperti dulu.

Alvin ingat saat dia kembali lagi ke kota kelahirannya karena mendengar orangtua
Icha telah meninggal dunia, dia melihat betapa Icha hancur. Betapa menyayatkannya menatap
Icha yang terus menangis ditanah pemakaman. Walaupun Alvin hanya memandangnya dari
jauh tanah pemakaman.

Sekian tahun Alvin keluar dari kota kelahirannya, dia kembali. Dan menemukan Icha
kembali. Anggap saja takdir sengaja mempertemukan kedua manusia yang belum
menyelesaikan urusannya mereka. Tuhan pun tahu, takdir pun tidak ikhlas, akhirnya mereka
bertemu kembali di Sekolah Menengah Atas ini.

Alvin tahu Icha telah diangkat oleh pamannya. Dia tahu juga bagaimana kondisi
keluarga itu, bagaimana keluarga itu memperlakukan Icha. Walaupun dia berpura – pura
tidak mengenal Icha, namun dia selalu mengawasi Icha dari pergerakan kecil sekalipun.
Aneh baginya saat Icha mengatakan seperti itu kepadanya. Menyakitkan.

Memandang wajah tersakiti Icha membuat sesuatu yang ada di dadanya terasa
menyakitkan. Alvin tidak ingin melihat wajah itu.

Ya, dia harus mengatakan sejujurnya kepada Icha.

Segera dia menuju rumah ayah angkat Icha.

Sepi.

Diketuknya rumah tua nan sepi itu. Tidak ada jawaban. Hingga ketukan yang kelima,
terbukalah pintu itu.

Tampak sosok perempuan dengan wajah sembabnya. Rambutnya terlihat acak –


acakan namun tidak mengurangi kecantikan alami perempuan itu.

Alvin memastika keadaannya dari atas hingga bawah, namun mata Alvin tidak
sengaja menangkat goresan – goresan yang terdapat di salah satu tangan Icha. Goresan itu
terlihat berbekas, namun cukup membuat Alvin khawatir. Masalahnya dia selalu
memperhatikan Icha, tetapi goresan ini melukainya. Apa karena setiap keluar rumah Icha
selalu memakai kaos lengan panjang sedangan dirumah tidak?

Kata yang ingin dikeluarkan Alvin sebelumnya seperti tersendat ditenggorokan, tetapi
satu perkataan saja yang dapat mewakili pertanyaan dikepalanya. “Icha, kamu cutting?”

Icha tersentak kaget, wajah sembabnya bahkan tidak mentupi keterkejutannya, Tapi
segera dia mengontrol wajahnya dengan baik. Alvin benci saat Icha menutup semuanya
dengan pintar, dengan kata ‘tidak apa – apa’nya.

“Bukan urusanmu,” Icha menjawab datar. “Mau apa kamu kesini?”

Pengakuan yang sebelumnya ingin dikatakan Alvin pun hilang, terganti emosi dan
kekecewaan yang mendalam.

“What the hell are you doing, Cha?!” teriak Alvin. Sekali lagi, Icha kembali tersenta
kaget. Jujur Icha takut, baru kali ini dia melihat Alvin seperti kerasukan. Dia bahkan tidak
masalah jika Alvin tahu kelakuannya ini.

Alvin geram, mencengkram kedua bahu Icha. “Kamu ga budeg, Icha. Kamu apain
tangan kamu?”

Icha tergagap, dia bingung harus menjawab apa. Gadis itu tidak pernah
memprediksikan Alvin akan mengetahui kebiasaan buruknya. Icha menahan napas,
tangannya mendadak dingin. Dia sangat gugup sekarang.

Alvin sadar. Dia menghela napas, melepas cengkramannya dari bahu Icha. Alvin
duduk membelakangi Icha, tidak sanggup melihat mata gadis itu.

“Sejak kapan?”
“Apa?”

“Kamu lakukan hal itu, ngelukai dirimu sendiri.”

Icha sedari tadi menahan agar air matanya tidak jatuh dari kantungnya. Namun Icha
tidak sanggup lagi saat ini. Dadanya sesak, dia bahkan sampai memeluk dirinya sendiri.

“Cha..”

Alvin berbalik, mendapati Icha terduduk lemas sambil memeluk dirinya. Dia
menangis terisak.

“Astaga, Cha.”

Laki – laki itu bergerak untuk memeluk tubuh rapuh Icha, melihat Icha seperti ini
membuat Alvin mengepalkan kedua tangannya. Dia merasa bersalah. Bodohnya dia mengapa
dahulu dia berpura – pura tidak mengenal Icha. Agar Icha melupakan kenangan pahit itu?
Buktinya Icha semakin memperburuk dirinya.

“Alvin, aku takut.”

“Aku disini. Kamu ga sendiri, ada aku. Tenang saja.”

Icha tidak mengatakan apapun lagi, dia memilih bungkam, membiarkan dirinya
berada dipelukan Alvin. Dia berharap dengan ini, dia bisa melupakan sejenak semua
permasalahannya Melupakan seluruh luka di dalam hidupnya.

“Cha, aku gatau seberat apa masalahmu. Tapi kamu harus berubah. Bukan untuk
orang lain tapi coba untuk dirimu sendiri.”

Icha tidak kunjung menjawab perkataan Alvin, namun Alvin sadar malam itu Icha
akan bermetamorfosis menjadi sesuatu yang menakjubkan.
Epilog : Tanpa Batas.

Setelah kejadian itu, semua terasa baik – baik saja. Dan makin membaik semenjak
Alvin hadir dihidupnya.

Sekarang, Icha tidak memandang dirinya gadis yang menyedihkan. Bukan gadis yang
sombong yang selalu dinilai teman – temannya. Bukan gadis yang dianggap rendah. Dia
adalah gadis yang beruntung. Icha sudah berubah.

Alvin selalu berada disampingnya, menjaga dia selalu begitupun sebaliknya. Mereka
masuk ke Universitas yang diimpikan masing – masing dan tetap berhubungan walaupun
jarak yang jauh.

Semua sudah berubah.

Dimulai dari hubungan orangtua angkat Icha pun semakin membaik setiap harinya.
Aroma keharmonisan mulai membaik semenjak pengakuan dan kejujuran Ayah angkatnya.
Ayahnya mengaku semua hal yang dia rasakan atas pertengkarannya dengan Ibu angkatnya.
Dia meluapkan semua perasaannya. Hingga Ibunya paham, mereka berdua hanya salah
paham.

Saat itu Icha sadar, bukan karena dia, orangtuanya bertengkar. Ya, Icha salah paham.

Lalu adiknya kembali lagi menjadi gadis yang ceria. Dia tumbuh menjadi gadis
remaja yang cantik. Walaupun kenangan pahit itu masih melekat, tetapi dia berusaha
mengikhlaskan semuanya. Melepaskan kenangan itu perlahan diiringi kenangan manisnya
keluarga mereka sekarang.

Icha mulai terbuka setelah kejadian itu, dia mulai berteman dengan teman – teman
sekelasnya dan yang lain. Ya, hidup Icha semakin membaik bukan?

Icha merasa hidupnya kmbali bewarna dan sempurna.

Tanpa batas.

-TAMAT-
Biografi Penulis.

Nama saya Yuninda Az’Zahrah atau sering dipanggil Yunin. Saya kelahiran asli Balikpapan,
23 Juni 2002. Saya merupakan seorang anak semata wayang dari ayah seorang Protestan
bernama Ryan Saputra dan ibu seorang muslim bernama Irma Yanti. Pernah menempuh
pendidikan di Taman Kanak – Kanak Putera, ber-Sekolah Dasar di SDN 001 Balikpapan
Utara, melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah di SMP Negeri 6 Balikpapan, dan saat ini
saya sedang duduk dibangku kelas 12 di SMA Negeri 6 Balikpapan. Memiliki banyak hobi,
salah satunya membaca novel dan puisi – puisi. Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai