Sebermula
“Aku, seorang prokrastinator akademik. Yang mengganti
absen, kuliah, ruang kelas, dan jadwal yang membosankan,
dengan balada perjalanan.“
DESEMBER, 2014.
Alya terhenyak.
“Alya..”
...
Al sedang berada di sanggar lukis. Salah satu divisi yang di
kelolanya. Ia memang sedang suka melihat orang-orang yang
menumpahkan idenya dengan coretan-coretan di atas
kanvas. Baginya keindahan itu ada dimana-mana. Secara
nurani ia bisa melihat keindahan asap rokok yang dikeluarkan
beberapa orang di ruangan, atau melihat seorang polantas
membantu seorang buta menyebrang jalan agar terhindar
dari kecelakaan.
...
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, Alya beranjak menuju
kantin. Secangkir Capuccino dingin rasanya sempurna untuk
mendinginkan kepalanya. Di kantin ia bertemu dengan
teman-teman, Bima sang aktivis, Putri sang pesolek, juga
teman baiknya Dilla sedang duduk di sebuah meja.
“Ya sudah, sini saya panggilkan, Mbak.” Balas lelaki itu, lalu
membukakan pintu Ruang kesenian.
“Al..”
“Al..”
“Jika saya tidak tahu perihal itu, berarti, sama saja saya
adalah termasuk orang-orang yang khianat. Sebagai seorang
yang berada di bawah naungan kepengurusan BEM kampus.
Bukankah saya harus menghormati para Eksekutif kampus
saya?” Jelas Al, “Silahkan duduk, Mbak.” Lanjutnya lagi
“Bagaimana?” tanya Al
Hening sejenak.
“Ada yang lain?” Al memecahkan keheningan
...
3. Kopi
“Untuk apa sayap, kalau langit hilang dari ingatan. Untuk
apa akal & pikiran, kalau membiarkan diri dikendalikan
orang, golongan, dan iklan-iklan.”
Telah keluar sang pembuat onar itu dari kelas, Belum tenang
napas Bu Rani, tiba-tiba Alya berdiri di tempat yang sama
dengan saat ia masuk tadi, Alya membelakangi pintu, lalu
membungkukkan badan ke arah Bu Rani.
....
Ruang Sekre BEM.
...
RUANG PEMBINA BEM.
Tak perlu waktu lama, Alya dan Dilla langsung menuju Ruang
Kesenian, salah satu tempat yang kemungkinan Al berada di
sana. Namun usaha mereka nihil. Al tidak berada di sana, dan
orang-orang di ruang kesenian tidak melihat Al sedari pagi.
“Maksudmu?”
“Kita?” Al memotong
“Ya, kita. Aku dan kamu, siapa lagi?” Alya berkata dengan
sentimen. “Semua ini karena ulahmu, ulah kita. Kini
semuanya menjadi runyam.”
“Aku ingin kita bertanggung jawab atas apa yang telah kita
lakukan,” balas Alya
“Aku keluar dari kelas Bu Rani hari itu adalah aku dan
keputusanku, aku tidak mengajakmu. Tidak pula
menyertakanmu. Aku keluar dari kelas adalah sesuatu, dan
kamu keluar dari kelas adalah sesuatu yang lain. Aku dan
kamu adalah bukan kita. Berhentilah menyudutkanku seperti
seolah semua ini disebabkan oleh aku.” Jelas Al.
...
“Dalam kesepianmu yang kau lemparkan padaku,”
Kata-kata Al mengikuti Alya ke kamarnya, berkali-kali ia
mencoba melupakan tentang dua hal yang di katakan Al,
berkali itu pula hatinya berontak untuk mengikuti perintah
Al.
...
4. Beda
“Dik, bukankah mencintai seseorang yang punya
kesamaan denganmu mudah sekali kau tunaikan.
Sedang untuk mencintai seorang yang berbeda
denganmu sukar sekali kau lakukan.”
Alya terhenyak.
“Tenang, Pak. Roni itu sudah pengalaman dalam hal ini, dia
adalah seorang yang ulung menghadapi hal-hal tak terduga
seperti ini,” kata Al mencoba menenangkan Ayah Roni.
Tak lama setelah itu, datang seorang Ibu paruh baya yang
menangis meraung-raung di dalam Basecamp.
“Tapi, gara-gar..”
“Cukup!” tiba-tiba Pak Mori memukul Meja
“Kami, semua lapisan yang bertugas disini akan berusaha
semaksimal mungkin mencari mereka, mohon Ibu-Ibu dan
Bapak-bapak di sini untuk tenang, biarkan kami menjalankan
tugas kami.”
Tiga jam berlalu, Tim yang bergerak sudah mencapai pos dua
pendakian, tempat Roni dan Alim diperkirakan tersesat.
Menurut kesaksian lima pendaki yang turun pada malam itu,
mereka sempat bertemu dengan Roni dan Alim dan berhenti
di Pos dua untuk mengambil jeda, Namun mereka berpisah
dengan Roni dan Alim karena memprediksi badai yang akan
datang sehingga harus mengejar waktu untuk segera turun
dari Marapi.
“Kita susuri lereng selatan. Kita bagi tiga tim, sebagian ikut
bersamaku naik, sebagian lagi menyusuri kawasan ini, dan
sisanya membuat pos di sini untuk berjaga-jaga bila ada
kabar.” Tukas Mas Damar,
...
6. Sulam
“Jika kau merasa tak punya kemampuan, itu sama saja kau
menghina Tuhan.”
Lain Alya lain pula Al, lelaki itu tak sudi bila harus
menurunkan egonya, tak sudi juga memohon maaf pada
yang lebih berkuasa. Cara dan sikap Alya dan Al menghadapi
masalah ini sangat bertolak belakang. Lelaki itu terlalu keras
bila harus dilunakkan, terlalu liar untuk dikandangkan, serta
terlalu silang untuk dibulatkan.
“Apa yang kamu pikirkan, Al?” kata Alya lirih tidak pada
siapa-siapa
Sadar akan usahanya yang sia-sia, akal Alya tak habis sampai
disana, ia membuka halaman UKM Kesenian kampus. Tidak
mungkin Website Resmi kampus tak mencantumkan biografi
ketuanya. Dan Bingo, Alya mendapati profil Al. Nama
lengkap, Tempat Tanggal Lahir, rekam jejak kependidikan,
dan sebuah foto bersama ketika pelantikan pengurus UKM
Kesenian, di foto itu Al tepat berada di tengah, bersama
dengan Pak Darmo dan Kang Hardi ketua UKM yang lama.
Perhatian tertuju pada foto seorang perempuan yang ada
dalam foto tersebut.
....
KEDAI AMKO.
MERDEKA
Oleh Andalas Rizki
~Kerinci, 2011.
“Aku udah duluan kali, kamunya aja yang lemot,” kata gadis
riang itu bersamaan dengan mengambil posisi duduk di
depan Alya
“Siapa yang memesan kopi?” Batin Alya, tak lama setelah itu
Pinta muncul dari balik pintu arah toilet dan kembali menuju
meja Alya.
“Aduh.. Al, apa yang telah kamu lakukan kepada gadis terbaik
di kampus kita ini?” kata Pinta gemas, mendengar kata-kata
itu Alya tersedak
“Al,” kata Pinta lagi. “Semua frame disini adalah Al, meski
tidak ada satupun gambar memperlihatkan wajahnya, hanya,
semua ini adalah dokumentasi dari Al,” lanjutnya.
Alya tak bergeming, sejenak ia merasakan sosok Al di AMKO.
Melihat frame-frame itu seolah membawanya masuk ke
petualangan Al.
Tak bisa dipungkiri, Alya sudah jatuh hati terhadap kedai itu.
Kedai yang tak pernah kehilangan nuansa syahdu, kedai yang
dominan dikunjungi oleh para pejalan dan pecinta kesenian
itu mempunyai sisi otentik tersendiri. Membawa Alya
kedalam lingkaran baru. Tak seperti di restoran dan cafe-cafe
pada umumnya dimana para pengunjung acuh tak acuh
dengan pengunjung lain, atau mungkin tak peduli sama
sekali, individualis. Kedai ini justru membawa kehangatan
dan kebersamaan oleh para pengunjungnya, mereka saling
melempari senyum dan percakapan sederhana. Di sini, Alya
melihat tak ada yang benar-benar sibuk dengan ponsel,
mereka saling bersapa meski belum berkenalan. Mungkin
begitulah lingkungan para pejalan, pikir Alya.
...
7. Petualang
“Orang-orang memastikan keamanan hari esok di kota, kata,
dan angka. Namun hidup tidak pernah pasti, tidak ada yang
aman, segalanya petualangan.”
Pernah pada suatu hari, juga bersama Mas Damar dan Pak
Mori, Al mencari anak yang hilang dan hanyut di sungai yang
mengalir deras. Berhari-hari mengobok-obok sungai, tak juga
ditemukan anak yang hilang itu, Seluruh tenaga dan teknik
pencarian telah dikerahkan. Dari hulu ke hilir.
Mengedepankan logika dan akal sehat, si anak bak lenyap tak
bersisa.
...
Mendekati tengah malam, ketika Tim arahan Pak
Mori yang juga Al termasuk di dalamnya itu menyusuri
lereng selatan POS dua. Tiba-tiba Pak Mori menghentikan
langkahnya, seluruh personel memperhatikan gelagat Pak
Mori. Ia tampak mengamati sekitar, yang berupa batas
kawasan vegetasi hutan pinus dan rimba belantara.
“Baik, Azel kamu tandai tempat ini. Hubungi Tim Damar, kita
kembali ke Pos Dua. Hubungi juga posko pusat,”
...
Matahari belum muncul, ketika Tim SAR mengadakan
rapat kilat di POS 2 Gunung Marapi guna melanjutkan
pencarian Roni dan Alim. Mereka menyempatkan membuat
sarapan cepat saji dan kopi, setelah semalam suntuk menyisir
kawasan Marapi.
“Saya percaya, Al. Mereka baik-baik saja, dan jika terjadi hal-
hal seperti yang kamu katakan, sungguh. Itu bukan kuasa
kita, Yang terpenting...” Mas Damar mendekat menepuk
bahu Al, “Kita sudah berusaha. Dan, saya, Pak Mori, serta
juga yang lain bersama kamu, jangan kau salahkan dirimu
sendiri,”
...
Waktu menunjukkan pukul 8 pagi, ketika Al sampai di titik
yang semalam telah ditentukan oleh Pak Mori. Sejauh ini,
kecuali Pak Mori, taka ada seorangpun yang tahu musabab
kenapa Pak Mori menandai tempat itu.
Sementara, dari radio, masih belum ada kabar dari tim Mas
Damar yang menyusur kawasan yang berbeda. Roni dan Alim
belum ditemukan juga.
...
“Astaga!!! Innalilahiwainnaillahirojiun.. kok aku baru tau?!
Mas jemput aku dirumah Alya,” Pinta Nampak histeris, gadis
yang biasanya ceria itu tersungkur lemas, seolah segala
macam tenaga diambil dari tubuhnya. Perlahan air matanya
menetes.
.....
Langit Padang kelabu. Awan-awan bergulung, angin
menerbangkan daun-daun kering di tempat pemakaman.
Semua manusia menghening, tak berkata-kata, diam
menyaksikan jerit tangis wanita yang menghambur ke atas
gundukan tanah itu. ia mengusap-usap gundukan yang masih
basah.
...
KEESOKAN HARI, DI KAMAR ALYA.
“Alya, Laporan bulanan ini jangan lupa ya,” tulis Mas Dino di
kolom chat
....
RUANG RAWAT INAP RSU.
....
8. Sebab
“Sebab Manusia memiliki batas, sebab manusia tempatnya
lupa. Sempurna hanya fatamograna.”
“Jadi?”
“Diam!!” balas Bu Rani lagi dengan nada yang tak kalah tinggi
dengan Al,
“Ada satu rahasia lagi tentang Al, Buk. Saya rasa saya harus
membukanya di sini, Al sering menyebut ibuk sebagai dosen
bermental feodal, kepada teman-teman yang lain, betulkan
teman-teman?” hasut Hary lagi, diikuti dengan gelak tawa
seisi kelas dan mereka mengangguk setuju dengan tuduhan
Hary.
...
Keesokan harinya, Al dipanggil untuk mengikuti persidangan
Departemen kedisiplinan. Tanpa banyak pembelaan ia hanya
terdiam mendengar hasil persidangan. Kasusnya di akumulasi
dengan pelanggaran-pelanggaran Al di masa lampau. Al
mendapat skorsing penuh satu semester. Semua mata kuliah
yang diikutinya digugurkan, dan Al dilarang untuk mengikuti
semua aktivitas Kampus termasuk datang ke sanggar seni.
UKM Kesenian di minta untuk mengadakan Rapat Luar biasa
guna mencari pengganti Al.
Al pergi ke Kerinci.
...
9. Pulang
KERINCI.
...
“Aduh.. jangan sebentar dong, Pak. Kaki saya ini udah gak
karuan,” balas lelaki lain yang ada dibelakangnya.
Pak Herman tertawa begitupun dengan Al. Tamu-tamu Pak
Herman masih sebaya dengan Al, mereka berasal dari
Bandung. Dua lelaki dan satu perempuan. Masing-masing
membawa Daypack di punggungnya, dan tanga mereka
memegang trekingpole. Lelaki yang dibarisan pertama itu
Nampak lebih dewasa dari lelaki yang mengeluhkan perihal
kakinya, dan juga perempuan yang ikut dengan mereka
terlihat semacam sudah berpengalaman dalam mendaki
Gunung. Itu terasa jelas dari auranya.
“Haha, Kalo mau gak apa-apa kok, Teh.” Jawab Pak Herman,
lalu sepersekian detik seolah teringat akan sesuatu Pak
Herman menepuk jidatnya, “Oh, Ya... saya lupa, kenalkan ini
namanya Al,” Pak Herman memperkenalkan Al.
Satu persatu tamu Pak Herman menyalami Al. Setelah sedikit
menceritakan Al kepada para tamunya, Pak Herman bangkit
untuk melanjutkan perjalanan.
“Iya Ian. Ketemu lagi ntar kita di Shelter 3,” balas Al spontan.
...
...
DI TAMAN KAMPUS.
-Padang, 2014.
Aku adalah
Aku.
Aku adalah
Asing.
Aku adalah
Sepi.
“Al, ini aku, Alya Girija Awindya, sebuah kesepian
yang lainnya.” Kata Alya lirih pada apa yang dibacanya.
....
MALAM DI KEDAI AMKO.
POLITIK?
Negeri ini terlalu sibuk, Yang tua sibuk debat politik, yang
muda sibuk debat idealis, yang Alim sibuk debat halal-haram,
yang aktivis sibuk analsis atas copy paste teori dari isme-isme
yang mereka anggap keren. Sementara tingkat kebaikan
sedang terjun bebas menuju dasar.
“Ya itu, Alya. Semua yang kamu certain tadi itu, kalo gak di
kampus, di outlet atau di AMKO.” Jelas Nanda. Nanda
menangkap kekecawaan di mata Alya.
“Al itu paling senang sendirian. Dia tidak mau diganggu dan
ditemani di dalam kamar,” jelas Nanda. “Tapi bukan berarti
Al sombong. Dia itu gokil, kita bercanda terus, ngobrol,
sharing terus, semua interaksi terjadi kepada kita dimana-
mana, kecuali kamar Al. Pernah sekali si Ebon nyelonong
masuk ke kamar Al, yang terjadi adalah Ebon tidak di sapa-
sapanya dua hari dua malam berturut-turut. Semenjak itu
semua teman-teman menjadi tidak berani masuk ke kamar Al
tanpa se izinnya dahulu,” lanjutnya lagi.
Mendengar penjelasan dari Nanda, Alya merasa tidak enak.
Bukan kepada Nanda, tetapi kepada Al sendiri.
‘ALYA’
2013.
Alya membaca puisi itu, matanya terbelalak, tangan Alya
seketika menutup mulutnya, bersamaan dengan tangisan
Alya yang semakin sendu. Tahun yang tercantum di sana
adalah 2013, itu berarti Al membuat lukisan itu jauh sebelum
Alya dan Al berkenalan, bahkan jauh sebelum Alya
mengetahui bahwa sosok Al itu ada.
Alya bisa saja salah duga bila menemukan puisi dan kata yang
menggambarkan dirinya, bisa saja itu adalah Alya yang lain.
Namun, tidak bisa tidak, bahwa perempuan di dalam kanvas
itu tergambar secara jelas, adalah dia. Alya Girija Awindya.
Mas Janu, Pinta, Ebon, Hadid, Jeje dan beberapa teman yang
lain sedang bercakap-cakap di kursi depan Bar. AMKO
memang menyetel sebuah meja panjang di depan BAR, itu
semua untuk para pelanggan yang ingin menikmati sang
barista meracik kopi pesanannya. Tentu saja, topic
percakapan mereka tidak terlepas dari Al.
...
“Entahlah, Nta. Aku juga merasa seperti itu, Alya tak mungkin
sampai hati melakukan itu semua.” Kata Mas Janu bimbang
“Ya..”
“Alya..”
....
ESOK SORE, KEDAI AMKO.
“Kamu tahu sendiri lah aturan mainnya. Alya itu siapa? Dia
pernah naik gunung? Tahu teknik? Pengalamannya gimana?
Dia ngerti gunung? Tahu standar? Apa dia kuat?!” Mas Janu
menarik napas panjang, “Teori-teori, jurnal, dan teknik
metode penelitian saintifik yang dia kuasai di kelas, gak
bakalan berguna di sana!” lanjut Mas Janu.
GUNUNG KERINCI.
Brak....
.....
SHELTER 3, MALAM HARI.
“Kamu sering nulis lagu-lagu Ebiet di blog, aku jadi tahu lagu
favoritmu,” kata Alya.
Al mendengarkan, namun tak mengindahkan kata-kata Alya.
Tak ada satu kata yang keluar dari bibirnya untuk Alya. Satu-
satunya yang ada dalam pikiran Al adalah untuk tetap
membuat Alya merasa bersalah atas kekonyolan dan
kenekatannya mengikuti Al ke Kerinci tanpa ada persiapan.
....
PAGI BERIKUTNYA.
“Al, itu ada sarapan, di makan ya.” Teriak Alya dari kejauhan
di ujung lereng dengan menggendong beberapa kayu kering
di tangannya.
...
MALAM HARI.
“Kamu yang masuk Alya! Tidur ya, badai besar.” Balas Al yang
sudah basah kuyup di terjang hujan.
Oleh sebab tak mau dimarahi lagi oleh Al, Alya lekas-lekas
memasukkan kepalanya lagi ke dalam tenda.
...
PAGI SELANJUTNYA, SELEPAS BADAI.
“Iya, Bang. Gak ada perempuan yang turun. Kami kira hanya
ada kami bertiga saja manusia di sini.” Sambung salah satu
pendaki lainnya.
“Oh, gak ada bang. Saya kira teman saya sudah turun duluan.
Kalo begitu, saya permisi bang.” Kata Al, lalu bergegas naik
kembali ke Shelter 2.
“Al,”
“Aku mau di sini aja, Al. Biarlah aku lepas semester ini
sebagai hukuman atas perbuatanku,” rengek Alya saat Al
mengajaknya turun.
PERJALANAN KE KOTA.
“Pacarmu ya, Al?” tanya sang supir Pak Rahman, sahabat Al.
....
LOKET BIS, PADANG.
“Tempat aku pergi dan tempatmu pulang,” kata Al, “Aku baru
nyadar, kalo kamu ini adalah orang barat.” Lanjutnya.
“Kamu selama ini kemana aja sih? Kok aku baru nemuin
kamu sekarang,” lanjut Alya lagi menggenggam erat tangan
Al.
“Aku siapa?! Yakin kamu mau tahu aku siapa?” tantang Alya,
“Aku adalah catatanmu, lukisan di kanvasmu, bait dalam
puisimu, aku adalah yang kamu kagumi selama ini. Bahkan
sebelum aku tahu bahwa orang bernama Al itu ada di dunia
ini.” Kata Alya tertawa, merasa menang telak dalam sesi adu
kesombongan dengan Al.
“Maaf Al, Aku gak tahu kalo Mbak Alya bisa senekat itu
nyusul kamu ke Kerinci.” Sontak Nanda memotong, merasa
punya andil besar atas kenekatan Alya.
“Jadi kamu biang keroknya? Kamu yang ngasih info kalau aku
ke Kerinci. Kamu bisa membahayakan nyawa anak orang,
seharusnya kamu tahu prosedurnya.” Kata Al berlagak dingin,
...
12. Jalur
“Perbuatan sekecil apapun mesti memiliki arti.
Sekecil apa, perbuatan tetaplah perbuatan.”
Tit.. Tit..
Alya tersenyum. “Kamu kemana aja sih? Dua hari gak ada
kabar,” kata Alya merungut,
“Menye...”
“Menyelamatkan dunia, oke...” Alya memotong gemas
mendengar tanggapan Al.
“Kasihan kenapa?”
Al menghentikan motornya.
...
“Dimana?”
“Nggak usah, Mas.” Jawab Alya sambil satu, dua kali ia sesapi
cangkirnya.
“Aduh.” Urak kaget, “Maaf maaf loh Mbak, dari tadi saya
jelekin kampus kamu terus.” Lanjutnya.
“Di AMKO, lagi ada acara. Kamu nggak ke sana?” balas Alya.
...
13. Puncak
“Puncak itu akibat, bukan tujuan. Tujuan dalam
pendakian adalah Pulang ke rumah.”
JANUARI 2015.
“Pakai aja. Dulu aku pernah dikasih hadiah ulang tahun dari
kawan-kawan, ukurannya kekecilan, jadi kusimpan aja
dirumah.” Jawab Al.
“Terus kok aku nggak boleh pakai jeans dan kamu kasih aku
celana ini, kenapa?” Tanya Alya.
Alya tersenyum, ia tahu bahwa Al bila sudah menjelaskan
sesuatu kepada dirinya pasti akan sangat detail. Ia sengaja
banyak bertanya, karena melihat kekasihnya itu menjelaskan
sesuatu ditambah lagi perbuatan kecil Al yang mengikat tali
sepatunya membuat hati Alya berbunga-bunga.
...
“Iya, Al. Salam buat Pak Mori sekeluarga.” Sahut Mas Janu.
...
10.30 WIB. Basecamp Marapi.
“Aman, Bos.”
“Disini aja Al,” Alya memaksa, “Atau aku yang kesitu nih?”
Al bergegas duduk di samping Alya. Ia terlihat kaku ketika
menghisap dan menghembuskan rokoknya.
...
Malam menjelang, tepatnya pukul 20.00 WIB. Alya baru saja
kembali usai mengantarkan omelet ke tenda lain di dekat
tenda mereka.
...
Pecah juga air mata Alya dititik tertinggi gunung Marapi itu.
Setiap inchi tolehan kepalanya, yang ada hanya ketakjuban di
satu sisi dan ketakjuban di sisi lainnya, selain pujian untuk
yang Maha Menakjubkan, pagi itu Alya benar-benar tak
dapat berkata-kata.
2015. PERTENGAHAN.
“Oh, iya pak. Saya Al, Andalas Rizki Pratama. Maaf. Katanya
Bapak cari saya?” kata Al menyalami.
Al tak bergeming.
“Saya tahu betapa seluk beluk Alya. Beban dia, laju pikirnya,
derita dia, semua, saya tahu. Termasuk seberapa besar cinta
Alya kepada Nak Al. Ini bukan tentang adat semata, Nak Al.
Maaf sebelumnya, bukan bermaksud untuk membandingkan,
Alya itu adalah Melati dalam keluarga. Hanya dia anak
perempuan di keluarga besar saya. Jadi tidak heran keluarga
besar saya bermaksud untuk menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan Alya kelak. Jujur dalam lubuk hati terdalam,
saya hanya ingin melihat Anak saya, Alya berbahagia. Saya
sebenarnya setuju apapun pilihan Alya, asalkan itu untuk
kebahagiaannya. Namun, saya tak bisa melawan keputusan
Ninik Mamak dan keluarga besar saya.”
“Ish, Al!” Alya gemas. “Nih anak juga songong, Nta. Sama
kayak si Nanda.” Protes Alya menanggapi kalimat Al.
...
Langit berwajah muram, sore kedua Alya berada di Padang
Panjang. Ibu mengalami kecelakaan. di perjalanan sewaktu
pulang dari kantor. Motor yang Ibu Alya kendarai oleng
ketika tersenggol truk yang menyerempet sisi kanan motor.
Keadaan Ibu cukup kritis. Alya dengan tangisan yang dalam,
menceritakan semuanya kepada Al. Mendengar cerita Alya,
Al bermaksud untuk datang ke Padang Panjang, namun Alya
menahannya. Alya tak mau kegiatan Al di Padang terganggu
oleh sebab dirinya.
“Tai lah.”
“Tau!” Alya tersenyum merespon candaan Al.
“Jangan bohong,”
“Iya, abis ini makan. Kamu udah makan belum?” tanya Alya.
Al memandangi ponselnya.
...
PADANG.
“Aku di basecamp HPP.” Kata Al, “Janji, ya, kalau ada apa-apa
langsung kabari aku.”
“Aku jau lebih sayang kamu,” balas Alya. Alya pun bergegas
melangkah menyebrang.
...
HARI KE EMPAT AL DI PADANG PANJANG.
TAMAN KOTA.
...
15. Keabadian
“Segala atau apa-apa yang punya rupa akan musnah
bersama waktu. Tapi tidak dengan cinta. Ia abadi di
dalam jiwa.”
PADANG PANJANG.
Ada tamu Ayah datang. Ayah meminta Alya dan Andra untuk
mengosongkan Ruang Tamu.
“Wah, emang dari kecil si Alya itu udah cerdas. Sudah bagus
itu, dapat peringkat lima lagi.” Kata seorang laki-laki kepada
Ayah Alya.
“Sudah lama ya, Pak. Aku nggak ketemu sama Alya.” Kata
lelaki muda di ruang tamu. Alya yakin itu adalah Fathur,
untuk itu Alya merasa perlu untuk meninggalkan sketch
booknya dan memasang telinga baik-baik untuk mendengar
percakapan di luar.
“Kalian kan sudah kita jodohkan sejak kecil. Kalian saja yang
tidak tahu.” Kata Ayah tertawa, “Betulkan Pak Ginanjar?”
tanya Ayah yang disambut dengan tawa setuju Pak Ginanjar.
“Kenapa aku harus tidak suka naik gunung?” tanya Alya lagi,
sendirian.
...
...
....
“Al juga punya banyak foto awan, langit, dan lanskap seperti
ini, hanya bedanya, Al mengambil foto-foto itu dengan kaki
menginjak tanah.” Alya bicara sendiri menanggapi.
Bila Fathur bermaksud untuk mengambil hati Alya pagi itu,
sudah tentu usahanya adalah sesuatu yang salah. Sebab sejak
bersama Al, Alya memahami bahwa proses seorang
mendapatkan sesuatu adalah lebih utama dari hasil yang
didapatkan.
...
Siang.
...
Malam.
...
KEESOKAN HARINYA.
“Hoo, ada yang baru dapet rezeki nih..” kata Alya membalas
candaan Al.
“Hehe, Iya. Ada satu komunitas yang pesan kaos kita. Dan
penghasilannya lumayan besar.” Kata Al sumringah, “KFC
kita?” Tanya Al lagi.
“Oalah, aku kira kamu ajak aku makan di sana.” Kata Alya
menanggapi.
“Aku bisa mati, bentuk dari aku, seorang Al, pasti musnah
semau waktu. Jangan menuhankan tubuhku sebagaimana
aku tidak menuhankan tubuh sesiapa atau apa-apa kecuali ia
maha kuasa. Jangan pernah menggantungkan hidupmu pada
sesiapa, kau merdeka, Alya. Segala bentuk ketergantungan
adalah penjajahan.” Kata Al.
“Ish, Mbak.”
“Udah ngerokok aja. Aku mau sama kamu disini.” Kata Alya
tak ingin beranjak dari sisi Al.
“Hah?” Al bingung.
“Nanda?”
“Iya nggak apa-apa. Aku tadi nggak sakit kok, Cuma pura-
pura aja.” Alya mencoba menenangkan Al.
“Iyaa, Boskuh.”
...
Di Padang Panjang, Alya langsung mencoba menghubungi Al.
Namun, Al tak kunjung menjawab. Nomornya pun tidak aktif.
Alya tak terlalu risau, begitulah Al, Pikirnya.
Tak habis ia baca surat dari Al. Air matanya sudah mengalir
deras dikedua pipinya. Alya tak sanggup membaca surat
tersebut.
...