Anda di halaman 1dari 307

1.

Sebermula
“Aku, seorang prokrastinator akademik. Yang mengganti
absen, kuliah, ruang kelas, dan jadwal yang membosankan,
dengan balada perjalanan.“

DESEMBER, 2014.

Al, Mahasiswa Angkatan 2010 yang merasa


“Tersesat” di Jurusan Sejarah pada Universitas yang
digadang-gadang sebagai Universitas keguruan terbaik se-
Sumatera Barat. Pencetak guru-guru terbaik, dan tauladan
bagi Universitas lain.
Andalas Rizki Pratama, begitu namanya tercantum di
database Universitas. Seorang mahasiswa urakan yang
mempunyai catatan buruk perihal Absensi hampir di setiap
mata kuliah yang diikutinya.
“Aku, seorang prokrastinator akademik. Yang mengganti
absen, kuliah, ruang kelas, dan jadwal yang membosankan,
dengan balada perjalanan.“ begitu kata-kata yang ia tulis
dalam blognya. Al memang menyukai Sejarah, namun ruang
kelas bukan tempat yang asyik untuk berbicara Sejarah
baginya. Ruang kelas hanya terpaku pada suatu sistem
monoton, dimana diskusi hanya dijadikan “Pembayaran
Utang“ oleh mahasiswa. Itulah alasannya ia selalu malas bila
berurusan dengan Perkuliahan.
Bagi sebagian teman-temannya, Al dianggap sebagai seorang
yang keras, pemberontak dan tak bersahabat, yang tak
mungkin bagi orang-orang untuk begitu paham perihal isi
kepalanya. Ia kerap menyendiri dan cenderung di jauhi oleh
teman-teman satu jurusannya.
Lain dengan stigma kawan-kawannya di kampus, lain pula
pandangan kawan-kawan di sanggar dan basecampnya. Bagi
orang yang telah mengenalnya, Al menjelma sebagai seorang
yang otentik, khas, unik, satu. Seorang yang membenci
kemunafikan, seorang yang memberontak kepada hal-hal
yang seharusnya salah namun di buat seolah-olah menjadi
benar oleh pemilik kuasa. Al adalah orang yang melawan
ketika haknya diusik.
...
Tidak membaca buku, tidak mendengarkan musik, Al
terduduk sendirian di taman perpus. Matanya redup,
tubuhnya bergetar sesekali, kepalanya ia hadapkan ke langit
sembari menghisap asap rokoknya dalam-dalam, Lalu
menghembuskannya begitu saja tanpa irama.

Al tak menghiraukan lalu lalang orang-orang, juga tak


menggubris kendaraan yang tergesa-gesa, lengkap dengan
bunyi klakson yang bersahut-sahut di jalan raya tak jauh di
hadapannya. Hening menguasai tubuhnya. Telah lama ia tak
begini, sorot mata yang biasanya tajam dan menerkam telah
hilang di telan bumi entah kemana. Siapa-siapa yang
mengenal Al akan dengan mudah mengetahui bahwa ada
sesuatu yang terjadi pada lelaki itu.

“Ada apa? Kenapa tidak menangis saja? “ Fitrah


kewanitaan Alya keluar seketika, menyapa Al yang jelas
terlihat kacau dan berantakan.

“Semua orang menangis ketika bersedih, dan itu


tidak ada kaitannya dengan kekuatan seseorang. Kamu tidak
serta merta kehilangan kelelakianmu ketika menangis,
lantas? Mengapa tak dilepaskan saja? “ kata Alya lagi
“Orang-orang menangis ketika sedih? “ tanya Al, ia
menoleh ke arah Alya. Tersenyum, lantas memandangi Alya
dari rambut hingga ujung sepatu.

Alya mengangguk sambil beranjak duduk di bangku samping


Al.

“Terakhir kali, kapan kamu menangis? “ tanya Al

“Aku wanita, aku lumayan sering menangis.


Dimarahi Ayah, nilai jelek, dan patah hati pernah membuatku
menangis. “ Alya menjelaskan sambil menggoyangkan
kakinya agar tetap terlihat santai mengobrol.

Keduanya menghening, daun-daun di taman berguguran


mengisi jeda mereka.

“Palsu,” kata Al mengembalikan percakapan

“Palsu?” Alya mengulangi

“ Di sana, di jalan, rumah-rumah digusur, pedagang-


pedagang di usir, di jembatan ada anak-anak kelaparan, di
gunung ada sampah berserakan, di timur ada saudara-
saudara diadu domba dan perang, apakah itu tidak
membuatmu sedih? “ tanya Al, yang membuat Alya berhenti
menggoyangkan kakinya.

“ Apa maksudmu? “ Alya menoleh

“ Maksudku, apa kamu tidak sedih melihat semua


itu? “ Al mengulang kalimatnya

“ Iya, Sedih. Lalu? “ jawab Alya sambil bertanya-


tanya dalam hati maksud dari perkataan Al.

“Lalu, apakah kamu menangis?“ kata Al.

Alya terhenyak.

“ Kamu mungkin sama dengan orang-orang,” lanjut


Al. “ kamu merasa sedih tapi tidak menangis, melihat itu
semua. Kamu dan orang-orang hanya menangis ketika diri
disakiti, dikhianati, atau apa-apa yang buruk menimpamu.”

“Apa yang ingin kamu sampaikan sebenarnya? “ Alya


mulai tidak nyaman berkali-kali ia ubah posisi duduknya.
“Orang-orang tidak adil. Tidak bersungguh-sungguh
merasa sedih pada banyak hal. Kecuali jika sesuatu menimpa
dirinya barulah mereka merasa benar-benar sedih, lalu
menangis. Apa yang lebih egois dari itu? Orang-orang
berpura-pura. Termasuk ketika bersedih, mereka tidak benar-
benar sedang bersedih.”

Alya tersinggung dan spontan beranjak meninggalkan Al.

“Aku wajib malu pada kehidupan, jika merasa


bersedih dan bisa menangis saat diri disakiti namun baik-baik
saja melihat segala kekeliruan yang menyedihkan di dunia
ini,” lanjut Al.

“Mungkin benar...” kata Alya sambil menahan


langkahnya, “kamu sakit, Al.” Alya beranjak pergi.

“Mungkin benar..” kata Al sendirian. “ Soe HokGie.


Dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasakan kedukaan.
Tanpa itu semua kita tidak lebih dari benda.”

Lagi, ia hisap dalam-dalam rokoknya lalu menghembuskan ke


udara dengan penuh penekanan. “Selamat Jalan, Kakek.
Doaku menyertaimu.” Batin Al.
2. Siuh
“Cukuplah Kiranya kita punya satu kekayaan yang nyata.
Yaitu disini; Hati.”

Alya Girija Awindya, langkahnya tergesa-gesa


membawa setumpuk kertas menuju ruangan Sekretariat
BEM. Wanita cantik itu nampak kalut dengan laporan-laporan
kegiatannya. Akhir tahun ini, BEM disibukkan dengan
beberapa acara dan event yang diadakan. Alya, sebagai
seseorang yang memegang posisi penting di BEM mau tidak
mau harus membuat laporan-laporan dan proposal yang
menyibukkan dirinya beberapa minggu ini. Tidak bisa tidak,
wanita itu adalah sekretaris BEM dan ia harus membagi
waktu antara tugas perkuliahan dan laporan. Ia harus
menjaga staminanya.

Alya sendiri tidak tahu mengapa, sedari kecil ia tidak seperti


teman-teman kebanyakan. Alya begitu rapuh dan sangat
mudah terserang penyakit jika tidak pintar-pintar menjaga
kesehatannya.
“Gimana?” tanya Mas Dino menyambut kedatangan
Alya di Sekre.

“Ini, LPJ acara seminar kemarin, Mas.” Kata Alya


memberikan setumpuk kertas di genggaman kanannya. “Ini
proposal Pentas Seni akhir tahun,” sambungnya lagi
bersamaan memberikan proposal di tangan satunya lagi.

Mas Dino melirik-lirik proposal yang diberikan Alya.


Menelaah kembali beberapa bagian dalam proposal.

“Sempurna, Terima Kasih ya, Alya.” Senyum Mas


Dino mengembang, ia tampak lega dan puas dengan proposal
pemberian Alya.

“Oh iya.. kamu sudah hubungi sanggar seni fakultas?”

“Belum mas, kemarin aku sempat singgah di sana,


tapi ruangnya terkunci.” Jelas Alya

“Yaudah, kamu duduk dulu. Saya tinggal sebentar,


Meminta tanda tangan pembina dan sponsor.” Mas Dino
nampaknya sadar juga bahwa Alya nampak keletihan.
“Iya, Mas.” Kata Alya lalu beranjak duduk di kursi
tamu Sekre. Alya mengatur napas dan mengelap beberapa
tetes keringat di wajahnya.

Mas Dino beranjak, langkahnya nampak tegas, tak salah jika


lelaki itu menjadi orang nomor satu di fakultas ini. Begitu
kesimpulan Alya.

Alya memang baru pertama kali menjadi pengurus di sebuah


organisasi, paling jauh, wanita itu menjadi bendahara kelas di
SMA dulu. Lebih dari itu ia tidak pernah mencoba lagi untuk
berkecipung di dunia organisasi. Namun, kali ini ia terpilih
menjadi sekretaris BEM oleh Mas Dino, sungguh sesuatu
yang membanggakan bagi Alya.

Tiba-tiba pintu Sekre terbuka lagi, Alya menoleh. Mas Dino


berdiri tepat di ambang pintu.

“Alya..”

“Kamu tahu Al? Ketua sanggar kita.”

Alya memicingkan matanya, mencoba mengingat nama yang


disebut Mas Dino.
Alya menggeleng tanda tak tahu.

“Hati-hati ya, kamu harus sabar menghadapi


mereka,” Pesan Mas Dino, lalu dengan tergesa-gesa pergi
meninggalkan Alya.

“Mm.. Mas??” Alya memanggil Mas Dino, namun


terlambat Mas Dino tak mendengarnya.

“Hati-hati? Sabar?” Alya menggit bibirnya, mencoba


mencari makna pesan terakhir Mas Dino.

“Ada apa dengan Sanggar? Kenapa aku harus


berhati-hati? Bukankah anak-anak kesenian itu terkenal
dengan sisi humanisnya? Terlepas dari penampilan mereka
yang urakan. ” pikiran-pikiran itu sukses memenuhi
kepalanya.

“Al sang ketua sanggar? Siapa orang ini?”

...
Al sedang berada di sanggar lukis. Salah satu divisi yang di
kelolanya. Ia memang sedang suka melihat orang-orang yang
menumpahkan idenya dengan coretan-coretan di atas
kanvas. Baginya keindahan itu ada dimana-mana. Secara
nurani ia bisa melihat keindahan asap rokok yang dikeluarkan
beberapa orang di ruangan, atau melihat seorang polantas
membantu seorang buta menyebrang jalan agar terhindar
dari kecelakaan.

Keindahan baginya hidup. Gunung-gunung menjulang tinggi,


itu keindahan. Perjalanan mentari dari ufuk barat ke ufuk
timur, itu keindahan. Bahkan ayuhan semangat kaki tukang
beca menjalankan becanya adalah keindahan. Keindahan ada
di mana-mana. Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan
begitu indahnya. Tapi kenapa kita manusia serakah
menebangi pohon-pohonnya? Menembaki binatang-
binatangnya? Mungkin memang benar sebagian kita
menyimpang dari tujuan Adam dan Hawa diciptakan. Kita
mangkir dari tugas “Khalifah” itu sendiri.

Tahun ini adalah tahun bangkitnya kesenian di kampus Al.


Begitu banyak mahasiswa baru yang mendaftar ke UKM
Kesenian. Tak seperti terdahulu, masa ketika Al menjadi
Mahasiswa Baru, masa itu mahasiswa lebih tertarik dengan
UKM “Atas” di banding dengan UKM kesenian. Masa ketika
Pak Darmo pembimbing kesenian bersedih hati, dari sekian
ratus mahasiswa baru, hanya ada tiga orang yang mendaftar
UKM Kesenian.

Puas dengan melihat-lihat dan menikmati lukisan-lukisan


setengah jadi yang sedang di kerjakan teman-temannya, Al
kembali ke ruang sekre. Rasanya ia perlu secangkir kopi.

Sembari menunggu Dispenser memasak air, Al memutuskan


mendengarkan musik dan duduk kursi panjang yang biasa
dijadikan teman-teman UKM kesenian untuk tidur di kala
bolos atau kosong jam kuliah.

...
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, Alya beranjak menuju
kantin. Secangkir Capuccino dingin rasanya sempurna untuk
mendinginkan kepalanya. Di kantin ia bertemu dengan
teman-teman, Bima sang aktivis, Putri sang pesolek, juga
teman baiknya Dilla sedang duduk di sebuah meja.

Setelah menyapa dan sedikit berbincang, Alya sempatkan diri


untuk bertanya sesuatu hal yang telah mengganggu
pikirannya sedari tadi. Alya bertanya tentang Al. Mengapa
Mas Dino seolah memperingatkan Alya untuk bersabar
menghadapi sosok Al.

Dari semua keterangan yang diberikan oleh teman-


temannya. Sampailah Alya kepada sebuah kesimpulan,
bahwa Al adalah seorang yang tidak bersahabat. Seorang
pembuat onar, juga keras.

Putri dan Dilla mengetahui sosok Al karena pernah satu kelas


di mata kuliah Pra-Sejarah. Bagi mereka Al mempunyai
stigma buruk, oleh sebab pernah membangkang kepada Pak
Barmono.
Sedang dari Bima, Alya mendapat keterangan lain tentang Al.
Al adalah seorang yang cukup dikenal dari kalangan aktivis
kampus. Ia sering turun ke jalan, berdemonstrasi di beberapa
gerakan. Bima pun tidak begitu mengenal Al, ia hanya
sekedar tahu dan beberapa kali pernah berbincang dengan
lelaki itu.

Namun, bagi Alya itu menggiringnya pada sebuah opini buruk


terhadap Al, lelaki keras. Begitu pikirnya.

Meski satu jurusan dengan Al, Alya sendiri belum pernah


bertemu langsung dengan sosok lelaki yang sedang
membebani pikirannya itu. Diperkuliahan, Disetiap acara
kampus lelaki itu tak pernah muncul, bahkan di acara KBM
yang notabene semua mahasiswa jurusan diwajibkan untuk
ikut serta, Al juga tak ada.

SEKRETARIAT UKM KESENIAN.

Puas mencari tahu tentang sosok lelaki misterius itu,


bagaimanapun juga Alya harius menemui Al. Karena ia butuh
UKM Kesenian untuk mengisi salah satu acara di Festival
akhir tahun ini.
Alya berdiri didepan pintu,” RUANG KESENIAN” begitu tulisan
papan di atas pintu. Alya mengatur napas, mencoba
meredam ketakutannya akan sosok Al. Alya mengintip dari
celah jendela dan mendapati seorang yang sedang tertidur di
sebuah kursi panjang.

“Al,” kata Alya spontan.

Wanita cantik itu mengintip lagi, memperjelas apa-apa yang


ada di ruang kesenian. Kali ini ia melihat karya Mural yang
dilukiskan di dinding utama Sekre dengan tulisan “Seni
adalah Hidup.” Disebelah Kursi tempat seorang tertidur,
terpajang beberapa gitar dan alat-alat musik lainnya, sedang
disudut seberang ada sebuah almari besar yang berisi buku-
buku warna-warni yang tersusun sangat rapi. Ruangan itu
begitu artistik, bersih, dan tampak menarik.

Seketika, terdengar dehem dari seseorang di belakangnya


yang spontan membuat Alya terhenyak.

“Cari siapa, Mbak?” tanya suara itu.


Alya menoleh dan mendapati seorang lelaki berambut
gondrong dengan sedikit kumis tipis menghiasi wajahnya.
Dari penampilannya, Lelaki itu nampak kurang bersahabat.

Alya menoleh, “Ee.. hmm..” Gumamnya. Alya masuk ke ruang


imajinya, membayangkan lelaki kasar yang akan segera
membuatnya celaka. Pikiran-pikiran yang telah didengar dari
teman-temannya di kantin membuatnya ber-ekspetasi terlalu
jauh tentang anak-anak kesenian.

Lelaki itu tersenyum sinis, mendapati Alya yang gugup


berhadapan dengannya.

“Cari Al?” kata lelaki itu menebak.

Alya mengangguk pelan.

“Ya sudah, sini saya panggilkan, Mbak.” Balas lelaki itu, lalu
membukakan pintu Ruang kesenian.

Tanpa sadar, Alya mengikuti saja langkah lelaki itu masuk ke


ruangan kesenian.
“Al..” panggil lelaki itu sembari menggoyangkan tubuh
seorang yang sedang tertidur.

“Al..”
“Al..”

Tubuh lelaki itu tersentak, spontan ia bangunkan tubuhnya,


lalu dengan sigap memperhatikan sekitar. Lelaki itu begitu
waspada. Membuat Alya mundur beberapa langkah, Alya
terkejut dengan reaksi spontan seperti itu.

Gambaran sosok Al yang keras dan tak bersahabat yang telah


ditanamkan teman-teman Alya di kepalanya, benar-benar
menyempurnakan ketakutan Alya di hadapan Al.

“Tenang... Ada yang nyariin nih,” kata lelaki yang membawa


Alya ke ruangan.

Al tersadar, mendapati dua orang yang sedang berdiri di


depannya.

“Tuh, Al sudah bangun, Mbak.” Kata lelaki itu tersenyum


ramah, lalu beranjak meninggalkan Alya sendirian bersama
Al.
Sejenak, Alya perhatikan Al yang baru saja berdiri. Lelaki
tinggi dengan rambut yang diikat satu ikatan kebelakang. Di
pergelangan tangannya terdapat gelang-gelang warna-warni.
Beginikah Sosok Al? Sang ketua UKM Kesenian itu?

“Maaf, saya tertidur. Mbak.” Kata Al yang langsung menuang


air yang tadi telah ia panaskan untuk secangkir kopinya,
membelakangi Alya.

“Ada perlu apa, Ibuk sekretaris BEM kita bertemu saya?”


lanjut Al lagi memutar badannya, dengan dua cangkir kopi di
genggamannya.

Alya masih tak bergeming.

Dengan sangat dingin Al memandangi Alya dari ujung sepatu


hingga ujung rambutnya. Hingga sampai pada satu titik, Al
masuk menusuk mata Alya. Kaki Alya terpaku, bibirnya
membeku, sepasang mata indahnya kosong ke arah Al.

“Kopi?” tawar Al memberikan secangkir kopi di


genggamannya. Alya mencoba tersenyum untuk itu.
“Kok kamu tahu saya sekretaris BEM?” Alya mencoba
mencairkan suasana hatinya.

“Jika saya tidak tahu perihal itu, berarti, sama saja saya
adalah termasuk orang-orang yang khianat. Sebagai seorang
yang berada di bawah naungan kepengurusan BEM kampus.
Bukankah saya harus menghormati para Eksekutif kampus
saya?” Jelas Al, “Silahkan duduk, Mbak.” Lanjutnya lagi

Alya beranjak duduk. Ia cermati lagi seorang yang sedang di


hadapannya itu.

“Diminum, Mbak.” Kata Al tersenyum dingin

Masih dengan kebimbangan, Alya perhatikan lagi cangkir


pemberian Al.

“Tenang saja, saya tidak menaruh racun di sana.” Kata Al.

Mendengar respon itu, Alya spontan menggelengkan


kepalanya.

“Tidak.. tidak. Bukan itu maksud saya,”


“Jadi?”

“Saya hanya terkejut dengan cangkir ini, belum pernah


diberlakukan seperti ini.” Jelas Alya

“Kopi. Kopi itu.. Namanya Wamena. Dari Timur, Papua.


Teksturnya kasar, dengan rasa yang memagut lidah. Tiada
yang lebih sempurna untuk menyambut orang sepenting
anda dengan segelas kopi.” Terang Al

Mendengar penjelasan itu, Alya mencoba menyesapi kopi


pemberian Al. Meski ia tidak terlalu suka dengan kopi, namun
untuk menghargai Al dan membangun kesan emosional yang
santai. Ia sesapi juga cangkir itu.

Tak banyak yang masuk ke dalam mulutnya, ia merasakan


pahit yang sepahit-pahitnya kopi. Bahkan tak ada sedikitpun
manis yang dipindai oleh lidah Alya. Raut wajah Alya
berubah, menahan pahit yang belum pernah ia coba dari kopi
sebelumnya.

Al hanya tersenyum dingin.


Cepat-cepat Alya telan kopi itu. Meski lidahnya menolak,
namun dengan terpaksa ia telan kopi pemberian Al. Namun
celakanya, Al sadar akan reaksi Alya yang menahan
kepahitan.

“Bagaimana?” tanya Al

Alya hanya mengangguk dan berusaha tersenyum.

“Saya tidak tahu, bahwa anda tidak suka dengan kopi


Wamena. Jika boleh, biarkan saya menyuguhkan kopi lainnya
untuk menemani obrolan kita.”

“Ti.. tidak usah. Saya hanya sebentar.” Potong Alya cepat-


cepat

“Jangan begitu, Mbak. Anda harus mencoba kopi saya kali


ini.” Bantah Al tidak setuju penjelasan Alya. Lalu beranjak lagi
meracik kopi yang berada di dalam toples kecil disamping
Dispenser.

Alya yang masih di kuasai rasa takut dan waspada terhadap


Al tidak bisa berkata apa-apa. Bagaimana tidak, seumur
hidup ia baru kali ini berhadapan langsung dengan orang
yang mempunyai aura jahat sekuat Al.

Al datang lagi dengan cangkir lain di tangannya. Dan meminta


Alya mencoba kopi yang satu ini.

“Gayo, dengan takaran “Surga”. Begitu kami biasa


menyebutnya. Cobalah.” Kata Al mempersilahkan

Aku kesini bukan sebagai penyicip kopi. Gerutu Alya dalam


hati.

Wanita lugu itu memaksakan juga mencicip cangkir yang


baru. Bagaimanapun Alya merasa perlu mengikuti perkataan
Al, mungkin hal itu satu-satunya jalan bagi Alya untuk lebih
santai dengan Al.

Kali ini kopi pemberian Al berbeda. Meski Alya tidak suka


dengan kopi, tetapi yang satu ini berasa sedikit nikmat.
Takaran kopi Gayo dan Gula Aren yang sempurna sudah
memikat lidah Alya. Ini tidak seperti kopi buatan ayah
dirumah, juga tidak seperti kopi sachetan yang biasa ia beli di
toko-toko.
“Bagaimana?” tanya Al

Alya tersenyum, “Terima kasih,”

“Alya, Alya Girija Awindya.” Kata Alya menyodorkan jabat


tangannya sebagai perkenalan.

“Al, Andalas Rizki Pratama” Al menyambut jabatan tangan


Alya

Alya memperbaiki posisi duduknya, ia ingin membangun


suasana serius dengan Al. Sang ketua UKM Kesenian.

“Saya kesini untuk memberitahu mandat dari Ketua BEM


kita, UKM Kesenian diminta untuk mengisi divisi musik,
Teater, dan pembacaan puisi di acara Festival Akhir tahun
kita.” Terang Alya

“Baiklah, saya akan sampaikan pada teman-teman kesenian,


nanti.” Kata Al dingin

“Iya. Tapi, Ketua BEM meminta saudara sendiri menjadi


koordinator acara.”
“Kenapa harus saya? Saya rasa ada begitu banyak teman-
teman mahasiswa lain yang lebih mampu untuk menghandle
acara ini.”

“Entahlah, Al. Ini permintaan ketua BEM sendiri.”

“Jika saya menolak?” Al berkata-kata dengan dingin

“Sebaiknya diusahakan, Al. Tidak ada yang begitu mengerti


dengan acara ini, kami berharap saudara bersedia.”

“Saudari Alya yang terhormat,” Al mengubah posisi


duduknya, “Sampaikan pada saudara Dino, saya menolak
untuk menjadi koordinator acara. Dan kami, dari pihak
kesenian, Akan membantu penuh dalam mengirim
mahasiswa kesenian untuk mengisi dan mensukseskan acara
Festival tahun ini. Tapi untuk permintaan kedua, saya tidak
bisa mengabulkannya.” Terang Al dengan tenang

Betul apa yang dikatakan orang-orang, Al tidak bersahabat


dan keras kepala. Begitu kesimpulan Alya.

Hening sejenak.
“Ada yang lain?” Al memecahkan keheningan

Sekarang Alya kesal dibuatnya. Ia merasa tak dihormati dan


dihargai. Dan pertanyaan ini seolah sebuah pengusiran
tersirat akan dirinya.

“Tidak, Terima kasih. Akan saya sampaikan kepada Mas


Dino.” Kata Alya kesal, lalu segera beranjak dari kursinya.

“Alya..” panggil Al, yang membuat Alya menghentikan


langkahnya.

“Sampaikan salamku, untuk Dino.” Teriak Al

...
3. Kopi
“Untuk apa sayap, kalau langit hilang dari ingatan. Untuk
apa akal & pikiran, kalau membiarkan diri dikendalikan
orang, golongan, dan iklan-iklan.”

Dari Ruang Kesenian, setelah mengambil daypack


dan buku kuliah. Al langsung menuju Ruang Kuliah dan
masuk kelas Sejarah Kontemporer. Langkah Al tertahan usai
melewati pintu kelas. Lelaki berambut gondrong itu melirik
jam dinding. Satu kelas menyaksikan Al. Bu Rani
memicingkan matanya. Al sadar, ia melebihi batas toleransi
keterlambatan masuk kelas, karenanya ia siapkan diri untuk
diam dan mengangguk beberapa kali saja. Seisi kelas terdiam,
menantikan adegan selanjutnya yang akan menjadi begitu
apik tersebut.

“Bolehkah saya ikut kelas, Bu?” Al putuskan untuk memulai


dialog. Memecah keheningan. Suasana kelas kian
menghening, jangankan bunyi deritan kursi atau bunyi kecil
lainnya, hembusan napas penghuni kelas pun seolah tak ada.
“Kamu mau kuliah?” kata Bu Rani dengan senyum sinis
kentalnya. Tatapannya menelusuri Al dari ujung kaki hingga
ujung rambut.

“Menurut kalian?” Bu Ani mencari dukungan seisi kelas. “Si Al


ini mau kuliah atau mau naik gunung?” riuh tawa seisi kelas
pecah, ketegangan yang sempat membelenggu akhirnya
terlepas juga. Mahasiswa-mahasiswa itu mendukung Bu Rani.

Al terdiam, berdiri di tengah kelas, ia sadar akan


keterlambatannya.

Pintu terbuka, tak seperti biasanya, Alya dan Dilla memasuki


kelas. Dua gadis cantik itu harus memenuhi utang
perkuliahannya yang minggu kemarin; mengikuti seminar dan
tak bisa mengikuti kelas Bu Rani seperti dengan jadwal
biasanya. Dan hal itu membawa Alya dan Dilla harus
mengikuti jadwal kelas lainnya sebagai pengganti kelas
jadwal mereka. Lebih singkatnya, ini adalah kuliah tambahan
dari Bu Rani. Bu Rani terkenal dengan dosen yang sangat
ketat dan tegas
Sial bagi Alya dan Dilla, Sang sekretaris umum BEM dan
pengurus HMJ. Mereka datang terlambat juga. Dengan wajah
patuh yang meminta pengampunan, keduanya menundukkan
kepala.

Bu Rani yang menyadari bahwa Alya dan Dilla harus


mengikuti kuliah tambahan hari ini, lantas mempersilahkan
dua gadis cantik itu duduk. Ia tak ingin urusannya dengan Al
terganggu oleh sebab Alya dan Dilla.

“Lihatlah dirimu.. kuliah terlambat, rambut acak-acakan,


kalung, gelang, celana sobek-sobek, kemeja gak dikancing,
dan semua keurakanmu ini,” Bu Rani kembali kepada Al.
Amarahnya semakin menjadi ketika tatapan Al tajam
menusuk dirinya, “Dan kamu masih mau bilang mau ikut
kuliah?”

“Tidak sekalian anda komentari kuku saya?” Al putuskan


untuk melawan. Ia akui kesalahannya perihal terlambat
memasuki kelas, namun diluar hal itu, ia tidak terima
komentar Bu Rani.
“Kalau ingin mendandani saya, jadilah guru SD. Jangan dosen.
Sebab kuliah itu transfer ilmu, bukan pembentukan karakter
seperti SD hingga SMA. Anda tidak punya hak untuk
membentuk penampilan saya!”

“Kamu!! Keluar!!!” Bu Rani kehabisan kata-kata. Dan


pengusiran adalah senjata andalannya saat merasa
dipermalukan di depan mahasiswanya sendiri.

“Bagaimana bisa anda melakukan itu? Anda tidak punya hak


untuk mengusir saya, hanya karena penampilan saya tak
dapat memuaskan anda. Tidak bisa!”

“Kamu terlambat! Saya punya hak untuk tidak


menyertakanmu di kelas,” kata Bu Rani dengan nada
sentimen, “Keluar!” hardiknya.

Tertebak, Al diusir dari kelas. Dan ia menuruti perintah-


perintah Bu Rani. Dengan dingin ia langkahkan kakinya
menuju pintu.

Telah keluar sang pembuat onar itu dari kelas, Belum tenang
napas Bu Rani, tiba-tiba Alya berdiri di tempat yang sama
dengan saat ia masuk tadi, Alya membelakangi pintu, lalu
membungkukkan badan ke arah Bu Rani.

“Maaf, Bu. Saya juga terlambat. Permisi.”kata Alya sebelum


ia meninggalkan kelas.

....
Ruang Sekre BEM.

Sehari setelah Al melawan di kelas Bu Rani. Berita


tentang Alya di lingkungan BEM sudah meluas bak jamur di
musim penghujan. Nyaris semua orang tahu, apa yang
dilakukan Alya tempo hari yang lalu. Nampaknya Bu Rani
tidak terima atas perlakuan Alya, Bu Rani membawa kasus ini
ke Dekan Fakultas dengan tuduhan “Alya bersekongkol
dengan Al, untuk mempermalukan Bu Rani.”

Tentu, sebagai seorang dengan posisi penting di jurusan, Alya


membuat namanya tercoreng. Kasus ini sampai dengan
mudah di telinga dosen-dosen, semua membicarakan Alya
dan Al. Tak terkecuali Pak Genta, sebagai pembina BEM
Fakultas ia sangat menyayangkan sikap dan perilaku Alya
yang tidak mencerminkan seorang yang penting.

Kawan-kawan Alya di Unit Eksekutif itu, kaget mendengar


apa yang telah Alya lakukan di kelas Bu Rani. Prestasi dan
rekam jejak Alya yang bersih, membuat sesuatu yang terjadi
tempo lalu menjadi terasa sebagai sesuatu yang cukup
membuat mereka bertanya-tanya. Alya seolah menunjukkan
perilaku yang asing dan cenderung aneh, itu seperti bukan
Alya.

“Apa yang kamu pikirkan, Alya?” tanya Mas Dino. Menunduk


sembari mengusap ponselnya.

“Aku tidak tahu. Aku beranjak dan meninggalkan kelas itu


begitu saja. Aku merasa jika dia diusir dari kelas karena
terlambat, apa bedanya denganku? Kejadiannya begitu
cepat,”

“Apakah kamu memang sudah mengenal Al?”

“Belum, bahkan ini pertama kali aku satu kelas dengannya.


Itupun, karena kelas Bu Rani tempo lalu adalah kelas
tambahan.”

“Yakin?” kata Mas Dino merasa tak percaya

“Aduh, Iya Mas. Pertama kali bertemu dengan Al karena Mas


yang Minta aku ke UKM Kesenian kemarin. Selain dari itu,
aku tidak pernah bertemu dengannya.”
“Astaga, Alya.. Tapi gosipnya kamu dan Al seolah sudah saling
mengenal lama, orang-orang berpikir termasuk dosen-dosen,
tentang kalian bekerja sama.” Kata mas Dino prihatin dengan
keadaan Alya.

“Ini mencoreng namamu Alya.” Lanjut Mas Dino

“Jadi gimana, Mas? Aku mesti gimana?” Alya nampak


tertekan dengan keadaan. Ia cemas dengan nasibnya.

Mas Dino menghirup napas, mencoba menenangkan diri,


begitupun Alya.

“Nanti kita lihat perkembangannya, Yang terpenting sekarang


kamu temui Pak Genta. Jangan khawatir, kami bersama
kamu.”

...
RUANG PEMBINA BEM.

Alya dan Dilla sudah berada di ruang pembina BEM. Dilla


hanya berani mengantarkan Alya hingga di depan pintu
ruangan, setelah itu Alya sendirian. Reaksi Pak Genta
tentunya sangat menyayangkan kasus Alya dan Al. Beliau
mendengarkan kronologi kejadian tersebut dengan saksama.

Setelah mendengar cerita Alya, Pak Genta terdiam sejenak,


lalu hanya berkata “Nanti, kita lihat perkembangannya. Kamu
bawa Al ke sini.” Kalimat itu tidak menenangkan suasana hati
Alya.

Tak perlu waktu lama, Alya dan Dilla langsung menuju Ruang
Kesenian, salah satu tempat yang kemungkinan Al berada di
sana. Namun usaha mereka nihil. Al tidak berada di sana, dan
orang-orang di ruang kesenian tidak melihat Al sedari pagi.

Usaha Alya tak sampai disitu saja, usai mengikuti kelas


Multimedia, yang jadwalnya sesudah makan siang, Alya
kembali lagi ke ruang kesenian. Namun sama saja, Al tidak
ada di sana. Begitupun di ruang MAPALA yang kata dari salah
seorang teman Al di kesenian, lelaki itu sering nongkrong di
sana.

Alya sudah lelah, tekanan dan hal-hal yang terjadi seharian


ini membuatnya tak enak badan. Akhirnya, Alya memutuskan
untuk pulang, besok baru ia akan mencari Al lagi.

Di jalan menuju halte, tempat biasanya Alya menunggu Bis


Kota. Dari kejauhan, Alya melihat seseorang yang sedang
duduk sendirian di taman kampus.

“Al,” kata Alya spontan melihat seseorang yang sedang


mendengarkan musik melalui headsetnya sendirian.

Lelaki itu sejenak dapat menimbulkan kelegaannya. Alya


berharap Al dapat menjelaskan kasus yang menimpanya
kepada Pak Genta dan meminta maaf pada Bu Rani.

Alya menghampiri Al. Lantas langsung duduk di kursi depan


lelaki itu.

“Kita perlu bicara,” kata Alya


“Oh, Kamu. Alya, Alya Girija Awindya. Ada perlu apa? “ kata
Al menggeser letak duduknya dan mempersilahkan Alya
duduk.

Lagi, Al pandangi gadis yang baru duduk di depannya dengan


tatapan dingin. Al sadar, ada sesuatu yang ingin dibicarakan
gadis itu. Yang membuatnya mematikan musik yang
mengalun di telinganya.

“Ini mengenai kita dan Bu Rani.”

“Oh, ada apa?” sahut Al santai

“Tidakkah kamu serius kuliah disini?” tanya Alya serius

“Maksudmu?”

“Pak Genta memintamu untuk menghadap, Al. Aku dan


kamu, kamu tahu? Kita sudah mendapat masalah besar, kita
perlu meminta maaf pada Bu Rani,”

Al tersenyum sinis, “Jadi?”

“Kalau memang kamu tidak serius, idealis, tidak begitu peduli


dengan nilai, ya sudah. Itu masalahmu, jangan sertakan aku.”
“Aku belum mengerti maksudmu,” kata Al.

“Bu Rani, Pak Genta, dan dosen-dosen lainnya meminta kita


menghadap Al. Aku sudah berusaha untuk meminta maaf
kepada Bu Rani, namun beliau ingin bertemu denganmu.”
Kata Alya kesal, “Tolonglah! Al, permasalahan kita.”

“Kita?” Al memotong

“Ya, kita. Aku dan kamu, siapa lagi?” Alya berkata dengan
sentimen. “Semua ini karena ulahmu, ulah kita. Kini
semuanya menjadi runyam.”

“Bukan kita. Tapi anda, Sekretaris BEM yang terhormat.


Posisi dan keadaanmu yang terhormat itu membuat sekecil
apapun perbuatanmu menjadi perbincangan. Tidak ada aku
dalam kita yang kamu maksud,” Al nampak tersinggung
dengan argumen Alya. “Dan lagi, kenapa kamu menyudutkan
aku?” kata Al menatap Alya tajam

“Aku ingin kita bertanggung jawab atas apa yang telah kita
lakukan,” balas Alya
“Aku keluar dari kelas Bu Rani hari itu adalah aku dan
keputusanku, aku tidak mengajakmu. Tidak pula
menyertakanmu. Aku keluar dari kelas adalah sesuatu, dan
kamu keluar dari kelas adalah sesuatu yang lain. Aku dan
kamu adalah bukan kita. Berhentilah menyudutkanku seperti
seolah semua ini disebabkan oleh aku.” Jelas Al.

Emosi Alya tersulut. Nalurinya memberontak ingin melawan.


Ada sesuatu yang siap meledak dan akan keluar dari mulut
Alya.

“Aku dengar kamu suka baca buku, bermain di desa dan


gunung-gunung, seharusnya kamu terbentuk menjadi pribadi
yang penuh cinta dan mengerti akan keadaan sekarang ini,
Seharusnya kau bijak!” Alya mendekatkan tubuhnya
dihadapan Al, “Rupanya palsu! Wajar jika engkau kesepian!”

Alya tidak bisa mengendalikan emosinya, argumen yang


keluar dari mulutnya itu dipengaruhi oleh panasnya
percakapan dan sikap Al yang seolah tak peduli dengan
masalahnya. Alya menghakimi Al lalu melangkah pergi
meninggalkannya.
“Yang terhormat! Alya Girija Awindya!” Al meneriaki Alya.

Alya menghentikan langkahnya sejenak.

“Nanti malam, dalam kesepianmu yang kau lemparkan


padaku,” kata Al sambil berdiri, “Satu, Kau renungkan lagi,
sebenarnya apa salahku dan kau kepada Bu Rani. Dua,
Bacalah buku, cari tahu Socrates, Baru nanti kita bisa bicara
tentang apa itu bijak,” kata Al lagi

Sebelum meninggalkan Al, Alya torehkan sarat perang


dengan tatapan menusuk kepada mata Al yang tak kalah
tajam. Namun di saat seperti itu, wajahnya nampak masih
cantik.

...
“Dalam kesepianmu yang kau lemparkan padaku,”
Kata-kata Al mengikuti Alya ke kamarnya, berkali-kali ia
mencoba melupakan tentang dua hal yang di katakan Al,
berkali itu pula hatinya berontak untuk mengikuti perintah
Al.

Hatinya memenangkan pertarungan malam itu, Alya


menyerah, ia mulai mengingat kronologi kasusnya di kelas Bu
Rani.

Namun, Alya tidak menemukan titik terang, “Apa yang salah


dengan Al hari itu? Bukankah Al diusir karena penampilannya
yang tidak sesuai dengan standar Bu Rani? Lalu Al melawan,
ia berkata-kata bahwa penampilan tidak seharusnya menjadi
tolok ukur seseorang untuk belajar,” tiba-tiba Alya merasa
geli juga dengan kata-kata Al tempo hari lalu, yang
menyudutkan Bu Rani dengan argumen mendandani Al. Alya
tersenyum sendiri, belum pernah ia temukan seorang yang
jiwa keberanian setinggi itu-atau lebih tepatnya jiwa
pemberontak yang amat tinggi.

Lalu, Alya memutar kembali bagian selanjutnya. “Bukankah


Bu Rani jengkel terhadap sikap Al yang melawan. Dan hari
itu, Aku dan Dilla yang notabene mengikuti kulaih tambahan
dan jitu kami terlambat juga, bahkan lebih terlambat
beberapa menit dari Al, mengapa Bu Rani mempersilahkan
kami duduk? Sedang Al diusir karena keterlambatannya?
Bukankah apa yang aku lakukan sedang mencoba bersikap
adil dengan mentaati peraturan yang dibuat sendiri oleh Bu
Rani?”

“Aduh.. Al, apa yang telah kamu lakukan kepadaku?” Alya


spontan mengusap wajahnya, ia cemas sekaligus gemas
dengan permasalahan yang membingungkan ini.

Di satu sisi, ia sejujurnya takut mendapat masalah seperti ini


dan berharap namanya bisa bersih kembali. Namun, di sisi
lain ia tidak menemukan letak kesalahannya.

Pikiran-pikiran rancu itu sudah menguasai dirinya. Alya


menyesapi lagi segelas air putih, untuk menenangkan diri.
Begitu pikirnya.

“Rupanya palsu! Wajar jika engkau kesepian!” seketika


kalimat-kalimat sentimen yang Alya ucapkan kepada Al tadi
sore sukses membuatnya merasa bimbang.
“SOCRATES” Alya mengingat sesuatu yang diucapkan Al
tentang apa itu bijak. Tak perlu waktu lama bagi Alya untuk
membrowsing di kolom search laptopnya.

Socrates, seorang filosof yang paling berpengaruh di dunia.


Seorang yang secara sikap dianggap menjengkelkan bagi
banyak orang dilingkungannya.

Socrates tidak seperti seorang pada umumnya yang merasa


berilmu. Ia tidak menggurui, ia hanya bertanya dan
menjawab kata-kata yang orang lemparkan
padanya.Socrates tidak menyerang, ia membuat orang yang
menyerang merasa terserang dengan tanggapan dan
argumen logis dan tidak bisa dibantah oleh siapa-siapa yang
menggunakan akal sehatnya....
...
...
Malam itu, semalaman penuh Alya terhanyut bersama
pikiran-pikirannya. Mencoba mencari jawaban apakah yang
ia lakukan adalah benar.

...
4. Beda
“Dik, bukankah mencintai seseorang yang punya
kesamaan denganmu mudah sekali kau tunaikan.
Sedang untuk mencintai seorang yang berbeda
denganmu sukar sekali kau lakukan.”

Semalaman suntuk, Alya ternyata tertidur di


mejanya. Bersama tumpukan kertas tentang SOCRATES dan
beberapa tulisan dari Blog Al yang ia cetak semalam.

“Aduh, Mampus!” Jerit Alya setelah melihat jam dinding yang


sudah menunjukkan pukul 9 Pagi.

Tak perlu waktu lama, ia cuci muka sekenanya, memasang


kemeja flanel, lalu mendobrakkan kakinya ke dalam sepatu.
Alya terlambat memasuki kelas Filsafat pagi ini. Cepat-cepat
ia cari Bis menuju kampus.

Sesampainya di kampus, Alya mengintip sedikit ke dalam


kelas Filsafat. Bu Fatimah tengah sibuk memberikan
pelajaran kepada mahasiswa. Dan itu menyebabkan Alya
mengurungkan niat untuk masuk ke kelas, keberaniannya
seolah telah terkuras habis akibat kasus yang menimpa Alya
dan Al. Ia tak mau dirinya di cap sebagai mahasiswa yang
sering terlambat.

Dengan muka yang tidak segar, Alya memutuskan untuk


pergi keluar meninggalkan pintu kelas Filsafat. Jatah liburku
saja yang kupakai kali ini, begitu pikirnya mencoba mencari
pembenaran-pembenaran atas tindakannya.

Di taman- di depan perpus Alya mendapati sosok Al tengah


duduk di sebuah bangku taman tempat yang sama dengan
Alya dan Al berdebat kemarin. Seolah De Javu. Pikiran liar
Alya kembali menghampiri, “Apakah orang ini tidak beranjak
dari tempat itu semenjak kemarin?”

Alya mencoba mendekati, entah mengapa, akibat dari


membaca tulisan Al dan mengikuti perintah Al ia merasa
selangkah lebih mengenal Al.

Tidak membaca buku, tidak mendengarkan musik, Al


terduduk sendirian di taman perpus. Matanya redup,
tubuhnya bergetar sesekali, kepalanya ia hadapkan ke langit
sembari menghisapkan asap rokoknya dalam-dalam. Lalu
menghebuskannya begitu saja tanpa irama.

Al tak menghiraukan lalu lalang orang-orang, juga tak


menggubris kendaraan yang tergesa-gesa lengkap dengan
bunyi klakson yang bersahut-sahut di jalan raya tak jauh di
hadapannya. Hening menguasai tubuhnya. Telah lama ia tak
begini, sorot mata yang biasanya tajam dan menerkam telah
hilang di telan bumi entah kemana. Siapa-siapa yang
mengenal Al akan dengan mudah mengetahui bahwa ada
sesuatu yang terjadi pada lelaki itu.

“ Ada apa? Kenapa tidak menangis saja? “ Fitrah kewanitaan


Alya keluar seketika, menyapa Al yang jelas terlihat kacau
dan berantakan.

“ Semua orang menangis ketika bersedih, dan itu tidak ada


kaitannya dengan kekuatan seseorang. Kamu tidak serta
merta kehilangan kelelakianmu ketika menangis, lantas?
Mengapa tak dilepaskan saja? “ kata Alya lagi
“ Orang-orang menangis ketika sedih? “ tanya Al, ia menoleh
ke arah Alya. Tersenyum, lantas memandangi Alya dari
rambut hingga ujung sepatu.

Alya mengangguk sambil beranjak duduk di bangku samping


Al.

“ Terakhir kali, kapan kamu menangis? “ tanya Al

“ Aku wanita, aku lumayan sering menangis. Dimarahi Ayah,


nilai jelek, dan patah hati pernah membuatku menangis. “
Alya menjelaskan sambil menggoyangkan kakinya agar tetap
terlihat santai mengobrol.

Keduanya menghening, daun-daun di taman berguguran


mengisi jeda mereka.

“Palsu,” kata Al mengembalikan percakapan

“Palsu?” Alya mengulangi

“ Di sana, di jalan, rumah-rumah digusur, pedagang-


pedagang di usir, di jembatan ada anak-anak kelaparan, di
gunung ada sampah berserakan, di timur ada saudara-
saudara diadu domba dan perang, apakah itu tidak
membuatmu sedih? “ tanya Al, yang membuat Alya berhenti
menggoyangkan kakinya.

“ Apa maksudmu? “ Alya menoleh

“ Maksudku, apa kamu tidak sedih melihat semua itu? “ Al


mengulang kalimatnya

“ Iya, Sedih. Lalu? “ jawab Alya sambil bertanya-tanya dalam


hati maksud dari perkataan Al.

“ Lalu, apakah kamu menangis? “ kata Al.

Alya terhenyak.

“ Kamu mungkin sama dengan orang-orang,” lanjut Al. “


kamu merasa sedih tapi tidak menangis ,melihat itu semua.
Kamu dan orang-orang hanya menangis ketika diri disakiti,
dikhianati, atau apa-apa yang buruk menimpamu.”

“Apa yang ingin kamu sampaikan sebenarnya? “ Alya mulai


tidak nyaman meski telah ia ubah letak duduknya berkali-kali.
“Orang-orang tidak adil. Tidak bersungguh-sungguh merasa
sedih pada banyak hal. Kecuali jika sesuatu menimpa dirinya
barulah mereka merasa benar-benar sedih, lalu menangis.
Apa yang lebih egois dari itu? Orang-orang berpura-pura.
Termasuk ketika bersedih, mereka tidak benar-benar sedang
bersedih.”

Alya tersinggung dan spontan beranjak meninggalkan Al.

“Aku wajib malu pada kehidupan, jika merasa bersedih dan


bisa menangis saat diri disakiti namun baik-baik saja melihat
segala kekeliruan yang menyedihkan di dunia ini,” lanjut Al

“Mungkin benar...” kata Alya sambil menahan langkahnya,


“kamu sakit, Al.” Alya beranjak pergi.

“Mungkin benar..” kata Al sendirian. “ Soe HokGie. Dapat


menicntai, dapat iba hati, dapat merasakan kedukaan. Tanpa
itu semua kita tidak lebih dari benda.”

Lagi, ia hisap dalam-dalam rokoknya lalu menghembuskan ke


udara dengan penuh penekanan. “Selamat Jalan, Kakek.
Doaku menyertaimu.” Batin Al oleh sebab kakeknnya
dikampung meninggal dunia.
...
5. Ketiadaan
“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.”

Sore hari yang menggelisahkan, langit Padang sedang


mendung. Kabar berita datang menghampiri Al yang tengah
berada di kontrakannya. Tak salah seharian ini ia
mendapatkan firasat-firasat buruk yang mengikutinya. Ada
sesuatu yang salah dengan instingnya. Al mendapati kabar
bahwa Roni dan Alim dinyatakan hilang di Gunung Marapi.

Setelah kakeknya yang meninggal di kampung, dilanjutkan


lagi dengan berita dua sahabat baiknya yang tersesat di
tengah rimba belantara. Getir sekali ujian yang datang silih
berganti pada lelaki itu.

Memang di penghujung tahun seperti ini cuaca sedang tak


ingin berkawan, ia telah mengingatkan dua sahabat baiknya
itu agar mengurungkan niat untuk muncak tempo hari lalu,
namun dua sahabatnya itu tak mengindahkan. Mereka tetap
bersikeras ingin muncak.
Roni dan Alim, menurut tuturan berita yang ia dapatkan
kehilangan kontak pada Kamis malam, seharusnya dua
pendaki itu sudah turun Jum’at pagi, namun hingga sabtu
sore ini dua lelaki itu tak kunjung berkabar. Diperkirakan dua
pendaki itu tersesat di jalur pendakian pada malam hari,
disebabkan badai yang tak kunjung henti di Puncak.

Tak perlu waktu lama bagi Al untuk segera menuju Basecamp


Marapi, di sana ia bertemu dengan Pak Mori-Pengelola
Basecamp Marapi, dan juga Mas Damar selaku kepala BPBD.
Dua sosok itu memang sudah mengenal Al, karena Al dan
teman-teman MAPALA Kampus kerap membantu menjadi
relawan disetiap terjadi hal-hal genting seperti ini.

Suasana Basecamp riuh ramai, keluarga dari Roni dan Alim


mulai berdatangan. Dengan suasana kalut, ditambah lagi
kedatangan wartawan-wartawan yang mencari berita
membuat setiap orang yang berada disana digerayangi oleh
rasa cemas. Terutama dari keluarga pendaki.

“Al, Izinkan saya ikut mencari,” kata Ayah Roni memohon


kepada Al yang tengah bersiap-siap untuk turun ke lapangan.
“Maaf, Pak. Kami rasa Bapak sebaiknya menunggu kabar di
posko saja,” sahut seorang personel BPBD. “Kami terhubung
melalui radio, dan jika ada perkembangan akan kami
kirimkan informasi segera ke Posko pusat.”

“Tenang, Pak. Roni itu sudah pengalaman dalam hal ini, dia
adalah seorang yang ulung menghadapi hal-hal tak terduga
seperti ini,” kata Al mencoba menenangkan Ayah Roni.

Ayah Roni terdiam. Beliau sangat mengetahui Al, Roni, dan


Alim yang sudah kerap naik turun gunung bersama-sama.

“Al, tolong selamatkan sahabatmu itu.” Pinta Ayah Roni,


nada bicaranya bergetar.

Tak lama setelah itu, datang seorang Ibu paruh baya yang
menangis meraung-raung di dalam Basecamp.

“Pak... tolong selamatkan anak saya,” kata Ibu itu kepada


salah satu personel yang bertugas.

Petugas itu hanya terdiam.


“Kamu!” Ibu itu seketika mengalihkan pandangannya menuju
Al, “Ini semua gara-gara kamu! Kalau kamu tidak
mengajarkan anak saya mendaki gunung pasti semua ini
tidak akan terjadi!!” sembur Ibu paruh Baya itu menghakimi
Al.

Diketahui bahwa Ibu yang menghakimi Al adalah Ibunda dari


Alim. Alim memang berasal dari keluarga yang terpandang.
Dan persahabatan Al dan Alim kerap tak disetujui oleh
Anggota keluaga Alim. Bagi mereka Al bukan seorang yang
baik untuk dijadikan kawan. Dan sial bagi Al, oleh sebab
dirinya, Alim yang Al kenal sebagai anak rumahan itu
menjelma menjadi seorang petualang dan tergila-gila dengan
dunia pendakian. Tak seorangpun menduga bahwa Ibu Alim
langsung mengkambing hitamkan seorang Al atas kejadian
yang menimpa anaknya.

“Tenang, Buk, Tenang.” Tukas Mas Damar melerai Ibunda


Alim yang berusaha menghampiri Al.

Al terdiam dan menunduk. Ia tak dapat berkata-kata


menyaksikan adegan yang sedang menimpanya.
“Ini bukan waktu yang tepat untuk mencari siapa salah siapa
benar,” kata Mas Damar, “Sebaiknya kita semua
menghaturkan doa, dan berusaha dengan sekuat tenaga agar
tidak terjadi apa-apa dengan Anak Ibu,” lanjut Mas Damar
dengan hati-hati.

“Tapi, gara-gar..”
“Cukup!” tiba-tiba Pak Mori memukul Meja
“Kami, semua lapisan yang bertugas disini akan berusaha
semaksimal mungkin mencari mereka, mohon Ibu-Ibu dan
Bapak-bapak di sini untuk tenang, biarkan kami menjalankan
tugas kami.”

“Iya, saya mengerti perasaan keluarga para korban. Tapi ada


sesuatu yang harus segera kita selesaikan,” tambah Mas
Damar

Semua yang ada di ruangan itu menghening. Pak Mori


menjauhkan Al dari kerumunan, mengiringnya keluar.

“Al, Saya harap kamu mengerti,”kata Pak Mori hati-hati, ia


cemas dengan kondisi mental Al.
“Iya pak, saya paham akan situasi seperti ini, termasuk
perasaan para keluarga. Mereka butuh kepastian, itu
manusiawi, jika mereka mencari tempat untuk melampiaskan
kekhawatiran.” Kata Al tenang

Pak Mori tersenyum, rupanya lelaki di depannya itu bukan


pemuda seperti yang ia bayangkan. Lebih dari itu, Al memang
menghadapi semua situasi dengan dingin kepala.

“Yasudah, kamu udah siap, Al?” tanya Pak Mori

Dengan cepat Al mengangguk. Rambutnya yang gondrong ia


ikat jadi satu. Dengan topi lapangan, kemeja flanel, celana
Cargo, sepatu gunung, serta Headlamp. Malam ini, dua puluh
personel yang tergabung dari BPBD, Basecamp Marapi, dan
beberapa anggota komunitas lingkungan akan di kerahkan
untuk mencari Roni dan Alim. Al sesungguhnya sudah cemas
sejak mendapati kabar dua orang sahabatnya itu tersesat.
Namun, Al tahu untuk keadaan seperti ini ia harus tetap
tenang dan menimbang apa-apa yang rasanya perlu ia
lakukan.
Tim mulai bergerak menyusuri lembah-lembah, dengan
formasi “Koloni” begitu biasa tim SAR menyebutnya.
Dipimpin langsung oleh Pak Mori dan Mas Damar. Mas
Damar sadar jika operasi di malam hari dan cuaca yang
sedikit rintik seperti ini tidak akan melancarkan usaha
mereka. Namun, mereka akan berusaha mencari petunjuk-
petunjuk keberadaan Roni dan Alim.

Tiga jam berlalu, Tim yang bergerak sudah mencapai pos dua
pendakian, tempat Roni dan Alim diperkirakan tersesat.
Menurut kesaksian lima pendaki yang turun pada malam itu,
mereka sempat bertemu dengan Roni dan Alim dan berhenti
di Pos dua untuk mengambil jeda, Namun mereka berpisah
dengan Roni dan Alim karena memprediksi badai yang akan
datang sehingga harus mengejar waktu untuk segera turun
dari Marapi.

Semua mata memandang ke segala penjuru. Belum ada


kabar dan tanda-tanda dari Roni dan Alim. Semata suara
angin saja yang terdengar bersahutan bagai burung jantan
merayu burung betina.
Al memandangi hutan sekitar. Ia tampak berpikir keras. Pak
Mori berjalan menyusuri sekitar CampGround pos II, tak ada
satupun petunjuk yang menunjukkan tanda-tanda Roni dan
Alim. Pos II begitu hening, dingin angin gunung menerpa
orang-orang di sekitarnya.

“Gimana, Mar?” tanya Pak Mori pada Mas Damar yang


tengah sibuk membuka petanya

“Kita susuri lereng selatan. Kita bagi tiga tim, sebagian ikut
bersamaku naik, sebagian lagi menyusuri kawasan ini, dan
sisanya membuat pos di sini untuk berjaga-jaga bila ada
kabar.” Tukas Mas Damar,

“Baiklah, aku kawasan sekitar sini, bersama Al dan yang lain.”


Sahut Pak Mori

“Jangan lupa, jika ada perkembangan kabari lewat radio,”


kata Mas Damar pada semua anggota tim

Mereka pun bergerak.

...
6. Sulam
“Jika kau merasa tak punya kemampuan, itu sama saja kau
menghina Tuhan.”

MALAM HARI DI KAMAR ALYA.

Alya, seorang gadis dengan rambut panjang


berombak pulang dengan rasa jengkel menguasai hatinya. Ia
tak habis pikir betapa aneh seorang Al yang membawanya
pada apa-apa yang menimpa dirinya. Alya memang cantik, itu
benar. Dan Alya sadar akan hal itu. Gerakannya lincah
sempurna, dan bila ia tersenyum, nampaklah keindahan lain
dari seorang Alya, berupa lesung pipi dan sebaris gigi putih
yang cemerlang. Semasam-masamnya muka Alya, ia tetap
cantik. Wanita yang begitu menjadi idaman para pria, sudah
banyak teman-teman dan kakak tingkat yang mendekati Alya,
namun ia tak terlalu mengindahkannya, yang terpenting bagi
Alya adalah lulus dari perkuliahan, urusan hati nomor dua.

Sore ini, setelah pertemuannya dengan Al di taman, Alya


begitu jengkel dengan sikap Al yang seolah tak peduli dengan
masalah mereka dengan Bu Rani. Al seharusnya tahu dengan
meminta maaf kepada Bu Rani, kasus mereka dapat dengan
cepat selesai. Entah apa yang dipikirkan Al, hingga untuk
meminta maaf bagi lelaki itu bagai sebuah usaha
memindahkan gunung, atau seperti mencari jarum di
tumpukan jerami. Belum pernah ia bertemu dengan seorang
yang jiwa pemberontaknya begitu menggebu seperti ini.

“Apa susahnya meminta maaf?” gerutu Alya tidak pada


siapa-siapa

Padahal, setelah membaca SOCRATES dan beberapa tulisan


Al di blognya, ia selangkah lebih paham cara pikir lelaki itu.
Alya menyadari bahwa di kelas Bu Rani tempo lalu yang
bersalah bukan Al atau Alya, tapi letak masalahnya ada di Bu
Rani yang merasa berkuasa dan berhak mengatur
mahasiswanya dari segala aspek sehingga membuat
keegoisan Bu Rani setingkat lebih tinggi dari mereka.

Namun, bagi Alya biarlah mengalah dalam kasus ini dan


meminta maaf dari Bu Rani agar apa-apa yang telah terjadi
dapat diluruskan kembali. Biarlah dirinya menurunkan
egonya sedikit saja, biarlah dirinya bagai seorang hamba yang
meminta maaf kepada sang penguasa, tetapi dirinya dan Al
terlepas dari masalah.

Lain Alya lain pula Al, lelaki itu tak sudi bila harus
menurunkan egonya, tak sudi juga memohon maaf pada
yang lebih berkuasa. Cara dan sikap Alya dan Al menghadapi
masalah ini sangat bertolak belakang. Lelaki itu terlalu keras
bila harus dilunakkan, terlalu liar untuk dikandangkan, serta
terlalu silang untuk dibulatkan.

Tanpa disadari, sikap dan perlakuan Al terhadapnya lah yang


membuat Alya selalu memikirkan lelaki itu. Bahkan ketika ia
sudah menghakimi dan meneriaki lelaki itu dengan amarah,
namun rasa tak habis pikirnya selalu bisa menguasai pikiran-
pikiran Alya.

Seusai mandi, dengan rambut yang masih basah Alya


pandangi langit senja dari balik jendela kamarnya.
Nampaklah langit yang kuning keemasan di ujung cakrawala,
serta beberapa burung yang mengambang berkoloni di
udara, entah kemana kawanan burung itu terbang, mungkin
mereka pulang. Batin Alya. Seketika kelabat pikiran tentang
Al terlintas lagi di benaknya, Alya berusaha menghapus hal
itu. Namun usahanya sia-sia, pikirannya berserabut,
pertanyaan mengenai Al membelenggu pikirannya.

Hari sabtu seperti ini biasanya hanya dihabiskan Alya dengan


menonton, tapi tidak untuk malam ini, Alya merasa ia perlu
lebih dalam mengorek informasi tentang Al.

Tak perlu waktu lama bagi Alya untuk mencari nama Al di


sosial media. Namun tak satupun hasil yang ditampilkan layar
komputernya merujuk ke Al; Al yang itu, Al sang ketua UKM
Kesenian. Ia cari lagi di media sosial lainnya, berharap sebuah
akun yang bernama Andalas Rizki Pratama itu cocok dengan
Al.

Tak ada satupun akun media sosial yang menampilkan hasil


untuk Al, kecuali Blognya yang berjudul “Sekapur Sirih
Perjalanan”. Bahkan di blognya, Al juga tak menampilkan
kolom Bionya. Seolah tak ada sesuatu yang bisa didefiniskan
dengan kata-kata untuk gambaran tentang Al.

Alya kegemasan sendiri setelah lelah menyortir nama akun


dari kolom pencariannya. Apa mungkin di zaman yang serba
digital seperti ini ada orang seperti Al yang tak tertarik
dengan Sosial Media? Memang banyak teman-temannya
yang tak terlalu tertarik dengan Sosial Media, tapi itu
setidaknya mereka yang membenci sosial media itu punya
juga satu atau dua akun meski tak selalu aktif.

“Apa yang kamu pikirkan, Al?” kata Alya lirih tidak pada
siapa-siapa

Sadar akan usahanya yang sia-sia, akal Alya tak habis sampai
disana, ia membuka halaman UKM Kesenian kampus. Tidak
mungkin Website Resmi kampus tak mencantumkan biografi
ketuanya. Dan Bingo, Alya mendapati profil Al. Nama
lengkap, Tempat Tanggal Lahir, rekam jejak kependidikan,
dan sebuah foto bersama ketika pelantikan pengurus UKM
Kesenian, di foto itu Al tepat berada di tengah, bersama
dengan Pak Darmo dan Kang Hardi ketua UKM yang lama.
Perhatian tertuju pada foto seorang perempuan yang ada
dalam foto tersebut.

“Pinta!!” seloroh Alya tiba-tiba teringat akan sesuatu

Al adalah anggota MAPALA, dan salah satu teman satu


jurusannya yang juga mengikuti MAPALA adalah Pinta. Cepat-
cepat ia ambil Handphonenya lantas langsung mengirim
pesan Whatsapp ke Pinta.

Rasa penasarannya terhadap Al memang sudah di luar


kontrol. Alya merasa ada sesuatu yang tersembunyi dari
lelaki itu. Sesuatu yang berbeda.

....
KEDAI AMKO.

Alya duduk disebuah meja kecil di pojok kedai,


tempat ia berjanji dengan Pinta untuk bertemu. Waktu sudah
menunjukkan pukul sepuluh, itu terbilang sudah larut untuk
seorang yang teratur seperti Alya. Tak lupa, ia juga membawa
setumpuk kertas catatan Al yang ia cetak beberapa hari yang
lalu. Sembari menunggu, Alya membaca catatan-catatan itu
dengan khusyuk. Disadari atau tidak, Pertemuannya bersama
Al justru membuat Alya menjadi pribadi yang gemar
membaca.

MERDEKA
Oleh Andalas Rizki

Terasing, di kota yang bising


Dimana kebenaran kini penjumlahan
Menuhankan keseragaman
Menyingkirkan yang tak sejalan

Berfikir, Adalah Kafir!


Bertanya adalah durhaka!
Seragam adalah paham
Sepakat adalah Tuhan!

Orang-orang berenang di tepian


Sambil berbual tentang penaklukan badai di tengah lautan

Aku biru, tak sedia kau putihkan


Aku elang, tak mungkin kau kandangkan
Aku jati, tak peduli kau melati
Aku tetap seilang, sekalipun engkau bulatkan
Aku liku, tak sudi kau luruskan

Biar hilang, aku nyata.


Biar kecil, aku berdaya.
Biar malang, aku merdeka.
Biar mati, aku ada!

~Kerinci, 2011.

Alya Nampak khusyuk menyelami puisi Al yang ia tulis di


blognya.

Pinta, gadis hitam manis yang sebenarnya sudah lebih dulu


sampai di kedai mengendap-ngendap mendekati Alya. Pinta
memang termasuk ekstrovert, gerakannya begitu lincah dan
kadang ketika tertawa volume Pinta lah yang paling nyaring.
Seorang Ekstrovert sejati.

“Alya!!” kata Pinta kegirangan melihat reaksi Alya yang kaget


akan kedatangannya

Alya menolehkan pandangannya.

“Pinta.. Kamu kok?” Alya kebingungan.

“Aku udah duluan kali, kamunya aja yang lemot,” kata gadis
riang itu bersamaan dengan mengambil posisi duduk di
depan Alya

“Udah lama nunggunya?”

“Lumayan sih, tapi selo, ini kan emang tempat nongkrongku.”


Balas Pinta

“Ini juga tempat kedai kesayangan Al, loh..” lanjutnya lagi

Alya tersenyum sembari melihat ke sekeliling, Pinta adalah


teman satu SMA nya dulu. Rupanya gadis itu sudah tahu
alasan mengapa Alya mengajaknya untuk bertemu.
“Eh, lanjutan kasus kalian gimana?” tanya Pinta penasaran

“Hmm. Itu masalahnya, Aku gak habis pikir sama temanmu


itu, si Al. Aku udah temuin Bu Rani, tapi Bu Raninya mau
ketemu langsung sama Al. Mungkin kalo Al ngikut sama Bu
Rani masalahnya gak bakalan serumit ini,” jelas Alya

“Kamu sama Al satu UKM di MAPALA, aku mau kamu


ceritain Al itu orangnya gimana? Kok bisa-bisanya dia gak
terlalu peduli sama masalah seperti ini, aku takut nantinya
kalau gak cepat diselesaikan malah Al sama aku bisa di Skor
dari kampus.”

Pinta hanya tersenyum, ia menyimak baik-baik cerita Alya. Di


kepalanya terdapat banyak klarifikasi yang akan ia ceritakan
pada Alya.

“Jadi letak masalahnya di mana?” tanya Pinta memancing


Alya untuk bercerita lebih lanjut lagi

“Iya, masalahnya aku mau Al ikut denganku meminta maaf ke


Bu Rani. Sebelum kasus ini Bu Rani laporkan ke sidang
kampus.” Alya nampak murung, “Sejujurnya aku tahu, bahwa
tidak ada yang salah atas perlakuan Al tempo lalu, justru Al
benar. Namun, apa susahnya bagi Al untuk menurunkan
sedikit egonya untuk meminta maaf ke Bu Rani.”

“Bentar, bentar..” kata Pinta memotong, lalu beranjak pergi


meninggalkan Alya yang keheranan melihat tingkah Pinta

Lelagu di AMKO berputar mengisi seluruh ruangan.

“Gayo Arabika. Mbak Alya.” Kata seorang pegawai AMKO


sambil meletakkan dua cangkir kopi di meja Alya.

“Siapa yang memesan kopi?” Batin Alya, tak lama setelah itu
Pinta muncul dari balik pintu arah toilet dan kembali menuju
meja Alya.

“Masalah selalu ada, akan aku selesaikan satu, dua, tiga


masalah dan sebanyak apapun. Hanya, pertama, kopi dulu.
Al sering bilang begitu kalo lagi ada masalah hehe,” kata
Pinta sambil tersenyum.

“Aku mungkin gak bisa bantu kamu bujuk Al untuk ngikutin


apa yang kamu mau. Tapi aku bisa ceritain sebenarnya Al itu
adalah tipe orang yang kayak gimana.” Kata Pinta
membenahi posisi duduknya.
“Lanjutkan, Nta.” Alya menyimak.

“Al, mungkin kamu baru tahu dia. Seseorang yang keras


kepala, dan cenderung skeptis terhadap apa-apa yang
dihadapkan dengannya. Ia sering disebut pelawan, tukang
buat onar, Anarkis, dan Urakan. Tapi itulah sisi otentik
seorang Al. Yang kamu bahkan aku nggak bakal dapetin dari
orang-orang di kampus kita. Al itu Humanis, ia selalu
menyikapi sesuatu dari sisi kemanusiaannya.”

Alya menyimak dengan saksama setiap kalimat yang di


sebutkan oleh Pinta.

“Aku, di awal bertemu dengan Al, sama seperti kamu. Juga


sama seperti teman-teman kampus kita. Aku memandang
dirinya terlalu anarkis untuk dijadikan kawan, tapi setelah
menjalani, menyelami sosok Al di MAPALA, dipendakian, di
kedai ini, di UKM Kesenian, aku jadi paham bahwa Al adalah
seorang yang kritis, yang humanis, namun kematangan
emosionalnya yang kurang, menurutku begitu sih.”

“Al itu pembuat onar? Iya, bagi orang Al adalah seorang


pembuat onar dan pemberontak. Tapi, Al melakukan semua
itu karena sebuah alasan. Alasan yang logis bila kita bisa
mendalami lagi apa yang ia lawan, apa yang ia perjuangkan.
Bukan Al yang gila, tapi justru sebenarnya kita lah yang tidak
waras. Lingkungan kita sudah banyak menyimpang dari
seharusnya.” Jelas Pinta, “Dan kita biasanya terbuai begitu
saja mengikuti lingkungan yang gila ini. Tapi berbeda dengan
Al, ia memutuskan untuk melawan. Melawan apa-apa yang
lari dari semestinya, justru malah-malah ketika kita tahu apa
yang Al lawan kita dengan senang hati setuju dengannya,
berdiri bersamanya, begitulah Al.”

Lelagu AMKO berputar silih berganti,mengiringi percakapan


mereka.

“Coba kamu pikirkan lagi apa yang salah dari Al di kelas Bu


Rani? Justru kamu yang akan dibuatnya mengangguk-angguk
setuju,” lanjut Pinta

Alya tersenyum, mendengar cerita Pinta membuat pikirannya


yang haus akan karakter, sikap, dan watak dari Al menjadi
terpuaskan.
“Itu aku udah tahu, Al sendiri yang nyuruh agar aku meneliti
lagi apa yang salah dengan sikapnya tempo lalu,” balas Alya

“Oh iya??” Raut wajah Pinta menunjukkan keterkejutannya,


“Serius kamu?” tanya Pinta lagi

“Iya, Nta. Kemarin di taman kampus aku bertemu dengan Al,


membujuknya untuk meminta maaf kepada Bu Rani. Tapi, Al
seolah tak menghargai usahaku, Aku kesal, Nta. waktu itu aku
meneriaki Al dengan sentimen, lalu memutuskan untuk pergi
dari Al, sebelum aku pergi Al memintaku untuk mendalami
lagi kesalahannya dan aku, juga ia memintaku untuk
membaca SOCRATES, agar lebih tahu apa itu bijak, dia seperti
marah padaku, Nta.” Kata Alya lalu menyesapi kopinya

“Aduh.. Al, apa yang telah kamu lakukan kepada gadis terbaik
di kampus kita ini?” kata Pinta gemas, mendengar kata-kata
itu Alya tersedak

“Al biasanya gak pernah marah loh, apalagi kepada wanita. Al


lebih suka melakukan tindakan dibandingkan marah dengan
kata-kata.” Pinta tersenyum, ditatapnya Alya dengan decak
dan senyum sarat duga.
“Iya mungkin itu karena aku yang lebih dulu memerahinya,”
jelas Alya

“Bukan.. bukan itu maksudku, gimana ya, aku jelasinnya?”

“Dulu Al pernah dimarahi oleh kak Fina, senior kita angkatan


2008, kami semua tahu bahwa Kak Fina-lah yang sebenarnya
bersalah oleh sebab penyalahgunaan uang UKM, tapi kak
Fina berusaha membuat Al yang seolah bersalah dihadapan
rapat kami semua, sampai-sampai kak Fina mengeluarkan
nama binatang kepada Al. Al diam saja disana, tak merspon
apapun, tapi seusai rapat ketika kutanya mengapa ia tak
menjelaskan yang sebenarnya, Al bilang, Kak Fina itu wanita,
wanita mungkin perlu banyak kebutuhan ada bedak,
mascara, dan parfum-parfum. Biarlah aku yang disalahkan
semua orang, daripada Kak Fina menanggung malu. Entah
mengapa aku melihat Kak Fina seperti melihat ibuku, aku tak
tega.” Kata Pinta diakhiri dengan gelak tawanya

“Haha, terus?” tanya Alya nampak bersemangat

“Si Al itu, keras keras gitu tapi sangat menghargai wanita.”


“Jadi, aneh aja rasanya kalo Al marah sama kamu, kamu yang
sebenarnya baru ia kenal. Atau jangan-jangan...” kalimat
Pinta berhenti sejenak,

“Al suka sama kamu,” tebak Pinta asal

“Ishhh! Ya gak mungkin lah...”

“Mana tahukan? Al itukan orangnya susah ditebak,


Overthinking, dari perhatian seperti itu justru caranya
menyampaikan sesuatu yang tersirat ke kamu,”

“Ahh. Sudahlah.. Nta, jangan Ngaco. Kenapa kita udah bahas


masalah kek gini?”

Pinta tertawa, dari tangkapannya tentang Alya, Pinta


menduga-duga apa yang membuat Alya begitu penasaran
terhadap Al.

Pengunjung kedai hanya tinggal beberapa saja, dijeda


pembicaraan mereka lagu Abah Iwan ~Manusia Setengah
dewa, mengalun mengisi keheningan.
Dua gadis itu berbincang panjang, Pinta yang memang paham
akan Alya mendengarkan semua keluh kesahnya. Pinta
memang pendengar yang baik, ia tidak menghakimi, tidak
memandang dengan tatapan yang remeh, juga tidak menyela
Alya.

Disadari atau tidak, keingintahuan Alya terhadap Al justru


membawanya kepada perspektif baru tentang lelaki itu.
Dimana ia bertemu dengan lingkungan baru, orang baru, cara
berpikir yang baru, ditambah dengan keterangan Pinta
tentang Al, Alya menyadari bahwa Al tidak seburuk apa yang
ia kira, menemukan Al dari lingkungan dan orang terdekatnya
seolah mematahkan perspektif teman satu kampus terhadap
Al.

Pinta mengungkapkan semua yang ia tahu tentang Al, itupun


disebabkan Alya yang memintanya. Pendakiannya, demo-
demonya, pemberontakan Al ke kampus ketika taman
belakang digusur untuk membangun gedung yang tak jelas,
hingga Al yang begitu perfeksionis terhadap kopi, semuanya
diceritakan Pinta dengan detail.
Keduanya terus bercengkrama, saling bertukar cerita, hingga
jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Disela-sela
pembicaraan, Alya diperkenalkan dengan Mas Janu pemilik
kedai AMKO sekaligus guru teater Al. Mas Janu yang seorang
sahabat Al menyambut Alya begitu hangat setelah Pinta
menjelaskan perihal Alya dan Al. Dari Mas Janu, Alya
mendapat lagi pengetahuan tambahan perihal Al, namun
sayangnya Mas Janu tidak bisa berlama-lama berbagi cerita
dengan dua gadis itu, karena harus melayani beberapa
pelanggan yang silih berganti di kedai AMKO.

Alya pandangi sekitar AMKO, masih dengan iringan lagu


AMKO, ia perhatikan dengan begitu detail setiap sudut kedai.
Alya berdiri dan berjalan memperhatikan frame-frame foto
perjalanan yang terpajang di sekeliling ruang AMKO.

“Kerinci,” kata Pinta saat melihat Alya menyentuh kaca frame


yang berisikan foto lanskap Kerinci itu dengan kekhusyukan
tersendiri, “Itu waktu Al naik sama Mas Janu tahun lalu.”

“Al,” kata Pinta lagi. “Semua frame disini adalah Al, meski
tidak ada satupun gambar memperlihatkan wajahnya, hanya,
semua ini adalah dokumentasi dari Al,” lanjutnya.
Alya tak bergeming, sejenak ia merasakan sosok Al di AMKO.
Melihat frame-frame itu seolah membawanya masuk ke
petualangan Al.

AMKO memang tempat yang nyaman dan otentik. Tempat


yang mencetus kedai kopi sekaligus menjadi Perpustakaan itu
sudah memikat hati Alya. Kutipan-kutipan Al di blognya
tertulis di beberapa dinding kedai.

“Yang menyenangkan dari kopi adalah ia tak bertanya,


namun ia mengerti begitu saja.” Begitu bunyi tulisan yang
terpampang di salah satu sisi kedai.

Tak bisa dipungkiri, Alya sudah jatuh hati terhadap kedai itu.
Kedai yang tak pernah kehilangan nuansa syahdu, kedai yang
dominan dikunjungi oleh para pejalan dan pecinta kesenian
itu mempunyai sisi otentik tersendiri. Membawa Alya
kedalam lingkaran baru. Tak seperti di restoran dan cafe-cafe
pada umumnya dimana para pengunjung acuh tak acuh
dengan pengunjung lain, atau mungkin tak peduli sama
sekali, individualis. Kedai ini justru membawa kehangatan
dan kebersamaan oleh para pengunjungnya, mereka saling
melempari senyum dan percakapan sederhana. Di sini, Alya
melihat tak ada yang benar-benar sibuk dengan ponsel,
mereka saling bersapa meski belum berkenalan. Mungkin
begitulah lingkungan para pejalan, pikir Alya.

Selain mengusung konsep pejalan dan kutu buku, AMKO bisa


dibilang sangat selektif dalam kualitas produk kopinya.
Orang-orang menyebut kedai ini; punya idealisme.

Tak puas dengan perbincangan mereka, Jam sudah


menunjukkan pukul 3 pagi, Alya justru meminta Pinta untuk
menginap dirumahnya. Pinta harus bertanggung jawab atas
jatuh cintanya seorang Alya terhadap lingkungan baru itu.
Lingkungan yang menunjukkan arti apa itu tidak palsu.

...
7. Petualang
“Orang-orang memastikan keamanan hari esok di kota, kata,
dan angka. Namun hidup tidak pernah pasti, tidak ada yang
aman, segalanya petualangan.”

POS 2 GUNUNG MARAPI.

Al terlihat cemas, sedari tadi pikirannya berserabut.


Di sepanjang perjalanan ia nampak tergesa-gesa menyusuri
lereng-lereng gunung. Pak Mori melihat gelagat Al, itu
manusiawi bila Al khawatir akan kedua temannya. Al
memang sudah sering membantu tim SAR dalam kasus-kasus
semacam ini, tetapi pencarian kali ini justru melibatkan dua
sahabatnya yang membuat Al merasa tertekan.

Pengalaman-pengalaman Al dalam tim SAR juga sudah tak


diragukan lagi, mulai dari pendaki tersesat, korban meninggal
di gunung, pencarian orang hanyut d sungai, maupun
bencana alam seperti gempa dan hal-hal yang terduga. Itu
semua pernah dilakoninya.
Kegiatan alam bebas, naluri petualangan, gairah muda yang
berkobar, serta sisi kemanusiaan yang melekat pada dirinya
membuat Al selalu ikhlas dalam panggilan tim SAR.

Pernah pada suatu hari, juga bersama Mas Damar dan Pak
Mori, Al mencari anak yang hilang dan hanyut di sungai yang
mengalir deras. Berhari-hari mengobok-obok sungai, tak juga
ditemukan anak yang hilang itu, Seluruh tenaga dan teknik
pencarian telah dikerahkan. Dari hulu ke hilir.
Mengedepankan logika dan akal sehat, si anak bak lenyap tak
bersisa.

Tiba-tiba ada seorang paranormal dari masyarakat setempat


meminta kepada seluruh tim yang ada di sungai untuk
merapat dan naik ke daratan. Si paranormal meyakini, pada
tengah malam nanti, si anak yang hanyut akan terbawa aliran
sungai dan muncul ke permukaan. Syaratnya Cuma satu;
jangan ada lagi yang mengobok-obok sungai.

Tentu saja keyakinan paranormal tersebut tidak semerta-


merta diyakini oleh tim SAR yang mengedepankan logik dan
akal sehat. Namun setelah pencarian hampir mendekati
seminggu, akhirnya Tim SAR mengamini apa yang dikatakan
paranormal tersebut.

Tak disangka sama sekali, tepat tengah malam, ketika sore


hari tim SAR mencoba mengikuti paranormal itu, dengan
sabar menunggu di tengah malam dengan senter yang
menjurus ke segala bagian sungai, tiba-tiba menyembul
kepala anak kecil. Lambat lau, tubuhnya muncul
dipermukaan. Semua manusia yang menyaksikan itu
tersentak. Terutama Tim SAR yang tak percaya dan tak tahu
harus berkata apa. Namun itulah yang terjadi.

Si paranormal meminta hanya satu perahu berisi empat


personel saja yang boleh mengambil tubuh anak itu. Sedang
yang lain menunggu di tepian. Tim SAR menyetujui anjuran si
paranormal, karena omongan paranormal itu jelas terbukti.

Namun, tiba-tiba paranormal berkata-kata “Dua orang


mendayung, dan satu orang saja menggotong tubuh anak itu,
dan kamu.” Ucapnya pada Al, “Yang nanti mengambil tubuh
anak itu,”
Al tersentak, Kenapa harus aku? Pikirnya terkejut. Al tidak
takut pada orang mati. Namun, tubuh manusia yang telah
hanyut selama berhari-hari, diseret-seret arus, terhantam
batu dan kayu-kayu bukanlah mayat segar seperti mayat
yang orang meninggal pada umumnya. Pasti sudah bukan
main bentuk dan baunya, batin Al. Dan, aku? Mengapa harus
Aku? Padahal masih banyak personel SAR yang lain yang
lebih berpengalaman. Namun, itulah syarat dari paranormal
yang mau tidak mau, suka tidak suka, Al harus mengiyakan

Dari pengalaman itu Al mendapatkan pelajaran baru


terhadap hal-hal metafisika. Bahwa betepa majupun ilmu
pengetahuan, betapa canggih pun alat-alat, betapa pun
terampil tim SAR, tetap ada hal-hal yang tak bisa dijangkau
oleh nalar manusia biasa. Bahwa tuhan pun bicara lewat
bahasa tak kasat mata.

Ya, alam memang sudah seharusnya tak dilawan. Ia mesti di


akrabi, dijadikan guru, serta sahabat.

Namun, tak semua usaha pencariannya membuahkan hasil.


Ada pendaki yang tersesat tapi tak ditemukan, ada helikopter
yang jatuh menghilang begitu saja. Kita manusia tidak
bermaksud syirik seharusnya menghormati juga hal-hal
metafisik seperti itu.

Semua penuh warna, positif dan negatif. Gagal dan berhasil.


Namun, tetap memberikan pelajaran bagi Al dan beberapa
orang di SAR. Dan petualangan membawa Al kembali
mendaki gunung di Sumatera Barat. Mencari dua sahabatnya
sendiri yang tersesat.

Sambil terus berjalan menyusuri jalan yang telah ditentukan


Pak Mori, ia bertanay-tanya di dalam hati, ada satu hal yang
masih belum terjawab oleh pikirannya, yaitu: mengapa Mas
Damar dan Pak Mori meminta tim untuk berpencar di POS
dua. Mereka seolah telah memindai bahwa Roni dan Alim
berada di sekitar Pos Dua.

...
Mendekati tengah malam, ketika Tim arahan Pak
Mori yang juga Al termasuk di dalamnya itu menyusuri
lereng selatan POS dua. Tiba-tiba Pak Mori menghentikan
langkahnya, seluruh personel memperhatikan gelagat Pak
Mori. Ia tampak mengamati sekitar, yang berupa batas
kawasan vegetasi hutan pinus dan rimba belantara.

Hutan terasa hening. Hanya menyisakan suara lenguh angin,


gesekan dahan pohon, serta gerimis yang jatuh memukuli
bumi. Pak Mori terdiam, ia tampak seperti menajamkan
pendengarannya. Seolah mendengar sesuatu dari sebuah
jarak. Setelah sekian lama, semua personel tim SAR tampak
kebingungan. Pak Mori mengangguk-anggukan kepala.

“Azel, jam berapa sekarang?” tanya Pak Mori kepada Kang


Azel

Dengan cepat Kang Azel melirik jam tangannya, “Dua belas


kurang empat menit, Pak. Tengah malam.” Entah karena usai
melihat jam yang menunjukkan tengah malam, Atau karena
gelapnya hutan rimba dan nuansa mencekam di sekitaran
lereng gunung, ataupun karena gelagat Pak Mori yang
mencurigakan, yang jelas itu semua membuat Kang Azel
merasakan kengerian. Tanpa sadar bulu kuduknya bergidik.

“Ketinggian berapa kita sekarang Al?” tanya Pak Mori lagi

Dengan cekatan Al mengambil Altimeternya, “1480 meter


pak,” tukas Al

“Baik, Azel kamu tandai tempat ini. Hubungi Tim Damar, kita
kembali ke Pos Dua. Hubungi juga posko pusat,”

Al tampak kebingungan, bahkan seluruh personel yang


tergabung dalam arahan Pak Mori yang beranggotakan lima
orang itu saling pandang satu sama lain.

“Pak, ada apa dengan tempat ini?” tanya Al terheran,

“Ini batas waktu paling maksimal kita melakukan pencarian


ini, selanjutnya kita lakukan esok pagi. Cuaca tidak
mendukung,” jelas Pak Mori

“Aku masih belum mengerti pak,” susul Al

“Sudahlah, saya tahu kamu ingin sekali menemukan Roni dan


Alim, begitupun dengan saya, mereka juga sahabat saya.
Doakan saja Roni dan Alim baik-baik saja,” terang pak Mori
pelan, “Sekarang kita kembali ke Pos Dua.”

Al dan tiga orang personel hanya bisa mengangguk-angguk,


tentunya dengan sejuta tanya keheranan di kepala.

...
Matahari belum muncul, ketika Tim SAR mengadakan
rapat kilat di POS 2 Gunung Marapi guna melanjutkan
pencarian Roni dan Alim. Mereka menyempatkan membuat
sarapan cepat saji dan kopi, setelah semalam suntuk menyisir
kawasan Marapi.

“Kita lanjutkan menyusuri lereng selatan, dan Damar


melanjutkan lagi menyusuri di puncak. Bagaimana juga kita
akan berusaha menemukan mereka hari ini,” Kata Pak Mori
kepada seluruh Tim yang beranggotakan dua puluh orang

Semua anggota berkemas, setelah membersihkan


Campground di Pos 2.

Al menyendiri di sebuah gundukan tanah, memandangi


mentari yang perlahan menyinari bumi. Ia hisap rokoknya
dalam-dalam, Pikirannya berserabut, firasat-firasat buruk
menggerayanginya sepanjang malam. Pagi itu, di hadapan
sang surya Al berdialog bersama sang pencipta, berharap tak
terjadi apa-apa dengan dua sahabatnya.

Melihat gelagat itu, Mas Damar mendekati Al yang jelas


terlihat cemas dan berantakan.
“Aman, Al?” tanya Mas Damar hati-hati

Tanpa menoleh, Al hembuskan lagi rokoknya dalam-dalam.

“Entahlah, Mas. Aku teringat Ibunda Alim. Bukan tentang


memikirkan diriku yang disalahkan, tapi membayangkan
reaksi Ibundanya jika seburuk-buruknya Alim tak ditemukan.”

Mas Damar menghening, menarik napas dalam-dalam.

“Saya percaya, Al. Mereka baik-baik saja, dan jika terjadi hal-
hal seperti yang kamu katakan, sungguh. Itu bukan kuasa
kita, Yang terpenting...” Mas Damar mendekat menepuk
bahu Al, “Kita sudah berusaha. Dan, saya, Pak Mori, serta
juga yang lain bersama kamu, jangan kau salahkan dirimu
sendiri,”

Al tatap Mas Damar dengan khusyuk, matanya sedari tadi


berkaca-kaca. Rupanya Al menyimpan kekhawatiran dan
kesedihannya dengan begitu rapih.

...
Waktu menunjukkan pukul 8 pagi, ketika Al sampai di titik
yang semalam telah ditentukan oleh Pak Mori. Sejauh ini,
kecuali Pak Mori, taka ada seorangpun yang tahu musabab
kenapa Pak Mori menandai tempat itu.

Sementara, dari radio, masih belum ada kabar dari tim Mas
Damar yang menyusur kawasan yang berbeda. Roni dan Alim
belum ditemukan juga.

Semua mata memandangi kesegala penjuru, berharap


menemukan tanda-tanda keberadaan Roni dan Alim. Mereka
dengan cekatan menaiki dan menuruni lereng yang diselimuti
oleh semak-semak dan pohon-pohon besar. Mereka sudah
keluar dari jalur pendakian serta mengambil jarak antara satu
dengan tim yang lainnya. Dilengkapi alat komunikasi, satu per
satu personel SAR terus berpencar dalam kelompok-
kelompok kecil.

Al mendapat jatah jalur paling Timur dalam penyapuan ini.


Namun, masih belum menemukan apa-apa. Begitupun
dengan personel yang lainnya.
Sampailah Al di ketinggian 1600 Mdpl, ketika hendak
menuruni lembah yang tak terlalu terjal, tiba-tiba Al
terkesiap melihat sebuah titik berwarna oranye berayun-
ayun dari kejauhan. Dalam kepalanya, Al menduga-duga
bahwa itu adalah sepotong terpal yang tertiup oleh angin. Al
mencoba mendekat mencari titik yang sekiranya dapat
menjelaskan apa yang dilihatnya. Semakin ia mendekat,
semakin pula Al yakin bahwa itu adalah terpal yang tertiup
angin. Melalui radio, segera ia kabari Pak Mori, Mas Damar,
dan tim yang lain sambil menjelaskan koordinatnya.

Al bergerak cepat, langkahnya sudah bukan berjalan lagi,


bahkan mendekati berlari. Membuat ransel yang
dipunggungnya itu bergoyang-goyang mengikuti irama
langkahnya.

Betul! Dalam radius sekian meter, tampak ada seseorang


yang tengah terbaring di bawah terpal, tubuh itu dibalut oleh
sleeping bag berwarna biru terang. Dan Al sudah tahu
Sleeping Bag itu adalah milik Roni. Ia percepat lagi larinya,
sembari menjelaskan temuannya di radio.
“Al..” kata Roni pelan yang menyadari ada seseorang yang
mendekatinya, ia tampak lemas, tubuhnya terbaring.
mukanya pucat pasi, namun ia tampak girang melihat Al yang
berlari menujunya

“Ron!!! Bagaimana keadaanmu? Ada yang terluka?” tanya Al


dengan napas terengah-engah sesampainya di depan Roni
lalu menelisik keadaan sahabatnya itu

Roni menggeleng lemah, lelaki itu sudah tak karuan


bentuknya, wajahnya pucat sekali. Dengan sigap Al
mengeluarkan baju-baju kering dan beberapa makanan. Baju
kering itu tumpukkan di dalam sleeping Roni.

“Bertahanlah Ron! Sebentar lagi tim SAR akan datang kesini,


Makanlah ini...” kata Al mencoba berinteraksi dengan Roni
yang setengah sadar, namun lelaki itu tak bergeming, Roni
benar-benar tampak lemah.

Kalimat-kalimat Al kian lama kian mengecil, ia sudah tak bisa


mendengar dengan baik, setelah beberapa detik ia benar-
benar tak sadarkan diri.
Dengan cekatan Al membuat Api berbahan kayu kering yang
ada disekitar. Ia tahu, Roni telah terserang Hypotermia.
Beruntung, Roni masih sadarkan diri, sebelum Al datang.

...
“Astaga!!! Innalilahiwainnaillahirojiun.. kok aku baru tau?!
Mas jemput aku dirumah Alya,” Pinta Nampak histeris, gadis
yang biasanya ceria itu tersungkur lemas, seolah segala
macam tenaga diambil dari tubuhnya. Perlahan air matanya
menetes.

Mas Janu menelponnya, memberi kabar bahwa Roni dan


Alim tersesat di Marapi pada hari kamis lalu, dan semalam
dua kawan MAPALA-nya itu berhasil ditemukan. Pinta
semakin menderu ketika mengetahui bahwa Alim ditemukan
dalam kondisi tak bernyawa.

Mengapa aku dan Mas Janu baru tahu kabarnya sekarang?


Bukankah jika ada sesuatu hal buruk yang terjadi di sana
juga akan sampai kepada teman-teman MAPALA. Apa lagi ini
tentang orang hilang di gunung. Mestinya seluruh teman-
teman MAPALA sudah mempeributkan soal ini di Basecamp.
Kata Pinta tidak pada siapa-siapa.

Alya yang baru selesai mandi terkesiap mendapati Pinta yang


sudah tersungkur dan menangis sendu.

“Kenapa, Nta?” Tanya Alya hati-hati


Pinta hanya menggeleng, tak ada kata yang keluar dari
mulutnya. Semakin ia mengingat kabar tersebut, semakin
pula ia ingin berteriak menangis.

Alya terdiam sejenak, entah kenapa, tangisan dari Pinta ikut


melelehkan air matanya. Pelan ia dekati Pinta, mengelus
rambut gadis yang berduka itu.

Fitrah kewanitaannya seketika keluar, begitulah Alya. Ia tak


mau bertanya lebih, Alya hanya ingin Pinta melepaskan
semuanya.

.....
Langit Padang kelabu. Awan-awan bergulung, angin
menerbangkan daun-daun kering di tempat pemakaman.
Semua manusia menghening, tak berkata-kata, diam
menyaksikan jerit tangis wanita yang menghambur ke atas
gundukan tanah itu. ia mengusap-usap gundukan yang masih
basah.

Al berdiri memisah, kakinya seolah terpaku di bumi.


Bersandar di sebuah pohon jambu, ia sulut rokoknya sembari
menyaksikan kepiluan didepannya itu. Tak bisa dipungkiri
matanya berair, Al tak mau mendekat, juga tak mau
menjauh. Gundukan tanah merah itu seolah memanggil Al
untuk memberi salam perpisahan terakhir.

Semalam ketika Alim ditemukan oleh regu Mas Damar, Al


seolah tak percaya setiap kata-kata yang dikeluarkan Mas
Damar lewat radio. Alim tak mungkin meninggal di sana,
sekalipun iya, mas Damar menemukan sesosok tubuh di sisi
lereng Marapi, itu haruslah orang lain, sekali lagi itu tidak
mungkin Alim! Begitulah Al berkata-kata.

Namun, Manusia boleh berencana. Tetapi Tuhan-lah yang


menentukan. Suka tidak suka, siap tidak siap, rela tidak rela,
Al harus menerima kenyataan bahwa sahabatnya itu telah
lebih dulu menghadap Sang Khalik. Dengan keadaan
kedinginan di Marapi.

Al tak bisa berbuat apa-apa, atau menyalahkan siapa-siapa.


Justru, pihak keluarga Alim mengutarakan apa-apa yang salah
kepada Al seorang.

Daun-daun berguguran, mengisi tangis setiap pasang mata


yang ada di sana.

Mas Janu Nampak memisah dari makam, mendekati Al yang


terbujur kaku bersama sebatang rook yang menjepit diantara
telunjuk dan jari manisnya. Sesampainya di depan Al, ia tak
berkata-kata mereka terdiam menyaksikan deru tangis
keluarga.

Setelah keluarga dan para kerabat meninggalkan makam, Al


dan Mas Janu berjalan pelan mendekati nisan yang berada
tak jauh dari mereka. Gerimis datang membasahi dedaunan
dan seisi bumi.

“Salam untuk bapakmu, Alim.” Al berkata-kata pelan,


“Maafkan aku..” Ia tertunduk dan perlahan air matanya
menetes bersamaan dengan gerimis. Disana, hanya tinggal
Mas Janu, Pinta, dan Alya memperhatikan hancurnya sosok
Al dihadapan nisan yang bertuliskan nama sahabatnya itu.

Rasanya sekali ini Al ingin menangis saja, tak menghiraukan


dunia. Al ingin kalah. Ingatan tentang Alim masih segar di
kepalanya, itu semua berputar di pikiran Al. Masa-masa
indah yang mereka isi dengan rasa persaudaraan, tolong
menolong, kini telah musnah ditelan bumi.

Mas janu hanya terdiam, belum pernah ia dapati seorang Al


sesedih ini. Yang bisa dilakukannya hanyalah mengusap
punggung Al, semacam memberi kekuatan kepada lelaki itu.

“Sudahlah, Al. Jangan menyalahkan diri sendiri, ini sudah


sebenar-benarnya jalan kebenaran untuk Alim.” Kata Mas
Janu hati-hati

Pinta dan Alya meneteskan kembali air mata, begitulah


wanita, ia sedih ketika sekitarnya bersedih.

Mas Janu, Pinta dan Alya saling pandang. Menyaksikan Al


yang hancur ditimpa kepiluan.
“Pulang, Al. Sudah malam,” Pinta berkata pelan

“Pulanglah, kalian. Tinggalkan aku sendiri disini,” kata Al


sendu

“Al,” tegur Mas Janu

“Beberapa hal sudah kita capai, Lim. Beberapa lagi biarlah


kujaga dan kucapai mewakilimu. Kujaga juga kucingmu, dan
gitar tua mu. Datanglah bertamu,” Kata Al getir, sembari
menaburkan melati di gundukan tanah itu.

Mereka beranjak meninggalkan nisan itu sendirian di telan


gelap malam. Beberapa langkah menjauh, Al menoleh lagi ke
belakang, “Selamat Jalan kawan, Surga untukmu. Alfatihah.”

...
KEESOKAN HARI, DI KAMAR ALYA.

Sudah pukul 9, saat Alya menyelesaikan laporan


keuangan BEM di laptopnya. Ini memang sudah menjadi
tugasnya membuat laporan bulanan keungan BEM Kampus.
Alya meraih gawainya, sudah banyak sekali pesan dan
panggilan yang tak terjawab. Salah satunya dari Mas Dino.

“Alya, Laporan bulanan ini jangan lupa ya,” tulis Mas Dino di
kolom chat

Alya menarik napas panjang, seketika moodnya berubah.

“Iya, aku lagi ngerjain.” Gerutu Alya ketus

Alya mengusap lagi pesan-pesan yang masuk ke gawainya.


Namun ada satu nomor yang menarik perhatiannya, sebuah
nomor tak dikenal.

“Assalamualaikum, Mbak Alya, ini saya Hadid dari UKM


Kesenian. Saya diminta sama Al untuk mempersiapkan
mahasiswa yang akan mengisi acara di Festival akhir tahun
ini. Alhamdulillah semua sudah siap untuk tampil, Band-band
semuanya sudah siap. Tinggal menunggu gladi resik dari
konsep acara Festival. Kapan kita bisa melaksanakan Gladi?”

Alya memutar matanya, berpikir sejenak.

“Waalaikumsalam. Terima kasih Hadid, nanti aku kabari lagi


ya kapan Gladinya.” Balas Alya

Alya melempar gawainya ke kasur, lalu ia hamburkan pula


tubuhnya mengikuti gawai itu. Kini ia berbaring melayangkan
dua tangan dan kakinya lebar-lebar membentuk pola
bintang.

Alya menatap langit-langit kamar, rambutnya berantakan


terurai di atas kasur. Masih sempat juga mengurusi hal-hal
seperti ini, Padahal kemarin kamu berantakan sekali, Al. Aku
menyaksikan sendiri kamu kalah. Batin Alya

Cepat-cepat Alya tepis pikiran tentang Al, mengapa lelaki itu


selalu muncul di pikirannya.

Gawai yang ada di kepalanya bergetar lagi, sedikit memelas


ia raih gawainya kembali. Kali ini pesan dari Pak Genta.
“Alya, Temui bapak besok di kantor. Kasus kamu dengan Bu
Rani akan di angkat ke persidangan kampus.”

Alya yang tadinya memelas terhenyak seketika, matanya


membelalak menelusuri setiap kalimat di pesan Pak Genta.
Sepersekian detik, gawai Alya menerima lagi sebuah pesan
berisi gambar dari Mas Dino.

“Alya, kamu sudah lihat majalah dari redaksi kampus?”

Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Sosial disamakan dengan Guru


SD!

Begitu judul yang diambil oleh redaksi kampus melalui


gambar yang dikirimkan oleh Mas Dino. Entah siapa penulis
berita itu, yang jelas berita tersebut akan berbuntut panjang
bagi Alya dan Al.

Alya panic bukan kepalang, Ia berdiri lalu berjalan-berjalan


tak karuan di sekitar kamar.

“Kok, bisa Mas?” tulis Alya


“Entahlah, Penulisnya di samarkan oleh redaksi. Mas sudah
meminta redaksi menghapus berita itu, tapi ditolak oleh
mereka. Kamu tahu? Jika Bu Rani mengetahui hal ini, nama
kamu dalam bahaya, alya.” Balas Mas Dino

“Pak Wisnu, adalah suami dari Bu Rani. Beliau juga menjabat


sebagai Wakil Rektor Departemen Kedisiplinan dan
Ketertiban. Jika sampai di persidangan kampus, Mas gak bisa
membantu banyak,” lanjut Mas Dino lagi

“Astaga!! Kenapa bisa jadi begini, Mas? Kenapa ada orang


yang tega seperti ini Mas?” Alya membalas pesan Mas Dino,
matanya berair.

Kecemasan sudah menggarayangi tubuhnya. Alya benar-


benar takut oleh sebab rentetan peristiwa yang
menimpanya.

....
RUANG RAWAT INAP RSU.

Roni kini dirawat di RSU Provinsi Sumatera Barat. Ia begitu


terpukul ketika menyadari Alim sudah meninggal. Ia merasa
menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kematian
sahabatnya itu.

Al duduk di sisi pembaringan, menemani Roni yang meratapi


nasibnya. Sorot mata Roni redup, ia Nampak putus asa.
Orang tua Roni sendiri sedang menghadiri acara tahlilan di
rumah Alim.

“Kita turun saja malam ini, Ron!” Roni memulai cerita


tentang tragedi malam ketika dirinya tesesat bersama
Almarhum Alim.

“Kita tunda saja, Cuacanya sedang tidak kondusif, lagipula


kita masih punya banyak logistik. Begitu kataku padanya
malam itu, Al. Sebenarnya aku sudah menduga kalau malam
itu akan terjadi badai,”

“Ayolah, Ron. Lo tahu besok hari apa?”

“Hmm, Besok Jum’at. Emangnya kenapa?”


“Nah, besok hari mandi si Molly. Intinya kita harus turun
malam ini. – Aku paham kalau Alim tidak pernah sekalipun
melewatkan apa-apa yang berhubungan dengan Molly, aku
tahu dia sangat menyayangi kucingnya itu, Al. Jadi
kutimbang-timbang lagi untuk turun malam itu, setelah puas
dipaksa aku pun setuju untuk turun malam itu, kebetulan
juga ada lima pendaki dari Medan yang turun, jadi kupikir
tidak masalah bergabung dengan regu mereka.” Lanjut Roni
lagi, ia menarik napas dalam-dalam, tragedi itu masih benar-
benar segar dikepalanya. Bahkan Roni mengingat semua
suasana disaat menuruni campcround menuju pos 2.

“Baru setengah perjalanan, Al. Gerimis beserta angin


menerpa kami. Aku dan Alim di depan, Kami diminta untuk
menjadi leader. Tapi entah mengapa malam itu Alim tak
seperti biasanya, ia melangkah terlalu cepat tak
mempedulikanku dan mereka. itu seolah bukan Alim.
Biasanya ketika kita meminta Alim menjadi leader ia selalu
menolak, bukan? Alim selalu memposisikan dirinya sebagai
middle man. Alim takkabur, Al. Tentu melihat Alim yang tak
seperti itu aku sudah mendapat firasat buruk, bahkan
pendaki dari Medan itu sudah jengkel dengan perilakunya.-
Alim duluan sampai di pos 2, kami beristirahat sejenak lalu
lima pendaki dari medan itu hanya berhenti beberapa saat,
untuk memperbaiki headlamp dan memasang raincoat
mereka sebelum mereka minta izin untuk berjalan lebih
dulu.”

Al perhatikan lagi raut wajah Roni yang tengah bercerita,


lelaki itu tak bisa menyembunyikan bahwa batinnya tak mau
lagi menceritakan tragedi yang merenggut nyawa sahabatnya
itu. sudah beberapa kali Roni Nampak gelisah, mengatur
tempo napasnya.

”Saat kuajak Alim ikut dengan mereka, dia hanya menjawab.


Biarkan saja Ron, Toh Marapi ini, kan sudah menjadi air
mandi bagi kita. Lo kok parno begini sih? Begitu katanya
menyombongkan diri, aku juga sudah mulai jengkel dengan
perilakunya, Al. – Sial bagiku, Al. Headlampku ternyata sudah
redup, entah rusak atau mengapa, padahal aku sudah
mengisi chargernya penuh sebelum naik. Tak beberapa saat,
Tunggu disini, Ron! Aku kencing sebentar.” Roni
memejamkan matanya.

“Malam itu,entah karena headlampku yang sudah redup,


entah ada apa, entah apa yang masuk ke dalam pikiranku,
aku sangat takut ditinggalkan sendirian di sana. Aku
menyahut pada Alim yang sudah turun ke tepian jurang
campground untuk cepat kembali. Dan tiba-tiba....” Roni
menghentikan ceritanya, Suasana menghening, tetes cairan
berwarna merah satu persatu turun mengaliri slang yang
tertusuk di nadi kirinya. Al tak bergeming, ia seolah masuk ke
dalam tragedi di Pos 2 tersebut. Roni membuang nafasnya.

“Angin Gunung seketika kencang, Al. Terpaannya pun


mampu menggoyangkan pohon pinus yang tinggi di Pos 2,
diikuti lagi dengan hujan yang sangat deras, Aku terkejut
melihat badai yang datang tanpa aba-aba tersebut,
kueratkan raincoatku, angin itu sangat dingin Al. Aku
berlindung di bawah pohon pinus, sembari menunggu Alim.
Rupanya angin tersebut hanya badai berpindah. Tak
beberapa saat Alim datang, hujan deras masih membasahi
kami. Aku bisa melihat Alim remang-remang, ia tak banyak
bicara, ia hanya berkata ‘Ayo Turun!’ sehabis ia kencing. Aku
pun tak menaruh curiga kepada Alim, jadi kuikuti saja. Di
perjalanan turun pun ia tak banyak bicara, gerak-geriknya
kaku, kira-kira setengah jam berjalan, tiba-tiba aku merasa
bahwa jalur yang Alim ambil sudah keluar dari jalur biasanya,
ia sudah salah jalan jadi kuingatkan dia, bahwa ini rasa-
rasanya kita sudah salah jalan. Kucoba lagi memperhatikan
kiri kanan, lalu aku melihat ke belakang, dan aku semakin
yakin kalau Alim salah jalan. Sepersekian detik ketika aku
menoleh lagi ke depan, tiba-tiba aku terhenyak! Jantungku
berdegup sangat kencang, kakiku lemas. Alim Menghilang!!
Al!! Kulihat-lihat lagi ke kiri kanan, Alim benar-benar
menghilang!! Seketika bulu kudukku bergidik, aku nyaris tak
percaya dengan apa yang telah aku alami, perasaan takut,
terkejut, dan kalut bercampur aduk di kepalaku. Aku
berteriak, memanggil-manggil Alim. Jujur saat itu aku
meneteskan air mata, aku benar-benar hilang Akal, Al. Ahh...
betapa ngerinya malam itu. Kuputuskan untuk menenangkan
diri sejenak, meski headlampku sudah nyaris mati, aku
mencoba mencari jalur pendakian ke belakang, tentu saja
aku berlari mencarinya. Aku sudah tidak peduli dengan
barang bawaanku, semak-semak yang kulalui, kakiku yang
tersandung batu, semuanya tidak terasa. Hingga pada
akhirnya aku menyerah oleh karena headlampku yang sudah
benar-benar mati. Aku berlindung di bawah gundukan tanah,
dan membuat Bivak seadanya. Ya posisiku persis saat kau
temukan aku di sana.”
“Aku tidak bisa mempercayai kata-katamu! Tidak mungkin!
Alim tidak mungkin mati Al, Aku saja bisa bertahan, Al. Ini
semua akal-akalan mu saja kan?”

Al menghening. Ia bisa menangkap kalimat yang mengalir


dari sahabatnya itu. begitu putus asa.

“Tolong katakan yang sebenarnya, Al! Kurang ajar kau!” Roni


berkata-kata dengan nada tinggi, mencoba bangun dari
pembaringan, namun Al cepat-cepat menahannya.

“Sudahlah, Ron! Aku tahu perasaanmu, tapi itulah yang


terjadi. Aku juga tidak percaya dengan apa yang telah
menimpa Alim. Pun aku menyaksikan dengan mata kepalaku
sendiri, bahkan juga ikut mengevakuasi Alim ke basecamp.
Itu benar-benar Alim, tak ada yang bisa menyangkal itu!”
nada bicara Al bergetar

“Maafkan aku..” kata Al menunduk dalam,

Roni tekesiap, semestanya berhenti. Dugaan-dugaan positif


tentang Alim kini sirna sudah. Matanya terpejam. Air mata
meleleh melalui pipinya.
“Percaya atau tidak! Alim sudah tiada, Ron! Dan tak ada yang
bisa kita lakukan, selain mendoakannya!” kata Al dengan
sentimen, Roni hanya terbaring lemas matanya menjurus ke
langit-langit kamar. Tangan kanannya meremas-remas seprei,
kata-kata seperti itulah yang paling ia takutkan.

“Aku belum tahu pasti penyebab kematian Alim, namun tim


forensik menduga Alim terserang hypothermia, sama
sepertimu, hanya saja nyawanya tak tertolong.”

Malam semakin larut, suasana mencekam melanda seluruh


isi ruangan. Dua lelaki itu, Al dan Roni terdiam dengan pikiran
masing-masing.

....
8. Sebab
“Sebab Manusia memiliki batas, sebab manusia tempatnya
lupa. Sempurna hanya fatamograna.”

LOBBY RUANG TERPADU KAMPUS.

Sungguh, belakangan ini Alya mengalami minggu-


minggu yang berat. Meski ia merasa tidak enak badan,
namun Alya tetap harus berada di kampus hari ini untuk
masuk ke kelas Bu Rani dan meminta agar masalahnya tidak
diangkat ke persidangan kampus. Begitu harapannya.

Tak sampai satu minggu, Alya benar-benar tidak menyangka


bahwa kasusnya berbuntut panjang. Berita mengenai
perilaku “Tidak Patut” Alya bersama Al tersebar semakin luas
dan menjadi topik asyik untuk gosip-gosip di kantin dan
gelanggang mahasiswa.

Alya merasa tidak bisa menghentikan penyebaran isu-isu


tersebut, dan memang baginya tidak mungkin memberikan
argumentasi logis kepada teman-teman, senior, dosen, dan
anggota BEM.
Kasusnya dimanfaatkan beberapa “Musuh”; baik musuh Al di
kampus pun musuh Alya di BEM untuk mengkudeta dan
menyuarakan isu untuk memaksa Alya agar mundur dari
jabatan sekretaris BEM. Sementara Dilla dan Mas Dino yang
ia harapkan mendapat dukungan moril dari mereka malah
turut serta menyudutkannya lewat kata dan perilaku.

Sebenarnya Alya tidak benar-benar sendirian. Ia kerap


diberikan perhatian, salam, dan semangat oleh beberapa
rekannya. Hanya, Alya merasa itu hanya sekedar basa-basi.
Semua tidak sedang benar-benar peduli, terlebih kebanyakan
dari mereka adalah kaum laki-laki, yang Alya ketahui
semuanya memilik kepentingan masing-masing dengannya,
entah itu kepentingan asmara, studi, pun terkait posisi BEM.

Selain IPK yang sempurna, Alya tahu kelebihan dalam dirinya


terdapat pada kecantikannya. Alya merasa bahwa laki-laki
manapun pasti akan melakukan itu; mengambil kesempatan
dalam kesempitan agar dianggap sebagai pahlawan. Hanya,
sesepi dan sepenakut-penakutnya Alya ia masih bisa berkata
tidak pada kemunafikan.
Sebuah kesialan menimpa Alya lagi, hari ini adalah jadwal
kuliah kontemporer dengan Bu Rani. Hari dimana Alya
memutuskan untuk meninggalkan kelas ternyata semua
mahasiswa di kelas itu di gabung dengan jadwal kelas Alya.
Dan tidak bisa tidak, semua mahasiswa pasti ada disana,
termasuk Al.

Alya datang dengan raut wajah penuh kecemasan, satu


langkah setelah kakinya melangkahkan ambang pintu
Fakultas, ia rasakan betul bunyi degup jantungnya semakin
mengencang dan menulikan telinganya pada suara-suara lain
di Lobby. Ia tarik nafasnya dalam-dalam, pundaknya naik, ia
hembuskan nafasnya kencang. Alya mulai menaiki tangga
menuju ke lantai tiga. “Teman-teman, dosen, rekan BEM,
anggota HMJ, apa yang akan mereka lakukan kepadaku?”
begitulah kalimat yang terpatri di kepalanya, ia benar-benar
takut dan cemas. Pun semua mahasiswa di Fakultas sosial
pasti sudah membaca bulletin kampus yang menyudutkan
Alya dan Al. Pikirannya berserabut dipenuhi dengan terkaan-
terkaan tentang bagaimana nasibnya hari ini.

Semua mata tertuju padanya, menatapnya dengan tatapan-


tatapan aneh. Ini membuat Alya risih. Suara tapak sepatu
dari belakangnya membuat Alya menghentikan langkahnya.
Semakin lama semakin dekat suara itu di belakangnya. Alya
memejamkan matanya, ditebaknya dalam hati, yang
dibelakangnya adalah seorang yang pasti akan memberinya
kata-kata tajam dan menyakitkan.

“Ini... biar tenang,” kata seorang tersebut.

Alya membalikkan badannya. Al berdiri tepat di belakangnya


mengulurkan sebuah MP3 portable lengkap dengan
headsetnya.

“Gak usah dengerin kata orang,” kata Al sambil lebih


menyodorkan MP3 di tangannya. “Nanti di kelas balikin lagi,”
lanjutnya sambil belalu setelah Alya menyambut tawarannya.

“Al,” panggilan Alya menghentikan langkah Al. “Bareng,” kata


Alya sambil berjalan cepat menyusul Al.

Al melanjutkan langkahnya setelah dirasa Alya sudah dapat


mengimbangi langkahnya.

“Kamu kok ada disini?”


“Aku dapat kabar dari Toni, kalo kelas kita dipindah
jadwalkan ke hari ini,” jawab Al sembari berjalan tanpa
menolehkan pandangannya

Seharusnya lelaki ini tidak masuk hari ini, bukankah ia baru


saja kehilangan teman? Mengapa Al seolah tak terbebani
dengan peristiwa seperti itu? Batin Alya keheranan

“Bukan... bukan itu maksudku.”

“Jadi?”

Alya menghening sejenak,

“Ah.. lupakan!” katanya mengelak untuk menjelaskan


maksud pertanyaannya tadi,

Mereka berjalan bersama menuju kelas. Al melangkah


dengan tenang dan biasa, meski semua yang ditemuinya di
jalan memperlihatkan wajah memendam terka dan duga luar
biasa. Sementara Alya yang sedang berusaha mengabaikan
segalanya dengan musik dari Al di telinganya, akhirnya dapat
melangkah dengan perasaan yang sama dengan Al.

Melewati pintu kelas, Alya melepas headset di telinganya lalu


duduk bersebelahan dengan Al di bangku paling belakang.
Tanpa music yang mengalun di telinganya, suara-suara dan
kenyataan kembali menjatuhkan mental Alya ke titik
terdalam. Alya merasa takut kepada semua orang. Dilla
memasuki kelas, Tak beberapa lama Hary, disusul dengan
teman-teman yang lainnya. Alya terus menunduk dan
menyibukkan diri dengan berpura-pura membaca buku.

“Selamat pagi,” Bu Rani melintas memasuki kelas,


“Persentasi kelompok tiga ya,” lanjut Bu Rani sesampainya di
meja.

Bu Rani mengambil daftar hadir mahasiswa dari dalam


tasnya, lalu memberikan kepada Jaka yang duduk paling
depan. Sekilas ia tengok seisi kelas, pandangannya berhenti
dan menajam ke sudut belakang. Tempat Al dan Alya duduk
pagi itu.

“Tenang,” kata Al pelan, “Orang-orang dengan kebenaran


tidak punya alasan untuk takut,”

“Itu hanya berlaku padamu, bukan padaku.” Balas Alya


dengan nada kesal
Kelompok persentasi maju ke depan. Daftar hadir berjalan
berurutan dari mahasiswa satu ke mahasiswa lain guna
ditandatangani oleh mereka.

“Pantang,” kata Al pelan setelah daftar hadir sampai di


tangannya.

“Al?” ucap Alya spontan, wajahnya penuh Tanya.

Al menunjukkan lembar daftar hadir kepada Alya.

Nama Al dan Alya dicoret dari daftar tersebut. Alya kaget


bukan kepalang, matanya seketika memerah berkaca-kaca, ia
tak tahu harus berbuat apa.

“Punya stipo?” Tanya Al

“Apa?” Alya masih bingung,

Al membuka kotak pensil Alya. Ia oles dengan stipo namanya


yang telah di coret oleh Bu Rani. Kemudian ia tulis lagi
namanya dengan pulpen.

“Ini, dengarkan hati nuranimu,” kata Al sambil mengangkat


stipo dan menawarkannya kepada Alya, “Socrates,” kata Al
lagi sambil memandang mata Alya memberikannya kekuatan.
Alya menggigit bibir, ia pejamkan matanya beberapa saat.
Dan dengan sedikit keraguan, akhirnya Aalya meraihnya juga.
Mengikuti perbuatan Al di lembaran daftar hadir itu. melihat
Alya yang sedikit takut, Al membantunya dengan menuliskan
ulang nama Alya di lembar tersebut.

“Alya Girija Awindya,” tulis Al

Lalu mengopernya lagi ke Fani yang duduk di banku sebelah.

Alya menghembuskan nafasnya, ia tak pernah berbuat


seperti ini; sejauh ini. Terlepas dari benar atau salah
perbuatannya, Alya merasa gelisah dan cemas dengan reaksi
Bu Rani.

Kelompok yang bertugas persentasi mulai membuka


diskusinya. Suasana kelas kondusif seperti biasanya, Tapi
tidak untuk Alya; atau mungkin juga Al. Tak beberapa lama
daftar hadir di antarkan ke meja Bu Rani oleh mahasiswa
paling akhir yang menandatangani presensi tersebut.

Sepesrsekian detik setelah menerima presensi itu, raut wajah


Bu Rani berubah, Beliau berdiri dengan membanting
tangannya ke meja, membuat kelompok persentasi dan seisi
kelas terhenyak. Ia angkat telunjuknya menunjuk ke arah
Alya dan Al berada.

“Kurang Ajar! Siapa yang mengizinkan kalian menulis nama


di sini,” kata Bu Rani meneriaki Al dengan nada sentimen,

Alya mematung, matanya membelalak, bagai ada batu


raksasa menimpa semestanya. Seketika hati kecilnya
menyumpahi perbuatan Al.

Dengan nafas memburu, Bu Rani beranjak dari meja lalu


berjalan sedikit lebih dekat dengan Alya dan Al. Beliau amat
tersinggung atas perbuatan Al dan Alya.

“Kalian berdua! Keluar!!” usir Bu Rani,

Suasana mencekam, Al putuskan untuk melawan,


“Bagaimana bisa anda mencoret nama mahasiswa dari
presensi? Tidak adil, saya di usir dari kelas ini, saya berhak
belajar.” Kata Al tenang,

“Kamu memang tidak punya sopan santun! Tidak perlu


penjelasan lagi, kesalahan kalian sudah jelas! Keluar!!” balas
Bu Rani,
“Tidak Bis...” tak sempat Al mengeluarkan argumennya, Hary
berdiri dan memotong pembicaraan Al dan Bu Rani.

“Buk, saya mewakili seluruh teman-teman ingin menjelaskan


apa yang sebenarnya terjadi,” kata Hary dengan gagah
berani,

Semua mata tertuju pada Hary, perhatian Bu Rani teralihkan


pada Hary.

“Ini semua adalah kesalahpahaman saja, dari hari pertama


dimulainya masalah ini, Alya dijebak Al. Alya sama sekali
tidak terlibat. Mengenai mereka bolos bersama, dan bulletin
kampus yang di tulis oleh mahasiswa jurnalitik, semuanya
adalah perbuatan Al.” Kata Hary

Raut wajah Al murka. Ia angkat telunjuknya menusuk ke arah


Hary.

“Apa-apaan semua yang kau katakan itu, Hary?! Fitnah!


Munafik!!” teriak Al geram,

Hary tak mengindahkan reaksi Al, “Mengenai masalah


coretan yang barusan ini, adalah perbuatan Al, Buk. Coba
ibuk pikirkan lagi tentang siapa Alya dan siapa Al. Lihat lagi
track record mereka. Aku yakin seratus persen bahwa tidak
mungkin Alya melakukan semua ini atas kemauannya, sekali
lagi; ini adalah perbuatan Al.” Tutur Hary,

Amarah Bu Rani meredam,

“Benarkah itu Alya?” Tanya Bu Rani,

Alya diam saja, ia hanya menunduk, ia terombang ambing


dalam kebimbangan yang luar biasa. Al menatap Alya tajam.

“Tuh.. Alya takut Buk, karena Al berada di sebelahnya.”


Timpal Hary lagi, ia terus berkata-kata memberikan karangan
kejinya kepada seisi kelas.

Fani yang duduk di samping Al berdiri,

“Mungkin ada benarnya perkataan Hary, Buk. Saya melihat Al


yang menulis ulang nama Alya, Alya terlihat terpaksa
membubuhkan tipe-ex di presensi itu,” tambah Fani
mendukung apa-apa yang telah dikatakan Hary,

Hary mengangguk-anggukkan kepala, raut mukanya berusaha


meyakinkan Bu Rani.

Alya masih menunduk, badannya bergetar. Sedang Al dengan


geram menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak terima atas
semua tuduhan yang mengarah padanya itu.
“Apa-apaan ini?!!” Teriak Al penuh amarah,

“Diam!!” balas Bu Rani lagi dengan nada yang tak kalah tinggi
dengan Al,

“Ada satu rahasia lagi tentang Al, Buk. Saya rasa saya harus
membukanya di sini, Al sering menyebut ibuk sebagai dosen
bermental feodal, kepada teman-teman yang lain, betulkan
teman-teman?” hasut Hary lagi, diikuti dengan gelak tawa
seisi kelas dan mereka mengangguk setuju dengan tuduhan
Hary.

Dilla menghampiri Alya untuk memberikan dukungan dan


membujuknya untuk mengiyakan tuduhan Hary.

Dan pada akhirnya, Bu Rani yang teramat kesal bertanya


kembali pada Alya, “Benarkah itu Alya?”

Dengan muka masih menunduk, dan suara yang terbata-bata


Alya mengiyakan, “Iya, semua ini perbuatan Al.”

Setelah kalimat itu keluar dari mulutnya, Alya mengutuki


seluruh keadaan. Mengutuki Al, Dirinya, Bu Rani, Hary, dan
semua unsur yang terlibat dalam masalah itu. ia benar-benar
telah tersudut sehingga untuk menimbang mana baik dan
buruk pun sangat sukar rasanya.
Al terdiam setelah kalimat itu keluar dari mulut Alya. Ia
menghembuskan nafasnya panjang, lalu berdiri mengemasi
buku-bukunya dan beranjak meninggalkan kelas.

“Kamu sudah menyelamatkan Alya, sekaligus


menyelamatkan muka BEM kita,” bisik Gilang salah satu
teman yang berada di samping Hary,

Hary tersenyum dengan bangga, ia merasa sudah menjadi


pahlawan tidak hanya untuk Alya, tetapi juga untuk
sekretaris BEM dan nama baik BEM. Baginya ini adalah
bentuk solidaritas dan integritas yang tinggi terhadap teman-
teman.

Pagi itu, persentasi dibatalkan. Kuliahpun di tiadakan oleh


karena mood Bu Rani sudah tak karuan. Bu Rani mengintruksi
mahasiswa untuk menmbuat resume, dan beliau akan segera
melaporkan masalah ini kepada Departemen kedisiplinan
kampus.

Pagi yang menakjubkan.

...
Keesokan harinya, Al dipanggil untuk mengikuti persidangan
Departemen kedisiplinan. Tanpa banyak pembelaan ia hanya
terdiam mendengar hasil persidangan. Kasusnya di akumulasi
dengan pelanggaran-pelanggaran Al di masa lampau. Al
mendapat skorsing penuh satu semester. Semua mata kuliah
yang diikutinya digugurkan, dan Al dilarang untuk mengikuti
semua aktivitas Kampus termasuk datang ke sanggar seni.
UKM Kesenian di minta untuk mengadakan Rapat Luar biasa
guna mencari pengganti Al.

Al benar-benar dibuat terluka oleh semesta. Orang-orang,


kampus, dan semua pihak yang menjunjung tinggi
kemunafikan membuatnya kalah; atau lebih tepatnya
mengalah. Ia benar-benar sendirian menghadang semesta
yang bermain curang.

Aktivitas Al terbatasi, ia dilarang ke sanggar dan nyaris


menjalani hari tanpa aktivitas yang seharusnya produktif.
Dipikiran Al berada di tengah kota sebesar Padang tanpa diisi
dengan aktivitas produktif itu sama saja dengan bunuh masa
depan diri. Sebab bila menunggu perkuliahan semester baru
ia harus menunggu dua bulan lamanya. Orderan desain grafis
miliknya juga usaha kaos dan kopi juga sedang sepi. Telah
dilukai oleh orang-orang membuatnya iba hati, Al juga
manusia, dapat merasa dan dapat mengiba. Namun ia tak
dapat berbuat banyak, Al merasa benar-benar berdiri sendiri.

Setelah menimban-nimbang tentang apa aktivitas yang akan


ia lakukan untuk mengisi masa skorsing satu semesternya itu,
guna meremajakan batinnya, merawat nurani dan hatinya
yang dipenuhi dengan kebencian akan kota.

Al pergi ke Kerinci.

...
9. Pulang

“Kerinci, bagiku adalah tempat berpeluk keluarga.


Sedang pulang? Masih kucari tempatnya berada.”

KERINCI.

Kerinci sebuah kabupaten kecil di perbatasan


Provinsi Jambi dengan Provinsi Sumatera barat, kota yang
secara administratif masuk ke dalam wilayah Provinsi Jambi.
Kerinci juga dikenal oleh orang-orang sebab udara sejuknya,
beserta perkebunan teh kayu aro yang membentang ratusan
hektar dari Bedeng Delapan hingga ke Pelompek, Kebun teh
itu bagi Al adalah saksi penderitaan pribumi yang dibebankan
kerja paksa oleh kompeni dan Jepang. Semua wilayahnya
masih Asri. Tak salah, kota ini dijuluki sekepal tanah dari
Surga.

Kerinci adalah wilayah yang dikeliling bukit barisan,


“Himalaya nya Indonesia,” begitu biasa Al berkata-kata.
Penduduk Kerinci diidentikkan dengan kulit putih dan mata
sipit, serta bertubuh pendek.
Kerinci adalah tempat Al berpeluk keluarga, kabupaten yang
sekaligus menjadi saksi tumbuh kembang seorang Al. Masa
kecil Al ia habiskan di Kerinci, Al tinggal bersama dengan
Nenek dan Kakeknya. Ketika Al kecil berusia tiga tahun,
kedua orang tuanya berpisah, Bapaknya meninggalkan Ibu
dan menikah lagi diluar kota, dan sang Ibu memutuskan
untuk merantau ke Negeri Jiran Malaysia demi menghidupi Al
dan hanya pulang kampung tiga tahun sekali.

Latar belakang seperti itu justru membentuk Al menjadi


pribadi yang mandiri. Masa-masa kecilnya ia habiskan bukan
dengan bermain, namun Al bekerja membantu usaha
Anyaman tikar ilalang neneknya. Al kecil dikenal oleh
tetangganya sebagai anak yang cerdas juga santun. Bagi
sebagian teman sebayanya Al adalah teman yang
mengasyikan.

Al bersama nenek dan kakek tinggal di sebuah gubuk


sederhana. Kakeknya bekerja serabutan, kadang membantu
merawat sawah milik orang, kadang juga menjadi tempat
penitipan binatang ternak, seperti sapi ataupun kambing
untuk dirawat dan dibesarkan. Biasanya, Al bertugas
merawat binatang ternak itu ketika kakeknya berangkat ke
sawah.

Ketika mengembala, Al membawa semua sapi-sapi ke padang


rumput tak jauh dari rumah, dan melepaskan sapi-sapi
tersebut begitu saja. Menunggu hingga sore, baru ia jemput
kembali binatang ternaknya itu. dan disela-sela pekejaan itu
Al mengisi dengan membaca banyak buku yang ia pinjam di
perpustakaan desa.

Aktivitas seperti itulah yang menempa Al, ia yang bahkan


sedari kecil sudah dekat dengan alam beranjak menjadi
pribadi yang mandiri dan cerdas.

Kali ini Al pulang, disambut dengan sang nenek yang masih


terlihat segar bugar meski sudah berumur 70-an. Al dapat
merasakan kedukaan sang nenek oleh sebab ditinggal oleh
suaminya. Namun nenek dengan rapih menyembunyikan
semua itu.

“Maaf, Nek. Aku baru bisa pulang sekarang,” kata Al pelan,

“Tidak apa-apa, yang penting kamu sehat dan rajin belajar di


sana. Begitu pesan terakhir kakekmu, Al.” Kata Nenek
tersenyum,
“Kamu mau minum apa?” lanjut nenek lagi,

“Gak usah, nanti biar kubikin sendiri, nenek lanjut saja


tidurnya,” Al menuntun nenek berbaring, karena Al sampai di
Kerinci pukul dua pagi setelah menempuh perjalanan dengan
Bis selama tujuh jam.

Al perhatikan lagi sosok perempuan yang dibaluti selimut itu,


matanya berkaca-kaca, Al iba sekaligus kagum dengan
ketegaran sang nenek.

“Akan kujaga nenek, tak usah risau. Tenang disana, Kek.”


Katanya getir.

Gubuk sederhana yang masih dihiasi bendera hitam


kedukaan itu ditelan pekat malam.

...

Dua hari di gubuk sederhana itu, Al mengisi


waktunya dengan aktivitas ringan. Merawat kebun, lalu
menyisik rumput liar yang tumbuh di pekarangan rumah.
Telah ia sambangi juga makam sang kakek. Setelah semua
pekerjaan selesai, Al mohon izin kepada neneknya untuk
pergi mendaki Gunung Kerinci.

Di pagi Rabu seperti sekarang ini terdapat sebuah balai pagi


yang menjajalkan aneka kebutuhan rumah. Al pergi
berbelanja kebutuhan logistiknya untuk beberapa hari di
Gunung Kerinci.

Siangnya, Al sudah mulai naik ke Gunung Kerinci via desa


Kersik Tuo, Kayu Aro.

SHELTER 1 GUNUNG KERINCI.

“Mari.. Pak. Mampir,” sapa Al pada seorang porter yang


melintas tak jauh dari tendanya,

“Iya..” jawab porter itu spontan.

“Pak Herman?” kata Al lagi mendapati seorang yang telah ia


kenal.

Porter itu mendekat sembari membawa carrier dan daypack


milik seorang yang menggunakan jasanya.

“Ohh.. Al...!” kata Pak Herman gembira melihat Al.

“Udah jarang ketemu saya,” kata Pak Herman kegirangan


menurunkan barang bawaannya.
“Hehe, Iya Pak. Udah jarang naik,” balas Al usai membantu
Pak Herman menurunkan carriernya.

Al membuka kedua tangannya lebar-lebar. Pak Herman


menyambutnya. Dua sahabat lintas generasi itu berpelukan
melepaskan kelelahan dan kerinduan.

“Al..” tangan kanannya menjabat erat Al sedang tangan


kirinya menepuk lengan anak muda itu berkali-kali, “Apa
kabar kamu?”

“Alhamdulillah, baik. Pak.” Jawab Al sambil mencari posisi


duduk yang nyaman untuk berbincang-bincang dengan
sahabatnya itu, “Berapa rombongan, Pak?” Tanya Al lalu
mengambil botol minuman dan beberapa roti dari dalam
carriernya.

“Silahkan, Pak.” Kata Al lagi,

Pak Herman mengambil pula bakul logistiknya, “Ada Tiga


Orang, dari Bandung.” Kata Pak Herman, “Ini..” lanjutnya lagi
sambil menyodorkan seplastik bekal kuenya.

“Wah, Kue Pisang, buatan Ibu. Kesukaanku.” Kata Al.


“Anak-anak pada nanya kamu, Al. Katanya mau diajarin
menggambar sama bang Al,” kata Pak Herman dengan tawa
keakrabannya.

“Haha, InsyaAllah setelah ini saya mampir,”

“Alim, Roni, dan Janu ikut?” Tanya Pak Herman

“Saya sendirian, Pak.”

“Sahabat kita Alim sudah lebih dulu, Pak.” Seketika raut


wajah Al berubah.

“Maksud kamu?” Tanya Pak Herman spontan menghentikan


kunyahannya. “Ahh, yang benar lah Al.” Lanjutnya lagi tak
percaya.

“Iya Pak, maaf kalau saya tidak mengabari bapak. Almarhum


sudah meninggal, seminggu yang lalu.” Kata Al menunduk

“Innalillahiwainnaillahirojiun,” Pak Herman terbelalak,


“Kenapa? Kecelakaan?” lanjut Pak Herman lagi.

“Almarhum tersesat di gunung, Pak. Ditemukan dalam


kondisi tak bernyawa di Marapi. Saya sendiri yang bergabung
dalam operasi pencariannya, Pak.”
“Astagfirullah hal Adzim,” Pak Herman menghening sejenak,
“Alfatihah,” katanya lagi sembari memegang dada bagian
kirinya.

“Alfatihah,” kata Al pelan, lantas mengikuti Pak Herman yang


sedang berdoa.

Seusai menunduk dan berdoa Pak Herman dengan gaya lugu


khasnya menatap Al begitu nanar. Seolah merasakan juga
sebuah kesedihan yang terpendam jauh di dalam anak muda
itu.

“Yang sabar, Al. Semoga almarhum ditempatkan di tempat


yang paling mulia di sisinya.”

“Iya, Pak. Aminn.” Kata Al, berusaha terlihat tegar.

Dari kejauhan, riuh rendah pendaki tamu Pak Herman mulai


terdengar mendekat.

“Istirahat sebentar Mas,” kata Pak Herman pada seorang


lelaki yang berada di barisan paling depan.

“Aduh.. jangan sebentar dong, Pak. Kaki saya ini udah gak
karuan,” balas lelaki lain yang ada dibelakangnya.
Pak Herman tertawa begitupun dengan Al. Tamu-tamu Pak
Herman masih sebaya dengan Al, mereka berasal dari
Bandung. Dua lelaki dan satu perempuan. Masing-masing
membawa Daypack di punggungnya, dan tanga mereka
memegang trekingpole. Lelaki yang dibarisan pertama itu
Nampak lebih dewasa dari lelaki yang mengeluhkan perihal
kakinya, dan juga perempuan yang ikut dengan mereka
terlihat semacam sudah berpengalaman dalam mendaki
Gunung. Itu terasa jelas dari auranya.

“Kalau begitu, kita istirahat di sini aja dulu, Mas. Mau


dibikinin kopi?” tawar Pak Herman.

“Ohh, boleh-bole...” Lelaki itu kegirangan, namun cepat-


cepat di potong oleh perempuan di belakangnya, “Gak usah,
Pak.” Potong perempuan itu lalu menolehkan pandangannya
kepada lelaki yang ia tegur, “Ngan kitu hungkul, karunya
teuing si bapak.” Protes sang perempuan dengan dialek
Sunda khasnya.

“Haha, Kalo mau gak apa-apa kok, Teh.” Jawab Pak Herman,
lalu sepersekian detik seolah teringat akan sesuatu Pak
Herman menepuk jidatnya, “Oh, Ya... saya lupa, kenalkan ini
namanya Al,” Pak Herman memperkenalkan Al.
Satu persatu tamu Pak Herman menyalami Al. Setelah sedikit
menceritakan Al kepada para tamunya, Pak Herman bangkit
untuk melanjutkan perjalanan.

“Berangkat yuk,” kata Rian.

“Aduh.. Ian. Istirahat dulu ngapa?” balas Atul yang masih


kelelahan,

“Kita ngecamp di Shelter 3 aja, Tul. Keburu gelap ntar,” sahut


Adel mendukung pendapat Rian.

Setelah cukup lama dipaksa akhirnya Atul bangkit dan setuju


untuk melanjutkan perjalanan.

“Mari, Al. Kita duluan,” sapa Rian mohon pamit,

“Iya Ian. Ketemu lagi ntar kita di Shelter 3,” balas Al spontan.

“Mari, Kang.” Sapa Adel tersenyum mohon pamit lalu


beranjak mengikuti langkah Rian.

“Aduh, sebenarnya bapak mau ngobrol sama kamu lebih


lama lagi,” Pak Herman bangkit.

“Santai saja, Pak. Saya mungkin lama di sini,”


“Ya sudah, kalau begitu bapak duluan, ya.” Pak Herman
menepuk lengan Al lagi, “Bapak ngecamp di Sehlter 3, di
dekat pos darurat.” Lanjut Pak Herman lalu bergegas
meninggalkan Al.

Pak Herman mlangkah melanjutkan perjalanan. Dari


kejauhan, ia menoleh kea rah Al dan memberi kode dengan
tunjukkan jarinya bahwa ia menunggu Al di Shelter 3.

...

Keesokan harinya, Al berangkat menuju Shelter 3. Perjalanan


kali ini ia setel dengan santai, karena ia merasa tidak terikat
dengan apapun di kota. Jadi ia bisa menikmati pendakian
dengan khidmat.

Di Shelter 3, Al mendirikan tenda lagi di bawah gundukan


tanah yang menyerupai ombak. Ia hadapkan tendanya
menghadap matahari senja yang turunn dari belakang bukit.
Di sisi kanan bawah nampaklah lanskap Kabupaten Kerinci
yang indahnya bukan main.

Al memilih untuk tidak berdekatan dengan Tenda Pak


Herman. Sebab tak mau mengganggu pekerjaan Pak Herman.
Lagi pula, orang-orang luar biasa seperti Pak Herman itu,
yang beralaskan sandal jepit, berselimut kaos oblong dengan
balutan sarung yang multi fungsi-bisa sebagai handuk, alas,
selimut, sleeping bag, dan lain sebagainya-biasanya sehabis
Pak Herman mendirikan tenda, memasak makanan dan air,
dan mengurusi keperluan-keperluan tamunya Pak Herman
langsung tidur guna mengistirahatkan badan setelah
menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Memanggul
carrier milik tamunya itu bagi Al sangat melelahkan.

Hubungan keluarga antara Pak Herman, Al, Roni, Alim dan


Mas Janu bermula dari 2011 lalu, saat Al menolong Pak
Herman dan warga kersik tuo untuk membersihkan jalur
pendakian. Al dan teman-teman juga membangun sebuah
rumah baca untuk anak-anak Kersik Tuo. Dekatnya Al dengan
aktivitas seperti itu justru tanpa sadar mengeratkan pula
hubungan persahabatannya dengan Pak Herman. Al juga
kerap menginap di rumah Pak Herman sewaktu ia turun
dalam pendakian. Membuat Al sudah dianggap sebagai
anggota keluarga Pak Herman, anak-anak Pak Herman sangat
menyukai Al karena Al adalah guru pembaca dongeng
mereka.
...
SHELTER 3. MINGGU KE SATU AL DI KERINCI.

Di Gunung Kerinci yang didapuk sebagai tanah tertingginya


Sumatera, teori tentang relativitas waktu benar-benar
bekerja. Tak terasa Al sudah seminggu dalam pelariannya di
Gunung api tertinggi se Indonesia itu, rasa-rasanya baru
kemarin Ia bertemu dengan Pak Herman, Menjalani
persidangan, duduk di ruang kuliah, beradu argument
dengan Bu Rani, dan sebagainya, namun waktu seolah
berjalan sangat cepat.

Al benar-benar merasakan kedamaian di Kerinci. Duduk di


bebatuan, menikmati sunset dan sunrise, melihat-lihat
kehidupan lagi, mengawini udara dingin bersama secangir
kopi panas, berbagi cerita dengan rerumputan basah,
mengiringi hari-harinya.

Usai dikhianati Alya, di kota, Al merasa semua orang


menakutkan, tidak ada yang bisa dipercaya, semuanya
kelabu. Di sini, di pelataran surgawi yang dinamai Puncak
Andalas, suara angin dan burung-burung seolah membuat Al
peka tentang arti sebenarnya dari sedehana dan merdeka. Al
memandangi Senja, membiarkan luka dan penderitaannya
melarut dalam mega kemerahan.
Sesekali Al bercanda pada apa-apa yang ia daulat sebagai
kawan di Kerinci, bahwa duduk Sembilan puluh menit di kelas
memuakkan seperti Bu Rani, adalah terasa jauh lebih panjang
dari tujuh pagi yang telah ia lewati disini.

Al sudah memutuskan untuk menjalani hari-harinya di


Gunung Kerinci. Setidaknya itu pilihan terbaik yang bisa Al
ambil, karena di kota aktivitas-aktivitas produktifnya sedang
vakum. Perihal logistik, Al selalu menitipkan semua
kebutuhannya kepada Pak Herman yang memang rutin
menyambangi Puncak Kerinci setiap ada tau yang memakai
jasanya. Al menitipkan rokok, biji-biji kopi, dan kebutuhan-
kebutuhan lainnya.

...
DI TAMAN KAMPUS.

Alya duduk sendirian di sebuah bangku panjang tempat


dirinya dan Al beradu argument di sore itu. Tak lupa, ia selalu
membawa sebuah jimatnya berupa kertas-kertas cetakan
yang berisi catatan Al di blognya.

Kita, Manusia memang boleh berencana. Namun tetap saja


Tuhan Lah yang menentukan. Kehilangan seorang karib
memang sangat menyakitkan. Tak kusangka pula, hal-hal
seperti itu justru kerap menimpaku. Ada banyak sahabat-
sahabatku yang lebih dahulu menghadap sang Khalik. Itulah
yang mengajari kita sebagai manusia untuk selalu siap sedia
akan kematian. Jika aku di sambangi oleh sebuah
kenistaan/kebaikan yang di sebut orang-orang dengan
kematian. Aku ingin mati dengan keadaan merdeka.

Alangkah mengerikannya kehidupan yang hanya


menjalankan siklus lahir-punya nama-bekerja-lalu mati. Aku
ingin menjadi sesuatu.

Iya, sudah banyak sahabatku yang mati, tanpa pernah


sempat mengetahui untuk apa mereka hidup. Mereka mati
sebelum hidup.
Selamat jalan teman, kebaikan bersamamu.

-Padang, 2014.

Alya membaca catatan terakhir Al dengan khusyuk. Sejak


menghilangnya Al, Alya merasa sangat bersalah. Telah ia cari
Al dimana-mana di luar kampus. Alya temui kawan-kawan Al
di Sanggar, ia datangi rumah kontrakan Al, AMKO kedai kopi
kesukaan Al, outlet tempat Al menjual kaos, dimana-mana
tempat ia berkemungkinan besar bertemu dengan Al.

Sesuatu yang telah menyinggung relung hati Al sedang


terjadi. Dan Alya merasa mempunyai andil besar dalam
permasalahan itu, Alya menyadari itu. Benih-benih
penyesalan timbul di hati kecil Alya. Alya menyesal telah ikut
memunafikkan Al, dan membuat lelaki itu harus menjalani
hukuman skorsing satu semester. Tak dapat dipungkiri, ketika
Alya mengingat Al matanya selalu berkaca-kaca.

Namun, semua telah terlanjur, Alya tak sapat berbuat banyak


untuk menyelamatkan Al selain berniat untuk meminta
permohonan maaf yang setulus-tulusnya pada Al.
Oleh sebab kejadian skorsing Al, Pinta dan Mas Janu menjauh
dan memilih untuk tidak terlalu menghiraukan Alya. Hari-hari
ia lewati dengan kekosongan dan penyesalan.

Jauh dalam hati kecilnya, Alya tidak ingin namanya bersih


kembali, tidak ingin di kelilingi oleh orang-orang munafik
yang tertawa di atas penderitaan Al meski Alya sadar bahwa
dirinya juga termasuk dalam golongan tersebut. Alya hanya
menginginkan Al berada di tempat biasanya, di bangku
panjang taman perpus seolah tak ada yang sesuatu hal yang
buruk menimpanya, melihat Al merokok dan menuangkan
tulisan-tulisannya di atas kertas. Alya ingin Pinta dan Mas
Janu; orang-orang yang mengajarkan dirinya tentang apa itu
tidak palsu. Berada disisinya bercerita lepas tanpa ada
kebencian di hati masing-masing. Alya mengutuk
perbuatannya, yang telah menjadi seorang pengecut
bersama para pengecut-pengecut lain di BEM dan Kampus.

“Al,” kata Alya sendirian setelah bertarung dengan pikirannya


sendiri.

Alya buka lagi catatan-catatan Al di tangannya.


Aku adalah salah satu dari milyaran rencana Tuhan.
Aku adalah apa yang dipatahkan jagat raya
Pada debu-debu antariksa yang dikenal sebagai semesta.

Aku adalah salah satu dari Milyaran manusia


Yang berasal dari salah satu planet yang diberi nama Bumi
Bumi yang berasal dari salah satu delapan planet yang
mengorbit Matahari
Matahari yang berasal dari tiga ratus Milyar bintang di
Galaksi
Satu galaksi dari dua juta Galaksi lainnya.

Aku adalah apa yang dipatahan jagat raya,


Dan yang dipulihkannya kembali.

Aku adalah
Aku.

Aku adalah
Asing.

Aku adalah
Sepi.
“Al, ini aku, Alya Girija Awindya, sebuah kesepian
yang lainnya.” Kata Alya lirih pada apa yang dibacanya.

Alya membuka lembaran lainnya;

Dik, Bukankah sangat mudah untuk menerima dan mencintai


mereka yang seperti kita, Sedang untuk menerima dan
mencintai orang yang berbeda dari kita sangat sukar kau
lakukan?

“Katamu. Al, kau adalah sepi.” Kata Alya sendirian


lagi, “Maka Pulanglah, temui sepi yang lainnya. Disini,”
Katanya lirih.

Alya meletakkan kepalanya di atas meja, tepatnya di


sebundel catatan-catatan yang berserakan, matanya
berkaca-kaca di dalamnya. Suara langkah orang-orang yang
datang dan pergi berulang terdengar, Alya seperti tak peduli
itu.

....
MALAM DI KEDAI AMKO.

Alya menghabiskan malamnya di kedai kesenangan Al. Di


pikirannya, ia berharap malam ini bertemu dengan Al di kedai
ini. Sejujurnya Alya tidak tahu kata-kata macam apa yang
akan ia pakai untuk meminta maaf kepada Al, Pun tidak tahu
reaksi, ekspresi, dan apa yang akan terjadi jika ia benar-benar
bertemu dengan Al. Alya tidak peduli lagi dengan itu, yang
jelas Alya berharap sekali bertemu dengan Al.

Di tengah-tengah kesibukkannya untuk persiapan acar


festival akhir tahun, ia sempatkan juga untuk datang ke
AMKO; Kedai yang membuatnya jatuh cinta.

POLITIK?

Adalah Gie, sosok keras yang beani mengkritik dan


mengepalkan tangan ke pada para penguasa. Meski ia
sangat membenci dan cenderung menghindari terlibat
dengan Politik. Namun Gie tidak bisa menerima kebijakan-
kebijakan Orde Lama dan Orde Baru. Ia masih bisa berkata
tidak kepada kemunafikan.

“Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa, orang


yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan. Merintih
kala ditekan, tetapi menindas kala berkuasa.” Begitu kata
Soe suatu ketika.
Adakah yang lebih egois dari penguasa itu?

Tulisan-tulisan Soe yang sudah usang itu, masih sangat


relevan dengan di zaman sekarang. Di suatu tempat, jauh di
dalam birokrasi yang tak terjamah, dipenuhi dengan para-
para penguasa munafik yang dengan senang hati menindas
dan merugikan saudaranya sendiri.

Ayo Bung, Lantangkan yang terbungkam!

LIHAT APA YANG MEREKA LAKUKAN DENGAN PERTIWI.

Seantero Negeri akan merayakan hajatan yang diberi nama


PEMILU. Dari kampung-kampung, desa-desa, hingga kota
metropolitan banyak para tokoh-tokoh yang
memproklamirkan diri sebagai seorang yang akan berbuat
untuk bangsa. Iya, semua berbondong-bondong dan saling
menjatuhkan untuk berebut satu kursi nyaman yang
‘katanya’ mewakili suara rakyat itu.

Karena atmosfer politik yang kian panas itu, justru berakibat


kepada lingkungan sosial masyarakat. Semua sibuk bertikai,
saling menyalahkan Visi-Misi, dan saling menjelekkan antara
satu dengan satu yang lain.

Negeri ini terlalu sibuk, Yang tua sibuk debat politik, yang
muda sibuk debat idealis, yang Alim sibuk debat halal-haram,
yang aktivis sibuk analsis atas copy paste teori dari isme-isme
yang mereka anggap keren. Sementara tingkat kebaikan
sedang terjun bebas menuju dasar.

Maaf Tuhan. Kami sibuk bertikai.

Ayo Bung, Lantangkan yang terbungkam!

Seperti biasa, Alya membaca catatan-catatan Al dengan


khusyuk. Ia seakan mampu menghadirkan bayangan Al di
dalam kepalanya. Sesekali Alya ulangi lagi membaca
beberapa bagian di catatan Al untuk memantapkan Alya
dalam menangkap makna.

Alya benar-benar sendirian di sana. Sepintas Alya mengingat


keadaannya tadi sore akan usaha mencari Al.
RUMAH KONTRAKAN AL.

Dalam mencari Al, Alya pun mendapat alamat sebuah rumah


kontrakkan Al dari Hadid. Alya merasa ada sesuatu yang kuat
dalam dirinya yang mendorong ia untuk kesana.

Alya datang, hanya, siang itu rumah kontrakkan Al terlihat


kosong. Rumah itu hanya di huni empat orang, yaitu Al, Ebon,
Roni dan Nanda. Sebab pikir Alya, Ebon dan Nanda mungkin
sedang kuliah, ia memutuskan untuk menunggunya.

Rumah Al berada di desa Lubuk Minturun, Padang Utara.


Sebuah tempat yang untuk ukuran mahasiswa termasuk
dalam kategori kurang diminati yang jauh dari kampus dn
pusat kota.

Alya duduk di kursi depan, halaman rumah Al tidak terlalu


lebar, sedang batas di samping rumah hanya ditemboki
berbahan semen yang tingginya setengah meter.

Di sebelah pagar ada jalan kecil menuju ke sawah, setiap sore


dan pagi hari jalan itu selalu di lalui oleh petan-petani. Di
depan, tempat gerbang masuk ada tumbuhlah pohon jambu
yang sudah cukup tua. Di luar gerbang, terdapat selokan kecil
yang airnya bening, saking beningnya ikan, kerikil, dan pasir
di dasar pun dapat terlihat jelas oleh sesiapa. Ada batu besar
di dalam seloka, dilihat dari letak dan posisi terlihatlah bahwa
seseorang dengan sengaja meletakkannya di sana; entah
untuk memperkecil laju air yang mengalir ke swah belakang
ataupun untuk sekedar menciptakanbenturan dan
menghasilkan suara percik air yang puitik. “Sudah pasti ini
kerjaan, Al.” Pikir Alya merasa tahu.

Satu jam berlalu, ia membunuh waktunya sore itu untuk


menemui salah satu orang terdekat Al, oleh sebab Pinta dan
Mas Janu sedang kecewa berat kepadanya.

“Aku curiga dengan mereka yang pagi-pagi pergi kuliah


tanpa minum kopi, yang berhenti peduli karena takut
absensi, yang tangannya sulit membantu oleh sebab
membawa buku. Saranku, datanglah ke rumah, Lubuk
Minturun. Biar ku tunjukkan padamu apa itu Cinta.” Seketika
Alya teringat tentang sesuatu yang di tulis Al mengenai
Rumahnya ini.

Alya hirup udara sore desa Lubuk Minturun. Angin bertiup


damai, daun menari berjatuhan olehnya, burung-burung
berkejaran, suara air mengalir dan segala yang ada di sana
benar-benar membuat Alya merasa nyaman.
Suara gagang pintu diputar membangunkan Alya dari
lamunannya. Nampak seseorang keluar dari dalam rumah,
Nanda keluar dari rumah. Rupanya Nanda tidak kuliah dan ia
sedari tadi ada di rumah, hanya saja kondisinya tertidur.

Belum penuh kesadaran Nanda sebangun dari tidur


panjangnya, ia terkejut saat melihat Alya berdiri di dekat
gerbang, menyaksikan selokan.

“Alya..?” Tanya Nanda kepadanya sendiri, menjelaskan


seseorang wanita cantik yang tengah di perhatikannya.

Alya memang pernah menemui Nanda dan Ebon, teman satu


rumah Al. Mereka bertemu di upacara pemakaman Alim, dari
sanalah Alya mengetahui beberapa orang dekat Al. Termasuk
Nanda.

Alya menghampiri Nanda.

“Alya, Kan?” Tanya Nanda mencoba memastikan,

“Iya, kamu Nanda.” Kata Alya mencoba bercanda.

“Aduh.. sudah lama disini?” Tanya Nanda tak enak

“Dari Jam empat, Nan. Suasananya enak, jadi betah nunggu.”


Alya mencoba menyamankan Nanda.
“Dari jam empat? Alya? Ya Allah. Kenapa gak ngetuk?” kata
Nanda spontan.

“Aku pikir kamu kuliah,” jawab Alya.

Nanda pun mengajak Alya masuk, membuatkannya segelas


kopi, dan mendengarkan penjelasan Alya perihal
kedatangannya. Namun Nanda pun yang satu rumah dengan
Al tidak mengetahui keberadaan Al sekarang. Diceritakan
oleh Nanda bahwa Al pergi seperti orang mau pulang
kampung saja.

“Si Al seminggu yang lalu, Pake Carrier. katanya sih mau


keluar sebentar, tapi keluar kok pake carrier segala. Karena Al
memang orangnya tidak pernah berpamitan kemanapun ia
pergi, jadi aku gak tahu jelas Al kemana.” tutur Nanda, lalu
menyeduh kopi bikinannya.

“Masa?” kata Alya murung, “Kamu gak ada info tempat-


tempat yang sering di datangi Al gitu?”

“Ya itu, Alya. Semua yang kamu certain tadi itu, kalo gak di
kampus, di outlet atau di AMKO.” Jelas Nanda. Nanda
menangkap kekecawaan di mata Alya.

“Kemana lagi harus kucari Al, Nan?”


Nanda diam saja, menggeleng pelan ia seketika menjadi tidak
enak menyadari bahwa dirinya tidak bisa membantu banyak
Alya.

Terlintas di benak Alya untuk melihat kamar Al, yang


dipikiran Alya mungkin terdapat informasi tentang
keberadaan Al. Alya pun meminta izin Nanda.

Kamar adalah sesuatu yang bersifat privat bagi Al, terlebih


lagi Al, yang Nanda sendiri selama ini sebelum masuk ke
kamar Al, ia harus mengetuk pintu dan menunggu di bukakan
terlebih dahulu. Nanda dan teman-teman satu kontrakkan Al
tidak pernah bebas keluar masuk kamar Al.

“Al itu paling senang sendirian. Dia tidak mau diganggu dan
ditemani di dalam kamar,” jelas Nanda. “Tapi bukan berarti
Al sombong. Dia itu gokil, kita bercanda terus, ngobrol,
sharing terus, semua interaksi terjadi kepada kita dimana-
mana, kecuali kamar Al. Pernah sekali si Ebon nyelonong
masuk ke kamar Al, yang terjadi adalah Ebon tidak di sapa-
sapanya dua hari dua malam berturut-turut. Semenjak itu
semua teman-teman menjadi tidak berani masuk ke kamar Al
tanpa se izinnya dahulu,” lanjutnya lagi.
Mendengar penjelasan dari Nanda, Alya merasa tidak enak.
Bukan kepada Nanda, tetapi kepada Al sendiri.

“Sebentar ya, Alya. Saya Shalat Ashar dulu,” kata Nanda


beranjak meninggalkan Alya sendirian di ruang tamu.

Alya kecewa, harapan yang membuatnya datang ke sini sirna


sudah. Untuk bertemu Al juga setidaknya dapat masuk ke
kamar Al mencari petunjuk keberadaan lelaki itu tak dapat di
capainya. Alya berdiri, untuk bergegeas pulang, hanya saja
akhirnya ia menunda kepulangan sebab merasa harus
menunggu Nanda selesai shalat untuk berpamitan.

Sepuluh menit berlalu. Nanda datang lagi ke ruang tamu


menghampiri Alya. Di tangannya ada banyak kunci yang di
gantung pada sebuah tali pursik warna merah hitam. Sejenak
kunci-kunci itu menciptakan bunyi gemericik yang mengisi
seisi rumah.

Rupanya Nanda melihat juga betapa Alya tampak murung


ketika tak di izinkannya masuk ke kamar Al. Setahu Nanda Al
dan Alya memiliki hubungan yang dekat, itu terlihat dari
sebuah puisi Al berjudul ‘Alya’ yang ia tempeli di kamarnya.
“Mereka berkekasih” kata Nanda mengambil kesimpulan
sendiri.
“Ini, Alya..” kata Nanda menyodorkan kumpulan kunci-kunci
itu, “Nanti biar aku yang tanggung jawab, itu semua kunci
cadangan ruangan di rumah ini, aku gak tahu kunci kamar Al
yang mana. Kamu cari sendiri ya,” lanjutnya lagi.

Alya Nampak senang, Nanda menuntun Alya ke kamar Al.


Kamar paling belakang, yang jendelanya langsung
menghadap ke area persawahan. Entah kekuatan atau
kebetulan apa yang menimpa Alya, ia langsung mengambil
salah satu kunci lalu mencobanya ke pintu kamar Al, seakan
semesta mengizinkannya pintu itu terbuka tanpa harus Alya
mencoba kunci-kunci yang lain.
KAMAR AL.

Alya melangkah masuk ke kamar Al. Lampu belum menyala.


Hanya, cahaya Senja yang merengsek masuk melalui
ventilasi. Nuansa puitik pun tercipta di kamar Al.

Semakin maju ia melangkah, aroma khas Al semakin terasa


memeluk Alya senja itu. Setelah Nanda berhasil mengingat-
ingat letak saklar lampu kamar yang tersembunyi di balik
lemari, lampu menyala.

Alya memejamkan matanya seketika karena silau, sepersekia


detik Alya membuka mata kembali ia terkesiap mendapati
sebuah gambar persawahan senja yang langit diatasnya
terdapat seekor burung yang sedang terbang.

Alya merekam seisi kamar Al. Gambar pemandangan yang


dicetak besar itu berada di depan meja belajar Al. Di atas
meja ada computer dengan kerta note warna-warni
tertempel pengingat deadline-deadline grafis Al. Di dekat
Mouse cangkir terakhir Al masih menghening di sana,
ampasnya dikeringkan waktu. Di kanan meja terdapat sebuah
rak tempel berbahan papan kayu yang di pernish, tersusun
berpuluh-puluh buku dengan nama-nama seperti Soekarno,
Soeharto, Tan Malaka, Soe Hok Gie, Pram, Hamka, Karl Marx,
Plato, Chairil, Joko Pinurbo,Phutut EA, Sapardi, dan lain-lain
semacamnya adalah yang paling memimpin di barisan buku
itu.

Pandangan Alya berputar mengitari kamar Al, di tembok-


tembok tertempel begitu banyak kertas yang berisi puisi-puisi
Al dan kutipan-kutipan. Serta poster Abah Iwan, John
Lennon, Gun n Roses, Nampak meramaikan suasana kamar
Al.

Nanda melangkah masuk, ia membetulkan salah satu lukisan


Al yang terlepas dari dinding. Lukisan seorang wanita cantik
tengah memejam dalam. Nanda sadar itu adalah lukisan Alya,
berkali-kali ia melihat wajah Alya, lalu melihat lukisan itu lagi,
ia lihat lagi wajah Alya dengan fokus, lalu ia bandingkan lagi
dengan lukisan itu.

“Ya sudah, Alya. Kamu cari saja informasi mengenai Al di sini.


Aku nggak mau lama di sini nggak enak sama Al kalau aku di
kamarnya, dengan Alyanya pula.” Kata Nanda lalu pergi
setelah menempelkan kembali lukisan yang terlepas dari
dinding.
“Maksudnya?” seketika Alya yang keasyikkan merekam
kamar Al tersadar dari semestanya, ia semakin bingung
dengan kata-kata Nanda.

Alya masih tak mengerti. Ia menoleh kepada lukisan yang


baru di betulkan oleh Nanda. Alya penasaran dengan lukisan
itu. Alya mendekat. Semakin dekat semakin ia merasa
familiar dengan sesuatu hal, semakin pula jantungnya
berdegup kencang. Tepat di depan lukisan, matanya tak
berkedip, mulutnya lupa ia rapatkan.

“Aku?” kata Alya saat melihat lukisan yang di buat Al.

Ia fokuskan lagi dengan kekhusyukkan tingkat tinggi meneliti


lukisan yang mirip dengannya itu. Alya semakin yakin bahwa
itu adalah lukisan wajahnya.

Alya linglung, tak percaya apa-apa yang dilihatnya. Ia lemas


dan duduk di sisi dipan kasur. Ia jatuhkan badannya,
tangannya spontan meraih bantal Al. Dipeluknya. Alya
memejamkan mata. Ia menangis di dalam sana. “Al,” lirihnya.

“Bagaimana mungkin?” pikir Alya saat menyadari lukisan itu


adalah benar-benar dirinya.
Alya lirik lagi lukisan itu, berharap bahwa kenyataan yang
terjadi hanyalah ilusi semata, namun gambar itu tak berubah.
Alya baru menyadari bahwa di sisi kanan tak jauh dari lukisan
iu terdapat sebuah puisi yang dituliskan dengan tulisan
tangan yang begitu menawan.

‘ALYA’

Jika kau gunung


Setinggi apa
Aku sedia
Habis Usia
Mendakimu.

Jika kau laut


Sedalam apa
Aku sedia
Habis Usia
Menyelamimu

Tapi kau langit,


Di atasnya lagi.

2013.
Alya membaca puisi itu, matanya terbelalak, tangan Alya
seketika menutup mulutnya, bersamaan dengan tangisan
Alya yang semakin sendu. Tahun yang tercantum di sana
adalah 2013, itu berarti Al membuat lukisan itu jauh sebelum
Alya dan Al berkenalan, bahkan jauh sebelum Alya
mengetahui bahwa sosok Al itu ada.

Al, laki-laki prinsipil yang orang-orang melihatnya seorang


yang angker, ternyata adalah seorang pemerhati yang sabar,
dalam, dan puitik.

Dalam sisi heningnya, Al memiliki perasan kepada seseorang.


Perasaan yang sudah ia pendam lama dan tanpa keberanian
mengungkapkannya. Ialah lembar kanvas, puisi dan sekian
banyak kata-kata yang dipilih Al untuk menyampaikan
perasaannya.

Alya bisa saja salah duga bila menemukan puisi dan kata yang
menggambarkan dirinya, bisa saja itu adalah Alya yang lain.
Namun, tidak bisa tidak, bahwa perempuan di dalam kanvas
itu tergambar secara jelas, adalah dia. Alya Girija Awindya.

Dari lukisan, puisi, dan karya-karya Al di kamarnya, siapapun


yang masuk kesana pasti berpikir bahwa Alya adalah kekasih
Al. Sebab itu pula, Nanda mempercayai Alya untuk berada di
kamar Al.

Semesta seperti sudah menyiapkan segalanya. Meski tidak


ada informasi langsung yang menyebutkan keberadaan Al.
Hanya, disana, terungkap sesuatu yang lain. Sesuatu yang
sebelumnya hanya Tuhan, Al dan seisi kamarnya yang tahu.

Sepulangnya Alya dari rumah Al, ia merasa sangat bersalah


dan terpuruk sendirian. Membayangkan hukuman yang harus
di tanggung Al sendirian itu begitu membuat hatinya sendu.
Alya tidak tahu harus membagi semua kepiluan-kepiluan itu
kepada siapa. Akhirnya Alya memutuskan untuk pergi ke
AMKO kedai kesayangan Al. Kedai jatuh cintanya Alya.
MALAM YANG SAMA DI KEDAI AMKO.

Mas Janu, Pinta, Ebon, Hadid, Jeje dan beberapa teman yang
lain sedang bercakap-cakap di kursi depan Bar. AMKO
memang menyetel sebuah meja panjang di depan BAR, itu
semua untuk para pelanggan yang ingin menikmati sang
barista meracik kopi pesanannya. Tentu saja, topic
percakapan mereka tidak terlepas dari Al.

Al bak menghilang tanpa jejak. Dari lingkaran kawan-kawan


dekatnya semua itu bisa mereka maklumi sebab ada begitu
banyak ujian yang telah lelaki itu dapati. Tak heran, Al ingin
menenangkan hatinya. Begitu kata Mas Janu, yang diikuti
oleh anggukan setuju semua kawan-kawan pejalan. Namun
di balik sikap Mas Janu yang seperti itu, sebenarnya ia tahu
kemana pergi Al, sebab Al meminta Mas Janu untuk
mengantarkannya ke loket Bis tujuan Kerinci. Ke Kampung
halamannya. Mas Janu terpaksa menyembunyikan semua itu
karena Al sendiri yang meminta. Tak ada yang tahu kemana
tujuan Al selain Mas Janu dan Pinta.

Semua kawan-kawan pejalan sebenarnya sudah mengetahui


bahwa Alya juga berada di sana, Hanya, mereka merasa kesal
dan kehilangan respek atas apa yang telah Alya lakukan pada
Al. Terutama Ebon dan sesiapa yang peduli kepada Al.

Di balik nama kebesaran seorang Alya Girija Awindya sebagai


sekretaris BEM dan Mahasiswa terbaik yang IPK di pukul rata
mendapat nilai A, Alya adalah seorang yang kesepian. Pinta
mengetahui itu sejak mereka saling bertukar cerita dan saling
mengenal. Alya pun juga sudah begitu dekat dengan
lingkungan Pinta—Lingkungan yang bagi sebagian mahasiswa
fakultas Sosial adalah lingkungan yang Underground—dekat
dengan segala macam kekeliruan. Bahkan belakangan, Pinta
sering dihubungi Alya untuk mendengar curahan hatinya.
Namun Pinta mengabaikannya.

Pengabaian Pinta kepada Alya itu dilakukannya sebab ia


merasa perlu menjaga respek pada orang-orang terdekat
Al—dan semua orang-orang yang peduli dengan Al—yang
menolak percaya pada Alya, Hary, dan kampus. Teman-
teman yang mengenal Al, merasa Al tidak seperti apa yang
telah dipersangkakan mereka di kasus kelas Bu Rani.

Pinta kuatkan dirinya untuk ikut mengabaikan Alya, sesekali


ia tatap Alya yang duduk sendirian jelas sekali gadis itu
berantakan. Di jeda pembicaraan, Pinta mengelus dadanya
mencoba manampik hatinya.

Semua itu dimulai sejak malam di AMKO itu, saat Alya


menceritakan kepada Pinta sebermula permasalahannya
dengan Al. Semakin hari, semakin Pinta tahu dan fasih betul
bagaimana jatuh bangunya Alya dalam mencari Al. Terlebih
setelah Pinta mengerti bahwa yang terjadi antara Alya dan Al
adalaha lebih dari sekedar permasalahan Bu Rani, mereka
berdua lebih rumit dari itu.

...

Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, bersamaan


dengan bubarnya semua teman-teman yang hadir di AMKO
membahas Al dan segala permasalahan yang dihadapinya.
Kedai sudah mulai menyepi, bunyi mesin roasting kopi
mengisi keheningan. Mas Janu dan Pinta masih di AMKO, pun
begitu juga Alya yang sudah tertidur di mejanya.

Tak jauh berbeda dengan Pinta, Mas Janu ternyata memiliki


alasan yang sama dengan Pinta atas pengabaiannya, lelaki
yang sudah memiliki satu anak itu masih tak percaya dengan
apa yang telah Alya lakukan terhadap Al. Mesti ada sesuatu
yang salah di balik itu semua.
“Mas. Aku yakin Alya tidak menginginkan semua itu
menimpa Al, Alya bukan orang seperti itu. Pasti ada alasan
lain atas semua yang terjadi antara mereka.” Jelas Pinta

“Entahlah, Nta. Aku juga merasa seperti itu, Alya tak mungkin
sampai hati melakukan itu semua.” Kata Mas Janu bimbang

Setelah mengangguk beberapa kali, tanpa meminta


persetujuan Mas Janu, Pinta langsung menghampiri Alya
yang tengah tertidur di balik tangannya yang menyilang.

Pinta menggoyangkan tubuh Alya pelan.

“Ya..”
“Alya..”

Alya terbangun. Mendapati seorang Pinta di depannya, ia


rapihkan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Hmm.. kamu,” kata Pinta terbata-bata, “Kamu kenapa tidur


di sini? Pindah ke dalem aja.” Lanjutnya lagi, Pinta tak bisa
menyembunyikan rasa canggungnya.

“Aduh, Maaf, Nta. Aku ketiduran,” balas Alya spontan,


keduanya menghening.
“Mau close order, aku pulang dulu ya,” kata Alya memecah
keheningan. kedua gadis itu terjebak dalam perasaan
canggung.

Alya beranjak meninggalkan Pinta, ia tak tahu harus berkata


seperti apa untuk menjelaskan kondisinya. Bagai ada tembok
besar yang menghalangi dirinya untuk bersikap seperti biasa
kepada Pinta dan Mas Janu. Alya tahu dirinya salah, suatu hal
yang wajar bila Pinta dan Mas Janu menjauhinya. Pun Alya
menjadi ragu-ragu untuk mengobrol dengan Pinta lebih jauh.

Setelah membayar dan tanpa berbasa-basi dengan Mas Janu


di kasir, Alya langsung melangkah keluar. matanya berkaca-
kaca setelah melempar senyum dan melewati Pinta di
tempat ia tertidur tadi. Ia menyesal atas perbuatannya yang
berakibat menghilangnya orang-orang yang menurut Alya;
orang-orang baik.

Pinta terdiam setelah melihat senyum Alya. Jelas sekali


sahabatnya itu sedang terluka, entah karena masalah Al, atau
mungkin karena Pinta yang memilih menjauh kepada Alya.
Alya tak berani dan benar-benar merasa tak enak kepada
orang-orang terdekat Al, Pinta sadar akan hal itu.
Beberapa langkah melewati Pinta, seketika Alya
menghentikan langkahnya.

“Maaf, Nta. Sampaikan maafku kepada semuanya, aku gak


tahu mau mengucapkan ini pada siapa lagi,” Tanpa
membalikkan badannya Alya meneteskan air mata. Lalu
melanjutkan lagi langkahnya.

“Alya..” panggil Pinta lirih, yang membuat Alya menghentikan


langkahnya lagi, lalu memutar tubuhnya menghadap Pinta.

Pinta, dengan mata yang berkaca-kaca membuka lebar-lebar


kedua tangannya. Lantas mendekat dan memeluk Alya, Alya
memeluk erat Pinta. Bersamaan dengan air mata yang kian
mengucur deras, gadis itu menangis dalam pelukan Pinta.

....
ESOK SORE, KEDAI AMKO.

“Serius Kamu?” Mas Janu bertanya dengan nada terkejut dan


mata membelalak

“Iya, aku baru dapat kabar dari Mamanya Alya,”

“Aduh, Pinta.. Pinta..,” Mas Janu mengelus-elus keningnya


sembari menggeleng-geleng tak karuan, “Kenapa kamu kasih
tahu dia kalo Al di Kerinci?!” lanjutnya

“Ku kira dia nggak bakalan nekat nyusul Al ke sana, Mas.”


Pinta nampak shock, “Aku dengerin semua cerita dia, Mas.
Dia udah ke kontrakan Al, dia lihat lukisan, baca catatan Al,
semuanya Alya ceritain. Kemarin dia nginap di kosku, tapi
pagi-pagi dia udah pulang,” jelas Pinta lirih, “Aku gak nyangka
kalo kepulangannya itu buat nyusul Al ke Kerinci.”

“Kalo masalah di kamar Al, Mas udah lama tahu, sebenarnya


Al udah jatuh hati sama Alya udah lama. Bahkan sebelum
Alya kenal sama Al. Tapi buat apa dia nyusul Al ke Kerinci?
Apa yang bakal Mas jelasin ke Al kalo seandainya dia ketemu
Al di sana?”

“Kamu tahu sendiri lah aturan mainnya. Alya itu siapa? Dia
pernah naik gunung? Tahu teknik? Pengalamannya gimana?
Dia ngerti gunung? Tahu standar? Apa dia kuat?!” Mas Janu
menarik napas panjang, “Teori-teori, jurnal, dan teknik
metode penelitian saintifik yang dia kuasai di kelas, gak
bakalan berguna di sana!” lanjut Mas Janu.

“Aduh, sumpah, Mas. Aku benar-benar gak nyangka dia bakal


nekat gini,” kata Pinta penuh sesal.

Mas Janu meminum segelas air putih, lantas pergi keluar


untuk mencari udara segar. Mas Janu mencoba menghubungi
Al tapi tak kunjung di angkat, Basecamp Kerinci juga tak
menjawab, ia hubungi lagi Pak Herman, sahabatnya. Namun
tak juga di angkat.
10. Hening
“Titik tertinggi dari memahami adalah, ketika kau tak
berbicara, aku tidak bersuara. Dan kita mendengar
segalanya.”

GUNUNG KERINCI.

Waktu terus berlalu, Al masih bertahan di penyendiriannya di


Gunung Kerinci. Perpanjangan simaksinya Al selalu di bantu
oleh Pak Herman yang jika datang selalu dititipinya rokok dan
lain sebagainya.

Sabtu sore, Al sedang menyusuri lereng selatan Shelter 3,


mencari sumber air bersih yang tidak tercemar oleh belerang
dan sampah-sampah pendaki.

Hari-harinya ia lalui untuk membersihkan sampah-sampah


peninggalan pendaki yang berserakan di Shelter 3. Al
mencoba membersihkan dan membuat alam surgawinya asri
kembali. Ia sudah bertemu dengan macam-macam watak
pendaki, dari berbagai kalangan, Tentara, Mahasiswa,
pekerja Bank, turis-turis mancanegara yang melakukan
penelitian, Al bersahabat dengan semuanya. Bahkan salah
satu turis yang bekerja sebagai wartawan Denmark pun
tertarik mengulas dirinya di dalam blog pribadi.

A man who make Kerinci Volcano the new face. Begitulah


judul yang diangkat oleh wartawan itu tentang Al. Ia
mengapresiasi tindakan-tindakan Al yang mengabdikan diri
untuk menjaga kelestarian Kerinci.

Al membawa beberapa botol air sekembalinya mencari mata


air bersih. Dari kejauhan, ia melihat dua orang pendaki yang
mendekat ke tendanya. Ia menduga-duga bahwa itu adalah
Pak Herman yang membawakan barang pesanannya.

Al mendekat, masih dengan botol-botol yang penuh berisi


air. Mentari perlahan terbenam di ufuk barat, tiba-tiba
langkahnya terhenti melihat bayangan seseorang di dalam
tendanya.

Pak Herman? Pikirnya.

Al berjalan lagi mendekati tenda. Beberapa langkah Al berada


di samping tendanya. Tiba-tiba rit pintu tenda terbuka, dari
kejauhan Al mendapati seseorang yang bukan Pak Herman
keluar dari tenda.
Remang-remang dengan pencahayaan yang sangat minim Al
memicingkan matanya pada wajah seorang yang baru keluar
dari tendanya. Al waspada, jantungnya berdegup kencang, ia
bersiap-siap jika seburuk-buruknya yang keluar dari tenda itu
bukan Pak Herman melainkan pendaki lain yang mencoba
mencuri barang-barang Al.

Sesampainya di depan tenda, seseorang yang keluar berjalan


terseok dan membuka selendangnya.

“Al?” sebuah suara parau memanggil nama Al.

Al mendekatkan wajahnya kepada seorang itu. Menjelajahi


apa yang ada di depan matanya. Sepatu sneakers, celana
jeans, kemeja flanel, dan selembar kain tenun yang melingkar
di lehernya.

“Alya?” kata Al terpatah-patah keheranan. Dengan wajah


pucat, Alya tersenyum menatap Al.

“Pak Herman,” kata Alya parau.

Rupanya benar dugaan Al. Bahwa dua pendaki yang ia lihat


tadi adalah Pak Herman, dan tamu yang ia bawa adalah Alya.
Alya Girija Awindya. Selain kopi, rokok, baterai, Mie instan
yang di bawa Pak Herman sore itu, ia juga membawa sebuah
titipan, Alya.

“Apa kabar kamu?” kata Alya tersenyum lagi, “Aku kesini


untuk ..”

“Untuk menunjukkan kebodohanmu!” kata Al memotong,


“sungguh bila ingin menunjukkan itu, kamu tak perlu jauh-
jauh ke mari.” Lanjutnya lagi sambil berjalan menuju tenda
dan melewati Alya begitu saja.

Ia berkata-kata mengutuki perbuatan Alya yang datang ke


Kerinci tanpa pengetahuan, pengalaman, dan kecintaan pada
alam. Kekonyolan seperti itu tak bisa Al terima.

Beberapa langkah melewati Alya, tepat ketika posisi Al dan


Alya saling membelakangi.

Brak....

Alya tersungkur ke tanah tak sadarkan diri.

.....
SHELTER 3, MALAM HARI.

“Terima kasih,” kata Alya yang baru saja keluar tenda, ia


beberapa langkah dari Al yang sedang duduk memeluk diri
dengan tangannya sendiri membelakangi api.

“Aku tidak ingin mendengar argumen apapun,” kata Al


memotong, ia masih membelakangi Alya. “Istirahatlah,
pulihkan tenagamu, lalu besok ku antar kamu turun.”
Lanjutnya dingin.

Alya melangkah menghampiri Al. Rembulan memancar


bergandengan dengan bintang-bintang, desau angin
menarikan dedaunan, suara letik bara kayu mengisi
keheningan. Al dan Alya, berdampingan, tatapan mereka
jatuh pada arah yang sama, tempat lelampuan kabupaten
Kerinci nampak remang-remang, membiarkan rencana tuhan
bekerja.

Sepasang itu di kuasai keheningan.

Alya mengeluarkan MP3 milik Al, lalu memutar lagu kesukaan


Al.

Untuk Kita Renungkan~ Ebiet mengalun lembut di tengah


keheningan.
Mereka terdiam, menyimpan pikiran dan perkataan di kepala
masing-masing. Ebiet sampai di bagian chorus. Al memang
menyukai lagu ini, bahkan potongan lagu Ebiet ia bubuhkan
di dalam kamarnya. Al tidak bisa tidak menikmati bila sudah
berhadapan dengan musikalitas khas Ebiet.

“Tengoklah ke dalam, sebelum bicara, hanyalah dia di atas


segalanya,” Alya bernyanyi lirih.

“Hanyalah dia di atas segalanya,” lanjut Alya bernyanyi.

Al menikmati MP3 miliknya, menikmati suara Alya yang


masih parau namun tetap memaksakan bernyanyi mengikuti
irama Ebiet.

“Memang bila kita kaji lebih jauh..” Alya melanjutkan


bernyanyi.

“Masih banyak tangan, yang tega berbuat nista.” Lanjut Al


meneruskan lirik Alya dalam hati.

Alya menangkap kode respon dari Al yang nampak


menikmati lantunan lagunya.

“Kamu sering nulis lagu-lagu Ebiet di blog, aku jadi tahu lagu
favoritmu,” kata Alya.
Al mendengarkan, namun tak mengindahkan kata-kata Alya.
Tak ada satu kata yang keluar dari bibirnya untuk Alya. Satu-
satunya yang ada dalam pikiran Al adalah untuk tetap
membuat Alya merasa bersalah atas kekonyolan dan
kenekatannya mengikuti Al ke Kerinci tanpa ada persiapan.

Tak beberapa saat, setelah meredup api unggun, Al


melangkah masuk ke tenda. Alya melihat apa-apa yang di
lakukan Al di dalam. Al nampak merapikan dan menyiapkan
sesuatu. Tak lama, Al keluar dengan membawa sleeping bag
dan matras birunya, di depan Api, Al membaringkan
tubuhnya di sana. Lelaki itu masih teguh dengan
pendiriannya untuk tetap bersikap dingin kepada Alya.

Masih di tempat yang sama, Alya tak bisa banyak bergerak,


tubuhnya terasa nyeri, wajahnya masih pucat. Udara semakin
dingin, gigi Alya menggigil beradu-adu. Alya tak mampu
melawan dingin di tempat yang baru pertama kali ia datangi.
Semakin dingin, semakin Alya hilang kendali atas tubuhnya,
napasnya pendek tak beraturan, kepalanya pusing, udara dan
apa-apa menekan tubuhnya. Alya rebah, kembali tak
sadarkan diri.
Tak lama, setengah sadar, Alya merasa tubuhnya melayang
lalu terjatuh secara perlahan pada suatu tempat dimana
langit-langitnya berwarna oranye. Siluet bayangan seseorang
bergerak di atas kepalanya.

“Al,” kata Alya pelan.

Tubuh Alya menghangat, setengah sadar ia tahu bahwa


dirinya sudah di dalam tenda. Dua buah sleeping bag
menumpuk menyelimuti Alya, kakinya sudah terpasang kaos
kaki beserta balutan kantong plastik di dalamnya.

Al terus bergerak membenahi Alya. Baju-baju kering ia


jadikan sebagai penopang kepala Alya.

Menyadari perbuatan Al kepadanya, Alya memilih untuk


tetap terpejam dan tidak mngeluarkan kata-kata. Ia ingin
dianggap kedinginan. Dianggap tidak sadar. Entah
bagaimana, ia ingin tangan Al terus mengurusinya, terus
merawatnya.

Tubuh Alya bergetar kembali, namun kali ini bukan kerena


udara dingin, melainkan karena sebuah tangan menyentuh
pipinya, Al membenarkan rambut Alya ke samping. Al
menatap wajah Alya.
Lampu diredupkan. Resleting tenda dirapatkan. Al tidur di
luar, di atas matras di bawah bivak flysheet darurat
buatannya.

....
PAGI BERIKUTNYA.

Pagi belum benar-benar sempurna, Al terbangun dari


tidurnya. Sejenak ia terkejut diatas tubuhnya sudah di
selimuti dengan sleeping bag. “Alya yang melakukannya,”
Pikir Al.

Al bangkit lalu meregangkan tubuhnya. Sebuah sarapan


sudah siap di dekat api semalam, “Alya,” pikir Al lagi. Sontak
Al menoleh ke tenda, Alya sudah tidak ada di dalam.

Al menengok sarapan, Alya sudah memasak Mie dan Nasi.


Nasi yang dimasak Alya tidak matang sempurna. Itu wajar
oleh sebab memasak di gunung harus menggunakan teknik
tertentu, tapi untuk seorang yang baru pertama kali
memasak di gunung Alya lumayan berbakat.

Al melangkah ke belakang tenda, berniat untuk membasuh


mukanya di semak-semak. Sesaat setelah menyiram wajah
dari botol air, Al menangkap bungkusan mie di balik semak-
semak. Al mengambil bungkusan itu, alisnya berkerut.

“Alya!” kata Al dengan amarah saat ia menyadari bahwa Alya


yang membuang sampah tersebut.
Dengan wajah penuh emosi, Al kembali ke dekat tenda.
Langkahnya besar, napasnya memburu, di kepalanya sudah ia
siapkan nasehat-nasehat yang akan ia lemparkan kepada
Alya.

“Al, itu ada sarapan, di makan ya.” Teriak Alya dari kejauhan
di ujung lereng dengan menggendong beberapa kayu kering
di tangannya.

Al menoleh, ia mencoba menenangkan diri. Melihat Alya


yang sudah riang kembali dari kondisi lemahnya membuat Al
mengurungkan niat untuk memarahinya. Ia tak sampai hati
perang saraf dengan gadis itu di pagi yang cerah seperti ini.

Al putuskan untuk mencari pagi baiknya. Ia ingin membangun


mood yang baik setelah kedatangan Alya menyusulnya. Al
menyalakan kompor lalu memasak air, untuk membuat
secangkir kopi. Sembari menunggu air panas, Al melintingkan
kreteknya.

Telah siap kopi mendarat di bibirnya, asap kretek yang masuk


ke paru-parunya. Al mendapatkan pagi yang baik. Pagi yang
sama seperti pagi lainnya semenjak ia memutuskan untuk
terasing.
Alya masih sibuk mencari kayu kering. Setelah menyiapkan
kopi untuk Alya, Al memutuskan untuk mengambil lagi
persediaan air di tempat yang telah ia temukan kemarin.

Sesampainya di sana, Al terbelalak. Pitamnya naik lagi,


napasnya memburu, kali ini Al benar-benar marah. Al
mendapati mata air yang berada di hadapannya itu sudah di
penuhi oleh buih-buih sabun. Airnya sudah tak jernih lagi.

Al tak peduli lagi dengan kondisi tubuh Alya. Perbuatan Alya


sudah tak bisa ia tolerir. Al berjalan menghampiri Alya yang
sudah di depan tenda menyiapkan kayu bakar.

Al diijinkan untuk tinggal di Shelter 3 oleh sebab Pak Herman


dan kawan-kawannya percaya akan Al dapat menjaga
konservasi alam Kerinci dengan wawasan dan idealisme yang
dimilikinya. Al menganggap perbuatan Alya benar-benar
telah merusak hubungan baiknya dengan Alam Kerinci.

Al hitam hati, dalam pikirannya hanya satu; memarahi Alya


dan membawa gadis itu pulang detik ini juga!

“Perempuan nomor satu di kampus!” kata Al yang semakin


mendekat dengan Alya.
Melihat gelagat Al yang mendekat dengan air muka yang
masam, Alya terdiam memaku.feeling Alya seketika
mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Bodoh!” teriak Al. “Tahu kau kenapa aku membenci


kampus?”

“Al?” Alya melembut takut.

“Sebab yang di cetak mereka adalah orang-orang bodoh


seperti kamu!” kata Al menunjuk Alya penuh amarah,
“Perusak yang tak pernah merasa merusak. Pembunuh yang
tak pernah merasa membunuh. Orang bodoh yang merasa
sudah pintar sebab ijazah menuliskan begitu!”

“Al?” panggil Alya lirih.

Setelah menghujani Alya dengan kata-kata tajam, Al tidak


sadar bahwa perkataan yang keluar dari mulutnya itu telah
menyinggung hati terdalam Alya. Alya merasa takut dan
sedih, ia berjalan menuju tenda untuk menghindar dari
amarah Al. Ia baru menyadari kesalahannya. Seketika Alya
merasa bodoh dengan dirinya yang sembarangan membuang
sabun di gunung. Al hari itu benar-benar tidak mempedulikan
Alya. Hingga senja datang, tak ada sepatah katapun yang
keluar dari mulut Al.

...
MALAM HARI.

Setelah lama terdiam, Al akhirnya memutuskan untuk


membuatkan makanan untuk Alya yang seharian tidak keluar
dari tenda. Al memasukkan sepiring masakannya, buah-
buahan dan secangir kopi dari rit tenda yang tertutup.

Malam mulai larut, begitulah Alam. Tempat dimana tak ada


titik aman . badai tiba-tiba datang menggarayangi Gunung
Kerinci.

Hujan membasahi tubuh Al sekaligus mematikan api


buatannya. Al yang sudah berpengalaman dalam hal-hal tak
terduga seperti ini dengan cekatan langsung membuat parit
di sekeliling tenda Alya sebagai jalur air agar tidak
membasaih tenda.

Mendengar suara-suara kebisingan di luar, Alya memutuskan


untuk mengintip.

“Masuk tenda, Al. Diluar hujan,” kata Alya yang terbelalak


menyaksikan Al sedang sibuk membuat parit di samping
tenda.

“Kamu yang masuk Alya! Tidur ya, badai besar.” Balas Al yang
sudah basah kuyup di terjang hujan.
Oleh sebab tak mau dimarahi lagi oleh Al, Alya lekas-lekas
memasukkan kepalanya lagi ke dalam tenda.

Setelah parit selesai, Al dengan sigap memasang flysheet ke


atas tenda Alya. Sebenarnya tenda Alya itu sudah double
layer, namun Al merasa hujan badai cukup besar dan ia ingin
memastikan tenda—dimana terdapat Alya di dalamnya—
benar-benar aman dari terjangan badai.

Dua jam berlalu. Alya memberanikan diri untuk mengintip


lagi ke luar tenda. Alya menemukan Al sudah berpindah
posisi, Bivak yang ia bangun sudah ia rapatkan di dekat
gundukan batu tak jauh di depan tenda.

...
PAGI SELANJUTNYA, SELEPAS BADAI.

Kelelahan menanggulangi badai semalam membuat Al terlalu


lelap hingga terjaga ketika mentari sudah tinggi.

Sebagaimana nuansa selepas hujan, pagi itu cuaca cukup


cerah dan sejuk. Lagi, Al melakukan rutinitasnya dengan
membasuh muka, kopi, kretek, lalu duduk di tempat biasa ia
menikmati nuansa pagi. Al menoleh ke tenda, pintu masih
tertutup. “Alya lelah,” pikirnya.

Dalam hati, Al merasa telah ‘kelewatan’ terhadap Alya


perihal peristiwa kemarin. Hanya, Al sebagai seorang
manusia yang memiliki cukup ego pada sisi tertentu, menolak
untuk menyapa Alya terlebih dahulu. Al menunggu Alya yang
menyapanya, sama seperti hari-hari biasa.

Habis secangkir dan selinting kretek, Al bertanya-tanya kian


dalam perihal Alya yang tak kunjung keluar tenda. Biasanya
Alya selalu bangun lebih dahulu, menyiapkan sarapan
ataupun pergi mencari reranting kayu kering. Namun hari ini
tidak ada yang seperti itu.

Al akhirnya mengalahkan ego sendiri, dengan cekatan Al


langsung menyiapkan sarapan Alya. Tak Cuma itu, Al meracik
juga secangkir Capuccino untuk dinikmati Alya setelah
sarapan.

Lima belas menit berlalu, sarapan telah disusunnya di atas


alas dedaunan. Ia menghias pinggiran nasi dengan dedaunan
yang berbaris melingkari pinggiran sajian. Al memang begitu,
ia memang seorang koki yang handal, bila sudah memasak
lelaki itu akan menampakkan sisi puitiknya. Menghias
masakan adalah salah satu kebiasaannya.

Al bergerak ke muka tenda. Ia panggili nama Alya untuk


bangun dan sesekali menggoyangkan frame tenda untuk
membangunkan Alya. Namun, Alya tak kunjung menjawab. Al
pun memutuskan untuk membukanya sendiri untuk
membangunkan Alya.

“Kosong?” batin Al.

Al mencoba tenang, ia lantas menuruni lereng menuju


tempat tenda-tenda para pendaki lainnya. Posisi tenda Al
cukup jauh dari tenda-tenda pendaki lain, bisa dibilang posisi
tenda Al adalah tempat ekslusif.

Di sana, empat tenda warna-warni berdiri berdampingan. Al


mendekat mencoba mencari Alya yang mungkin sedang
bercakap-cakap dengan pendaki-pendaki itu. Namun
sesampainya Al di muka tenda tidak ada Alya, yang ada
seorang porter muda yang menuturkan bahwa pemilik tenda
itu sedang pergi muncak.

Al beranjak lagi menuju sisi barat campground, tempat ia


biasa mengambil air. Ia berputar-putar di sana. Sama. Alya
tidak ada.

Al tidak bisa berpura-pura untuk tetap tenang. Ia panik bukan


kepalang. Sekuat tenaga Al berteriak memanggil nama Alya
di segala titik Shelter 3. Alam mengembalikan sahutan Al.
Desau angin benar-benar membuat Al ketakutan di
perjalannya kembali ke tenda.

Al masuk ke dalam tenda, mencari petunjuk tentang Alya.


Barang-barang dan daypack Alya sudah tidak ada, Al
menemukan sepucuk surat yang di tempeli di layer tenda.

Al. Mungkin kamu bosan mendengar kata maafku,


tapi aku benar-benar minta maaf. Maaf atas semuanya. Aku
selalu merepotkanmu. Entah itu di kota atau di alam,
kehadiranku selalu membuat kacau hidupmu.
Aku menyadari ini setelah apa-apa yang aku lalui
saat bersamamu di sini. Terima kasih telah sudi menjagaku
dan merawatku. Memaafkan segala kekonyolan dan
kebodohanku ini. Benar katamu, darimu aku belajar bahwa di
sini aku bukan siapa-siapa. Semuanya benar.

Aku putuskan untuk pulang, Al. Kehadiranku hanya


akan merepotkanmu dan mengacaukan perjalananmu. Al,
aku pulang, jangan khawatirkan aku. Nanti bila sampai di
bawah aku kirimi surat ke Pak Herman sebagai pertanda aku
sudah sampai.

Kamu baik-baik ya di sini. Dan lekaslah menyusulku


pulang. Aku tunggu kamu di Padang.

Terakhir, maaf. Aku mencium keningmu sebelum aku


jalan.

: Alya Girija Awindiya

Dalam hitungan menit usai membaca pesan terakhir Alya, ia


raih gearbagnya, Flysheet, tali webbing, kotak P3K, ia
sangkulkan lagi bayonet di sisi pinggangnya. Al melesat
menyusul Alya. Intuisinya berkata bahwa Alya belum jauh
dari Shelter 3.
Al ialah pendaki yang handal, baik di trek pasir pun brlumpur,
semua pendaki yang baru turun dari puncak menyaksikan Al
yang berlari menuju jalur pendakian “Jalur Tikus” begitu
orang-orang menamainya.

Dengan napas terengah-engah, Al masih melesat mengejar


Alya. Di beberapa titik, trek berlumpur. Berkali-kali ia
terpeleset ketika menuruni jalur pendakian yang cukup licin.
Lututnya berdarah, oleh sebab tersandung batu di sisi jalur
ketika menuruni tanah yang terjal.

Waktu tempuh normal dari Shelter tiga ke Shelter terdekat


yaitu biasanya 2-3 jam, namun Al mampu mempersingkatnya
menjadi 1 jam saja untuk berada di Shelter 2. Pukul 11.09 Al
sampai di Shelter 2.

Nihil, tidak ada Alya dan sedikit pun petunjuk tentang


keberadaannya. Al meneriaki nama Alya dari Shelter 2. Angin
mengembalikan suaranya, tak ada seorangpun yang
menyahut. Al panik, ia raih botol minuman di gearbag nya, Al
memutuskan beristirahat sejenak lalu baru dia akan
menuruni lagi Shelter2 menuju Pos peristirahatan 3. Al
melesat lagi, namun kali ini kecepatannya tak seperti
sebelum Al menuruni Shelter 3. Tenaganya telah terkuras,
langkahnya bergetar sesekali. Dalam pikiran Al, sejauh-jauh
Alya menuruni jalur ia akan sampai di Shelter 1 ketika malam
tiba. Al akan mengejar Alya sebesar apapun kemungkinan itu
terjadi.

Dari kejauhan, riuh rendah suara orang terdengar di balik


perkabutan. Mendengar hal itu Al percepat langkahnya. Tiga
orang pendaki beristirahat di bawah pohon. Sayangnya,
mereka adalah tiga lelaki dari pegiat alam Hijau Kerinci. Tidak
ada Alya di sana.

“Maaf, bang. Udah lama di sini?” tanya Al kepada tiga


pendaki tersebut.

“Lumayan, bang. Gimana? Ada yang bisa saya bantu?” jawab


salah satu pendaki itu yang mnedapati Al nampak
berantakan.

“Lihat Alya, bang?” tanya Al dengan nada cemas. Ketiga


pendaki itu berkerut saling pandang satu sama lain
kebingungan, “Perempuan, celana jeans, kemeja flanel, dan
pake sepatu sneakers,” lanjut Al lagi.

Ketiga pendaki itu nampak berpikir, mensinkrokan ingatan


mereka berdasarkan ciri-ciri yang Al paparkan.
“Hmm, Kayaknya gak ada, bang. Kami hanya bertemu dengan
dua orang pendaki yang turun, dan mereka laki-laki.
Sepanjang perjalanan ke sini kami gak bertemu perempuan
yang turun.” Jelas salah satu pendaki tersebut.

“Iya, Bang. Gak ada perempuan yang turun. Kami kira hanya
ada kami bertiga saja manusia di sini.” Sambung salah satu
pendaki lainnya.

“Gimana, bang? Ada masalah apa?” tanya pendaki yang


lainnya lagi penasaran.

“Oh, gak ada bang. Saya kira teman saya sudah turun duluan.
Kalo begitu, saya permisi bang.” Kata Al, lalu bergegas naik
kembali ke Shelter 2.

Ia urungkan niat untuk mengejar Alya ke Shelter 1. Sebab Al


percaya pada pendaki itu atas dasar idealisme. Al semakin
tak karuan pikirannya, sepintas kejadian-kejadian mencekam
yang di alami Roni dan Alim di Puncak Marapi terbesit di
hatinya. Al berusaha menghapus dugaan-dugaan seperti itu.

“Dimana kamu, Alya?” teriak Al dalam hati, matanya berkaca-


kaca.
Al kerahkan seluruh teknik dan kemampuannya untuk
memacu waktu kembali naik ke Shelter 3. Hanya ada dua
kemungkinan yang terjadi. Satu, Alya tersesat sebelum
sampai di Shelter 2. Dua, Apa-apa yang Alya tuliskan di tenda
semuanya adalah ilusi semata, dan kini Al tengah berada di
tengah mimpi tidurnya.

Al sudah mengetahui dan fasih betul dengan titik-titik trek


yang licin. Ia akan berhati-hati ketika bertemu dengan titik
yang sudah membuatnya jatuh bangun kala menuruni Shelter
3. Selebihnya, Al akan berlari, lari, dan lari.

Alam memang misterius. Sefasih apapun seorang merasa


mengenal alam, sewaktu-waktu ia selalu bisa membuat
manusia merasa bodoh dan sadar, bahwa manusia adalah
tempatnya keterbatasan dan ketidaktahuan. Hujan datang
seketika menggantikan terik matahari sebelumnya.

Tak terasa melewati rimba belantara, dengan nyanyian


binatang membuat waktu terasa lebih cepat berputar. Tepat
pukul 5 sore Al baru sampai di Jalur Tikus. Sebab hujan dan
trek yang amat licin benar-benar mempengaruhi waktu Al
untuk kembali ke Shelter 3. “Alya, Alya, Alya.” Batinnya
berteriak di sepanjang perjalanan.
Ia turunkan tubuhnya, mengambil napas sejenak, lalu
berjalan lagi. Ia tatap tajam jalur tikus yang sudah melegenda
dengan stigma ektrimnya itu. Tekanan-tekanan yang datang
dari kepalanya membuat Al bimbang.

Alya, tidak kemana-mana. Ia masih di sana. Menikmati


secangkir kopi atau semacamnya. Kata Al sendiri mengambil
kesimpulan, lalu melayangkan kakinya beberapa langkah
menaiki gundukan batu besar.

Alya mungkin tersesat!!! simpulnya lagi.

Tidak, tidak! Alya mungkin turun bersama pendaki yang


lewat jalur Solok Selatan. Kata Al lagi, tak karuan.

Alya tidak bawa headlamp! Bagaimana jika ia benar-benar


tersesat? kata Al sendirian sambil melihat langit sore yang
kelam.

Al bergegas, memaksakan kakinya untuk mendaki lebih


cepat, ia sudah tak peduli dengan luka, lelah, dan apa-apa
yang melekat pada dirinya. Dalam pikiran Al hanya satu; Alya
harus ditemukan sebelum malam. Meski ia harus mencari
Alya di ujung gunung sekalipun!
Dari kejauhan, Al dapat melihat tenda yang ia tinggalkan.
Cepat-cepat ia tanyai info pada semua pendaki yang ada di
Shelter 3. Sampailah ada seorang porter yang mengatakan
bahwa memang ada rombongan pendaki yang turun tadi pagi
lewat jalur Solok, namun porter tersebut tak tahu pasti
apakah Alya ada bersama para pendaki itu atau tidak.

Ia hembuskan lagi napas keras-keras, ia bergegas maju ke


arah tendanya, namun Al tak berhenti, ia justru ingin
langsung menuju pintu masuk Shelter 3 Via Solok. Al tergesa-
gesa sekali. Ia memang belum pernah sama sekali mengikuti
jalur baru itu. Hanya, beruntung bagi Al yang gemar
membaca dan berdiskusi dengan orang-orang di sekitar
pegunungan, bahwa tidak ada yang sia-sia dari membaca dan
interaksi antar manusia. Pengetahuan dan pengalaman tidak
pernah tidak berguna. Dari info-info tersebut Al dapat
membayangkan medan tempur yang akan ia lewati di jalur
Via Solok.

Al tahu, perjudian yang ia lakukan adalah dapat


menyebabkan marabahaya pada tubuhnya yang kian
melemah. Namun, tidak bisa tidak Al harus menemukan Alya.
Menemukan gadisnya, Alya Girija Awindya.
Beberapa langkah melewati tenda yang didirikannya di
tempat ekslusif itu, seorang memanggil namanya.

“Al,”

Seseorang keluar dari tenda. Al membalikkan badannya,


matanya yang mulai sayu itu terbelalak seketika.

“Alya?” kata Al sendiri memastikan apa yang dilihatnya.

Al bergegas maju menuju Alya yang rupanya ada di tenda. Al


mendekat dengan langkah-langkah kecil yang cepat,
napasnya terengah-engah, rambutnya sudah basah, kakinya
terluka. Pandangan Al lurus kepada Alya.

Alya, dalam hatinya ia sudah siap untuk dimaki, dimarahi,


atau dipukul sekalipun. Ia akan terima itu. Alya tahu, Al
mencarinya. Alya tahu ia bersalah lagi. Alya benar-benar di
telanjangi oleh alam.

Alya yang kemarin mendapat informasi bahwa Gunung


Kerinci dapat di daki melalui dua jalur, yaitu Kersik Tuo dan
Solok Selatan. Alya berpikir bahwa jika ia turun dari jalur
Solok ia bisa langsung mencarter mobil untuk pulang ke
Padang tanpa perlu menyusahkan lagi Pak Herman yang pasti
akan kesusahan mencari mobil untuk Alya. Itulah yang ada di
kepala Alya untuk pulang sendirian bermodalkan peta
sederhana jalur dan catper Solok. Alya tidak bersama para
pendaki seperti yang Al duga, ia sendirian. Benar-benar
sendirian!

Beruntung, Alya akhirnya menyerah—ketakutan dan get


Chaos di sepertiga trek menuju pos 4 jalur Solok—segera
memutuskan untuk kembali ke Shelter 3 tempat tenda milik
Al.

Al sampai di depan Alya. Wajahnya hanya berjarak sejengkal


dengan wajah Alya. Napas Al belum mereda, matanya
berkaca bertamu ke mata perempuan di hadapannya. Mata
Alya di genangi tanya. Dalam diam, Alya menunggu sesuatu
yang buruk akan terjadi selanjutnya.

Al menggerakkan tangannya. Sebuah pukulan barangkali


akan terjadi sebab akumulasi kebodohan-kekonyolan yang
telah Alya lakukan. Reflek, Alya memejamkan mata.

Yang terjadi, Al memeluk Alya. Tepatnya; Al memeluk Alya


erat-erat.
Alya membuka mata. Dipundak Al yang basah, napas
berhenti seketika. Al dalam pelukannya seakan berkata;
Jangan Pergi dariku, lagi. Alya.

.”Maaf, Alya,” kata Al lirih.

Gerimis jatuh di atas mereka berdua. Atas nama terharu


sedih atau apa, Al tetap tidak menangis. Pelukannya yang
erat itu seolah menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam
dari menangis.

“Di pelukanmu, Aku merasa pulang.” Kata Alya lagi, air


matanya terjatuh.
11. Pindah ke Hatimu
“Aku pernah dirayu rembulan untuk naik dan
meninggalkan kota yang dimana-mana sakit. Aku
menjawab ‘tidak!’. Ketika itu kau disampingku.”

Tak terasa sudah Sabtu. Satu hari setelah Al dan Alya


menyatu, menjadi pasangan. Al memutuskan untuk
mengajak Alya turun. Di kota, ada banyak hal yang harus Alya
lanjutkan, dan Al sadar bahwa Alya memang tak semestinya
berada di sini. Al tak ingin Alya menjadi seperti dirinya, ia
harus tetap menjalani hari-hari di kampus seperti biasa. Alya
harus pulang.

“Aku mau di sini aja, Al. Biarlah aku lepas semester ini
sebagai hukuman atas perbuatanku,” rengek Alya saat Al
mengajaknya turun.

“Jangan kamu melakukan semua itu karena aku. Hukuman


hanya untuk orang-orang bersalah, dan kamu, tidak sedang
bersalah. Coba kamu bayangin semua yang sedang terjadi
tidak pernah terjadi, mungkin aku dan kamu gak akan
bertemu di sini,” kata Al menggoda,
“Aduh! Pokoknya aku bosan belajar di kampus, aku mau di
sini aja.” Alya merengek lagi,

“Siapa bilang belajar harus di kampus? Alya Girija Awindya


adalah seorang yang luar biasa. Jadikan dunia dan alam
sebagai kampusmu, jangan jadikan kampus sebagai
duniamu,”

Alya tak bisa berkata-kata lagi. Ia sangat bahagia bersama Al.


Tak pernah ia duga, ia akan jatuh pada seorang yang telah
menculik hidupnya. Alya mencintai Al, laki-laki yang
membuatnya melihat dunia dengan cara berbeda.

Begitu pula sebaliknya, siapa yang menduga bahwa Al, laki-


laki yang kawan-kawan Alya menyebutnya; seorang yang
sakit, dapat jatuh cinta pada perempuan yang datang dari
kalangan yang selalu Al lawan dengan kritik dan sinisme-
sinisme yang kental.

Apa yang terjadi adalah, Al dan Alya telah bersatu. Sepasang


yang merdeka, yang jika keduanya menuruti mekanisme dan
bermain dalam standar aman, maka tidak mungkin ada cinta
yang luar biasa seperti yang terjadi di Kerinci pagi ini.
Pagi itu di Kerinci. Matahari datang lagi, ia memang selalu
datang dan tak pernah mengenal kata tunggu. Al dan Alya
meninggalkan Shelter 3, Al memutuskan untuk turun via jalur
Solok.

PERJALANAN KE KOTA.

Setelah menempuh 1 hari perjalanan turun Via Solok dari


Shelter 3--Basecamp, Al dan Alya melanjutkan lagi perjalanan
menuju Sumatera Barat menaiki Bis.

Sepanjang perjalanan, sepasang itu berbahagia. Al sengaja


memilih bangku paling depan bersama supir, agar ia dapat
mengambil alih musik dan sound system Bis.

“Sampai di mana?” tanya Alya terbangun.

“Tidur aja,” kata Al sembari mengelus rambut Alya yang


bersandar di pundaknya,

“Sampai mana?” Alya mengulangi kalimatnya,

“Sampai hutan,” jawab Al

“Dari tadi juga kita di hutan terus,” Alya tertawa menanggapi.


Ia bangkitkan sandaran kepalanya di pundak Al.

“Itu Tai!” balas Al


“TAU!” kata Alya membenarkan,

“Hehe,” katanya Al menyengir, “Tos!” Al menawarkan


tangannya.

Alya menyambut memberikan tos pada lelakinya dengan


senyum merekah bahagia.

“Ehem... ehemm,” Pak Supir tiba-tiba berdehem


menyaksikan sepasang itu,

Sontak Alya dan Al menoleh.

“Pacarmu ya, Al?” tanya sang supir Pak Rahman, sahabat Al.

“Hehe, kamu pacarku?” tanya Al menoleh pada Alya.

“Ishhh Al!!” protes Alya kegemasan, menyikut lengan Al.

“Malu dianya, Pak.” Kata Al menoleh ke Pak Rahman.

Pak Rahman dan Al tertawa. Alya salah tingkah.

“Si Al ini, langganan bapak, neng. Kalo dia pulang ke Kerinci


pasti dia hubungin bapak.” Jelas Pak Rahman lalu memutar
kemudinya mengikuti jalanan yang berbelok. “Pernah dulu,
Al nekat mau gantiin bapak jadi Supir, haha.” Lanjutnya
tertawa.
“Terus.. bapak setuju si Al ini jadi Supir?” tanya Alya tertawa.

“Iy.. Iyaa setuju, bapak kasih, dianya juga maksa. Terus


penumpang yang di belakang pada protes sama bapak, hehe.
Mereka ketakutan.”

Alya tertawa. Sebuah tawa lepas yang ia sendiri pun telah


lupa kapan ia terakhir merasakan hal-hal sebahagia ini.

Alya benar-benar merasakannya, bahwa ternyata Al tidak


seangker yang orang-orang bilang,. Di balik segala prinsip dan
sikapnya yang terlihat keras, Al adalah laki-laki yang lucu,
terbuka dan bijaksana. Ia tidak menakutkan, ia hanya cerdas,
ia hanya seorang yang mempunyai sikap menolak terhadap
kepalsuan-kepalsuan.

....
LOKET BIS, PADANG.

“Padang,” Alya tersenyum, ia hirup dalam-dalam


udara sore kota kelahirannya. Sepasang itu duduk di sebuah
halte tak jauh dari loket, menunggu Mas Janu datang
menjemput.

“Tempat aku pergi dan tempatmu pulang,” kata Al, “Aku baru
nyadar, kalo kamu ini adalah orang barat.” Lanjutnya.

“Orang barat?” tanya Alya keheranan,

“Iya, Sumatera Barat.” Balas Al.

“Haha, Al. Aduh,” Alya kegemasan sendiri. “Kamu kalo dari


jauh, dinginnya minta ampun, Angker. Tapi kalo udah kenal
kocaknya minta ampun,”

“Kamu selama ini kemana aja sih? Kok aku baru nemuin
kamu sekarang,” lanjut Alya lagi menggenggam erat tangan
Al.

“Hmm, aku ada, di Sanggar terus. Kamunya aja yang gak


kelihatan,” balas Al.
“Loh, aku juga di Sekre terus. Aku gak tahu kamu, kan kamu
yang tahu aku. Harusnya kamu nyamperin aku dan bahagiain
aku dari dulu,” kata Alya berlagak sombong.

“Enak aja, kamu tuh yang harusnya nyamperin aku di


sanggar. Main ke UKM Bawah trus bilang ‘Al aku cinta
padamu’,” Al membalas kesombongan Alya. “Emangnya
kamu siapa? Suruh-suruh aku repot-repot cari kamu,”
lanjutnya Al memprotes.

“Aku siapa?! Yakin kamu mau tahu aku siapa?” tantang Alya,
“Aku adalah catatanmu, lukisan di kanvasmu, bait dalam
puisimu, aku adalah yang kamu kagumi selama ini. Bahkan
sebelum aku tahu bahwa orang bernama Al itu ada di dunia
ini.” Kata Alya tertawa, merasa menang telak dalam sesi adu
kesombongan dengan Al.

“Hehe, nyerah. Nyerah.. Bos.” Kata Al tak berdaya dengan


kata-kata Alya.

Terus seperti itu. Al dan Alya seakan tak pernah kehabisan


bahan bicara yang mereka berdua olah menjadi sebuah
kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Hingga tak terasa, setengah
jam waktu berlalu mereka menunggu di halte. Senja mulai
menghampiri langit Padang.
Mas Janu, Pinta, dan Nanda datang.

“Alya!!” dari kejauhan Pinta berlari menghampiri Alya. Mas


Janu dan Nanda mengekor di belakang.

Alya berdiri menyambut Pinta dengan kedua tangannya yang


lebar terbuka. Tangis haru Alya pun pecah sesampainya
pelukan Pinta mendarat di tubuh Alya.

Mas Janu dan Nanda hanya menggeleng kepala melihat Alya.

“Nekat, Nekat!” kata Mas Janu pada Al.

“Maaf Al, Aku gak tahu kalo Mbak Alya bisa senekat itu
nyusul kamu ke Kerinci.” Sontak Nanda memotong, merasa
punya andil besar atas kenekatan Alya.

“Jadi kamu biang keroknya? Kamu yang ngasih info kalau aku
ke Kerinci. Kamu bisa membahayakan nyawa anak orang,
seharusnya kamu tahu prosedurnya.” Kata Al berlagak dingin,

Nanda terkesiap, berdiri mematung, tak berani mendekat ke


Al.

“Aku gak kasih tahu keberadaanmu, aku Cuma membiarkan


Mbak Alya masuk ke kamarmu,” kata Nanda pelan.
“Gimana Mas? Kita kasih hukuman apa junior kita yang
melanggar kode etik?” tanya Al mengalihkan perhatiannya
kepada Mas Janu.

“Hmm.. Tam...” kata Mas Janu menahan kalimatnya. Nanda


hanya terdiam menunduk, laki-laki itu tahu akan
kesalahannya, hatinya berdebar, ditambah lagi Al dan Mas
Janu adalah seniornya di MAPALA.

“Tampung makan kita malam ini!” Mas Janu melanjutkan


kalimatnya. Semuanya tertawa.

Nanda terkejut. Ia buka matanya. Hatinya tenang. Melihat Al,


Mas Janu, Pinta, dan Alya mengerjainya.

Semuanya berbahagia. Padang menyambut Al dan Alya


dalam pelukan langit Senja.

...
12. Jalur
“Perbuatan sekecil apapun mesti memiliki arti.
Sekecil apa, perbuatan tetaplah perbuatan.”

SETELAH KEPULANGAN ALYA.

Tiga hari dari sejak Al dan Alya kembali ke Padang. Al


meminta Alya untuk mengistirahatkan tubuhnya saat terakhir
mereka berpisah di Loket. Alya benar-benar kelelahan, Itu
wajar untuk seorang gadis seperti Alya yang harus
menaklukkan Kerinci tanpa persiapan yang matang dan
pengetahuan apapun tentang dunia kependakian.

Sebenarnya Alya tidak benar-benar mendekam di rumah, ia


juga pergi ke kampus untuk mengikuti kuliahnya. Hanya,
kampus bagi Alya berbeda tanpa keberadaan Al. Alya
mencoba berbaur dengan kawan-kawan yang
memproklamirkan diri sebagai ‘orang baik’ di kampus.

“Al, kamu dimana?” begitu tulis Alya di kolom chat


sepulangnya dari kampus.

Alya tahu Al adalah seorang yang sangat sinis terhadap


ponsel. Lelaki itu adalah seorang yang cukup sulit untuk
diajak berinteraksi lewat ponsel. Bahkan di era kini, 2014,
barangkali hanya Al satu-satunya mahasiswa yang tidak
menggunakan gadget yang sedang happening-happeningnya;
lengkap dengan fitur Whatsapp. Namun, tanpa kabar dari Al
membuatnya merasa ia harus menghubungi Al melalui pesan
singkat.

Al memilih untuk bertahan dengan ponsel nokia jadulnya.


Ponsel berlayar monokrom kekuningan yang chasing
belakang sudah hilang, dan body ponsel hanya dililiti lakban
hitam sejenis isolasi untuk menahan baterai ponsel agar tidak
jatuh di belakang.

Satu jam berlalu, ashar tiba, setelah membersihkan


kamarnya, Alya tengok lagi ponselnya, beberapa chat
Whatsapp dan SMS masuk, hanya tidak ada satupun tertera
nama Al di sana. Hal itu membuat Alya merungut, disaat
bosan seperti ini; memikirkan dirinya bersama Al dan segala
jenis candaannya adalah sesuatu yang membahagiakan.

“Kamu dimana, Al? Aku bosan.” Alya mengirim lagi pesan


singkat kepada Al, lalu bermalas-malasan di tempat tidurnya.
Rambut Alya yang panjang terurai berantahkan di spring bed,
Alya melihat langit-langit kamarnya.
Tak beberapa menit, desing mesin dan klakson yang berbunyi
parau bersahut di depan kos Alya. Sontak Alya
membangkitkan tubuhnya hendak berjalan ke jendela. Tak
sampai Alya berdiri tiba-tiba ponselnya bergetar. “Al” begitu
yang tertulis di layar. Alya engurungkan niat untuk menengok
ke jendela dan perhatiannya kini sudah benar-benar
teralihkan ke ponselnya.

“Kamu dimana? Aku di luar nih, mau ikut menyalamatkan


dunia gak?” tanya Al dari seberang telepon.

“Hah? Kamu diluar?” tanya Alya sumringah, ia langkahkan


kakinya menuju balkon kamar.

Tit.. Tit..

Dengan senyum merekah dan lambaian tangan, Al


membunyikan klakson motor tuanya setelah mendapati Alya
yang sudah berdiri di balkon kamarnya.

“Mau ikut gak?” teriak Al di seberang jalan.

Alya tertawa kecil, melihat tingkah Al yang berteriak keras,


lupa bahwa dirinya sedang tersambung dengan Alya di
telepon.
Dengan senyum merekahnya Alya mengangguk.

“Sebentar, Tuan. Aku siap-siap dulu,” katanya lagi sembari


berjalan menuju lemari.

“Gak usah dandan, dunia tidak perlu di selamatkan dengan


penampilan ke kondangan.” Balas Al di telepon.

“Iya bentar, cuci muka aja, nih.”

“Aku tunggu di luar ya.” Jawab Al.

Tak lama, Alya keluar. setelannya dari bawah, separu


sneakers usang, jeans yang sobek di salah satu bagian
lututnya, kaos polos dibalut kemeja flanel hitam. Rambutnya
diikat. Lengannya menggendong totebag kecil bermotif
dedaunan.

“Kamu Al sekali,” kata Al menyambut kedatangan Alya yang


sedang menutup pintu pagar.

Alya tersenyum. “Kamu kemana aja sih? Dua hari gak ada
kabar,” kata Alya merungut,

“Ada kok. Di kepalamu,” balas Al singkat.

“Isshh,” potong Alya malu-malu,


“Yaudah, ayok!” lanjut Alya lagi.

“Siap, buk bos!” kata Al sembari menginjak pedal engkol


motornya.

Dari Kosan Alya, motor Al bergerak menuju Pasar Raya,


Padang.

“Pasar Hewan,” Alya membaca plakat besar dekat pintu


masuk pasar. “Mau beli apa?” tanya Alya keheranan.

“Kan sudah kubilang,” Al meletakkan helmnya dan


menghampiri Alya yang masih keheranan untuk apa Al
membawanya ke pasar hewan. “Menyelamatkan dunia,” kata
Al lagi.

Al meraih tangan Alya dan mengajaknya melangkah masuk.


Alya yang masih belum mengerti siratan makna ketika Al
berkata ‘Menyelamtkan dunia’ memutuskan untuk ikut saja.
Intuisinya berkata, akan ada sesuatu hal dari Al yang akan
membahagiakannya.

Al membawa Alya mengitari pasar. Perasaan Alya menebak,


Al akan membelikannya sebuah hewan peliharaan sebagai
tanda kehidupan yang perlu Alya rawat, jika boleh memilih,
Alya sebenarnya menyukai kucing, hanya, apapun yang akan
Al berikan nanti, Alya akan dengan senang hati menerima
dan merawatnya.

‘Burung,’ batin Alya melihat Al menghentikan langkahnya di


area hewan burung. Alya tersenyum, ia menyukai burung
meski belum pernah sekalipun memeliharanya. Untuk Al, ia
merasa bisa melakukannya.

Tepat seperti dugaan Alya.

“Pilih satu. Yang menurutmu paling cantik dan layak untuk


dimiliki orang-orang.” Al mempersilahkan Alya.

Alya melepaskan genggaman tangan Al dan berjalan


berkeliling melihat burung-burung yang terpajang di sana.
Perhatian Alya tertuju pada seekor burung berbadan kokoh
dengan paruh berwarna kuning campur oranye.

“Jalak ya ini, Da?” kata Al pada bapak penjual saat mendekat


ke sangkar yang dipilih Alya.

“Jalak Sumatera,” jawab bapak penjual.

“Jalak Sumatera,” spontan Alya mengulangi nama burung


yang di hadapan matanya.

“Bara ko, da?” tanya Al pada bapak penjual.


“500 itu, diak. Suaranya sudah pecah, mantap.” Jawab bapak
penjual.

Setelah tawar menawar, akhirnya Al membawa Jalak yang


disukai Alya itu seharga 300 ribu. Mulanya Alya menolak
dibelikan Al sebab harga tersebut terbilang mahal untuk
mereka berdua yang masih mahasiswa. “Aku udah nadzar
untuk ini,” kata-kata Al itulah yang membuat Alya merasa
berat untuk menolak pemberian Al.

“Kita nggak beli sangkarnya?” Alya bingung saat burung yang


ia beli hanya dimasukkan ke dalam kardus oleh bapak
penjual. “Aku kan nggak ada sangkar burung di kostan,”

“Nanti, kita kasih rumahnya,” jawab Al sambil bergegas


menyiapkan motornya untuk keluar dari pasar raya.

Sementara Alya bertanyta-tanya sendirir tentang burung di


kandang kardus yang ia bawa, motor Al terus melaju
membawa sepasang kekasih itu ke arah Gunung Padang,
sebuah bukit yang tak begitu tinggi di pinggiran pantai.

“Mau kemanas sih, Al?” tanya Alya.

“Menye...”
“Menyelamatkan dunia, oke...” Alya memotong gemas
mendengar tanggapan Al.

“Sebentar lagi sampai, kok. Sabar ya.” Al menghibur Alya. “Itu


Jalaknya ajak ngobrol dong, kasihan dia.” Canda Al.

“Jalaknya kasihan ini, Al.”

“Kasihan kenapa?”

“Sendirian dia,” Alya memasukkan ujung jarinya ke lubang


kardus. “Besok beli satu lagi ya, biar jadi sepasang kayak
kita,” canda Alya.

Al tersenyum, berkali ia tangkapi wajah cantik Alya nan lugu,


melalui kaca spion.

Al menghentikan motornya.

“Ini dimana?” tanya Alya seturunnya dari motor.

“Ini Bukit Padang, beberapa menyebutnya Bukik Seberang.”


Jawab Al sambil bergegas mengajak Alya melangkah.

“Kita mau naik?” tanya Alya.

“Dikit kok, sekitar 5 menit trekking lah.”

“Ini, jalaknya di bawa?”


“Bawa lah, kan kasihan dia kalo ditinggal.”

Al dan Alya pun menaiki Gunung Padang menuju titik yang


tadi di tunjuk Al. Sesampainya di sana. Al keluarkan botol
minumannya dari daypack.

“Minum dulu,” kata Al sambil memberikan botol


minumannya pada Alya.

Dengan napas cukup keengahan, Alya menyambut tawaran


Al.

Tak lama, dirasa cukup mengambil jeda istirhat. Al menarik


Alya ke pinggir lembah.

“Lepasin burungnya,” kata Al.

“Hah?” Alya keheranan, “Kok?” katanya.

“Iya lepas. Katanya kasihan tadi, burungnya sendirian. Maka


bebaskan dia, biar pulang ke rumahnya, ke Alam.” Jelas Al.

Alya mengerti maksud Al. Matanya menggenang bangga.


Bibirnya melengkung menatapi Al.

Al goyangkan telapak tangannya di muka mata Alya.

“Malah bengong,” kata Al membuyarkan imaji Alya,


Kemudian Alya keluarkan Jalak Sumatera dari kandang
kardus yang dibawanya. Dengan lembut dan hati-hati, ia
genggam lembut burung itu bersama-sama dengan Al.
Dengan hati bergetar penuh makna dan bahagia, Al dan Alya
membebaskan burung itu kembali ke habitatnya.

Di perjalanan pulang, Al menjelaskan kepada Alya mengenai


hal-hal hakiki selama perjalanannya dari pasar hewan ke
Gunung Padang sore ini. Dapat Alya cerna, bahwa hakikat
burung adalah terbang. Rumah apa-apa yang terbang adalah
alam lepas. Mengkandangkannya adalah sama dengan
membunuh hakikatnya.

Sebuah perbuatan mengembalikan burung dari kandang ke


alam bebas adalaj sebuah perbuatan kecil untuk
‘menyelamatkan dunia’, dunia yang terus menerus
merenggut hakikat segala sesuatu. Al berkeyakinan, sekecil
apapun perbuatan tetaplah perbuatan, dan sekecil apapun
perlawanan tetaplah perlawanan.

Di balik Al meminta Alya untuk memilih burung tercantik


yang ia suka, disitu Alya diperlihatkan analogi tentang
begitulah kerakusan dan ego manusia yang selalu
berkeinginan untuk memiliki, menguasai, mengangkangi, dan
mengkandangi apa-apa yang dirasa indah. Miris, semakin
cantik sesuatu, semakin besar resikonya untuk menjadi
korban keegoisan manusia.

...

Di jalan, Alya dan Al menciptakan kebahagiaan kecil yang bagi


mereka untuk merawat hubungan berkekasih. Tak terasa hari
Senja temaram di ujung horizon ketika Al membelokkan
motornya menuju Ampang.

“Mau kemana lagi, Mbak?” tanya Al diperjalanan.

“Hmm.. Kemana ya?” balas Alya mengulangi, “Kemana aja


deh, aku ngikut. Kamu panitianya.” Lanjut Alya

“Ke rumah Urak yuk,”

“Dimana?”

“Nanti juga kamu bakal tahu,” kata Al spontan

Motor Al terus melaju menuju daerah Jati dan berhenti di


salah satu rumah sederhana bercat kelabu.

“Assalamualaikum,” salam Al.


Dari halaman belakang rumah muncul seorang lelaki
berambut gondrong yang menyambut Al dan Alya dengan
senyuman.

“Waalaikumsalam,” balas lelaki itu.

“Inih yang aku tantik-tantik,” Lelaki itu langsung menyalami


Al, Al memperkenalkan Alya yang masih kaku berdiri di
belakangnya. Lelaki itu bernama Arlingga biasa dipanggil
Urak dari Kerinci satu kampung dengan Al.

Alya menyalami Urak sebagai pertanda perkenalan.

“Ini pacarmu Al?” Urak bertanya tentang Alya.

“Kamu pacarku bukan?” Al bertanya pada Alya. Wajah Alya


memerah malu. Ia lemparkan cubitan kecilnya kepada Al
yang bercanda.

Setelah beremeh temeh di depan pintu, Urak pun


mempersilahkan sepasang itu menuju workshop kecil yang
ada di samping rumah, yang biasa ia pakai untuk menyablon
dan memproduksi kaos.
“Lanjutlah begawe, saging bae urusan kito.” Kata Al, Alya
hanya mengerutkan dahi sebab tak paham apa yang Al
katakan.

“Nggak apa-apa, aku nyantai kok, Al.” Kata Urak. “Sebentar


aku ambil minum,” lanjut Urak sebelum beranjak masuk ke
dalam rumah.

Alya berjalan mengamati workshop yang Urak biasa pakai


untuk produksi kaos. Spontan di kepalanya terbayang jauh
tentang rutinitas produktif Al ini.

“Mbak, kalo aku tinggal sebentar gimana? Mau Shalat di


Masjid depan,” kata Al yang tak ingin mengganggu Alya
mengamati Workshop Urak. “Gak lama kok, 10 menit.”

“Iya, Aku disini aja.” Jawab Alya.

Al pun pergi meninggalkan Alya. Tak lama, Urak datang


dengan tiga cangkir kopi.

“Loh? Al kemana?” tanya Urak.

“Shalat Mas, di masjid depan.” Alya berjalan kembali ke meja


menghampiri Urak.

“Ini diminum, Mbak Alya. Ngopi kan pasti?”


“Alhamdulillah ngopi.” Kata Alya sambil meraih cangkirnya.

Alya terkejut. Awalnya ia meminum kopi Urak hanya sekedar


untuk menghargai suguhannya saja, ‘Ternyata Urak ngerti
kopi,’ batin Alya.

“Ini gulanya Mbak, kalo gak suka pahit.” Urak menawarkan


gula yang terpisah yang ia letakkan di samping cangkir.

“Nggak usah, Mas.” Jawab Alya sambil satu, dua kali ia sesapi
cangkirnya.

“Suka kopi ternyata,” kata Urak menyadari cara Alya


meminum kopi, “Pasti Al yang ngeracunin ya?” lanjutnya.

Alya hanya tersenyum menanggapi Urak.

“Sejak kapan Mas usaha ini? Al bilang Mas lulusan teknik


Unand ya?”

“Al yang bilang ya?”

“Iya, dia bilang Urak lulusan teknik UNAND, IPK tinggi,


sempat kerja di perusahaan otomotif ternama tapi akhirnya,
maaf, kata Al, kurang goblok apa Urak malah balik ke Padang
dan milih usaha beginian.” Jelas Alya menirukan Al.
“Haha, dasar Al,” Urak menanggapi. “Iya, mulai usaha ini dua
tahunan lah. Ya, lebih baik dianggap goblok tapi hati
tenteram dengan perbuatan-perbuatan kita sendiri,
ketimbang dianggap pintar tapi terus diperbuat.
Diperbudak.”

Alya mengangguk setuju. Sekilas perspektif ekonomi Urak


mirip dengan Al.

“Al itu pemuda cerdas. Tapi aku berani taruhan, pilihan


hidupnya nanti pasti akan lebih goblok dari saya,” kata Urak.

“Kalo si Al itu, udah lama ya Mas usaha beginian?” tanya Alya


sambil meraih cangkirnya.

“Sejak awal saya memulai usaha ini, Al itu udah menjadi


partner dan pelanggan tetap saya. Tapi seriusnya mendalami
produksi kaos ini mulai tahun lalu,” jawab Urak. “Kamu sama
Al sejak kapan?” tanya Urak.

“Belum lama mas, baru juga seminggu. Hehe,” Alya tertawa


kecil, “Masih banyak yang belum aku tahu tentang dia. Salah
satunya ya kayak beginian. Usaha produktif yang dilakukan
Al.”
“Pantes, tapi tenang aja, saya pastikan kamu tidak sedang
bersama orang yang salah.” Kata Urak.

“Al itu kreatif. Semuanya bermula ketika Al mengambil


inisiatif untuk membuat sendiri kaos-kaos untuk dipakainya
sehari-hari. Lalu suatu hari Al memutuskan untuk
memproduksi kaosnya sendiri lalu terjun ke dunia bisnis. Dia
tuh punya banyak temen yang penyintas dan aktivis
lingkungan jadi, iya, dia ambil langsung pasarnya outdoor
gitu, kayak yang sekarang ini.”

Alya menyimak dengan mimik serius penjelasan Urak, sambil


sesekali tersenyum dan menganggukan kepala.

“Lanjut mas,” pinta Alya.

“Iya, panjang tuh prosesnya. Al mengutip atau bahkan bikin


rangkaian katanya sendiri, di desain dengan sentuhan
tipografi gitu. Awal-awal Al sempat vacum karena ia Cuma
menganggap bisnis ini sampingan buat dia. Nama brandnya
kalo nggak salah, eee, lupa saya..”

“Avonturir,” Jawab Alya mengingatkan.

“Nah itu. Al itu unik, sebagai seorang yang kreatif, udah


cocok itu dia sebenarnya, dia itu punya keahlian meng-
Influeced orang, baik itu lewat karya dan argumentasi yang
elegan. Kalau nurutin sistem, sebenarnya dia nanti bisa
sangat berhasil dan sukses.” Kata Urak mengomentari
tentang kegiatan kampus Al.

“Cuman selain ngampus, dia ini kan bacaan, main, dan


kawan-kawannya sosialis semua. Nah bentrok disitu. Al nggak
mau nurutin mentah-mentah kapitalisme yang dia bilang, tak
punya agama, tak punya cinta. Tapi dia nggak mau Stuck dan
terus-terusan berkembang di perdebatan aktivisme. Eh,
Kamu emangnya kuliah di mana?” tanya Urak menghentikan
komentarnya.

“Satu kampus sama Al, Mas.” Jawab Alya.

“Aduh.” Urak kaget, “Maaf maaf loh Mbak, dari tadi saya
jelekin kampus kamu terus.” Lanjutnya.

“Haha, nggak apa-apa mas, udah kebal, si Al juga sering


ngata-ngatain kampus di depan saya.”Alya mencoba
membuat Urak merasa nyaman. “Lanjutin mas, ceritanya
tentang Al,” kata Alya lagi.
Belum sempat Urak melanjutkan ceritanya. Al datang.
sayang, Al sudah kembali. Cerita Urak tentang Al ke Alya pun
terputus.

Setelah berbicara sebentar mengenai pola kain, dan keungan


di antara Al dan Urak. Urak pun mulai bekerja mengikuti
desain-desain rancangan Al. Ditengah Urak yang menjalankan
produksinya, Al dan Alya pamit pulang karena hari sudah
malam. Urak menyarankan agar Al dan Alya menjemput
kaosnya esok hari.

“Sekarang mau kemana?” kata Al di dekat motornya. “Mau


nggak pulang atau masih mau main?” katanya lagi.

“Mau nggak pulang..” Alya mengulangi.

“Atau masih mau main?” Al menyambung.

“Ishh, Apa bedanya! Arghh ..” Alya gemas.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Alya


merengek ketika Al bermaksud mengantarnya pulang.
Namun setelah sekian lama mendengar penjelasan Al bahwa
besok ia akan menjemput Alya lagi, akhirnya Alya setuju.
Lagipula Alya harus pergi kuliah pagi-pagi besok.
AMKO KEDAI PARA PEJALAN.

AMKO selain di bangun sebagai bentuk ‘melawan’ dengan


misi, mempertemukan para pejalan, juga mendedikasikan
dirinya sebagai media edukasi bagi para pengunjungnya.
Selain menu yang dinamai dengan nama-nama yang berasal
dari alam, di AMKO, Pengunjung tidak akan menemukan tisu,
sedotan plastik, pun kertas order menggunakan kertas-kertas
daur ulang yang ramah lingkungan.

AMKO selalu punya cara ‘melawan’ yang cerdas. Disana, air


mineral gratis, ada satu galon yang siapapun bebas untuk
sekedar mengisi tmbler mereka. Di dapur, mereka menolak
menggunakan tabung gas subsidi dan selektif dalam hal
pemilihan bahan makanan. Pasar tradisional, petani dan toko
klontong adalah prioritas tempat belanja persedian di AMKO.
Sampah organik mereka berikan kepada para pegiat ikan
untuk diolah menjadi pakan, sedang sampah puntung rokok
mereka kumpulkan untuk di daur ulang dan kemudian
menjadi pupuk. Tentu saja, itu semua tak terlepas dari ide-
ide Al dan Mas Janu yang juga sebagai penyintas dan pegiat
lingkungan.
Kedai sudah ramai sejak lepas Maghrib. Beberapa rekan dan
kawan seperjalanan Al dan Mas Janu berkumpul di AMKO
untuk bersilahturahmi. Beberapa Pecinta Alam dari Bukit
Tinggi, Kayu Tanam, Kerinci, dan daerah-daerah lain sepakat
untuk melakukan pertemuan. Lelagu Indie, Folk, dan Jazz
memenuhi nuansa kedai. Al sibuk dengan mesin roasting,
sedang Mas Janu menyambut para kawan-kawan yang baru
datang.

Selain fokus dengan produksi kaosnya, Pun Al memutuskan


membantu Mas Janu di AMKO untuk mengisi masa
skorsingnya.

Sudah menjadi rutinitas AMKO untuk mengadakan


pertemuan dan event tahunan yang di beri nama ‘LINGKAR’.
Bertepatan dengan malam pergantian tahun, event juga
diramaikan dengan serangkaian acara diskusi tentang
Teologi-Ekologi-Lingkungan. Al menjadi salah satu pembicara
yang dipuncak acara akan tampil dengan tema Ekologi.

Padang, malam penghujung tahun bergolak. Segala jenis


orang berhamburan ke jalan, suara terompet bersahut-
sahutan, tepat pukul 00.00 WIB teriakan kebahagiaan
menggema, langit malam kota Padang dipenuhi kembang api
warna-warni. Orang-orang berbahagia merayakan malam
pergantian tahun. Beberapa memilih untuk berkumpul
bersama teman-teman di Pantai atau di cafe-cafe, beberapa
lagi asyik menghabiskan waktu di Bar, sisanya orang-orang
sederhana yang berkumpul dengan teman-teman di warung
kopi atau kedai sederhana.

Alya dengan cekatan meng-handle acara festival tahunan


kampus yang telah lama ia persiapkan bersama kawan-kawan
BEM-nya. Festival yang diisi dengan pertunjukkan seni dan
musik itu pecah ketika Band Sheila on 7 naik ke atas
panggung dan menyanyikan lagu pembuka. Alya, Mas Dino,
Dilla dan beberapa kawan panitia lainnya nampak lega atas
lancarnya acara.

“Si Al nggak ke sini?” tanya Hadid ketika berpapasan dengan


Alya di belakang panggung.

“Di AMKO, lagi ada acara. Kamu nggak ke sana?” balas Alya.

“Aku nanti aja. Nunggu acara puncak habis, lagian anak


kesenian nggak ada yang tanggung jawab kalau aku pergi”
jelas Hadid, “Barengan aja kita ke sana.” Lanjutnya lagi.

“Oke..” balas Alya sembari mengacungkan jempolnya.


...

Alya yang sejak perjalanan cemas akan keterlambatannya


meminta Hadid mempercepat laju motor. Namun kecemasan
itu seketika menghilang ketika Alya turun dari motor dan
menyadari bahwa dirinya tidak benar-benar terlambat. Alya
datang tepat waktu, ketika Al sedang berbicara di panggung.

Aku percaya, Semesta ini bergerak seimbang. Meski kadang


tidak sesederhana penjelasan matematis dan logis. Aku
percaya semesta ini bergerak seimbang dan setiap perbuatan
kita pasti ada dampaknya.
Harapan itu ada, sekecil apa,ada tetaplah ada.
Merasa tak bersalah sebab masing-masing hanya membuang
1 sampah. Tanpa sadar, jumlah Manusia itu 7 Milyar. Al
berkata-kata tentang Ekologi di atas panggung.

Sebab di dalam sudah penuh, Alya hanya berdiri di luar kedai.


Menatap laki-laki yang rambut gondrongnya di ikat satu
ikatan ke belakang itu sukses membuat Alya terkesima. Al
tidak menyadari Alya sedang menatapnya dari luar, Al terus
berkata-kata membawakan materinya.

...
13. Puncak
“Puncak itu akibat, bukan tujuan. Tujuan dalam
pendakian adalah Pulang ke rumah.”

JANUARI 2015.

Pagi di Rumah Alya, Packing.

“Pas!” kata Alya kegirangan sesaat ia memasukkan


kaki kanannya ke sepatu gunung yang di berikan Al. “Punya
siapa ini?” tanya Alya.

“Pakai aja. Dulu aku pernah dikasih hadiah ulang tahun dari
kawan-kawan, ukurannya kekecilan, jadi kusimpan aja
dirumah.” Jawab Al.

“Pakai sendal aja nggak boleh ya?” tanya Alya.

Al menghampiri Alya. Diikatkannya tali sepatu Alya.

“Dari nama aktivitasnya aja sudah jelas, Men... Da.. Ki..” Al


menekankan, “Suatu aktivitas yang menggunakan dominasi
kaki. Bicara kaki, sesuatu yang paling ideal untuk
membuatnya bisa diandalkan dengan optimal adalah bicara
sepatu. Tapi nggak cukup sampai di situ. Sepatu apa dulu
yang dipakai. Sepatu basket, futsal, sepatu gunung dan lain
sebagainya itu dibuat atas fungsi dan alasan tertentu. Jadi
bukan karena sudah bersepatu lantas kamu sudah merasa
aman digunung.

Sepatu gunung itu dibuat dengan sol kembang yang besar-


besar seperti ini,” Al menepuk-nepuk bagian bawah sepatu di
kaki Alya. “Dan bukan sol kulit. Banyak pendaki amatir naik
gunung pakai sol kulit. Akhirnya, mereka sering sekali
terjatuh dan tergelincir. Memang aku pribadi belum
menemukan kasus seorang pendaki yang meninggal karena
masalah sepatu. Tapi apakah sesuatu dianggap perlu dikaji
ketika ada yang mati? Kan tidak.

Sol dengan kembang-kembang sintetis seperti ini, dibentuk


agar kita bisa lebih taft melangkah, sepatu gunung kayak ini
bisa menggenggam tanah ketika kita melangkah.” Jelas Al.

Alya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Al.

“Terus kok aku nggak boleh pakai jeans dan kamu kasih aku
celana ini, kenapa?” Tanya Alya.
Alya tersenyum, ia tahu bahwa Al bila sudah menjelaskan
sesuatu kepada dirinya pasti akan sangat detail. Ia sengaja
banyak bertanya, karena melihat kekasihnya itu menjelaskan
sesuatu ditambah lagi perbuatan kecil Al yang mengikat tali
sepatunya membuat hati Alya berbunga-bunga.

“Beriklim tropis, Indonesia. Membuat gunung-gunungnya


dihiasi hutan lebat-lebat, lembab, dan curah hujannya tinggi.
Celana jeans itu memang terlihat kuat dan tebal, tapi tidak
mudah kering. Sekali jeans basah itu tidak bisa dipakai lagi
sebab mengeringkannya sangat lama. Pakaian yang basah
akan menyerap panas tubuh, dan jika terjadi, itu
menyebabkan Hipotermia.” Jelas Al.

“Oke bosku. Mbakmu ini sudah mengerti,” Alya berdiri


sambil berlagak memberi hormat pada Al.

“Nah sekarang packing,” kata Al menarik carrier yang tak


jauh dari Alya.

Alya dengan cepat mengepak barang bawaan, sleeping bag,


pakaian ganti langsung dia masukkan dengan cepat. Melihat
itu Al langsung menghentikan tangan Alya.
“Mbak, itu sebaiknya dibungkus dulu pakai plastik.” Dengan
senyum meneduhkan, Al mengambil sleeping bag dan
pakaian ganti, yang Alya masukkan ke dalam carrier.

Alya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,


sebenarnya.

Al tersenyum, “Tenang, nggak ada yang salah kok. Agar


seburuk-buruknya bila carrier kecemplung di air. Hujan dan
lain sebagainya. Kan baju ganti dan Sleeping Bag juga akan
ikut basah. Nah kalau basah mau angetin badan pakai apa?
Minta peluk?” tatapan jahil ala Al disambut Alya dengan
cubitan keras diperutnya.

Al tertawa, sedang Alya kegemasan.

“Packing itu simple, tapi bukan berarti digampangin. Ada


banyak teknik. Rekomendasi nih, kalau naik gunung itu bawa
carrier beginian. Ini dibuat berdasarkan keilmuan, dengan
bentuknya yang seperti ini, akan membuat titik berat beban
tepat jatuh dipundak dan punggung. Cuman ya
pengepakannya harus tetap kita atur. Aku sukanya naruh
beberapa barang yang berat di bagian atas, biar jatuhnya pas
dipundak dan punggung.
Barang-barang ringan kayak SB, pakaian ganti, dan lain
sebagainya. Yang nggak berkemungkinan untuk kita keluar
masukkan sebaiknya di taruh paling bawah.” Jelas Al lagi.

“Itu matras ya namanya?” tanya Alya.

“Iya, dilingkarin gini selain membantu membentuk carrier, ini


juga bisa jdi pelindung barang-barang di dalam tas.”

Sambil mengatur pengepakan carrier, Al terus memberi


pengarahan kepada Alya tentang seluk beluk perlengkapan
pendakian.

Setelah menyesuaikan jadwal kuliah Alya dan kesibukkan


aktivitas Al, akhirnya sepasang itu bermufakat untuk pergi ke
Marapi. Tidak ada lagi aktivitas-aktivitas yang terlalu krusial
untuk mereka urusi, Pun festival akhir tahun Alya di kampus
sudah berlalu, juga produksi kaos Al hampir terjual habis.

Hari-hari Alya setelah dirinya dan Al menyatu menjadi


sepasang kekasih berubah. Dari Al, dirinya menjadi paham
tentang relasi dan solidaritas. Al membawa Alya masuk ke
lingkaran yang bahkan sebelumnya belum pernah terpikirkan
oleh Alya untuk masuk ke dalamnya.
Terakhir setelah dirasa siap. Sebelum menuju Basecamp
Marapi, Al mengajak Alya untuk datang ke AMKO terlebih
dahulu. Disana Alya akan diceritakan pemahaman budaya
dan sosiokultur warga di lereng Marapi oleh Al.

Menurut Al, pengetahuan atau pemahaman budaya destinasi


adalah sesuatu yang penting untuk dipersiapkan. Dari situ,
seorang pejalan dapat memanifestasikan kata ‘dimana bumi
dipijak, disitu langit dijunjung’. Kebiasaan itu harus dimulai
dari kawan-kawan pejalan.

...

Di AMKO, Al mengambil satu pak Arabicca Kerinci. Sedang


Alya diberikan wejengan oleh Mas Janu tentang dunia
kependakian.

“Puncak itu bukan tujuan. Itu bonus. Tujuan kita adalah


rumah, Alya harus paham tujuan mendaki adalah pulang
dengan selamat. Untuk seorang yang seperti Alya, yang baru
pertama kali mendaki, iya nggak apa-apa, mungkin akan
dibuat lelah di perjalanan Estape 1. Marapi memang cocok
buat Alya. Nggak apa-apa kalo Alya bilang sama Al udah
nggak kuat, nggak usah dipaksakan. Intinya kenali batasmu.
Memilih turun adalah bukan penyesalan besar. Tapi Mas
yakin Alya ini kuat, Kerinci aja udah ditaklukian sama dia.
Hehe.” Canda Mas Janu.

Al datang dengan satu pak kopi ditangannya, menghampiri


Alya dan Mas Janu yang berbincang-bincang.

“Wah... kok Aku deg-degan ya, Mas. Perasaan kemarin pas ke


Kerinci aku gak terlalu mikir-mikir hal-hal gini amat.” Kata
Alya.

“Itu karena kamu sedang dalam perjuangan mencari sang


pangeran.” Al menyerobot pembicaraan.

“Haha, bisa dibilang itu sebuah kekuatan dari modal nekat.”


Balas Mas Janu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Setelah Motor


tua Al di atur sedemikian rupa, Al dan Alya berangkat menuju
basecamp Singgalang.

“Mas, aku pergi dulu ya.” Kata Al sebelum berangkat.

“Iya, Al. Salam buat Pak Mori sekeluarga.” Sahut Mas Janu.

...
10.30 WIB. Basecamp Marapi.

“Mari Mbak Al, saya pamit ke depan dulu urus registrasi.”


Pak Mori pamit meninggalkan Alya.

“Iya, Pak. Mari.” Jawab Alya.

Alya duduk sendiri di basecamp Pak Mori, tepatnya di ruang


tamu khusus yang berbeda dengan tempat para pendaki
biasa mempersiapkan registrasi.

Al sedang di depan, berbincang-bincang dengan Mas Hendra


salah satu petugas juga rekan Al. Alya telah diceritakan Al
bahwa dirinya sudah dianggap Pak Mori menjadi bagian
keluarga. Begitupun sebaliknya. Jadi Alya tidak heran jika ia
diperlakukan sedikit istimewa dari pada pendaki-pendaki
lain.

“Udah makan belum, Mbak?” tanya Al sekembalinya


menemui Alya di ruang tamu.

“Udah, Al.” Kata Alya menarik Al untuk duduk disampingnya.


“Baik banget sih Pak Mori, Suka.”

“Ini nggak apa-apa nih kita di dalam?” tanya Alya.

“Emang kenapa?” tanya Al.


“Yah, itu pendaki-pendaki lain kok di luar?”

“Merekakan pendaki biasa, kita berbeda.” Jawab Al bercanda


dengan lagak yang dingin. “Kalau kamu mau keluar, gabung
aja sana.” Kata Al lagi.

“Nggak ah, aku bukan pendaki biasa. Aku beda.”

“Emang kamu siapa?”

“Aku?” Alya meraih tangan Al. “Aku pacarnya pendaki luar


biasa yang satu ini.” Katanya dengan senyuman.

“Hehe, udah pintar kamu si Mbak ya.” Balas Al mengeratkan


genggaman tangannya.

Tak lama, setelah registrasi dan pembekalan sedikit tentang


aturan-aturan di Marapi yang di jelaskan oleh Mas Hendra,
Alya dan Al pun bergerak melakukan pendakian.
PUKUL 11.00 WIB.

Pendakian diciptakan Al dengan nuansa yang kadang lucu,


romantis, dan menggembirakan Alya. Setiap kali Alya berpikir
tentang rasa lelah, saat itu pula Al masuk mengalihkan
pikiran Alya dengan cerita dan guyonan ala Al.

Satu setengah jam berjalan mereka sampai di Pos 1. Sampai


disitu, Alya masih cukup sehat, enerjik, dan bahagia. Semua
itu sungguh prestasi bagi seorang yang pendaki pemula
seperti Alya. Hanya, itu tak terjadi semerta-merta begitu saja.
Serangkaian persiapan telah dilakukan Alya sebelum
melakukan pendakian. Diantaranya, jogging dan melatih fisik
di kota menjelang hari pendakian, latihan mengatur napas,
dan berbagai macam teknik lainnya.

Diluar semuanya sungguh satu yang terpenting yang


menguatkan Alya, adalah faktor Al.

“Gimana, aman Mbak?” tanya Al.

“Aman, Bos.”

“Lanjut kita?” Al menawarkan tangannya.

Alya meraih tangan Al dan bangkit.


“Ingat jangan lalu untuk mengaku lelah ya,” kata Al pada
Alya.

Keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Trek


masih tak jauh berbeda, bahkan dimula-mula, Alya
dimanjakan oleh beberapa trek yang cukup landai hingga
akhirnya sesekali memasuki area hutan yang rapat dan
curam.

Alya lebih banyak diam di trek menuju Pos 2. Menyadari itu,


Al memutuskan untuk mengambil jeda.

“Yak, istirahat dulu di sini.” Kata Al seraya mendudukan Alya


di tempat landai. “Senyum dong, Mbak.”

“Masih jauh nggak Al?” tanya Alya.

“Bentar lagi kok, 10 menit.”

“Dari tadi juga bilangnya dikit lagi, 10 menit.” Protes Alya.

“Hehe, Ini benerak Mbak.”

“Lah kalo gitu, ayok. Lanjutin aja.” Kata Alya tiba-tiba


bersemangat.

“Nanti dulu. Istirahat dulu. Bikin kopi mau?” Al memilih


menympan semangat Alya.
“Nanti aja, di pos 2.” Jawab Alya.

Setelah mengambil daypack dari punggung Alya dan


mengeluarkan kompor, nesting, dan beberapa cemilan
ringan. Al melepaskan carriernya untuk menjadi sandaran
untuk Alya.

“Diminum, dulu..” kata Al memberikan secangkir coklat


panas.”Coklat itu bagus untuk memulihkan energi.”

Alya menyambutnya. Dan meminta Al untuk duduk


disampingnya.

“Al,” kata Alya sesaat setelah menryeruput cangkirnya.


“Kamu ngerokok aja, nggak apa-apa, Al.” Alya mencoba
membaca dan memahami Al yang sedari tadi tak berani
merokok di dekat Alya.

Al tersenyum melihat Alya. Tak butuh waktu lama, Al


langsung menyalakan rokoknya dan berdiri menjauh
beberapa langkah dari Alya.

“Nggak usah jauh-jauh, deket sini aja.” Kata Alya.

“Jangan, aku disini aja nggak apa-apa.” Kata Al.

“Disini aja Al,” Alya memaksa, “Atau aku yang kesitu nih?”
Al bergegas duduk di samping Alya. Ia terlihat kaku ketika
menghisap dan menghembuskan rokoknya.

“Jangan dimatiin rokoknya, beneran aku nggak apa-apa kok.”


Alya meletakkan kepalanya di pundak Al.

Sebatang rokok sudah habis. Al memutuskan untuk


melanjutkan perjalanan lagi.

Al terus menggali imajinasinya untuk mengarang cerita-cerita


dan hal-hal yang dapat membuat Alya gembira. Dan Al selalu
berhasil untuk itu.

“10 menit ya,” kata Alya protes pada kata-kata Al sambil


mengkacakkan kedua tangannya dihadapan Al.

“Ampun, Ampun.. hehe,”

Al adalah seperti pendaki-pendaki lainnya, yang bila ditanya


‘masih jauh gak?’ oleh partner yang baru pemula mendaki ia
terpaksa berbohong.

Al merasa perlu melakukan itu oleh sebab sebuah harapan,


ya harapan lah yang membuat seseorang menjadi kuat dan
tetap berjalan.
2 Jam berlalu, Al berlari lebih dulu guna bersiap-siap menarik
Alya dari atas.

Dari atas, Al terdiam sejenak melihat aura kecantikan


kekasihnya itu. Alya tetap cantik meski napasnya terengah.
Terlebih saat ia mengikat rambutnya ke atas sambil
melangkungkan bibir manisnya begitu ia mengetahui bahwa
sebentar lagi ia akan sampai di Shelter Campground.

“Selamat datang di Marapi, Alyaku.” Al menunduk dan


berlagak bak penyambut pentas teater di hadapan Alya yang
akhirnya berhasil menaiki Marapi.

Siang itu, Al dan Alya mendirikan tenda di campground agak


mengambil posisi memisah dari tenda-tenda lain.

“Kamu duduk aja, kakinya dilurusin.” Begitu kata Al meminta


Alya untuk istirahat saja biar semua persiapan tenda Al
sendiri yang menangani.

Namun Alya tak mau berdiam diri saja, ia memutuskan untuk


memasak air sembari menunggu Al mendirikan tenda. Alya
sudah mulai paham’ Batin Al, sambil tersenyum melihat Alya
mengambil inisiatif itu.

...
Malam menjelang, tepatnya pukul 20.00 WIB. Alya baru saja
kembali usai mengantarkan omelet ke tenda lain di dekat
tenda mereka.

Dua sepasang itu, Al dan Alya, di hadapan api unggun,


dibawah langit Marapi yang gemilang, mereka
menghabiskan malam dengan bercerita apa saja. Bercanda
dan tertawa, bercerita tentang penyair yang ingin hidup
seribu tahun lagi, keluarga Pak Mori, kematian John Lennon,
dan petualangan-petualangan Al. Tak lupa, mereka juga
memutarkan lagu-lagu kesukaan Al di Speaker portable.

Alya tertawa bahagia. interaksinya kepada Al, kekasihnya,


benar-benar membuat Alya lupa apa itu lelah, udara dingin
malam Marapi pun tak mengusiknya.

Bulan semakin ke tengah dan udara semakin dingin, diantara


semua tenda yang ada di Campground, hanya tenda Al dan
Alya lah yang masih bergemeratak dan masih terdengar
suara obrolan.

Alya diminta oleh Al untuk beristirahat. Awalnya ia menolak


karena memang mata Alya belum mengantuk, hanya, setelah
bernegosiaisi, Alya akhirnya menuruti perintah Al.
Ditenda, Al mengurusi Alya untuk menciptakan rasa nyaman
menuju tidurnya. Berkali Al memastikan sleeping bag yang
menyelimuti Alya telah mampu menghangatkan Alya.
Diletakkannya berlapis pakaian dibawah kepala Alya sebagai
bantal. Di sisi tenda, Al meletakkan carrier dan daypack guna
menahan laju Angin yang mungkin akan mengganggu tidur
Alya.

Setelah mengecek pintu tenda, Al masuk ke dalam sleeping


bagnya. Tak lupa, Al mengingatkan Alya untuk berdoa.

...

PUKUL 05.45 WIB, PUNCAK MARAPI.

Pecah juga air mata Alya dititik tertinggi gunung Marapi itu.
Setiap inchi tolehan kepalanya, yang ada hanya ketakjuban di
satu sisi dan ketakjuban di sisi lainnya, selain pujian untuk
yang Maha Menakjubkan, pagi itu Alya benar-benar tak
dapat berkata-kata.

Dalam genggaman tangan Al yang tak pernah lepas


menjaganya menyusuri keheningan dan kebekuan Marapi,
Alya mengerti satu; bahwa perihal hidup adalah perihal
bagaimana seorang mampu memaksa dirinya untuk
membangunkan kekuatan terbaiknya.

Seorang, baik itu Al, pun sesiapa, pada dasarnya adalah


seorang yang kuat dan berdaya dengan raga, akal, dan
pikirannya, hanya saja kekuatan itu tidak pernah atau jarang
sekali digunakannya, sebab kehidupan modern dengan
berbagai sarana, fasilitas, dan segala bentuk kebiasaan manja
yang ada di kota telah membuat kekuatan dan kreativitas
manusia tertidur sekian lama. Mendaki gunung dan
melakukan hal-hal di luar titik nyaman adalah salah satu
upaya untuk membangunkan kekuatan sejati manusia.

Puncak Marapi telah mengajari Alya, bahwa terhadap segala


sesuatu yang ingin dicapai, seorang hanya perlu satu;
Menjalaninya.

Mendaki gunung, menghilangkan diri ke entah, membuat


seseorang dapat menemukan dirinya kembali, membuat
seorang dapat memahami kemampuan terbaiknya sebagai
manusia.

Alya belajar bahwa memahami diri sebagai individu tidak


lantsa berarti bicara individualis yang tertutup. Memahami
diri sebagai individu adalah proses memahami bahwa setiap
masing-masing kita adalah unik dan otentik.

Al menjelaskan, sejauh apa seorang mengoptimalkan diri dan


kekuatannya sebagai manusia adalah pertanyaan hakiki
selepas mendaki gunung. Dalam konteks pendakian, bila
ingin melihat kualitas seorang pendaki, jangan hanya lihat
dari berapa gunung yang sudah dipuncakinya, tapi lihatlah
dari sikap hidupnya selepas melakukan semua itu. Adakah
pembelajaran dan proses alam menjadikannya seorang yang
lebih baik dari sebelumnya? Atau Apa? Sungguh kasihan
mereka yang naik gunung hanya untuk mengejar popularitas
dan cerita yang akan diceritakan.” Jelas Al.

Al memejamkan matanya, ia rentangkan kedua tangannya,


menyelami setiap perkataan Al, menyatu dengan alam. Dari
jauh sana, ia merasa lebih dekat dengan nusantara raya.
14. Larung
“Adat basandi syara’. Syara’ basandi kitabullah.”

2015. PERTENGAHAN.

Sepulangnya dari Marapi, Al dan Alya membunuh waktu


dengan kisah mereka. Tanpa sadar, Alya menjelma menjadi
seorang yang kuat, otentik, dan merdeka. Pemikiran-
pemikran Alya perlahan berubah, sudut pandangnya telah
diputar oleh Al.

Alya memutuskan untuk melepas jabatan BEMnya. Kegiatan-


kegiatan kampus Alya tak serta merta lagi tentang rapat,
Mubes, Pemilu, dan debat. Alya lebih sering membangun
relasi dengan orang-orang luar biasa, mengajar anak-anak di
sebuah desa terpencil, membangun rumah baca, dan aktif di
berbagai kegiatan sosial lainnya.

Begitupun dengan Al, masa skorsingnya juga akan berakhir


dalam waktu dekat. Waktu yang telah berlalu Al jadikan
sebagai masa-masa pembelajaran untuk ia menjadi lebih baik
lagi.
Hingga suatu waktu, di sebuah sore setelah mengantar
pesanan Kaosnya, Al ditelepon oleh Mas Janu untuk datang
ke AMKO. Seorang datang mencarinya. ‘Katanya Penting.’,
begitu kata Mas Janu yang membuat Al langsung bergerak
menuju AMKO.

“Itu, yang cari kamu di bangku sembilan.” Kata Mas Janu


sesampainya Al di AMKO.

Al pun bergerak menuju bangku sembilan tempat yang


ditunjuk oleh Mas Janu.

Seorang bapak paruh baya menanti Al.

“Maaf, Pak,” sapa Al sambil membungkukkan badan tanda


penghormatan kepada beliau. “Saya, Al.” Katanya.

Bapak itu berdiri. Dari setelannya, ia jelas adalah seorang


kantoran dan berada.

“Saya Baharudin, kamu Nak Al?” tanya Bapak Baharudin.

“Oh, iya pak. Saya Al, Andalas Rizki Pratama. Maaf. Katanya
Bapak cari saya?” kata Al menyalami.

“Hmm.. duduk, duduk dulu Nak.” Kata Pak Baharudin sangat


ramah.
Al duduk, mengambil kursi di depan Pak Baharudin.

“Ada apa, Pak?” Al memulai percakapan.

“Saya Ayahnya Alya. Saya mencari kamu untuk mengatakan


sesuatu tentang Alya.”

Mendegar kalimat itu Al terkesiap. Matanya memindai lagi


Pak Baharudin. Tentu untuk Al, pertemuannya dengan Ayah
Alya adalah pertemuan yang mendebarkan.

Apa yang ingin Ayah Alya sampaikan sebenarnya? Hingga


Ayah Alya repot-rpot mencari Al sampai ke sini. Apa yang
terjadi dengan Alya? Bukankah hubungannya dengan Alya
baik-baik saja. Memang, satu minggu ini pertemuan mereka
tidak seintensif dari biasanya, pun itu oleh sebab Al meminta
Alya untuk fokus menghadapi Ujian Akhir di Kampus.
Pertanyaan-pertanyaan dan prasangka buruk memenuhi
kepalanya.

“Mengenai Alya, Nak Al.” Kata Ayah Alya.

Al tak bergeming.

“Apa benar kamu pacarnya Alya?” tanya Ayah Alya.

“Maaf, Pak. Kurang lebih benar, pak.” Kata Al dengan sopan.


“Jadi gini, Nak Al. Alya tidak tahu saya kesini mencari, Nak
Al.” Kata Ayah Alya memperbaiki posisi duduknya, “Saya
mohon maaf sebelumnya, Bukannya saya tidak mersetui
hubungan Nak Al dengan Alya. Pun saya sadar akan
perubahan Alya sejak berpacaran dengan Nak Al. Banyak hal-
hal positif yang Alya lakukan, Alya sudah tidak lagi menjadi
anak manja seperti dulu. Alya perlahan menjadi mandiri.
Saya tahu, Alya sangat menyayangi Nak Al. Dia juga sering
cerita-cerita pada saya tentang Nak Al.” Ayah Alya
mengambil jeda untuk ceritanya.

Al berdebar mendengar kata-kata selanjutnya dari Ayah Alya.

“Nak Al, pasti juga sangat menyayangi Alya. Saya berterima


kasih untuk itu, telah menjaga Alya. Hanya, ada sesuatu hal
yang perlu saya katakan pada Nak Al. Bahwa Alya itu
sebenarnya telah datang anak mamak dari keluarga Ibunya
bermaksud hendak meminang Alya selepas kuliah.”

Al terbelalak. Ia terkejut mendengar kalimat terakhir Ayah


Alya. Wajahnya muram seketika. Jantungnya berdegup
tergesa. AMKO menjadi gelap dimata Al.

“Tapi tunggu dulu, izinkan saya untuk menyelesaikan cerita.


Saya bukan tidak setuju ataupun tak merestui hubungan Nak
Al. Saya yakin, sejak pertama melihat Nak Al, saya langsung
berkesimpulan bahwa Nak Al ini adalah orang baik, sopan,
dan ramah. Hanya saja, Alya itu memang sudah dijodohkan
sejak masih kecil. Maaf sebelumnya, bukan bermaksud
memisahkan Nak Al, ini tentang Adat. Nak Al mungkin sudah
tahu tentang Adat Istiadat orang minang. Sudah menjadi hal
yang lumrah bila anak perempuan akan dipesrunting anak
Mamak. Sekali lagi, saya bukan tak merestui hubungan Nak
Al. Justru melihat perubahan Alya saya menjadi yakin bahwa
Alya sedang bersama orang yang tepat.” Ayah Alya menarik
napas panjang.

“Apakah Nak Al benar-benar mencintai Alya?” tanya Ayah


Alya dengan nada menyelidik.

Al tak bergeming, mulutnya seolah terkunci. Tubuhnya panas


meski udara sedang dingin.

“Alya akan dipersunting oleh anak Mamak, namanya Fathur,


ia sekarang sedang berada di Singapura sedang bekerja. Dan
kami, dari keluarga besar, sudah membincangkan pernikahan
mereka. Saya dengan berat hati, sebelum semuanya
terlambat dan terlanjur runyam, bila boleh saya memohon
kepada Nak Al untuk perlahan menjaga jarak dengan Alya.
Nak Al.. mungkin Nak Al sudah tahu tentang adat istiadat ini.
Sebagai perantau, sudah semsetinya Nak Al mengerti akan
manifestasi “Adaik basandi syara’. Syara’ basandi Kitabullah.
Dima bumi dipijak, disitu langik dijunjung.”

“Saya tahu betapa seluk beluk Alya. Beban dia, laju pikirnya,
derita dia, semua, saya tahu. Termasuk seberapa besar cinta
Alya kepada Nak Al. Ini bukan tentang adat semata, Nak Al.
Maaf sebelumnya, bukan bermaksud untuk membandingkan,
Alya itu adalah Melati dalam keluarga. Hanya dia anak
perempuan di keluarga besar saya. Jadi tidak heran keluarga
besar saya bermaksud untuk menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan Alya kelak. Jujur dalam lubuk hati terdalam,
saya hanya ingin melihat Anak saya, Alya berbahagia. Saya
sebenarnya setuju apapun pilihan Alya, asalkan itu untuk
kebahagiaannya. Namun, saya tak bisa melawan keputusan
Ninik Mamak dan keluarga besar saya.”

“Bagaimana menurut Nak Al?” tanya Ayah Alya dengan


sangat hati-hati.

Al masih mematung. Bagai ada godam raksasa menimpa


semestanya. Pikirannya seketika kalut.

“Nak Al?” kata Ayah Alya menanti pendapat Al.


Al tersadar, ia menarik napas panjang.

“Saya sangat mencintai Alya. Pak.” Kata Al pelan ada sedikit


keraguan dalam nada bicaranya. Setelah mendengar
penjelasan Ayah Alya, Al menjadi sedikit tersinggung.

Disadari atau tidak, secara halus Ayah Alya telah


membandingkan dirinya. Seolah jika bersama dengannya,
Alya tidak akan bisa bahagia dan sejahtera. Tentu ini
membuat api amarah sedikit membara di dalam hatinya.
Namun, Al sebagai seorang yang berkeputusan dengan
kepalanya sendiri harus segera mengambil satu jalan yang
seharusnya tidak tapi terjadi dalam hidupnya. Al tahu akan
adat, namun bukan berarti sebuah petuah dari adat dapat
menentukan hitam-putih, baik-buruk, dan lain sebagainya.
Adat tidak absolut, begitu batin Al memberontak.

“Coba Nak Al melihat dari sudut pandang saya. Sulit untuk


mengambil keputusan dalam hal seperti ini. Saya harap Nak
Al paham dan mengerti kondisi saya, dan dapat dewasa
dalam menghadapi ini.” Kata Ayah Alya.

Kalimat terakhir Ayah Alya membuat api amarah yang sedari


tadi Al tahan menjadi bara amarah. Al muak dengan kata
‘sudut pandang’ yang Ayah Alya giring kepadanya.
“Alhamdulillah, saya bisa paham dan melihat dari sudut
pandang bapak.” Kata Al, “Berbicara sudut pandang, selalu
berbicara tentang banyak sudut. Salah satunya adalah sudut
pandang saya. Betapa tega bapak menuntut saya untuk
memaksa masuk dalam sisi bapak, tanpa peduli dengan sudut
pandang saya.” Kata Al dengan nada amarah yang ia tahan.
Bagaimanapun juga yang sedang bercakap dengannya
sekarang ini adalah Ayah dari Alya. Al tak boleh gegabah.

Al yang terkesan mengajari itu tanpa sadar membuat emosi


Ayah Alya tersulut pula.

“Bukan begitu, Al. Saya rasa sebagai seorang yang dewasa,


Nak Al ini paham akan kebutuhan dan kebahagiaan Alya
kelak.”

Terjadi lagi, Al tertusuk. Dari Arah pembicaraan Ayah Alya


sudah jelas bahwa yang beliau pedulikan untuk kebahagiaan
Alya adalah Materi semata. Seolah Kebahagiaan itu dapat
ditukar dengan Materi. Kebahagiaan tak bisa dilabeli harga!

Al mencoba meredam amarahnya, menenangkan pikirannya


yang berkecamuk. Napas Al berat, ia mencoba memperbaiki
posisi duduknya. Dalam kepala Al sudah ia ambil keputusan
tentang arah pembicaraan Ayah Alya.
“Saya, sebagai seorang perantau. Dan seorang yang tak
bermateri.” Kata Al menyindir, “Memang tak bisa bergeming
bila sudah dihadapkan dengan urusan adat dan keluarga
bapak. Saya juga tidak bisa menjamin kehidupan Alya kelak.
Benar kata bapak, sebuah kebahagiaan itu tak bisa hanya
dengan cinta. Cinta tak bisa menjadi makanan pengganjal
perut yang lapar. Kedatangan bapak mencari saya dan
mengatakan hal ini mungkin sudah ditakdiran. Ditakdirkan
oleh adat. Saya memang tak jelas asal usul keluarganya.
Orang tua saya pun sudah tak lagi utuh. Saya tak bersuku, tak
pula jelas pekerjaannya. Sangat jauh berbeda dengan Suku
Minang yang besar itu. Yang mulia.” Kata Al dalam.

Emosi Ayah Alya perlahan hilang. Tak jadi meledak.

“Alhamdulillah bila, Al paham dengan kondisi ini. Saya


memohon dengan segenap jiwa saya untuk Al menjauhi Alya
secara perlahan.” jelas Ayah Alya,

“Kalau begitu, saya mohon pamit. Ada pekerjaan.” Ayah Alya


berdiri meninggalkan Al menyendiri.

Al menunduk dan memandangi telinga cangkir kopinya.


Semestanya berhenti. Al benar-benar terpuruk sebab
pertemuan singkatnya bersama Ayah Alya. Al merasa,
sebagai laki-laki, seharusnya ia mempertahnkan Alya. Hanya,
Al sudah terlanjur tersinggung atas arah pembicaraan Ayah
Alya. Egonya sudah mendominasi seluruh akal pikiran.
MASUK BULAN KETIGA, SETELAH PERTEMUAN AL DAN
AYAH ALYA DI AMKO.

Libur panjang di Pertengahan 2015. Kampus sedang libur


semester, Mahasiswa-mahasiswa dari luar luar derah yang
bukan SUMBAR berbondong-bondong pulang ke kampung
halamannya setelah bertarung satu minggu menjalani Ujian
Akhir Semester. Bagi Alya tidak telalu sulit untuk menjalani
UAS. Dan semester depan Al sudah menyelesaikan masa
hukumannya dari pihak kampus. Tentu itu membuat Alya
sedikit lega. Alya bertekad untuk membantu Al mengejar
ketertinggalannya dan cepat-cepat menyelesaikan studi
sarjananya.

Hari-hari dilalui Al dan Alya seperti biasa. Al tak pernah


bercerita tentang hari itu, hari kekalahan Al. Alya pun tak
sedikitpun menaruh curiga kepada Al, itu semua oleh sebab
Al tak berubah sedikitpun, Al tetap menjadi dirinya sendiri,
meski diantara ia dan Ayah Alya telah terbangun sebuah
kesepakatan. Al begitu rapi menyimpan rahasia terbesarnya
kepada Alya.

Perkuliahan sedang vacum, produksi kaos dan kegiatan lain


yang dilakukan Alya pun sudah sedikit. Sore itu, Alya pulang
ke Padang Panjang, rumahnya. Bercengkrama kembali
bersama Ibu, Ayah, dan Andra sang Adik di ruang tamu. Alya
meminta diantarkan oleh Al mencari Bis. Oleh mereka
berangkat dari AMKO dan kebetulan Mas Janu, Pinta, Nanda,
dan Roni juga sedang berada di AMKO, yang terjadi adalah
semuanya bersepakat untuk ikut mengantar Alya mencari Bis
dengan Mobil Mas Janu. Awalnya Alya menolak, namun
melihat antsias teman-teman Alya tak sampai hati untuk
tidak mengikuti permintaan mereka.

“Nan, kamu nggak pulang kampung juga?” tanya Pinta di


perjalanan menuju terminal.

“Lah, Aku pulangnya ke kota, Kota Jambi. Bukan kampung.”


Canda Nanda.

“Nih anak lama-lama ngeselin juga! Dari tempat Mas Janu


songongnya mintak ampun!” kata Pinta geram, membuat
seisi mobil tertawa.

“Jangan lama-lama di Padang Panjang. Kasihan tuh si Al


nggak ada temen ngopi dan pacaran. Al mah apa atuh, kalo
nggak ada Alya.” Kata Pinta lagi mengalihkan pembicaraan
kepada Alya.
“Weii! Pin, justru terbalik. Alya mah apa atuh, kalo nggak ada
Al.” Canda Al dengan lagak dingin.

“Lagian tuh, dia mana tahan lama-lama jauh sama aku.”


Lanjut Al dari kursi depan tanpa menolehkan kepalanya.

“Ish, Al!” Alya gemas. “Nih anak juga songong, Nta. Sama
kayak si Nanda.” Protes Alya menanggapi kalimat Al.

Semua tertawa. Tak terasa Mas Janu sudah menepikan


mobilnya. Loket Bus Angkasa begitu plakat besar yang tertulis
di salah satu kios. sudah berjejer bis-bis yang akan berangkat
ke bukit tinggi dan singgah ke padang panjang.

Alya berangkat. Setelah berpamitan dengan kekasihnya, Al.


Juga teman-teman di AMKO.

...
Langit berwajah muram, sore kedua Alya berada di Padang
Panjang. Ibu mengalami kecelakaan. di perjalanan sewaktu
pulang dari kantor. Motor yang Ibu Alya kendarai oleng
ketika tersenggol truk yang menyerempet sisi kanan motor.
Keadaan Ibu cukup kritis. Alya dengan tangisan yang dalam,
menceritakan semuanya kepada Al. Mendengar cerita Alya,
Al bermaksud untuk datang ke Padang Panjang, namun Alya
menahannya. Alya tak mau kegiatan Al di Padang terganggu
oleh sebab dirinya.

Selama lebih dari satu minggu setelah terakhir kali Alya


menghubungi Al. Alya tak juga kunjung berkabar, baik itu
melalui sms, telepon, atau apapun. Al benar-benar risau
memikirkan Alya.

Hingga akhirnya, tepatnya hari kesepuluh sejak Alya tak


berkabar, ponsel Al berdering. Al lega ketika melihat nama
Alya tertera di ponselnya.

“Assalamualaikum,” sapa Al.

“Waalaikumsalam,” jawab Alya lirih.

“Gimana keadaan Ibu?”

“Masih belum sadar, Al. Doain ya.”


“Iya pasti,” jawab Al. “Kamu habis nangis ya?”

“Iya hehe tau aja,” Alya kendalikan emosinya.

“Tai lah.”
“Tau!” Alya tersenyum merespon candaan Al.

“Maaf, typo.” Kata Al. “Udah makan?”

“Udah.” Jawab Alya.

“Jangan bohong,”

“Udah, tadi pagi hehe.” Alya tertawa kecil.

“Ish, Mbak!” Al marah.

“Iya, abis ini makan. Kamu udah makan belum?” tanya Alya.

“Udah.” Al menekankan, “Kamu mau kubawa makanan ke


Padang Panjang?”

“Ish! Nggak usah! Jauh-jauh datang ke sini Cuma buat kasih


makanan, Nekat tau nggak!!” Alya bicara dengan nada
meninggi. Suara peringatan baterai lemah terdengar dari
ponsel Alya. “Al baterai mau habis. Aku sayang kamu banget.
Kamu jangan lupa...” Alya bicara cepat, telepon terputus,
ponsel Alya mati sebelum ia menyelesaikan kalimat
terakhirnya.

Al memandangi ponselnya.

“Aku jauh lebih sayang kamu.” Kata Al sendirian.

...

PADANG.

Alya setelah satu minggu merawat Ibu di rumah sakit,


memutuskan untuk pulang ke Padang. Mengambil beberapa
barang penting yang tertinggal di Kontrakannya. Setelah
berpamitan pada Ayah dan Ibu yang masih belum sadar. Alya
berangkat.

Alya meminta Al untuk menjemputnya di terminal.


Mengetahui hal itu Al langsung bergegas ke terminal. Ia
cemas sekaligus marah, sebab Alya tak memberitahu bahwa
kedatangannya ke Padang hanya untuk mengambil beberapa
barang. Sebenarnya bisa saja, Alya meminta Al untuk
mengantarkan apa-apa keperluannya tanpa harus Alya
sendiri yang datang ke Padang.
Alya hanya meminta maaf ketika Al berkata-kata perihal
kedatangannya. Alya menyadari jarak antara Kota Padang
dan Padang Panjang itu cukup jauh, ia hanya tak ingin
merepotkan Al bila harus bolak-balik hanya untuk
mengantarkan keperluannya.

Namun, diluar semua itu. Al lega bisa bertemu kembali


dengan sang kinasih. Alya sedikit berubah kepada Al. Ia
menjadi tertutup seperti enggan membagi masalahnya
kepada Al, berbeda seperti sebelum-sebelumnya.

Al mencoba memahami Alya. Al mencoba bersabar dan terus


membangun mental Alya perlahan demi perlahan. Itu
manusiawi, bila Alya mengalami sedikit keburukan dalam
moodnya, Ibu Alya divonis mengalami cidera tulang
belakang.

Kondisi ibu cukup genting, dan menurut penjelasan dokter


seburuk-buruknya hal yang dapat terjadi atas kasus Ibu Alya
adalah; Ibu Lumpuh! Alya bercerita kepada Al, air matanya
terjatuh.

Al hanya terdiam. Tak ada usaha bermanfaat yang bisa ia


lakukan kecuali berdoa dan menguatkan Alya. Setelah
mengambil beberapa Barang, Al memutuskan untuk
mengantarkan Alya langsung ke Padang Panjang.

“Kerjaanku aman, Mbak. Mas Janu juga nggak keberatan


kalau aku nganterin kamu.” Al meyakinkan Alya agar ia tetap
bisa ikut ke Padang Panjang mengantar Alya.

“Ayah Ibu?” Alya merisaukan respon Ayah ketika nanti ia


melihat anaknya datang bersama Al.

“Aku nggak masuk ke rumah sakit, Aku stand by aja di Padang


Panjang. Aku tinggal di basecamp HPP,” lagi, Al meyakinkan
Alya. “Kalau sewaktu-waktu kamu butuh bantuan, setidaknya
kamu tahu di Padang Panjang ada kekasihmu yang siap dan
tulus untuk kamu buat repot,” rayu Al.

Alya berpikir sejenak. Ia rasakan cinta dan ketulusan dari


wajah Al yang berdiri memegang kedua lengannya itu.

“Padang Panjang dingin, dan aku sering penat. Disana aku


pasti akan sangat sering butuh kopi enak, pelukan hangat,
dan cerita-ceroita yang menyegarkan.” Kata Alya. “Dan kamu
punya dua itu. Ayo!” kata Alya lagi.
Al tersenyum, ia peluk Alya. Tak lama Alya pun bergegas
menyiapkan barang-barangnya, sementara Al pergi
mengambil barang-barangnya.

Pukul 18.00 WIB, Al datang menghampiri Alya. Ia datang


bersama Pinta dan Mas Janu untuk mengiringi
keberangkatan mereka.

“Jagain Alya, ya Al.” Pinta berpesan sebelum Al dan Alya


menaiki motor. “Alya, tenang ya. Salam buat Ibu, semoga
lekas sembuh.”

“Makasih, Nta.Sorry ngerepotin.” Kata Al.

“Makasih, Nta.” Kata Alya, “Mas Janu juga, makasih ya.”

Mas Janu mengangguk, “Nanti di Padang Panjang si Labu


sama Ucok udah aku suruh stand by,” kata Mas Janu kepada
Al.

Setelah berbincang-bincang. Tak lama, Al dan Alya pun


berangkat ke Padang Panjang. Mereka berangkat setelah
menyalami Pinta dan Mas Janu.

Pukul 20.00 WIB motor Al sampai di Padang Panjang. Di sana,


Labu dan Ucok, kawan Al dan Mas Janu di HPP, sudah
menanti. Usai sejenak berbincang sambil melakukan makan
malam di warung dekat HPP. Ucok memberikan satu kunci
Basecamp HPP untuk digunakan Al sebagai tempat
beristirahat selama berada di Padang Panjang. Lepas itu,
Labu dan Ucok pamit, sedang Al pergi mengantar Alya ke
rumah sakit.

“Aku masuk, ya. Kamu kemana?” kata Alya sesampai ia di


seberang Rumah Sakit.

“Aku di basecamp HPP.” Kata Al, “Janji, ya, kalau ada apa-apa
langsung kabari aku.”

“Yaudah, hati-hati, ya,” kata Alya. “Aku sayang kamu.” Al


mencium tangan Alya.

“Aku jau lebih sayang kamu,” balas Alya. Alya pun bergegas
melangkah menyebrang.

“Mbak!” teriak Al.

Alya menolehkan kepalanya.

“Kamu nggak sendirian.” Al menyemangati, “Aku selalu ada.”

“Iya, Bosku.” Teriak Alya dari seberang.

“Kalau butuh apa-apa kamu tai harus berbuat apa.”


“Tau!” balas Alya dengan senyuman.

“Typo!” teriak Al lagi.

Alya melambaikan tangannya untuk bergegas lagi hilang dari


pandangan Al.

Al pergi ke Basecamp, Berbincang sejenak dengan kawan-


kawan HPP. Tiga hari lamanya, Al berada di Padang Panjang.
Al mengcover segala kebutuhan Alya dengan sangat sigap,
dan menamani Alya lewat telepon setiap tengah malam.

Pada malam pertama, Al tidur di HPP, ditemani oleh


beberapa kawan yang silih berganti menemani Al.

...
HARI KE EMPAT AL DI PADANG PANJANG.

Alya menghubungi Al. Dikabarkannya bahwa Ibu sudah bisa


pulang sejak semalam. Keluarga memutuskan untuk rawat
jalan. Sekarang Alya dan keluarga sudah di rumah. Alya
mengajak Al untuk keluar nanti sore, Al diminta untuk
menunggu Alya di Taman Kota.

TAMAN KOTA.

“Kamu pulang ke Padang, ya.” Kata Alya kepada Al.

Mereka berdua berjalan menyusuri taman.

“Aku?” tanya Al. “Nah kamu, Mbak?” tanyanya lagi.

“Aku disini dulu, rumah masih sangat butuh aku.”

“Dan, kamu butuh aku.” Al meneyla, “Makanya aku juga


harus tetep di sini untuk kamu.” Kata Al lagi.

Sambil terus berjalan, Alya meraih tangan Al.

“Kamu kerja, Al.” Kata Alya lirih, “Kaos-kaosmu, anak-anak


Teater, AMKO, semua nunggu kamu di Padang.” Kata Alya
lagi.
Al yang keras kepala, perlahan berhasil dilunakkan oleh Alya.
Mendengar cerita-cerita Alya tentang pekerjaan Rumah yang
harus ia kerjakan selagi Ibu Sakit, Akhirnya Al setuju untuk ke
Padang.

“Oke, Aku balik. Kamu janji ya untuk terbuka sama aku.


Jangan terima bantuan dari orang selain aku. Aku siap
berangkat ke sini lagi kalau kamu ada perlu apa-apa.” Al
memegang Alya. “Hati-hati, Alya. Semua orang itu
menakutkan. Tidak ada yang dipercaya.” Katanya sekptis.

Alya mengangguk setuju.

“Eh, mau ngopi nggak?” kata Alya sesampainya mereka di


tempat parkir.

Tertarik dengan cerita Alya tentang kopi Padang Panjang,


keduanya pun mampir di salah satu kedai kopi sederhana
untuk menikmati Kopi Khas itu, keduanya bercengkrama
melepas kerinduan bersama, bercerita tentang apa-apa, dan
tertawa gojekan-gojekan ala mereka berdua

Selesai dengan Kopi Padang Panjang, Alya mengajak Al untuk


berkeliling menikmati Kota yang disebut debagai Kota
serambi Mekkah itu.
Al selalu suka berjalan menyusuri kota, terlebih di tempat
setenang Padang Panjang. Bersama Alya di genggaman
tangannya, Al terus menyusuri jalanan Padang Panjang yang
puitik dengan lelampu kota di pinggiran trotoarnya.

Padang Panjang dan Alya benar-benar telah mencuritempat


di hati Al. Hanya, oleh karena waktu sudah semakin malam,
Al memutuskan untuk terakhir mengajak Alya ke Basecamp.

...
15. Keabadian
“Segala atau apa-apa yang punya rupa akan musnah
bersama waktu. Tapi tidak dengan cinta. Ia abadi di
dalam jiwa.”

Waktu terus berlalu.

Perkuliahan pun dimulai. Alya memutuskan untuk mengambil


cuti kuliah, oleh sebab keadaan Ibu semakin memburuk, dan
ia mempunyai banyak pekerjaan di Rumah. Al turut
menyayangkan sebab keputusan Alya itu. Hanya yang
membuat ia merasa perlu untuk mendukung keputusan Alya
adalah; keyakinan Alya dan kondisi Ibu Alya yang makin
memburuk.

Tentu keadaan yang seperti itu, membuat sepasang itu harus


menjalani hubungan jarak jauh. Al di Padang, sedang Alya di
Padang Panjang. Al berusaha untuk berangkat ke Padang
Panjang sesering mungkin untuk menemui Alya bila dirinya
sedang tidak ada kegiatan kampus dan sebagainya. Kadang,
mereka pergi mengunjungi jam gadang di Bukit Tinggi di akhir
pekan. Kadang juga hanya berjalan disekitaran Padang
Panjang untuk bercerita dan bercengkrama bersama kopi dan
cinta.

Di penghujung semester, Al berhasil menjalani kuliahnya


dengan lancar. Ia tak terlalu mempedulikan IPKnya. Alya akan
masuk semester depan, dan mereka berdua akan sama-sama
mengurus skripsi lalu wisuda diwaktu yang bersamaan.

Semester 9 masuk, Al tidak lagi mempunyai kontrak SKS,


mata kuliahnya sudah rampung, begitupun dengan Alya.
Mereka berdua menjalani perkuliahan dengan penuh
semangat, mandiri, dan produktif. Skripsi yang mereka
berdua kerjakan pun aman, semua sudah berjalan benar-
benar seperti yang diharapkan.

Sebab semester ini, ia hanya menyelesaikan skripsi dan


memilik banyak waktu luang, maka Alya akhirnya bisa sering-
sering berangkat ke Padang Panjang.

Di penghujung semester 9, nama Al dan Alya sudah tercatat


di daftar yudisium. Selanjutnya hanya menunggu seremonial
bulan depan.

Al terus mencoba mendukung Alya. Ia mengajak Alya untuk


memperluas pasar usaha kaos miliknya.
...
16. Mencintai
“Aku ingin mencintaimu layaknya kematian, sekali
dan selamanya. Pun aku ingin mencintaimu layaknya
kehidupan, sekali dan berharga.”

PADANG PANJANG.

Perkuliahan sudah rampung, produksi kaos pun sedang libur.


Malam itu, Alya pulang ke Padang Panjang lagi. Alya
bercengkrama dengan Ayah, Ibu dan Adik. Setelah
berpamitan dengan Al.

Ada tamu Ayah datang. Ayah meminta Alya dan Andra untuk
mengosongkan Ruang Tamu.

Alya masuk ke kamarnya, sedang Andra sudah tak terdengar


lagi suaranya, Andra tertidur di kamar. Sementara Alya yang
masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi, ia tak bisa
begitu saja langsung tertidur lelap. Alya sudah mencoba
menyamankan dirinya dengan membaca buku dan
mendengarkan musik kesayangannya, namun yang terjadi,
itu tak cukup mampu untuk mengusir rasa gelisah dan
kekosongan diri Alya.
Alya raih ponselnya. Ia ingin sekali menelpon Al, hanya saja
kamarnya bersebelahan dengan ruang tamu, suara
percakapannya pasti akan terdengar oleh Ayah atau siapa-
siapa yang berada di ruang tamu. Karena itulah Alya memilih
untuk menghubungi Al lewat pesan singkat.

“Al, kesayanganku. Mbakmu ini kesepian :(“ kata Alya di


pesan singkatnya kepada Al.

Al yang kala itu sedang bertandang ke kediaman Pak Anto,


bersama Mas Janu dan adik-adik teaternya, seperti biasa, ia
tak menghiraukan ponselnya.

Alya semakin kesepian. Ia kuasai dirinya, ia ajak pikirannya


untuk menikmati semuanya. Alya meraih sketch book untuk
menggambar sesuatu agar terusir dari kebosanan.

“Si Alya itu baru lulus...”

Malam semakin larut, pemukiman di sana menghening. Dari


dalam kamar, Alya tetap bisa mendengarkan Ayah dan tamu
di depan sedang membicarakan dirinya.

Dari suara dan kata-katanya, Alya tahu bahwa di depan ada


dua orang tamu. Semuanya laki-laki.
“Alya sudah lulus, Sarjana Pendidikan. Sayang, dia Cuma
dapat lulusan terbaik nomor lima.” Kata Ayah Alya
membanggakan.

“Wah, emang dari kecil si Alya itu udah cerdas. Sudah bagus
itu, dapat peringkat lima lagi.” Kata seorang laki-laki kepada
Ayah Alya.

Alya masih menguping dengan menempelkan telinganya ke


tembok.

“Iya, Alhamdulillah. Semoga Alya bisa sukses kayak si Fathur


ini.” Kata Ayah.

‘Fathur?!’ Alya terbelalak. Ia seolah pernah mendengar nama


itu. Sepersekian detik, Alya mencoba mengingat-ingat nama
itu. Dan akhirnya Alya ingat bahwa Fathur adalah anak
Mamaknya, masih satu keluarga besar dengan dirinya, teman
masa kecil Alya, namun Alya sudah tidak pernah bertemu lagi
dengan Fathur selepas Keluarga Fathur pindah ke Jakarta.
Perasaan Alya mulai tidak enak.

“Sudah lama ya, Pak. Aku nggak ketemu sama Alya.” Kata
lelaki muda di ruang tamu. Alya yakin itu adalah Fathur,
untuk itu Alya merasa perlu untuk meninggalkan sketch
booknya dan memasang telinga baik-baik untuk mendengar
percakapan di luar.

“Ngomong-ngomong, Alya kok nggak kelihatan, Pak?” lanjut


Fathur.

“Nggak kelihatan, Udah tidur dia kayaknya, Nak Fathur.


Kecapean baru sampe di Padang Panjang.”

“Oh yasudah, Pak. Nggak apa-apa.” Balas Fathur.

Alya terus mempertahankan posisinya untuk mendengar


percakapan di luar. Hingga di suatu percakapan, Mata Alya
terbelalak, jantungnya berdegup kencang. Alya mendengar
bahwa Fathur, anak laki-laki yang pernah menjadi teman
bermainnya semasa kecil itu bermaksud untuk menikahinya
dalam waktu dekat.

“Kalian kan sudah kita jodohkan sejak kecil. Kalian saja yang
tidak tahu.” Kata Ayah tertawa, “Betulkan Pak Ginanjar?”
tanya Ayah yang disambut dengan tawa setuju Pak Ginanjar.

Alya membeku di kamarnya/ napasnya begitu tergesa-gesa


dengan pandangan lurus ke langit-langit kamarnya.
Tak lama, Fathur, Pak Ginanjar, pamit untuk pulang dengan
wajah berseri-seri.

Alya masih didalam kamar. Tenaganya terkuras oleh sebab


mendengar percakapan yang baru terjadi di ruang tamu.

Alya masukkan headset di telinganya dan memainkan lagu


dari Mp3 portable milik Al yang selalu dibawanya.

... Dan sementara akan kukarang cerita, tentang mimpi jadi


nyata, untuk asa kita berdua. Percayalah hati, lebih dari ini
pernah kita lalui. Kuatlah hati...

Alya masih membeku, memandangi langit-langit kamarnya.


Air mata sudah mengalir deras di sisi pipinya kini. Alya
bangkit. Ia duduk di kursi belajarnya, tubuhnya tiba-tiba
lemas bersandar. Air matanya kian deras mengalir saat Alya
membuka ponselnya dan melihat album kenangannya
bersama Al di Galeri. Foto Al yang mencium pipi Alya di
puncak Marapi. Dilihatnya dengan kekhusyukkan tertentu.

“Al....” katanya lirih sendirian.

Ingatan dan lamunan Alya melayang saat ia bongkar lagi satu


persatu foto-foto di ponselnya. Setiap foto yang Alya lihat,
masing-masing membawa Ala pergi ke momen-momen dan
yang telah Al dan ia lewatkan..

INGATAN ALYA – Foto Al dan Alya di Basecamp Marapi.

Ada banyak sekali alasan kenapa orang suka naik gunung.


Pembuktian, pengakuan, keindahan, eskapis, ritual, profesi
dan lain sebagainya. Alya bertanay pada Al kenapa ia suka
naik gunung. Al tidak menjawabnya secara langsung. Al
malah menggiring Alya untuk pembuktian terbalik untuk
Alya, “Menurutmu, kenapa aku harus tidak suka naik
gunung?” Kata Al waktu itu.

Pertanyaan balik tersebut menyita tempat di pikiran Alya.


“Kenapa aku harus tidak suak naik gunung?” Alya benar-
benar tidak menemukan jawaban dari pertanyaan Al.

“Sebab gunung menakutkan?” Tanya Alya pada dirinya


sendiri. “Tidak, ketakutan adalah ciptaan diri sendiri,
selebihnya ciptaan yang luar dari diri sendiri. Dengan
pengetahuan dan niat baik, mempelajari bagaimana
mengatasi ketakutan di alam tidak jauh lebih sulit ketimbang
mempelajari bagaimana mengatasi ketakutan yang
diciptakan oleh kota. Secara kehidupan yang hakiki, kota
memang jauh menakutkan.” Alya menjawab pertanyaannya
sendiri.

“Sebab naik gunung itu melelahkan?” Tanya Alya untuk


dijawabnya sendiri lagi. “Tidak. Manusia bukan robot atau
mesin. Kelelahan dan ketakutan tidak bisa diukur dengan
satuan tertentu. Di kota, aku sering tidak bergerak kemana-
mana, di dalam mobil ketika macet, di antrean supermarket,
dikelas kuliah yang menyebalkan dan lain sebagainya. Ya,
mungkin aku tidak seberkeringat dan seterengah-engah
ketika aku mendaki gunung, hanya entah bagaimana,
dibanyak konteks tentang aktivitas kota, aku merasa bahwa
kota lebih melelahkan.” Alya berfilosofi sendiri.

“Kenapa aku harus tidak suka naik gunung?” tanya Alya lagi,
sendirian.

...

INGATAN ALYA – FOTO Al dan Alya di Sunset Pantai Padang.

“Aku kepadamu, Al. Candu.” Kata Alya. “Sungguh jika ada


yang tahu cara membunuhku, orang itu adalah kamu.”
Al menatap wajah Alya. Di matanya, Al dapat melihat cahaya
mega yang sedang tenggelam.

“Aku bukan kebanyakan mereka, Mbak.” Kata Al dengan


nada dingin dan serius. “Dari kali pertama aku berani
membiarkan engkau mendengar aku berkata aku
mencintaimu, disaat itu pula aku membayangkan engkau
adalah seorang yang akan menggendong anak-anakku yang
berani dan lucu-lucu nanti. Ia akan tumbuh dengan
pengetahuan dan keterampilan. Ia akan berdaya dan
melanjutkan perjuangan kita menyembuhkan dunia, ia akan
melakukan semua itu dengan cinta, sesuatu yang
membentuknya.”

“Nanti kita cerita tentang hari ini.” Kata Al lagi.

...

Kamar Alya malam itu penuh dengan bayangan satu persatu


datang dari ingatan Alya yang terus mengembara ke masa
lalu yang ia lewati bersama Al. Semakin ia melihat satu foto
ke foto lain, air mata Alya semakin mengalir deras hatinya
semakin bersedih. Ia tak sanggup lagi.
“Al...” Kata Alya Sendiri. “Apa yang akan kau putuskan bila
mengetahui ini. Selamatkan Aku Al. Selamatkan aku...” Air
mata Alya terjatuh.
Seminggu setelah Fathur dan ayahnya datang ke rumah.

Kemarin Fathur berhasil mengajak Alya keluar untuk makan


malam. Tanpa pilihan, Alya pun membiarkan dirinya pergi
bersama laki-laki yang kata Ayah Alya, hanya perempuan
goblok yang tidak mau dengan Fathur. “Baiklah, biarkan aku
menjadi kegoblokkan itu, Tuhan.” Kata Alya dalam doanya.

Siang nanti, Fathur akan datang lagi kerumah. Dengan


mengandalkan dukungan Ayah Alya, Fathur pun dapat
memenuhi keinginannya dengan mudah. Fathur bermaksud
untuk membawa Alya ke Bukit Tinggi, bertemu dengan orang
tuanya.

....

Alya membuka ponselnya yang sudah dipenuh oleh notifikasi


Instagram. Dari Fathur, beberapa foto ditandakan kepada
Alya di Instagram, fot-foto langit yang indah dari atas awan,
yang katanya Fathur mengambilnya dari pesawat saat pulang
dari Singapura

“Al juga punya banyak foto awan, langit, dan lanskap seperti
ini, hanya bedanya, Al mengambil foto-foto itu dengan kaki
menginjak tanah.” Alya bicara sendiri menanggapi.
Bila Fathur bermaksud untuk mengambil hati Alya pagi itu,
sudah tentu usahanya adalah sesuatu yang salah. Sebab sejak
bersama Al, Alya memahami bahwa proses seorang
mendapatkan sesuatu adalah lebih utama dari hasil yang
didapatkan.

Alya meninggalkan ponselnya. Ia buka jendela, membuat


kopi, dan membariskan playlist-playlist untuk mengisi
kamarnya pagi itu.

...

Siang.

Siang tiba bersama Fathur yang datang menjemput Alya.


Sekuat daya, Alya berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Di
dalam mobil, Fathur terus berkata-kata tentang dirinya,
pencapaian-pencapaiannya. Ia terus saja menyiratkan Alya
bahwa dirinya adalah pendamping hidup yang ideal untuk
Alya. Alya menanggapinya dengan senyuman yang selalu ia
bangun dengan susah payah.

Mobil Fathur berbelok ke sebuah SPBU di Bukit Tinggi.

“Kita isi bendin dulu ya.” Kata Fathur.


Dan Alya ingat Al. Alya selalu suka saat bersama Al ke SPBU.
Bagaimana tidak, Al, walaupun ia dengan motor tua yang
kadang mesinnya berkelakar, yang kata orang motor itu
sudah gembel dan miskin, tapi Al selalu memilih memakai
bahan bakar non-subsidi, sedangkan motor-motor mulus,
kinclong, mobil-mobil lain, termasuk Fathur, mereka
mengantri di antrean bbm bersubsidi. Sengaja atau tidak, Al
selalu punya cara untuk menampari orang-orang, yaitu
mereka yang memaksa tampil dan berlagak kaya di banyak
hal namun mendadak mengaku miskin agar mendapat
subsisdi negara.

Fathur mengajak Alya untuk beristirahat sebelum mereka


pergi ke rumah Orang tua Fathur.

Tertebak! Seusai di SPBU, ‘Istirahat’ yang dimaksud Fathur


pasti adalah duduk direstoran cepat saji dengan makanan
ringan seharga 10 liter bensin. Situasi itu berbeda dengan
ketika Alya bersama Al. Ketika Al berkata ‘jeda’ maka itu
artinya ia akan memarkir motornya di bawah pohon yang
rindang, mengeluarkan matras, mencari es dawet, atau es
kelapa. Atau jika tidak, Al mengeluarkan cooking setnya
sendiri lalu mulai meracik kopi untuk mereka nikmati
bersama.

...

Malam.

Alya bertemu dengan kedua orang tua Fathur. Di sebuah


rumah besar nan mewah di daerah Bukit Tinggi. Tentu, Alya
sebagai seorang ponakan yang sudah lama tidak
bersilahturahmi dan bertemu dengan mamak dan tantenya
menghadapi suasana dengan cukup kaku. Mereka makan
malam di Ruang Makan, segala jenis makanan dihidangkan.
Hidup Fathur benar-benar glamour. Fasilitas dan sarana,
pakaian, rumah, dan mobil semua adalah termasuk dalam
golongan barang mewah. Begitu pula dengan Ibu Fathur.
Ruang Makan malam hanya di isi dengan basa-basi dan
mengingat-ingat masa lampau saja. Juga kadang Ibu Fathur
menceritakan tentang usaha-usahanya, seperti yang Fathur
lakukan kepada Alya di perjalanan menuju Bukit Tinggi. Alya
begitu kaku berhadapan dengan keluarga mamaknya.

Alya ingat Al. Ia menahan kesedihan dengan memasang


topeng senyuman bertemu dengan keluarga Fathur. Berulang
Alya ingat perkataan Al. “Bahwa, Kau. Alya. Kau telah
diciptakan oleh tangan yang sama dengan tangan yang
menciptakan Kerinci, Marapi, Danau Kaco, pun Langit Senja.
Kau sesuatu, dan tak sepele.”

...
KEESOKAN HARINYA.

Alya kembali ke Padang. Di rumah ada Mpok Najmi tetangga


Alya yang membantu keluarga Alya untuk mengurusi
pekerjaan rumah. Dari sana Alya mengetahui satu; Tetangga
adalah saudara dekat.

Kedatangan Alya kepadang kali ini adalah untuk bertemu


dengan Al, menceritakan masalah yang sudah tak sanggup
lagi ia sendiri hadapi. Dengan membagi masalah dengan Alya
bisa merasa lega.

Sesampainya di Padang, Al langsung menjemput Alya,


dengan senyum sumringah Al menggandeng tangan Alya.

“Aduh, ada yang aneh sama kamu, bahagia banget..” kata


Alya melihat kegembiraan Al.

Al tidak menjawab. Ia meraih dompetnya dari saku belakang


celana jeans biru yang dikenakannya.

“Aku, Bosnya!” kata Al berlagak.

“Hoo, ada yang baru dapet rezeki nih..” kata Alya membalas
candaan Al.
“Hehe, Iya. Ada satu komunitas yang pesan kaos kita. Dan
penghasilannya lumayan besar.” Kata Al sumringah, “KFC
kita?” Tanya Al lagi.

“Hah?” Alye memundurkan kepalanya. Seolah tak percaya Al,


seorang yang selama ini paling membenci restoran kapitalis
seperti itu jutru mengajaknya untuk makan di sana sekarang.

“Iya, di seberang KFC Jalan Pemuda kan banyak pengemis.”


Kata Al lagi.

“Oalah, aku kira kamu ajak aku makan di sana.” Kata Alya
menanggapi.

“Emang, si Mbaknya mau?”

“Nggak, hehe.” Kata Alya tertawa kecil.

Mereka pun pergi untuk merawat kebiasaan unik mereka.


yaitu mencari dan membantu orang-orang yang yang
sekiranya dapat mereka bantu.

Al mengajak Alya untuk makan pecel lele di daerah Pemuda,


tak jauh dari tempat mereka sekarang. Disadari atau tidak,
Alya sangat menikmati harinya bersama Al. Di satu sisi Alya
ingin terus seperti ini di sisi lainnya Alya menyimpan satu
rahasia terbesar yang tidak bisa tidak, cepat atau lambat ia
harus menceritakan hal tersebut kepada Al.

Bulan tepat di tengah-tengah langit dan angin sedang dingin-


dingin mendesing berhembus menerpa tubuh Al dan Alya
yang selepas makan memutuskan untuk pergi ke taman kota.
Suasana menghening. Suasana seketika berubah antara Alya
dan Al.

Alya bersandar di bahu Al. Memeluk lelaki itu erat-erat,


matanya perlahan menggenang.

“Al...” kata Alya dalam berusaha menahan air matanya.

“Hmm..” Al bergeming, tanpa menolehkan pandangannya


dari sang rembulan.

“Menurutmu apa itu cinta?’ Tanya Alya masih


mempertahankan posisinya.

“Cinta adalah kekuatan terbesar di dunia. Setiap masing-


masing kita mempunyai itu. Semakin banyak cinta semaki
banyak sumber kebahagiaan. Sumber kebahagiaanku ada
dimana-mana. Di jalan, ketika aku duduk, makan, dan
bercerita pada pengemis dan gelandangan, mereka semua
tersenyum, aku bahagia. di desa, ketika aku bermain dan
belajar bersama anak-anak kecili, mereka tertawa, aku
bahagia. ketika aku melihat hijau alam raya, aku bahagia. itu
semua aku mencintai hal-hal tersebut.” Jelas Al, “Jadi, jangan
pernah berpikir bahwa kebahagiaanmu hanyalah aku. Ada
begitu banyak hal yang membuatmu bahagia bila di barengi
dengan cinta.”

Alya melepaskan pelukannya. Dengan mata yang sedari tadi


ia tahan Alya menatap ke wajah Al.

“Aku bisa mati, bentuk dari aku, seorang Al, pasti musnah
semau waktu. Jangan menuhankan tubuhku sebagaimana
aku tidak menuhankan tubuh sesiapa atau apa-apa kecuali ia
maha kuasa. Jangan pernah menggantungkan hidupmu pada
sesiapa, kau merdeka, Alya. Segala bentuk ketergantungan
adalah penjajahan.” Kata Al.

Alya terdiam mendegar kata-kata Al. Seketika ia merasa takut


untuk menceritakan Fathur kepada Al. Dunia begitu gelap
bila harus menceritakan hal seperti itu kepada Al, dan yang
ada dalam pikiran Alya hanya satu; Al tak boleh tau hal ini,
biar dirinya saja yang mencari cara untuk menolak perintah
Ayah.
“Kita harus siap jika kematian atau apa memisahkan tubuh
kita,” kata Al lagi. Ia tatap pula wajah Alya. “Tapi percaya,
cinta semayamnya di dalam jiwa. Ia panjang umur.”

Alya mencerna kata-kata Al. Tak lama, ia bersandar lagi di


bahu Al.

“Sanaan, Mbak. Aku mau ngerokok.” Kata Al.

Alya mempererat dekapannya.

“Nggak mau. Kamu ngeroko aja nggak apa-apa.” Jawab Alya.

“Ish, Mbak.”

“Udah ngerokok aja. Aku mau sama kamu disini.” Kata Alya
tak ingin beranjak dari sisi Al.

Al menghisap rokoknya. Namun ia hembuskan menghadap ke


arah selain Alya. Atau dimana-mana kemungkinan Alya tak
terlalu terganggu dengan asap rokoknya.

“Apa jadinya nanti, jika akhirnya aku harus kehilanganmu, Al?


Apa jadinya aku jika aku harus kembali masuk ke sangkar
emas bernama kota? Tanpamu.” Kata Alya, air matanya
terjatuh.
Al sudah curiga, bahwa apa-apa yang dikatakan oleh Ayah
Alya akhirnya datang juga.

“Mbak, aku mencintaimu. kau mencintaiku bukan?” tanya Al.

Alya mengangguk sendu.

“Maka tersenyumlah. Dengan melihatmu tersenyum, aku


bahagia, dengan aku bahagia, maka engkaupun berbahagia.”
Kata Al.

Malam semakin larut, sepasang itu melepas rindu. Alya


mengajak Al untuk tidak pulang, tapi Alya meminta Al untuk
membawanya berkemah. Mendengar keinginan Alya itu Al
langsung memutuskan untuk berkemah ke daerah
perbukitan tak jauh dari rumahnya. Lubuk Minturun.

Lagi, sepasang itu merawat kebahagiaan mereka di depan api


unggun, dibawah langit purnama. Disadari atau tidak, dibalik
tawa dan kebahagiaan Alya, ada sesuatu yang membuatnya
bersedih, sesuatu yang bisa saja membuat Al menghilang,
sesuatu yang bisa saja membuat dirinya dan Al berpisah. Alya
tak berani melawan keputusan Ayah. Biar bagaimanapun
Ayah tetap lah orang tuanya, bagi Alya percuma bila menolak
dengan cara apapun setiap keputusan Ayah. Alya kenal
Ayahnya, seorang yang tegas dan tempramen,
membayangkan bila dirinya harus berdebat dengan Ayah
semakin membuat Alya kacau.

Malam berganti, pagi menjelang. Kabut pegunungan


mengambang menutupi jarak pandang, udara begitu dingin.
Mentari belum benar-benar muncul ketika Al
membangunkan Alya di dalam tenda. Al meminta Alya untuk
membersihkan diri dan sembahyang.

“Shalat, yuk. Mbak.” Al menepuk lengan Alya sambil berbisik


pelan ditelinganya.

Alya membuka matanya. Al membelai lembut rambut Alya.

“Shalat, yuk.” Kata Al lagi.

Alya mengangkat kedua tangannya, Al menarik Alya lembut.


Aly bangkit, hanya ia masih saja menutup matanya.

“Ish! Bangun!” Al mengusap-usap kepala Alya. “Shalat,


bersih-bersih, terus kita pulang. Ayo, Mbak.”

Alya masih tak menghiraukan Al. Ia benar-benar mengantuk


pagi itu, dan malas untuk berbuat apa-apa.

“Ayo Bangun, Oon!” kata Al lagi.


“Iya,” Alya menyahut pelan.

Al menyiapkan tempat Shalat di atas flysheet dan matras,


sedang Alya pergi ke belakang untuk mencuci muka dan
berwudhu.

Tak lama Alya kembali. Wajah dan rambutnya basah, dengan


malas ia berjalan dan duduk di tempat yang telah Al
persiapkan.

“Bangun, dong.” Kata Al.

“Ini udah bangun,” jawab Alya jengkel.

“Udah wudhu belum?” tanya Al.

“Udah,” jawab Alya malas.

“Aku yang belum.” Kata Al.

“Bodo,” jawab Alya cepat.

Al mencium pipi Alya.

“Wudhu lagi, batal tuh.” Kata Al sambil berlari ke belakang.

“Ish! Al!!” Alya bangkit berdiri dan marah.


Alya berdiri dan mengejar Al yang telah membatalkan
wudhunya. Al sengaja melakukannya agar Alya benar-benar
bangun dan terjaga.

Tak lama mereka berdua kembali dan bersiap untuk


menunaikan Shalat Subuh. aDa energi yang amat besar di
balik lantunan ayat yang diucapkan oleh Al. Al bersuara parau
dengan emosi medalam ketika membaca surat Shalatnya.
Tubuhnya bergetar, ia rasakan dalam hati di setiap
tuma’ninahnya. Seolah tuhan benar-benar hadir di antara Al
dan Alya. Di sujud terakhir, entah doa apa yang disampaikan
Al, ia benar-benar menahan sujudnya lama. Sujud sepasang
itu bangkit juga, mata Al menggenang, sedang air mata
mengalir deras di pipi Alya. Usai salam, tanpa kata-kata dan
aba-aba, keduanya saling mendoakan dalam keheningan.
Keduanya saling menyimpan rahasia masing-masing.
Sepasang itu berdoa dengan kekhusykkan tertentu.

Al membalikkan badannya, Alya mencium tangan pemimpin


shalatnya.
17. Akhir
“Sampaikan salamku pada cangkir kopi, yang
mengecup manis bibirmu setiap pagi.”
PERJALANAN PULANG.

Jantung Al berdegup kencang. Teknik dan pengalamannya


dalam menyutradai berbagai pentas teater tidak berlaku saat
itu. Al sungguh tidak dapat meredam ketegangan dalam
dirinya. Mereka sampai di stasiun pukul 06.00 WIB. Karena
Alya harus segera pulang ke Padang Panjang.

Di stasiun, Ponsel Al berbunyi. Al pun menjauh sejenak dari


Alya yang sedang berdiri di depan pintu masuk stasiun.

“Siapa?” tanya Alya.

“Hah?” Al bingung.

“Siapa yang nelpon?” Alya mengulangi pertanyaannya.

“Nanda,” jawab Alya sekenanya.

“Nanda?”

“Ebon,” Al membenarkan jawabannya.

“Ngapain Ebon?” tanya Alya.

“Ga tahu,” jawab Al.

“Hah?” tanya Alya heran, menangkap sesuatu hal yang aneh


dari Al.
“Salah sambung mungkin dia, Ayo..”

Al menarik tangan Alya. Alya menahan posisinya. Al tiba-tiba


menjadi aneh, ia memaku dan tak mau mengikuti Al.

“Ayo,” kata Al.

“Kamu kenapa? Siapa yang nelpon barusan?”

“Nggak siapa-siapa, udah. Ayo..” kata Al lagi menarik Alya


secara paksa.

“Kamu kenapa sih, Al?” kata Alya sambil mencoba


melepaskan tangannya dari cengkraman Al.

Al mengeraskan cengkraman tangannya.

“Sakit, Al!” kata Alya lagi.

Alya menangis melihat sikap Al yang berubah sangat drastis


setibanya mereka di stasiun. Al mengabaikan tangisan Alya.
Dengan mata memerah pandangannya terus ke depan
menyeret Alya untuk memasuki stasiun.

“Duduk disini,” kata Al di kursi tunggu. Ia tak berani melihat


wajah Alya.
“Maafin, Aku, Mbak.” Kata Al menggenggam kedua tangan
Alya. “Aku panik tadi,” katanya lagi.

Alya menarik genggamannya. Ia hapus air matanya,


kemudian ia genggam balik kedua tangan Al.

“Kamu aneh. Aku seperti sudah kehilangan Al beberapa


menit. Kamu tadi bukan Al’ku.” Kata Alya sambil
mengendalikan tangisannya.

“Maafin aku, Mbak.” Al menciumi tangan Alya berkali-kali.


Dan untuk pertama kali dalam hidup Alya, ia melihat Al
meneteskan air matanya.

“Al, “ kata Alya lirih.

Al menunduk dan menyembunyikan tangis emosinya dalam.

“Al...” kata Alya lagi sambil mencoba membangkitkan Al.

Al membangkitkan kepalanya. Ia usap sendiri air matanya.

“Nggak apa-apa,” kata Al. “ Aku minta maaf ya.”

“Iya nggak apa-apa. Aku tadi nggak sakit kok, Cuma pura-
pura aja.” Alya mencoba menenangkan Al.

Al tersenyum merekam wajah cantik sang kinasih.


“Kamu disini bentar ya. Aku ke toilet. Tunggu sebentar..” kata
Al sambil memberdirikan tubuhnya.

“Jangan! Kamu disini aja, bentar lagi kereta juga nyampe.


Tahan bentar, kok.” Alya mencoba menahan Al.

“Nggak, aku sebentar aja. Udah nggak tahan nih.” Kata Al


mencoba tersenyum.

“Hmm.. oke, tapi kamu harus balik sebelum aku berangkat.”

“Iyaa, Boskuh.”

“Yaudah, sana buruan,” kata Alya.

Al mencium bibir Alya dengan cepat sebelum ia bergegas


beranjak. Alya sentuh bibirnya. Ia tersenyum dan terus
memandangi pundak kekasihnya yang perlahan menghilang
dari pandangan Alya.

Alya, masih di tempatnya duduk menunggu Al. Lima menit


berlalu, kereta yang ditunggu Alya akan segera berangkat,
dan para penumpang diminta untuk segera memasuki kereta.

Alya dengan kepanikan tertentu, menolehkan pandangannya


ke segala penjuru. Alya mencari Al yang sedari tdai belum
pulang juga dari toilet.
Kereta akan berangkat dua menit lagi, para penumpang
diharpkan masuk dan bersiap-siap.” Begitu kata-kata yang
keluar dari pengeras suara stasiun.

Alya berdiri, ia masih mencari-cari Al di sekitaran stasiun.


Tapi tak kunjung menemukannya. Alya akhirnya memutuskan
untuk menyusul Al ke Toilet. Dengan langkah tergesa-gesa
Alya berlari ke arah toilet. Sesampainya disana Al juga tak
kunjung terlihat. Alya berlari lagi ke arah tempat parkir
mencoba mencari-cari Al. Al juga tak disana.

Peringatan terakhir dibunyikan. Alya dengan terpaksa segera


masuk ke dalam kereta tanpa ada melihat Al
keberangkatannya. Nanti saja, kukabari Al lewat telepon.
Begitu pikir Alya, mencoba menenangkan dirinya.

...
Di Padang Panjang, Alya langsung mencoba menghubungi Al.
Namun, Al tak kunjung menjawab. Nomornya pun tidak aktif.
Alya tak terlalu risau, begitulah Al, Pikirnya.

Pagi itu, Langit berwajah muram. Ketika Alya mengemasi


barang-barang di dalam tasnya. Alya menemukan sebuah
frame lukisan kecil yang berisi gambar dirinya, frame itu tidak
asing bagi Alya. Alya tahu itu adalah frame lukisan dirinya
yang pernah ia temukan di dalam kamar Al.

Alya berkerut. Pikirannya mulai dipenuhi praduga-praduga. Ia


membalikkan frame itu dan menemukan sepucuk amplop
yang menempel di bagian belakang frame. Cepat-cepat ia
buka amplop tersebut, tangannya bergetar.

Tak habis ia baca surat dari Al. Air matanya sudah mengalir
deras dikedua pipinya. Alya tak sanggup membaca surat
tersebut.

Jantung Alya seakan berhenti seketika. Matanya memerah.


Tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan selain “Al,” Batinnya
berteriak keras. Saat itu, dikepala Alya, dunia mendadak
hening dan bisu.

Al meninggalkannya sendirian. Al pergi.Al kalah.


Alya, kekasihku.

Bila cintaku bisa kau makan, kau pasti sudah menjadi


perempuan paling cantik dan tergemuk di dunia. Tapi kau tak
boleh rakus, bukan karena aku tidak suka kau kegemukan.
Hanya, cinta terlalu luar biasa untuk hanya sekedar bicara
makan, rindu, dan ciuman.

Katamu, Alya. Sebelum aku mengajakmu ke kampung-


kampung dan gunung-gunung, kau pikir hidup bahagia itu
adalah mitos. Namun, ada hal yang harus kau ketahui Alya,
kebahagiaan itu ada dimana-mana, melekat pada apa-apa
yang kau cintai. Semakin banyak kau mencinta semakin
banyak pula sumber kebahagiaanmu.

Ada satu rahasia yang hanya bisa kusampaikan lewat


surat ini kepadamu. Yang ingin kuucapkan hanya satu; Maaf.
Maaf aku tak bisa mempertahankanmu. Ayahmu, Alya.. telah
memintaku untuk menjauhimu. Sebab, katanya aku tak
dapat membahagikanmu dengan diriku yang sekarang.
Kau telah berjodoh Alya. Aku tak bisa menafikkan itu.
Katanya; calon suamimu kelak dapat membuatmu bahagia
dengan segala apa-apa materi yang ia punya.

Alya, kekasihku. Terima kasih telah sudi


mempersilahkan hatiku bertamu dan singgah di hatimu.
Lewat tulisan ini akan kusampaikan sebuah salam
perpisahan.

Alya. Kau telah menjelma sebagai seorang yang


berdaulat dan merdeka. Kita, aku, kamu, bersama mereka
dan sesiapa yang merdeka lainnya.

Aku pergi Alya. Jangan mencariku, sebab itu hanya


akan membuat kesukaran dalam hidupmu. Aku pergi ke
entah. Aku berada di tengah, antara titik aman dan hal-hal
yang tak terduga. Aku di petualangan.

Berbahagialah, bersama siapapun itu kelak,


percayalah pada kemampuanmu sendiri, ciptakan
kebahagiaanmu. Teruskan perjuangan. Rawatlah kebiasaan-
kebiasaan positif, kopi, anak-anak, dan desa-desa semua itu
membutuhkanmu. Alya, sejauh apapun kita berjarak, selama
kau masih mempunyai kebaikan dalam hatimu, sama saja
dengan kau masih terhubung bersamaku.
Sampaikan salamku kepada cangkir kopi yang mengecup
bibirmu, setiap pagi.

Alya Girija Awindiya. Atas perpisahan kita, aku tahu kamu


akan merasa sebagaimana yang aku rasa, kita sedang tidak
baik-baik saja.

Hanya, percayalah pada apa yang telah kita sepakati tentang


kehidupan ini, sayang, bahwa segalanya hanya sementara,
bahwa tak ada yang pasti selain mati. Satu detik atau seribu
tahun, tak ada yang abadi tetaplah tak ada yang abadi. Juga
kegelisahan ini, pasti mati, nanti.

Kembalikan kendalimu. Kendalikan dirimu. Segala bentuk


ketergantungan adalah penjajahan. Dan sebagaimana
sumpah kita sebagai seorang yang merdeka, Mbak, Aku,
Kamu, menolak tunduk kepada apa-apa selain Allah. Tidak
pada sekolah, tidak pada pendeta dan ulama, tidak pada
harta, tidak pada tahta, tidak pada tentara, tidak pada
Negara, juga satu sayangku... tidak pada kita.

Tak pernah kusesali bertemu denganmu. Mencintaimu, Alya,


aku sepertinya tahu bagaimana rasanya menjadi V dan Elly,
pohon dan air, bulan dan bintang, atau bahkan palu dan arit,
tembakau dan petaninya, burung dan langit, bunyi peluit dan
seorang yang hilang, juga matahari pagi dan pendaki di
gunung yang dingin, serta bagaiamana Hatta mencintai
kesederhanaan. Mencintaimu aku merasa tahu, Mbak.

Tapi, V hanya topeng, pohon akan tua, bulan akan padam,


palu arit mati, tembakau jadi asap, burung jadi tulang, bunyi
hening lagi, matahari akan terpenggal, dan Hatta tak lagi
ada. Apalagi aku.

Hanya, percaya, dalam setiap perbuatan cintamu kepada


kehidupan, aku—dan apa-apa yang baru saja kusebutkan—
ada disana.

Alya, aku pamit.

Untukmu yang tak pernah usai.


Yang terluka dari yang paling patah.

Al, Andalas Rizki Pratama.

...

Semesta Alya sejenak berhenti. Dunia menjelma begitu


gelap, Suara menjelma bagai hening.
Dan Al benar-benar pergi. Kawan-kawan baik Alya yaitu Mas
Janu, Pinta, Nanda, Ebon, Hadid, Urak, Roni, Pak Mori, dan
bahkan Pak Herman benar-benar tidak mengetahui tentang
Al. Satu-satunya pesan terakhir Al kepada Mas Janu sebelum
ia pergi adalah untuk menitipkan ‘Molly’ Kucing yang sudah
menjadi bagian dari dirinya.

Meski tak sehancur Alya, mereka semua sama; sama-sama


ditinggalkan Al.

Anda mungkin juga menyukai