Anda di halaman 1dari 5

Bab 0 :

Soraya melihat ke arah jam dinding rumahnya.Jam sebelas lewat sepuluh menit.

Ia menggaruk rambutnya yang tak gatal, mengambil gawai, tas cangklong, dan kunci motor
matic putih yang ia sediakan di meja tadinya.Lantas, ia bergegas menuju motor matic
putihnya yang terparkir di sebelah kiri motor matic merah bibinya, menghidupkan motor itu,
dan berputar memutari meja makan.Dari meja makan, ia mengarah pintu keluar rumah, dan
mengunci pintu keluar bagian bawah saja.

Jkcda

“Mbak, kopi latte satu, pakai es,”ucap Soraya sembari mengecek harga dari minuman yang
dipesannya.

“Ada lagi, Kak?”tanya yang ngedolin minuman.

“Enggak ada,”jawab Soraya singkat.

Soraya membayar minumannya, kemudian mencari tempat duduk di outlet itu.

Ya, Soraya tengah menikmati waktu sendirinya.

GOD AKU KOK ORA TELATEN.

Minumannya habis, begitu pula dengan daftar putar lagu di You-Tube yang Soraya
buat.Soraya merenggangkan kedua lengannya ke atas.Dilipatnya kedua tangannya di dada,
berpikir mengenai apa yang harus dilakukan dengan buku tulis yang diberi oleh Oliver
kemarin Kamis.Rasanya sedikit sia-sia bila hanya diperlakukan sebagai buku diari, pasti
Soraya akan segera memenuhi lembar demi lembar buku itu dengan sangat lusuh dan
berantakan.

Ia membersihkan sela-sela giginya, yang beberapa minggu lalu terlepas dari behel.Kopi latte
yang diminumnya tadi lumayan pahit untuk toleransi kepahitan kopi seorang Soraya, meski
sudah dikurangi oleh campuran krimer dan susu.

“Sial, kesat juga gigiku jadinya,”batin Soraya menggerutu, rasa yang terbit setelah kopi latte
tadi membuat lidahnya serat.

Soraya bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju tempat parkir.Matanya memandang
luas betapa teriknya daerah ini kala kemarau.Motor berlomba-lomba untuk menyatakan siapa
yang paling cepat dan paling bising.Tempat tambal ban di seberang terlihat sibuk dengan
memanaskan ban untuk menutupi lubang ban lain.Soraya mengernyit, memahami gerahnya si
penambal ban di tempat duduknya itu.Kulit sawo matangnya terbakar matahari, nampak
basah dan gelap karena terkucuri keringat sana sini.Kening penambal ban yang kering, di situ
menempel helai-helai rambut abu-abu gelap, menolak beruban.

Soraya tak mau lama-lama di tempat ini, matanya menyipit, menghindari silaunya sinar
matahari menerpa mata, berbalik, hendak menghampiri motornya.

Soraya masih memikirkan akan diapakan buku tulis itu.

Di sebelah Soraya, motor merah berukuran agak besar, memarkir.Pemilik motor itu memakai
hoodie hitam, bertuliskan “No One But Me” dengan font putih, celana olahraga dengan aksen
putih-merah di bagian samping, dan kacamata berbingkai sedikit tebal menempel di kedua
matanya.

Soraya menoleh ke arah pemilik motor itu, memeriksanya dari atas ke bawah.Rasanya tak
asing?Apalagi dengan tinggi yang ... agak melampaui tinggi Soraya?Benarkah seorang yang
kini dipikirnya?

Pemuda itu mengamati sekitar, menangkap tatapan aneh yang dilontarkan Soraya
kepadanya.Pemuda itu memicing bingung ke padanya.

Benar saja, rasanya Soraya mengenal pandangan clueless dan alis tebal milik pemuda
itu.Tetapi, sebenarnya siapa?

“Mbak?”

Sapaan pemuda itu makin membuat Soraya bingung.

“Jangan amnesia, Mbak,”canda pemuda itu.

ARANKA?
Bab 1 :

Cahya memandang sekeliling kelas yang akan diawasinya hari ini.Ia membetulkan kacamata
hitamnya yang lensanya memiliki minus yang lebih kecil dari yang ia miliki saat ini.Sudah
bikin pusing, membaca masih tidak jelas pula.Begitulah yang dipikirkan Cahya pagi ini.

Cahya mengunci pandangannya kepada dua murid yang duduknya lumayan berjauhan di
ruang tes ini : Soraya dan Oliver, anak didik KSN biologinya itu.Yang hasil KSN-nya Cahya
tunggu-tunggu.

Soraya terlihat canggung dengan postur bungkuknya, duduk di sebelah kanan anak kelas
sepuluh, tengah asyik dengan kegiatan coret-mencoret kartu peserta ujian.Dari dulu, Cahya
selalu menyayangkan ketidakpercayadirian yang dimiliki Soraya.Tingginya 170 cm, lumayan
tinggi untuk seorang remaja perempuan pada umumnya, kulitnya halus dan agak kuning,
bersuara alto, dan belakangan ini menunjukkan minatnya terhadap mata pelajaran yang
diampu Cahya, biologi.Tetapi entah kenapa sedari awal pembelajaran tatap muka, anak itu
kian hari makin pesimis dan avoidant dengan orang-orang di lingkungan sekolah.Ia kerap
kali menghindari untuk melakukan kontak mata, suka bersuara kecil dan bergetar bila ditanya
“habis dari mana?”, dan enggan menyapa bapak-ibu guru karena malu.

Jauh dari bangku Soraya, duduklah Oliver, murid kelas sepuluhnya yang duduk dengan
kalem, menyanyi-nyanyi kecil.Oliver ini masih terasa asing di mata Cahya, meski ia sering
melihat interaksi antara Oliver dengan Soraya ketika pembinaan KSN.Mereka terlihat
nyaman bersenda gurau dari waktu ke waktu.Cahya sempat mendengar pembicaraan guru-
guru muda laki-laki di ruang gurunya, bahwa mungkin Soraya ada masa di mana ia terpikat
dengan Oliver.Pasalnya, Oliver berparas cukup tampan, dan gayanya yang kalem dan sopan
kepada siapa saja.Setidaknya, itulah yang Cahya dengar.Tetapi Cahya sedikit menepis
anggapan itu, karena ia melihat kemistri dua anak itu ketika bersama, tidak seperti bernuansa
romantik.Bahkan terkesan platonik, atau hubungan kakak-adik.Cahya siap menyanggah bila
ada rumor aneh-aneh terkait kedua anak didiknya itu.

Cahya melihat bayangan laki-laki paruh baya yang perlahan membesar memasuki ruang tes
ini.Ah, Marwanto.Guru bahasa Inggris di SMA ini.Tapi, sepertinya Cahya sendirian
mengawasi di ruang ini.

“Pak Wantooo,”sapa Cahya membereskan arsip-arsip di meja pengawasnya.


“Bu Cahya, Anda sendirian lagi, lho, hari ini,”ujar Marwanto sumringah memberikan arsip
soal penilaian akhir tahun untuk hari ini.

Cahya mendatarkan bibir bawahnya, membuka segel amplop soal.“Sudah tahu, Bu Rin
memangnya ada saudara ya di Bogor?Malah baru tahu aku.”

“Ada, tapi saudara ipar.Menantu adik mertuanya,”jelas Marwanto.

Fahma menyangga gawai kecilnya dengan tiga jari tangan kanannya yang memangkuk,
menjaga supaya animasi dan bahasa asing yang dilontarkan dari teknologi itu tidak berubah
posisi.Tangan kirinya memanjang, meraba-raba, barangkali ada sesuatu yang bisa dibuat
sandaran ponselnya kala tangan kanannya malas.Ia menghela napas panjang, mengeluarkan
tekanan udara tinggi dari rongga hidungnya, menghentikan gambar bergerak berbicara itu
sejenak, mengarahkan pandangannya ke sekitar gapaian tangan kirinya.Tidak ada benda
apapun.

“Nindiiiiiiii,”panggil Fahma malas, sedikit mendecak.Bibir bawahnya ditonjolkan sebal, mata


di balik bingkai lensa itu memicing sengit, di dalam dadanya serasa mengganjal dan sesak.

Tak ada jawaban.

“NINDIEEEEEEEK!”Bibir Fahma kini menipis dan melebar.

Hening.

Fahma mendengus, ketidaksabarannya menyeruak, mula berangkat dari bilik jantungnya,


menggerogot ke seluruh badannya, kedua telapak tangannya menapak kasur, menegakkan
anggota tubuh atasnya, membantunya berdiri paksa dengan amarahnya.Tepakan kakinya
terasa menginjak awan, yang dilihat Fahma selanjutnya adalah dinding ruang televisi dengan
aksen lingkaran pengabur pandangan.Sepertinya ia mengalami tekanan darah rendah.

Kacamata yang melekat pada indranya ia lepas, punggung tangan mengusap kelopak mata
dengan tak sabar.
Ke mana hilangnya anak itu siang bolong begini tanpa kabar?

“DEWAAAA!”

Kini ia beralih memanggil adiknya yang paling muda.Ya, Dewa Tri Pamungkas yang nilai
matematikanya di atas sembilan puluh lima itu saat ujian sekolah.Adiknya yang memiliki
warna kulit paling gelap di antara tiga bersaudara ini, meski sebenarnya hanya bewarna sawo
matang.Tidak segelap warna olahan dark chocolate ala-ala mancanegara itu.

“Ya, mbak?”jawab suara yang berasal dari bayangan yang perlahan merayapi lantai ruang tv,
mendekati si kakak perempuan sulung yang tengah mendengus.

“Dari mana kamu?Nindi mana?”tanya Fahma galak, merasakan resonansi suaranya yang
pecah karena gemas.

“Ya enggak tahu, kok tanya saya?”Dewa menaikkan dan membelokkan kedua telapak
tangannya.

Dewa terlihat lusuh dan kotor.Beberapa guratan debu dan tanah memeluk bebarengan di
beberapa titik di kaos yang dipakai.

“Abis dari lahan?”Pantulan bola mata Fahma memantulkan bayangan saku celana Dewa yang
terkena sejumput debu menyebar.“Abis mencangkul?”

“Enggak, enggak cangkul.”Dewa menggeleng.

“Lantas?”

“Enggak dari kebun.”

Alis Fahma menurun.Mendekati kelopak mata bulatnya.Menghalangi lipatan mata untuk


eksis.

“Terus?”

Anda mungkin juga menyukai