“Andaipun tak ada pundak untukku bersandar, masih ada sajadah untukku memasrahkan
diri”
Bukan Dongeng Cinta
Prolog
***
Juli 2004
“Kepo! Bayar dulu hutang taruhan lo kemaren-kemaren, baru entar gua bagi video nya
sekalian, hahaha!”
“Hahaha, edan! Salut gua, man! Cewek sejutek dia bisa lo taklukin. Mana sini bagi
videonya!”
Tawa teredam menguar ramai dari balik kamar kosan lelaki yang selama enam bulan ini
menghiasi hari-hari Shafira.
Gadis itu terpaku tepat di depan pintu. Lama sekali sebelum ia menyadari, pipinya
membasah. Secepat mungkin, ia menyeka air mata, kemudian mencengkram bagian depan hijab
bermotif bunganya kuat-kuat, berusaha menetralisir serbuan rasa sesak di dada Tiba-tiba saja
perutnya bergolak. Mual.
Ternyata lelaki di dunia ini sama saja! Semuanya brengsek! Seperti Papa. . .
Terpaut jarak belasan kilometer dari sana, seorang pemuda masih setia mematung di
dekat ambang pintu rumahnya selama beberapa waktu, enggan beranjak sesenti pun. Tak peduli
sepatu kets Adidasnya yang berdebu, mencemari lantai marmer mengkilap itu. Di punggungnya
Bukan Dongeng Cinta
masih tersandang ransel hitam, jelas ia baru saja pulang seusai beraktivitas di luar. Namun,
sepasang alis tebal itu kini mengerut fokus, menyimak perdebatan antara orang tuanya serta dua
orang pria asing berdandan perlente. Dan jika diperhatikan lebih teliti, ada nametag bank swasta
tersemat di dada mereka.
Semakin lama obrolan berlangsung, raut wajah si pemuda menggelap, senada dengan
orangtuanya. Lalu, tak lama kemudian, kehebohan pun pecah. Ia tak tahu mana yang lebih buruk.
Mendapati mama dengan kalapnya memukuli papa sambil berteriak serta menangis histeris
seolah kehilangan akal? Papa yang sibuk menyilangkan kedua tangannya di atas kepala sebagai
perisai? Ataukah pihak bank yang meletakkan dokumen lelang di atas meja sebelum terburu-
buru pamit, mungkin karena merasa rikuh menyaksikan kehancuran sebuah keluarga?
Sang pemuda meneguk ludah, berusaha meredakan bara di hatinya. Satu tangannya
mencengkram kuat selembar kertas berlogo universitas yang sedari tadi ia bawa dengan hati
bahagia, tak sabar ingin menunjukkannya pada seisi rumah. Tapi kini, jemarinya bahkan
meremas-remasnya hingga menjadi bulatan tak berbentuk. Sebagian dari dirinya ingin sekali
mengikuti jejak mama. Memaki-maki. Mempertanyakan. Tapi entah meluap kemana sisa
tenaganya. Yang jelas, setelah mendengarkan rencana lelang rumah satu bulan lagi, lututnya
langsung melemas.
Mengapa papa begitu naif? Bukankah bukan setahun-dua tahun beliau menjalani bisnis?
Jadi kenapa sampai bisa ditipu habis-habisan begini? Sungguh, ia tak habis pikir.
Padahal baru tadi pagi kabar bahagia ia dapatkan. Setelah berjuang selama satu tahun
mengikuti beragam les, kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil. Namanya tercantum dalam
daftar penerimaan mahasiswa baru salah satu Universitas Negeri terkemuka di Bandung. Tapi
sesampainya di rumah, ternyata bukannya sambutan bangga yang ia terima. Nalarnya justru
kebingungan. Bagaimana nasib kuliah kedokterannya nanti?
Bukan Dongeng Cinta
Dunianya jungkir balik sudah! Tak sanggup lagi mencerna apa yang terjadi, kakinya
melangkah pergi. Bulatan kertas lecek dalam genggamannya itu lalu dibuang begitu saja ke
dalam tong sampah di pojokan.
***
Bukan Dongeng Cinta
Bukan Dongeng Cinta
Diantara amukan rasa kecewa, lama-kelamaan logikanya kembali mengambil alih. Ternyata,
hidup manusia memang penuh kejutan. Tidak tahu kapan senyuman berganti tangisan. Tidak
tahu kapan menemukan titik balik dalam kehidupan. Begitu kerdil dan tak berdaya dibandingkan
kuasa Tuhan. Setelah mengingat ini semua, lisannya pun kontan beristigfar.
Bukan Dongeng Cinta