Anda di halaman 1dari 5

STORY OF TIME

Katanya hidup itu menyenangkan. Bisa berbuat apa saja yang kita suka. Namun,
nyatanya? Seorang gadis tersenyum miring.

Bohong!

Dia menghembuskan napas kasar, lalu mengacak-ngacak rambut panjangnya dengan sebal.
Setelah itu dia bangkit dari tempat peristirahatannya dan pergi melangkah kembali ke
kelasnya.Dia berjalan dengan pandangan dingin, seolah memberi tahu kepada orang-orang
yang melihatnya bahwa dia sedang tak ingin diganggu oleh siapa pun. Dia terus saja berjalan
tanpa menoleh ke arah mana pun, hingga tiba-tiba saja ada murid lain yang menabraknya dari
arah koridor sebelah kanan dan membuatnya terhempas beberapa langkah ke belakang.Dia
menggeram kesal. Menutup mata menahan amarah, dan mengepalkan kedua tangannya.

"Bisa jalan nggak sih, lo?" Dia menatap tajam lelaki di hadapannya. "Sorry, Sorry. Gue nggak
sengaja," ucapnya. "Sorry ... Sorry! Enak banget ya lo ngomong. Lo pikir badan gue nggak sakit
ditabrak sama lo? Hah?" Gadis itu meninggikan suranya. Kemudian, saat dia sedang
memusatkan tatapannya pada lelaki di depannya, dua orang berbadan kekar datang dari arah
berlawanan dengan tergesa-gesa. "Non, Nona tidak apa-apa?" Tanyanya cepat. Membuat gadis
yang bersangkutan memalingkan wajah sembari memutar matanya, merasa jengah. "Go now,"
jawabnya pelan. Menahan rasa kesalnya sedari tadi. Namun, saat takada pergerakan dari orang
di sampingnya, dia menoleh. Dan benar saja, kedua orang berbadan kekar itu tetap setia berdiri
di tempatnya, tanpa ada niatan beranjak sedikit pun,"Dengar nggak sih, lo? Pergi!" hentaknya.
"Tapi, Non, kata tuan..."

"Tuan, tuan, tuaaan teruss! Di sini nggak ada tuan lo! Ngerti? Bilangin sama tuan lo kalau gue
nggak butuh Bodyguard macam lo berdua! Gue nggak butuh siapa pun! Ingat itu!" Dengan hati
yang mulai dipenuhi amarah, gadis itu kini pergi melangkah menjauhi para lelaki tersebut.

***

Sebuah mobil berhenti tepat di dalam garasi rumah mewah dan besar perumahan yang
terletak di pusat kota. Lalu turunlah seorang gadis berambut panjang dengan tas di pundaknya,
dia melangkah memasuki rumah tersebut dan tepat ketika dia membuka pintu rumah itu, dia
tersentak saat melihat seseorang tengah duduk diam menunggu dirinya.BNamun, bukannya
melangkah ke arah orang itu, dia malah kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya
mencoba mengabaikan seseorang yang saat ini tengah menatapnya lekat.

"Mira," panggilnya.Gadis itu terhenti. Namun, tak ada niatan untuk membalikkan tubuhnya
kebelakang menghadap orang itu. "Dari mana saja kamu? Apa kamu tidak lihat jam berapa
sekarang ini?" tanyanya tegas. Mira melihat jam yang berada di lengannya, dan dia cukup
terkejut ketika jam di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam. Dia mendengus,Kemudian
berbalik dan menatap malas seseorang di depannya."Seharusnya anda yang melihat jam
sekarang ini! Bukannya sekarang waktu yang tidak terlalu malam untuk anda? Tapi mengapa
anda sudah berada di rumah saat ini?" Ucapan halus nan lembut Mira, membuat Adam
meradang seketika.

"Jaga ucapan kamu Mira! Ingat, kamu sedang bicara dengan siapa," tegurnya.

"Ohh, saya lupa. Maaf, Tuan Adam Wiratama yang terhormat, saya tidak bermaksud untuk
bersikap lancang terhadap anda."

"Hentikan Mira! Ini Papa kamu!" sentaknya. Mira yang melihat Papanya mulai tersulut emosi,
menyeringai senang."Ohh, jadi anda merasa kalau anda ini seorang ... PAPA?" Mira tidak
berhenti membangkitkan amarah Papanya.

"MIRA!" Adam merasa bahwa kini emosinya tengah memuncak. Dia terpancing emosi karena
mendengar ucapan yang baru saja dikeluarkan dari mulut anaknya.

"Sekali lagi Papa peringatkan, Mira. Jaga ucapan kamu! Ini Papa kamu! Papa yang telah
membesarkan kamu, Papa yang-"

"Apa? Papa yang telah membesarkan,Mira?" Potong Mira. Dia tersenyum sinis, dan mulai
merasakan matanya yang kian memanas. "Papa yang telah membesarkan, Mira?Iya?" Dia
menjeda sejenak ucapannya, Kemudian melanjutkan "Mbok Tati yang telah membesarkan Mira
Pa! Mbok Tati! Bukan Papa!" jawabnya dengan amarah. Lalu tidak lama kemudian, air matanya
jatuh membasahi pipinya tanpa bisa lagi dirinya tahan.

"Apa yang selama ini Papa lakukan untuk Mira, Pa? Apa? Hah? Nggak ada, Pa! Nggak ada!
Hiks...."

"Selama ini mbok Tati yang sudah merawat Mira dengan tulus, mbok Tati yang sudah
menganggap Mira sebagai anaknya sendiri, mbok Tati yang sudah mengajarkan apa yang sudah
seharusnya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya Pa! Mbok Tati yang sudah melakukan itu
semua pada Mira! Bukan Papa!" jelasnya.Mira terisak. Dan Adam yang melihat anaknya
menangis seperti itu, membuat hatinya kian teriris. Perih. Ingin rasanya dia memeluk putri
tunggalnya itu, lalu mengusap punggungnya lembut. Membuatnya merasa tenang dan nyaman.
Namun, jangankan memeluknya, mendekat pada putri tunggalnya saja dia takpunya cukup
nyali.

"Andai Papa tahu, kalau Mira nggak butuh semua harta ini, Pa. Mira nggak butuh semua
fasilitas mewah dari Papa, Mira juga nggak butuh Bodyguard yang selalu jagain Mira setiap
waktu, Pa! Mira nggak butuh! Hiks... Hikss ." Suaranya kini melemah. "Mira cuma butuh Papa!
Papa yang bisa menemani Mira ... Papa yang bisa menghapus air mata Mira disaat Mira tengah
bersedih ... Dan juga Papa yang bisa menjaga Mira di setiap waktunya. Hanya itu, Pa! Hanya
itu." Dia tertunduk dalam tangisannya. Lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya untuk sedikit mengurangi suara tangisannya yang semakin keras. Setelah itu, dia
mengatur isak tangisnya, dan menghembuskan napasnya perlahan. "Tapi sayangnya, Papa
nggak tahu itu semua, kan? Papa nggak pernah merasakan apa yang Mira rasakan selama ini.
Papa nggak... Hiksss ... Hiksss...." Mira tidak bisa lagi menampung tangisannya. Dia terisak
hebat.

Kemudian dia berbalik, ingin kembali melangkah menuju kamarnya. Dan ketika dia berbalik,
terlihat seseorang laki-laki seumuran dengan nya tengah berdiri di belakangnya sembari
memandang lekat dirinya dan juga Papanya. Namun, lagi-lagi Mira mengabaikannya. Dia tetap
melanjutkan langkahnya sambil tangan yang bergerak menghapus air mata di pipinya dengan
kasar.Dia benci terlihat lemah di mata orang lain.

***

Di sebuah taman, terdapat seorang lelaki yang datang. Lelaki tersebut adalah salah satu
teman Mira yang selalu perduli terhadap Mira. Kemudian duduk di samping Mira, membuat
gadis tersebut menoleh.

"Ngapain lo di sini?" ketusnya. "Emangnya ada larangan buat gue disini?" lelaki itu mengangkat
sebelah alisnya. Mendengar ucapan lelaki itu, dia mendengkus keras. "Pergi! Gue lagi pengen
sendiri.”

"Kalau gue nggak mau?"

"Gue yang akan pergi." Dia bangkit.Membuat lelaki tersebut ikut bangkit, lalu menahan
lengannya.

"Kenapa lo bisa sekasar itu sama bokap lo?" tanyanya langsung.

"Kenapa lo bisa ada di rumah gue kemarin?" jawabnva cepat. "Gue nggak suka lo bersikap
seperti itu ke bokap lo!"

"Gue nggak suka lo ada di rumah gue,Lo nggak tahu apa-apa. Jadi gue harap lo nggak
melakukan hal lebih yang nggak gue suka," tegasnya.

"Lo tahu? Setelah lo pergi ninggalin bokap lo, dia menangis, Mira! Dia menangis karena lo."
"Apa lo nggak tahu, kalau lo membuat setetes saja air mata orang tua lo jatuh, itu sama saja lo
membawa diri lo sendiri menuju neraka! Dan gue nggak nyangka kalau kemarin lo bisa dengan
mudahnya mengeluarkan kata-kata kasar yang telah melukai hati bokap lo, Mir."

Mira membisu, tubuhnya merinding mendengarnya. Dan untuk yang kesekian kalinya setetes
air mata kembali turun melewati pipinya."Tapi lo nggak pernah merasakan apa yang gue
rasakan," ucapnya lirih, dengan pandangan mata yang juga kosong. "Selama ini, gue selalu
sendiri, tanpa hadir seorang ibu atau pun ayah yang menemani gue. Hidup gue hambar!" Mira
tertunduk.

"Gue memang punya banyak teman, mereka selalu bisa menghibur gue, mereka selalu bisa
mengalihkan pikiran gue, tapi ... Itu sama sekali nggak bisa menghalau rasa sepi dalam diri gue.
Apa lagi kalau gue lagi main di rumah mereka gue selalu saja merasa iri. Orang tua mereka
selalu bersikap hangat sama gue.Sedangkan, orang tua gue sendiri?" Dia terduduk lemas,
menangis tersedu-sedu. Menumpahkan segala keluh kesah yang selama ini dipendam oleh
dirinya.

Dan tanpa disadari, seorang lelaki dewasa tengah memerhatikannya.Lelaki itu menatapnya
dengan pandangan iba. Hatinya serasa dicabik-cabik olehnya,Perih sekali. Kemudian, dengan
langkah perlahan dia mendekatinya, Lalu dia menyentuh bahunya membuat Mira tersentak dan
langsung mendongak melihat siapa yang menyentuhnya.

"Papa," lirihnya. Adam langsung menerjangnya Memeluknya erat, sambil menahan sesak dalam
hatinya. Dia merasa bersalah, dia sudah lalai menjalankan tugasnya sebagai Papa untuk
anaknya.Selama ini, dia berpikir jika dia bisa memberikan fasilitas yang cukup untuk anaknya,
maka anaknya bisa hidup bahagia tanpa memikirkan kekurangan materi seperti kebanyakan
orang. Namun, nyatanya dia salah, tidak semua hal bisa digantikan dengan uang, harta atau pun
barang-barang mewah lainnya.

"Maafkan Papa, Mira ... Maafkan Papa," ucapnya menyesal. Setetes air mata meluncur bebas
dari matanya. "Papa tahu, selama ini Papa belum berhasil menjadi panutan yang baik untuk
kamu. Papa gagal, Mira! Papa tidak pantas menjadi seorang Papa untuk kamu. Papa..." Adam
terdiam sejenak. Rasa sesak menyeruak di dadanya. Mira yang mendengar ucapan Papanya
seperti itu, menggeleng kuat.

"Nggak, Pa! Nggak! Bagaimanapun Papa adalah Papa terbaik untuk Mira. Mira tahu, keinginan
Papa itu hanya tidak ingin Mira kekurangan apa pun dan itu, sudah berhasil Papa
lakukan.Namun, sayangnya materi saja tidaklah cukup bagi seorang anak pa. Hal yang
terpenting bagi seorang anak ialah kasih sayang yang tulus dari orang tuanya bukan hanya
sekedar harta!"
"Iya, sayang. Iya ... Papa sadar akan kesalahan Papa. Papa janji, Papa akan berubah demi kamu.
Papa akan lebih meluangkan banyak waktu untuk kamu untuk kita. Maafkan Papa sayang"
ucapnya yakin. Dia mengangguk mengiyakan perkataan Papanya.

Lalu mendongak, tersenyum menatap lelaki yang sedari tadi masih setia berdiri di tempatnya
sambari memerhatikan dirinya.

"Thanks," ucapnya tanpa suara. Lelaki tersebut membalas senyumnya, lalu mengangguk atas
ucapannya.

Anda mungkin juga menyukai