Pemuda itu terus menarik lenganku. Mengajakku masuk ke dalam gudang
penyimpanan penuh rak-rak tinggi berisikan kardus-kardus berwarna cokelat. Ia meraih ponsel di tanganku, kemudian mengembalikannya setelah tujuannya selesai. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun ia melesat ke balik rak. Perasaan gundah mulai menyerang diriku saat pemuda itu tidak kunjung kembali membuatku melangkahkan kaki, mencari keberadaannya. Langkahku terkadang terhenti kemudian berbalik arah saat melihat samar-samar tubuhnya dari sela-sela tumpukan kardus di sampingku. Tawa renyah dan namaku yang turut keluar dari bibirnya seakan menjadi mantra agar kakiku terus melangkah. “HAA!” Tubuhku tercekat saat seruan itu masuk ke dalam gendang telingaku. Rasanya jantung yang berada di rongga dada sebelah kiriku seolah berpindah tempat ke sebelah usus halus. Pemuda itu masih bertahan di posisinya sambal mencetak kurva tipis di wajahnya. Tanganku melayang, nyaris mengenai lengan atasnya jika saja ia tidak menggeser badannya lalu kembali melangkahkan kakinya dan hilang di persimpangan jalan. Kakiku kembali terpancing saat netraku menangkap surai hitam miliknya dari balik rak. Langkah yang awalnya pelan berubah menjadi cepat. Tidak mau kehilangan dirinya, aku tidak membiarkan atensiku lepas barang sejenak darinya. Aku mengejarnya dengan arah yang berlawanan, berharap dapat bertemu di satu titi. Namun kakinya yang begitu terampil nampaknya tidak membiarkan tumuh kami bertemu. Peluh yang mulai membasahi pelipis membuat diriku memilih untuk beristirahat sejenak, berjongkok, sambal menunggu pemuda itu melewati lorong ini. Derap Langkah kaki yang semakin mendekat membuat tubuhku bersiap untuk meraihnya. Saat dirinya muncul di ambang Lorong aku langsung bangkit dari tempatku dan hendak mengejarnya yang sudah kembali berbalik. Tapi sebuah benda gepeng yang terjun bebas dari saku rok abu-abuku berhasil mengalihkan atensiku. Entah berapa lama benda itu bersarang di sana, bahkan aku baru menyadari kalua aku membawanya. Perhatianku kini benar-benar terbagi saat suara kecil yang timbul dari benda gepeng berwarna hitam itu. Sesekali permukaannya memancarkan cahaya redup yang akhirnya membuat jari-jariku menari di atasnya, sambal sesekali mengarahkan netra ke sekitar, memastikan posisi pemuda yang sampai saat ini masih melarikan dirinya. Saat benda gepeng itu sudah kembali hening, diriku kembali berusaha fokus pada pemuda dengan kaos hitam dan celana SMAnya, walau tidak benar benar terfokus sepenuhnya. Aku masih mengikuti pergerakannya tentunya dengan kecepatan yang sedikit berkurang karena benda dalam genggamanku yang masih gemar bergetar. Di persimpangan jalan aku menghentikan kakiku, melempar pandangan ke sekitar mencari tubuh itu. Derap langkah yang masuk ke pendengaranku seolah menjadi petunjuk arah kemana aku harus melangkah. Saat hendak berbelok kembali dalam Lorong, mataku menangkap pemuda itu. Ia tengah berdiri membelakangi rak dengan badan tergengah. Niat awalku untuk mengejutkannya gagal saat aku merasakan getaran di tanganku. Walau tidak sepenasaran tadi, tetapi perhatianku yang teralih sejenak untuk mematikan cahaya redup yang muncul berhasil menjadi kesempatan baginya untuk kembali hilang membuatku berdengus kecil. Belum sempat aku membalikkan badan tiba tiba dekapan hangat membalut tubuh mungilku. Dengan hati-hati aku menegakkan kepalaku ke belakang, melihat siapa penyebab kehangatan yang berhasil menenggelamkan diriku di dalamnya sekaligus membuat udara berhenti masuk ke dalam paru-paru. Dia benar benar mengikis jarak diantara kami, bahkan aku bisa merasakan panas tubuhnya. Yang pertamakali ku temui adalah kurva lengkung itu, bedanya kali ini berhias benda kecil berwarna putih berlapiskan enamel. Melihat itu entah kenapa tiba-tiba sudut bibirku ikut terangkat. Salah satu tangannya bergerak ke atasku, menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi are wajahku, sedangkan satu tangan lainnya masih bertahan di pinggangku mempertahankan posisi kami. Saat merasa oksigen dalam diriku menipis, aku membalikkan kepala sebagai isyarat untuk membuat jarak di antara kami. Perlahan dekapan itu merenggang. Aku maju satu Langkah kemudian berbalik menghadapnya. “Capek ya?” tanyanya sambil mengusap peluh yang menghiasi pelipisku dengan jemarinya. Aku refleks menepis tangan itu pelan, “Kotor ah!” Sejak pelukan yang ia berikan tadi isi kepalaku tiba-tiba terarah pada soal ekonomi yang ada di buku SBM. Awalnya aku hendak meminta padanya untuk membantuku tapi… Ting! Suara yang timbul dari saku rok abu-abuku membuatku menghentikan niatku. Tiba tiba sekelebat rangkaian kata muncul di benakku. “Kamu percaya kalau aku ga matiin data seluler ya? eh!” Baiklah itu rangkaian kata yang salah, aku mengarahkan netraku padanya, kami saling bertukar pandang. “Maksudku, kamu percaya kalau aku matiin data seluler ya?” Aku tertawa kecil saat melihat raut polosnya, namun tawa itu terhenti saat tangannya mengusap lembut pundakku. Binar di matanya berubah menjadi tatapan kecewa, aku melihatnya, sangat jelas perbedaan yang dipancarkan dari netra berwarna hitam miliknya. Hal itu membuat rasa gelisah muncul dalam diriku. “Eh, kapan kita mau ngerjain buku SBM? Aku udah mulai bingung, apalagi di subab kedua ekonomi.” Walaupun jelas itu terlihat sebagai bentuk peralihan topik tapi bagiku itu bukan peralihan topik, melainkan ujaran refleks dari kepalaku. Sahutan itu seolah tidak berarti. Pemuda di depanku kini sudah tergantikan dengan gelap. Hanya tersisa usapan di pundakku yang masih bisa terasa dengan jelas. Padahal dalam benakku sudah terangkai kata-kata lanjuttan yang siap keluar dari mulutku. Namun rasanya, pemuda itu sudah meninggalkanku bersama alam bawah sadarku. “ADUH!” Aku mengaduh saat usapan lembut yang aku rasakan tiba-tiba berubah menjadi kasar dan meninggalkan kebas di sana.Pengelihatanku yang awalnya gelap kini berangsur terang. Beberapa cahaya yang ku terima kini membuahkan hasil. Mata-mata itu menatap ke arahku, juga namaku yang terus disebut dan masuk ke dalam indra pendengaranku. “Ran! Ran! Dyahayu Kirana!!” Mataku membelak kaget, bahkan sepertinya bola mataku tadi sudah di ambang jurang karena suara yang begitu memekakkan gendang telinga itu. Kelas. Perlahan aku tersadar dari lamunanku. Aku menyisir ruangan berwarna krem itu kemudian menangkap Sarah—teman sebangkuku yang sedang melempar plototan tajam sambil melirik ke arah kanan atas. “Jelaskan bagaimana pajak dapat mempengaruhi penawaran!” Aku kembali menegokkan kepala menuju sumber suara. Seorang Wanita berseragam hijau army lengkap dengan kerudungnya tengah berkacak pinggang. “Apa lihat lihat?! sana maju!” Aku mengabaikan titahnya, kembali mengarahkan atensi pada Sarah. “Sar, aku punya pacar?” tanyaku pelan. Mendengar itu Sarah mengangkat kedua alisnya bingung, “Lo apaan sih! Ini asrama putri woi! Itu Bu Flo jangan dianggurin,” katanya walaupun ia tidak mau mengangkat giginya dan menuangkan segala usaha pada bibirnya. Aku meringis kesakitan saat sebuah tarikan kasar mendarat di daun telingaku. “Dengar ibu nggak?!” Sekarang yang ada dalam kepalaku adalah apakah aku bisa kembali bertemu dengan pemuda yang entah siapa namanya itu? Barang mengembalikan kurva miliknya. https://telegra.ph/Daydreaming-03-15 15 Maret 2022