Aku menoleh seketika, menatap sesosok laki-laki yang kini telah hadir di hadapanku.
Tersenyum dalam hati, diam-diam, bibirku mengulum penuh rahasia, tak membiarkan seorang pun
dapat melihat senyuman yang tercipta di bibirku.
Aku mengangguk singkat ke arahnya, sebelum menghabiskan sisa makananku dengan cepat.
Kubersihkan mulutku dengan tisu, dan meneguk air minum dengan perlahan.
"Aku sudah kenyang, maaf aku duluan, ada tugas yang harus kukerjakan."
Beberapa langkah aku berjalan menjauhi ruang makan, aku menoleh ke belakang, setelah dirasa tak
ada yang mendengar.
Kulihat dia yang kini sedang mengekoriku patuh, ia tersenyum lembut, lantas meraih tanganku, dan
menggenggamnya erat.
Aku kembali tersenyum, kali ini tanpa perlu repot-repot menyembunyikannya, bahkan aku
membiarkan guratan senyum di bibirku kian melebar.
Aku memasuki pintu kamarku, diikuti dengan ia yang juga masuk sesudahku. Setelah memastikan
bahwa semuanya aman, tak lupa pula untuk mengunci pintu, ku arahkan pandanganku padanya.
Ia tersenyum lembut, sebelum meraih lenganku pelan, dan satu tangannya lagi menarik pinggangku
semakin mendekat ke arahnya.
Tatapannya terasa begitu dalam, kupejamkan mataku sejenak, seakan tak mampu menjaga kontak
mata terlalu lama dengannya.
Namun, sebuah tangan dingin merayap di sekitar tulang pipiku, membuat kedua mataku kembali
membuka.
Tangannya turun ke leherku, dan mengusapnya pelan di bagian belakang kepalaku, sedang satu
tangannya masih setia mendekap erat pinggangku.
Perlahan tapi pasti, kurasakan wajahnya yang semakin mendekat, bahkan kini, batang hidungnya
telah menempel sempurna di atas hidungku, dengan tanpa memutuskan kontak mata kami.
Sebuah benda kenyal menempel di bibirku, mengecupnya lembut, dan mulai melumatnya perlahan.
Ciumannya terasa semakin dalam, memberikan kesan lembut, namun juga menuntut di saat yang
bersamaan.
Kuikuti permainannya sebisaku, seraya berusaha mengimbangi gerakannya yang semakin dalam,
membuatku beberapa kali kewalahan menghadapi tuntutan demi tuntutan yang terus ia layangkan.
Pelan-pelan, ia membawaku menuju tepi ranjang, bahkan kini tubuhku sudah berbaring sempurna di
sisi ranjang, dengan tubuhnya yang menghimpit bagian atasku.
Ia melepas ciuman kami dengan penuh kehati-hatian, menatapku serius, dan mengunciku dalam
lautan kaleidoskopnya yang terasa begitu menghanyutkan.
"Aku merindukanmu,"
Ucapku pelan, seakan tak ingin ia mendengar apa yang kukatakan, namun juga ingin ia
mendengarnya.
Balasnya jujur, masih dengan suara serak miliknya yang selalu mampu membuatku menghilang
dalam tiap kenangan bersamanya.
Jemariku tergerak untuk mengelus sisi wajahnya, terus menurun hingga ke rahangnya yang tegas
dan kokoh, hingga akhirnya berlabuh pada cekukan lehernya.
Tangannya menggenggam erat tanganku yang berada di lehernya, mengusap punggung tanganku
dengan ibu jarinya yang terasa dingin.
Kami kembali bertatapan, dan tawa kecil menyembur bersamaan dari mulut kami.
Sebelah tangannya kembali melingkari pinggangku erat, dan sebuah suara bisikan terdengar
menyapa telingaku lembut.
"Biarkan semuanya mengalir murni, meski tanpa satupun musik yang mewarnai."
Ia mulai bergerak pelan, membuatku turut bergerak mengikuti gerakannya, tangannya semakin
mencengkram erat pinggangku, sebelum naik perlahan ke punggungku.
Gerakan kami semakin bersemangat, bahkan kini ia telah beberapa kali memutar-mutar tubuhku,
beberapa kali juga ia melempar tubuhku ke atas, sebelum kembali menangkap tubuhku dengan
cekatan.
"Aku lelah."
Aku berucap memohon, sembari menunjukkan wajah lelahku yang sekiranya memelas.
Dia mengangguk, menuntun tanganku kembali menuju ranjang, mendudukkan diriku tepat di bagian
sisinya, sedangkan ia duduk di sebelahku seraya tangannya masih melingkari pinggangku.
Kami akhirnya berbaring bersisian, dengan tangannya yang mendekap tubuhku, kepalanya
bersandar pada bahuku, dan kaki kami saling bertautan mengunci.
"Bagaimana hari-harimu?"
"Tidak begitu baik, sebagian berjalan dengan apa adanya, sebagian lagi berjalan sedikit buruk."
Jawabku jujur.
Aku mengangguk mengerti. Meski tak dapat dipungkiri, mataku mulai berkaca-kaca, membuatku
terlihat semakin rapuh di hadapannya.
Menyadari kesalahan itu, ia meraup wajahku cepat, menangkup kedua pipiku, dan kembali
menempelkan bibirnya di atas bibirku.
Sama seperti sebelumnya, ia mulai melumat dengan perlahan, dan aku hanya mengikuti irama
permainannya.
Ciumannya perlahan turun dari bibirku, menuju garis rahangku, sebelum pelan-pelan merambat
melewati ceruk leherku, dan berlabuh manis di atas tulang selangkaku.
Mengecupnya kecil-kecil, sebelum memberi beberapa tanda berwarna kemerahan yang akan
berubah menjadi ungu esok hari.
Aku bersuara tertahan, bertepatan dengan bibirnya yang mulai menjauh dari tubuhku.
Sebuah gerutuan kecil lolos dari mulutku, yang dibalas tawaan kecil darinya.
Mulutku mencebik kesal, menatap tajam dirinya yang masih puas setelah berhasil
mempermainkanku.
“Itu.”
Ia terkekeh lagi.
“Jangan terlalu terburu-buru begitu, sayang. Kita masih memiliki banyak waktu untuk melakukannya.
Biarkan semuanya mengalir sesuai alurnya.”
Aku kembali memberengut kesal, ku palingkan wajahku ke mana pun asal tidak menghadapnya.
“Belum cukup.”
Dia tertawa,
Menghela nafas menyerah, kutatap matanya dalam-dalam, kembali menyelami permata coklat
hangat nan indah yang terasa begitu candu, selalu dapat membuatku larut untuk kesekian kalinya.
Meski tak lagi bersinar seperti dulu.
Kurasakan tubuhnya yang mulai menegang, tersenyum kecil, aku sengaja meniup pelan telinganya.
Hendak menyiksa dirinya semakin larut.
Dengan sebuah hembusan nafas dramatis, kubisikkan kelanjutan dari permintaanku dengan nada
setegas yang kubisa. Memperingatinya bahwa aku tak lagi ingin bermain-main dengannya setelah
ini.
“Bawa aku pergi ke tempatmu, dan biarkan aku turut abadi bersamamu.”