Anda di halaman 1dari 10

Nama: Winda Sopiyanti

NIM : 181010750055

MATA KULIAH : Penulisan Kreatif (UAS)

Cerpen:

KABUT

“Cobalah melepaskan masa lalu dan berhenti membiarkan hal itu menghantui setiap
pikiran dan keputusan. Kamu tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kamu sangat bisa
merusak masa depan”

Aku menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki berdiri tepat di sampingku. Ia tersenyum
manis menatapku, tapi aku hanya menatapnya diam tanpa menampilkan ekspresi apapun.

“Itu makna dari lukisan yang kamu pandangi sejak tiga hari berturut-turut.”

Sekarang aku mengernyit menatapnya, “Apakah secara tidak langsung ia mengatakan


bahwa selama tiga hari ini ia memerhatikanku?”

“Hallo, perkenalkan nama saya Reysakha.”

Sekarang ia mengulurkan tangannya padaku, “Apa sih yang ia mau?”

“Saya hanya ingin berkenalan,” Katanya, seolah mengerti apa yang ada di pikiranku.

Lama, aku hanya melirik uluran tangannya. Tiba-tiba dia terkekeh? Aku tak mengerti apa
yang aku rasakan. Aku mengenal sisi tempramenku, sisi sensitifku, dan aku paham betul
apa yang akan terjadi nanti jika aku mengeluarkan suara, tapi aku tidak bisa dan tak mau.

“Okay, baiklah. Kamu tidak akan menerima uluran tangan saya ini kan? Saya mengerti,
tangan saya cukup kasar juga, mungkin nanti tangan halusmu akan terluka.”

Terluka. Bahkan seluruh yang ada pada diriku adalah ‘luka’. Aku adalah definisi luka
yang sebenarnya.

“Saya akan mengaku bahwa... maaf, dalam tiga hari ini saya memerhatikanmu.”

“Aku tak butuh pengakuan itu.”


“Sepertinya kamu sangat mengagumi lukisan ini, tapi sayang lukisan ini tak dapat kamu
miliki, lukisan ini hanya untuk dipertontonkan.”

Seperti aku. Tidak pandai bersosialisasi, memiliki senyum yang manis dengan lesung
pipit di kedua pipiku, hidung yang panjang dan mancung, bentuk tubuh yang cukup
ramping, serta rambut bergelombang alami yang sangat cantik, tapi aku tak butuh semua
ini. Sungguh. Aku tak mau dilahirkan dengan bentuk fisik sesempurna ini. Fisik yang
sepenuhnya tercipta hanya untuk dipertontonkan.

“Maaf, aku pasti membuatmu sedih dengan perkataanku barusan.”

Aku kembali menoleh ke arah lelaki tersebut. Sepertinya ia lelaki baik, tapi tidak. Aku
tidak boleh dengan mudah percaya pada lelaki apalagi yang baru beberapa menit aku
temui ini. Aku ingin pergi dari sini, tapi aku tak bisa. Jadi, ya Tuhan buatlah lelaki ini
pergi dari hadapanku, kumohon.

****

Gadis itu tetap diam. Lalu kembali membuang wajahnya dariku. Aku ingin terus
menatapnya. Saling berpandangan dan, oh ya tuhan... mata itu adalah mata hitam paling
jernih yang pernah kutatap, bentuk hidungnya mengesankan, tapi ada setitik kesedihan
pada mata itu meskipun tatapannya sedingin es ada kerapuhan dalam diri gadis ini.

Aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Dari hari pertama aku melihatnya
ia selalu datang sendiri di acara pameran ini dan selalu memandang lukisan yang sama.
Aku sudah tak tahan lagi untuk tidak menyapanya, akhirnya aku memberanikan diri
mendekat padanya.

Tapi sungguh, tak pernah terpikir sedikitpun bahwa aku akan diabaikan oleh gadis ini.
Kupikir hanya tatapan itu yang dingin tapi ternyata sikapnya tak kalah dingin. Mungkin
jika aku menemukan gadis lainnya yang mempunyai ekspresi yang sama aku tidak akan
tertarik untuk dekat dengan gadis itu barang sesenti, tapi gadis ini sangat berbeda. Seperti
magnet aku merasa tertarik saat menatapnya.

“Kamu tinggal di mana, dekat dari sini?,” Tanyaku. Kuharap pertanyaan ini dijawabnya,
namun nihil lagi-lagi aku diabaikan.

“Aku bisa menunjukkan lukisan lain dan mungkin saja kamu akan menyukainya.”
Kuperhatikan pundaknya yang sedikit terangkat. Ia sedang menarik napas. “Apakah ia
terganggu dengan kehadiranku?” Aku jadi merasa sedikit bersalah, kurasa ia tidak
senang dengan kehadiranku. Dengan adanya pikiranku tersebut tiba-tiba tak tahu dari
mana, seorang bocah laki-laki datang menubruk badan gadis ini tanpa aba-aba, terjadi
begitu cepat, dan gadis ini sekarang sudah tersungkur di bawah kakiku bersamaan dengan
tangisan bocah cilik itu. Demi tuhan, aku terlalu shock saat melihat kejadian ini. Hingga
akhirnya aku tersadar dan bersimpuh di samping gadis ini berniat untuk segera
membantunya. Kulihat wajahnya meringis menatap kedua telapak tangannya. Ada darah
di sana.

“Adeeekkk, ibu kan sudah bilang jangan lari-lari.” Seorang wanita paruh baya datang dan
langsung menggendong bocah cilik itu sebelum tatapannya beralih pada kami.

“Astaga, maaf. Gara-gara anak saya tangan anda terluka. Maaf sekali lagi saya mohon
maaf.” Wanita paruh baya itu berkali-kali membungkuk dan meminta maaf diiringi
tangisan bocah yang ada di pelukannya.

Kulihat gadis ini tersenyum menampilkan dua lesung pipit di kedua pipinya.

Seketika. Aku. Menahan. Napas.

Ya tuhan senyum itu, mengapa semua yang ada pada diri gadis ini sangat mengesankan,
dan membuatku sulit untuk bernapas.

“Saya mohon maaf, saya harus membawa anak saya pergi dan tidak bisa membantu anda,
saya takut kami diseret satpam acara ini jika saya tidak secepatnya membawa anak saya
beserta tangisannya keluar dari sini, saya mohon maaf.” Sebelum gadis ini menjawab
wanita itu sudah pergi begitu saja.

“Mari, saya bantu.” Aku membantu gadis ini berdiri, kupegang punggung tangan
kanannya agar tak mengenai lukanya dan kurengkuh lengan kirinya untuk membantunya
berdiri.

“Kita harus secepatnya mengobati lukamu sebelum luka itu jadi infeksi,” Kataku, dan
syukurlah gadis ini tak menolak, ia mengangguk.

Sangat polos.
Beberapa menit kemudian kami sudah duduk di salah satu kursi yang ada di luar ruang
pameran. Di pangkuanku sudah ada kotak P3K yang aku dapatkan setelah bertanya
kepada satpam. Kupegang telapak tangan gadis ini, kuobati perlahan. Beberapa kali aku
menatap wajahnya hanya untuk mengetahui apakah luka ini menyakitkan atau tidak, tapi
yang kudapatkan hanya ekspresi normal, biasa saja. Seakan ini bukan luka, seakan luka
ini adalah lukisan yang sama yang ia perhatikan di dalam ruang pameran itu selama tiga
hari ini.

“Selesai. Mau kubelikan air minum,? pasti kamu cukup terkejut tadi,” Lagi-lagi ia hanya
mengangguk. Kutinggalkan ia sebentar untuk membeli air mineral.

****

Aku menatap ke arah perginya lelaki itu. Reysakha. Nama yang bagus. Aku mengelus
plester yang ditempelkan lelaki itu pada lukaku. Mengapa saat aku mendapatkan luka ini
tadi terasa cukup menyakitkan, tapi ketika diobati oleh lelaki itu, luka ini tak terasa sama
sekali.

Aku menggigit bibir bawahku. Aku tak pandai bersosialisasi aku tak punya cukup banyak
pengalaman. Aku hanya bisa tersenyum, mengangguk, ataupun menggeleng hanya untuk
merespon percakapan. Aku tak sanggup, aku tak bisa berbicara. Tanpa sadar air mata
sudah mengalir di pipiku, aku terisak.

Sendirian.

****

Betapa terkejutnya aku saat datang kembali gadis itu tengah terisak pelan. Terkutuklah
aku, ketika aku melihat wajahnya aku malah berpikir wajah itu terlihat makin cantik
dengan air mata terurai yang mengakibatkan kedua bola matanya terlihat cemerlang,
hidung yang memerah dan kedua pipi yang terlihat merona. Bahkan saat menangis kedua
pipi itu masih menampilkan lesungnya.

“Hei, ada apa? Ada yang menyakitimu? Ada seseorang yang datang tadi?” aku bertanya
dan gadis itu menjawab dengan menggeleng.

“Minumlah, pelan-pelan.” Aku menyodorkan sebotol air mineral padanya. Ia minum


perlahan dan tangisnyapun ikut surut perlahan.
Aku terdiam, merenung. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini. Jika tadi tidak ada yang
datang, lalu apa yang membuatnya terisak. Dalam satu kesempatan gadis ini seperti sulit
ditaklukkan, namun pada kesempatan lain gadis ini terlihat sangat rentan. Aku sungguh
ingin mendengar suaranya bukan hanya isakannya saja.

“Saya tidak tahu dan tidak memaksa untuk tahu apa yang kamu rasakan atau apa yang
kamu alami. Saya paham, ada beberapa orang yang menganggap pertemuan pertama
dengan orang asing itu tidak bermakna sama sekali. Tapi saya sungguh ingin
mengenalmu. Saya mohon bicaralah. Mungkin dengan satu kata, sebutkan namamu?”

Gadis itu menggeleng, air matanya kembali mengalir. Tapi dengan cepat langsung ia
hapus dengan punggung tangannya. Ya tuhan perasaan apa ini, amarah tiba-tiba merasuki
dadaku, bukan karena ketidakmampuan gadis ini menjawab pertanyaanku, tapi aku
merasa harus marah ketika kesedihan terus saja terlihat pada wajah gadis itu. Hal apa
yang tengah ia rasakan?, Luka apa yang tengah ia alami,? Apa yang membuatnya menjadi
seperti ini?. Hal itu mengusik naluri melindungi yang kupunya.

Tiba-tiba gadis ini mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik sesuatu di sana lalu


menunjukkan padaku.

“NAMA SAYA NADA”

Aku menaikkan satu alis. Maksudnya?

Ia kembali mengetik sesuatu di sana di bawah kalimat tadi, lalu menunjukkan kembali
ponselnya padaku.

“MAAF, TAPI SAYA BISU”

Aku menahan napas, menatap bergantian ponsel dan si pemilik ponsel.

****

Mengasumsikan sesuatu lebih berbahaya daripada mengakui bahwa kita tidak tahu. Aku
memerhatikan ekspresi lelaki ini, kupikir dalam hitungan kurang dari 5 detik pasti ia akan
beranjak lalu pergi dari hadapanku.
Aku melihatnya menarik napas. “Ceritakan!” Suara lelaki itu mantap sambil menatapku
penuh keyakinan. Aku bingung, tak tahu harus bersikap bagaimana. Apa maksudnya?
Namun, sebenarnya aku tahu. Aku tidak sebodoh itu.

Lelaki itu terdiam. Aku tak mengerti tapi aku melihat beberapa emosi terpancar dari
tatapannya. Kebisuan yang kumiliki menjadikanku lebih mudah untuk dapat membaca
emosi hanya dari tatapan.

“Tolonglah, ceritakan apa yang kamu alami. Saya janji akan tetap di sini,” ucapnya,
kembali meyakinkan.

Aku percaya tak butuh waktu lama bagi manusia untuk menemukan seseorang yang
istimewa. Semua manusia akan dipertemukan dengan seseorang yang mampu menopang,
menjaga dan saling mengasihi. Tapi bagi seseorang seperti diriku kepercayaan sangat
sulit kuberikan pada orang yang baru ku kenal. Lalu bagaimana?

“Saya janji akan mendengarkan semua ceritamu, jika kamu tidak ingin bercerita sekarang,
ijinkan saya agar dapat berteman denganmu.”

Ada jeda cukup lama bagiku untuk mencerna ucapannya. Setelahnya, lelaki ini
menggenggam tanganku. Aku bersumpah aku merasakan kehangatan dari genggamannya
tersebut. Kami saling tatap seolah kami berbicara satu sama lain melalui tatapan. Saling
meyakinkan. Dan aku tersadar dalam tatapan kami bahwa beban serta dukaku perlahan
berkurang. Aku merasa seperti makhluk kecil lemah yang baru saja menemukan tempat
perlindungan.

Hanya dengan tatapan. Oh, ya tuhan.

Aku berusaha menyerap setiap sensasi, setiap hal kecil, agar dapat mengingatnya di
kemudian hari. Aku berusaha. Aku harus bisa dan aku mengangguk. Mengiyakan
permintaannya.

Untuk pertama kali dalam hidup yang kulewati, kabut tebal kesedihanku mulai terangkat,
perasaanku kini menjadi lebih ringan. Hanya dengan mengetahui seseorang akan ada
untukku untuk mendengar semua kisahku. Aku butuh bercerita, aku butuh pelukan, aku
butuh dukungan. Dan entah siapa yang memulai detik itu juga aku tersadar sudah berada
di pelukannya. Dari sini pun aku belajar jangan selalu berkubang dalam penderitaan dan
merasa buruk sendirian. Karena tentang mungkin dan tidak mungkin, kita harus percaya
bahwa satu akan kita dapati dalam hidup.

BUKTI SCREENSHOT :
LINK : https://my.w.tt/BO9bdfcSg8

Esai Sastra :
Yang fana adalah waktu : Sapardi Djoko Damono

Dunia sastra Indonesia sedang berduka. Sastrawan kondang, Sapardi Djoko Darmono
meninggal dunia, Minggu (19/7/2020). Beliau adalah sosok yang senantiasa
mengerahkan semua indra-indra untuk menghargai alam. Sosok yang secara langsung
menyadarkan kita semua bahwa benar adanya, ketika seseorang sudah tak ada karyanya
akan selalu dikenang hingga akhir hayat. ‘Yang fana adalah waktu’ adalah salah satu puisi
karya beliau yang syarat akan makna-makna tersirat di dalamnya.

Puisi ini memiliki makna berupa kritik kepada manusia, bahwa manusia sering kali lupa
akan kodratnya. Ide utama puisi ini adalah kritik bagi orang-orang yang menghabiskan
hidupnya untuk mengejar hal-hal yang tidak bermanfaat dan untuk mengingatkan bahwa
suatu saat mereka akan meninggalkan dunia ini dan seiring dengan waktu yang berjalan,
kehidupan mereka menumpuk kesenangan yang fana serta tingkah mereka yang menyia-
nyiakan waktu akan berubah menjadi penyesalan ketika mereka sudah tidak bisa
melakukan hal-hal yang biasa mereka lalukan, ketika itu mereka akan dikalahkan oleh
waktu dan menjadi tua dan mereka hanya bisa merefleksikan apa saja yang sudah mereka
lakukan di dunia.

Puisi ini pula menyadarkan kita untuk memanfaatkan kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Waktu yang memperdaya kita, waktu memainkan perannya dengan apik dan kita yang
menentukan bagaimana memanfaatkan waktu itu dengan selayaknya.

Puisi dengan bait yang sangat singkat. Puisi ini dapat menyampaikan makna yang
bijaksana tetapi dengan menggunakan pilihan kata sedikit namun cukup mendalam
sehingga mampu menyampaikan banyak hal yang sangat berguna bagi siapapun yang
membaca dan menghayatinya.

Sapardi menjadi corongnya untuk menyisipkan misi kemanusiaan. Selamat jalan eyang,
menua dengan karya tidaklah sia-sia. Yang fana adalah waktu, kita abadi! Terima kasih
atas setiap bait yang telah engkau tuai. Karyamu akan abadi sepanjang masa.

Anda mungkin juga menyukai