Anda di halaman 1dari 7

Jingga luput dari senja kala itu, saat rintik-rintik hujan menyerbu

bumi. Aku duduk di meja belajar dengan posisi menyamping dari arah
jendela. Masih belum selesai pula tulisanku waktu itu.
Tiba-tiba kaca jendela penuh embun diketuk beberapa kali. Aku
menoleh, tak langsung kubuka. Embun dikaca sangat tebal, kacaku
kehilangan beningnya hingga tak nampak jelas siapa di luar sana.
Kaca diketuk lagi. Belum juga kubuka.
Beberapa waktu, mungkin karena aku tak kunjung bergerak dari
tempatku, tiba-tiba ada ujung jari yang menempel di kaca itu. Perlahan,
mungkin juga sengaja diperlambat, ujung jari itu bergerak membuat
rute perjalanannya sendiri untuk menghapus embun. Sebuah bentuk
hati tertera jelas di kacaku. Aku tersenyum.
Saat itu juga, aku tahu siapa seseorang diluar sana.
Dengan senyum tak luntur dari wajahku, kubuka jendela itu. Dia
Dhefa. Entah bagaimana aku memberi tahu, lebih dari teman, pacar
bukan, kekasih juga bukan. Hanya orang yang ketika dia bilang suka,
aku juga bilang suka. Yang ketika aku belum tersenyum, dia sudah
tertawa. Yang ketika aku bahkan belum menyadari keberadaannya, dia
sudah menyapa.
Dan hari ini, dia adalah yang menembus barikade hujan untuk
mengetuk jendela kamarku dengan setangkai bunga matahari yang dia
sodorkan.
“Buat kamu.” Katanya.
Aku menerimanya. “Bunga matahari?”
“Iya. Biar disini tetap cerah walau matahari lagi sembunyi dibalik
awan.”
“Kenapa hujan-hujanan?”
“Hujannya lebat, cuma mau mastiin kamu nggak kehujanan.” Dia
tersenyum.
“Kan aku nggak keluar rumah.”
“Emang jangan keluar rumah.”
“Karena hujan?”
Dia menggeleng. “Karena aku yang minta.”
“Terus kenapa kamu hujan-hujanan?”
“Karena kamu nggak minta aku supaya nggak hujan-hujanan.”
“Kalo gitu, jangan hujan-hujanan lagi. Masuk dulu.”
Dia menggeleng lagi. “Aku harus pulang, tadi bunda nyuruh aku
nyiram tanaman.”
“Loh, tapikan hari ini hujan. Tanamannya udah disiram hujan, dhefa.”
“Mau mastiin aja, takutnya hujannya nggak kena di tanaman bunda.
Bisa marah bunda nanti.”
“Mana bisa begitu..”
“Sudah ya, nanti tanaman bunda layu.” Dhefa mengangkat tangannya
dan melambai. Setelah itu dia berjalan santai keluar dari pekarangan
rumahku.
“Dhefa!” Aku meneriakinya, tapi percuma. Dia sudah berpura-pura
tidak mendengar.
Dan senja ini, meski tanpa jingganya, sudah membuat aku senang.
Mungkin bukan senja, tapi karena dia.
Setangkai bunga matahari besar yang masih basah buru-buru aku
letakkan di atas meja. Ada sekitar 1 jam waktu yang aku lewati hanya
untuk menatap bunga itu, juga memikirkan si pemberinya.
“Mengapa lama sekali menatap bunganya?”
“Karena sebentar lagi bunganya akan layu, sayang kalo tidak ditatap.”

…ooOoo…

Hari masih pagi, pagi sekali. Waktu itu matahari belum naik, langit
juga belum terang. Aku dan kedua kakiku sedang berjalan cepat,
hanya kami bertiga. Bertiga. Aku dan kedua kakiku. Percayalah,
hanya kami.
Dipertigaan jalan, di bawah lampu jalan yang masih menyala, dia
berdiri dengan tubuh bersandar di tiang lampu. Satu kakinya
terangkat. Di bawah lampu jalan, sosoknya terlihat tidak cukup jelas.
Tapi aku sudah bisa mengenalinya.
Aku tahu dia melihat ke arahku. Aku juga tidak berniat untuk
berpura-pura tidak tahu. Terus saja aku berjalan hingga kira-kira 5
langkah mencapai posisinya, aku berhenti. Dia hilang. Tidak ada lagi
disana.
Rasanya ingin menangis, juga mau teriak karena marah. Kenapa dia
hilang?!
5 langkah yang tadi tersisa kini aku habiskan. Sejajar sudah aku
dengan tiang lampu jalan itu. Salah satu sisinya penyot dan tergores.
Bekas hantaman benda keras, hantaman yang kuat. Aku tahu
hantaman apa itu. Tapi aku diam.
Aku masih diam.
Tapi mata sudah panas. Dada juga sudah sesak. Semuanya bisa aku
tahan, kecuali air mata yang menyelesak keluar dari pelupuk.
Satu tetes air mata sudah jatuh ke aspal. Disusul oleh tetesan air mata
selanjutnya dan seterusnya. Jadilah aku menangis pagi itu.
Pagi yang masih pagi sekali. Matahari belum naik, langit juga belum
terang. Tapi aku sudah menangis.
Sorot lampu dari arah depan membuat mataku silau. Sebuah motor
sedang mendekat. Dia berhenti di dekatku. Rupanya ibu-ibu yang
biasa menjajakan bubur di pagi hari. Juga yang biasa mengantar
buburnya ke rumah-rumah langganan untuk disantap sebagai sarapan.
“Kenapa disini sendiri dek?” Tanyanya heran. Aku tidak menjawab.
“Kenapa nangis?” wajah ibu itu mendadak kaget saat melihat
wajahku. “Tersesat atau bagaimana? Diganggu preman ya?”
Aku belum menjawab, suaraku masih tertahan ditenggorokan. Masih
sangat sakit rasanya.
“Mau pulang? Biar ibu anterin. Nggak baik anak perempuan ditempat
sepi gelap-gelap begini. Bahaya.” Ucapnya dengan penuh
keprihatinan.
Bahaya? Iya. Tempat ini tempat paling berbahaya.
“Mau ya, ibu anter pulang?” Dia kembali menawarkan. Kali ini
dengan sedikit mencondongkan wajah.
Yang ada air mataku kembali menetes.
“Haduhh…” serunya. Dia terlihat bingung. Beberapa saat dia seperti
sedang mencari cara untuk membujuk.
“Disini angker loh dek. Pernah ada yang kecelakaan. Kata orang-
orang arwahnya masih gentayangan. Ayo, kita pergi dari sini.
Sebelum arwahnya datang terus malah ngikutin kamu kemana-
mana.”
Ibu itu mengulurkan tangan, benar-benar dia tunjukkan tawaran yang
hangat. Tapi bukan itu, entah kenapa air mataku berhenti mengalir.
Dadaku tidak sesak lagi.
“Nah begitu, jangan nangis lagi. Ayo ibu anter pulang.”
“Bu..” ucapku pelan.
“Ya?”
“Benar arwahnya masih gentayangan?”
“Iya. Kata orang-orang di sekitar sini sih begitu.”
“Kalo arwahnya datang, dia bisa ngikutin saya kemana-mana?”
Ibu itu mengangkat kedua alisnya, sepertinya dia bingung. Atau
memang benar dia bingung.
“Haduhh adek ini. Udah mau siang ini, ayo ibu antar pulang. Ibu juga
harus nganter bubur ke langganan. Ayo dek.”
Aku memberanikan diri untuk menggeleng.
“Ibu anter aja buburnya. Saya masih mau disini.”
“Yasudahlah dek.” Kata ibu itu dengan nada yang mulai tidak enak.
Mungkin karena sudah lelah menawarkan, juga karena tawarannya
aku tolak. “Mari..” Katanya lagi, kemudian benar-benar berlalu.
Setelah ibu itu pergi, aku kembali sendiri. Kembali ku tatap tiang
lampu itu.
“Sabillahhh…”
Aku mendengar namaku dipanggil, tapi tidak ada sedikit pun
keinginan untuk menoleh. Aku mengenal suara itu. Itu ibuku.
“Ya Tuhan, Sabillah. Kamu disini lagi, nak? Ayo pulang.” Kata ibuku
dengan suara serak tertahan air mata.
“Ayo pulang, nak.” Pintanya, sangat lirih. Memacu air mataku untuk
kembali menetes.
Dia raih sebelah tanganku. Dipegangnya sangat erat. Terasa hangat.
Entah memang genggamannya yang hangat, atau aku yang sudah
kedinginan sedari tadi. Entahlah.
“Jangan begini terus. Ayo Sabillah, kita pulang.”
“Billah masih mau disini, Bu.”
“Sabillah!” Bentaknya.
Bentakan itu sama sekali tidak membuatku takut. Yang aku takutkan
adalah kalimat yang akan dia ucapkan selanjutnya. Aku sudah hapal.
Sudah sejak seminggu yang lalu kalimat itu keluar dari mulutnya.
Kalimat yang mati-matian aku tolak dari otakku. Yang aku ingkari
kebenarannya. Yang aku tepis dari golongan fakta.
“Wisnu udah nggak ada, nak.”

..ooOoo..

Sampai kapanpun, untuk menggambarkan suatu bentuk kehilangan,


selamanya tidak akan ada deretan kata-kata yang tepat. Akan sangat
sulit mengungkapkan betapa pedihnya perpisahan. Tidak akan pernah
ada yang mampu menterjemahkannya dalam bahasa apapun. Tidak
akan ada yang bisa baik-baik saja. Hati akan hancur, ketegaran akan
goyah, segala bentuk pertahanan akan runtuh.
Jika ada yang berpura-pura tegar, maka yang berpura-pura itu lah
yang paling menderita. Kepedihan seharusnya diungkapkan bukan
dipendam. Kepedihan adalah sebuah bola duri yang menyiksa, yang
semakin lama akan semakin membesar. Menusuk dan melukai hati
disana-sini. Terlalu pedih sehingga sulit untuk diceritakan. Bola duri
itu tidak akan memunculkan darah melainkan cairan lain yang lebih
mengerikan. Air mata.

..ooOoo..

“Gue nggak peduli kalo semua hal di hidup gue ini kebohongan. Gue
nggak peduli kalo semua orang nggak ada yang jujur. Lo ngebantah
teori newton? Lo ngebantah teori galelio? Lo bilang semua ini
kebohongan sains modern? Gue nggak peduli! Gue bakal nerima
semua kebohongan itu asal seluruh kehidupan di bumi baik-baik aja.”

Anda mungkin juga menyukai