Anda di halaman 1dari 2

Hari ini diriku sedih luar biasa.

22 Desember, adalah hari yang paling membuatku bingung dari pagi


hingga malam. Bukan karena apa-apa, namun karena hari ini adalah “hari ibu”

Mungkin orang akan bertanya kepadaku, apakah aku tak punya ibu hingga aku sedih ketika hari ini
datang? Jawabannya tidak. Aku masih memiliki seorang umi yang cantik dan luar biasa.
Atau aku jauh dari ibuku saat ini? Tidak juga, hingga detik ini akupun masih bersamanya. Lalu apa yang
membuatku sedih? Satu hal yang membuatku sedih adalah, aku belum mampu mengucapkan kata cinta
dan sayang kepadanya.

Aku iri, ketika banyak orang dengan lancar mengatakan,”selamat hari ibu ya bu, aku sayang sama ibu”.
Atau melihat tayangan di TV yang memperlihatkan seorang anak yang membuatkan kue atau
memberikan hadiah untuk ibunya dan mengucapkan selamat hari ibu. Aku iri. Aku belum bisa seperti
mereka, dan aku tak tahu kapan aku bisa seperti mereka.

Aku tak tahu, apakah karena gengsiku, atau rasa maluku sehingga bibir ini kelu mengucapkan,”Mi,
nanda sayang sama umi”. Aku tak tahu, apakah karena aku yang tak terbiasa menunjukkan rasa sayang
dan cintaku kepada keluarga sehingga tubuh ini pun gagu untuk berbuat sesuatu yang dapat
mencerminkan rasa sayangku padanya. Ntah, aku pun tak mengerti pada diriku sendiri. Bahkan untuk
mencium pipinya saja seperti ada beton yang menghalangi. Aku tak tahu. Dan sindrom itu muncul
disaat-saat seperti ini, disaat istimewa yang tak datang setiap hari.

Dari pagi aku tersiksa, mau SMS udah terlalu siang sepertinya. Mau buatin makanan tapi aku tak punya
ide untuk membuat apa. Sementara setiap tayangan di televise semakin menyiksaku karena semuanya
menayangkan hal yang sama. Ah… aku seperti orang bodoh dan gagal.

Semakin aku berfikir, semakin gila aku merasa. Aku harus apa? Harus apa aku hari ini? Diam-diam aku
menangis dalam doa. Menangis karena tak mampu menyalurkan rasa cinta yang membuncah ini bahkan
kepada orang yang melahirkanku dan membimbingku selama ini. Aku menangis, karena tak mampu
menampakkan rasa sayangku kepada ia yang pasti menyayangiku pula selama ini. Aku mengadu kepada
Allah, aku tak mengerti ada apa denganku. Dalam doa aku meminta, agar cinta yang belum mampu aku
tampakkan ini ditampakkan oleh Allah dalam bentuk yang lain. Aku sangat menyayanginya Ya Allah…
Aku sangat mencintainya. Sampaikanlah cinta ini kepadanya melalui angin dan mimpi indahnya nanti
malam, karena lidahku kelu mengatakannya.

Aku menangsi tersedu, ingin bibir ini berucap, ingin raga ini bergerak, memeluknya erat, mengucapkan
terimakasih yang tak terbatas kepadanya, mencium pipinya dan berkata “nanda sayang umi”. Ingin
tangan ini beraksi, membuatkan sebuah masakan istimewa dihari istimewa ini, namun lagi-lagi, aku
memang aneh hingga tak mampu melakukan itu semua.

Ia yang begitu berharga untukku, ia yang begitu luar biasa, ia yang tiada tandingannya, yang aku begitu
mencintainya. Ia, umiku yang paling ku sayang, malah belum menerima ucapan apapun dari anaknya.
Aku merasa durhaka. Aku merasa jadi orang yang paling dingin sedunia. Yang paling keras kepala, dan
tak tahu diri. Apalah sulitnya berkata sayang? Apalah sulitnya bergerak mendekatinya dan mendekapnya
erat? Apa sulitnya? Ntahlah! Aku iri kepada mereka yang begitu mudahnya menyatakan kasihnya
kepada sang bunda. Aku iri, beruntung mereka yang tak seperti aku yang hina ini. Kapan aku bisa seperti
mereka? Melenyapkan segala gengsi dan malu yang tak perlu ini untuk menunjukkan cinta yang
terpendam ini. Kapan? Aku amat merindukan dan menunggu saat itu datang. Saat dimana aku bisa
sepuasnya berkata kepada malaikatku di dunia, kepada umiku bahwa cinta ini menggunung untuknya.
Memluknya erat kapanpun aku suka. Kapan saat itu tiba?

Hati ini sakit ketika melihatnya menjatuhkan air mata. Benak ini berontak ketika terkadang aku tak
sengaja melukai perasaanya. Namun lagi-lagi, amat kelu lidah ini untuk berkata “maaf mi, maafin
nanda”. Dada ini bergetar ketika tahu ia yang kusayang menangis karena tingkah ku atau adiku yang
sering bandel dan melawan. Aku takut, dan aku tak ingin air matanya jatuh karena kelakuan burukku.
Namun egoisku sering tak mau berkompromi dengan perasaanku yang sebenarnya.

Meski begitu, terkadang ego ini lumer juga meski tak semuanya. Lagi-lagi aku hanya bisa diam-diam dan
bersandiwara. Seakan-akan aku hanya kelelahan, kemudian tiduran dipangkuannya, namun sebenarnya
aku rindu untuk memeluknya. Sehabis sholat berjamaah dengannya, ku siasati menjahilinya dengan
adikku dengan mencium pipinya lalu tertawa, padahal sebenarnya memang aku rindu untuk mencium
pipi halusnya. Bergeliat manja, mungkin hanya beberapa kali saja, itupun bukan disaat spesial seperti ini.
Di saat seperti ini justru aku kaku dan seakan tak mampu mengungkapkannya.

Aku tak ingin diam saja. Aku tak ingin terus menutup rasa cinta ini dan menyembunyikannya di dalam
hati saja. Mungkin tak mudah melawannya, namun aku azzamkan untuk bisa menghilangkan ego dan
maluku ini. Aku tak ingin menyesal nantinya. Tidak. Aku tidak mau. Setidaknya, akan kutunjukkan cinta
ini melalui pengabdianku kepadanya, menjadikan ia bangga kepadaku atas apa yang bisa kuperbuat dan
kuperoleh. Mendoakannya dalam sujud dan tengadahan tanganku. Ya, dengan itu aku akan menyayangi
dan mencintainya. Dan suatu saat nanti, aku pasti bisa berkta langsung kepadanya, bahwa aku sangat
mencintainya.

LOVE U SO MUCH, MOM… Nanda sayang sama umi. Maaf belum bisa menjadi yang kau inginkan.
I’m Sorry

Anda mungkin juga menyukai