Aku gak bisa dek, aku gak bisa kalo cuma bilang, Hai, Hallo apa kabar kamu?. Aku mau bilang aku kangen sama dia dek, aku mau tanya apa dia udah punya pengganti aku? Gimana orangnya dek, pasti lebih cantik dari aku kan dek? Apa dia pernah kangen sama aku dek? Itu respon ku saat Nia adikku, memintaku untuk menyapa Dika di malam pesta ulang tahun Rika temanku. Tapi kakakkan pernah bilang sama aku, kita harus saling menjaga silaturahmi Iya, tapi merindukan pacar orang lain apa itu namanya menjaga dek? keluhku rendah. Kakak aja belum tanya gimana bisa tau kalo kak Dika udah punya pacar? Kalo ternyata kak Dika masih ngarepin kakak gimana? Mau sampai kapan kita menjaga keadaan dengan selalu diam kak, kalo itu lebih menyakitkan? sergah Nia dalam. Iya, tapi kalo dia masih mau sama aku, kenapa dulu dia ngelepasin aku coba? omelku kesal. Maka dari itu, terkadang pertemuan yang gak disengaja ini bisa jadi mengisyaratkan sesuatu. Udah deh jangan kayak anak-anak gitu kak hidup itu harus real, setiap yang pergi dan yang kembali sudah ada takdirnya sendiri Nia menatapku dalam, tatapannya menguatkan hatiku. Iya deh aku coba nih jawabku meyakinkan. Ah, Nia memang selalu berharga di setiap masalah-masalahku. Dia lebih dewasa ketimbang aku. Dia lebih pandai menyadarkanku, mengingatkanku dan aku selalu membutuhkannya. Aku pernah berpikir, apa waktu kelahiran dulu Tuhan sempet khilaf ngelahirin aku duluan?, harusnya Nia jadi kakakku. Tapi, pertanyaan bodoh itu cepat-cepat aku hapus, aku malu kalo Nia juga bakal tau aku sebodoh itu untuk menyalahkan Tuhan yang Maha benar. Aku melangkah perlahan sambil membenarkan posisi tubuhku saat berjalan, aku paksakan agar terlihat sedikit anggun. Sambil mengangkat sedikit gaun merahku agar tidak terpijak oleh High Heels ku, aku memberanikan diri berdiri di samping kiri Dika, mantanku sejak kelas 3 SMA. Nia menatapku dari tempat kami berbicara tadi, raut wajahnya mendesakku. Hai Dik, Dika kan? Sapaku pura-pura biasa saja. Dia menatapku..dan aku tidak tau mengartikan tatapannya, apakah itu kaget yang senang ataukah pertemuan yang tidak ia harapkan? Aku mengukir senyum kecil, Apa kabar Dik? Dia masih keliatan bengong menatapku, kemudian aku kembali mendengarkan suara jernihnya yang sudah lama aku rindukan, Dena? Ini kamu? Tatapannya kali ini seperti memperhatikanku dari kepala hingga ke kaki kemudian ia tertawa kecil, aku masih bingung apa kali ini ia sedang menertawakan penampilanku? Kamu..beda banget sekarang? Cantik. Entah kenapa aku justru merasa biasa-biasa aja ketika sebuah kalimat cantik itu aku dengar dari Dika, ini pertama kalinya Dika bilang aku cantik. Ini juga pujian pertama dari berbagai hal yang tak pernah Dika komentari sebelumnya. Aku justru bingung harus keget, senang atau malu-malu atau langsung saja pingsan dipelukannya? Ah. Iya dik jawabku singkat. Aku kesal dia belum menjawab pertanyaanku tadi, aku kesal dia harus beberapa detik kemudian baru menyadari kehadiranku. Kamu apa kabar Dena? Dika bertanya lagi dan apa aku harus jujur sekarang? Aku mau jawab, Aku gak baik-baik setelah kamu pergi Dik. Aku kangen sama kamu. Balikan yuk Dik Astaga! Jika suara hati itu terdengar kali ini aku benar-benar mau pingsan! Akhirnya dengan secuek mungkin aku jawab, Baik, Dik tanpa bertanya balik, justru sekarang aku berani menatap matanya lebih dalam, justru aku ingin marah dan muak. Kanapa aku harus mencintai orang seperti ini? Yang pergi begitu saja?. Kamu datang sama siapa Dena? Nia juga datang? aku mengernyitkan dahi, kelihatannya dika mulai menyukai pertemuan ini..Iya. Nia disana Sambil menunjuk ke arah Nia yang langsung mengubah pandangan yang sedari tadi mengawasi kami, Hah..aku menghela nafas dalam-dalam. Nia pintar langsung berpura-pura tidak melihat ke arah Dika dan aku. Kali ini aku bertanya, Kamu Dik..sa.. Aku belum sempat melanjutkan pertanyaanku, seorang wanita cantik dengan gaun merah mudanya medekati Dika sembari berbisik. Aku kemudian menjawab pertanyaanku tadi dalam hati, aku dateng sama istriku, ini kenalin.. Kemudian perempuan bergaun merah muda itu menyalamiku. AHHHH! TIDAK! BUKAN! Hapuskan prasangka ini Tuhan..Aku menarik nafas panjang hampir tersedak dan ingin kentut. Oiya Dena, kenalin ini sakura Nah sekarang perempuan bergaun merah jambu itu benar-benar menyalamiku..Dena ucapku gugup sambil menyambut tangan lembutnya. Dalam hati suara rendahku hampir tertelan denyut jantungku yang berdetak lebih kencang, Ini wanita..saingankukah? Aku tak berani melihat Nia di sana, apakah dia juga berpikir sama denganku? Detik ini sepertinya pingsan saja tidak cukup..wanita itu pasti juga sedang berkata dalam hatinya, Oh..ini bukan tandingan gue AAAAAAA....bagaimana kalau dia benar-benar bilang seperti itu... Tiba-tiba seorang lelaki berjas rapi datang dan membisikkan sesuatu kepada wanita bergaun merah muda tersebut, kemudian dengan isyaratnya dia pergi bersama lelaki berjas rapi itu. Ini ada apa sih? Kenapa main bisik-bisik begini? Dika melihat sampai wanita dan lelaki itu menghilang melewati pintu. Perhatian macam apa itu? Sebegitukah wanita ituu..Maaf Dena, itu.. Dika belum menyesaikan kalimatnya Nia tiba-tiba datang menarik tanganku, kak, mama telfon Nia menyeretku keluar dari ruangan dan meninggalkan Dika tanpa pamit. Aku juga tidak sempat melihat Dika. Aku juga tidak tau, apakah Dika melihatku pergi seperti wanita bergaun merah muda tadi?... Nia menyeretku ke dalam mobil, kemudian langsung menstarter mobilku. Kak kita harus pergi sekarang Aku masih belum mengerti dan gak tau ada apa ini? Kita harus pergi sebelum sesuatu terjadi Nia kemudian melanjutkan kalimatnya, seperti ingin menghindari sesuatu..Ada apa sih Nia? Katanya mama telfon? Sesuatu apa? tanyaku bingung. kak, itu tadi pacarnya Dika kan? Aku tau kakak sedih makanya aku langsung bawa kakak pergi dari pada kakak nangis di sana. Aku menarik nafas lebih dalam lagi dari sebelum-sebelumnya, NIAAA.. aku gak tau harus bilang apa ke Nia mungkin benar aku bakal nangis gak lama lagi dan sekarang untung udah gak di depan Dika..aku bisa nangis sekarang, Niaaaaaaa... huhuhuhu hiksssss...pelan-pelan Nia memberhentikan mobil dan membiarkan aku nangis. Kami berhenti di suatu tempat. Tempat biasa yang aku dan Nia kunjungi untuk menhilangkan jenuh dan sedih. Di tempat ini angin dan ombak laut seperti berlomba bersuara lebih kencang, jadi aku lebih leluasa berteriak apapun. Lampu-lampu bulat kecil yang redup berjejer di pinggir tembok beton berjarak seratus meter dari satu lampu ke lampu lainnya. Di depan sana gedung-gedung singapura kelihatan jelas dan beberapa kapal tongkang mengapung tanpa bergoyang. AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!! DIKAAAAAAAAAAAAAAA!! Huaaaaaaaaaaaaa :( Kenapa harus ketemu lagi, kenapa harus ada wanita bergaun merah muda itu? Aku yang bergaun lebih merah kenapa kalah? Kenapa harus ada wanita itu yang berdiri lebih dekat? Aku di sini begitu jauh dan ditinggalkan. Wanita tadi yang pergi, Dika terus melihatnya sampai tak terlihat. Sementara aku, yang ada di depannya diacuhkan seperti tak terlihat. Aku mengomel dalam hati, bahkan hanya tangisku yang menegurku untuk berhenti menangis sebab hidungku sudah sangat tersumbat. Memang tak ada lagi yang memperdulikan perasaan ini, Tuhan hapus cintaku, gantikan cintaku dengan yang lain, Sihir mataku gelap bila yang ku lihat nanti adalah Dika. Tuhaaaaaaann aku lelah menunggu di arah yang sama, di persimpangan yang berbeda ia selalu berhenti. Sedih hatiku dikejutkan dengan nada dering handphone Nia. Iya ma. I..iya ma ini mau pulang kok jawab Nia gagap di telfon. kak mama telfon nyuruh pulang. Yuk kita pulang. Nangisnya besok aja lagi Aku menatap Nia sedih, besok? Besok aku harus nangis lagi? Kami pulang. Di sepanjang jalan kami mendengarkan lagu Afgan..Jodoh pasti bertemu. Air mataku tak sempat menunggu besok untuk terus mengalir.