Anda di halaman 1dari 8

Nama : Muhammad Abdi Fauzan Dwiky

Kelas : XI MIPA 4

Diantara Kamu

Hampir dua jam. Aku duduk di bangku taman segi panjang yang hanya terbuat dari semen di
samping pohon Akasia. Menunggu. Berharap seseorang yang ku puja itu datang menemuiku
disini, seperti janjinya.
Udara kering mulai menggerogoti jalan, sementara kegelisahan mulai meyerangku. Aku
harus mengambil nafas berulang kali agar aku bisa tenang dan mengambil kesejukan dari
pohon Akasia.
Aku beranjak dari tempat duduk segi panjang. Lalu berjalan menuju kolam ikan. Airnya yang
jernih memperlihatkan lumut-lumut hijau yang tumbuh di sisi dan dasar kolam. Hijau lumut-
nya begitu cerah. Tampak lumut-lumut hijau itu sangat senang bisa hidup bersama dengan
ikan-ikan mas. Ikan mas oranye mengatup-ngatupkan mulutnya dengan sangat lucu.
Langit sudah menjadi kuning keemasan. Dan hawa panas mulai mereda. Aku terduduk
sendiri di ayunan merah. Mengayunkannya perlahan-lahan sambil memandang kosong ke
arah kolam ikan di samping ayunan. Sampai kapan aku harus menunggu?
“Sangat berbahaya duduk sendiri di taman sepi seperti ini, Nona!” suara lembut dengan
nada khawatir, menyadarkanku dari pandangan kosong. “Sekarang sedang maraknya
penculikan, kau tahu?” tambahnya. Ia tersenyum bergurau.
Ia duduk di ayunan hijau di samping tempatku. Wajahnya cerah, hidung mencuat, alis tebal,
dan binar matanya teduh. Rambut panjang sebahunya mengikuti irama ayunannya.
Bergoyang-goyang ke depan ke belakang.
“Darimana kau tahu aku disini?” tanyaku. Ada secercah gairah di hatiku saat ia datang.
Rasanya seperti menyelam ke air sejuk saat berada di siang hari yang kering kerontang.
“Entahlah. Mungkin hatiku yang memberitahu. Dan itu membuat kakiku sangat ingin kesini,”
jawabnya. Kemudian, ia mengayunkan ayunannya lebih kencang. Rambutnya menari-nari
tertiup angin.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar jawabannya. Dan mengayunkan diri ke depan ke
belakang perlahan-lahan. Aku tak semangat mengayun sama sekali.
“Pulanglah,” ia berkata. Wajahnya sudah berada di sampingku. Ayunannya sudah hampir
berhenti. Aku hanya diam. Seluruh tubuhku menolak untuk beranjak dari tempat ini.
Terutama hatiku yang masih ingin menunggunya. “Senja hampir habis. Pulanglah, Nona!”
pintanya. Suaranya yang lembut itu membuat tubuhku tersadar. Pegal sekali sudah
menunggu hampir tiga jam.
Aku memaksa tubuhku bangkit dari ayunan. Tetapi sulit sekali mengajak hatiku beranjak.
Kemudian setelah menyadari hari hampir gelap dan taman ini sepi sekali, hatiku mau juga
diajak pulang.
“Er … Happy Birth Day!” katanya. Ada keraguan dari nada suaranya. Tangan kanannya
menyodorkan sekotak kado berlapis kertas merah marun dan pita emas.
“Hei, darimana kau tahu aku ulang tahun hari ini?” tanyaku sambil tersenyum kaget.
“Entahlah. Mungkin hatiku yang memberitahu,” jawabnya sambil terkekeh. Kemudian, ia
berlalu. Berjalan dengan langkah yang dihentakkan walau pun hanya memakai sandal dan
celana pendek putih biru.
Hari berikutnya. Malam dengan udara sejuk. Bintang-bintang berkelap-kelip genit di langit
yang cerah. Malam yang sangat cerah. Banyak bintang-bintang bertebaran. Mereka
membentuk sebuah konstelasi. Aku tidak tahu nama mereka, tapi aku tahu cara
mengaguminya. Dan angin membawa serbuk-serbuk kebahagiaan pada diriku.
Ia berdiri di satu bukit yang menjulang tinggi. Tangannya terentang ke atas. Ia seolah
menggenggam satu bintang paling terang untukku. Ia, pemuda berkacamata, menggenggam
erat tanganku. Kemudian menarikku ke bukit itu. Mengajakku menggapai bintang-bintang di
angkasa.
Pemandangan dari bukit sangat indah. Lampu-lampu jalan, lampu-lampu rumah, dan lampu-
lampu kendaraan terlihat seperti titik-titik cahaya yang tersusun beraturan di gelap malam.
Sementara, jutaan bintang di langit berusaha lebih menarik perhatianku. Saat aku
menengadah ke mereka, bintang-bintang itu seolah tersenyum padaku dengan kedipannya.
Tapi, ada yang lebih menarik perhatianku lagi. Lebih dari jutaan bintang yang indah. Ia,
pemuda berkacamata di sampingku. Wajahnya lebih cerah dari biasanya karena terpantul
sinar bulan. Alis matanya tebal. Hidungnya mencuat ke depan. Dan yang paling indah adalah
bola mata hitam kecokelatannya yang terbingkai kacamata. Bola mata hitam
kecokelatannya yang berbinar tajam namun lembut.
“Maaf,” nada suara bass-nya mengutarakan penyesalan. Matanya memandang mataku dan
aku menangkap ada ekspresi bersalah di dalamnya.
“Jangan sekarang,” kataku. “Jangan merusak malamku denganmu bersama bintang-bintang
ini,” tambahku sambil tersenyum pada bintang-bintang di angkasa.
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Udara malam yang sejuk segera memasuki ruang paru-
paruku. Udara malam dengan wangi rumput dan air. Wangi alam favoritku setelah wangi
hujan.
Aku menengadah. Tanganku terarah pada langit bertabur bintang. Jari telunjukku melukis
wajahnya pada langit di atas sana. Imajinasiku hanya terpaut pada wajah seseorang yang
sedang di sampingku kini. Indah. Wajahnya lebih indah dari bintang-bintang. Dan aku
tersenyum setelah selesai melukisnya.
Aku berpaling dari imajinasi lukisanku ke wajahnya. Wajah cerah sempurna. Memandangi
bola matanya, alis tebal, dan bibirnya yang melengkung manis. Sempurna. Hingga aku
merasa bersyukur pada Tuhan karena menciptakan manusia seindah dirinya.
“Selamat ulang tahun, gadisku!” bibirnya bergerak mengucapkan kata-kata itu. Tangannya
menyerahkan kotak hadiah berwarna hijau tua. Dan tanganku menerimanya.
“Terimakasih!” Aku tersenyum lebar. Kalung berbandul bintang kecil dengan taburan kerlap-
kerlip berwarna perak di permukaan bandul bintangnya, tergeletak manis di dalam kotak. Ia
mengambilnya kemudian memakaikannya di leherku. “Sangat indah!” kataku. Tangan kiriku
memegang bandul bintang kecil itu.
“Maaf. Aku sangat minta maaf karena tidak menepati janji kemarin,” katanya. Nada
suaranya sangat menyesal. “Aku terpaksa harus membantu temanku. Ibunya masuk rumah
sakit karena kecelakaan. Aku terpaksa mengantarnya ke rumah sakit,” jelasnya.
“Oh ….” Responku. Selanjutnya, malam berbintang yang awalnya indah menjadi agak pudar
di dalam hatiku. Sementara, ia hanya diam saja memandangi bintang-bintang yang genit
berkedap-kedip padanya.
Aku memain-mainkan kotak hadiah hijau tua di rumput-rumput samping tempatku duduk.
Dan ada yang menarik perhatianku. Sebuah amplop merah muda tergeletak di samping tas
selempang hitamnya. Sepertinya, amplop itu jatuh saat ia mengambil kotak hadiah hijau tua
dari tasnya. Aku mengambil amplop itu diam-diam. Kemudian, tiba-tiba hatiku mulai panas.
Mataku mulai berkaca-kaca setelah membaca tulisan di amplop itu.
Dari : Wella
Untuk : Kara
Aku tak punya nyali …
Namun, kali ini aku bernyali tinggi
Tinggi, setinggi anganku bersamamu
Sedalam cintaku padamu.
Dari : Wella
Untuk : Kara
Sudah sepuluh kali aku membaca tulisan itu. Tulisan di dalam amplop merah muda yang ku
temukan di samping tas Kara. Berkali-kali aku membaca kata-kata cinta itu, berkali-kali juga
hatiku terasa panas. Seperti ada beban yang menyesakkan hatiku.
Mataku mulai panas, hingga tak sanggup untuk tidak berkaca-kaca. Aku mengayunkan
ayunanku tinggi-tinggi. Aku berharap angin dapat meredakan panas hatiku dan air mataku
yang sudah menggenang tidak tumpah. Semakin tinggi aku mengayun, semakin bertambah
air mataku. Hingga genangan air yang berkaca-kaca itu tumpah dan tak sanggup ku tahan
mengaliri pipi kanan- kiriku.
Telpon genggam di saku jeans-ku bergetar. Aku menghentikan ayunanku dan mengambil
telpon genggamku. Di layar monitornya tertulis ‘Kara memanggil’, namun aku memasukkan
lagi telpon genggamku ke saku jeans. Aku membiarkan telpon genggamku meraung-raung
dengan getarannya di celana jeans-ku.
“Bukankah sudah ku katakan berbahaya jika sendirian di taman sepi seperti ini?” suara yang
lembut itu terdengar. Suaranya bersumber dari seseorang di sampingku.
“Miko!” kataku. Pemuda berambut sebahu itu duduk di ayunan hijau. Wajahnya terlihat
cerah dan rambut di sisi-sisi wajahnya melambai-lambai tertiup angin sore. Wajahnya
berubah khawatir setelah tahu air mata membanjiri pipiku.
“Kenapa menangis?” tanyanya. Suaranya sangat prihatin.
Aku hanya diam saja. Merenung sendiri. Mataku hanya menatap sebuah tulisan yang
tergeletak di rumput-rumput di bawah ayunanku. Mulutku sulit bergerak. Dan lidahku
terasa kelu untuk berkata.
Pemuda berambut panjang sebahu itu menarik titik pandanganku. Ia menemukan apa yang
ku pandangi. Ia mengambilnya, kemudian membacanya. Ia menarik nafas setelah
membacanya. Dan ia hanya diam sejenak, tak berkata-kata.
“Kau tak berpikir, kekasihmu akan mengkhianatimu, kan?” tanyanya. Matanya memandang
dalam ke arah mataku. Aku bisa melihat, ternyata bulu matanya lentik dan bola matanya
berwarna cokelat muda.
Aku hanya menggeleng. Kata ‘mengkhianati’ itu sungguh membuatku tak berdaya. Air
mataku merembes dari ekor mataku.
“Aku yakin kekasihmu bukan tipe orang seperti itu. Jadi, mintalah penjelasannya terlebih
dulu,” katanya. Pandangannya masih mengarah padaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Hanya isakan yang terputus-putus yang bisa aku suarakan. Air mataku masih merembes
keluar. “Jangan menangis lagi!” ia berkata lembut. Jari-jari tangannya menghampiri pipiku.
Dan ibu jari kanannya menghapus titik air di ekor mataku.
“Jadi, ini alasan mengapa kamu tak menjawab telepon dariku, Karli?” suara bass namun
lembut itu mengagetkanku. Raut wajahnya kecewa. Dan matanya mengekspresikan
kesedihan. Miko menarik jari-jarinya dari mataku, kemudian ia bangkit dari ayunannya. Ia
berdiri berhadapan dengan pemuda berkacamata.
Kara dan Miko saling berhadapan. Mata mereka saling bertabrakkan. Bola mata hitam
kecokelatan Kara menghunus tajam mata Miko. Mereka diam. Tidak saling bicara, namun
ekspresi wajah mereka berbicara satu sama lain.
“Karli memang milikmu. Tapi, tak akan ku biarkan kau membuatnya menangis!” Miko
berkata. Nada suaranya tegas. Lalu, tangannya menyerahkan tulisan beramplop merah
muda itu pada Kara.
Wajah Kara tampak keheranan memandangi amplop merah muda itu. Ia tampak seperti
belum pernah melihat amplop merah muda itu sebelumnya. “Apa maksudnya ini?” ia
bertanya heran setelah membaca tulisan itu. “Karli, aku benar-benar tidak mengerti,”
katanya.
“Jangan pura-pura tidak mengerti!” aku berkata. “Itu alasan kamu mengapa tak datang
kemarin ke taman ini, kan?” aku bertanya. Air mataku merembes lagi. “Kamu pergi dengan
gadis itu sementara aku menunggumu disini selama tiga jam!” air mataku semakin deras.
“Karli, dengarkan penjelasanku dulu,” pinta Kara.
“Semuanya sudah jelas. Aku mau pulang!” Kakiku melangkah ke jalan setapak. Sementara,
air mataku tak berhenti mengalir.
“Karli!” panggil suara lembut pemuda berambut panjang sebahu itu.
“Jangan ada yang mengikutiku!” aku berkata, menoleh pada keduanya. Lalu, aku berjalan
mantap walau hati sangat kacau, meninggalkan keduanya yang hanya mampu memandangi
kepergianku dari taman yang sepi ini.
Udara malam sangat dingin kali ini. Langit tidak secerah kemarin. Bintang-bintang
bersembunyi di balik awan-awan hitam. Mereka tampaknya tak ingin menyaksikanku
termenung sedih. Dan udara dingin yang menggerogoti kulitku semakin membuatku
merinding sedih. Tak ada satupun cahaya di langit. Bulanpun tak mau menampakkan
dirinya. Mungkin ia diajak para bintang bersembunyi di balik awan. Mereka mungkin kecewa
karena aku sedang bersedih malam ini.
Telepon genggamku tak henti-hentinya meraung dari setengah jam tadi. Aku tidak
mempedulikannya. Lalu beberapa kemudian setelah getaran telepon genggamku mereda,
ada sebuah pesan masuk di layar monitornya.

Aku tunggu kamu di Bukit Bintang.


Kara.

Suara ketukan pintu kamar mengagetkanku. “Karli, ada temanmu di luar sana,” suara
lembut ibu mengalun melewati celah-celah pintu. Aku langsung mengusap wajahku,
kemudian bangkit dari dudukku di samping jendela menuju teras rumah.
Pemuda dengan rambut sebahunya itu berdiri di depan pintu. Wajahnya masih terlihat
cerah. Ia memakai mantel tebal berwarna merah marun. Dan di rambut panjangnya
terdapat titik-titik air. Malam telah hujan rupanya.
“Maaf. Tapi aku sama sekali tak ingin diganggu!” aku berkata mengalihkan matanya yang
berbinar teduh.
“Aku juga minta maaf karena terpaksa harus mengganggumu, Karli!” ia menarikku ke teras
rumah. Di teras itu, aku menemukan gadis berambut panjang selengan dengan poni rata
menutupi dahinya. Raut wajahnya nampak bersalah dan ada ketakutan dari bola matanya.
“Ma-maafkan saya, Ka!” katanya. Nada suaranya bergetar. Wajahnya langsung menunduk.
“Saya Wella,” ia berkata. Mendengar nama itu, hatiku tersentak bukan main. Ada sesuatu
yang menyesakkan hatiku. “Kemarin lusa memang benar saya meminta bantuan Kak Kara
untuk mengantar saya ke rumah sakit karena ibu saya kecelakaan,” jelasnya. Wajahnya
masih ketakutan. “Dan soal amplop merah muda itu,” ia berhenti. Ia sejenak mengambil
nafas. “Saya menaruhnya diam-diam di tas Kak Kara,” lanjutnya. “Maaf, saya tidak tahu
kalau Kak Kara sudah punya kekasih,” tambahnya. Gadis berponi rata itu hanya
mengangguk. “Saya sangat menyesal. Saya minta maaf!” katanya sambil menunduk padaku.
Pandanganku hanya tertuju pada hujan yang kini semakin deras di luar sana. Kara
menungguku di bukit bintang. Bukit di malam penuh bintang waktu itu. Apakah ia masih
menungguku disana hujan deras begini? Aku melangkahkan kakiku menuju gerbang rumah.
Namun, tangan pemuda berambut panjang itu menahan bahuku. Raut wajahnya
melarangku untuk pergi.
“Kara menungguku,” aku berkata. “Aku tidak bisa membiarkannya menunggu di tengah
hujan deras begini.” Aku menghempaskan tangannya dari bahuku. Kemudian aku langsung
menghantam hujan.
Titik-titik air dengan kasar menerpa kepalaku. Air hujan menyerap ke dalam pakaianku.
Rambut ikalku basah. Dan angin yang berhembus cukup kencang membuatku harus
menahan dingin. Aku tidak peduli dengan itu semua. Aku hanya memaksa kakiku untuk
berlari dan terus berlari menuju bukit bintang yang tak seberapa jauh dari rumahku.
Rasa bersalah segera mengoyak hatiku selama di perjalanan. Guntur pun bersahut-sahutan
seakan meng-iya-kan kalau aku sungguh telah berbuat salah. Namun, aku berusaha
mengalihkan semuanya dan hanya memaksakan kakiku untuk berlari menaiki bukit-bukit
kecil. Aku hampir sampai di bukit yang cukup menjulang tinggi.
Dan disanalah ia. Pemuda berkacamata berdiri tegap di bukit yang cukup menjulang tinggi.
Ia berdiri tegar walau hujan menghantam wajahnya, walau hujan membasahi kacamata dan
pakaiannya.
“Karli,” sapanya. Bibirnya bergetar. Kedinginan. Namun, bibirnya melengkung membentuk
senyuman yang indah. Aku langsung berlari dan memeluk tubuhnya. Tubuhnya dingin dan
bergetar.
“Aku ingin jelaskan padamu kalau …”
“Tak perlu ada penjelasan lagi,” aku memotong kalimatnya. Lengan tanganku melingkari
erat pinggangnya. “Aku yang harus minta maaf,” kataku. Air mataku bercampur dengan
titik-titik air yang masih jatuh dari langit. “Aku minta maaf membuatmu begini,” tambahku.
Kara memeluk tubuhku lebih erat lagi hingga aku nyaris tak bisa bernafas. Kemudian ia
meregangkan pelukannya. Kedua tangannya menyentuh pipiku yang basah. Dan bibirnya
yang dingin menyentuh keningku.
Sesaat ketika aku membuka mata. Aku menemukan pemuda berambut panjang sebahu
berdiri di tanjakan bukit. Rambut panjang, dan wajahnya basah. Raut wajahnya terlihat
kecewa. Ia menunduk lesu. Dan ia memandangku dengan seulas senyum tipis di bibirnya
sesaat sebelum ia berbalik dan berjalan meninggalkan ku dan pemuda berkacamata yang
memelukku di tengah hujan.
Aku terduduk di ayunan berwana hijau. Mengayunnya perlahan-lahan sambil mengamati
dua kotak yang ada di kedua tanganku. Di tangan kiri, kotak berwarna merah marun. Dan di
tangan kanan, kotak berwarna hijau tua. Kotak-kotak hadiah pemberian dua pemuda itu.
Kotak-kotak hadiah dengan dua warna yang ku suka. Hijau tua dan merah marun.
Di pergelangan tangan kiriku terlingkar sebuah gelang dengan bandul-bandul kecil
berbentuk hati berwarna perak. Dan sebuah kalung dengan bandul bintang kecil bertabur
kerlap-kerlip perak melingkari leherku. Aku tidak boleh memakai dua-duanya. Aku harus
memilih salah satunya.
“Ini ketiga kalinya aku memperingatkan sangat berbahaya sendirian di taman sepi seperti
ini.” Sebuah suara yang lembut terdengar. Rambut panjang pemuda itu dikuncir setengah.
Rambut bagian bawahnya dibiarkan tergerai indah.
Aku hanya diam saja. Tak ku gubris pernyataannya itu. Pandanganku hanya tertuju pada dua
kotak yang ada di tanganku. Sulit sekali di keadaan seperti ini. Memilih salah satunya akan
menyebabkan yang lainnya tersakiti.
“Manusia memang serakah, bukan?” tanyaku. Pandanganku masih tertuju pada dua kotak
itu.
“Manusia tak boleh serakah. Itulah mengapa Tuhan menciptakan hati, agar manusia bisa
memilih sesuai kata hatinya.” Pemuda berambut panjang itu berkata bijak. Pandangannya
lurus menyelami kolam ikan di samping ayunan merah.
Entah mengapa setiap kata yang diucapkannya membuatku segera tersadar dari
kebimbangan. Ia seperti udara sejuk yang menentramkan hati dikala ku sedang gundah.
Begitulah ia, pemuda berambut panjang sebahu.
“Aku akan mundur!” suara lembutnya terdengar lantang dan meyakinkan. Wajahnya
menunduk. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak selagi matanya memandang
rerumputan hijau di bawah ayunannya. Perkataannya itu membuatku menoleh padanya.
Aku tidak mengerti maksudnya, tetapi perkataannya itu membuatku sedih.
“Aku tidak akan mengganggumu lagi,” katanya. Matanya yang teduh memandang bola
mataku.
Tiba-tiba saja bayangan pemuda berkacamata muncul di benakku. Bola mata hitam
kecokelatan yang indah. Bola mata yang sangat aku sukai. Wajah cerahnya. Hidung dan
kacamatanya. Entah mengapa, aku ingin pemuda berkacamata itu ada di sini sekarang.
“Baiklah,” jawabku. Sejenak aku harus mengambil nafas. “Aku toh tidak bisa memberimu
apa-apa.” Pandanganku menyapu pohon-pohon kecil di tepi jalan. “Jangan pernah berharap
lagi padaku,” tambahku.
Ia mengangguk. Anggukannya dalam sekali dan lemah. Kemudian ia bangkit dari ayunan
hijau. Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di samping taman. Aku merekam dalam-
dalam sosoknya yang pergi meninggalkanku. Setiap langkah kakinya dihentakkan. Setiap
langkah seperti tertarik gravitasi bumi begitu kuat. Langkahnya yang khas itu membuat sisa
rambut panjang bawahnya menari-nari mengikuti irama langkahnya.

Pasti akan ada ‘Matahari’ yang lebih baik untukmu!


Terimakasih, Miko!

Anda mungkin juga menyukai