Anda di halaman 1dari 72

Kisah CHIEN PAO

-----------------------------------------------

Maria Bo Niok

Daftar Isi Pengantar Penerbit Pengantar Penulis 1. Jiwa Kembarku .......................................... 2. Manusia Baru ................................... 3. Sekretaris .................................................................... 4. Bibir-bibir Ibu-ibu ........................................................... 5. Surat Dari Alam Mimpi ................................................... 6. Chien Pao .............................................................. 7. Kopi Pahit Kehidupan (paste dari multiply) ..................................................... 8. Kacung Mintuno ....................................... 9. Tugu Monas Jadi Saksi .................................................... 10. Embun Pagi di Hong Kong ............................. 11. Rembulan di Pucuk Menara ............................................ 12. Jendela Kehidupan ......................................................... 13. Bintang Sunyi di Pelataran ............................................. 14. Perempuan Pengin Adzan (diterusin)................................................ 15. Dakocan (diterusin) ........................................................................... Biodata Penulis

Jiwa Kembarku

Lagi-lagi perempuan itu. Apa tidak bosan ya setiap hari duduk di situ? Kalau tidak salah, sejak akhir bulan lalu sudah mulai duduk di sana. Ya. Aku ingat. Tepatnya sejak tanggal dua puluh lima. Karena saat itu aku sempat bertanya padanya. Anehnya duduknya ya selalu di tanggul tersebut. Memandang ke satu arah. Ah! Entahlah. Sedang menunggu apa dia kiranya. Tapi aku penasaran juga, apa tidak merasakan hawa dingin ini? Angin bertiup begini kencang. Kok malah, kulihat dia tersenyum behagia seolah sedang bercanda dengan angin. Tapi kali lain, aku melihatnya sedang bersedih sampai matanya berkaca-kaca. Jangan-jangan dia orang gila. Kasihan juga kalau masih muda begitu sudah gila. Tapi pakaiannya bersih, dandanannya juga rapi pakai topi segala. Atau, dia seorang penyair yang sedang mencari inspirasi? Bisa dipastikan, bila jam begini dia duduk dengan santai di tanggul itu. Keberadaannya sangat menarik perhatian orang yang lewat. Namun seolah tak ada apa pun yang menganggu keasikannya. Saat kutanya, ia pun menjawab, tapi jawabannya ku anggap aneh. Hai perempuan. Sedang apakah kiranya dikau selalu duduk di situ? Aku sedang dipukuli oleh kesombonganku. Sedang digilas-gilas oleh nasibku. Sedang dicemooh oleh keangkuhanku sampai hancur jiwaku. Apa aku tak salah lihat? Karena yang kulihat dikau sedang tersenyum. Tangis dan tawa adalah gambaran dari pikiranku. Kalau aku kini tersenyum apa urusanmu? Karena senyumku bisa jadi hanya topeng. Namun bisa pula saat ini aku sedang senang karena bisa mengalahkan Aku. Apa kau sedang bercanda dengan daun-daun kering yang berguguran itu? Ya. Kau tuanglah ke cangkir karib yang datang agar kering sebagian deritamu. Karena seseorang pada akhirnya akan mengadu bila tak kuat menanggung apa yang menghimpit batin. Kenapa malah berhari-hari duduk di situ. Pada siapa kau akan mengadukan deritamu? Aku sedang menunggu bangkitnya angin yang akan mengajak daun-daun itu menari. Setelah gugur dari rantingnya. Karena saat itulah aku bisa menikmati keindahannya. Seolah aku sedang melepas kerinduanku akan kedamaian. Gilakah perempuan ini? pikirku. Belum lagi aku bertanya dia meneruskan kata-katanya.

Karena ribuan daun yang gugur dan berserak di udara menari bersama angin. Mengingatkan aku pada sebuah negri yang penuh asa, cinta, dan cita. Betapa aku ingin menari besama mereka walau akhirnya akan luruh ke tanah. Sampai kapankah, kau perempuan, akan duduk di situ? Sampai alam memeluk jiwaku hingga hilang deritaku. Karena deritaku adalah derita anak-anakku. Ya. Aku tahu. Sebanyak apa anakmu adalah karunia yang tak ternilai harganya. Jadi yang utama jagalah kesehatanmu. Jangan sampai kau jatuh sakit, kalau kau sakit siapa lagi yang akan menjaga dan membesarkan mereka semua. Jangan kau bertanya lagi. Aku tak ingin bicara karena takut membangunkan ombak. Tapi aku harus bicara karena tak mau digulung ombak. Aku masih bingung mencerna kata-kata perempuan itu hingga aku terdiam tak tahu mau ngomong apalagi. Bagaimana tidak bingung sedang membicarakan angin larinya ke ombak. Padahal di sini mana ada laut yang berombak. Karena di sini adalah daerah pegunungan. Di saat aku masih terdiam, dia meneruskan kata-katanya yang kuanggap makin aneh dan makin yakin kalau perempuan itu miring otaknya. Aku tak ingin bergerak karena takut menggerakkan angin. Tapi aku harus bergerak karena tak mau dikejar prahara. Sinting!! Benar-benar sinting! Tadi bilang sedang menunggu bangkitnya angin. Kini bilang takut menggerakkan angin. Berarti memang cocok kalau mengadu pada alam. Otakku tak bisa mengikuti kemana pikirannya. Dia sedang frustasi barangkali. Mungkin tak ada manusia yang bisa meladeni kata-katanya. Tapi aku mau bertanya lagi. Aku masih penasaran. Masa orang gila bicaranya seperti raja angin begitu. Hai perempuan! Sebenarnya siapakah dikau adanya? Kata-katamu sangat membingungkan hatiku. Sudahlah ...!? Aku adalah kamu. Karena kamu juga perempuan. Kalau ingin tahu siapa diriku maka selamilah jiwamu. Jiwaku? Geletar jiwaku mendengar jawaban perempuan itu. Karena yang aku tahu selama ini perempuan itu sangat kuat, keras kepala, baik hati, ramah, dan segudang julukan lainnya. Kenapa kini begitu judas bicara padaku. Dan aku tahu kerontang jiwanya setelah ia menjadi orang tua tunggal bagi keenam anaknya. 4

Pernah aku melihat ia menangis sambil tersenyum. Bola matanya berseliweran memandangi daun-daun yang sedang berguguran. Bibirnya berbisik, Kering dan luruh. Dia hanya tersenyum tipis saat aku dekati dan kubelai pundaknya. Dia tahu aku datang untuk menghiburnya. Tapi dia malah balik bertanya padaku. Siapakah kamu wahai perempuan? Hanya kujawab dengan senyuman tanpa kata. Kuteliti wajah putihnya dan kutemukan kecemasan di sana yang tampak begitu nyata. Ukiran-ukiran pengap terlukis di garis wajahnya. Kejenuhan dan kebosanan tampak di binar hampa matanya. Sekarang. Perempuan itu memandang lurus ke mataku tanpa bicara. Tapi aku bisa mengerti apa makna tatapannya. Dalam kesunyian ku dengar suara melayang-layang di sekitar jiwa yang menjerit dalam keputusasaan mendendangkan lagu harapan. Itu yang ku tahu dari tatapannya yang bicara. Perempuan. Pulanglah! Hari telah sore. Nanti anak-anakmu mencari di mana ibunya, saranku. Tiba-tiba dia bicara dan bicaranya mengagetkanku, Anak-anakku ibarat batu karang kecil yang kokoh. Sungguh menyenangkan mempunyai anak seperti mereka. Aku bahagia melihat perilaku mereka. Ya. Rupanya dia mulai membuka diri untuk mencurahkan isi hatinya padaku. Aku masih diam saja menunggu lebih lanjut apa yang mau ia sampaikan. Tapi nada bicaranya begitu pilu seperti suara saluran air yang kudengar meratap bagai seorang ibu kehilangan anaknya. Ku gelengkan kepalaku keras-keras untuk mengusir perasaan yang tadi hinggap. Aku siap mendengarkannya. Tapi hanya segelintir manusia yang mau tahu warna hatiku, biru, hitam, ataukan merah jingga. Dan yang hanya segelintir inilah yang mampu membuatku bahagia. Namun alangkah susah meraih hatinya dan hati keluarganya. Aku tak tega melihat matanya mengembang berkaca-kaca tapi aku diam saja karena sepertinya ia mau meneruskan bicaranya. Asal kau tau hai perempuan. Derai air mata yang menyedihkanku ini lebih manis ketimbang darai tawa seseorang yang mencari namun untuk mencampakkannya. Aku tahu sekarang.

Seuntai rantai yang menggabungkan pesona masa lalu dengan kemegahan masa depan menyatukan keheningan perasaan dengan nyanyiannya. Sedemikian kerinduan mencabik-cabik kerudung rahasia cinta. Aku tak mau langsung mengatakannya. Hanya menebak-nebak ke arah mana jalan pikiran perempuan itu. Aku juga tidak mengganggu lagi dengan pertanyaanpertanyaan. Aku hanya menunggu dan melihat sikapnya yang begitu hening. Seolah sedang menyatu dengan alam. Kulihat ia mendongak memandang ufuk cakrawala nan elok. Sekejap kemudian ia bangkit dan melangkah pelan sambil menunduk. Seolah berjalan sambil menghitung jejak mentari yang merambat begitu pelan di depan kakinya. Tak bosan ku ikuti kemana langkah kakinya. Ternyata perempuan itu mendekati telaga kecil dan duduk di rerumputan senja. Ditemani sinar jingga yang memantul dari air telaga. Ia meraih selembar daun kering yang sedang berenang dengan hatinya. Tafakur di tepi telaga bagai orang hilang yang tak punya pekerjaan. Hingga tirai malam menyelubungi di mana ia sedang menyendiri. Jingga di telaga berubah warna menjadi keemasan. Terdengar ia mendesah perlahan saat dipeluk sinar rembulan. Senyum tersungging di bibir yang kering. Menerima ciuman rembulan yang bergetar di cermin luas menghampar di hadapan. Namun kala ia ingin menyapa rembulan dan menyentuh airnya, rembulan hilang bentuk dalam kabut. Perempuan itu bergetar dan membeku. Aku kenal betul siapa perempuan itu dengan segudang watak dan tabiatnya. Karena aku adalah jiwa kembarnya. Yang tak bisa melepaskan kemana ia menaruh harapan. Namun selama ini yang aku tahu, harapan hanyalah harapan. Karena di bumi ini tiada lagi yang bisa diharapkan. Dibanggakan. Selain kasih sayang dan kesetiaan. Walau hampa belakangan. Tak akan berhenti. Terus berjalan. Perempuan itu berbisik pantun, berkeriut suara dipan lapuk/temaram pelita membias bayang/langkah suci di dua pertiga malam// menghitung waktu disisa usia/terangkai tasbih derita.berdentam suara jendela gerbang/angin bertiup mengajak kawan// daun keladi di luar sana/engajaknya zikir bersama.// (Puisi ini berjudul sahabat si miskin.) @ Temanggung, 20 Januari 2007 6

Manusia Baru

Sebenarnya aku ingin menuliskan sebait puisi di awal tulisan ini tetapi itu tidak aku lakukan karena aku takut isi pikiranku terbaca oleh pembaca. Aku juga ingin menuliskan sebuah syair lagu yang indah di belakang bait puisi tadi tetapi juga tidak bisa aku lakukan. Kenapa? Aku khawatir kalian nanti tahu apa yang sedang aku senandungkan dalam hatiku. Sesosok perempuan yang sangat tegar bisa menangis di haribaan dan di sela tawa yang sedang terburai lepas. Itulah aku saat ini. Orang bilang kalau aku adalah jiwa yang riang dan jauh dari syak wasangka, kenyataannya, ada orang sedikit berbisik ditelinga saja, langsung gatal dan merah telingaku. Aku merasa sedang digunjing orang. Padahal rasanya tak ada yang menggunjingkan aku namun aku adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan dosa. Yang selalu ingin mendapat perlindungan dari pasangan. Apa benar mereka menggunjingkan aku? Padahal aku sedang berbahagia saat ini. Dunia sedang tersenyum menyambut manusia baru yang lahir dari jiwa pasanganku. Salahkah kalau aku ucap syukur dengan caraku sebagai penyambutan yang pantas dia terima? Rasanya semua baik-baik saja. Atau aku yang terlalu banyak berpikir tentang orang lain yang seolah tidak mau tahu apa yang sedang aku pikirkan. Atau aku memang tidak mau tahu kalau orang lain ingin mengetahui apa sebenarnya yang sedang aku pikirkan saat ini? Mungkin anda ingin sedikit saja mengetahui kalau saat ini ada denting-denting indah dan mendayu dalam jiwaku. Lorong jiwa yang tadinya gersang dan tandus kini berseri. Tumbuh dedaunan yang menghijau indah. Mekar semarak bunga flamboyan di sisi hatiku. Di kisi-kisi jiwaku yang rapuh. Di relung asmaraku yang dulu poranda. Masih perlukah senandung duka di jiwa bila mentari menampakkan diri di ufuk timur dan siap menerangi kisi hati yang tadinya gelap bertabur sunyi? Jawabannya tentu tidak. Andai tiada bisik-bisik di sekitarku yang mempersempit saluran nafasku. Andai ada niat baik orang dari orang pilihan di sekitarku yang bisa menyatukan dua jiwa menyatu jadi satu lewat acara sakral yang lumrah.Yang terjadi. Senyum yang mekar di bibirku berubah menjadi tangis yang pilu. Canda ceria yang

terburai dari dua hati, lenyap tak berbekas ditelan kemunafikan yang terjadi di sekelilingku. Aku hanya bisa pasrah. Aku tak kuasa untuk memaksakan kehendak jiwa yang seolah ingin memberontak keluar dari raga. Aku ingin saat itu lenyap ditelan bumi di depan mana kaki berpijak saat itu. Karena orang dari orang pilihan menolak menyatukan dua jiwa menjadi satu. Ya. Menolak untuk menyatukan dua jiwa agar menyatu menjadi satu lewat ucap,"Syahadattain dan Qobbiltu nikahaha watajwijaha." Jiwaku menggelepar nyaris sekarat karena acara telah tergelar. Namun batin kecilku bicara,"Allah maha besar. Aku harus bersabar dan tawaqal." Tiada yang sempurna di bumi ini termasuk rencanaku. Pasti. Ya pasti. Nanti Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik buatku dan manusia baru, pasanganku. Aku patut bersyukur pada-NYA karena aku telah mendengar dan menyaksikan bibir manis kekasihku mengucap,"Asyhadu Allaa illahaillalloh. Wa Asyhadu Anna Muhammadarrosullulloh," sebanyak tiga kali dengan dituntun Pak Kiai di hadapanku. Jiwaku bergetar mendengarnya. Aku turut mengucapkannya mengikuti tuntunan Pak Kiai Ali. Derai air mata tak terbendung. Aku bahagia. Sangat bahagia. Kekasihku telah mengikuti agama Allah. Aku tak bisa menghentikan deraian air mataku sampai ditutup dengan doa. Aku biarkan air mata bahagia menghiasi hariku saat ini. Menghiasi hatiku detik ini. Ini hari bersejarah dalam sisa hidupku. Tiada yang lebih bahagia hari ini kecuali aku. Di sela-sela jemari tangan yang menutupi wajahku. Airmata terus mengalir. Asin, manis, pahit dan beraneka rasa kurasakan saat ini. Di depan mereka, kedua kakakku dan Pak Kiai Ali, kuraih tangan kekasihku. Kucium tangan lembut itu sambil kuucap, "terima kasih sayang," di antara derai air mata yang masih terus mengalir dan di antara sedu sedan yang tak bisa berhenti. Dia telah menyematkan setangkai bunga cinta yang paling indah di dadaku. Aku tersenyum di antara sedu sedan dan kebahagiaan. ***

Kupandangi dengan takjub menyingkirnya matahari yang menutupi rembulan dengan perlahan-lahan. Aku berdiri di beranda pendopo. Kupandangi rembulan yang sipit dan pelan-pelan membesar dari celah daun-daun cemara di taman pendopo Dewan Kesenian Jawa Tengah Surakarta. Aku bersapa sejenak dengan rembulan itu. Sebenarnya rembulan itupun enggan diganggu sinarnya. Namun alam menghendaki lain maka rembulan pun pasrah tertutup matahari hingga terjadi gerhana bulan penuh. Seolah aku mendengar rembulan menasihati aku agar aku pun bersabar sejenak. Kau heningkan cipta. Sapalah apa dan siapa yang berada di dekatmu. Carilah arti dengan bahasa alam yang kau kuasai. Aku yakin kamu akan bisa memetik hikmah di balik semua kejadian. Tak akan lama awan menutupi matahari. Tak akan lama matahari menutupi jalannya rembulan. Bersabarlah, tawaqallah, nikmatilah cobaan demi cobaan yang DIA berikan kepadamu." Aku mengangguk. Kuhela napas panjang untuk menjawab sapaannya. Lenguh kusut dan benak yang carut marut penuh beban batin yang tadi sangat menghimpit kulepaskan perlahan. *** Kulihat sepasang anak manusia berdiri di keremangan. Dari kejauhan tampak gumpalan awan resah yang keluar dari bibir-bibir mereka. Napas-napas mereka tampak bagai gumpalan kapas putih yang keluar dari hidung dan bibir-bibir mereka. Gerak-gerik mereka yang resah berdiri sambil menggosok-gosokan kedua tangan untuk melawan hawa dingin. Mirip. Seolah jiwa-jiwa nan resah itu mirip dengan keadaanku. Tapi itu tiga hari yang lalu. Kini tidak lagi. Kini kunikmati irama kehidupanku yang kuanggap sangat berarti dan kini telah kutahu inti kehidupanku. Kekasihku telah memberikan mutiara hatinya buat mahar pernikahanku nanti. Dan aku menerimanya dengan suka cita. Aku menoleh sejenak ke samping tempat dudukku. Kulihat kekasihku tertidur dalam damai di sandaran kursi bus kota yang membawaku dari Surakarta. Aku tersenyum. Kutengok jam yang melingkar di lengannya. Sudah jam sebelas malam. Sebentar lagi bus sampai di kota tujuan yaitu Wonosobo.

Menuruni bukit Kledung Pas tatapanku kupertajam. Tiada tampak apapun di depan bus yang aku tumpangi. Semua tampak putih mengejar, menabrak kaca bus kota. Hanya tampak lorong putih kabut yang panjang, dihiasi lampu kabut dari masing-masing kendaraan yang lewat. Aku bagai memasuki dunia baru. Dunia yang tampak samar dan kuterjang bersama bus kota. Putih itu meninggalkan titik-titik embun di kaca bus yang melaju tak peduli. Kupejamkan mata berusaha menggali mimpi. Mimpi yang indah kuharap datang menghampiri. Empat hari setelah lahirnya manusia baru. Pikiranku sudah tenang. Asa telah tergenggam di tangan bersama dia yang kucinta. Meski kini sendirian di istanaku. Kukerjakan semua kerjaaan seorang diri. Menyapu halaman, mencuci pakaian dan menjemur baju. Hatiku terasa syahdu. Ternyata Tuhan mempunyai rencana yang lebih baik buatku daripada yang aku rencanakan. Meskipun jalannya terjal dan berputar. Yang pasti. Aku tetap bahagia karena dipersunting oleh manusia yang baru lahir lewat Kalimah Syahaddat.

@ Istana Rumbia, 01 September 2007

10

Sekretaris
Selamat pagi?! Pagi juga Vi. Sepi banget, yang lain belum pada datang ya? Biasakalau bos belum masuk pintu, mereka masih nunggu di luar sana. Ya udah. Aku masuk dulu ya Fer. Ok. Oh ya Vi, kamu entar sore ada acara gak? Ada. Emang ada apa? Oh gak apa-apa. Lain kali aja. Yuuk.. Novi memasuki ruang kerjanya. Perasaannya agak sedikit lega menghirup aroma pengharum ruangan. Dia menghirup udara dalam-dalam. Betapa dari kemarin ia merasa sumpeg dengan sindiran dan bisikan di kanan dan kiri meja kerjanya. Meskipun ia pegawai baru, namun bos nya yang selalu mengajaknya menemui para pemegang saham membuat kecemburuan sosial di kantor itu. Perusahaan di mana ia kerja adalah perusahaan besar yang banyak kedatangan tamu luar negri maupun lokal untuk menanamkan sahamnya. Tak heran tamu asing sering datang dan pergi dari kantor tersebut. Di antara teman-temannya bukan tak ada yang fasih berbahasa inggris maupun bahasa asing lainnya. Namun bos menunjuknya untuk mendampingi saat datang tamu dari luar negri. Bos merasa puas dengan bekal bahasa yang Novi kuasai. Hal itu membuat rekan kerja yang lebih senior merasa tersaingi dan kurang suka setiap melihat Novi jalan bareng dengan bos mereka. Awalnya ia tidak mau menunjukan kepandaian berbahasanya. Tapi saat itu suasana benar-benar bikin dia mau tidak mau harus menampilkan diri. Kantornya bergerak di bidang otomotif yang buka cabang di daerah gunung putri bogor. Hari itu kedatangan tamu dari luar negri. Namun tamunya ini termasuk agak rewel dan milihmilih penerjemah dari kantor tersebut. Sudah dua orang yang diajaknya ngobrol tentang perusahaan, namun dia belum puas. Katanya penjelasan dari mereka mengambang dan kurang jelas. Pak Dody berjalan ke luar masuk ruangan sambil menggerutu dan bertanya siapa lagi yang fasih berbahasa inggris?

11

ernyata semuanya diam. Nyalinya menciut dan tak ada yang

berani unjuk diri. Tiba-tiba Ferdy menjawab. Bos. Itu sekretaris baru sangat fasih bahasa inggrisnya. Huuuuuhh?! serentak terdengar nada mencemooh dari rekan rekan seniornya. Sedang Novi yang di tunjuk oleh Ferdy mukanya merah dan telinganya panas mendengar cemoohan itu. Ia jadi pingin membuktikan kemampuan berbahasanya. Namamu siapa. Tanya pak Dody Saya Novita Pak. Jawab novi menunduk Benar kamu bisa bahasa inggris?" "Akan saya coba Pak." Ayo ke ruang direktur. Di sana ada tamu asing. Kamu ajak dia ngobrol tentang perusahaan, ini brosurnya bawa buat pegangan. Kata Pak Dody sambil menyerahkan beberapa lembar brosur untuk promosi. Novi mengikuti langkah bos nya, diikuti pandangan melecehkan dari rekan kerjanya. Novi melirik sebentar pada Ferdy yang tadi mempromosikannya pada pak Dody. Sedang pemuda itu masih memandanginya. Seolah matanya bicara kalau Novi akan bisa meladeni tamu asing itu. Novi masuk ruangan direktur. Rekannya yang tadi sedang ngobrol dengan tamunya, di suruh keluar oleh pak Dody. Novi menempatkan diri di kursi yang berhadapan dengan Mr William. Bos nya duduk di kursi sebelah kiri Mr William menghadapnya. Novi mengucap salam pada tamunya, lalu mulai mengajak ngobrol tentang perusahaan. Pak Dody mengangguk-angguk puas, melihat raut wajah cerah Mr William. Pak Dody tak menyangka kalau sekretaris barunya itu begitu fasih bahasa inggrisnya. Akhirnya jadilah Mr William menanam saham pada perusahaan tersebut. Otomatis pak Dody berterima kasih pada Novi. Baru saja Mr William pamit pergi, datang lagi tamu asing lainnya. Rupanya tamu dari china. Pak Dody melarang Novi kembali ke meja kerjanya dulu. Disuruhnya dia mencoba bahasa yang ia kuasai siapa tahu bisa nyambung. "Novi, kamu jangan ke mejamu dulu. Yuk, kita sambut lagi tamu asing itu." Novi diam saja. Ia menurut. Baginya bahasanya orang china juga tidak asing lagi. Namun ia tidak mau menonjolkan diri sebelum dia buktikan di hadapan mereka. Dia dan pak Dody menyalami tamu yang ternyata berasal dari Beijing itu. Mendengar logat bicaranya, tahulah Novi kalau tamunya pasti susah ngomong pakai bahasa 12

inggris. Tamunya membawa penerjemah, tapi saat menyalaminya tadi, Novi berbicara pakai bahasa yang sama dengan bahasa yang tamunya pakai. Mr Ho. Senang karena bisa ngomong pakai bahasa ibu yaitu bahasa mandarin. Pak Dody yang tadi sempat kuatir tentang bahasa tamunya. Kini duduk tenang, bahkan terkesan bangga saat mendengar tanya jawab antara Mr Ho dengan Novita sang sekretaris. Sekali lagi pak Dody tidak menyangka kalau Novi bisa berbagai bahasa. Dia kagum juga. Sejak saat itulah. Novi selalu diajak menemui tamutamunya. Di luar ruang direktur. Berkumpul wanita-wanita pada mengintip di depan pintu sambil mendengarkan pembicaraan di dalam. Mereka terlihat sengit mendengar suara tawa tamunya juga tawa renyah Novita. Huh! Belagu. Kita aja yang udah karatan di sini kagak pernah ketawa-ketawa begitu. Sungut Nita Tapi nyatanya dia bisa bahasa mereka. Kata Yanti Udah loe, jangan ngebelain anak baru deh! Husssttt..jangan keras-keras. Nanti kedengaran dari dalam. Kata Yanti sambil menutup bibirnya dengan satu jari. Brengsek! Cari muka aja tuh anak. Masih sungut Nita "Loe masuk aja dan ganti posisi Novita, Nit, kalau memang loe jago berbahasa asing. celetuk Ferdy sambil tersenyum puas dari meja kerjanya. Kutu busuk loe, penjilat. Ha, ha, ha, ha, begitu ya? ledek Ferdy Huh! Sebel Seneng betul yee?! Rebut-ribut itu sepi seketika, melihat tamunya keluar dari ruang direktur. Di ikuti oleh pak Dody dan Novi yang mukanya terlihat berseri-seri. Novita, terima kasih banyak yah!? kata pak Dody sambil menjabat tangan Novi Sudah kewajiban saya pak, saya bisanya Cuma begitu. Saya ucapkan selamat ya Pak Dody atas keberhasilan kita hari ini. Jawab Novi sambil menyambut jabat tangan Bos nya di depan mata rekan kerjanya. Mata Nita melotot dan mulutnya menjebi makin tebal melihat pemandangan di hadapannya itu. Selamat pak Dody. Ferdy maju menyalami bos nya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Novi. Novi tahu itu artinya "tuh kan kamu bisa 13

Sindiran maupun bisik-bisik di kantornya sering ia terima. Namun Novi tahu diri dan berusaha menerima dengan lapang dada. Ia selalu menjaga sikap maupun kata-katanya. Karena kalau di ladeni, sgosip akan makin kencang menerpanya. Ia ingin kerja dengan damai demi keluarga yang ia tinggalkan di Jawa. Ia maklum dengan sikap rekan kerjanya, karena baru empat bulan ini ia bekerja tapi sudah mendapat kepercayaan dari bos untuk jadi penerjemah bahasa setiap tamu asing datang ke kantornya. Ferdy. Adalah satu-satunya rekan kerja yang bersahabat dan mengakui kalau bahasa asing yang Novi kuasai memang hebat. Meski Novi selalu merendah dan menyembunyikan keberadaannya siapa dia sebenarnya. Setiap ditanya belajar di mana bahasa mandarin yang ia kuasai? Novi hanya tersenyum sambil menunjukan buku mandarin di tangannya. Juga saat ditanya di mana belajar bahasa kantonis, dan inggrisnya? Ia hanya senyum saja menjawab semua pertanyaan rekan kerjanya. Sikapnya itu di anggap sombong oleh mereka. Tapi Novi tidak peduli selama dirinya tidak menyinggung orang lain maupun mengganggu yang lain. Novi adalah perempuan berusia dua puluh lima tahun, sosoknya tinggi semampai. Dengan rambut panjang sepinggang dan bentuk wajah oval yang tergolong cantik. Dandanannya selalu rapi, body nya sexy. Setiap penampilannya selalu di jadikan gossip murahan di kantornya. Katanya ia berselingkuh dengan bos nya. Tak heran istrinya bos yang bernama Dora kini sering datang ke kantor guna mengecek kebenaran desas-desus yang tercium olehnya. Betapa Dora merah padam mukanya melihat Dody suaminya turun dari mobil pribadinya di ikuti Novi. Matanya hampir loncat keluar saat memelototi sosok Novi. Pi, siapa dia? tanyanya pada suaminya sambil menunjuk Novi Ini Novi. Kenalin Mah, dia sekretaris baru di kantor kita. Kata Dody bangga memperkenalkan Novi pada istrinya yang saat itu justru makin cemburu dengan keramahan suminya atas Novi. Begitu bangganya suamiku atas sundal itu. Pikirnya dengan kemarahan sampai di ubun-ubun. Halo Bu, apa kabar?! Hemhh. Jawabnya singkat dan angkuh. Mah. Kok tidak bilang atau nelpon dulu kalau mau ke kantor, kan bisa ku jemput. Kata Dody

14

Gak perlu Pi. Aku Cuma mau bilang. Nanti pulang secepatnya. Katanya ketus sambil melirik ke arah Novi yang masih berdiri dengan tenang di depan pintu. Sementara rekan kerjanya pada berkumpul sambil kasak-kusuk dan mata mereka tertuju ke arah Novi dan bos suami istri. Melihat istri bos pergi, bos serta Novi masuk kantor. Serentak mereka yang berkumpul tadi bubar dan menempati mejanya masing-masing. Novi bukan tidak tahu gerakan mereka itu. Tapi dia berusaha biasa saja karena memang tidak ada apa-apa. "Ikuti perempuan itu Din." "Iya Bu." Novita turun dari ojek. Setelah membayar ia masuk pekarangan sebuah rumah yang ia kontrak. Tanpa menoleh kanan maupun kirinya. Ia membuka pintu dengan kemerincing suara anak kunci. Perempuan setengah baya yang duduk di dekat sopir, masih mengikuti semua gerakan Novita dari balik kaca mata hitamnya. begitu Novita masuk rumahnya, wanita ini mengajak sopirnya meninggalkan halaman itu. "Ayo Din kita pulang." "Emang siapa dia Bu?" "Udah! bawel loe. bukan urusanmu tau!" "Iya, iya Bu." Tampak wajah perempuan ini kurang senang, namun ada kepuasan setelah melihat dengan mata kepala sendiri di mana gadis itu tinggal "Awas kau sundal, kalau masih merecoki suamiku, tau rasa kau nanti" gumamnya. "Apa Bu?" "Apa yang apa? gua kagak ngomong ama eloe tau! sopir bawel." "Iya Bu maaf." Perempuan setengah baya ini adalah Dora. Istrinya pak Dody. Begitu cemburunya pada Novita, tapi ia ingin membuktikan bisik-bisik di luaran kalau suaminya ada main sama sekretaris barunya itu. Kini ia sengaja mengikuti Novita dari kejauhan. Ingin tahu di mana gadis itu tinggal dan bersama siapa? Tadi yang dilihatnya, gadis itu tinggal sendirian karena pintunya ia buka sendiri dari luar. makin kuat kecurigaannya kalau gadis itu suka membawa suaminya datang ke kontrakannya. "Pi. Pulangnya sore amat, dari mana saja?" tanya Dora melihat suaminya baru turun dari mobil.

15

"Mah. kamu ngomong apa sih?! ya dari kantor lah. Emang dari mana lagi?" sahut suaminya sabar. "Kantor apa kantor?! habis jalan sama sundal busuk itu kan? ngaku aja deh Pi." tuduhnya "Mah. kamu ini kenapa? kok suami pulang langsung di sambut tuduhan begitu?" "Tak usah mungkir deh Pi. Mama dengar di luaran kalau Papi ada main sama sekretaris baru itu." "Novita maksudmu? Mah, mah. Papi sudah bilang, Novita itu sangat berjasa di perusahaan kita. Dia bahasa asingnya sangat bagus. Maka Papi selalu ajak dia untuk menemui relasi kerja Papi. Kok main tuduh sembarangan to Mah." "Papi suka kan sama sundal itu?" "Mah. Mamah bisa gak ngomongnya halus sedikit." bentaknya "Tuh kan. tuh kan. Papi belain dia." sengit dora bicara sambil meninggalkan ruang tamu. Suaminya geleng kepala melihat istrinya uring-uringan "Selalu begitu bila melihat aku dekat dengan sekretaris, tapi baru kali ini aku cocok dengan sekretarisku. Dia bahasa asingnya hebat. Aku tak boleh melepaskan dia dan tak boleh istriku melecehkannya. Biar saja Dora marah. besok juga sudah sembuh" bisiknya. Jam lima pagi Pak Dody sudah berdandan rapi. Tas kantor sudah siap di sofa tinggal angkat. Sementara istrinya masih tidur di kasurnya. Pak Dody menoleh sesaat pada istrinya, tadinya mau pamit tapi dia ingat kalau istrinya masih marah gara-gara kemarin pulang kesorean. di urungkannya niat pamit sama istrinya. dia melangkah keluar dan berpamit sama mbok Iyem agar bukakan pintu garasi. Hari ini Novita minta ijin cuti. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di terminal kampung rambutan. Sepertinya sedang menunggu seseorang. Ia tampak agak gelisah menengok kanan dan kirinya seperti mencari-cari sesuatu. Saat itu ada sepasang mata yang memandanginya dengan penuh kebencian. Si empunya mata ini bergumam "dasar sundal. Pagi-pagi sudah parkir di sini. Pantas suamiku berangkat pagi buta tanpa pamit dulu. Malah pamitnya sama mbok Iyem aku harus cek ke kantor sekarang" mobilnya pun meluncur pergi. Sementara Novita berteriak kegirangan melihat siapa yang muncul di hadapannya.

16

"Sayaaang...akhirnya kamu datang. mama kangeeeen sekali. muah, muah." Novi menciumi pipi kecil milik Mawar anaknya. "Mama. Mawal kangen." kata anak itu "Mas. Apa kabar? Mawar rewel gak di jalan?" tanya Novi pada Anton suaminya yang sedang memandanginya penuh rindu. "Baik, kamu sendiri sehat kan Vi? Mawar gak rewel, cuma sering minta pipis." jawabnya sambil tersenyum. "Aduuuh sayang.. di bus sering pingin pipis ya?" "He eh." Sudah enam bulan Novi meninggalkan kampung halaman di Jawa Tengah. Rasa kangen pada anaknya tidak bisa di bendung, maka ia minta suaminya datang membawa serta anaknya yang masih berusia empat tahun. Ia sengaja minta cuti hari ini karena mau menjemput suami dan anaknya. Novita adalah ibu rumah tangga yang berasal dari Jawa Tengah. Dia mantan tenaga kerja wanita yang pernah merantau di negeri Malaysia dan Singapore. Cukup empat tahun merantau, lalu menikah dengan Anton dan di karuniai satu anak perempuan mungil yang diberi nama Mawar. Dia menelpon suaminya agar bersatu tinggal di Jakarta. Tepatnya di daerah Gunung Putri Bogor. Dimana dia mengontrak sepetak rumah yang selama ini ditinggali se orang diri. Dia merasa sepi, apalagi dengan berbagai cobaan yang datang menerpanya ia merasa berat menghadapi seorang diri. Ia berharap. Setelah berkumpul dengan suaminya teror dari rekan kantornya akan reda. Sementara di kantor. Bu Dora datang langsung menggeledah ruangan. Setelah yang di carinya tak ada, dia bertanya pada salah satu karyawan di situ. "Hey. Bos mu kemana?" Tanyanya dengan angkuh "Belum datang Bu." "Terus si sekretaris ke mana pula?" "Enggak tau pula, dia juga belum datang." "Binatang! siang-siang begini pasti sedang selingkuh ini Papi dengan sundal busuk" rutuknya dengan marah. "Dino. Ayo ketempat yang tempo hari kita kesana." "Iya Bu." "Cepat!! "Iy ..iyya." 17

Selama dalam perjalanan Bu Dora mengomel panjang pendek. Dino si sopir hanya berdiam diri saja karena takut di bentak nanti kalau banyak tanya. tak berapa lama sampailah mereka di rumah kontrakannya Novita. Rumah itu kelihatan sepi dan terkunci. "Teng, tong. Teng, tong. Teng, tong," tak sabar Dora memencet bel pintu berkali-kali. "Ya. Tunggu sebentar," Terdengar seruan Novita dari dalam. "Eh! ibu. Silahkan masuk Bu." Kaget hatinya melihat istri bos ada di rumahnya. "Jangan basa-basi loe ya sundal." "Ini, ini ada apa ya Bu?" "Suruh keluar suamiku. Siang-siang begini main selingkuh ngumpetin suami orang." tuduhnya "Bu. Maaf siapa yang ibu maksud suami orang?" tanya Novi dengan muka pucat "Sudah jangan banyak bacot! suruh suamiku keluar." "Pak Dody tidak ada di sini Bu." "Lihat tampangmu, siang-sing begini acak-acakan begitu lagi ngapain kamu haa!? kalau tidak lagi selingkuh dengan suamiku" "Mamaaaaaaaaa.......engh, engh...!" "Iya sayang. Tak apa-apa kamu terbangun ya? cup muah, muah.!" sambut Novi melihat Mawar terbangun dan menangis menubruknya. Novi membopong anaknya sambil menghadapi istri Bosnya yang kini terlihat bengong seperti orang bego! "Itu, itu anakmu?" tanyanya gagap dengan raut wajah berubah-ubah. Kadang merah kadang pucat dan bingung. "Iya bu, ini anak saya namanya Mawar usianya empat tahun." jelasnya "Ada apa ribut-ribut Vi?" tiba-tiba Anton muncul. Dia tidurnya terganggu mendengar ribut-ribut di luar kamarnya. Dilihatnya ada tamu seperti orang kebingungan. "Oh, ada tamu? sudah lama bu?" sapanya dan menyalami bu Dora. "Iya. Ini siapa?" tanya bu Dora makin bingung tidak tahu mesti ngomong apa atas tuduhannya tadi.

18

"Dia Anton suami saya yang baru pagi tadi datang dari Jawa Tengah, makanya hari ini saya ambil cuti karena menjemput anak dan suami saya di terminal kampung rambutan pagi tadi." Novi menerangkan. Sedang Dora kebingungan serta malu besar dengan tuduhannya. Tak ada jalan lain selain pamit pulang. "Ya sudah saya pamit dulu." "Duduk dulu lah bu." seru Anton yang sepertinya tidak tahu urusan tuduh menuduh yang menimpa istrinya tadi. "Sudah lain kali saja." jawab Dora sambil memandang iri atas kerukunan anak ibu dan istri yang terlihat saling berpelukan di depan matanya. Terus terang kini dia merasa cemburu melihat Novi memeluk anaknya. Dora menikah dengan Dody sudah sepuluh tahun. Namun tidak punya anak satu pun. Makanya dia sering uring-uringan melihat suaminya akrab dengan karyawan putri. Dia takut tersingkir dari hati suaminya. Sepeninggal Dora dari hadapannya. Novi memandang suaminya dengan mesra. Ia berjalan sambil membopong Mawar dan tangan sang suami memeluk pundaknya. Novita menghela nafas lega. Kini dia makin kuat dengan adanya seorang suami dan anak di dekatnya. Apapun tak akan membuatnya cengeng. Dia pun segera melupakan makian dan tuduhan dari istri atasannya barusan. Ferdy pernah bercerita tentang sifat jelek istri bos nya itu bila sedang cemburu. Novita maklum.

@ Istana Rumbia, February2007

19

Bibir-bibir Ibu-ibu
Nyinyir bibir-bibir tua ibu-ibu yang setiap hari kerjaannya ngerumpiin tetangga. Malam ini tidak lagi sama. Terdengar suara merdu ditelinga kala bibir nyinyir itu menyenandungkan lagu. Nasabun tahsibulullabihulahu. Bersamaan dan senada lagunya meluncur merdu dari bibir ibu-ibu. Aku kagum malam ini karena biasanya mereka mempunyai hoby berat ngerumpi di rumah tetangga. Baik saat sedang arisan maupun saat sekedar berkumpul di beranda depan rumahku. Aku melirik Yu Siti. Dia baru saja menyandang gelar ibu Hajah beberapa bulan yang lalu. Malam ini tanpa disengaja dia memimpin setiap bacaan Kitab Albarzanji yang selalu ada disetiap malam sejak bulan maulud ini. Bergiliran dari satu rumah ke rumah yang lain dengan sukacita menyambut giliran pengajian sholawat Nabi tersebut. Fikhubissayyidina Muhammad, Ya habibinurullibadrilhuda mutammam, Ya Alloh. Merdu sekali terdengar karena mereka semua kompak mengucapkannya bersahut-sahutan dari pojok sana dan pojok sini. Aku hitung setiap malam yang datang adalah satu Rt 03 termasuk aku dan berjumlah dua puluh tiga ibu-ibu. Aku tersenyum sekaligus terharu melihat bibir mbah Somo tidak bisa mengikuti lagu yang dibawakan oleh yang dianggap pemimpin malam itu. Namun mbah Somo tetap semangat dan tak kentara kalau suaranya tenggelam oleh kekompakan suara ibu-ibu yang lebih keras membaca Sholawat. Tertatih-tatih Mbok Karso berdiri dari duduknya saat terdengar. Asyroqol BadruAlaina, Fahthafat minhulbudur. Mislakhusnikmaroaina khotuyawajhassurrurr. Semua semangat. Karena semuanya hafal lagu dan bacaan itu. Aku mengedipkan sebelah mataku pada anakku yang ikut serta tetapi tidak ikut ber Asroqol. Dengan ogah-ogahan anakku yang berusia tujuh tahun itu berdiri bersedekap menirukan sikapku dan bibirnya ikut mengucap sholawat seperti bibir ibu-ibu. Bisa. Anakku bisa mengucapkannya karena setiap malam kuajak dia membaca kitab Albanzanji. Berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya di sekitar Rt ku selama bulan

20

maulid ini. Kitab ini berisi syair yang indah. Mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w. Serta memperingati hari kelahiran Nabi. Saat sedang Asroqol. Mataku selalu usil. Kadang memandangi tikar lusuh milik si empunya hajat yang sedang menggilir. Kadang, memandangi sosok anak kecil yang dibawa oleh salah satu ibu atau salah satu cucu mereka yang tidur bergelintingan di tengah kalangan dengan lucu. Anak itu gembira mendengar nada lagu yang riang yang ibu-ibu itu bawakan. Mereka meniru nada lagunya kasidah nasidaria atau meniru lagu dangdut. Tak pelak mbah Somo dan mbah karso pun ikut gembira berdendang lagu sholawat Nabi dengan riang. Allohummafirlanna dhunubana, wajalilljannah miadana ya allah. Robbifarhamna jamia bijamiissholikhati ya allah. Anakku dan mbok Ijah yang tadi berdirinya sudah hampir menyandar di tembok. Kini ceria kembali dan bersemangat lagi. Mbah Somo yang berdirinya sudah membungkuk, kini di tegakkan lagi mendengar kawan-kawannya begitu ceria membaca shalawat itu, karena kalau sudah sampai dibaca di bait itu, artinya sebentar lagi akan duduk kembali. Yu Sutar kebagian membaca beberapa lembar Alkitab tersebut. Kulihat mbok Karso sudah duduk terkantuk-kantuk, dan anakku nyaris memejamkan matanya di pangkuanku. Lagi-lagi mereka semua terbangun dengan gembira tanpa ada yang membangunkannya. Setelah mereka mendengar sang pemimpin si Ibu Hajah itu mulai membaca Allahumma ya Basittol yadaini biladiah. Dan seterusnya. Semua ibu-ibu yang tadi duduknya berselonjor kaki, kini menekuk kakinya. Anakku bangun sendiri dan menengadahkan kedua tangannya sambil mengucap Amiiiiinn. Setiap Ibu Hajah selesai satu ayat, mereka semua menyambutnya dengan ucapan Amin. Kantuk lenyap seketika. Mereka semua membaca dengan kompak menimpali bacaan doa yang ibu Hajah bacakan. Ya Arhamma Rohimin, ya arhamma rohimin. Ya arhamma rohimin warijalal muslimin. Tanganku dicubit oleh tangan kecil anakku, kala anakku melihat berbagai hidangan muncul dari ambang pintu dapur si empunya hajat. Tak sabar rupanya anakku untuk segera mengambil makanan dan minuman yang sedang dikeluarkan. Aku tersenyum. Karena memang setiap anak yang ikut ibunya atau neneknya akan berbuat yang sama yaitu minta jajan dulu selagi jajanan belum keluar semua. Tak ada satupun ibu-ibu yang mencegah karena semua maklum adanya. Namun saat makanan sudah keluar semua. Disitulah diskusi mulai dibuka tanpa ada yang memimpin dan tanpa ada yang membuka. Dengan sendirinya 21

bibir nyinyir ibu-ibu tak bisa dicegah untuk tidak nyinyir. Ya. Perbincangan seru baru akan dimulai dan baru akan berakhir bila makanan dihadapannya sudah amblas. Akupun salah satu dari mereka yang berbibir nyinyir. Apapun jadi perbincangan di arena perkumpulan di manapun berada. Bersyukurnya. Bukan gunjingan. Namun sekedar berbagi rasa karena mahalnya bahan pokok makanan di daerahnya, hingga, tontonan televisi yang menyesatkan bahkan ngomongin hantu yang bergentayangan di layar kaca. Konon betapa hebatnya anak kecil sekarang. Karena tidak lagi takut dengan hantu pocong. Karena setiap kali ditakuti hantu pocong, si anak akan meleletkan lidahnya pada Emaknya sambil bilang. Wek. Hantunya sudah jadi Artis Mak. Malah kalau aku ketemu hantu aku akan minta duit padanya buat Emak. si Emakpun hanya angkat bahu mendengar komentar anaknya. Tentu aku tidak ketinggalan untuk tidak ngoceh di kalangan. Aku bilang dengan bangga pada mereka kalau di rumahku tak ada televisi. Bukan aku tidak bisa membeli, namun aku lebih suka anakku baca buku atau main game di komputer. Mereka tidak percaya bahkan setengan mencemooh. Katanya aku tidak sayang anak. Masa televisi saja tidak mau belikan buat hiburan mereka. Aku tak perlu menjawab komentar mereka. Toh aku sendiri yang tahu anakku akan pinter atau keblinger setelah menonton sajian televisi yang begitu menghipnotis. sampai lupa waktu sholat bahkan mengkorupsi waktu belajarnya. Dan topik terhangat. Kalau baru saja terjadi pembunuhan dan pemerkosaan di daerah Jawa Tengah. Iih serem. Aku lihat si Nunuk gadis anak tetanggaku yang masih duduk dibangku SMP, meriding, meringkuk, mendengar berita dari bibir ibu-ibu yang sedang bercerita dan cerita tersebut baru di dapatkannya dari layar kaca. ada cerita dari ibu-ibu yang berada di pojok sana. Katanya baru saja ada berita tentang mayat yang terpotong dan jasadnya di buang terpencar. Aku tidak merinding mendengar hantu pocong. Karena di rumahku tak ada televisi dan aku tidak melihatnya. Aku kasihan mendengar nyawa manusia tak ada harganya dan di buang begitu saja. Kerupuk singkong dan pisang goreng yang ditaruh di hadapanku sudah habis. Rasanya tak ada alasan lagi untuk duduk lebih lama di sini. Akupun berpamit pada si empunya hajat sambil bilang kalau besok malam tiba giliran di rumahku. Mereka mengikuti langkahku untuk berpamit pada yang punya rumah. Tak bosan, tak jenuh. Kami warga desaku rutin mengadakan shalawatan setiap tahunnya sebulan penuh di bulan maulud. Marhaban ya nurulaini marhaban jadalkhusaini... Marhaban Ya 22

marhaban. @ Lipursari, 05 April 2007 SURAT DARI ALAM MIMPI

Mbak Lan Fang. Aku kangen. Kenapa sms ku tidak pernah kamu balas?? Bosankah bersahabat denganku? Aku rindu kecerewetanmu. Aku rindu menatap mata bintangmu yang selalu berbinar dikala sexi bibirmu sedang bertutur. Aku tak pernah melewatkan mataku untuk tidak memandang tahi lalat di dagumu dan aku gemas dengan hidungmu yang bertengger manis di tempatnya. Mbak. Aku manusia normal seperti yang pernah aku tanyakan padamu. Aku mengagumimu bukan karena aku jatuh cinta padamu. Tapi dirimu sungguh membuatku kagum. Kamu seniorku, guruku, wajarlah kalau aku mengagumi kecantikanmu. Mengagumi karyamu, novelmu, cerpenmu. Seperti kamu juga pernah bilang melalui milis Caf de kosta, kalau puisiku bagus. Aku senang mendengarnya. Sanjunganmu membuatku makin bersemangat untuk terus mengembangkan bakatku, Meski aku jarang lagi bersapa denganmu. Hidup dua hari bersamamu di istana rumbia ku, cukup banyak cerita mengalir dan menyatu. Di tambah enam belas jam aku tinggal di rumahmu, makin komplit kita saling tahu perasaan dan kemauan ke arah mana kita mau mengambil jalan ke depan. Betapa aku ingat dan tak bisa melupakanmu, saat mana kamu merebut sutil, alat penggorengan, yang sedang aku pakai untuk membalik ikan yang sedang aku goreng di dapur rumahku. Lalu kamu yang meneruskan menggoreng ikan-ikan itu. Kemesraan kecil yang sangat mustahil dapat kulupakan, dan jauh dari bayanganku sebelumnya, kalau wanita secantik kamu mau turun masak ke dapur rumahku. Nyatanya kulihat tak ada beban tergambar di raut wajah cantikmu. Kamu tetap ceria. Mbak Lan Fang. Aku kangen. Anakku juga menanyakan kabarmu. Tetanggaku juga bertanya, kemana temanmu yang bule dan rambutnya bagus itu? Kok tidak pernah ke sini lagi? Mbak, ternyata yang kangen bukan hanya aku, tapi semua yang pernah melihatmu di istanaku. Mbak. Ingat enggak? Kala di dapur rumahku, waktu itu aku bertanya sesuatu tentang cinta?? Kini. Cinta yang kutanyakan padamu, telah menyatu denganku lewat 23

pelaminan. Ya. Dia kini telah menjadi suamiku. Dan menjadi ayah dari anak-anakku. Sayang sekali kamu tidak hadir saat pernikahanku. Tapi sebaliknya. Aku akan hadir ke pondok maspion di mana kamu tinggal di sebuah rumah asri bersama tiga jagoan kecilmu yang lucu-lucu. Aku ingin bercerita seperti dulu di teras rumahmu, bersama calon suamiku dan diintai siput-siput yang merambat mendekati di mana kita duduk lesehan di beranda. Di temani secangkir kopi, ubi goreng, dan pisang goreng yang kamu beli di pepe legi. Malam Kita tak puas bercerita sepanjang malam di ranjang indahmu. Sampai kantuk menyerang dan mata terpejam tak terasa. Pagi Jam tujuh aku dan calon suamiku terpaksa pamit, untuk kembali ke istana rumbiaku yang jauh berada di Wonosobo. Meneruskan langkah mengemban misi dan mencari visi kedepan nanti. Mbak Lan Fang sahabatku. Kesibukan kita makin meningkat. Aku sadar itu. Tapi tahukah kamu? Setiap aku masuk toko buku, selalu ku cari judul bukumu di komputer. Masih sisa berapa? Masih ada judul apa saja? aku sangat gembira melihat hasil karyamu memasuki kotaku. Mungkin bagimu aku bukanlah apa-apa. Atau hanya sekedar pengagummu. Tak apa. Itu harus aku akui, kalau aku memang mengagumimu. Tapi terus terang. Aku ingin kebersamaan seperti dulu tetap kita jaga. Sejauh apa Wonosobo-Surabaya. Rasanya tak bisa menghalangi kemesraan kita bersama untuk saling bertukar berita dan berbagi karya. Rasanya sekian dulu coretanku untuk sahabatku. Maafkan semua kesalahanku kalau memang ada salah. Dan ampunkan kekhilafanku kalau aku ada khilaf. Tertanda Aku yang lagi kangen Aku termangu membaca selembar surat yang aku temukan di tumpukan pakaianku. Aku berusaha mengingatnya. Akukah penulis surat tersebut?? Kapan kirakira aku menulisnya. Kok aku tidak ingat. Tidak ditulis tanggal kapan menulisnya pula. Jangan-jangan aku menulisnya sambil bermimpi. Berbahaya sekali kalau itu 24

terjadi. Apa jadinya kalau surat yang aku tulis adalah surat cinta alias surat buat selingkuhanku?? Gawatt!!?Semoga aku tidak berselingkuh. Amin. Pikirku sambil menerawang dan masih terheran-heran. Harus aku apakan surat ini? Kubaca dan kubaca lagi. Aku paham. Mungkin malam itu, dimana aku menulis surat ini, aku sedang merasa kangen berat dengan sahabat-sahabatku yang berada di Surabaya, maka aku sampai bermimpi menulis surat macam begini. Tapi kenapa yang disebut di surat hanya satu nama. Mbak Lan Fang saja. Padahal temanku cukup banyak di sana. Ada pak Bonarin Nabonenar, ada mbak Ida, ada pak Kus Winarto, Winna, Mas Asa, ada pak Shoim, ada pak Syaiful, ada pak Ali dan Juliet Veninnya, ada pak Budi Dharma. Wah mengada-ada kalau mengaku pak Budi Dharma sebagai teman. Wong bertemu muka juga belum. Bisik bathinku. Meski masih banyak lagi yang lain. Kok aneh yang tertulis di selembar surat ini Cuma satu nama saja. Apa adil ini? Tapi aku harus bertanya pada siapa? Ya. Mungkin saat itu aku sedang teringat, sewaktu aku duduk di teras rumahnya di pondok maspion ditemani beberapa ekor siput besar alias bekicot. He, he, he, he, he. Seru juga. Mungkin juga saat teringat betapa Mbak Lan Fang yang waktu itu duduknya melorot dari jok motor ojekan di kampungku karena jalanannya menanjak? He, he, he, he, he. Ini juga seru. Sudah tentu aku tahu karena aku mengikuti di belakang motor yang ia tumpangi. Atau barangkali, aku waktu itu sedang mengingat sebuah perjalanan di Wonosobo di bawah guyuran hujan lebat. Bersama Winna, Asa, Pak Bonari, dan Stevi Sundah. Duduk-duduk di alun-alun kota sebentar menunggu jam siaran, setelah tadi di traktir makan nasi gudeg oleh mbak Lan Fang di Sruni Kota. Kali ini perjalanan sedang menuju ke studio radio untuk talk show sebelum acara bedah buku di gelar besok. Ah! Sebuah kenangan yang indah yang tak mungkin kulupakan. Enaknya diapain ya surat ini? Perlukan dikirim via pos? Jadi aku bisa mewakili aku yang ada di mimpi untuk menyampaikan surat ini hingga sampai ke tangan mbak Lan Fang. Wah! Opo mbak Lan Fang punya waktu untuk membacanya ya? Dia orang super sibuk. Tapi begitu sabar menghadapi ketiga jagoan kecilnya. Ibu yang baik bisikku. Anehnya lagi surat ini terlipat begitu rapi. Dimasukkan amplop tanpa dilem. Ah! Entahlah. Apa yang terjadi saat itu tak ada seorang pun tahu. Aku pun tidak tahu. 25

Biarlahakan kutitipkan pada angin lalu agar membawakan berita ini untuknya. Sekalian titip berita buat Winna. Kalau bukit yang menurun dan diberi nama "Lima menit lagi" sama Dani, kini sebagian telah menjadi milikku. Aku membelinya untuk mengenang semuanya. Kita coba bertanya pada rumput yang bergoyang. Siapa?? Mengapa?? Kenapa?? Kapan?? dan dimana?? Aku menulisnya. Atau barangkali ada yang tahu jawabannya?

@ Istana Rumbia, 14 Maret 2007 Spesial buat Mbak Lan Fang di Pondok Maspion

26

Chien Pao
Kutelusuri jalan ini sudah tiga kali bolak balik. Kepalaku menunduk begitu dalam, mataku tak berkedip memandangi jalanan setapak pun tak terlewatkan. Aku berjalan dari dekat rel kereta api pasar Pramuka hingga perempatan Salemba. Lelah kakiku, masih ditambah lapar dan dahaga. Tapi yang kucari belum ketemu bagaimana aku bisa berheti dan merenungi nasib sialku kehilangan chien pao. Chien pao sebuah kata dari bahasa Cina yang artinya tempat uang atau dompet. Kenapa aku pakai kata chien pao karena chien pao dan ang pao yang mempunyai arti hampir sama itu punya kisah sendiri yang menarik bagiku. Hari ini aku kehilangan Chien pao yang selalu ku pegang di tanganku terpisah dengan tas di punggungku. Entah di mana aku menggeletakkan dompetku itu hingga sama sekali aku tak terasa kalau barang itu telah raib dari tanganku. Aku sudah mencarinya bolakbalik dari tadi hingga keringat membanjiri tubuhku. Lapar dahaga tak kupedulikan. Uang di dalamnya aku tidak begitu memikirkannya namun beberapa surat penting yang ada membuatku kelimpungan. Ada kartu ATM (anjungan tunai mandiri), identitas Indonesia, identitas Hong Kong ku juga ada dua surat nikah yang mau kupakai untuk mengurus perceraianku dengan suami gila itu. Sungguh pusing bila harus mengurus semuanya dari awal. Saat ini aku masih terikat kontrak kerja di Hongkong dan lagi ambil cuti karena mendengar kalau suamiku yang kutinggal di rumah ada main gila dengan kawan karibku. Aku ingin membuktikan sendiri berita itu dan ternyata benar bahkan kini kawanku itu sedang mengandung anak dari suamiku. Aku tak mau di madu maka aku sedang urus pereraian. Kalau kini kedua surat nikahku hilang, musnah sudah harapanku, suami hilang, uang hilang, dompet hilang bahkan pekerjaan di Hong Kong terancam hilang. Bagaimana aku bisa kembali ke Hong Kong kalau tak ada identitas Hongkong di tangan. Aku tadi menemuinya untuk ajukan cerai padanya yang sekarang jualan burung di pasar pramuka. Ternyata dia malah gembira dan menerima gugat ceraiku dengan senang hati. Mungkin tadi aku berjalan sambil banyak melamun hingga dompet hilang tak terasa. Walau sudah tiga kali aku jalan bolak balik di jalan yang sama guna mencari chien pao ku, aku masih berharap kalau barang itu akan ketemu. Mataku makin liar

27

kesana kemari, dari jalanan hingga tong sampah bahkan got atau saluran tak luput dari pencarianku. Orang pada ngeliat aku bagai orang gila tapi aku lebih gila kalau chien pao ku tidak ketemu maka kubiarkan saja orang memandangku penuh rasa heran. Dandanan seksi tapi mengorek tong sampah bahkan tumpukan sampah di saluran air tak luput dari gerak tanganku. Mulutku diam seribu bahasa tapi mataku liar penuh sesal dan kecewa. Untung masih ada sebotol air mineral di tasku yang bisa menghilangkan sekedar dahagaku. Di puncak keputusasaan kulihat sebuah benda mengapung di saluran air yang kotor, setelah sampah di sekitarnya kusingkirkan. Ternyata itulah chien pao yang sedang kucari dengan penuh harap. Aku bersyukur chien pao kutemukan. Basah. Semua basah dan surat-surat masih utuh hanya uang dan kartu ATM sebuah bank Indonesia saja yang raib. Aku harus berterima kasih pada pencopet yang masih kuanggap baik meski telah membuang dompetku kesaluran air. Tapi Tuhan masih menolongku hingga kutemukan kembali dompetku ini. Orang-orang yang tadi memandangi aku penuh heran, kini maklumlah kenapa aku seperti orang gila mengorek semua sampah yang dilihatnya. Kukorbankan cincin di jari manisku untuk kujual buat biaya pulang ke Jawa meninggalkan Jakarta yang penuh cerita. Lebaran. Aku bagi ang pao atau amplop merah berisi uang untuk ponakan dan anak-anak dari saudaraku. Memang ini bukan tradisi umat muslim, tapi itu sudah kebiasaanku membagikan ang pao yang ku isi uang yang ku anggap uang saku buat mereka. Setiap pulang cuti aku bawa banyak ang pao kosong dari Hong kong. Aku bayangkan yang menerima ang pao itu aku saat di Hongkong, akupun senang dan bahagia menerimanya tak peduli isinya berapa dolar tapi ada kebahagiaan tersendiri karena menerima ang pao tersebut. Maka kemanapun langkahku di daerah aku bawa juga beberapa lembar ang pao di saku bajuku. Suatu saat aku lewat di desa tetangga, kulihat ada seorang anak usia sebelas tahun sedang menangis sambil mengamuk emaknya. Sang emak konon sudah kuwalahan atas ulah anaknya yang sangat nakal itu. Dengan lembut kudekati anak itu. Aku ditendang dan diludahi. Aku tak kapok dan maju lagi kubujuk dia dengan manis, lagi-lagi aku dimaki katanya aku siapa kok ikut campur? Si emak memandangku dengan kuatir dari kejauhan. Aku dekati lagi dan kubujuk anak itu. Setelah gagal dan gagal lagi baru aku ingat ang pao yang ada di saku bajuku. Aku ambil satu lembar dan dengan halus aku bilang. Dik, ini buat kamu nanti kamu akan senang deh 28

???! ..., masih dengan menangis anak itu menerima bahkan terkesan setengah merebut ang pao dari tanganku. Dia bolak balik ang pao itu hingga terlupa akan tangisnya. Dia pandangi warna merah bergambar di luar amplop itu sambil terheran-heran. Dik, buka saja ada isinya kok itu, kataku lembut setelah melihat dia tidak menangis lagi. Dia memandangiku sekejap seolah minta ketegasan. Benarkah?! Lalu dia buka amplop merah itu. Maaakkkk....!! Isine duwit sepoloh ewu (Isinya uang sepuluh ribu), Maak!! seru anak itu. Terlihat dia lari ke emaknya. Terlihat wajahnya sumringah gembira sekali. Dia sudah lupa kalau baru saja menangis berjam-jam. Akupun pergi dari situ. Tapi baru melangkah pergi si emak memanggilku. Mbak....terima kasih ya? Kamu bisa membuat anak saya diam, padahal sudah dua jam dia menangis dan susah didiamkan malah ngamuk seperti yang mbak lihat tadi. Syukur dia sekarang diam, Mbakyu.. Jaga dia baik-baik. Dia sudah capek menangis tadi, jawabku sambil tersenyum dan pamit pergi dari situ. Di Hong Kong, aku punya cerita sendiri tentang chien pao. Aku ikut majikan yang tinggal di Siu Hong Tuen Muen. Saat holiday (liburan) aku suka membantu agency mengantar berkas dari Indonesia ke agency di lain kota, kadang ke Tai Po, kadang ke Causeway Bay. Hari itu aku dari Tai Po naik Siu pa (bus kecil) menuju Yuen Long. Turun dari bus aku masuk pasar Yuen Long dan berniat membeli sekotak strowbery. Pas mau bayar kucari chien pao ku kok tidak ada, wah payah janganjangan di copet orang. Ah, itu suatu yang mustahil di Hong Kong terjadi. Pasti atas keteledoranku hingga dompetku terjatuh. Aku yakin benar itu hasil keteledoranku karena belum ada sejarah ada copet di Hong Kong. Aku minta maaf pada penjual buah karena tak jadi membeli karena chien pao ku hilang. Aku lari ke Pasi cam (terminal bus) di mana parkir beberapa siu pa (bus kecil) seperti yang kunaiki dari Tai Po tadi. Aku minta ijin pada pak sopir akan maksudku mencari, barangkali, dompetku terjatuh di dalam busnya. Setelah diijinkan oleh beberapa sopir bahkan dibantu oleh mereka aku mencari keberadaan dompetku namun hasilnya nihil. Aku bingung harus bikin alasan apa pada majikanku nanti. Maka aku minta tolong pada para sopir bus kecil disitu untuk memberitahu temannya yang menemukan dompet yang ada samfenching (KTP) Hongkong atas namaku dan kuberi 29

salah satu sopir itu kopian kartu identitas yang ada dan nomor telpon rumah majikan. Siapa tahu ada yang menemukan dompetku bisa menghubungi aku nanti. Setelah mengucapkan terima kasih pada sopir itu aku mampir di agency untuk pinjam uang buat pulang ke rumah majikan. Sudah pasti aku kena marah atas hilangnya dompetku tersebut. Namun majikan memujiku atas kecerdikanku tidak tinggal diam bahkan mencari dengan caraku ngasih kopian KTP-ku itu pada mereka. Belum dua puluh empat jam dari hilangnya chien pao ku. Ada orang menelpon dan mencari namaku. Ternyata dari salah satu sopir siu pa yang menemukan chien pao ku dan aku disuruh mengambil di kantor polisi terdekat. Akupun bilang pada bos ku kalau chien pao ku diketemukan oleh pak sopir dan harus ambil di kantor polisi. Aku di antar oleh bos ku datang ke kantor polisi yang berada di Fung Ning Road. Sebuah kantor polisi besar di sekitar kota Yuen Long. Setelah ditanyakan segala sesuatunya yang ada hubungannya dengan isi dompet, aku disuruh mengambilnya di ruang dalam. Aku diantar masuk oleh petugas. Serem. Itu kesan pertamaku memasuki ruang pemeriksaan. Melewati beberapa pintu terali yang kokoh dan tak bisa dibuka dari luar. Aku bayangkan bagaimana kalau pesakitan yang masuk sini pasti susah keluarnya. Aku disapa oleh polisi wanita yang ramah sekali. Setelah dicocokkan isi dompet dengan kata-kataku, dompet diserahkan padaku. Wajahku merah padam menahan malu karena semua uang receh dan kartu yang menghuni dompet dilem di selembar kertas dan dijelaskan satu persatu padaku barangkali ada yang hilang. Aku malu karena uangku paling hanya beberapa puluh dolar Hongkong saja isinya dan dijabarkan didepanku seolah polisi takut dicurigai mencuri duitku. Tanpa pikir panjang aku iyakan saja apa kata polisi tersebut. Entah kenapa aku percaya penuh pada mereka. Aku di antar keluar dari ruangan tersebut dan terlihat bos ku menantiku dengan cemas. Setelah melihat kemunculanku baru nada lega terpancar dari raut wajahnya. Di jalan dia penasaran atas jalan cerita pengambilan dompetku lalu kuceritakan sekilas. Dia memujiku katanya aku cerdik hingga dompet yang hilang bisa ketemu. Lagi-lagi wajahku merah padam kala aku bertanya pada bos ku. Bos. Mungkin tidak sopir itu ambil sedikit uangku buat ongkos jalan ke kantor polisi?

30

Wah. Mareng a, ini Hongkong. Tak mungkin itu terjadi. Kamu jangan berpikir begitu lah. Ah. Maaf kan aku, Bos, kataku penuh sesal dan malu. Mareng a, apa di Indonesia bisa terjadi begitu ya!? ??@???@@@?? aku yang dipanggil Mareng a oleh bos ku tak bisa menjawab pertanyaannya. Tapi wajahku makin merah karena malu. Bos ku pun tidak bertanya lagi. :: Kilas balik Siu Hong, Hongkong:: @ Istana Rumbia, 23 November 2006

31

Kacung Mintuno
Met siang ?! Siang juga. A.s.l. pls .?! F.33. And u? M. 30. Ker / kul? Ker. Kamu kerja di mana? Apa penting ? Kayaknya seeh. Aku cuma seorang babu kok! Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan dan pakai web cam lagi. Keren banget. Itu gak penting. Eh you-nya kerja di mana? Aku arsitek. Tukeran foto yuuuk ..?! Ok. Eh real name (nama asli) please .!? Namaku Kacung Mintuno. Namamu siapa? Aku Tumi. Tapi biasa dipanggil Mimi. Ini buka deh! Nanti you bisa lihat tampangku ok? Http://www. mimi boldrive.com. Atau ini http://mimi.multiply.com. Ok. Thanks ya? Loh. Ini kan website??? Ah masak sih kamu kerja jadi babu? Ada yang aneh? Atau gak pantas kenalan dengan seorang babu? Oh, no!! Sorry. Bukan begitu maksudku. Ini loh. Setelah kubuka isinya ternyata web-mu luar biasa. Di luar negeri lagi. Ada fotomu yang pake toga segala. Itu foto saat kamu sedang wisuda ya? Ya begitulah adanya. Seperti yang you lihat. Aku memang babu. Sekarang kerja di Hong Kong. Dulu pernah kerja di Taiwan. Luar biasa. Hong Kong memang indah. Aku pernah dua kali main ke Hong Kong tapi cuma mampir dan nginap di Hotel Peninsula saja. Trus mainnya di Star Ferry deket Victoria Harbour. Ini kamu tak kirimi pic.-ku ya?

32

Makasih ya..? Jadi you tidak memandang rendah dirikukah? Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama. Duuhh Terima kasih ya Mas Kacung, sang arsitek, atas luasnya pandanganmu. Tapi maaf ya? Aku online sudah lama maka sudah saatnya off (cabut) nih! Sayang sekali ya? Tapi tak apa deh. Kita bisa sua lain kali. Eh makasih juga ngobrolnya. Jangan lupa kalau mau online sms aku ya? Ini nomor hp-ku. 0815xxxxxxx. Iya deh. Thanks (terima kasih) aja. Sepanjang perjalanan pulang dari holiday (liburan kerja) kali ini pikiranku dipenuhi oleh sikap dan gaya bicara teman baruku, si Kacung Mintuno. Aku juga agak heran mendengar nama orang tersebut, Kacung. Sebuah nama yang udik banget. Tapi siapa sangka kalau benar seperti pengakuannya. Dia seorang arsitek. Tadinya, percaya atau tidak, aku tidak peduli. Tapi begitu membuka kiriman fotofotonya yang sedang beraksi di Star Ferry dekat Victoria Harbour aku jadi percaya. Tempat itu memang di Star Ferry. Itulah tempat yang biasanya aku nongkrong bersama teman-teman setanah air. Tempat buat bersandar perahu pesiar dan dari dalam perahu tersebut biasanya akan muncul tampang-tampang Jawa Indonesia. Menurut pendapatku Kacung Mintuno orangnya baik dan rendah hati. Kapan-kapan aku sms dia deh kalau mau online. Eh tadi dia bilang aku aneh. Babu kok bisa main internet malah punya website pribadi. Terus sebenarnya yang aneh siapa ya? Tak terasa kereta Teng-teng Che yang aku naiki telah berhenti di Cheswood. Tempat tinggal bosku. Aku turun dengan tenang sambil benakku masih dipenuhi bayangan Kacung Mintuno dengan segala obrolan tadi. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang asik diajak ngobrol dan rendah hati. Tidak sok seperti yang selama ini aku alami. Pernah aku sekali ketemu dengan orang yang mengaku pemain figuran film. Omongannya selangit dan sangat merendahkan profesiku. Aku memang tak pernah menutupi profesiku pada siapapun teman yang ketemu di dunia maya. Namun jarang yang awet. alias asli

33

Kutengok jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Baru jam delapan, kataku pada diriku. Aku belum ingin pulang ke flat. Paling bosku makan malam di luar. Tadi mereka telpon dan katanya kalau aku pulang ya pulang aja. Konon mereka mau makan Shushi di restorant Jepang dekat kompleks perumahan ini. Telpon genggam yang kupegang bergetar sambil mengalunkan lagu 'without you'-nya Mariah C. Tertera nama Iyem di layar handphone-ku. Wai (halo)?! Mi. Kamu di mana? Masih di Causeway Bay? Tidak. Aku sudah pulang nih. Ngapain kepagian pulang? Tadi gak online ya? Online kok. Sorean. Cuma dua jam aja. Dapat gacoan berapa? Dapat korea lagi ya? Ha, ha, ha. Sampah! Gak lah. Aku ngobrol ama cowok dari Indon aja. Asik orangnya. Namanya siapa? Kerja di mana dia? tanya Iyem penasaran. Namanya Kacung Mintuno. Ngakunya sih seorang arsitek gitu. Ha, ha, ha, ha, ha. Kamu kok mau sih dibohongi gitu. Mana ada kacung jadi arsitek. Cari yang keren. Kebarat-baratan gitu loh! Kayak Kacung gitu sih, not my level (bukan standarku). Ya wes (udah). Itu hak asasi kok. Terserah yang menilai aja. Aku agak tersinggung. Entah kenapa aku tidak terima kalau teman baruku itu diejek oleh Iyem sahabat karibku. Oh ya. Kapan kamu jadi ambil cuti pulang Indo? Minggu depan. Ada apa? Mau nitip barang sedikit. Ogah ah! Berat. Kalau mau nitip tuh duit. Sebanyak apa aku bawain deh. Cuma handphone (telpon genggam) buat adikku kok. Biar aku bisa menghubungi orang rumah. Iya wes. Aku mau naik lift nih. Bye (sampai jumpa) .?! Bye .!? Uh ! Iyem nyebelin. Selalu saja menilai seseorang dari nama dan ujud luarnya doang. Aku sih berharap bisa bertemu Kacung Mintuno lagi. Bukan title (gelar kesarjaan)-nya yang aku suka. Namun sikap dan pembawaan yang rendah hatilah yang mampu membuatku punya penilaian lain terhadapnya. *** 34

Tak terasa persahabatanku dengan Kacung Mintuno makin dekat. Apalagi setelah jumpa darat. Kedekatan makin terasa bahkan nadanya ada sinyal-sinyal cinta antara aku dan dia. Juga sebaliknya. Tiga tahun berlalu bersamaan habisnya kontrak kerja yang aku ambil. Aku tak ingin lagi merantau. Aku mau berdagang lagi seperti dulu. Selain itu akan aku kembangkan bakat sastra yang aku punya. *** Sejak aku bergelut di bidang sastra istilah sastra profetik yang pernah ditulis oleh Prof. Kuntowijoyo (alm.) selalu kupakai. Alhamdulilah istilah itu menggelinding dengan menggembirakan. Awalnya berat juga menggelar wacana sastra tersebut. Tapi dorongan yang Kacung Mintuno berikan tidak kusia-siakan. Berbagai kegiatan sastra kami kunjungi baik di kota sendiri maupun di luar kota. Bahkan Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya sering kami datangi. Tak aneh bila mendengar teman-teman ada yang memanggil kami dengan cara menyatukan nama menjadi Mimi Mintuno. Dimana ada aku di situ pula ada Kacung Mintuno yang telah menjadi belahan hati. Aku dan Kacung tak pernah meladeni ledekan maupun sindiran teman yang membanding-bandingkan antara aku dan Kacung. Ada yang iri padaku. Orang-orang itu pernah berkata tentang posisi Kacung. Bagi mereka Kacung rugi mendapat pasangan mantan babu. Tapi bagi kami tak ada istilah untung rugi untuk bercinta. Komitmen telah mengikat kami. Cinta Mimi Mintuno adalah cinta yang tak membedakan status tapi punya wawasan ke depan secara bersama. Satu titik pandang yang bernama kebahagiaan akan kita tempuh bersama meski harus melewati jalan yang berliku. Jurang dan ngarai sekalipun. Sang waktulah yang selalu menguji perjalanan cinta Mimi Mintuno. Cinta aku dan Kacung. *** Lima tahun telah berlalu sejak aku kenal dengan Mas Kacung Mintuno. Kini aku bahagia hidup bersama Mas Kacung yang telah resmi menjadi suamiku dan Mas Kacung yang dulu beda agama kini telah menjadi seorang mualaf. Dengan sabar dia turut mengaji, ikut tahlilan di rumah tetangga dan kemana-mana selalu ada buku suratan atau Juz Amma. Aku bahagia melihatnya. Aku senang dan tidak pernah tersinggung dengan sebutan mantan babu. Terkadang dengan mantan tkw. Itulah kenyataan. Untuk apa aku harus malu. Justru dengan aku menjadi tkw alias babu, aku menjadi aku yang sekarang. Yang pasti Aku telah bisa mengalahkan aku. Tidak seperti dulu. Aku begitu egois. Setiap ada yang bertanya padaku, Mbak, sampeyan kerja menjadi babu ya? Sampeyan jadi tkw? 35

Telingaku akan merah dan mukaku bagai udang direbus saking (akibat) malu dan tersinggung. Tapi itu dulu sebelum Aku terkalahkan oleh aku. Kini aku nikmati hari-hari dengan bahagia. Berkumpul dengan anak-anak dan Mas Kacung. Suamiku selalu setia memotivasi aku dalam segala hal. Tak bosan dia mengingatkan akan egoku di sela waktu kerjanya, baik lewat telpon maupun berdiskusi langsung saat sedang makan bersama anak-anakku. *** Enam tahun hampir berlalu. Namun kata-kata Mas Kacung di awal perkenalan masih terngiang di telingaku. Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan dan pakai web cam lagi. Masih ada lagi, Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama. Itulah kata-kata Mas Kacung yang membuat aku merasa bahwa aku adalah manusia. @ Istana Rumbia, 01 Maret 2007

36

Tugu Monas Jadi Saksi

Tuhaaan!!! Ok. Aku segera menuju kesana. Sabar ya mbak? Aku baru pulang dari urusan pemesanan perlengkapan. Tunggu ya?? Aku tersenyum membaca sms dari panitia yang akan menjemputku tersebut. Dari kemarin aku sudah bilang kalau aku akan tiba di Jakarta lebih pagi. Karena aku akan naik pesawat yang paling pagi dari bandara Adisutjipto Yogyakarta. Sesuai dengan TOR yang dikirimkan lewat e-mail lima hari yang lalu. Memang hari ini banyak sekali acara maka sengaja aku datang lebih pagi meski kurang tidur. Semalam acara di kabupaten baru selesai jam delapan malam, aku langsung berangkat ke Yogyakarta dan paginya terbang ke Jakarta. Tiba di Arion Plaza aku langsung sms panitia. Ternyata mereka belum siap di situ. Setengah jam kemudian penjemput datang. Tak pelak puluhan kali maaf ia ucapkan atas keterlambatannya menjemputku meski aku sedikitpun tidak pernah menyalahkannya. Baru tiba lima menit di kantornya. Langsung dua orang anggota teatre menyodorkan naskah padaku. Maksudnya untuk minta pertimbangan apakah sudah pas cerita yang akan di bawakan nanti. Setelah kuteliti sejenak aku punya pendapat. Alangkah akan lebih baik kalau beberapa baris kata-kata protes itu di utarakan melalui gambar yang di bawa oleh salah satu pemain nanti. Mbak Moni, tolong kasih masukan, ini baiknya bagaimana? kata Dewi salah satu pemain teatre yang maju ke arahku membawa naskah dialog yang akan di bawakan nanti malam. EmhhBagaimana kalau bentuk tulisan itu diganti dengan bentuk gambar yang warna warni. Usulku. Kulihat rona cerah di wajah Dewi.

37

Ya begitu Mbak kami juga maunya begitu, tapi kami bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Aku tahu dia jujur karena terlihat nada bingung pada suaranya. Bagaimana kalau yang baris pertama itu kamu jadikan lukisan. Kamu bisa kan? Bikin lukisan yang berbentuk kantong celana yang penuh berisi uang lalu disebelahnya ada hantu yang matanya melotot kearah kantong celana tersebut? Aku rasa dengan begitu kita bisa menohok langsung pada pelaku bila si pelaku nanti tahu aksi kita malam nanti. Sip! Itu yang saya mau mbak. Tapi kenapa dari tadi kita tidak punya ide kesitu ya?. Kata Dewi cerah lalu cekatan dia mengambar seperti yang aku tunjukan. Selesai satu sketsa. Aku sodorkan lagi satu ide untuk baris ke dua. Nah! Yang ke dua. Kamu gambar sesosok hantu yang seram tetapi hantu itu berdasi. Yap. Tepat mbak. Seru Dewi. Dan kulihat wajah panitia yang menjemputku tadi sangat tidak enak saat Dewi banyak tanya padaku. Dia mendekati Dewi dan membisikan sesuatu lalu mbak Mus bilanng padaku. Mbak. Maafkan Dewi ya mbak, dia terlalu agresif dan kurang inisiatif. Mbak baru datang sudah direpotkan. Sekali lagi maaf ya mbak? kata Mbak Mus dengan sungkan. Tak apa kok. Sudah sewajarnya aku menunjukan. Jawabku santai. Lalu aku kembali menunjukan pada Dewi bagaimana cara melukis untuk baris yang ketiga, ke empat dan sampai enam macam gambar ku kasih instruksi pembuatannya. Terima kasih Mbak . Akhirnya selesai dan bagus sekali semua gambar yang Mbak buat. Bukan aku kok yang bikin gambar. Jawabku. Iya. Tapi kan atas petunjuk Mbak Moni juga. Kebetulan saja aku bisa. Ya sudah. Terima kasih banyak. Sekarang mbak Moni istirahat saja dulu, nanti saya kasih tahu kalau penjemput dari Hotel Bidakara sudah datang. Kata direkturnya. Yang dari tadi hanya mendengarkan dan melihat semua yang aku dan teman-teman pemain teatre lakukan. Sebuah taksi Celebrity berhenti dan menunggu di depan kantor. Setelah aku mandi dan berganti pakaian aku dan managerku diantar oleh panitia, pergi ke Hotel dengan taksi tersebut. Tiba di Hotel Bidakara, seorang pria ganteng berbaju koko 38

bercelana hitam dipadu dengan lilitan kain batik warna merah sebatas lututnya. Menyambutku dengan ramah saat aku turun dari taksi Celebrity di depan pintu Hotel. Aku mendekat ke ruang recepsionis disambut gadis cantik yang murah senyum. Aku terkesan melihat dandanan gadis itu. Ia memakai kemeja putih di padu safari merah dengan kombinasi rok warna hitam dan berdasi batik menyambutku. Setelah ku katakana siapa adanya aku lalu dia bicara sebentar dengan pria elegan yang sedang berdiri dengan penuh wibawa. Pria itu pakai stelan jas biru berkemeja putih dengan dasi batik membicarakan sesuatu dengan gadis tadi sebentar lalu menyodorkan amplop tebal. Gadis recepsionis itu lalu menyerahkan amplop tebal tadi padaku. Setelah mengucap terima kasih. Aku buka amplop tersebut yang ternyata isinya kunci kamar dan beberapa lembar voucher panduan selama aku tinggal di Hotel tersebut. Kuhempaskan tubuh di kasur tanpa terlebih dulu membuka sepatu serta ganti baju. Mataku nyalang menjelajahi seluruh sudut ruangan kamar Hotel di mana aku telentang di atas kasur yang empuk. Baru dua menit kemudian aku bangkit berjalan menuju bar kecil yang berada di sudut kamar. Aku memilih minuman karena di situ tersedia beberapa macam minuman. Saat aku sedang mengaduk cappuccino, telingaku menangkap suara senda gurau yang renyah diselingi suara kecipak air. Kusingkap tirai gorden jendela sedikit. Aku tersenyum melihat sepasang anak manusia sedang berkejaran sambil berenang. Kutaruh cangkir yang berisi cappuccino hangat di meja dekat bar kecil tadi dan kain gorden kusingkap semua. Aku duduk menikmati cappuccino sambil mempelajari makalah yang aku bawa. Aku bersyukur karena tulisanku menembus kesasaran. Hal itu sangat membuatku bahagia. Bagaimapun awalnya tulisanku yang bernada keras agak membuatku kuatir. Namun setelah mengudara di sebuah Radio di daerah Kendari. Ada sebuah lembaga di Jakarta yang mendengar lalu mencariku dan mengundangku untuk menjadi pembicara pada seminar yang dia adakan. Dan malam nanti seminar itu akan dilaksanakan di Hotel Bidakara. Hemmmhhh.. aku sudah siap. Bisikku. Suara dering telpon genggam ku berbunyi nyaring. Ternyata teman wartawan yang akan meliput untuk di muat di media luar negeri yaitu Hongkong mencariku. Tadi aku sudah pesan pada recepsionis kalau ada yang nyari aku bernama Eko harap dikasih petunjuk ruang seminar. Karena dia seorang wartawan yang aku bawa. Maka dengan senang hati gadis yang menjadi recepsionis mengiyakan. Bagaimanapun dia 39

senang karena nama Hotelnya juga kebawa ke Hongkong masuk berita liputan. Maka kini aku suruh saja mas Eko menuju ruang Rama. Di mana seminar nanti malam jam tujuh akan di selenggarakan. Aku menengok jam yang melingkar di pergelangan tangan, baru jam lima tiga puluh, berarti aku masih bisa tiduran di kasurku. Dering telpon membangunkanku. Saat kuangkat ternyata yang menelpon adalah recepsionis. Mbak Moni, makan malam telah tersedia di dekat ruang rama. Mbak di tunggu teman-teman anda. Kata recepsionis sopan dan merdu. Iya baik. Saya segera turun ke sana. Jawabku sambil bangun dari tiduran dan bergerak ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhku yang ternyata cukup penat. Maka kubuka air dengan menyetel agak panas hingga perasaan segar kembali. Kusamperin kamar managerku lalu turun bareng ke lantai dasar. Baru masuk lift ada sms masuk. Ternyata dari panitia. Mbak Moni, makan malam sudah tersedia di lantai dasar dekat ruang rama. Di tunggu ya?! Terima kasih. Lagi-lagi aku bikin cemas orang. Gumamku. Terlihat managerku tersenyum tanpa komentar. Apa aku bergerak lambat? Atau itu kewajiban panitia untuk selalu mengingatkan? Pikirku. Tiba di ruang makan, aku disambut teman-teman. Ternyata semua tamu undangan sudah berkumpul di situ dan semua panitia sudah pula selesai makan. Pantas mereka kuatir aku tidak turun . Pikirku. Jam tujuh tepat. Acara seminar di buka. Di awali dengan penampilan Agus PM Toh. Seorang ahli cerita dari Aceh. Berikutnya tampilnya group teatre yang akan membawakan cerita (performance). Aku berdebar karena hasil pemikiranku akan dibawakan oleh mereka sekarang. Aku berdoa semoga penampilan mereka memuaskan. Terlihat banyak pengunjung terpana dan meng angguk-anggukan kepalanya. Akupun puas. Aku jadi grogi saat namaku di panggil untuk tampil dan duduk di kursi pembicara yang sudah di sediakan. Setelah menyalami sang moderator yang ternyata seorang artis terkenal itu, aku duduk di sebelahnya. Tidak tahu kenapa, serta merta hilang sikap grogi yang tadi sempat hinggap di hatiku. Syukurnya seminar berjalan lancar dan seru. Si oneng sang moderator cantik tampil membacakan puisinya yang memukau. Tiba giliranku untuk tampil membacakan puisi karyaku pula. Aku serukan semua suara hati melalui

40

puisiku yang telah di sebar ke semua pengunjung. Aku puas melihat mereka puas mendengar aku baca puisi. Setelah menanda tangani deklarasi kain putih, aku kembali ke kamar hotel. Di luar pintu banyak wartawan mencegatku untuk sekedar wawancara. Ada juga dari radio. Aku puas melihat semua puas pula mendapat jawaban apa yang mereka pertanyakan padaku. Ku hempaskan tubuhku dan kubiarkan dingin Air Conditioner ruangan menggigiti tubuhku hingga perasaan capek hilang, baru aku bergerak ke kamar mandi. Semalaman aku bincang-bincang dengan managerku tentang acara sore tadi. Aku dan dia sangat bahagia bias menyelesaikan satu tugas hari ini. Besok pagi masih ada satu tugas lagi menanti. Aku berangkat tidur jam sebelas malam dan langsung pulas tidur tanpa mimpi. Jam tujuh pagi aku beranjak ganti baju lalu menelpon teman-teman Komunitas untuk menanyakan apakah mereka semua telah berkumpul di bundaran HI. Setelah mendapat kepastian katanya jam delapan baru kumpul aku sempatkan sarapan pagi dulu. Aku mengunci pintu kamar bernomor T.407. lalu mengahampiri managerku untuk kuajak makan pagi bersama di restoran kenanga. Sambil mengobrol dengan managerku aku perhatikan kerapian pakaian pelayan restoran yang semua berseragam kemeja putih ber rompi warna hijau dan bercelana biru. Meja depanku penuh hidangan yang managerku ambilkan. Terlalu banyak batinku. Sarapan pagi dengan salad dan roti panggang. Segelas kopi tak bisa aku tinggalkan. Itu menu utamaku setiap hari. Rupanya managerku sudah paham hal itu. Akupun mengucap terima kasih padanya. Setelah semalam aku dan si Oneng serta si Perahu Retak. Ber interaktip. Kini bersama pula merayap menyusuri jalan dari bundaran HI menuju Istana Merdeka untuk menyerukan satu suara. Bersama ratusan bahkan ribuan orang yang berkumpul di pelataran Tugu Monas. Aku tampil membaca satu puisi karyaku. Di situ aku merasa terharu atas kekompakan masyarakat DKI Jakarta yang datang berkumpul di bawah Tugu Monas. Mereka sengaja datang untuk ikut serta berpartisipasi berdoa bersama. Dalam rangka Istighotsah Qubro bersama ratusan bahkan ribuan orang guna mendoakan para pekerja rumah tangga (Buruh Migrant) di luar negeri. Agar selamat dari gangguan orang luar maupun gangguan orang Indonesia sendiri di Bandara terminal tiga Soekarno Hatta. Saat itu aku sangat terharu sampai menitikkan air mata 41

atas kekompakan mereka semua mendoakan teman-teman seperjuanganku di luar negeri. Peserta istighotsah kubro saat itu yang kebanyakan ibu-ibu, ingin tahu bagaimana prosesnya sampai aku bisa seperti saat ini berdiri di panggung kehormatan. Bahkan dengan begitu percaya diri mampu memukau pendengar dengan puisinya yang menghentak. Bagiku hari itu adalah prasasti kebangkitan buruh migrant dari sikap sinis dan pelecehan. Aku berani bertaruh di saksikan Tugu Monas yang berdiri dengan gagahnya di belakang panggung yang ku pakai untuk menyuarakan suara hati melalui sebuah puisi. Dan ribuan merpati yang terbang lalu lalang memandangku begitu riang, seolah mengucap salam merdeka buruh migrant. Juga ratusan polisi yang menjadi pagar betis di depan Istana merdeka yang memandangku dengan sejuta tanya. Aku adalah aku yang tidak peduli semua pertanyaan mereka siapa aku. Yang pasti aku ingin mewakili teman seperjuangan agar nasibnya di perjuangkan di tanah air sendiri. Aku ingin mereka sejahtera bekerja di negara tetangga tanpa kuatir dan harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah yang sedang berkuasa. Hingga jangan sampai pemerintah hanya menghitung nominal yang masuk Negara dari para pejuang devisa. Semoga karya dan prakaryaku akan selalu mendapatkan ridho-NYA.

@ Istana Rumbia, 01 Maret 2007

42

Embun Pagi di Hong Kong

Priiiiit..priiiiiiiitttpriiiiiiiiiitttt.!!! Wanita itu tidak menghiraukan seruan peluit yang ditiup oleh petugas untuk menghentikan langkahnya. Dia berlari dan berlari terus. Sambil satu tangannya memegang ujung gaun yang dipakainya, disingkapkan ke atas sebatas lututnya. Dia berlari terus dari pagi, siang dan malam, Tak henti berlari melewati jurang, ngarai , jalan raya maupun hiruk pikuk pasar di dalam maupun di luar negeri. Terus saja berlari tak sudi sedikitpun menengok ke belakang tubuhnya. Wanita usia tiga puluh lima tahunan itu terus berlari menatap mantap ke depan tak peduli orang mencibir, mencemooh dan berbisik-bisik keheranan melihat dirinya berlari tanpa menengok kanan dan kiri. Seluruh jalan di jagat raya ini dianggap miliknya. Tak heran banyak manusia sekelilingnya yang memaki dan mengumpat kelakuannya yang berlari-lari di keramaian kota, kecamatan, kabupaten, ibukota, menyeberang lautan hingga ke luar negeri. Wanita itu terus berlari. Orang bertanya, Kenapa kamu terus berlari ? Apa yang kamu cari ? Wanita itu tak berhenti untuk menjawab sambil tetap berlari dia menjawab, Aku mencari setetes embun pagi. Gila. Rutuk seseorang di sebelahnya mendengar wanita itu berlarian mencari setetes embun pagi. Mana ada embun pagi di siang hari bolong begini. Pasti wanita itu telah gila, pikirnya. Ratusan orang bengong melompong melihat dan mendengar ada wanita yang berlari sambil menyingsingkan gaun bawahnya hingga tersingkap sebatas lututnya. Seorang ibu penjaja warung di pinggir jalan bertanya pada pembantunya. Nem, wanita gila itu berlari mengejar apa? Kok dari kemaren aku melihatnya berlari terus tak pernah sekalipun berhenti? Apa dia robot yang tak punya rasa capek?" Inem menjawab, saya tadi bertanya padanya tapi dia tak mau menjawab. Dia hanya melirik dan telunjuknya teracung ke langit, entah apa maksudnya. Udahlah bu, jangan dipikirin nanti kita ikut jadi gila karenanya.

43

Pagi, siang, hingga sore wanita itu terus saja berlari bahkan perempatan lampu merah diterjangnya hingga berkali-kali pak polisi meniup peluit untuk menghentikannya. Namun wanita itu tak gentar dan terus berlari membuat pak polisi mengejar dengan motornya dan sekali lagi meniup peluitnya. Priiiiit.priiiiit..!! "Berhenti kau wanita. Ini di Hongkong. Kamu tak boleh sembarangan berlari. Nanti menabrak orang lain, seru pak polisi itu. Wanita itu tak menggubrisnya terus berlari sambil sesekali satu tangannya melepaskan gaun dan kedua tangannya menengadah ke langit sambil tetap berlari. Tak ampun dia keserimpet gaunnya sendiri hingga jatuh tersungkur di depan Hongkong Bank. Wanita itu nanar sebentar lalu lari lagi, matanya nyalang, bibirnya pecah tergigit. Hidungnya bengkak karena keseringan membuang ingus sambil berlari. Telinganya memanjang dan menebal bagai telinga gajah yang begitu kebal terhadap suara-suara di sekitarnya. Tak ada kerjaan lain selain berlari dan berlari. Sore hari terlihat wanita itu berdiri sebentar di bawah pohon ek. Dia mengoyanggoyang pohon ek tersebut sambil membuka kancing blouse-nya yang paling atas. Tapi tiada apapun terjatuh dari pohon ek itu yang masuk ke dalam blouse-nya. Wanita itu kecewa serta menendang pohon itu lalu berlari lagi. Wanita itu menyesal telah berhenti tadi. Kini dia mendaki bukit di sekitar Aviary Pagoda Yuen long, Hongkong. Orang-orang heran dan berbisik. Tumben wanita itu bisa berhenti. Terlihat wanita itu berjongkok di sekitar rumpun keladi. Dia mencaricari sesuatu di atas daun keladi. Dengan selembar tisyu diusapnya setiap permukaan daun keladi. Wanita itu sering menggeleng dan menekan dadanya yang terlihat begitu nyeri. Wanita itu marah pada daun keladi yang selalu menggeleng bila ditanyai. Dengan pisau dapur yang berkilat tergenggam di tangannya wanita itu membabat habis rumpun keladi di sekitar dia berdiri. Wanita itu berlari lagi setengah putus asa. Kini terlukis senyuman berbisa di bibirnya dan melempar lirikan genit pada pendatang laki-laki lain negeri. Satu, dua tiga laki-laki terhipnotis lirikan wanita yang sedang dan terus berlari itu. Para laki-laki lain negeri terus mengikuti kemana wanita itu berlari. Salah satunya adalah seorang Babah yang sok bisa berbahasa Indonesia menegurnya. Hayy yaaaaaaa, Kowe kenapa telus belalii. Kowe Ayu .

44

Belenti di sini menjadi isteliiii. Hayyaaaaa. Wanita yang sedang berlari mengerem langkahnya secara mendadak hingga gaunnya terlepas dari pegangan tangannya. Dia begitu kaget mendengar seruan dari Babah tadi yang menawarkan dirinya untuk jadi istri. Sementara beberapa laki-laki lain negeri yang mengikutinya tadi tidak tahu bahasa yang mereka gunakan hingga terus saja mengejar wanita itu. Hal ini membuat wanita tersebut menabrak Babah lalu oleng dan jatuh tersungkur di hadapan Babah itu. Mungkin karena wanita itu sudah capek berlarian sepanjang masa maka kakinya setengah lumpuh kala mendengar kata-kata Babah tadi. Dengan limbung wanita itu terjatuh tepat di pelukan si Babah yang sok bisa berbahasa Indonesia. Hayyaaa..Ini jodoh. Kowe sekalang jatuh dalam pelukanku.Itu peltanda kowe calon isteli.Hayyaaaa Wanita tersebut pingsan di hadapan beberapa laki-laki yang berusaha menggapai tubuhnya tapi dengan sigap si Babah membopong tubuhnya untuk dibawa masuk ke dalam rumah dan berusaha menyadarkan dia dari pingsannya. Wanita itu sadar dari pingsannya dan merasa nyaman terutama kakinya tidak capek lagi tapi dia kaget melihat senyum si Babah yang saat itu sedang duduk di hadapannya sambil melempar semua jerat rayunya. Wanita itu bangun dan tak peduli lagi pada si Babah lalu keluar rumahnya dan lari lagi. Dia berlari ke arah pegunungan yang tampak di kejauhan dan diikuti oleh suara alam yang berbisik di telinganya. Sebuah bisikan senandung kedamaian yang mampu menghilangkan kekuatiran. Katanya, sebentar lagi akan ketemu apa yang dicari oleh wanita itu selama ini. Sesampainya di atas gunung wanita itu bisa menghentikan langkah larinya bahkan bisa menghentikan gerakan kakinya untuk tidak melangkah lagi. Kini dia melepas penat menghela nafas berat bercurah kesah dengan alam sekitarnya sambil duduk bersemedi dan tak bergerak bagaikan telah mati. Kala fajar menyingsing di ufuk timur pagi hari. Wanita itu terjaga karena kini dia bisa membedakan suara, membedakan warna, bau dan rasa. Matanya bisa melihat, telinganya bisa mendengar desau angin yang berbisik merdu padanya. Tanpa dicari dan disadari, kini di depan matanya, dia melihat sekumpulan tetes embun di pagi hari.

45

Saat itulah terdengar saluran air meratap bagai seorang ibu kehilangan anaknya. Wanita itu bergerak melangkah perlahan. Alam mengulurkan tangan persahabatan dengan keindahannya. Namun sering wanita itu takut akan kesunyiannya dan memilih tempat perlindungan di dalam kota. Berlarian berdesakan satu sama lain bagai kawanan domba di hadapan serigala yang berkeliling mencari mangsa. Suatu tragedi yang bermain di panggung waktu. Dalam kesunyian, wanita itu mendengar suara melayang-layang di sekitar jiwa yang menjerit dalam keputusasaan dan mendendangkan lagu harapan. Wanita itu berhenti lagi untuk bersemedi di atas panggung waktu. Melepas penat dan resah yang menghimpit sambil berusaha melepas serta mengurai benang-benang kusut kehidupan dalam keheningan. Hingga terurai seuntai rantai yang menggabungkan pesona masa lalu dengan kemegahan masa depan, menyatukan keheningan perasaan dan kerinduannya mencabik kerudung rahasia cinta. Wanita itu bisa menangis. Baginya derai air mata yang menyedihkan terasa lebih manis, ketimbang derai tawa kini seseorang telah yang mencarinya jati diri namun lewat untuk hikmah melupakannya. Rupanya ditemukan

ketidakberdayaan-nya dan telah tergenggam asa di tangannya. Wanita itu tidak akan pernah melepaskannya lagi walau apa yang terjadi.

@ Srimpi baru, 26 juli 2006

46

Rembulan di Pucuk Menara


Aku tidak tahu, kenapa malam ini perasaanku tidak enak dan begitu aneh saat mendengar seruan azan dari masjid di desaku. Dadaku terasa begitu sakit, bagai dipukul dengan palu godam. Berdegub begitu cepat, seolah aku sedang diburu sesuatu. Biasanya tidak begini. Biasanya kalau mendengar seruan azan, perasaan begitu damai dan tenang. Kini perasaanku bagai ditarik begitu kuatnya, entah kekuatan apa? Untuk datang kearah seruan azan itu berkumandang. Setiap hari aku juga sholat berjamaah di masjid tersebut. Namun tidak pernah ada perasaan seperti ini sebelumnya. Segera aku mengambil air wudhu lalu mengenakan mukena bagian atas, seperti biasa kalau aku mau ke masjid. Aku merasa sepertinya sedang ada yang sedang menungguku tapi entah siapa. Atau itu hanya perasaanku saja. Meski terburu-buru tapi langkahku mantap. Aku masih senyum-senyum sambil geleng kepala mengingat saat berbuka puasa tadi. Ada seekor cicak meloncat masuk ke dalam panci panas yang sedang kupakai membuat takjil kolak. Kasihan sekali melihat cicak itu terebus matang hingga aku tidak jadi makan kolak tersebut malam ini. Aku kaget. Karena makin lama langkahku makin ringan. Bahkan melayang beberapa centi di atas jalan beraspal. Mukena berenda biru yang kupakai tersebut, mengembang bagai layar perahu. Takjub aku melihatnya karena kakiku tidak menginjak tanah lagi. Kutengok kanan dan kiriku. Sepi, lengang. Tidak ada orang lain yang melewati jalan ini. Jarak dari rumahku ke masjid memang cukup jauh. Keluar, masuk gang jalannya berkelok-kelok. Tapi anehnya dorongan angin yang mengembangkan layar mukena yang kupakai tidak berubah dan terus mendorongku ke depan. Mukena berenda biru yang kupakai melambai-lambai indah sekali. Aku tersenyum lebar kala mendongak. Aku mendapat sapa dari rembulan di pucuk menara. Ia begitu elok. Bangunan masjid sudah tampak di kejauhan.

47

Pandanganku yang tadi bersapa dengan rembulan, kini menurun ka arah atap bangunan dan menurun lagi ke pelataran masjid. Aku terkejut. Saat ada seseorang menyapaku. Padahal dari tadi tidak ada siapa pun di sekitarku. Aneh. Mukena yang ku pakai yang sedari tadi berkibar-kibar, mendadak berhenti. Langkahku pun jadi seperti biasa dan menapak jalan beraspal lagi. Kakek itu memandangiku sambil tersenyum. Dia dengan santai duduk di atas sedel sepeda tuanya yang disandarkan pada tiang menara bagian bawah. Kakek itu memakai sarung putih kotak-kotak, sorban putih, dan baju koko juga berwarna putih. Kakek itu usianya sudah sangat tua, tapi begitu cakap dan bersinar wibawa. Aku tergagap menjawab salam darinya. Aku mendongak lagi memandang rembulan mencari jawab di antara tanya tapi tak ada jawab di sana. Kuteruskan langkah untuk menaiki tangga masjid yang menghubungkan dengan pintu masjid. Selesai sholat tahiyatal masjid, dudukku menggeser mendekati mereka para jamaah yang lain. Meski masih kepikiran sosok kakek tadi, namun aku berusaha melupakan. Mungkin orang lewat dari lain daerah pikirku. Usai sholat tarawih, aku pakai kembali sandalku yang berada di pelataran masjid dengan tenang. Mukena berenda biru bagian atas masih kupakai. Karena itu kebiasaanku setiap dating ke masjid. Sedang mukena bagian bawah, kulipat rapi bersama sajadah berwarna kuning yang ku sampirkan di lengan kiriku. Begitu keluar dari tangga masjid. Angin bertiup begitu kencang dan mukena yang kupakai kembali berkibar-kibar bagai layer terkembang. Dorongan angin yang mengembangkan mukena kembali mengangkat tubuhku beberapa centi dari tanah. Kakiku tidak lagi menginjak tanah, sama seperti saat berangkat. Kedua kakiku tetap melangkah namun aku tidak merasa jejakan kakiku pada tanah. Kudengar celoteh anak-anak yang tadi ikut sholat tarawih berjamaah. Ternyata mereka tertinggal begitu jauh dariku. Mungkin jalanku yang begitu cepat pikirku. Padahal tidak ada yang perlu di buru-buru, toh aku hidup seorang diri di rumah kontrakan ini. Juga tidak ada pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan malam ini. Namun kaki ini tidak bisa dihentikan. Mukena yang terkembang melambai-lambai dengan indahnya. Membawa kebahagiaan di hatiku yang susah di gambarkan dengan kata-kata. Seolah ia sedang bercerita tentang surga. Mukena berenda biru itu seolah tahu, apa yang sedang aku pikirkan dan apa yang ku inginkan. Ia melambai, menari-nari di depan mataku. Aku 48

menikmati tariannya yang menyentuh-nyentuh tubuhku dengan gemulai bagai tarian selendang yang di pegang oleh seorang puteri dari kahyangan. Aku tersenyum takjub dan bahagia sambil terus malangkah untuk pulang. Tiba-tiba tarian mukenaku berhenti mendadak. Setelah kulihat seseorang di depan rumahku sana. Ternyata dia adalah kakek yang ketemu saat berangkat tadi sedang bersandar di menara masjid. Kini dia sedang memandangiku sambil tersenyum. Dia juga masih duduk di atas sedel sepeda tuanya yang dia sandarkan pada pintu gerbang rumah yang ku tinggali. Dia hanya mengangguk saja tanpa menyapa. Dalam hati aku bertanya siapakan gerangan kakek ini? Kok tahu kalau ini rumah yang kutinggali? Atau dia sengaja menungguku?terus mau apa dia? Setelah gagap sebentar. Aku membalas anggukannya dan meneruskan langkah memasuki pintu gerbang bercat hijau rumahku. Mukena berenda biru tidak lagi berkibar. Ia diam menempel di tubuhku seolah selesai sudah tugasnya hari ini. Kulepas mukena berenda biru itu dan ku pandangi berlama-lama. Lalu kulipat rapi. Aku merasa sepertinya baru saja mendapat spirit ajaib. Hingga langkahku dan semua gerakku terasa ringan tanpa beban. Malah aku bisa bersenandung untuk menemani diri sendiri malam ini. Sholallohu alla yasiin Ahmadal hadhil amiin Waallihill muqorrobiin Washohbihi wattabiin. @ Istana Rumbia, 7 Oktober 2006

49

Jendela Kehidupan
Rumah itu. Sebenarnya bila dipandang sekilas sama sekali tidak ada sesuatu pun yang menarik. Rumah kecil milik Lek Hadi tersebut bagian bawahnya dibeton tanggung, tanggung di sini karena batu batanya masih mentah dan terlihat menonjol di sana-sini tanpa diplester pakai semen. Pagarnya terbuat dari papan kusam karena usia rumah itu memang sudah tua. Jendelanya bergerigi di sana sini dimakan rayap. Bahkan kaca tipis yang ada di tengah-tengah jendela itu nyaris copot dari tempatnya karena bingkainya sangat rapuh. Atapnya, usuk penyangga genting sudah pada reyot di sana sini pula. Sering aku memandangi genting yang nyaris pada jatuh dari tempat penyangganya dengan prihatin namun aku tidak keluar kata pada Lek Hadi. Diantara bagian-bagian rumah Lek Hadi tersebut. Ada satu bagian yang sangat menarik hatiku. Yaitu jendela kayu. Ya. Jendela berdaun kayu itu bisa kusebut jendela kehidupan. Betapa indahnya sebutan itu. Namun menurutku itu pas dengan kenyataan yang ada. Rumah yang reyot begitu bisa mempunyai jendela kehidupan. Namun hanya aku yang bisa melihat dengan mata hatiku. Tujuh tahun yang lalu, Lek Hadi adalah musuhku. Aku benar-benar menganggapnya musuh. Karena dia telah menipu Ibu dan Bapakku. Saat itu orang tuaku masih segar bugar. Bapak bilang padaku kalau tahun depan mau menunaikan ibadah haji. Aku tentu senang. Apalagi aku saat itu masih menjadi perantau di luar negeri. Maka dengan senang hati aku berjanji pada diri sendiri kalau tiba waktunya nanti. Aku akan ikut membantu orang tua memberinya uang untuk menambah ongkos naik haji. Tunggu punya tunggu, tak ada berita lebih lanjut tentang keberangkatan Bapak dan Ibuku ke Makkah. Hingga dua tahun berlalu tak ada berita tentang itu. Aku mencari berita melalui surat, dijawab oleh kakakku kalau tak ada berita apa-apa. Aku tidak puas karena beberapa waktu lalu Ibuku begitu gembira memberi tahu kalau

50

tahun depan mau menunaikan ibadah haji berarti dua bulan lagi waktunya akan tiba. Maka aku menyempatkan menelpon ke rumah iparku dan mencari kabar. Terkejut aku mendengar kalau tanah yang di gadang-gadang mau di jual oleh orang tuaku untuk biaya naik haji tersebut, ternyata di pinjam oleh Lek Hadi. Dengan janji, orang tuaku mau di ganti ongkos naik haji tahun berikutnya untuk dua orang penuh. Bapakku yang pada dasarnya orangnya baik hati dan jauh dari suudhon. Di kasihkan saja tanah itu untuk dipinjam Lek Hadi yang konon akan dipakai biaya keberangkatan menantu dan anaknya merantau ke Taiwan. Namun apa yang terjadi? Setahun, dua tahun, tiga tahu, Lek Hadi belum ada niat mengembalikan uang tanah, bahkan janji yang dulu kalau ditanyakan selalu berkelit. Ibuku jatuh sakit terserang stroke, karena terlalu banyak mikir dan selalu bersedih. Bapakku tidak berdaya untuk menagih kembali uang yang dipinjam Lek Hadi. Betapa geram aku mendengar dari kejauhan tentang hal itu. Tapi aku juga tak berdaya untuk membantu kedua orang tuaku karena bebanku juga sangat berat dengan menghidupi enam orang anak seorang diri. Ternyata semua saudaraku mulai beraksi. Rupanya mereka tidak terima kedua orang tuanya diperlakukan begitu. Betapa mengenaskan niat baik orang tuanya di siasiakan oleh Lek Hadi. Maka mereka sepakat mengambil alih rumah milik menantunya Lek Hadi yang berada di sebelah rumah Lek Hadi untuk pengganti tanah yang dulu di jual oleh Lek Hadi. Baru satu hari aku di rumah setelah kepulanganku dari luar negeri. Aku di keroyok keluargaku dengan maksud, agar aku mau membayar rumah yang mereka sita dari Lek Hadi. Aku tidak mau. Aku tak bisa hidup di desaku alasanku dengan penuh kesombongan yang tertular dari luar negeri. Namun tetangga kanan dan kiriku pada ikut mendorongku agar mau membayarnya. Mereka bilang, rumah itu kalau kamu tidak suka ya buat anakmu kelak. Maka aku mau mengganti dengan uangku. Resmilah rumah milik menantu Lek Hadi menjadi milikku. Meskipun rumah itu bentuknya masih sangat memprihatinkan. Bata merah yang di pakai bukanlah berwarna merah. Tapi putih dan masih mentah. Jendela masih belum satupun berdaun jendela. Genting penuh sarang labalaba. Tapi aku berusaha mencintainya karena inilah milikku sekarang. Dengan uang 51

yang masih tersisa. Aku berusaha membangun rumah itu hingga berbentuk rumah walau belum cukup uang buat menutup atap dengan plafon. Aku terbang lagi ke luar negeri cari modal. Di situlah kebencianku pada Lek Hadi makin menumpuk. Karena setiap hari, Lek Hadi putri selalu menakut-nakuti anak-anakku, katanya di rumah itu ada hantunya. Ada demitnya dan sebagainya. Akhirnya anakkku minta pindah dan bersatu lagi dengan nenek yang tinggalnya tidak begitu jauh dari rumah tersebut. Keluargaku tahu itu akal Lek hadi untuk mengusir anak-anakku dari rumah itu karena cemburu sosial. Maka tidak patah semangat mereka menasihati empat anakku untuk tetap memakai rumah itu. Katanya kalau tidak mau menmpatinya, nanti Lek Hadi akan tertawa kegirangan dan bertepuk tangan penuh kemenangan. Akupun sering menelpon mereka memberi semangat agar jangan patah arang dan jangan takut apa-apa. Takutlah pada Tuhan saja nasihatku. Seyukurlah anakku mendengar nasehatku. Lama kelamaan mereka betah di rumah. Dua tahun berlalu. Akupun pulang kembali dan menetap di rumah. Setahun pertama. Aku bagai hidup di kancah perang. Dinding rumahku sering dicoret dengan makian. Aku hapus tapi esoknya dicoret lagi. Begitu seterusnya. Aku punya tetangga yaitu Lek Hadi. Namun tak pernah bertegur sapa apalagi main kerumahnya atau dia kerumahku layaknya tetangga lain. Lek Hadi kakung, putri, bahkan anaknya yang menetap di Jakarta, begitu benci melihat aku menetap di rumah. Tiba saatnya aku tak tahan dengan semuanya. Aku melihat anak perempuan Lek hadi pulang. Dia dulu punya hutang denganku satu juta rupiah. Maka kini kesempatanku untuk menagih kembali uang yang dia pinjam enam tahun lalu. Tak tahunya bukan uang yang kudapat. Tapi kericuhan, perang mulut tak terhindarkan. bahkan nyaris gontok-gontokan. Terjadi tarik pendapat bagai terkena perangkap setan. Karena tak bisa di damaikan dengan kata-kataku akhirnya aku mengundang perangkat desa dan kakak-kakakku kupanggil semua untuk meluruskan semua masalah yang sebagian aku tidak tahu menahu. Sejah hari itu. Luruslah semua. Dan aku punya tetangga yaitu Lek hadi. Kini aku bahkan menganggapnya sebagai pengganti orang tuaku yang telah tiada. Kalau aku ada makanan, aku kirim sepiring buat mereka berdua. Begitupun kalau Lek hadi punya makanan dia akan datang dengan tangan membawa piring berisi makanan buat anakku.

52

Aku jadi sering duduk di dekat jendela kayu milik Lek Hadi. Aku merasa ada sesuatu yang menarik di jendela itu. Bila aku menatap lurus keluar jendela, aku bisa melihat anakku yang datang lari-larian menenteng kail dan ikan hasil kailannya di kali sebelah desa di tas kresek, juga jamur rembulan besar yang ia dapat di kebun. Fani memandangku dengan tersenyum dari jarak lima puluh meter. Dia tahu aku duduk di depan jendela Lek Hadi. Fani akan mendekat dan menyerahkan hasil burunanya hari itu dengan bangga. Bu aku dapat ini semua Besar amat jamurnya dapat dari mana? Dari kebun tetangga Lumayan gak usah belanja kita masak jamur dan goreng ikan ini nanti Jamurnya di sayur aja ya Bu? Iya. Dsitu juga aku tahu siapa yang naik ojek dari dan ke luar desaku. Kini rumah reyot Lek Hadi tidak lagi sepi. Saat pilihan kepala daerah, rumah ini jadi basis orangorang tua yang mendukung jago nya. Kalau melihat orang ramai bercerita dari dalam rumah Lek Hadi, aku melongokkan kepalaku lewat jendela kayu itu. Sekedar ingin tahu siapa saja yang berada di dalam. Di depan jendela kayu itu di taruh satu resband atau kursi kayu panjang bobrok. Yang masih bisa buat duduk-duduk cari udara luar. Dari situ aku bisa melihat puncak bukit atas desaku yang melambai seolah mengajakku untuk tetap berkarya. Aku bisa melihat angin ribut di bukit sana dengan melihat liukan-liukan pohon yang tak berirama. Maka aku tahu kalau sebentar lagi hujan akan turun. Aku bisa melihat kehidupanku masa kecil dari jendela kayu Lek Hadi. Karena di usia tujuh tahun aku hidup di bukit sana membantu Ibuku berjualan gorengan. Saat ini. Aku sedang menghitung buah pisang yang baru muncul dari jantungnya. Aku senang duduk di sini. Setiap hari aku bisa meneliti apa saja dari sini. Kemarin aku melihat bebek tetangga sekarat terserang flu burung. Dan tempo hari aku melihat dari sini di resband bobrok ini, anakku si Alfin terjatuh dari sepedanya dan kecebur kolam ikan milik tetangga. Aku bisa segera berlari menolongnya dan membawa Alfin anakku pulang meski badan penuh lumpur. Aku sendiri punya banyak sekali jendela di rumahku. Tapi tak satupun yang bisa membangkitkan kenangan seperti jendela kayu milik Lek Hadi ini. Hanya satu 53

yang aku tidak suka bila duduk di depan jendela ini. Yaitu. Setiap sudah ada satu orang duduk di sini, akan muncul orang lain dan lainnya yang kesemuanya perempuan. Aku tak suka rumpiannya. Walau tadinya yang di bicarakan soal beras yang mahal. Namun lama kelamaan ngomongin tetangga bahkan ngomongin pak lurah yang suka korupsi dan si A yang suka mencuri. Juga si B yang membiarkan anaknya tumbuh liar dan masih banyak lagi. Aku lebih suka duduk sendirian di depan jendela ini sambil mengenang masamasa indah bersama kedua orang tua. Dan lebih suka melihat kehidupan kemana mataku menandang di sana aku melihat kehidupan, karena kulihat gerak dedaunan oleh tiupan angin perlahan. Kulihat kehidupan di pucuk-pucuk pohon karena selalu ada daun hijau yang baru tumbuh di sana. Aku selalu menanti pulangnya anakku dari sekoalahannya. Kadang dia pulang sekolah belepotan lumpur. Katanya tadi terpeleset jatuh di jalan. Kadang pulang sambil menenteng sepatunya. Katanya tadi habis main sepak bola maka sepatunya di copot karena lebih suka main pakai kaki telanjang. Lek Hadi kakung orangnya kalau bicara keras sekali. Jadi kalau yang belum tahu akan mengira mereka sedang berantem. Lek Hadi putri orangnya pendek, tubuhnya bulat gemuk. Hoby beratnya ngerumpi dan bicaranya banyak. Apa saja bisa jadi bahan pembicaraan. Kadang Lek putri mencariku ke dalam rumahku kalau beberapa hari aku tidak nongol dan duduk di depan jendelanya. Aku bilang sedang sibuk. Padahal aku menghindari ngumpul dengan banyak ibu-ibu yang punya hoby ngerumpiin tetangga. Tak hilang akal, Lek Hadi putri akan bercerita di mana dia ketemu aku di dalam rumahku meskipun tahu aku sedang benar-benar sibuk. Akhirnya aku sempatkan keluar rumah dan duduk di depan jendela kayu Lek Hadi untuk mendengarkan celotehnya sambil mataku memandang kehidupan di kejauhan sana.

@ Istana Rumbia, 11 Maret 2007

54

Bintang Sunyi di Pelataran


Rumahku berada di tengah perkampungan yang penuh sesak dengan perumahan. Jalan masuk ke rumahku hanyalah jalan setapak yang tidak bisa dilewati kendaraan, walau beroda dua sekalipun. Pengap yang sering kurasakan. Maka aku setiap malam menyalakan lampu neon yang sangat terang di samping kanan dan bagian depan rumahku. Selain untuk menerangi jalan, sinar terang tersebut untuk sekedar menghilangkan kesumpekan yang aku rasa. Meski tetangga selalu heran, kok terang amat apa tidak sayang pasang lampu begitu besar watt nya? Aku tidak peduli dengan keheranan mereka. Dengan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket. Aku berjalan santai keluar rumah malam hari. Sunyi. Padahal, waktu baru menunjukan pukul delapan malam. Di luar rumah aku bersapa sejenak dengan bintang-bintang di langit. Sunyi. Lalu aku teruskan langkah ke rumah tetangga karena tadi sudah janjian kalau aku mau datang malam ini. Dua puluh menit kemudian. Aku sudah kembali berdiri di pelataran dengan wajah mendongak berusaha bersapa dengan bintang. Lagi-lagi kesunyian ku dapat. Aku masuk rumah mengambil tikar, koran, dan karpet hijau. Lalu balik lagi mengambil bantal dan selimut. Aku gelar karpet di dasari koran dan tikar. Aku tiduran di pelataran sambil berusaha memahami kesunyian dan bahasa alam. Aku berusaha ramah bertegur sapa dengan bintang gemintang. Aku berusaha memahami bahasa angin yang bertiup menampar wajahku. Bunyi jangkrik sekejab mengerik akhirnya diam tak berkutik. Memandangi sosokku yang membujur kaku di pelataran bagai patung batu. Aku cemas. Begitu cemas saat bintang itu, satu persatu merasa malu dan satu persatu bersembunyi di balik awan. Sendiri lagi, haruskah aku sendiri lagi? Aku tak sanggup wahai bintang sunyi. Munculah. Tampakkan rona ceriamu. Kamu sudah berjanji padaku untuk selalu menemaniku disaat aku sunyi dan sepi. Jangan kau sembunyi lagi. Aku tahu kamu

55

bisa menyingkirkan awan dengan auroramu. Dengan sinar indahmu. Dengan kegagahanmu. Dengan kesaktianmu. Jangan bikin aku cemas begini wahai bintang sunyi tunjukan kesetiaanmu padaku jangan sampai kau di pandang remeh oleh mereka yang tidak mengenalmu. Muncul dan sembunyi, itulah alammu tapi mana mereka mau tahu wahai bintang kesayanganku.Ya. kaulah bintang kejora ku. Aku akan menunggumu sampai batas mana kau setia menemaniku dalam hidupku. Aku bisa tertawa ya karenamu, bisa tersenyum juga karenamu. Ceriamu ceriaku juga. Keberadaanmu menambah semangat hidupku. Tidak tahu kenapa aku gemetar ketakutan di tinggalkan bintang-bintang yang tadi sedang bercanda namun tiba-tiba menghilang di balik awan yang menggoda. Bibirku menggerimit mengucap doa atau mantra agar sang bintang jangan sembunyi di balik awan dan menampakkan dirinya. Terus terang aku takut terkapar di bawahnya sendirian. Dalam lelah aku hampir ketiduran di atas tikar yang ku gelar di pelataran. Mataku menyipit mengerjap, memuntahkan kubangan air di pelupuk mataku, yang tadi menghalangi padanganku untuk tetap mencari bintangku. Hingga mataku lelah jiwaku resah. Kudengar suara burung ketuhu berteriak dari samping rumahku seolah memaki kelamahan dan kekuatiranku. Aku jadi malu, dan pelan-pelan kupejamkan mataku hingga terlena di udara terbuka. Denging suara kepak sayap nyamuk-nyamuk tidak membuatku bergeming. Bisik jangkrik yang tiba-tiba menderik di daun telingaku. Membuat mataku nyalang memandang kembali langit kelabu di atas kepalaku tanpa bintang. Aku tidak bergerak, dan kubiarkan jangkrik itu menjajah dan melecehkanku dengan meloncat seenaknya naik puncak hidungku yang saat itu terasa dingin berembun. Aku terbangun karena kakiku terinjak oleh kakinya orang yang sedang lewat. Dia tidak bersalah menginjakku sekalipun. Karena aku sendiri yang nekad tidur di pelataran yang biasa buat jalan orang banyak. Saat kubuka mata. Terlihat perempuan paroh baya itu sedang termangu dan terheran-heran melihatku tidur di atas karpet di pelataran. Sinar baterei yang ia pegang, sungguh mengangguku, aku merasa terusik saat ia menyoroti wajahku. Aku tidak bicara tapi tanganku menggapainya agar ia matikan saja lampu baterei yang berada di tangannya. Nak?ngapain tidur di sini? akupun tidak menjawab. Namun telunjukku menunjuk sebuah bintang. Ya. Satu-satunya bintang kejora yang sedang memancarkan sinar terangnya. Bintang yang lainnya masih sembunyi di balik awan. 56

Nanda sedang menghitung bintang, atau sedang mengukur ketinggiannya? Iya. Dua-duanya. Tolong jangan ganggu aku? aku sedang memanggil bintang-bintang dengan doa agar sang bintang muncul dengan ceria. Nanda seperti seorang penyair saja. Tahukah Nanda, kalau penyair itu adalah Raja yang tumbang, yang duduk di antara puing-puing tahtanya dan mencoba untuk menciptakan khayalan dari puing-puing tersebut. Raja??? penyair??? mungkin benar, atau malah mungkin aku orang gila. Karena aku sedang berharap pada kemurahan hati seseorang. Meski aku tahu. Bila nasib malang menindihku. Pada tanganku sendiri aku bertumpu. Banyak kabut, penuh kabut. Sadarkah kamu Nak? Bintang menghilang tak tampak Sudahlah kalau mau lewat. Tak usah urusi keberadaanku Ya. Aku terkejut saja. Tadi aku mengira dirimu adalah setumpukan kayu milik tetanggamu. Maka kakiku main injak saja. Maafkan aku. Tak ada yang perlu dimaafkan maka tak perlu minta maaf. Mungkin keberadaanku ini memang pantas untuk di injak-injak. Bahkan kalau kau mengira aku kayu, itu lebih berharga dari pada aku yang sekarang. Seseorang yang menyandang gelar tidak terang, seorang perempuan yang sok kuat, padahal sangat rapuh yang butuh perlindungan, seorang pengemis cinta yang sedang menunggu kepastian tapi entah kapan kepastian itu akan datang dengan menahan seribu satu gejolak di jiwa Masihkah mau menunggu sang bintang? Ya. Akan kutunggu bintang datang membawa sinarnya sampai kapanpun. Karena tanpa sinarnya, hidupku bagai kerakap tumbuh di batu. Mati segan hidup pun aku tak mau. Masih banyak jalan bisa kau pilih. Kenapa tidak ambil jalan yang lain? Jangan cari mati dengan mempertaruhkan cintamu pada bintang sunyi. Lihat?! Dia bukan bintang sunyi lagi. Pandang baik-baik kerlip cahaya yang memancar. Kau tahu? Pancarannya itu? Iya. Dia memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru. Bukan hanya kepadamu Nanda sadarlah itu. Aku melihat dengan mata hatiku kalau dia belum siap memancarkan sinarnya hanya satu tertuju, kepadamu. Belum Nanda belum. Kalau kamu tidak percaya silahkan bertanyalah pada sang bayu. Aku jalan dulu silahkan menikmati kesepianmu. Bedebah!! 57

Ingin kumaki dia, ingin ku damprat dia karena berani menghina bintang kejoraku yang kini sedang bertapa di peraduannya. Kalau dia bukan sama-sama perempuan pasti ku tantang duel pertaruhkan nyawa untuk membela bintang yang ku puja. Tapi apa salahnya kalau aku bertanya pada sang bayu seperti saran perempuan paroh baya tadi. Akupun duduk mencakung berselimut sampai sebahu. Aku tak bisa pejamkan mata lagi. Kusapa hangat salam lembut bayu yang datang mengelus pipiku dan mempermainkan rambutku hingga berkibar-kibar. Kutanyakan padanya. Apa benar kata perempuan tadi kalau bintangku belum siap memancarkan sinarnya untuk melindungiku? Gemerisik daun tebu di samping rumahku menjawab tanyaku, katanya tidak sepenuhnya benar tapi ada benarnya. Akupun bertanya lagi. Mampukah bintangku mencari cara agar bisa tetap menyorotkan sinarnya padaku, selamanya satu dan secepatnya bersatu? Kali ini alam yang menjawabnya dengan mengutus seekor kunang-kunang yang datang lewat depan mataku. Dengan sinar fosfor nya yang berpijar-pijar, dia bisa menjadi penunjuk jalan bagi orang yang tersesat. Aku berusaha mengartikan apa kata alam. Dan hatiku makin terbuka. Kalau aku susah meraih bintang kejora untuk menyinari sepanjang hidupku. Kenapa aku tak berfikir. Anggap saja bintang kejora telah berubah menjadi kunang-kunang yang sedang melintas di depan mata. Ya. Betapa berharganya kunang-kunang bagi manusia yang tersesat digelap malam gulita. Karena dialah satu-satunya sumber cahaya yang ada yang bisa menunjukan ke arah mana jalan menuju haribaannya. Dengan ringan aku lipat rapi tikar, karpet, bantal dan selimutku. Ku angkat semua untuk di bawa kembali masuk ke rumahku. Badai pasti berlalu meski bintang berubah wujud menjadi kunang-kunang. Ya. Kunang-kunang yang lemah tapi aku senang dan aku tenang. Aku akan menunggu selalu kau datang membawa terang cahaya cinta untuk masa depan yang ceria. Bisikku. Ayam jantan berkokok. Aku melirik telpon sellulerku yang tadi ku taruh di meja kamar ku. Ada satu gambar amplop surat di layar monitorku. Aku buka sms itu dan tertulis kata dari cinta. Sayangnikmati hidup indah dengan karyamu. Kabar terbaru, aku sudah mendapatkan surat perlengkapan itu. Tunggu aku, jaga diri dan anak-anak. Aku akan segera datang. Miss u tenan je?! 58

Pagi sekali. Bisikku. Apa yang sedang dia lakukan sepagi ini? Apa seperti aku yang sedang menanti pertemuan itu. Bersatunya kasih di kursi pelaminan. Dia calon suamiku dan calon ayah bagi anak-anakku dari mantan suamiku yang dulu. Kini mataku nyalang tak bisa tidur sama sekali. Hatiku sejuk, sesejuk suasana pagi ini. Aku buka-buka sms yang ia kirimkan yang lalu yang masih ku simpan di outbok handphon ku. Kutemukan satu sms darinya Amare est gaudere felicitate olterius. Itu kata bijak dari seorang filsuf yang bernama Leibniz. Yang kutahu artinya : Mencintai adalah mengupayakan kebahagiaan orang yang di cintainya. Jadi, apalagi yang harus ku ragukan? Kayaknya tak ada kecuali kecemasan, kegagalan untuk bersatu di kursi pelaminan. Untuk itu aku tak sanggup membayangkan. Aku balas sms nya dengan enteng ku ketik kata demi kata dengan hati yang bertaburan bunga-bunga cinta. Bintangku, kunang-kunangku. So many night. I sit by my window waitting for someone to sing me his song. You light up my life.Ill always love you. Kubaca ulang lalu ku sent ke dia yang aku cinta sepenuh jiwa raga. @ Istana Rumbia, 5 Maret 2007

59

Perempuan Pengin Adzan


Berkelebat pisau pemotong daging yang sangat tajam. Namun bukan daging yang di potongnya. Potongan ranting-ranting cemara telah menumpuk di depan kakinya tetapi tangan halus perempuan itu masih terus mengayunkan pisaunya untuk memangkasi ranting cemara agar tumbuhnya tidak terlalu rimbun sehingga mengganggu tumbuhan ubi kayu dan jagung di sekitarnya. Sedang pohon cemara itu masih setinggi tubuhnya yang tinggi semampai. Sesekali perempuan ini berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran di dahi dan lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini nampak agak basah oleh keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah pohon jengkol yang sudah berumur puluhan tahun di ujung lahan. Berbagai nuansa kehidupan lampau berkelebat mengganggu pandangannya. Perempuan ini menggelengkan kepala agak keras, untuk mengusir bayangan itu namun bayangan tersebut tak bisa hilang begitu saja. *** Nis, kamu kok selalu bengong setiap mendengar seruan Adzan? sapa teman sekolahnya. Oh. Tidak kok. Aku sedang mendengarkan seruan Adzan aja Iya. Tapi ya sambil jalan. Masa berhenti begitu terus kapan sampai rumah? Udah keroncongan nih perutku. Latihan pramuka tidak membawa bekal pula, sekarang sudah Adzan ashar belum sampai rumah kata Umi sambil berjalan lambatlambat. Umi, Nissa, Siti dan Sarah masih duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah Maarif di Kecamatan. Sedang jarak dari rumah ke sekolah sejauh empat kilometer selalu ditempuh dengan jalan kaki yang naik turun bukit kecil. Mereka tak pernah mengeluh meski sekolahannya jauh. Nissa adalah anak perempuan satu-satunya dari Pak Wahyudi yang seorang guru mengaji. Pak Wahyudi mempunyai tujuh orang anak dan Nissa anak kelima dari tujuh bersaudara. Nissa anaknya lincah dan cerdas. Di kampungnya terkenal dengan

60

suaranya yang merdu dan pintar melantunkan tilawatil quran. Dia selalu mendapat juara setiap kali diikutsertakan dalam lomba qoriah baik oleh Bapaknya atau di kirim oleh sekolahannya. Namun Nissa seperti menyembunyikan sesuatu di dasar hatinya. Kawan-kawan selalu heran setiap kali ada seruan Adzan pasti apapun gerakannya Nissa akan berhenti sampai Adzan selesai. Di wajahnya selalu tampak binar rindu akan sesuatu, namun tak satu kawanpun yang tahu apa sebenarnya yang Nissa inginkan. Gerakan bola matanya saat mendengar seruan Adzan, begitu ceria dan sebentar kemudian akan redup tampak menyedihkan sekali. Tampak helaan napas panjang mengahiri kebekuannya tadi saat mendengar seruan Adzan. Setiba di rumah. Nissa langsung berlari ke kamarnya dan menutup pintu. Dia membuka buku hariannya yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya selama ini. Dia selalu menuliskan apa yang dia rasa, dia ingin, dan dia harap pada buku harian dan itu sudah berlangsung sejak dia mulai bisa menulis. Kini Nissa membaca ulang apa yang dia tulis saat dirinya masih kelas lima sekolah dasa. Senin.. Kenapa keinginanku untuk mengumandangkan Adzan selalu muncul setiap kali waktu sholat. Aku begitu ingin menyerukan Adzan di masjid. Kenapa? Apa perempuan tak di ijinkan untuk ber Adzan? Aku gelisah sekali. Aku ingin. Aku ingin. Aku ingin Adzan. Kamis... Hari ini aku puas karena aku bisa mngumandangkan Adzan. Tadi Bapak menyuruhku memetik buah jengkol, awalnya aku keberatan dan melamun saat aku sudah di atas pohon jengkol. Tapi tahukan buku?? Saat kesepian di bukit itu aku gunakan untuk melampiaskan apa yang aku inginkan selama ini. Aku mengumandangkan suara Adzan sampai tuntas dan ternyata suaraku bagus. Aku bisa! Aku bisa buku, tahukan? Aku tidak peduli komentar orang yang lewat di bawah bukit itu dan memandangi aku dengan heran. Aku tetap Adzan. Maka kamu lihat kan buku? Kalau saat ini hatiku begini riang... Tangan Nissa maraih pena dan menuliskan keresahan hatinya pada buku harian kesayangannya itu. Sepertinya dia kelupaan akan rasa laparnya. Ah! Haruskan aku sekarang berlari ke pohon jengkol itu? Atau ke bukit alas 61

sana? Saat ini aku sangat ingin mengumandangkan seruan Adzan? Ya allah...apakah salah saat aku lahir? Kenapa aku lahir sebagai perempuan? Aku ingin ganti kelamin tapi caranya bagaimana? Pada siapa aku berbagi ceritaku selain sama kamu buku. Bapakku? Ah aku malu mengatakannya. Pada kakak? adik?ah, hanya kamu yang bisa mendengar semua keluhanku meski kamu tidak pernah bisa menjawab semua pertanyaanku. Yang jelas sampai saat ini aku masih ingin ganti kelamin agar aku bisa mengumandangkan Adzan. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya buku? Nissa menutup buku dan menyimpannya lagi. Baru keluar kamar dan menuju meja makan. Rumah dalam keadaan kosong. Meski keluarganya banyak tapi jam begini mereka pada kemasjid. Dua kakaknya berada di pondok pesantren Di Kediri. Kedua adiknya masih kecil dan sedang main di rumah tetangga. Nissa agak heran melihat belanjaan yang menumpuk sangat banyk tidak seperti biasanya. Ah mungkin bapak mau nyunatin adik. Pikirnya. ***

62

Dakocan
" Halo Non, mau naik ojek gak nih!" seru tukang ojek sambil meleletkan lidahnya melihat body minul yang sexy plus modis " Tidak bang, lagi nunggu Taxi kok!" jawab minul ramah " Dari mana sih Non bawaannya banyak banget?" " Dari Hong kong bang" " Wah ! Hongkong? jadi babu ya?" " Iya bang. babu keren" " Iya juga ya? di sini susah cari duit Non, apalagi sejak BBM naik orang yang naik ojek makin jarang. ????? eh mana ya nona cantik tadi? Minul tidak mendengarkan lagi abang tukang ojek ngomong apa, dia lari menyetop Taxi. minul adalah gadis desa berasal dari leksono, wonosobo sana. dari tadi parkir di depan terminal Jombor setelah salah turun, harusnya dia turun di dalam terminal tapi karena daerah Jombor masih asing baginya maka mendengar kondektur teriak " jombor-jombor" minul langsung saja minta turun. sebenarnya dia mau mampir kerumah temannya dulu di Yogyakarta baru mau pulang kerumahnya di Wonosobo. kini dia kebingungan di depan terminal seorang diri dan dari tadi di godain terus sama tukang ojek yang tampak dekil dan sok akrab. Tidak sampai lima menit naik Taxi, minul telah sampai di depan rumah teman satu desa yang sekarang telah kawin dengan orang Yogjakarta. Minem sang teman saat itu sedang momong anaknya yang mirip dengan tampang boneka mupet yang mulutnya lebar, terbengong melompong melihat siapa yang datang dan turun dari Taxi. Dia memandangi sosok minul dari atas ke bawah dan ke atas lagi hingga minul merasa risih lalu menyapa duluan. " Mbak Minem.....ini aku Minul. Kita kan udah janjian mau ketemu hari ini" " Minul ??? ya ampuuuun!!!! cantik bener kamu Nul" " Mbak Minem bisa aja..." jawab Minul dengan muka semburat merah " Maaaaakkk, maaaaakk!" seru anak kecil yang mirip mupet " Itu siapa mbak? kok lucu sekali" " Ini anaku namanya Dakocan, cakep kan?" jawab Minem bangga

63

" Iyya cakep, cakep sekali" jawab Minul gugup sambil membatin' tampang anak kayak boneka rusak gitu bangga banget ye' " Ayo diminum dulu tehnya" " Makasih mbak Minem, Dik yang cakep, ini mainan buatmu, buatan Hongkong loh!" kata Minul sambil menyerahkan boneka superman yang terbuat dari melamine pada Dakocan " Makacih" jawab anak itu sambil lari keluar pintu dengan gembira mendapat hadiah dari teman ibunya. " Jeduggg!!! gubrrrrraaakkk.!!" si Dakocan kesandung kaki kursi langsung terjerembab dan kepalanya benjol kejedot pintu. " Eh jatuh ya?, sakit tidak?" " Enggak sakit ini" jawabnya santai sambil tangannya mengelus benjolan di dahinya. " bener gak sakit? Tanya Minul heran karena suara jedug tadi begitu keras. Enggak sakit ini. Jawab Daco sambil nyengir. Ya wes, hati-hati kalau main ya? nasihat Minul @ Istana Rumbia, Februari 2008

64

Hantu di Lorong Terminal Tiga


Perhatian! Perhatian! Sebentar lagi pesawat Anda akan mendarat di bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Tetaplah berada di tempat duduk masing-masing. Pasang sabuk pengaman sampai lampu tanda aman dinyalakan. Terima kasih! Suara merdu pramugari menyadarkan aku dari rangkaian lamunan dan bayangan kota Hong Kong dengan segala cerita yang baru aku tinggalkan. Lenyap sudah semua kisah yang tadi menari-nari di benakku. Aku tersenyum mengingat sebentar lagi akan bertemu keluargaku yang telah delapan bulan kutinggalkan. Kupandang sejenak wajah Tuti, teman senasib, yang kebetulan mendapat tempat duduk di sebelahku. Tenang. Wajah itu begitu pasrah. Padahal dia baru tiga bulan ini bekerja ikut majikan dan berakhir dipulangkan tanpa alasan yang jelas. Aku tak bisa setenang dia padahal nasibku hampir sama. Aku pun dipulangkan setelah selesai masa potongan gaji selama tujuh bulan. Kugamit lengannya. Kami jalan berendeng karena bawaan kami hanya tas kecil berisi pakaian yang kami bawa dari rumah. Jadi tidak perlu mengambil bagasi. Setelah melewati pemeriksaan paspor, kami bermaksud keluar mengikuti langkah orang-orang di depanku. Tiba-tiba ada petugas yang mencegat langkah kami. Mbak, TKW ya? Iya, Pak, jawabku. TKI harus lewat sini, Mbak, kata petugas sambil menunjuk lorong kecil di sebelah kirinya. Aku diam saja tapi ternyata Tuti punya keberanian yang tidak kuduga sebelumnya. Maaf, Pak. Saya tidak mau lewat sana. Saya mau langsung pulang saja, kata Tuti mengagetkanku. Ya tidak bisa. Kamu harus ke sana dan menunggu dijemput PT yang memberangkatkanmu, jawab petugas itu. Saya sudah dijemput kakak saya, Pak, jawab Tuti berani. Sudah sana! Jangan bawel. Pak! Kakak saya sudah menunggu di luar situ, Pak, kata Tuti. Masuk sana! Kalau tidak menurut aku jeburkan di kolam nanti.

65

Petugas tersebut membentak dengan kasar pada Tuti yang masih tegar di sisiku. Apa boleh buat kamipun mengikuti petunjuk petugas dan memasuki lorong sempit yang bertuliskan -Jalur Khusus TKI- . Setiba di dalam kami disambut beberapa petugas dengan sok ramah. Tas kami yang kecil mereka raih. Mau dibawakan, katanya. Tentu kami menolak karena ringan dan tak mau merepotkan orang lain. Sini tasnya tak bawakan, mau dibawakan kok tidak boleh, kata petugas di situ. Biar Pak!? Aku bawa sendiri saja. Ringan, kok, jawab Tuti tenang. Udah sini! Ayo jalan. Kok malah bengang bengong! kata salah satu petugas sambil merebut tas milik Tuti hingga sobek. Memang kami masih heran dengan cara para petugas di situ. Bagaimana mungkin mereka tega menaikan barang bawaan para nakerwan (tenaga kerja wanita) dengan main lempar sembarangan hingga sering si pemilik yang sudah berada di atas bus menjerit. Memperingatkan agar hati-hati memperlakukan barang-barang mereka. Tidak hanya itu. Petugas itu tadi memaki Tuti sambil menendang bokongnya. Tuti disuruh cepat-cepat naik ke dalam bus. Aku diam saja melihat semuanya dan tetap bertahan kalau tasku dan tasnya Tuti tak mau dibawakan walau telah robek karena terjadi tarik menarik tadi. Ketika aku dan Tuti baru menempatkan pantat di kursi bus, masuklah dua orang petugas dan salah satu berorasi. Buntut-buntutnya, kami dimintai uang yang katanya ongkos angkat barang. Dengan cara memelas, juga agak mengancam, dia bicara menarik simpati kami yang berjumlah lima belas orang untuk memberi uang lelah pada mereka. Karena tas kubawa sendiri, aku dan Tuti tidak mau memberi uang pada orang itu. Lagi-lagi Tuti yang kena bentak. Kamu lagi. Turun sana kalau tak mau kasih uang, kata orang tersebut. Sungguh dengan terpaksa aku kasihkan uang yang sangat minim di dompetku dan Tuti memberikan uang 20 dollar Hong Kong pada mereka karena dia tak bawa uang dalam bentuk Rupiah. Daripada tidak diantar ke terminal tiga, pikir kami yang saat itu saling pandang dengan seisi bus yang mendadak merasa senasib. Tiba di terminal tiga, beberapa petugas menurunkan barang bawaan kami. Lagi-lagi terdengar beberapa teriakan perempuan meminta agar tasnya biar dibawa sendiri. Namun banyak petugas memaksakan kehendaknya dengan menaikkan tas penumpang ke troli yang ada di tangan mereka. Walau menggerutu mereka biarkan

66

saja tasnya diantar ke dalam. Namun saat pengantar bawaan minta uang jasa, ramai lagi suara pertengkaran kecil antara menolak dan meminta. Nesa, kita bawa sendiri saja tasnya. Biarin deh mereka marah. Aku benerbener tak punya uang kalau diminta lagi nanti. Tuti mengajakku memasuki ruangan yang penuh dengan manusia. Mereka berjubel dan berkelompok. Iya Tik. Aku juga tak punya uang. Tuh di depan masih antri untuk bayar apalagi?!? kataku sambil mengantri juga. Kubuka buku harianku dan aku mengadu. Begini amburadulnya suasana di terminal tiga, bandara kebanggaan kita, Soekarno-Hatta. Senyuman palsu dan tangan terulur memaksa yang menyimpan kegarangannya demi uang berseliweran di terminal tiga. Seolah tak ada kata kompromi bagi para TKI. Memasuki lorong terminal tiga sepertinya kita memasuki lorong waktu yang bisa menembus ke zaman batu. Dimana di situ yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Sebentarsebentar terdengar bentakan demi bentakan. Aku mengadu padamu buku harianku sambil menunggu antrian panjang yang membosankan ini. Harapanku yang tadi begitu besar, entah kenapa, kini menguap begitu saja dan hilang senyum dari wajahku. Aku tak suka sikap mereka yang palsu. Bukan kebaikan yang mereka tawarkan tapi mata mereka selalu tertuju ke kantong kita, para TKI, yang sudah masuk dalam perangkap yang bernama terminal tiga. Kamu jangan bosan ya, buku sahabatku jika aku banyak mengeluh hari ini?!? Terus terang aku kaget melihat sikap mereka. Apa mereka tidak melihat kalau kita ini belum tentu perantau yang sukses. Kita orang gagal. Kau tahu itu kan buku? Kau tahu pula orang Hong Kong malah lebih baik sikapnya pada kita walau telah memutuskan hubungan kerja tapi mereka tak pernah main kasar seperti yang kulihat hari ini. Buku, hantu-hantu di terminal tiga ini semuanya buta. Mereka tak melihat kita ini seorang pejuang devisa. Mereka pikir kita uangnya berlebih. Aku sedih. Dan, aku tahu hanya kamu yang sudah tahu berapa isi kantongku. Ayo maju Nesa, kamu menulis apa to? tanya Tuti melihat aku menulis sambil berdiri mengantri. Setelah beres semua urusan, aku dan Tuti duduk di sudut yang masih kosong. Terlihat wajah-wajah kusut tanpa senyum. Masing-masing kelompok bercerita dengan cara bisik-bisik. Aku menelpon bapakku dan PJTKI yang dulu memberangkatkan aku. Satu jam kemudian utusan dari PJTKI sudah datang menjemputku. Utusan itu bernama Ali. Ali menemui petugas untuk membawaku pulang. Ternyata Ali, utusan dari PJTKI yang menjemputku, ditolak oleh petugas. 67

Alasannya, Ali disangka pacarku. Akupun tak berdaya dan Ali pulang kembali tanpa aku. Aku paksa bapakku untuk menjemput. Bapakku akan datang dari Jawa Tengah dan baru esok pagi bisa datang. Terpaksa aku hanya bisa melihat saat Tuti dijemput pihak PJTKI yang memberangkatkannya. Dalam kesendirian, aku meneliti penampungan sementara yang sumpek dan bau. Penampungan yang dihuni ratusan TKI tanpa toilet. Kok bisa ya? Gudang ini berada di sekitar bandara yang megah. Sungguh keberadaannya bagai bumi dan langit. Lucunya, di situ terpampang spanduk yang intinya memperingatkan agar para TKI jangan sampai kena pemerasan dan lain sebagainya. Tapi, apalah gunanya spanduk-spanduk itu dipasang karena yang baca hanya para TKI. Para hantu yang berseragam petugas itu sendiri mengabaikannya. Malah terkesan semua tindakannya benar belaka. ... Tanda jasa Setangkai bunga ilalang kupersembahkan padamu bila kau bisa menjaga bumi ini agar tetap tersenyum ... Entah kekuatan apa yang menggerakkan pena di tanganku yang saat itu sedang kelelahan. Tanganku kok bisa mencoretkan sebuah puisi, ya?! Mungkin di terminal tiga ini ada jaelangkungnya. Nyatanya, hantu yang berseragam juga berseliweran di sana. Sungguh, terminal tiga Bandara Soekarno-Hatta adalah momok yang mengerikan bagi para pejuang devisa. Buku, aku tak menyangka wajah republik begini rupa. Padahal iklan yang sering kita lihat di televisi Hong Kong sana, katanya, negeri ini gemah ripah loh jinawi. Negeri yang subur makmur dan ramah tamah. Apa yang salah dengan iklan itu? Atau iklan itu hanya untuk orang asing saja. Mungkin iya. Karena orang asing pasti bawa dollar banyak di kantong mereka. Tapi apa iya begitu? Atau karena aku hanya seorang babu yang gagal bekerja di luar negeri hingga mereka begitu kasar pada kami. 68

Buku, aku tak pernah ingin jadi pembesar. Tapi, kalau hanya setangkai bunga ilalang aku bisa persembahkan pada mereka. Mereka jangan hanya menghitung angka nominal yang masuk untuk negara saja tapi berilah pelayanan yang baik. Syukur-syukur yang VIP, ya buku ya!? Apa aku terlalu muluk dengan keinginanku itu, ya? Puas mengadu kututup kembali buku harianku. *** Jam sebelas siang keesokan harinya bapakku datang. Kulihat bapak menggapai-gapai dari luar pagar menyuruh aku keluar. Lalu aku minta izin pada petugas untuk menemui bapak. Tapi aku dibentak dan disuruhnya bapakku masuk. Karena terburu-buru, bapak kelupaan tak membawa kartu identitas maka prosesnya lama sekali. Bapak kena denda enam puluh lima ribu rupiah sebagai pengganti tak membawa kartu tanda penduduk. Sekali lagi mereka menyuruh bapak untuk mendaftar ulang sebanyak dua puluh lima ribu rupiah. Setelah itu kami dilepas keluar dari sarang penyamun. Di luar pagar, bapak erat memelukku. Kulihat air mata mengembang berkaca-kaca. @ Istana Rumbia, Mei 2005

69

Maria Bo Niok.
Lahir 1 Januari 1966 di Wonosobo, Jawa Tengah. Penulis pernah bekerja selama 6 tahun di Hong Kong dan 2 tahun di Taiwan. Buku-buku karya Penulis: buku Geliat Sang Kung Yan (Gama Media, 2007, Yogyakarta), novel Ranting Sakura (P_idea, 2007, Yogyakarta). Karya-karya Penulis lainnya tersebar di surat kabar: Suara Merdeka, Berita Indonesia, Majalah: Ekspresi, Peduli, Kombinasi, Imajio dan beberapa media cetak serta cyber. Profil Penulis pernah diulas di Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, majalah Liberty, tabloid Apa Kabar (disebarkan di Hong Kong) dan media lainnya. Ia mengelola rumah baca Istana Rumbia di dusunnya, mengembangkan kegiatan sastra dan budaya di Wonosobo. Info lainnya di http://boniok.multiply.com. Email: maria_gh69@yahoo.com. Gee Sky! adalah motto kehidupannya. [ ]

Atau ini:

Curiculum Vitae
Name : Siti Mariam Ghozali alias : Maria Bo Niok D.O.B : Wonosobo, 1 Januari 1966 Address : Pasunten 03/02, Lipursari, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah 56362. Mobile phone : 0813-1494-3509 Multiply: http://boniok.multiply.com E-mail: maria_gh69@yahoo.com (Friendster) Hobby : Catur dan olahraga School Education: - SD Lipursari, Wonosobo - MTs Kalibeber, Wonosobo Non-School Education: 70

- Kursus Menjahit (1982) - Kursus Komputer (Computer Courses) at Kowloon, Hong Kong (2001 s.d. 2002) - Chinnese Courses at Abraham College, Hong Kong (2004) - Korean Taekwondo Cheung Do Kwan, Kowloon, Hong Kong (2000 s.d. 2003) Work : - Seller (1983 s.d. 1995) - Take a care of Old Woman at Taiwan 2 Years. - Women Helpers at Hong Kong - 6 Years. - Staff Operasional of Agencies (PJTKI) at Temanggung (2006) - Novelist - Founder of Istana Rumbia Library at Wonosobo, Central of Java. - Member of Terminal Tiga Community at Wonosobo, Central of Java. Activity: - after go back home (since 2005), act to promote about women worker caring at Blitar, Surabaya, D.I.Y., Surakarta, Purwokerto, Cipayung, Jakarta and more city for enlightened to many people about migrant worker life (especially women helper) with articles, books, and speaking in workshop. Publication: -Articles at media: Newsletter: Suara Merdeka, Berita Indonesia (distribute in Hong Kong), Magazine: Ekspresi, Peduli, Combine Resources, Imajio -Books: - Novel Ranting Sakura (P_idea, April, 2007, Yogyakarta) - Geliat Sang Kung Yan (memoir of Migrant Worker) (Gama Media, Juli 2007, Yogyakarta) - Novel "Sakura Mekar di Hati A Hong (in proces) - Novel "Sumi Ryusho: Anak Bakul Areng" - Novellete "Serpihan Cinta" Featuring exposed: -Kompas Newsletter (28/2/2006), features of The Jakarta Post News (28/4/2006), Cempaka Weeks (edition 01/XVII/6, 12/4/2006), Peduli Magazine (May of 2006), Kedaulatan Rakyat Newsletter (June of 2006), The Jawa Post (04/01/ 2007), Suara Merdeka (May of 2007), Liberty Magazine (June of 2007), Tabloid Apa Kabar (July 15, 2007) 71

-Speaking of Multi-Stakeholders Workshop on Indonesian Woman Migrant Workers Hong Kong : September, 28-29, 2007 at Konsulat Jenderal Republic of Indonesian, in Hong Kong. -Fasilitator of Training of Traineer (T.O.T) : "Menguatkan kapasitas TKI" at Purnama Hotel, Cipayung, West of Java, 7 and 8 December 2007.

72

Anda mungkin juga menyukai