Anda di halaman 1dari 6

Perempuan pingin Adzan Berkelebat pisau pemotong daging yang sangat tajam. Namun bukan daging yang di potongnya.

Juga bukan sayuran yang mau di masak yang di rajangnya. Potongan ranting-ranting cemara telah menumpuk di depan kakinya tetapi tangan halus perempuan itu masih terus mengayunkan pisaunya untuk memangkasi ranting cemara agar tumbuhnya tidak terlalu rimbun sehingga mengganggu tumbuhan ubi kayu dan jagung di sekitarnya. Sedang pohon cemara itu masih setinggi tubuhnya yang tinggi semampai. Perempuan ini sedang berkebun seorang diri. Dia bisa menggarap lahan perhutani seluas setengah hektuare. Hampir setiap hari ada saja yang dikerjakan olehnya di lahannya itu. Sesekali perempuan ini berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran di dahi dan lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini nampak agak basah oleh keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah pohon jengkol yang sudah berumur puluhan tahun di ujung lahan. Berbagai nuansa kehidupan lampau berkelebat mengganggu pandangannya. Perempuan ini menggelengkan kepala agak keras, untuk mengusir bayangan itu namun bayangan tersebut tak bisa hilang begitu saja. *** Nis, kamu kok selalu bengong setiap mendengar seruan Adzan? sapa teman sekolahnya. Oh. Tidak kok. Aku sedang mendengarkan seruan Adzan aja Iya. Tapi ya sambil jalan. Masa berhenti begitu terus kapan sampai rumah? Udah keroncongan nih perutku. Latihan pramuka tidak membawa bekal pula, sekarang sudah Adzan ashar belum sampai rumah kata Umi sambil berjalan lambatlambat. Umi, Nissa, Siti dan Sarah masih duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah Maarif di Kecamatan. Sedang jarak dari rumah ke sekolah sejauh empat kilometer selalu ditempuh dengan jalan kaki yang naik turun bukit kecil. Mereka tak pernah mengeluh meski sekolahannya sangat jauh. Nissa adalah anak perempuan satu-satunya dari Pak Wahyudi yang seorang guru mengaji. Pak Wahyudi mempunyai tujuh orang anak dan Nissa anak kelima dari 1

tujuh bersaudara. Nissa anaknya lincah dan cerdas. Di kampungnya terkenal dengan suaranya yang merdu dan pintar melantunkan tilawatil quran. Dia selalu mendapat juara setiap kali diikutsertakan dalam lomba qoriah baik oleh Bapaknya atau di kirim oleh sekolahannya. Namun Nissa seperti menyembunyikan sesuatu di dasar hatinya. Kawan-kawan selalu heran setiap kali ada seruan Adzan pasti apapun gerakannya Nissa akan berhenti sampai Adzan selesai. Di wajahnya selalu tampak binar rindu akan sesuatu, namun tak satu kawanpun yang tahu apa sebenarnya yang Nissa inginkan. Gerakan bola matanya saat mendengar seruan Adzan, begitu ceria dan sebentar kemudian akan redup tampak menyedihkan sekali. Tampak helaan napas panjang mengahiri kebekuannya tadi saat mendengar seruan Adzan. Setiba di rumah. Nissa langsung berlari ke kamarnya dan menutup pintu. Dia membuka buku hariannya yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya selama ini. Dia selalu menuliskan apa yang dia rasa, dia ingin, dan dia harap pada buku harian dan itu sudah berlangsung sejak dia mulai bisa menulis. Kini Nissa membaca ulang apa yang dia tulis saat dirinya masih kelas lima sekolah dasa. Dia memilih bagian yang mempunyai kesamaan perasaan seperti saat ini. Meski tulisan itu sudah lama sekali manun Nessa sering membuka-buka buku hariannya. Padahal itu buku harian yang ke tiga yang Nessa miliki. Senin... Kenapa keinginanku untuk mengumandangkan Adzan selalu muncul setiap kali waktu sholat. Aku begitu ingin menyerukan Adzan di masjid. Kenapa? Apa perempuan tak di ijinkan untuk ber Adzan? Aku gelisah sekali. Aku ingin. Aku ingin. Aku ingin Adzan. Kamis... Hari ini aku puas karena aku bisa mngumandangkan Adzan. Tadi Bapak menyuruhku memetik buah jengkol, awalnya aku keberatan dan melamun saat aku sudah di atas pohon jengkol. Tapi tahukan buku?? Saat kesepian di bukit itu aku gunakan untuk melampiaskan apa yang aku inginkan selama ini. Aku mengumandangkan suara Adzan sampai tuntas dan ternyata suaraku bagus. Aku bisa! Aku bisa buku, tahukan? Aku tidak peduli komentar orang yang lewat di bawah bukit itu dan memandangi aku dengan heran. Mereka mengatakan aku edan. Anak perempuan kok Adzan tapi aku tetap Adzan. Maka kamu lihat kan buku? Kalau saat ini hatiku begini riang... Minggu.. 2

Buku. Kita ketemu lagi.. tahukah kamu? Apa yang kurasakan sekarang? Tadi si Nono baru saja di sunatin. Eh. Aku melihat dia pakai kain sarung yang di kasih Cengkalak dan kemana-mana membawa minyak angin PPO. Aku pingiiiin sekali jadi anak laki-laki dan aku akan minta di sunat sama bapakku biar aku bisa seperti Nono itu. Tapi kamu jangan bilang-bilang bapakku ya buku. Aku isin nanti. Tangan Nissa maraih pena dan menuliskan keresahan hatinya pada buku harian kesayangannya itu. Sepertinya dia kelupaan akan rasa laparnya. Rabu .. Ah! Haruskan aku sekarang berlari ke pohon jengkol itu? Atau ke bukit alas sana? Saat ini aku sangat ingin mengumandangkan seruan Adzan? Ya allah...apakah salah saat aku lahir? Kenapa aku lahir sebagai perempuan? Aku ingin ganti kelamin tapi caranya bagaimana? Pada siapa aku berbagi ceritaku selain sama kamu buku. Bapakku? Ah aku malu mengatakannya. Pada kakak? adik?ah, hanya kamu yang bisa mendengar semua keluhanku meski kamu tidak pernah bisa menjawab semua pertanyaanku. Yang jelas sampai saat ini aku masih ingin ganti kelamin agar aku bisa mengumandangkan Adzan. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya buku? Karena menurut bapakku perempuan itu tidak boleh pamer suara apalagi adzan di masjid. Tapi buku, kalau aku adzan di kamarku kok ya tidak puas dan malu di dengar Emak Nissa menutup buku dan menyimpannya lagi. Setelah menghela napas berat dan berusaha menenangkan batinnya dia keluar kamar menuju meja makan. Rumah dalam keadaan kosong. Meski keluarganya banyak tapi jam begini mereka pada ke masjid. Dua kakaknya berada di pondok pesantren Di Kediri. Kedua adiknya masih kecil dan sedang main di rumah tetangga. Nissa agak heran melihat belanjaan yang menumpuk sangat banyak tidak seperti biasanya. Ada tempe beratus-ratus bungkus menumpuk begitu saja di lantai, ada mie kuning, ada sayur kol yang banyak dan masih banyak lagi yang lainnya Ah mungkin bapak mau nyunatin adik. Pikirnya. Selesai mandi Nessa pergi ketempat Umi untuk di ajak mengaji di tempat bapaknya atau tepatnya menjemput Umi dari rumahnya. Mereka jalan berendeng di jalan bebatuan. Sebentar lagi sampai di rumah Nessa. Di saat sedang menaikin tangga beranda depan, terdengan kumandang Adzan Maghrib. Saat itu pula Nessa yang tadi melangkah dengan Riang, langsung terkulai lemas dan berhenti. Dia berjongkok sambil bengong-bengong. Umi yang sudah tahu kebiasaan Nessa setiap kali mendengar seruan Adzan, membiarkan saja bahkan menunggu sampai Nessa bergerak 3

dengan sendirinya. Umi tidak tahu sama sekali pa yang dirasakan oleh Nessa saat itu karena tak sekalipun Nessa membicarakan tentang perasaannya setiap kali bersikap aneh. *** Malam itu Bapak Wahyudi mengumumkan, kalau mulai besok malam pengajian di preikan untuk beberapa hari. Banyak anak yang senang dengan pengumuman itu, tetapi banyak juga yang kecewa. Karena mereka jadi tidak bisa mengaji bila malam tiba. Salah satu anak mengkomando kawan lainnya agar nanti setelah ngajinya selesai semua diajak berkumpul. Aku punya usul. Bagaimana kalau mulai besok kita bikin kegiatan lain di halaman rumahnya Pak Marto? ajak Slamet Mau ngapain? Di sana? tanya kawannya Kita main apa saja di sana. Kan ngajinya lagi prei. Setuju. *** Nessa dan Umi sedang Asyik memandangi kawan-kawannya bermain di bawah siraman bulan purnama. Saking Asyiknya Nessa sampai kemalaman pulang. Begitu memasuki kamar tidurnya, kamarnya itu sudah bersih dari segala macam benda termasuk meja dan buku-bukunya. Nessa celingukan mencari tumpukan bukunya tapi tidak di ketemukan, hanya buku yang berada di tas sekolahnya yang masih tetap di tempatnya yaitu masih tergantung di belakang pintu. Nessa berniat menemui bapaknya. Tapi ini sudah malam sekali, tak sopan membangunkan Bapak yang sudah tidur. Ah! Besok saja aku tanyakan. Pikirnya. Maka Nessa pun berangkat tidur. Jam enam pagi Nessa bangun dari tidur, sudah banyak bapak-bapak tetangga pada kumpul di rumahnya. Malah sebagian sudah ada yang naik genteng membukain genteng untuk di turunkan, Nessa tak banyak bertanya langsung mandi dan pamit sama Emaknya trus berangkat sekolah. Nessa melihat Emak sangat sibuk memasak di bantu para tetangganya. Sepanjang jalan kesekolah, Nessa selalu kepikiran tentang buku hariannya. Semoga selamat dan tidak ketahuan Bapaknya. Apalagi sampai di baca. Duuh! Malu sekali nanti aku sama Bapak. Seharian itu Nessa tidak tenang dalam belajarnya. Dia lebih banyak diam berharap agar buku hariannya aman.

Satu hari, dua hari, tiga hari. Tak ada cerita di rumah Nessa yang masih tampak kesibukan yang nyata. Nessa berusaha terus mencari buku-bukunya di tumpukan barang yang di singkirkan oleh Bapak atau Emaknya. Tapi tetap nihil. Buku itu belun juga ketemu. Nessa hampir putus asa. *** Nessa. Nanti bilang sama teman-temanmu kalau mulai besok malam sudah bisa ngaji seperti biasanya. Kata Bapak Iya Pak. Nanti Nessa bilang sama mereka. Nessa. Bapak mau bilang sesuatu sama kamu. Kata-kata Bapak agak mengejutkan Nessa Iya Pak. Ada apa ya? jawab Nessa deg, degan. Nessa kuatir kalau yang akan dibicarak sama Bapak adalah buku harian miliknya. Nis. Kamu sudah gede loh. Ternyata anak Bapak kok ya manis ya. Gini Nis, nanti setelah kamu lulus sekolah menengah pertama, kamu masuk pesantren putri mau kan? tanya Pak Wahyudi dengan halus Mau Pak. Jawab Nissa singkat Terus gini, Bapak sudah baca semua keresahan hati kamu di buku harianmu. Bapak pikir tidak ada yang salah dengan kamu, dengan jiwamu. Kamu normal anak perempuan. Kata Bapak ini sangat mengejutkannya hingga wajahnya pucat karena malu sekali Mak, maksud Bapak?? tanya Nissa gagap dadanya bergemuruh. Padahal dia tahu kalau Bapaknya tidak marah setelah tahu isi buku hariannya namun dia malu sekali Ya. Bapak sudah baca semua buku harianmu yang kamu tulis sejak kamu masih kecil, tapi Bapak tidak menyalahkan kamu apalagi sampai menyalahkan takdir. Tidak Nis, Bapak faham apa yang kamu rasakan itu dan itu wajar terjadi pada beberapa anak gadis. Apalagi kamu mempunyai suara yang bagus. Tapi Nis, sekarang tak kasih tahu ya? Yang ada hubungannya dengan buku harianmu. Sebenarnya tempat terbaik bagi perempuan adalah di dalam kamar atau di dalam lingkungannya. Pada dasarnya, tak ada larangan bagi perempuan untuk Adzan seperti keinginanmu. Tetapi kamu harus tahu bahwa suara perempuan adalah aurat dan tidak boleh diperdengarkan pada orang yang bukan muhrim. Begitu Nis. Bapak menerangkan panjang lebar, dan Nissa mendengarkan dengan diam

Bagaimana dengan selama ini Pak, Nissa kan sudah beberapa kali mengikuti lomba Qoriah. Terus gimana? Ya sudah. Itu kan tugas dari guru dan Bapak waktu itu di suruh mencari wakil dari desa kita untuk maju lomba tingkat kecamatan ternyata tidak ada yang mau selain kamu. Tak apa anggap itu sebuah tugas. Yang penting kamu tidak riya dan takabur dengan merdunya suaramu ya? Iya Pak. Terus kalau kamu masih ingin Adzan, tak apa seperti biasanya kamu lakukan seperti di atas pohon atau di alas yang penting jangan mengumandangkan Adzan di kamar mandi. Iya pak. Jawab Nissa dengan wajah agak lega mendengar dirinya masih boleh ber adzan walau di pohon seperti biasanya. *** Nissa hanya tiga tahun berada di pondok pesantren putri. Nissa di sunting oleh santri putra di pesantren yang sama. Tiga tahun kemudian Nissa mempunyai dua orang anak yang manis-manis namun Tuhan berkehendak lain atas kebahagiaan rumah tangganya. Suaminya mendapat kecelakaan dan meninggal saat itu juga. Sejak saat itu tepatnya dua tahun yang lalu. Nissa menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak laki-lakinya. Dia membanting tulang menggarap lahan perhutani menanam jagung, ubi kayu dan lain sebaginya di sela-sela pohon wajib yaitu pohon cemara. Kini perempuan yang sedang termangu sambil mengingat masa lampaunya. Bergerak kembali dengan pisau dapurnya yang putih mengkilat. Terus di ayunkan ke arah cabang-cabang cemara kecil. Ah! Waktu belumlah sore gumamnya sambil tersenyum seorang diri. ***

Anda mungkin juga menyukai