Anda di halaman 1dari 5

Kacung Mintuno

Met siang ?! Siang juga. A.s.l. pls .?! F.33. And u? M. 30. Ker / kul? Ker. Kamu kerja di mana? Apa penting ? Kayaknya seeh. Aku cuma seorang babu kok! Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan dan pakai web cam lagi. Keren banget. Itu gak penting. Eh you-nya kerja di mana? Aku arsitek. Tukeran foto yuuuk ..?! Ok. Eh real name (nama asli) please .!? Namaku Kacung Mintuno. Namamu siapa? Aku Tumi. Tapi biasa dipanggil Mimi. Ini buka deh! Nanti you bisa lihat tampangku ok? Http://www. mimi boldrive.com. Atau ini http://mimi.multiply.com. Ok. Thanks ya? Loh. Ini kan website??? Ah masak sih kamu kerja jadi babu? Ada yang aneh? Atau gak pantas kenalan dengan seorang babu? Oh, no!! Sorry. Bukan begitu maksudku. Ini loh. Setelah kubuka isinya ternyata web-mu luar biasa. Di luar negeri lagi. Ada fotomu yang pake toga segala. Itu foto saat kamu sedang wisuda ya? Ya begitulah adanya. Seperti yang you lihat. Aku memang babu. Sekarang kerja di Hong Kong. Dulu pernah kerja di Taiwan. Luar biasa. Hong Kong memang indah. Aku pernah dua kali main ke Hong Kong tapi cuma mampir dan nginap di Hotel Peninsula saja. Trus mainnya di Star Ferry deket Victoria Harbour. Ini kamu tak kirimi pic.-ku ya? Makasih ya..? Jadi you tidak memandang rendah dirikukah?

Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama. Duuhh Terima kasih ya Mas Kacung, sang arsitek, atas luasnya pandanganmu. Tapi maaf ya? Aku online sudah lama maka sudah saatnya off (cabut) nih! Sayang sekali ya? Tapi tak apa deh. Kita bisa sua lain kali. Eh makasih juga ngobrolnya. Jangan lupa kalau mau online sms aku ya? Ini nomor hp-ku. 0815xxxxxxx. Iya deh. Thanks (terima kasih) aja. Sepanjang perjalanan pulang dari holiday (liburan kerja) kali ini pikiranku dipenuhi oleh sikap dan gaya bicara teman baruku, si Kacung Mintuno. Aku juga agak heran mendengar nama orang tersebut, Kacung. Sebuah nama yang udik banget. Tapi siapa sangka kalau benar seperti pengakuannya. Dia seorang arsitek. Tadinya, percaya atau tidak, aku tidak peduli. Tapi begitu membuka kiriman fotofotonya yang sedang beraksi di Star Ferry dekat Victoria Harbour aku jadi percaya. Tempat itu memang di Star Ferry. Itulah tempat yang biasanya aku nongkrong bersama teman-teman setanah air. Tempat buat bersandar perahu pesiar dan dari dalam perahu tersebut biasanya akan muncul tampang-tampang Jawa Indonesia. Menurut pendapatku Kacung Mintuno orangnya baik dan rendah hati. Kapan-kapan aku sms dia deh kalau mau online. Eh tadi dia bilang aku aneh. Babu kok bisa main internet malah punya website pribadi. Terus sebenarnya yang aneh siapa ya? Tak terasa kereta Teng-teng Che yang aku naiki telah berhenti di Cheswood. Tempat tinggal bosku. Aku turun dengan tenang sambil benakku masih dipenuhi bayangan Kacung Mintuno dengan segala obrolan tadi. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang asik diajak ngobrol dan rendah hati. Tidak sok seperti yang selama ini aku alami. Pernah aku sekali ketemu dengan orang yang mengaku pemain figuran film. Omongannya selangit dan sangat merendahkan profesiku. Aku memang tak pernah menutupi profesiku pada siapapun teman yang ketemu di dunia maya. Namun jarang yang awet. Kutengok jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Baru jam delapan, kataku pada diriku. Aku belum ingin pulang ke flat. Paling bosku makan malam di alias asli

luar. Tadi mereka telpon dan katanya kalau aku pulang ya pulang aja. Konon mereka mau makan Shushi di restorant Jepang dekat kompleks perumahan ini. Telpon genggam yang kupegang bergetar sambil mengalunkan lagu 'without you'-nya Mariah C. Tertera nama Iyem di layar handphone-ku. Wai (halo)?! Mi. Kamu di mana? Masih di Causeway Bay? Tidak. Aku sudah pulang nih. Ngapain kepagian pulang? Tadi gak online ya? Online kok. Sorean. Cuma dua jam aja. Dapat gacoan berapa? Dapat korea lagi ya? Ha, ha, ha. Sampah! Gak lah. Aku ngobrol ama cowok dari Indon aja. Asik orangnya. Namanya siapa? Kerja di mana dia? tanya Iyem penasaran. Namanya Kacung Mintuno. Ngakunya sih seorang arsitek gitu. Ha, ha, ha, ha, ha. Kamu kok mau sih dibohongi gitu. Mana ada kacung jadi arsitek. Cari yang keren. Kebarat-baratan gitu loh! Kayak Kacung gitu sih, not my level (bukan standarku). Ya wes (udah). Itu hak asasi kok. Terserah yang menilai aja. Aku agak tersinggung. Entah kenapa aku tidak terima kalau teman baruku itu diejek oleh Iyem sahabat karibku. Oh ya. Kapan kamu jadi ambil cuti pulang Indo? Minggu depan. Ada apa? Mau nitip barang sedikit. Ogah ah! Berat. Kalau mau nitip tuh duit. Sebanyak apa aku bawain deh. Cuma handphone (telpon genggam) buat adikku kok. Biar aku bisa menghubungi orang rumah. Iya wes. Aku mau naik lift nih. Bye (sampai jumpa) .?! Bye .!? Uh ! Iyem nyebelin. Selalu saja menilai seseorang dari nama dan ujud luarnya doang. Aku sih berharap bisa bertemu Kacung Mintuno lagi. Bukan title (gelar kesarjaan)-nya yang aku suka. Namun sikap dan pembawaan yang rendah hatilah yang mampu membuatku punya penilaian lain terhadapnya. *** Tak terasa persahabatanku dengan Kacung Mintuno makin dekat. Apalagi setelah jumpa darat. Kedekatan makin terasa bahkan nadanya ada sinyal-sinyal cinta

antara aku dan dia. Juga sebaliknya. Tiga tahun berlalu bersamaan habisnya kontrak kerja yang aku ambil. Aku tak ingin lagi merantau. Aku mau berdagang lagi seperti dulu. Selain itu akan aku kembangkan bakat sastra yang aku punya. *** Sejak aku bergelut di bidang sastra istilah sastra profetik yang pernah ditulis oleh Prof. Kuntowijoyo (alm.) selalu kupakai. Alhamdulilah istilah itu menggelinding dengan menggembirakan. Awalnya berat juga menggelar wacana sastra tersebut. Tapi dorongan yang Kacung Mintuno berikan tidak kusia-siakan. Berbagai kegiatan sastra kami kunjungi baik di kota sendiri maupun di luar kota. Bahkan Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya sering kami datangi. Tak aneh bila mendengar teman-teman ada yang memanggil kami dengan cara menyatukan nama menjadi Mimi Mintuno. Dimana ada aku di situ pula ada Kacung Mintuno yang telah menjadi belahan hati. Aku dan Kacung tak pernah meladeni ledekan maupun sindiran teman yang membanding-bandingkan antara aku dan Kacung. Ada yang iri padaku. Orang-orang itu pernah berkata tentang posisi Kacung. Bagi mereka Kacung rugi mendapat pasangan mantan babu. Tapi bagi kami tak ada istilah untung rugi untuk bercinta. Komitmen telah mengikat kami. Cinta Mimi Mintuno adalah cinta yang tak membedakan status tapi punya wawasan ke depan secara bersama. Satu titik pandang yang bernama kebahagiaan akan kita tempuh bersama meski harus melewati jalan yang berliku. Jurang dan ngarai sekalipun. Sang waktulah yang selalu menguji perjalanan cinta Mimi Mintuno. Cinta aku dan Kacung. *** Lima tahun telah berlalu sejak aku kenal dengan Mas Kacung Mintuno. Kini aku bahagia hidup bersama Mas Kacung yang telah resmi menjadi suamiku dan Mas Kacung yang dulu beda agama kini telah menjadi seorang mualaf. Dengan sabar dia turut mengaji, ikut tahlilan di rumah tetangga dan kemana-mana selalu ada buku suratan atau Juz Amma. Aku bahagia melihatnya. Aku senang dan tidak pernah tersinggung dengan sebutan mantan babu. Terkadang dengan mantan tkw. Itulah kenyataan. Untuk apa aku harus malu. Justru dengan aku menjadi tkw alias babu, aku menjadi aku yang sekarang. Yang pasti Aku telah bisa mengalahkan aku. Tidak seperti dulu. Aku begitu egois. Setiap ada yang bertanya padaku, Mbak, sampeyan kerja menjadi babu ya? Sampeyan jadi tkw? Telingaku akan merah dan mukaku bagai udang direbus saking (akibat) malu dan tersinggung. Tapi itu dulu sebelum Aku terkalahkan oleh aku.

Kini aku nikmati hari-hari dengan bahagia. Berkumpul dengan anak-anak dan Mas Kacung. Suamiku selalu setia memotivasi aku dalam segala hal. Tak bosan dia mengingatkan akan egoku di sela waktu kerjanya, baik lewat telpon maupun berdiskusi langsung saat sedang makan bersama anak-anakku. *** Enam tahun hampir berlalu. Namun kata-kata Mas Kacung di awal perkenalan masih terngiang di telingaku. Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan dan pakai web cam lagi. Masih ada lagi, Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama. Itulah kata-kata Mas Kacung yang membuat aku merasa bahwa aku adalah manusia. @ Istana Rumbia, 01 Maret 2007

Anda mungkin juga menyukai