Anda di halaman 1dari 9

JIWANYA TELAH MELEBUR

Oleh: Renita Rohmatul Faizah

@Renit_arf

“Ajari aku untuk mengikhlaskanmu. “

~Zellena~

Selasa, 25 September.....

Hembusan angin malam menerpa rerumputan di depanku. Dinginnya angin malam tak
menggoyahkanku untuk terus menatap bulan di atas sana. Hufhh, lagi dan lagi aku merasakan rindu
itu. Rindu yang hanya bisa diobati dengan hadirnya sayap pelindung. Rindu yang hanya bisa diobati
dengan mata indah milik sang pelindung.

Rasanya sangat hampa.

3 tahun telah berlalu setelah kepergian Ezard, kembaranku. 3 tahun pula aku tak melihat matanya
yang mampu menenangkan jiwaku. Dan 3 tahun lamanya perpisahan ini, rasa – rasanya susah sekali
untuk ikhlas.

Aku Zellena, gadis dengan berjuta kerinduan untuk jiwa yang telah melebur. Hari ini adalah tanggal
25 September, tepat di mana usiaku bertambah menjadi 14 tahun. Seperti tahun – tahun yang lalu,
tak ada perayaan seperti ulang tahun pada umumnya. Bukan Bunda dan Ayahku tak merayakan,
hanya saja aku menolak untuk dirayakan. Dirayakan pun rasanya sudah berbeda, tak ada Ezard di saat
aku berbahagia.
Kulihat jam yang berada di tanganku. Jarum jam kini menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Pasti Bunda
mencariku dari jam 00.00 tadi, begitu pun dengan Ayah. Tanpa lupa membawakan kue ulang tahun
dengan lilin berangka 14 di atasnya. Namun, yang mereka dapatkan hanya kamar bernuansa biru
muda tanpa ada sang pemilik di dalamnya.

Aku beranjak dari duduk ku. Memakai hodie berwarna hitam yang tadi sempat kubawa, dan lekas
pergi dari tempat itu. Sebelum kakiku melangkah meninggalkan tempat itu, kupandangi sebentar
bulan purnama yang indah tiada tara di atas sana.

Aku menyimpan orang paling ku sayang di bulan itu.

●●●

Aku terduduk di meja belajarku. Menatap kosong ke arah dinding yang menampilkan sebuah foto
polaroid yang tertempel di sana. Sebuah foto anak lelaki dengan tangan kirinya yang memegang bola
voli, dan di sebelahnya seorang gadis yang tengah di rangkul oleh lelaki itu.

Aku mulai membayangkan masa itu, masa yang tak akan bisa terulang lagi. Di mana aku dan Ezard
masih bisa bermain bersama. Aku rindu keusilannya saat aku sedang fokus membaca buku. Aku rindu
suaranya yang memanggilku meminta diambilkan ini dan itu. Aku rindu semua tentangnya. Bisakah
pinjamkan aku mesin waktu untuk memutar balik ke masa lalu?

“Zellena.” Aku terperanjat kaget saat suara Bunda memanggilku dari ambang pintu. Wanita cantik itu
tersenyum hangat kepadaku. Terlihat kedua tangannya membawa nampan berisi satu gelas susu
coklat kesukaanku. Bunda mulai melangkah menghampiriku.

“Kenapa? “ tanya Bunda. Dadaku seketika terasa sesak. Tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata.
Dengan sekuat tenaga aku menahan air mata yang akan siap terjun bebas membasahi pipiku.

“Gak papa Bun, “ jawabku. Berbohong lagi. Jujur saja, aku ingin sekali memeluk Bunda dan menangis
di pelukannya. Namun, semua itu tak bisa kulakukan. Badanku seperti mati rasa, tak mau menuruti
keinginan pemilik raga.
“Beneran? Kamu bohong ya? Bunda liat kamu ngelamun tadi. “ aku tersenyum dan menatap Bunda,
meyakinkan bahwa semuanya baik – baik saja.

“Zellena, kalau ada apa – apa cerita ya sama Bunda atau Ayah. Atau temen – temen yang kamu
percayai buat cerita. Jangan dipendem sendiri, terus jadi pikiran yang bersarang di kepala kamu.
Nanti kamu sakit gimana? Bunda gak mau kamu sampe sakit, “ ucap Bunda tulus. Aku tak menjawab
memilih melihat satu gelas susu yang berada di atas meja belajarku.

Keheningan diantara kami melanda. Aku yang terus diam dan Bunda yang menemaniku dengan
membuka buku novel yang ada di rak.

“Aku kangen Eza, Bun, “ ucapku memulai pembicaraan. Bunda menghentikan membaca novelnya dan
mengalihkan perhatiannya ke arahku.

“Aku... sulit buat ikhlas. “

“Kita ziarah ke makam Eza ya besok, “ ucap Bunda. Aku menggeleng, air mata mulai turun tak bisa di
bendung kembali.

“Aku pengin Eza ada di hadapan aku aja. Aku pengin denger suara Eza lagi. Aku pengin main sama Eza
lagi Bunda... “

Bunda memelukku dengan erat. Isak pilu terdengar memenuhi kamarku. Siapa lagi pelakunya jika
bukan aku. Sedangkan Bunda, ia tetap tegar walau terlihat dengan jelas matanya memerah menahan
air mata.
Bunda mengelus punggungku guna menenangkanku. Sedangkan aku, terus menangis di dekapan
Bunda, tanpa memerdulikan mataku yang merah dan harus menahan malu nantinya. Ku tumpahkan
semua rasa sedihku di depan Bunda. 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar bukan?

“Besok kita ziarah ke makam Eza ya, nanti Bunda ngomong sama Ayah. Siapa tau Ayah bisa ikut
ziarah, “ ucap Bunda yang masih setia memelukku. Ah, Bundaku memang rumah terbaik untuk aku
beristirahat. Aku mengangguk pelan, tangisku sudah mulai reda.

Tak terasa hari sudah mulai malam, sungguh melelahkan hari ini. Dengan berbagai drama di siang
hari dan selalu menangis di malam hari. Mengesankan.

●●●

“Zellen! “

Aku membuka mataku kala suara itu memanggilku. Suara itu, suara yang telah lama tak aku dengar.
Suara yang selalu ku nanti setiap kali aku merindukannya, dan berharap suara itu terdengar lagi di
telingaku. Suara Ezard. Dimana dia sekarang? Dimana?

Kepalaku mulai celingukan, mencari asal suara tersebut. Mencari sosok yang selama 3 tahun ini tak
ku temui lagi. Namun, yang kulihat hanyalah kamar yang sepi, hanya aku yang ada disana. Aku
beranjak dari kasurku, berdiri dengan terus mencari sosok yang selama ini ingin ku lihat kembali.

“Zell! Kamu nggak kangen sama aku? “

Suara itu kembali muncul, aku menoleh ke sumber suara yang terdengar di belakangku. Sosok
seorang lelaki berparas indah tersenyum kepadaku. Matanya indah bak bulan purnama yang kulihat
kemarin malam. Aku bertemu dengannya lagi! Aku melihat Ezard dengan mata kepalaku sendiri!
“Kamu nggak kangen aku Zell? “ ucap Ezard kembali tanpa menghilangkan senyum yang terukir di
wajahnya sembari merentangkan tangannya.

Aku segera menghamburkan diri ke pelukan sosok di depanku. Tangisku pecah kala itu juga, entah
tangis bahagia maupun sedih. Semua bagaikan adonan kue yang campur aduk. Benar – benar tidak
terduga.

“Ini nyata kan? Aku nggak mau kehilangan kamu lagi. “ aku mengendurkan pelukanku dan menatap
Ezard dengan mata yang sembab akibat menangis. Ku harap jawabannya adalah anggukan kepalanya.
Aku harap sosok di depanku ini mengucapkan bahwa tiga tahun kepergiannya itu adalah mimpi buruk
ku. Hanya mimpi buruk.

Namun, kepala cowok itu menggeleng, menandakan kalau ini semua tidak nyata. Lantas dimana aku
sekarang jika bukan di dunia?

“Ini nggak nyata Zell, ini itu di mimpi kamu, “ jawabnya tetap dengan senyuman khasnya yang
memperlihatkan gigi gingsulnya.

“Zell, aku kesini, cuma mau bilang. Jaga diri kamu ya. Harus nurut sama Bunda dan Ayah. Dan...
ikhlasin aku Zell. Aku udah bahagia di sana, udah nggak ngerasain sakit lagi. Kamu harus bisa ikhlasin
kepergian aku, buka lembaran baru dalam hidup kamu tanpa aku dan bersedih karena aku. “ aku
terus menatap matanya. Mendengarkan setiap kalimat yang ia lontarkan dari mulutnya.

“Ikhlasin aku ya Zell. Aku bakal selalu ada disisi kamu, di dalam hati kamu, dan di bulan yang selalu
kamu liat setiap ulang tahun kita. “ aku menggeleng kuat. Lelehan air mataku kembali keluar dari
pelupuk mata tanpa mau berhenti. Aku tidak ingin merasakan kehilangan lagi! Aku ingin Ezard
kembali! 3 tahun setelah menunggu begitu lama, aku tak ingin kehilangan dirinya lagi!
“Zell, terima kenyataan kalo aku udah nggak ada di dunia ini. Aku janji, kita bakal ketemu lagi kalau
Tuhan memberi izin, atas kehendak Tuhan. “ terlihat badannya perlahan mulai menghilang, melebur
dari hadapanku. Siap untuk meninggalkanku dalam dunia bawah sadar ini.

Aku menggeleng kuat, memegang tangan Ezard dengan kuat kala tubuhnya perlahan melebur.

“Za! Jangan pergi lagi! “

“Ikhlas Zell, aku bakal bahagia banget di sana kalau kamu bisa merelakan aku. Makasih untuk
semuanya, dan maaf Zell, aku sering usil, “ ucapnya sembari terkekeh. Entah ke berapa kalinya aku
menggeleng tak setuju dengan Ezard.

“Aku kangen kamu usili lagi Za! Jangan pergi! “ mohonku dengan air mata yang sudah membanjiri
pipi. Mataku terasa sangat lelah karena menangis. Kehilangan orang yang sangat disayangi itu
sangatlah berat.

“Zell, ikhlas ya. Aku mohon. “ dan saat itu juga tubuhnya menghilang, melebur begitu saja. Hilang
entah kemana. Menyisakan kamar yang sepi dan hanya aku yang ada disana. Dengan isak tangis yang
tak mampu terbendung kembali. Aku kembali merasakan kehilangan, kedua kalinya.

3 tahun lamanya aku menahan rindu ingin bertemu dengannya, dan berharap ia tetap ada di dunia.
Itu memang terkabul. Tapi, ia kembali menghilang dalam kesunyian dan terbayarnya rinduku.

‘Za, aku akan ikhlas karena itu adalah permintaanmu. Tapi berjanjilah, kita akan selalu bersama
nantinya. Tak akan terpisah kembali. Aku akan selalu merindukanmu setiap melihat bulan purnama
di hari ulang tahun kita'

●●●
Kini, aku berada di meja makan dengan sarapan berada di depanku. Tidak hanya aku, melainkan juga
dengan Ayah dan Bundaku. Aku tetap diam, hanya Ayah dan Bunda yang sesekali bercanda dan
membahas kegiatan mereka nantinya.

“Bunda, Ayah...” panggilku pada mereka berdua. Yang dipanggil segera menengokkan kepalanya ke
arahku secara bersamaan. Aku seketika menjadi gugup. Entah kenapa, tapi itu yang kurasakan.

“Kenapa, sayang... “ Bunda menjawab. Mata teduh Bunda selalu berhasil menenangkanku.
Sedangkan Ayah, menungguku untuk mengucapkan kalimat.

“Aku... setuju sama ajakan Bunda buat ziarah ke makam Eza,” ucapku. Terlihat Bunda dan Ayah saling
pandang. Lalu mereka kembali menatapku sembari tersenyum tulus.

“Mau nanti siang? Kita kesana bareng – bareng. Nanti ke psikolog sekalian ya. Ayah sama Bunda
udah bicarain ini kemarin malam, tinggal nunggu jawaban kamu aja. Kamu mau? Ayah khawatir sama
kamu, “ Ayah bersuara.

Jujur saja, aku tidak terlalu tertarik dengan yang namanya psikolog. Tapi, sepertinya kali ini aku
membutuhkannya. Jadi, aku mengangguk sebagai jawabannya. Ayah dan Bunda tersenyum hangat
kepadaku.

“Insya Allah, Zellena akan ikhlas Bun, Yah. Zellena bakal relain Eza. Zellena juga bakal menerima
kenyataan kalau Eza udah nggak ada, “ ucap ku kembali. Ada rasa sesak di hati kala mengucapkan
kalimat itu. Tapi, mau tak mau aku harus ikhlas demi kebahagiaan Ezard di sana. Aku tak mau egois
untuk kembaranku sendiri.
“Alhamdulillah kalau begitu. Tetap semangat ya sayang,” tutur Ayah. Jujur aku bersyukur memiliki
orang tua seperti mereka. Di saat aku sedang merasa sedih, mereka selalu ada untuk menghiburku.
Semoga selamanya akan seperti ini.

“Kalau... ulang tahun aku dirayakan lagi bisa kan?”

“Boleh dong, nanti Bunda bikinin kue kesukaan kamu. Khusus ultah kali ini, Bunda yang masak sendiri
kuenya. “ Aku tersenyum lebar, menatap mereka satu persatu dengan rasa bahagia. Pasti Ezard
sangat bahagia melihat keluarga kecilnya sebahagia ini. Dengan aku yang mampu mengikhlaskan
dirinya untuk pergi selama – lamanya.

Terkadang, merelakan seseorang memang tidak mudah untuk dilakukan. Tapi jika melakukannya
dengan niat, pasti semua itu akan bisa dilalui. Entah itu membutuhkan proses begitu lama atau
sangat singkat. Semoga mereka yang dilanda kerinduan maupun rasa tak ikhlas akan orang – orang
yang tiada di sisinya bisa melalui semua itu.

Rasa rindu memang tak bisa dihilangkan dari benak manusia. Merasa rindu wajar saja bagi manusia,
karena manusia di beri perasaan oleh Sang Tuhan pencipa alam semesta. Namun, jangan terlalu
berlarut – larut dalam kerinduan. Kalau kata Dilan, rindu itu berat dan kamu nggak akan kuat. Jadi
rindulah sewajarnya saja. Sesuatu yang berlebihan tak baik pada akhirnya.

“Aku berhasil mengikhlaskanmu. Namun, rinduku padamu akan selalu ada setiap kali aku melihat
bulan purnama di atas sana. “

~Zellena~

Dari kisah ini aku belajar, relakan mereka yang sudah tiada dengan lapang hati. Karena itu semua
sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Dan jangan terlalu berlarut dalam kata rindu. Rindulah
sewajarnya, jangan jadikan rindu sebagai media untuk bersedih. Obati rasa rindumu dengan
sedemikian rupa, masih banyak cara untuk mengobati rindu. Layaknya soal matematika yang tak
hanya satu rumus saja untuk menyelesaikannya. Jadi, semangat untuk kalian para manusia yang
tengah mengobati rasa rindu.

~Renita

Bio Data Narasi

Renita Rohmatul Faizah merupakan seorang penulis wattpad sejak tahun 2022. Memiliki nama pena
yaitu Bunflla. Ia lahir di Jawa Tengah pada tanggal 26 September 2009. Saat ini sedang menempuh
pendidikan di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di wilayahnya. Pecinta sajak puisi dan sastra
sedari umur 13 tahun. Pecinta musik dan gemar menyanyi.

Anda mungkin juga menyukai