Anda di halaman 1dari 5

Di Tepi Batas Waktu

Eko Indrayadi*

Segores puisiku untukmu, teriring melalui deru dan lengangnya sepi malam ini. Sesepi diriku, sesunyi kehidupanku. Diantara ketiadaan yang mulai hilang. Akankah engkau mengingatku ketika nanti aku terlelap-membisu bersama aliran udara yang tak mungkin lagi masuk ke dalam paru-paruku. Sehingga aku bisa leluasa menatap dan mengenangmu, kekasihku . . . Begitulah isi puisi kegundahan hati yang kutulis beberapa waktu lalu. Ketika semuanya masih bisa berkumpul dan tersenyum bersama dengan hangatnya pelukan cahaya senja di kota ini. Aku akan selalu mengenangmu, mengingat semua hal tentang dirimu: indah matamu, lebat rambutmu, hingga hangat dan bersahabatnya senyuman yang selalu memandangku sebagai sahabat terbaik. Namun, kesadaran membuatku berpikir semua hanya kefatamorganaan belaka. Mungkinkah ini namanya takdir sebuah siklus daur hidup manusia yang ada di muka bumi: lahir, tumbuh, remaja, dewasa, tua, lalu mati. Terkadang sakit dan kematian tak pernah dapat diterka kapan datangnya. Kapan dia akan menjemput kita dari keadaan fana dalam dunia yang semakin tua ini. Pikiranku melayang jauh tentang kisah seorang lelaki yang kini menanti ajalnya di tengah kebimbangan waktu yang berbuat semacam candu yang menggerogoti tubuhnya. Dokter bilang ia penderita kanker stadium 3 dan teramat sulit untuk disembuhkan. Ia hanya bisa pasrah memandang nasib, melihat pada bayangbayang waktu dan maut-siap memeluk diri kapanpun. Memberi dan mengajak menuju negeri yang kekal-abadi. Hanya sebuah kepasrahan pada takdir yang mesti diikuti. Berjalan mengalir bersama derasnya aliran keputusan takdir dalam kepastian yang pasti terjadi. Meski, setiap insan punya cara berbeda-beda dalam memahami, maut bersiap dalam hitungan langkah menjemput. Tanpa bisa dilakukan peninjauan ulang kembali.

Berceritalah seorang sahabat dari lelaki tersebut kepada seorang teman, tentang betapa tegar dan kuat laki-laki itu menghadapi maut. Ia selalu tersenyum di setiap waktu, selalu bersemangat di setiap kesempatan, dan tak kenal takut untuk berhadapan dengan tantangan. Tapi tahukah manusia lain? Selain diri dan Tuhan. Lelaki itu selalu menangis dalam setiap tawa dan canda yang keluar dengan ikhlas dalam dirinya. Tak kala beberapa waktu yang lalu, ia berkesempatan mengenal sebuah rasa cinta atas sebuah karunia sebagai seorang manusia yang mengajarkan dirinya tentang arti kehidupan dengan penuh semangat untuk tetap tegar, lalu membuang jauh-jauh perasaan sunyi dan pilu dalam hati. Bukan jawaban salah ketika cinta menjadikan orang gila mencari-cari perhatian sekelilingnya. Bukannya tak berperasaan ketika maksud menghilangkan kesepian. Inilah yang dilakukan olehnya, setiap waktu berlalu dihabiskan dengan mencari perhatian sekelilingnya. Berpura-pura menjadi orang bodoh yang membuang sebagian rasa malu yang menghinggapi kodrat seorang manusia. Tapi tahukah, keadaan di dalam hatinya: kesunyian dan kegelisahan mengingat sebentar lagi ia akan dijemput dan takkan pernah pulang untuk kedua kalinya. Aku akan tetap menunggu dan mengharapkanmu. Sekalipun kau benci aku dengan segala sikap dan sifat aneh ini. Sikap yang membawa ketenangan bagi diriku, sayangku. Dan selama 7 tahun kanker ini menggerogoti getah beningku, tak sedikit pun aku mengetahui apa arti kehidupan bagiku. Apa arti senyuman dengan semangat yang tak pernah padam untuk meraih mimpi dan cita-citaku. Semua tak bosan memandang bodohnya aku. Semua menghardikku, sementara kerisauan mulai menjadi kabut yang menutup cahaya harapanku. Sementara malam mulai jauh meninggalkan pagi, rembulan sepi dan langit hujan rintik-rintik dengan hembusan angin yang mengetuk-ngetuk jendela kamar melati tempat yang sudah dua minggu ini menjadikanku sebagai seonggok sampah yang tak bisa berbuat apa-apa. Lalu, samar-samar kembali aku mendengar suara-suara kekosongan dari hujan yang berjatuhan di atas genting rumah sakit ini. Sudahlah, tak berapa lama lagi engkau akan terbebas dari rasa sakit itu! Tak seorang pun yang peduli dengan kebodohan yang kau perbuat selama 7 tahun ini. Aku sudah tak sabar menyelesaikan tugas terakhirku mencabut nyawamu. ujar

sebuah suara yang menggema di gendang telingaku. Semua memang mengharapkan ketidakhadiranku. *** Hari mulai pagi. Semburat lazuard merah saga mulai muncul di langit dengan penuh kesenduan hati. Para dokter sibuk menghampiri ruanganku. Terdengar bising-bising suara kepasrahan dari monitor yang merekam setiap detak jantungku. Dokter bersiap untuk memasang sebuah alat pacu denyut jantung di dadaku. Semua orang tampak pucat dengan butiran keringat sebesar jagung mengalir dari muara pori wajah mereka. Entah aku tak sempat untuk berpikir apa yang telah terjadi. Bukankah itu aku? Mengapa mereka tampak seperti itu ketika melihat tubuhku? Lalu, bukankah itu kedua orang tuaku dan adik-adiku. Mengapa pula mereka tampak berkumpul di sekeliling ranjang tempat aku berbaring selama dua minggu ini?. Terlalu sulit bagiku untuk menerjemahkan keadaan. Kucoba untuk menghampiri mereka semua, melihat wajah kedua orang tuaku. Kuperhatikan guratan-guratan kasar yang terpahat di wajah mereka, hasil kikisan waktu yang kejam. Ibuku mencoba mengajak adik-adikku untuk pergi ke masjid yang ada di rumah sakit ini. Mencoba tegar dengan butiran kristal hangat yang tak terbendung mengalir dari kedua matanya. Mata yang selalu menatap dan mengawasiku dengan kehangatan, mata yang selalu membelaiku.Sementara ibu pergi, ayah mencoba tegar dan tetap sabar berada di ruangan ini. Melihat dengan tatapan yang miris dan kosong kepada tubuhku yang mulai perlahan-lahan pucat kehilangan napas kehidupan. Beberapa saat setelah itu, dokter memanggil kedua orang tuaku untuk melaporkan sebuah kepasrahan terhadap kekuatan Tuhan yang berkuasa atas segala manusia. Namun, hanya ayah yang ditemuinya. Ibuku tidak ada disini, beliau masih khusuk berdoa khusuk-ikhlas melepas diriku. Maaf Pak, kami sudah berusaha sekeras mungkin. Kami sudah mengupayakan yang terbaik untuk anak Bapak. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.

Kulihat wajah ayahku mencoba tegar dan tenang dalam kesedihannya. Mencoba bertahan dalam seruan batinnya. Ia hanya berujar pelan dan hampir tak kudengar. Iya, dok. Saya ikhlas. Tuhan punya kuasa. Tuhan yang mempertemukan kita. Tuhan yang memisahkan kita. Innalillahiwainailahirojiun. Begitulah akhirnya dan begitu pula awalnya. Lelaki itu menatap bintang yang berkedip dan tak pernah mampu ditatapnya kembali. Begitulah adanya, semua tak mampu menebak isi hati seorang manusia, bukan? *** Sebuah makam dengan tanah yang masih basah menjulang berwarna kemerahmerahan di terpa cahaya matahari sore. Senja yang tampak tenang dengan kegelisahan mulai turun untuk digantikan oleh sang malam. Suara burung-burung malam yang telah bersiap keluar untuk berburu mencari makan mulai riuh bersahut-sahutan. penghias tempat ini. Di sana terlihat kerumunan manusia yang mengantarkan pulangnya seorang lelaki yang telah lelah berada di ambang batas waktu. Lelaki yang senantiasa tegar dalam kesakitan yang tak pernah diceritakan kembali oleh siapapun. Seorang perempuan muda tampak begitu khusuknya membaca doa. Ia kembali terkenang lelaki ini. Orang yang tak begitu sulit dilupakan namun tiada berharga, yang kini tidak akan pernah dapat ditemui kembali. Terlihat raut wajahnya yang lemah dan sayu, sebuah rona kesedihan yang jelas terpandang oleh kilatan cahaya matahari senja. Deraian air mata yang dia pun tiada tahu kenapa harus turun tanpa adanya penghentian. Belum lama berselang, iring-iringan keranda yang telah mulai dimasukkan ke dalam ambulan. Telah menjadi pertanda bahwa semua orang mesti pulang meninggalkan pemakaman. Meninggalkan sebuah kuburan yang berisi jasad seorang periang berhati sunyi. *** Suatu pagi sebuah kertas kumal ditemukan oleh para juru rawat ketika membersihkan kamar rumah sakit bekas lelaki itu. Kertas itu tampak lusuh dan Dan desir angin sore yang cerah perlahan-lahan mempermainkan pepohonan yang berjejer rapi bagai barisan permadani hijau

kotor terkena debu yang berterbangan. Sama halnya dengan ketegaran yang tertutup senyum milik lelaki yang telah pergi. Dan di lembar kertas itu tertulis, Segores puisiku untukmu, teriring melalui deru dan lengangnya sepi malam ini. Sesepi diriku, sesunyi kehidupanku. Diantara ketiadaan yang mulai hilang. Akankah engkau mengingatku ketika nanti aku terlelap-membisu bersama aliran udara yang tak mungkin lagi masuk ke dalam paru-paruku. Sehingga aku bisa leluasa menatap dan mengenangmu, kekasihku . . . **** Ciputat, 25 Februari 2011 Dalam kekosongan menanti hari-hari *Penulis adalah Mahasiswa di Jurusan Ilmu Politik UIN Jakarta

Anda mungkin juga menyukai