Anda di halaman 1dari 4

Otonomi Daerah Bukan Alat Cari Kuasa

Adalah kewajiban dan cita-cita otonomi daerah untuk mewujudkan suatu bentuk pemerintahan yang adil dan demokratis, sebagai cita-cita reformasi yang telah dilaksanakan dalam kurun lebih dari satu dasawarsa. Salah satu upaya di dalam perwujudan dari proses tersebut adalah Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) langsung, baik di dalam memilih Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota. Proses pemilihan yang merupakan refleksi dari visi dan misi otonomi daerah yang bertujuan dalam memberikan kebebasan secara demokratis kepada rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung, rahasia, dan otonom. Sebagaimana yang telah tertuang secara jelas dalam ketentuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan hasil revisi dari UU No. 22 tahun 1999. Layaknya, di dalam memilih badan eksekutif dan legislatif, pelaksanaan PILKADA memiliki andil yang besar di dalam upaya penciptaan legitimasi politik dari rakyat dalam rangka mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang berdimensi hukum, moral dan sosial. Di dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah, ada beberapa buah prinsip yang senantiasa dijadikan pedoman dalam upaya pelaksanaannya, yaitu: 1) Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, 2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab, 3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas, 4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah, 5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah yang otonom, 6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legeslatif daera, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi angggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah,

7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi, 8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepala Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkkannya. Sebagai transformasi dan manifestasi dari prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah, PILKADA langsung ditinjau dari segi kegunaannya, memiliki fungsi yang sangat penting di dalam membentuk suatu sistem mekanisme demokratis dalam rangka rekruitmen calon-calon pemimpin di daerah. Dimana, rakyat secara bebas, menyeluruh dan tanpa tekanan memiliki hak dan kewajiban untuk memilih calon-calon yang didukungnya. Menurut Tim Indonesia Center for Civic Education (ICCE), UIN Syarif Hidayatullah, Pilkada langsung dapat disebut pemilu apabila memenuhi dua hal utama sebagai prasyarat yaitu, keterbukaan (transparant) dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Secara teknis peraturan pelaksanaan PILKADA tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah. Ditinjau secara ilmu politik, PILKADA sangat erat hubungannya di dalam proses penciptaan legitimasi kepala daerah melalui prosedur dan tata cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, melalui proses kampanye dan pemilihan yang bebas, fair dan adil sesuai dengan norma dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih secara objektif, serta menjalankan fungsi sesuai dengan komitmen pada saat kampanye dan pemilihan kepala daerah. Berdasarkan studi permasalahan yang penulis amati dalam penyelenggaraan PILKADA di Indonesia maka, dapat kita simak bersama mengenai beberapa problematika yang identik dengan proses PILKADA langsung di Indonesia. Pertama, tidak adanya sebuah pendewasaan dalam berpolitik dari setiap calon-calon pemimpin di daerah. Umumnya, para calon hanya menjadikan PILKADA sebagai ladang permainan untung-untungan untuk dapat terpilih sebagai kepala daerah sehingga memunculkan perasaan tidak puas atau tidak

dapat menerima kekalahan yang terjadi. Selain itu, munculnya konflik politik juga terkadang mengarahkan kepada tindakan anarkis yang turut menjadi faktor kausal dan berakibat kepada disintegrasi nilai-nilai pokok tujuan otonomi daerah. Kedua, munculnya paradigma money power di dalam proses kampanye PILKADA yang bersifat pada sumber instrumental yang berupa kekayaan. Hal ini merupakan bagian dari tindakan argumentum ad populum yang berupa sofistikasi untuk mendapatkan persetujuan rakyat dengan membangkitkan antusiasme dan kefanatikan orang banyak terhadap salah seorang calon. Tindakan money power akan melahirkan sebuah asumsi bahwa uang adalah instrumen kuasa utama untuk membeli suara rakyat. Sebagai tindakan untuk memerangi politik uang atau money politics, pentingnya pengawasan dari pihak independen, LSM, dan media sangat dibutuhkan dalam upaya pengawalan terhadap jalannya proses PILKADA. Ketiga, masih banyak permasalahan mengenai daftar pemilih tetap (DPT) dan penggelembungan suara. DPT dan penggelembungan suara merupakan salah satu masalah yang hingga kini masih saja dapat ditemukan dalam setiap penyelenggaraan PILKADA. Kurangnya komunikasi antara pihak KPUD dan kantor kelurahan pada tiap desa juga dapat menjadi awal dari permasalahan ini. Perbaikan sistem komunikasi antara KPUD dan kantor kelurahan/kepala desa sangat dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian data DPT. Keempat, masih kurangnya tingkat sosialisasi mengenai proses PILKADA oleh KPUD kepada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil untuk ikut berpartisipasi dalam PILKADA. Keempat permasalahan di atas seakan senantiasa menjadi agenda dalam pelaksanaan PILKADA langsung pada otonomi daerah. Namun, sulitnya penyelesaian permasalahan tersebut ditambah oleh berbagai masalah lainnya, khususnya karena kurangnya bentuk komunikasi antara daerah dan pusat dalam bentuk elit-elit politik. Peran serta DPD sebagai wakil daerah, senantiasa terasa vakum dan hampa tanpa adanya proses timbal-balik yang signifikan guna mengelaborasikan daerah-daerah yang diwakili. Kurangnya distribusi elit-elit politik daerah dan DPD partai politik yang senantiasa bersifat mikro politik telah ikut menjadi faktor asimetrisnya pelaksanaan otonomi daerah.

Sebagai solusi terhadap semua permasalahan tersebut perbaikan sistem sangatlah dibutuhkan, khususnya dalam hal pendistribusian kekuasaan antar elitelit politik di daerah, peran serta DPD serta pengajaran logika dan etika berpolitik dalam lingkup daerah perlu digiatkan oleh pemerintah pusat guna untuk menciptakan pendewasaan berpolitik dan memerangi money politics. Di samping peran aktif mahasiswa dan masyarakat sebagai juri dalam memberikan penilaian terhadap hasil kinerja pemerintah daerah sebagai tindakan awal agar terciptanya hubungan sinergis pemerintah dan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi dan mengawal jalannya reformasi otonomi daerah di Indonesia.

Eko Indrayadi Penulis adalah Analis Politik dan Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai