Anda di halaman 1dari 5

Berdiri di antara Fatamorgana

Berdiri mengambang di ufuk fatamorgana


Menutup kedua mata, menghembuskan napas perlahan, mencoba mengingat
sesuatu dari awal penglihatanku dan akhir dari hembusan napasku. Sekali lagi dan
sekali lagi aku tidak bisa mengingatnya secara pasti. Semua terlihat samar, penuh
ketidakpastian, terasa hampa, aku berdiri seperti tidak berdiri, aku melihat seperti
tidak melihat. Aku merasakan semua ini tetapi jiwaku tidak akan pernah bisa
menerimanya.
Siraman embun melupakan apa saja yang telah terjadi di dalam memori hati,
fisik, naluri, dan pikiran. Begitu berat rasanya untuk keluar lebih jauh dari setitik tinta
hitam bernapas embun putih. Tak terlihat tetapi terang, seperti inilah daya hidupku
untuk menjalani arahan yang terlintas.
Dingin yang aku rasakan bukan darimu dan juga bukan darinya melainkan dari
udara alam yang menembus kulit. Sunyi, benar-benar sunyi jika didiamkan lebih lama
dari sebelumnya. Kristal es di dalam kulit berubah menjadi bunga es yang siap mekar
mendiamkan partikel saraf. Mencoba mengontrol keadaan meski tidak bisa bergerak
sesuai rekaman hati nurani.
Lautan samudra sangatlah biru tetapi tidak sebiru lensa kehidupan yang dijalani.
Mutiara samudra seputih susu sebagai pelindung hatimu yang bercahaya tetapi
cahayamu tidak mencapai hatiku yang terus memanggil namamu. Keinginan diri ingin
selalu dekat denganmu tetapi ingatan wajahmu selalu kabur sekabur debu kaca di
musim dingin. Aku tidak bisa membayangkan secara benar kenyataan yang terjadi.
Hujan terus menerus membasahi rembulan tanpa lelah diiringi kelap-kelipnya
sinar bintang. Kupu-kupu malam pun tak berani mengepakkan sayapnya. Menggigil
kedinginan berselimut lembaran daun melati. Ruang lingkup ini sangat sulit
diungkapkan, melengkapi kunci rantai berpikir tentang aku dan kamu yang tidak
pernah ada akhirnya berbisik di dalam benakku.
Susunan wajahmu terlihat tidak membekaskan nada tinggi di lantunan suara
burung bernyanyi. Penuh pesona, cantik, elegan, kata-kata terbaik yang tepat untuk
menggambarkannya. Alunan bunyi tiba-tiba menundukkan nadanya mengetahui hal
ini hanya sekedar lukisan semata, lukisan abstrak yang tidak pernah tahu siapa
pelukisnya. Kesulitan selalu saja dilontarkan kepada keadaan diriku tanpa memberikan
waktu sejenak untuk tahu.

Asal mulanya bukanlah dari setitik air tetapi dari aliran air, mengalir dari dataran
tinggi menuju ke kondisi yang paling rendah di pusat titik terdalam. Satu tetes berubah
menjadi ribuan tetes. Pilihan ini terjadi begitu saja tanpa harus ada yang
menciptakannya seperti halnya diriku yang terlahir di dunia. Tidak mengenal sistem
dan alur cerita, menjadikan wujud berupa sebuah kata yaitu keajaiban.
Keadaan tidak sadar dan keadaan di bawah sadar adalah dua hal yang berbeda.
Ketika dalam keadaan tidak sadar, kondisi memaksaku melupakan apa yang terjadi
dan siap menghadapi ketiadaan jika aku tidak segera mengingat kembali. Disinilah
puncak kesukaran tertinggi pada diri seorang ksatria mimpi.
Lingkungan di bawah sadar menjadi pelengkap bunga tidur spanjang malam.
Dimana suatu sistem sirkuit di dalam ketidaksadaran menghasilkan bunga tidur yang
jauh di luar dari kebiasaan, emosi, kegembiraan, ketakutan, kesedihan, canda tawa,
dan impian tenggelam lebih dalam menggantikan garis warna pelangi. Impian dan
cita-cita memegang kuat pada peranannya dan terkadang muncul disaat tak terduga
mewujudkan hal yang menyamarkan kenyataan. Impian dan kenyataan berbeda tipis
setipis benang sutra.
Dua hal berbeda menjadi satu. Berkata terbata-bata, berjalan tertatih-tatih untuk
dapat membedakannya. Peristiwa ini sangat sulit dijabarkan tetapi lebih suit lagi jika
tidak mencoba untuk beranjak berdiri. Penuh teka-teki silang terbalik dan tidak
mencapai akhir. Semua terbentuk apa adanya tanpa pernah diketahui. Renungkan
dengan hati-hati apa yang ada dalam pikiran, hati, dan jiwa sebagai jawaban kelak saat
dipertanyakan.

Ozil

ridwan

berjalan

mengambang di ufuk fatamorgana.

terus-menerus

dengan

kaki

telanjang

Sepertinya pernah bertemu


Huf...haa... menghela napas.
Hujan lagi... hujan lagi... fokus mata tertuju pada tetesan air hujan yang terusmenerus membasahi daun kering di seberang jalan.
Aku berteduh di bawah tanaman rambat bertumbuh lebat di antara atap yang
sudah rapuh dan hanya menyisakan kerangka besinya saja.
Hemm... kasihan sekali dirimu menyendiri. Setelah sekian lama sudah tidak
dipergunakan kembali, dibiarkan menua berkarat tanpa adanya keputusan pasti untuk
nasib halte bus ini.
Kita senasib kataku berbisik pada tiang-tiang penyangganya.
Aku menundukkan kepalaku dengan tatapan kosong, mengingat kenangan waktu
itu. Kenangan perih yang aku miliki dan sulit menghapus dari ingatan. Aku masih
mencoba untuk berpikir apa yang salah pada diriku sehingga aku ditinggalkan sendiri
tanpa satu patah kata pun dari hatinya.
Wanita itu, wanita yang aku sayangi.Dia misteri bagiku, hubungan yang saling
menyayangi hilang ditelan kabut tanpa sebab yang jelas. Jauh sebelum ia pergi ada
satu kalimat dari ucapannya yang menjadi pemikiran di benakku.
Zil, biarkan waktu yang sekarang ini kita nikmati berdua, sesungguhnya aku
selalu ingin berada disisimu.
Dia memegang erat tanganku di waktu senja itu. Aku melihat ia meneteskan air
mata. Saat itulah hubungan kita semakin dekat, ia seakan tak ingin pergi dariku. Tetapi
sekarang keadaannya berbanding terbalik, mengapa ia menghilang tanpa kabar begitu
saja. Apa yang salah pada diriku ? kamu tidak pernah menjelaskan apapun kepadaku.
Kamu pun tidak memberi kesempatan padaku untuk mencoba memperbaiki apa yang
menjadi kekuranganku sehingga kamu menjauh. Aku sangat menyayangimu Anisa,
aku sayang padamu. Tertunduk lesu berkelinang air mata dengan kelopak mata masih
tertutup.
Ini...
Terdengar suara lembut seorang wanita muda. Perlahan aku membuka kedua
mataku. Ada sapu tangan berkain putih yang disodorkan dengan tangan kanannya.
Diusap air matanya...nanti hujannya tambah deras loh... wanita itu tersenyum
manis padaku sekilas melihatnya.

He...maaf... tersenyum malu sambil mengusapkan air mata dengan sapu


tangannya.
Hemm... ada apa ? kelihatannya sedih sekali lembut kata wanita itu terdengar.
Eh, ga pa pa kok... masih dalam posisi menunduk.

Anda mungkin juga menyukai