Anda di halaman 1dari 5

Media Indonesia

Minggu, 29 Juli 2007

Hujan Pagi
Cerpen: Dwicipta

SISA hujan pagi masih tersampir di pucuk-pucuk dedaunan dan batang-batang pepohonan,
Sayangku. Aku terbangun dari tidur pendek, setelah mengetik hampir semalaman, ditemani
bayangan-bayangan letih tanpa kesudahan dari wajahmu. Pertengahan April, genap dua
tahun aku tinggal di rumah ini, tanpa dirimu. Seperti letaknya yang jauh dari
perkampungan, terpencil dari segenap kebisingan, kutemukan rumah ini dan diriku seolah
menyatu dalam persekutuan aneh antara dua makhluk yang sama-sama kesepian. Hanya
ditemani persawahan membentang, ricik suara air sungai di sebelah timur rumah, dan kicau
burung atau binatang malam. Apakah ini yang kaumaksudkan ketika kita masih tinggal di
pusat kota dulu: hidup yang tak diricuhi apa pun kecuali suara-suara alam? Ah sayang,
begitu lekas kau pergi, dan tak punya waktu menikmati ketenangan rumah ini bersamaku.
Padahal, rumah ini kubangun karena kau menginginkannya, bukan untukku sendiri.

Dalam keheningan dan rasa ketakjuban pada apa yang menghampar di depanku, alangkah
rindunya aku padamu. Hujan pagi seolah membawamu kembali sekarang. Lihatlah,
matahari enggan keluar, nyaman di balik gumpalan awan tebal. Beberapa ekor burung yang
berloncatan dari dahan ke dahan atau hinggap di reranting ringkih terbang dengan sayap
gemetar menahan dingin. Haruskah aku bersyukur atau mengutuknya? Haruskah aku tak
menerima jika kau tak akan kembali ke rumah ini? Sepi dan hawa dingin ini memaksaku
kembali padamu, menyeret segala ingatanku tentangmu.

Kastil kecil nan rapuh

Di suatu senja yang berkilau jingga, dari loteng rumah kita di pusat kota, kau ingin
melupakan segala deru dan amis kota. Tubuhmu melambai rapuh tertiup angin beracun,
makin kurus oleh penyakit setan yang bersarang bertahun-tahun dan tak juga lekas tercerai
darimu. Desis napasmu hilang oleh deru kendaraan. Jika saja kota ini bisa diheningkan
sejenak, tentu akan kutangkap sengal itu, sisa waktu yang makin menipis dan mimpi-mimpi
buruk yang akan menghantuiku menjalani setiap detik dan menit tanpamu suatu hari kelak.
Namun kau berkeras, tak mau masuk dan membiarkan ringkih tulang dan dagingmu
termakan angin.

"Aku ingin menikmati udara sore. Bukankah aku sudah memakai jaket? Udara ini tidak
sejahat yang kaukira...," ujarmu tersenyum. Kau menoreh perih setiap kali tersenyum
seperti itu. Dengan kedua bibir ditarik ke salah satu sudut mulut, mata beningmu yang
memancarkan kepasrahan, dan tulang pipimu yang menangkap hasratku untuk
memelukmu. Kita seperti dua burung elang yang beranjak pulang ke sarang setelah
menghabiskan hari dalam tualang.

"Aku tak ingin kau lebih sakit lagi."

"Kata ayah aku memang kastil kecil nan rapuh sejak kecil. Dan rumah kita ini, yang terselip
di pusat kota, juga menjadi kastil rapuh bagiku. Lihatlah, bangunan-bangunan besar dan
angkuh itu seperti mengusir kita dan berharap kita lekas pergi. Bila malam hari, dari tempat
ini aku melihat mereka seperti raksasa-raksasa jahat yang sedang mengawasi kita. Aku tak
ingin menempatinya lagi. Kalau kau mau, kita bisa membangun rumah di pinggir sawah.
Tapi tentu kau tak mau."

"Aku akan membuatkannya untukmu."


"Untuk apa? Toh kita tak punya anak. Alangkah inginnya aku punya momongan."

"Sudahlah, jangan ingat-ingat itu lagi. Nikmati apa yang ada sekarang. Kalau kita menuruti
keinginan, tak akan ada habisnya."

Kau menatapku sembari melontarkan peluru-peluru itu ke jantungku: air mata yang meleleh
pelan dan berharap jemari serta telapak tanganku menghapusnya. Bagaimana mungkin
bidadari yang selalu punya kekuatan untuk menghidupkan segala impian mustahil dalam
hidupku ini kubiarkan menangis? Apakah dunia memang sengaja menciptakan kau supaya
aku mengutuk dan tak memercayai kehidupan ini? Tanpa suara, kau meraih kedua tanganku
dan menciuminya seperti seorang ibu menemukan anak tunggalnya yang hilang, membawa
gemetar tanganku ke seluruh raut mukamu, menjejaki segala keperihanmu dan usahaku
menjauhkanmu dari segala rasa putus asa.

"Kau terlalu baik untukku. Dan tak mau menuntut lebih pada hidup yang kita jalani. Aku
heran kenapa aku bisa menemukanmu di antara segala wajah-wajah culas di kota ini."

"Kau benar-benar ingin meninggalkan rumah ini?"

"Sudahlah, lupakan keinginanku yang terlalu mengada-ada itu."

Sisa badai kenangan

Jauh sebelum kita bersama, ibuku bermimpi melihat buah simalakama. Semula ia tak tahu
kalau itu buah simalakama. Rupanya hitam, bentuknya seperti buah manggis dengan
tangkai berwarna merah. Di dalam buah itu terdapat lima ruangan berisi biji yang dibalut
bagian empuk yang bisa dimakan. Pohon dari buah itu tumbuh di depan rumahku, dengan
bentuk daun seperti daun mangga kecuali pohonnya yang tingginya tak lebih dari tiga
meter. Seorang perempuan berwajah putih dengan mata bersinar bak mutiara menunggui
pohon dan buah itu. Ketika ibu akan memetik buah itu, perempuan penunggu buah
simalakama itu melarangnya.

"Kenapa aku tak boleh memetiknya?"

"Bukan kau yang berhak memetiknya."

"Apa nama buah ini?"

"Simalakama."

"Ah, kau mengibul. Tak ada buah simalakama. Buah itu hanya dongeng saja, tak ada buah
simalakama di dunia ini."

"Sekarang kau melihatnya. Inilah buah simalakama itu."

Ibu mengamati buah itu sampai tiba-tiba ia mendengar suaraku berteriak dari belakangnya.

"Siapa perempuan ini Ibu? Alangkah cantiknya. Aku ingin matanya yang cemerlang itu
Ibu. Seperti menyimpan cahaya."

Perempuan itu memandangku lekat-lekat, dan kemudian tersenyum. Tangannya seolah


memanjang dan mengambil salah satu buah dari pohon itu lalu mengangsurkannya padaku.
"Kau mau buah ini? Ibumu tak boleh makan, hanya kau yang boleh memakannya."

Ibu melarangku menerimanya, namun dipenuhi rasa ingin tahu, tanpa memedulikan
larangannya tanganku sudah menggenggam buah itu.

"Bukalah, dan lihat isinya."

Aku membukanya, dan melihat lima bulatan putih dalam lima ruangan terpisah oleh sekat
buah itu. Segera kumakan buah itu, sementara kulihat ibuku menangis dan perempuan itu
tersenyum sangat lembut.

"Nah, kau sudah memakannya. Enak bukan?"

"Rasanya manis tapi agak aneh."

Perempuan bermata bak mutiara yang menjaga pohon simalakama itu memandang kami
berdua, lalu berkata pada ibuku.

"Ia telah memakannya. Suka atau tidak suka ia akan menanggung segala akibatnya."

Begitu berkata seperti itu ibu terbangun dari mimpinya. Ia memeluk tubuhku yang persis
tergolek di sampingnya erat-erat. Sejak saat itulah ibu seperti malaikat yang selalu
menjagaku dari tangan-tangan jahat yang ingin menghancurkanku. Sampai kemudian kau
datang dalam hidupku. Malaikat yang menjagaku siang dan malam itu tiba-tiba seperti
kehilangan segala kekuatannya.

Ulah para ahli nujum

Kita bertemu oleh waktu yang memepat di sebuah titik yang tak pernah terduga
sebelumnya. Bagaimana kita bisa menduganya kalau semua telah digariskan bukan oleh
kita sendiri, melainkan oleh para aktor-aktor ganjil tak semestinya bersekutu
mempertemukan kita? Pertama adalah ruang perpustakaan, tempat aku menghabiskan
sebagian besar waktu hidupku. Sejak kecil ibu telah memanjakan aku dengan sebuah
ruangan berukuran delapan kali sepuluh meter di rumah kami yang luas, memenuhinya
dengan deretan rak dan buku-buku yang tertata bukan berdasarkan katalog seperti yang
biasanya berlaku di perpustakaan umum namun berdasarkan nama pengarangnya. Di
ruangan itulah, selepas waktu bermain bersama teman-teman masa kecil, aku menemukan
sebuah lapis kehidupan yang lain, dunia yang menciptakan kejutan demi kejutan.

Pada suatu hari, selepas masa sekolah menengah, ayah berharap aku masuk fakultas
kedokteran, namun kekagumanku yang berlebihan pada senyawa-senyawa kimia
membuatku lebih memilih ilmu kimia. Oleh hasrat hatinya yang tak tercapai, ayah
bersumpah tak mau membiayai kuliahku, sedangkan ibu, dengan gaya bertarung seekor
singa betina yang anggun, mati-matian membelaku. Rasa sayangnya seperti menguatkan
nujum atas mimpinya di masa kecilku. Namun di kemudian hari, kuketahui pilihan salah
belajar di jurusan itu. Dua tahun aku berusaha mencintai senyawa-senyawa kimia yang
semula memukauku itu, namun ingatanku pada perpustakaan di rumah kami membuatku
berontak dan mengkhianati pilihanku sendiri. Bukan laboratorium yang kucintai ternyata,
namun aroma buku-buku lama di perpustakaan dan lapis-lapis kehidupan yang ada di tiap
lembar buku.

Tanpa memberi tahu ibu dan ayah, aku memutuskan pindah kuliah di kota yang berbeda
dan kembali ke rumah lama nan temaram namun menyenangkan: perpustakaan. Ayahku
semakin murka, dan tak mau mengakuiku sebagai anak. Dan ibu, tetap sebagai seekor singa
betina yang anggun terus membelaku meskipun dengan tenaga yang makin melemah.
Keyakinanku kembali ke rumah yang temaram itu datang di tahun kedua kuliahku di
jurusan sastra saat tanpa sengaja kutemukan sebuah novel Jack London, White Fang yang
dulu kubaca ketika masih berusia sepuluh tahun. Dan pada hari aku membaca Penderitaan
Pemuda Werther, tanpa sengaja kutemukan dirimu di sudut ruang perpustakaan Universitas,
sedang menggenggam Victoria.

Saat itulah waktu memepat, dan dunia seperti membuncahkan segala rahasianya di depan
kita, Sayangku. Kau, dengan matamu di balik lensa kaca mata menelan semua impian yang
telah kusemai. Rambut ikalmu yang berwarna agak keemasan jatuh di dahi, lalu bibirmu
tersenyum simpul melihatku bagai berhenti menahan napas. Aku tidak tahu jika saat itu aku
masuk ke wilayah paling runyam dalam hidupku.

Melewati jembatan api

Apa yang salah dari hidup kita sebenarnya? Bukankah semestinya cinta tak dihalangi oleh
apa pun? Dua tahun setelah kau pergi, aku memikirkannya tanpa henti. Kita tak menyangka
telah berani menentang badai dengan memasuki ketidakmenentuan demi
ketidakmenentuan. Sadarlah aku, melemahnya kekuatan singa betina yang merasuk dalam
tubuh ibuku digantikan oleh kehadiranmu. Kau selalu bilang semenjak kita merekatkan hati
satu sama lain di ruang perpustakaan bahwa kita akan melewati jembatan api.

"Tapi aku tak mau menjadi Victoria. Kalaupun aku mati, aku akan mati setelah
mewujudkan seluruh impian dan cintaku," katamu dengan mata menerawang.

Perlahan-lahan ucapanmu menemukan kenyataan-kenyataan ganjilnya. Ancaman kedua


orang tuamu hanya kau lewatkan seperti sebuah arus sungai besar yang tak bisa dibendung
hanya oleh tanggul tipis dan rentan. Aku memberesi seluruh barang-barang dari rumahmu,
diikuti sumpah serapah dari ayahmu dan tangisan ibumu. Alangkah menyedihkannya
menikahimu tanpa kedua orang tuamu dan ayahku. Tapi apakah yang lebih agung dari cinta
kita ini? Seperti sihir paling memilukan, hanya ibuku yang merestui pernikahan kita.

Tahun kedua pernikahan kau masih tampak sehat, namun belum juga kau mengandung.
Semula kupikir badai akan segera berlalu. Tapi tidak, selepas tahun kedua, kau divonis tak
bisa mengandung karena rahimmu dihuni kista. Ah Sayangku, aku masih teringat
senyummu menghadapi vonis itu, juga air matamu yang luruh sembari menyembunyikan
wajah di balik dadaku. Bertahun-tahun kemudian, oleh derita dan nestapa itu, penyakit
demi penyakit menghampirimu.

Hidup di sebuah negeri yang mustahil seperti negeri kita, tempat ujung pena penulis
dipandang sama berbahayanya dengan sebuah senapan, akhirnya mengantarkan aku ke
dalam penjara. Sebuah buku yang kutulis, karena dianggap menghina sebuah agama, hanya
mengantarkan kegetiran paling meletihkanmu. Aku menjalani kehidupan dalam ruang
sempit dan pengap, sedangkan kau harus menghadapi teror demi teror yang dilontarkan
orang-orang tak dikenal dari depan rumah kita. Kau tak mengira jika setelah melewati
jembatan api bersamamu, kita akan melewati neraka demi neraka kehidupan kita di dunia.

Kehancuran kastil kecil nan rapuh.

Akhirnya saat itu tiba. Aku keluar dari penjara dan kembali ke rumah kita. Kau memelukku
erat, seolah-olah mengisyaratkan perpisahan panjang. Kau membenci deru kehidupan kota
dan udara amisnya yang beracun. Kau ingin menciptakan akhir yang damai bagi hidupmu
dengan menatap persawahan dan mendengar cericit burung serta binatang malam. Dan
akhir itu datang dua tahun lalu, ketika kastil kecil nan rapuh itu-–tubuhmu--rubuh dalam
pembaringan yang hingga kini masih menyisakan aroma tubuhmu.

Tinggallah aku di sini, menghisap aroma kenangan yang membuar dahsyat. Ah sayangku,
dua tahun sudah aku tinggal di sini tanpamu. Setiap malam kuhabiskan waktuku dengan
mengetik tanpa henti. Setiap kelelahan mendera, kau seolah mengelus dan memelukku dari
belakang.***

Yogyakarta, Tengah April 2007

Anda mungkin juga menyukai