Anda di halaman 1dari 4

Nova, Tabloid

Senin, 05 Februari 2007

Hujan, Mengapa Tak Pulang?


Cerpen: Zelfeni Wimra

"LAUT itu sakti, Nak. Rantau bertuah. Tapi, mengapa kau berangkat jua?" Dengan tangan
seperti dibebani berton-ton mendung, ibu Hujan melambai-lambai. Sementara Hujan terus
berderai, berdentang di atap rumahnya, mengucur ke selokan, dan menghilir. Langkah
Hujan meliuk-liuk, menimbulkan decak di halaman.

Dalam hitungan tak lama, halaman itu menjelma telaga. Kaki-kaki Hujan yang bersijingkat
di atasnya memunculkan bulatan-bulatan seperti gelang karet yang ditaburkan begitu saja.

Ibu Hujan tertatih ke beranda. Lambainya semakin berat. Ia rasakan tubuhnya mau
tumbang. Tangan kanannya menggapai-gapai, mencari tiang beranda yang mulai lembap
diperciki Hujan. Di beranda itu dulu, ia mengasuh Hujan. Beranda yang sebentar lagi akan
lengang dan dingin.

Di kejauhan, punggung Hujan mengabur digulung arus sungai, seakan tidak peduli pada
tangis ibunya. Ia terus berlalu membawa kegalauan. Siapa yang bisa nyaman ketika
berurusan dengan tinggal dan meninggalkan rumah? Tapi, itu harus dipilih Hujan.
Sekalipun berat. Sangat berat.

Ia sadar, belum tentu bisa pulang dalam waktu dekat. Cuma saja, sebelum mata ibunya
yang seperti matahari itu mengering, ia berjanji akan pulang.

Di sebuah sungai, ketika yang ada hanya kejar-mengejar, kegalauan mesti dihapus dan
diganti dengan keyakinan. Arus ini harus diakrabi, pikir Hujan.

Hujan tidak boleh berhenti mengalir. Hidup sebagai Hujan harus beralih dari satu tempat
ke tempat lain. Terbendung begitu saja berarti memberi tempat pada kesia-siaan. Hujan
yang terbendung lambat laun akan menyimpan sesuatu yang busuk. Segalanya harus
berganti. Hujan boleh menangis, tapi tidak boleh sedih.

"Aku ingin asin, Ibu. Seperti air matamu," Hujan membatin. Angin terus menampar-tampar.
Tungkai Hujan yang panjang menimbulkan percikan di kulit arus sungai. Membuih. Lalu
lenyap.

Suami ibu [bapak] Hujan menyusul ke beranda. Wajah cekungnya juga menyimpan
kemurungan yang lain. Melintas kenyataan di mana semuanya semakin ke hilir saja. Tidak
berbeda dengan anak-anak yang lain, setelah beranjak dewasa, Hujan tidak betah lagi di
rumah. Ada yang memanggil-manggilnya. Mungkin arus. barangkali juga denyut laut
begitu menusuk angan hingga anak-anak kampung hanyut, seperti juga Hujan. Tapi, ia
tetap berusaha memberi ketenangan pada istrinya.

"Hujan pergi juga, Bapak," ibu Hujan terisak. Bayangan Hujan membias di matanya.
Seperti kaca.

"Hujan sudah besar, Ibu. Sudah pantas mengenal arus. Yakinlah, Hujan sudah bijak
membawakan diri di tengah gelombang sekalipun," ia peluk istrinya dengan keteduhan
seorang lelaki.

"Tapi, Hujan semata wayang kita, Bapak," di pelukan suaminya, ibu Hujan setengah
meratap. Bayangan Hujan terus menderas di pipinya. Terlintas lagi, betapa ia pernah
menjadi perempuan murung yang berdiam di rumah sepanjang hari. Sampai ketika
seorang lelaki meminangnya. Lalu, di sebuah rumah mungil mereka lewati hidup dengan
harapan-harapan, kiranya langit berkenan mengaruniai mereka Hujan.

Harapan mereka terkabul. Sesuatu yang tidak akan pernah terlupakan oleh mereka.
Perempuan penunggu rumah yang murung, dinikahi seorang lelaki pekerja keras yang
sehari-hari mengais rezeki di punggung gunung, dan melahirkan seorang anak bernama
Hujan. Sebuah anugerah yang tak ternilai.

Kehadiran Hujan membuat rumah mungil itu bagai ditumbuhi bunga.

Indah.

Harum.

Ketika Hujan harus pergi, bunga indah dan harum itu serta merta sirna. Bagaimana tidak
akan terasa lengang? Mau tidak mau, siapa saja yang ditinggalkan harus bisa menerima
kehilangan.

Itulah yang ibu Hujan rasakan. Ia sama sekali tiada pernah mengira, setelah besar, Hujan
mengeluhkan keberadaan mereka. Tidak ingin selamanya berada di rumah, seperti
ibunya. Hujan ingin mengalir, menyatu dengan arus ke muara. Hujan rindu laut.

Semula, ibu Hujan tidak terlalu mencemaskan keiginan anaknya itu. Keluhan Hujan ia
anggap sebagai keresahan sesaat saja. Mungkin hatinya tengah dibalut mendung tebal.
Petir dan guruh bersilih datang. Karenanya, Hujan berkali-kali menyampaikan maksudnya
ingin mengalir ke laut. Ibu Hujan mulai resah.

Ketika akan melanjutkan sekolah ke kota Kabupaten, ibu Hujan tidak begitu risau. Ia
didukung suaminya bahwa Hujan harus sekolah. Disebabkan sekolah yang cocok untuk
Hujan tidak ada di kampungnya, mereka ikhlaskan Hujan berangkat ke kota. Di kota,
segalanya ada. Bertumpuk-tumpuk.

Dalam bayangan mereka, setelah Hujan tamat sekolah, Hujan akan pulang dan menetap
di kampung, menetes dan mengalirkan diri. Begitu tak terhitung orang-orang yang haus di
sini. Hujan mesti turun. Kalau tidak, kekeringan segera melanda, tidak hanya sawah
ladang saja yang menderita karenanya. Bentangan hati dan jantung orang-orang di sini
juga telah lama kerontang. Lihatlah, bibir mereka retak. Senyum dan bunga enggan
tumbuh. Mereka haus. Hujan harus pulang dan turun di sini.

Tidak begitu, ternyata. Setelah tamat dan tinggal sementara di kampung, Hujan pamit lagi,
ingin mengalir lagi, mengikuti arus sungai, ke muara. Lalu ke laut.

"Hujan ingin sekali ke sana. Mohon direstui, Ibu.."

Keinginan Hujan itu tidak tertegah lagi. Ia pun pergi ke laut. Hujan ingin seperti teman-
temannya yang lain. Ia saksikan sendiri, teman-temannya yang pergi menghiliri arus, akan
pulang membawa keberhasilan, kebanggaan.

Memang. Ada temannya, setelah berhasil menetap di tempat itu dan tidak tertarik lagi
untuk pulang. Kadang, dengan iba hati, mengakui kalau berlama-lama di rumah dan
berkeliaran sekitar kampung halaman tidak memberi arti apa-apa. Negeri kita tidak
menarik untuk ditinggali dan diresapi. Kita ini, Hujan. Begitu cara mereka berpikir. Mungkin
itu keluhan. Bisa jadi juga pemberontakan. Atau, barangkali, itulah pengkhianatan.

***
SEJAK kepergian Hujan, ibu Hujan sering tersuruk di dada suaminya. Lebih sering
muram. Bapak Hujan mengerti ini tidak baik. Makanya, ia buat-buat dongeng tentang
hujan yang pergi.

"Mengapa hujan tidak pernah bosan turun ke bumi?" tanya seekor semut pada temannya.
Semut-semut itu sedang kedinginan dalam sarang mereka. Hujan turun tak henti-henti.

"Karena hujan tahu, ada matahari yang akan membawanya pulang," jawab teman semut
itu.

"Tapi, kabarnya, hujan tak pulang-pulang. Apakah di rumahnya tidak ada lagi matahari?"

"Bukan begitu. Hujan telah jadi laut?."

Sayangnya, di ujung dongeng-dongeng itu, pertanyaan lain terbata di bibir ibu Hujan:

"Benarkah Hujan tidak apa-apa di sana, Bapak?"

"Tenang, Bu. Kita serahkan anak kita pada Yang di Atas, ya."

"Ibu kuatir, Bapak. Nanti Hujan dianiaya orang. Diracun orang. Disekap dan diperkosa
orang. Hujan nanti dijual atau dibunuh orang!"

Berminggu kemudian, datang surat dari Hujan. Ibu Hujan harap cemas mendengarkan
suaminya membaca surat Hujan itu.

Bapak dan ibu di rumah. Hujan di sini baik-baik saja. Awal bulan ini, Hujan sudah mulai
bekerja. Doakan Hujan Bapak, Ibu.

Surat itu sejenak bisa menenangkan hati ibu Hujan. Tapi setelahnya pikiran beragam itu
muncul lagi. Bapak Hujan nyaris kehabisan akal untuk menenangkan.

"Mata ibu selalu bergerak-egrak, Bapak. Ini pertanda ada yang tidak baik. Apa yang terjadi
dengan Hujan, Bapak? Ibu takut terjadi sesuatu yang tidak baik dengan Hujan,"

"Surat hujan sudah kita terima. Kabarnya baik. Sekarang, kita bertawakal saja, Ibu. Kita
cuma bisa itu."

Ibu Hujan belum bisa juga untuk tenang. Hari-harinya terasa beringsut sendat. Begitu
muram. Ia tidak bisa lepas dari firasat mata yang bergerak-gerak, pertanda tidak baik itu.

Mata ibu Hujan yang putih, kini nyaris tidak pernah berkedip. Selalu tampak kosong. Di
beranda dingin dan lengang itu, ia sering tampak berdiri, bersandar pada tiang beranda
yang mulai rayapan. Aneka bunga yang dulu sering disiram Hujan sekarang sudah banyak
yang terkulai layu.

"Kepergianmu seperti kemarau yang mengisap mataku, Nak. Angin yang berembus saban
waktu tak membawa kabar apa-apa tentangmu. Begitu juga denyut awan, tetap saja
merahasia di ketinggian. Hanya melintas. Bapakmu sudah berkali-kali mendatangi hulu
sungai, di sana barangkali tersisa mata air. Setetes dua tetes akan dibawanya ke hadapan
ibu, untuk menyiram mata ini. Tetapi, bapakmu pulang tanpa membawa apa-apa. Kau di
mana, Nak?"

***

WAKTU terus menderap seperti gerombolan kuda liar. Cerita tentang Hujan yang pergi
meninggalkan rumah juga berderu di kejauhan. Menggelepar di gemulung arus sungai.
Dan, di beranda rumah yang sama, ibu Hujan memeluk simpuhnya, masih menyeru-nyeru
Hujan pulang.

Terdengar kabar, Hujan turun terus-menerus. Badai, banjir, dan longsor di mana-mana.
Ibu Hujan merinding.

"Kau di mana, Nak? Mata ibu makin kerontang. Mengapa tidak pulang-pulang?"

***

DI PASAR sayur, pagi-pagi. Ibu Hujan dikerumuni kenalannya. Ia mempererat


genggamannya di lengan Bapak Hujan. Mereka terdesak ke pinggir bangunan ruko yang
tua dan kumal itu.

"Kapan Hujan Pulang, Ibu?"

"Jadi, sejak pergi dua tahun lalu, Hujan belum pulang-pulang?" sambut yang lain.

Ibu Hujan tercekit menahan isak. Bapak Hujan mengusap punggungnya, isyaratkan
kesabaran.

"Selamat ya, Bu. Hujan sangat beruntung bisa berangkat. Tidak sembarangan anak
perempuan lho yang bisa lolos dari seleksi itu," imbuh ibu yang satu lagi.

"Memangnya Hujan pergi kemana, sih?" timpal ibu yang lain pula.

"Ke Amerika. Dapat beasiswa kerja."

"Aduuh, beruntungnya anak ibu. Sekarang, dapat kerja di dalam negeri saja minta ampun
susahnya. Anak ibu ke luar negeri? Selamat, ya Bu."

Ibu Hujan dipeluk-salami. Sebisanya, ia berusaha untuk tampak ramah. Ia paksakan


seulas dua senyum, agar para kenalannya tidak berkecil hati. Tapi kemudian, ia menarik
lengan suaminya, menjauh dari kerumunan ibu-ibu itu, menyembunyikan mendung yang
tiba-tiba mengukir bayangan Hujan. Pipinya pun menjelma sungai.

***

SETELAH ibu Hujan menghilang di keramaian pasar, ibu-ibu yang tadi berkumpul lagi.

"Nasib tidak bisa diterka, ya. Kita tidak tahu keberuntungan dan kemalangan digilir pada
siapa hari ini?"

"Iya. Siapa yang menyangka ibu Hujan yang buta itu mendapat anak yang pintar dan
bernasib baik."

"Matanya memang yang buta, tapi hatinya siapa tahu. Mungkin doa-doanya lebih didengar
dibanding doa-doa kita?"

****

Bagi seseorang yang suka hujan, Desember 2006

Anda mungkin juga menyukai