Anda di halaman 1dari 93

1.

Satu
Malam membaringkan dunia yang mulanya terang kedalam peristirahatan panjang.
Orang-orang kampung berdiam membenamkan diri dibawah naungan atap bangunan atau dalam
tuntunan selimut. Tak seorang penduduk;pun sanggup keluar rumah, sekalipun hanya untuk
sekedar bercengkeramah dikedai-kedai kopi menjelang rasa kantuk datang. Hawa dingin bagai
merayap dimana-mana, seolah-olah langit telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan Es.
Petir menggelegar disertai kilat, menembus kegelapan. Bumi yang tak bercahaya tibatiba terang sekejapan mata. Desau-desau angin berpusing, gemerisik ,meriuh rendah. Jauh dari
pegunungan, ditepian pesisir pantai, Suara-suara lamunan ombak memecah dihempas badai.
Gelombang tinggi menghantam karang-karang kokoh. Lumba-lumba memekik bersiul
mengumpulkan kawanan. Ikan-ikan menyuruk berenang lebih jauh kedalaman. Burung-burung
laut dan kelompok-kelompok bangau putih yang tiduran didahan-dahan kayu terombang ambing
dalam kebutaan. Hendak pergi terbang, mata sudah buta tatkala kegelapan memulai merajai
dunia.
Tetesan air sebesar jari-jari kelingking berjatuhan bagai ribuan anak panah berguguran
diawan, menyerbu sawah, ladang-ladang petani dan tanah kering perbukitan. Langit layaknya
runtuh. Alam laksana mengamuk, Seakan memberi pelajaran kepada siapa saja yang
menyakitinya. Menunjukkan kekuatan mahadahsyat pada makhluk-makhluk serakah.
Seiring lolongan serigala menyelip meraung, menggidikkan bulu roma, langit menghitam
menutupi cakrawala. Dimalam yang menakutkan itulah, nampak dibalik kegelapan perbukitan
dua sosok manusia sedang berlari kencang dari lereng menuju puncak bukit Gundam. Bukit yang
terletak dan terpencil di selatan pesisir pulau andalas bagian barat. Menerobos malam dengan
nafas tersengal-sengal, seakan tak bergeming bahkan merasa takut pada badai menggila yang
bukan tidak mungkin bisa saja menghempaskan tubuh mereka kejurang terdalam bukit itu.
Langkah keduanya cepat, gesit , dan tangkas mendaki tanah basah licin perbukitan. Tak
sedikitpun tergelincir. Telapak kaki mereka bagai menempel lekat disetiap injakan ditanah. Jika
diperhatikan baik-baik, dua orang itu bukanlah manusia dari golongan rakyat jelatah.
Setidaknya, mereka mempunyai ilmu kepandaian. Mustahil bagi orang biasa bisa mendaki bukit
secepat itu ditengah hujan badai tanpa tergelincir. Hanya orang tertentu saja yang bisa
melakukannya.
Tiba-tiba orang yang paling belakang berhenti berlari. Yang didepanpun segera
menghentikan langkah dan menyusul dengan muka pucat pasi.
"Bertahanlah Sabai! Kita aka segera sampai. Tidak ada waktu lagi. Kita harus tiba
dipondok sebelum mereka datang", kata laki-laki berbaju hitam itu. Ia memmegangi bahu orang
dibelakangnya yang ternyata adalah seorang perempuan. Selendang putih panjang dileher wanita
itu menjula-jula ketanah dan sudah dikotori lumpur. Pakaiannya serba putih seperti pakaian
seorang putri. Rambutnya panjangnya dikuncir bagian atas, menjula sampai kepunggung.
Dikepalanya terdapat sebuah mahkota kecil dari emas murni. Perempuan itu matanya setengah
terpejam memegangi perutnya menahan sesak nafas. Mata sipitnya tampak semakin kecil.
". .Uda Randai! sudah tidak kuat lagi rasanya aku berlari. Kedua lututku serasa mau
tanggal dan tak berdaya. Tinggalkan saja aku disini. Segeralah Uda pergi dan selamatkan mak
Ina dan anak kita!". Ucapnya lemah. Wajahnya memucat menggigil. Tampaknya ia sudah sangat

kedinginan. Berlarian berlama-lama ditengah badai rupanya telah mennguras habis tenaga
perempuan itu, letih. Pun untuk bergerak saja sudah tidak mampu.
Laki-laki yang dipanggilnya Randai mendekatkan tubuh, lalu merangkul_memeluk gadis
yang bernama Sabai seraya berkata. "Tidak istriku. Hidup sama-sama hidup. Matipun samasama mati. Aku takkan meninggalkanmu apapun yang terjadi. Jika kau harus mati ditempat ini,
aku juga akan menerima takdir yang sama". Jawabnya mantap.
Bilamana hujan semakin gila, sudah layaknya hujan batu menimpa punggung serta
kepala, tak sedikitpun dirasakannya sakit. Ia berdiri seraya mengangkat tubuh Sabai yang
menggigil kedinginan dan mulai berjalan lagi. Penuh debaran hati dan pengharapan, penuh do'a
dan keyakinan, ia berusaha mencapai puncak bukit secepat mungkin sambil menggendong tubuh
istrinya yang keletihan. Kiranya, ada kesulitan besar tengah menunggu dua insan ini.
Randai mendaki bukit Gundam setengah berlari. Sekalipun mendaki, menyusuri jalanan
setapak yang basah dan licin, layaknya singa kelaparan ia tak kenal kata berhenti. Terus berjalan
meski deru angin semakin kasar. Jalanan berlumpur bukan rintangan, telapak kakinya tetap
menempel seperti paku disetiap injakannya diatas tanah. Gerakan tangkas dan cepat yang tadi
terlihat, masih tetap sama sekalipun kini ada beban dikedua lengannya. Tidak ada kegamangan
sama sekali.
Tangan masih menggendong istri, tubuh basah kuyup, air telah bercampur baur dengan
keringat, tibalah juga ia dipuncak. Dihentikan langkahnya sejenak. Diperhatikan tiap sudut gelap
dengan mata awas. Suara desau angin semakin kuat membanting. Dedaunan serta rerumputan
kering beterbangan seperti kapas. Tubuh Randai bagai ditindih batu besar. Namun, dengan
berbekal kekuatannya, dia tetap berdiri kokoh tiada goyang, tiada surut barang sejengkalpun.
Diatas sana terdapat pedataran yang cukup luas. Pohon-pohon belantara diatas bukit itu
tampak aneh. Pedataran luas itu ibarat terbagi dua. Sebelah padang bukit ditumbuhi tumbuhan
teramat subur. Belukar ada dimana-mana. Hutan dan rerumputan tumbuh rimbun. Lebih
kedalamnya lagi suasana amatlah gelap, digelapkan oleh rentetan rapatnya pepohonan. Banyak
binatang bernaung didalamnya. Mungkin harimau bisa juga pemangsa lain. Namun, separoh
padangnya lagi ialah tanah tandus yang hanya ditumbuhi ilalang-ilalang yang berakar panjang.
Jangankan pohon besar, jati ataupun pinus, Pohon sekecil ranting;pun seakan tak sudi
menghidupi diri diatasnya. Bukit itu ibarat terbagi dua dalam satu tubuh. Tandus dan subur.
Sebagian penduduk desa dikaki bukit mempercayai bahwa ada hal ghaib yang menguasai tempat
itu. Konon, menurut cerita, disitulah pernaungan para jejadian.
Ditengah-tengah pedataran ada sebuah rumah kayu yang kiri kanannya terdapat dua buah
batu besar melebihi tinggi rumah itu sendiri. Kalau dilihat dari tempat pemuda yang bernama
Randai berdiri, rumah ini tidak terlihat sama sekali. Siapapun yang mengunjungi tempat itu
dikali pertama, tidak akan menyangka jika ada rumah kecil disana, tersembunyi dibalik
bebatuan. Diatas kedua batu itu terdapat dua buah guci perak tak terawat. Sudah ditumbuhi
lumut nyaris keseluruhannya. Guci itu mermotif bunga teratai dan bertuliskan sebentuk sandisandi kuno. Entah apa maksudnya.
Si Randai mempercepat langkahnya, setengah berlari dan berteriak menyerukan sebuah
nama, "Mak. . .Mak Ina. . .Mak Ina. . .!!". Panggilnya.

Beberapa waktu kemudian, Seorang perempuan tua tergopoh-gopoh keluar dari dalam
rumah. Tubuhnya bungkuk dan langkah sudah gontai termakan usia. Tenaga yang tersisa
mungkin hanya tinggal untuk berdiri saja. Sambil mengosok-gosokkan sugi (kapur dan sirih
dicampur tembakau) dimulutnya, dia berjalan memperhatikan orang didepan. Mencari-cari sosok
siapa gerangan memanggilnya. Akankah orang yang datang itu seperti pengharapannya?
Singguluk lusuh dikepala si nenek berkibar-kibar disapu angin. Ia pun berseru, "Randai..! waang
nak?" Tanyanya dengan suara serak dan lemah.
Randai menjawab,"Iyo mak. Ini ambo Randai",Randai mendekati Mak ina. Lalu
menurunkan tubuh istrinya.
"Mana Sabai? Dimana cucuku?", katanya tidak sabar.
Sabai yang mulai pulih sedikit tenaganya, sudah lapang pula nafasnya, segera memeluk
erat tubuh kurus Mak Ina. Dicium pipi kisut si nenek penuh kasih sayang dan kelegaan yang
sedari tadi mengganjal dalam hati, tak mau hilang sebelum bertatap muka. "Ini aku Sabai, Mak.
Walaupun mata amak sudah kabur tapi amak masih bisa mengenali suaraku, bukan?"
Perempuan tua itu menepuk-nepuk bahu cucunya berkali-kali, besar sekali nampak
hatinya mendengar suara itu,"Sabai!! Kemana saja kau, nak? Sudah dari tadi anakmu menangis.
Dia belum kamu susui semenjak kamu dan Randai pergi. Pasti dia lapar. Tadi terpaksa Mak
kasih air dicampur madu saja. Untung dia mau minum. Amak sangat khawatir kalian bertemu
bahaya diperjalan" terang mak Ina.
Sabai sedikit tersenyum,"Maaf, mak. Tadi Kami dikejar anak buah Rajo batuah
diperjalanan pulang dari rumah Angku Lareh. Kami terpaksa menghindar dulu kehutan sebelah
sana untuk menyelamatkan diri"
"Rajo batuah", kata mak ina bergetar, nafasnya berat. "Orang itu! Belum puas juga
rupanya dia memburumu. Kapan dunia ini bisa tenteram jika yang berkuasa justru orang yang
berhati tamak dan serakah. Kapan masanya kita akan bisa hidup berpindah lagi dari tempat sunyi
ini? Aku rindu punya tetangga disebelah rumah sebagai kawan berbagi. Takkan terwujud jika
manusia terkutuk itu belum juga berhenti?"
"Bersabarlah, Mak! Masa itu pasti akan tiba. Mana anakku? Kita harus segera pergi dari
sini" Tanya Randai pula.
"Sekarang dia sudah tidur. Mau pecah gendang telingaku ini rasanya mendengar
pekikkan anakmu itu kalau menangis" Mak Ina terdiam sebentar."Apa maksudmu dengan
pergi?". Lanjut Mak ina. Ia menarik tangan Sabai hendak membawanya kedalam rumah.
"Rajo batuah ..... dan anak buahnya sebentar lagi akan segera sampai ketempat ini, Mak.
Cepatlah berkemas. Kita harus meninggalkan kediaman ini untuk sementara waktu. Kalau tidak,
keselamatan kita akan terancam. Rajo batuah sudah hilang rasa kemanusiaan dan akal sehat.
Tidak bisa diharapkan lagi untuk bermufakat. Ia sekarang tak lebih dari seekor binatang".
Langkah mak ina terhenti. "Pergi! Kemana lagi kita harus pergi, Randai? Aku yang
sudah tua rentah, tak sanggup lagi berjalan jauh. Lututku sudah goyang, tulangku tak lagi
berbalut daging ini juga sudah rapuh. Lagipula, ini rumahku! Aku tidak akan meninggalkannya

hanya karena takut. Mau sampai kapan kita hidup sembunyi-sembunyi? Aku tidak takut dan
tidak akan tunduk pada Rajo batuah", mak ina berkaca-kaca.
Sabai disebelahnya dapat mahfum dan memahami setiap bulir umpat mak ina. Ia pasti
lelah hidup terasing ditengah hutan tanpa pernah bergaul dengan orang lain selain dirinya. Mak
Ina nampaknya tak lagi setegar dulu dimasa akhir penghujung hidup. Semua itu akibat ancaman
dari manusia bernama Rajo Batuah. Agaknya begitu menakutkan kekejamannya, sampai-sampai
mereka harus menjauh dan berpindah-pindah demi menghindarinya. Sabai memeluk bahu mak
ina, berusaha menenangkan orang dikasihinya itu. Disapunya air mata si nenek penuh kasih
sayang, penuh cinta,"Mak", katanya lembut, "sementara waktu, lebih baik kita bersembunyi
dulu. Kita tidak aman disini. Kami tahu amak sudah lelah dengan hidup yang selalu dicekam
kecemasan. Tapi, apa yang bisa kami lakukan sekarang untuk amak selain meninggalkan gubuk
ini? Amak tenang saja. Nanti, setelah rajo batuah pergi, kita bisa kembali lagi kerumah ini",
bujuknya.
"Kita lari bukan karena takut! Kita menghindar demi kebaikan kita sendiri. Jika berkelahi
perkara selesai. Bisakah amak terkah dan pastikan akan selamat kita semuanya? Akan dapat
berkumpul lengkapkah kita kembali? Atau, kita akan kehilangan demi mempertunjukkan bahwa
kita tidak takut? Jika hidup sendiri saja, Uda Randai tidak bakal bersurut dan mengulak langkah.
Akan dihadangnya siapa saja. Tapi, ia punya keluarga! Keluargalah alasannya bersembunyi,
Mak!,
"Maafkan Amak, sabai jo Randai! Bukan maksud amak hendak mengumpat, hanya kesal
pada Rajo batuah. Kenapa tiada hentinya juga mengganggu kita. Sedangkan matahari saja terus
tenggelam dikala senja, jika hari ini ia redup dikarenakan awan hitam, akan diusahakanya lebih
terang esok harinya, tiada dia ingat hari kemarin akan kejahatan awan hitam itu, tiada
mendendam. Bulan berganti dan waktu berputar. Masa-masa permusuhan itu seharusnya sudah
hilang. Kenapa watak perilakunya tidak juga berubah.
Sekarang amak setuju kita pindah, Tapi kemana?", kata mak ina menghela nafas.
"Ke-goa dibalik bukit ini", kata sabai. "Tempat itu cuma kita yang tahu. Jadi, kita aman
kalau berada disana. Amak ikut kami ya!". Dipikirnya sejenak, ditimbang buruk baiknya tempat
itu. Bisa tinggal berlama-lama disana atau tidak? Bisakah berteduh dikala hujan juga cercaan
sang surya? Terlindungkah mereka dari kejaran Rajo batuah jika kesana? Semua dipikirnya dulu
sebelum meng"iya"kan.
Mak ina kemudian mengangguk pelan setelah beberapa saat berfikir penuh pertimbangan
itu. Walau hatinya berat untuk pergi, mak ina juga tidak mungkin tidak menuruti keinginan
sabai. Seperti ia pahami sendiri tanpa harus ia ucapkan berkali-kali, separuh hidupnya adalah
untuk melindungi gadis itu. Tidak dengan tenaga, dengan buah pemikiran pun jadi. Dengan
nasihatpun bisa. Apapun yang bisa ia lakukan akan dilakukannya demi si buah hati, milik
tunggalnya didunia. Dia sangat menyayangi cucunya melebihi segala kata serta lakunya sendiri.
Cinta yang teramat dalam selayak ibu mencintai puterinya, sekalipun gadis itu bukanlah cucu
yang lahir dari rahim anak kandung Mak Ina. Sebab, Mak ina memang tidak pernah menikah
apalagi punya anak. Sabai sejatinya bukanlah cucu. Ia hanyalah cucu angkat. Sekalipun begitu,
tak berbilang sayangnya tertumpah pada sabai sedari kecil. Ditambah lagi sekarang dengan
kehadiran cicitnya, anak sabai dan Randai yang masih berumur tiga bulan itu, hatinya semakin
tak bisa jauh. Kesempurnaan hidup dimasa senja adalah menimang cucu dan berkumpul bersama
keluarga. Setidaknya, yang satu itu telah berhasil diraihnya.

Sementara itu, Randai masih berdiri diluar rumah memperhatikan keadaan disekitarnya
penuh rasa was-was. Istri dan mak ina mengemasi barang-barang mereka didalam rumah.
Gemerisik padang ilalang yang biasa didengarnya, kini mengejutkan juga dalam prasangka.
Siapa tahu disana ada yang mengintip, mengintai kediamannya. Siapa tahu disanalah Rajo
Batuah mencari-cari kesempatannya lengah dan membidiknya dari belakang. Beragam
kerusuhan berkecamuk dalam dada. Jantung Randai tiba-tiba berdebar kencang melihat sesuatu
didepannya. Matanya terbelalak. . .

2. Dua
***
Badai semakin gila. Hujanpun masih turun lebat ketika segerombolan manusia berkuda
memasuki hutan belantara dibawah bukit Gundam nan tengah diamuk badai. Berdecak-decak
bunyi genangan air diinjak sepatu-sepatu kuda, bergetar-getar bumi Allah dikarenakan rentakan
binatang kuat itu yang berjumlah banyak, seperti kuda pacuan yang terus berlomba menjadi
paling terdepan, saling mendahului dengan hentakan khas penunggang. Gerombolan orangorang itu berhenti ditepi lereng bukit yang mana tidak jauh di depan tedapat jalan setapak
menuju puncak.
Seorang laki-laki tambun, perutnya buncit seperti perut babi liar, berkumis tebal hitam
lebat teronggok di atas dua bibir yang sedikit tebal juga, perlahan maju kedepan dengan gagah
diatas kudanya. Kilat dan petir menyambar sesekali, membuat orang sekeliling tersadar bahwa
wajah itu teramatlah angker bila terlihat sekilas-sekilas. Beberapa saat sebelum suasana kembali
gelap, ia buka suara.
"Cari bangsat itu sampai dapat dan habisi dia beserta anaknya, tapi jangan sentuh
istrinya. Dia bagianku. Kalau kalian berhasil, hadiah besar sudah menunggu. Kalian akan kaya
raya!!", teriaknya lantang penuh api. Senyuman bengis tersungging dari bibir yang hitam tebal.
Laki-laki yang berteriak ini, yang teramat buruk rupa ini , yang juga bengis dan kejam ini tidak
lain adalah Rajo Batuah. Manusia yang sedang memburu Randai dan istrinya. Manusia yang
telah membuat Randai dan Sabai lari tunggang langgang ditengah malam. Hal apa kiranya yang
terjadi diantara mereka?
Mendengar kata hadiah, semua orang diatas kuda bersorak girang. Carut marut beserta
kata-kata kotor lainnya sahut menyahut bergantian sebagai luapan kesenangan, bermacam canda
terlontar, pukul kanan pukul kiri sebagai ganti diri menyapa, hal yang tidak asing bagi
kehidupan orang-orang berjiwa kasar yang hidup dikaum berjiwa dan tutur kata kasar pula.
"Berapa imbalan untuk kepala bajingan itu Tuan Muda?", tanya salah seorang penunggang
ditengah-tengah keumunan. Wajahnya kurus dan pipinya agak cekung. Rambut acak-acakan
setali tiga uang dengan jambang lebat tak terurus, serupa beruk hutan saja tampilannya, tua.
Siapapun yang melihat-memandanginya, sudah barang tentu akan dapat menerka sifatnya yang
garang menakutkan tanpa harus bertanya, kekerasan bagai sudah tertulis dibentuk wajahnya,
itulah pemimpin rombongan pengikut setia Rajo batuah yang bergelar Celurit Perindu Darah.
Pendekar sakti mandraguna. Pandeka hebat lagi terkenal di empat penjuru angin pulau andalas
yang sangatlah luas ini. Lebih tepatnya, orang-orang itu adalah pemuja uang alias tukang jarah
kaum lemah. Pembunuh nomor satu, perampok ulung yang merajai segala sudut pesawangan
diselatan pesisir.
"Dua ratus keping uang emas ditambah sepuluh ekor sapi!", teriak Rajo batuah."Uang itu
cukuplah bagi kalian bersenang-senang berbulan-bulan tanpa harus bercucuran keringat.
Bagaimana? Jikalau disetujui, lekaslah kita berangkat. Berlama-lama hanyalah memberi lawan
kita kesempatan untuk melarikan diri"
"Cukup menarik!", kata laki-laki bewok didepan kawanan garuk-garuk dagu. "Tapi
jumlah kami terlalu banyak bila dibagi-bagi dengan uang sekecil itu. Tambahkan seratus keping
emas lagi, agar kami dapat sedikit bagian. Sekedar pembeli kopi dikedai nanti. Kalau tuan muda
setuju, baru kami bertindak. Bagaimana?"

Merah padam muka Rajo batuah. Tampak menggeram, amarahnya membuncah. Dada
membusung, nafas tersesak naik-turun. Menurut sangkaannya, tidak lain ia juga sedang dijarah
oleh pengikutnya sendiri, sedang diperas dikuliti oleh si Celurit. Kalau saja sinar bulan
meneranginya dikala itu, maka tampaklah wajah angker itu sedang remuk redam. "Dasar
manusia-manusia tamak. Kuhancurkan kalian setelah rencana ini selesai". Gerung Rajo batuah
dalam hati. Lalu dengan lantang manusia ini kembali berucap. "Aku sanggupi permintaan itu.
Asal kalian tidak mengecewakan, semua yang kujanjikan akan kalian dapatkan sebagai imbalannya"
Si laki-laki bewok terkekeh kegirangan. Belum apa-apa sudah terbayang-bayang di
kepalanya kesenangan yang akan ia dapatkan setelah pekerjaan selesai. Meja judi serta
perempuan, main sana main sini, minuman dan mabuk-mabukan, semuanya mengambang silih
berganti dihadapannya. Melintas-lintas di pelupuk matanya. "Ha ha ha ha, baiklah!!",katanya
menyetujui."Tunggu apa lagi kawan-kawan. Lekaslah kita selesaikan pekerjaan! Kemudian
bersenang-senang!". "Ayolah!",teriak gerombolan itu serentak. Maka, menderulah suara kakikaki kuda meneobos amukan badai kepuncak bukit Gundam.
Petir kembali menggelegar. Kilat menyambar-nyambar dipenaungan awan, bencana
apakah yang akan terjadi? Tak biasanya alam mengamuk segila itu. Mungkinkah alam sedang
marah? Jika tidak, langitkah sedang sakit? Yang patut dan lebih ditakutkan hanyalah jika Allah,
Tuhan segala makhluk;lah mulai marah melihat tingkah manusia. Tidak satupun bisa selamat
jika itu benar terjadi. Namun, sekalipun begitu, kawanan Rajo Batuah tidak gentar. Meski bumi
tebalik terjungkal, atau bukit gundam runtuh, tekad sudah bulad takkan terpecah, sepakat yang
dipegang tidak juga akan berubah, terus melaju. Bayang kematian bukanlah soal yang harus
dipikirkan, omong kosong. Uang yang lebih perkasa dari segalanya. Uang lebih berkuasa atas
nafsu-nafsu serakah. Begitulah tamaknya hati manusia.
Jumlah orang-orang itu tidaklah kurang dari sepuluh orang. Berpakaian hitam degan ikat
kepala yang juga sama. Seayun, selangkah dan setujuan, semua mereka seragam dengan pakaian
kebesaran yang tidak terpisahkan. Tanda setia kawan. Rela menyabung nyawa demi kelompok.
Demi ketua yang diagungkan.
Terkecuali Rajo Batuah, penampilannya sama sekali sangat berbeda. Pakaian merah
dengan sulaman benang emas dipinggirnya itulah yang membuatnya dipandang lebih dari orang
lain. Emas tidaklah sama dengan loyang, Sutera tidak bisa disamakan dengan benang. Ia orang
besar, berpangkat tinggi lagi dihormati, manamungkin ia mau berpakaian setara dengan penjahat
rendahan di kelompok Celurit Perindu Darah yang hanyalah pesuruh lalu dibayar, orang
bawahan. Sebilah keris terbuat dari emas murni tersembunyi dipinggang laki-laki buncit itu.
Sembari kuda memacu lari, disentuhnya sesekali gagang senjata bertuah turunan ayahnya.
Sekalipun berkawan dan bergaul dengan banyak orang, terlihat juga bagaimana sifat
Rajo Batuah sangatlah berbeda. Nampak juga tabiat buruk menguasai tutur bahasanya yang
kasar. Perlakuannya yang keji. Otaknya yang kotor. Yang biasa bergaul dan bertatap muka, tidak
satupun berani menegur. Itu dikarenakan manusia picik ini memanggul jabatan terpandang dan
disegani. Dubalang dalam kampung, ditakuti oleh sekalian pemuda, terkemuka dalam berbagai
hal, dituakan selangkah dari yang sebaya. Itulah dia.
Ia manusia serakah! Tak segan menyiksa bahkan membunuh apabila niatnya tak dituruti,
pintanya tidak dipenuhi. Tugasnya dikampung sebagai tukang tarik pajak rakyat sebelum dikirim

kekerajaan, kaki tangan pemerintah. Jika raja meminta pajak sepuluh perak per-kepala, maka
pajak yang ditarik oleh manusia angkuh ini bertambah menjadi tigapuluh perak. Berlipat-lipat
naiknya. Sebab, duapuluh perak per-kepala lagi masuk kekantongnya sendiri. Bukanlah
pertanyaan lagi apabila dia begitu cepat kaya raya. Tidaklah menjadi hal baru bagi orang-orang
yang ditindas diperas keringatnya oleh rajo batuah kenapa kekayaannya melimpah. Hasil
mengumpulkan uang haramlah yang membuatnya begitu. Banyak juga penduduk yang merasa
keberatan dengan kelakuan tamak Rajo batuah. Tak terhitung kepala yang mendongkol dan
menyumpah. Dengan dalih memperbaiki pembangunan kerajaan ia mengelabuhi banyak orang.
Hampir semua peduduk menyadari kebusukannya itu, keterlaluan. Karna takut mati, mereka
diam saja. Sekali bicara maka nyawalah tantangannya.
Salah seorang dari yang berkuda berteriak kepada temannya dibelakang. "Aku rasa Itu
mereka ! Sudah sampai dipuncak"
"Tunggu apa lagi?, segera tangkap dan bunuh dia" teriak Rajo Batuah geram penuh
dendam. Beberapa kali terdengar dia menggerutu tidak jelas. Entah apa yang disebutnya.
Kuda dipacu, dipaksa berlari lebih cepat. Beberapa saat kemudian Rajo Batuah bersama
puluhan anak buahnya sudah sampailah di puncak bukit. Didiamkan diri sebentar,
diperhatikannya selingkaran pandang, sepi. Suasana masih tetap sepi sampai beberapa waktu
dilewatinya diatas punggung kuda, tiada apa-apa. Gemuruh guntur dilangit sana seakan tiada
henti membelah gelap.
Hujan turun semakin deras. Hutan bukit sebelah itu bunyikan suara mengaung-ngaung
menakutkan, bagai sebuah lorong yang menelan badai. Sementara itu, Rajo Batuah belum juga
menemukan apa-yang dicari. Tak dilihat jua yang diselidikinya. Kecuali, suara desau yang
meniup kasar menampar-nampar wajah bengis laki-laki tambun itu.
"Kemana bajingan durjana itu", berkata Rajo batuah. Dipegangnya gagang keris emas
dipinggang dan turun dari kuda. Penuh rasa awas kehati-hatian, ia berjalan lurus menuju
gundukan batu besar didepan. Ketika itulah matanya terkesiap menangkap benda diatas batu
besar. Sebuah guci perak bermotif bunga teratai dengan ukiran sandi-sandi kuno berada disana,
yang sudah diselimuti lumut. "Teratai perak!", serunya tak percaya.
Tak lama kagetnya itu. Kemudian, ia tersenyum-senyum sendiri dengan kepala
terangguk-angguk, memahami sesuatu hal. Sesuatu yang sedang terfikir oleh otak kepala
bengisnya. Ia tertawa senang. "Hahaha, Kutemukan juga kau bajingan".
Perlahan-lahan rajo batuah berjalan kebalik batu besar itu. Kegelapan malam tak
menghentikan langkahnya, tak menciutkan nyalinya untuk menggeledah. Matanya waspada
tahu-tahu kalau ada serangan pembokong dengan senjata rahasia. Ketakutan yang tak lebih dari
sifatnya sendirilah yang pengecut. Yang terbiasa menyerang dalam gelap, membidik disaat
lengah. Penikam dari belakang.
Rajo Batuah membelalak lagi jikala melihat sesuatu yang ada dibalik batu itu. Darahnya
berdesir. Amarah bangkit memanaskan dada dikala menemukan orang yang memang sedang
dicari-carinya berdiri didepan sebuah rumah yang tersembunyi dibalik batu besar itu. Orang itu
ialah Randai.

"Ooh!Jadi disini selama ini kau bersembunyi, Randai pengecut!", kata rajo batuah
bercakak pinggang."Apa kau masih ingat dosa-dosamu padaku? Bertahun tahun kau pergi.
Bertahun kau menghilang, bertahun pula aku memendam hasrat untuk memenggal kepalamu
penghianat! Ah!Tiap hari aku memikirkannya Randai. Selalu ku jaga dendam ini untukmu
sampai aku bisa membalasnya dengan cara yang lebih kejam. Tak kusangka, dendam itu akan
segera terbalas malam ini"
"Dosa?", jawab Randai tenang."Aku merasa tidak punya dosa apa-apa padamu dimasa
lalu. Tidak ada yang harus kusesali Rajo Batuah. Semua yang aku lakukan adalah apa yang
sudah seharusnya kulakukan. Jika kau kurang senang, itu tak lebih dari ketamakan;mu sendiri"
"Bagus!", kata rajo batuah."Seorang Penghianat takkan pernah merasa bersalah. Apalagi
kau, manusia hina. Tak juga kau sadari kesalahanmu, he? Apa sekarang kau mau cuci tangan
dan berpura-pura tidak berdosa setelah berhadapan denganku? Bangsat tak tahu malu macam
kau memangsudah sepantasnya dibumihanguskan dari dunia ini"
Randai sekilas melihat kedalam rumah. Sabai dan mak ina belum juga keluar. Mereka
sudah kehabisan waktu. Mungkin tak sempat lagi menyelamatkan diri. Terbesitlah dalam hati
laki-laki ini sedikit kekhawatiran akan keselamatan istri dan anaknya serta mak ina yang Rentah.
Jika yang dihadapinya hanyalah rajo batuah seorang, sejengkalpun ia takkan gentar. Selama
yang ia tahu, rajo batuah tak pernah menang tiap kali adu tanding dengannya. Tapi, ia sadar
betul keculasan otak musuhnya itu. Dia takkan gegabah datang seorang diri menghadapinya.
Dan benarlah dugaan Randai. Sepuluh orang anak buah Rajo Batuah telah berdiri sejajar
dibelakang si dubalang.
Masih tenang randai;pun membalas ucapan rajo batuah,"Perlu kau tahu Rajo Batuah.
Jauh hari sebelum kau menyukai sabai, dia sudah menjadi milikku. Tiap kali kau bertanya siapa
kekasihku, aku ingin menjawab kekasihku adalah sabai. Namun, Sengaja tak kuberitahu padamu
karena aku tak mau kau bersedih hati. Seperti yang kau terangkan tiap kali kita bercengkeramah
diwaktu dulu, bahwa kau menyukainya. Kau ingin memilikinya. Mempersuntingnya adalah
tujuanmu. Semua itu ku lakukan karena persahabatan kita.
Sebab kenapa kuambil keputusan waktu itu, aku tahu betul tabiatmu. Aku sadar watak
keras yang tersimpan dalam jiwamu nan serakah itu. Setiap yang kau inginkan pasti mau kau
dapatkan. Tidak bisa secara baik-baik, secara paksa;pun tak apa. Dan, aku tidak bisa
membiarkanmu menyakiti Sabai, wanita yang kucintai. Maka, segera kunikahi dia dengan
pengharapan kau mau mengerti bahwa dia milik-ku, sahabatmu sendiri.
Akan tetapi, apa yang kulihat setelahnya sangatlah jauh dari sifat seorang sahabat yang
berkasihan sejak kecil. Yang setikar setiduran. Perlakuanmu tak lebih dari sebuah keserakahan
atas nafsu duniawimu saja. Kau gelap mata dan memburu temanmu sendiri"
"Cukup bangsat!", teriak rajo batuah."Banyak alasan kau Randai. Kau pikir aku akan
percaya dengan pembelaanmu itu? Sudah terlambat untuk menerangkan kebusukanmu sekarang.
Hari ini kau akan membayar semua penghianatanmu dimasa lalu. Bersiaplah menghadap setan
neraka kau jahanam!!"
Rajo Batuah surut dua langkah. Dipandang-pandangnya juga sesosok teman yang kini
menjadi musuh. Senyum layaknya menghina ia hadiahkan seraya memberi kode pada anak
buahnya untuk menyerang. "Habisi dia! Cincang! Bahkan tulangnya pun tidak boleh tersisa!".

Gelegar petir masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Randai menatap
langit beberapa saat. Direnungkannya nasib sementara waktu. Diingatnya anaknya yang kecil
sedang menangis, dibayangkan wajah sabai berurai air mata, juga mak ina yang mengiba dalam
ratapannya. Akankah ia biarkan angkara itu terjadi pada keluarganya? Tidak... Sampai putus
nyawa di badan takkan tersurut keberaniannya demi membela orang-orang tercinta.
Ia membuka langkah, memasang kuda-kuda untuk menghadapi serangan musuh. Anak
buah rajo batuah membentuk lingkaran dan randai terjepit ditengah kerumunan . Dan, "serang
bangsat tengik ini. . !!", seru si celurit perindu darah, ketua kelompok pembunuh bayaran.
Sembilan anak buahnya menyerbu serentak. Desing-desing senjata melayang menebar ancaman,
pertanda bermulanya pertempuran. Berkebut-kebut suara pedang, berdering-dering bunyi besi
tajam, sungguh Randai dalam bahaya besar. Pertempuran sengit;pun tak lagi terhindarkan.
Sebuah sabetan golok mengejar perut Randai. Dengan gesit ia melompat kebelakang dan
melayangkan sebuah tendangan keras berisi tenaga dalam kekepala si penyerang. Tiada bisa
dielak digelengkan, berkelit atau melepaskan diri, tendangan itu sudah bersarang tepat ditujuaan.
Tubuh pengeroyok terbanting keudara, langsung disambut batu besar dan "bukk", terdengar
benturan keras. Suara pekik aneh layaknya elang mengejar mangsa memecah relung hujan. Dan
kemudian diam. Nyawa laki-laki itu putus seketika.
Serangan beruntun datang lagi. Randai masih mampu menghindar dengan sangatlah
mudah. Bukan apa-apa baginya para lawannya itu. Jika ia boleh bersombong diri, algojo itu
belumlah seujung kuku;pun dibanding kepandaian ilmu silatnya yang diasah bertahun-tahun.
Jurus-jurus aneh berkelebat seakan mencabik-cabik lawan. Dua orang anak buah rajo
batuah kembali jadi korban. Dadanya terkoyak, daging menghambur keluar sehingga jantungya
kelihatan. Mayat bergelimpangan bersimbah darah. Cakar Harimau yang berasal dari silat
Harimau, jurus aliran silat minang kabau yang teramat berbahaya.
Rajo batuah yang menyaksikan keganasan itu sedikit bergidik bulu romanya. Bukan
main gentar hatinya menyaksikan kepandaian lawan. Sekalipun ia pernah bertarung, belumlah
pernah dilihatnya ilmu silat mantan sahabatnya begitu berbahaya.
Meski tidak diperlihatkan, keraguan mulai menelisik pertahanan-Rajo Batuah. Mulai
mengerik-ngerik dinding keberanian dan hati panasnya,"Sial benar! Manamungkin aku bisa
merobohkan bajingan ini? Kesaktiannya diluar dugaan. Kalau kupaksakan, malah aku yang bisa
celaka". Celotehnya dalam hati. "Aku harus mencari cara".

3. Tiga
**
Sabai memegang tangan mak ina kuat-kuat ketika mendengar kegaduhan didepan rumah.
Tangan itu dingin selayaknya beku. Walaupun tidak melihat, ia sudah bisa memastikan bahwa
yang tengah bertarung adalah Randai, suaminya menghadapi anak buah Rajo Batuah. Tidak
dapat diembunyikan kekhawatiran-ketakutan jika suaminya dapat celaka menghadapi otak culas
Rajo Batuah. Pikiran itu terus membuntuti isi kepala dan buah pikirnya.
Ditatapnya wajah lusuh mak ina mengguratkan keresahan tersembunyi. Hatinya menjerit
mengiba. Air matanya meleleh. Penuh kebingungan, perempuan itu menangis, "Mak! Apa yang
harus kulakukan?", Sabai putus asah. Dihati dan dimata hanya nampak bayang angkara murka.
Dihadapan hanya ada kesusahan serta pesakitan hidup dalam bencana. Disela tangis, membathin
ia bertanya, kenapa tidak ada damai baginya, tidak ada senyum untuknya, tidak ada cerah di
gelapnya? Kenapa .... Kenapa ! Cuma itu umpat tangisan Sabai.
Mak Ina membalas pegangan tangan itu, "Ayo kita keluar! Tidak ada gunanya berada
didalam sini. Jika suamimu mati, orang-orang itu akan semakin leluasa memaksamu. Itu jauh
lebih buruk dari kematian. Lebih baik kau bantu Randai dan aku akan menyelamatkan bayimu"
"Amak tidak mungkin pergi sendiri! Hendak kemana amak akan menyelamatkan diri
bersama anakku sementara Amak tidak bisa melihat apa-apa? Kita sudah masuk perangkap,
Mak"
"Percayakan anakmu padaku. Allah selalu bersama hambanya yang sedang
membutuhkan. Meskipun aku sudah rentah dan tidak bisa melihat apa-apa dengan jelas, tapi
sudah bertahun aku hidup ditempat ini. Goa yang kau sebutkan itu sudah kuketahui sebelum kau
dan Randai mengetahuinya. Segala keperluan kita sudah kupindahkan kesana. Tiap hari aku
mengunjungi tempat itu untuk persiapan. Aku sudah menebak Rajo Batuah akan menemukan
keberadaan kita. Sekarang kau bantu Randai dan kau susul aku setelah urusanmu disini selesai!"
"Tapi, Mak . . . !!" "Sudahlah Sabai . . Bukan saatnya kita berpendapat. Cepat pergi . .
!!", seru Mak ina mengambil bayi digendongan perempuan cantik itu. Untuk beberapa saat sabai
hanya bisa diam. Terdiam karena meragukan keputusan mak ina pergi sendiri. Namun, apa yang
bisa ia perbuat sebagai pilihan? Adakah cara lain agar anaknya selamat? Tidak ada! Tidak ada
pilihan lain. Maka disetujui;nyalah usulan itu.
Sabai beserta Mak ina menyelinap belakang rumah. Dibantunya Mak Ina melarikan diri
melewati pintu dapur. Dengan hati yang teramat berat, dengan dada yang menyesak,
dilepaskannya wanita tua itu pergi membawa serta bayinya. "Jaga anakku, Mak! Apapun yang
terjadi. Bahkan jika aku dan Uda Randai tidak menyusul amak kesana", kata sabai. Mak Ina
menganggukkan kepala. Deraian kesedihan tampak jelas diwajah keriputnya. Wanita tua itupun
berlalu.
Langit hitam mengeluarkan letusan lagi. Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya.
Berguncang hebatlah bumi Allah diketika itu. Bertumbangan pohon-pohon besar. Dibawah kilat
halilintar, isak tangis Sabai tak lagi terbendung. Bagaimana nasib anaknya nanti? Jikalau pergi
bersama, akan celaka suaminya. Jikalau tinggal, belumlah tentu bisa kembali berjumpa. Ah,
semua terasa serba sulit dan menyedihkan. Getaran bibirnya yang kedinginan bercampur baur

dengan air mata. Dalam gelap itu ia memanggil-manggil anaknya. Betapa hancur perasaannya.
Betapa lemah tubuhnya. Seorang ibu yang harus berpisah dengan anak, buah cinta, buah kasih
yang lebih indah dari permata. Lebih terang dari sang surya, Putera tercinta yang baru berumur
tiga bulan, sedang disayang-sayang juga ditimang. Hatinya hancur
Bukan keputusan yang mudah bagi sabai membiarkan Mak Ina pergi menuruni bukit
licin seorang diri ditengah malam. Hati perempuan muda itu remuk ngilu. Dalam gelap, ia
bersujud, bertasbih, dan berdo'a semoga Allah melindungi buah hatinya. Karna, Ia dan Randai
mungkin takkan pernah menemui mereka lagi. Sebelum beranjak, masih dipandangnya juga
punggung mak ina yang semakin menghilang, "Tuhan, selamatkan mere . .!". Tiba-tiba Sabai
memekik nyaring. . .

**
"Aakkhh", hantaman Randai tepat sasaran. Laki-laki itu terpelanting dan kepalanya
menghujam batu besar. "Kreekkh", Pekik kematian kembali terdengar. Kepala pecah dengan
mata terbelalak. Korban ketujuh dari rombongan itu. Deru perkelahian antara Randai dengan
algojo Rajo Batuah terus berlanjut. Desing senjata mengalahkan suara-suara amukan alam.
Saling serang, saling hantam dan kemudian menghindar. Satu tujuan, yaitu membunuh.
Sudah habis harapan untuk menang. Anak buah rajo batuah bergelimpangan bersimbahsimbah darah. Mayat-mayat manusia berserakan dimana-mana, selayaknya padang rumput yang
setiap helai daunnya berganti keparan demi keparan mayat manusia. Pembantaian luar biasa.
Jumlah mereka yang tadi sepuluh orang, satu persatu mati mengenaskan. Hanya tiga yang masih
mampu bertahan, termasuk sang pemimpin, si Celurit Perindu darah. Si culas itu memang belum
melakukan apa-apa.
Dua anak buah celurit perindu darah yang tersisa mulai gentar. Keberanian telah goyah.
Yang ada kini hanyalah ketakutan. Takut dibantai dan mati mengenaskan seperti yang lain.
Mereka sudah kehabisan tenaga menaklukkan Randai, yang awalnya dikira hanyalah manusia
lemah, yang sebelumnya disangka akan bisa diringkus dengan mudah. Diluar dugaan, rupanya
dia adalah seorang pendekar, ahli silat yang sangat sulit dicari tandingannya.
Celurit perinduh darah dapat membaca situasi. Agaknya, ada sedikit kekhawatiran
terbesit dihatinya, bahwa algojonya akan kabur menyelamatkan diri. Akan ditinggalkan ia
seorang diri menghadang Randai. Hatinya kecut mengingat itu. Diapun menggembor marah,
"Hoi!! Cepat serang dia, bangsat!! Jangan jadi pengecut. Kau lihat, bajingan ini sudah mulai
lelah. Sekali serang lagi dia pasti mampus", katanya menyemangati sambil bercakak pinggang.
"Ayo! Serang lagi!"
Dua orang muda itu saling pandang, saling meminta pendapat dan persetujuan. Masihkah
perkelahian berjalan seimbang? Mampukah si Randai dijatuhkan? Satu diantaranya
mennganggukkan kepala tanda setuju. Persetujuan yang lebih tepat sebagai cara untuk
menghindari amukan ketuanyalah yang tidak kenal ampun pada siapapun yang berkhianat. Lalu,
dengan nekad kembali menyerang meski hati sudah berkata "jangan". Suara golok menyabet,
melayang-layang diudara. Berdesingan seperti peluru, mengejar perut dan leher musuh.
Laki-laki mudah itu terkesiap. Hanya beberapa mili saja mata golok nyaris memutus
tenggorokan, melayangkan nyawanya. Tengkuk terasa dingin bagai bermandikan air es. Hampir
saja ia menghadap gerbang maut.
Sesungguhnya lagi, Randai sudah tidak ingin melanjutkan perkelahian yang sangatlah
tidak berguna itu. Ada rasa iba dalam hatinya jika kembali harus membunuh dan membuat hidup
musuhnya sia-sia. Kembali diseru keduanya, "Tunggu! Hentikan ", Sontak dua penyerang
hentikan serangan. Seorang dari dua itu berkata,"apa maumu? Mati bunuh diri atau menebus
maut lewat pedang kami? Pilihlah salah satu"
Randai menghela nafas, "Sabar Uda-Uda. Sudah tidak ada gunanya seperti ini. Lebih
baik kita hentikan perkelahian sebelum ada lagi yang celaka. Aku maklum jika ditempat ini kita
adalah musuh dan saling bunuh. Tapi, kalian harus ingat, ditempat lain kalian juga punya
kehidupan seperti saya. Kalian punya keluarga. Kalian punya anak, punya istri dan orangtua.

Pikirkan mereka yang sangat membutuhkan kalian!", sambung Randai meyakinkan. "Kita bisa
mengakhiri ini dengan bijaksana. Kalau uda berdua mau".
Perang bathin berkecamuk dikepala masing-masing algojo. Kebimbangan mengisi hati
manusia-manusia itu yang berakibat terjadinya saling membenarkan dalam kepala. Tidak salah,
memang ada benarnya ucapan randai, memang begitulah kehidupan. Sejahat apapun, sekeji
apapun, mereka masih punya keluarga yang bergantung hidup. Anak yang ingin makan. Ibu
yang sudah tua. Dan, istri yang tidak mungkin kuat bertahan seorang diri. Hati manusiawinya
tersentuh. Jiwa lembutnya muncul ketika itu. Keduanya saling menundukkan kepala.
"Ah! Jangan didengar!", Celurit Perindu Darah mematahkan kebenaran. "Apa kau buta,
kawan-kawan? Kita hanya tinggal bertiga. Kalau berhasil membunuh si tengik ini sekarang,
hadiah dari Tuan Muda akan kita bagi tiga. Tentu sangatlah banyak. Kita akan sangat kaya. Jatah
yang seharusnya kita bagi sepuluh, dibagi tiga. Alah mak, kita mandi uang... Mandi uang kawan!
Kalian dengar? Berhentilah berfikir bodoh dan cengeng. Kita ini orang-orang terbuang
tercampakkan. Tak punya isteri lagi keluarga yang mengharap pulang. Sekalipun ada, bukankah
uang yang kita dapati nanti bisa diberikan sebagai pembeli beras? Cepatlah selesaikan pekerjaan
ini dan kemudian bersenang-senang".
Hasutan dahsyat! Senyum bengis keserakahan tersungging lagi dari mulut dua manusia
itu. Kepalanya serentak mengangguk membenarkan. Memalukan, sungguh sangat memalukan.
Tipu daya setan rupanya lebih menggiurkan daripada kepentingan orang-orang yang dicintai
bagi hati hitam penjahat-penjahat seperti mereka. Ketamakan telah menghilangkan sisi
kelembutan dan tanggung jawab. Uang dan kesenangan jauh lebih penting dari segalanya.
Tanpa ampun, mereka tiada lagi bisa diajak berpendapat serta berbicara. Tiada guna lagi
meminta sepatah dua patah kata sebab mereka telah kembali menyerbu, menghujani Randai
dengan jurus-jurus golok kilat mematikan.
Sungguh tak pandai mereka mengukur tingginya gunung, dalamnya samudera. Hanya
menuruti hawa nafsu tanpa berfikir akan berakibat buruk-baikkah kenekatan itu. Randai
bukanlah lawan yang sepadan untuk ditandingi sekalipun maju berdua. Sepuluh-pun sudah mati
tujuh. Tidak disadarinya hal itu, demi uang dan kesenangan yang hanyalah bayang-bayang.
Angan-angan yang tidak akan pernah kesampaian.
Randai;pun tidak lagi berfikir panjang. Sudah cukup usaha untuk berbelas kasihan pada
manusia yang tidak sayang nyawa. Dengan sekali serangan menyusur tanah, dia menghunus
golok yang belum dipergukan. "Seettt", robeklah perut keduanya secara bersamaan. Dalam
hitungan detik, hanya setarikan nafas, algojo-algojo Si Celurit roboh, mati dengan isai perut
berhamburan. Mereka menghadapi sakratul maut dalam hidup berlumur dosa.
Bukan main panasnya hati Randai. Tak dapat dikata gelegak dada kala menatap Si
penghasut tak berotak itu berdiri tegak tak jauh darinya. Ulah hasutannyalah, korban kembali
berjatuhan. Mulut busuk sedang tersenyum itulah penyebab niatnya untuk tidak lagi membunuh
tidak kesampaian."Manusia keji!", bentak Randai sambil berdiri."Mengorbankan anak buah,
pengikut setia, demi melindungi tubuh sendiri. Pemimpin macam apa kau?!! Tidak pantas
diteladani! Pengecut ... Cuihh", ia meluda ketanah, pertanda hati tengah diamuk puncak dendam
amarah. Kepala panas bagai dinaungi tunngku api, pipinya memerah padam.

Golok yang terhunus ditangan, digenggam erat. Mata menatap tajam tiada kedip barang
sebentar. Mata itu telah memerah.
"Hahahaha . . .Kekejian terkadang membuahkan kemenangan, anak muda", balas Celurit
Perindu Darah sinis."Menang tidak sekedar tentang kepandaian, tapi menang juga tentang
kelicikan. Sehebat apa manusia berusaha, segiat apa ia bertindak kalau otak tidak dipergunakan,
tetap saja aka kalah. Otak lebih pandai dari ilmu beladiri apapun jika pintar mempergunakan.
Kelicikan dan kekejian adalah cara termudah untuk menang. Aku adalah manusia licik dan kau
adalah korban kelicikan. Tenagamu hanya tinggal selentik jari. Sekarang aku bisa membunuhmu
dengan sangat mudah. Saatnya mati, kunyuk busuk!!hahahahaha....!!"
"Biadab!", kata Randai."Sungguh hatimu lebih buas dari binatang. Lebih hina dari
anjing-anjing kurap dijalanan"
"Hehehe,,,", katanya kembali terkekeh."Mau keji, licik atau apalah, apa urusanmu, eh?
Manusia bodoh macam kau tidak akan mengerti. Otakmu hanya berisi taik kerbau dan sapi, tidak
ada isi! Janganlah kau banyak bacot, karna malaikat maut sudah didepan mata. Sebentar lagi
nyawamu akan lepas dari badan. Persiapkanlah perkataan terakhir".
"Hanya Allah yang tahu kapan aku harus mati. Hanya Yang Maha Kuasa yang bisa
mencabut nyawa dari tubuh hina ini. Dan Kau, kau hanya cecunguk rakus yang sangat tidak
pantas menyamakan diri dengan malaikat. Kutu beruk;pun lebih mulia dari tubuh najismu,
keparat!", balas Randai.
"Eh,,,eh . . .Bagak juo waang",kata celurit mengejek."Kau rupanya belum paham juga
siapa aku, bocah tengik? Apa perlu kuingatkan lagi seberapa menakutkannya aku dimasalalumu,
hah? Anak haram!"
"Apa maksudmu?", selidik Randai. Nafasnya mulai menyesak. Masalalu baginya,
ibaratkan menguliti badan sendiri. Sangatlah sakit, teramatlah pedih. Sabai ,istrinya pun tidak
pernah bertanya. Agaknya, Tan Mali telah membuat kesalahan besar sebab mengungkit-ungkit
yang telah lalu itu.
"Aku adalah mimpi buruk dimasa kecilmu, anak haram! Kau ingat ini?". Katanya seraya
membuka bajunya. Sehingga dada kurusnya tampak begitu banyak tulang berjenjang. Nyaris
kulit berekatkan tulang. Di sisi kiri dada yang keriput terdapat sebuah bekas luka bakar
berbentuk telapak tangan manusia.
"Kau . . . !!! Ssi. . .siapa kau?", debaran jantung semakin kencang.
"Cuihh! Ayah dan anak tabiatnya sama saja, tukang rampas kekasih orang. Kau pikir
dunia ini milik moyangmu, sehingga kau bisa sesuka hati memiliki siapa saja yang kau mau?
Tidak salah ayahmu mati mengenaskan anak muda, sebab memang harus begitu balasan untuk
orang serakah. Dan sekarang, kaupun akan bernasib sama. Kalau dipikir-pikir, dua manusia,
ayah dan anak, sama perangai. Sungguhlah memalukan...hehehe"
Berkaca-kaca mata Randai. Berbutir-butir keluar keringat dalam kulitnya. Golok
ditangan bergetar menahan bara api didada. Hatinya bergolak hebat. Amarah masalalu menyalanyala yang tidak mau padam sekalipun dibawah guyuran hujan. Ubunnya bagai mendidih,"Kau
,, rupanya kau adalah si bangsat, Tan Mali. Pembunuh ayahku!!". Teriak Randai.

"Hehehehe. Akhirnya kau sadar juga bocah malang. Matilah kau, anak setaann!", kata
celurit yang nyatanya adalah Tan Mali, orang yang seumur hidup diburu Randai. Perlu
diketahui, Tan mali adalah tokoh silat yang telah lama hilang dari hiruk-pikuk dunia setelah
sebuah kejadian. Ia dicari oleh banyak pendekar silat untuk dihabisi karena membunuh Sutan
Rajo Ameh. Orang baik hati serta budiman. Yang memiliki banyak sahabat serta saudara. Punya
dunsanak dimana-manna. Mendengar kematiannya, tidak sedikit yang marah dan hendak pula
membalas, membunuh pelaku pembuhunan itu. Sebab itulah Tan Mali menghilangkan diri.
Bahaya mengintainya dimana-mana. Kematian sewaktu-waktu dapat mendatanginya. Sutan Rajo
Ameh itu tidak lain adalah ayah pemuda yang bernama Randai ini. Tak disangkanya, manusia
itu hanya mengganti nama menjadi gelar celurit perindu darah untuk menghilangkan jejak. Dan
bernaung di hutan serta pesawangan sebagai perompak.
"Kaulah yang pantas mati, bajingan. Tamatlah riwayatmu. . . !!", Randai menyentak
kedepan, mengangkat golok ditangan kiri dan langsung menyerang. Seluruh tenaga sengaja
dikerahkan kekepalan tangan dimana golok tergenggam agar sekali saja sabetan menyinggahi
kulit, maka mautlah akibatnya. Sangatlah dahsyat, ia menghujani Celurit Perindu darah dengan
amukan golok mematikan. Tubuh berputar-putar diudara, lalu layaknya gasing ia meluncur
kencang menghujamkan golok kearah manusia keriput itu.
Celurit Perindu Darah alias Tan mali yang masih tertawa-tawa belumlah siap membuat
pertahanan. Terkejut kesiaplah ia ketika melihat serangan datang. Matanya membelalak
kebingungan. Serangan mendadak membuatnya hilang akal. Otak culas ternyata tidak cukup
pintar mengambil keputusan dalam waktu cepat, "Siaaaall!!", teriaknya kalang kabut mencari
selamat. Tanpa pikir lagi, manusia keji itu lari terbirit-birit kebalik bebatuan besar yang
diatasnya terdapat sebuah guci perak.
Dan,"Bumm", terdengar benturan dahsyat layaknya gempa. Suara gemeretak disisi kiri
batu besar itu. Terbelah sebagian. Kalau saja celurit tak cepat menghindar, niscaya tubuhnya
akan menjadi daging cincang. Bibir Tan mali menghitam pucat. Keringat dingin menetes
didahinya, semakin dibuat dingin oleh rintikan hujan,"Bedebah! Jurus apa itu?", katanya
membatin."Hampir saja aku mati. Tenaga kunyuk ini sangat luar biasa. Sudah letih, tetap saja
berbahaya. Aku bisa mati konyol kalau begini".
Sekalipun sedikit gentar, Tan mali tidak mungkin berlama-lama dibalik batu. Randai
yang marah akan segera memburunya lagi. Jika tidak cepat membela diri, tamatlah ia dalam
sekejap. Maka, dengan cepat Tan Mali terpaksa mengeluarkan senjata andalannya yang tak lain
adalah sebilah celurit. Celurit sakti yang selama ini telah menelan banyak nyawa. Telah
membantai siapa saja yang menentang keinginannya sendiri atau;pun atas perintah Rajo Batuah.
Bukan sembarang waktu senjata itu digunakan. Sesekali saja, hanya bila keadaan terlalu
mendesak atau lawan yang kelewat tangguh. Kiranya, Randai merupakan lawan yang
menakutkan bagi Si celurit.
Setelah merasa siap, dengan gesit ia melompat, kembali kearena pertempuran. Kini nyali
kejam kembali menyala. Naluri membunuh kembali hidup. Tidak ada lagi aral yang patut
ditakutkan. Siapapun akan dilibas. Meskipun sebenarnya, sejak tadi Celurit sudah mengukurukur kepandaian ilmu silat Randai. Dicari-carinya titik lemah selagi laki-laki itu ketika bertarung
dengan anak buahnya yang sengaja dijadikannya umpan. Namun sial, sampai seluruh algojonya
musnah, tak satupun kelemahan yang ia temukan.

Bagi kaum pendekar, adalah pantang menghinakan diri dengan bersurut langkah. Seberat
apapun lawan, sudah jalannya menantang badai sekalipun mati. Begitu pula dengan Tan Mali.
Bertahun-tahun mengasah mengasah diri demi kehormatan dan wibawah. Takkan ia biarkan
nama besar itu pudar dalam satu malam. Maka, dengan lantang ia berucap,"Rasakanlah sakitnya
kematian kau ,Randai. Majulah! Kita mengadu nyawa"
Randai tidaklah menjawab tantangan itu dengan kata-kata. Kembali menyerang. Golok
dibentang, menyabet mencari sasaran keberbagai sisi tubuh lawanya adalah jawaban yang
diberikan. Dentangan suara senjata beradu kembali mengusik.
Rintikkan hujan berdesau di diawang-awang. Genangan air gemercik berhamburan.
Tanah, lumpur, air, langit dan bumi menjadi saksi pertempuran antarah manusia serakah dengan
manusia yang mempertahankan diri dari keserakahan. Entah kapan keserakahan dan
kemunafikan itu berhenti merajai dunia. Entah kapan kedamaian mengisi setiap ruang kosong
hati manusia yang terlanjur menghitam. Kesombongan Tan mali sudah terlanjur melebihi
tingginya gunung dan luasnya samudera. Satu yang ada dibenaknya, yaitu membunuh dengan
segala cara, lalu menang dengan kepala menengadah.
Beberapa waktu telah berlalu, perkelahian dua anak manusia itu cukup berimbang.
Keduanya saling mepetunjukkan kepandaian, mempertontonkan kelihaian. Randai menyerang,
Celurit menangkis dengan cekatan. Begitupun sebaliknya. Betubi-tubi mereka saling hantam
menunjukkan keperkasaan. Sebagai pembuktian siapakah yang paling hebat.
Namun waktu tidak akan pernah bisa berdusta. Sisa tenaga dimasa muda, sisa
keperkasaan dan kekusasaan yang dulu dijunjung sebagai jawara tanpa tandingannya, rupanya
kini telah menua disedot masa, telah menyusut dimakan zaman. Tak terelakkan lagi oleh Tan
Mali, setelah memasuki jurus kesepuluh, ia mulai terdesak. Kepandaiannya tak lagi mampu
menahan gempuran randai yang kalap.
Suara senjata yang beradu, menggema memecah langit. Percikan api membunga akibat
benturan dua benda logam itu. Nyaring sekali kedengarannya.
Dan, "buggh", sebuah hantaman kaki bersarang di dada ketua komplotan bengis itu. Tak
ayal lagi, ia terpelanting sangat jauh dan terhempas keras ke tanah basah. Tubuhnya kurusnya
terkapar diatas lumpur. Mulut menyemburkan darah. Nafas tersengal, terbatuk-batuk menahan
sakit dibagian dalam dadanya. Masih juga beruntung, ia tidak mati.
Sudah sekarat, rupanya amarah belum juga padam dalam diri si celurit. Justru semakin
bernafsu ingin membalas. Dengan segenap tenaga, dicobanya berdiri. Bermaksud kembali
menyerang. Malang baginya, secepat kilat golok sudah membentang di leher. Sudah siap
digorokkan. Randai tengah bersiap-siap.
"Wuss", angin menerpa pipi Tan Mali, terasa dingin olehnya. Lolongan serigala hutan
merintih mengoyak, merobek telinga. Nyali kejam Celurit Perindu Darah terbang entah kemana.
Entah menguap keudara, entah sudah runtuh ketanah. Tubuhnya mengigil menyaksikan dirinya
tengah berada digerbang maut, pintu kematian. Sedikit bergerak maka golok itu akan memupus
batang leher dan mencabut nyawanya. Terbayang-bayanglah kekejaman seumur hidup,
terkenang mayat bergelimpangan bersimbah darah. Juga, liang kubur!, ditimbun dalam tanah
seorang diri. Terbayang- pula olehnya sambutan malaikat kubur yang akan mencambuk
tubuhnya yang berlumur dosa. Tanpa sadar, si tamak yang bergelar celurit perindu darah ini

kencing dicelana. Terisak-sangat takut, tanpa malu ia memohon,"Am. . .ampuunn Randai.


Jangan . . .jangan bunuh ambo. Ampun! Ambo bertobat, ambo minta maaf".
Jiwa pendekar Tan mali musna seiring untaian kata memohon belas kasihan pada lakilaki muda bernama Randai yang baru saja mengalahkannya. Takut akan kematian membuatnya
melupakan harga diri yang selama ini ia banggakan. Tidak ada lagi si kejam yang bergelar
celurit perindu darah. Kepala rampok dan pembunuh nomor satu sekarang tinggal dongeng
belaka.
Randai menggeleng,"Sudah terlambat, Tan Mali!", katanya pelan."Nyawa ayahku
terlanjur sia-sia ditanganmu. Kau tahu bagaimana rasanya hidup sebagai yatim piatu? Dianggap
anak haram dan diperlakukan layaknya gelandangan? Apakah kau tahu rasanya disaat lapar, kau
hanya bisa menangis dan kemudian makan ditempat sampah? Kau . . . Kau telah merenggut
kehidupanku, Tan Mali. Kau harus membayarnya"
"Aku mohon. . . Tolong! Beri aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku,
Randai!",katanya mengiba. Dipegangnya kaki Randai seperti hendak bersimpuh."Aku rela
menjadi budakmu seribu tahun asal kau mau mengampuniku. Aku mohon!" "Tamatlah kau. . . !",
Golok mulai bergerak hendak memutus urat leher Tan mali. Lutut laki-laki kempot itu menggigil
setengah mati.
Sepenarikan nafas lagi golok hendak bergeser dari tempatnya. Tiba-tiba, Sebuah benda
tumpul, seperti sebuah tongkat menderu dengan kekuatan yang sangat luar biasa menghantam
senjata ditangan Randai itu, "trang!!". Golok patah dua. Tan mali terjungkal kebelakang.
Randai kaget bukan kepalang. Baru ia sadari ada sosok lain memperhatikannya ditempat
itu. Pembokong yang terlewatkan. Masih untung serangan itu hanya mengenai goloknya. Apa
jadinya kalau benda itu mengarah padanya disaat ia belum siap? Tentu roh kematiannya sudah
mengambang diawang-awang. Dengan segera, ia balikkan badan mencari arah serangan.
Tangannya mendenyut sakit, pertanda serangan kilat itu disertai aliran tenaga dalam tingkat
tinggi. Ia harus waspada. Siapa lagi musuhnya kali ini? "Siapa disana? Lekas keluar !!",
teriaknya.
Hening seketika. Tak ada tanda-tanda sosok penyerang itu akan menampakkan diri.
"Manusia atau setan,,!! Tunjukkan wujudmu !!". Serga Randai lagi.
Tiba-tiba, sebuah suara pantulan penuh tenaga dalam menggema dengan tekanan teramat
kuat keruang telinga Randai. Bagai ribuan jarum mencucuk pendengarannya. Ia merasakan sakit
luar biasa. Dengan cepat, Randai segera menutup kedua telinga. Namun, samar-samar masih
didengarnya, "Angkara, dendam dan kebencian bukanlah sifat seorang ksatria. Seorang
pendekar yang berbudi luhur, yang tahu ilmu agama, tidak akan menganiaya musuh yang sudah
minta ampun. Takkan membunuh lawan yang tak berdaya. Nafsu adalah setan. Dan ingatlah,
kebenaran tidak pernah bersekutu dengan setan. . . !!"
Tan mali memekik kesakitan. Kepalanya bagai remuk tak sanggup menahan gelombang
suara bertenaga dalam tinggi itu. Ia berguling-guling ditanah sambil menutupi dua daun
telinganya yang mengeluarkan cairan merah, darah. "Iblis keparaaaat . . . !! Siapa kau . . ??",
bentaknya putus asah.

4. Empat
Mak ina terhuyung-huyung. Tubuh lusuh nan lemah ditambah menggendong bayi,
membuat si nenek kesusahan menempuh jalanan setapak yang licin. Kisaran angin yang tak
beraturan membuatnya kesulitan mencari keseimbangan. Ditambah penglihatan yang tidak jelas.
Semua jadi serba menyulitkan bagi si nenek. Hanya kasih sayang dan keberanian yang
memberikannya keyakinan bahwa ia mampu menyelamatkan cicitnya dari kehancuran.
Mak ina sangat sadar, Rajo batuah takkan rela melihat Sabai memiliki bayi hasil buah
cintanya dengan Randai yang dicapnya sebagai penghianat. Ingatannya akan sumpah Rajo
Batuah dimasalalu tidak pernah hilang dibenaknya, "Ingat sumpahku, Sabai. . !! Jika kelak kau
punya anak, akan kubakar hidup-hidup anakmu. Ingat itu!", begitulah titah rajo batuah diwaktu
pertemuan terakhir mereka yang disaksikan sendiri oleh mak ina setahun yang lalu. Dihari kedua
insan yang dicintainya itu melangsungkan pernikahan. Hari yang diingat Mak ina sebagai mimpi
buruk. Memulai hidup sebagai pelarian dan dicekam rasa takut sepanjang waktu. Malam ini,
rajo batuah benar-benar akan menunaikan sumpah kejinya. Dan, mak ina takkan pernah
membiarkan hal itu terjadi.
Berpegangan pada ranting dan pepohonan kecil sedikit membantu mak ina menuruni
bukit. Sesekali, tak kuasa juga kakinya menahan, terjatuhlah nenek ini. Hampir saja ia
bergulingan kejurang dibawah sana. Kalau itu terjadi, bayi Randai takkan selamat. Beruntung,
nasib mujur mengikuti setiap langkah si nenek. Tuhan masih melindunginya dari marabahaya.
Nenek yang telah berumur hampir tujuhpuluh tahun ini masih sanggup berdiri dan kembali
berjalan. Jika merasa letih, mak ina berdiri sejenak dan mengusap matanya yang berair, tak henti
juga Mak ina menangis memikirkan seperti apa nasib sabai dan Randai kini. Apakah dua orang
yang dicintainya itu masih hidup? Ratapannya terdengar pilu ditengah rimba ini.
Berlambat-lambat meskipun lamban, Mak Ina akhirnya sampai dikaki bukit. Dengan
bermodal sisa indera masamudanya, sayup-sayup telinganya masih mampu menangkap deru
suara air terjun dari kejauhan. Mak Ina;pun bernafas legah. Air terjun itu adalah pertandah
bahwa Goa persembunyian yang ditujunya sudah dekat. Bayi digendongan tetap tak bersuara.
Seakan ia mengerti keadaan akan bertambah buruk jikalau ia menangis. "Sabar ya, Bujang! Kita
segera sampai", hibur mak ina. Mereka kembali berjalan.
Namun takdir memang tidak pernah bisa dirubah, masa tak bisa diulang. Sekuat apapun
tekad si nenek untuk mencapai air terjun, usia dan tenaga yang menua telah berbicara. Baru
beberapa langkah berjalan, Mak Ina terjatuh diatas rerumputan, tubuh tua itu mulai keletihan.
Sekuat tenaga mencoba, kini hanya bisa duduk diatas kayu mati lapuk didepannya, tak sanggup
lagi berdiri. Bayi Sabai tetap dipeluknya meski mereka sudah berdua sama-sama kedinginan.
Entah beberapa lama lagi si kecil itu sanggup bertahan.
Mak ina panik. Takut si cicit tewas kedinginan. Kebingungan melanda hati, menderaderanya ketika itu. Perasaan kalut dan tak berdaya menekan-nekan dadanya. Ratapan pilu penuh
putus asah mengalir deras dari bibir mak ina, sederas deru hujan yang tak henti-hentinya turun.
Setengah meratap mak ina berucap seorang diri, "Balaaaang! Oh . . Balaaaang! Maaf, Aku harus
melanggar sumpahku untuk tidak memanggilmu disisa hidupku. Datanglah dan selamatkan
cicitku dari kematian. Aku butuh bantuanmu!". Lirih mak ina entah pada siapa. Mulutnya
terlihat seperti sedang melafalkan sesuatu. Tapi yang jelas, sudah beberapa lama waktu berlalu,
tak ada satu orangpun datang menolong.

Mayapada benderang sekilas lalu. Semak-semak belukar didepan mak ina bergoyanggoyang. Terdengar suara-suara rerantingan patah disana. Mungkin makhluk buas, bisa juga
bukan. "Grrrr . . !!", Suara geram menakutkan sabang-sabang terdengar tidak jauh dari tempat
nenek mertua Randai ini duduk. Tidak ada laku yang bisa dilakukan olehnya selain
memejamkan mata. Seakan menutup rapat diri dari ketakutan. Tak lama kemudian, seekor
mahkluk besar, berbulu tebal mengerikan muncul dihadapan mak Ina. Berkaki empat, berbulu
hitam dari perut sampai kekaki, namun putih dari ekor sampai kepala. Ukurannya sama besar
dan sama tinggi dengan seekor sapi. Mahkluk serupa anjing dengan ukuran tubuh berbeda.
Seekor seragala raksasa.
Mulut binatang itu menyeringai menatap Mak Ina yang mungkin tampak seperti
sepotong daging empuk baginya. Santapan tengah malam yang menggiurkan. Gigi tajam serta
taring-taring runcing bejejeran, seakan bersiap mengoyak mangsa. Laku yang sangat tidak
bersahabat. Lalu, dengan lantang binatang itu melolong keras. Lolongan yang mampu membuat
seisi hutan bahkan orang-orang diperkampungan akan terusik. Gelegar yang menyamai deru
alam. Tubuh besar, tidak mengejutkan apabila suaranya begitu dahsyat.
Mak ina tidak juga membuka mata dari pejamannya. Pikiran berkecamuk memikirkan
sesuatu yang mungkin bisa jadi diluar dugaan, Tak seperti yang diharapkan. Atau, si nenek
sedang dilanda ketakutan hebat melihat sosok nan aneh lagi mengerikan seperti yang ada
dihadapannya itu. Tubuh mak ina menggigil. Jemarinya gemetar menahan dingin. Dipandangnya
Si kecil, bayi Randai yang belum bernama juga ikut berdiam diri. Dibalut kain tebal serta
bedung yang menutup tubuhnya, ia tertidur pulas.
Dilain pihak, serigala raksasa telah puas meraung. Pelan-pelan anjing besar itu mulai
berjalan mendekat dan semakin dekat pada Mak ina. Hidungnya mengendus-endus membaui
sesuatu. Setiap injakan membekaskan jejak cukup besar ditanah.Kini, jaraknya hanya setipis
kuku di pipi keriput si nenek. Bahkan, bulu-bulu lembut serigala yang basah bersentuhan dengan
pipinya. Indera penciuman serta naluri yang tajam, menuntun kedatangan anjing raksasa ini.
Akankah sesuatu yang buruk terjadi?
Tak terbayangkan mencekamnya situasi, dimana bahaya begitu dekat didepan mata, Mak
Ina malah tersenyum. Senyum kelegaan terpampang cerah dibinar dua bola mata tua itu. Tanpa
rasa takut, ia mengusap-usap kepala si serigala, dibelai-belai bulu-bulu basanya. Kemudian
berkata, "Seratus kali purnama mungkin sudah berlalu. Waktu pergi, masa menghilang. Ratusan
hari telah membenamkan rindu ,menutup pikiranku tentangmu. Ah, sudah terlalu jauh jarak
membentangi kau dan aku.
Sudah lama kita berpisah. Aku sudah rentah, namun kau tetap tidak berubah. Kukira kau
telah melupakanku, Balang?!"
"Hmm", balas makluk itu sambil menggoyang-goyangkan kepala layaknya mengatakan
"tidak". Mak Ina kembali tersenyum,"Aku tahu, kau tidak pernah benar-benar menghilang
dariku. Lolonganmu setiap malam bulan purnama masih kukenali. Kau selalu mengawasi
sekalipun telah kuusir menjauh! Kau seharusnya melakukan apa yang kuperintahkan tigapuluh
tahun silam".
Binatang itu masih diam. Dan sesekali, menggosok-gosokkan moncongnya ke pipi mak
ina. "Apa kau bisu, balang!!", tanya mak ina.

"Maafkan aku, Puti! Aku tidak bisa menunaikan titahmu. Hidupku dan sumpahku
diwaktu itu takkan pernah bisa berubah sekalipun kau melepaskanku kealam bebas. Tempatku
bukanlah disana. Tugasku menjagamu selayaknya takdir yang tak bisa kuhindari. Aku terikat
sampai mati". Jawab sebuah suara serak dan terdengar seperti suara laki-laki. Adakah orang lain
ditempat itu yang memberi jawab? Tidak...serigala raksasa didepan mak ina;lah yang bersuara.
Diluar akal, sangatlah sulit diterima oleh manusia sehat lahiriah jika tidak disaksikannya sendiri
kejadian itu. Diluar adab sebagaimana kodratnya binatang, makluk itu bicara.
Ia mengedipkan mata beberapa kali dan kemudian menatap kearah lain. Dengusan nafas
binatang buas itu terdengar berat.
"Tidak apa-apa balang", kata mak ina."Keputusanku waktu itu menyuruhmu pergi bukan
karena aku tidak menginginkan kau menjagaku. Aku hanya ingin bayi yang kutemukan dalam
guci itu selamat dari amukanmu yang membabi buta. Kau begitu sulit dikendalikan. Dan, Aku
terpaksa mengambil keputusan. Daripada, kau menjadikannya sebagai tumbal kemarahanmu atas
kutukan itu, lebih baik kuminta kau tenangkan dirimu. Tapi percayalah balang. Disaat kau pergi,
aku selalu menunggumu kembali".
"Ya! Aku tahu", jawab balang."Aku tidak menyalahkanmu. Datuk Mangkualam! Dialah
yang membuatku seperti ini. Manusia laknat itu merubahku menjadi binatang karena aku
melarikanmu dari cengkeraman dan nafsu bejatnya. Tapi, aku tidak menyesal. Sama sekali tidak.
Karena, niat baikku tertunaikan"
"Maafkan aku", kata mak ina."Kau mempertaruhkan segalanya. Kau rela membangkang
Mangkualam, majikanmu hanya demi menyelamatkan seorang gadis bodoh dan tidak berharga
dari jurang kenistaan. Kau menyelamatkan hidupku. Aku berhutang padamu. Aku tidak tahu
cara membalasnya balang"
"Tidak ada piutang diantara kita", kata balang lagi."Kau tak perlu membayarnya. Inilah
takdir yang kuterima sebagai penebus dosa-dosa semasa aku bekerja pada Mangkualam. Telah
kuiklaskan semuanya. Tubuhku boleh binatang. Tapi, hati dan perasaanku adalah manusia.
Karna kodratku bukanlah serigala. Itu sudah cukup. Sekarang, apa yang bisa kulakukan
untukmu, puti?"
Mak ina mengusap air diwajahnya, "Tolong selamatkan cicitku. Bawa kami ke Goa
hitam kenduri dibalik air terjun tombak. Kesanalah tujuanku. Aku khawatir bayi ini akan
kedinginan dan tidak mampu lagi bertahan jika berlama-lama disiram hujan", kata mak Ina.
"Baiklah", jawab Balang seraya menggoyangkan tubuhnya hingga air yang melekat
dibulu tebal itu berguguran. "Tunggangi tubuhku".
Ia menapak ketanah agar mak ina bisa dengan mudah naik kepunggungnya. Lalu, secepat
kilat ia berlari menerobos hutan yang kelam hitam membawa sinenek dan cicitnya. Gemerisik
suara jangkrik terdengar disela-sela rintikan hujan didedaunan. Binatang malam hanya sanggup
bernyanyi disarang-sarang mereka tanpa bisa keluar mencari makan. Kelelawar-kelelawar
malam-lah yang sanggup keluar , beterbangan diudara berair dengan matanya yang bersinar.

Mak ina berpegangan erat pada tubuh besar serigala jejadian agar tidak jatuh atau
terlempar dari tunggangan. Rimba belantara kini melolong hitam dimata kaburnya. Untuk
sementara, ia dan cicitnya aman dalam penjagaan serigala besar yang bernama Balang.
***
Bintang dilangit tak juga muncul. Awan hitam masih enggan mengalah meski hujan telah
berangsur reda. Rembulan seakan menangis dikungkung kegelapan. Siang yang ditunggu datang
begitu lama. Kapankankah cahaya menggusur pekat yang terasa sangatlah lama ini? Serigala
bernama balang terus berlari dan berlari ditengah-tengah belantara. Belukar diterjangnya.
Lubang dilompatinya. Tak ada aral rintangan sulit bagi tubuhnya yang begitu besar.
Pohon-pohon tinggi rimbun menutupi mayapada, menyuguhkan keangkeran rimba yang
dipenuhi beragam isi tak terduga. Semoga tiada hadangan serta bahaya sampai tiba ditujuan.
Tempat persembunyian entah seperti apa yang dimaksudkan mak ina. Ia tidak mau berletih-letih
memikirkan. Kepalanya sudah cukup berat menanggung beban. Dan mak ina, Meski kedinginan,
nenek ini tampak perkasa. Mampu bertahan meski tubuh hanya menyisakan kulit membaluti
belulang rapuh.
"Apa yang kau makan selama ini Balang?",tanya mak ina dipunggung binatang yang
tengah berlari kencang itu."Adakah kau memangsa manusia?"
"Sudikah kau mendengar jika kukatakan makananku adalah ikan-ikan mentah", jawabnya
sambil berari."Serigala tidak tahu caranya membuat rendang. Manusia? Aku takut memakan
daging manusia. Karna dagingnya dibumbui banyak dosa. Dosaku sudah cukup besar"
"Ikan mentah? Apa pula rasanya balang! Sungguh berat hidupmu", kata mak ina.
"Bagaimana caranya kau bertahan dialam liar yang terkenal kejam ini? Saling memangsa, tikam
menikam sudah lumrah terjadi. Tanpa persahabatan bahkan dengan kaum sendiri. Apa yang kau
lakukan untuk bertahan selama itu?"
"Bertarung dan menghabisinya tanpa ampun! Jadi penguasa dirimba belantara akan
membuatmu lebih mudah mencari makan tanpa ada yang berani mengganggu. Bahkan seekor
harimau pun kutendang keluar sarang ketika aku ingin tidur ditempat yang hangat. Kalau kau
tanya bagaimana caranya aku mengalahkan raja hutan itu, jawabannya adalah sama dengan
kenapa kau bergelantung dipunggungku malam ini. Aku bukan serigala biasa. Aku jejadian yang
menakutkan"
"Kau telah belajar banyak dalam pengembaraanmu", kata mak ina."Sulit bagiku
memikirkan bagaimana caranya kau memakan daging mentah dan masih berdarah. Pasti tidak
enak"
"Tidak semudah itu", kata balang memperlambat larinya."Di hari pertama kau
mengusirku dari pondok bukit gundul, aku kelaparan. Aku ingin makan, tapi aku tidak tahu
bagaimana caranya bisa makan layaknya manusia. Alam hanya memberiku makanan serba
mentah. Aku bahkan tidak tahu cara membuat unggun untuk memanaskan diri. Berjalan dan
terus berjalan. Sementara perut kosong membuat tenagaku terus berkurang. Itulah yang
kulakukan. Sampai akhirnya, aku terkulai letih tanpa tenaga disebuah anak sungai. Perutku
benar-benar sakit. Aku merasa tak ada lagi kesempatan bertahan hidup. Samar-samar kulihat
banyak ikan berenang-renang didekatku. Berbekal sedikit sisa-sisa kekuatan, kutangkap ikanikan itu mengandalkan kuku-kuku tajam jemari jejadianku ini. Penuh keterpaksaan serta tak

adanya pilihan, kutelan ikan tangkapanku mentah-mentah. Seperti katamu tadi, rasanya memang
tidak enak. Seiring bergantinya hari dan berjalannya waktu, ikan-ikan itu menjadi santapan
kesukaanku setiap hari. Dan, keadaan itu membuatku menjadi terbiasa. Begitulah cara aku
bertahan hidup".
"Pantas saja kau bau ikan! Agak aneh membaui:mu. Serigala biasa pasti berbau daging
dan bangkai, kau malah anyir bau ikan kering. Hehehehe .... Apa kita sudah sampai balang?",
mak ina longgarkan pegangan.
"Belum", jawab serigala jejadian."Aku mencium sesuatu disekitar tempat ini. Sesuatu
yang aneh dan tidak kukenal"
"Apa itu?" "Entahlah, aku tidak bisa menebak. Semoga bukan bahaya yang mengancam
kita bertiga. Berdo'alah agar kita bisa mencapai air terjun tombak dengan selamat!"
Balang mendekatkan hidung ketanah, mencari asal bau yang tidak dikenali itu.
Disengajanya berjalan lamban dan mengendus-endus rerumputan. Sementara itu, mak ina duduk
berdiam diri dipunggung serigala besar dengan perasaan cemas tak karuan. Dalam hati ia berdo'a
semoga Yang Maha Kuasa terus memberikan perlindungan.
"Diam...! Jangan bersuara ....!", kata balang berbisik.
"Ada apa?",tanya mak ina.
"Lihat kedepan, kau akan tahu...!!",
"MasyaAllah ... !!", leher mak ina bagai tercekik.
Didepan sana, seekor makluk besar bertanduk bercabang seperti rusa tapi bersisik dan
berukuran sangat panjang sedang melintas menuju semak-semak tepian sungai. Sisik-sisik
binatang itu berkilauan seperti emas murni. Suaranya gemerisik menyentuh rerumputan tiap kali
ia bergera menjalar. Kemudian, masuk kedalam air. Sungai bergelombang besar, menyeruak
bagaikan membentuk sebuah lubang ditengahnya. Mak ina merasa semakin dicekam ketakutan.
Bergerakpun terasa kaku, apalagi bernafas. Jika ketahuan, mereka mungkin akan jadi santapan
binatang aneh yang belum diketahui termasuk golongan makhluk apa. Jika disebut ular, ular
tidaklah bertanduk.
Balang dan mak ina terpaku sementara waktu. Bibir mereka terkatup rapat-rapat. Tak
seorangpun bersuara. Kehadiran makhluk aneh itu seolah mengerucutkan nyali siapa saja, sangat
menyeramkan. Benarlah adanya, alam terkembang berisi banyak beragam makluk dengan
bentuk, rupa, serta wujud yang berbeda-beda, bahkan aneh. Dari sekian banyak itu, bisa jadi
belumlah semuanya dijumpai manusia. Termasuk binatang yang melinta tadi.
Bayi mungil, buah hati sabai dan randai geliatkan tubuhnya sejenak. Kepala bergerak
kiri-kanan, gelisah. Dalam pangkuan mak ina, ia merengek. Mungkin mulai kedinginan, atau
merasa tidak nyaman dalam balutan kain basah. Mak Ina timang-timang si bayi dengan buaian
pelan, berharap si kecil tidak menangis disana. Sekakan mengerti, ia kembali pulas dipangkuan
mak ina. Perempuan tua itu memandangi bayi mungil nan lucu itu. "Sabar ya ,nak!". Katanya
berbisik.

Si nenek baru bisa bernafas legah, setelah bahaya itu berlalu. Setelah binatang antah
berantah itu membenamkan seluruh tubuhnya kedalam air. Dan menghilang dari pemandangan.
Suara jangkrik berderik-derik mengalun senyap dalam belantara yang kejam ini. Burung hantu
bersenandung riang , nyanyikan lagu menakutkan didahan-dahan pohon besar. Konon kata
orang, nyanyian burung hantu selalu diiringi tarian oleh sekalian setan disekelilingnya.
Wallahualam!
Hujan reda! Kini, tinggallah gerimis menyerbukkan uap air yang terbawa udara.
Membekaskan hawa dingin, mencucuk tulang hingga permukaan kulit. Balang, serigala
penolong kembali berjalan. Tidak berlari seperti tadi, Ia berjalan agak pelan memanggul mak
ina dan cicitnya yang kedinginan. Matanya awas, memandangi sungai nan tenang itu, tempat
lenyapnya binatang angker yang baru saja melintas.
"Makluk apa yang kita lihat tadi balang?", tanya mak ina."Seperti ular. Tapi ular tidak
bertanduk dan sebesar itu. Bentuknya cantik tapi mengerikan".
"Naga !! Penghuni sungai yang berasal dari air terjun tombak, tempat tujuan kita", kata
Balang. "Aku tidak tahu banyak tentangnya. Bau yang berubah-ubah, membuatku kesulitan
menerka kehadirannya. Ini adalah kali kedua aku bertemu dengan makluk itu. Pertama kali aku
menjumpainya sekitar tiga purnama yang lalu. Ketika itu, aku hendak mencari ikan disepanjang
tepian sungai ini. Sudah sampai larut malam aku berusaha, tak seekorpun ikan kudapatkan. Aku
benar-benar kesal. Karna sakit hati, aku nekat berenang kedalam sungai dan menyelami ikanikan kesarangnya. Kutangakapi mereka dan kulemparkan kemana-mana. Aku mengamuk. Cukup
lama kejadian itu kulakukan, sampai kulihat tepian sungai memutih oleh bangkai-bangkai ikan.
Namun, aku belum juga berhenti. Aku ingin melampiaskan kemarahan. Sampai akhirnya seekor
ular besar melilit tubuhku sangat kuat. Kurasakan tulang belulangku gemeretakan dan aku tidak
bisa lagi bernafas. Semakin aku meronta, semakin tak berdaya aku dibuatnya. Sayup-sayup
kudengar bentakan ditelingaku,"enyah kau dari sini sebelum kulumat kau hidup-hidup dan
kumuntahkan belulangmu menjadi kotoran", Dan kemudian tubuhku dilemparkannya keatas
kerikil sungai. Naga tadilah pelakunya. Anehnya, dia tidak memakanku. Sejauh ini, belum
kulihat keganasannya dalam memangsa. Aku bahkan tidak percaya dia adalah binatang!"
"Bukan binatang? Lalu apa?"
"Entahlah, naluriku mengatakan naga itu bukan binatang. Ia berbeda! Naga itu bisa
bicara selayaknya aku yang dikutuk ini. Seperti yang kita tahu, keberadaan naga selama ini
hanyalah cerita khayalan, dongeng pengantar tidur. Dan aku sangat yakin, belum ada yang
melihatnya selain kita malam ini. Kalaupun ada, barangkali sudah ditelannya. Makluk itu sangat
aneh!"
"Mudah-mudahan saja naga itu tidak jahat", kata mak ina."Pasti ada penyebab yang
memaksanya keluar sarang tengah malam. Ular besar biasanya lebih banyak tidur daripada
merayap membuang tenaga. Atau, barangkali tidurnya terusik sesuatu!"
"Dibalik gunung sana",kata balang."Aku pernah menemukan sebuah pondok tersembunyi
didalam lembah terpencil. Pondok itu sudah reot dan nyaris roboh. Konon, dari bisik-bisik
pemburu yang kudengar, pondok itu dulunya adalah tempat bersemayamnya seorang pendekar
hebat tiada tanding. Ia mengucilkan diri jauh dari keramaian karena tak mau lagi terlibat
perkelahian dengan manusia-manusia penasaran yang ingin menantangnya dan beradu
kepandaian. Beberapa tahun silam, sesuatu terjadi. Seekor naga tiba-tiba muncul disekitar

lembah dan memangsa sekalian makluk hidup yang ada disana. Babi hutan lewat, babi hutan
mati. Kijang melintas, kijang jadi korban. Sampai pada puncaknya, seorang pemburu tewas
ditelannya hidup-hidup. Semenjak hari itu, tidak ada lagi yang berani mendekati wilayah lembah
angker itu. Banyak yang menduga, naga itu adalah jelmaan dari musuh si pendekar yang
termakan sumpah. Jika kalah, ia bersedia dikutuk menjadi seekor naga. Kepandaian tidak
sepadan dengan pendekar penyendiri itu. Akhirnya tubuhnya menjadi naga"
"Cerita yang aneh!", keluh mak ina."Lalu, kemana pendekar hebat itu pergi? Apa dia
tidak sanggup mengalahkan naga jejadian musuhnya?"
"Entahlah! Aku juga tidak tahu....! Cerita pemburu masih bersifat dugaan dan belum
tentu begitu kejadian yang sebenarnya. Kalau tidak salah, kudengar si pendekar hebat mati
ditelan si naga yang mengamuk menuntut mengembalikan wujud aslinya"
Suara deru air terjun terdengar jelas. Bunyi yang tak ubahnya seperti suara pekikan maha
dahsyat digendang telinga. Disisi kiri dan kanan sungai dijejeri tanaman belukar rapat. Berbagai
anggrek menempeli batang-batang pepohonan. Dihulu sungai ada sebuah kolam besar yang
menampung kucuran air bah yang jatuh dari ketinggian yang meruncing kebawah seperti
tombak. Itulah air terjun tombak tujuan mak ina. Mereka telah sampai.
Dibalik air terjun terdapat dinding pualam yang licin berwarna hitam. Batu-batu kapur
berlumut menghijau disekitarnya membentuk lubang cekungan, lorong besar yang tidak begitu
bisa dilihat dari luar. Mak ina menamainya goa kenduri. Goa persembunyiannya sementara
waktu.
Balang berhenti ditepian air terjun. "Bagaimana caranya kita masuk, puti?", tanya
balang."Goa itu berada dibalik jatuhan air. Mustahil kita bisa masuk kesana!"
"Mendekatlah kedinding yang terbuat dari batu kapur itu. Ada jalan yang dibuat Randai
langsung menuju pedalaman goa", jawab mak ina.
Balang mendekat. Didepannya terdapat semak belukar rimbun, tinggi dan dijalari banyak
akar-akar tumbuhan liar. "Belukar ini yang kau maksud? Jalan apa yang bisa kau buat dari
belukar?"
"Teroboslah belukar itu sebanyak tujuh langkah dan dilangkah ketujuh, kau harus
memukan batu sekepalan tinju ditanah dan injaklah. Batu itu adalah kunci kita masuk kedalam
goa" "baik"
Dijalankannya tugas itu sesuai perintah. Ia masuk menyibak tumpukan tumbuhan
penumpang hidup itu sembari menghitung langkah. Dilangkah ketujuh, ia berhenti! Dirasarasakannya benda menurut petunjuk yang berikan Mak Ina. Kakinya meraba-raba tanah mencari
batu yang dimaksud. "Ini dia", kata balang. "Apa yang akan terjadi jika batu ini kuinjak, putih?
Pintu mana yang akan terbuka? Tidak ada pintu disini ,,!!" "Lakukan saja!!". Diinjaknyalah batu
kecil itu.
"Kreekkkhh", dinding pualam dari batu kapur bergerak perlahan dan tiba-tiba salah satu
tumpukan batu besar itu bergeser kebelakang. Dan, terbukalah sebuah lubang cukup besar.
Balang terkesima. "Hebat!!", katanya membatin.

Mereka memasuki lorong gelap pekat yang baru saja terbuka. Hal pertama yang mereka
rasakan didalam sana hanyalah gelap hampa yang sangat menyiksa mata, buta. Tidak ada
satupun sumber cahaya! "Turunkan aku!", pinta mak ina. Ia meraba-raba sesuatu didalam
kantong baju lusuhnya. Rupanya dua buah batu belerang yang masih sempat dipersiapkan
sebelum ia meninggalkan gubuk di bukit gundam. Diadunya kedua batu itu. Bunga api memecah
beberapa kali, kemudian ruang gelap pengap itu menjadi terang. Mak ina menyalakan lampu
minyak yang terletak diding goa.
Belum selesai, entah apa lagi yang dicari si nenek. Ia membungkuk-kan tubuh
menghadap kedasar gua. Kaki di goyang-geser dilantai seperti mencari sesuatu yang hilang.
Dirasakannya kaki membentur benda keras sekepalan tinju, raut tegangnya mulai tenang. "Ini
dia", katanya. Diinjak batu itu sampai menghilang kedalam tanah. Dan "kreekkh", bunyi yang
sama dengan yang pertama tadi terdengar lagi. Batu pualam yang sebelumnya bergeser
kebelakang, kembali menutup lorong pintu masuk. Tak nampak lagi pintu masuk. "Dengan
begini, batu yang kau injak diluar tadi akan menyembul lagi, balang".
"Buah tangan yang luar biasa! Bagaimana caranya kita keluar?", balang mendesah
takjub.
"Itulah yang sedang kucari tahu. Sebab, Aku juga tidak tahu!",balas nenek biasa!"Tidak
usah kau pikirkan bagaimana cara kerja pintu itu. Akupun cuma bisa menginjak dan menginjak
saja tanpa bertanya lebih banyak. Itu tidak penting bagiku. Mari ... Balang ! Ikuti aku ...", ajak
mak ina sambil berjalan. Balang mengikut, sekilas ia memandang kebelakang, pintu masuk yang
telah tertutup itu. Benaknya berusaha mencari jawaban, bagaimana caranya keluar?
Mereka menapaki jalan lurus bercahaya remang-remang. Bantuan lampu minyak yang
dinyalakan Mak Ina tadi. Cahaya remang lampu itu, Cukup menghilangkan pengap dan
memberikan sedikit hawa hangat dalam pualam dingin ini. Jalan itu seukuran dua depa manusia
dewasa dan tingginya sekitar dua tombak, tidak terlalu sempit, bisa dilewati oleh manusia
normal. Alam memang menyimpan berbagai keajaiban.
Tidaklah terlalu jauh mereka berjalan, kira-kira sepuluh tombak. Setelah itu, Mak ini
yang memanggul Cicitnya diikuti Balang memasuki sebuah gorong yang tidak berbeda dengan
sebuah ruangan besar. Sangat besar. Goa ajaib! Lantai dan dinding-dinding pualam terbentuk
sempurna. Amatlah megah bak istana para Raja, buah tangan alam semesta, dibentuk sebegitu
rupa oleh yang Maha Kuasa, indah!
Ditenggah ruangan Goa, membentang aliran anak air seluas satu depa laki-laki dewasa.
Sangat jernih dan dingin. Air itu berasal dari rembesan Air terjun tombak yang mengalir diatas
atap goa itu. Kiri-kanan memancar pula dua batangan cahaya bak menembus cela dinding
bebatuan. Cahaya itu berasal dari lampu minyak besar yang dibuat Randai berama isterinya
beberapa bulan yang lalu. Tempat itu emakin indah kala sinarnya membias di aliran air,
berkilauan seperti pecahan batu permata. Luar biasa, Balang si serigala tersihir seketika. Tak
mampu keluarkan suara.
Mak ina baringkan bayi kecil diatas tempat tidur yang sudah tersedia. Digantinya baju si
kecil yang sudah basah, ia bergerak-gerak. Lalu, menangis. Penuh kasih sayang, Mak ina
memasang badung dan menimang-nimangnya sampai tangisannya reda. "Jangan menangis
Bujang! Ibu dan ayahmu pasti datang menjemput kita!", begitu katanya. Luapan harapannya

sendirilah yang dipendam, tertahan tanpa tahu apa yang telah terjadi pada dua orang terkasihnya
itu diluar sana.
Balang masih berdiri memandangi setiap gerik wanita tua itu tanpa bicara. Sesekali ia
mendengus, hembuskan nafas berat. Entah apa yang sedang dirasakan dalam hati, mungkin ada
kata tak tersampaikan atau sekedar benaman perasaan dirundung kerinduan. Serigala itu
mendudukkan diri dilantai dingin. dilengahkan kepalanya menatap kucuran air bah dimulut goa.
Suaranya memecah, meski tidak terlalu berisik jika didengar dari dalam! Lama ia memandang!
"Kau tidak senang berada disini, Balang? Jauh betul pandangan kau layangkan!",
bertanya Mak Ina masih menimang cicitnya.
Balang menoleh! Mendengus lagi,"Bukan! Bukan itu Puti. Tentu saja aku senang
mendampingimu. Menjagamu ditempat ini adalah kewajibanku. Seperti kataku, melindungimu
selayaknya takdirku sampai mati. Aku hanya......", terang Balang tertahan. Kemudian
menekurkan kepalanya.
"Hanya kenapa, Balang? Katakanlah agar senang hatiku mendengarnya. Jika ada yang
mengganjal dihatimu, bicarakanlah. Jangan kau simpan, jadi penyakit pula nantinya", balas Mak
Ina.
Balang berdiri dari duduknya, berjalan mendekati anak air, minum sedikit, dan balik
menatap Mak Ina, "Aku ... ,!! Aku hanya merasa sedikit aneh melihatmu seperti ini!"
Mak Ina mencibir. Lalu lontarkan senyuman,"Balang....Balang...! Kenapa? Kau malu
menemuiku yang telah rentah begini rupa, sudah tidak cantik lagi seperti dulu? Aku sudah tua,
Balang! Hukum alam-lah yang membuatku menua jadi keriput. Kaupun tahu, waktu takkan
pernah berhenti, masamudaku telah lama berlalu!"
"Bukan perkara keriputmu, Puti! Dustamu...! Itu yang membuatku bertanya-tanya! Tapi
biarlah, aku tidak akan menanyaimu perkara itu sekarang, jelaskan padaku apa yang terjadi
hingga kau terlunta-lunta ditenga hutan?"
Mak Ina teringat kembali pada Sabai dan Randai yang sedang bertarung, menyabung
nyawa melawan keserakahan manusia yang berniat menghancurkan keluarga mereka. Hendak
memisahkan dua cinta yang ia ketahui amatlah kuat ikatannya. Sekalipun berat cobaan
menghimpit, tak lebih baik dari hantaman ribuan topan samudera, mak ina percaya, sangat
percaya! Tiada satupun yang bisa memisahkan keduanya kecuali Tuhan. Hanya maut. Ya!
Hanyalah maut dikirim Tuhan;lah yang dapat memisahkan dua sejoli itu.
Diceritakanlah oleh mak ina awal mula kejadian. "Kisah itu berawal ketika...."
*
Pemuda desa itu bernama Rajo batuah, seorang kaya-raya dan terpandang. Kebunnya
luas, ternaknya banyak! Tidak itu saja, dia juga seorang dubalang! Kaki tangan kerajaan dalam
hal tarik-menarik uang pajak. Pemuda itu sangat menggilai Sabai cucunya, ingin mempersunting
dan memilikinya dengan segala cara. Apapun dilakukan agar si gadis pujaan mau dinikahi.
Sementara sabai, tidaklah menyukai pemuda itu. Terlalu banyak hal yang tak disukainya dari diri
Rajo Batuah. Bukan rahasia lagi buruk perlakuannya pada penduduk, amatlah keji, melewati
ambang batas kemanusiaan yang seharus saling berbagi dan mengasihi. Akan tetapi, Sabai tetap

berbaik hati menerima kedatangannya bila berkunjung, sekalipun cuma basa-basi. Demi
silahturrahmi dan menjaga perasaan orang.
Perangai manusia memanglah banyak macamnya, terlebih si dubalang itu, tak punya rasa
malu! Seakan tak pernah mengerti bahwa ketika seseorang menolak sampai tiga kali, itu berarti
orang tersebut memang tidak mau! Bahasa kasarnya, "Tidak Sudi". Percaya diri, Suatu hari Rajo
Batuah melamar Sabai lagi untuk kesekian kalinya, tak terhitung lagi. Untuk kesekian kali-nya
pula dia harus kembali gigit jari, ditolak lagi dengan bijaksana. Seperti selalu, sekalipun ditolak,
dia tetap tidak mau lempar handuk dan menyerah. Malah berkata bahwa, akan tetap ditunggunya
Sabai sampai hati si gadis terbuka untuknya, penantian yang ia sendiri;pun tahu akan berakhir
sia-sia.
Si gadis jelita punya alasan kenapa menolak pinangan pemuda keras hati itu berkali-kali.
Sebab, ia telah mempunyai tambatan hati jauh hari sebelum dilamar oleh Rajo Batuah, Randai
namanya. Sesungguhnya lagi, seandainya saja Si Rajo Batuah tahu betapa betapa besar
pengorbanan sahabatnya, Randai, yang berpesan agar Sabai tidak menyakiti hati Rajo Batuah, si
laki-laki tak beradat yang juga tak paham ereang jo gendeang itu. Karna Rajo batuah adalah
sahabatnya sendiri. Pelik betul masalahnya. Akibatnya, Cukup lama dua insan itu sembunyikan
hubungan agar tidak diketahui. Tambah sakit hati pula si Rajo Batuah nantinya. Mereka
berharap, jika suatu hari nanti ia mengetahui, maka dengan jiwa besar ia berhenti mengharap
sabai yang rupanya milik sahabatnya sendiri.
Tapi, apa hendak dikata! Seakan tidak ada lagi Minang dalam badan, tersisakan kabau
dalam diri, Rajo Batuah malah berniat datang lagi membawa serta keluarga besarnya untuk
melamar sabai. Katanya, kalau tidak bisa dengan baik-baik, dengan paksaan;pun akan tetap
dilakukannya pernikahan itu. Sabai cemas dan mengadulah pada kekasihnya, Randai, yang
hanyalah seorang yatim-piatu, sebatang kara, tiada saudara kandung didunia.
Diambil-lah keputusan ketika itu, yaitu menikah secepatnya.
Maka, malam itu juga dilangsungkanlah pernikahan antara sabai dan Randai kekasihnya
dengan acara seadanya. Usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan Sabai, juga demi
menghindari nafsu serakah dan niatan buruk Rajo Batuah yang hendak menganiaya. Pernikahan
mereka didasari cinta yang tulus dan janji yang suci. Tiada paksaan dari siapapun, atau sebelah
pihak. Dua mereka memanglah saling berjodoh.
Rajo batuah tiba didepan rumah Mak ina, ikut menyaksikan pernikahan sabai. Bukan
kepalang murka-nya, tak kepalang pula amukannya, siapa didepan adalah lawan. Siapa
mendekat dapat pukulan. Ia menuding gadis pujaannya, kekasihya telah direnggut orang, dan
tanpa malu mengatakan sabai telah menghianati cintanya. Sejak kapan? Randai berjiwa besar
menenangkan, demi terjaga persahabatan, agar tak renggang persaudaraan diantara mereka.
Diajaknya Rajo Batuah berdamai, dan ingin diterangkan cerita yang sebenarnya. Bahwa, ia dan
Sabai sudah saling cinta dan mengikat janji bertahun-tahun lamanya. Bahkan, sebelum Rajo
Batuah mengenal Sabai.
Sungguh tak diduga Randai, terfikirpun tidak, sahabat yang selama ini dibela, disanjungsanjung demikian rupa, dikorbankannya perasaan sendiri demi menjaga hatinya, dengan tega
tanpa rasa kekeluargaan selayaknya teman, dia menyerang, bahkan hendak membunuhnya tanpa
mau mendengar penjelasan. Terjadilah pertarungan sengit antara dua sahabat itu. Randai
menangkis, bertahan, juga mengelakkan gempuan, tak sekalipun ia menyerang seperti yang Rajo

Batuah lakukan. Ia tetap bersabar diri. Namun Randai, memang takkan sanggup dikalahkan
sebegitu mudah. Justru, Rajo Batua:lah yang keteteran! Dapat Malu besar ia dimalam naas itu.
Miris, sejak hari itu Si laki-laki keras hati, Rajo Batuah tak pernah berhenti memburu
Randai dan sabai isterinya. Tidak seharipun dibiarkan tenang menikmati hidup. Rumah kecil
tempat tinggalnya;pun dibakar hangus oleh anak buah suruhannya. Satu sumpah dibuatnya
ketika itu, "Jika suatu hari nanti kau punya anak! Akan kubakar hidup-hidup anakmu! Ingat
itu!". Randai khawatir, takut keselamatan isteri dan Mak Ina terancam, tak ada lagi jalan keluar
selain menjauh, menyelamatkan keluarganya. Maka, ia memutuskan untuk hidup diempat
tersembunyi, dimana tak ada musuh yang mengusik mereka membina rumah tangga. Dimulailah
hidup baru. Hidup terasing ditengah hutan!
*
"Sumpah itulah yang ditunaikan Rajo Batuah, Hingga aku terpaksa nekad membawa
cicitku ini kabur ditengah malam! Beruntung kau bersedia datang menyelamatkan kami. Sabai
dan Randai, aku tak tahu bagaimana nasib mereka!", Mak Ina selesaikan cerita.

5. Lima
Sesosok manusia dibaluti jubah hitam berkelebat diudara dan mendarat dihadapan
Randai. Wajahnya keriput, berkumis tipis dan memutih. Rambut ditutupi kain hitam pengikat
kepala. Ia tersenyum memandang laki-laki mudah didepannya. "Apa kabar anakku? Lama kau
menghilang, rindu pula rasanya hendak melihat. Mungkinkah kau melupakan orang tua jelek
didepanmu ini? Jika benar, malang benar nasibku . . . !", sapanya.
Randai tercengang. Raut keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajahnya yang
tegang. Dalam gelap ia menimbang-nimbang dan mengira;siapa adanya pak tua didepannya.
Dalam gelap kepalanya menyegarkan ingatan pada suara yang tak asing ditelinga. Dalam hati ia
bertanya, "Siapa agaknya dia? Seperti suara ..."
Tak seberapa lama, Randai terhenyak. Lalu bersimpuh didepan pak tua itu. "Paman
Kuto!", kata Randai nyaris teriak. Diciumnya tangan si orang tua penuh rasa hormat."Maafkan
aku, anakmu yang tak berguna ini. Yang tidak bisa mengenalimu begitu cepat. Aku benar-benar
durhaka.
Sungguh kecil dunia, sungguh sempitnya padang, hari ini aku akhirnya berjumpa dengan
Paman sekaligus ayah angkat. Orang teramat kurindukan selama aku hidup berpindah-pindah.
Adakah paman baik-baik saja?"
Kuto menarik nafas dalam. Lalu pegangi kepala Randai. Bak mencurahkan kasih sayang,
diusap-usapnya rambut laki-laki muda yang telah lama tak dijumpainya ini. Anak angkat yang
seakan raib tak tentu rimba."Seperti yang kau lihat, bujang anakku", katanya
tersenyum."Pamanmu ini selalu sehat sampai pertemuan kita lagi malam ini. Jikalau pun ada
sakit, hanyalah sakit biasa. Maklum, pamanmu sudah tua. Sudah terlalu banyak yang rusak
dalam badan"
"Syukurlah Paman. Hatiku legah mendengarnya", kata randai tersenyum, kemudian
melanjutkan ucapan."Hal apa kiranya yang membawa paman sampai kebukit ini? Hari sudah
larut, cuaca juga tidak baik. Apa yang paman cari?"
"Seseorang . . . !!"
"Seseorang? Siapa maksud Paman?"
"Ya! Aku sedang mencari buronan yang kuduga melarikan diri kepuncak bukit ini. Sudah
dua hari orang itu kukejar, mulai dari perbatasan kampung kita. Aku punya sedikit urusan
pribadi dengannya. Sayang sekali, aku kehilangan jejak. Tapi tidak masalah karna aku malah
bertuntung bertemu kau disini. Perburuanku bisa kupikirkan belakangan", jawab kuto sambil
memperhatikan keadaan. Ditelitinya setiap sudut gelap bukit dan dua buah batu besar
didekatnya. Juga gubuk kecil dipertengahan batu itu. Dalam hati ia ingin tahu keberadaan dan
pemilik gubuk itu. Siapa yang tinggal disana.
Matanya membelalak menyadari disekelilingnya terdapat gelimpangan mayat-mayat
manusia. Tubuhnya kedinginan, bulu kuduk merinding bagai dijalari ribuan semut.
Pemandangan mengerikan yang mungkin belum pernah seumur hidup disaksikan oleh kakek tua
ini.

"Randai", katanya, "Apa yang terjadi ditempat ini, nak? Kenapa banyak sekali mayatmayat manusia bergelimpangan seperti binatang? Sss...ssiapa yang membunuh mereka?"
Mulut si Randai bungkam seribu bahasa. Nafas sesak ketakutan. Juga ,bingung
memikirkan bagaimana cara menerangkan, bahwa penyebab banyak mayat itu adalah ia sendiri.
Orang-orang itu sebenarnya mati ditangannya. Ya, Tangannyalah yang merenggut hak hidup
para algojo-algojo bayaran Rajo batuah yang kini sudah jadi bangkai. Jika diterangkan, ada
perasaan takut dalam sanubarinya jika kuto akan bersak wasangka yang bukan-bukan. Akan
menuduh yang tidak-tidak. Meski kenyataannya, semua itu terjadi semata-mata karna membela
diri. "Kenapa Randai? Ada apa?"
"Tuanku Nan Kuto Basi ,, ", terdengar suara lain menyela percakapan dua anak dan ayah
angkat itu. Suaranya berat dan tersendat-sendat, Tan Mali. Rupanya, walapun bersusah payah,
Kakek ceking itu masih sanggup berdiri dengan sisa tenaganya yang tadi terkuras habis setelah
pertarungan panjang melawan Randai. Dipeganginya dada yang mendenyut sakit, "Kau masih
kenal aku Tuanku?".
Kuto menatapnya lama-lama. Kedua mata sedikit dipicingkan mencoba menangkapnangkap sosok didepannya. "Aku mengenal suaramu. Siapa kau?". Balasnya.
Tan Mali menyeringai. "Mali,,! Aku Tan Mali, Tuanku !! Masa muda dibuang-buang,
masa tua menjadi-jadi. Waktu muda kebencian orang, sampai tua tak berbudi. Bukankah itu
katamu padaku waktu kau menghajarku di warung ujang"
"Rupanya kau, Mali", katanya. "Apa lagi yang kau perbuat sekarang? Belum henti juga
kau berbuat nista dan kekejaman meski tubuhmu sudah bau tanah? Sungguh biadab, lagi-lagi
kau membunuh banyak orang. Kau renggut banyak nyawa. Wajar saja anakku menghukummusampai ingin melenyapkanmu dari dunia ini. Manusia laknat sepertimu memang tidak
sepantasnya hidup lama. Hanya menyebarkan angkara-murka tiada henti . . !! Kau memang
layak mati . ."
Tuanku Nan Kuto Basi mencabut keris dipinggang, bersiap menyerang Tan Mali.
"Tunggu . . ", seru tan mali. Kuto mengurungkan niat. "Tuanku salah menduga. Bukan seperti itu
ceritanya. Semua yang kau lihat ini bukanlah perbuatanku. Aku tidak bersalah dan sama sekali
tidak berbuat dosa seperti yang kau tuduhkan kali ini. Aku hanyalah korban"
"Korban . . . ?", serganya."Korban apa maksudmu?"
Pucat pasi disertai amarah muka Randai. Asung-fitnah Tan Mali mulai menyerang telak
nan Kuto, pamannya. Kekhawatiran akan kelicikan tan mali yang sedari tadi tertahan,-sebentar
lagi akan menjadi bencana. Bencana besar yang bakal sulit dielakkan. Bisa jadi, Nan Kuto justru
balik menyerang dan membinasakan dirinya andai termakan asung-fitnah. Seperti yang ia
ketahui, watak dan pemikiran Tan Mali tidaklah benar. Terkurung hendak diluar, terhimpit ingin
diatas, Licik. Sifat Pamannya yang sangat membenci kezaliman akan dimanfaatkan betul
olehnya.
Bagaimanapun juga, ia akan sulit terhindar dari tuduhan licik Tan Mali yang
menyerangnya dengan segala cara. Yang ingin memusnakan musuh melalui tangan siapa saja,
termasuk tangan Nan Kuto Basi.

"Paman!", kata Randai. "Biar kujelaskan duduk perkaranya"


"Tunggu Randai, biarkan bajingan tengik ini bicara . . . ! Apa lagi yang ingin
dikatakannya sekarang !!".
Randai ingin melanjutkan, tapi bicaranya langsung dipotong.
"Anakmu . . . ", kata Tan Mali tersengal-sengal memegangi dada."Si Randai bangsat
itulah yang membunuh mereka semua. Kami datang ketempat ini baik-baik. Tidak sedikitpun
ada niat jahat. Tapi, dia malah menyerang kami! Lebih menyakitkan lagi, dia sampai hati
menuduh sayah dan teman-teman yang sudah menjadi bangkai ini sebagai perampok. Apapula
yang hendak kami Rampok dari rumah buruk reok ini? Tidak ada Tuanku..! Aku coba
menerangkan, berharap diberikan kesempatan untuk bermufakat bahwa kami ini tersesat. Malah,
tanpa ampun ia membantai kami satu persatu sebelum sempat aku memberi kebenaran.
Beruntung kau menyelamatkan Tuanku, sebelum dia menggorok leherku sampai putus. Bocah
ini sudah gila. Anak haram yang dulu kau pungut dari tempat sampah ini sekarang tak ubahnya
seperti binatang Tuanku. Dia tidak pantas . . !"
"Hentikan fitnahmu, bajingan !", Randai membentak."Hasutanmu sunggu sudah diluar
batas . . . !!"
"Fitnah apa yang kau maksudkan, Randai?", kata Tan Mali berlagak."Bukankah yang
kukatakan itu benar? Jika tidak, lalu siapa yang membunuh teman-temanku ini, eh? Tidak ada
orang lain disini selain kau. Bukankah golokmu itu yang menggorok mereka? Lancang sekali
kau menuduhku memfitnah. Pembunuh . . .!!"
"Benar kau yang melakukannya, Randai?", tanya Nan Kuto Basi.
Randai menekurkan kepala dan menjawab,"Be . . . Benar Paman. Tapi, itu kulakukan
untuk membela diri. Tan Mali datang ketempat ini atas suruhan majikannya untuk membunuhku
dan keluargaku. Mereka diperintahkan untuk membantai anak istri serta mertuaku, paman. Tak
ada cara lain yang bisa kulakukan Paman. Aku tak ingin istri dan anakku celaka"
"Siapa majikan Tan Mali yang kau maksudkan?", tanya Nan kuto lagi. "Keluarga apa
pula maksud kau, Randai? Kau sudah punya keluarga, nak? Punya anak dan istri?? Sejak kapan?
Kenapa kabar angin pun tak bertiup ketelingaku ini?"
"Ya paman, setahun yang lalu aku menikahi sabai. Mohon maaf, karna tidak sempat
memberi tahu paman berita baik itu. Semua terlalu cepat berubah paman. Hari pertama
pernikahan kami adalah hari kami hidup sembunyi-sembunyi dari kejaran . . . "
"Alaahh", tan mali memotong."Jangan termakan iba kau ,Tuanku. Manusia serakah ini
berhati iblis, pintar bertipu-muslihat. Kalu lihatlah dia, lihatlah tampangnya itu, Sekarang dia
berusaha mencari simpatimu, jangan terpengaruh. Atau, kau akan celaka setelahnya..".
"Diam kau, Tan mali.", bentak nan kuto membelalak."Aku lebih percaya omongan
anakku daripada celoteh busukmu". Ia kembali menoleh pada Randai. "Lanjutkan Randai. Siapa
yang mengejarmu?"

"Orang itu adalah . . . !"


"Hahahahaha . . .Manusia tengik itu sedang memperdayaimu, Tuanku", lagi-lagi Tan
Mali memotong."Kurasa kau tidak sebodoh itu. Pendekar ternama sepertimu tidak bakal mudah
menerima dusta!".
"Praakk", batu yang disandari tan mali bergetar. Mulutnya ternganga beberapa saat.
Andaikata jantungnya ibsa keluar, mungkin sudah terlempar benda itu dari tubuhnya. Redup
halilintar samar-samar, tampak dibatu sebelah kanan kepala Tan Mali ukiran sebentuk telapak
tangan manusia sedalam kuku jari. Bekas cekungan tangan itu mengepulkan asap. "Telapak
Besi", kata tan mali mengigil.
Tuanku nan kuto basi mengusap-usapkan tangannya kebaju hitam yang membalutinya.
Dibibir tersungging senyuman hambar pada Tan Mali. "Diamlah kau disana! Atau kutambah
jejak luka ditubuhmu". "Am. . Ampun Tuanku!", balasnya memelas dan kemudian diam,
menuruti perintah kuto .
Randai terkesima melihat kejadian yang baru saja menimpa Tan Mali. Nyaris sekejap
mata nyawa lelaki tua picik itu melayang ditangan pamannya, nan kuto basi. Kini dilihatnya si
kakek tukang fitnah berpangku tangan, belum beranjak dari batu pesandaran. Mungkin hilang
akal atau kaget yang tak mau hilang.
Bagaimanapun juga, sebagai manusia, ia turut merasa ngeri. Bulu roma berdiri, perasaan
dingin menjalari telapak kaki sampai keubun kepalanya. Belum pernah seumur hidup
disaksikannya kemarahan nan kuto basi. Sekalipun, yang ia saksikan tadi barulah selentikan
jari. Hatinya tak hentinya menerkah, jurus apa yang digunakan pamannya itu?
"Katakanlah Randai", kata kuto."Siapa manusia yang memburumu? Takkan kubiarkan
seorangpun menyakiti anakku,,!!"
Laki-laki muda ini masih tampak ragu-ragu. Dadanya seperti ditekan sesuatu yang
teramat berat, bagai menanggung banyak beban. Ada sesuatu yang membungkam mulutnya. Ia
seakan bisu dan hanya bisa menghela nafas dalam-dalam,"Orang itu . ... !",jawabnya mengusap
peluh dikening."Orang itu adalah . . . !!"
"Siapa . . . !! Lekas jawab Randai . . . !!"
"Aku ...!! Akulah yang memburunya . . . !!", terdengar dari belakang sebuah jawaban
datang tanpa diminta. Orang itu adalah si culas, Rajo batuah.
Randai terkesiap. Dua tangan dikepal kuat-kuat. Sedari tadi hati memang bertanya-tanya
tentang keberadaan musuh bebuyutannya itu. Sejak awal perkelahian dimuali, ia tak lagi
memperhatikan gerak-gerik Rajo batuah. Dan, ia sempat berfikir bahwa ia telah kabur melarikan
diri. Rupanya, rencana busuk telah direncanakan sembari dirinya sibuk melayani anak buah serta
pesuruhnya, Tan mali.
Amarah semakin menggebu-gebu melihat dua tangan manusia laknat itu sedang
mendekap seseorang. Seseorang yang amat ia kenal dan ia cintai, yakni sabai, isterinya. Sabai
kini terkulai lemah dalam pangkuan Rajo batuah yang kekar, entah hidup, entah sudah mati.

Tetesan-tetesan air mata panas;pun turun kepipi Randai. Kepala menggeleng-geleng,


melukiskan ketidak relaannya melihat wanita yang ia cintai dipeluk orang lain yang sangat
dibencinya. Jangankan dipeluk, disentuh sedikitpun ia tidak akan rela. Dengan lantang,
Randaipun berteriak, "Bangsat ...!! Kau apakan istriku.....lepaskan dia, pengecut! Kita bertarung
sampai mati",
Kekhawatiran kini benar-benar berada dipuncak. Ketakutan akan keselamatan putera
semata wayangnya membuncah. Beribu pertanyaan menggelora dihatinya menuntut jawaban.
Bagaimana keadaan puteranya, bagaimana dengan mak ina? Selamatkah mereka? Kemana harus
dicari jawabannya?
"Selangkah kau bergerak", kata Rajo batuah."Nyawa isterimu yang mulus ini kubuat
melayang keakhirat...hahaha...mampus kau sekarang...dendamku akhirnya terbalaskan!!"
"Apa yang kau perbuat pada isteriku? Dendam-mu hanyalah tentang kita berdua, jangan
libatkan sabai. Dia tidak tahu apa-apa!"
"Ah ,, Randai . . Randai . . .apapun yang sudah kuperbuat pada isterimu, yang penting
kau tidak melihat. Bukankah itu sudah cukup?", balasnya membelai kepala sabai."Aku mau
bersenang-senang ataupun lebih dari yang kau pikirkan, ya terserah padaku. Bukankah dulu
perempuan ini seharusnya jadi milikku. Kau malah merebutnya. Tapi setidaknya, aku sudah
berbuat baik padamu, hehehehe! Sebagai teman, aku masih menghormatimu"
Nan kuto basi berdiri berpangku tangan. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk sambil
menyunggingkan senyuman yang entah bermaksud apa. Helaan nafas berat juga mengiringi
tubuh rentah lelaki tua ini. "Aku sudah tua! Sebentar lagi bisa pikun dan tak berguna. Sekalipun
begitu, sebelum aku mati, aku juga ingin berbuat kebajikan pada orang lain. Sepanjang hidupku,
beribu aral melintang pernah kujalani, beratus musuh kutaklukkan dengan keji, bahkan beragam
sifat manusia kutemui. Manusia tamak, dengki, angkuh, sombong dan haus akan kekuasaan
adalah diantaranya. Meski harus kuakui, segelintir diantara mereka ada juga yang bijaksana dan
berbudi luhur. Namun sejujurnya, baru kali ini kusaksikan pertumpahan darah, dendam yang
membabi buta dari masalalu sampai hari tua menjelang belum juga reda hanya karena cinta.
Hanya karena hal yang tak terlau sulit untuk dimaafkan. Sungguh memalukan, Gara-gara
memaksakan cinta satu wanita, mayat-mayat bergelimpangan sia-sia ditempat ini. Puluhan anak
akan terlantar, kelaparan karena ayahnya tergeletak ditanah seperti anjing tak terurus demi
membela manusia menjijikkan. Dunia ini, selain tua, juga sudah gila!".
"Diam kau kakek tua!", bentak Rajo batuah."Tau apa kau soal hati manusia, eh? Jangan
berlagak sok suci didepanku. Telinga dan mataku masih belum asing melihatmu sedari aku
belum bisa berjalan sampai kau rentah begini. Kau juga sama kejinya denganku. Bahkan, kau
lebih menakutkan, setan,,!!"
"Sadarlah bujang, anakku!", balas nan kuto."Ingatlah, ada masa didepan sana sedang
menunggu penyesalanmu atas perbuatanmu hari ini. Ada suatu hari disana, kau akan menangisi
kealpaan yang terjadi padamu dimalam ini. Ingat Tuhan, bujang! Ingat kau akan dihukum jika
kau berbuat salah"
"Persetan dengan bacotmu, Nan kuto",kata Rajo batuah membentak. "Apa peduliku?
Jangan sekali-kali kau panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu lagi, kakek tua hina. Namaku

Rajo batuah. Panggil aku selayaknya orang-orang memanggilku. Kau tidak ada hak
memanggilku "bujang"!!".
"Manusia durhaka,,!!", Randai memotong."Jangankan pada orang lain, pada ayahmu
sendiri kau tidak sedikitpun menaruh hormat. Terbuat dari apa hatimu, Rajo batuah? Atau
mungkin isi kepalamu sudah dipenuhi oleh kotoran anjing dan hatimu ditempeli iblis?
Menjijikkan . . . Terkutuklah kau!!"
Tuanku Nan kuto basi diam-diam menitikkan air mata. Laki-laki yang tak lain adalah
ayah kandung rajo batuah ini merasakan pedih diuluh hati ketika mendengar si bujang yang dulu
kecil teramat disayang, anak pertama yang ditimang-timang dimandikan, kini memanggilnya
begitu rupa. Menyebutnya "kakek tua", Andaikata ada petir menyambar ketika itu, belum tentu
bisa mengalahkan gemuruh perasaannya. Masih lekat diingatan, terbayang jelas dipelupuk mata,
kejadian puluhan tahun silam, ketika itu Rajo batuah kecil berlari menyonsong kehalaman,
menyambutnya setelah pulang bekerja,"ayaaahhh", katanya berjingkrak penuh semangat. Tanpa
diduga, karna terlalu riang, kakinya tersandung akar pohon jambu yang mencongkel besar diatas
permukaan tanah. Rajo batuah kecilpun terjatuh dan menangis. Lututnya berdarah.
Nan kuto teramat marah. Belum lepas penat letihnya, belum kering keringatnya,
diambilnya kapak, ditebang dan dicabutnya pohon jambu itu sampai keakar-akarnya karena
menyakiti putera tercinta. Dan kini, si kecil itu sudah besar. Sudah bisa dibanggakan dan jadikan
tempat mengadu. Akan tetapi, balasan kata-katanya tadi teramatlah menyakitkan bagi nan kuto.
Tidak disangka, si bujang sulung, semata wayang nan dulu, kini ibarat membesarkan seekor
harimau. Ya, cuma harimau yang tidak pernah mengenal tuan. Jika ada kesempatan, tuannya;pun
akan dijadikan santapan.
Kuto memegangi bahu Randai,"Sudahlah! Tidak ada cara lain menyelamatkan isterimu
selain menyerangnya dengan cepat!"
"Itu tidak mungkin paman!", kata Randai lirih."Aku takut, puteramu benar-benar
melakukan ancamannya. Isteriku bisa celaka"
"Aku juga tidak mungkin menyerang anakku sendiri, Randai!", kata rajo batuah."Naluri
seorang ayah, takkan pernah mau mencelakai anaknya. Bahkan, rela mati. Dia anakku dan aku
tetap berharap kau tidak mencelakainya"
Randai termenung. Apa yang tengah dihadapi bagaikan memakan buah si malakama.
"Malang nian nasibmu, Randai!", kata rajo batuah buyarkan keheningan."Apa benar kau
mengenal kakek rentah disampingmu itu? Kau tahu siapa dia? Sehingga, kau begitu marah
padaku? Hahahaha....kasihan"
"Apa masih perlu pertanyaanmu kujawab? Binatang!!"
"Oh, Randai sobatku!", kata rajo batuah terkekeh."Kau,,kau terlalu bodoh memahami
kenyataan. Otakmu sangatlah kecil dibandingkan dengan seekor tungau. Bertahun-tahun kau
hidup dengan kami, dari kecil sampai dewasa. Aku melihat kau sangat bahagia. Penuh tawa dan
kesenangan. Hari-harimu tampak istimewa. Ya, sangat bahagia. Tapi kawanku yang malang, kau
tidak menyadari satu hal sobat. Selama ini kebahagiaanmu adalah kebohongan. Kau hidup dalam

kebohongan. Betapa bodohnya kau mau tinggal bersama orang yang telah membuatmu
menderita. . . . !"
"Tidak usah berbelit-belit dan membuat teka-teki padaku. Apa ujung perkataanmu?
Adakah hasut yang terlontar dari mulut busuk serakahmu itu?"
"Perlu kau tahu!! Selama ini, Kau ibarat seekor anak burung yang hidup dalam sangkar
pemburu. Tiap hari kau diberi makan dan kau senang. Sebab, karena kebaikannyalah kau hidup.
Demi membalas budi, tiap hari kau berkicau untuknya, tanpa tahu dan bertanya-tanya siapa
yang menangkap dan menjual indukmu"
Baju Randai berkibar ditiup angin. Jantungnya berdebar-debar diusik rasa prasangka.
"Jadi....jadi ...kau terlibat dalam pembunuhan ayahku?", katanya sayuh. Lutut dan kaki keluh.
Sesuatu yang tidak disangka-sangka kini menebar kenyataan yang lebih sulit diterima. Ia
berlutut ditanah. "Jika itu kebenarannya, kubunuh kau bajingan....!!"
"Randai,,, awasss!!!", dan "buggghh"... Terdengar lenguhan panjang disertai sesosok
tubuh manusia roboh.
Mulut Randai terbuka lebar. Dilihatnya sosok roboh terkapar itu, megap-megap
menyonsong maut. Mulut dan hidungnya menyemburkan darah. Matanya membeliak dan dada
membusung kesulitan bernafas. Rintihan kecil terputus-putus terdengar sayup dengan mata yang
terus memandangi Randai. Orang sekarat itu adalah Tan mali.
Randai menatap kebelakang, mencari sosok kuto, pamannya. Yang ia lihat hanyalah
kegelapan. Tidak ada lagi kuto disana. Dalam sekejap, ia menghilang. Sekelebatan saja mata
berkedip ia lenyap. Randai membathin dan bertanya, kenapa pamannya mencelakai Tan mali
sementara sebelum ini dialah yang mencegahnya membunuh perampok itu? Kenapa pamannya
pergi tanpa berpamitan?
"Apakah kau berniat membokongku, Tan Mali?", sergah Randai memegangi pergelangan
tangannya. Tan mali tidak menjawab. Hanya tatapan panjang yang tidak putus-putusnya, terus ia
berikan kepada Randai. "Kemana paman kuto?"
"Bangsat tengik! Urusan kita belum selesai! Apa perlu kubereskan istrimu sekarang
juga?", teriak Rajo batuah.
Randai berdiri, membiarkan sosok Tan Mali terkapar dalam keadaan sekarat.
Dibenarkannya ikatan kepala yang sudah basah. Diemeretakkan jari-jari dalam kepalan.
"Lepaskan isteriku! Kita bertarung secara jantan!", tantang Randai.
"Hahahahaha.....Baiklah! Terima ini ....!!", kata Rajo batuah melemparkan dua buah
benda sebentuk pisau kecil, senjata rahasia. "Pengecut!!" Kata Randai melompat dan
melayangkan tubuhnya diudara guna mengelakkan serangan mendadak secara tidak terpuji itu.
Dua benda berkelebat bagai kilat dan nyaris mengenai perut andai saja ia tidak melayang lebih
tinggi. Beruntung ia masih sanggup mengelak.
Dan,"Clupp", serangan Rajo batuah menancapi dahan pepohonan. Dalam hitungan detik
daun-daun didahan yang ditancapi senjata rahasia menjadi kering berguguran. Teramat dahsyat.

Randai berkelebat turun setelah selamat dari kematian. Banyak sedikitnya, kengerian
dirasakannya juga melihat dedaunan didahan kayu berguguran akibat terserang racun senjata
rajo batuah. "Luarbiasa!", lirih Randai. "Senjata beracun rupanya. Aku harus berhati-hati".
Pandangannya kembali terarah pada musuhnya. Rajo batuah masih berdiri tidak jauh dari
tempat Randai terpaku. Perasaan iba menghinggapi laki-laki muda ini melihat isteri tercinta
terkulai lemah ditangan orang lain. Ia diamuk dendam dan kebencian serta
kecemburuan."Bertahanlah isteriku",katanya.
Akan tetapi, ada sesuatu hal dalam dikepala yang membuatnya bimbang. Ia tidak tahu
bagaimana cara untuk menyerang, sementara isterinya berada dalam dekapan Rajo batuah.
Salah-salah, isterinya akan dijadikan tameng pemutus serangana. Isterinya juga yang akan
celaka. Beberapa saat, laki-laki ini terdiam diamuk pemikiran.
Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya perlahan. "Baiklah! Tidak
ada cara lain". Katanya mendesah. "Aku terpaksa!".
Randai duduk bersila ditanah. Tangan dibekap kedada. "Ajian terlarang Raja Naga emas
dari lembah darah. Tubuh emas jiwa binatang. Sekali terucap tak bisa dirubah", katanya
setengah berbisik. Mulut tampak komat-kamit seperti melapalkan sesuatu. Kedua mata
dipejamkan. Telapak tangan ditempelkan didada. Lalu, dengan sangat luar biasa dan tak terduga
oleh akal manusia, tubuh suami sabai itu berubah menjadi bayangan hitam. Asap pekat
mengepul disekitar tempatnya bersila. Lalu, Sosok Randai lenyap dari pemandangan.
Berdegub jantung rajo batuah, terpompa cepat aliran darah, bagai keluar bola mata
menyaksikan apa yang sedang terjadi didepannya. Semua yang serba mustahil. Sangatlah tidak
masuk akal kejadian yang baru saja lewat didepannya beberapa saat yang lalu. "Ke . . . Kemana
kau bajingan? Dimana kau bersembunyi Randai tengik !!", serunya ketakutan setengah mati.
"Lekas kau keluar!"
Randai ditelan bumi. Entah kemana dan dimana tubuh kasarnya. Satu-satunya yang
masih bisa dilihat Rajo batuah dalam gelap senyap itu hanyalah tubuh sekarat tan mali yang tak
sadarkan diri. Atau mungkin sudah mati.
Mata rajo batuah jadi liar. Ia bergerak kekiri dan kekanan mencari sosok randai yang
hilang lenyap. Ia khawatir diserang dari belakang, samping atau didepan. "Pengecut kau,
Randai!". Serunya.
Terdengar dengusan nafas, terdengar pula gerisik logam-logam pipih bersentuhan. Suarasuara aneh itu tepat dibelakang Rajo Batuah. Tak ubahnya seperti dengusan seekor binatang.
Harimau atau beruangkah itu? Ia;pun segera menoleh.
"Ya Tuhan!", seru Rajo batuah yang masih memegangi sabai. Ia surut jauh."Ma .
.mmakhluk apa ini?"
Sesosok binatang bersisik emas kemerahan ,kepala bertanduk dan berukuran sangat
panjang sedang mendongak tinggi dihadapan Rajo batuah. Matanya merah menyala, lidahnya
bercabang dua menjulur berulang-ulang. Ada dua pasang kaki yang mengangkat tubuh besar itu.
Seekor naga bersisik merah keemasan.

"Huss....hus ... Pergi! Aku bukan mangsamu, keparat!",kata rajo batuah panik. Serasa
terbang nyawa dibadan, bagai berada diawang-awang tubuhnya."Kau mau makan, eh? Iya? Ini
makanlah ....! Makan dia sampai habis". Seraya melemparkan tubuh sabai yang tidak sadar.
"Cepat makan... Aku tidak butuh perempuan itu...!
Ia berjalan dengan empat kaki, bukan merayap layaknya ular. Didekatinya tubuh sabai,
diendus-endus, selayaknya membaui tubuh yang kebasahan oleh air hujan itu. Helaan nafas si
naga semakin cepat dan tidak lagi teratur. "Aarrrgggghhhhh", dia menggembor dan mengejar
Rajo batuah.
Ketika itu juga ekor panjang bersisik berayun cepat dari belakang, langsung menubruk
tubuh si Gendut itu. Sedikit berkilah kekiei, ia mampu berkelit. Dengan sigap melakukan
gerakan salto kebelakang. "Prakk", pohon besar tumbang dihantam ekor naga.
"Makluk iblis ini marah padaku! Bukankah dia mencari makan? Kenapa bukan sabai saja
yang dimakan?", rutuknnya dalam cengkeraman rasa takut.
Serangan datang lagi. Kali ini agak aneh. Naga berkelebat seperti angin dan berputarputar mengelilingi putera nan kuto basi yang durhaka. Makin lama, makin cepat putarannya.
Yang tampak kini hanya kepulan asap menyelubungi lelaki tambun buruk rupa itu.
Laki-laki tambun itu memekik. Seluruh belulang dirasakannya remuk. Mulut
mengucurkan darah. Suara badai berpusing lebih kuat dari topan samudera. Pohon-pohon
tumbang. Batu besar disebelah pondok bergeser kebelakang. Gubuk mak ina terbang keawangawang dan jatuh kejurang. Tubuh tan mali terangkat dan tersangkut dipepohonan.
Rajo batuah berusaha melepaskan diri. Tidak hilang akalnya selagi bisa menyelamatkan
diri. Sekalipun, kesempatan untuk selamat itu hanya setipis kulit arih. Ditariknya gagang keris
dipinggang sekuat tenaga. Teriakan dan pekik kesakitannya terdengar pedih ditimpali desaudesau dedaunan. Ia tetap tidak berputus asah. "Jejadian apa kauuuuu?", disela jeritnya.
Sekuat apapun berusaha, ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari jepitan angin yang
seperti membaluti sekujur tubuh. Kekuatan yang melebihi kemampuannya. Tenaga rajo batuah
mulai melemah, sudah terkikis nyaris habis. Kini baru disadarinya. Dia telah dililit naga besar
itu.
Perlahan-lahan pusaran angin mereda. Lilitan naga samar-samar membayang, terlihat
semakin nyata. Si culas licik ,Rajo batuah terjepit diantara lingakaran tubuh sebesar pohon
kelapa. Hanya kepala besar dipenuhi jambang bawuk keangkuhan yang masih terlihat,
selebihnya diremuk oleh binatang itu. Ular besar yang bagai seuntai tali tambang mengikat
seekor anak kelinci. Isi perutnyapun akan keluar. Kini pasti telah dirasakan, bagaimana sakitnya
menantang maut.
"Teganya kau membunuh isteriku!! Sampai hati kau menganiaya orang yang paling
kucintai. Hanya dia satu-satunya milikku didunia. Dialah ibu dari anakku yang belum bernama.
Kau membunuh sabai,,,!!!! Keparat kau, Rajo batuah...Sudah saatnya kau mampus!",
Suara yang semakin membuat Rajo batuah mati ketakutan. Semakin didengar, semakin
takut ia dibuatnya. Naga itu bisa bicara!! "Kau...Randai?",

"Ya..!! Aku pencabut nyawamu"


Rajo Batuah mencibir getir, ludah dan giginya memerah bercampur darah."Ma...af!
Maafkan .... aku! Aku tidak bermaksud...aku tidak bermaksud membunuhnya, Randai!
Tolonglah..."
"Tidak ada ampun! Kembalikan nyawa isteriku jika kau bisa, itulah penebus dosamu!
Tapi, itu tidak mungkin terjadi! Matilah kau ...!!
Tubuh panjang bergeser perlahan, melilit semakin keras. Geretak belulang hancur
"Krekkkhh", semakin banyak, bagai berserakan ditanah. Terdengar rintihan, pekik halus
kematian mengernyit pilu, Rajo Batuah menghadapi sakratul maut.."Iiiiiikkkhhhh.....!!!!!!!!!!".
Dan, nyawanya putus. Kepala terkulai, lidah menjulur, mata membeliak besar. Tewaslah si
kejam Rajo Batuah, lunas hutang piutang, selesai perkara dunia.
Telah tamat riwayat Rajo Batuah. Tenggelam buruk namanya bersama lepasnya lilitan
naga yang menjadi penyambung tangan malaikat neraka. Laksana tertawa seisi alam, bersuka ria
seluruh arwah-arwah penasaran yang dulu menjadi korban keserakahannya. Tubuh tambun
penuh lemak itu, telah lumat menjadi seonggok daging tiada tulang. Mati mengerikan! Tiada
rupa, tak dapat lagi dikenali.
***

6. Enam
"Sabai ... Bangunlah istriku.. Tolong bangunlah!", Randai mengguncang tubuh wanita
dipelukan dengan air mata terus meleleh. Perubahan sebagai naga menakutkan telah hilang, ia
telah kembali kesosok pemuda gagah sebagaimana bentuk aslinya. Sayangnya wajah itu kini
sedang diremuk kesedihan.
Dipandang dan diusap wajah pucat Sabai. Serupa tiada darah lagi yang mengaliri
tubuhnya. Akankah kebahagiaan yang baru sesaat ini segera berlalu? Rumah tangga yang masih
dipenuhi hangatnya berkasih-kasihan, bagai berselimut pelangi setiap hari. Akankah berakhir?
Belumlah lama mereka bersama, terlalu sebentar berpayung cinta, kini tubuh yang dicintai itu
telah dingin kaku dipelukan. Bagai mimpi saja yang dialaminya itu. Tak mau percaya hatinya
sekalipun itulah kenyataan yang harus ia terima. Isak getir menyeduh-nyeduh dari bibir Randai.
"Tidak....! Tidak.... Aku mohon, jangan mati isteriku...anak kita belum bernama, sangat
membutuhkan ibunya. Jangan biarkan ia sengsara tanpa kasih sayang, Sabai...bangunlaaaah".
Menyebut anak, Randaipun seakan tersadar, ia belum pula tahu keadaan puteranya.
Kemana anaknya? Dimana Mak Ina? "Anakku...",desahnya semakin kalut."Dimana anakku?". Ia
berlari mengitari segala sisi bukit dan berteriak-teriak layaknya orang gila. "Mak Inaaaaaaaaa....!
Mak Inaaaaaaa....! Dimana kaliaaaaaannn...", nafas menyesak-menumbuk dada. Berulang-ulang
dilakukannya mengitari bukit bukit Gundam yang telah hancur lebur. Sampai letih, punah
seluruh tenaga. Ia terkapar.
*
Langit ufuk timur mulai memerah. Sang Raja hari mulai bangkit dari penaungan,
menyonsong tempat tertinggi dimana puncak tahta sinarnya bermula. Ufuk timur ditembus
batangan-batangan cahaya langit, merobek gelap yang berjalan lamban. Angkasa raya
menguning. Kokok ayam bersahut-sahutan. Baik dihutan ataupun diperkampungan. Bagai rusuh
suka ria seisi pegunungan. Pagi telah datang.
Randai membaringkan isterinya direrumputan. Duduk termenung dirinya memikirkan
nasib, kejamnya penannggungan. Takdirnya malang yang berhembus sayuh namun
menyakitkan. Anak hilang, isteri tiada. Mertua berkubur entah dimana. Ah, sungguh berat beban
si Randai. Berurai air mata, dipandang-dikenangnya waktu-waktu yang telah lalu. Wajah itu,
wajah yang tertidur itu, adalah wajah yang selalu mengisi relung terdalam hatinya dengan
kebahagiaan. Wajah yang selalu menghantarkan senyuman dikala senja bersambut malam.
Wajah yang selalu dihiasi keramahan. Wajah tercantik tiada tertandingi oleh siapapun.
Disandarkan kepala diantara dua lutut. Terbayang-bayanglah segala kenangan. Menimangnimang si buah hati, bermain dan bercanda bersama. Perlahan-lahan, bayangan itu buyar! Akan
tiada lagi hari bahagia penuh canda itu. Telah direnggut semuanya oleh Rajo batuah yang
serakah. Jika kini rindu, hendak kemana rindu dilepaskan? Bila pilu, kemana sedih akan bertuan.
Kemana lagi tempat mengadukan keresahan? Malang, sungguh malang benar nasib
penanggungannya.
Lindap mimpi-limbung diri, senyap menyisakan sakit direlung terdalam. Buah pikir
hanyalah mengakhiri hidup, memutus nafas dan mati disisi isterinya. Keputus asaan seorang

hamba sebatag kara. "Tak ada lagi arti hidupku Sabai. Kaulah yang membuatku
bertahan...sekarang alasan hidup itu hilang!"
Ketika hendak kembali memeluk, dilihatnya sesuatu. Ada sesuatu yang lain pada tubuh
isterinya. Ditariknya sebelah bahu, memposisikan tubuh Sabai menghadap kekiri. Randai
terhenyak. Itulah jawabannya. Itulah penyebab kenapa Sabai berdiam kaku. "Apa yang telah
dilakukan oleh Rajo Batuah padamu, Sabai?", bisiknya seorang diri.
Baju putih itu, dibagian punggungnya telah memerah dibanjiri bercak darah yang telah
mengering, bekas tikaman! Isterinya ditikam dari belakang. Sungguh biadab! Tak sanggup lagi
Randai menahan gejolak hati, menangislah ia sejadi-jadinya. Tak tahu lagi apa yang harus
diperbuat. Sudah habis dayanya. Hendak marah, kemana amarah akan dilampiaskan? Musuh
telah mati.
*
Sudah benderang permukaan bumi. Telah berdiri tegak matahari. Dari hangat menjadi
panas. Dari dingin berubah keringat. Randai belum juga beranjak. Belum reda tangisan, tak henti
juga air mata bercucuran dihadapan tubuh kaku Sabai, isterinya. Tiada semangat, hampa.
Pesakitan hidup menuntunnya semakin jauh meninggalkan kefanaan dunia yang begitu kejam. Ia
hanya ingin mati.
"Tiadalah guna engkau menangis. Sebab air mata takkan merubah apa-apa. Sesuatu yang
terjadi adalah ketentuan. Dan ketentuan tidaklah bisa dirubah. Sekalipun seisi dunia kau
remukkan dalam genggaman. Meski lautan kau keringkan, namun perjanjian adalah perjanjian.
Akan ditagih diwaktu yang ditentukan.
Jangan pula salahkan takdir, sebab takdir hanyalah persetujuan sebelum roh ditiupkan
kedalam badan. Tubuh kasar boleh berontak, menyangkal! Setan menaungi disisi lain dalam diri,
yang selalu membisikkan keburukan, menghadiahkan kenistaan", seorang kakek-kakek berdiri
membelakangi ,tidak jauh dari Randai, dekat batu besar yang telah bergeser itu. Entah kapan ia
datang? Tahu-tahu, ia sudah berada ditempat itu. Siapa lagi orang ini? Tubuhnya bungkuk
rentah. Ditopang sebuah tongkat kayu sebagai pegangan. Kulit wajahnya berkerut keriput. Usia
yang sudah sangatlah tua.
Terpancing si Randai mendengar ucap katanya. Ditegakkan kepala mencoba melihat
wujud si pemberi nasihat. Dan berkata, "Siapa kau, Pak Tua? Hatiku sedang tidak baik. Tolong
pergilah,,! Sebelum sesuatu yang buruk menimpamu ditempat ini"
"Aku bukan siapa-siapa, anak muda",balasnya."Hanya seorang kakek tua yang sedang
menunggu ajal tiba. Entah kapan pintu kuburku terbuka"
Bagai mengepul asap dikepala Randai mendengar jawab asalan itu, kemurkaan ,"Jangan
sampai kuantarkan kau keliang kubur atau terkapar tanpa nisan. Tanganku sudah muak
menyentu anyir darah! Sudah cukup masalah yang menderaku, jangan paksa lagi aku
membunuh. Aku sedang berduka kakek tua"
"Ah, anak manusia zaman sekarang memang kelewat sombong pada orang yang belum
dikenalnya. Seolah bisa diukurnya dunia dengan dua telapak tangan. Tidak menaruh hormat
pada yang tua-tua. Padahal, yang tua-tua itu menyimpan banyak cerita serta rahasia.

Baiklah, jika kemauanmu begitu. Aku pergi. Tapi, sebelum kepergianku, ingatlah satu
hal anak muda. Hanya tersisa tiga orang lagi didunia ini yang tahu riwayat hidupmu beserta
kebenarannya. Kuburlah keingin tahuanmu tentang masalalu, buanglah jauh-jauh. Menyesal-lah
kau seumur hidup karna salah seorang dari tiga itu adalah aku. Satu pesanku, hidupmu sedang
dilumuri tipuan. Sebaik yang kau lihat dengan mata, belum tentu baik kenyataannya. Berhatihatilah". Si kakek;pun berjalan lamban menjauh.
"Tunggu!!", seru Randai berdiri menyusul, terbuka juga pikiran sadarnya. Si kakek
hentikan langkah dan menoleh."Mohon maaf atas kekurang ajaranku. Aku... Aku sedang kalut.
Isteriku meninggal dibunuh orang, anak dan mertuaku juga turut hilang. Hanya amarah tak tentu
arah yang mengisi kekosongan jiwaku ini. Mohon maaf.
Apa benar kakek tahu riwayat hidup saya? Siapa adanya kakek dihadapan saya ini?
Dengan siapa kiranya saya sedang bertatap muka?"
Orang tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Randai dan berkata,"Tidak baik berburuk
sangka bujang muda. Aku datang untuk kepentinganmu. Memenuhi janjiku dimasalalu. Namaku
Datuk Malintang Bumi"
"Nama Datuk belum pernah kudengar. Agaknya Datuk datang dari tempat yang jauh,
darimana datu berasal? Janji apa pula maksud Datuk?"
"Nantilah, kuterangkan siapa diriku. Kalau perkara janji, Ya! Duapuluh tahun yang silam
aku pernah berjanji pada seseorang", katanya memandangi tempat yang jauh dibawah bukit.
"Janji itulah menahanku tetap hidup melebihi umur sewajarnya manusia. Perjanjian yang
mempersangkutkan perkara hidupmu, anak muda. Akan tetapi, sebelum aku bercerita, mari kita
urus dulu isterimu!"
"Bukan sewajarnya umur manusia? Ah, terlalu banyak pertanyaanku padamu, Datuk",
kata Randai. Ia dan kakek Tua bernama Datuk Malintang Bumi berjalan ketempat dimana Sabai
terbaring diam.
Disana, kembali dipeluk tubuh isteri yang telah kaku, menangisi nasibnya. "Isteriku telah
mati, Datuk",katanya mengangkat kepala sabai diletakkan kebahunya."Kami dizalimi banyak
orang! Puluhan manusia tadi malam memburu kami sampai kesini, bermaksud memusnahkan
kami sekeluarga. Aku terpaksa berjibaku melawan. Tak kusadari Anak dan mertuaku
menghilang. Belum ku-ketahui apakah mereka selamat atau tidak. Isteriku ini ditawan, kemudian
dibunuhnya dengan keji. Dia ditikam dari belakang Datuk!"
"Hmm...", Datuk menarik nafas dalam-dalam."Bersabarlah bujang. Tabahkan hatimu!
Berserah dirilah pada yang maha satu. Tiada yang lebih tahu selain Dia"
"Takdir hidupku terlalu buruk untuk kuterima, datuk. Sedari kecil kehilangan ayah. Tiada
juga tahu siapa ibu kandung. Setelah dewasa mendapat isteri dan punya anak, isteriku dibunuh
dan anakku hilang! Salah apa saya, Datuk? Kenapa musibah datang timpa bertimpa. Seakan
tiada akhirnya penderitaan"

"Jangan mengumpat takdir, Nak! Tidak baik. Itu sama saja kau mengumpat putusan
Tuhan", kata Datuk Malintang Bumi menasihati. Ia memejamkan mata sejenak, hanya sejenak.
Setelah itu kembali dibuka."Isterimu belum meninggal...!"
Randai menatap curiga. Sejelas apa lagi membuktikan bahwa Sabai sudah tidak
bernyawa? Hatinya bertanya-tanya, adakah kakek yang tidak dikenalinya itu berdusta dan
memperdayainya? Barangkali, orang gila yang tersesat. Atau, ia sengaja mempermainkan
kesedihan yang berkecamuk dalam dirinya? "Jangan mencandaiku dengan hal menyakitkan
seperti ini, Datuk!", katanya agak keras.
"Sama sekali tidak", datuk membalas dengan tenang."Apapun bisa terjadi dialam ini.
Bumi berserta isinya menyimpan begitu banyak rahasia yang terlalu rumit dimengerti.
Terkadang sesuatu yang ganjil;pun takkan disadari. Fanah, namun bagi kita sesama manusia
saja, tidak untuk sebagian lainnya. Mohon maaf, harus kukatakan sejujurnya, isterimu bukanlah
salah satu dari kaum kita! Ia berasal dari alam lain...!"
Naik amarah Randai memenuhi dada. Memuncak kemurkaannya mendengar keterangan
Datuk Malintang Bumi yang tidak masuk akal, terkesan mengada-ada."Cukup, Datuk! Sudah
kelewat batas datuk mencandai hal yang tidak sepatutnya. Tidak pantas menjadikan kemalangan
saya sebagai bahan tawa. Dimana hati nurani Datuk? Siapa Datuk sebenarnya? Gelagat datuk
membuatku curiga ...!"
"Siapa aku...?', jawabnya menunduk kemudian tersenyum."Aku kakekmu!".
Diam, Langsung terdiam Randai dari celotehnya. Duduk terhenyak ia ditanah. Bagai palu
godam menghantam pecah kepalanya ketika itu. Dada membusung turun naik. Belum selesai
perkara isterinya yang disebutnya bukan manusia, datang lagi pengakuan lain si Datuk yang
benar-benar membuatnya gila. Ia sempoyongan.
"Ap...apa?",
"Ya! Itu benar..!", jawabnya singkat. Setetes cairan bening turun kekulit wajah
keriputnya si kakek. Kemudian diusap-usap cairan itu dari permukaan pipi tanpa sempat turun
lebih banyak."Kau cucuku...!"
Datuk Malintang Bumi menengadahkan kepala kelangit luas. Dikumpulkanlah segenap
ingatan, memutar balik segala kejadian. Darimanakah kisah Randai berpangkal? Dan, mulailah
si kakek bercerita.
**

7.Tujuh
Padukuan, sebuah desa kecil yang terletak jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Desa yang
tenang lagi damai. Penduduknya ramah dan murah senyum. Penuh persaudaraan dan
kekeluargaan. Negeri terpencil namun elok alam dan laku penduduknya. Semua pendatang
senang pergi bermain kesana, mencari udara segar. Ada yang sekedar melihat-liha saja diwaktu
senggang, ada juga yang hendak mencari buah-buahan seperti semangka ataupun yang lainnya
diwaktu tertentu. Seukuran tempat-tempat lain, Desa itu cukuplah istimewa.
Mata pencaharian penduduk sekitar yang bernaung disana lebih banyak bertani,
berladang dan bersawah. Bila pagi datang, selepas adzan subuh berkumandang, tampaklah
bagaimana giat dan tekunnya orang-orang bekerja demi menafkahi keluarga. Laki-laki
membawa cangkul, ibu-ibu membawa bakul yang berisi makanan untuk disantap kala
beristarahat nanti. Sepanjang jalanan kampung, suguhan bulir-bulir padi ranum menghampar
luas bak untaian permadani mengalasi tanah. Ladang-ladang jagung mengayun melambai ketika
tiupan angin membuai daun-daun panjangnya. Tampaklah indah dari kejauhan.
Sekali seminggu warga berbondong-bondong pergi ke pasar guna menjual hasil bumi dan
perkebunan untuk ditukar dengan barang yang dibawa dari tempat lain, sesuai kebutuhan seharihari. Atau, dijual kepada tauke-tauke yang mengambil sedikit keuntungan. Begitulah kehidupan
mereka. Tenteram!
Dalam kampung, tampuk kepimimpinan dipegang oleh seorang yang tuakan dalam kaum
dengan panggilan "Datuk". Datuk seibaratkan Raja yang mengendalikan segala tindak-tanduk
anak kemenakannya. Yang bengkok diluruskan, yang salah dibenarkan. Dan, kaum kampung
padukuan sangat menghormati pemimpinnya. Segalah macam persoalan yang terjadi,
perselisihan dalam adat pasukuan, kepada datuklah orang mengadu. Seperti sengketa tanah
ulayat, pusaka tinggi yang tak boleh dijual, kedua belah pihak saling mengaku dialah yang
paling ber-hak mengelola. Maka, Datuklah yang akan menyelesaikan, mencari kata mufakat
dengan jalan bermusyawarah kekeluargaan tanpa ada putusan sepihak.
Seminggu belakangan ini warga padukuan dirundung duka. Sutan Bazar, datuk mereka
telentang lemah diatas petiduran dalam keadaan sakit-keras. Sejak berpuluh tahun menjadi datuk
, cuma elok budi, baik tingkah yang dikenang orang. Wajar jika orang sekampung menjadi
cemas melihat keadaannya. Kalau sampai berburuk sangka, tinggal menunggu hari saja perginya
beliau itu. Tentu banyak yang akan kehilangan sementara masalah silih berganti datang dan
masih ada yang belum terselesaikan. Maklum, umur sudah tua, badannya sudah lemah.
Hal lain yang membuat orang-padukuan khawatir adalah calon pengganti Sutan Bazar.
Kalau sempatlah malang tak dapat dotolak, mujur tak dapat diengkuh, meninggal ia dalam waktu
dekat, siapa yang menggantikan? Yang ingin tentulah banyak, yang berbudi luhurlah yang susah
dicari. Ada desas-desus terdengar bahwa sudah ada rencana untuk mengangkat Mangkuto Sati,
kemenakan pertama Sutan Bazar sebagai pengganti beliau. Menurut para tetuah adat beserta
dubalang, baik perangai Mangkuto Sati tidak akan jauh berbeda dengan mamaknya. Ia rajin dan
ulet dalam bekerja. Bertanggung jawab pada keluarga. Dan tentunya, disenangi banyak orang.
Hampir seluruh kampung tahu sifatnya itu yang sedari kecil sudah di ajarkan tata-krama oleh
Sutan Bazar. Banyak penduduk mendukung gagasaan itu.
Mangkuto Sati mendengar kabar itu dari temannya yang ikut berkumpul di Rumah
Gadang, merasa sangat senang dan bangga. Ia memang sudah yakin dirinyalah yang akan

menggantikan posisi mamaknya itu jika kelak ia meninggal. Mana ada orang yang berani
menikam jejak sebelum ia melangkah. Ia terdidik sebagai pemimpin. Penyambung tangan
pamannya dikemudian hari. Sudah lama pula ia persiapkan diri, meniru-niru perangai Sutan
Bazar agar telihat sama baiknya oleh semua orang. Ternyata, usaha itu tidak sia-sia. Sudah
mendekati keberhasilan. "Bagus, Mali! Waang sebarkan keorang-orang sekampung, kalau aku
ini memang orang baik, ya! Supaya mereka sepakat mengangkatku menjadi Datuk", katanya
pada temannya itu.
Namun, sekalipun banyak anggapan baik tentang rencana pengangkatan itu, ada juga
yang kurang setuju, perlu dipertimbangkan lagi masak-masak. Menurut mereka, pucuk yang
patah-tumbuh kembali, sekalipun besar tidak akan lurus. Bisa bengkok kekiri, bisa juga kekanan.
Anggapan yang menyatakan bahwa baik lakunya mamak-sebaik itu pula perangai kemenakan,
tidaklah benar adanya. Maka, terjadi perselisihan pendapat para ninik mamak dalam rumah
gadang membahas itu. Sampai, tengah malam mereka mencari kata yang satu, yaitu mufakat,
tidak juga ditemukan. Diputuskanlah ketika itu, sidang akan dilanjutkan dilain hari dengan
waktu yang telah ditentukan. Bubarlah para petinggi adat.
Sehari setelah pertemuan ninik mamak dirumah gadang, pulanglah seorang anak
perantauan yang bertahun-tahun mengaduh untung dinegeri orang. Namanya, Sutan Rajo Ameh.
Anak dari alim ulama angku Hasanudin, yang amat terkenal cara ceramahnya. Sutan Rajo Ameh
pulang membawa banyak harta. Kain-kain mahal-emas permata berpeti-peti, sangat kaya raya.
Usahanya menebus nasib dinegeri jauh rupanya tidak sia-sia. Penduduk gempar dengan
kepulangannya. Baru beberapa bulan ia dirumah, sudah dibuatnya rumah besar layaknya istana
untuk kedua orang tuanya. Dibelinya pula tanah yang luas, dijadikannya sebagai padang
gembalaan peternakan-peternakan sapi dan kerbau. Usaha-usaha lain dia kembangkan dengan
cara dagang yang berbeda. Dalam waktu singkat kekayaannya semakin bertambah banyak,
sudah tesohor Sutan Rajo ameh sampai kekampung-kampung tetangga sebagai tuan tanah yang
sukses.
Selain kaya, ia juga dermawan. Gemar membantu orang yang kesusahan. Tidak segan
turun dari punggung kuda untuk menolong kakek tua yang terjatuh bebannya dari panggulan dan
kemudian mengantarnya pulang. Semakin hormat orang-orang menilainya.
Baik perilaku itu didukung pula dengan wajah yang tampan, tidak mengherankan jika
gadis-gadis banyak terpikat olehnya. Bermimpi agar dipersunting sebagai isteri. Celoteh-celoteh
mereka ditepi pintu rumah dipetang hari selayaknya gadis-gadis minang, sering terdengar,
"Beruntunglah aku jika bersuamikan tuan yang baik hati lagi penyayang itu. Tidak akan sengsara
dunia akhirat". Katanya sambil tertawa-tawa kecil. Budi luhur dan tuturnya lembut sopan telah
menyihir siapa saja. Semua orang menghormatinya layaknya orang besar, pesohor dalam negeri.
Bilamana malam tiba, kedai-kedai terisi penuh oleh pemuda-pemuda yang bercekeramah,
itu juga buah bibirnya. Menyanjung tinggi kebaikan Sutan Rajo Ameh. "Kalau ambo caliekcaliek, Si Sutan itu pantas menjadi Datuk kita, sebagai pengganti Sutan Bazar, datuk kita yang
sekarang. Bagai pinang dibelah dua perangainya. Tidak akan rugi jika tetuah adat mengangkat
Sutan Rajo Ameh", kata salah seorang muda berbadan tegap, bertelanjang dada. Kulitnya agak
sedikit gelap.
"Iyo! Sayapun setuju", jawab seorang lagi didepannya."Sutan Rajo Ameh itu masih
muda, tapi perangainya, onde mande, sangatlah baik. Angku hasanudin saja sekarang

dilarangnya pergi kesawah. Ongkang-ongkang kaki sajalah jadinya apak tua itu, berkerja ini itu
tidak boleh lagi oleh si Sutan. Sayang betul pada orang tua"
"Apalagi Amaknya! Baju-baju yang dipakai sekarang, mahal semua. Selain memasak,
tidak boleh bekerja. Berjualan kepasarpun sekarang tidak diperbolehkan. Beruntung sekali
angku Hasanudin dan amak Siti punya anak. Senang terus sepanjang hari. Jadi iri awak",
seorang pemuda yang lain menyela.
Desas-desus yang beredar dari mulut ke mulut tentang perihal pengangkatan Sutan Rajo
Ameh sebagai calon datuk sampai ketelinga Mangkuto Sati. Karuan saja, langsung panas dingin
badannya dan merutuk-rutuk seorang diri. Heran membayangkan kenapa begitu cepat
pandangan kaum berubah, tak berharga lagi dirinya? Jika dibiarkan berlama-lama, ia akan
semakin ditepikan dari calon pengganti Sutan Bazar. Duduk-berdiri, mondar mandir hilag akal
Mangkuto Sati. Pesaing yang baru pulang itu bukan lawan sembarangan, orang kaya! Berani
sekali si sutan Raji Ameh itu, lancang. Bisa rusak rencana yang lama dipersiapkan dengan rapi,
hilang angan-angan akan kehormatan yang dihauskan bak dahaga selama ini. "Bajingan kurang
ajar!", kata mangkuto sati membanting gelas minuman ditangannya.

8.Delapan
*
Serimbun apapun semak serta belukar ditengah hutan, pastilah ada setangkai bunga
mekar cantik tersembunyi diantaranya. Meskipun tersembunyi jauh, harumnya akan tercium juga
oleh kumbang-kumbang pengelana. Begitu juga dengan kampung padukuan. Ada banyak gadis
jelita yang manis parasnya, elok lakunya, sopan pula tuturnya. Bak jarum dalam duri, seorang
dari yang banyak tentu ada yang lebih menonjol, yang digilai kecantikannya. Hal lumrah dan
tidak mengherankan.
Bunga yang tersembunyi yang paling banyak dikerumuni kumbang itu bernama Puti
Asmini. Kembang desa nan sedang mekar. Wewangiannya tersebar kemana-mana, bahkan
kepelosok desa-desa lain yang cukup jauh. Wajahnya lembut gemulai, kulitnya putih dan
rambutnya panjang. Bibirnya merah bergelantung delima ranum, ditambah sinaran mata bak
serpihan berlian nan indah memikat. Lemah tersungkur para pemuda memandangnya jikalau
lewat pulang mengaji, disore menjelang petang hari.
Namun sayang, puti nan cantik itu tiada yang berani menegur menyapa, apalagi
menggoda, sebab ia adalah Puteri bungsu jagoan paling ditakuti seisi kampung padukuan, yang
bernama Malintang Bumi. Pendekar hebat disegani. Berotot baja, tulangnya besi, kebal senjata.
Bukan isapan jempol ataupun berita angin lalu kehebatannya, sudah disaksikan oleh banyak
orang. Yang paling melekat diingatan tentu saja peristiwa genting kala ia bertarung matianmatian melawan perampok ganas yaitu gerombolan Rambong Bajah, perompak keji penguasa
bukit rimbo bujang dari tanah Jambi, datang ke padukuan dengan maksud menjarah harta
rakyat. Ketika itu, apapun yang ingini, akan diambilnya sesuka hati. Makan dikedai sesuka
perutnya tanpa sepersen;pun dibayar. Sapi, kambing dan binatang ternak lainnya dijarah dan
dibawah. Gadis-gadis disandera dan dikumpulkan, hendak dijual. Seorang penduduk yang tak
kuat ditindas, nedad melawan, baku hantam terjadi. Malang, tanpa ampun orang itu mati dibacok
lehernya nyaris putus. Berhetilah perlawan. Bertepatan dengan kejadian itu, Malintang Bumi
yang masih muda, pulang kampung setelah menimba ilmu silat bertahun-tahun lamanya ditanah
lintau, negeri jauh yang silatnya terkenal tiada tandingan itu. Diketahuinya kesulitan penduduk
dari pengaduan orang di perbatasan yang sempat kabur. Datanglah ia menyelamatkan padukuan,
kesempatan mencobai ilmu baru. Dia bertempur seorang diri melawan puluhan perompak,
memerangi kesemena-menaan yang menjajah padukuan, tanah tumpahnya. Pertarungan
menegangkan berlangsung cukup lama. Menurut cerita penduduk, konon diwaktu itu bulu kuduk
orang-orang bergidik ketika berpuluh-puluh golok dapat membacok Malintang Bumi berkalikali, punggung, leher, juga kepala. Akan tetapi, sesuatu yang membuat orang takjub adalah tak
satupun gores luka membekas dikulitnya. Hebatnya lagi, malahan senjata penjahat-penjahat itu
patah dua. Dan diakhir cerita, Si ketua perompak Rambong Bajah sendiri yang hebat ilmu
silatnya itu dapat digebuk, takluk. Ia bersujud-sujud kekaki agar diampuni dan tidak dibunuh
oleh Malintang Bumi. Sebagaimana orang minang, jika keras-sekeras batu! Kalau lunakselembut kapas. Mereka dimaafkan, diusir dengan perjanjian tidak menginjak tanah minang lagi,
dimanapun itu. Begitulah kehebatan yang abadi sepanjang sejarah padukuan. Selama ini belum
ada seorangpun pemuda yang nekad mendekati atau sekedar bertanya apakah si gadis, anaknya
sudah dipinang atau belum. Salah bicara, bisa-bisa kepala bakal terpisah dari badan. Bukan
sembarangan orang yang berani datang menyambangi.
Malintang bumi berpangkat terhormat, disegani, yakni dubalang didalam kampung. Jika
terjadi masalah, kekacauan atau semacam perselisihan yang mengancam keselamatan penduduk,

dialah yang turun tangan. Berdiri digarda depan bak tameng pelindung semua orang. Berbekal
kepandaian bermain silat, belumlah ada jagoan manapun yang keceplosan lidah meragukan
kepiawaian-nya itu. Semua takluk padanya.
Sekalipun begitu, berilmu silat tingkat tinggi, sebenarnya Malintang bumi tidaklah
pernah bertindak sesuka hati. Ia bukan tipe orang yang suka pamer apalagi semena-mena, jauh
dari kata lupa diri. Justru, ia jarang marah. Kecuali, pada saat tertentu, seperti ketika silang
pendapat dengan petinggi adat yang lain dalam memecah sebuah perkara atau mempertahankan
anak kemenakan yang terlibat perkelahian dengan kampung lain. Barulah ia bertindak. Dilain
hari, ia berlaku sebagaimana layaknya manusia biasa. Lebih tepatnya, kemarahannya
membuncah apabila kedaulatan serta harga diri anak kemenakan diinjak-injak oleh orang yang
lain asal, seperti yang dilakukan oleh Rambong Baja dimasalalu.
Banyak yang menaruh hati tapi tidak punya nyali melamar, tidak begitu ceritanya dengan
Mangkuto Sati. Seperti remaja-remaja sebaya, darah mudanya juga ikut tergoda oleh kecantikan
anak Malintang Bumi, putih asmini. Hatinya telah tertaruh tak mau berpisah lagi, gila cinta
setiap hari. Meskipun, ia pernah mencoba mendekatkan diri tapi ditolak secara halus, ia tidak
mau memundurkan langkah, berbalik arah begitu saja, pantang bagi laki-laki. Pikirnya, sekeras
hati manusia, akan melunak dengan kata-kata dan niat yang tulus. Maka dari itu, sebelum
kecolongan, dipersiapkannya diri jauh-jauh hari. Dan dihari dan waktu yang telah ditentukan,
penuh keyakinan, gagah berani, ia mendatangi tempat yang sebagian laki-laki menganggapnya
angker itu, tanpa rasa takut akan dicekik lehernya sampai berjuluran lidah oleh ayah gadis
pujaannya.
Setibanya disana, Ia diterima dengan baik oleh Malintang Bumi. "Ada keperluan apa nak
bujang datang kemari?", kata malintang bumi sambil mempersilahkannya duduk dikursi depan
rumah.
"Ah, bukan apa-apa Angku, Cuma untuk bersilatuhrrahmi saja! Sambil jalan-jalan sore",
jawabnya malu-malu. Kemudian, mereka terlibat cakap-bercakap panjang lebar tentang rencana
pergantian tampuk kepemimpinan dalam kaum pasukuannya. Disinggung-singgungnya sedikit
rencana itu. Apakah benar dirinyalah yang akan diangkat sebagai pengganti? Pancingan yang
bermaksud agar tinggi derajatnya dimata calon mertua. Malintang bumi menerangkan, bahwa
rencana awal ninik mamak berserta perangkat kaum memang begitu adanya. Akan tetapi,
sebagaian dari tetuah belum menyetujui putusan itu. Ibarat bulat belum seragi, pangkal belum
berujung, pencalonan itu belum bisa diputuskan dalam waktu dekat. Belum ada kata sepakat.
Agak kecewa Mangkuto Sati mendengar penjelasan Malintang Bumi. Kata yang
disangkanya tinggal menunggu waktu itu rupanya masih perlu dirundingkan lagi oleh para
petinggi adat dan kaum. Bertambah kuat dugaannya akan ditunjuknya Sutan Rajo Ameh,
pesaing yang cukup membuat khawatir itu. "Setan alas!", bathinnya merutuki. Menurut pikirnya,
kalau sudah pasti diangkat menjadi Datuk, pemimpin kaum yang disegani, maka usahanya untuk
meminang Asmini pada Malintang Bumi akan semakin mudah. Bahkan sangat mudah.
Tujuannya itu tidak akan terlalu sulit terlaksana atau serumit yang dikerjakannya ini. Tinggal
minta, dikabulkan dan langsung nikah. Sebab, orang berpangkat tinggi dalam kampung,
sangatlah dihormati. Malintang Bumi tentu lebih suka puterinya disunting oleh seorang datuk
yang seibarat Raja , daripada bersuamikan laki-laki biasa saja. Aiih, ia mengeluh dalam-dalam.
Belum lama setelah percakapan, Puti asmini, bunga mekar yang hendak dipagar tinggi
oleh Mangkuto Sati, datang membawa dua cangkir teh beserta sedikit makan kecil. Geraknya

meletakkan nampan diatas meja, meliuk gemulai. Berdesirlah darah didada Mangkuto Sati.
Terbakar darah muda melihat tambatan hati berada didepan mata. Serasa dipenuhi wewangian
puncak hidungnya."Silahkan diminum Uda!", kata si gadis melontarkan senyuman semanis
madu. Aduhai, terbang melayang kemenakan Datuk Bazar. Merona merah pipi, Mengigil
kedinginan disiang hari tubuhnya. Tak sanggup dijawabnya perkataan basa-basi itu. Lalu,
Asmini masuk kembali kedalam rumah. Menganga, mulut Mangkuto terbuka sedikit lebar,
terpana memandang punggung si gadis yang perlahan menghilang. Sadarpun tidak, ketika lalat
sudah leluasa bermain-keluar masuk mulutnya.
"Ehem...!", mendehem kecil Malintang Bumi. "Diminum Tehnya Bujang!", lanjutnya
seolah menghentikan lamunan indah pemuda didepannya. Tersentak Mangkuto Sati. Malu,
teramat malu dirasakannya. Ia menganggukkan kepala dan meminum teh panas buatan Asmini.
Sembari meminum teh, tak sanggup ia menegakkan kepala.
Cukup lama setelah itu, barulah kembali ia membuka suara. Setelah dirasa-rasanya usai
waktu berbasa-basi. Dibenarkan posisi duduk agak lebih sopan, mendehem sedikit, dan mulai
buka suara, "Begini angku, sebenarnya, bukan sembarang hari saya datang menyambangi,
angku. Ada tujuan serta maksud yang hendak saya sampaikan sebagai bentuk permintaan, bisa
juga permohonan ke diri Angku"
"Tujuan dan maksud apa itu bujang? Bicarakanlah dengan jelas... !"
"Tujuan dan maksud saya itu, tidak lain dan tidak bukan adalah perkara anak gadis
Angku, Puti Asmini. Seperti yang angku ketahui tentang diri saya, bujang muda belum beristeri,
sedang mencari jodoh. Jika diperbolehkan berkehendak, pinta boleh biberi, saya hendak
meminang Puteri angku itu. Saya ingin menjadikannya pendamping, teman hidup saya dunia
akhirat! Itulah maksud saya"
Malintang Bumi terdiam mendengar penjelasan Mangkuto Sati. Ditekurkannya kepala
dan kemudian mengangguk tanda mengerti. Senyuman tersungging dari bibir laki-laki setengah
baya itu. Dan menjawab,"Begini bujang! Besar sekali hati angku mendengar maksud baik anak
bujang itu. Tiada terkira senangnya. Kalaulah bunga itu masih tertanam dihalaman, belum
berpagar kiri dan kanan, mungkin masih berkenan saya terima pinangan anak bujang. Perkara
menikah adalah sunnah Rasul untuk menyempurnakan agama. Tidak boleh ditunda bila suda
waktunya. Apalagi menaruh anak perempuan, bagai menyimpan pisang mengkal, hari ini
diperam-besok sudah ranum, harus cepat dinikahkan. Tapi sekalipun begitu, apa yang hendak
dikata, maksud bujang boleh tersampaikan-pinta tidaklah bisa angku berikan. Sebab, bunga yang
kau inginkan itu sudah berpagar besi dikeempat seginya, sudah dimiliki orang lain. Bujang
keduluan selangkah oleh orang itu. Puti , anakku sudah dipinang"
"Duarrr", Bagai meletus suara meriam ditelinga, kala mendengar perkataan Malintang
Bumi, yang dari awal ia yakini akan menjadi ayah mertuanya. Terbeliak mata mangkuto sati,
pandangan gelap agak berkunang. Berdebar-debar jantungnya, "Sudah dipinang orang, Angku?"
"Ya! Sudah sebulan yang lalu orang itu datang meminang. Bukan orang jauh, masih
kerabat kita disini juga!"
"Ss..iapa angku? Bolehkah saya tahu?"
"Sutan Rajo Ameh!"

Tambah menyalak petir dikepala Mangkuto Sati. Lagi-lagi nama kebenciannya itu. Bagai
menanak nasi orang dikepala hingga mengepulkan asap dikedua telinga. Sudah mau merebut
tahta pemimpin kaum, calon isteri;pun ikut disikat. Serakah sekali manusia bernama Sutan Rajo
ameh menurut pikir piciknya. "Ss...Sutan yang kaya raya itu?"
Malintang bumi mengangguk, "Puti Asmini sudah menyetujui pertalian itu. Cincin sudah
dipasang dijari masing-masing sebagai tanda jadi. Tinggal melakukan akad yang diresmikan
secara adat dan agama saja. Semua hal keperluan sudah dipersiapkan!"
Bukan main! Mangkuto Sati hendak mengamuk. Berbinar, berkaca-kaca matanya
menahan sesak nafas. Seakan runtuh langit, seakan taban bumi. "Bangsat kau Rajo Ameh! Baru
pulang dari tanah jauh, sudah merampas calon isteriku... Tidak tahu diri...!", umpat serapahnya
dalam hati. Diluar ia tetap tenang,"Kapan pernikahannya dilangsungkan angku?"
"InsyaAllah, seminggu lagi. Belum rezki-mu dengan Asmini, bujang. Kumbang tidak
seekor, bunga tidak pula setangkai. Masih banyak gadis lain yang mungkin berjodoh denganmu.
Jodoh, takdir dan mati memang sudah diatur. Kita tinggal menjalankan", kata si dubalang penuh
bijaksana. "Kalau kau punya waktu luang, datanglah dipernikahan anakku nanti, lihat-lihat juga
kami disini". Ajakan yang teramat pedih. Mangkuto sati angguk-anggukkan kepala, meski
hatinya tidaklah terima, remuk redam. Ia merasa terhina. Harga dirinya bagai diinjak-injak. Dia
orang terpandang disegani, calon datuk, calon pemimpin, pengganti mamaknya dimasa depan.
Bagaimana bisa ditolak mentah-mentah begitu rupa? "Tidak...sampai mati aku tidak terima",
katanya mendesah.
Sebelum waktu ashar tiba, ia pamit pulang. Ditinggalkannya rumah Malintang Bumi
dengan muka hambar penuh dendam. Dalam baik tutur dan kesopanan yang ditunjukkannya,
tersimpan niat buruk. Entah rencana apa yang telah dipersiapkan dikemudian hari.
Setibanya dirumah, teman setianya, Mali menunggu didepan pintu, tak sabar ingin
bertanya. Keyakinan akan kabar baik seolah membutakan matanya. Dihampirinya Si Tuan
terhormat "katanya" itu. Cengar-cengir, garuk-garuk kepala yang tidak gatal, "Bagaimana
hasilnya Tuan? Aku yakin, pasti diterima pinangan Tuanku! Betulkah begitu? Hehehe!".
Mangkuto Sati tidak menjawab. Dikerlingkan mata sedikit sebagai isyarat pertanda tidak
baik, mempertingatkan. Lalu, langsung berjalan masuk kedalam rumah tanpa menoleh
sedikitpun pada yang bertanya. Raut wajahnya cemberut, kening berkerut, masam tanpa rona
sedikitpun. Tampak redup semangatnya yang sebelum pergi tadi teramat sumringah.
Si mali masih cengar-cengir rupanya agak kurang tanggap dengan keadaan. Nekad, ia
kembali menanyai. Tidak dilihatnya awan sedang hitam, langit sedang mendung,"ah, tuanku!
Mentang-mentang sedang bersenang hati, lupa sama teman sendiri...bagi-bagilah kebahagiaan
itu! Kita sudah setikar-setiduran, janganlah menganggapku seperti orang lain"
"Plaakk", alangkah terkejutnya si mali, bukan jawaban yang ia dapat, malah sebuah
tamparan bersarang dipipinya. Itulah jawaban yang diberikan oleh orang yang dianggapnya
teman. Ia mengaduh memegangi pipi, serasa tebal dan membengkak. Belum lagi hilang sakitnya
itu, ditambah lagi dengan hantaman keras kepantatnya, "buggh". Tak ayal, tubuh kurusnya
tersorong kedepan, terlempar dari teras rumah kayu itu dan kemudian tersungkur kehalaman.
"Aduh", rintihnya kesakitan. Tak disangka-sangkanya akan menerima pukulan teramat keras dari

Mangkuto Sati. Wajah dan bajunya yang semula bersih, berubah cokelat kehitaman bagai
setahun tidak dicuci, ia berlumuran lumpur.
"Kenapa memukulku, Tuanku? Apa salahku?", katanya mengumpat, heran.
Memerah muka Mangkuto Sati, "Dua kesalahanmu mali! Pertama, kau mengatakan
bahwa aku sudah pasti diangkat menjadi datuk, semua tetuah telah sepakat akan hal itu. Tapi
rupanya, masih sebatas pendapat, ditambah lagi dengan adanya calon lain, Si brengsek Sutan
Rajo ameh! Posisiku semakin sulit. Kedua, kau bertanya disaat hatiku sedang tidak baik untuk
menjawab pertanyaan yang kau ajukan. Maka, enyalah sekarang sebelum kau tambah lagi
kesalahanmu yang ketiga. Bisa hilang nyawamu!"
Mengumpat panjang pendek si Mali. Menyumpah-nyumpah ia dalam hati. Niat baiknya
untuk sekedar bertanya tidak dihargai. Malah dilecehkan layaknya anjing,"Matilah kau bangsat,
muka buruk disangka tampan, tidak sadar diri. Aku tahu Malintang Bumi tidak akan menerima
pinangan orang bermuka dua macam kau. Lain diluar-lain pula didalam. Beruk saja masih pikir
dua kali menerima pinanganmu!", bathinnya sambil berlalu pulang dengan muka coklat.

9.Sembilan
*
Sutan Rajo Ameh duduk diberanda menimang-nimang sebatang padi ditangan. Kepala
mendongak menatap langit senja yang memerah. Bangau-bangau putih terbang berkelompok,
sejajar beraturan menuju pantai. Pipit-pipit yang sudah kenyang berdecit-decit menuju sarang,
puas menjarah padi orang. Alam terkembang bagai lukisan. Langit merah bak genangan emas
dimatanya. Bibir berbisik halus mengucap-segala puja-puji kebesaran ilahi. Dalam ketenangan
hatinya, senja itu terasa begitu istimewah.
"Apa yang kau renungkan, anakku? Adakah sesuatu yang berat mengganjal dan jadi
masalah?", kata Mak siti, ibunya menegur.
"Tidak, Mak! Aku hanya memandang senja dan matahari terbenam saja. Masalah bukan
untuk dibawa bermenung, tapi diselesaikan dengan segera. Amak, ada-ada saja!", jawab Sutan
tersenyum.
"Memikirkan Si Puti, calaon menantu amak?"
"Apa pula yang kupikirkan tentang Puti, Mak! Hari pernikahan kami sudah dekat. Cuma
berdebar sedikit kalau teringat . Wajarlah, pengalaman sekali seumur hidup"
"Jika nanti kau sudah jadi suaminya, jangan samakan hidupmu dengan cara kau
membujang ini! Jadi suami itu harus banyak bersabar. Perempuan memang sering bicara, tapi
hatinya tulus. Salah sedikit terkadang jadi masalah, kalau kau tidak bisa bersabar. Contohlah
ayahmu! Kalau amak sedang marah, dia diam saja. Dia dengarkan keluhan amak sampai celoteh
amak selesai. Setelah reda, barulah ia bicara!"
"Iya ,Mak! Akan selalu kuingat nasihat ini. Aku juga sadar, menikah bukan untuk
bertengkar lalu bercerai. Tapi, sama-sama mencari kesenangan lahir bathin dan tak lupa
mengabdikan diri pada Yang Kuasa. Bagaimana caranya Amak dan Ayah medidik-ku, begitu
juga caraku nanti menjaga anak-anakku"
"Baguslah kalau begitu. Oya, Apa kau sudah dengar permintaan ninik mamak dirumah
gadang?"
"Permintaan? Permintaan dalam hal apa Mak?"
"Tadi, ayahmu dipanggil Sutan Bazar, datuk kita yang sedang sakit keras itu. Katanya,
ada suatu hal yang penting ingin dia bicarakan pada ayahmu. Amak juga tidak tahu permintaan
apa yang mereka maksud. Semoga saja tidak memberatkan kamu dan keluarga kita"
"Semoga saja, Mak! Kalau aku bisa, apa salahnya kupenuhi. Aku tidak akan keberatan
jika tidak melewati batas kesanggupanku. Kecuali, ninik mamak memintaku mencari sisik belut,
barulah aku akan angkat tangan"
Mak Siti hendak mencubit bahu puteranya. Namun, belum sempat dilakukan,
"Asslammualaikum...!", terdengar suara perempuan mengucap salam, "Waalaikumsalam!",
jawab sutan dan mak siti bersamaan.

Mereka beranjak kedepan. Sutan mengikuti ibunya dari belakang. Dia tampak malu-malu
mengetahui siapa yang datang. "Dek Puti?", katanya menyapa Calon isteri, pujaan hati siang dan
malam. "Iyo Uda!", balas si puti tersipu. Keduanya sama-sama saling menundukkan kepala.
Waktu lewat dan berlalu sekian lama dengan curi-curi pandang. Mak Siti memandang keduanya
senyum-senyum. "Yang ini cantik, yang ini tampan! Serasi sekali kalian berdua", katanya
menggoda. Makin tersipu dua calon suami-isteri itu dibuatnya.
"Ada apa datang sore-sore begini, dik?", Sutan Rajo Ameh buka suara.
"Ibu menyuruhku mengantarkan makanan ini, Udah! Tadi kami membuat sedikit kue.
Beliau berpesan, tidak boleh lama-lama, sudah mau gelap!"
"Yasudah, hari memang sudah hampir magrib! Amak salin dulu kue ini ya!", kata mak
siti. Puti mengangguk dan kembali dipandangnya sebentar wajah si calon suami. Bergetar
dadanya. Ya, pemuda tampan didepannya memang nyata calon suaminya. Dilain pihak, Sutan
Rajo Ameh;pun merasakan hal yang sama. Dipujinya kecantikan puti Asmini , bidadari hatinya.
Puti Asmini pamit pulang. Sutan Rajo Ameh berniat mengantarkannya sampai kerumah
supaya tenang hatinya. Maklum, sedekat apapun jarak rumah-yang namanya cinta akan tetap
berlebihan. Sejengkal jadi sedepa, dekat akan jadi jauh. Puti asmini tidak mau merepotkan calon
suaminya, sekalipun sebenarnya dalam hati sangat ingin berduaan. Ditolaknya secara halus.
Katanya, tidak apa-apa pulang sendiri. Menyerah juga Sutan Rajo Ameh. Dengan berat hati,
dilepaskannya puti asmini yang ingin pulang tanpa pengawalannya. Agak sedikit ragu-ragu, ia
menyetujui, walau ada rasa takut kehilangan dalam ruang terdalam hatinya yang membesitkan
kekhawatiran. Ia berdiri dihalaman sampai hilang bayang si kekasih dibelokan jalan. Tanpa
diketahuinya, dibalik semak-semak belukar , tidak jauh dari halaman rumahnya, ada sepasang
mata sedang mengintip kemesraan mereka dengan hati remuk redam. Mata itu menatap nanar
penuh api kecemburuan yang teramat dalam dengan debaran jantung yang teramat kuat.
Si pengintip mengikuti Puti Asmini diam-diam. Langkahnya nyaris tak terdengar
direrumputan, lebih halus dari desingan angin malam yang mulai bertiup. Mata liarnya
memperhatikan gerak-gerik si anak gadis bungsu malintang bumi dan juga keadaan sekitar.
Sepertinya ada niat buruk yang hendak dilakukan. Siapa orang itu?
Disebuah tikungan jalan menuju kerumah malintang bumi, tempat itu memang agak
lengang, dimana hari juga sudah mulai gelap, semakin mempermudah dirinya bersembunyi,
orang itu meloncat dari semak-semak dan menghadang langkah calon isteri Sutan Rajo Ameh.
Tangan dibentang menghalangi jalan. "Mau kemana adik manis?", katanya tertawa mengekeh.
Puteri Malintang bumi kaget bukan kepalang. Sosok yang menghadang langkahnya,
bagai hantu datang tiba-tiba membuatnya terpekik. Setan atau binatangkah itu? Ia mencoba
mengenali wajah manusia didepannya, "Uda...Mangkuto Sati?", serunya dengan pandangan agak
kurang senang, langkah disurutkan."Ada perlu apa udah menghambat jalan saya ditempat gelap
seperti ini? Kalau ingin bertemu, datanglah bertamu baik-baik. Jangan berlaku seperti maling.
Tidak baik dilihat orang, akan timbul fitnah yang bukan-bukan nantinya. Lekaslah uda
menyingkir, beri saya jalan!"
"Tunggu dulu... Sabarlah sebentar kau calon isteriku...! Aku ada sedikit keperluan
denganmu. Ayahmu yang jagoan itu tidak ada disini, bukankah mempermudah kita agar bisa

berduaan lebih lama. Kalau dirumah, aku hanya bisa menatapmu sekilas saja, disini aku bisa
leluasa...hehehe..dari mana kau, Asmini? Kenapa keluyuran malam-malam?"
"Calon isteri? Mengigaukan siapa kau Mangkuto Sati? Pandanglah baik-baik! Meski
gelap, matamu belumlah buta, bukan? Aku bukan calon isterimu! Lekas pergi dari sini dan
bawalah berobat kedukun. Periksalah, apa yang rusak dikepalamu...siapa sudi bertatap muka
denganmu"
"Eh...eh...sok jual mahal pula kau padaku ,Asmini. Jangan membantah perkataanku! Aku
tahu perangai wanita gila harta sepertimu. Bukankah yang kau mau adalah suami yang banyak
uang? Kalau saja si bangsat Sutan Rajo ameh itu tidak kaya raya, akulah yang akan menjadi
suamimu, bukan?...aku ini calon orang besar dan dihormati. Lagipula, Si tolol Bazar itu sudah
hampir keok. Tapi, anjing kurap yang bernama Rajo Ameh itu merampasmu yang seharusnya
milikku...perempuan murahan!", katannya melempar senyuman sinis.
"Lancang mulutmu bicara! Tengoklah jauh-jauh kedalam diri, sudah bersihkah kau dari
tuduhan yang kau sebutkan itu? Semua orang tahu, kau gila kekuasaan dan berharap tetuah
memilihmu sebagai datuk.
Pikirmu seolah aku ini milikmu saja, Mangkuto! Aku memilih Sutan Rajo Ameh bukan
karena harta, uang, atau tahta. Tapi sesuatu yang lebih besar dari itu. Sesuatu yang seujung
kuku;pun tidak kau punyai sebagai manusia, hanya manusia beradat beragama saja yang
memilikinya, yaitu berbudi luhur dan berakhlak tinggi. Ia tidak ada bandingannya dengan
pecundang macam kau.
Jangan kira aku tidak tahu tabiatmu yang kau sembunyikan dari orang-orang sekampung.
Penjudi. . . !"
"Hahahaha...", tawanya memecah."Bicara apa kau, Asmini! Aku bukan orang seperti itu.
Jangan pandang hinanya aku dimatamu, manis, aku laki-laki baik! Percayalah". Dicubitnya dagu
Asmini. Sontak sang dara menepis.
"Aih, nasib...nasib! Nasibku memang malang. Baiklah, jika aku tidak bisa memilikimu
sebagai isteri, akan kuberikan sisa-ku pada suami-mu nanti. Hahahaha....", jaraknya diperdekat,
muka ditolok kedepan, cengar-cengir layaknya seekor anjing liar mencari makan ditong sampah,
kelaparan. Asmini;pun surut kebelakang, menjaga jarak demi menghindari perkiraan buruk yang
mulai diduganya. Ia dilanda kecemasan, cemas akan keselamatan yang tengah terancam. Lalu,
Bak seekor harimau, Mangkuto Sati mencengkeram tubuh puti asmini kuat-kuat, berusaha
memeluknya dan menciumnya secara paksa. Mata membeliak penuh nafsu. Lidah menjulurjulur, liur menetes menjijik-kan. Puti nan malang berteriak-teriak ketakutan, berusaha melawan.
Dipukul-pukulnya tubuh mangkuto dimana;pun bisa. Ia meronta-ronta, minta tolong sambil
menangis. Kepiluan yang teramat pedih terdengar.
Mangkuto hilang kendali dan lupa diri. Tak dipedulikannya teriakan dan rintihan gadis
itu. Hatinya telah dilumuri nafsu bejat dan kecemburuan yang membabi buta. Jika cinta tak bisa
dimilikinya-maka cinta itu haram hukumnya bagi orang lain. Semua yang ada dikepalanya
hanyalah cara membalaskan sakit hati karena lamarannya ditolak mentah-mentah oleh malintang
bumi. Ia sangat mencintai Asmini, tapi kenyataan sangatlah menyakitkan. Si gadis malah
memilih orang kaya dan terpandang. Jika dibandingkan, ia memang bukanlah apa-apanya dari
Sutan Rajo Ameh. Wajah dan keberuntungan nasib tidak ada yang memihak padanya.

Mengenang itu, sakit hatinya semakin dalam mencucuk akal sehat. Lakunya sudah sebanding
dengan seekor binatang, biadab.
Asmini terus menangis minta dilepaskan. Air mata cemas, takut dan putus asah memsahi
pipi mulusnya. Tiada rela hidupnya ternoda dan dizalimi oleh manusia laknat teramat
dibencinya. Dalam hati ia berharap semoga ada orang yang datang menolongnya dari niat bejat
Mangkuto Sati. "Toloooonnggg....toloooonnggg....!", rintihnya dalam tangis. Akan tetapi,
semakin letih tubuhnya menahan tenaga kuat si laki-laki bejat, belum juga ada pertolongan.
Mereka berguling-gulingan ditanah. Mangkuto Sati memeluknya bergelak tawa.
Tiba-tiba, "Bugghh..!!", Mangkuto sati melenguh sakit mendapati tubuhnya terpelanting
dan kemudian tersungkur ditanah. Sebuah hantaman tak terduga bersarang telak dikepalanya,
membuatnya sempoyongan sementara waktu. Cengkeramannya pada puti asmini lepas. Gadis itu
segera berlari kebelakang si penolong, mencari perlindungan.
Mangkuto Sati kaget bukan main, siapa yang berani menyerangnya? Ia mencoba berdiri
meski kepala yang menerima hantaman terasa pusing, mata berkunang-kunang. Sekian waktu
disaksikannya banyak bintang menghiasi pemandangan. Sebelum mengusap-usap mata beberapa
kali agar pandangannya lebih jelas.
Tambah menjadi-jadi kejut Mangkuto Sati melihat orang yang menyerangnya. Diusap
lagi mata beberapa kali, seakan tidak percaya menyaksikan sosok didepannya. Terbeliak
matanya lebar-lebar. Menggembor-gembor gemeretukan rahangnya, "Penghianat!!!! Berani
menyerangku.. Kucincang kau sampai mati...!", katanya pada si penolong yang rupanya adalah
Sahabat karibnya sendiri, bandit suruhan yang selama ini terjamin keetiaannya, Mali. Teman
akrab yang tak jauh bedanya dengan pesuruh, anak buah. Diperlakukan sesuka hati, dipukul
kapanpun ia mau. Baginya, Mali adalah budak sahaya yang harus menuruti segala perintahnya,
sehina binatang.
"Aku bukan penghianat... Hubungan apa diantara kita yang menjadikan aku sebagai
penghianat? Tidak ada! Aku cuma kacung suruhan bila dibayar. Tapi aku,,membenci tingkah
manusia yang tak ubanya seperti binatang! Tak tahu adat! Memaksa anak gadis ditempat gelap
yang sudah jelas-jelas calon bini orang. Menjijikkan! Kau taruh dimana muka buruk rupamu itu?
Sudah buruk tak tahu diri pula..."
"Bangsat benar!! Berani menghinaku..? Tidak sayang nyawa kau, Mali! Bersiaplah
menghadap setan neraka manusia jahanam!"
"Perkara nyawa usah disebut akan tamat disini, beruk jelek! Urus saja muka buruk rupa
dan tidak tahu dirimu itu. Betulkan dulu bentuknya yang agak kurang sempurna! Kalau perlu,
oleskan taik sapi, jadikan topeng...hahaha! Aku jamin kau lebih tampan dari wajahmu yang
sekarang", katanya meledek sinis, kesengajaan memancing amarah agar luapan emosi
melemahkan musuhnya. Ditariknya tangan Puti dan berkata,"cepat pulang! Kadukan pada
ayahmu kejadian ini...! Aku tidak akan sanggup bertahan berlama-lama melawan si bangsat itu.
Ilmu silatnya cukup tinggi. Hanya ayahmu yang sanggup merobohkan".
Puti asmini ragu-ragu,"Tapi, bagaimana denganmu ,Mali? Kau bisa celaka! Lebih baik
kita kabur saja bersama-sama"

"Sudahlah, Putih! Mustahil...! Itu tidak mungkin kulakukan...Mangkuto sati brengsek ini
tidak akan diam saja melihat kita lari. Begini saja, Aku akan menahannya sampai kau selamat
dan bawakan bantuan agar aku tidak mati konyol ditangan manusia kafir itu". Puti mengangguk
dengan helaan nafas berat. "Ayo cepat!". Ia;pun segera berlari pulang. Bermaksud
mengadukannya kejadian yang menimpanya pada Malintang Bumi. Mangkuto Sati terpana tanpa
berusaha mencegah.
"Sebentar lagi Malintang Bumi akan datang memenggal kepalamu , kepalamu
Tuanku...hehee! Ingat itu! Menjelang dia datang, mari kulayani kau satu_dua jurus! Majulah!",
hardik mali cengengesan, membuka langkah.
"Mencari mati kau, budak sahaya! Lupa diri ... Sebelum Malintang Bumi datang, sudah
kubuat nyawamu lepas dari badan",katanya menyerang.
"Siapa sudi jadi budakmu!", balas Mali pula.
Dua telapak tangan mangkuto Sati dikembang, mulut komatkamit merapal bacaan,
mantera telapak besi. Ilmu hitam yang dipelajarinya dari dukun jahat yang bernaung dikaki
gunung Linggo. Jurus telapak besi bukan ilmu kebatinan biasa, diciptakan oleh seorang sakti
berilmu hitam amat ditakuti puluhan tahun silam. Pendekar-pendekar terdahulu tidaklah asing
jika mendengar namanya. Dimasalalu jurus itu telah menelan banyak nyawa tokoh-tokoh penting
tingkat tinggi diranah minang, terutama diselatan pesisir pulau Andalas. Keangkaramurkaan
merajalela, penggunanya menebar bencana dimana-mana. Angkara murka itu baru dapat
dihentikan ketika seluruh tokoh silat kelas wahid mengeroyok dukun ilmu hitam pencipta
telapak besi beramai-ramai dan kemudian dipisahkan kepalanya dari badan. Sebab, selain
telapak besi, ia menguasai ilmu tambun! Tak bisa mati selagi tubuhnya menyentuh tanah. Jika
tidak digantung, usaha membunuhnya akan percuma. Dalam waktu singkat si dukun akan
kembali hidup. Semenjak peristiwa menggemparkan jagad persilatan itu, Telapak besi dianggap
sebagai jurus larangan, bukan untuk dipelajari. Jika ada yang mempelajari, ia akan diburu oleh
ahli silat didelapan penjuru angin. Pemilik pukulan akan mati dibunuh dengan kepala terpenggal
bergelantungan didahan pepohonan.
Namun berbeda dengan Mangkuto Sati, jurus telapak besinya barulah tahap dasar, masih
terlalu jauh dari kesempurnaan sebagaimana dahsyatnya telapak besi. Sebab, belum lama
menimba ilmu, gurunya, si dukun jahat keburu masuk tanah, terlalu uzur diusia sembilanpuluh
delapan tahun. Sebelum kematian gurunya, Ia sempat diwariskan sebuah kitab rahasia tentang
tata cara pembelajaran telapak besi sampai menuju kesempurnaan. Jika kelak kitab itu
dipelajarinya, barulah bencana akan kembali merajalela.
Tubuh mangkuto sati bergetar hebat, mata terpejam. Ajaib, dua telapak tangannya
seketika berubah warna menjadi hitam legam, logam hangus. Asap mengepul disetiap ujungujung jarinya.
Bergidik nyali Mali melihat perubahan pada tangan Mangkuto Sati, maut sudah datang,
pikirnya.
Setelah getaran hilang, Mangkuto buka kedua mata. Nampak memerah kedua sudutnya.
Telapak hitam legam dihadapkan kedepan. Mulut menyeringai merendahkan. Lalu, diiringi
teriakan nyaring, ia meluncur menyusur tanah, sangat cepat. "Terima ini..!", bentaknya
menghantamkan dua telapak tangan itu kedada mali.

Si pemudah bernama Mali mencoba berkelit kekiri, badan dibungkukkan. Lalu, tangan
kiri diangkat, menepis pukulan lawan. Ia berhasil! Mangkuto Sati urung mengenai sasaran. Tak
sampai disitu, kini Mali malah sanggup membalikkan dua kali serangan bertubi keperut
Mangkuto Sati. "Bugghh...bugghh", orang itu terpelanting cukup jauh. Mangkuto terduduk dan
melenguh ketika ulu hatinya seakan robek besar. Ia mengaduh memegangi perut. "Bangsat kau
Mali!", teriaknya kesal."Setan!"
Sementara itu, Mali terkapar ditanah setelah tubuhnya menghantam sebuah pohon pinus.
Mungkin sudah remuk atau patah tulang punggungnya. Ia diam tak bergerak, hanya helaan nafas
megap-megap sesekali terdengar. Kenapa bisa begitu? Rupanya, disaat ia melepaskan dua
serangan balik keperut lawan, tak disadarinya telapak kanan Mangkuto juga telah mengenai
dadanya. Salah satu serangan telapak besi mangkuto urung dielakkan. Dari dua-hanya satu yang
bisa ditepis, yang satunya lagi bersarang telak didadanya, tepat dimana jantungnya berdetak. Ia
sekarat.
Ditempat lain, putih telah tiba dirumah, menangis histeris tak mau dihentikan. Ibunya
berusaha menenangkan. Apa yang terjadi? Ibunya bertanya. Ia cuma menangis dan menunjuknunjuk kebelokan jalan. Setelah diberi air putih, barulah keadaanya mebaik. Ia mengadukan
musibah yang menimpanya diperjalanan pulang dari rumah Sutan Rajo Ameh, calon suaminya.
Tak luput pula menceritakan si Mali yang dalam bahaya, baku hantam dengan Mangkuto Sati
karena menolongnya. Naik pitam si jagoan. Mendidih darah panas yang telah lama dingin. Api
seakan bergolak dalam tubuh dan otot-ototnya. Siapa yang berani mengusik kehidupan
Malintang Bumi? Maut tantangannya. Diambilnya golok tersangkut didinding kamar. Golok
pusaka yang puluhan tahun tak lagi digunakan. Bekas tanda keperkasaannya dimasa-muda,
ditakuti banyak musuh. Dendam kesumat memaksa laki-laki paruh baya itu berlari kencang
menyusul ketempat si Mali yang kini sedang bertarung melawan sahabatnya sendiri, manusia
kotor:Mangkuto Sati.
Larinya serupa petir, luar biasa kencang. Meski umur tak lagi muda dan tenaga telah
uzur, jiwa ksatrianya tidaklah hilang. Tetap membara, menyala-nyala seperti dulu. Tak boleh
mendengar sedikit keributan, ia datang dan ikut meramaikan perkelahian, jika lawannya itu
bukan berasal dari padukuan. Apalagi masalah anaknya yang hendak diperkosa, tak dapat
dibayangkan bagaimana murkanya Malintang bumi. Takkan selamat Mangkuto Sati, tamat!
Setibanya disana, dicarinya Mangkuto Sati yang telah bertindak kurang ajar pada anak
gadisnya. Ingin dicincang bahkan lumat seperti tepung. Begitulah niatnya jika bertemu."Berani
mengganggu anakku, berarti mencari mati. Kelangit;pun kau kucari Mangkuto Sati", teriaknya.
Tapi ia tidak menemukan siapa-siapa. Mangkuto sati telah kabur. Tidak ada lagi perkelahian
disana. Amarahnya yang membludak tidak terlampiaskan.
Didalam gelap itu hanya sesosok tubuh manusia terbaring tak sadarkan diri dengan luka
besar dibagian dada. Bentuknya amat menyedihkan, serupa anak ayam, tergelimpang tanpa
pertolongan. Diangkat tubuh itu oleh Malintang Bumi, diperiksa baik-baik. Yang membuat
heran, Lukanya sebentuk telapak tangan manusia membenam kedalam kulitnya. Orang yang
terluka adalah si Mali. Ia tengah sekarat dengan mulut yang tak hentinya mengucurkan darah.
Diperiksa lagi oleh Malintang Bumi luka yang memerah layaknya membakar kulit Mali,
matanya membesar,"Pukulan Besi!", kata malintang bumi heran."Ilmu hitam terlarang yang
berbahaya. Kepada siapa bangsat itu berguru?"

Sebelum memikirkan perkara Telapak Besi lebih jauh, Malintang Bumi lebih dulu
menyelamatkan si penolong anaknya, Tak mau berlama-lama melihat mali sekarat. Malintang
bumi memutuskan membawa mali, untuk dirawat sebagai pengganti terimakasih. Karena, berkat
pertolongan laki-laki itulah anak gadisnya selamat dari perbuatan nista terkutuk Mangkuto Sati.
Perbuatan hebat, Budi baik Mali tidak akan dilupakannya begitu saja.
Tiga hari si mali tak sadarkan diri. Satu-satunya tanda bahwa ia belum mati adalah
erangannya ketika siuman. Erangan kesakitan yang teramat sangat. Setelah itu, ia kembali
pingsan, seakan tidak kuat tubuhnya menahan bisa pukulan besi yang baru kerak-kerak luarnya
saja. Ia dirawat oleh keluarga malintang bumi dengan baik.
Berbekal sedikit kepandaian ilmu pengobatan Malintang Bumi diwaktu muda, si jagoan
secara perlahan mampu mengobati luka Mali meski tidak sembuh keseluruhan. Bekas pukulan
yang terbenam dikulitnya tidaklah bisa hilang. Sebuah tato telapak tangan manusia, buah tangan
sahabatnya sendiri.
Dihari keempat, Mali siuman!
*
"Sutan Bazar meninggal dunia", kata seorang laki-laki paruh baya, warga padukuan. Ia
tergesah-gesah mengelilingi kampung, meneriaki kabar buruk nan penuh duka kesetiap pintu
rumah. Hening senyap, orang-orang kampung tertunduk. Pergi juga si Raja Adil, datuk yang
dicintai, dihormati kaum. Berangkat sudah ia kepembaringan, rumah terakhir sebelum
pembangkitan nanti setelah kiamat. Beramai-ramailah mereka datang melayat kerumah duka,
orang yang dihormati itu. Dibawa beras secupak, alakadarnya sebagai bentuk belasungkawa.
Keluarga sang datuk berusaha tegar, mencoba menerima kemalangan.
Orang-orang bertanya-tanya! Janggal betul terlihat ketika sampai mayat dikuburkan, Si
kemenakan yang digadang-gadang akan menjadi pengganti, pewaris tunggal tahta sang Datuk,
Mangkuto Sati malah tak tampak batang hidungnya. Tidak punya otak! Kemana dia? Umpat
mengumpat terjadi diantara ninik mamak. Orang-orang mulai ragu, seperti itukah contoh yang
ditunjukkan oleh calon datuk? Belum dinobatkan, sudah dibuat buruk pemikiran orang-orang.
Sifat buruk tak terpuji mangkuto Sati, telah menggusur posisinya sebagai calon
pengganti Sutan Bazar. Tetuah dan petinggi adat mengalihkan bidikan kesosok Sutan Rajo
Ameh. Pemuda baik-baik, pintar dan bertanggung jawab. Tiada yang kurang dari tindaktanduknya selama bergaul dengan orang sekampung. Gayung bersambut, Sutan Rajo Ameh tidak
menolak tawaran. Diterimanya dengan pertsetujuan kedua orangtua terlebih dahulu.
Sebelum acara pesta pengangkatan pindah jabatan, Sutan memutuskan mempercepat
pernikahannya dengan Asmini. Mendengar kejadian buruk yang menimba tambatan hatinya
tempo hari, ia tak bisa bertenang diri lagi. Gelisa siang-malam jika belum resmi si gadis menjadi
isterinya. Maka, diputuskan bahwa acara pernikahan Sutan Rajo Ameh didahulukan dua minggu
dari pesta pengalihan jabatan datuk, yang juga tak kalah besar serta meriahnya. Bersuka ria
warga padukuan menyambut pesta sambung menyambung itu. Semua orang siang malam
berbondong datang kerumah gadang, menyaksikan rabab, tarian dan beragam kesenian minang
lainnya.

Ditengah kebahagiaan itu, hiruk pikuk orang bersuka ria, terkecualilah sebuah rumah tak
dilibatkan dalam hal apa-pun oleh penduduk. Rumah itu adalah rumah orangtua Mangkuto Sati.
Ulah perangai busuk puteranya, mereka dikucilkan.

10.Sepuluh
*
Mangkuto Sati lari tunggang langgang ditengah hutan dengan wajah cemas serta mata
liar, tak hentinya melihat-lihat kebelakang. "Tidak... Jangan bunuh aku!", bisiknya berlarian
menerjang semak belukar. "Ampun Malintang Bumi...ampuni aku!", jatuh tersungkur, bangkit
lagi dan lari sekencang-kencangnya seperti orang gila. Begitulah yang dilakukan Mangkuto
setelah berhasil mencelakai Mali. Ketakutan akan dimurkai malintang bumi membuatnya
terkencing-kencing dicelana.
Ia memasuki kedalaman hutan, mencari tempat yang aman agar selamat dari amukan
ayah gadis yang hendak diperkosanya.
Sudah dua hari ia lari tak tentu arah. Tanpa makan_tanpa minum. Seolah kematian
sedang membuntutinya dari belakang. Sekali berhenti, terbanglah rohnya kealam baqa. Semakin
lama, semakin letih dan habislah tenaga. Perut sakit, kerongkongan kering. Merangkakpun tidak
lagi mampu dilakukannya. Terbaringlah ia dalam mimpi buruk yang entah kapan akan
terbangun. Penyesalan mendera, "Bodoh! Kenapa kau lakukan itu? Mengganggu anak malintang
bumi, sama saja mencari penyakit! Kau sendirilah yang ingin mati", bentak suara hatinya. Ia
terpejam.
*
Malam berganti siang, dari balik bukit sampai tegak lurus matahari diubun kepala.
Mangkuto Sati mengumpulkan segenap tenaga. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri. Pingsan
karena keletihan dirimba belantara rupanya cukup mengembalikan sedikit tenaganya untuk
sekedar berdiri dan berjalan, meski limbung. Ia menggeliat sebentar dan memandangi alam
sekitar. Tidak seberapa didepannya: terdengar gemercik suara air. Ia memegang leher. Kembali
dirasakannya kerongkongannya masih kering. Rasa haus , percikan itu sungguh sangat
menggoda kerongkongan. Ingin segera direguknya sampai puas.
Pohon-pohon kecil tumbuh hijau menghalangi jalannya yang lemah. Kupu-kupu dan
kumbang menjelajah setiap bunga mekar, mencari madu bekal makanan, berlalu-lalang
didepannya. Beberapa langkah berjalan gontai, ditemukanlah sebuah sungai, sumber suara
gemercik itu. Tak pikir panjang lagi, dibenamkan kepala berlama-lama agar lepas dahaga.
Tak cukup celupkan kepala, terjunlah mangkuto sati kedalam air yang dingin itu. Hawa
sejuk menjalar kesetiap permukaan kulit. Segenap tenaganya yang tadi hilang, pulih dengan
cepat membuatnya semakin kuat seperti semula. Tubuhnya terasa ringan seperti kapas.
Kini tinggal memikirkan perutnya yang kelaparan,"Aku harus mencari cara untuk makan.
Ikan-ikan disungai ini sepertinya cukup banyak. Bagaimana cara menangkapnya?", katanya
seorang diri sambil merayap ketepian. Lalu bermenung lama sekali. Sementara dilangit, cahaya
mulai meredup. Awan hitam bertalian menutupi birunya yang indah. Hujan sepertinya akan
turun deras.
Mangkuto Sati mengambil sepotong bambu seukuran telunjuk yang rumpunnya tak jauh,
ditepian sungai didepannya. Bambu diruncingkan sedemikian tajam, pada ujungnya dibuat

lancip. Ia menengadah menatap langit meramalkan cuaca, "Hujan sudah mau turun. Aku harus
bergegas menangkap ikan-ikan itu dan mencari tempat berlindung!", katanya. Sigap sekali ia
melompat keatas batu-batu besar sungai, agar mudah membidik ikan-ikan incarannya. Sial
baginya, melakukan tenyata tak semudah melihat-lihat. Dengan susah payah ia berusaha, tak
terhitung: sudah berapa kali bidikannya meleset dari sasaran. Keadaan itu sempat membuatnya
kesal, satu jam hasilnya nihil. Namun, berkat kegigihan, demi rasa lapar, dua ekor ikan besar
berhasil juga ditangkapnya. Ikan-ikan itu sudah cukup sebagai santapan, pengganjal perut lapar
yang dua hari tidak makan.
Ia berjalan lagi ,menyusuri rimba belantara. Mungkin ada goa atau cekungan bebatuan
besar yang bisa digunakan sebagai tempat berlindung sementara. Dari utara keselatan, tak
satupun penaungan yang bisa ditemukan. Timur kebarat juga sama! Puas rasanya berkeliling,
mengitari seisi hutan yang ditumbuhi kayu-kayu besar, mengharap tempat berlindung. Sekarang,
ia hanya berdiri menengadahkan kepala. Diatasnya, suara-suara beruk liar hiruk pikuk
memonyongkan moncong kearah mangkuto sati. Dahan-dahan kayu bergoyang-goyang oleh
binatang-binatang liar yang terkenal buas didaerah kekuasaannya. Jika diluar sana manusia
berkuasa, disini merekalah rajanya. Kawanan itu bak mengusir tamu tak diundang menjauh.
Tertujulah mata mangkuto sati kesebuah lembah yang dalam dan jauh kebawah. Disana
ia melihat bibir goa batu. Ukuran bibir goa itu cukup besar dari kejauhan. Pasti akan nyaman
bila bisa berteduh disana. Tapi, untuk mencapai goa, mangkuto sati harus turun jauh kebawah
dan itu tidaklah mudah. Ia berfikir sejenak, menimbang-nimbang sesuatu. Kalau diperhatikan
berkeliling, memang tidak ada tempat lain yang bisa melindunginya dari hujan. Maka dari itu,
ia;pun nekad, nekad karena tidak adanya pilihan. Lebih baik menuju tempat yang terlihat,
daripada mencari yang tidak ada. Bisa mati kedinginan kalau memaksakan diri mencari tempat
lain.
Rintikan-rintikan kecil mulai turun. Dedaunan mulai basah layaknya embun dipagi hari.
Semakin lama semakin deras turunnya dan rinaipun berganti hujan lebat. Mangkuto sati terus
berusaha mencapai mulut goa yang tadi dilihatnya. Baju basah kuyup. Ikan ditangan dipegang
erat digenggaman. Hidupnya bergantung pada dua ikan besar itu."Sedikit lagi", serunya
menyemangati diri sendiri.
Cukup lama berperang melawan medan sulit, menuju mulut goa. Ia masuk dengan
perasaan legah. Dibukanya baju basah guna dikeringkan. Ikan-ikan hasil tangkapan dibersihkan
dengan kucuran hujan, kemudian menyalakan api dari dua batu belerang yang tak lupa dibawa
sebagai pemantik rokok. Dengan adanya batu belerang, kesulitannya sedikit terbantu, jadi lebih
mudah. Menyalakan unggun cukup besar juga bisa menghangatkan dirinya yang kedinginan
selain untuk membakar ikan. Beristirahatlah ia disana.
Penaungan mangkuto sati, goa itu berada ditengah empat negeri. Jika bergerak ke timur,
ia akan tiba disungai pagu, sebuah kerajaan minang yang punya hubungan erat dengan
pagarruyung. Sebelah selatan akan dijumpainya negeri jambi dan kerinci yang berada dalam
naungan kerajaan besar Sri Inderapura. Bila berjalan keutara, dia akan sampai di solok, negeri
dingin yang hijau oleh pegunungan. Dan daerah barat, bukanlah daerah asing bagi mangkuto sati
yakni kampung halamannya sendiri. Daerah bandar sepuluh yang terkenal itu. Dari keempat
negeri yang bisa disinggahinya, tak satupun ingin ia tuju. Baginya, hidup bersembunyi ditengah
rimba akan jauh lebih aman dan sangat sulit ditemukan.

"Aku rasa goa ini cocok kujadikan sebagai rumah, hidupku lebih aman disini. Malintang
bumi tidak akan menemukan keberadaanku lagi", katanya. Maka, sejak hari itu, mangkuto sati
memutuskan tidak akan keluar dari lembah. Bila ingin makan, ia bisa makan dari berladang dan
berburu binatang. Cukup untuk mengisi mulut, sekedar penyumpal perut. Didalam lembah,
dirikan sebuah pondok kecil sebagai tempat peristirahatan disiang hari, juga sebagai tempat
menjaga ladang-nya dari serangan babi-babi liar.
Sehari-duahari sampai berbulan-bulan lamanya. Mangkuto sati bagaikan menemukan
kehidupan baru didalam lembah lengang nan dipenuhi kesunyian itu. Tiada seorang;pun teman
yang bisa diajak bicara kecuali para beruk yang dulu memebelalakkan mata mengusirnya.
Kicauan burung dipagi hari bersambut bunyi jangkrik malam, harinya berlalu tanpa disadari
sudah berapa lama ia menetap. Begitula terus menerus kehidupan-nya semenjak mengasingkan
diri dari kejaran Malintang Bumi. Ada keinginan untuk kembali pulang, sekedar menjenguk ibuayahnya, tapi ketakutan pada amukan malintang bumi selalu menghambat langkahnya bilamana
kerinduan merajalela dipuncak tertinggi akan kampung halaman. Ia telah terjepit dalam ruang
nista yang sangatla sulit menuntunnya kembali kejalan yang benar. Orang sekampung telah
mengetahui kebusukannya, buruk perilakunya pada Puti asmini. Takkan seorangpun yang akan
bersimpati sekalipun ia mati ditengah hutan ini. Kedua orang tuanya sudah barang tentu juga
dirundung malu, malu yang membuat mereka kehilangan muka untuk bergaul dengan orangorang lain. Ulah perangai buruk anak, ayah dan ibu turut menanggung derita. Padahal mereka
tidak bersalah, tidak tahu menahu tentang tabiat buruk anaknya yang disangka baik, terhormat.
Menyesak nafas mangkuto sati bila mengingat dosa yang diperbuatnya. "Semua ini gara-gara
Sutan Rajo Ameh terkutuk itu. Andai saja ia tidak pulang, hidupku tak akan kacau begini rupa.
Kenapa tidak kubunuh saja dia selagi aku bisa? Ah, aku malah berlaku bodoh hendak
memperkosa asmini yang akhirnya membawa petaka. Tapi biarlah, masalalu takkan berubah,
dimasa depan akan kubalaskan dendam, akan kupupuk kebencian ini sampai waktunya tiba
nanti. Takkan kubiarkan kau berlama-lama tersenyum, keparat", katanya mematah ranting
ditangan dengan mata merah.
Tersembunyi, tapi disitulah kesempatan emas datang, mempelajari kitab rahasia telapak
besi tanpa dicurigai. Ditelannya seluruh isi kitab, dimasukkan kekepalanya, dihafalkan. Tiap hari
ia berlatih, mengasah kemampuan. Persiapan untuk membalaskan dendam yang ia ciptakan
sendri. Musuh yang tak pernah memusuhinya, yang tak tahu menahu pangkal kebenciannya. Tak
terhitung hari, jurus telapak besi telah dikuasainya sampai ketitik paling menakutkan, tingkat
tertinggi! Kini bukan sembarangan lawan yang mampu menandingi kepandaiannya. Agaknya
bahaya pelahan-lahan kembali menebar aroma keserakahan.

11.Sebelas
*
Lima tahun kemudian!
Mangkuto sati memutuskan kembali pulang. Bukan untuk menetap. Hanya ingin
mengetahui keadaan orangtua yang telah lama ditinggalkan tanpa ada kabar berita. Sekaligus
menjalankan niat buruk atas dendam masalalu yang direncanakan. Pada waktu yang ditentukan,
setelah diperkirakan sesuai pertimbangan sebelum berangkat, diam-diam ia memasuki
perkampungan diwaktu malam hari. Ketika semua orang tertidur lelap. Malam adalah waktu
yang paling baik untuk menyelinap agar segala kemungkinan tertangkap lebih kecil.
Ia tidak melewati jalan kampung. Sangat besar resikonya bila ketahuan oleh orang-orang.
Si Malintang Bumi tentu tidak akan melewatkan kesempatan emas untuk meringkus dan
menghukumnnya atas perbuatan terkutuknya dimasalalu. Sehebat apapun telapak besi, ketakutan
pada Malintang Bumi belum bisa ditepisnya, ragu-ragu. Meringkuk dan mengawasi dari balikbalik semak akan lebih aman menurutnya. Sebab, sekalipun diketahui, wajah serta gelagatnya
tidak akan dikenali begitu cepat. Ia bisa sekejap mata menghindar, melarikan diri.
Untuk urusan masuk kampung baginya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Kini mangkuto seibaratkan seorang buronan kerajaan yang melakukan pemberontakan, terancam
hukuman gantung. Salah sedikit, pemuda-pemuda yang keliling meronda akan tahu gelagatnya,
dapat membaca geriknya yang sudah hafal oleh semua orang. Jika itu terjadi, ia dalam bahaya
besar. Seisi kampung akan memburunya tanpa ampun.
Mangkuto Sati tertegun didepan sebuah rumah kayu bergonjong, beratapkan ijuk-ijuk
enau. Lumbung padi itu masih berdiri tenang disebelah kanan, tidak jauh dari kamar tidurnya.
Lesung kayu beserta alunya berada dibawah lumbung, sebagaimana kebiasan ibunya dahulu.
Benda-benda itu seolah meneriaki untuk segera pulang. Pedih tak terkira, pemandangan yang
membuat hatinya ngilu. Lama dipandangnya bangunan bergonjong ijuk-ijuk kasar hitam. Jemari
bergerak-gerak gemetaran. Dalam hati ia berucap, sungguh, aku rindu tempat ini. Rumah yang
tak lain adalah rumahnya sendiri. Tempat bernaung, sedari awal tangisan pertama dirinya datang
kedunia. Dimana beribu kenangan masa kecil berkubur kasih sayang orangtuanya. Ia menarik
nafas dalam-dalam, dan berjalan mendekat kehalaman. Lalu, mengendap-endap kepintu
belakang.
Ia masuk kedalam rumah tanpa sedikitpun terdengar. Lebih mahir dari maling atau
rampok sekalipun. Tidak seorangpun sadar akan kedatangannya yang diam-diam. Lalu, bergerak
menuju sebuah kamar kecil disebelah kiri, sesudah dapur. Dengan hati-hati mangkuto sati
mengintip kedalam, sebuah dipan kayu berukuran kecil, sederhana. Sangat lama ia tertegun
memandang kedalam kamar yang diterangi lampu minyak, "Amak!", lirihnya. Dua bola mata itu
bertetesan air. Matanya berkaca-kaca melihat seorang wanita tua tertidur pulas diatas kasur
lusuh, seorang diri. Sungguh, teramat rindu mangkuto sati hendak memeluk ibunya.
Sejahat apapun, sekeji apapun, hatinya akan luluh bila melihat orangtua sendiri. Meski
kejahatan atapun perbuatan hina dilakukan terhadap orang lain tanpa belas kasihan, kepada ibu
tetaplah tiada pernah sanggup menahan rindu serta cinta setengah mati. Cinta yang tulus tiada
satupun pamrih. Takkan sanggup menyakiti dan takkan pernah rela melihat orangtuanya
tersakiti. Itu juga yang dirasakan Mangkuto Sati pada ibunya.

Setelah merasa cukup memandang wajah kurus sang ibu, Mangkuto sati hendak beranjak
pergi. Keluar menuju pintu belakang yang tadi dibuka paksa. Namun, belum lagi ia melangkah,
"Baru pulang, hendak pergi lagi waang, nak?", terdengar sapaan. Terkejut mangkuto sati. Ia
menoleh kebelakang. Disana ibunya sudah berdiri menatapnya. Mata wanita tua itu sudah
cekung. Pipinya kurus, tulang-tulang wajah mulai nampak. Ceking sekali keadaannya,
menderita.
Bersimpuh Mangkuto Sati. Dipeluk kedua kaki ibunya dan menangis. "Maafkan aku,
Mak! Aku sudah memberi malu, membuat amak dan ayah menderita"
Perempuan itu memejamkan mata. Kedua bibir bergetar menahan tangis, "...Apa yang
ada dalam kepalamu, nak? Buruk nian perlakuanmu. Cara siapa yang kau tiru, adat mana yang
kau pakai? Bertindak semena-mena pada anak gadis orang. Tidak pernah, amak tidak perna
terlompat lidah mengajarkanmu seburuk perlakuanmu itu"
"Maaf, Mak! Maaf....!", bertangis-tangisan dua ibu dan anak itu. Melambai-lambai air
mata bercucuran. Maaf bisa diberi, apalagi oleh seorang ibu, beribu pintu maaf akan selalu
terbuka selagi nafas masih berhembus, udara masih mengalir dalam diri. Tetapi malu, kemana
malu akan dibawa? Sudah tercoreng arang diwajah, susah sekali membasuhnya.
Mangkuto Sati mengintip jendela, melihat-lihat kehalaman. Ia tidak mau kedatangannya
diketahui orang banyak. Ibunya juga yang akan menerima umpat serapah dari orang sekitar yang
membencinya. "Ayah mana, mak? Kemana beliau? Sudah semalam ini belum juga pulang?"
Mak idah, ibunya usap kedua mata yang masih berair,"ayahmu sudah tidak ada lagi! Dia
sudah wafat empat tahun yang lalu, tak lama setelah kau pergi meninggalkan kampung. Terlalu
berat beban yang kami tanggungkan akibat perbuatanmu. Dihina, dicaci sana-sini. Dikiranya
Amak melahirkan anak haram yang tidak tahu diuntung! Juga, semenjak kejadian itu, Ayahmu
mulai sakit-sakitan, tak sanggup menahan malu, ia dicibir orang kemanapun pergi. Jangankan
keluar rumah, membuka jendela saja kami tidak berani"
Ia tertegun. Diam layaknya patung diketika itu. Mata;pun tidak berkedip. Seolah habis
tenaga dibadan, tak sanggup lagi kakinya berdiri dilantai. Mangkuto Sati terduduk lemah,
bibirnya pucat pasi. "A..yah....meninggal?", bisiknya pelan. Pelan sekali memegangi kepala,
menjambak rambutnya sendiri. "Kehancuran keluargaku ulahmu, Rajo Ameh keparat! Kubunuh
kau...akan kubunuh kau ...", katanya langsung berlari keluar rumah. Bukannya menyadari
kesalahan, ia malah menganggap orang lain yang tidak terlibat apa-apa sebagai biang
kesialannya. Benar-benar kelewatan tingkah Mangkuto Sati. Ia yang berbuat dosa, berharap
orang lain yang bertanggung jawab.
"Mau kemana kau mangkuto sati?", teriak ibunya berusaha mengejar. Namun, laki-laki
hilang akal sehat itu telah berkebat dan menghilang dalam kegelapan.

12.Duabelas
*
"Ayah! Aku mau ikut ... Pokoknya ikut!", kata anak kecil itu tersedu mengahadap
ayahnya didepan rumah. Mata mungilnya berlinangan cairan bening, air mata. Kaki dihentakhentakkannya kelantai, bibir dimancungkan kedepan, serupa itik bentuknya, memanja.
Ayahnya tersenyum sambil mengangat tubuh si kecil kepelukan. Dibelainya kepala
bocah laki-laki itu. Tak luput juga mengusap-usap wajah si mungil yang belum tersentuh
dosa,"Ayah tunggu kau besar dulu ya, nak! Kalau sudah sama tinggi dengan ayahmu ini, kau
akan ayah bawa kemanapun ayah pergi, bagaimana? Setuju?" "Tapi, kalau pulang nanti, jangan
lupa belikan aku mainan ya!", balasnya seraya mengangguk, tangisannya terhenti.
"Tentu anakku! Itu sudah pasti. Akan ayah belikan mainan paling bagus buatmu!"
Tak lama cengkerama berlangsung, seorang wanita muda, cantik betul parasnya datang
menghampiri,"Randai, kemarilah dekat ibu! Jangan merengek terus. Tidak jadi pergi ayahmu
nanti", katanya menoleh pula ke laki-laki, suaminya. "Sudah hampir siang, uda! Kemalaman
nanti pulangnya! Lekaslah berangkat"
"Iya, aku mau berangkat! Oya, ayahmu kemana? Tidak kulihat sedari tadi, masih berasap
kopi di meja, beliau sudah tidak dirumah! Sebenarnya, ada yang ingin aku sampaikan. Jika tidak
sekarang, terlambat pula aku pulang nanti. Tidak akan kesampaian pesanku", balas laki-laki itu.
Senyuman tersungging dibibirnya, mata berputar-putar mencari mertua yang ditanyai.
Laki-laki didepan rumah itu adalah Sutan Rajo Ameh dan Isterinya Puti Asmini. Seperti
yang telah diceritakan, setelah kejadian memalukan yang dilakukan mangkuto sati pada puti
asmini, ia menghilang entah kemana, bertahun-tahun lamanya. Sehari setelah orang kampung
gempar oleh kejadian yang berakibat aib besar bagi keluarga itu, Sutan Rajo Ameh
melangsungkan pernikahan. Ia tak mau lagi berlama-lama membiarkan kembang ditangan
ditaksir orang, lebih baik ditanam dalam pagar besi dengan segera. Akan jauh lebih aman.
Jantung tak lagi berdebar akan direbut orang. Maka dari itulah, acara dipercepat dari waktu yang
ditentukan. Juga, dua minggu setelah pesta, disambut pula dengan pesta pengangkatannya
menjadi datuk padukuan yang baru.
Dua tahun menikah, mereka dikaruniai seorang putera yang tidak kalah tampan dengan
ayahnya. Anak itu dinamainya Randai. Bukan tanpa arti kenapa dipilihnya kata "Randai".
Seperti orang-orang minang ketahui, Randai adalah sejenis tarian, sebuah kesenian, mahakarya
para pendahulu sebagai bentuk pembudayaan kisah-kisa penting. Akan tetapi, dibalik tarian nan
indah itu tersembunyi gerakan silat hebat yang bisa digunakan untuk membela diri kapanpun
diperlukan. Jadi, dalam artian pemberian nama itu, Sutan Rajo Ameh menyelipkan harapan, agar
anaknya kelak disenangi orang banyak, baik tutur kata-sopan kelakuannya, juga sanggup
membela yang benar. Tidak gentar menghadapi yang salah.
Kini Randai, putera pertama yang belum beradik berumur tiga tahun. Kasih sayang
kedua orang tua tertumpah hanya untuk dirinya sendiri. Teramat manja pada kedua orangtua.
Sekalipun begitu, sudah diperlihatkan budi luhur dan penurut dari usia dininya itu. Tidak berani
membantah larangan ayah-ibunya.

"Entahlah, belum lama ini kulihat beliau duduk dikursi ini. Mungkin pergi ke kebun atau
kesawah. Si mali bilang, hama sedang banyak. Pesan apa yang ingin uda sampaikan kepada
ayah? Sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa ditunda-tunda rupanya", balas puti asmini.
Sutan merenung sejenak. Mengambil nafas dan menciumi kening isterinya. Lalu, ia
beranjak kehalaman, dimana kuda ditambatkan. Ia naiki si kuda cokelat dan berkata pada puti
asmini,jika ayahnya pulang nanti, katakan pada beliau agar dirumah saja seharian ini, jangan
pergi kemana-mana sebelum ia pulang. Hematnya, supaya aman si Randai. Tersenyum manis
puti asmini mendengar perkataan suaminya, "aneh sekali garah (candaan) uda! Seperti baru
sehari dua hari saja aku tinggal sendirian dirumah. Apa yang akan terjadi jika nanti ayahku
terlambat pulang?"
"Entahlah, puti! Aku hanya merasa tidak enak hati hari ini. Mungkin sayangku pada
kalian terlalu besar hingga berat hati pergi jauh. Tapi tak apa! Akan kuusahakan cepat pulang!",
katanya kemudian berlalu memacu kuda.
Sutan rajo ameh memang biasa bepergian untuk mengunjungi peternakan-peternakannya
yang terletak diluar kampung yang jaraknya cukup jauh. Satu-persatu tempat usaha itu dikelolah
oleh orang gajian yang dibayarnya setiap bulan. Pekerjaan yang dibebankan kepada pengelola
tidaklah berat. Hanya memberi makan ternak tiga kali sehati. Itu saja. Setelah itu, mereka juga
bisa mencari sampingan lain sebagai tambahan pendapatan. Hari itu adalah waktunya membayar
gaji pekerja, sekaligus melihat-lihat binatang ternak yang akan dijualnya dibulan korban nanti.
Sebagai pengusaha kaya, beragam macam bentuk usaha dijalankannya seteliti mungkin, jarang
sekali melenceng dari perkiraan. Perputaran uang ditangannya sangatlah lancar.
Tiba diperbatasan kampung, Sutan hentikan laju kuda, bimbang melanjutkan perjalanan.
Hatinya gelisah. Berdebar tak beraturan jantungnya memompa darah. Kadang cepat-kadang juga
terlalu lambat. Lemah tak bertenaga bawaannya ketika itu. Perihal apakah yang terjadi? Kalau
diingat sebelum berangkat dari rumah, tak satupun perkara yang belum terselesaikan. Tak ada
masalah yang meresahkan. Ada apa gerangan yang membuatnya linglung begitu rupa? Tidak
enak hati. Pikirannya terus membayangkan putera dan isterinya.
Daripada bertanya-tanya, tidak baik pergi jauh dengan hati mendua, maka ia
memutuskan kembali pulang. Tidak ada gunanya memaksakan diri. Rencana melihat peternakan
dan membayar gaji pekerja ditunda sampai besok, masih banyak waktu. Lagipula, tidaklah
terlalu lama jika hanya menunggak membayar barang sehari. Tidak akan mengapa dan bukanlah
masalah besar. Anak buahnya itu tentu bisa menerima keterlambatannya jika ia jelaskan.
Tiba dirumah, kuda ditambatkan ditempat biasa. Segera dipanggil lagi isteri dan anak
tercinta, bak bujang baru pulang dari perantauan saja lakunya. Bingung dan heran puti asmini
melihat tingkah sang suami. Teramat aneh dan tak biasa. Suda berangkat-pulang lagi, pantangan
menurut orang tua-tua. Ditambah cuaca diluar sedang baik, langit tampak cerah tak berawan.
Tak ada alasan kembali pulang. Ia beranikan diri bertanya, apakah sutan sakit atau barangkali
kurang enak badan? Sutan menggeleng. "Aku baik-baik saja. Cuma tak ingin jauh-jauh darimu
saja hari ini", katanya memeluk erat puteranya. Diciumnya si kecil berlama-lama. Bercampur
aduk kepala Puti Asmini. Antara senang dan bingung.
Tapi, ketenangan mereka terusik seketika oleh suara gelak-tawa.

"Hahaha....sudah senang kau sekarang, Sutan! Pasti enak punya isteri cantik. Ya. Tentu
saja senang dengan kehidupan semewah ini. Akan tetapi, aku...! Aku menderita dibawah
bayang-bayangmu", tiga beranak itu kaget.
*
Kicauan murai meriuh rendah dipagi itu. Mereka beterbangan dipagar-pagar halaman bak
mengingatkan bahwa hari telah siang, matahari mulai menggarang. Teduh-tenang suasana
kampung, damai-tenteram rasanya hidup. Malintang bumi berjalan sambil bercakap-cakap
dengan Mali, si penolong yang kini menjadi anak angkatnya. Semenjak sembuh dari luka telapak
besi Mangkuto Sati, Mali selalu berada dirumah jagoan tua itu. Ia membantu segala keperluan
sutan rajo ameh dan keluarganya. Diabdikan dirinya sebagai penebus budi. Sekalipun, orang
dirumah itu tidak pernah menganggapnya pembantu, melainkan saudara. Lebih dekat dari
saudara kandung. Si Mali bak menemukan hidupnya yang telah lama hilang, yakni kebersamaan.
Kebersamaan yang tak sekalipun didapatkan seumur hidupnya.
"Kapan rencanamu menikah, Mali? Jangan tunggu tua dulu, baru kau pikirkan perkara
itu!", berkata Malintang bumi.
Sambil berjalan, Mali tersenyum dan menjawab,"Bujang miskin seperti saya ini mana
ada yang mau, Angku! Para gadis juga orangtuanya tidak akan mau melirik saya sebagai
menantu. Pekerjaan tidak ada, harta warisan apalagi? Serba sulit angku"
"Sempit betul pikiranmu! Kalau semua wanita bersuami kaya, aku;pun tidak akan punya
anak! Tidak akan pula punya cucu si Randai...! Mali....Mali... Dari banyak wanita, agak satu
pasti ada untukmu! Berusahalah mencari jodohmu"
"Saya cari kemana, Angku?"
"Ya, mana aku tahu! Itu urusanmu kemana hendak kau cari. Kalau aku yang pergi, aku
pula yang dapat isteri. Menangis mendiang isteriku dikuburannya nanti! Bujang, dunia seluas
ini, jangan sempitkan pikiranmu! Laki-laki minang itu luas pemikiran, cerdas bertindak",
selintas, malintang bumi teringat mendiang isterinya yang telah mendahuluinya dua tahun yang
lalu akibat sakit berkepanjangan, tidak mau sembuh. Kesedihan sedikit membayang diwajahnya
kala mengingat hari paling menyedihkan dihidupnya. Tapi, Mali segera membuyarkan lamunan.
"Iya angku! Sebenarnya sudah ada wanita yang ingin saya persunting itu"
"Benarkah perkataanmu, Mali? Kau tidak sedang bercanda, bukan? Siapa wanita yang
kau maksud? Biar angku lamarkan buatmu!", Malintang Bumi penuh semangat.
"Benar Angku. Wanita itu anaknya mendiang datuk kita, Sutan Bazar! Siti Jingga
namanya. Saya hargai niat baik angku hendak meminang itu. Akan tetapi, saya takut ditolak
angku!"
"Onde Mande... Tidak akan mati bila kau ditolak, Mali! Yang penting kita berusaha
dulu! Kalau kalian berjodoh, dilangit;pun dia akan turun mengejarmu!",Mali menganggukkan
kepala. Mereka terus bercakap panjang lebar tentang rencana yang baru dibuat itu. Si Mali jadi
berbunga, elok nian suasana jiwanya, tenteram dipagi yang cerah itu. Memikirkan diri akan

beristeri membuat angan berterbangan jauh keawan, merayap diatap singgasana asmara. Lama
berjalan, tak terasa mereka telah sampai dihalaman rumah.
Namun, ada yang aneh,

13. Tigabelas
*
"Masya Allah..!! Apa yang baru saja terjadi?", kaget keduanya. Malintang Bumi dan
Mali bergegas masuk kedalam. Nafas sesak. Tambah kaget mereka menyaksikan rumah berserta
isinya berantakan. Kursi-kursi patah, piring-piring pecah, tak karuan lagi rupa bangunan
kediamannya yang awalnya sangatlah indah itu. Mereka berlari lagi keluar. Disudut kiri dimana
tempat kuda biasanya ditambatkan, tergelimpang sesosok tubuh manusia. Aliran darah kental,
masih segar, mengalir bak anak sungai disekitarnya.
Berdebar jantung Malintang Bumi. Segera ia berlari menghampiri tubuh diam itu dengan
perasaan berkecamuk. Rasa mati berdiri si Kakek ketika melihat sosok berlumuran darah itu
adalah menantunya, Sutan Rajo Ameh! Bentuknya mengenaskan. Perut terbusai, ususnya keluar!
Dada koyak besar, disana membenam cukup dalam sebentuk telapak tangan manusia, luka itu
juga meremukkan tulang dada. Luka yang serupa dengan tanda di dada Mali.
"Telapak Besi!", Mali berucap sayup-sayup. Kemudian memapah tubuh Sutan Rajo
Ameh. "Aaa..nakku...!", lirih Sutan pelan. Ia masih hidup. Matanya terbuka sedikit, setengah
terpejam. Tarikan nafas putus-putus, ia kepayahan.
"Dimana anakmu, Sutan? Asmini?",
linglung."Dimana mereka?? Apa yang terjadi??"

tanya

Malintang

Bumi

kebingungan,

Sutan pegang dua tangan ayah mertuanya erat! Matanya meneteskan air kepiluan yang
teramat menyayat hati. "Mangkuto...Sati ...!", balasnya susah payah. Setelah itu diam. Ia diam
untuk selamanya. Roh Sutan Rajo Ameh telah berangkat dari tubuhnya setelah mengucapkan
kata terakhir, sebuah nama. Mati dengan keadaan tak wajar.
"Mangkuto Sati biadab!!!!!", teriak Mali histeris.
"Dosa besar apa yang diperbuat, hingga dibunuh begini rupa menantuku?", isak
Malintang Bumi geram."Perkara apakah mali? Katakanlah padaku mali! Dosa apa yang
diperbuatnya?"
Mali tertunduk menangis. Tak kuasa menahan air mata melihat orang baik yang
mengasihinya bagai keluarga, mati dibunuh oleh manusia laknat yang juga nyaris merenggut
nyawanya dimasalalu. "Aku akan menuntut balas, Angku! Akan kucari bajingan itu!"
"Ya!", jawab Malintang Bumi."Aku takkan tenang sebelum menemukan Asmini dan
Randai cucuku. Malang benar nasibmu, Sutan. Orang sebaik dirimu tidaklah pantas
diperlakukan sekeji ini.
Kita kuburkan jenazah menantuku. Setelah itu, aku akan mengadu nyawa dengan
Mangkuto Sati!! Tidak akan kubiarkan dia hidup lebih lama lagi"
Ratusan penduduk gempar. Padukuan tidak ubahnya bak ladang air mata, tetes demi tetes
berjatuhan dibumi ranah Minang dihari berduka itu. Hari itu, seorang pemimpin, pengayom serta
tauladan banyak orang kembali pergi jauh, dipanggil yang mahakuasa, hilang dari dunia.

Orangtua Sutan Rajo Ameh, Amak Siti dan Angku Hasanudin jatuh pingsan. Tak sanggup
menerima kenyataan puteranya dizalimi, disiksa demikian sadisnya. Ibu mana yang tahan
melihat perut anaknya berbusaian dibantai orang? Setegar apa pula seorang ayah yang sanggup
tak menangis ketika menemukan bujang kebanggaannya telah menutup mata, tertidur diam,
mendahuluinya? Tidak ada! Tidak ada didunia ini orangtua seperti itu.
Sutan Rajo Ameh dikebumikan hari itu juga. Disaksikan oleh seluruh penduduk.
Kebaikan-demi kebaikan yang mereka terima dari uluran tangan sang datuk baru teramatlah
banyak jika dihitung. Ketulusannya sangatlah luar biasa. Kebaikan itulah yang akan abadi
dikenang selamanya. Kebaikan itu juga yang akan menghantarkan do'a ditidur panjang sang
Datuk dipusara.
Malamnya, Malintang Bumi dan Mali menelisik seluruh perkampungan, mencari
keterangan dari orang-orang yang mungkin melihat Mangkuto Sati secara tidak sengaja.
Berdasarkan keterangan dari beberapa pemuda dari luar, didapatlah kesimpulan bahwa
Mangkuto Sati lari ke timur rimba belantara, mengendarai kuda dengan menggendong dua
orang. Perempuan pingsan yang tak lain Puti Asmini dan Bocah kecil, Randai anaknya.
Tak menngulur waktu, Bergegaslah Malintang Bumi berserta Mali menuju tempat
dugaan. Tak peduli betapa gelapnya malam, ditambah berbahayanya makluk buas belantara,
macan yang akan menerkam, ular yang akan melilit, beruang yang akan mengoyak. Tidak
gentar! Mereka terus berlari. Gurat keletihan bagai menjauh dari dua manusia sedang terbakar
amarah dendam kesumat itu, tak dirasakan. Namun, Mengejar buronan berkuda dengan berjalan
kaki memanglah agak menyulitkan. Sampai pagi menjelang, musuh yang dicari tak berhasil
ditemukan.
Malintang Bumi tertegun dan hentikan langkah! Sesuatu telah mengusik
pemandangannya. "Kenapa berhenti, Angku?", mali bertanya. Malintang bumi angkat sebelah
tangan mengisyaratkan untuk diam. Kedua matanya menatap tajam kedepan. Jantung berdebar,
hati berharap-harap penuh kecemasan. Dimajukan selangkah demi selangkah, tampaklah dibalik
semak-semak terbaring manusia, wanita muda. Tak ada kata yang patut disebutkan bagaimana
parahnya sosok terbaring dibalik semak, diatas tanah itu, miris. Tak karuan lagi bentuknya, baju
compang-camping, banyak yang terbuka. Mulut berdarah, bibirnya telah pucat. Dileher
menghitam bekas cekikan. "Asmini! Ya Allah, nak!", teriak Malintang Bumi menyerunduk.
Bergoncang seantero jagad ulah pekikan si jagoan. Pecah lagi tangisannya. Hancur lebur!
Runtuh kesabaran, makin menggunung kebencian. Puteri Bungsu amat disayang telah menyusul
suaminya, meninggal dunia setelah diperkosa. Diperkosa! Lalu, dicekik sampai mati. Mayatnya
ditinggal, dibuang begitu saja.
"Demi Tuhan, Asmini! Demi Tuhan aku bersumpah, Akan kubunuh Mangkuto Sati, akan
kucincang tubuhnya. Dia memperlakukanmu seperti sampah, Nak! Sampah...!!", berkata
malintang bumi.
"Lebih baik kita urus dulu jenazah Asmini, Angku! Setelah itu kita lanjutkan pengejaran.
Kemanapun manusia laknat itu pergi, selagi didunia akan bertemu juga", Mali menyarankan.
Malintang Bumi tidak menjawab, ia tengah larut dalam kesedihan. Tubuh puterinya
dipeluk erat, didekap seakan tiada mau dilepaskan.

"Bersabarlah Angku. Akan tiba saatnya hutang akan dibayar! Darah dibayar darah,
nyawa diganti nyawa", lanjut Si Mali.
Tengah hari itu Mali mendapat tugas menggali kuburan. Berbekal peralatan seadanya,
kayu-kayu, pekerjaan itu amatlah melelahkan. Namun, si pemuda tiada kenal rasa letih.
Sejenak;pun tak dihentikan pekerjaan sebelum selesai liang kubur itu. Sementara itu, Malintang
Bumi duduk terpaku disamping jenazah puterinya, Asmini. Sudah sejak tadi tangisannya tak
reda-reda. Sudah bengkak kedua mata si laki-laki tua, sangat terpukul melihat anaknya
meninggal demikian rupa, menderita diakhir hayatnya.
Selesai membuat liang kuburan, dikebumikanlah Puti Asmini seadanya, sebisa yang
mereka lakukan. Berkafankan kain sarung dipinggang Mali. Tak lupa dishalatkan terlebih
dahulu. Lalu, ditancapkan sebuah dahan pohon kecil diatasnya, pengganti nisan juga sebagai
tanda, jika kelak, suatu saat nanti mereka hendak berziarah ke kuburan itu.
Setelah membacakan do'a untuk almarhumah, agar tenang-tenteram roh-nya dialam baqa,
mali dan malintang bumi duduk bersila ditanah. "Menurut perkiraanku, Mangkuto Sati menuju
ke timur! Jejak kaki kuda itu bisa kita jadikan pemandu jalan", berkata Malintang Bumi.
Mali mengangguk,"Perkiraanku juga sama, angku. Bajingan itu pasti bersembunyi
disekitar hutan ini. Yang kutakutkan sekarang hanyalah Si Randai. Bagaimana nasibnya
sekarang? Jangan-jangan ia bernasib sama dengan kedua orangtuanya. Pilu benar hatiku
mengingat itu"
"Semoga Randai cucuku masih selamat. Besar kemungkinan ia masih ditawan Mangkuto
Sati. Bajingan laknat itu takkan gegabah!"
Mali menghela nafas,"Dari kecil, aku telah bergaul dengan Mangkuto Sati. Luar dalam
tabiatnya kuketahui dengan baik. Mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa tabiatnya
amatlah buruk, bejudi salah satunya. Termasuk caranya memperlakukan aku. Disuruh-suruh,
dihina, bahkan dipukuli bak binatang setiap hari. Orang kampung hanya tahu bahwa kami
bersahabat, kuagung-agungkan namanya sebagai sosok paling baik yang pernah kukenal, demi
sepaham para tetuah mengangkatnya menjadi Datuk, pengganti Sutan Bazar. Padahal tujuannya
itu hanyalah untuk kesenangan. Agar banyak dapat hibaan dari kemenakan. Kami berteman, ya!
Menurutku demikian. Kemana dia pergi, pasti ada aku disana. Bodohnya aku, sedekat apapun
,tidaklah pernah kusadari ketika itu ia tidak benar-benar menggapku saudara,,,, melainkan
budak. Memanggilnya_pun harus dengan sebutan Tuan, tidak boleh menyebut nama. Seolaholah aku ini hanyalah manusia hina.
Hari itu, kulihat Mangkuto Sati pulang dengan raut muka teramat masam, muram betul.
Sepanjang jalan kudengar ia mengomel, merutuk-rutuk seorang diri. Tak sedikit sumpah serapah
yang keluar dari mulutnya sedari ia tiba dihalaman. Gelagat kurang baik itu dapat kutafsirkan
sendiri. Aku mahfum akan suasana hatinya, sudah pasti berita buruk. Sebelumnya, ia
mengatakan padaku niatnya untuk meminang Puti Asmini pada Angku. Kepalaku dapat menerka
bahwa keinginannya itu tidaklah kesampaian. Makanya ia muram. Tabiat buruk Mangkuto Sati
memang begitu, tidak bisa menerima kenyataan. Melihat keadaannya, aku ingin menghiburnya.
Kusapa dia sesampainya didepanku. Kugoda dia dengan caraku agar keluar juga senyumnya,
sebagaimana biasanya aku menghiburnya. Akan tetapi, sangat menyakitkan balasan yang
kuterima, bukan penghargaan yang diberikan, aku malah dipukuli. Aku ditampar dan
ditendangnya keluar rumah. Aku marah, teramat marah! Sejak hari itulah kusadari, orang seperti

Mangkuto Sati tidak akan pernah menganggapku seperti manusia. Kecuali budak! Menurut
perkiraanku, penolakan Angku itulah penyebab dendam kesumatnya itu. Dia manusia yang tidak
pernah menerima penolakan".
"Aku bukan orang bodoh Mali! Sekalipun Puteriku belum dipinang waktu dia datang,
tetap saja pinangannya kutolak. Tidak sedikit pengaduan dari kampung sebelah padaku tentang
keburukan Mangkuto Sati. Kau pasti tahu kejadian memalukan yang dilakukannya ketika
menggoda isteri Jufri, kepala kampung Muara"
"Ya! Aku ingat kejadian itu. Dia sedang mabuk berat ketika isteri Jufri lewat. Lebih
parahnya, wanita itu disangkanya Asmini! Dikejar-kejarnya perempuan beranak dua itu sampai
kepintu rumah, memalukan! Aku yang memapahnya pulang sebelum penduduk datang
menghajarnya"
"Manusia kotor ...!", desah melintang bumi. Kemudian berdiri,"Sebaiknya kita lanjutkan
perjalanan! Sebelum matahari turun..!", ajaknya.
Dilanjutkanlah perburuan. Tinggallah pusara Asmini , perempuan lemah lembur nan baik
hati, semoga kau temukan kedamaian didunia kekalmu. Kelak, entah siapa yang akan mengingat
bahwa disana adalah tempat peristirahatan seorang wanita muda, isteri Datuk Padukuan, puteri
Jagoan Malintang bumi yang mati diperkosa. Tiupan angin barat berhembus sayuh.
Melambaikan kesedihan kepucuk-pucuk dedaunan dan pokok kayu belantara. Terdengar
gemerisik suaranya bagai bertangis-tangisan alam semesta. Dari kejauhan, menghampar rumahrumah penduduk padukuan. Sawah dan ladang menghijau.

14.Empat belas
*
Satu-dua bukit telah dilewati. Lembah-lembah mereka turuni. Pencarian tanpa ujung itu
belum menghasilkan apa-apa. Entah dimana Mangkuto Sati bersembunyi. Dimanakah cucu
Malintang bumi? Masih hidup ataukah sudah mati? Bertumpuk-tumpuk kegusaran dalam badan
kakek tua itu.
Hari sudah petang. Senja mulai membayang. Timur menghitam-barat memerah. Kelam
suram hutan rimba yang dijelajahi oleh Mali dan Malintang Bumi. Seruan binatang malam
sambut menyambut ditelinga. Ah, letih sudah! Pencarian yang melelahkan itu membuat mereka
lupa mengisi perut. Hilang kejap tenaga dibadan. Keringat dingin merembes deras dijidat
masing-masing. "Bagaimana sekarang, angku? Kita kehilangan jejak!", kata Mali memegangi
perut, keletihan.
"Entahlah, Mali! Aku juga tidak tahu lagi harus berjalan kemana! Hari sudah gelap.
Mataku tidak jelas lagi melihat jalan", jawab Malintang Bumi dengan keadaan yang tidak jauh
berbeda.
"Berhentilah dulu kita disini barang sebentar, Angku! Supaya tenang kepala, terang pula
berfikir! Daripada berputar-putar tak tentu arah, tenaga kita juga yang terkuras habis"
"Baiklah!", malintang Bumi menyetujui.

15. Limabelas
*
Cukup lama termenung dua laki-laki itu. Bingung berfikir, kemanakah akan mengurak
langkah? Petang menghilang-senja telah datang, namun maksud tak juga kesampaian. Nasib
yang tak ubahnya seperti si buta hendak berkaca, bingung!
Tapi sesaat setelahnya, Tidak jauh dibawah, mata Malintang Bumi menangkap samar
sebuah bangunan kecil, tersuruk didasar lembah, pondok! Pondok siapa disana? Adakah manusia
bernaung dikedalam seperti ini? Siapapun disana, ditempat itu, tak ada alasan untuk melewatkan
praduga. Ditepuknya pundak Mali, ia menoleh, "lihat kebawah, kelembah!"
Mali melakukan! Kejutnya bukan kepalang. Hatinya membersitkan kecurigaan. "Kita
kesana! Tapi harus diam-diam. Firasatku mengatakan, musuh sudah dekat, angku! Tidak ada
ladang orang disini"
"Pikirku juga sama Mali!", mereka kemdian menuruni lembah sebentuk cekungan dalam
itu diam-diam. Sangat hati-hati melangkahkan kaki agar kedatangan tidak di sadari oleh
siapapun, penghuni pondok itu.
Sampai dilembah, kecurigaan semakin menjadi-jadi bahwa Mangkuto Sati berada
disana,"ini kuda Sutan Rajo Ameh!", bisik Malintang Bumi. Amarahnya bagai meledak, meluapluap sulit sekali dikendalikan kala mengetahui, pondok didepannya adalah persembunyian
manusia lanknat keji yang membantai keluarganya.
Dari dalam rumah terdengar tangisan anak kecil memanggil-manggil ibunya. Lalu,
terdengar pula suara bentakan, "Diam kau bocah!!! Mau kupukul lagi, eh?!!"
Meledaknya amarah Malintang Bumi. Tak kuasa lagi menahan amukan dendam yang
tertahan dalam dirinya. Mali;pun sama, binar matanya telah menunjukkan akan kobaran api
kebencian tiada tara.
Malintang Bumi hentakkan kaki dan melayang diudara. Lalu, begitu dahsyat pintu
pondok kecil itu ditendang. "Praakkhh", kayu berhamburan. Papan hancur berkeping-keping!
Orang didalam pondok keluarkan seruan tertahan, mata membeliak. Namun, belum lagi tahu
siapa yang datang, tak diberi kesempatan, tendangan Malintang Bumi menghantam
dadanya,"buggh", laki-laki dalam pondok terpelannting, tubuhnya menghujam dinding, dinding
roboh. Berjumpalitan ia ditanah dasar lembah. "Akkhh",lenguhnya kesakitan. Bibir
mengeluarkan cairan kental asin, darah. Sesaat ia terbaring memegangi perut.
"Kakek!", panggil si kecil itu menangis dan menghambur kepelukan Malintang Bumi.
Tak salah dugaan si kakek. Ia memang Randai cucunya. Langsung dipeluk erat si bocah oleh
Malintang Bumi. Bagaimanapun deraan kesedihan menerpa, hatinya sedikit legah mendapati
cucunya masih hidup tanpa kurang satu apapun. "Tenanglah Randai! Kakek bersamamu"
Dibawah, Mali;pun sudah menunggu, menyambut jatuhan tubuh berjumpalitan, hendak
dihajar pula agar sama rata bagian yang didapat. Sekalian urat di otot tangan menyembul kasar
seperti untaian benang-benang hijau dalam kulit kasarnya. Tinju dikepal berisi bara api dendam.

Tak sabar lagi rasanya ingin segera memecahkan kepala makluk terkutuk didepan. Ia berjalan
mendekat guna memastikan siapa adanya sosok yang diserang Malintang Bumi. Benarlah,
manusia terbaring kesakitan itu memang mangkuto Sati adanya.
"Hahaha...Apa kabar Mali ,Sahabatku? Lama tidak bertemu...masih hidup kau
rupanya...hebat!", bergelak-tawa Mangkuto Sati ditengah rintihannnya.
"Sayang sekali, Ilmu Telapak Tangan kotormu tidak mempan padaku, Tuanku! Terlalu
lemah!", balas Mali tak kalah kecut.
"Takabur! Cuma keberuntungan yang menyelamatkanmu dari maut, Mali! Tapi hari ini,
kau kupastikan mampus, hehehe!"
"Kita lihat saja, Tuanku! Maut siapa yang lebih dulu datang! Kau atau aku"
"Hahaha...lagakmu, Mali! Kalau tak mengingat pertemanan kita dimasalalu, tak bisa
kubayangkan bentuk tubuh kurusmu terkapar disini, sekarang! Maka, demi kemurahan hatiku
ini, Pergilah sebelum aku berdiri!"
"Jauh-jauh datang mencarimu, susah payah turun-naik gunung, Manamungkin
kulewatkan kesempatan yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup ini dengan pergi begitu
saja?"
"Saat-saat apa yang kau maksud, Mali?"
"Memenggal kepalamu, Tuanku!"
"Lakukanlah jika kau mampu! Aku sudah berikan kesempatan buatmu melarikan diri.
Tapi, kau malah memilih mati! Kusegerakan kematianmu! Bersiaplah, Mali!". Mangkuto Sati
berdiri dan menyapu-nyapu debu dibaju dan celana, asal saja kelakuanya.
"Mundurlah Mali! Bajingan ini bagianku!", berseru pula Malintang Bumi menggendong
Cucunya Randai, mendekat.
Mangkuto nyengir, angkat tangan bak menyambut tamu, "Selamat datang dirumahku,
Angku! Maaf jika aku tak bisa memberikan sambutan, sebagaimana mestinya menyambut ayah
mertua yang tak jadi... Ha ha ha!
Apa kedatanganmu ingin menuntut balas? Aku memang sengaja membunuh menantumu
dan menggagahi puteri kebanggaanmu itu, Angku. Senang sekali melihat keduanya menebus
nyawa ditanganku ini. Puas bermain-main, kubuang jasadnya agar disantap binatang liar dihutan
sana. Dan kemudian, ini yang terpenting, menunggu kedatangan kalian mengantar nyawa!
Terutama kau Malintang Bumi!"
"Bedebah!", malintang bumi membentak. Kembang kempis kedua pipi. Gendongan
cucunya, Randai diserahkan pada Mali. Kemudian maju selangkah kedepan. "Sudah saatnya
hutang kau tebus, Aku ingin mengadu nyawa denganmu!"
Seiring ucapannya berakhir, golok dicabut, dan mulailah ia Malintang Bumi menyerang.
Si kakek meliuk memutar diri mengincar perut lawan. Dahsyat... !!

"Celaka! Aku harus berhati-hati", bathin Mangkuto. Sebagaimana diketahui, jurus-jurus


silat Malintang bumi bukanlah jurus silat biasa, tak mudah dibaca lawan. Selama ini, belum
seorang;pun tokoh silat mengatahui letak kelemahannya. Sigap sekali, Mangkuto kelitkan badan
kesamping seraya bersiap menyambut serangan dengan dua tangannya yang telah berubah hitam
legam, logam hangus. Itulah pukulan andalannya, Jurus maut, Pukulan telapak besi. "Trangg!",
percikan bunga api merebak kala tangannya bersentuhan dengan golok Malintang Bumi.
Benturan itu tampak tak berpengaruh banyak pada diri Mangkuto jika dilihat dengan
mata biasa, tapi sebenarnya, dadanya mendenyut sakit. Sekalian ototnya bagai digenjot ribuan
jarum, perih.

16. Enambelas
*
Malintang bumi, kerahkan seluruh tenaga dalam ketangan kanan, melihat serangan
pertamanya yang berhasil membungkam mulut lawan, ia semakin bernafsu. Kembali memburu
dengan jurus andalannya. "Matilah...!", seruan seiring suara angin menderu kencang, daun-daun
merebak berterbangan.
Mangkuto Sati tak mau berlaku ayal. Memang, ilmunya belumlah bisa disejajarkan
dengan Malintang Bumi, tetapi, pukulan telapak besinya sudah cukup untuk membentengi diri.
Ia terus bertahan. Belum sekalipun berusaha membalas. Sepertinya, ada rencana terselubung
dalam kepala manusia laknat ini. Ia sengaja menguras tenaga Malintang Bumi, licik!
Bertubi-tubi hantaman, pukulan, serta terjangan mematikan, dilancarkan si jagoan tua,
tak satupun mengenai musuh. Lawan licin bagai belut. Sementara gerakannya semakin lamban,
tak segesit diawal serangan. Ia mulai lengah!
Kesempatan itu digunakan betul oleh mangkuto sati. Terenyum terkekeh, rencananya
berjalan mulus, "Bodoh..!! Mampuslah kau sekarang!", serunya menghantamkan telapak Besi
kejantung lawan,"Paakk", malintang Bumi terjungkal kebelakang, tertidur ditanah. Telapak besi
telah bersarang didadanya. "Angku!", teriak Mali mendekat. Diguncang-guncangnya tubuh tua
itu. Tak bergerak!
"Sekarang giliranku melawanmu, bangsat!", memberi isyarat si Mali. Randai merengekrengek pada kakeknya yang diam.
Menyemburlah gelak tawa Mangkuto Sati, bercakak pinggang, "ha ha ha... Kukira akan
sangat sulit mengalahkanmu, angku! Rupanya semudah meludahi tanah! Belum apa-apa, kau
sudah keok...dasar monyet tua, kehebatanmu hanyalah omong kosong!
Baiklah mali, aku memang harus bersikap adil! Kalian dapat bagian sama banyak, yaitu
sama-sama mati!"
"Ha ha ha ha....",Menggelegar pula tawa Malintang Bumi tiba-tiba. Tak disangka si
kekek masih hidup. Bahkan telah berdiri lagi didepan lawan. "Kaauu... ", cengang Mangkuto
Sati."Bagaimana bisa...???"
"Licik, kejam, tapi bodoh! Itulah kau Mangkuto... Kau kira ilmu kacanganmu itu bakal
mempan melawanku? Masih terlalu dangkal pikiranmu", balasnya sinis.
"Apa...apa maksudmu Malintang Bumi!"
"Bocah ingusan... Dengar baik-baik...ototku kawat, tulangku besi! Logam apa yang kau
pakai ditanganmu, eh? Seribu paduan besi;pun kau gunakan , tidak akan mempan dikulitku!"
Bukan main pucatnya Mangkuto, baru sadar bahwa Malintang Bumi kebal senjata. Kini
hanya bisa dirutuki diri sendiri, alangkah bodohnya ia tak menyadari dan melupakan hal yang

sudah diketahui oleh banyak orang. Itu semua dikarenakan ulah merasa dirinyalah yang paling
hebat, tiada tandingan! Gertakan Malintang Bumi telah meruntuhkan nyalinya beberapa saat.
Namun, hanya sesaat ia ketakutan. Sesudahnya, culas otaknya bekerja lagi. "Jangan
pongah dulu kau Malintang! Aku belum mati...! Ayo... Balaskanlah dendammu jika kau
sanggup! Coba kau bayangkan wajahku ketika menggagahi puteri cantik molekmu itu dihutan
sana.. Ia meronta-ronta, memekik memanggil..Ayah...ayah...tolong aku.. Luar biasa sekali
kurasakan ketika itu...nikmat..he he he!"
Menitik air mata panas kepipi, menggigil seluruh badan. Muka memerah, semerah bara.
Malintang Bumi murka, "Kau benar-benar membuatku marah...", pekiknya keras menyonsong
langit. Tiba-tiba, badai mengamuk dilembah itu. Bumi berguncang-guncang.

17.Tujuhbelas
*
Malintang Bumi terus keluarkan suara melengking menghebohkan seisi alam. Mali dan
Randai serentak menutup telinga, rebahkan diri ditanah. Mangkuto lontarkan senyum bengis
kecut menunggu apa yang akan terjadi setelah ini.
Asap putih menggulung tubuh Malintang Bumi, makin lama makin tebal sampai tak
terlihat lagi sosok si kakek, bagai ditelan alam ghaib.
Dibalik kepulan asap, menjelmalah Seekor naga merah, bertanduk Rusa, bersisik emas
dan berukuran sangatlah panjang! Empat kaki menyanggah tubuh besar itu. Lidah bercabang
menjulur-julur keluar. Kalau dilihat, Belumlah ada makluk yang lebih mengerikan dibanding
beringasnya rupa binatang ini, menyeramkan! Ia menggulung diri tepat dimana Malintang Bumi
Menghilang, tak jauh dari Mangkuto Sati. Dari mana datangnya makluk itu? Kemana Malintang
Bumi? Entahlah..
Bukan olah_olah kejutnya si manusia tengik, loyo tubuhya menyaksikan yang tak
disangka-sangkanya itu. Keluar keringat dingin, basah luar dalam dibuatnya. "Astaga...astaga...
Apa ini?", katanya hendak lari. Bulu kuduk merinding bagai ribuan semut merayapi tubuhnya.
Belum sempat dilakukan, selangkahpun belum, bak kilat menyambar, naga merayap
menyusur tanah, lalu menggulung, dan melilit tubuhnya kuat-kuat. Tercekik! Tak diberi ruang
sedikitpun baginya bergerak. Tanpa ampun! Dilumatnya sampai gemeretakan hancur lebur tanpa
tulang Mangkuto Sati. Mendehek-dehek bunyinya kehabisan nafas, menjulur-julur lidahnya
karna kesakitan. Lalu dilepaskan lilitan oleh si naga, Mangkuto tekulai, teronggok ditanah.
Naga itu memandangi tubuh terkulai Mangkuto yang tak lagi jauh berbeda bentuknya
dari seonggok kotoran sapi. Beginikah akhir penjahat keji yang dibutakan dendam cinta tak
bersambut? Hati hitam tak terdidik menerima penolakan memang seringkali berakibat buruk
dikemudian hari. Tak selalu keinginan bisa dicapai, adakalanya kenyataan berbeda jauh dengan
harapan. Jiwa besar dan terasah untuk selalu kuatlah yang dapat bertahan dari kejamnya dunia.
Kejam, dunia ini bisa menjadi yang paling kejam bagi orang-orang yang mudah berputus asah.
Naga mendengus beberapa kali. Matanya berkedip-kedip memandang dua sosok manusia
lain ditempat itu. Mali dan si kecil Randai tak kalah mengigilnya, tiarap ditanah. Ditambah lagi,
binatang itu kini merayap mendekati mereka. Naik turun perut Si mali! Sekalipun begitu, Randai
dibekapnya, agar terlindung. Setengah mati ketakutan, ia memejamkan kedua mata, menerima
takdir jika harus jadi santapan ular aneh itu.
"Mali..!", "Ahhh....aaaahhh....", mali histeris, menghambur kala merasakan tangannya
didengus oleh hidung binatang bertanduk itu, ngeri! Randai tetap tak dilepaskan dari
pelukannya. "Paman, aku takut!", rengek Randai. "Jangan takut, Randai! Paman pasti
menyelamatkanmu!"
"Ini aku Mali...!", mali menolok kekepala naga yang tegak menjulang. Sesaat kemudian
teringat akan suara itu.

"Sssiapa bicara?", katanya panik.


"Aku!",balasnya lagi, tapi wujud tak juga nampak. "Aku, naga didepanmu, bujang!"
"Kau ... Bisa bicara?"
"Anak durhaka! Aku Malintang Bumi!"
"Apa...???? Aku belum gila, jangan main-main angku! Lekaslah keluar, cepat singkirkan
ular ini. Atau, cucumu ditelannya,!"
"Inilah wujudku, Mali! Aku abadi dengan tubuh binatang seperti ini. Aku telah
mempertaruhkan jiwaku demi membunuh manusia laknat itu, menggunakan ajian temurun
keluargaku yang terlarang. Kini musuh sudah mati dan akupun tak bisa lagi kembali kewujudku
semula"
"Apa maksud Angku? Kenapa jadi begini angku?
"Jagalah cucuku, mali! Rawatlah dia seperti anakmu sendiri! Biarkan ia tumbuh menjadi
pemuda tangkas berilmu tinggi, ajari dia kebaikan. Dekatkan dia padaku sebentar!", pinta si
naga.
Mali menuruti. Randai dipangkuan dibawanya mendekat, sangatlah dekat ketika naga
mensejajarkan kepalanya. Sampai menutup mata Si mali, tak tahan bertatap muka. "Randai,
cucuku! Buka mulutmu!", Randai kecil menekur. Patuh, ia menuruti perintah meski takut. Naga
jelmaan Malintang Bumi buka pula. Mau kencing dicelana Mali menatap taring dan gigi-gigi
tajam berjejer dimulutnya. Seberkas sinar putih keluar dari kerongkongan dan langsung
mencelat masuk kekerongkongan Randai. Ditelannnya benda aneh itu tanpa sengaja.
Mali menyaksikan kejadian jadi sedikit kurang senang. Muncul firasat tak mengenakkan
dalam benaknya kala benda putih itu masuk kemulut Randai, "Angku?", kata Mali heran.
Naga kembali tegakkan kepala,"Kelak, jika saatnya tiba, cucuku akan datang
menyelamatkan aku dari kesengsaraan ini, mali. Benda putih itu adalah mustika Naga Emas
yang memiliki kekuatan amat tinggi. Benda itu, juga berfungsi menghubungkan bathinku dengan
bathin cucuku kemanapun kau membawanya. Jika dia kesulitan, naga emas akan muncul dengan
sendirinya, sebab mustika inti ada padanya! Ia kini separoh naga!"
Benar dugaannya. Benda bersinar itu sebentuk benda tidak baik yang diberikan
Malintang Bumi. Sedikit marah dia berkata, "Kenapa angku rubah Randai jadi siluman?!!
Biarkan dia tumbuh sebagaimana mestinya manusia biasa! Kenapa harus angku siksa pula dia
dengan derita yang sedang angku tanggung?", mali tak setuju
Naga tetap bertenang diri menjawab, tak ada tanda-tanda bahwa ia telah melakukan
kesalahan, "Mali, Anakku! Jangan kau salah paham! Bagaimanapun aku menolak, mustika itu
lambat laun akan mencari turunannya sendiri setelah aku mati. Dari pada ia kesulitan diwaktu
dewasa, lebih baik dibiasakannya hidup seperti ini. Percayalah, takkan terjadi apa-apa sampai ia
besar nanti!".
"Bagaimana dengan setengah ular seperti yang aku katakan tadi?"

"Jika Randai berubah menjadi Ular, maka wujudku akan kembali seperti semula. Tubuh
naga ini seibarat penaungan yang terus berpindah tempat. Akan tetapi, selama dia tidak
memanggil naga emas, aku akan tetap hidup mali!"
"Sekalipun seratus tahun lagi?" "Ya!"
Tiba-tiba, dibelakang naga terjadi lagi sesuatu. Sesuatu yang sangat mengejutkan dan
membuat kuduk merinding. Belumkah bencana berakhir? Bak runtuh timpa bertimpa, habis
masalah satu-datang dua lainnya! Itulah yang sepertinya terjadi! Sebab, Disana, Mangkuto Sati
yang tadi telah mati, telah lumat belulangnya, telah putus nyawanya, kini tengah berdiri
bercakak pinggang, kepala menengadah. Dari bentuknya, tidak ada tanda-tanda goresan luka
atau tulang patah sama sekali. Apa yang terjadi?

18.Delapanbelas
*
Mali kaget! Mau keluar biji matanya, tak sedikitpun percaya. Benarkah yang dilihat ini?
Nyatakah ini? Naga jelmaan Malintang Bumi keluarkan dengusan seraya belokkan kepala,
menantang kedepan. Dalam hati membesit kebingungan. Sejak hidung mengalir nafas, belumlah
pernah ia melihat manusia mati-hidup kembali. Apakah gerangan terjadi? Sudah gilakah dunia
ini? "Kau.."
Mangkuto Sati berjingkrak kegirangan. Bertepuk-tepuk tangan. Tawa menggelegar bak
beduq subuh dibunyikan,"Kalian heran? Ha ha ha !! Tidak perlu heran manusia dan jejadian
bodoh....!",kata Mangkuto Sati.
"Ilmu setan apa yang anut Mangkuto?", Si Mali menatap heran.
Menepuk dada,"Ilmu tak bisa mati! Kau tahu itu...he he he!! Jadi ,silahkan remuk lagi
tubuhku sesuka hatimu, jejadian! Aku mulai menikmatinya"
Naga malintang Bumi menoleh pada cucunya. Ditatap wajah mungil itu lama, matanya,
hidungnya, pipi lembutnya, pandangan nanar menyirat penuh iba. Tatapan itu melukiskan
kecemasan, mewakilkan satu kata, yaitu maaf! Maaf,"Mali",kata si Naga jelmaan."Selamatkan
Randai! Bawa dia pulang kepadukuan! Cepat!"
"Tapi, angku!", "Jangan membantahku, Mali! Aku ayah angkatmu! Hormatilah
perintahku sekali ini saja! Tetaplah jaga dia sekalipun nyawamu tantangannya. Pergilah..!!"
Mali tak pikir panjang lagi. Randai digendong dan kemudian lari menjauhi lembah.
Berbekal kuda Sutan Rajo Ameh yang dicuri Mangkuto Sati, Mali menghilang dalam rimbun
hutan menuju jalan pulang kepadukuan.
Batangan sinar sore menembus cela-cela gelap pegunungan. Melambai-lambai pelepah
pohon kelapa, berdecik-decik bunyi rumpun bambu berdempetan. Nyanyian yang teramat sedih
bila didengarkan dengan seksama. Kapan kesulitan hidup akan berhenti menaungi orang-orang
itu?
"Majulah, jejadian Malintang Bumi! Kau penasaran ingin membunuhku, bukan?",
tantang Mangkuto Sati.
"Tambun! Kau menganut ilmu sesat Tambun! Bersekutu dengan setan!"
"Apapun itu, bukanlah urusanmu dengan siapa aku bersekutu! Sekarang, aku juga ingin
mengadu nyawa denganmu Naga sialan!"
Ekor naga menyanbet, melecut tubuh Mangkuto, ia terpental kemudian membentur
pohon besar. Bukan kepalang, badannya remuk, kepala pecah. Namun, ia hidup lagi! Tertawatawa, kembali serahkan diri agar lagi dihajar sampai mati. Naga tak mau menyerah, kali ini lebih
ganas, Mangkuto dikunyah dan ditelannya hidup-hidup. Lalu dimuntahkan sebentuk kotoran!

Seperti sebelumnya, sesaat kemudian ia hidup lagi. Begitu terus menerus yang terjadi.
Pertarungan yang tak habis-habisnya.
Habis akal Malintang Bumi, kewalahan. Bagaimana lagi caranya memusnahkan musuh
berhati iblis didepannya? Sedangkan Mangkuto Sati tidak juga mengalami luka apa-apa.
Digulung, dikunyah, dihempas, dicabik hingga berbuasaian isi perutnya, namun ia tak juga mati.
Si naga putus asah.
Situasi itu dimanfaatkan oleh Mangkuto sati. Tiada guna lagi mengulur-ngulur waktu
denga bermain. Sudah cukup mencandai kakek tua berbadan naga ini. "Terimalah nasibmu!",
katanya.
Dua telapak tangan kembali menghitam. Sudut mata memerah. Pukulan telapak besi
dipersiapkan. Kali ini tiap serangan naga dielakkan dengan mudah, ia tahu si Naga telah
melemah. Mangkuto tak buang kesempatan, ia bergulingan ditanah, tangan membentuk cakaran.
Kemudian merayap keperut binatang jejadian. Dikeluarkan seruan,"Mampus!".
Pekik kesakitan mencuat diudara, lenguh yang bila didengar akan terasakan pula
deritanya, sakit. Naga jelmaan Malintang Bumi tersungkur. Dirasakan panas teramat sangat
dibadannya, seperti terpanggang. Sakitnya menjalar sampai ke kepala. Dua kaki depannya telah
putus, dicabut oleh mangkuto Sati! Darahnya memerahkan tanah. Sebercak air mata meleleh
disudut matanya.
Tak sampai disitu, mangkuto sati belum hentikan siksaan. Tanpa rasa iba, kaki belakang
dihentakkan pula sampai terpisah dari badan. "Mati kau! Ingat...! Coba kau ingat lagi
penolakanmu itu bangsat! Ingat...!",katanya kalap."Gara-gara kau juga ayahku mati! Akibat
penolakanmu itulah keluargaku dicaci orang sekampung! Matilah...matilah...matilah kauuu!!!!!",
katanya menginjak-injak tubuh naga yang tak lagi bergerak. Matanya terbuka, tapi ia diam saja
diperlakukan demikian hina, tak berperasaan.
"Aku mendengar semua penjelasanmu pada si Mali! Cucumula dewa penyelamatmu
nanti, bukan?! Hebat betul kau Malintang Bumi, kita sama-sama tak bisa mati sekarang! Tapi,
ingat! Dia kupastikan takkan pernah memanggil wujud naga emas yang menaungimi! Hiduplah
menderita sampai kiamat... Ha ha ha!"
"Kau boleh perlakukan aku sesuka hati, Mangkuto! Tapi, tapi aku memohon padamu,
cukupkan dendammu sampai disini! Jangan bunuh pula cucuku! Dia tidak bersalah!"
"Masa bodoh dengan celotehmu, Naga busuk! Kenapa? Kau menyerah? Kau takut
padaku sekarang? Alamak, apa kata penduduk padukuan yang elok-elok perangai itu nanti jika
tahu tuan penolongnya telah tunduk mintak ampun dikakiku? Macam mana pula rupa mereka
nanti melihat jagoan Malintang Bumi adalah seekor jejadian buruk rupa seperti ini? Malang
nasibmu..."
"Aku mohon....", Si Naga beringsut-ingsut menjalar sekuat tenaga mendekati kaki
Mangkuto Sati. Hendak diciumnya kaki si bangsat tak berhati itu. Telah dilakukannya perbuatan
paling hina demi keselamata cucu tercinta. Telah diupayakan segenap tenaga sampai sengsara
badan menanggung sakit karna disiksa. Semua karena Randai. Demi sibuah hati yang yatim
piatu tanpa keluarga.

Mangkuto Sati makin girang. Dibiarkan naga Malintang Bumi menjilat-jilat punggung
kakinya. "Terus...ayo teruskan!",katanya terkekeh-kekeh. Senang betul hatinya menyiksa
orangtua yang dulu memberi malu pada hidupnya. Yang menolak niat baik, pinangannya.
Bayang-bayang kemenangan menganga dimulut lebat mangkuto sati. Sekarang, dialah Raja!
Puas menyiksa, ditinggalkan Naga besar tak berdaya itu tergelimpang dalam lembah
tersuruk sunyi, kediamannya dahulu. "Kita berganti tempat! Kau yang membuatku tinggal disini,
sekarang kaulah yang layak menghuni tempat terpencil ini selamanya", katanya sebelum pergi.
Belum jauh langkah Mangkuto, sayup masih didengarnya rintihan memohon sang Naga,
"Jangan bunuh Cucuku...Tuan!"
***

19.Sembilanbelas
*
Randai menitikkan air mata. Bak kucuran hujan lebat-derasnya. Dipandang kakek rentah
didepannya itu, disesalinya luapan kata-kata kasar yang tadi ia lontarkan kepada orang tua yang
telah mengorbankan apa saja demi dirinya dimasalalu, demi keselamatannya. Kepala menunduk
samping tubuh kaku sabai, isterinya.
Si Kakek yang bernama Datuk Malintang Bumi hembuskan nafas berat, angin siang
menerpa, kakek itu mengigil. Kepala menengadah kelangit tinggi, "Semenjak hari itu, aku
terkurung dalam lembah maut yang dikemudian hari dinamai orang sebagai lembah Darah.
Berbulan-bulan hidupku menderita tanpa bisa berjalan, naga tak berkaki, tidak terbiasa melata.
Sulit sekali aku mencari makan. Bahkan, suatu hari, dengan sangat menyesal, aku menelan
seorang pemburu yang melewati tempat itu, untukku bertahan dari siksaan kelaparan dengan
tubuh yang tak bisa mati"
"Bagaimana kehidupanku setelah itu, kek? Sebelum aku dipungut Nan Kuto Basi, ayah
angkatku, aku hanya ingat diriku terlunta-lunta jadi gelandangan, tanpa tempat tinggal! Mencari
makan ditempat sampah, diabaikan semua orang kampung!"
"Tidak ada yang tahu kejadian itu selain pamanmu, Anak angkatku, Si Mali! Dia yang
membawamu lari dari lembah Darah kepadukuan. Entah apa yang terjadi setelah dia
sampai!",katanya mengenang! Lalu melanjutkan,"Namun cucuku, ingatlah satu hal ini, musuh
utamamu yang sebenarnya berada didekatmu, yang mengasuhmu sejak kau kecil! TUANKU
NAN KUTO BASI, Ayah angkat yang kau hormati itu. Dialah Mangkuto Sati, pembunuh ayah
dan ibu kandungmu, Nak!"
"Tar...Tarr..Tarrr!!!!!". Bak meledak seantero jagad, gempa besar bukit Gundam dimata
Randai ketika itu. Luluh lantak bumi dipijaknya, bergemuruh kasar awan gemawan dijunjungnya
mendengar kata yang diucapkan Si Kakek Malintang Bumi. Diam! Diam! Dan diam! Hanya itu
yang dilakukan. Mulut keluarkan erangan, menyaracau tak tentu kata.
Hilang! Hilang kelam dunianya. Menyesak-nyesak dadanya. Apa lagi Tuhan? Apa lagi
Tuhan? Apa yang terjadi padaku? Dimana kebenaran itu? Kemana ku cari kenyataan tentang
hidupku? Siapa aku sebenarnya? Siaapaaaaa??? Bathin mau menjerit sekuat hati, tapi bibir tak
bisa bersuara. "Kau seperti seekor anak burung dalam sangkar, tiap hari diberi makan, dan kau
membalasnya dengan kicauan. Tanpa sekalipun bertanya dan ingin tahu, siapa yang menjual
indukmu!!!!".Terngiang-ngiang ditelinganya ucapan Rajo batuah sebelum dia mati dililit Naga
jelmaannya. Itukah maksud dari Rajo Batuah? Apakah musuhnya itu mencoba memberi tahunya
kebenaran? Makin kalut Si Randai.
Menyeracau ia seorang diri, menyadari sesuatu,"Aku menuduh Rajo Batuah ikut terlibat
membunuh orangtua-ku! Mustahil..! Dia lebih muda dua tahun dariku! Apakah maksudnya
ketika itu adalah ayahnya?"
"Benarkah yang kakek katakan itu? Sungguhkah, paman Nan Kuto Basi yang telah
membunuh ayah-ibuku?", lanjutnya pada Si Kakek, harapan yang mungkin mustahil untuk
ditepis Malintang Bumi.

"Ya! Itulah kenyataannya, anakku!", kata Malintang Bumi."Tujuannya membesarkanmu


hanyalah untuk menghindarimu memanggil Naga Emas. Sebab, jika itu terjadi, aku akan bebas
dari kungkungan tubuh Naga tak berkaki. Maka, Musnahlah penderitaan yang kutanggungkan
tanpa kematian sampai kiamat datang!
Dua hari yang lalu, aku menghadangnya diperbatasan kampung. Kami bertarung cukup
lama. Maksudku, hanyalah mengulur-ngulur waktu. Sebab, Aku tahu ia akan datang kemari
menemuimu sebelum kau merubah wujud menjadi Naga"
"Jadi? Seseorang yang dimaksud: sedang diburunya itu ......?"
"Akulah yang diburunya!"
"Berat benar tanggunganku ,Kek! Ibarat lari keluar dari lubang neraka, mencari selamat
ketempat yang jauh. Dan, kemudian aku berdiam ditempat lain yang kusangka aman. Tanpa
kusadari sedikitpun, aku masih-lah berada dilubang yang kutakuti! Apa artinya hidup sepelik
ini?"
"Jangan sesali! Tak pantas kau sesali cucuku! Kau bertahan sampai hari ini adalah karena
takdir! Takdir yang digariskan Allah akan menuntunmu mendapatkan keadilan ayah-bundamu.
Hutang yang belum lunas, harus kau tagih dikemudian hari!"

20.Duapuluh
*
Randai tertunduk lesu. Bingung memikirkan tindakan apa yang akan diambilnya. Api
kebencian mulai meraba-raba, merayapi rasa hormatnya pada Nan Kuto Basi yang tak lain
adalah Mangkuto Sati, Pembunuh keluarganya!! Orang yang justru telah membuat
penderitaannya berawal. Alangkah kejamnya manusia itu! Kasih sayangnya hanyalah bayangan!
Kebaikannya tidaklah nyata. Dia sengaja mengasuhnya, yang tak lain maksudnya: dia adalah
tawanan. Tawanan agar tak bisa membebaskan kakek-nya sendiri dari penderitaan, agar
rahasianya tenggelam sampai ia mati. Agar dosanya terlupakan oleh masa yang berganti. Agar
kejahatannya dimasalalu tak diungkit lagi dihari tua-nya. Akankah? Tidak! Rahasia telah
terbongkar, topeng telah terbuka! Kini tela diketahui, siapa musuh sebenarnya.
"Aku tidak akan tinggal diam! Tak akan kubiarkan Nan kuto Basi hidup tenang
sementara arwah ayah dan ibuku penasaran menunggu kematiannya. Dosanya setinggi gunung,
tak dapat kuterima, apalagi memaafkan! Akan kubunuh bajingan itu!!!"
"Tapi", kata Randai lagi."Bagaimana dengan Isteriku ,kek? Haruskah kukuburkan?
Jelaskanlah padaku perkara hidupnya yang kau bilang dia belumlah meninggal!"
"Isterimu ...",kata Datuk."Dia berasal dari alam rimba belantara yang kadang terlihat,
kadang tidak! Tanah yang disebut orang, Tanah Bunian!"
"Tanah Bunian?", kata randai tercekik."Isteriku...orang bunian? Itu maksud kakek?"
"Kurang lebih begitu",kata datuk lagi."Kenapa aku mengatakannya belum meninggal? Di
alamnya, dia masih bisa diselamatkan!"
"Benarkah, kek?", desah Randai penuh harap."Bagaimana caraku menyelamatkan
isteriku, kek? Tunjukkanlah! Aku ingin menyelamatkan isteriku! Dialah orang yang setia
mengangkat segala bebanku selama ini!"
"Tidak akan mudah, cucuku! Kita harus mencari tahu, dengan apa dia menyeberang ke
dunia fana ini? Dia manusia ghaib! Kalau benda penyeberangannya itu masih ada, jalan kita
akan lebih mudah"
"Benda seperti apa? Aku sama sekali tidak tahu yang kakek maksudkan!"
"Cobalah kau ingat-ingat! Benda itu pasti ada disekitar isterimu, tapi ia tak
mempedulikannya. Dan kau sendiri tidak pernah tahu untuk apa gunanya benda itu!"
"Aku bingung!", Randai putus asah! Dipandangnya selingkungan bukit yang dulu
amatlah elok dimata, sangatlah tenang. Diatas rerumputan dan padang ilalang itu dia biasa
bersenda gurau dengan isterinya dipetang hari, pulang mengurus ladang. Mereka berlarian
mengelilingi bukit Gundam dengan suka cita. Dipandang pula bekas pondok yang telah raib,
disitulah puteranya dilahirkan. Mak ina tersenyum girang menimang-nimang bayinya, "Kau
tampan seperti ayahmu, nak!", kata beliau ketika itu.

Kini pondok hanya tinggal kenangan. Semua hancur lebur bersama bencana yang dibawa
Rajo batuah. Yang ada kini hanyalah keporak-porandaan dan dua batu besar yang telah bergeser
cukup jauh itu. Hanya guci diatas batu itulah satu-satunya peninggalan isterinya, saksi
kebahagiaan mereka.
"Guci itu...!", seru Randai. Ia berdiri menuju dua batu besar pelindung pondoknya.
Diambilnya kedua Guci berlumut tak terurus diatasnya. Dihadapkan pada Datuk, kakeknya.
"Mungkinkah bendah ini yang kakek maksud? Dengan inikah dia datang kedunia kita? Hanya
ini benda yang tak pernah dibawanya kemanapun kami pindah! Dan aku tak pernah tahu, benda
ini berguna untuk apa!"
"Bisa jadi! Tapi...",kakeknya diam sebentar"Ada dua guci? Isterimu tidak sendirian
ketika datang ketempat kita ,Randai!"
"Tidak sendirian....Ada temannya,? Begitu?"
"Benar! Tapi, Perkara itu kita biarkan belakangan!", katanya meletakkan dua guci
bersebelahan. "Angkat tubuh isterimu dan baringkan dia diatas kedua guci. Salah satu guci akan
mengambil pemiliknya"
"Apakah yang akan terjadi kek!?"
"Kau harus siap dengan kenyataan! Sekalipun isterimu bisa sampai kedunianya, dia akan
sulit kembali menemuimu! Berharaplah dia menemukan jalan!"
"K...ami akan terpisah, kek?",Randai tertegun!"Aku .... Aku tak bisa bertemu isteriku
lagi? Tidak ...tidak...!"
"Pilihanmu hanya dua , Randai! Membiarkannya mati ditempat ini, atau melepaskannya
hidup didunia asalnya! Tabahkan hatimu, Cobalah menerima kenyataan... !"
"Tapi...kek....!!" "Cepatlah buat keputusan!"
Berat! Sangat berat hati. Ketika dua pilihan harus dihadapi, dimana keduanya tak
sedikitpun memberikan senyuman, amat sulit! Sama-sama terpisah. Maka, Randaipun memilih
melepaskan Isteri tercinta raib ke alamnya berasal, tanah bunian yang entah dimana.
Baru saja tubuh dibaringkan, seperti ada kekuatan ghaib keluar dari guci perak berlumut,
Sabai melayang beberapa jengkal diatasnya. Semakin lama-semakin berubah tubuh kasar
perempuan yang menurut keterangan Datuk Malintang Bumi berasal dari Tanah Bunian ini.
Sosok Sabai menyamar perlahan menjadi bayang-bayang! Kemudian, guci kanan seakan
menyedot bayangan itu masuk kedalam. Hilanglah sabai dari pandangan. Hilanglah
kebahagiaan, hilanglah senyuman. Hilang pula ibu dari anaknya!
Randai menangis. Tangisan untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa kali air mata itu
tumpah kepipinya. Seakan tiada hari tanpa air mata. Dimana isterinya, dimana Sabai yang
dicintainya?, "Isteriku...", panggilnya.
Belum habis pikir Randai melihat kenyataan yang teramat aneh itu, isterinya lenyap
tanpa bekas. Kini, Guci perak bermotif bunga teratai yang baru saja menelan bayangan sabai

bergerak-gerak. Seperti hidup, wadah logam itu seperti meronta-ronta. Selayang pandang, benda
itu terbang, membubung kelangit. Semakin dilihat, semakin hilang. Guci perak itu;pun kemudian
lenyap seketika.
Kakek Malintang Bumi pegang bahu Randai,"Dia telah pergi! Semua cerita dari alam ini,
termasuk Luka dipunggungnya akan hilang setibanya di Tanah Bunian, negeri tersembunyi
ditanah entah dimana. Tak satupun kejadian dialam manusia bisa dibawa kesana!"
Pemuda gagah yang tak lain adalah cucu si kakek ini usap air mata, berusaha tenangkan
diri, hapuskan duka,"Akankah masih diingatnya aku disini, suaminya yang takkan pernah
berhenti menunggunya kembali? Mungkinkah sabai akan menemukan jalannya kembali
kesisiku? Mungkinkah, Kek?", tanya Randai.
"Hanya isterimu yang tahu jawabannya, Nak! Waktu kita dengan alamnya sangatlah jauh
berbeda. Bertahun hidup denganmu, baginya baru sehari-dua hari. Agak sulit diingatnya
kejadian yang tak ubah seperti mimpi itu!"
"Mimpi..!", kata Randai tersenyum kecut, sangat kecewa."Sekarang aku hanyalah mimpi
dalam pikiran isteriku sendiri. Menyedihkan!"
"Tapi biarlah",lanjutnya."Sekalipun baginya aku adalah mimpi, semoga aku adalah
mimpi terindah dihidupnya saat dia terbangun nanti. Dan Semoga Tuhan selalu menghidupkanku
dalam mimpinya setiap hari. Pilu benar hidupku!",Lama ia termenung memikirkan isteri, juga
memikirkan anak. Bilakah masanya mereka berkumpul lagi? Masih adakah waktu tersisa untuk
mereka bertemu kembali?
"Darimana kakek tahu bahwa isteriku tidak berasal dari kaum kita? Adakah kaum
sejenisnya yang kakek jumpai selain dia?"
"Kau sudah tahu jawabannya. Sayangnya kau tak menyadari! Saat kau menjadi Naga
Emas, keanehan apa yang kau lihat dari diri isterimu? Adakah sesuatu yang membuatmu
bertanya-tanya?"
Randai berfikir sebentar, mencoba mengingat kembali, "Cahaya dikeningnya! Ya, kulihat
ada cahaya putih ditengah-tengah keningnya!"
"Tepat sekali! Itulah tanda pembeda antara orang bunian dengan kaum kita. Tidak
sembarang waktu kau bisa melihat tanda dikeningnya itu, Hanya ketika wujudmu berupa Naga
saja kau akan melihatnya. Sebab, ketika itu kau juga bukanlah manusia, termasuk matamu!"
"Dari mana pula kakek tahu ada tanda dikening isteriku? Sejak kapan kakek melihatnya",
tanya Randai heran.
"Ah! Randai cucuku", Datuk mendesah."Semenjak awal kau tinggal dipuncak bukit
gundam ini, aku telah mengawasimu siang dan malam. Menjagamu dari segala macam bahaya
yang mengancam. Seluruh keluarga kecilmu tak luput dari perhartianku. Termasuk isterimu"
Randai mengangguk, mengusap wajanya berkeringat. Dalam benaknya tak sekalipun
putus memikirkan keberadaan puteranya dan Mak ina. Tak terbayang rasanya debaran dada
tatkala ketakutan pada firasat buruk yang membisikinya. Puteramu telah mati...puteramu tela

mati...itulah yang terus terngiang ditelinga. Teringat akan hal itu, tak mau hidup lagi rasanya ia
didunia. Diutarakanlah keresahannya pada sang kakek.
"Anakmu berada ditempat yang aman! Dia selamat!", Kata Datuk Malintang
Bumi."Nenek mertuamu membawanya jauh ketimur, ke air terjun tombak tempat persembunyian
yang kau katakan padanya!"
Tidak ada kata selain syukur diucapkan dari bibirnya mengetahui berita baik itu. Biarlah
celaka badannya, biarlah sengasara penanggungannya, biarlah pula buruk nasibnya, asalkan
anaknya selamat, lapang dada, tenanglah bernafas. "Alhamdulillah! Syukurlah! Apa kakek
melihat mereka? Siapa yang menolong mak ina? Mustahil nenekku bisa berjalan dalam gelap,
matanya sudah kabur?"
"Seekor serigala!"
"Apa????", Randai berdiri, panik!"Serigala ? Mati... Pasti sudah mati anakku
dimangsanya...tidak!!!"
"Tenanglah!", kata datuk."Malam itu, aku mengikuti Nenek mertuamu dari kejauhan.
Lagi pula, anakmu itu juga cicitku! Aku juga ingin menjaganya. Wanita tua itu sempat terjatuh
berkali-kali sebelum ia akhirnya duduk pasrah diatas rebahan kayu lapuk, kedinginan diguyur
hujan. Aku ingin memberinya pertolongan, tak satupun bisa kulakukan! Aku tiada daya. Aku
hanyalah ular besar yang menjalar ditanah. Ia menangis, disela tangis kudengar dia memanggilManggil sebuah nama. Balang! Itulah yang dipanggilnya. Tak lama kemudian, kulihat seekor
serigala besar, sangat tinggi, muncul didepannya. Serigala itulah yang membawa anakmu dan si
nenek dipunggungnya sambil berlari. Kau takkan percaya, larinya bak kilatan petir, cepat sekali!
Ditengah jalan, sengaja kuhadang mereka. Aku menampakkan diri sebagai pertanda perjalannya
akan tiada rintangan! Semua binatang buas yang menghalangi jalan telah kubersihkan, kuusir
atau kumakan! Setelah itu, kutenggelamkan diriku kesungai agar sisik-sisikku rontok. Karna
panggilanmu pada Naga Emas telah melepaskan penderitaanku sebagai Naga tak berkaki!
"Serigala macam apa yang berhasil dijinakkan oleh mak ina? Setahuku, beliau tidak
pernah memelihara binatang, apalagi binatang buas macam serigala!"
Malintang bumi tersenyum, "Serigala itu! Dia pernah mengacaukan tidurku didasar
sungai beberapa puluh tahun yang lalu. Waktu itu terang bulan, Ia menyelam dan menangkapi
banyak sekali ikan. Sepertinya ia kelaparan. Akan tetapi, aneh kulihat, Ikan-ikan tangkapannya
malah dibuang-buang mubazir ketepian. Sudah menggunung, tetap ditumpuknya-, belum juga
berhenti, geramannya menyiratkan kemarahan, mengamuk membabi buta! Aku yang semula
diam , jadi terusik ulah tingkahnya yang tak tahu aturan itu. Cukup lama kubiarkan,
keserakahanya tak juga mau berhenti, tak puas-puas ia menganiaya. Maka, Kutangkap dan kulilit
tubuhnya kuat-kuat, sampai melengking suaranya minta ampun, tak kulepaskan! Puas kuberi
pelajaran, barulah Kulemparkan tubuhnya ketepian. Serigala itu lari tunggang langgang. Dari
situlah kuketahui, dia bukan serigala biasa. Dia bicara layaknya manusia. Hanya jejadian yang
bisa bicara seperti aku, yang berwujud seekor naga"
"Ada begitu banyak rahasia dialam semesta ini. Lama hidup-banyak pula yang dilihat.
Pengalaman yang tiada ternilai harganya?",kata Randai pula.
Namun, percakapan itu diusik oleh suara rintihan seseorang ....

21.Duapuluh satu
*
"To....toloo...nnggg. Tolo ...oooo...nngg!", rintihan pesakitan sayup samar menelisik
telinga. Memohon mengiba tiada henti. Begitulah yang terdengar berkali-kali. Entah suara siapa.
Entah jeritan siapa. Adakah yang selamat dari amukan naga merah jelmaan Randai? Jika
diperhatikan, tempat kediaman yang semula indah dengan suasana perbukitan, kini sudah
sebentuk lahan pembantaian. Porak-poranda. Pohon-pohon tumbang, rumah kediaman Randai
lenyap. Mayat-mayat algojo suruhan Rajo Batuah raib. Yang ada kini hanya dahan-dahan patah
berserakan dimana-mana. Begitu dahsyatnya amukan si naga. Akankah ada satu manusia
sanggup bertahan hidup? Lalu, siapakah yang merintih itu?
(Bersambung)

Anda mungkin juga menyukai