Anda di halaman 1dari 126

Misteri Putri Peneluh

Abdullah Harahap
E-Book by Ratu-buku.blogspot.com

PEMUDA itu merapatkan tubuh ke dinding pondok. Hujan badai


telah berhenti. Tetapi ia masih diliputi ketakutan yang belum
pernah ia alami sebelum ini. Liar matanya menatap ke luar pintu
pondok, mengawasi kegelapan malam yang seolah mengurung
dan menjebak pemuda itu agar tidak sempat meloloskan diri dari
perangkap dosa-dosa yang bertaburan di sekelilingnya. Kabut
tipis datang bergulung gulung dari segala arah.

Bentuk dan datangnya merupakan suatu fantasi yang mengerikan,


berdesah-desah, terkadang mengaum penuh misteri.

Di dalam pondok kering. Tetapi kabut membuat sekujur tubuh


dan sekitar balai balai bambu tem patnya meringkuk, lembab
basah. Dingin terus-menerjang dari luar, disertai kehampaan
malam yang semakin pekat.
1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
Sekelompok domba bergerak gelisah di dalam pondok sempit itu.
Berdiri dempet satu sama lain untuk saling menghangatkan.
Sekelompok kecil lainnya, terikat di luar pondok, mulai
mengembik liar. Satu dua ekor malah menendang-nendangkan
kaki ke dinding pondok, menimbulkan bunyi asing di tengah
desau angin malam. Pemuda itu menggigil.

Gigi bergemeletukan, biar ia telah semakin rapat di pojok balai-


balai dan berusaha menjepit tubuh seekor domba gemuk dengan
ke dua pahanya yang terjuntai ke tanah. Tiap sebentar ia
mendongak lewat dinding pondok yang rendah. Meninjau ke
bawah tebing di mana pondok itu terletak. Jalan lintas
perkebunan di bawah pondok, hampir tidak terlihat oleh mata
telanjang. Kabut seakan telah mengambil jalan itu dan
membuangnya jauh-jauh, sehingga si pemuda semakin tersudut.

“ ... mana kendaraan itu ?” ia bersungut sendirian.

Gumam yang keluar dari mulut, menumbuhkan semangatnya.


Tidak banyak, namun cukup untuk mengatasi rasa sepi. Takut-
takut, ia keraskan suara. Berkata pada diri sendiri: “Mereka cuma
terhalang badai. Percayalah. Mereka akan datang sebentar lagi!”

Ya. Pemuda itu berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa teman-


temannya bukan melarikan diri. Mereka cuma terhalang di
perjalanan. Mungkin karena jembatan rusak. Atau mobil mogok
karena mesinnya dimasuki air. Tetapi semuanya akan beres. Tak

2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


lama lagi mereka akan datang, ia dan semua domba yang ada di
dalam maupun di luar pondok, akan diangkut segera. Dijauhkan
dari perangkap kabut yang menakutkan itu, lalu kemudian
kembali berkumpul dengan keluarga, api tungku yang hangat,
kopi kental yang nikmat, dan mungkin saja juga si Painah yang
manis mau menemuinya, begitu mendengar kabar dia sudah
punya uang.

Empat ekor domba tercecer di tengah jalan ketika hujan badai


mulai turun. Pemuda itu bersama salah seorang teman yang
menggiringnya dari sebuah desa, tak punya waktu untuk mencari
Mereka berdua menggiring domba lain menjauhi desa selekas
mungkin karena hujan badai telah membangunkan seorang dua
penduduk. Masih ada dua belas, paling tidak sepuluh ekor domba
yang berhasil mereka giring. Kemudian temannya pergi, karena
setiba di pondok yang sudah ditentukan, kendaraan yang akan
mengangkut mereka ternyata belum muncul.

“Akan kususul,” kata temannya.

Dan, temannya pun tidak muncul muncul, selama hujan badai


yang menakutkan itu, dan selama malam semakin merangkak dan
kini udara dinihari yang berbau kabut itu semakin menebal.

“Apakah ia tersesat ?” pemuda itu bergumam lagi.

Domba mengembik liar di sekitar pondok, begitu tiba-tiba


sehingga pemuda itu terlonjak kaget. Apakah binatang-binatang

3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


itu mendengar bunyi mesin kendaraan ? Atau ada penduduk salah
satu desa mengendap endap di luar pondok untuk
menyergapnya?

“Tak mungkin!” pemuda itu menjawab sendiri. “Tak ada yang


memergoki kami ! Tak ada yang tahu !” dan memang itulah yang
sebenarnya. Temannya punya ilmu sirep. Butir-butir pasir
ditaburkan ke atap rumah penduduk yang kandang dombanya
akan mereka satroni. Kemudian binatang-binatang itu juga
mereka sirep. Diberi rumput segar bercampur irisan bawang
merah yang dicelupkan ke minyak kesturi. Tak seekor pun
domba-domba itu membuat ulah bahkan mengembik waktu
mereka keluarkan dari kandang masing-masing.

Lalu hujan badai itu turun.

Pengaruh sirep tertawar sedikit, dan binatang-binatang itu mulai


ribut.

Empat hilang lenyap karenanya. Berarti empat puluh ribu rupiah


tidak akan dibayarkan tukang tadah di kota. Apa boleh buat.
Masih tersisa, tarohlah sepuluh ekor, jadi seratus ribu rupiah
masih mereka peroleh untuk dibagi-bagikan.

Dia akan memperoleh bagian sekitar tiga puluh ribu, mungkin


kurang sedikit. Dari jumlah itu, ia masih harus membayar utang di
warung bi Minah sebesar lima ribu. Jadi, Painah masih akan
mendapat sekitar dua puluh ribu, paling sedikit. Janda itu akan

4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


tertawa riang, membuatkan dia kopi kental, mengajaknya tidur
dan minggu berikutnya akan resmi jadi isterinya. Keluarganya
mungkin akan marah besar. Tetapi tak seorang pun berhak
melarang dia. ia sudah membuntingi Painah, dan ia mencintai
janda itu setengah mati. Terbayang mata Painah yang redup
mengundang, tawanya yang sendu merayu, dan gerak pahanya
yang menantang gairah.

Pemuda itu tersenyum.

Sebentar cuma. Kemudian senyumnya hilang, waktu samar-samar


ia dengar suara bergemuruh. Bunyi mesin kendaraankah ? Atau
sungai yang airnya tengah meluap. Ah, sungai jauh di sebelah
utara. Sedang kendaraan bunyinya tidak bergemuruh seperti itu.
Domba-domba yang berkelompok di luar apalagi di dalam
pondok, bergerak liar dan mengembik riuh rendah. Aji sirep itu
telah semakin tawar, dan kini domba-domba itu rupanya telah
sadar kalau mereka tidak sedang ada di kandang yang
semestinya.

Si pemuda menyingkirkan domba yang menghalangi jalannya, lalu


melangkah ke luar pondok. Jalan di bawah masih gelap,
berselimut kabut. Tetapi kabut itu kian menipis jua, dan satu dua
sinar bintang di langit biru mulai menerawang dari celah-celah
pucuk pepohonan yang menjulang. Diam sebentar mendengarkan,
barulah pemuda itu mengetahui mengapa domba pada ribut dan
apa kiranya yang tadi menimbulkan suara bergemuruh.
5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
Tanah di bawah kakinya, bergerak!

Dinding pondok bergoyang perlahan. Atapnya kemudian rubuh


tiba-tiba, diterjang angin keras yang meluncur dari atas bukit.
Bersama kelompok domba itu, si pemuda lari menghindar.
Serabutan. Sambil menghindar masih sempat ia raih salah satu
ujung tali induk dan menyeret sekitar empat atau lima domba
bersamanya. Namun sebatang pohon besar yang ia manfaatkan
sebagai perlindungan, mulai pula bergerak.

Pemuda itu panik.

Tanah basah bercampur pasir menerjang mukanya, ia mengelak,


dan jatuh terguling ke bawah. Sebuah batu besar menahan
tubuhnya jatuh lebih jauh, namun toh punggungnya terasa
berderak. Mungkin ada tulangnya yang patah. Matanya sampai
berair, menahan perih yang alang kepalang.

Dan ketika matanya ia buka, toh ia masih bersyukur.

Pondok tempatnya berlindung, hilang lenyap sudah.

Tanah datar tempat pondok itu terletak, sudah longsor


seluruhnya, jatuh ke jalan di bawah tebing. Begitu pula pohon-
pohon di sekitarnya, rubuh bertumbangan tak tentu arah. Suara
hiruk pikuk yang beberapa saat sebelumnya melemahkan
jantung, perlahan-lahan lenyap.

Nyalinya yang ciut, mekar sedikit demi sedikit.

6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


“Cilaka !” ia kemudian memaki, lesu, manakala ia sadari kelompok
domba itu sudah tak kelihatan lagi. Mungkin terseret lalu
tertimbun tanah longsor, mungkin pula ada yang melarikan diri.
ia tidak berniat mengejarnya lagi. ia lebih mengutamakan
keselamatan diri sendiri.

Painah akan marah karena ia tak membawa uang, tetapi Painah


pasti mengerti apabila mengetahui ada tulang puntungnya yang
patah. ia mencoba duduk.

Sakit bukan main. Matanya berkunang kunang. Menunggu


sebentar, mengatur nafas, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya
sempoyongan. Punggung perih, dan toh ia kembali harus
bersyukur, ia mampu berjalan, meski lambat dan tertatih-tatih,
serta siksaan di punggungnya kian reda. Jadi, tak ada tulang yang
patah!

Seekor domba mengembik lemah. Binatang itu sedang sekarat,


tertimpa batang pohon. Ususnya terburai.

Gemetar dan pucat, pemuda itu menyingkir jauh-jauh. ia


merangkak sepanjang tebing, mencari jalan turun ke bawah. Tak
jauh dari bekas pondok itu sebelumnya berdiri, ia mendadak
tertegun.

Tanah longsor itu meninggalkan suatu bidang lebar yang terbuka


di bawah langit kelam. Di antara rubuhan pohon, batu-batuan dan
rumput ilalang yang hampir tenggelam ditelan gundukan tanah

7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


yang berserakan, tampak benda-benda putih yang samar.
Rembulan mulai muncul, dan kabut kemudian terbang menjauh.
Si pemuda mendekat, ragu-ragu. Membungkuk sedikit,
memperhatikan. Lantas, berteriak kaget dan mundur beberapa
tindak dengan wajah semakin pucat pasi.

Apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya, adalah beberapa


potong tulang belulang manusia yang bersembulan dari dalam
tanah. Sebuah tengkorak kepala terhantar di dekat sebatang
pohon besar, dengan liang-liang mata menatap kosong ke arah si
pemuda. Yang lebih mengerikan ialah. tulang-belulang itu
bergerak-gerak!

Terangkat dari tanah, seakan melayang sebentar kemudian


bergerak mengambang ke tempat datar terbuka di depannya.
Waktu ia simak dengan sepasang mata melotot lebar, barulah ia
ketahui apa sebabnya tulang belulang itu bergerak begitu aneh.
Beberapa ekor tikus beramai-ramai menggigit tulang lalu
menggotongnya. Tikus-tikus berwarna coklat, hitam, dan
besarnya luar biasa. Kucing yang paling galak pun akan berlari
menghindar bila bertemu. Tikus-tikus itu besarnya melebihi
kucing biasa, tetapi tak lebih besar dari anak domba yang baru
lahir.

Makhluk-makhluk pengerat itu bekerja teratur, acuh tak acuh. Si


pemuda yang terkesima, hanya tegak mematung. Menatap ta'jub
campur ngeri. Kengerian itu kian menjadi-jadi, tatkala ia lihat
8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
lebih banyak ti kus yang muncul, besar kecil, semua menggotong
tulang-tulang, besar kecil pula, dan paling akhir menyeret
tengkorak dekat batang pohon ymy tumbang tadi.

Hanya dalam beberapa kejap mata, makhluk-makhluk itu telah


menyelesaikan tugasnya. Kerangka manusia itu telah lengkap, dan
tersusun menurut aturan yang semestinya. Tulang belulang besar,
tulang belulang kecil, dan tengkorak. Kerangka itu seperti rebah
dengan damai bersiram cahaya rembulan. Namun letak tengkorak
kepalanya, dibuat sedemikian rupa - atau memang harus begitu ! -
, sehingga menatap lurus ke mata si pemuda.

Ingin rasanya ia menyebut nama Tuhan.

Malang, yang ke luar dari mulut si pemuda, hanyalah seruan


seram : “Ya, ampun - Apa ... apa yang...”

Kerangka itu berbaring diam.

Tengkorak itu, menatap diam.

Ternyata, pekerjaan belum rampung seluruhnya. Hal itu baru


diketahui si pemuda, ketika dengan ketakutan yang amat sangat
ia bergerak mundur dengan niat lari terbirit-birit, menjauhkan
diri. Niat, hanya niat belaka. Karena, ia tidak dapat lari sekarang.

Baru saja ia memutar tubuh, desis dan suara mencicit yang


bergaung seram telah memenuhi udara di sekitarnya. Bau busuk
tercium sangit, dan makhluk-makhluk coklat dan hitam telah

9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


mengerubung dirinya. Belasan, puluhan, mungkin ratusan. Dan
ratusan pasang mata kecil berwarna kemerah-merahan, berkilat
tajam menatapnya. Ratusan taring-taring runcing, mengancam di
antara misai-misai yang bergoyang.

“Hei. Mau apa - kalian ?” pemuda itu bersungut.

Kerubungan makhluk-makhluk itu bukannya kabur, malah


semakin merapat setengah lingkaran, memaksa si pemuda
bergerak mundur ... langsung ke arah kerangka itu terletak.

Dia mulai berteriak, takut : “Pergi ! Pergi ! Entah kalian ! Enyah -


aku bukan - aku - !”

Kakinya menendang, ia jatuh. Tangannya mencakar, memukul,


meninju.

Beberapa ekor makhluk itu terhenyak, mati. tetapi lebih banyak


yang datang mengurung, mengerat, menggerogoti, mencakar
dengan kuku-kuku yang tajam dan berbau busuk. Darah merah
membercik kian kemari. Kemudian sesuatu terasa menusuk ke
dalam dada, ke dalam lambung, ke dalam lambung, ke dalam
rongga matanya.

Pemuda itu memekik.

Angin malam berdesah, garang.

Kecuali bunyi angin, segala sesuatunya menyepi. Diam. Bahkan


makhluk-makhluk berwujut tikus-tikus besar kecil itu, pada
10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
termangu, begitu kelejot-an dan peki si pemuda kian lemah lalu
hilang, yang sudah menjadi mayat.

Mata tengkorak, menatap.

Lalu tiupan angin menggerakkannya sedikit. Gerakan yang mirip


anggukan menyetujui, atau memberi tanda. Lalu makhluk-
makhluk itu bergerak pula, serempak. Mereka tinggalkan mayat si
pemuda yang sudah tercabik-cabik, lantas bergerak mendekati
kerangka, mengitarinya sejenak dengan mata memerah saga dan
kuku serta taring memerah darah.

Tikus yang terbesar kemudian merangkaki kerangka itu,


menjatuhkan serpihan-serpihan jantung, paru-paru, ginjal dan
darah yang menetes-netes di lambung serta dada kerangka.
Gerakan ini diikuti puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya
mereka akan menggerogoti kerangka diikuti puluhan ekor tikus
lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti kerangka di
sana-sini, nyatanya tidak. Mkhluk-makhluk itu justru mengolesi
setiap potong tulang kerangka dengan darah segar yang terus
menetes melalui moncong, taring dan misai mereka.

Suatu saat, ketika rembulan semakin bersinar, dan ketika bintang


gumintang pada berloncatan di langit biru kelam, makhluk-
makhluk itu menjauhi kerangka, berbaring diam. Menunggu.
Angin dingin bertiup perlahan, berdesah bersama suara-suara roh
dari alam gaib.

11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Perlahan tetapi pasti, wujut kerangka itu mengalami proses
perubahan. Dari tulang belulang dan tengkorak yang terlantar,
berubah jadi sesosok tubuh manusia. Betisnya ramping, pahanya
bulat mulus, pinggang meliuk indah, dada membukit dengan
putik-putik merah segar, leher jenjang, wajah cantik dengan
rambut tebal hitam berkilauan.

Sisa-sisa kabut kemudian menari di sekitar tubuhnya,


membentuk suatu wujut seperti gaun putih indah. Lalu payudara
bulat merangsang itu, bergerak naik turun. Kelopak mata,
mengerjap. Terbuka. Menatap kehidupan, yang suatu saat
berakhir dan suatu saat bangkit.

Hidup dan kehidupan, yang sampai kapan pun akan tetap


merupakan misteri alam yang sukar diungkapkan.

***

JALAN itu lengang. Bulan yang redup di langit seakan enggan


meneranginya, sehingga Margono dan teman-temannya, sesekali
terpaksa menyalakan lampu senter untuk tidak sampai menginjak
kubangan yang penuh lumpur bekas-bekas roda pedati yang
lewat di jalan itu sepanjang hari. Sesekali butir-butir air jatuh dari
atas.

Margono tengadah. Hanya tampak dedaunan yang rimbun. Hitam


dan gelap. Entah mengapa, ia menggigil.
12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dingin !” sungut Margono.

“He-eh !” sambut seorang temannya. Yang lain cuma diam. Lalu


sepi lagi. Bunyi cengkerik yang tadi bersahut-sahutan, perlahan-
lahan berhenti ke mudian senyap sama sekali, ketika mereka
sampai di dekat kali.

“ ... banjir lagi,” seseorang menggerutu. Yang lain mendehem. Dan


serentak, seperti dikomando menoleh ke samping. Lewat batang
dan rimbunan bambu, tampak aliran air sungai yang samar-
samar. Deras sekali. Dan sedikit menderu.

“Tak ada yang hanyut hari ini ?” sungut Margono.

“Kambing Uwa Enoh. Tiga ekor sekaligus,” sahut teman di


sebelahnya.

“Kalau begitu kambingnya tinggal dua,” sungut Margono lagi.

“Satu,” ralat temannya pula. Dan yang lain menambahkan : “Kan


dua hari yang lalu kambing Wa Enoh yang terbesar dicuri orang.”

“Hem,” yang jalan paling belakang mendehem. “Lihay pencuri itu.


Sudah beberapa kali ia beroperasi tanpa pernah kita pergoki.
Rasanya aku sudah bosan begini. Meronda sampai subuh.
Kehujanan. Kedinginan. Belum lagi perut keroncongan karena
belum sempat makan ketika meninggalkan rumah.”

“Kita ke Posko saja,” kata yang terdepan.” Di sana kita masak kopi.
Pak Haji tadi mengirimkan sebaskom ubi rebus !”

13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Langkah-langkah mereka kian bergegas. Dan : “Aku mau ke kali
dulu !” kata Margono.

“Ngapain ?” yang terdepan bertanya tanpa me noleh.

“Ngosongin perut dulu, agar ada persediaan untuk ubi rebus,” ia


ingat betul, tempat paling dekat di mana ia akan buang hajat
biasanya dipakai perempuan-perempuan kampung mereka untuk
mandi dan mencuci.

Lalu ia melangkah tepi air yang menjilati tebing, melompati


sebuah batu besar dan siap untuk ber-jongkok di atasnya. Pada
saat itulah ia menangkap sebuah bayangan tak jauh di depan.
Bayangan itu agak sedikit di tepi kali, dan ketika Margono
melihatnya bayang-bayang berwarna putih itu menghilang di
balik sebuah pohon besar.

Jantung Margono berhenti berdenyut. “Pencuri-kah ?” bisiknya


dengan hati menggeletar, ia kancingkan kembali celananya.
Dengan satu loncatan panjang, ia telah berada di atas tebing kali.
ia tegak sebentar. Memperlihatkan. Tetapi bayangan itu tak
muncul lagi. Debur jantung Margono perlahan mereda. Tetapi ia
belum yakin. Siapa tahu bayangan itu masih bersembunyi di balik
pohon. Itu bukan ilusi, ia tahu betul.

Begitu jelas tadi ia melihat bayangan putih itu meloncat lalu


menghilang di balik pohon kira-kira tiga meter di depannya.
“Siapa di situ ?” Margono memberanikan diri.

14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak ada sahutan. Margono melangkah. Satu. Dua. Tiga.
Perasaannya mulai waswas. Entah mengapa. Karena itu ia
membuka mulut lagi : “Siapa di situ ?”

Tetap tak ada sahutan.

“Keluarlah cepat ! Biar aku tahu !” kata Margono penuh ketakutan.

Margono mencoba mengancam . “Kalau tak menjawab, aku akan


berteriak. Biar teman-teman yang lain datang.”

Perlahan-lahan terdengar suara : “ ... aku.”

Denyut jantung Margono mengencang lagi. Begitu halus suara itu.


Mirip-mirip bisikan. “Aku siapa ?”

“Aku ! “

“Keluarlah ! Biarlah aku tahu !”

“Kang Gono dong yang ke sini !”

Suara perempuan ! Margono menjilat bibirnya yang terasa kering.


Siapa perempuan itu ? Dan ngapain dia malam-malam begini ada
di pinggir kali? Rumah yang terdekat letaknya lebih dari seratus
meter dari tempat itu. Tadi ia tidak melihat obor. Atau melihat
orang menuju tepi kali. Tak mungkin si perempuan jalan
sendirian dalam gelap. Apalagi berada di dekat kali yang airnya
tengah meluap.

“Apa kerjamu di sini ?” Margono belum yakin. Takut dijebak.

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Mau buang air.”

“Hem, lalu ?”

“Akang datang. Aku malu, lalu sembunyi.”

“Sekarang keluarlah. Tak perlu lagi malu. Keluarlah, biar


kutemani kau. Kau Marniah, bukan ?”

Angin dingin berhembus menyapu wajah Margono ketika


bayangan putih itu muncul perlahan-lahan dari balik pohon.
Begitu perlahan, sehingga gerakannya seperti asap. Denyut
jantung .Margono benar-benar sudah tidak teratur, ketika di
hadapannya berdiri seorang gadis bertubuh semampai,
berpakaian putih polos yang menutupi seluruh tubuh dari batas
leher sampai ... ah, sampai ke tanah.

Margono heran. Baju perempuan itu tidak kotor walau menyapu


tanah berlumpur. Dan lebih heran lagi, setelah melihat wajah
yang putih kemilau dan tampak jelas di udara subuh yang remang
remang itu.

Perempuan itu bukan Marniah, anak pak Haji. Tetapi seorang


perempuan yang tampak asing, namun seolah-olah ia kenal :
“Akang lupa padaku ?” tanya si perempuan seraya mendekati.

Hampir kaku seluruh tubuh Margono. Kaku kedinginan. “Eh ... eh,
yyyaaa...,” jawabnya gagap.

“Ah, masa !”

16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Perempuan itu tersenyum. Manis sekali. Bibirnya tampak merah
merekah. Lembu mempesona.

“Sss ... sung ... ggguh !”

“Ingat-ingat dong, kang Gono !”

“Sssiii ... ssiaappa ?”

“Aku Teratai. Teratai Putih !”

Dalam kekalutan pikiran dan keheranannya Margono mencoba


mengingat-ingat. Memang ia pernah mendengar nama itu. Seolah
dekat sekali dengan dirinya. Dekat sekali dengan hatinya. Bagai
kan nama itu pernah menjadi kekasihnya. Ataukah gadis
idamannya ?

Sementara itu, si gadis sudah berada hanya di depan tubuhnya.


Uap nafas gadis itu terasa hangat Wajah Margono kembali
bersemu merah, dialir darah. Dijelalatinya wajah gadis itu
sepuasnya Matanya bersih dan besar. Bersinar tajam, tetapi
tampak menggairahkan. Jantung Margono sudah tak bisa ia
kendalikan lagi. Lebih-lebih ketika tangan si perempuan
terangkat, perlahan-lahan mem belai pipi Margono. “Kau tampan
sekali, kang Gono,” bisik si perempuan.

“Ah,” hanya itu yang terucap di mulut Margono.

“Yah. Kau tampan. Gadis-gadis seluruh kampung ini pun


mengatakan bahwa kau jantan.”

17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ah,” lagi, Margono mendesah.

“Tetapi kau jahat, kang !”

Sepasang mata Margono menyipit. Apa maksud si perempuan ?


Ditelitinya wajah gadis itu. Tidak ada gambaran apa-apa untuk
menguatkan kata-kata yang terucap dari bibirnya yang merah
merekah. Malah wajah itu demikian lembut, hangat dan
mempesona. Sehingga kejantanan Margono seperti diumbang-
ambingkan, digoda dan dipanas-panasi.

“Apa maksudmu T-” keberaniannya muncul kembali.

“Kau jahat. Karena itu aku datang menemuimu malam ini.”

“Mau apa kau T,” suara Margono melemah. Betapa tidak. Jari
jemari gadis itu telah melepas kancing-kancing kemejanya. Dan
perlahan lahan menggelitik dada Margono yang berbulu. Margono
jadi gemas. Si gadis memekik halus, kemudian meronta-ronta.

“Kang, jangan !”

Tetapi suara membantah itu bertolak belakang dengan tatap mata


dan senyum di bibir. Margono semakin menjadi nekad. Si
perempuan menggeliat, dan perlahan-lahan membaringkan
tubuhnya di atas rerumputan. Margono memandang dari atas,
dengan mata nyalang dan lutut menggeletar.

“Kang Gono ... ,” si perempuan memelas. Margono tidak perduli


lagi. Tak perduli siapa perempuan itu, mengapa ia berada di
18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tempat itu, mengapa begitu mudah jatuh dalam pelukannya meski
memang selama ini di kampung mereka Margono dikenal sebagai
seorang petualang perempuan, ia tidak perduli mengapa baju si
perempuan yang putih bersih tetap tidak kotor setelah berbaring
di atas tanah berlumpur.

Yang diperdulikan Margono cuma dorongan dalam dirinya saja.

***

ORANG-ORANG yang tengah menyantap kopi panas dan ubi rebus


di Posko HANSIP, tersentak ketika mendengar suara jerit yang
menyayat di kejauhan. Laki-laki yang bertubuh paling besar dan
selalu berada di depan sepanjang malam itu, serentak berdiri.

“Kalian dengar itu ?” bisiknya. Yang lain tak menjawab. Diam


mendengarkan.

Lalu jeritan itu menggema lagi. Mirip raungan. Raungan yang


tengah menghadapi kematian. Lalu seorang di antara yang duduk
melemparkan ubi rebus di tangannya, berdiri dan berlari keluar.

“Itu suara si Gono !” serunya.

“Margono !” gerutu si lelaki bertubuh tinggi kekar yang pertama-


tama berdiri. “Celaka. Boleh jadi pencuri itu ia pergoki!”

Mereka semua membayangkan kemungkinan itu.

19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Selagi mereka berlari dahulu mendahului ke arah sungai di mana
Margono tadi mereka tinggalkan, benak mereka seolah-olah
memadu dalam suatu bayangan. Margono memergoki si pencuri
yang sering mengganggu keamanan kampung mereka belakangan
ini, Margono tidak bersenjata. Dan si pencuri mungkin punya
golok. Atau pisau. Atau bambu runcing. Atau apa saja. Yang bisa
menghantam margono.

“Cepat !” yang paling depan berseru.

“Cepat ! Cepat !” yang lainnya dikomando, Ajaib, mereka


mengucapkan kata-kata yang sama, dan mereka terus berlari dan
berlari. Mereka sudah kecapaian, tetapi tempat yang mereka tuju
tak juga sampai-sampai. Mereka sadar mereka terus berlari,
tetapi betapa lamanya. Dan betapa jauhnya terasa.

Tempat yang tadi mereka tinggalkan jarak nya cuma sepuluh


menit jalan kaki dari arah Posko, Tetapi dengan berlari, justru
semakin lambat dan jauh. Sementara itu jerit dan raung itu
menggema dan menggema terus. Jerit kesakitan, raung kematian.

“Celaka !” sungut orang yang bertubuh tinggi besar ketika


raungan menggema di kesenyapan su buh itu perlahan-lahan
mereda kemudian lenyap sama sekali. “Pencuri itu telah
membunuhnya!”

Lalu dengan tiba-tiba, kekuatan mereka kembali pulih. Begitu jerit


itu lenyap, begitu mereka mera sakan langkah-langkah kaki

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mereka kian cepat dan hanya dalam beberapa detik mereka telah
sampai di tempat di mana tadi Margono mereka tinggal kan.

“Gono ! Margono !” mereka ganti berganti me manggil. Tidak ada


sahutan. Yang ada hanyalal deru dedaunan bambu gemersik
ditiup angin, lalu deru air yang mengalir ke hilir. Sorot lampu
senter melonjak-lonjak ke sana kemari. Dari balik dedaunan
bambu, ke batang-batang bambu. Dari tebing, kepermukaan air.
Dari batu-batu di tengah kali, sampai tanah berlumpur di
pinggiran.

Dan seseorang tiba-tiba berteriak : “Itu dia !”

Yang lain menoleh. Dan sorot lampu senter seperti dikomando,


bersatu padu ke arah sesosok tubuh yang menggeletak di bawah
sebuah pohon bakau, di antara akar-akar raksasa yang
bergantungan, menjuntai di atas tanah dan di permukaan air.

Nafas-nafas mereka mendadak berhenti ketika mereka kenali


tubuh itu.

“Margono !” seseorang berbisik. Sendu, dan mengerikan.

***

TUBUH itu polos. Pakaiannya bertaburan di sana sini. Ketika


sorot-sorot lampu senter disertai pekik-pekik tertahan memenuhi
tempat itu, sesuatu berwarna putih tiba-tiba meloncat dari arah
21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pangkal paha Margono yang sudah diam tak berkutik. Tiba di
tanah berlumpur, bayangan putih itu berhenti sejenak, ia
menantang sorot lampu senter yang diarahkan padanya dengan
mulut menyeringai. Tampak noda-noda darah di antara misai-
misainya yang halus.

“Tikus putih!” seru orang yang menyenter benda itu. Dan sebelum
ia serta kawan-kawannya ingat untuk berbuat sesuatu, tikus putih
sebesar betis itu telah meluncur masuk dalam gelap, menghilang
di antara akar-akar bakau seraya mencicit-cicit nyaring. Bergidik
bulu roma peronda-peronda malam yang hadir di situ..

“Lihat !” petugas ronda yang bertubuh kekar menyorotkan lampu


senternya ke arah dari mana tadi tikus putih itu bersembunyi
sebelum loncat untuk menghilang. Semua mata tertuju ke arah
paha Margono.

Pekik-pekik tertahan sahut bersahut lagi. Hampir semua


memejamkan mata sejenak, untuk dengan enggan membukakan-
nya lagi dan melihat bahwa apa yang berada di depan biji mata
mereka bukanlah impian buruk. Hampir seluruh bagian alat vital
Margono sebagai seorang lelaki, hancur.

Keempat orang peronda malam itu berjongkok serentak.

Denyut nadi di tangan Margono diperiksa. Juga jantung Margono


itu'ah, ia tiba-tiba mencium bau anyir. Matanya terbeliak waktu ia
sadari bahwa mulutnya mencercah pada darah yang melelehi

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dada Margono. Darah itu berasal dari lehernya. Waktu orang itu
menyorotkan lampu senter di tangan, ia merasakan seluruh
tubuhnya dingin dan kaku. Tenggorokan Margono terbelah
dengan kasar bagaikan dicabik-cabik oleh gigi-gigi yang runcing
dan tajam-tajam.

Beberapa detik berlalu dengan kebisuan yang mencengkam dan


mendirikan bulu kuduk. Hanya deru aliran sungai saja yang
terdengar, diselingi oleh semilirnya angin yang menggeseki
batang-batang dan dedaunan bambu sehingga menimbulkan
bunyi yang tidak mengenakkan hati maupun telinga.

“Mari kita angkut ia ke rumahnya,” perlahan-lahan peronda yang


paling besar tubuhnya membuka suara. Getaran suaranya
terdengar jelas.

Juga ketika yang lain menggumam, tanda setuju. Gumaman-


gumaman itu menggletar, seakan-akan tertahan di kerongkongan.
Lutut dan tangan-tangan mereka pun terasa goyah waktu mereka
sama-sama berjongkok kemudian ramai-ramai mengangkat tubuh
Margono yang telah menjadi mayat. Da lam samar-samar cahaya
subuh, hati mereka agak menciut melihat sepasang mata Margono
yang terpentang lebar, seakan-akan melihat dan merasakan
sesuatu yang mengerikan serta membuatnya amat menderita.

Mereka berjalan dengan suara membisu menuju rumah keluarga


Margono. Meskipun begitu, semakin dekat ke rumah korban,

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
semakin banyak juga orang yang mengiringi rombongan. Rupanya
jerit dan raung Margono telah membangunkan beberapa
penduduk yang memberanikan diri keluar untuk mengetahui apa
yang terjadi. Ada belasan orang yang mengiringi mayat itu sampai
dibaringkan di ruangan tengah rumah keluarganya.

“Panggilkan pak Lurah !” seseorang berseru.

Bersamaan dengan terdengarnya kokok ayam yang kian ramai


bersahut-sahutan, maka di dalam rumah keluarga Margono pun
sahut bersahut pulalah suara jerit dan tangis yang pilu menyayat
hati. Seluruh kampung gempar dengan tiba-tiba. Semua pintu dan
jendela terbuka. Jalan-jalan desa menjadi ramai. Orang-orang
berhamburan dan mengerumuni rumah dan halaman di mana
jerit dan tangis kematian itu menggema berkepanjangan.

Dan ketika pagi tiba, kerumunan itu mulai menipis dan tinggallah
keluarga Margono serta anak-anaknya yang ada, termasuk
keempat petugas ronda malam itu dan Pak Lurah yang khusus
dipanggil untuk nenyelidiki sebab-sebab kematian Margono yang
demikian menyeramkan.

Setelah memeriksa luka-luka di bagian kelelakian serta


tenggorokan Margono yang sama-sama hancur, orang tua yang
jenggotan dan ubanan itu mengeluh; “ia bukan dibunuh orang !”

Tertegak leher empat petugas ronda didekatnya. “Bukan


dibunuh?”

24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Memang dibunuh. Tetapi bukan oleh manusia biasa !”

Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya telah
pucat, semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan
kepala, mencoba menghilangkan bayangan buruk yang
munghuntui kepala mereka.

Sementara itu sedu sedan anak dan isteri Margono semakin


berderai mendengar keterangan si orang tua. Berapa menit pula
lewat dalam ketegangan yang mencekik, sampai peronda
bertubuh kekar itu membuka mulutnya lagi.

“Pak Mirta bisa cari makhluk apa yang kira-kira membunuhnya ?”

“ ... sebentar,” sungut lurah yang dipanggil Pak Mirta itu. ia sesaat
taffakur, kumat kamit membaca se suatu lalu membelalakkan
mata. Sorot matanya yang tajam ditujukan pada telapak tangan
kanan Margono yang sejak dibawa ke rumah ini tetap mengepal
dan tak bisa dibuka. Tubuh Pak Mirta bergidik sejenak, kemudian
matanya terpejam lagi. Beberapa helaan nafas setelah itu ia
menjadi biasa lagi. Sambil tersenyum penuh kemenangan, ia me-
raba pergelangan tangan kanan Margono. Dengan mengangkatnya
sedikit, kepalan tangan kanan Margono telah berada di depan
mulutnya.

“Cuih !” ia meludah.

Semburan ludah itu membasahi jari jemari Mar gono yang telah
memutih kebiruan. Kemudian te lapak tangan Pak Mirta yang
25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
satunya lagi diangkat melebar dan diputar-putarkan di atas
kepalan tangan Margono. Lalu, perlahan-lahan ia membuka satu
per satu jari jemari yang mengatup keras itu hanya dalam waktu
yang singkat dan sangat mudah kelihatannya, dibuka oleh Pak
Mirta. ia membuka jari jemari Margono seperti mengupas kulit
pisang.

Begitu telapak tangan Margono mengembang terbuka, semua


mata yang hadir terbelalak Tangani yang tadinya diduga berisi
sesuatu yang berhasil direnggut oleh Margono dari pembunuhnya
sebelum ia menghembuskan nafas, ternyata memang berisi
sesuatu. Bukan baju atau sesuatu yang menunjukkan benda itu
sebagai milik pembunuh Margono yang diduga oleh peronda-
peronda sebagai pencuri yang akhir-akhir ini mengganas di
kampung mereka; melainkan sebuah benda yang tidak mereka
duga sama sekali.

“kuntum bunga !” sungut laki-laki bertubuh kekar, yang


mencondongkan wajahnya ke depan begitu tangan Margono
mengembang terbuka.

“Teratai putih,” sahut Pak Mirta menambahkan . Dan masih segar


dan baru. Margono tidak merenggutkan ini dari pembunuhnya.
Tetapi ia menerimanya secara baik-baik, lalu ia genggam kuat-
kuat seakan tak mau melepaskannya lagi orang tua itu terdiam
sejenak. Berpikir. Seperti tidak percaya pada diri sendiri
kemudian ia melanjutkan : “Yah ... seseorang memberi kuntum
26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
teratai putih ini pada Margono, sebelum ia melaksanakan niat
jahatnya.”

“Seseorang ! Pencuri itukah ?”

Pak Mirta geleng-geleng kepala. “Luka luka di tubuh Margono


adalah bekas-bekas gigitan. Dan gigi-gigi manusia tak mungkin
membentuk cabikan-cabikan yang sedemikian rupa. Mestinya ini
gigitan seekor binatang.”

“Binatang !” sungut peronda bertubuh kekar. “ Tetapi Pak Mirta


bilang Gono dibunuh oleh seseorang.”

“Seseorang yang kemudian berubah jadi binatang,” sungut Pak


Mirta. “Tetapi aku belum yakin benar. Ini cuma dugaanku saja.”

Terdengar seruan-seruan tertahan. Keluarga-keluarga almarhum


yang tadinya bertangis-tangisan telah hilang sedu sedannya.
Rupanya mereka pun mendengarkan pembicaraan itu, dan
menjadi asyik karenanya. Lupa bahwa salah seorang anggota
keluarga baru saja meninggalkan mereka, dalam keadaan yang
sangat mengerikan dan memilukan. Berpasang-pasang mata yang
terbuka lebar seperti mulut-mulut mereka yang melongo
pertanda ta'jub dan ketidakpercayaan yang saling bercampur,
tertuju ke arah Pak Mirta yang memandangi para peronda
didekatnya satu per satu. Yang dipandang menjadi gugup.

Namun sinar mata pak Mirta tidak menuduh. Melainkan


memancarkan pertanyaan, yang kemudian dikuatkan oleh kata-
27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kata yang keluar dari mulutnya yang keriput: “ ... kalian tak
melihat binatang apa yang ada di tempat kalian menemukan
tubuh Margono ?”

Sepi sejenak. Lalu : “Tikus !” keluar suara serempak.

“Tikus putih !” kata orang yang pertama-tama melihat makhluk


yang meloncat dari arah paha Margono ketika mereka temukan
mayatnya. Dan dengan bernafsu ia meneruskan : “Tikus itu
sempat menyeringai. Misai, tepi bibir dan gigi-giginya yang
runcing, bergelimang warna merah. Warna darah.”

“Darah Margono !” sungut pak Mirta. Mendengar itu, meledak


pulalah tangis isteri, kemudian anak dan ditambah lagi oleh tangis
perempuan-perempuan lain yang hadir di ruangan itu.

Semakin lama semakin tinggi lengking dan tangis itu, sehingga


pak Mirta dan para laki-laki lain cuma diam menunduk dengan
wajah-wajah tubuh besar berbisik agak keras di dekat telinga pak
Mirta: “Apakah tikus itu yang membunuh Margono ?”

Pak Mirta mengangguk.

“Tetapi ... bagaimana mungkin ? Mestinya Margono melawan.


Dan... mengapa ia bertelanjang bulat ? Hanya si pencuri yang
mungkin dapat melakukan hal serupa itu.”

Orang tua itu memandangi peronda itu, juga yang lain-lainnya.


Setelah menarik nafas panjang ia bergumam. Lesu : “Pembunuh

28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu bukan pencuri. Karena yang membunuh Margono adalah
seorang yang gemar pada bunga...”

“Perempuan ?” mata si peronda menyipit. “Coba lihat keadaan


Margono ketika kalian temukan. Keadaan bajunya yang
bertaburan dan tubuh Margono yang kalian katakan basah oleh
butir-butir keringat di antara darah-darahnya.”

“Maksud bapak ... Margono meniduri perempuan itu, lantas…”

“Lantas selagi korbannya terlena, perempuan itu merubah


wujudnya jadi tikus kemudian ... ah, sudahlah. Mengapa tidak kita
cari saja sarang tikus itu sebelum ia menjatuhkan korban lebih
banyak?”

***

TETAPI yang tinggal di pinggir kali tempat mayat Margono


diketemukan, hanya sobekan-sobekan pakaian Margono. Darah-
darah yang berasal dari lu ka-luka gigitan di tenggorokan dan
kelelakian cepat meski matahari baru saja muncul di ufuk timur.
Yang anehnya, gumpalan darah yang telah membeku itu,
warnanya hitam kebiruan.

“ ... warna berlumur dosa !” berbisik pak Mirta.

Empat orang laki-laki peronda tadi malam yang ikut bersamanya,


saling berpandangan.

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tetapi sudahlah !” lanjut pak Mirta. “Toh Gono sudah mati !”

Sementara laki laki yang lain mencari kalau ada jejak-jejak


manusia atau pertanda-pertanda lain yang mencurigakan dan
merupakan petunjuk apa atau siapa membunuh Margono, maka
laki-laki tua bertubuh kurus ceking dengan jenggotnya yang
melambai-lambai ditiup angin, memperhatikan sebuah lubang
kecil di bawah sebuah akar bakau.

“Ada yang bawa parang ?” tanyanya. Hampir berupa bisikan.


Karena yang lain-lain berpencar dan tekun dengan usaha masing-
masing, pertanyaan itu tidak terjawab. Pak Mirta mengulangi lagi,
lebih keras : “Parang ! Ada yang bawa parang !?”

Barulah orang-orang yang berada di situ memperhatikan.


Seseorang maju, menyerahkan sebuah golok panjang. Tetapi
ditolak oleh Pak Mirta. Sambil tak melepaskan pandangannya dari
bawah akari bakau, ia menggerutu: “Potong akar itu !”

Orang yang memegang parang, dengan heran menurutkan arah


jari telunjuk pak Mirta. Di depan lubang menganga yang ia temui,
sesaat ia coba meneliti ke dalam. “Ularkah di dalam ? Atau kedua-
duanya ?”

“Potong !” teriak pak Mirta.

“Bret !” sekali tebas, akar bakau yang menjuntai itu jatuh


menggelinding di tanah. Terdengar suara berisik, lalu lubang yang

30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menganga itu membentuk warna yang lebih hitam. Sebelum si
pemegang parang sadar apa yang ia lihat, pak Mirta berseru lagi :

“Menghindar !”

Tetapi terlambat. Dari lubang yang menganga semakin lebar


setelah akar bakau yang menutupinya jatuh, meloncat keluar
beberapa benda hitami sebesar paha manusia. Orang yang
memegang parang itu menjerit kaget dan ketakutan. Parang di,
tangan bukannya ia pergunakan, melainkan ia lembarkan. Kedua
lengan ia pergunakan menutup mukanya yang dihinggapi oleh
benda-benda hitam yang tak lain dari tikus besar dan
mengerikan.

Orang itu melolong dan meraung, ditolak oleh Pak Mirta. Tetapi
tikus-tikus itu semakin gencar menyerang tidak saja muka, tetapi
tangan, bahu, dada dan lehernya. Teman-temannya segera datang
membantu. Tetapi mereka justru jadi sasaran serangan tikus-
tikus yang luar biasa besar dengan gigi-gigi yang tajam serta
runcing bagaikan gergaji pemotong kayu. Jerit dan lolong
kesakitan segera menggema di sepanjang tepi sungai pagi hari itu.

***

PAK MIRTA cepat-cepat bersimpuh sementara keempat laki-laki


lainnya panik dan kelabakan menghadapi serangan tikus-tikus
besar yang seolah-olah semakin banyak keluar dari lubang.
31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sementara jerit dan lolong kesakitan serta raung amarah orang-
orang itu memecah kesepian di pinggir sungai, pak Mirta malah
kumat kamit sambil sebentar-sebentar meludah ke kiri dan ke
kanan, ia meludah terus dan terus, sampai kerongkongannya
seperti sudah kering kerontang dan tenaga tuanya semakin
menciut. Keringat membanjir di tiap pori-pori tubuhnya.

Lalu tiba-tiba, ya, tiba-tiba sekali : “Musnah !” ia berteriak


melengking.

Suara mencicit yang riuh rendah dari tikus-tikus itu, mendadak


lenyap dan berganti dengan keheningan yang mencekam.

Angin pagi silir semilir dengan suara tenang. Gesekan bambu-


bambu yang tertiup menimbulkan bunyi lembut. Deru air
mengalir menggema perlahan. Lalu dedaunan yang entah dari
mana munculnya yang bertebaran di sekitar keempat laki-laki
yang kepayahan itu, satu per satu melayang dan jatuh ke bumi.
Darah-darah berceceran di sana sini.

“ ... bukalah mata kalian !” suara pak Mirta lembut.

Keempat lelaki yang semenjak mendapat serangan itu menutup


mata takut digigit, perlahan-lahan membuka mata masing-
masing. Samar-samar mereka melihat bayangan dedaunan bakau
yang besar-besar jatuh bergelimpangan di tanah. Banyak di
antaranya yang terpotong-potong dan tersobek-sobek.

32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“... ke mana tikus-tikus keparat itu ?” peronda yang terbesar
tubuhnya bersungut-sungut sambil memegangi lengannya yang
luka berdarah. Seluruh bajunya sobek dan hancur. Dari dadanya
mengucur darah. Tampak luka-luka memanjang di sekitar dada
yang bidang berbulu itu.

“Tikus?” pak Mirta tersenyum halus. “Tidak ada seekor tikus pun!”

Peronda-peronda itu saling berpandangan lagi. Benar-benar tidak


percaya pada apa yang mereka dengar. Sampai seorang di antara-
nya berteriak marah : “Lalu luka-luka di tubuh kami ini..?” sambil
menampar pipi yang menunjukkan tanda-tanda yang ia katakan.

“Kalian mencakar diri kalian sendiri !”

“Mustahil !”

“Perhatikanlah kuku jari-jari tangan kalian.”

Sesaat keempat lelaki yang berpakaian compang camping karena


robek-robek itu tertegun. Berpanjangan lagi, kemudian saling
mengembangkan tangan memperhatikan kuku masing-masing.
Mereka terpekik serempak.

“Lalu ... tikus-tikus itu ... aku ingat aku ada menghancurkan
beberapa ekor di antaranya,” bersungut-sungut laki-laki peronda
yang bertubuh kekar itu.

“Kalian cuma menghancurkan dedaunan,” kata pak Mirta seraya


menunjuk pada daun-daun bakau yang bertumpuk-tumpuk
33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bergelimpangan di sekitar mereka. “Dedaunan yang. dibayang-
bayangi oleh kekuatan sihir. Aku yakin kini. Semua ini pekerjaan
seorang tukang teluh !” ia kemudian berdiri. Mengambil parang
yang tergeletak di tanah dan dengan langkah yang tegap ia
berjalan ke dekat lubang. Di sana ia meludah lagi. Ke kiri sekali, ke
kanan sekali, dan ke dalam lubang dua kali.

“Kalian galilah lubang ini dulu,” perintahnya.

Orang-orang yang mengerubunginya mundur setapak.

“Jangan takut,” senyum pak Mirta. “Tak akan ada tikus-tikus. Tadi
sebelum akar itu terpotong, aku melihat bayangan putih. Kukira
tikus yang kalian lihat subuh-tadi. Tetapi ternyata tidak. Galilah.”

Lubang itu ternyata tidak dalam. Tidak pula memanjang. Tiada


ular. Ataupun tikus. Lubang itu tampaknya dibuat oleh manusia.
Dan ketika tanah di sekitarnya telah terbongkar dengan mudah
yang tampak hanyalah beberapa kuntum bunga teratai yang
masih segar segar dan baru dipetik.

“Seseorang meletakkannya di situ. Orang itulah yang membunuh


Margono” berbisik pak Mirta.

Keempat laki laki lainnya memandang orang tua itu dengan


penuh perhatian. Tak seorang pun yang berani membuka mulut
Mereka sadar kini, bahwa mereka berada di tengah-tengah alam
nyata dan alam gaib.

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka merasa sekujur tubuh mereka kesakitan. Rasa takut dan
ngeri perlahan sudah hi-lang, namun belum semuanya. Karena itu
mereka cuma diam dan pasrah kepada pak Mirta, yang bersikap
tenang dan hati-hati dalam melakukan segala tindakan.

“Teratai putih,” kembali suara pak Mirta terdegar halus sekali, ia


berpikir-pikir. Matanya terpejam lama. Menggelengkan kepala
berulang-ulang. Meludah sekali. Lalu membuka matanya.
Bertanya: “Ingatkah kalian ?”

“Ap-paaa ?, empat mulut lain serempak membuka.

“Si Teratai Putih !” Mereka menggelengkan kepala.

“Ah, orang-orang muda sekarang memang lekas pelupa. Tetapi


yah ... seingatku, memang tidak seorang pun di antara kalian yang
ikut terlibat dalam pembunuhan terhadap keluarga Teratai
Putih.” Pak Mirta sesaat menghela napas. “Tetapi Margono ikut.
Dan kini ia mati di tangan Teratai Putih, apakah si gadis cucu
peneluh itu, mulai membalaskan dendam keluarganya ?”

Semua yang ada di situ tahu peneluh mana yang dimaksud pak
Mirta. Semua yang mendengar pada bergidik. Pucat. Hal itu
tampak pula di wajah sang lurah, namun ia dapat
menyembunyikan perasaan dengan tidak berkeluh kesah Jauh di
sanubari, sebenarnya ia merasa kuatir.

“Aku pun terlibat” ia merintih.

35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak lama. Wajahnya berubah cerah lagi, ketika ia teringat sesuatu.
“Masih ada harapan,” pikirnya. “Aku harus menemui dia sekarang
juga !”

Lantas setelah mereka pulang ke rumah masing-masing dengan


janji ia akan mengobati luka-luka mereka, ia berlalu.

Dengan kepala menekur. Dalam.

***

SEBENARNYA Mayangsari baru menginjak usia 36 tahun,


seminggu sebelum mayat Margono ditemukan. Tetapi tekanan
bathin dan hati yang sudah lama terluka, menyebabkan
perempuan itu tampak lebih tua sepuluh tahun. Tubuhnya kurus,
dan gurat-gurat di beberapa sudut wajahnya menggaris semakin
nyata dari tahun ke tahun.

Namun begitu, di wajah dan potongan tubuhnya masih tertinggal


sisa-sisa kecantikan yang pernah ia banggakan karena sempat
membuat beberapa orang lelaki tergila-gila, ada yang sampai
cerai dengan isterinya dan ada pula yang bersumpah untuk tidak
menikah seumur hidup - kecuali perempuan yang ia nikahi,
Mayangsari.

Laki-laki itulah yang siang hari ini mengetuk pintu rumah


Mayangsari di ujung desa. Suatu kehormatan dikunjungi orang

36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
paling mulia di desa mereka, namun toh Mayangsari menyambut
pak Mirta dengan sikap biasa, malah setengah tak acuh. Sebagai
warga yang baik, ia mempersilahkan tamu nya masuk dan
kemudian pergi ke dapur untuk membuatkan teh.

“ ... kau baik-baik saja, Mayang ?” bertanya lurah desa, setelah


mereka kemudian duduk berhadap-hadapan.

“Biasa saja, pak.”

“Kudengar kau sakit .”

“Dari dulu juga aku sudah sakit-sakitan, pak Mirta,” perempuan


itu mencoba tersenyum. Hanya keinginan untuk tidak mati sia-sia
membuat ia tetap bertahan hidup, demikian yang tersirat di balik
sinar mata Mayangsari.

Pak Mirta menghela nafas panjang. Berkata, lirih : “Kau menyiksa


diri sendiri, Mayang. Dari tahun ke tahun, kau tak pernah
berubah. Selalu melamunkan orang-orang yang sudah meninggal,
padahal kau masih tinggal bersama mereka yang masih tetap
hidup ...”

“Apa bedanya ? Mereka yang masih hidup, toh tidak pernah


memandang sebelah mata pun padaku. Dibiarkan sendirian, aku
sudah berterima kasih. Ini ... kau tahu sendiri bukan, pak Mirta ?”

Yang ditanya, mau tak mau terdiam.

37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ke mana pun perempuan ini pergi, orang tetap berbisik-bisik :
“Itu dia si Mayang, anak tukang teluh !” Lebih menyakitkan lagi :
“Tahu tidak. Anaknya, si Teratai Putih, hilang rahib ! Tentu saja :
anak itu lahir dari kekuatan sihir !”

Hanya berkat pengaruh pak Mirta sebagai lurah di desa itu,


Mayangsari tidak diusir. Sebagai kepala desa, dia pulalah yang
paling gigih menolak keinginan penduduk untuk membakar saja
si Mayang Terkutuk, agar pengaruh sihir tak bersisa lagi di daerah
mereka. “Dia sudah ditinggal mati suami, anak dan ayahnya.
Kalian tahu sendiri, dia tidak pernah pula ikut ikutan ayahnya
bertapa di gunung, ia bersih, aku jamin kalian semua. Jadi biarkan
dia. Jangan sudah jatuh, kalian timpa pula dengan tangga.” Dan
kalau masih ada penduduk yang bersikeras, pak Mirta dengan
halus mengancam : “Kalian berani ? Silahkan. Akibatnya, tanggung
sendiri. Jangan lupa, ayah Mayang seorang tukang sihir. Jadi siapa
tahu, dia punya ilmu juga.”

Lalu semua penduduk mengucilkan Mayangsari. Setiap orang


membencinya, tetapi sekaligus takut kepadanya. Kecuali
pedagang-pedagang dari kota. Tengkulak-tengkulak itu dengan
rajin mendatangi rumah Mayangsari, membuka kolam-kolam ikan
milik perempuan itu dan memboyong isinya ke kota. Kebetulan
pula kolam-kolam ikan milik Mayangsari termasuk subur, ikan-
ikannya gemuk dan cepat besar, ia rajin mengurusnya, itu
sebabnya. Tetapi penduduk bilang, kolam ikan itu berisi makhluk

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
jadi-jadian. Paling kurang, diberi makanan oleh roh-roh jahat.
Para tengkulak tak perduli. Mereka cuma bilang : “Ikan ya ikan.
Makin baik, makin laku dijual.”

“ ... terkadang,” suara Mayangsari mengejutkan pak Mirta.


“Terkadang, ingin aku menyingkir. Ke mana saja. Pokoknya, ke
tempat di mana aku tidak dikenal orang, dan diperlakukan
sebagaimana me-reka memperlakukan warga desa yang lain.
Tetapi aku lahir di sini, besar dan ingin mati di sini. Aku tidak
ingin berpisah dengan ayahku, suamiku, anakku.”

“Mereka sudah lama mati, Mayang.”

“Jasad mereka, ya. Rohnya, tidak.”

“Uh. Apa pula itu ? Jangan membuatku percaya apa yang


digunjingkan orang selama ini tentang dirimu, Mayang.”

Si perempuan diam saja. Wajahnya tidak menggambarkan


kecewa, marah, sakit hati. Apalagi kegembiraan. Agak lama, baru
ia membuka mulut kembali: “ ... kau tahu apa yang kumaksud, pak
Mirta.”

Ya. Pak Mirta tahu : Mayang tidak mau jauh dari kuburan suami
dan ayah kandungnya. Dan seperti apa yang juga berulang kali
diucapkan Mayangsari, perempuan itu masih tetap penasaran.
Ingin tahu di mana anaknya terkubur, ia yakin anaknya sudah
meninggal, tetapi ia baru puas kalau sudah melihat sendiri

39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kuburan Teratai Putih, dan bahwa Teratai Putih dimakamkan
secara wajar.

Pak Mirta seketika teringat akan tujuannya berkunjung.

“ ... salah seorang warga kita, telah meninggal,” katanya, berusaha


mencari kalimat yang paling halus diungkapkan. “Namanya
Margono. Ia…”

“Sudah kudengar,” ujar Mayangsari, dingin.

“Oh ya ?”

“Ada beberapa orang lewat di depan rumahku, tadi. Mereka


menuding-nuding. Bahkan ada yang berteriak ....”

“Berteriak ?”

“Ya”

“Apa yang mereka teriakkan ?”

“Bahwa aku seorang pembunuh !” wajah Mayangsari muram.


Terluka. “Aku dituduh membu-nuh si Margono.”

“Jadah ! Tuduhan itu tidak benar !” pak Mirta blingsatan sendiri.

“Memang tidak. Sepanjang malam aku tidak keluar dari rumahku.


Setelah pedagang-pedagang itu pergi, satu minggu ini aku sibuk
mengurusi kolam-kolam di belakang rumah. Aku letih, tertidur
dan .. Ah, ah. Mengapa pula harus kuceritakan padamu, pak Mirta?

40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Toh tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat bahwa aku
sungguh-sungguh tak ke…”

“Aku percaya padamu, Mayang,” bisik lurah desa, renyuh. “Aku


percaya. Dan entah bagaimana caranya, akan kupertahankan
kepercayaanku ini bila ada warga yang mendesak.”

“Jangan melibatkan diri, pak.”

“Mengapa tidak ? Aku seorang lurah. Sudah tanggung jawabku


untuk membela setiap warga yang tidak bersalah

“Dari mana kau tahu aku tidak bersalah, pak Mirta ?”

“Naluriku yang mengatakan.”

Mayangsari diam. Matanya menatap lurus ke mata pak Mirta.


Yang dipandang tidak mengelak, ia balas menatap. Lembut,
berperasaan. Cuping telinganya mesti merah padam, apabila ia
masih berusia remaja. Di usianya yang sekarang, cuping
telinganya cuma bergeming sedikit. Semuanya wajar, semuanya
tampak biasa saja.

Ia melanjutkan lagi : “Kau tahu, Mayang ? Setelah mayat Margono


ditemukan dan aku memeriksa segala sesuatunya, naluriku
mengatakan pula. Teratai Putih sudah kembali !”

Beberapa saat lamanya, Mayangsari menegang, kaku. Kemudian ia


tertawa. Parau. Katanya : “ ... mustahil !”

41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pak Mirta angkat bahu. Mengeluh : “Kau tak pernah ikut-ikutan
dengan ayahmu, Mayang. Tetapi si Teratai, tak pernah lekang dari
dia. Mereka berdua saling sayang menyayangi, saling pengaruh
mempengaruhi. Aku tahu benar, apa yang ada dalam pikiran
almarhum ayahmu. Kau tidak mewarisi darahnya. Darah
keturunan, ya. Tetapi darah pembawa bakat ilmu yang dimiliki
ayahmu, tidak. Si Teratai memilikinya .”

“Maksudmu-“ Mayangsari menggigil. Dingin sekujur tubuhnya.


“Anakku telah kembali - dalam wujut yang lain ?”

Pak Mirta membasahi bibirnya yang kering. Lalu, menjawab


segan: “Benar.”

“Wujut bagaimana ?”

“… ia telah kembali. Hanya itu yang dapat kukatakan padamu.


Selebihnya, kau percayakan saja pa daku, Mayang. Dan jangan
mendesak aku, karena aku tidak ingin menambah luka di
hatimu...”

“Punya rencana, pak Mirta ?”

Yang ditanya, diam sesaat. Kemudian : “Tidak.”

Itu jelas bukan jawaban yang jujur. Tetapi bagaimana ia mungkin


menjelaskannya ? Mempersatukan darahnya dengan darah
Mayangsari, untuk melawan kekuatan darah Teratai Putih.
Melawan kekuatan anak kandung perempuan itu sendiri, ia tahu,

42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mayangsari seorang perempuan baik-baik. Namun sebaliknya, dia
juga tahu, diam-diam Mayangsari menyimpan kepenasaran : ingin
tahu siapa pembunuh ayahnya dan puterinya. Ingin melihat
pembunuh-pembunuh itu mati tersiksa.

Menarik nafas panjang sebentar, pak Mirta berkata lagi :


“Maksudku, untuk sementara ini aku belum punya rencana apa-
apa. Entah lain kali..” ia kemudian bangkit. Berjalan ke pintu. Di
situ, ia membalik dan menatap Mayangsari yang masih terhenyak
di kursinya. Bimbang, dia bertanya : “Kapan kau berhenti
melamunkan orang yang sudah meninggal, Mayang?”

Mayangsari diam saja.

Pak Mirta tidak putus asa. ia tersenyum manis, berkata lebih


manis lagi : “Aku masih tetap dengan tekadku, Mayang. Kapan kau
mulai berpikir mengenai mereka yang masih hidup, kuharap
akulah orangnya yang pertama-tama kau beritahu.”

Mayangsari tetap saja diam. ia menunggu sampai lurah desa itu


lenyap dari pandangan matanya.

Kemudian berjalan ke jendela. Menatap salah satu kolam di luar.


Kolam yang tak pernah ditaburi benih ikan. Kolam itu tempat
mandi si Teratai. Kolam kesayangan puterinya, yang dengan
tekun dan asyik merawat bunga-bunga teratai yang tumbuh di
tengah kolam. Ada suatu kebiasaan anaknya yang membuat
Mayangsari merasa heran. Anaknya akan menyingkirkan bunga

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
atau bibit teratai yang berwarna merah, biru, ku ning malah
Jingga yang begitu indah. Sebaliknya, anaknya tetap membiarkan
teratai putih tumbuh subur dengan memberi alasan, putih teratai,
adalah putih hatinya.

Dan, dia telah kembali - kata pak Mirta.

Mustahil untuk dipercaya. Namun, jauh di sanubarinya


Mayangsari meragukan kepercayaan-nya sendiri. Si Teratai
datang menemuinya tadi ma lam. Gadis itu mengenakan gaun
putih yang aneh dan belum pernah dilihat Mayangsari. Gaun yang
seolah terbuat dari asap - ataukah kabut? Gaun yang menambah
kecantikan wajah dan keindahan tubuh anaknya, membuat si
Teratai tampak lebih mekar, lebih dewasa.

“Boleh kupetik bunga-bungaku, mak ?” bertanya gadis itu,


tersenyum penuh harap.

“Ambillah. Itu punyamu, nak,” jawab Mayangsari. Lalu anaknya


menghilang, lenyap seperti asap, seperti kabut. Mayangsari
terbangun dari tidur, me-rasa ia telah bermimpi. Tadi pagi ia
membuka jen-dela dan melihat ke kolam bekas anaknya sering
bermain. ia tercengang menyaksikan apa yang terjadi. Sekarang,
tidak lagi. Sekarang, ia dengan pasti berdiri di belakang jendela.
Menatap ke tengah kolam.

Di sana, tumbuh berkelompok-kelompok bunga teratai putih. Itu


tidak aneh, Yang aneh, bunga-bunga warna merah, kuning, biru

44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dan Jingga yang ia biarkan tumbuh subur semenjak anaknya
menghilang sekian tahun, tidak tampak lagi menghiasi
permukaan air kolam yang bening jernih. Daun, batang, akar dan
bunga-bunga teratai warna warni itu tampak berhamburan di
pinggir kolam, seolah dising-kirkan dengan perasaan jijik.

Yang tinggal hanya kelompok teratai putih.

Dan beberapa kuntum di antaranya, telah hilang dipetik.

***

SUASANA di pekuburan desa hening di saat jenasah Margono


diturunkan ke liang lahat. Seseorang kemudian bangkit untuk
membacakan do'a, dan tiga laki-laki bertubuh kekar hitam
terbakar matahari bersama-sama menimbunkan tanah ke dalam
liang. Seorang anggota keluarga ikut membantu, sementara dua
orang gadis mendekat dengan baskom yang penuh berisi air serta
bunga rampai warna warni.

“ ... itulah semuanya,” pak Mirta mendesah, lirih.

Dudung yang berdiri di dekatnya, sengaja men jauh dari


kelompok pengiring jenasah di sekitar liang kubur, tampak sedikit
pucat, ia menjilati bibirnya yang semakin kering selama
mendengarkan penjelasan lurah desa mereka, yang juga adalah
uwanya itu. Hampir tak kentara tampak tubuh Dudung gemetar.

45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Peluh dingin membuat ketiaknya terasa lembab. “Kalau bukan
Uwa sendiri yang mengatakan, aku akan tertawa,” ia berkata
pelan. “Si Teratai bangkit dari kubur. Ya Tuhan !”

“Sayang,” timpal Uwanya, suram.” Kita pernah melupakan Tuhan.”

Dudung kembali membasahi bibir yang semakin kering. Pak Mirta


benar. Mereka pernah melupakan Tuhan. Emosi dan nafsu
menguasai diri, kehormatan dan nama baik tanpa sadar diinjak-
injak. Semua itu gara-gara ia mencintai Teratai Putih yang
tumbuh pesat dalam usianya yang baru menginjak 12 tahun.
Umur 7 tahun, dada Teratai Putih telah mengambang subur dan
pada umur 12, betapa gatal tangan yang melihat untuk menjamah,
gemas pingin meremas.

Ayahnya yang waktu itu menjabat kepala desa, sempat dibuat


bingung oleh polah Dudung yang uring-uringan. Tidak mau
melanjutkan sekolah. Enggan pula bekerja di sawah. Kerjanya
berkelahi. Siapa saja yang mendekati bahkan melirikkan mata ke
arah Teratai, Dudung langsung naik pitam, ia seorang pesilat yang
tangguh. Kalaupun lawannya tidak jatuh oleh sepak terjangnya,
maka kedudukan ayahnya sebagai kepala desa merupakan jurus
terakhir tetapi sangat ampuh.

“Ingat, nak. Teratai masih bocah ingusan,” pernah ayahnya


memperingatkan. “Lagipula, kita semua tahu kakeknya itu
seorang bekas pertapa. Memang banyak orang sakit atau terlantar

46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang telah ia tolong. Tetapi ada pula kita dengar, kakek Teratai
dengan mudah akan menciderai seseorang atas permintaan
dengan bayaran tinggi. Si Teratai pun konon sudah menerima
ilmu yang sama dari kakeknya. Dia bukan gadis yang sepadan
untukmu, nak. Masih banyak yang lain. Anak keluarga baik-baik.
Si Saerah, anak Haji Suleh. Si Ningrum, anak bekas Camat. Kalau
kau masih kurang puas, aku dekat dengan Bupati. Puteri bungsu
Bupati sedang meningkat dewasa, dan kalau dikait-kaitkan kita
masih ada pertalian keluarga dari nenek sepupumu, ia juga tak
kalah cantik dengan cucu pertapa itu...”

Dudung tidak tertarik. ia makin liar, makin tidak dapat


dikendalikan. Sebelum keluarga dibuat malu, mau tidak mau
ayahnya yang kepala desa terpaksa menemui keluarga Teratai
Putih. Ayahnya disertai pula oleh uwa-nya, pak Mirta dan
beberapa orang sanak fami-li yang pintar ngomong. Siapa nyana,
salah seorang! pengiring ayah Dudung kehadirannya membuat
rusak suasana.

“Dia itu,” kakek Teratai menuding orang dimaksud. “ ... dulu paling
bersikeras mengatakan me nantuku mati karena kujadikan
tumbal. Dia berkoar kian kemari mengatakan aku menempuh
jalan sesat - memuja setan, menyembah roh jahat penghuni lereng
gunung tempatku sering bersemadhi mensucikan diri.”

Pengiring keluarga itu bermerah muka karena malu.

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ayah Dudung menyesal membawanya, tetapi salah seorang
pengiring lain dengan cepat mengete-ngahi. Katanya : “ia
dipengaruhi orang. Terlalu cepat menangkap kabar burung.
Padahal kita se mua tahu, menantu bapak memang meninggal,
karena dipatuk ular. Suatu musibah yang setiap orang pun dapat
saja terkena, bukankah begitu?” si pembicara menatap orang-
orang yang datang bersamanya. Semua mengangguk menyetujui.

Kemarahan kakek Teratai Putih mencair, apalagi setelah


pengiring keluarga yang ulahnya pernah membuat malu itu,
dengan tulus ikhlas memohon maaf dan lain kali akan menjaga
telinga, mata dan mulutnya.

Namun itu belum berarti niat mereka tercapai.

“ ... cucu kami masih terlalu muda untuk kawin,” kakek Teratai
Putih tetap menolak lamaran yang diajukan. “Coba. ia masih 12
tahun. Membersihkan ingus pun masih perlu dibantu. Apalagi
mengurus suami, wah ...!”

“ia dapat belajar,” si pembicara keluarga Dudung belum


menyerah. “Lagi pula, bukankah banyak gadis-gadis lain seumur
Teratai yang telah berumah tangga ?”

“Memang benar. Tetapi banyak di antara mereka ang kemudian


hidup menjanda, ya tidak ?”

“Kita tidak mengharap, pak. Dan kalaupun pada akhirnya itu


terjadi, nyatanya janda-janda yang kita kenal cepat dapat jodoh
48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kembali,” pembicara keluarga Dudung kemudian mencoba
berseloroh: “Mereka laku keras, ketimbang yang masih perawan .”

Seorang dua tersenyum, tetapi tidak kakek Teratai Putih. “Cucuku


boleh saja menikah. Tetapi kami tidak ngin suatu ketika ia
menjanda seumur hidup seperti ibunya ...”

“Itu karena ibu Teratai terlalu mencintai almarhum suaminya,”


pak Mirta ikut buka suara, sekali-gus melirik ke balik pintu ruang
tengah, dari mana sesekali ia lihat bayangan tubuh Mayangsari
yang diam-diam menguping pembicaraan. Dalam hati, entah apa
yang tersirat. Dudung tahu benar kalau Uwanya menaruh hati
pada ibu Teratai Putih, tetapi kalah cepat dengan almarhum
suami Mayangsari. Celaka dua belas.

Ucapan pak Mirta yang tidak dipikir panjang lebar itu, segera
ditanggapi kakek Teratai Putih. Dingin dan tajam menyengat,
orangtua itu bergumam : “ Apakah maksud kalian Teratai Putih
kawin dengan Dudung, tanpa Teratai harus mencintai suaminya?”

Pak Mirta terdiam. Ayah Dudung, apalagi. Para pengiring sudah


mandi keringat, toh tidak ada hasil apa-apa yang dicapai, kecuali
salah seorang dari me reka diterima permohonan maafnya.
Betapa me malukan. Sudah harus meminta maaf, lamaran pun
masih ditolak. Padahal itu lamaran seorang kepala desa yang
punya pengaruh sampai ke kantor Bupati. Suatu kehormatan buat
penduduk yang beruntung memperolehnya.

49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Rombongan pelamar itu akhirnya mengundur kan diri dengan
perasaan malu. Lama kelamaan semua penduduk desa
mengetahuinya. Aib semakin tercoreng di muka. Hubungan
antara keluarga Dudung dengan keluarga Teratai Putih dengan
sendirinya semakin retak.

Dari mulai tidak saling kunjung mengunjungi, sampai akhirnya


tidak saling menyapa Bertemu di jalan pun dielakkan. Bila
kepergok, memalingkan muka. Soal-soal kecil meledakkan perang
mulut, merembet pada perkelahian pisik dengan menjadikan soal
batas tanah dan pengairan di sawah sebagai biang keladi.

Semua keluarga telah ikut campur, karena Dudung bertambah


kurus dan suka ngomong sendirian setelah tahu lamarannya
ditolak. Entah siapa yang memulai, kabar burung mulai tersiar.
Dudung yang makin kurus dan suka berceloteh sendiri, dikatakan
kena teluh. Siapa lagi peneluhnya, kalau bukan kakek Teratai.

Semua keluarga kemudian berembuk. Hasilnya sudah dapat


dibayangkan; sebagaimana biasa, seorang tukang teluh harus
dibunuh. Beberapa orang telah ditunjuk untuk melaksanakan
tugas yang dianggap terhormat itu. Akan tetapi ayah Dudung
bukan orang sembarangan ketika dipilih jadi kepala desa. ia
mencegah niat keluarga Itu. berkata bahwa Dudung begitu hanya
karena patah hati. Mungkin saja kakek Teratai tukang teluh, tetapi
ia tidak boleh dihukum untuk suatu perbuatannya yang belum
terbukti nyata.
50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Jangan kita sampai malu dua kali,” katanya, memutuskan.

Rencana batal dengan sendirinya. Tetapi ber kembang kembali,


tatkala suatu ketika timbul ben-jolan-benjolan merah yang tidak
saja gatal tetapi juga menyakitkan di sekujur tubuh ayah Dudung.
Segala macam obat telah diusahakan, tetapi benjol- an itu makin
banyak, makin menyiksa. Suatu malam, ayah Dudung berkelejotan
di tempat tidur, menjerit-jerit penuh sengsara, ia kemudian
menghembuskan nafas dengan mata terbelalak dan mulut
menyeringai menahan sakit yang tiada terperi.

Menteri kesehatan yang memeriksa mayatnya, mengatakan ayah


Dudung meninggal karena serangan tumor. Sebagian kecil
keluarga, percaya. Tetapi lebih banyak yang tidak. Kelompok yang
menolak kematian ayah Dudung diakibatkan tumor, lantas saja
menuduh kepala desa itu mati kena teluh.

Keluarga kembali berkumpul untuk rembukan. Hasilnya sama


seperti dulu : peneluh itu harus dibunuh, sebelum jatuh korban
yang lain. Hanya bedanya, kali ini tidak ada yang mau ditunjuk
mengemban tugas yang jelas tidak gampang itu. Setelah melihat
cara kematian ayah Dudung, hati mereka menjadi ciut. Apalagi
ada yang mengatakan, seorang tukang sihir yang dibunuh, hanya
jasadnya saja yang mati. Rohnya tetap hidup untuk mengejar dan
melakukan pembalasan kejam terhadap orang-orang yang
mencelakakannya.

51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dudung kecewa. ia hampir gila karena pikiran ayahnya diteluh,
cintanya ditolak dan semua keluarga bernyali kecil. Dudung
lantas membujuk orang lain untuk melaksanakan sakit hatinya.
Hanya dua orang yang bersedia. Margono, kepala keamanan desa
yang diam-diam juga ada hati sama Teratai Putih tetapi pernah
mukanya diludahi si gadis waktu dadanya dijamah Margono. Lalu
Ajat, tukang pukul yang senantiasa lengket bagaikan lintah ke
mana saja Dudung pergi; karena butuh uang dan pengaruh, selain
itu dia pulalah guru silat Dudung. Berbagai rencana mereka susun
bertiga.

Semuanya terbentur pada satu hal : kakek Teratai harus


dilumpuhkan sebelum sempat mempe-cundangi mereka. Untuk
itu, kelemahan-kelemahan orang tua itu harus diketahui lebih
dulu. Baik Dudung, Margono maupun Ajat, tidak tahu apa
kelemahan tukang teluh itu. Yang tahu, hanya pak Mirta.

***

“ ... aku tak melihat Ajat !”

Dudung terbangun dari lamunannya. Kerumunan orang di sekitar


pekuburan menggaungkan suara “amin,” mengikuti do'a yang
dibacakan salah seorang pembicara. Sebagai kepala desa, Uwanya
akan tampil sebagai pembicara terakhir. Pak Mirta masih berdiri
di dekatnya, dan mengulangi ucapannya tadi :

52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“ Aku tak melihat Ajat.”

Dudung menarik nafas. “ ia ke kota,” katanya.

“Kapan ia pulang ?”

“Katanya, sore ini juga. Mungkin terhalang di jalan, atau


urusannya di kota belum rampung. Mengapa rupanya, uwa ?”

“Kita harus memberitahukan hal ini kepadanya. Supaya ia juga


berjaga-jaga.”

“Bagaimana ?”

“Nantilah aku ke rumahmu. Tetapi dengar nasihatku, nak. Mulai


malam ini, jangan keluar rumah sampai matahari terbit. Beritahu
juga anak isteri-mu. Kunci pintu dan jendela rapat-rapat.”

“Tetapi, uwa. Roh jahat tidak akan terhalang pintu yang terkunci.”

“Itulah. Nanti aku ke rumahmu untuk mempersiapkan segala


sesuatunya. Kalau kau bertemu Ajat, beritahu pula ia supaya
datang. Jadi aku tidak perlu bersusah-susah untuk mencarinya ...”

Pembicara tadi selesai membacakan pidato dan do'a.

Kepala desa, giliran berikutnya. Pak Mirta maju ke depan. Dudung


tak beranjak. Pikirannya menerawang, jauh. Jauh ke berapa tahun
berselang ketika ia dan dua temannya mendapat persetujuan dari
pak Mirta supaya bersedia membantu. Setelah Mayangsari
kematian suami, boleh dikata tidak ada halangan apa-apa bagi

53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pak Mirta melamar Mayangsari. Kecuali bekas gurunya, ayah
Mayangsari yang jelas akan menolak bermenantukan pak Mirta.
Dia pernah jadi murid kakek Teratai Putih tetapi kemudian
mereka berpisah setelah ketahuan pak Mirta memperdalam ilmu
yang tidak disukai gurunya.

“Aku akan membantumu,” kata pak Mirta kepada ponakannya.


“Tetapi kuminta kau dan teman-temanmu berjanji agar menjaga
rahasia. Tidak seorang pun boleh tahu bahwa kitalah yang
membunuh kakek Teratai. Lebih-lebih, Mayangsari.”

Dengan janji itu, mereka kemudian berangkat.

Kakek tua itu sedang mencangkul di sawah ditemani oleh cucu


gadisnya, Teratai Putih yang meskipun baru berusia 12 tahun,
sudah tampak kejelitaan wajah dan kemontokan tubuhnya.
Sesaat, mereka tertegun memandangi gadis cilik yang tengah
menyiapkan makan siang kakeknya di dalam dangau. Dudung
menggerutu tidak menentu. Margono tersenyum kecut,
sementara pak Mirta buru-buru menarik tangan kedua laki-laki
muda itu untuk segera menuju ke tengah sawah di mana si kakek
membersihkan tubuh untuk segera naik ke dangau. Ajat tetapi
tinggal di dangau, menjaga Teratai Putih.

Matahari tepat di atas kepala ketika kakek tua yang bertubuh


kekar dan sehat itu samar-samar melihat tiga orang lelaki berdiri
di tegalan. Ketiganya berkacak pinggang. Ketiganya dengan mata

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terpentang. Mengenali siapa orang-orang yang ada di
hadapannya, si kakek mencoba tersenyum. “Tumben. Perlu
apakah kiranya saudara-saudaraku kemari ?” sapanya dengan
ramah.

“Cuih !” Dudung meludah.

Si Kakek terdiam sesaat. Kemudian mendekat. Agak tergetar


Dudung dan Margono. Lain dengan pak Mirta. ia kumat kamit
membaca mantera, kemudian meludah ke kiri dan ke kanan.
Menyadari gerakan orang yang pernah jadi muridnya itu, si kakek
menjadi hati-hati. “Apakah kalian bersedia makan siang
bersamaku “, ia berusaha menahan diri.

“Cuih, Kami tak mau makan racun!” sungut Dudung. Lalu, dengan
satu teriakan ia mencabut golok dari pinggang, meloncat ke depan
disertai pekikan : “Ini untuk ayahku !”

Bacokan itu mengenai pundak si kakek. Pundak kakek itu


menganga lebar. Sekalipun terluka, si kakek tidak jatuh, ia
mencoba tersenyum.

Dudung menyerang lagi. Dibantu oleh Margono dengan jurus-


jurus silat yang ia miliki. Kakek Teratai Putih terumbang ambing
ke sana ke mari, sementara bekas muridnya, terus menerus
membaca mantera sambil tak henti-hentinya meludah, ia baru
berhenti meludah ketika kakek Sumirta terkapar dan terbenam
dalam lumpur.

55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pak Mirta tertegun sejenak. Berbisik pada dirinya sendiri, “Orang
itu tak melawan, ia tak mengeluarkan ajian-nya.”

Kemudian ia berdiri. Lesu. Meninggalkan tempat itu. ia tertatih-


tatih menuju desa, sementara kedua anak muda yang sedang
kalap itu berjalan menuju dangau. Jerit dan tangis gadis kecil
menggema dari dalam dangau, di bawah terik mentari yangkian
panas memanggang bumi.

***

AJAT memacu sepeda motornya pulang ke desa.

Urusannya di kota rampung sekitar pukul dua siang. Tetapi


saking gembira ia memperoleh surat pengangkatan resmi sebagai
guru olahraga di SMA kota itu Ajat mengajak beberapa teman
dekat makan minum di sebuah restoran. Kemudian mengunjungi
seorang keluarga untuk memberitahu kabar gembira itu. Karena
sudah maghrib, ia mengambil jalan pintas lewat perkebunan.
Memang jalannya jelek tetapi bisa menghemat waktu hampir satu
jam.

Toh ia terhambat juga.

Di tengah jalan perkebunan itu beberapa orang kuli tengah sibuk


membersihkan bongkahan batu. tanah bercampur lumpur yang

56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
longsor dari tebing di atas. Salah seorang kuli itu mengenali Ajat,
dan menanyakan apakah ia punya rokok.

Sambil merokok, Ajat dan kuli-kuli itu ngobrol.

“ ... belum pernah separah ini,” kata yang satu.

“Ada mayat lagi,” tambah yang lain.

“Mayat ?” Ajat lantas tertarik.

“Ya. Wajah dan tubuhnya sedemikian rusak, sehingga sukar


dikenali. Tampaknya ia itu maling domba yang sudah sering
membongkar kandang ternak beberapa desa di sekitar
perkebunan ini. Binatang binatang itu kami temukan berceceran
di beberapa tempat. Sebagian sudah jadi bangkai. Yang aneh, kami
juga menemukan sejumlah bangkai tikus...”

Ajat tidak tertarik pada bangkai tikus, ia lebih tertarik pada


penemuan mayat itu, siapa tahu salah seorang penduduk desanya.
Sayang, kata kuli-kuli tadi mayat maling domba itu sudah dibawa
ke kota siang tadi, setelah polisi dilapori. Tak ada kartu pengenal
di pakaian mayat itu, kecuali beberapa lembar uang dan sepucuk
surat yang belum selesai ditulis dan ditujukan kepada seorang
perempuan bernama Painah. Siapapun orang itu, polisi menduga
bukan mati tertimpa atau terseret longsor.

“Kuat dugaan, ia dibunuh,” kata kuli yang kenalan Ajat.

“Wah. Siapa pula pembunuhnya ?”

57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Mengapa harus diributkan siapa ? Pokoknya, ia dibunuh. Maling
semacam dia itu sudah sepantasnya menerima hukuman
demikian. Kalau cuma di tangkap lalu diserahkan ke polisi, masuk
bui satu dua bulan. Taruhlah setahun, lalu kemudian bebas.
Mencuri lagi. Makin pintar pula, berkat didikan orang-orang
hukuman yang berpengalaman, selama di bui. Memang ada juga
yang ...”

“Aku tetap dengan pendapatku,” menukas salah seorang kuli.


“Orang itu dibunuh bukan oleh manusia. Melainkan oleh tikus-
tikus itu.”

“Tikus lagi,” Ajat nyeletuk, bosan.

“He-eh. Tikus-tikus, yang bukan main besarnya. Melihat keadaan


di sekitar tempat mayatnya ditemukan, besar kemungkinan orang
itu telah berjuang mati-matian untuk melawan serbuan
gerombolan tikus yang mengeroyoknya.”

Ajat tertawa. Katanya : “Kau sepertinya mau mengatakan, tempat


ini dikuasai kerajaan tikus.”

“Mengapa tidak ? Menejer perkebunan sudah kewalahan


menghadapi tebing tebing di sini. Apa saja yang ditanam, tak
pernah jadi. Pernah kuli-kuli dikerahkan untuk pembantaian
besar-besaran terhadap tikus-tikus. Toh tiap tahun, makhluk-
makhluk menjijikkan itu muncul semakin banyak. Tidak sedikit
lubang-lubang gelap atau rongga-rongga guha tempat mereka

58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dapat berkembang biak dengan subur. Satu dua dapat ditutup.
Diratakan. Lainnya tetap dibiarkan penuh misteri. Jangankan
masuk, Dekat pun, orang tidak berani. Konon dihuni nyak
binatang berbisa. Malah belakangan ada desas desus mengatakan
lubang atau guha di sini, dihuni pula oleh roh gentayangan yang
suka mengganggu orang-orang yang lewat malam hari...”

Mayat. Lubang-lubang gelap. Tikus-tikus.

Meneruskan perjalanan pulang ke desa, terus pu-ia pikiran Ajat


menerawang. Mayat, lubang-lubang gelap, tikus-tikus, ia tidak
berani bertanya, apakah mereka temukan juga tulang-belulang
manusia, tulang belulang yang sudah lama terpendam.
Pertanyaan itu akan membuat mereka curiga.

Dan, Banyak lubang. Banyak rongga guha. Ajat sendiri lupa-lupa


ingat, yang mana tempat gadis itu dulu terperosok jatuh.

Terbayang di mata Ajat peristiwa hari itu.

… ia menunggu di luar dangau di tengah sawah yang sunyi sepi,


sementara Margono dan Dudung sibuk di dalam, ia mendengar
jerit tangis Teratai putih yang memilukan, ia juga mendengar
suara tertawa, ucapan-ucapan kotor dan dengus-dengus nafas
kuda dari mulut kedua temannya.

Sesekali ia mengintip ke dalam dangau. Melihat Margono dan


Dudung bergantian menggagahi gadis itu. ia lihat paha yang putih

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mulus, ia lihat putik susu yang merah segar. Mau tak mau, dari
ingin melerai, malah terbit nafsu birahinya.

Ajat tertawa senang ketika akhirnya Margono dan Dudung selesai,


dan mereka pulang ke desa dengan perasaan puas. Dudung
berkata padanya : bereskan anak itu, Jat. Terserah, mau kau
apakan. Pendeknya ia tidak boleh buka mulut !

Ajat sengaja menunggu gadis itu benar-benar sadar dari shock-


nya. Membiarkan dengan sengaja gadis itu lari ke luar pondok.
Setelah agak jauh barulah Ajat mengejar. Sedapat mungkin ia ber
usaha menyudutkan Teratai Putih supaya lari ke arah yang
diharapkan Ajat.

Menjauhi desa, menjauhi tempat-tempat di mana mereka


mungkin keper gok penduduk. Tiap kali ia pergoki, tiap kali ia bu
at Teratai Putih terkejut dan semakin takut. Sede mikian rupa
sehingga gadis itu putus asa. Ke mana pun Teratai Putih lari, ke
sana Ajat mengejar. Ke mana Teratai Putih bersembunyi, ke sana
Ajat me nyelinap. Memegang kaki gadis itu diam-diam sampai
Teratai Putih terpekik. Melepaskan kaki itu sehingga mampu lagi
berlari. Di lain tempat, membentak dari balik pohon.

Semakin takut Teratai Putih, semakin terbang kit nafsu bejat Ajat.
Tetapi belum juga gadis itu tiba pada saat-saat yang ia harapkan.
Ajat membayangkan pesta pora sex sepihak, ia gagahi gadis itu
dalam pingsannya. Dan Teratai Putih tetap bangkit tetap saja

60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berlari. Sampai mereka tiba di perkebun an. Teratai Putih
tersandung batu yang menyembul di bawah semak belukar. Gadis
itu terguling jatuh Kemudian berhenti tidak bergerak-gerak. Ajat
menyangka Teratai Putih sudah pingsan.

Dengan gembira ia mendekat. Seraya melepaskan kancing baju,


menarik ke luar tali pinggang itu. Namun mendadak Teratai Putih
bangkit, ia meng-gengam batu besar dengan kedua tangannya.
“Babi. Kau babi busuk!” jerit si gadis, lantas melemparkan batu itu
ke arah Ajat. Sebagai pesilat, mudah saja buat Ajat berkelit. Batu
itu melayang lewat sisi kepalanya. Namun toh ia sempat terjatuh,
dan kesempatan itu dipergunakan Teratai Putih untuk kabur
kembali.

“Jadah !” Ajat memaki. “Anak haram jadah. Tahu rasa kau nanti !”
ia berteriak-teriak sambil bangkit mengejar si gadis. “Akan
kubiarkan kau tetap sadar. Akan kubiarkan matamu melotot
keluar, sementara kau kukerjai !”

Niat Ajat tidak tercapai.

Teratai Putih lari ke pinggir tebing, berharap ada orang lewat di


jalan sepi di bawah, ia tegak di sebuah batu besar, melonjak-
lonjak liar ketika mengetahui tak ada orang lain di sekitar tempat
itu, dan mengetahui selain tali pinggang, Ajat kini mengacung-
acungkan sebilah golok di tangannya. Gerakan gadis itu membuat
batu yang letaknya memang sudah kritis, terangkat dari dalam

61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tanah, bergeser lalu jatuh ke bawah membawa serta tubuh si
gadis.

Ajat lekas memburu. Percuma. Tubuh Teratai Putih lenyap di


tengah rimbunan semak liar.

Ketika Ajat turun memeriksa, ternyata ada lubang besar di bawah


rimbunan semak liar itu. Ke dalam lubang itulah tubuh Teratai
Putih jatuh bersama batu tempatnya berpijak. Dari atas tebing,
semakin banyak batu dan tanah yang ikut jatuh sampai akhirnya
menutupi setengah isi lubang dan tubuh si gadis lenyap tak
berbekas.

Dengan bersenjata golok dan batu serta potongan kayu, Ajat


kemudian meruntuhkan bagian tebing-tebing yang kritis di
beberapa tempat, sehingga tampak seperti longsor. Semakin
banyak batu dan tanah ia timbunkan ke lubang tempat gadis itu
menghilang. Beberapa hari kemudian ia sengaja lewat di jalan
pintas itu. Dan melihat kuli-kuli perkebunan telah meratakan
bekas longsoran tebing. Tak lama setelannya, ada orang yang baik
hati membangun sebuah pondok tempat berteduh orang lewat.

Ajat tiba di desa. Keadaannya sunyi sepi. Padahal malam belum


begitu larut. Bunyi mesin sepeda motornya membuat seorang dua
tetangga melongok lalu hilang lagi.

“ ... kata mereka pondok itu rubuh,” gumam Ajat sendirian,


membelokkan sepeda motor memasuki halaman rumah. “Rasa-

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
rasanya, bekas lubang itu ada di sekitar pondok. Tetapi mengapa
tulang belulangnya tidak ditemukan ?” ia mematikan mesin
sepeda motor. Berpikir lagi, lebih lega: Barangkali lubang lain.
Atau kalaupun lubang yang sama, longsornya tidak dalam.
Sudahlah. Mengapa harus diributkan ? Telah lama berlalu.

Sekarang, masuk. Temui Ida, beri dia surprise !

Seekor tikus lari terbirit birit ketika Ajat membuka pagar.


Gerakan tikus itu tertangkap lampu depan sepeda motor. Seekor
yang lain menyelinap depan teras rumah, bersembunyi di antara
rimbunan bambu. Tikus yang ini tertangkap cahaya lampu
minyak dekat pintu depan.

“Tikus lagi. Tikus lagi !” Ajat memberengut. “Memang salahku.


Sudah lama membiarkan pekarangan terlantar. Dan Ida pemalas
pula. Mana suka bergunjing di rumah tetangga. Hem !” Ya, hem.
Untungnya, Ida punya selera yang sama dengan Ajat. Ajat suka
menyakiti, Ida suka disakiti. Sekali dua mereka buat variasi, saling
menakut-nakuti sebelum naik ranjang.

Malam ini pun Ida rupanya ingin melakukannya.

Terbukti ketika Ajat melangkah ke teras, pintu yang tadinya


tertutup mendadak terbuka. Tetapi entah bagaimana caranya, Ida
tidak menampakkan diri. Lampu petromak ruang tamu tidak
dinyalakan. Hanya ada cahaya temaram lampu dinding di ruang
tengah.

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ajat menutup pintu. Menguncinya sekaligus, sementara matanya
menatap seisi rumah. Mengapa sunyi benar ? Ah-ah. Tidak
sesunyi yang ia sangka. Ada suara bergemeretak di dapur. Lalu
suara geresak-geresek di para-para.

Pertunjukan apa pula yang dipersiapkan Ida untuk menakut-


nakuti Ajat? Suara-suara aneh, lalu topeng mainan digambari
tengkorak menempel di muka, sambil muncul tiba-tiba dari
kegelapan ? Sudah dua kali Ida melakukannya. Yang pertama, Ajat
memang kaget setengah mati. Yang kedua, Ajat cuma tertawa.

Lantas, mengapa Ida mengulangnya kembali ? Mestinya sesuatu


yang lain. Pintu kamar dibuka Ajat, dan tahu-tahu menemukan
tubuh Ida mengambang di permukaan lantai. Tergantung di
langit-langit. Pura-pura bunuh diri, tentu. Atau supaya lebih sip,
yang tergantung itu boneka buatan sebesar tubuh Ida,
mengenakan pakaian tidur yang biasa dipakai Ida. Lalu sementara
Ajat terpana, dari belakangnya Ida berteriak nyaring. Dan besok
pagi, tetangga sebelah akan menggerutu : “Permainan apa pula,
tadi malam ?”

Suara bergemeretak lagi. Keresak-keresek, kali ini tidak di para.


Tetapi di laci-laci rak yang tertutup. Lampu dinding tergantung
miring di tempatnya. Nyala apinya kecil. Rupanya sumbu sengaja
diturunkan, atau memang minyaknya sudah hampir habis. Namun
dalam jilatan lampu minyak yang bersinar suram itu, sempat juga
ia lihat seekor tikus lagi ngacir ke arah dapur.
64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ini sudah keterlaluan !” Ajat bersungut-sungut. ia bergegas
membuka pintu kamar. Lampu di dalam juga tidak dinyalakan.
Samar-samar ia lihat bayangan tubuh terbaring di ranjang,
membelakangi pintu. Ajat menggeram, marah : “Apa-apaan kau,
Ida ? Sengaja memancing tikus-tikus untuk membuatku jijik dan
marah ? Mengapa tidak ular saja sekalian ? Atau hantu
gentayangan ?”

Tubuh itu menggeliat sedikit. Namun tetap memunggungi.

Ajat mendekat. Lalu menepuk pundak perempuan di ranjang. Ah,


dia sudah berhasil pula, pikir Ajat kesal. Jadi Ida ingin permainan
yang melelahkan itu. Remas, cakar, jambak, tindih sekuat-
kuatnya. “Baik,” katanya. “Boleh saja. Aku kebetulan sedang
senang hati hari ini. Tak lama lagi aku akan terima rapel gaji, tahu
engga ?”

Lalu Ajat menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya.


Sebelum naik ke tempat tidur, ia berseru : “Ye-aaaan !” lalu
sebuah pukulan dengan sisi tangan mendarat di punggung
perempuan itu. Tidak telak, namun pasti menyakitkan. Yeaaa !
pukulan kedua dengan kaki. Tetapi sebelum mengenai sasaran,
perempuan itu menggeliat menghindar. Sambil lalui menangkap
pergelangan kaki Ajat, membuatnya jatuh terhempas di lantai.
Untung cuma lantai tanah, kalau tidak, wah.

Namun begitu, toh kepala Ajat berdenging-denging dan matanya

65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berkunang-kunang. “Apa-apaan ini, Ida ? Kau yang menyakiti aku.
Bukan ?”

“Ayolah, sayang. Naik sekarang,” terdengar suara merdu,


merangsang.

“Tidak mau !”

“Tunggu apalagi Jat ? Aku - sudah - tak tahan ...”

“Begitu cepat ?” Ajat bangkit sempoyongan.” Rupanya kau ingin


dicambuki ya ? Baik. Baik. Sebentar kuambilkan dulu !”

Ajat melangkah ke lemari. Lemari itu tegak menghadap pintu. Jadi


cahaya lampu minyak di ruang tengah, menyinarinya sedikit.
Dengan kesal dan birahi yang memang sudah terbangkit, Ajat
merenggut daun pintu lemari sekaligus. Tangannya siap
menggapai ke dalam, untuk mengambilkan alat yang dimaksud.
Tetapi tangan itu seketika terdiam kaku, berhenti setengah jalan.

Setelah terbiasa dengan gelap kamar, dibantu sinar redup lampu


minyak dari ruang tengah, Ajat melihat sesosok tubuh perempuan
berdiri tegak di sebelah dalam lemari. Sebuah metoda baru dari
Ida sempat ia berpikir, sebentar cuma. Karena sosok tubuh di
lemari itu, begitu rusak mengerikan. Tubuh hancur tercabik-
cabik, gaun tidur penuh bersimbah darah dan sebagian isi perut
terburai ke luar. Wajahnya tetap utuh, sehingga Ajat dapat
mengenali wajah yang pucat membiru itu, mengenali mata yang

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
melotot lebar dan mulut yang ternganga mengerikan di depan
matanya.

“I - Ida !” bisik Ajat, kelu.

Lalu tubuh siapa yang tadi di tempat tidur. Yang mana boneka,
yang mana Ida yang sebenarnya ? Hanya ada satu Ida. Dan Ida
yang sesungguhnya, memang yang tegak di sebelah dalam lemari,
dan pelan-pelan mulai doyong ke depan lalu jatuh menerpa tubuh
Ajat yang berteriak saking kaget dan ngeri, ia dapat merasakan
dengan tangannya da ging-daging mentah, usus yang basah, kulit
yang hancur, dan mencium bau amisnya darah, sebenar-benarnya
darah.

Terdengar tawa renyai dari tempat tidur. “Hebat bukan, Jat ?”

Ajat menggelupur, meronta-ronta dan menjauhkan diri dari


cengkeraman mayat isterinya, berlari ke pintu dengan semua
bulu di tubuh merinding! seram.

Suara itu bergema lagi, tajam menusuk : “Benar-benar hebat.


Lebih hebat dari caramu menakut-nakuti aku di perkebunan itu.”

Ajat mundur ke ruang tengah, dengan lutut bergemetaran. Dan


bayangan tubuh di ranjang, turun dengan santai dan mengikuti
Ajat masuk ke ruang tengah, memperlihatkan tubuhnya yang
bugil, bersih dan mulus. Ajat menjilati bibir sejenak, lantas
berseru tertahan : “Teratai, kau ...!”

67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Hem. Kau mengenaliku seketika, ya ? Bagus. Tidak seperti si
Gono yang keranjingan perempuan itu. Terlalu banyak yang
sudah ia tiduri, sehingga ia lupa padaku. Aku senang
mendengarnya, Jat. Jadi kupikir, tak perlu aku menyiksamu
berlama-lama. Cukuplah terror yang kau alami setelah melihat
Ida-mu ke luar dari persembunyiannya di dalam lemari, ia
mengira kau yang datang, ingin membuat kejutan - Tetapi -
sedikit ekstra, tak apa bukan ?”

Tikus. Tikus-tikus yang bukan main besar itu, tahu-tahu saja


sudah bermunculan mengurung Ajat. Makhluk-makhluk
mengerikan itu bergerombol-gerombol di ruang tengah, di kamar
tidur, di dapur, di ruang tamu. Bermunculan dari dalam tanah,
dari pintu dan jendela yang digerogoti.

Waktu para tetangga berdatangan dengan bersenjatakan apa saja


di tangan, sebagian rumah Ajat sudah roboh. Karena amukannya
sendiri, dan karena serbuan tikus-tikus itu. Bangkai binatang itu
berhamburan di sana sini. Mereka yang berdatangan kemudian
lari serabutan ketika gerombolan tikus yang luar biasa banyaknya
itu berhamburan untuk meloloskan diri, sambil menggigit dan
mencakar ke kiri kanan. Satu dua orang bertahan dengan senjata
golok atau pentungan berupa kayu, tangkai sapu bahkan ada yang
membawa linggis.

Seekor tikus putih menyelinap lewat pintu belakang. Tak seorang


pun yang melihatnya. Mereka terlalu kaget dan ngeri oleh
68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
binatang yang mereka hadapi, juga oleh suasana rumah dan
pekarangan milik Ajat yang porak poranda. Di antara dinding
yang rebah, pintu yang terhumbalang dan atap yang beruntuhan,
terkapar mati puluhan ekor bangkai tikus. Mayat Ida ditemukan
tergencet lemari pakaian yang tumbang. Di ruang depan rumah,
hanya tinggal sedikit kulit dan daging yang masih tersisa di mayat
yang mereka kenali sebagai Ajat, guru silat terkenal di desa itu.

Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk
bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka
alami.

***

LUKA cakar di tubuh petugas-petugas ronda malam yang ketiban


sial di tempat mayat Mar gono ditemukan, tidaklah seberapa
berbahaya. Luka itu diakibatkan polah mereka, mencakari tubuh
sendiri dalam usaha melawan serbuan daun-daun yang mereka
sangka serbuan tikus. Pak Mirta menyerahkan perawatan mereka
sepenuhnya kepa da manteri kesehatan Puskesmas.

Beda halnya dengan lima orang laki-laki pemberani, warga desa


yang bermaksud menolorg begitu terdengar huru-hara di rumah
Ajat. Luka cakar maupun gigitan yang mereka derita, benar-benar
akibat serbuan tikus. Kuku serta taring binatang binatang itu

69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tidak saja mengandung racun. Tetapi juga mengandung pengaruh
jahat roh yang menguasai tikus tikus itu.

Pak Mirta terpaksa menangani sendirian kelima orang korban


yang malang itu. ia mengerahkan segenap kemampuannya
mengobati mereka satu per satu. Tiap kali menyentuh luka yang
seorang, sekujur tubuh pak Mirta panas berapi, seakan terbakar
sampai ke ubun-ubun. Dari kepalanya sampai ke luar uap tebal
yang membuat orang yang melihat, pada mundur dengan
perasaan kuatir. Kemudian ia terkulai, letih sampai ke jiwa-
jiwanya. Kini ia terbaring sendirian di rumah. Sakit.

Nining, salah seorang ponakannya yang datang untuk


mengantarkan makan siang yang dimasakkan isteri Dudung, baru
saja ia paksa untuk pergi ke sekolah. Jangan ikut-ikutan bolos
karena gempar yang melanda desa setelah mayat Ajat dan
isterinya dikuburkan pagi hari itu juga.

Dudung sempat pula menjaganya sebentar. Mereka berdua bicara


panjang lebar. Kemudian Dudung ia suruh pulang, dengan
dibekali sebilah golok milik uwa-nya untuk dipakai berjaga jaga
apabila terjadi sesuatu.

Dari jendela, menerobos masuk cahaya matahari senja. Malam tak


lama lagi akan jatuh. Tetapi lurah desa itu tidak merasa cemas
akan dirinya sendiri, ia sudah memagari sekitar rumahnya
dengan ajian yang ia percaya sangat ampuh melawan serbuan roh

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
jahat, ia hanya mengkuatirkan Dudung dan anak isteri serta
keponakannya Nining yang tinggal satu rumah dengan Dudung.
Ajian yang sama telah ia taburkan pula di sekitar rumah
ponakannya itu. Namun ia belum merasa puas.

Diam-diam ia merasa, ada sesuatu yang kurang. Tetapi tidak tahu


apa yang kurang itu. Selagi ia berpikir, pintu diketuk orang dari
luar. Pak Mirta meluncur dari tempat tidur. Berjalan tersuruk-
suruk ke ruang depan dan terkejut setelah a membuka pintu.

“Boleh masuk, pak Mirta ?”

“Ah. Mayang. Mengapa tidak ?” perasaan letih dan sakit di sekujur


tubuh pak Mirta, mendadak sontak hilang begitu melihat
kehadiran orang yang sudah lama ia impikan. “Tumben,
berkunjung. Duduklah ya. Kubuatkan minuman sebentar ...”

“Tak usah repot-repot, pak.”

Melihat wajah Mayangsari yang pucat dan sinar matanya yang


getir, pak Mirta kemudian duduk dengan perasaan waswas di
hadapan perempuan itu. Bertanya lembut : “Aku gembira kau
muncul di rumahku. Tetapi biarlah, lupakan saja ke-aku- anku.
Lebih baik kita bicara tentang kau, Mayang. Ada sesuatu yang kau
takutkan. Benar ?”

Mayangsari menatap lurus ke mata tuan rumah, lalu:

“Kau pernah bilang,” katanya, lirih. “Si Teratai sudah kembali.”

71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dingin sekujur tubuh pak Mirta. Terbayang di matanya kematian
Margono. Ajat. Ida. Dan korbar lain yang terluka. Lama, baru ia
menjawab : “Ya Kenapa rupanya, Mayang ?”

“Katakanlah terus terang. Seperti apa wujut anakku, pak Mirta ?”

“Mayang. Sudah kukatakan aku tidak ingin ...”

“Hatiku tidak saja terluka, pak Mirta. Tak usah mencemaskannya.


Hatiku kukira malah sudah mulai membusuk. Membusuk oleh
hasrat menggebu karena ingin tahu siapa pembunuh ayah dan
anak ku, dan di mana jasad anakku terkubur. Mungkin pula sudah
bernanah, oleh keinginan untuk menyaksikan mereka itu mati.
Biar bukan oleh tanganku sendiri.”

“Mayang !” jantung pak Mirta berdetak. Apa yang diucapkan


perempuan itu, sudah lama ia duga akan terlontar juga. Namun
ketika sekarang akhirnya ucapan itu terlontar, pak Mirta benar-
benar terpukul. Sangat terpukul. Semakin sirna harapannya untuk
dapat melamar Mayangsari jadi isteri-nya.

“Kau terkejut bukan, pak ?”

“Aku ...”

“Karena itu, lupakanlah perasaanku pula. Mari kita berbicara


mengenai apa yang semestinya harus kita bicarakan,” Mayangsari
menelan ludah, wa jahnya tampak keruh. “Tadi aku ke warung.
Biasa, belanja kebutuhan dapur. Biasanya mereka memperlaku-

72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kan aku dengan kasar. Mereka membenciku, tetapi mereka tidak
mungkin membenci uangku. Dan tadi ... Mereka tidak lagi berlaku
kasar. Mereka sangat ramah. Malah tampak ketakutan ...”

“Mengapa ?”

“Mana aku tahu. Aku sendiri heran. Tidak tahu apa maksud
permintaan mereka.”

“Ha ! Apa pula yang mereka minta padamu, Mayang ?”

“Supaya aku mau turun tangan.”

“Terhadap ?'

“Roh jahat yang kata mereka bergentayangan di desa kita. Roh


jahat yang kata mereka muncul berupa gerombolan tikus yang
datang dari segala arah, menghancurkan, membunuh dengan keji,
disertai kekuatan sihir !”

“Astaga !” pak Mirta terkejut. “Kurang ajar. Lancang benar mereka


mengatakan !”

“Apa salahnya, pak ? Aku telah lama jadi kambing hitam. Sekarang
mungkin lebih hina lagi : kambing congek. Dan kambing congek
inilah yarg mereka harapkan dapat menolong mereka lepas dari
kesulitan yang membuat mereka semua tidak dapat tidur,”
Mayangsari terpejam, kecewa dan marah. Namun masih juga ia
mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : “Tahu, pak Mirta ?
Mereka bilang, aku telah mempergunakan kekuatan sihir untuk
73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
memaksa semua tikus keluar dari lubangnya, dan memaksa
orang-orang yang malang mencakari diri sendiri...”

“Itu sudah keterlaluan !” pak Mirta terlonjak dari kursinya. “Aku


akan mendatangi mereka. Memperingatkan supaya lain kali tidak
berlaku sembrono, apalagi tanpa seijin dan sepengetahuan-ku.
Aku ...”

“Mereka menyebut-nyebut Teratai Putih, pak Mirta,” potong


Mayangsari, tenang.

Lurah desa itu terengah. Lantas kembali duduk. Terhenyak.


Berkeringat. Katanya : “ ... aku hanya ingin menolongmu. Mayang.
Meringankan beban penderitaanmu. Tak kubiarkan mereka
mengganggumu, menolak uangmu apalagi menjamah
keselamatan jiwamu. Kau tahu mengapa, bukan ?”

“Aku tahu, pak Mirta,” mata Mayangsari sesaat bersinar, lantas


redup lagi dalam sekejap. “Karena itu, mengapa tanggung-
tanggung menolong ? Kepalang basah !”

Pak Mirta bangkit, berjalan mundar-mandir. Semua yang terjadi


hari-hari belakangan ini, bahkan di tahun-tahun yang telah lama
silam, membuatnya resah gelisah. Kemudian ia memutuskan:
Baiklah. Akan kuberitahu padamu. Kuharap kau tidak semakin
terluka, setelah mengetahui bagaimana perwujudan anakmu
ketika kembali setelah sekian tahun menghilang. Namun

74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sebelumnya, bicaralah terus terang. Kau tentunya datang
menemuiku, karena kau punya alasan yang kuat.”

“Ya.”

“Apa itu ?”

“Kolam tempat bermain anakku. Banyak teratai yang telah


disingkirkan. Yang merah, yang biru, yang kuning, yang Jingga.
Pokoknya yang berwarna apa saja, kecuali yang berwarna putih.
Hanya anakku yang pernah melakukan hal serupa itu. Ketika ia
masih hidup. Dan - setelah ia datang dalam mimpiku.”

“… ia apa ?”

“Datang dalam mimpiku.”

“Jadi, kau tentu sudah tahu perwujutannya.”

“Cuma mimpi. Tetapi Margono, Ajat dan Ida bukan mimpi belaka.
Begitu pula teratai teratai yang ditemukan tergenggam di tangan
mereka masing-masing. Pemilik warung yang menceritakan Aneh,
bukan ? Ada yang memetik kuntum-kuntum teratai yang masih
baru dari kolam bermain anakku. Lalu kuntum-kuntum teratai itu
ditemukan sudah tergenggam di tangan orang lain. Tangan
mayat-mayat itu.”

“Mungkin mereka sendiri yang mencurinya”

“Tak usah mengelak lagi, pak Mirta,” keluh Mayangsari, tak sabar.

75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau pun tahu sudah sekian tahun lamanya tidak seorang pun
berani mendekati rumahku malam-malam. Kata mereka, takut
terkena kutuk. Ya Tuhan, aku tidak menyalahkan ayahku pernah
jadi pertapa sehingga kami tertimpa kutuk. Aku hanya menyalah-
kan diriku sendiri mengapa membiarkan ia menurunkan ilmunya
ke pada anakku, sehingga kutuk itu terus berkepanjangan,”
kelopak mata Mayangsari berlinang butir-butir air bening.
Katanya, terdesu-sedan : “Kini dia ... kembali. Bangkit ... dari
kuburnya. Kau sendiri yang pernah mengatakan. Jadi, ceritakan-
lah pak Mirta. Apakah anakku terdapat di antara salah seekor
tikus-tikus itu ?”

Terhenyak lagi lurah desa, hilang akal. “Bodoh,” makinya.

“Ya pak ?”

“Bodoh. Aku bodoh, menceritakan itu padamu. Hanya karena ...


karena aku ingin menolak bala ... ,” ia kemudian mengangkat
muka. Berkata tegar: “Ya. Anakmu terdapat di antara tikus-tikus
itu. Namun aku belum pasti benar. Seperti apa rupanya. Seperti
tikus, atau seperti apa ia dulu adanya. Ini baru dugaanku saja :
anakmu tampil dalam wujut kedua-duanya ...”

Dari menangis, Mayangsari malah tersenyum. “Syukurlah. Jadi


aku tidak lagi bertanya-tanya.”

“Aneh. Kau kok tampak gembira,” tanya pak Mirta, heran.

“Aku tidak gembira. Aku cuma pasrah.”


76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dan membiarkan korban mungkin akan jatuh lebih banyak ?”

“Apa maksud pak Mirta ?” balas Mayangsari bertanya.

“Kau pula yang sekarang menghindar,” keluh pak Mirta, kecewa,


ia sapu wajah dengan telapak tangan, seolah ingin membuang
jauh-jauh perasaan enggan untuk berterus terang. Lalu : “Aku
sudah lima puluh tahun lebih sekarang ini. Mayang. Sedang kau
masih muda. Hanya karena menyiksa diri, kau tampak lebih tua.
Puluhan tahun aku membujang. Belasan tahun pula kau tetap
hidup menjanda. Kukira - kau pun sudah lama tahu apa yang
tersimpan di sanubariku,” lurah menatap tamunya, sungkan.
Kemudian tersenyum. Lanjutnya : “Aku tak akan mengutarakan
kalimat yang selalu diutarakan orang-orang yang jauh lebih muda
dari kita, Mayang. Aku hanya ingin memberitahumu menge-nai ini
: kau dan aku hidup sendirian. Tak lama lagi kita pun akan
menyusul orang-orang yang telah lebih dahulu pergi dari kita.
Nah ...,” pak Mirta menelan ludah. Puas, telah mampu
mengungkapkan apa yang selama ini tidak berani ia ungkapkan.

Maka, ia melancarkan serangan terakhir: “Mengapa kita tidak


menjalaninya bersama sama? Supaya kelak, bila salah seorang
mendahului yang lain, ada yang mendampingi di saat-saat
terakhir?”

Wajah Mayangsari bersemu merah. ia tersenyum. Tetapi


mulutnya tetap bungkam.

77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kita sudah sama-sama lanjut usia, Mayang,” kata pak Mirta,
sabar. “Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan
lambang. Ucapkan-lah, dengan kata-kata,” dan dalam hati, andai
masih muda kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan
bunga. Bunga ! Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan
: teratai putih. Pak Mirta tercenung lagi. Menanti, penuh harap.

Sampai akhirnya Mayangsari membuka mulut : “Bukannya tidak


mau, pak Mirta. Tetapi ...”

“Jadi kau tidak mau !” tukas pak Mirta, menge luh. Meski sudah
tua, toh hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.

“Dengarkan dulu,” Mayangsari membujuk. “Aku pernah


menyukaimu ... Hanya sayang, dulu kau terlambat melamarku.”

Wajah pak Mirta berseri-seri kembali. Katanya, bernafsu : “Tidak


ada istilah terlambat untuk melangsungkan niat terpuji, Mayang !”

“Justru itulah sebabnya,” wajah Mayangsari kembali murung.


“Sekali terlambat, tetap saja terlambat. Aku tahu, kau kemudian
kecewa dan mulai bertingkah yang tidak disenangi keluargaku.
Ayahku kemudian marah karena kau memperdalam ilmu sesat ...
jangan tersinggung, pak Mirta. Memang itulah yang terjadi di
masa lampau, bukan ? Beberapa dari pasien ayahku, diam-diam
kau temui. Diam-diam pula kau pergunakan pengaruhmu supaya
mereka menyetujui cara pengobatan yang kau lakukan. Kau
sengaja membangkit-bangkit siapa musuh-musuh mereka, lalu

78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu.
Dan ayahku yang disalahkan.”

“Kau pun masih tetap marah padaku,” pak Mirta merajuk.

“Tidak. Dari dulu aku tidak marah. Karena aku sadar, semua itu
kau lakukan karena hati yang patah. Karena aku menerima
lamaran suamiku, meski tahu diam-diam kau juga mencintaiku.”

“Aku tak melihat perbedaannya, Mayang.”

“Tidak ? Lupakah kau ayahku sedemikian ma rah sehingga tidak


mau lagi mengakuimu jadi mu ridnya ? Dan kemudian
bersumpah, keturunannya tidak ia relakan dipersuami atau
diperisteri oleh keturunanmu. Maka, setelah suamiku meninggal
pernah aku berpikir untuk menerima lamaranmu kapan saja kau
datang menemuiku. Tahun demi tahun kulalui dengan
menyakitkan, pak Mirta Kuingin kita bersatu, sebaliknya kubenci
diriku sendiri dan terpaksa berjanji untuk tetap mengabdi pada
ayahku. Kau lihat sekarang perbedaannya! bukan ?”

Lurah gemetar. Menggigil hebat. Kursi yang ia duduki sampai


terguncang. Lalu, getaran tubuhnya perlahan mere da. Wajahnya
yang pucat pasi, kembali memerah Tegar, ia mengeluh, pasrah :
“Sudah kubilang. Aku ini bodoh !”

“Boleh aku pergi sekarang ?” suara Mayangsari terdengar enggan.


Jarang ia bercakap-cakap dengan orang lain selama ini, dan lebih-

79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski tidak
sangat ia cintai.

Pak Mirta terkejut. “Tunggu,” cegahnya.

Mayangsari duduk diam. Menunggu.

“Baiklah. Aku tidak ingin kau melanggar sumpah ayahmu.


Sebaliknya, aku sekarang mendesakmu, bukan semata-mata
karena hasrat bathin dan jasmani sebagai laki-laki ...”

“Tak usah ragu. Katakanlah.”

“Telah banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang
lain. Karena itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang
sedikit? Marilah kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik
sumpahnya, karena tahu kau ingin melakukan sesuatu yang
terpuji.”

“Aku mengerti,” desah Mayangsari, getir. “Kita tetap menikah.


Karena itulah salah satu saratnya. Aku tidak mewarisi ilmu yang
dimiliki ayahku. Namun aku mewarisi darahnya. Darah
turunannya. Yang kalau disatukan dengan darah orang yang juga
punya ilmu, apalagi ilmu yang pernah diajarkan ayahku, maka
akan tercipta kekuatan dahsyat untuk menggempur kedurjaan
roh roh jahat...”

“Syukur, kau memahami,” pak Mirta tersenyum.

Mayangsari tidak tersenyum. Hambar, ia berkata :

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Sayangnya, kau lupa orang yang akan digempur itu, anakku
sendiri !”

Senyum pak Mirta, sirna seketika.

“Aku bukan manusia yang sempurna, pak Mirta. Betapa sukar


untuk hidup sebagai perempuan suci. Apalagi di tengah
lingkungan masyarakat yang mengucilkannya, memperhinakan-
nya,” Mayangsari bergidik. “ Jadi, sebagai manusia yang tidak
sempurna, akupun tidak pernah lepas dari keinginan terkutuk itu,
pak Mirta. Keinginan untuk mengetahui siapa-siapa pembunuh
anak dan ayahku. Keinginan untuk menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, bagaimana mereka kemudian mati tersiksa, untuk
menebus dosa-dosanya.”

Seketika, meluaplah kemarahan tuan rumah. “Kau tega !


Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !”

“Tebusan dosa,” sahut Mayangsari, angkat pundak lalu bangkit


dari tempat duduknya. Berjalan ke pintu. “Sekarang aku tahu, si
Margono dan si Ajat terlibat. Siapa, berikutnya, aku sudah tak
sabar menanti.” Mayangsari kemudian pergi. Tanpa pamit.

Meninggalkan pak Mirta tegak termangu mangu, gundah. Gelisah.


Berpikir ketakutan : “Tahukah dia ? Tahukah dia ?” ia jatuh
terduduk. Mengeluh : “Tidak. Tidak mungkin.”

Mengapa tidak mungkin ? Taruhlah tidak ada yang membuka


mulut.
81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tetapi Mayangsari bagaimanapun keturunan seorang guru ilmu
kebathinan. Dan sebagai perempuan yang lama hidup menyendiri
dengan pikiran-pikiran serta lamunannya, Mayangsari punya
naluri. Dan nalurinya itu telah lama membisikkan ke telinga
Mayangsari, bahwa Mirta terlibat.

Ya. ia telah terlibat. Dalam, sangat dalam malah. Membantu anak-


anak muda itu membunuh ayah Mayangsari, membiarkan mereka
menggagahi pu-terinya yang mayatnya dibuang entah ke mana.
Lebih dalam lagi ia terlibat. Membantu pasien-pasien ayah
Mayangsari melampiaskan iri hati dengan mengirim ilmu hitam
ke musuh-musuh mereka. Dia tidak pernah tahu, salah seorang
musuh pasien itu justru adiknya sendiri, ayah si Dudung. ia baru
tahu, setelah segala sesuatunya terlambat.

Kalau ilmu hitam yang ia kirim ke tubuh adiknya ia tarik kembali,


maka ilmu itu akan berubah jadi senjata makan tuan. Mirta telah
membunuh adik kandungnya sendiri. ia telah membunuh ayah
Mayangsari. Secara' tak langsung ia ikut pula membunuh orang
lain nya : si Teratai. Margono. Ajat. Ida. Dan mungkin pula Dudung
serta anak isterinya.

“Aku harus menemui si Dudung !” jeritnya dalam hati, ketakutan.

Tetapi baru saja ia mau bangkit, tubuhnya sudah limbung. Jatuh


ke lantai. Semua siksaan yang terjadi ketika ia mengobati warga
desanya akibat serbuan tikus-tikus berkekuatan gaib itu, kembali

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
muncul. Semakin parah. Semakin menyakitkan. Karena kini
ditambah pula oleh kenyataan: Mayangsari menolak lamarannya!

Sekujur tubuhnya panas lagi. Membara seperti semula. Kulit bagai


melepuh, tulang bagai merapuh.

Dengan susah payah, ia kemudian merangkak ke kamarnya. Naik


ke tempat tidur. Kemudian rebah dengan jasmani yang luluh
lantak. “Aku harus memusatkan pikiran,” gumamnya.

Lalu ia membuang segala sesuatu dari benaknya. Dari hatinya.


Dari jiwanya. Benak, hati dan jiwa itu harus bening, jernih.
Mungkin bercampur hitamnya jelaga, karena dosa-dosanya di
masa lalu. Tetapi, benak, hati dan jiwa itu harus kosong. Hampa.
Supaya pengaruh jahat itu hilang.

Dengan begitu, kekuatannya akan pulih.

Dan ia kembali siap.

***

SUDAH lewat tengah malam, Dudung tak juga bisa tertidur, ia


berbaring dengan gelisah. Meskipun udara malam itu dingin
sekali, sekujur tubuhnya ia rasakan banjir peluh. Bebunyian ceng-
kerik dan pungguk menyambut renyai-renyai hujan di luar,
benar-benar mendatangkan perasaan tidak enak. Biarpun
bebunyian itu sudah merupakan musik abadi di desa mereka
83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
malah seperti peninabobo yang mengasyikkan bila malam mulai
turut menyapu bumi.

“Tak usah dipikirkan, Dung !” ia ingat pesan uwanya beberapa


hari yang lalu. “Aku sudah memanterai seluruh rumahmu. Yang
pokok, jangan kau keluar sendirian dari rumah.”

Dudung percaya pada ucapan uwanya bahwa rumah mereka akan


aman dari gangguan Teratai Putih. Tetapi mengapa ketika
berkata-kata itu, sang uwa kelihatan pucat dan suaranya
gemetar? Mata pak Mirta membayangkan rasa cemas. Seolah-olah
bukan ditujukan pada Dudung seorang.

Diam-diam, Dudung merasa khawatir kalau uwanya itu juga


dihinggapi perasaan waswas. Setidak-tidaknya karena ia turut
campur dalam usaha pembunuhan kakek Teratai Putih, dan
uwanya itulah yang paling getol menuduh kakek Teratai Putih
sebagai tukang teluh.

“Krontang ... !!”

Dudung tercekat bangkit dari baringannya. Dengan wajah pucat ia


diam mendengarkan. Tetapi suara berisik dari arah dapur itu tak
terdengar lagi. ia menghela nafas. “Mengapa aku begitu takut ?”
tanyanya dalam hati. “Uwa telah memberikan mantera-mantera.
Teratai Putih tak akan berani. Ya, hantu penasaran itu tidak akan
berani menggangguku.”

Selintas teringat olehnya cara kematian Ajat dan isterinya.


84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lalu dengan takut takut ia coba berbaring kembali.

“Krrraaaak !”

Terpentang lebar mata Dudung. Keringat membasahi jidatnya.

“Krrraaaak, ciuttt... byeaaarrrr... !”

Jendela ! Itu suara jendela dibukakan orang, su ngut Dudung


dalam hati.

Teratai Putihkah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang
beberapa bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah
penduduk. Pasti ! Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela !

“Awas kau !” bisik Dudung dengan muka tegang. Kemudian ia


meluncur turun dari ranjang. Diam-diam, tanpa menimbulkan
suara. Sekilas ia menoleh pada Mira, isterinya. Perempuan itu
lelap sekali tidurnya.

Sepanjang hari tadi ia demikian capek mengatur pekerjaan dan


makan penduduk yang membantu menanam bibit baru di sawah-
sawah mereka. Ah, biarlah ia tak usah diganggu, pikir Dudung.

Lalu ia mengenakan piyama yang ia gantungkan pada paku di


dinding kamar sebelum naik ke atas ranjang bersama Mira. Dari
dekat gantungan pakai an itu ia sambar sebuah golok. Gagang
golok itu terbuat dari akar rotan, berukir naga. Golok itu senjata
keramat pemberian pak Mirta. Terngiang kata-kata uwanya itu
beberapa hari yang lalu :

85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kalaupun misalnya Teratai berhasil menjebol rumahmu,
tunjukkan parang ini ke mukanya. Ingat, tikus paling takut pada
ular !”

“Hem,” sungut Dudung perlahan. “Tidak ke Teratai, apa salahnya


kupergunakan golok ini menghadapi pencuri itu. Biar dia kapok !”
ia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Ruangan tengah
rumahnya gelap. Memang Nining sudah mematikan lampu
sebelum naik tidur. Hanya ada sedikit cahaya lembut dari bawah
pintu kamar anak-anak mereka.

Dudung membiasakan matanya dalam gelap. Kemudian


berjingkat ke pintu kamar anak-anak itu, karena jendela-jendela
ruangan tengah tampaknya tidak diganggu. Dengan mendorong-
nya sedikit, pintu kamar terbuka. Dodo, anak mereka yang
berumur tiga tahun tampak mering kuk memeluk bantal guling,
sementara adiknya Lina yang setahun lebih muda, celentang
dengan mulut terbuka. Dudung kurang tau siapa di antara dua
anak itu yang sedang mendengkur dengari kerasnya.

“Mungkin Lina salah tidur,” pikirnya seraya tersenyum dan


menutupkan pintu kamar kembali Lalu ia berjingkat-jingkat ke
kamar makan. Lampu teplok di sana masih menyala. Tetapi kelap
kelip nya telah semakin kecil.

Ah, ia lupa mengisikan minyak tanah tadi sore untuk lampu itu.
Diintip nya lewat kain tirai.

86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pintu kamar makan menuju dapur tertutup rapat. Juga jendela
samping. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati jendela itu.
Merabanya. Terkunci. Dari situ ia menuju pintu ke arah dapur.
Mungkin pencuri itu masuk dari sana. Sebab tadi ada bunyi
kerontang, entah tersepak kuali si orang sial itu.

Tanpa menimbulkan bunyi, ia buka pintu dapur. Gelap. Gelap


sekali. Tetapi ia segera terbiasa dengan bayangan gelap itu. Golok
di pinggang ia pegang gagangnya, ia elus-elus, kemudian
dicengkam dengan kuat. Siap untuk sesewaktu ia layangkan, kalau
si pencuri bermaksud menyerang.

Tetapi tidak ada gerakan di dapur. Juga tidak ada bayangan yang
mencurigakan. Tak ada suara-suara. Kecuali cengkerik dan
pungguh di luar rumah yang tiba-tiba menghentikan nyanyian-
nyanyian mereka.

Diganti oleh desah nafasnya sendiri yang kencang.

“Bau apa itu ?” ia berbisik. Dilebarkannya lubang hidung. “Bau


wangi,” bisiknya, ia berjingkat-jingkat ke tengah dapur. “Bukan.
Bukan di sini. Tetapi di kamar mandi.”

Dudung menjadi penasaran. Dengan sekali sentak, pintu kamar


mandi terbuka. Bau wewangian itu menerobos keluar lebih
semerbak. Lalu muncul bayangan putih. Mula-mula seperti asap.
Datangnya dari arah lubang pembuangan air. Asap memutih itu
kian banyak dan banyak, perlahan-lahan membentuk sebuah

87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
wujud sementara Dudung berdiri dengan tubuh kaku dan
gemetar saking terke jut dan takut. Rasa terkejut dan takut itu
tiba-tiba sekali menyerang dirinya sehingga ia tidak kuasa untuk
bergerak, bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang menganga
ataupun matanya yang ter-pelotot memperhatikan keajaiban
yang terjadi di dekatnya.

Hanya dalam sekejap, bayangan putih itu telah membentuk wujud


seorang manusia berjenis perempuan. Wajahnya cantik dan
menawan, rambut-nya panjang tergerai sampai di pinggul, dan
pakaian tipisnya seperti terbuat dari sutera putih tanpa jahitan,
yang menyelubungi seluruh tubuh sampai ke lantai, sehingga
kakinya pun tidak tampak.

“ ... heran, Dung ?”

Suara itu seperti dari jauh. Sayup-sayup sampai.

“He, Dudung !” ulang suara itu lebih keras.

Napas Dudung terlempar keluar. Keringat dingin telah mem-


banjiri tubuhnya. Tangannya yang memegang bendul pintu kakus,
ingin ia lepaskan untuk bisa menyambar golok di pinggang. Tetapi
aneh, seluruh tubuh dan persendiannya seperti lumpuh.

“Siapa ... kau ?” bisiknya dengan gemetar.

“Ah, masa lupa ... ?”

“Siapa ?”

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Yang dulu. Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-
tama meniduri aku, sebelum temanmu Margono ?”

Rasakan copot jantung Dudung.

“Tid ... daakkk!”

“Tidak apanya ?”

“Kau bukan si ... si Teratai.”

“Lalu siapa ? Tidak ingatkah kau bahwa setelah kalian perkosa


dan cekik leherku, jasadku kemudian menghilang ? Sekarang,
inilah aku. Inilah aku. Tak usah kau tau, ini jasad atau rohku,
bukan ? Tetapi aku kini lebih cantik Dung. Lebih mempesona.
Lebih menggairahkan. Maafkan, bukan aku memuji diri sendiri.
Tetapi karena aku ingin kau rayu. Bertahun-tahun aku
menginginkan agar kau kembali meniduriku. Terserah padamu.
Secara kasar seperti dulu, ataukah dengan lembut seperti yang
kau lakukan pada isterimu Ina itu,” Teratai Putih tersenyum.

Begitulah. Dengan tiba-tiba sekali, perasaan Dudung tergoncang.


Rasa takut dan ta'jubnya lenyap dengan mendadak, ia tidak
mengerti mengapa, tetapi kemudian ia malah tidak perduli. ia kini
dapat berdiri tenang, mencoba memperlihatkan kejantanannya
sebagai laki-laki. Dan memang, kelelakian-nya telah tergoncang
begitu melihat keseluruhan wujud dan tantangan yang mesra dari
perempuan yang cantik jelita itu.

89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“ ... bagaimana kau masuk ke sini ?” tanyanya lebih berani.

“Ah, gampang.”

“Tetapi ... uwa telah meludahi seluruh penjuru rumah.”

Teratai Putih tertawa, ia mengelus pipi Dudung, sehingga jantung


lelaki itu berdegup tidak teratur. “Ah. Uwa-mu lupa meludahi
lubang air ini.”

Sesaat, Dudung teringat pada golok di pinggangnya.

“Jangan !” sungut si perempuan. “Jangan sentuh itu. Kau tak


memerlukan golok itu untuk bisa meniduriku, bukan ?”

Dengan lemah, Dudung mengangguk. Tatapan mata perempuan


itu benar-benar membuatnya tidak berdaya untuk membantah.
Golok itu ia cabut, lalu ia lemparkan persis jatuh ke dekat mulut
lubang air itu. Dudung tersenyum tipis. Katanya: “Kau tak akan
bisa pergi lagi, Teratai Putih. Lubang tempatmu muncul telah
tertutup.”

Teratai Putih balas tersenyum.” ... aku akan pergi dari mana dan
kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku telah berubah, maka
tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga tidak
semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku
masuk berbentuk tikus, dan di depanmu aku kini muncul sebagai
manusia.”

90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tercekat kerongkongan Dudung. “Tetapi ... tetapi…” ia berkata
dengan gagap.

“Mengapa tak kau rayu aku, Dung ? Mengapa?” si perempuan


menyeringai.

Sekilas, Dudung menangkap bayangan gigi-gigi taring Teratai


Putih. Panjang dan runcing-runcing. Semakin lebar Teratai Putih
menyeringai, semakin panjang serta semakin runcing gigi
taringnya.

“Mengapa, Dung ? Atau ... kau mau memperkosaku ?” sungut


Teratai Putih, kemudian ia tertawa. Mengekeh. Mengekeh dan
mengekeh, semakin lama semakin lebar sehingga tampaklah
lidahnya yang merah bagaikan darah. Darah Dudung berhenti
mengalir. Seluruh tubuhnya kembali kaku dan lumpuh. Hanya
mulutnya yang bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata
menceracau ...

“Tidak ... ttitidak ... tidak !”

“Ayolah !” maki si perempuan. Kini wajahnya berubah ganas.


Matanya bersinar-sinar. “Ayolah. Lakukan seperti apa yang kau
lakukan dulu pada diriku. Lakukan ! Lakukan ! Mana keberanian-
mu ?”

Lalu perempuan itu menjambak kerah baju Dudung. Laki-laki itu


terkesiap. Tenaganya tiba-tiba muncul, ia mulai meronta. Tetapi
dengan ganas, Teratai Putih menyobek-nyobek seluruh baju yang
91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dipakai Dudung, mencabik-cabiknya dengan kuku dan gigi taring.
Dudung mencoba berteriak meminta tolong, tetapi
tenggorokannya bagaikan tersumbat. Licinnya lantai kamar
mandi menyebabkan tubuhnya goyah.

Tiba-tiba ia jatuh terjerembab, diikuti oleh si perempuan.

Bunyi tubuh Dudung bergedebuk keras, sementara tubuh si


perempuan yang ikut jatuh tidak menimbulkan suara apa-apa.
Dengan mata melotot ketakutan, Dudung memperhatikan Teratai
Putih yang mendekatkan wajahnya ke wajah Dudung. Perempuan
itu mulai mencium seluruh wajah Dudung, tetapi si lelaki sudah
demikian ketakutan sehingga tidak terangsang sama sekali.
Lebih-lebih ketika tenggorokannya mulai dijelajahi oleh lidah
Teratai Putih, ia mencoba memekik, tetapi taring-taring yang
runcing telah menghunjam dalam, dalam sekali.

“Aaaaaaaaghhhhhhkkkkkk !” barulah Dudung bisa menjerit.


Kedua kakinya meronta-ronta, menendang-nendang ke sana ke
mari menimbulkan bunyi ribut-ribut karena menyambar daun
pintu kamar mandi yang terbuat dari seng. Dengan mata
terbeliak, Dudung melihat bagaimana wujud perempuan itu
berubah jadi bulat memanjang menggembung di tengah dan ...
tangannya yang tadi meraba lengan berselaput kain sutera,
seakan-akan memegang kaki-kaki kurus yang berbulu ...

Dudung memekik lebih keras dengan sisa-sisa suaranya.

92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dan dari dalam rumah terdengar bunyi ribut, lalu pekikan
perempuan memanggil-manggil nama Dudung, langkah-langkah
berlari dan ketika tiba di ambang pintu kamar mandi, perempuan
itu mengeluarkan jerit lengking mengerikan.

***

SUARA jeritan di belakangnya, membuat tikus putih besar yang


sedang menggerogoti bagian tubuh Dudung yang paling vital itu,
terdongak, ia kemudian meloncat. Demikian cepat dan tepat.
Dalam satu loncatan saja, tikus putih yang besar mengerikan itu
telah hinggap pada Mira. Satu cakaran telah cukup membuat Mira
jatuh lunglai, pingsan karena kaget, sekalipun lukanya berupa
goresan kecil saja.

Tikus putih itu meloncat dari Mira, menjauh dengan tenang, ia


berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Lehernya mengembung,
kemudian cicitnya yang keras dan nyaring menggema di kamar
mandi dan seluruh rumah.

Dari loteng, dari lemari, dari dapur, dari tiap sudut bermunculan
tikus-tikus biasa berwarna hitam legam. Mereka semua
berkumpul di ambang pintu kamar mandi. Tikus-tikus itulah yang
menimbulkan bunyi ribut di dapur rumah Dudung, dan tikus-
tikus itulah yang kemudian dengan diam dan patuh
mendengarkan cicit tikus putih yang besar di hadapan mereka.

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dudung yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat
dengan mata terbeliak bagaimana tikus-tikus itu kemudian
beramai-ramai menuju lubang kakus. Tikus-tikus itu kemudian
perlahan-lahan menggotong golok yang tadi terlempar.

Sedikit demi sedikit, golok itu ditarik ke luar, kemudian mereka


seret beramai-ramai dan saling berebut, sehingga hanya tampak
sekilas ujung golok yang berbuat dari besi campuran baja. Tikus-
tikus itu menarik golok itu terus ke dapur, dan satu cicitan yang
keras dan nyaring menimbulkan bunyi riuh lagi di dapur. Bunyi
barang-barang bertubruk, bunyi cicit tikus saling bersahut-
sahutan, dan kemudian tiada bunyi apa-apa lagi. Semua sepi, sepi
dan sepi....

Tersentak jantung Dudung ketika sebuah benda hinggap di


dadanya. Tak lain dari tikus putih itu. Dudung coba
menggerakkan tangan untuk menghantam, tetapi sang tikus cuma
menyeringai. Dudung benar-benar kehilangan tenaga, dan hanya
bisa melihat bagaimana tikus itu berubah wujud perlahan-lahan
menjadi Teratai Putih kembali. Teratai duduk bersimpuh di dekat
kepala Dudung.

“ ... aku tahu kau masih hidup,” bisik Teratai Putih di telinga
Dudung.

“Tapi kau akan segera mati. Mati, setelah kau sampaikan pesanku
pada uwa-mu. Si Mirta terkutuk itu !”

94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dudung tak bisa berkata-kata.

“Bilang pada uwa mu, padanya supaya datang ke perkebunan. Ada


longsor di sana dan ... Ah, sudahlah! kutunggu dia di malam bulan
purnama. kalau uwa-mu tak memenuhi permintaanku, itu
tandanya ia pengecut. Dan aku akan mengerahkan seluruh tikus
tikus yang ada di daerah ini untuk menyebar hama penyakit dan
memusnahkan padi dan tanaman apa saja yang bisa dimakan
penduduk !”

Sehabis berkata demikian. Teratai Putih tersenyum. Lembut dan


manis sekali. Wujudnya yang menakutkan tidak terlihat
sedikitpun. ia tampak demikian cantik; mempesona dan
menyenangkan hati. Tangannya yang halus bergerak ke belakang
kepalanya. Ketika turun kembali, telah menggenggam beberapa
kuntum bunga teratai berwarna putih. Kuntum bunga itu ia
genggamkan pada telapak tangan Dudung. Lalu, ia tersenyum
kembali. Manis dan mempesona.

“Hanya inilah yang bisa kuberikan sebagai tanda dariku,” bisiknya


dengan lembut. Kemudian perlahan-lahan ia menghilang,
meninggalkan asap-asap putih yang menggulung ke arah lubang
pembuang an air.

Di saat berikutnya terdengar suara tikus menci-cit nyaring, lalu


kecipak air di dalam lubang yang semakin lama semakin menjauh.
Setelah itu sepi. Sepi sekali. Dan bunyi cengkerik dan pungguk di

95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
luar sana, perlahan-lahan kembali menggema me-musiki
kesenyapan subuh. Makin lama makin ramai. Kokok ayam pun
ikut memeriahkan suasana, lalu matahari pagi yang kemudian
muncul menyi nari bumi... .

Dudung merayap ke pintu.

***

SEPANJANG malam Mayangsari tidak tidur, ia hanya duduk di


sebuah kursi. Matanya tidak mau mengantuk. Tidak pula ada
kemau-annya untuk berbaring, ia lebih suka berjaga, sambil
menunggu. Siapa tahu Teratai Putih muncul lagi, dan bukan hanya
sekedar dalam mimpi, ia ingin melihat anaknya. Memeluk dan
menciuminya dengan penuh kasih sayang, apapun bentuk
perwujudannya. ia juga akan bertanya kepada anaknya : siapa
korban berikut? Supaya aku ikut menyaksikan ! Setelah aku tahu,
barulah aku puas.

Lalu aku rela menyusulmu. Menyusul ayahmu. Menyusul


kakekmu. Lalu kita akan berkumpul lagi seperti biasa. Akan kita
cari suatu tempat, di mana lebih banyak teratai dan aku akan
menyingkirkanan bunga-bunga yang warnanya tidak kau sukai.

Untuk itulah selama ini Mayangsari mampu bertahan supaya


tetap hidup, ia ingin melihat siapa siapa mereka itu. Ingin
menyaksikan, mereka menebus dosa. Tetapi malam ini, setelah ia
96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berbincang-bincang panjang lebar dengan pak Mirta, timbul
kebimbangan dalam hati Mayangsari. Benar, ia tidak mampu jadi
perempuan suci. ia bukan seorang manusia yang sempurna, ia
juga tak lepas dari dosa.

“Kau tega ! Membiarkan mayat-mayat terus bergelimpangan !”


Terngiang ucapan pak Mirta.

Itu juga adalah dosa. Membiarkan korban jatuh semakin banyak.


Terhadap pembunuh-pembunuh anaknya, ia tidak begitu acuh.
Tetapi mereka yang lain, yang Mayangsari yakin tidak ikut terlibat
toh akhirnya terpaksa jatuh jadi korban. Ida. Dan beberapa orang
lain yang luka luka.

Salah seorang ia dengan gagal diobati pak Mirta, dan mungkin


malam ini sudah menghembuskan nafas. Padahal orang itu punya
sembilan anak yang masih membutuhkan kasih sayang, tiga di
antaranya masih terlalu kecil untuk dapat memahami apa itu
dosa.

Tetapi menyatukan darah dan bathin dengan pak Mirta, wahai.


Ayah Mayangsari pasti menggeliat resah di kuburnya.

Terngiang lagi ucapan laki-laki itu : “Kita harap saja roh ayahmu
bersedia menarik sumpahnya. Karena tahu kau ingin melakukan
sesuatu perbuatan yang terpuji.”

Menghentikan terror dan pembunuhan itu memang perbuatan


terpuji.
97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tetapi itu berarti sekaligus ia mencegah anaknya melakukan
pembalasan dendam. Pembalasan yang dilandasi nama baik
keluar ga. Nama baik ?

Apa pula itu nama baik ? Tak le bih dari selembar kertas basah.
Satu sentuhan kecil saja, nama baik itu pun hancur.

Mayangsari terpejam. Bimbang lagi.

Lalu mendadak, kelopak matanya terbuka lebar, ia telengkan


kepala. Diam, mendengarkan. Bunyi apakah itu ? Seperti suara
sesuatu tercebur ke dalam air.

Mayangsari bangkit dari duduknya. Berjingkat-jingkat ke jendela


ia buka hati-hati. Gelap di luar rumah. Hanya diterangi sinar
rembulan yang terlindung oleh bayangan pepohonan. Bayangan
itu jatuh memanjang ke arah kolam kecil, tempat anaknya semasa
hidup senang bermain.

Permukaan kolam beriak. Mayangsari menajamkan pandangan


matanya, lalu melihat benda-benda kehitam-hitaman berenang
dari tengah kolam, menyeret setangkai besar rumpun teratai.
Tiba di tepi, benda-benda itu naik. Barulah ia mengetahui, benda-
benda itu berupa tikus tikus sebesar kucing, yang dengan taring-
taringnya memetiki kuntum teratai putih yang masih baru.

Tercekat Mayangsari, karena perasaan bergalau. “Yang manakah


anakku?”

98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuka jendela lebar lebar dan
berseru perlahan karena suaranya sedemikian gemetar : “Hei,
nak... !”

Beberapa ekor tikus yang tadi menggotong rumpun teratai, sama


terkejut. Satu dua mendongak ke arah jendela. Yang lain
menggigit tangkai kuntum teratai yang sudah dipetik lantas
ngacir melarikan diri, diikuti tikus tikus yang lainnya.

“Tunggu !” teriak Mayangsari, lalu ia berlari ke pintu,


membukanya dan berlari lagi ke tepi kolam. Tak seekor pun tikus
itu yang tampak sekarang. Tinggal rumpun teratai yang
kuntumnya baru dipetik. Rumpun itu dibawa riak air, merayap
kembali ke tengah kolam. Liar, mata Mayangsari mencari-cari.
Namun tak seekor pun makhluk tadi kelihatan.

“Jangan pergi !” hampir menangis perempuan itu, saking kecewa.


“Aku ingin melihatnya. Melihat anakku ...”

Lalu seperti orang linglung ia berkeliaran sekitar rumah,


menyebut-nyebut nama anaknya, menyatakan keinginannya
untuk bersua, menjeritkan rindunya yang lama tersiksa. Dari
rumahnya ia pergi ke jalan. Mencari-cari di sekitar rumah
tetangga. Terus saja ia mencari, dari satu rumah ke lain rumah,
melihat-lihat ke kolong, ke belakang kandang mengibas-
ngibaskan rerumputan ilalang, berlari-larian dari satu pohon ke
pohon lain. Mulutnya terus kumat-kamit menyebut-nyebut nama

99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
anaknya, dengan air mata yang mulai terurai. Seluruh desa,
hening. Lengang.

Kematian yang susul-menyusul membuat semua penduduk sejak


sore hari sudah pada mengunci diri. Tak ada yang mau meronda.
Bahkar, ternak-ternak ikut bersembunyi, enggan melihat wajah
maut yang mengintai dari tengah kegelapan malam. Di beberapa
rumah korban perbuatan Teratai, ia dengar isak tangis. Tetapi
jendela dan pintu rumah-rumah itu juga tertutup rapat. Lampu-
lampu minyak dengan susah payah berusaha melawan pengaruh
kegelapan yang demikian dahsyat. Mayangsari terus saja mencari.
Mencari dan mencari.

“Teratai, anakku. Teratai, anakku. Di mana kau, nak ?”

Teratai. Teratai. Sekuntum teratai putih telah pula dipetik.


Mungkinkah itu berarti akan ada kor ban pula malam ini ? Tetapi
siapa ? Ya Tuhan, coba andaikata Mayangsari tahu. ia menyesali
pikiran pendeknya, buru-buru memanggil. Mestinya ia turun
diam-diam dari rumah lalu mengikuti ke arah mana tikus-tikus itu
pergi membawa kuntum teratai.

Sambil menyesali diri, otak Mayangsari terus berjalan.

Margono sudah jatuh jadi korban. Kemudian Ajat. Siapa yang


berikutnya? Bukan. Bukan begitu bunyi pertanyaan yang harus
dipikirkan. Coba ini: siapa orang yang kira-kira masih atau pernah
satu komplotan dengan Margono dan Ajat ?

100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kakinya terus pula melangkah. Dengan mata jelalatan.

Akhirnya ia melihat sesosok bayangan menyelinap ke luar dan


salah satu rumah. Mayangsari bergegas memburu. Bayangan tadi
bergegas pula berlari ke rumah yang terdekat. Terdengar suara
pintu digedor-gedor, lalu suara anak perempuan yang berteriak-
teriak histeris, “Tolonglah, Tolonglah ! Tikus tikus itu menyerbu
rumah kami. Ya Tuhan, tolonglah. Kang Dudung ...”

Tak ada yang berani membuka pintu. Setiap orang di dalam


rumah yang digedor itu masih ingat bagaimana keadaan mayat
Margono, lalu Ida dan Ajat apalagi. Kemudian orang-orang lain
yang bermaksud menolong. Mereka juga ingat kepada pak Mirta.
Seorang kepala desa, seorang yang punya ilmu, tetapi toh
kewalahan mengobati mereka. Bahkan ikut jatuh sakit.

Tidak. Tidak ada yang berani membuka pintu.

Penghuni rumah malah semakin rapat berpeluk an satu sama lain.

Bayangan di luar rumah, seorang gadis tanggung, menangis


terisak-isak dan dengan panik berlarian ke rumah yang lain untuk
meminta tolong. Gadis tanggung itu bentrok dengan Mayangsari,
yang berlari menyongsong.

“Ada apa, nak ? Kau Nining, bukan ?”

“Ya. Bu. Saya suara tangis Nining mendadak sontak hilang lenyap.
ia melihat ketakutan ke arah Mayangsari. Mundur dengan muka

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pucat dan mata ngeri. “Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon,
jangan ... !”

“Nak, aku justru mau membantu,” entah mengapa Mayangsri


dapat berkata demikian. Membantu mereka, mengusir roh jahat si
Teratai, anak kandung kesayangannya sendiri. “Mari kita pergi
sama-sama ke rumahmu.”

“Tidak. Kau tak boleh masuk !”

“Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin
menolong saudaramu, bukan ? Ayolah lantas tanpa menunggu
jawaban Mayangsari berlari-larian masuk ke rumah Dudung.
Setelah ragu sebentar, Nining kemudian mengikut di belakangnya.

Dudung tergeletak di ruang tengah. Wajah dan lehernya penuh


luka-luka menganga. Darah membanjiri lantai.

Seorang yang lain, Mira isteri Dudung tengah ditarik-tarik dua


anak mereka yang masih kecil-kecil ke kamar tidur. Anak-anak itu
terus menangis lalu lari serabutan menyembunyikan diri begitu
melihat Mayangsari masuk. Baru setelah Nining ikut masuk,
kedua orang bocah itu keluar dari persembunyiannya dan
merangkul bibi mereka dengan wajah pucat ketakutan.

“Apa yang terjadi ?” tanya Mayangsari sambil berjongkok untuk


memperhatikan luka di leher Dudung, kemudian juga
selangkangannya. Mayangsari terpejam ngeri memandangi leher
yang tercabik-cabik dan kemaluan Dudung yang tinggal sepotong,
102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
ia hampir muntah. Mundur beberapa tindak. “Tuhanku !”
desahnya, lirih. Baru sekarang-lah ia menyaksikan sendiri hasil
perbuatan roh jahat yang mereka katakan perwujutan anaknya, si
Teratai Putih. Selama ini ia cuma mendengar. Dan mendengar,
tidak seberapa akibatnya dibandingkan dengan menyaksikan
dengan mata kepala sendiri.

Pelan-pelan, Dudung membuka matanya.

Nining tak berani mendekat, ia bergerak ke pojok ruangan,


berusaha supaya ponakan-ponakannya yang bocah itu tidak
melihat ayah mereka bergerak sekarat.

Takut-takut, Mayangsari mendekat. “Mau mengatakan sesuatu,


Dung ?”

Pandangan Dudung kabur, ia tidak dapat mengenali perempuan


itu. “Siapa kau ?”

Mulanya Mayangsari mau memberitahu. Kemudian ia ingat


ketakutan di wajah Nining waktu mereka kepergok di luar rumah,
ia ingat pula kebencian yang selama ini ditujukan penduduk ke
alamat dirinya. Dengan menahan hati, Mayangsari mencoba
tersenyum. Katanya : “Berbaring sajalah. Akan kupanggilkan
seseorang untuk mengobati luka-lukamu.”

“ ... pak Mir - taaa,” ujar Dudung, terputus-putus.

“Ya. Ya. Memang dia yang mau kupanggil...”

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Jangan !”

“Tetapi...”

“Aku tak kuat lagi. Rasanya begitu panas. Aku yang berteriak-
teriak histeris : “Tolonglah. Tolong-leherku sudah putus ?”

Kalau putus, tentulah dia tak dapat bersuara.

Tetapi itu bukan jawaban yang pantas. Mayangsari mengatakan


yang lebih pantas : “Hanya luka sedikit.”

“Sedikit ? Kok sakitnya ia menggeliat-geliat, berusaha mengangkat


tangannya, tetapi tidak mampu. “Oh ... oh ... aku merasa lumpuh
seluruh badan. Aku akan mati... mati.” Dudung mulai menangis,
tersedu-sedu.

Nining cepat-cepat menarik kedua orang ponakannya, pergi


menjauh ke dapur. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin untuk
dapat mengintai ke ruang tengah. Kalau-kalau perempuan sihir
itu berbuat sesuatu terhadap saudaranya ... !

“Dengarkan !” Dudung menggapai tangan Mayangsari. “Temuilah


pak Mirta. Katakan ... katakan ... si Teratai yang membunuhku.
Dia... dia ... Tikus busuk ! Tikus haram jadah itu juga melukai Mira.
Mira ... mana Mira ? Miraaaa.”

Mayangsari melongok lewat pintu kamar. Mira menggeliat,


kemudian diam. Mudah-mudahan cuma pingsan, do'a Mayangsari
dengan tulus. Ya Tuhan, jangan ambil nyawa mereka yang tidak
104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bersalah ! “Isterimu baik baik saja,” katanya, ter bata-bata. “Kau
tadi menyebut nama pak Mirta. Apakah dia ... “

“Dia, menunggunya !”

“Dia siapa ? Menunggu siapa ?”

“Si Teratai.”

“Di mana ?” merinding bulu punduk Mayangsari, membayangkan


ia akan bertemu dengan anaknya. “Katakanlah, di mana ?”

“Setelah purnama ... ,” Dudung semakin lemah suaranya. Terpaksa


Mayangsari mendekatkan kuping ke mulut Dudung, dan
mendengar apa yang dipesankan oleh Teratai Putih kepada pak
Mirta. “Bunuh ... ,” rungut Dudung, geram. “Bunuh gadis terkutuk
itu untukku ... !” Lalu kepalanya terku lai.

Dudung telah menyusul Margono. Menyusul Ajat.

Mayangsari terdiam sejenak. Lalu bangkit terhuyung-huyung.


Tubuh setengah telanjang yang mengerikan itu, terlalu seram
untuk terus ia lihat. Mayangsari berpaling. Dan matanya bertemu
dengan mata Nining.

Anak tanggung itu mungkin sudah berusia lima belas. Lebih tua
beberapa tahun dari Teratai Putih. Tetapi mata Nining, tak ubah-
nya mata Teratai Putih yang memandang ketakutan campur
permohonan, bila si Teratai dihardik Mayangsari karena berbuat
kekeliruan. ia kemudian juga melihat mata Dodo dan Lina yang
105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
masih bocah. Mata bening, polos tak berdosa. Mayangsari
berpaling lagi. Kali ini matanya beradu dengan tubuh Mira yang
masih terkulai di lantai.

Mayangsari melangkah masuk ke kamar tidur. Diam-diam Nining


menyusul. Diam-diam pula Nining membantu Mayangsari
mengangkat tubuh Mira ke tempat tidur. Membaringkannya,
kemudian menyelimutinya baik-baik. Tubuh perempuan itu
panas, tetapi luka di lehernya tampak cuma goresan kecil belaka.
Mungkin ia akan tertolong, apabila secepatnya didatangkan bala
bantuan.

“Kalian tunggu di sini,” kata Mayangsari kepada Nining. Gadis


tanggung itu menatapnya dengan mulut bungkam. “Akan
kupanggil pak Mirta untuk mengobati Mira.” Mayangsari
melangkah ke pintu depan.

Lalu berhenti, ketika mendengar suara Nining : “Bu Mayang.”

“Ya, nak ?”

“Bukan kau yang mengerahkan tikus-tikus mengerikan itu.


Benarkah, bu Mayang ?”

Mayangsari tersenyum ke arah Nining.

Gadis itu tidak tersenyum. Namun sinar matanya menunjukkan


persahabatan. Mayangsari sampai terenyuh, dan menyeka
matanya ketika meninggalkan rumah Dudung, memaki-maki

106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
marah tiap kali melewati tetangga yang terus ngumpet di dalam
rumah masing-masing.

Kemudian, langkahnya ditujukan ke rumah kepala desa.


Tangannya menggenggam golok yang tadi dipegang oleh Dudung
selagi sekarat. Mayangsari tahu betul kalau golok itu milik pak
Mirta. ia mengambilnya tadi dari tangan Dudung, tanpa sadar
mengapa ia harus melakukannya.

Jadi, Mirta terlibat !

Mayangsari gemetar memikirkannya. Hatinya beku, dingin.


Sebeku dan sedingin malam berbau kabut, berbau kematian.
Mirta yang dulunya pemalu. Mirta yang jatuh cinta untuk pertama
kali setelah ia berusia tiga puluh tahun, dan gadis yang dia cintai
justru baru mencapai setengah usia Mirta sendiri. Mirta yang
sadar, bahwa ia dan keluarganya cuma anak penggarap sawah
dengan upah yang tak seberapa. Mirta yang terpaksa mundur
teratur, setelah anak majikannya bergerak lebih cepat, melamar
Mayangsari. ia teringat ketika suatu hari berjumpa di kali.

Mayangsari baru habis mencuci, dan Mirta baru pulang dari


sawah. Tubuh dan pakaiannya kotor, wajahnya tampak
menyimpan malu.

“Baru pulang, pak ?” tanya Mayangsari. Itulah selalu yang


membuat Mirta menyimpan isi hati. Karena Mayangsari selalu
memanggilnya dengan sebutan “bapak.” Mengapa tidak ? Usia

107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mereka berbeda jauh dan Mirta yang sudah terbiasa hidup
sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.

“Ya, Mayang.”

“Ayo. Sama-sama .”

Mirta pergi menjauh, bersembunyi di balik re rumputan untuk


melepas pakaian kemudian terjun ke air. ia mandi tergesa-gesa.
Naik lagi tergesa-gesa ke tepian, bersalin pakaian. Begitu ia
selesai, Mayangsari sudah tak ada di tempat semula. Mayangsari
sudah jauh di atas bukit, dan memandang padanya seraya
tertawa-tawa.

Mirta memang orang yang sabaran, dulunya pernah ia memergoki


Mayangsari dan kekasihnya sedang bercumbu di sebuah dangau.
Mirta yang tak keburu mengelak, terpaksa menyapa : “Maaf. Aku
kebetulan lewat.”

Mayangsari tersipu malu.

Kekasihnya, ayah si Teratai di kemudian hari, tertawa bergelak.


“Mau ngintip, ya harus lewat di mana ada tempat ngintip,”
katanya. “Tetapi lain kali, bilang-bilang dong.”

Mirta tidak bermaksud mengintip, Mayangsari tahu benar.

Tetapi ia tidak marah, ia tetap saja tersenyum manis, sopan. Balas


pula ia menyindir : “Kalau begitu, Aden beritahu pulalah pada
saya, kapan akan bercumbu !”

108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mayangsari melempar laki-laki itu dengan sandal. Tentu saja
senda gurau belaka. Herannya. Mirta tidak mengelak, ia biarkan
sandal itu melayang ke wajahnya, dan ia malah tampak senang.
Lain hari mereka bertemu lagi dan Mayangsari meminta maaf
atas perbuatannya yang lancang.

“Aku tak sengaja,” berkata Mayangsari.

“Biarlah. Disengaja atau tidak, aku tetap menerimanya dengan


senang hati...”

“Nanti kulempar lagi !” Mayangsari mengancam.

“Boleh. Tetapi dengan hati.”

Dan mereka tertawa. Tanpa Mayangsari tahu, Mirta berkata


sungguh-sungguh dan tawanya begitu terdengar bahagia.

Suatu malam, Mayangsari terlambat pulang, ia rupanya habis


kencan dengan calon ayah Teratai Putih dan karena si kekasih
habis bertengkar dengan calon mertua, tidak berani mengantar
Mayangsari sampai ke rumah. Kebetulan mereka bertemu Mirta
yang sudah diangkat murid oleh ayah Mayangsari.

“Dari mana saja kalian ?” sang ayah langsung menyenggak.

Sebelum Mayangsari sempat menjawab, Mirta sudah berkata :


“Maafkan, pak. Saya membawa Mayang nonton reog di desa
Banjarsari. Maksudnya mau pulang sore-sore. Eh, tahunya ketemu
beberapa teman yang ingin jadi murid bapak. Lalu kami ngobrol.
109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka banyak bertanya tentang perguruan kita. Terutama
kepada Mayang. Habis ngobrol, eh, sudah gelap ...”

“Aku tak bermaksud cari murid tambahan. Dan aku tidak pernah
membentuk perguruan. Ini bukan tempat bela diri. Tetapi tempat
membersihkan jiwa yang kotor. Dan kau telah mengotori jiwamu,
membawa anakku tanpa bilang-bilang. Untuk itu kau perlu
dihukum.”

Mirta benar-benar dihukum.

Berendam sepanjang malam sampai matahari terbit esok harinya,


di tengah sungai tempat kerbau biasanya berkubang. Seminggu
lamanya Mirta jatuh sakit karena demam dan penyakit gatal-gatal
pada kulitnya.

Mayangsari sering mengunjungi, merawat dan memberinya


makan, sambil tak henti-hentinya menyesali diri, meminta maaf.
Mirta hanya tertawa.

“Anggap saja pengalaman,” katanya. Dan setelah ia sembuh, ia


mendatangi ayah Mayangsari. Berjanji, tidak akan membawa
Mayangsari lain kali, tanpa seijin keluarga.

Dan itu benar. Mirta tak mungkin mengajak Mayangsari pergi ke


tempat-tempat pertunjukan atau ke mana saja tanpa ditemani
orang-orang ain. Karena Mayangsari sudah keburu dilamar orang,
dan setahun kemudian lahirlah Teratai Putih.

110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mirta mulai menjauhkan diri.

Tak pernah bercampur gaul dengan gadis-gadis lain, atau janda-


janda muda yang beberapa di antaranya menaruh hati juga pada
laki-laki yang malang itu. Mirta tak menikah. Tetap membujang,
sampai akhirnya Mayangsari tahu Mirta jadi bujang tua karena
hanya pernah jatuh cinta pada satu perempuan saja, sebagaimana
halnya Mayangsari hanya jatuh cinta pada satu laki-laki saja.

Saudara Mirta, ayah si Dudung kemudian diangkat jadi kepala


desa. Mirta diberi kedudukan sebagai pengurus tanah carik desa.
Punya rumah sendiri, punya penghasilan yang memadai. Namun
tetap saja, ia membujang, sampai ayah Teratai Putih meninggal
dan Mirta menunggu masa berkabung selesai. Baru berkata terus
terang pada Mayangsari :

“Kalau kau berhenti menangis, aku akan berhenti membujang.”

Kesedihan ditinggal suami mulai hilang.

Mayangsari berhenti menangis. Dan bertanya kepada Mirta :


“Katanya mau berhenti membujang.”

“Kau mau menghentikan aku ?” balas Mirta.

Mayangsari terkejut, karena nada suara Mirta yang sungguh-


sungguh. Tanpa sadar, ia tertawa Lalu berkata : “Bapak ini
berseloro. Lucu !”

Mirta ternyata bisa juga marah.

111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ia melarikan diri ke gunung, dan ketika kembali empat puluh hari
berikutnya, ia mendatangi ayah Mayangsari dan berkata : “Pernah
aku kau marahi padahal bukan karena kesalahanku !” Kasar
suaranya, kasar sikapnya. Ayah Mayangsari terkejut alang
kepalang.

“Ada apa dengan kau, Mirta ?”

“Aku ingin membalas sakit hatiku.”

“Membalas ?”

“Ya. Dengan ini,” lalu : cuih ! Mirta meludah. Kena tangan ayah
Mayangsari tangan yang terkena ludah itu berubah merah,
kemudian hitam, lalu melepuh. Ayah Mayangsari tak pernah
mampu mengobati sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah
Mayangsari mati, luka itu tetap meninggalkan bekas hitam
terbakar. Ayah Mayangsari mengeluarkan sumpahnya.
Mayangsari yang mendengarnya kemudian, terkejut, ia lalu
berterus terang menceritakan mengapa Mirta sakit hati pada
ayahnya.

“Anak bodoh,” bentak ayah Mayangsari. “Coba kau beritahu aku


dari dulu-dulu. Sekarang terlambat sudah. Sumpah telah terucap!”

Dan Mirta telah dipecat sebagai murid. Peristiwa-peristiwa


memalukan pun datang susul menyusul. Ayah Mayangsari
kambing hitamnya. Seperti, tahun-tahun terakhir ini Mayangsari
mendapatkan cap yang sama.
112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sambil terus menuju ke rumah kepala desa itu, Mayangsari
berusaha menahan kebencian yang tiba-tiba muncul. Kemudian ia
sadari, ia turut berperan atas kelakuan Mirta. ia juga mempunyai
dosa-dosa. Terbayang mata Nining. Mata bocah Dono dan Lina.

Mayangsari mengeluh. Dia juga harus menebus dosa, sebelum


mata bocah-bocah tak bersalah itu semakin banyak ber-linangkan
butir butir penderitaan. Dudung sudah mati. Tetapi bocah-bocah
itu masih mempunyai ibu. Dan hanya Mirta yang dapat menolong.

Mayangsari tertegun.

Tahu-tahu saja, Mirta telah tegak di depannya.

***

BEBERAPA saat lamanya, mereka berdua cuma saling menatap di


bawah siraman rembulan. Kemudian pak Mirta melihat apa yang
dipegang Mayang sari. Lurah itu terkejut. Pucat. Cepat pikirannya
bekerja.

“Apakah Dudung sudah…” ia tidak berani melanjutkan kata-


katanya. Terlalu lemas memikirkan apa yang terbayang di
kepalanya. Adiknya telah mati. Kini, keponakannya. Dan dia yang
jadi gara-gara !

“Pak Mirta ...”

113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan
sesuatu, tetapi tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak
ia dengar sama sekali ketika Mayangsari berkata : “Kau ingin aku
melakukan perbuatan terpuji, bukan ?”

Pak Mirta diam. Belum dapat menangkap makna kata-kata


Mayangsari.

“Dudung berpesan ... ,” Mayangsari kemudian meneruskan pesan


yang dimaksud. “Isterinya masih terbaring di sana. Sakit. Dan
anak-anaknya…” Mayangsari gemetar. “Anak-anak itu harus
diselamatkan.”

“Juga anak-anak lain,” pak Mirta mulai mengerti.

“Ya. Juga anak-anak lain,” Mayangsari menyetujui.

“Dan kau mau. Padahal, kau sudah tahu betapa jahat dan bejatnya
moralku ...”

Mayangsari mencoba tersenyum. Ujarnya : “Pertalian bathin dan


darah, tidak selamanya melalui perkawinan, pak Mirta. Ada
banyak cara yang bisa ditempuh. Yang paling tepat, ini !” Gaung
suara Mayangsari belum hilang, tetapi golok yang terpegang di
tangannya sudah terhunjam sampai ke gagang, tenggelam ke
dalam lambungnya yang perlahan-lahan mengucurkan darah.

Pak Mirta terkejut. ia melompat ke depan, memeluk Mayangsari


dan berusaha menarik keluar golok itu dari lambung si

114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
perempuan. Tetapi Mayangsari mencegahnya. Dengan mata
setengah terkatup menahan sengsara,

Mayangsari berkata terputus-putus “Manterailah, pak Mirta.


Manterailah darah yang mengalir dari dari jantungku membasahi
golokmu. Aku ... aku merindukan Teratai. Ingin bertemu ...
dengannya. Tadinya ... kukira, kami akan .... Tetapi, dengan cara
ini...” Tubuh Mayangsari terkulai diam.

Betapa lamanya waktu berlalu. Betapa lamanya hasrat pak Mirta


untuk memeluk Mayangsari, tetap terpendam sia-sia. Dan ketika
kini keberuntungan itu benar-benar ia peroleh, nyatanya ia hanya
berhak memeluk jasadnya saja.

Jasad yang sudah mati begitu tiba tiba.

Maut memang seringkali datang tanpa pemberitahuan lebih dulu.

***

BULAN purnama mengintip dari sela-sela dedaunan pohon-pohon


karet, ketika bayangan memanjang itu tertatih-tatih mendekati
sebuah makam besar di antara sejumlah makam-makam lainnya
yang jauh lebih kecil.

Remang-remang rembulan menimpa permukaan makam


sehingga gundukan makam tampak semakin mengembung.
Bayangan kurus memanjang itu terhenti sejenak di kepala
115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
makam. Lalu, tiba-tiba : “Cuih ! Cuih !” ia meludah. Sekali ke kiri,
sekali ke kanan. “Ini aku, Mirta, datang memenuhi panggilanmu.”
ia diam mendengarkan. Tidak ada sahutan. “Cuih ! Cuih !”
meludah lagi pak Mirta. “Ataukah kau tidak mau menepati
janjimu?” Tiba-tiba angin bersilir di sebelah kanan pak Mirta.
Seketika ia tertegun.

“Aku di sini, murid yang tak membalas budi !”

Pak Mirta menoleh. Seseorang gadis semampai yang cantik jelita,


berdiri tak jauh di sebelah kanannya, ia memakai sutera putih
yang menjuntai sampai di tanah, kontras sekali dengan kepekatan
malam yang remang-remang dijilat rembulan.

“ ... Teratai Putih !” membisik pak Mirta.

“Kau juga ingat padaku, pak Mirta.”

“Karena kau yang mengundangku datang.”

“Kau tidak takut ?”

Pak Mirta sejenak terdiam. Mencoba tersenyum. Kemudian


meludah. “Ah... ah ... .”

Teratai Putih menjauh. “Bau ludahmu tidak enak.”

“Kau yang kini takut ya ?” sungut pak Mirta dengan suara keras.

Si gadis tersenyum. “Tidak!” katanya. “Karena aku sudah


diberitahu kakek tentang keampuhanmu itu sebelum beliau

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menghembuskan nafas terakhir. Ingatkah ketika jasadku tidak
ditemukan orang di dalam dangau, lima tahun yang lampau ?”

“Hem,” pak Mirta bersungut-sungut.

“Kau memasuki tubuh kakekmu, begitukah yang mau kau


katakan?”

Si gadis tertawa. “ ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak Mirta.
Tetapi tidak ada yang bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa.
Ternyata kau juga tidak, bukan ? Karena kakekku lebih tahu
bagaimana membutakan matamu dan mematikan keampuhan air
liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama dengannya, sampai ke
liang kubur, pak Mirta.”

Laki-laki tua itu manggut-manggut. “Pantas,” gumamnya.

“Pantas apanya ?”

“Pantas waktu dimakamkan, kuburan kakekmu tidak bisa


seukuran dengan makam biasa. Karena yang dimuatkan ke dalam
makam, ternyata dua orang. Meski tak seorang pun melihat orang
kedua itu ikut dimakamkan.”

“Kau pintar, pak Mirta. Mengapa kepintaranmu itu tidak kau


pergunakan untuk menjelaskan pada keluarga kepala desa,
bahwa kakekku bukan seorang tukang teluh ? Bahwa kakekku
tidak tahu apa-apa tentang kematian kepala desa ? Karena
memang orang itu mati karena perbuatan ...”

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Diam !” Pak Mirta membentak.

Tetarai Putih menyeringai. “ ... tentu saja tidak. Karena kau


mengharapkan kehormatan lebih besar dan penghasilan yang
lebih banyak, dengan mengenyahkan satu-satunya sainganmu di
desa dan sepuluh desa sekitar. Celakanya, justru orang itu adalah
kakekku. Orang yang pernah mengajarkan ilmu-ilmu karuhun
padamu, untuk mengabdi pada orang-orang sakit yang
membutuhkan pengobatan.

Laki-laki itu mengangkat wajah. “Apa perdulimu ?” katanya


tersinggung.

“Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh
dengan rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau
menuduh dan kemudian ikut terlibat dalam pembunuhan kakek.”

“Aku tak ikut,” pak Mirta membantah.

“Secara langsung memang tidak. Tetapi kau membacakan


mantera-mantera.”

“Kakekmu harusnya bisa membunuh mantera manteraku.


Salahnya sendiri, mengapa ia tidak melawan.”

Teratai Putih tersenyum. Perih. “Kakek tak mau membunuh


muridnya sendiri, pak Mirta. Dan ia tidak mau menjatuhkan
tangan kepada orang-orang yang tidak bersalah, tetapi tersesat
karena bujuk-anmu itu. Dan ia merasa pernah berdoa padamu ...”

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Lalu mengapa kau membunuh begitu banyak orang ?”

“Untuk kedurjanaan mereka terhadap diriku.”

Pak Mirta manggut-manggut. “Aku mengerti,” katanya. “Tetapi


tentunya kau mengundangku kemari, tidak dengan maksud untuk
mengatakan hal sepele itu saja, bukan ?”

Si gadis tersenyum, ia mendekat beberapa langkah. “…aku


terlanjur bersumpah pada kakekku, pak Mirta. Untuk membalas
dendam pada orang-orang yang telah membunuh kakek dan
memperkosaku. Seperti kakek, akupun tidak bermaksud
menciderai orang yang tidak bersalah. Tetapi bagiku, kau tetap
bersalah. Kakek amat marah padamu, tetapi ia telah mati. ia tidak
mungkin membalaskan dendamnya. Karena itu, selama lima
tahun lebih aku - rohku dan roh kakekku saling menguji diri.
Menguji keampuhan masing-masing. Dan ketika waktunya kami
kira sudah tiba, atas kehendak alam kuburanku pun terbuka ...”

Kedua kaki pak Mirta menjejak kuat-kuat ke tanah, hingga tanah


di bawahnya merekah. Lututnya gemetar, tetapi bukan pertanda
takut Karena dari wajah dan matanya terpancar amarah yang luar
biasa. “Kau menganggapku remeh, neng !” sungutnya. Lalu
meludah ke kiri dan ke kanan terus ke muka dan ke belakang.
“Cobalah dekati diriku !”

Si gadis tersenyum. “Kau lupa aku jijik dengan bau ludahmu.


Tetapi mereka tidak, pak Mirta,” teriak si gadis, ia bergerak ke

119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
makam besar itu, mencabut nisan di kepala makam dengan sigap.
Dari bekas nisan itu terlihat sebuah lubang besar, semakin besar
dan kemudian berpuluh-puluh malah mungkin beratus ratus ekor
tikus berloncatan ke luar.

Pak Mirta terkejut. ia mengeluarkan goloknya. Tetapi tikus-tikus


itu tidak menjadi takut karenanya, malah semakin mendekat juga
kepadanya, ia meludah berulang-ulang. Tikus-tikus itu tetap
menyerang.

“Itu semua tikus-tikus biasa, pak Mirta. Tak guna kau perlihatkan
ajianmu. Itu bukan daun-daun yang pernah menyerang teman-
temanmu di pinggir sungai beberapa hari yang lalu. Tikus biasa,
pak Mirta. Tikus biasa. Lawanlah mereka.”

Orang tua itu tidak sempat mendengarkan semua itu. Sementara


si gadis tertawa nyaring dan lengking, tikus-tikus itu telah
meloncati tubuh pak Mirta. Mereka mencakar dengan kuku dan
menggigit dengan gigi di tempat-tempat tikus itu hinggap.
Beberapa ekor di antaranya tertebas oleh golok pak Mirta, jatuh
bergulingan di tanah dengan meninggalkan bunyi mencicit yang
menyayat tulang. Tetapi tikus-tikus yang keluar dari lubang
makam Itu semakin banyak juga.

Orang tua itu mulai kewalahan, dan keluar dari lingkungan di


mana ia tadi meludah, ia sadar bahwa bila ia keluar dari
lingkungan semburan ludah nya, kekuatannya akan punah, tetapi

120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tikus-tikus itu semakin banyak sehingga ia tidak kuasa melawan
dorongan mereka, ia mundur, terus mundur. Dan suatu saat ia
mengangakan mulut, berteriak:

“Ular-ular itu ! Ular-ular itu !”

Dari balik pepohonan, tiba-tiba muncul banyak bayangan.


Kemudian obor menerangi kompleks pemakaman yang remang-
remang itu. Beberapa penduduk berkeluaran dari
persembunyiannya, masing-masing berteriak mengucapkan kata-
kata : “Musnahkanlah, roh jahat ! Musnahlah roh jahat !”

Lau keranjang bambu di tangan beberapa orang di antara


rombongan penduduk yang muncul bagai air bah itu, dilemparkan
ke tanah. Tutupnya terbuka. Dari dalamnya keluar ular berbagai
macam yang atas petunjuk pak Mirta telah ditangkapi penduduk
sementara menunggu waktu pertemuannya dengan Teratai Putih.

Mula-mula ular-ular itu diam tak bergerak. Mungkin karena kaku,


terkejut. Kemudian perlahan-lahan mulai merayap. Merayap
berkeliling, meliuk-liuk seram. Penduduk menjauhi tempat itu,
meski ular-ular tadi lebih tertarik pada bau tikus. Binatang melata
itu terus saja merayap ke arah pak Mirta yang sedang berjuang
membebaskan diri dari keroyokan tikus-tikus.

Tikus-tikus itu rupanya melihat gelagat tak baik. Suara mencicit


riuh rendah memenuhi jalan lintas perkebunan yang sunyi sepi
itu. Lari serabutan. Namun ular-ular yang telah mengerung di

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sekitar mendadak berubah ganas lalu meliuk semakin cepat
memburu mangsa.

Pak Mirta cepat-cepat menghindar, ia menggoyang-goyangkan


kepala untuk menghindari rasa sakit dan perih. Samar-samar ia
lihat puluhan ekor ular memperoleh santapan ratusan ekor tikus-
tikus besar dan gemuk-gemuk. Sebagian masih mampu melawan.
Beberapa ular itu tercabik, mati. Namun naluri seekor tikus tetap
saja naluri tikus. Meski lebih banyak dari penyerangnya, sebagian
besar binatang-binatang pengerat itu telah lari menyelamatkan
diri.

“Terkutuk. Akal bulus terkutuk !” terdengar suara mengumpat.

Pak Mirta menoleh. Tetapi ia tidak melihat Teratai Putih, ia hanya


melihat bayangan putih samar-samar yang semula tinggi,
kemudian merendah dan merendah hampir rata ke tanah.

“Tikus putih,” bisik pak Mirta, terpana. Dan ketika ia lihat tikus
putih itu lari menyelinap di antara semak belukar, pak Mirta
berteriak :

“Kepung. Ayo, kepung. Jangan biarkan makhluk terkutuk itu


kembali ke desa untuk mengambil nyawa anak isteri kalian ... !”

Penduduk yang mendengar perintah itu, meski takut-takut toh


berlari larian mematuhi perintah lurah mereka. Lagipula jumlah
mereka sangat banyak, mengapa tidak berani ? Musuh pun
tampaknya sudah kalang kabut.
122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tinggal satu. Satu, tetapi yang paling berbahaya !

Sambil berpegangan tangan dan berdiri berkelompok-kelompok


mereka mengurung arah hilang nya tikus putih itu. Bila terlihat
bayangannya, mereka datang merapat dan memaksanya lari ke
tempat terbuka.

Makhluk itu melompat kian kemari sambil mengeluarkan suara


merintih, menggeram, menjerit-jerit ribut. Bukan mencicit. Tetapi
menjerit-jerit ribut sebagaimana anak perempuan yang
terperangkap di sarang harimau yang kelaparan. Yang aneh,
makhluk itu tidak berusaha menyerang para pengepungnya. ia
baru menggeram-geram marah kalau melihat pak Mirta, berusaha
melepaskan diri dari kepungan agar dapat mendekati lurah desa
itu.

Sebaliknya, pak Mirta yang datang dengan dipapah beberapa


orang priya bertubuh besar kuat, dengan caranya sendiri
senantiasa berusaha agar terlindung di balik tubuh orang-orang
yang memapahnya. Suatu perbuatan pengecut, tetapi ia selamat
dan para penolongnya tidak menyadari kepengecutan lurah
mereka. Dengan jeritan putus asa, akhirnya tikus putih itu
melakukan lompatan panjang melalui kepala orang-orang yang
mengepungnya. Terus kabur menaiki tebing, menuju daerah
bekas longsor di mana masih terdapat lubang-lubang dan rongga-
rongga guha untuk bersembunyi.

123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Golokku. Ke sinikan golokku!” pak Mirta berteriak. ia menyapu
wajahnya yang penuh cakaran berlumur darah, menerima golok
yang diulurkan oleh seseorang. Lalu membathin : “Darahmu
masih melekat di mata golokku, Mayang. Bantulah aku. Berikan
aku kekuatan untuk menebus dosaku.”

Lagi, suatu sikap pengecut. Meminta bantuan Mayangsari untuk


membunuh anak Mayangsari sendiri. Pak Mirta merasa malu.
Tetapi kepalang basah, ia terus saja membaca mantera. Sekali
sekali ia berseru memerintahkan orang yang memapahnya agar
mengangkat ia ke sana, ke sini, mengikuti getaran golok dan
bayangan tikus putih hilang menyelinap.

Suatu ketika, ujung golok itu terpaku diam di mulut salah satu
liang yang gelap. Pak Mirta merasakan telapak tangannya panas,
terbakar. Matanya terpejam menahan azab, lalu bergumam :

“Biarlah ibumu yang menjemputmu, Teratai Putih,” lalu ia


meludah sekitar mulut lubang dan sekaligus melemparkan
goloknya jatuh melayang-layang dalam kegelapan lubang.

Sesaat sepi. Menyentak.

Kemudian terdengar suara jerit lengking memilukan. Lolongan


panjang yang mendirikan bulu roma. semua yang ada di tempat
itu, terpaku kaget dan ngeri. Malah ada yang sampai terkencing di
celana.

124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Di sini si cantik Teratai Putih mati dan bermukim,” keluh pak
Mirta pelan, begitu suara lolongan itu tinggal gaung lemah nun
jauh entah di mana. Orang tua itu menengadah, menatap warga
desanya yang terheran-heran mendengar apa yang ia utarakan,
“Aku berdosa pada gadis kecil itu. Pada kakeknya. Dan ibunya.
Masih banyak dosa-dosa besar yang kuperbuat! Terlalu besar
untuk ditebus ...”

Tak ada seorang pun yang mengangkat suara.

Dan lebih banyak mereka yang tidak memahami apa yang


dimaksud lurah mereka. Tetapi tak ada bedanya. Tak ada. Karena,
serbuan tikus-tikus itu telah mencabik hampir sekujur tubuh pak
Mirta. Racun dari kuku serta taring makhluk-makhluk itu telah
menjalar di sekujur persendian, mengalir di semua pembuluh
darah dan kemudian mendekam di jantungnya.

Ketika orang-orang yang memapah orang tua itu memperhatikan


di bawah sinar obor, barulah mereka terkejut melihat kulit tubuh
pak Mirta telah berubah hitam pekat kebiru-biruan. Orang tua itu
telah meninggal dalam keadaan sama mengerikan dengan
kematian Margono, Dudung maupun Ajat.

Salah satu obor yang menerangi wajah pak Mirta, jatuh ke tanah.

Berkelip sebentar. Lalu padam.

***

125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pagi datang. Dan dari dalam lubang, mereka mengeluarkan selain
golok juga seonggok tulang be lulang.

“Teratai Putih,” seseorang berbisik.

Matahari tersentak di balik bukit.

**Tamat**

126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anda mungkin juga menyukai