Abdullah Harahap
E-Book by Ratu-buku.blogspot.com
11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Perlahan tetapi pasti, wujut kerangka itu mengalami proses
perubahan. Dari tulang belulang dan tengkorak yang terlantar,
berubah jadi sesosok tubuh manusia. Betisnya ramping, pahanya
bulat mulus, pinggang meliuk indah, dada membukit dengan
putik-putik merah segar, leher jenjang, wajah cantik dengan
rambut tebal hitam berkilauan.
***
“Kita ke Posko saja,” kata yang terdepan.” Di sana kita masak kopi.
Pak Haji tadi mengirimkan sebaskom ubi rebus !”
13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Langkah-langkah mereka kian bergegas. Dan : “Aku mau ke kali
dulu !” kata Margono.
14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak ada sahutan. Margono melangkah. Satu. Dua. Tiga.
Perasaannya mulai waswas. Entah mengapa. Karena itu ia
membuka mulut lagi : “Siapa di situ ?”
“Aku ! “
15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Mau buang air.”
“Hem, lalu ?”
Hampir kaku seluruh tubuh Margono. Kaku kedinginan. “Eh ... eh,
yyyaaa...,” jawabnya gagap.
“Ah, masa !”
16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Perempuan itu tersenyum. Manis sekali. Bibirnya tampak merah
merekah. Lembu mempesona.
17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ah,” lagi, Margono mendesah.
“Mau apa kau T,” suara Margono melemah. Betapa tidak. Jari
jemari gadis itu telah melepas kancing-kancing kemejanya. Dan
perlahan lahan menggelitik dada Margono yang berbulu. Margono
jadi gemas. Si gadis memekik halus, kemudian meronta-ronta.
“Kang, jangan !”
***
19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Selagi mereka berlari dahulu mendahului ke arah sungai di mana
Margono tadi mereka tinggalkan, benak mereka seolah-olah
memadu dalam suatu bayangan. Margono memergoki si pencuri
yang sering mengganggu keamanan kampung mereka belakangan
ini, Margono tidak bersenjata. Dan si pencuri mungkin punya
golok. Atau pisau. Atau bambu runcing. Atau apa saja. Yang bisa
menghantam margono.
20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mereka kian cepat dan hanya dalam beberapa detik mereka telah
sampai di tempat di mana tadi Margono mereka tinggal kan.
***
“Tikus putih!” seru orang yang menyenter benda itu. Dan sebelum
ia serta kawan-kawannya ingat untuk berbuat sesuatu, tikus putih
sebesar betis itu telah meluncur masuk dalam gelap, menghilang
di antara akar-akar bakau seraya mencicit-cicit nyaring. Bergidik
bulu roma peronda-peronda malam yang hadir di situ..
22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dada Margono. Darah itu berasal dari lehernya. Waktu orang itu
menyorotkan lampu senter di tangan, ia merasakan seluruh
tubuhnya dingin dan kaku. Tenggorokan Margono terbelah
dengan kasar bagaikan dicabik-cabik oleh gigi-gigi yang runcing
dan tajam-tajam.
23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
semakin banyak juga orang yang mengiringi rombongan. Rupanya
jerit dan raung Margono telah membangunkan beberapa
penduduk yang memberanikan diri keluar untuk mengetahui apa
yang terjadi. Ada belasan orang yang mengiringi mayat itu sampai
dibaringkan di ruangan tengah rumah keluarganya.
Dan ketika pagi tiba, kerumunan itu mulai menipis dan tinggallah
keluarga Margono serta anak-anaknya yang ada, termasuk
keempat petugas ronda malam itu dan Pak Lurah yang khusus
dipanggil untuk nenyelidiki sebab-sebab kematian Margono yang
demikian menyeramkan.
24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Memang dibunuh. Tetapi bukan oleh manusia biasa !”
Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya telah
pucat, semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan
kepala, mencoba menghilangkan bayangan buruk yang
munghuntui kepala mereka.
“ ... sebentar,” sungut lurah yang dipanggil Pak Mirta itu. ia sesaat
taffakur, kumat kamit membaca se suatu lalu membelalakkan
mata. Sorot matanya yang tajam ditujukan pada telapak tangan
kanan Margono yang sejak dibawa ke rumah ini tetap mengepal
dan tak bisa dibuka. Tubuh Pak Mirta bergidik sejenak, kemudian
matanya terpejam lagi. Beberapa helaan nafas setelah itu ia
menjadi biasa lagi. Sambil tersenyum penuh kemenangan, ia me-
raba pergelangan tangan kanan Margono. Dengan mengangkatnya
sedikit, kepalan tangan kanan Margono telah berada di depan
mulutnya.
“Cuih !” ia meludah.
Semburan ludah itu membasahi jari jemari Mar gono yang telah
memutih kebiruan. Kemudian te lapak tangan Pak Mirta yang
25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
satunya lagi diangkat melebar dan diputar-putarkan di atas
kepalan tangan Margono. Lalu, perlahan-lahan ia membuka satu
per satu jari jemari yang mengatup keras itu hanya dalam waktu
yang singkat dan sangat mudah kelihatannya, dibuka oleh Pak
Mirta. ia membuka jari jemari Margono seperti mengupas kulit
pisang.
28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
itu bukan pencuri. Karena yang membunuh Margono adalah
seorang yang gemar pada bunga...”
***
29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tetapi sudahlah !” lanjut pak Mirta. “Toh Gono sudah mati !”
30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menganga itu membentuk warna yang lebih hitam. Sebelum si
pemegang parang sadar apa yang ia lihat, pak Mirta berseru lagi :
“Menghindar !”
Orang itu melolong dan meraung, ditolak oleh Pak Mirta. Tetapi
tikus-tikus itu semakin gencar menyerang tidak saja muka, tetapi
tangan, bahu, dada dan lehernya. Teman-temannya segera datang
membantu. Tetapi mereka justru jadi sasaran serangan tikus-
tikus yang luar biasa besar dengan gigi-gigi yang tajam serta
runcing bagaikan gergaji pemotong kayu. Jerit dan lolong
kesakitan segera menggema di sepanjang tepi sungai pagi hari itu.
***
32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“... ke mana tikus-tikus keparat itu ?” peronda yang terbesar
tubuhnya bersungut-sungut sambil memegangi lengannya yang
luka berdarah. Seluruh bajunya sobek dan hancur. Dari dadanya
mengucur darah. Tampak luka-luka memanjang di sekitar dada
yang bidang berbulu itu.
“Tikus?” pak Mirta tersenyum halus. “Tidak ada seekor tikus pun!”
“Mustahil !”
“Lalu ... tikus-tikus itu ... aku ingat aku ada menghancurkan
beberapa ekor di antaranya,” bersungut-sungut laki-laki peronda
yang bertubuh kekar itu.
“Jangan takut,” senyum pak Mirta. “Tak akan ada tikus-tikus. Tadi
sebelum akar itu terpotong, aku melihat bayangan putih. Kukira
tikus yang kalian lihat subuh-tadi. Tetapi ternyata tidak. Galilah.”
34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka merasa sekujur tubuh mereka kesakitan. Rasa takut dan
ngeri perlahan sudah hi-lang, namun belum semuanya. Karena itu
mereka cuma diam dan pasrah kepada pak Mirta, yang bersikap
tenang dan hati-hati dalam melakukan segala tindakan.
Semua yang ada di situ tahu peneluh mana yang dimaksud pak
Mirta. Semua yang mendengar pada bergidik. Pucat. Hal itu
tampak pula di wajah sang lurah, namun ia dapat
menyembunyikan perasaan dengan tidak berkeluh kesah Jauh di
sanubari, sebenarnya ia merasa kuatir.
35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak lama. Wajahnya berubah cerah lagi, ketika ia teringat sesuatu.
“Masih ada harapan,” pikirnya. “Aku harus menemui dia sekarang
juga !”
***
36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
paling mulia di desa mereka, namun toh Mayangsari menyambut
pak Mirta dengan sikap biasa, malah setengah tak acuh. Sebagai
warga yang baik, ia mempersilahkan tamu nya masuk dan
kemudian pergi ke dapur untuk membuatkan teh.
37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ke mana pun perempuan ini pergi, orang tetap berbisik-bisik :
“Itu dia si Mayang, anak tukang teluh !” Lebih menyakitkan lagi :
“Tahu tidak. Anaknya, si Teratai Putih, hilang rahib ! Tentu saja :
anak itu lahir dari kekuatan sihir !”
38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
jadi-jadian. Paling kurang, diberi makanan oleh roh-roh jahat.
Para tengkulak tak perduli. Mereka cuma bilang : “Ikan ya ikan.
Makin baik, makin laku dijual.”
Ya. Pak Mirta tahu : Mayang tidak mau jauh dari kuburan suami
dan ayah kandungnya. Dan seperti apa yang juga berulang kali
diucapkan Mayangsari, perempuan itu masih tetap penasaran.
Ingin tahu di mana anaknya terkubur, ia yakin anaknya sudah
meninggal, tetapi ia baru puas kalau sudah melihat sendiri
39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kuburan Teratai Putih, dan bahwa Teratai Putih dimakamkan
secara wajar.
“Oh ya ?”
“Berteriak ?”
“Ya”
40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Toh tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat bahwa aku
sungguh-sungguh tak ke…”
41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pak Mirta angkat bahu. Mengeluh : “Kau tak pernah ikut-ikutan
dengan ayahmu, Mayang. Tetapi si Teratai, tak pernah lekang dari
dia. Mereka berdua saling sayang menyayangi, saling pengaruh
mempengaruhi. Aku tahu benar, apa yang ada dalam pikiran
almarhum ayahmu. Kau tidak mewarisi darahnya. Darah
keturunan, ya. Tetapi darah pembawa bakat ilmu yang dimiliki
ayahmu, tidak. Si Teratai memilikinya .”
“Wujut bagaimana ?”
42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mayangsari seorang perempuan baik-baik. Namun sebaliknya, dia
juga tahu, diam-diam Mayangsari menyimpan kepenasaran : ingin
tahu siapa pembunuh ayahnya dan puterinya. Ingin melihat
pembunuh-pembunuh itu mati tersiksa.
43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
atau bibit teratai yang berwarna merah, biru, ku ning malah
Jingga yang begitu indah. Sebaliknya, anaknya tetap membiarkan
teratai putih tumbuh subur dengan memberi alasan, putih teratai,
adalah putih hatinya.
44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dan Jingga yang ia biarkan tumbuh subur semenjak anaknya
menghilang sekian tahun, tidak tampak lagi menghiasi
permukaan air kolam yang bening jernih. Daun, batang, akar dan
bunga-bunga teratai warna warni itu tampak berhamburan di
pinggir kolam, seolah dising-kirkan dengan perasaan jijik.
***
45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Peluh dingin membuat ketiaknya terasa lembab. “Kalau bukan
Uwa sendiri yang mengatakan, aku akan tertawa,” ia berkata
pelan. “Si Teratai bangkit dari kubur. Ya Tuhan !”
46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang telah ia tolong. Tetapi ada pula kita dengar, kakek Teratai
dengan mudah akan menciderai seseorang atas permintaan
dengan bayaran tinggi. Si Teratai pun konon sudah menerima
ilmu yang sama dari kakeknya. Dia bukan gadis yang sepadan
untukmu, nak. Masih banyak yang lain. Anak keluarga baik-baik.
Si Saerah, anak Haji Suleh. Si Ningrum, anak bekas Camat. Kalau
kau masih kurang puas, aku dekat dengan Bupati. Puteri bungsu
Bupati sedang meningkat dewasa, dan kalau dikait-kaitkan kita
masih ada pertalian keluarga dari nenek sepupumu, ia juga tak
kalah cantik dengan cucu pertapa itu...”
“Dia itu,” kakek Teratai menuding orang dimaksud. “ ... dulu paling
bersikeras mengatakan me nantuku mati karena kujadikan
tumbal. Dia berkoar kian kemari mengatakan aku menempuh
jalan sesat - memuja setan, menyembah roh jahat penghuni lereng
gunung tempatku sering bersemadhi mensucikan diri.”
47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ayah Dudung menyesal membawanya, tetapi salah seorang
pengiring lain dengan cepat mengete-ngahi. Katanya : “ia
dipengaruhi orang. Terlalu cepat menangkap kabar burung.
Padahal kita se mua tahu, menantu bapak memang meninggal,
karena dipatuk ular. Suatu musibah yang setiap orang pun dapat
saja terkena, bukankah begitu?” si pembicara menatap orang-
orang yang datang bersamanya. Semua mengangguk menyetujui.
“ ... cucu kami masih terlalu muda untuk kawin,” kakek Teratai
Putih tetap menolak lamaran yang diajukan. “Coba. ia masih 12
tahun. Membersihkan ingus pun masih perlu dibantu. Apalagi
mengurus suami, wah ...!”
Ucapan pak Mirta yang tidak dipikir panjang lebar itu, segera
ditanggapi kakek Teratai Putih. Dingin dan tajam menyengat,
orangtua itu bergumam : “ Apakah maksud kalian Teratai Putih
kawin dengan Dudung, tanpa Teratai harus mencintai suaminya?”
49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Rombongan pelamar itu akhirnya mengundur kan diri dengan
perasaan malu. Lama kelamaan semua penduduk desa
mengetahuinya. Aib semakin tercoreng di muka. Hubungan
antara keluarga Dudung dengan keluarga Teratai Putih dengan
sendirinya semakin retak.
51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dudung kecewa. ia hampir gila karena pikiran ayahnya diteluh,
cintanya ditolak dan semua keluarga bernyali kecil. Dudung
lantas membujuk orang lain untuk melaksanakan sakit hatinya.
Hanya dua orang yang bersedia. Margono, kepala keamanan desa
yang diam-diam juga ada hati sama Teratai Putih tetapi pernah
mukanya diludahi si gadis waktu dadanya dijamah Margono. Lalu
Ajat, tukang pukul yang senantiasa lengket bagaikan lintah ke
mana saja Dudung pergi; karena butuh uang dan pengaruh, selain
itu dia pulalah guru silat Dudung. Berbagai rencana mereka susun
bertiga.
***
52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“ Aku tak melihat Ajat.”
“Kapan ia pulang ?”
“Bagaimana ?”
“Tetapi, uwa. Roh jahat tidak akan terhalang pintu yang terkunci.”
53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pak Mirta melamar Mayangsari. Kecuali bekas gurunya, ayah
Mayangsari yang jelas akan menolak bermenantukan pak Mirta.
Dia pernah jadi murid kakek Teratai Putih tetapi kemudian
mereka berpisah setelah ketahuan pak Mirta memperdalam ilmu
yang tidak disukai gurunya.
54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terpentang. Mengenali siapa orang-orang yang ada di
hadapannya, si kakek mencoba tersenyum. “Tumben. Perlu
apakah kiranya saudara-saudaraku kemari ?” sapanya dengan
ramah.
“Cuih, Kami tak mau makan racun!” sungut Dudung. Lalu, dengan
satu teriakan ia mencabut golok dari pinggang, meloncat ke depan
disertai pekikan : “Ini untuk ayahku !”
55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pak Mirta tertegun sejenak. Berbisik pada dirinya sendiri, “Orang
itu tak melawan, ia tak mengeluarkan ajian-nya.”
***
56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
longsor dari tebing di atas. Salah seorang kuli itu mengenali Ajat,
dan menanyakan apakah ia punya rokok.
57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Mengapa harus diributkan siapa ? Pokoknya, ia dibunuh. Maling
semacam dia itu sudah sepantasnya menerima hukuman
demikian. Kalau cuma di tangkap lalu diserahkan ke polisi, masuk
bui satu dua bulan. Taruhlah setahun, lalu kemudian bebas.
Mencuri lagi. Makin pintar pula, berkat didikan orang-orang
hukuman yang berpengalaman, selama di bui. Memang ada juga
yang ...”
58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dapat berkembang biak dengan subur. Satu dua dapat ditutup.
Diratakan. Lainnya tetap dibiarkan penuh misteri. Jangankan
masuk, Dekat pun, orang tidak berani. Konon dihuni nyak
binatang berbisa. Malah belakangan ada desas desus mengatakan
lubang atau guha di sini, dihuni pula oleh roh gentayangan yang
suka mengganggu orang-orang yang lewat malam hari...”
59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mulus, ia lihat putik susu yang merah segar. Mau tak mau, dari
ingin melerai, malah terbit nafsu birahinya.
Semakin takut Teratai Putih, semakin terbang kit nafsu bejat Ajat.
Tetapi belum juga gadis itu tiba pada saat-saat yang ia harapkan.
Ajat membayangkan pesta pora sex sepihak, ia gagahi gadis itu
dalam pingsannya. Dan Teratai Putih tetap bangkit tetap saja
60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berlari. Sampai mereka tiba di perkebun an. Teratai Putih
tersandung batu yang menyembul di bawah semak belukar. Gadis
itu terguling jatuh Kemudian berhenti tidak bergerak-gerak. Ajat
menyangka Teratai Putih sudah pingsan.
“Jadah !” Ajat memaki. “Anak haram jadah. Tahu rasa kau nanti !”
ia berteriak-teriak sambil bangkit mengejar si gadis. “Akan
kubiarkan kau tetap sadar. Akan kubiarkan matamu melotot
keluar, sementara kau kukerjai !”
61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tanah, bergeser lalu jatuh ke bawah membawa serta tubuh si
gadis.
62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
rasanya, bekas lubang itu ada di sekitar pondok. Tetapi mengapa
tulang belulangnya tidak ditemukan ?” ia mematikan mesin
sepeda motor. Berpikir lagi, lebih lega: Barangkali lubang lain.
Atau kalaupun lubang yang sama, longsornya tidak dalam.
Sudahlah. Mengapa harus diributkan ? Telah lama berlalu.
63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ajat menutup pintu. Menguncinya sekaligus, sementara matanya
menatap seisi rumah. Mengapa sunyi benar ? Ah-ah. Tidak
sesunyi yang ia sangka. Ada suara bergemeretak di dapur. Lalu
suara geresak-geresek di para-para.
65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berkunang-kunang. “Apa-apaan ini, Ida ? Kau yang menyakiti aku.
Bukan ?”
“Tidak mau !”
66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
melotot lebar dan mulut yang ternganga mengerikan di depan
matanya.
Lalu tubuh siapa yang tadi di tempat tidur. Yang mana boneka,
yang mana Ida yang sebenarnya ? Hanya ada satu Ida. Dan Ida
yang sesungguhnya, memang yang tegak di sebelah dalam lemari,
dan pelan-pelan mulai doyong ke depan lalu jatuh menerpa tubuh
Ajat yang berteriak saking kaget dan ngeri, ia dapat merasakan
dengan tangannya da ging-daging mentah, usus yang basah, kulit
yang hancur, dan mencium bau amisnya darah, sebenar-benarnya
darah.
67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Hem. Kau mengenaliku seketika, ya ? Bagus. Tidak seperti si
Gono yang keranjingan perempuan itu. Terlalu banyak yang
sudah ia tiduri, sehingga ia lupa padaku. Aku senang
mendengarnya, Jat. Jadi kupikir, tak perlu aku menyiksamu
berlama-lama. Cukuplah terror yang kau alami setelah melihat
Ida-mu ke luar dari persembunyiannya di dalam lemari, ia
mengira kau yang datang, ingin membuat kejutan - Tetapi -
sedikit ekstra, tak apa bukan ?”
Hari itu, semua penduduk desa boleh dikata berjuang keras untuk
bangun dari mimpi paling buruk yang belum pernah mereka
alami.
***
69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tidak saja mengandung racun. Tetapi juga mengandung pengaruh
jahat roh yang menguasai tikus tikus itu.
70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
jahat, ia hanya mengkuatirkan Dudung dan anak isteri serta
keponakannya Nining yang tinggal satu rumah dengan Dudung.
Ajian yang sama telah ia taburkan pula di sekitar rumah
ponakannya itu. Namun ia belum merasa puas.
71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dingin sekujur tubuh pak Mirta. Terbayang di matanya kematian
Margono. Ajat. Ida. Dan korbar lain yang terluka. Lama, baru ia
menjawab : “Ya Kenapa rupanya, Mayang ?”
“Aku ...”
72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kan aku dengan kasar. Mereka membenciku, tetapi mereka tidak
mungkin membenci uangku. Dan tadi ... Mereka tidak lagi berlaku
kasar. Mereka sangat ramah. Malah tampak ketakutan ...”
“Mengapa ?”
“Mana aku tahu. Aku sendiri heran. Tidak tahu apa maksud
permintaan mereka.”
“Terhadap ?'
“Apa salahnya, pak ? Aku telah lama jadi kambing hitam. Sekarang
mungkin lebih hina lagi : kambing congek. Dan kambing congek
inilah yarg mereka harapkan dapat menolong mereka lepas dari
kesulitan yang membuat mereka semua tidak dapat tidur,”
Mayangsari terpejam, kecewa dan marah. Namun masih juga ia
mampu tersenyum ke-tika ia melanjutkan : “Tahu, pak Mirta ?
Mereka bilang, aku telah mempergunakan kekuatan sihir untuk
73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
memaksa semua tikus keluar dari lubangnya, dan memaksa
orang-orang yang malang mencakari diri sendiri...”
74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sebelumnya, bicaralah terus terang. Kau tentunya datang
menemuiku, karena kau punya alasan yang kuat.”
“Ya.”
“Apa itu ?”
“… ia apa ?”
“Cuma mimpi. Tetapi Margono, Ajat dan Ida bukan mimpi belaka.
Begitu pula teratai teratai yang ditemukan tergenggam di tangan
mereka masing-masing. Pemilik warung yang menceritakan Aneh,
bukan ? Ada yang memetik kuntum-kuntum teratai yang masih
baru dari kolam bermain anakku. Lalu kuntum-kuntum teratai itu
ditemukan sudah tergenggam di tangan orang lain. Tangan
mayat-mayat itu.”
“Tak usah mengelak lagi, pak Mirta,” keluh Mayangsari, tak sabar.
75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau pun tahu sudah sekian tahun lamanya tidak seorang pun
berani mendekati rumahku malam-malam. Kata mereka, takut
terkena kutuk. Ya Tuhan, aku tidak menyalahkan ayahku pernah
jadi pertapa sehingga kami tertimpa kutuk. Aku hanya menyalah-
kan diriku sendiri mengapa membiarkan ia menurunkan ilmunya
ke pada anakku, sehingga kutuk itu terus berkepanjangan,”
kelopak mata Mayangsari berlinang butir-butir air bening.
Katanya, terdesu-sedan : “Kini dia ... kembali. Bangkit ... dari
kuburnya. Kau sendiri yang pernah mengatakan. Jadi, ceritakan-
lah pak Mirta. Apakah anakku terdapat di antara salah seekor
tikus-tikus itu ?”
“Ya pak ?”
77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kita sudah sama-sama lanjut usia, Mayang,” kata pak Mirta,
sabar. “Jadi bukan masanya lagi mengutarakan sesuatu dengan
lambang. Ucapkan-lah, dengan kata-kata,” dan dalam hati, andai
masih muda kalimat itu akan berbunyi : katakanlah, dengan
bunga. Bunga ! Dan bunga yang ada, ternyata begitu menakut-kan
: teratai putih. Pak Mirta tercenung lagi. Menanti, penuh harap.
“Jadi kau tidak mau !” tukas pak Mirta, menge luh. Meski sudah
tua, toh hatinya hancur luluh. Pecah, berkeping-keping.
78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dengan bantuanmu, mereka mencelakakan musuh-musuh itu.
Dan ayahku yang disalahkan.”
“Tidak. Dari dulu aku tidak marah. Karena aku sadar, semua itu
kau lakukan karena hati yang patah. Karena aku menerima
lamaran suamiku, meski tahu diam-diam kau juga mencintaiku.”
79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lebih lagi dengan orang yang pernah sangat ia sukai, meski tidak
sangat ia cintai.
“Telah banyak korban yang jatuh. Mungkin akan jatuh lagi yang
lain. Karena itu, mengapa kau tidak mau berkorban barang
sedikit? Marilah kita berharap, roh ayahmu bersedia menarik
sumpahnya, karena tahu kau ingin melakukan sesuatu yang
terpuji.”
80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Sayangnya, kau lupa orang yang akan digempur itu, anakku
sendiri !”
82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
muncul. Semakin parah. Semakin menyakitkan. Karena kini
ditambah pula oleh kenyataan: Mayangsari menolak lamarannya!
***
“Krrraaaak !”
Teratai Putihkah itu atau ... hai. Itu mungkin si pencuri yang
beberapa bulan terakhir suka menggerayangi ternak dan rumah
penduduk. Pasti ! Pasti ! Pencuri itu tengah mencongkel jendela !
85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kalaupun misalnya Teratai berhasil menjebol rumahmu,
tunjukkan parang ini ke mukanya. Ingat, tikus paling takut pada
ular !”
Ah, ia lupa mengisikan minyak tanah tadi sore untuk lampu itu.
Diintip nya lewat kain tirai.
86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pintu kamar makan menuju dapur tertutup rapat. Juga jendela
samping. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati jendela itu.
Merabanya. Terkunci. Dari situ ia menuju pintu ke arah dapur.
Mungkin pencuri itu masuk dari sana. Sebab tadi ada bunyi
kerontang, entah tersepak kuali si orang sial itu.
Tetapi tidak ada gerakan di dapur. Juga tidak ada bayangan yang
mencurigakan. Tak ada suara-suara. Kecuali cengkerik dan
pungguh di luar rumah yang tiba-tiba menghentikan nyanyian-
nyanyian mereka.
87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
wujud sementara Dudung berdiri dengan tubuh kaku dan
gemetar saking terke jut dan takut. Rasa terkejut dan takut itu
tiba-tiba sekali menyerang dirinya sehingga ia tidak kuasa untuk
bergerak, bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang menganga
ataupun matanya yang ter-pelotot memperhatikan keajaiban
yang terjadi di dekatnya.
“Siapa ?”
88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Yang dulu. Yang di dalam dangau. Bukankah kau yang pertama-
tama meniduri aku, sebelum temanmu Margono ?”
“Tidak apanya ?”
89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“ ... bagaimana kau masuk ke sini ?” tanyanya lebih berani.
“Ah, gampang.”
Teratai Putih balas tersenyum.” ... aku akan pergi dari mana dan
kapan saja aku suka, Dung. Sekali wujudku telah berubah, maka
tidak ada kekuatan apapun yang bisa melawanku. Juga tidak
semburan ludah uwamu yang menjijikkan itu. Dari lubang itu aku
masuk berbentuk tikus, dan di depanmu aku kini muncul sebagai
manusia.”
90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tercekat kerongkongan Dudung. “Tetapi ... tetapi…” ia berkata
dengan gagap.
92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dan dari dalam rumah terdengar bunyi ribut, lalu pekikan
perempuan memanggil-manggil nama Dudung, langkah-langkah
berlari dan ketika tiba di ambang pintu kamar mandi, perempuan
itu mengeluarkan jerit lengking mengerikan.
***
Dari loteng, dari lemari, dari dapur, dari tiap sudut bermunculan
tikus-tikus biasa berwarna hitam legam. Mereka semua
berkumpul di ambang pintu kamar mandi. Tikus-tikus itulah yang
menimbulkan bunyi ribut di dapur rumah Dudung, dan tikus-
tikus itulah yang kemudian dengan diam dan patuh
mendengarkan cicit tikus putih yang besar di hadapan mereka.
93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dudung yang masih berjuang untuk dapat tetap hidup, melihat
dengan mata terbeliak bagaimana tikus-tikus itu kemudian
beramai-ramai menuju lubang kakus. Tikus-tikus itu kemudian
perlahan-lahan menggotong golok yang tadi terlempar.
“ ... aku tahu kau masih hidup,” bisik Teratai Putih di telinga
Dudung.
“Tapi kau akan segera mati. Mati, setelah kau sampaikan pesanku
pada uwa-mu. Si Mirta terkutuk itu !”
94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dudung tak bisa berkata-kata.
95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
luar sana, perlahan-lahan kembali menggema me-musiki
kesenyapan subuh. Makin lama makin ramai. Kokok ayam pun
ikut memeriahkan suasana, lalu matahari pagi yang kemudian
muncul menyi nari bumi... .
***
Terngiang lagi ucapan laki-laki itu : “Kita harap saja roh ayahmu
bersedia menarik sumpahnya. Karena tahu kau ingin melakukan
sesuatu perbuatan yang terpuji.”
Apa pula itu nama baik ? Tak le bih dari selembar kertas basah.
Satu sentuhan kecil saja, nama baik itu pun hancur.
98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tanpa berpikir panjang lagi, ia membuka jendela lebar lebar dan
berseru perlahan karena suaranya sedemikian gemetar : “Hei,
nak... !”
99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
anaknya, dengan air mata yang mulai terurai. Seluruh desa,
hening. Lengang.
100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kakinya terus pula melangkah. Dengan mata jelalatan.
“Ya. Bu. Saya suara tangis Nining mendadak sontak hilang lenyap.
ia melihat ketakutan ke arah Mayangsari. Mundur dengan muka
101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pucat dan mata ngeri. “Jangan ... Jangan sentuh aku. Kumohon,
jangan ... !”
“Aduh, nak. Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Kau ingin
menolong saudaramu, bukan ? Ayolah lantas tanpa menunggu
jawaban Mayangsari berlari-larian masuk ke rumah Dudung.
Setelah ragu sebentar, Nining kemudian mengikut di belakangnya.
103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Jangan !”
“Tetapi...”
“Aku tak kuat lagi. Rasanya begitu panas. Aku yang berteriak-
teriak histeris : “Tolonglah. Tolong-leherku sudah putus ?”
“Dia, menunggunya !”
“Si Teratai.”
Anak tanggung itu mungkin sudah berusia lima belas. Lebih tua
beberapa tahun dari Teratai Putih. Tetapi mata Nining, tak ubah-
nya mata Teratai Putih yang memandang ketakutan campur
permohonan, bila si Teratai dihardik Mayangsari karena berbuat
kekeliruan. ia kemudian juga melihat mata Dodo dan Lina yang
105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
masih bocah. Mata bening, polos tak berdosa. Mayangsari
berpaling lagi. Kali ini matanya beradu dengan tubuh Mira yang
masih terkulai di lantai.
“Ya, nak ?”
106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
marah tiap kali melewati tetangga yang terus ngumpet di dalam
rumah masing-masing.
107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mereka berbeda jauh dan Mirta yang sudah terbiasa hidup
sebagai buruh, penampilannya tampak lebih tua.
“Ya, Mayang.”
“Ayo. Sama-sama .”
108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mayangsari melempar laki-laki itu dengan sandal. Tentu saja
senda gurau belaka. Herannya. Mirta tidak mengelak, ia biarkan
sandal itu melayang ke wajahnya, dan ia malah tampak senang.
Lain hari mereka bertemu lagi dan Mayangsari meminta maaf
atas perbuatannya yang lancang.
“Aku tak bermaksud cari murid tambahan. Dan aku tidak pernah
membentuk perguruan. Ini bukan tempat bela diri. Tetapi tempat
membersihkan jiwa yang kotor. Dan kau telah mengotori jiwamu,
membawa anakku tanpa bilang-bilang. Untuk itu kau perlu
dihukum.”
110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mirta mulai menjauhkan diri.
111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ia melarikan diri ke gunung, dan ketika kembali empat puluh hari
berikutnya, ia mendatangi ayah Mayangsari dan berkata : “Pernah
aku kau marahi padahal bukan karena kesalahanku !” Kasar
suaranya, kasar sikapnya. Ayah Mayangsari terkejut alang
kepalang.
“Membalas ?”
“Ya. Dengan ini,” lalu : cuih ! Mirta meludah. Kena tangan ayah
Mayangsari tangan yang terkena ludah itu berubah merah,
kemudian hitam, lalu melepuh. Ayah Mayangsari tak pernah
mampu mengobati sendiri luka bakar di tangannya. Sampai ayah
Mayangsari mati, luka itu tetap meninggalkan bekas hitam
terbakar. Ayah Mayangsari mengeluarkan sumpahnya.
Mayangsari yang mendengarnya kemudian, terkejut, ia lalu
berterus terang menceritakan mengapa Mirta sakit hati pada
ayahnya.
Mayangsari tertegun.
***
113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lurah itu tersentak. Mulutnya terbuka mau mengutarakan
sesuatu, tetapi tidak mampu. Hatinya hancur luluh. Hampir tidak
ia dengar sama sekali ketika Mayangsari berkata : “Kau ingin aku
melakukan perbuatan terpuji, bukan ?”
“Dan kau mau. Padahal, kau sudah tahu betapa jahat dan bejatnya
moralku ...”
114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
perempuan. Tetapi Mayangsari mencegahnya. Dengan mata
setengah terkatup menahan sengsara,
***
“Kau yang kini takut ya ?” sungut pak Mirta dengan suara keras.
116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menghembuskan nafas terakhir. Ingatkah ketika jasadku tidak
ditemukan orang di dalam dangau, lima tahun yang lampau ?”
Si gadis tertawa. “ ... jasadku tetap di dalam dangau itu, pak Mirta.
Tetapi tidak ada yang bisa melihatnya, Tidak, dengan mata biasa.
Ternyata kau juga tidak, bukan ? Karena kakekku lebih tahu
bagaimana membutakan matamu dan mematikan keampuhan air
liurmu, ia memanggilku ikut bersama-sama dengannya, sampai ke
liang kubur, pak Mirta.”
“Pantas apanya ?”
117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Diam !” Pak Mirta membentak.
“Ah, aku tak perduli apa-apa pada harta milik yang kau peroleh
dengan rakus itu. Aku cuma mau menuntut, mengapa kau
menuduh dan kemudian ikut terlibat dalam pembunuhan kakek.”
118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Lalu mengapa kau membunuh begitu banyak orang ?”
119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
makam besar itu, mencabut nisan di kepala makam dengan sigap.
Dari bekas nisan itu terlihat sebuah lubang besar, semakin besar
dan kemudian berpuluh-puluh malah mungkin beratus ratus ekor
tikus berloncatan ke luar.
“Itu semua tikus-tikus biasa, pak Mirta. Tak guna kau perlihatkan
ajianmu. Itu bukan daun-daun yang pernah menyerang teman-
temanmu di pinggir sungai beberapa hari yang lalu. Tikus biasa,
pak Mirta. Tikus biasa. Lawanlah mereka.”
120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tikus-tikus itu semakin banyak sehingga ia tidak kuasa melawan
dorongan mereka, ia mundur, terus mundur. Dan suatu saat ia
mengangakan mulut, berteriak:
121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sekitar mendadak berubah ganas lalu meliuk semakin cepat
memburu mangsa.
“Tikus putih,” bisik pak Mirta, terpana. Dan ketika ia lihat tikus
putih itu lari menyelinap di antara semak belukar, pak Mirta
berteriak :
123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Golokku. Ke sinikan golokku!” pak Mirta berteriak. ia menyapu
wajahnya yang penuh cakaran berlumur darah, menerima golok
yang diulurkan oleh seseorang. Lalu membathin : “Darahmu
masih melekat di mata golokku, Mayang. Bantulah aku. Berikan
aku kekuatan untuk menebus dosaku.”
Suatu ketika, ujung golok itu terpaku diam di mulut salah satu
liang yang gelap. Pak Mirta merasakan telapak tangannya panas,
terbakar. Matanya terpejam menahan azab, lalu bergumam :
124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Di sini si cantik Teratai Putih mati dan bermukim,” keluh pak
Mirta pelan, begitu suara lolongan itu tinggal gaung lemah nun
jauh entah di mana. Orang tua itu menengadah, menatap warga
desanya yang terheran-heran mendengar apa yang ia utarakan,
“Aku berdosa pada gadis kecil itu. Pada kakeknya. Dan ibunya.
Masih banyak dosa-dosa besar yang kuperbuat! Terlalu besar
untuk ditebus ...”
Salah satu obor yang menerangi wajah pak Mirta, jatuh ke tanah.
***
125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pagi datang. Dan dari dalam lubang, mereka mengeluarkan selain
golok juga seonggok tulang be lulang.
**Tamat**
126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m