Anda di halaman 1dari 31

Kuda Terbang Maria Pinto

Oleh: Linda Christanty

Menjelang senja, Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-
tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir;
wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras
panjang otomatis, dan teringat pesan komandannya, “Biarkan dia lewat, jangan menembak.”

Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua pengawal
menemani perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef membiarkan iring-iringan
itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah.

Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan
gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama kenangan akan gadis itu.

Kisah tentang Maria pertama kali didengar Yosef dari teman yang lebih dulu dikirim ke pulau ini,
“Makanya kita sulit menang, karena para pemberontak itu punya pelindung. Perempuan lagi. Huh!
Menyebalkan.”

Maria Pinto semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di
Jakarta dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan kopi. Para penghuni negeri
tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan
rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin
suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan senjata
sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria
Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali
orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.

“Ketika kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, anggota kami satu demi satu
mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi, bergulung-gulung di atas kami dan
aku menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, aku saksikan tujuh orang terkapar mati di tanah.
Negeri itu memang ajaib,” kisah temannya, tersenyum pahit.

Kini Yosef terkurung dalam kereta yang melaju tengah malam dan gagal memejamkan mata. Rasa
kantuknya telah lenyap, bertukar rasa gusar. Kereta ini seperti melayang di tengah gelap. Noktah-noktah
cahaya dari perkampungan, seperti barisan kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap
pekat. Di sebelahnya duduk perempuan yang asyik menyimak novel Stephen King—begitulah nama yang
tertera di sampul buku—dan sesekali tersenyum atau berseru takjub mendengar kisah-kisahnya.

“Tapi saya tidak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tidak akan …. Dia sangat sakti.
Percuma saja,” ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.

Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula ia kurang
berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu
mempercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasat mata. Namun ia terkesiap ketika menatap
wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari perang.

Wajah lelaki itu mirip boneka kain kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan koyak-
moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu berhias bekas-bekas
sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman bordir asal jadi dan bermotif sulur di tangan pemula.

“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya
trauma. Kasihan sekali dia. Tapi ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.
Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung,
usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya anak lelaki
dalam keluarga.

“Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru.

Perempuan muda malah menggigil. Betapa sunyi mayat yang berongga!

“Kami dari keluarga petani miskin. Kamu enak bisa kuliah, punya uang untuk jalan-jalan. Kami makan saja
susah. Menjadi prajurit membuat kami merasa terhormat. Orang-orang kampung menjadi segan.” Kali ini
ia pandangi wajah teman duduknya, yang telah kembali menekuri buku.

Ia merasa lega sudah membagi kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada perempuan ini.
Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang di sisinya, di sisi orang asing yang bertemu
di perjalanan. Apakah ini pertanda ia tengah bersiap menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa
serta jadi amat perasa? Ah, bisikan maut sama sekali belum sampai sempurna.

Kereta terus menembus ke pedalaman, melintasi laut, ladang garam, hutan jati, kebun, sawah, dan
perkampungan. Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela. Keniscayaan yang lain
memendarkan nyeri lagi pada ulu hati.

“Saya benar-benar mencintai kekasih saya. Tapi sore ini saya benar-benar terpukul. Keluarganya tak
merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan mencelakai saya bila kami nekad juga. Salah
seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, gaji saya terlalu kecil dan hidup seperti ini
membuat keluarganya khawatir. Mungkin …,” tuturnya, lirih.

Ia meraih sepotong brownies dari kotak penganan, mengunyah pelan. Lorong kereta begitu sunyi. Orang-
orang lelap dalam selimut flanel yang seragam, biru tua. Dengkur halus terkadang merayap dari kursi-kursi
yang berdekatan, menyerupai rangkaian olok-olok seorang kakek pada cucu tercinta.

“Ya, mungkin tugas saya harus ditunda. Lagipula di tengah masalah begini, saya jadi tidak cekatan dan
malas. Orang yang sedang bermasalah biasanya tidak diberangkatkan perang, bisa terbunuh secara konyol.”

Tiba-tiba angin berembus kencang di lorong itu. Ia berkawan dekat dengan angin, meresapi desirnya yang
tajam atau membuai, membaca tanda-tanda yang terkirim.

“Coba, coba rasakan angin ini,” bisiknya, menyentuh pundak perempuan muda.

“Ini bukan angin, tapi udara sejuk dari pendingin,” tukas perempuan itu.

“Bila kita berada di posisi yang salah, bau tubuh kita akan tercium oleh musuh. Dengan mudah keberadaan
kita diketahui.”

Ia mulai cemas. Ia selalu waspada. Hanya satu kali khilaf dan akibatnya, memalukan.

Suatu malam Yosef terpisah dari pasukannya sesudah kontak senjata dengan anggota gerombolan. Ia
berjalan sendiri menyusuri sungai di bawah kerlip bintang, mencari perkampungan terdekat.

Menjelang tengah malam, ia sudah mengendap-endap di belakang sebuah gubuk berdinding alang-alang,
bergerak dengan moncong senapan terarah ke seluruh penjuru. Tak ada perkampungan, hanya gubuk
terpencil di tepi hutan. Yosef berusaha mencuri percakapan yang barangkali terjalin antara penghuni
gubuk. Kesenyapan dan kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik semakin nyaring.

Yosef memberanikan diri mendorong pintu gubuk itu dengan laras senapan, sambil bersiap menarik pelatuk
bila bahaya datang. Gubuk itu gelap-gulita. Ia menyalakan pemantik. Pemandangan yang hadir membuat
jantungnya berderak.

Seorang gadis terbaring di lantai gubuk memeluk kuda kayu bersayap, mainan kanak-kanak. Ia mendekat,
mengarahkan senapan ke wajah gadis yang terlelap. Butir-butir keringat dingin mulai mengembang pada
pori-pori tubuhnya yang lelah. Nyala pemantik membuat Maria Pinto menggeliat, menatapnya lembut dan
membisu. Sang panglima dan prajurit kini sama-sama sendirian, berhadap-hadapan. Maria Pinto bangkit
perlahan, menggerakkan tangan ke udara… dan ribuan kunang-kunang berkumpul memberi cahaya dalam
gubuk, menari dan berpesta.

Maria Pinto melepaskan gaun perinya yang putih. Tubuh telanjang gadis itu semula menyerupai patung
lilin para santa, lalu berangsur bening dan transparan. Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan tulang-
tulang tengkorak gadis itu dengan jelas. Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan sepasang
bola mata yang menonjol keluar serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia teringat film tentang makhluk luar
angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu.

Keesokan hari saat embun masih melekat pada pelepah-pelepah ilalang dan rumput, ia sudah tersandar di
muka pintu pos penjagaan setempat. Teman-temannya berlari mendekat, memandang heran. Ia malah buru-
buru bangun untuk memeriksa tanah sekitar, tanpa berkata-kata. Teman-temannya bingung bercampur
ngeri, mengira ia hilang ingatan. Yosef telah raib berhari-hari.

Tak ada jejak-jejak larsaku di tanah yang lunak, pikirnya. Mungkinkah sang panglima membawanya
dengan kuda terbang kayu setelah melihat prajurit tolol pingsan di hadapannya? Mengapa Maria Pinto tak
membunuhnya? Mengapa ia begitu bodoh tak membidikkan senapan ke ubun-ubun gadis itu?

Ia mulai tertawa-tawa, makin lama makin keras. Kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu.… Yosef
terus mengucap kata-kata itu seperti mantra. Perutnya yang kurus terguncang hebat, terasa terpilin-pilin
oleh rasa lucu tak tertahankan. Dokter menyatakan dia terserang depresi berat, lalu mendesak komandan
pasukan memulangkannya ke zona tenang untuk istirahat sementara waktu. Namun, mustahil meyakini ada
zona yang benar-benar tenang di wilayah perang. Ia segera dikirim pulang. Pemulihannya berlangsung
cepat, tapi ia dialihtugaskan ke bagian lain.

“Ini rahasia saya, hanya antara kita,” ujar Yosef, menyudahi kisahnya.

Perempuan muda menghela napas panjang. Kisah cinta segitiga yang rumit dan tragis, pikirnya, sedih.
Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad ending.

Kereta sebentar lagi mengakhiri perjalanan. Udara makin sejuk. Orang-orang mulai sibuk merapikan
rambut, blus, atau kemeja yang kusut, dan menggunakan lagi bahasa tutur mereka. Dua pelayan pria
mengumpulkan selimut-selimut penumpang dalam kantong hitam besar, terseok-seok di sepanjang lorong.

“Apakah mau menemani saya malam ini?” Yosef menatap perempuan itu, lurus-lurus.

“Saya ingin menyelesaikan novel ini.”

“Saya ingin berjalan-jalan, menenangkan pikiran.”

“Semoga Anda bisa bersenang-senang.”

Mereka berpisah, kembali menjadi asing satu sama lain.

Suatu siang di bulan cerah. Yosef Legiman mendaki anak-anak tangga gedung pencakar langit di jantung
kota, menenteng tas berisi senjata. Hampir sebulan ini ia mengintai seseorang. Ia bersembunyi di lantai
paling atas, mengawasi sekeliling dengan teropong, kemudian membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ia
merasakan arah dan embusan angin, membiarkan sayap-sayap angin menyapu kulitnya, lalu menetapkan
posisi membidik yang tepat. Kesalahan membaca angin bisa berakibat fatal. Musuh bisa menyusuri jejak-
jejaknya dari aroma tubuh atau amis darah luka yang mengelana dalam partikel-partikel udara. Namun,
hidup dan mati adalah bait-bait pantun yang berdekatan, sampiran dan isi yang saling terikat. Ia siap
menghadapi keduanya.

Langit biru muda terlihat sepi. Yosef memasang peredam suara pada laras senjata. Matahari bersinar lunak.
Ia kembali mengintai sasarannya. Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar.
Seseorang terlihat mondar-mandir, berbicara pada dua teman. Ia melihat targetnya bergerak. Matanya kini
terfokus pada titik sasaran. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Perempuan itu sekarang berdiri
membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada lingkaran,
menyambar.

Kaca jendela pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur di lantai. Ia sudah
melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.

Ketika pertama kali melihat potret perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama: pemimpin para
teroris. Ia teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah dia, pikir Yosef. Ya, dunia
ini memang kejam pada serdadu. Ia telah membunuh perempuan itu, melenyapkan nyawa orang yang
menyimpan sebagian rahasia hidupnya.

Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya menggigil. Ia melihat Maria Pinto mengarungi
langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto
tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis
yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di
bawahnya. ***
Macan

Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Malam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan
pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka
teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin
untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tanpa rembulan.

Ia merunduk di balik semak, antara bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring- iringan manusia
berjalan berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang berdinding curam yang
menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan
membuat mereka harus berbicara cukup keras.

”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?”

”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari
mangsa yang menggigil kedinginan.”

”Berarti mangsanya itu kamu!”

”Huss!”

”Ha-ha-ha-ha!”

”Ha-ha-ha-ha!”

”Ha-ha-ha-ha!”

Baginya ini hanya suara-suara karena ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, ia memang bisa
memangsa salah seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan setapak
ini, yang membuat mereka harus berhenti sejenak ketika satu per satu melewatinya. Setelah melangkahi
akar-akar yang besar, setiap orang akan menghilang di baliknya. Akar- akar pohon sebesar itu memang
tidak bisa dilangkahi, akar-akar itu harus dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas menghilang di
baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi.

Itulah saat terbaik untuk menerkam manusia yang paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit
lehernya sampai lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membunuh ia cukup muncul dan
menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia yang terkejut dan melangkah mundur akan terperosok dan
melayang jatuh ke dasar jurang tanpa jeritan.

Ini juga tidak dilakukannya. Ia hanya merunduk dan mengintai. Ia tidak berminat membunuh manusia,
bahkan tidak satu makhluk pun, selain yang dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat ini ia
tidak kelaparan karena sudah memangsa seekor kancil tadi siang. Kancil bodoh itu seperti lupa bau kencing
pasangannya, bapak anaknya, yang pada setiap sudut menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka
untuk memangsa makhluk apa pun yang memasuki wilayahnya. Dengan hukum itulah, nasib sang kancil
sudah ditentukan.

Sebetulnya sudah lama bagaikan tiada makhluk apa pun akan memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi
rusa, tidak kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa ke luar
wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan.

”Kambing kita lama-lama bisa habis dimakan Simbah,” kata salah seorang.
Namun bukanlah ketakutan atas habisnya kambing, yang membuat orang-orang kampung masuk hutan
mencarinya.

Pada suatu hari pasangannya muncul dari dalam hutan di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas
tikar, sesuatu di balik kain yang bergerak-gerak. Bagi makhluk besar yang lapar, makhluk kecil bisa terlihat
sebagai santapan.

Lantas terlihat olehnya bayi manusia itu. Menatapnya sambil tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia yang
bisa tertawa di dunia ini, dan itu membuatnya tertegun.

Saat itulah dari tengah ladang mendadak terdengar suara bernada tinggi yang disebut manusia sebagai
jeritan.

Malam tanpa rembulan semakin kelam. Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan
orang-orang itu menjauh. Mereka semua, dua belas orang bercaping maupun berpayung daun pisang
membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak akan menghasilkan tangkapan apa pun
karena tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu.

Ia tahu bukan orang-orang itu yang menjadi penyebab kematian pasangannya, melainkan pemburu yang
masuk sendirian ke dalam hutan tanpa suara meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan, parang
dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di pinggang kiri.

Pemburu itu bahkan tidak bergumam. Membaca jejak di tanah, berjalan melawan arah angin, makan
seperlunya dan tidak memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak- gerak barangkali mendesiskan
rapalan.

Tentu pemburu itu telah melacak jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana,
muncul di depan gua batu tempat ia sedang menyusui anaknya. Ia segera menggeram dan berdiri
melindungi anak jantannya. Pasangannya bahkan melompat dan menerjang ke arah pemburu itu, tetapi
makhluk yang disebut manusia ternyata tidak hanya bisa tertawa, tetapi pandai memainkan tipu daya.

Sangatlah mudah bagi pasangannya untuk menyusul pemburu itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan
siap menerkamnya di tengah lapangan, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menggeram-geram
ketika ternyata muncul puluhan manusia mengepung sembari mengacung-acungkan tombak bambu ke
arahnya. Pasangannya mencari celah, berputar-putar dalam kepungan yang semakin merapat, sampai
hampir semua tombak itu menembus kulit lorengnya.

”Akhirnya!”

Orang-orang berteriak lega atas nama keselamatan anak manusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka,
meski dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil, dibantai, dan
dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran tinggi. Kawanan bapa maling datang
lewat tengah malam mengendarai mobil boks. Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa
daerah yang tidak pernah digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah yang di kampung itu jaraknya
saling berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berserakan dengan bau anyir darah di mana-
mana.

Kambing yang diterkam penghuni rimba jumlahnya tidak seberapa dibanding pencurian ternak dengan
mobil boks. Itu pun bisa terjadi karena kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang terbuka, sering diikat
begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran empuk makhluk pemangsa dari masa ke masa.

Bahwa bayi manusia seperti akan menjadi mangsa itulah yang mengubah segalanya.

”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!”

”Selesai sudah!”

”Belum …”
Pemburu itu tidak berteriak, tetapi pengaruhnya lebih besar dari segala teriakan.

”Belum? Kita baru saja merajamnya begitu rupa sampai kulitnya tidak bisa kita jual.”

”Masih ada betinanya….”

Semuanya ternganga.

”…dan masih ada anaknya.”

Saat pasangannya itu tewas oleh puluhan bambu tajam, ia yang ternyata mengikuti dari belakang dapat
menyaksikan dari kejauhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia melihat ke arahnya. Tanpa
bisa memberi bantuan, ia hanya berjalan mondar- mandir dengan gelisah.

Ia masih berada di sana ketika menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya,
dan membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng
tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan.

”Kita harus membunuh juga betinanya, ia pasti juga akan mencari mangsa di kampung kita!”

”Anaknya juga harus kita bunuh, kalau tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!”

Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat
merasakan ancaman.

Kini dalam kelam berhujan, ia mengawasi orang-orang yang memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu.
Ia telah memindahkan anaknya ke goa lain yang sama hangatnya pada malam hari, dan karena itu ia tidak
perlu khawatir mereka akan menemukannya. Pemburu itu mungkin akan bisa, tetapi tidak malam ini,
karena belum tahu bahwa goa yang ditemukannya sudah kosong.

”Betinanya baru saja beranak, dan anaknya masih terhuyung-huyung kalau berjalan….”

Pemburu itu memberi petunjuk ke mana orang-orang kampung bisa menyergap makhluk pemangsa yang
terandaikan bisa membalas dendam.

”Anakku sakit panas,” katanya memberi alasan. Dalam hatinya ia sudah bosan bekerja tanpa bayaran.

Demikianlah rombongan orang-orang bertombak yang bercaping ataupun berpayung daun pisang muncul
di ujung jalan setapak di tepi jurang ketika ia berada dalam perjalanan memburu pemburu.

Ia merunduk di balik semak, membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan
arahnya. Ia tidak membunuh seorang pun.

Setibanya di kampung yang gelap dan sunyi di malam berhujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa
suara, terendus olehnya aroma pemburu yang tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil. Sebuah
rumah yang sengaja berjarak dan menjauhkan diri karena penghuninya yang selalu berikat kepala kusam
merasa berbeda dari para petani bercaping.

”Orang-orang dungu,” pikirnya selalu.

Terdengar tangis bayi yang tak kunjung berhenti.

”Panasnya belum juga turun, coba ambilkan air yang lebih dingin dari sumur, handuk ini seperti baru
tercelup air rebusan,” ujar perempuan yang sedang menjaram anaknya itu. Kemudian pintu rumah kayu itu
terbuka. Dari dalam membersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala dengan bau tubuh yang tengik
berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom.

Hujan belum berhenti ketika ia meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke
atas secepat-cepatnya.
Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali
timba dan membalikkan badan secepatnya.

Namun, kali ini sudah terlambat.***

Ripin
Oleh: Ugoran Prasad

KETIKA kawan-kawannya berhamburan ke jalan raya, Ripin sedang susah payah menghitung jumlah
kelereng yang dimenangkannya. Siang itu tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa masa
kecilnya akan segera berakhir. Dua puluh dua, mungkin lebih. Ia cepat-cepat memasukkan kelereng-
kelereng itu ke dalam saku celananya dan bergegas menyusul kawanannya.

Penarik perhatian kawanan itu tak lain adalah mobil pick up berpengeras suara dan digantungi poster besar
berwarna-warni. Mesin mobil itu bergerung seperti tak mau kalah ribut dengan pengeras suara, membuat
lagu Rhoma Irama terdengar lebih buruk dari yang biasanya Ripin dengar dari radio Bapak. Ketika mobil
itu melintas di depan mereka, Ripin dikejutkan tatapan laki-laki di sebelah sopir yang sedang memegang
mikrofon. Laki-laki itu punya cambang dan janggut yang rapi seperti Rhoma Irama. Rambut keritingnya
pun seperti Rhoma Irama. Ripin sempat teringat bapaknya Dikin yang juga punya cambang, janggut, dan
rambut seperti Rhoma Irama, tapi bapaknya Dikin sudah lama mati ditembak.

Entah siapa yang mulai, seluruh kawanan itu tiba-tiba saja sudah berteriak-teriak girang dan berlarian di
belakang mobil. Berlari mengejar mobil yang lajunya tidak lebih cepat dari sapi, Darka, kawannya yang
bertubuh paling besar, berhasil melompat naik ke bagian belakang mobil dan bertolak pinggang jumawa.
Begitu beberapa yang lain mencoba mengikuti Darka dan terjatuh, sorak-sorai kawanan itu terdengar
semakin riuh.

Ripin berlarian agak jauh di belakang. Duapuluhan kelereng yang dimenangkannya dan belasan yang lain
yang merupakan modalnya, membuat kantung celananya sesak, dan kejadian semacam ini bukannya tak
pernah ia alami. Dulu, jahitan di celananya sobek dan kelerengnya berhamburan. Kawan-kawannya
berebutan mengambil kelereng-kelereng itu dan tak seorang pun bersedia mengembalikannya. Kali ini ia
harus hati-hati.

Semula, Ripin berencana untuk mengikuti kemanapun kawanannya berlari, tapi pengumuman yang
didengarnya dari pengeras suara itu membuatnya berhenti. Di antara suara musik ketipung dan mesin
mobil, lamat-lamat didengarnya suara, seperti suara Rhoma Irama, sedang mengumumkan pasar malam,
tong setan, dan rumah hantu. Nanti malam, di alun-alun. Ripin tercenung, lalu berbalik arah dan berlari
pulang ke rumah.

Mak sedang duduk meniup tungku ketika Ripin menerobos masuk ke dapur sambil terengah-engah. Tak
bisa ditangkapnya dengan jelas apa yang dikatakan mulut kecil anaknya. Ripin sibuk berceloteh sembari
memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam sebuah kaleng bekas susu. Suaranya bertumpuk-tumpuk
dengan bunyi kelereng yang satu per satu membentur dinding dalam kaleng. Hanya sepotong-sepotong dari
kalimat Ripin yang bisa didengar Mak, tapi itu cukup. Tak ada pasar malam. Tak ada tong setan.

Ripin merajuk. Mengatakan setengah berteriak tentang kedatangan Rhoma Irama dan berharap Mak
terbujuk. Mak berpikir, bagaimana mungkin Rhoma Irama mau datang ke kota busuk ini. Rhoma Irama
cuma mau datang ke Cirebon atau Semarang. Tegal mungkin saja, tapi tidak kota kami. Begitupun, nama
ini membuat raut muka Mak sempat berubah cerah sebelum kemudian keningnya berkerut cemas.

Ripin tahu itu. Ripin tahu kalau Mak diam-diam menangis setiap kali mendengar Rhoma bernyanyi di
radio. Ripin bahkan pernah melihat Mak mendekap dan menimang-nimang radio itu. Padahal Mak sudah
bersumpah tidak menangis. Sekeras apapun Bapak menghantam wajah Mak.

Ripin melihat cemas ke wajah Mak dan berharap sekali ini Mak masih mau berbuat nekat. Harapan ini
malah membuat Ripin merasa berdosa. Terakhir kali Mak nekat, pulang nonton layer tancap Satria
Bergitar, Bapak menghajar Mak sampai dini hari. Kalau sudah begini Ripin cuma bisa nyumput dibawah
selimut dan menahan mulutnya yang menangis supaya tidak bersuara.
“Mak beli duwe duit,” kata Mak berbohong. Ripin tahu Mak menyimpan sedikit uang di kaleng biskuit
tempat bumbu dapur. Cukup buat ongkos dan beli es lilin. Ripin marah karena Mak berbohong. Kemarahan
membuatnya tidak lagi peduli pada ingatan atas bilur-bilur di wajah Mak. Mak, bohong itu dosa.

Sekali lagi Ripin menyebut nama Rhoma Irama, bersumpah demi Allah bahwa ia sudah melihatnya.
Ganteng benar.

“Ganteng kien karo bapane Dikin.”

Mak tercenung. Ripin mengeluarkan semua senjatanya. Dia tahu, Mak senang dengan bapaknya Dikin.
Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip dari belakang pintu. Suatu kali bahkan ia
pernah melihat bapaknya Dikin sembunyi-sembunyi keluar dari pintu dapur rumahnya dan semakin
bergegas begitu bersitatap dengan Ripin. Hari itu Mak kasih duit jajan, Ripin malah tambah curiga. Tapi
Ripin tidak pernah menceritakan kejadian ini kepada siapapun.

Raut wajah Mak mengeras. Mak pasti berpikir tentang Bapak. Mak takut. Ripin sempat berpikir untuk
pergi sendiri ke pasar malam. Sepertinya itu tidak sulit. Semua orang pasti tahu dimana tempat pasar
malam didirikan, ia tinggal tak perlu malu-malu bertanya. Sayangnya ia masih takut. Nenek dulu pernah
pesan agar Ripin tidak membantah Mak atau Bapak. Jangan main kemalaman. Hukuman untuk anak
durhaka adalah kehilangan jalan ke rumahnya dan dikutuk untuk tersesat selamanya, begitu kata Nenek.
Ripin bergidik dan semakin cemas kalau Mak menolak ajakannya.

Dulu Mak dan Ripin bisa bersenang-senang setiap malam, karena Bapak bisa dipastikan belum pulang
sebelum Subuh. Bapak tidur sepanjang siang, dan kelayapan sepanjang malam. Memang Mak belum
sempat mengajaknya ke kota, tapi setidaknya mereka tidak pernah lewat tontonan apapun yang ada di
kampung mereka. Mak bahkan menemaninya nonton TVRI di kelurahan.

Itu dulu, waktu Bapak masih jagoan yang paling hebat. Sekarang sudah ada jagoan yang lebih hebat dari
Bapak. Kata orang-orang, jagoan ini seperti setan. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, dimana rumahnya,
seperti apa tampangnya. Bapaknya Dikin salah satu korbannya. Suatu pagi ditemukan mayatnya
mengambang di kali, luka tembak dua kali, di dada dan di dahi. Jagoan-jagoan setempat banyak yang sudah
duluan mati. Dari namanya, Ripin menduga jagoan ini pastilah orang Kresten.

Semenjak jagoan setan ini berkeliaran, Bapak sering pulang. Bahkan bisa berhari-hari tidak keluar rumah.
Mak dan Ripin jadi tidak bisa lihat tontonan dan Bapak jadi lebih sering menghajar Mak. Semenjak itu pula
Bapak memutuskan untuk mengajar Ripin mengaji. Bosan menghajar Mak, diajar Bapak mengaji buat
Ripin sama dengan bersiap-siap di hajar rotan.

Baru seminggu terakhir ini, Bapak rupanya sudah tidak tahan berdiam di rumah berlama-lama. Ia mulai
sering keluar malam, tapi jadwalnya semakin sulit dipastikan. Tidak ada yang tahu untuk berapa lama ia
pergi dan kapan ia pulang.

Sampai sore, Mak kelihatan gelisah, mondar-mandir di dapur. Ripin tahu kalau Mak gelisah artinya Mak
sudah tidak tahan untuk dolan dan bersenang-senang. Mak sudah bosan dengar radio. Kalau sudah begini,
Ripin tidak akan mendesak Mak lagi. Keputusannya sudah hampir bisa dipastikan, Ripin tinggal menunggu
Mak menemukan jalan keluar. Sampai sore pula, Ripin ketiduran di kursi depan. Mimpi naik komidi putar.

Bapak masuk dan menendang kursi yang diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga dan mendapati tangan
kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar, Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan
perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar.

Sehabis shalat, Bapak sudah menunggu di meja makan. Rotan panjang disiapkan di sisi kirinya dan Ripin
mengeja huruf Arab di depannya dengan terbata-bata. Bapak sepertinya mabuk. Dari mulutnya keluar bau
asam yang menusuk-nusuk hidung Ripin. Kalau mabuk, biasanya pukulan rotannya lebih keras. Belum
dipukul Ripin sudah merasa tubuhnya nyeri.

Baru 10 ayat, Ripin melihat Bapak sudah menempelkan kepalanya ke meja. Di ayat ke-12, Ripin ragu-ragu
bahwa yang didengarnya adalah dengkur halus Bapak. Di ayat ke-16 Ripin berhenti, Bapak sudah benar-
benar tertidur. Dengkurnya keras sekali.
Ripin tak bisa memutuskan apakah sebaiknya ia pergi. Ripin tak bisa membayangkan kemarahan macam
apa yang akan menimpanya jika Bapak tiba-tiba terjaga dan ia tak ada dihadapan Bapak. Pasrah, ia duduk
dihadapan Bapak, dalam diam. Ia pikir, meneruskan mengaji pastilah percuma. Lebih baik diam. Sial, tiba-
tiba Ripin kepingin kencing. Mak masih mondar-mandir di dapur. Ripin duduk tegang dan yang terlintas di
kepalanya adalah wahana rumah hantu di pasar malam.

Menjelang maghrib barulah Bapak terjaga. Ripin masih duduk diam, menahan kencingnya, di depan
Bapak. Keadaan menahan kencing membuat Ripin tidak terlalu siaga. Terjaga dan mendapati Ripin sedang
mematung, membuat rotan di sisi kiri Bapak melayang ke arah tangan kanannya dengan keras. Ripin
tersentak dan langsung memasang wajah pucat, tidak sepenuhnya karena perasaan sakit ditangannya. Ripin
kencing.

Bapak mendengar bunyi gemericik itu dengan tatapan terpana. Ia melihat ke bawah meja lalu berdiri tegak
menyambarkan rotan di tangannya ke wajah Ripin, sembari dari mulutnya tersembur sumpah serapah.
Ripin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan Bapak terus memukulinya. Ripin tak bisa menahan
diri untuk tidak menangis dan menjerit kesakitan. Dalam kesakitannya ia merasa menonton Tong Setan jadi
semakin tidak mungkin, sehingga ia menjerit lebih keras lagi. Mak bergegas datang dari arah dapur,
memegangi tangan Bapak dan memohon padanya untuk menghentikan perbuatannya.

Bapak memang berhenti memukuli Ripin, tapi hasrat memukulnya sudah terlanjur tinggi. Bapak
menyabetkan rotannya beberapa kali ke tubuh Mak. Mak terduduk di lantai, dan bergerak mundur hingga
punggungnya menyentuh dinding, dan Bapak belum selesai. Mak tidak menjerit atau menangis. Mak diam.
Tubuhnya seperti patung. Ripin berpikir bahwa kejadiannya akan sama dengan yang sebelum-sebelumnya.
Mak akan menutupi wajahnya, dan Bapak akan berhenti karena kelelahan.

Sore itu, ternyata tidak sama. Ripin tidak mengerti apa yang terjadi. Setelah beberapa lama sabetan rotan
itu mengenai tubuhnya, Mak tiba-tiba mendongak, lalu menatap Bapak lekat-lekat. Ripin tahu apa artinya
tatapan itu. Tatapan itu pernah ia tujukan pada Darka, sesaat sebelum perkelahian mereka dulu.
Sebelumnya Ripin takut pada Darka, tapi saat ia menatap tajam-tajam itu, ia sudah tidak akan takut lagi.
Mak sudah tidak takut lagi.

Hampir bersamaan, terdengar azan maghrib dari surau. Entah mana, azan maghrib atau tatapan Mak yang
menghentikan Bapak. Bapak menoleh ke arah Ripin dan mengancam akan memukul Ripin lagi jika saat
shalat nanti Ripin tak ada di surau. Bapak mengambil sarungnya dan berlalu membanting pintu.

Ripin tiba-tiba melihat Mak mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bangkit dengan sigap, lalu bertanya
padanya, “Sira arep melu Mak apa Bapak?” Ripin menyebut, “Mak,” dengan gemetar. Mak masuk ke
kamar, lalu tergesa-gesa memasukkan pakaian-pakaiannya dan Ripin ke dalam tas. Di depan lemari Mak
sempat berhenti dan berpikir apa lagi yang perlu dibawanya. Tak jelas alasan Mak memasukkan kotak
berisi perhiasan imitasi yang tidak ada harganya ke dalam tas itu.

Sebentar kemudian Mak sudah menggandeng tangan Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah
kota. Mak berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin kepayahan mengimbanginya. Tidak
ada sepatah katapun diucapkan Mak dan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah
dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Mak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah.
Setengah bergumam Mak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Mak menyuruh Ripin
menunggu. Tidak menunggu jawaban, Mak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian.

Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Mak, namun kemudian
kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah
rumah. Tas besar yang dibawa Mak ditinggalkannya tergolek di atas jalan.

Terengah-engah, di depan rumahnya, ia mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, ia dapat
melihat Bapak sedang menjambak rambut Mak dan sedang menghantamkan kepala Mak yang kecil itu ke
arah dinding.

Pintu masuk Tong Setan sudah dibuka. Orang-orang berebut membeli karcis. Ripin melangkah masuk
dengan perasaan takjub. Orang-orang berebut menaiki tangga yang berdiri di samping tong yang sangat
besar, dan Sam terdorong-dorong. Di bagian atas, Sam meniru beberapa anak yang menaiki undakan yang
rupanya disediakan untuk anak-anak seukurannya. Orang-orang berebut melongok ke dalam tong.

Tong itu, Ripin teringat sumur di belakang rumahnya. Di dalam tong itu dua orang sudah mulai
menjalankan trail. Lalu perlahan, seperti sihir, kedua motor itu mulai merambat di dinding tong dan
semakin lama berputar semakin cepat. Ripin terkesima dengan apa yang dilihatnya sekaligus menyesal.
Seandainya Mak bisa ikut. Ripin terus melihat ke arah kedua motor yang kemudian saling melompat-
lompat satu sama lain. Ripin semakin terkesima begitu kedua motor itu menyusuri dinding tong sampai
hampir sampai di ujungnya, begitu dekat dengan tempatnya berdiri. Tangan kecilnya bisa meraih motor-
motor itu.

Tong Setan berakhir. Ripin ingin bertahan sebentar di sana, untuk menyaksikan lebih banyak lagi, tapi
petugas tiket menemukannya dan mengusirnya pergi. Di luar, sebenarnya ada banyak yang belum
disaksikan Ripin. Dia belum naik Komidi Putar, belum masuk Rumah Hantu, tapi tak ada uang sepeserpun
tersisa dikantungnya. Kaleng tempat Mak menyimpan uang sudah dibuangnya dari tadi. Kaleng yang
sekarang di genggamnya hanya berisi kelereng. Tidak ada yang mau menukar karcis masuk dengan
kelereng.

Di luar, kompleks pasar malam begitu ramai. Kemanapun Ripin melangkah ia hanya melihat kegembiraan.
Mak tentu akan senang, jika bisa ada di sini. Begitu ia ingat Mak, ia ingat Rhoma Irama yang
mengumumkan pasar malam dengan mobil siang tadi.

Ripin mengikuti firasatnya untuk mencari arah sumber pengeras suara. Benar. Di depan sebuah meja berisi
berbagai jenis jenggot dan cambang palsu, si Rhoma Irama berdiri, tetap dengan mikrofon dan suaranya
yang merdu. Ia memakai pakaian yang gemerlap, persis yang pernah dilihatnya di sebuah poster Rhoma
Irama. Ripin mendekat untuk memastikan sekali lagi. Jika benar ini Rhoma Irama, ia akan bisa
menceritakannya pada Mak, biar Mak ikut senang. Harusnya ia berusaha lebih keras membangunkan Mak,
tapi Ripin tidak tega. Tidur Mak pulas sekali.

Ripin sudah begitu dekat, dirinya dan laki-laki berpakaian gemerlap itu hanya dipisahkan meja, tapi laki-
laki tidak sedikitpun memicingkan mata pada Ripin. Ripin mencoba menarik perhatian laki-laki itu, tapi
rupanya ia sedang sibuk dengan berbagai pengumumannya. Iseng, Ripin mengambil satu ikat cambang dan
jenggot palsu lalu menyelipkannya ke dalam kantong celananya. Laki-laki berpakaian gemerlap itu tidak
menggubrisnya.

Ripin memutuskan untuk berseru padanya. “Hey, Rhoma Irama!” teriaknya lantang. Orang-orang di
sekitarnya menoleh dan tertawa tercekikik. Laki-laki berpakaian gemerlap itu terkejut, lalu menoleh ke
arahnya. Sadar bahwa teriakan bocah ini telah membuat lebih banyak orang memperhatikannya, laki-laki,
dengan mikrofon di depan mulutnya, berkata. “Bukan. Bukan Rhoma.” Laki-laki lalu mengubah posisi
berdirinya, seperti sedang berjoget. “Namaku Ruslan. Ruslan Irama,” katanya dengan suara yang berat dan
basah. Orang-orang tertawa.

Ripin menatapnya dengan pandangan kecewa. “Hey, Bocah,” tegur Ruslan Irama. Ripin mendongak, gagal
menutupi matanya yang mulai berkaca-kaca.

“Siapa namamu?”

Ripin menyebut namanya dengan gemetar dan malu.

“Ah, bagus sekali. Ripin. Ripin dari Arifin.”

Lalu Ruslan Irama tiba-tiba bersuara lantang. “Semua orang bisa menjadi seperti bang haji Rhoma Irama.
Siapapun juga. Pengunjung pasar malam yang kami hormati, sambut calon artis besar kita, Arifin Irama,”
kata Ruslan Irama. Orang-orang yang berkumpul di sekitar meja Ruslan Irama bertepuk tangan ke arah
Ripin. Lalu Ruslan Irama mengambil gitarnya. “Mulanya adalah akhlak. Lalu musik.” Lalu Ruslan Irama
memetik gitarnya. Belum pernah Ripin melihat gitar yang begitu indah. Berwarna hitam mengkilat, dengan
motif dengan warna emas. Suaranya nyaring dan halus.
Gitar yang indah itu masih terkenang-kenang ketika pasar malam bubar dan lampu-lampu mulai dimatikan.
Persis di depan jalan masuk pasar malam, barulah Ripin sadar ia tak tahu kemana pulang. Neneknya benar.
Rumahnya hilang.

Kebingungan, Ripin malah kembali melangkah masuk ke dalam komplek pasar malam. Langkah kakinya
membawanya ke dekat meja Ruslan Irama. Ia terkejut melihat tidak ada siapapun di sekitar meja itu. Hanya
ada sebuah gitar hitam mengkilat, tidak ada Ruslan Irama. Dengan hati-hati ia menyentuh gitar itu, lalu
mengangkatnya. Ia semakin terkejut melihat betapa gitar itu begitu ringan.

Beberapa puluh menit kemudian ia menyusuri trotoar yang entah menuju kemana. Ia menyandang gitar
yang dicurinya dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia ingat Mak. Ia tersenyum. Satu-satunya
yang tidak entah adalah bahwa Mak akan selalu mencintai Rhoma Irama. Itulah yang akan diraihnya. Ia
akan menjadi Rhoma Irama, bukan sekadar Ripin Irama. Setiap kali Mak akan memeluk dan
menimangnya.

Sampai puluhan tahun kemudian, satu kenyataan gelap yang luput dimengertinya adalah bahwa malam itu,
setelah kepala Mak menghantam dinding, Mak mati. Kenyataan lain yang tidak diketahuinya: beberapa hari
setelah kematian Mak, mayat Bapak ditemukan mengambang di kali, dengan lubang di dada dan di dahi, di
tembak jagoan seram bernama Petrus.

Ripin tidak pernah kembali. ***


Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Oleh: Umar Kayam

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini.
Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.

“Bulan itu ungu, Marno.”

“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”

“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”

“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”

“Kuning keemasan!”

“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”

Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di
sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.

“Marno, Sayang.”

“Ya, Jane.”

“Bagaimana Alaska sekarang?”

“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”

“Maksudku hawanya pada saat ini.”

“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”

“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu
padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo
bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”

Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis.
Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”

“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas …..
ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan
vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu,
terdengar berdentang-dentang.

Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”

“Ya, ada apa dengan dia?”

“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”

Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.

“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”

“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”

“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”

“Oh.”

“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”

Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu
hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta
suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.

“Marno, Manisku.”

“Ya, Jane.”

“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”

“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti
apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”

“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”

“Kenapa?”

“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”

“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”

Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang
Marno tajam-tajam.

“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”

Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.

“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”

“Kau anak yang manis, Marno.”

Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di
sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram
karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya.
Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa
senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”

“Ya, Jane.”

“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa
tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh.”

Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas
yang keberapa martini dipegangya itu.

Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.

“Eh, kau tahu, Marno?”

“Apa?”

“Empire State Building sudah dijual.”

“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”

“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”

“Tidak. Bisakah kau?”

“Bisa, bisa.”

“Bagaimana?”

“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang
tahulah ….”

Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan
Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.

“Oh, kalau saja …..”

“Kalau saja apa, Kekasihku?”

“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”

“Lantas?”

“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”

“Kau anak desa yang sentimental!”

“Biar!”

Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.

“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”

“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”


Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang
berbalas maaf itu.

Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.

“Jet keparat!”

Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras
membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.

“Aku merasa segar sedikit.”

Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-
lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……

“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan
badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa
memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”

“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”

“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep
blue sea ….”

“Marno.”

“Ya.”

“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”

“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”

“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah
mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang
chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa
sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap
menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy.
Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”

Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di
Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu
kilometer bisa muncul begitu pendek?

“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita
yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”

“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku
dengar.”

“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”

“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”

“Aku membosankan jadinya.”


Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi
asapnya lewat mulut dan hidungnya.

“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara?
Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang
pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus
berbicara sampai kapal tiba, bukan?”

Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di
dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.

“Marno, kemarilah, duduk.”

“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”

“Kemarilah, duduk.”

“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”

“Kunang-kunang?”

“Ya.”

“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”

“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”

“Begitu kecil?”

“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”

“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”

“Ya, pohon-hari-natal.”

Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap
ke satu arah yang jauh entah ke mana.

“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”

“Ya.”

“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”

“Mainan kekasih?”

“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”

“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau
kakekku, si Jilamprang.”

“Itu bukan mainan, itu piaraan.”

“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”

“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”

“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak
ada di sampingku.”

“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”

“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku
ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”

Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu
tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di
jendela.

“Marno, Sayang.”

“Ya.”

“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”

“Belum, Jane.”

“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”

Marno tersenyum

“Aku tidak tahu, Jane.”

“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”

Marno tersenyum

“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”

Sekarang Jane ikut tersenyum.

“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”

“Apakah itu, Jane?”

“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”

Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh,
melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar
kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.

“Aku harap kausuka pilihanku.”

Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.

“Kausuka dengan pilihanku ini?”

“Ini piyama yang cantik, Jane.”

“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”

Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.

“Jane.”

“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”

“Oh? Kau banyak kerja?”

“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”

”Kaumerasa tidak enak badan?”

“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”

“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”

“Terima kasih, Jane.”

“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”

“Oh”.

Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane
keluar kembali dari kamarnya.

“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”

“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”

‘Tentu, Jane.”

“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?

“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”

“Kautahu nomorku kan? Eldorado”

“Aku tahu, Jane.”

Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah
Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.

Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
Robohnya Surau Kami

Oleh: A.A. Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan
akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit
itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan,
yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan
segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas
dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai
garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir
dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta
imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan
rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan
sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala
apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat
anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama
ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga
lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku
suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan
lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah
ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa,
sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti
saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”

“Ajo Sidi.”

“Ajo Sidi?”

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia.
Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-
orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu
sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua
pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi
pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak
pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan
kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu,
maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah
membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu.
Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”

“Siapa?”

“Ajo Sidi.”

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”

“Kakek marah?”

“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama
aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya.
Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama
aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi
Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang
bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah
di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya,
dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti
orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan
dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya yang tawakal.
Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya,
supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-
Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku
terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir
bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang
sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar
dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada
perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji
Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke
dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan
menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang yang masuk neraka, bibirnya
menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia
melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-
habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang.
Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘Apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain?’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan
aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf,
pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi
menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan
kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap
kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.


‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan
diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya
dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa
ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya
Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,
karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan
ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu
Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi
sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita
dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara
menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami
yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat
menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-
Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.
Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami
Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal
yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar
hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam
Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena
fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang,
bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami
ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’


‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau
negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya
beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak.
Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya!’

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan
yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya
di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,
melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara
semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia
menggorok lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan
Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya, dia pergi kerja.” ***

Sesaat Sebelum Berangkat

Oleh: Puthut EA

Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar.
Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan
tinggal lamat-lamat.

Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit
berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak
menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga
pekan lalu.

”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak
akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”

Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.

”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu
akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”

Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih
kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah
mempersilakan kami menikmati hidangannya.

”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”

”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang
tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”

”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”

”Mana aku tahu?”

”Dan kamu tidak memberitahuku.”

”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”

”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”


Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat.
Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.

Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok,


menyulutnya.

”Ia kacau sekali…”

”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”

Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”

”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”

”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku
tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang
kupikir penting menyangkut dia.”

”Apa?”

”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”

”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”

”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”

”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”

Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa
saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.

”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.

Aku mulai merasa darahku naik.

”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”

Darahku semakin terasa naik.

”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”

Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”

Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku
gantian menyulut rokok.

”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan
menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk
yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA
dan tidak lulus kuliah.”

Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”

”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.

”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar
waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu,
lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para
guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”

”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan
yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian
tidak berguna.”

”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”

”Tapi kamu bukan aku.”

”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”

”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”

”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan
tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”

”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak
perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi
belum pernah kesampaian.

”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”

Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali
melemparkan benda itu di mulut pedasnya.

”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”

Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada
Jendra?”

”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia
minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan
tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”

”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”

Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan
kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan
menyulut lagi sebatang rokok.

”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”

”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat
ke tempatmu!”

Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan
buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan
ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan
berhubungan dengan Jendra kepada Risa.

”Rif, kamu menikah saja belum.”

”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”

”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan
kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang
merasa bisa mendidiknya!”

”Apa yang dia katakan?”

”Dia ingin pindah sekolah.”

”Itu sekolah paling favorit.”

”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”

”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”

”Itu kesalahanmu…”

”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”

”Itu menurutmu…”

”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas
untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”

”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”

”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”

”Dia ingin kursus main drum.”

”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”

”Kenapa dia tidak boleh memilih?”

”Karena dia belum bisa memilih.”

”Dia terlalu capek dengan itu semua…”

”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari
persaingan di masa depan.”

”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”

”Dia masih kelas satu SMA!”

”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”

”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”

”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”

”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak
bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”

”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota
ini…”

”Aku tidak butuh informasi itu.”

Kali ini, darahku benar-benar mendidih.


”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.

”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”

Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku
hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat
dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan
membeludak.

”Kamu langsung pulang atau menginap?”

Aku diam.

”Aku masih ada urusan kantor.”

Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.

Ia bangkit, lalu melangkah pergi.

”Risa…”

Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”

Ia kembali berjalan menuju pintu.

Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku
sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu
mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya
akan semakin membuatku marah.

Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.

Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia
melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.

”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.

Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.

”Kita bisa ketinggalan pesawat…”

Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”

”Kenapa bisa begitu?”

Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”

”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”

”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”

”Kamu yakin?”

Aku menganggukkan kepala.

Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar,
meraih tasnya.

”Aku berangkat ya…”


Aku mengangguk.

”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”

Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke
pemakamannya.”

Mita melangkah pergi keluar.

Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang
tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku,
sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.

Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin
dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah,
dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar
omonganku.

Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku
sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian
Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?

Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***

Anda mungkin juga menyukai