Anda di halaman 1dari 119

Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi

Minggu, 02 Oktober 2016

Hikayat Datu Sanggul

Orang banyak mungkin tidak begitu mengenalnya bahkan mungkin jadi tidak mengenal sama
sekali,dan mungkin generasi sekarang tidak mengetahui kehidupan Datu Sanggul ini,seorang tokoh
panutan dijamannya,ketulusan hatinya dalam melaksanakan ibadah dan ketaqwaannya dalam
menegakkan kalimat Allah serta kedigjayaannya membuat terkenal sampai kepelosok
negri,ketekunan beliau dalam menuntut ilmu membawanya melanglang buana dari daerah asalnya
dipalembang sumatera kedaerah kalimantan,dalam salah satu riwayat nama Datu sanggul adalah
Syekh Muhammad Abdush Shamad atau dlm riwayat lainnya mengatakan nama beliau adalah
Ahmad Sirajul Huda,beliau hidup sekitar abad ke 18 m bertepatan dengan jaman nya Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari atau lebih dulu sedikit.

Penyebab beliau berguru kepada Datu Suban gurunya para datu muning yang ada di borneo karena
adanya "tanda atau isyarat" yang diperoleh beliau ketika tidur,dikisahkan ketika beliau tidur beliau
bermimpi bertemu dengan orang tua yang menjabat tangannya seraya berkata " kalau kamu ingin
memperoleh ilmu sejati maka hendaklah kamu mencari dan mempelajarinya kepada Datu Suban
yang tinggal dipulau kalimantan dikampung muning pantai jati munggu tayuh tiwadak gumpa
didaerah tatakan (daerah rantau kabupaten tapin kalsel)"  setelah mendengar kata kata orang
tersebut beliau tersentak dari tidurnya seraya berkata kepada ibundanya yang saat itu berada
didekatnya "ibunda dimana orang tua tadi" "sedari tadi tidak ada orang selain ibu dan ananda"
jawab ibundanya, kemudian beliau menceritakan mimpinya kepada ibundanya,karena kecintaan
beliau kepada ilmu beliau lalu meminta ijin kepada. ibundanya untuk merantau kembali mencari
ilmu seperti yang dikatakan orang tua didalam mimpinya tersebut,akhirnya walaupun dengan berat
hati ibundanya memberikan ijin dan mendoakannya agar semua yang dicita citakan beliau tercapai.

Datu Sanggul, begitu masyarakat lebih mengenalnya. Seorang tokoh panutan di zamannya, sekitar
abad ke-18 Masehi, satu zaman dengan Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ketulusan
hatinya dalam melaksanakan ibadah, dan ketaqwaannya dalam menegakkan kalimat-kalimat Allah,
serta keramat yang diberikan Allah kepadanya, membuat ia terkenal sampai ke pelosok negeri.

Satu hal yang amat tergambar dalam sosok Datu Sanggul, adalah ketekunannya dalam menuntut dan
menyempurnakan ilmu. Semangat menuntut ilmu itu jualah yang kemudian membuatnya sampai ke
Bumi Kalimantan, khususnya Desa Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Yaitu berguru
dengan Datu Suban. Di Desa Tatakan pula beliau kemudian dimakamkan yang sampai sekarang
makamnya terus diziarahi masyarakat.

Riwayat Syekh Muhammad Abdussamad (Datu Sanggul)


Dalam salah satu riwayat diceritakan, Datu Sanggul disebutkan bernama asli Syekh Muhammad
Abdussamad. Dalam riwayat lainnya, disebutkan bahwa nama beliau adalah Ahmad Sirajul Huda.
Beliau berasal dari Palembang, kemudian melanglang buana ke berbagai penjuru untuk menuntut
ilmu.

Mengapa digelari Datu Sanggul? Salah satu riwayat menceritakan, hal tersebut karena ketekunan
beliau dalam dalam mentaati perintah gurunya di dalam ‘khalwat khusus’ yang sama artinya dengan
‘menyanggul’ atau menunggu (turunnya) ilmu dari Allah SWT.

Ada juga yang mengatakan beliau sering menyanggul atau menghadang pasukan tentara Belanda di
perbatasan Kampung Muning, sehingga tentara Belanda pun kocar-kacir dibuatnya. Versi lainnya lagi
menyebutkan, gelar Datu Sanggul itu karena kegemaran beliau menyanggul (menunggu) binatang
buruan. Ada juga yang mengatakan rambut beliau yang panjang dan selalu disanggul (digelung).
Wallahu a'alam.

Singkat cerita akhirnya berangkatlah Syekh Abdush Shamad muda menuju pulau kalimantan dengan
menumpang kapal perahu layar,ternyata setelah sampai dikampung muning tatakan rantau,beliau
sudah disambut oleh Datu Taming Karsa yang disuruh oleh gurunya yaitu Datu Suban yang
mengatakan bahwa hari itu akan datang seorang pemuda dari sumatera yang nantinya akan menjadi
muridnya,mereka kemudian berjalan menuju rumah Datu Suban guru sekalian Datu Muning,dan
ternyata beliau sudah ditunggu oleh Datu Suban beserta murid murid beliau,beliau kemudian
langsung mengangkat Datu Suban sebagai guru sekaligus orang tuanya dan juga mengangkat murid
murid Datu Suban yang lainnya sebagai saudara-saudaranya,maksud baik Syekh Abdush Shamad
muda diterima Datu Suban dengan senang hati,dan mulai saat itu belajarlah beliau kepada Datu
Suban,dan diceritakan karena kecerdasan dan ketekunannya dalam belajar dan ketaatannya kepada
gurunya dengan persetujuan murid murid Datu Suban terdahulu akhirnya Datu Suban berkenan
memberikan Al-Qur'an segi delapan dan sebuah kitab yang dikenal sekarang dengan Kitab
Barencong (baca kisah Datu Sanggul dan Syekh Muhammad Arsyad)

Adapun penamaan Datu Sanggul salah satu riwayat menceritakan karena ketekunan datu sanggul
dalam mentaati perintah gurunya dalam Khalwat khusus yang sama artinya dengan "menyanggul"
atau menunggu  (turunnya ) ilmu dari Allah SWt ,ada juga yang mengatakan beliau sering
menyanggul atau menghadang pasukan tentara belanda diperbatasan kampung muning dan tentara
belanda sering kucar kacir dibuatnya,adapun versi lain karena kegemaran beliau menyanggul
(menunggu) binatang buruan,ada juga yang mengatakan rambut beliau yang panjang dan selalu
disanggul (digelung)..wallahu a'alam...dan mulai saat itu nama beliau dipanggil Datu Sanggul.

Berkat mengamalkan ilmu yang beliau peroleh baik dari guru beliau ataupun dari Kitab Barencong
tadi banyaklah beliau mendapatkan kelebihan kelebihan dari Allah SWT,diantaranya beliau kalau
sholat jum'ad selalu di Mesjid Al-Haram,dan karna itulah beliau bertemu dengan Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari yang pada saat itu sedang menuntut ilmu di Mekah dan Syekh Muhammad Arsyad
mengangkat saudara dengan beliau,selain itu beliau juga bertemu dengan Datu Daha yang juga
mengangkatnya menjadi orang tua sekaligus guru (insyaallah nanti diriwayat Datu Daha kita
kisahkan)

Pada waktu itu dikerajaan Banjar masyarakatnya yang sangat menjunjung tinggi nilai agama
diwajibkan bagi masyarakat laki laki yang sudah aqil balik atau sudah dewasa pada hari jum'ad
diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum'ad dimesjid mesjid dikampung masing masing,dan kalau
tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan didenda, dikarenakan setiap jum'ad beliau selau sholat
dimesjid Al-Haram maka setiap minggu beliau harus membayar denda kepada kerajaan sampai habis
harta beliau dan yang tertinggal cuma kuantan dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran)
akhirnya setelah didesak oleh istri beliau karena tidak ada lagi barang yang bisa dipakai untuk
membayar denda, beliau akhirnya berjanji untuk melaksanakan sholat jum'at dimesjid
kampungnya,pada saat itu sungai dikampung beliau airnya sedang meluap dan hampir terjadi banjir
dikarenakan pada malam harinya hujan sangat lebatnya,disaat para jamaah sedang ber wudhu
dipinggir kali,tiba tiba datang Datu Sanggul dan langsung terjun kesungai yang sedang meluap
tersebut lengkap dengan pakaiannya,orang orang berteriak dan menjadi gempar , ditengah
kegemparan masyarakat tiba tiba muncul Datu Sanggul dari tengah sungai dan berjalan diatas air
dengan tenangnya,yang lebih mengherankan pakaian beliau tidak basah sama sekali cuma anggota
wudhu beliau saja yang basah, setelah keluar dari sungai beliau langsung menuju mesjid dengan
tatap mata keheranan dari masyarakat,masyarakat makin terkejut pada saat imam mesjid
mengumandangkan takbir dan diikuti jamaah jum'ad lainnya beliau hanya berpantun

   "Riau riau padang sibundan

    disana padang sitamu tamu

    rindu dendam tengadah bulan

   dihadapan Allah kita bertemu ...ALLAHU AKBAR....

setelah berkata demikian perlahan lahan kaki beliau terangkat dari lantai mesjid dan tubuh beliau
berada diawang awang,setelah imam mengucapkan salam perlahan lahan kaki beliau kembali
menjejakkan lantai mesjid,kemudian beliau berkata kepada jamaah jum'ad "saya tadi baru saja
shalat diMasjidil Haram Mekkah dan kebetulan tadi ada yang mengadakan selamatan dan saya
meminta kepada yang selamatan sedikit barakat(makanan yang dibagikan saat undangan pulang dan
mari kita bersama sama mencicipinya, jangan ada yang tidak ikut mencicipinya walaupun sedikit
"diceritakan bahwa nasi tersebut masih panas menandakan bahwa perjalanan beliau cuma sekejab
saja, sejak kejadian tsb barulah masyarakat tahu bahwa beliau adalah termasuk golongan Wali Allah,
sehingga pembayaran denda baik yang berupa uang maupun benda dikembalikan kepada beliau.

Diceritakan sebelum Datu Kalampayan atau Syekh Muhammad Arsyad sampai kekampung muning
untuk mengambil sambungan kitab barencong dari Datu Sanggul, Datu Sanggul meminta para
muridnya untuk bertahan sejenak karena ada yang mau disampaikan,beliau meminta para muridnya
dan masyarakat untuk bergotong ruyung mempersiapkan menyambut kedatangan tamu dari jauh
(Datu Kalampayan),kemudian masyarakat bergotong ruyung mempersiapkan segalanya
hari itu hari jum'ad beliau berkata kepada istrinya

"duhai adinda tercinta kakanda akan tidur,tolong kakanda jangan diganggu dan jangan pula
membuka kelambu”.

baik kanda tapi kakanda apabila ada yang ingin bertemu dengan kakanda dengan keperluan yang
sangat penting apakah dinda boleh membangunkan kakanda "kata istrinya bertanya

"kalau ada keperluan sangat penting silahkan saja "jawab beliau

setelah sekian lama beliau masuk kedalam kelambu dan tidak keluar keluar padahal hari itu hari
jum'ad, istri beliau memanggil manggil sampai tiga kali,karena waktu sholat jum'ad makin dekat,
beliau menjadi bimbang disisi satu suami beliau sudah berwasiat supaya jangan diganggu,disisi
lainnya sholat jum'ad adalah kewajiban,akhirnya istrinya memberanikan diri membuka kelambu,
namun apa yang terjadi suami yang dicintainya tidak ditemukan didalam kelambu, namun yang
terlihat adalah setetes air yang sangat bening dan putih berkilauan diatas kain putih,setelah melihat
kejadian tersebut dengan rasa heran bercampur kagum,kelambu itu ditutup kembali oleh istrinya,tak
lama setelah itu datanglah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari , setelah memperkenalkan diri Syekh
Muhammad Arsyad lalu mengatakan ingin bertemu dengan Datu Sanggul, dan ternyata setelah
kelambu tsb dibuka kembali oleh istri beliau Datu Sanggul sudah kembali kewujud semula tapi dalam
keadaan sudah meninggal dunia... Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun....Syekh Muhammad Arsyad
menyerahkan kain putih 5 lembar yang dipesan oleh Datu Sanggul waktu mereka terakhir bertemu
dulu, dan ternyata kain putih tsb akan dipakai untuk kain kapan beliau.

Kemudian diberitahukan kepada murid murid beliau dan masyarakat,maka berdatanganlah orang
orang untuk menolong dan melaksanakan fardu kifayah hingga selesai dan beliau dimakamkan di
kampung muning benua nyiur tatakan Rantau,setelah selesai pemakaman Datu Sanggul kemudian
Syekh Muhammad Arsyad menceritakan pertemuan beliau dengan istri Datu Sanggul dan
menyampaikan pesan pesan beliau termasuk pesan untuk mengambil sambungan Kitab
Barencong,istri Datu Sanggul memakluminya karena sebelum beliau meninggal sudah memberikan
wasiat kepada istrinya untuk menyerahkan kitab tsb tapi terlebih dahulu beliau menyampaikan hal
tersebut kepada murid murid Datu Sanggul, setelah itu baru kitab tsb di serahkan kepada Syekh
Muhammad Arsyad atau Datu Kalampayan.

Datu Sanggul sangat terkenal pula dengan syair-syairnya yang begitu puitis dan penuh makna. Salah
satu syair yang sangat terkenal adalah syair pantun “Saraba Ampat”. Syair tersebut berbahasa Banjar
yang sarat dengan pelajaran tasawuf. Diantara petikan syair tersebut berbunyi: 

“Allah jadikan saraba ampat.

Syariat tharikat hakikat ma'rifat.

Menjadi satu di dalam khalwat.

Rasa nyamannya tiada tersurat”.


Huruf ALLAH ampat banyaknya

Alif i'tibar dari pada Zat-NYA

Lam awal dan akhir Sifat dan Asma-NYA

Ha isyarat dari Af'alnya

Jibril Mikail Malaikat mulia

Isyarat  sifat Jalal  dan Jamal

Izrail Israfil rupa pasangannya

I'tibar sifat Qahar dan Kamal

Jabar ail asal katanya

Bahasa Suryani asal mulanya

Kebesaran ALLAh itu artinya

Jalalullah bahasa Arabnya

Nur Muhammad bermula nyata

Asal jadi alam semesta

seumpama api dengan panasnya

itulah Muhammad dengan Tuhannya

Api dan banyu tanah dan hawa

itulah dia alam dunia

menjadi awak barupa rupa

tulang sungsum daging dan darah

Manusia lahir ke Alam Insan

di Alam Ajsam ampat bakawan

Si Tubaniyah dan Tambuniyah

Uriyah lawan si Camariyah


Rasa dan akal daya dan nafsu

didalam raga nyata basatu

AKU meliputi segala liku

Matan hujung rambut sampai kahujung kuku

Tubuh dan hati nyawa rahasia

Satu yang zahir amat nyatanya

Tiga yang batin pasti adanya

Alam shagir itu sabutnya

Mani Manikam M adi dan Madzi

Titis manitis jadi menjadi

Si anak adam balaksa kati

Hanya yang tahu ALLAHU RABBI

Kaampat ampatnya kada tapisah

datang dan bulik kepada ALLAH

Asalnya awak daripada tanah

Asalpun tanah sudah disarah

Dadalang Simpur barmain wayang

Wayang asalnya sikulit kijang

Agung dan sarun babun dikancang

kaler bapasang diatas gadang

Wayang artinya sibayang bayang

Antara kadap silawan tarang

semua majaz harus dipandang

Simpur balalakun hanya saorang

Samar Bagung si Nalagaring


Sijambulita suaranya nyaring

Ampat isyarat amatlah penting

Siapa nang handak mancari haning

Kemudian, ada lagi syair lain yang berbunyi: 

"Riau-riau padang si bundan.

Di sana padang si tamu-tamu.

Rindu dendam tengadah bulan.

Di hadapan Allah kita bertemu”. 

Syair itu dilantunkan Datu Sanggul saat muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan
tenangnya tanpa basah sama sekali terkecuali pada anggota wudhu.

Karomah Syekh Muhammad Abdussamad (Datu Sanggul)

Selalu Shalat Jum'at di Makkah

Beliau mempunyai banyak kelebihan. Selalu shalat Jum'at di Makkah, dan menjadi murid Nabi
Khidhir

Pada waktu itu, di kerajaan Banjar yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai agama,
mewajibkan bagi laki laki yang sudah aqil baliq atau sudah dewasa untuk melaksanakan shalat
Jum’at di masjid kampung masing-masing. Kalau tidak melaksanakan kewajiban tersebut, akan
didenda. Dalam riwayat, Datu Sanggul dipercayai memiliki keramat melaksanakan Shalat Jum’at di
Masjidil Haram setiap Jum’atnya. Karena itu, setiap hari Jum’at itu pun beliau harus membayar
denda kepada kerajaan sampai habis harta beliau, hingga suatu saat yang tertinggal hanya kuantan
dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran).

Dalam kondisi itu, setelah didesak oleh istri beliau karena tidak ada lagi barang yang bisa dipakai
untuk membayar denda, Datu Sanggul akhirnya berjanji untuk melaksanakan shalat Jum'at di masjid
kampungnya. Kala itu, sungai di kampungnya sedang meluap dan hampir terjadi banjir lantaran
hujan yang sangat lebat pada malam harinya.

Di saat para jamaah sedang berwudhu di pinggir sungai, tiba-tiba Datu Sanggul datang dan langsung
terjun ke sungai yang sedang meluap tersebut. Beliau bercebur lengkap dengan pakaiannya. Orang-
orang berteriak dan menjadi gempar. Dan tiba-tiba lagi, di tengah kegemparan masyarakat itu, Datu
Sanggul muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya, lalu langsung
memasuki masjid. Lebih mengherankan, pakaian beliau tidak basah sama sekali, kecuali anggota
wudhunya.

Masyarakat semakin terkejut, tatkala imam mengangkat takbir memulai shalat Jum’at diikuti jamaah
lain, Datu Sanggul hanya melantunkan syair tadi; "Riau-riau padang si bundan. Di sana padang si
tamu-tamu. Rindu dendam tengadah bulan. Di hadapan Allah kita bertemu… Allahu Akbar”.

Bersamaan ucapan Allahu Akbar itu, tubuh beliau mengawang-awang hingga selesai orang
mengerjakan shalat Jum'at. Melihat keadaan Datu Sanggul yang demikian, orang-orang yang berada
di masjid semakin keheranan. "Aku tadi shalat di Makkah. Kebetulan di sana ada selamatan dan aku
meminta sedikit, mari kita cicipi bersama walau sedikit," kata Datu Sanggul di saat orang-orang
masih keheranan.

Sejak saat itulah, masyarakat percaya sepenuhnya bahwa Datu Sanggul adalah seorang Waliyullah.
Barang-barang Datu Sanggul yang semula disita pun dikembalikan oleh kerajaan.

Dalam riwayat lagi, keramat Datu Sanggul ini pun dibuktikan Datu Kalampayan, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari. Pada suatu hari Jum’at di Kota Mekkah, Datu Kalampayan ada di sana. Sewaktu di
Masjid Mekkah untuk melaksanakan shalat Jum’at berjamaah, Datu Kalampayan melihat seseorang
sembahyang di dekatnya. Beliau tertarik untuk mengetahui, karena orang itu mengenakan baju
palimbangan hitam dan celana hitam serta memakai laung. Datu Kalampayan yakin bahwa itu bukan
orang-orang Mekkah, karena orang-orang Mekkah tidak ada yang berpakaian demikian. Pakaian
seperti itu hanya dipakai oleh orang Banjar atau orang tanah Jawa. Dan peristiwa itu dilihat Datu
Kalampayan selama beberapa kali Jum’at. “Tidak salah lagi, ini pasti orang Banjar,” ujar Datu
Kalampayan kala itu.

Lalu, Datu Kalampayan mengulurkan tangannya, kemudian mereka bersalaman. Tak puas bertemu di
masjid, Datu Kalampayan membawa orang itu ke rumahnya. Syekh Muhammad Arsyad lalu bertanya
dan dijawab orang tersebut bahwa ia bernama Datu Sanggul. Datu Kalampayan bertanya pula:
“Saudara ini orang mana, asal negeri mana dan sudah berapa lama tinggal di Mekkah.”

Datu Sanggul menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Saya setiap Jum’at datang ke sini untuk
bersembahyang, dan aku berasal dari Banjar. Tempat diamku di Banjar. Jelasnya Tatakan,” ujarnya.

“Jauh juga. Kalau begitu melewati Martapura, Kayu Tangi. Melalui tempat tinggalku. Itu sangat jauh.
Jika demikian dengan apa kemari setiap Jum’at?,” ujar Datu Kalampayan bertanya.
Datu Sanggul pun menjawab, “Aku tidak memakai apa-apa. Hanya karena hendak ke mari saja, dan
kebetulan Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku sampai ke sini.”

Terpikir dalam hati Datu Kalampayan tentang kedatangan Datu Sanggul itu, apakah ia memang
masih waras atau orang yang terganggu pikirannya. Jawaban Datu Sanggul tadi dirasanya tak masuk
akal sehat. Sebab mungkinkah jarak yang demikian jauhnya antara Tatakan dan Mekkah bisa dicapai
hanya dalam waktu begitu singkat, dan bahkan tidak memakai apa-apa. Namun dari dialek
bahasanya, Datu Kalampayan yakin bahwa Datu Sanggul adalah berasal dari Banjar.

Untuk menguji ketidakpercayaannya itu, Datu Kalampayan pun kemudian berkata kepada Datu
Sanggul. “Kalau betul engkau pulang pergi dari Tatakan ke sini, coba tolong hari Jum’at yang akan
datang bawakan aku oleh-oleh dari kampung. Aku sudah sangat lama tidak pulang. Mungkin sudah
mencapai waktu 30 tahun. Selama ini aku selalu berada di Mekkah tak pernah ke mana-mana. Nah
kira-kira musim buah apa di kampung kita? Bawakan kemari untukku, terutama di Martapura
sekarang ini musim apa kiranya,” ujar Datu Kalampayan.

Datu Sanggul lalu berdiri di depan jendela. Tangannya dilambaikannya ke luar jendela. Ketika ia
menarik kembali tangannya, ada sebiji durian dan kuini. “Nah, Datu Kayu Tangi ambil durian dan
kuini ini. Ini datang dari Sungkai,” kata Datu Sanggul.

Buah itu diterima Datu Kalampayan, dan diperiksa masih ada getah dari tangkai kuini itu. Sama
seperti baru dipetik dari samping rumah. Durian dan kuini tersebut masak pula. Segera Datu
Kalampayan mengupas dan memakannya. Memang betul durian dan kuini. Di Mekkah kedua buah
tersebut tidak ada. Kuini Jawa saja tidak terdapat, kecuali jenis asam-asaman lain. Dan suatu Datu
Kalampayan kembali ke Tanah Banjar, ia semakin kaget karena ada buah kuini dari kerajaan Banjar
yang tiba-tiba menghilang. Rupanya, buah kuini itulah yang dipetikkan Datu Sanggul untuk Datu
Kalampayan.

Sejak pertemuan awal itu, Datu Sanggul dan Datu Kalampayan semakin sering bertemu di setiap
shalat Jum’at. Dan karena sering bertemu, maka terjalinlah persahabatan antara keduanya. Sering
Datu Sanggul dibawa ke kediaman Syeikh Muhammad Arsyad. Datu Sanggul pun tidak pernah
menolak. Dari persahabatan keduanya ini pula kemudian ada satu kitab yang dikenal Kitab
Barencong. Yakni, kitab yang dibagi dua secara diagonal. Satu bagian dipegang oleh Datu
Kalampayan, dan sebagian lainnya dibawa oleh Datu Sanggul.

Syekh Abdussamad sering membagi daging binatang rusa dan kijang kepada penduduk dusun
Muning, Kalimantan Selatan, tempat tinggalnya. Daging itu diperoleh dengan cara menyumpit
binatang tersebut yang lewat di bawah pohon tempat dia duduk berjuntai setiap hari. Namun
kebiasaan tersebut tidak dilakukan pada hari Jum'at, karena dia pergi ke Makkah untuk melakukan
shalat Jum'at.
Pekerjaan menghadang dan mengintip binatang itu disebut menyanggul yang berasal dari kata
sanggul. Inilah asal mula Syekh Abdussamad diberi gelar Datu Sanggul, atau Datuk Sanggul.

Datu Sanggul, seperti dikutip dari Riwayat Datu Sanggul, saduran M. Zaini A.D., pada suatu hari
diminta Nabi Khidhir untuk mengantar Datu Daha ke Makkah. Datu Daha ingin shalat di sana. Datu
Daha adalah anak angkat Nabi Khidhir setelah dia mengalami peristiwa yang luar biasa. Datu Sanggul
menyanggupi permintaan itu, dengan syarat Datu Daha harus memegang dirinya erat-erat dengan
mata tertutup sampai ada perintah membukanya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Datu Daha diizinkan membuka mata dan ternyata sudah tiba
di Makkah. Mereka lalu ke masjid dan menjalankan shalat Jum'at.

Datu Daha kemudian minta kesediaan Datu Sanggul untuk mengantarkan lagi ke Makkah tapi kali itu
untuk naik haji. Menanggapi permintaan itu Datu Sanggul minta agar Daha menunggu hari Jum'at.
Setelah itu dia lenyap dari depan mata Daha.

Diceburkan ke Laut

Datu Daha adalah orang yang pernah bertemu Nabi Khidhir ketika dia dalam kondisi yang sangat
letih setelah diceburkan oleh kapten kapal karena kapal layar yang mereka tumpangi menuju Tanah
Suci tiba-tiba berhenti di tengah laut tanpa sebab yang jelas. Untuk mencari kejelasan itu, dengan
bantuan paranormal, Daha diceburkan ke dalam laut. "Si Fulan ini harus tinggal di tengah laut," kata
si paranormal kepada kapten kapal setelah menghitung-hitung bayangan ghaib.

Begitu tubuh Daha tercebur ke laut, kapal itu pun bergerak melaju seperti semula dan meninggalkan
Daha di tengah laut. Setelah 30 jam terombang-ambing di laut, akhirnya Daha terdampar di pantai.
Ketika hampir pingsan, dia berdoa kepada Allah mohon keselamatan.

Kemudian dia berjalan menelusuri pantai hingga kelelahan dan jatuh pingsan.

Ketika siuman, dia melihat banyak makam sejauh mata memandang dalam keadaan rapi. Namun dia
tidak melihat bangunan rumah. "Pasti kuburan ini ada yang mengurus," pikirnya. "Namun, siapa?"

Karena kelelahan, dia terduduk sambil menoieh kiri-kanan, hingga tampak olehnya sebuah gubuk.
Dengan tertatih-tatih dia datangi gubuk itu dan didapatinya seorang lelaki tua sendirian di dalamnya.

"Assalamu'alaikum," ujarnya.
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya.

Singkat kata, orang tua itu adalah Nabi Khidhir, yang mengaku sebagai pengurus pemakaman
tersebut, yaitu makam orang-orang yang mati tenggelam di laut, seperti yang dialami Datu Daha.
Jawaban itu diberikan setelah Daha menceritakan pengalamannya sendiri. 

Mengetahui bahwa orang tua itu adalah Nabi Khidhir, Daha menyatakan keinginannya untuk pergi
haji.

"Kalau Ananda ingin menunaikan ibadah haji, besok aku ikutkan kepada Syekh Abdussamad. Tiap
hari Jum'at dia singgah kemari sebelum ke Makkah," jawab Nabi Khidhir.

Begitulah, Datu Daha akhirnya bertemu Datu Sanggul dan dibawa ke Makkah.

Berbulan-bulan kemudian, Datu Daha bertemu para penumpang kapal layar yang ditumpangi dulu.
Mereka heran mengetahui Daha telah tiba di Makkah lebih dulu daripada mereka. "Bukankah Anda
dulu dilempar ke laut, kok bisa duluan sampai di Makkah? kata salah seorang di antara mereka,
keheranan.

"Itu semua kehendak Allah," jawab Datu Daha. Namun dia tidak menceritakan pertemuannya
dengan Nabi Khidhir. Dalam keheranan itu, mereka akhirnya berkesimpulan bahwa kemungkinan
Datu Daha adalah wali, bukan orang sembarangan.

Ketika ibadah haji selesai, Datu Daha pun diantar pulang oleh Datu Sanggul dengan cara yang sama.
Namun dia diturunkan di ujung kampung Daha, Borneo, tempat asal Datu Daha. "Dari sini Anda jalan
ke rumah, supaya orang kampung melihat Anda sudah kembali dari Tanah Suci," pesan Datu
Sanggul.

Begitulah, dalam sekejap mata, Datu Daha telah melihat kembali kampungnya dan Datu Sanggul
lenyap dari depannya.

Hari itu orang-orang kampung Daha terheran-heran melihat Datu Daha telah kembali. Mereka
bertanya-tanya, tapi tidak dijawab oleh Daha. "Aku pulang atas kekuasaan, kodrat, dan iradat Allah.
Aku tak kuasa menjelaskannya," kata Datu Daha.
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu, orang-orang kampung menunggu kembalinya para
jamaah lainnya sesama penumpang kapal layar. Namun ternyata mereka juga menyatakan
keheranannya.

Mereka menceritakan bahwa Datu Daha dibuang ke laut karena ada sesuatu yang aneh ketika kapal
tiba-tiba terhenti di tengah laut. Namun ketika sampai di Jeddah, mereka heran melihat Daha juga
sudah ada di sana dengan selamat. "Kami terkejut, apa ini benar Datu Daha, atau kami salah lihat,"
tutur mereka.

Begitu juga ketika ibadah haji selesai. Pada hari Jum'at sorenya dia sudah tidak ada lagi di Makkah,
padahal menurut pengakuannya dia tiba pada hari Jum'at sebelum shalat Jum'at.

Cerita itu membuat warga kampung percaya bahwa Datu Daha memang naik haji dan dia adalah wali
yang patut dihormati.

Dalam Balutan Asap Putih

Datu Sanggul, atau Syekh Abdussamad, atau Syekh Ahmad Sirajul Huda, berasal dari Palembang. Dia
berguru kepada Datu Suban, seorang ulama besar yang ditemuinya dalam mimpi, yang tinggal di
Kalimantan Selatan.

Setelah mendapat restu dari ibunya, dia berlayar ke Kalimantan melalui selat Bangka Belitung dan
kota Banjarmasin hingga tiba di Kampung Muning, Pantai Munggutayuh Tiwadak Gumpa Rantau
Tapin, Kalimantan Selatan, pada tahun 1750 M.

Singkat cerita, Datu Sanggul menjadi murid kesayangan Datu Suban dan diberi sebuah kitab pusaka
yang berbentuk segi delapan. Rupanya ketika' kitab itu diserahkan, itulah akhir hayat Datu Suban,
karena tak lama kemudian dia wafat dalam balutan asap putih yang mengepul ke udara ketika
tengah berjalan meninggalkan tempat upacara penyerahan kitab tersebut.

Setelah mengamalkan ilmu hakikat dan ilmu laduni dari gurunya itu, Datu Sanggul diberi kelebihan
oleh Allah, seperti menceburkan diri ke air sungai dan berwudhu tapi badannya tidak basah kecuali
yang wajib wudhu. Tiap hari Jum'at bersembahyang Jum'at di Masjidil Haram, Makkah.

Dia juga berteman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari sejak tahun 1760, yang bertemu
setiap shalat Jum'at di Makkah.
Syekh Arsyad ingin mempelajari kitab pusaka Datu Suban yang bersegi delapan. Namun Datu
Sanggul meminjamkan hanya sebelah sehingga kitab itu berbetuk rencong dan disebut kitab
Barencong, dengan catatan: bila ingin melanjutkan kajian dalam kitab itu, Al-Banjari harus turun ke
tanah Jawi dan menemuinya di Kampung Muning sambil membawa kain putih seukuran lima helai
kain sarung.

Ternyata ketika tiba saatnya untuk mempelajari kitab itu, Syekh Arsyad Al Banjari tidak berhasil
menemui Datu Sanggul di Kampung Muning, karena ia sudah wafat.

Teringat pada pesan agar membawa kain putih berukuran lima kain sarung Syekh Arsyad pun
menduga bahwa ketika itu agaknya Datu Sanggul sudah mendapat firasat dari Allah akan meninggal
bila belahan kitab Barencong itu diserahkan.

Begitulah. Sungguh teramat banyak lagi cerita-cerita akan keramat Datu Sanggul. Termasuk
menjelang akhir hayatnya, Datu Sanggul minta dibawakan kain kafan kepada Datu Kalampayan
apabila Datu Kalampayan selesai menuntut ilmu dari Mekkah (pulang ke Tanah Banjar). Dan
ternyata, kain kafan itu digunakan untuk mengkafani Datu Sanggul sendiri yang berpulang ke Hadirat
Allah bertepatan dengan pulangnya Datu Kalampayan dari Mekkah ke Tanah Banjar.

Sungguh tak terasa, kini sudah 249 tahun kejadian itu berlalu. Di komplek Kubah Datu Sanggul di
Desa Tatakan Tapin, dilaksanakan peringatan haul Datu Sanggul setiap tahunnya.

Dikatakan Masrani (penjaga makam Datu Sanggul), Datu Sanggul adalah hamba Allah yang alim dan
dikenal luas dianugerahi ilmu ma’rifat. Selain pantun Saraba Ampat dan syair ketika muncul dari air
tadi, menurut Masrani ada lagi pantun ma’rifat Datu Sanggul yang masih dikenal para ahli ma’rifat
hingga saat ini. Pantun itu berbunyi: 

“Jangan susah mencari billah.

Billah ada di rapun buluh.

Jangan susah mencari Allah.

Allah ada di batang tubuh”.

Kitab Ma'rifat Datu Sanggul yang dikenal denganKitab Barencong.

Wiyonggo seto di 09.02


Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi

Sabtu, 10 September 2016

Betapa Sulitnya Mengenali Waliyulloh

Konsep wali yang diajarkan dalam islam telah Allah sebutkan dalam al-Quran, pada firman-Nya,

َ ُ‫ِين آ َم ُنو ْا َو َكا ُنو ْا َي َّتق‬


‫ون‬ َ ‫أَال إِنَّ أَ ْولِ َياء هّللا ِ الَ َخ ْوفٌ َعلَي ِْه ْم َوالَ ُه ْم َيحْ َز ُن‬
َ ‫ الَّذ‬، ‫ون‬

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati ( ) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus:
62 – 63)

Yang disebut wali Allah dalam ayat ini adalah semua orang yang beriman dan bertqwa. Sekalipun dia
sama sekali tidak memiliki kesaktian. Tidak tahu hal yang ghaib, tidak mampu menyembuhkan orang
sakit, apalagi kemampuan mengendalikan alam semesta.

Ibnu Katsir mengatakan,

‫ فكل من كان تقيا كان هلل وليا‬،‫ كما فسرهم ربهم‬،‫يخبر تعالى أن أولياءه هم الذين آمنوا وكانوا يتقون‬

Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana
yang Allah jelaskan. Sehingga semua orang yang bertaqwa adalah wali Allah. (Tafsir Ibnu Katsir,
4/278).

Sehingga untuk bisa menjadi wali Allah, manusia harus berjuang melakukan ketaatan agar dicintai
Allah. Dengan cara, melakukan yang wajib, kemudian berusaha merutinkan yang sunah.

Dalam hadis Qudsi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah berfirman,

‫ َو َما َي َزا ُل َع ْبدِى َي َت َقرَّ بُ إِلَىَّ ِبال َّن َواف ِِل َح َّتى أ ُ ِح َّب ُه‬، ‫ت َعلَ ْي ِه‬
ُ ْ‫ب إِلَىَّ َع ْبدِى ِب َشىْ ٍء أَ َحبَّ إِلَىَّ ِممَّا ا ْف َت َرض‬
َ َّ‫َو َما َت َقر‬

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai
dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga
Aku-pun mencintainya.” (HR. Bukhari 6502)
Karamah sifatnya hibah dari Allah, dan tidak bisa diupayakan manusia. Sementara istiqamah adalah
tugas yang dibebankan Allah kepada umat manusia. Karena itu, seharusnya yang dipikirkan manusia
adalah bagaimana menjadi manusia yang istiqamah, bukan menjadi orang yang punya karamah.

Abu Ali al-Jauzajani mengatakan,

َ ‫ك َي ْطلُبُ ِم ْن‬
‫ك ااِل سْ ِت َقا َم َة‬ ِ َ‫ك ُم َت َحرِّ َك ٌة فِي َطل‬
َ ‫ َو َر ُّب‬،ِ‫ب ْال َك َرا َمة‬ َ ‫ َفإِنَّ َن ْف َس‬،ِ‫ اَل َطالِبًا ل ِْل َك َرا َمة‬،ِ‫ُكنْ َطالِبًا لِاِل سْ ِت َقا َمة‬

Jadilah orang yang menjaga istiqamah, bukan pencari karamah. Karena jiwamu selalu ingi mencari
karamah, sementara Rabmu menuntutmu untuk istiqamah. (Syarh Aqidah Thahawiyah, hlm. 330)

Betapa sulitnya mengenali seorang wali

‫قال الشيخ ابو العباس رضى هللا تعالي عنه معرفة الولى اصعب من معرفة هللا فان هللا معروف بكماله وجماله وحتى ومتى تعرف‬
‫مخلوقا فتلك يأكل كما تأكل ويشرب كما تشرب‬

As-Syaikh Abul Abbas ra.berkata,mengenali seorang wali itu lebih sulit dari pada mengenali ALLOH
karena ALLOH itu bisa dikenali dengan sifat2nya yang sampurna dan indah,sedangkan para wali bisa
engkau jumpai kapan saja atau dimana saja,berupa mahluk yang sama seperti keadaanmu,ia makan
dan minum seperti halnya dirimu.

Sebenarnya wali itu rahasia yang emang sengaja dirahasiakan ALLOH

‫كيف تعرف اولياء هللا تعالى فقال ان هللا تعالى ال يعرفهم اال الشكالهم او من اراد ان ينفعه بهم ولو اظهرهم حتى يعرفهم الناس لكانوا‬
‫حجة عليهم ومن خالفهم بعد علمه بهم كفر ومن قعد لهم حرج ولكن هللا تعالى جعل اختياره تغطية امورهم رحمة منهم لخلقه ورأفة‬

?BAGAIMANA PARA WALI ITU DIKENAL maka menjawab,sesungguhnya ALLOH tidak akan memberi
tahukan keadaan mereka kecuali kepada sesama mereka atau kepada orang-orang yang dikehendaki
ALLOH untuk memetik manfaat darinya,seandainya ALLOH memperlihatkannya,sehingga manusia
mengenalinya niscaya ia akan menjadi bukti atas kesalahan manusia kelak di hari kiamat dan orang-
orang yang mengingkarinya niscaya akan kufur,begitu juga orang-orang yang tidak menghiraukannya
niscaya akan berdosa ALLOH merahasiakannya semata-mata hanya kasihan kepada mahluk-
mahlukNYA

syarah hikam juz 2 hal 3


Sebagian dari pembagian wali

‫قال بعضهم عالمة االبدال ان ال يولد لهم‬

QOLA BA'DLUHUM,ALAMATUL ABDALI AN LA YULADA LAHUM

sebagian ulama' berkata,ciri2 wali abdal itu tidak mempunyai anak

‫وقال احمد ان لم يكونوا اصحاب الحديث فمن هم‬

?WAQOLA AHMAD,INLAM YAKUNU ASHABAL HADIS,FAMAN HUM?

??imam ahmad berkata wali2 abdal siapalagi kalau bukan ahli hadis?

sirojut tholibin juz 1 hal 262

‫وقد اتفقوا على ان الشافعى رضى هللا عنه كان من االوتادوفى رواية انه تقطب قبل موته‬

WA QOD ITTAFAQUU ALA ANNAS SYAFII RODLIYALLOHU ANHU KANA MINAL AUTADIWAFI
RIWAYATIN INNAHU TAQOTTHOBA QOBLA MAUTIHI

ulama' sepakat bahwa imam syafii R.A. termasuk golongan wali autaddan menurut satu riwayat
beliau menjabat sebagai wali qutub sebelum wafatnya

alfatawi alhadisiyyah hal 232

 ‫ما يقع للمالمتية‬

Kejadian pada wali malamatiyyah


‫وهم قوم طابت نفوسهم مع هللا فلم يودوا أن أحدا يطلع على أعمالهم غيره فإذا رأى أحد منهمأن أحدا اعتقد فيه خرب أي ارتكب ما يذم‬
‫به ظاهره من فعل وقول كسرقة بعض األولياء وهو إبراهيمالخواص نفع هللا به وناهيك به علما ومعرفة لما رأى أهل بلده يعتقدونه‬
‫سرق ثيابا من الحمام البن الملك وخرجيتبختر بها حتى أدرك فضرب وأخذت منه وسمى لص الحمام فقال اآلن طابت اإلقامة في هذه‬
‫البلد‬

wali malamatiyyah adalah kaum yg selalu menjaga kebaikan hatinya untuk ALLOH semata,mereka
tidak menyukai orang lain melihat amalnya-amalnya,dan ketika seseorang mengetahui
kebaikannya,maka mereka segera merusak amal-amal tersebut yaitu dengan melakukan perbuatan
atau perkataan yg klihatannya tercela seperti contoh yang pencurian yang dilakukan sebagian auliya'
yaitu IBROHIM BIN KHOWAAS semoga ALLOH memberikanmanfaat dan kejadian ini cukup untuk
dipetik sebagai ilmu pengetahuan.ketika itu penduduk kampungnyamenganggap ibrohim bin
khowaas mencuri beberapa potong baju kepunyaan pangeran dari sebuah pemandian air hangat
mereka menjumpai ibrahim dengan bangga keluar dari pemandian ,kemudian ditangkap rame-rame
oleh penduduk ,dipukul dan baju-baju itu diambil kembali.kemudian beliau mendapat julukan

"pencuri pemandian air hangat" setelah kejadian itu,ibrahim pun berucap,sekarang baru dikatakan
baik berdiam dikampung ini,

‫فإن قلتما تأويله في لبس ثياب الغير قلت يحتمل أنه علم عتبه ورضاه بل أرضاه وإن لم يعلم قلبه نظرا إلى الغالب ألن من اطلععلى‬
‫باطن عبد أنه في غاية الصالح وأن لبسه هذا الزمن اليسير ليطهر نفسه من النظر إلى الخلق رضى له بذلكقطعا‬

jika kamu bertanya,apa sebaiknya alasan yang tepat untuk diperbolehkan memakai pakaian orang
lain (dalam peristiwa ini)saya katakan bahwa kemungkinan ibrahim bin khowaas telah mengetahui
kadar kemarahan dan kerelaan pemiliknya,bahkan kejadian itu bisa menyebabkan
kerelaannya,meskipunhatinya tidk mengethui secara pasti,namun hal itu bisa berdasar pada
kebiasaan,karena jika si pangeran tadi mengetahui kebaikan seorang hamba (ibrohim) yang
memakai pakaiannya dalam waktu sebentar dengan tujuan membersihkan hati supaya tidak
dipandang simpati oleh para mahluk niscaya ia akan merelakannya

‫ عادة ومسئلتنا أولى‬T‫وقد صرح الشافعي رضي هللا عنه بأنه يجوز أخذ خالل وخاللين من مال الغير نظرا إلى أن ذلك مما يتسامحبه‬
‫من ذلك ألن أكثر الناس مجبولون على محبة هذه الطائفة بل كلهم منقادون إلىالصادقين من أهلها ثم رأيت بعضهم أجاب بجواب آخر‬
T‫حين سأله فقيه عنها ال أقنع إال بكالم الفقهاء فقاألليس يجوز في ظاهر الفقه استعمال بعض المحرمات للضرورة كالتداوي بالنجاسة‬
‫فقال الفقيه بلى‬

Sungguh as syafii telah menerangkan bahwa diperbolehkan mengambil 1 atau 2 cukil gigi dari harta
orang lain,karena pada umumnya kejadian seperti ini bisa dimaafkan,sementara itu masalah yang
sedang kita bicarakan ini lebih penting dari pada hanya sekedar mengambil cukil gigi,lagi pula
kebanyakanmanusia sangat menyukai kaum shufi atau bahkan menjadi pengikut setia dari kelompok
mereka.kemudian aku mengamati sebagian fuqoha' memberikan jawaban lain ketika ditanya oleh
seorang faqieh tentang peristiwa diatas,sebelumnya ia mengatakan,,aku tidak akan menerima
kecuali dengan jawaban yang sesuai dengan pendapat fuqoha'maka mereka pun memberikan
jawabanbukankah menurut dzohirnya fiqih diperbolehkan berobat dengan sebagian dari barang-
barang yang diharamkan karena dlorurot seperti halnya memakai obat yg najis?maka faqih tersebut
pun menjawab ya memang benar demikian.

Syaikh Abu Hasan Ali Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-Mahjub, mengatakan bahwa
wali Akhyar sebanyak 300 orang, wali Abdal sebanyak 40 orang, wali Abrar sebanyak 7 orang, wali
Autad sebanyak 4 orang, wali Nuqaba sebanyak 3 orang dan wali Quthub atau Ghauts sebanyak 1
orang. Sedangkan menurut Syaikhul Akbar Muhyiddin ibnu `Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-
Makkiyyah membuat pembagian tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak,
ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat
diringkas sebagai berikut:

1. Wali Quthub al-Aqthab atau Wali Quthub al-Ghauts

Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya
hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

2. Wali Aimmah

Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang
dalam setiap masa. Seorang bergelar Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya
bergelar Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.

3. Wali Autad

Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing
menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kaabah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga
wanita. Mereka bergelar Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdul Murid.

4. Wali Abdal

Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka
menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim.
Pengarang kitab al-Futuhatul Makkiyyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu (Muhyiddin ibnu ‘Arabi)
mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.

Pada tahun 586 di Spanyol, Muhyiddin ibnu ‘Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani.
Sahabat Muhyiddin ibnu ‘Arabi yang bernama Abdul Majid bin Salamah mengaku pernah juga
bertemu Wali Abdal bernama Muâ’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara
mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam
dan mengasingkan diri dari keramaian.

5. Wali Nuqobaa
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum
syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan
iblis. Jika Wali Nuqobaa melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui
apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.

6. Wali Nujabaa

Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.

7. Wali Hawariyyun

Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik
dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair ibnu
Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan
ketekunan dalam beribadah.

8. Wali Rajabiyyun

Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka
sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali
Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa
berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak.
Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya
perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang.
Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya
semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai
pedagang.

9. Wali Khatam

Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas
menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd saw.

Jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah ada 356 sosok, yang mereka itu ada dalam
kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah
kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut
demikian.

Sedangkan menurut Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu ‘Arabi (menurut beliau muncul dari
mukasyafah) maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah disebut diatas, sampai berjumlah 589
orang. Diantara mereka ada satu orang yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai
al-Khatamul Muhammadi, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan
tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammadi pada zaman ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi), kami
telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia
ada di Fes (Marokko) tahun 595 H. Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para
Auliya, yaitu para Wali: Ummahat, Aqthab, A’immah, Autad, Abdal, Nuqaba dan Nujaba.

Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya sebagaimana gelar
Khatamun Nubuwwah yang disandang oleh Nabi Muhammad saw?.

Ibnu Araby menjawab :

Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian
Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Nabi Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan
Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai
pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh
Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Penutup
Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun
seperti Nabi Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya
Nabi Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tetapi aturannya mengikuti aturan Nabi
Muhammad saw, bergabung dengan para Wali dari ummat Nabi Muhammad lainnya. Ia termasuk
golongan kita dan pemuka kita.

Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam as. Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Nabi Isa, sebagai Nabi
Ikhtishah (kekhususan), sehingga Nabi Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan
mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.

Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi) ada pada
seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal di tahun 595 H. Saya melihat
tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya
lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Penutup Kewalian Muhammadiyah darinya.
Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah
dalam sirr-nya.

Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah
menutup Kewalian Muhammadi, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari
para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Nabi Isa, maka mereka itu
masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya’ Muhammadi, dan setelah itu tidak ada lagi
Wali pada Kalbu Muhammad saw. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan
Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Nabi Isa Alaissalam. Dan
kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Nabi Isa As, dan sejumlah Wali yang
berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.
Dilain tempat, Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa dirinyalah yang menjadi Segel (Penutup) Kewalian
Muhammad. Beberapa wali yang pernah mencapai derajat wali Quthub al-Aqthab (Quthub al-Ghaus)
pada masanya :

• Sayyid Hasan ibnu Ali ibnu Abi Thalib

• Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz

• Syaikh Yusuf al-Hamadani

• Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

• Syaikh Ahmad al-Rifa’i

• Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy

• Syaikh Ahmad Badawi

• Syaikh Abu Hasan asy-Syazili

• Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi

• Syaikh Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi

• Syaikh Ibrahim Addusuqi

• Syaikh Jalaluddin Rumi

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Beliau pernah berkata Kakiku ada diatas kepala seluruh wali. Menurut Abdul Rahman Jami dalam
kitabnya yang berjudul Nafahat Al-Uns, bahwa beberapa wali terkemuka diberbagai abad sungguh-
sungguh meletakkan kepala mereka dibawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Syaikh Ahmad al-Rifa’i

Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, maka nampak tangan
dari dalam kubur Nabi bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi SAW
yang mulia itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi
Saw tersebut. Salah seorang muridnya berkata :

“Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub”. Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu daripada Quthubiyah”.
Kata murid: “Tuan Guru adalah Ghaus!”. Jawabnya: “Sucikan syakmu daripada Ghausiyah”.

Al-Imam Sya’roni mengatakan bahwa yang demikian itu adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad al-Rifa’i
telah melampaui “Maqamat” dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts itu adalah Maqam yang
maklum (diketahui umum).

Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal
ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para
makhluk. Sabdanya, Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku
(daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan
kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya
para makhluk.

Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil
menangis dan beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”.
Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya
selama sebulan. Hingga ada yang tanya, Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana
ya kanjeng syaikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum.

Beliau menjawab, Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga
akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya,
keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari
perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita
sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain. Wafatlah Wali Allah yang
berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis waktu duhur 12 Jumadil Awal tahun 570
Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578 Hijrah.

Syaikh Ahmad Badawi

Setiap hari, dari pagi hingga sore, beliau menatap matahari, sehingga kornea matanya merah
membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih sering
menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka berkhalwat dan
riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih
diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan seseorang. Ia tak
sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat.

Pada usia dini beliau telah hafal Al-Quran, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada
syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan syaikh Ahmad Rifai. Suatu hari, ketika beliau telah sampai
ketingkatannya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, menawarkan kepadanya: “Manakah yang kau inginkan
ya Ahmad Badawi, kunci Masyriq atau Maghrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang sama juga
diucapkan oleh gurunya Syaikh Ahmad Rifai, dengan lembut, dan karna menjaga tatakrama murid
kepada gurunya, ia menjawab; Aku tak mengambil kunci kecuali dari al-Fattah (Allah ).

Peninggalan syaikh Ahmad Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan shalawat badawiyah sughro dan
shalawat badawiyah kubro.

Syaikh Abu Hasan Asy-Syazili

Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan
tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi
keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan
pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah
semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

Di antara keramatnya para Shiddiqin ialah :

1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).

2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).

3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.

Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :

1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.

2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.

3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.

4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.

Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya. Kemudian beliau
menjawab, Guruku adalah Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah
menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a,
Umar bin Khattab r.a, Usman bin Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari
malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung.

Beliau pernah berkata, Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari
kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku
tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan
terjadi besok sampai hari kiamat. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, Aku setiap malam banyak
membaca Radiyallahu’an Asy-Syekh Abul Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada
Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku.

Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, Ya Rasulallah, kalau
seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ˜An Asy-Syaikh Abu Hasan dan aku meminta
apa saja kepada Allah swt, apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut
apakah diperbolehkan atau tidak?. Lalu Nabi saw menjawab, Abu Hasan itu anakku lahir batin, anak
itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawassul kepada Abu
Hasan, maka berarti dia sama saja bertawassul kepadaku.

Peninggalan syaikh Abu Hasan asy-Syazili yang sangat utama, yaitu Hizib Nashr dan Hizib Bahar.
Orang yang mengamalkan Hizib Bahar dengan istiqomah, akan mendapat perlindungan dari segala
bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat
lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan
menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak
renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya. Hizib Bahar ditulis syaikh Abu Hasan asy-
Syazili di Laut Merah (Laut Qulzum).

Di laut yang membelah Asia dan Afrika itu syaikh Abu Hasan asy-Syazili pernah berlayar menumpang
perahu. Di tengah laut tidak angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar selama beberapa
hari. Dan, beberapa saat kemudian Syaikh al-Syadzili melihat Rasulullah. Beliau datang membawa
kabar gembira. Lalu, menuntun syaikh Abu Hasan asy-Syazili melafazkan doa-doa. Usai syaikh Abu
Hasan asy-Syazili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali berlayar.

tingkatan wali menurut kitab safinatul Qodiriyah

‫ إنّ طبقات الصّوفيّة سبعة الطالبون والمريدون والسالكون والسّائرون والطائرون والواصلون وسابعهم‬: ‫ويقول فى مرآة األسرار‬
‫الحق الصحيحة‬ ّ ‫القطب الذى قلبه على قلب سيّدنا محمّد صلعم وهو وارث العلم اللّدني من النبي صلعم بين الناس وهو صاحب لطيفة‬
‫ما عداالنبى األمّى‬

Dia ( Syaikh Abdul Qodir Jailani ra. ) mengatakan dalam kitab Miratil Asror : Sesungguhnya tingkatan-
tingkatan kewalian itu ada 7 tingkat diantaranya :

1. Thoolibun

2. Muriidun

3. Saalikun

4. Saairun

5. Thooirun

6. Waashilun

Dan ke 7 dari mereka yaitu Wali Qutub yang hatinya menempati Hati Nabi Muhammad saw. Dan ia
merupakan pewaris ilmu laduni dari Nabi Saw. diantara manusia, dan ia yang memiliki lathifah
ilahiyyah yang benar yang telah berlari kepada Hati Nabi yang Ummi Saw.
‫والطالب هو صاحب قوىّ مزكيّة للطيفته الخفية الجسميّة‬

‫والمريد هو صاحب قوىّ للطيفته النفسيّة‬

‫والسالك هو من يكون صاحب قوىّ مزكيّة للطيفة القلبيّة‬

‫والسائر هو الذى يكون صاحب قوىّ مزكيّة للطيفة ال ّس ّريّة‬

‫والطائر هو الذى وصل إلى للطيفة الروحيّة‬

ّ
‫الحق‬ ‫والواصل هو الشحص الذى اصبحت قواه اللطيفة مز ّكاّة على لطيفة‬

Thoolib adalah yang memiliki kekuasaan menyucikan bagi lathifah Jasad yang tersembunyi

muriid adalah yang memiliki kekuasaan lathifah Nafsu

Saalik adalah orang yang memiliki kekuasaan menyucikan bagi lathifah Hati

Saair adalah orang memiliki kekuasaan menyucikan bagi lathifah Rasa

Thooir adalah orang yang sampai kepada lathifah Ruh

Wasil adalah orang yang menjadi kan kekuatan lathifahnya menyucikan terhadap lathifah ilahiyyah.

‫ والغوث واإلمامان اللذان هما وزيرا القطب واألوتاد واألبدل واألخيار واألبرر والنقباء والنجباء‬T‫ إنّ رجال هللا هم األقطاب‬: ‫ويقولون‬
‫والعمدة والمكتومون واألفراد أي المحبوبون‬

Mereka ( para hukama ) mengatakan: Sesungguhnya Para Wali Allah yaitu Wali Qutub, Wali Gauts,
Wali Dua Imam, yang keduanya Wali Imamaim merupakan pelayan Wali Qutub, Wali Autad, Wali
Abdal, Wali Akhyar, Wali Abrar, Wali Nuqoba, Wali Nujaba, Wali U`mdah, Wali Maktumun, dan Wali
Afrad ia disebut pula Wali Mahbubun.

‫والنقباء ثالثمائة شخص واسم ك ّل منهم على‬

‫والنجباء سبعون واسم ك ّل واحد منهم حسن‬

‫واألخيار سبعة واسم كل منهم حسين‬


‫والعمدة أربعة واسم ك ّل منهم محمّد‬

Dan Wali Nuqoba berjumlah 300 orang dan nama masing-masing dari mereka yaitu A`li

Dan Wali Nujaba berjumlah 70 orang dan nama salah satu dari mereka yaitu Hasan

Dan Wali Akhyar berjumlah 7 orang dan nama masing-masing dari mereka yaitu Husain

Dan Wali U`mdah berjumlah 4 orang dan nama masing-masing dari mereka yaitu Muhammad

‫ وهكذا يحل‬، ‫والواحد هو الغوث واسمه عبدهللا وإذ مات الغوث ح ّل محله أحد العمدة األربعة ث ّم يحل محل العمدة واحد من األخيار‬
‫واحد من النجباء محل واحد من األخيار ويحل محل أحد النقباء الذى يحل محله واحد من الناس‬

Dan berjumlah 1 orang yaitu Wali Gauts, namanya adalah Abdullah, dan jika Wali Gauts wafat maka
kedudukannya digantikan oleh 1 orang dari Wali U`mdah yang berjumlah 4 orang kemudian
kedudukan Wali U`mdah digantikan oleh 1 orang dari Wali Akhyar demikian pula kedudukan 1 orang
dari Wali Nujaba menggantikan 1 orang dari Wali Akhyar dan kedudukan Wali Nuqoba digantikan
oleh 1 orang dari manusia.

‫وأما مكان إقامة النقباء فى أرض المغرب أي السويداء واليوم هناك من الصبح إلى الضحى وبقية اليوم ليل أما صالتهم فحين يصل‬
‫الوقت فإنهم يرون الشمس بعد طيّ األرض لهم فيؤدّون الصالة لوقتها‬

Adapun tempat kediaman Wali Nuqoba di tanah Magrib yakni Khurasan , pada hari ini dari mulai
Shubuh sampai Dhuha dan pada sisa malam hari itu mereka shalat ketika waktu tiba, mereka melihat
matahari sesudah bumi melipat , mereka melakukan Shalat pada waktunya.

‫ مصر واليقرّون‬T‫ م ّكة وأمّا األخيار فهم سيّاحون دائما وأمّا النجباء فمسكنه‬T‫وأما العمدة األربعة ففى زوايا األرض وأمّاالغوث فمسكنه‬
‫فى مكان وهذا غير صحيح‬

‫ ذلك ألنّ حضرة السيد عبد القادر الجالني رحمه هللا وكان غوثا إ ّنما أقام فى بغداد‬.

Adapun ( tempat kediaman ) wali U`mdah di empat penjuru bumi, dan Wali Gauts tempat
kediamannya di Makkah, Wali Akhyar melakukan perjalan (sayyâhûn) di muka bumi) selamanya,
Wali Nujaba di Mesir dan mereka tidak menetap di satu tempat maka hal ini tidak benar, karena
sesungguhnya Hadroh Sayyid Abdul Qodir Jailani menjadi Wali Gauts dan pastinya tempat kediaman
Wali Gauts di Baghdad.

‫هذا وتفصيل أحوال الباقى فسيأتي فى مواضعه‬


Ini perincian kondisi sisanya yang akan datang pada tempatnya

‫ ويقول فى توضيح المذاهب‬:

Dia ( Syaikh Abdul Qodir Jailani ra. ) berkata dalam kitab Taudhil Madzahib:

‫المكتومون أربعة آالف رجل ويبقون مستورين وليسوا من أهل التصرف‬.

Wali Maktum berjumlah 4.000 orang dan tetap Masturin ( yakni tetap menjadi para wali yang tidak
dikenal oleh orang-orang ) dan mereka bukan dari Ahlut Tashrif.

‫ أما الذين هم من أهل الحل والعقد والتصرّ ف وتصدر عنهم األمور وهم كق ّربون من هللا فهم ثالثمائة‬.

Adapun Ahlu Tashrif mereka itu dari Ahlul Hal yakni orang yang berpengaruh dan bertindak dengan
mereka yakni Wali Kaqorrobun dari Allah Swt dan mereka berjumlah 300 orang.

‫ ويقال لهم أيضا أخيار وسيّاح ومقامهم فى مصر‬. ‫وفى رواية خالصة المناقب سبعة‬.

Di dalam kitab Riwayat ringkasan Manaqib yang 7 . Dikatakan bahwa wali Akhyar juga melakukan
perjalanan di muka bumi, dan tetap tinggal di Mesir.

ّ
‫الحق سبحانه بالسياحة إلرشاد الطالبين والعابدين‬ ‫ وقد أمرهم‬.

Sungguh telah memerintahkan mereka kepada Allah yang Maha Haq lagi yang maha suci dengan
perjalanan petunjuk untuk memandu pemohon ( Tholibun ) dan A`bidun.

‫ وهؤالء فى المغرب وأربعون آخرون هم األبدال ومق ّرهم فى الشام‬، ‫ وثمّة سبعون آخرون يقال لهم النجباء‬،

Dan ada 70 orang yang lain disebut bagi mereka Wali Nujaba, dan orang-orang ini tinggal di Maroko
dan 40 orang lainnya adalah Wali Abdal yang berpusat Suriah,

‫ وثمّة سبعة هم األبراروهم فى الحجاز‬.


Dan Ada 7 orang mereka adalah Wali Abrar dan mereka tinggal di Hijaz.

‫ وهؤالء فى أطراف العالم‬. ‫ وثمّة خمسة رجال يقال لهم العمدة ألنهم كاألعمدة للبناء والعالم يقوم عليهم كما يقوم المنزل على األعمدة‬.

Dan ada 5 orang disebut bagi mereka Wali U`mdah, karena sesungguhnya mereka seperti tiang bagi
gedung dan dunia yang berdiri bagi mereka, sebagai mana berdirinya rumah diatas tiang. Dan orang-
orang ini tinggal di belahan dunia.

‫ وثالثة آخرون يقال لهم النقباء أي نقباء هذه األمّة‬. ‫ كما الطناب بالوتد‬. ‫وثمّة أربعون آخرون هم األوتاد الذين مدار استحكام العالم بهم‬.

Dan ada 40 orang lainnya mereka adalah Wali Autad yang gigih mereka diatas dunia. Sebagai tali
pasak. Dan tiga orang lainnya disebut bagi mereka adalah Wali Nuqoba artinya panglima umat ini

‫ وثمّة رجل واحد هو القطب والغوث الذى يُغيث ك ّل العالم‬.

Dan ada 1 orang ia adalah Wali Quthub dan Wali Gauts yang menolong di seluruh dunia.

‫ومتى انتقل القطب إلى اآلخرة حل مكانه آخر من المرتبة التى قبله بالتسلسل إلى أن يحل رجل من الصلحاء واألولياء محل أحد‬
‫ األربعة‬.

Dan ketika Wali Quthub pindah ke akhirat keadaan tempatnya digantikan oleh peringkat lain yang
sebelumnya dengan berurutan untuk menempati kedudukan orang dari para Sholaha dan Auliya
yang bertempat di salah satu dari yang empat .

‫ ثالثمائة منهم يقال لهم أخيار وأبرار وأربعون يقال لهم األبدل وأربعة يسمّون باألوتاد‬: ‫ األولياء عدة أقسام‬: ‫وفى كشف اللغات يقول‬
‫وثالثة يسمّون النقباء وواحد هو المسمّى بالقطب انتهى‬

dalam Kitab kasyful Lughoh ( Syaikh Abdul Qodir Jailani ra. ) mengatakan: bahwa para wali ada
beberapa tingkatan : 300 orang dari mereka disebut Wali Akhyar dan Wali Abrar dan 40 orang
disebut dengan Wali Abdal dan 4 orang disebut dengan Wali Autad dan 3 orang disebut dengan Wali
Nuqoba dan 1 orang disebut dengan Wali Quthub……….. berakhir

‫ ويتحملون مشاكل الناس‬. ‫ النجباء أربعون رجال من رجال الغيب القائمون بإصالح أعمال الناس‬: ‫ويقول أيضا فى كشف اللغات‬
‫ النجباء سبعة رجال يقال لهم رجال الغيب والنقباء ثالثمائة ويقال لهم األبرار‬: ‫ويتصرفون فى أعمالهم ويقول فى شرح الفصوص‬
‫وأقل مراتب األولياء هي مرتبة النقباء‬
Dia ( Syaikh Abdul Qodir Jailani ra. ) juga mengatakan dalam Kitab kasyful Lughoh : bahwa Wali
Nujaba berjumlah 40 orang dari golongan Wali Rijalil Ghoib yang menyelenggarakan dengan amal-
amal manusia dan menanggung masalah manusia serta mereka bertindak dalam amal-amal mereka ,
dan ia ( Syaikh Abdul Qodir Jailani ra. ) mengatakan di dalam kitab syarohul Fushush : bahwa Wali
Nujaba berjumlah 7 orang dan disebut juga mereka Wali Rijalul Ghoib , Wali Nuqoba berjumlah 300
tiga ratus dan disebut juga mereka Wali Abrar dan peringkat yang lebih rendah dari para wali adalah
pangkat wali Nuqoba.

‫ أنّ األولياء أربعون رجال هم األبدال وأربعون هم النقباء وأربعون هم النجباء وأربعون هم األوتاد وسبعة‬: ‫وأورد فى مجمع السلوك‬
‫هم األمناء وثالثة هم الخلفاء‬

Dikutip di dalam kitab Majmu`us Suluk : bahwa para wali berjumlah 40 orang mereka disebut Wali
Abdaal , dan 40 orang disebut wali Nuqoba, 40 orang disebut wali Nujaba, 40 orang disebut wali
Autad, 7 orang disebut wali Umana dan 3 orang disebut wali Khulafa.

‫ فى هذه األمّة أربعون على خلق إبرهيم وسبعة على خلق موسى وثالثة على خلق عيسى وواحد على خلق‬: ‫وعن النبي صلعم أ ّنه قال‬
‫محمّد عليهم السالم والصالة فهم على مراتبهم سادات الخلق‬

Nabi Saw. Bersabda : " Pada Ummat ini ada 40 orang pada hati Nabi Ibrahim as, 7 orang pada hati
Nabi Musa as, 3 orang pada hati Nabi Isa as , dan 1 orang pada hati Nabi Muhammad Saw. atas
mereka tingkatan-tingkatan hati yang mulia.

‫ البدالء أربعون واألمناء سبعة والخلفاء من األئمة ثالثة والواحد هو القطب‬: ‫ وقال أبو عثمان المغربي‬:

Said Abu U`tsman Al Maghriby berkata : bahwa Wali Budala`a berjumlah 40 orang, Wali Umana
berjumlah 7 orang, Wali Khulafa dari Wali Aimah berjumlah 7 orang dan 1 orang adalah Wali Qutub :

‫فالقطب عارف بهم جميعا ومشرف عليهم ولم يعرفه أحد واليتشرف عليه وهو إمام األولياء‬

Wali Quthub yang A`rif ( yang mengetahui Allah ) berkumpul bersama mereka dan yang mengawasi
mereka dan tidak mengetahuinya seorangpun juga , dan tidak mendapat kemuliaan atasnya, ia ( wali
Quthub ) adalah imam para wali

‫والثالثة الذين هم الخلفاء من األئمة يعرفون السبعة ويعرفون األربعين وهم البدالء واألربعون يعرفون سائر األولياء من األئمة وال‬
‫يعرفهم من األولياء أحد فإذا نقص واحد من األربعين أبدل مكانه من األولياء وكذا فى السبع والثالث والواحد إال أن يأتي بقيام الساعة‬
‫انتهى‬
Dan berjumlah 3 orang yang merupakan Wali Khulafa dari 7 Wali Aimah yang A`rif, dan 40 yang A`rif
mereka adalah Wali Budalaa dan 40 golongan para wali yang A`rif dari Wali Aimah dan tidak ada
yang mengetahui mereka dari para wali seorang pun Jika salah satu dari 40 kurang maka ia
menggantikan tempatnya dari para wali demikian juga yang berjumlah tujuh dan tiga dan satu orang
kecuali jika datang kiamat.

‫نقل فى السفينة القادرية للقطب الغوث الجامع سيّدي عبد القادر الجيالني رضى هللا عنه‬

( Disalin Dari kitab “ Safiinatul Qodiriyyah “ karya Wali Qutubul Gautsil Jaami` Sayyid Abdul Qadir
Jilani, semoga Allah meridhoinya )

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Wiyonggo seto di 03.52

Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi

Kamis, 09 April 2015

Manaqib Syaikh Muhammad Bahauddin

Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup
pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, kurang lebih 4 mil dari bukhara, soviet rusia, tempat
lahir imam bukhari. Beliau wafat pada tahun 791 H.(1391 M)  

Beliau adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuah thoriqoh yang sangat terkenal dengan
pengikut sampai jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.

Beliau mengambil tharikat dari Syekh Mihammad Baba As-Samasi,kemudian dari Sayid Amir Kulal.

Silsilah mata rantai dari tharikat Naqsyabandiah; Nabi Muhammad saw, Abu BakarShidiq, Syekh
Salman Al-Farisi, Syekh Qosim bin Muhammadbin Abu Bakar Shidiq,Syekh Imam Ja'far Shadiq, Syekh
Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan Al -Bustami, Syekh Abu Hasan 'Ali bin Abu Ja'far Al-
Khargani, Syekh Abu Ali Al-Fadlal bin Muhammad Ath-Thusi Al-Frmadi, Syekh Abu YA'KUB Al-
Hamdani bin Yusuf bin Al-Husain, Syekh Abdul Khaliq Al-Ghajduwani bin Al-Imam Abdul Jamil, Syekh
Arif Ar-Riyukuri, Syekh Mahmud Al-Anjiri Fagnawi,Syekh Ali Ar-Ramitni, Syekh Baba As-Samasi, Syekh
Sayid Amir Kulal bin Sayid Hamzah, Syekh Bahaudin Muhammad bin Muhammad As-Sariful Husain
Al-Uwaisi Al-Bukhari, 
Nama lengkap beliau adalah Syaikh Bahauddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Asy
Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaisi Al Bukhari QS (Syech Naqsyabandy) Dilahirkan di Qashrul ‘Arifan,
Bukhara, Uzbekistan tanggal 15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M. Nasabnya
bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di
Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa
dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya anakku ini adalah seorang
sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang
lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang
indah.

Syaikh Muhammad  Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan kelahirannya
disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh sebelum tiba waktu kelahirannya sudah
ada tanda- tanda aneh yaitu bau harum semerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium
ketika rombongan Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s. (silsilah ke- 13), seorang wali besar dari
Sammas (sekitar 4 km dari Bukharah), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu As
Samasi berkata, “Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki- laki yang akan lahir
di desa ini”. Sekitar tiga hari sebelum Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa
bau harum itu semakin semerbak.

Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat
Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka,
yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan
yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal,
yang merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan
dasar dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya selama bertahun-
tahun.

Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara “ruhani” oleh Abdul Khaliq Gajadwani (yang
telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir
Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktekkan dzikir yang dilakukan
dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas
absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.

Setelah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Syekh Muhammad Baba As
Samasi yang menerimanya dengan gembira. As Samasi berkata, “Ini adalah anakku, dan menjadi
saksilah kamu bahwa aku menerimanya”. Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati
menekuni tasawuf. Dia belajar tasawuf kepada Muhammad Baba as Samasi ketika beliau berusia 18
tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syekh As Samasi)
wafat. 
Sebelum Syekh As Samasi wafat, beliau mengangkat Naqsyabandi sebagai

khalifahnya. Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah
itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelah belajar dengan Syekh Baba As Samasi (silsilah ke
13), Naqsyabandi belajar ilmu tarikat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syekh As Sayyid
Amir Kulal q.s. (silsilah ke- 14).

Syekh Naqsyabandi pernah bertemu secara rohani dengan Syekh Abdul Khaliq Fadjuani dan di
ajarkan zikir khafi serta suluk, Sejak masa Syaikh Arif Ar Riwikari sampai Syekh Amir Kulal
zikir/tawajuh bersama dilakukan secara zahar akan tetapi kalau zikir sendiri secara khafi, Syekh
Naqsyabandi tidak pernah ikut ertawajuh dengan Syekh Amir Kullal yang zikir bersama secara zahar,
hal ini menimbulkan prasangka buruk pada murid murid gurunya yang tidak mengerti duduk
persoalan. Akan tetapi Syekh Amir Kullal justru bertambah sayang dan cinta kepada Syekh
Naqsyabandi. 

Suatu hari Syekh Bahauddin di panggil oleh Gurunya dan berkata, “ Duuh putraku Bahauddin,
kebetulan sekali pada waktu ini saudara saudara kita

terutama para Khalifahku sedang berkumpul, aku akan berkata kepadamu, supaya disaksikan oleh
para hadirin: Bahauddin! Supaya engkau tahu, bersamaan hidmahmu disini, Alhamdulillah aku telah
melaksanakan wasiat guruku alhmarhum Syekh Muhammad Baba (lalu Syekh Amir Kullal memberi
isyarat pada susunya), dan berkata kepadanya: Engkau telah meneteki susu pendidikanku ini sampai
kering, tetapi wadahmu terlalu besar dan persiapanmu sangat kuat, maka itu aku telah mengizinkan
kepadamu supaya meninggalkan tempat ini untuk mencari beberapa guru supaya kamu menambah
beberapa faedah yang perlu dari mereka dan faidan nur (Keluberan Nur Ilahi) yang selaras dengan
cita citamu yang agung itu. Aku hanya bisa memberi ancar ancar carilah guru dari tanah Tajik dan
dari tanah Turki”.

Setelah meminta izin dari Syekh Amir Kulal selanjutnya Syekh Naqsyabandi berguru kepada Syekh
‘Arifuddin Karoni selama tujuh tahun, kemudian

berguru kepada Maulana Qatsam selama dua tahun terkahir kepada Syekh

Darwisy Khalil dari Turki selama dua belas tahun. Syekh Naqsyabandi telah melaksanakan titah
gurunya (Syekh Amir Khulal) demikian juga fatwa-fatwa dari Syekh Abdul Khaliq Fadjuani untuk
memperdalam ilmu-ilmu syariat secara mendalam sehingga sempurnalah ilmu yang Beliau peroleh.
Syekh Bahauddin pernah menyanjung ilmu tarekatnya dengan ucapan “Permulaan pelajaran
Tarikatku akhir dari pelajaran semua tarekat”. Pisahnya Baha-ud-Din dari kelompok Amir Kulal ini
mungkin bisa dianggap sebagai penanda terwujudnya tariqat Naqsyabandi, yang ajarannya didapat
dari Abdul Khaliq, yang ujungnya berasal dari Khalifah Abu Bakar diperoleh dari Nabi Muhammad
SAW.
Al Qutub, Auliya Allah, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqan, fatwa-fatwanya menjadi rujukan
Hakim-Hakim Agung dalam memutuskan perkara. Karena kebesaran namanya, Tarekat yang di
pimpinnya tersebar dengan cepat dan termashur serta memiliki pengikut yang sangat banyak dan

tersebar ke seluruh dunia.

Beliau meletakkan dasar-dasar zikir qalbi yang sirri, zikir batin qalbi yang tidak berbunyi dan tidak
bergerak, dan beliau meletakkan kemurnian ibadat semata-mata lillahi ta’ala, tergambar dalam do’a
beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya “Ilahi anta makshuudi waridlaaka mathluubi”. secara
murni meneruskan ibadat Tratiwatus Sirriyah zaman Rasulullah, Thariqatul Ubudiyyah zaman Abu
Bakar Siddiq dan Thariqatus Siddiqiyah zaman Salman al-Farisi. Beliau amat masyhur dengan
keramat-keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal sebagai wali akbar dan wali
quthub yang afdal, yang amat tinggi hakikat dan marifatnya. 

Dari murid-muridnya dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali-wali besar di Timur
maupun di Barat, sehingga ajarannya meluas ke seluruh pelosok dunia. Beliau pulalah yang
mengatur pelaksanaan iktikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10 (sepuluh) hari, yang

dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan ada suluk yang teguh. Syekh
Naqsyabandy wafat pada malam Senin Tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H dalam usia 74 tahun. 

Syekh Naqsyabandi meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah
Syekh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar q.s dan Syaikh
Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi q.s, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa,
penulis Risalah Qudsiyyah. Kepada yang pertamalah Syekh Naqsyabdi meneruskan Ilmunya dan
menjadi Ahli Silsilah ke-16

Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin
Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang
besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa
Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.

Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad
Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh
Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya
untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat. Hingga
pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah
satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir
dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima
bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui
yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a
begini, “Ya Allah berilah

aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya

terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan
kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan
apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.

Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali
berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia. Ketika beliau berkholwat
dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin
untuk bercakap-cakap. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang
kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar suara
tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil,
perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah
merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram

tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat

inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung
dengan Allah Swt.

Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab1 yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa
kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad
Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh
Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai
15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa
yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa
menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.

Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat
lampunya kurang terang padahal minyaknya masih

banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat

untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti
tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga
sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”

Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar beliau
melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup
tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang
berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah
wafat, Syekh Muhammad Baba.
Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al
Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq,
Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh

Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup

telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan
penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang
kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk
menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan
sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betul menjalankan 3 perkara :

1. Istiqomah mengukuhkan syariat.

2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.

3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih
yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para
sahabat Ra.

Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu
untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian
pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan
bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata
apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.

Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al
Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui
bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh
Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.

Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari,
selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri.

Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian

beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu
syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari
Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh
Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami
kemajuan yang sangat pesat.
Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy
ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul
Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati
seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al
Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh
Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat

sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan

menyamarkan diri”…

Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang
guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi
pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.

Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang
bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal
yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai
datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini
kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati
seketika”. Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid,
“matilah kamu!,

Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.

Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat
temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad,
berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak
3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga
kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan
yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.

Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku disuruh
guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan
sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara,
dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak

itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra,

dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.

Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu
ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap
Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak
mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus
menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika.

Semoga bermanfaat. 

Wiyonggo seto di 20.14

Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi

Senin, 16 Maret 2015

Kisah Nabi Khidzir

Salah satu kisah Al-Quran yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah
seseorang hamba yang Allah s.w.t memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah
tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa,
yaitu:

"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum
sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS.
al-Kahfi: 60)

Kalimat yang samar menunjukkan bahawa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan
selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma' al-Bahrain (pertemuan
dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika
beliau sampai di majma' al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misteri dan
samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat
tempat ini. Ada yang mengatakan bahawa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang
mengatakan lagi bahawa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahawa
itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan
bahawa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari
tempat-tempat itu.

Seandainya tempat itu harus disebutkan nescaya Allah s.w.t akan rnenyebutkannya. Namun Al-
Quran al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Quran tidak menyebutkan
kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Quran tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat
dalam kisah itu kerana adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut
berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, kerana biasanya ilmu yang kita kuasai
berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi kerana
biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu
hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi
dengan rangkaian tabir yang tebal.

Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak
kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana.
Al-Quran sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Quran sengaja menyembunyikan pahlawan
dari kisah ini. Allah s.w.t mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:

"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65)

Al-Quran al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang
dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak berbicara
langsung oleh Allah s.w.t dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik
mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya
tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang
sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah
belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang
tidak disebutkan namanya dalam Al-Quran meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahawa ia
adalah Khidir as.

Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah s.w.t tanpa sebab-sebab
penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir
memberitahu Musa bahawa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mahu
ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan
Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia
tidak berbicara dan gerak- gerinya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa.
Sebahagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata
Musa; sebahagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki erti apa
pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun
Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya
dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan kurnia ilmunya dari sisi
Allah s.w.t.

Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang
berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bahagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang
sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini
dalam Al-Quran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab- mazhab sufi di dalam Islam
menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba
Allah s.w.t yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada "cemburu"
dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul kerana pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeza pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebahagian mereka mengatakan bahawa ia
seorang wali dari wali-wali Allah s.w.t. Sebahagian lagi mengatakan bahawa ia seorang nabi.
Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang
mengatakan bahawa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat
dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri
berpendapat bahawa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah s.w.t yang
lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk masalah yang
sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang
dikemukakan dalam Al-Quran.

Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah
s.w.t dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat
komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil
bertanya: "Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?" Dengan
nada emosi, Musa menjawab: "Tidak ada."

Allah s.w.t tidak setuju dengan jawapan Musa. Lalu Allah s.w.t mengutus Jibril untuk bertanya
kepadanya: "Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah s.w.t meletakkan ilmu-Nya?"
Musa mengetahui bahawa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata
kepadanya: "Sesungguhnya Allah s.w.t mempunyai seorang hamba yang berada di majma' al-Bahrain
yang ia lebih alim daripada kamu." Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu
timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya
bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan
membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah
Musa akan menemui hamba yang alim.

Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih
muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari
hamba yang alim dan soleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan
masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke
laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus
berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.

Musa berkata kepada pembantunya: "Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau
memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu." Pemuda atau pembantunya berkata:
"Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat." Kedua orang itu sampai di
suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih
bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke
laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah s.w.t kepada Musa
tentang tempat pertemuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk
belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahawa ikan yang dibawanya
telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi.
Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang
dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata
kepada pembantunya: "Cuba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah
merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini."

Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat
ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa
kerana lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai
peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu
cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia
berkata: "Demikianlah yang kita inginkan." Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda
bahawa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan
pembantunya kembali dan menyelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan
yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.

Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir
yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum
tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di
tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat
situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki.
Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun
tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-
Quran: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami. "

Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa,
bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fizik atau lahiriah. Allah s.w.t berfirman:

"Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan
ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatalah Musa kepada muridnya: 'Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih
kerana perjalanan kita ini.' Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak
adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya
ke laut dengan cara yang aneh sekali.' Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi: 61-65)

Bukhari mengatakan bahawa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sejadah hijau di
tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata:
"Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?" Musa menjawab: "Aku adalah Musa." Khidir berkata:
"Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Musa berkata:
"Dari mana kamu mengenal saya?" Khidir menjawab: "Sesungguhnya yang mengenalkan kamu
kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai
Musa?" Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah aku dapat mengikutimu
agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh kurnia dari-Nya." Khidir
berkata: "Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu.
Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar
bersamaku."

Kita ingin memperhatikan sejenak perbezaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan
kesopanan dan kelembutan dan jawapan Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahawa
ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para
ahli tafsir mengemukakan bahawa Khidir berkata kepada Musa: "Ilmuku tidak akan engkau ketahui
dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-
aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku.
Barangkali engkau akan melihat dalam tindakan- tindakanku yang tidak engkau fahami sebab-
sebabnya. Oleh kerana itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin
mendapatkan ilmuku." Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau
kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata
kepadanya bahawa insya-Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan
menentang sedikit pun.

Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah s.w.t, merendah di
hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahawa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah
s.w.t yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Quran menyatakan bahawa di sana terdapat syarat
yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya
tentang syarat ini, lalu hamba yang soleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun
sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang soleh itu akan
memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah
firman Allah s.w.t dalam surah al-Kahfi:

"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?' Musa berkata:
'Insya-Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu
dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS. al-Kahfi: 66-
70)

Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar
lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mahu mengangkut mereka. Para
pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya berserta Musa, tanpa meminta
upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat
terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melubangi perahu
itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-
papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.

Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berfikir. Musa berkata kepada
dirinya sendiri: "Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-
laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah s.w.t sehingga
mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta
upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merosak perahu itu dan melubanginya."
Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa
sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya
dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa
berkata: "Apakah engkau melubanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah
melakukan sesuatu yang tercela." Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah s.w.t itu
menoleh kepadanya dan menunjukkan bahawa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia
kerana Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir kerana ia lupa dan
mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.

Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-
anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar
di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat
hamba Allah s.w.t ini membunuh anak kecil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang
kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba
Allah s.w.t itu kembali mengingatkan Musa bahawa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya.
Musa meminta maaf kepadanya kerana lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa
berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan
perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa
mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka
bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak
mahu memberi dan tidak mahu menjamu mereka.

Kemudian datanglah waktu petang. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang
hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang
nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan
membangunnya seperti baru. Musa sangat hairan melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang
bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata:
"Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu." Mendengar
perkataan Musa itu, hamba Allah s.w.t itu berkata kepadanya: "Ini adalah batas perpisahan antara
dirimu dan diriku." Hamba Allah s.w.t itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya
tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahawa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari
pertemuan.
Kemudian hamba Allah s.w.t itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan
kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang soleh itu—yang membuat Musa
bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatif sendiri, ia hanya sekadar menjadi
jambatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini
menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras
namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahawa
aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa.
Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini.
Ilmu Musa laksana setitis air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah s.w.t itu
hanya memperoleh ilmu dari Allah s.w.t sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang
mengambil dari lautan. Allah s.w.t berfirman:

"Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melubanginya.
Musa berkata: 'Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.' Dia (Khidir)
berkata: 'Bukankah aku telah berkata: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
dengan aku.' Musa berkata: 'Janganlah kamu menghukum aku kerana kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.' Maka berjalanlah keduanya;
hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata:
'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan kerana dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.' Khidir berkata: 'Bukankah sudah
kukatakan kepadamu, bahawa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?' Musa berkata:
'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.'
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka
minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir
menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau kamu mau, nescaya kamu mengambil upah untuk
itu.' Khidir berkata: 'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera
itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merosakkan
bahtera itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan
adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahawa
dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki
supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding
rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;
dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)

Hamba soleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahawa ilmunya, yakni
ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahawa banyak dari musibah yang terjadi
di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahawa
usaha melubangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik
itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya
peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu- perahu yang ada. Lalu raja
itu akan membiarkan perahu-perahu yang rosak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga
mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak
kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahawa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah,
namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka kerana Allah s.w.t akan
memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan
melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan
kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahawa nikmat terkadang
membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal
yang lahirnya baik ternyata justru di balik itu terdapat keburukan.

Mula-mula Nabi Allah s.w.t Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah s.w.t
tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah s.w.t itu menyingkapkan kepadanya
maksud dari tindakannya dan rahmat Allah s.w.t yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-
peristiwa yang terjadi.

Selanjutnya, Musa kembali menemui pembantunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil.
Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal:
yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat kerana di sana terdapat ilmu hakikat, dan
ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia kerana di balik itu terdapat
rahmat Allah s.w.t yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah
pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahawa ia
berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh
para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang
tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logik
biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia
pun bukan ilmu para nabi yang Allah s.w.t wahyukan kepada mereka.

Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang
wali atau seorang nabi? Majoriti kaum sufi berpendapat bahawa hamba Allah s.w.t ini dari wali-wali
Allah s.w.t. Allah s.w.t telah memberinya sebahagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab
tertentu. Sebahagian ulama berpendapat bahawa hamba soleh ini adalah seorang nabi. Untuk
mendukung penyataannya ulama- ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui
ayat Al- Quran yang menunjukkan kenabiannya.

Pertama, firman-Nya:

"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-ham- ba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami."
Kedua, perkataan Musa kepadanya:

"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?' Musa berkata:
'lnsya-Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu
dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS. al-Kahfi: 66-
70)

Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdialog atau berbicara
dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawapan
yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka bererti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus
memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.

Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah
s.w.t dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat
yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak
berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas
dalam hatinya tidak selalu maksum kerana terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir
untuk membunuh anak kecil itu sebagai bukti kenabiannya.

Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:

"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. "
(QS. al-Kahfi: 82)

Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah
s.w.t dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama
berpendapat bahawa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi
berpendapat bahawa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah s.w.t.

Salah satu pernyataan Khidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin
Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa, manusia akan diseksa di dunia sesuai dengan kadar
kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin Harits al-
Hafi berkata: "Musa berkata kepada Khidir: "Berilah aku nasihat." Khidir menjawab: "Mudah-
mudahan Allah s.w.t memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya." Para ulama dan para ahli zuhud
berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya.
Perbezaan pendapat ini berhujung pangkal kepada anggapan para ulama bahawa mereka adalah
sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang
mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk
menganggap Khidir sebagai seorang nabi kerana beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak
mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Quran yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga
tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya
sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah s.w.t sebahagian ilmu laduni.

Barangkali kesamaran seputar peribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti
kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar
dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami
memasukkannya dalam jajaran para nabi kerana ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustaz
baginya dalam beberapa waktu.

Berikut kisah Nabi Khidr diluar alquran 

1. Nabi Khidir dengan Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw sedang berada didalam masjid, beliau mendengar orang berdoa, ”Ya Allah,
tolonglah aku atas apa yang bisa menyelamatkan aku dari apa yang paling kutakuti”.

Lalu Rasulullah bersabda, ”Mengapa orang itu tidak menyertakan pasangan doa’nya yang seperti ini,
Ya Allah berilah kepadaku kerinduan orang-orang shalih yang paling mereka rindukan”.

Kemudian Rasulullah saw menyuruh sahabatnya Anas untuk menyampaikan pasangan do’a tersebut
kepada orang yang sedang berdo’a tadi.

Setelah Anas menyampaikan kepada orang tersebut perihal pasangan do’a dari Rasulullah saw, maka
orang itu berkata, ”Ya Anas, katakan kepada Rasulullah saw bahwa Allah telah memberi kelebihan
karunia kepadanya diatas para nabi seperti kelebihan kepada ummatnya di atas ummat para nabi
lain, seperti kelebihan bulan Ramadhan atas bulan-bulan lainnya dan memberi kelebihan hari Jum’at
atas hari-hari yang lain.

Anas terperanjat pada saat lelaki itu menoleh ke arah Anas, karena yang nampak adalah Khidir as.

Lalu orang itu berdo’a, ”Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan ummat yang dimuliakan ini”.
(Riwayat Ibnu Addi dalam Al-Kamil, Thabrani dalam Al Ausath, Ibnu Askir dalam Tarikh Damsyq dan
Ibnu Abiddunya dari Anas. Riwayat Hakim dalam Al Mustadrak)

2. Nabi Khidir dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq

Pada waktu wafatnya Rasulullah saw, ketika di tengah-tengah kesedihan para sahabat yang
menangis mengelilingi jenazah beliau, tiba-tiba ada seorang laki-laki berjenggot lebat dan bertubuh
tegap masuk ke dalam majelis takziah, lalu ia menundukkan kepalanya sambil mencucurkan air
mata.

Kemudian segera ia menemui para sahabat Nabi dan berkata, “sesungguhnya Allah telah
menyediakan balasan pada setiap musibah, pengganti pada setiap yang hilang dan khalifah pada
setiap yang tiada. Maka kembalikanlah segalanya kepada Allah dan berharaplah kepada-Nya. Allah
telah mempersiapkan segalanya untuk kalian dan ketahuilah bahwasanya yang ditimpa musibah
adalah orang yang tidak terpaksa”.

Lalu orang itu pergi. Para sahabat saling bertanya siapakah gerangan orang tersebut, tetapi Abu
Bakar segera menjawab, “dia adalah Khidir, saudara Rasulullah saw”.

(Riwayat Baihaqi dari Anas bin Malik)

3. Nabi Khidir dengan Umar bin Khattab

Pada waktu Umar akan menshalati jenazah, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari belakang, ”tunggu
saya, wahai Umar...”.

Maka Umar menunggu dia hingga dia masuk ke dalam shaf dan Umar pun mulai bertakbir. Setelah
sholat, Umar mendo’akan jenazah tersebut, ”Ya Allah, Jika Engkau mengadzabnya berarti dia
durhaka kepada-Mu, tapi jika Engkau mengampuni dia, maka sesungguhnya dia sangat
membutuhkan rahmat-Mu, Ya Allah”.

Setelah jenazah dimakamkan, seorang laki-laki memperbaiki tanah kuburannya sambil berkata,
”beruntunglah kamu, wahai penghuni kubur jika kamu tidak menjadi orang yang mengaku,
menyimpan atau menentukan”.
Umar kemudian menyuruh untuk memanggilkan orang tersebut, ”bawalah orang itu kemari, akan
kutanyakan tentang shalatnya dan pembicaraannya itu”.

Maka seorang lelaki pergi mencarinya, tetapi orang itu sudah tidak ada, kecuali hanya bekas telapak
kakinya di tanah yang besarnya kira-kira satu hasta.

Lalu Umar berkata lagi, ”Demi Allah, dia itu Khidir yang pernah diceritakan oleh Rasulullah
kepadaku”.

(Riwayat Muhammad bin Munkadir)

4. Nabi Khidir dengan Ali bin Abi Thalib

Pada waktu sahabat Ali ra sedang melakukan thawaf, tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki
bergantung pada kelambu Ka’bah sambil berdo’a, ”Ya Tuhan, yang tidak direpotkan oleh sebutan-
sebutan, yang elok dan tidak disilapkan oleh permintaan-permintaan yang banyak dan tidak
disibukkan oleh pengaduan-pengaduan yang bertubi-tubi, bolehlah aku mencicipi dinginnya
ampunan-Mu dan manisnya rahmat-Mu”.

Ali ra pun memanggil dan berkata, ”Wahai hamba Allah, ulangilah perkataanmu itu”.

Kata orang itu, ”Apakah Anda mendengarkanku?”.

Ali pun menjawab, ”Ya”.

Lalu orang itu berkata lagi, ”Demi Khidir yang jiwanya berada didalam genggaman-Nya, siapa-siapa
orang yang mengucapkan do’a itu pada setiap selesai shalat fardhu maka pasti ia akan mendapatkan
ampunan dosa-dosanya dari Allah, sekalipun dosa-dosanya itu laksana bilangan pasir dan seperti
butir-butir air hujan atau bagaikan banyaknya daun-daun pepohonan”.

(Riwayat Al Khathib dalam tarikh Baghdad dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdullah bin Mhraz, dari Yazid
bin Ashamm dari Ali bin Abi Thalib)

5. Nabi Khidir dan Ibrahim Al-Khawash


Dalam sebuah perjalanan, Ibrahim merasa kehausan sehingga akhirnya terjatuh pingsan tak
sadarkan diri. Tiba-tiba dirasakannya ada percikan air mengenai wajahnya. Setelah dibuka matanya,
Ibrahim melihat seorang pemuda tampan menunggang seekor kuda, berpakaian hijau dan bersorban
warna kuning.

Kemudian pemuda itu turun dan memberi minum kepada Ibrahim sambil berkata, ”Naiklah
dibelakangku”.

Tidak berapa lama kemudian, Ibrahim sudah sampai ke Madinah. Kemudian pemuda itu berkata,
”turunlah, sampaikan salamku kepada Rasulullah saw, katakanlah kepada beliau bahwa Khidir
menyampaikan salam kepadanya”.

(Riwayat Nabhani dalam Jami’ Karamatil Auliya’)

6. Nabi Khidir dan Abdul Qadir Al-Jailani.

Pada saat Abdul Qadir Al-Jailani pertama kali memasuki kota Baghdad, Khidir datang menemuinya
lalu memberi isyarat kepadanya agar dia mematuhi apa yang diperintahkannya kepada Abdul Qadir.
Kata Khidir, “Duduklah kamu di tempat ini dan janganlah beranjak sedikitpun ingá aku datang
kembali kemari”.

Maka Abdul Qadir Al-Jailani duduk di tempat itu sampai tiga tahun. Pada tahun pertama, Khidir
datang menjenguknya dan berkata, “teruskan saja tingla di tempat ini sampai aku datang lagi
menjengukmu kesini”.

Demikianlah, aku duduk di atas puing-puing reruntuhan kota Madani. Pada tahun pertama Abdul
Qadir Al-Jailani tidak makan kecuali rerumputan saja yang dimakan dan tidak pernah minum
walaupun hanya seteguk. Pada tahun kedua, Abdul Qadir Al-Jailani tidak makan walaupun
rerumputan, tetapi hanya minum air saja selama satu tahun. Dan pada tahun ketiga, makan minum
dan tidur pun mampu ditahan dan sama sekali tidak dilakukannya.

Pada suatu malam dan udara sangat dingin laksana salju, Abdul Qadir Al-Jailani mencoba
memejamkan mata diatas reruntuhan istana Kaisar Persia di kota itu juga. Anehnya, pada malam itu
dia bermimpi keluar mani (ihtilam) sebanyak 40 kali dan setiap kali bermimpi dia segera mandi wajib
(mandi janabah / mandi junnub). Maka pada malam itu juga dia mandi junnub sebanyak 40 kali agar
tetap dalam keadaan suci. Estela mandi yang terakhir, dia segera bangun dan berdiri melakukan
Ibadan supaya tidak tertidur lagi dan agar tidak bermimpi lagi.
(Riwayat Abu Su’ud Al-Haraimi dalam Qalaid Al-Jawahir)

7. Nabi Khidir dengan Abu Bakar Al-Kattani

Abu Bakar Al-Kattani adalah seorang tokoh terkemuka, seorang alim, yang punya kharisma dan kuat
bermujahadah. Diantara mujahadahnya yang sulit ditiru oleh orang biasa adalah dia senantiasa
dalam keadaan suci dalam satu hari satu malam. Berdiam dibawah kubah Masjidil Haram selama tiga
puluh tahun dan tidak pernah tidur.

Pada suatu hari, seorang laki-laki berwibawa masuk melalui pintu Abi Syaibah, lalu mendekatinya
dan memberi salam kepadanya sambil berkata, “hai, Abu Bakar, mengapa anda tidak pergi ke
maqam Ibrahim bersama orang-orang yang saling mendengarkan pelajaran hadits Nabi ?”.

Abu Bakar mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai guruku, kebanyakan hadits-hadits yang
disampaikan mereka itu semuanya tanpa sanad, sedangkan aku dapat menjelaskan dari sini dengan
sanad-sanadnya yang panjang”.

Laki-laki itu bertanya kembali, “Dari siapa anda mendengarnya ?”.

Abu Bakar menjawab, “Tuhan sendiri yang mengajarkan ke dalam hatiku”.

“Coba buktikan hal itu kepadaku !” Pinta lelaki itu yang tak lain adalah Nabi Khidir.

Jawab Abu Bakar, “Buktinya adalah bahwa kamu tidak lain adalah Khidzir.

Wiyonggo seto di 04.52

Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi

Minggu, 01 Februari 2015

Sejarah Imam Ghozali


Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thus,
sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool,
yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara.
Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh
dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat
ayah al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah
mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.

Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran yang hakiki sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka
nestapa dan sengsara. Dan di masa kanak-kanak, Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin
Muhammad ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan
akhirnya kembali ke Thus lagi. Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada
seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-Harmain (w. 478 H atau 1085
M). Dari beliau inilah Imam Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu pengetahuan agama
lainnya.

Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan penalaran yang jernih hingga Imam al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai
orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan "laut dalam nan menenggelamkan (bahrun
mughriq)". Ketika gurunya meninggal dunia, al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju ke istana
Nidzam al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Seljuk. Karena kehebatan
ilmunya, akhirnya pada tahun 484 atau 1091 Nidzam al-Mulk mengangkat Imam Ghazali sebagai
guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad.

Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad, beliau masih sempat mengarang sejumlah


kitab seperti;

Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm al-Jadal (Ilmu Berdebat),
Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma'akhidz, dan Al-Mabadi' wa al-Ghayat fi Fann al-
Khalaf. 

Begitu juga di tengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan
filsafat klasik seperti filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama
yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan
harapan agar dapat menolongnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan.

Setelah empat tahun, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Lalu ditinggalkannya
kota tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu beliau menuju Syam, hidup dalam Jami'
Umawy dengan kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan pengembaraan ke berbagai padang pasir
untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan
kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.
Kemudian pada suatu waktu, beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar di sana. Hanya saja beliau
menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu lagi. Setelah menjadi guru besar
dalam berbagai ilmu pengetahuan agama, sekarang tugas beliau menjadi imam ahli agama dan
tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Kitab pertama yang beliau karang setelah
kembali ke Baghdad ialah kitab Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini
dianggap sebagai salah satu buku referensi yang paling penting bagi sejarawan yang ingin
mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan Imam Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan
sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan.
Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang,
bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana
mencapai pengetahuan sejati (ilmu yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara
ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.

Sekembalinya Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan sibuk
mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota
kelahirannya, pada tahun 505 H atau 1111 M.

Berikut kisah tentang Imam Ghozali berguru pada tukang sol sepatu

Suatu ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama
Ahmad tidak mau berjamaah bersama Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :

 "Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak
menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya".

Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al
Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, shalat bermakmum kepada Al Ghazali.Namun
ditengah-tengah shalat, Ahmad melihat darah membasah perut Imam. Tentu saja Ahmad
memisahkan diri.

Seusai shalat Imam Al Ghazali bertanya kepada Ahmad, saudaranya itu : " Mengapa engkau
memisahkan diri (muffaragah) dalam shalat yang saya imami ? " .  Saudaranya menjawab : "Aku
memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah ".

Mendengar jawaban saudaranya itu, Imam Ali Ghazali mengakui, hal itu mungkin karena dia ketika
shalat hatinya sedang mengangan-angan masalah fiqih yang berhubungan haid seorang wanita yang
mutahayyirah.
Al Ghazali lalu bertanya kepada saudara : "Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti
itu ?" Saudaranya menjawab, "Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy AL-Khurazy yaitu seorang
tukang jahit sandal-sandal bekas (tukang sol sepatu) . " Al Ghazali lalu pergi kepadanya.

Setelah berjumpa, Ia berkata kepada Syekh Al khurazy : " Saya ingin belajar kepada Tuan ". Syekh itu
berkata : Mungkin saja engkau tidak kuat menuruti perintah-perintahku ".

Al Ghazali menjawab : "Insya Allah, saya kuat ".

Syekh Al Khurazy berkata : "Bersihkanlah  lantai ini ".

Al Ghazali kemudian hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : "Sapulah (bersihkanlah) dengan
tanganmu ". Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang
banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.

Namun Syekh berkata : " bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu ".

Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang
demikian itu Syekh berkata : "Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu" 

Al Ghazali menuruti perintah Syekh Al Khurazy dengan  ridha dan tulus.

Namun ketika Al Ghazali hendak akan mulai melaksanakan perintah Syekh tersebut, Syekh langsung
mencegahnya dan memerintahkan agar pulang. 

Al Ghazali pulang dan setibanya di rumah beliau merasakan mendapat ilmu pengetahuan luar biasa.
Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu Kasyaf yang diperoleh dari tasawuf atau
kebersihan qalbu kepadanya. 

6 persoalan hidup menurut Imam Ghozali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu ia bertanya kepada mereka,
“Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab orang
tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi
menurut Imam Ghozali yang paling dekat dengan manusia adalah “mati”. Sebab itu sudah janji Allah
SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Lihat QS. Ali Imran ayat 185)

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia
ini?”. Murid -muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu
Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang
paling benar adalah “masa lalu”. Bagaimanapun kita, apapun kenderaan kita, tetap kita tidak bisa
kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang
dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia
ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar
kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “nafsu” (Al A’Raf 179).
Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab dengan
jawaban, baja, besi, dan gajah. “Semua jawaban hampir benar,” kata Imam Ghozali, “tapi yang paling
berat adalah “memegang AMANAH” sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 72.

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta
mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya
menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak
bisa memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”. Ada yang menjawab kapas,
angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia
ini adalah meninggalkan sholat. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan solat, gara-gara meeting kita
tinggalkan sholat.

Lantas pertanyaan ke enam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya
menjawab dengan serentak, pedang… Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “lidah
manusia”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan
saudaranya sendiri.

Tanda tanda kematian 

Tanda-tanda kematian menurut ulama adalah benar dan nyata, hanya amalan dan ketakwaan kita
saja yang akan dapat membedakan kepekaan kita kepada tanda-tanda ini. Rasulullah SAW
diriwayatkan, masih mampu memperlihat dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara
langsung akan kesukaran menghadapi sakaratul maut dari awal hingga akhir hayat Baginda. 

Diriwayatkan Imam Ghozali memperolehi tanda-tanda ini sehingga beliau mampu mempersiapkan
dirinya untuk menghadapi sakaratulmaut secara sendirian. Beliau menyediakan dirinya dengan
segala persiapan termasuk mandinya, wuduk serta kafannya, hanya ketika sampai bahagian tubuh
dan kepala saja beliau telah memanggil abangnya yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal untuk
menyambung tugas tersebut. Beliau wafat ketika Imam Ahmad bersedia untuk mengkafankan
bahagian mukanya.

Adapun riwayat-riwayat ini memperlihatkan kepada kita sesungguhnya Allah SWT tidak pernah
berlaku zalim kepada hambanya. Tanda-tanda yang diberikan adalah untuk menjadikan kita umat
Islam supaya dapat bertobat dan selalu siap dalam perjalanan menghadap Allah SWT.

Walau bagaimanapun, semua tanda-tanda ini akan berlaku kepada orang-orang Islam saja,
sedangkan orang-orang kafir yaitu orang yang menyekutukan Allah, nyawa mereka ini akan dicabut
tanpa peringatan sesuai dengan kekufuran mereka kepada Allah SWT.

Adapun tanda-tanda ini terdiri beberapa keadaan :

100 Hari Sebelum Hari Kematian

Ini adalah tanda pertama dari Allah SWT kepada hambanya dan hanya akan disadari oleh mereka-
mereka yg dikehendakinya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini,
hanya apakah mereka sadar atau tidak saja. Tanda ini akan berlaku lazimnya setelah waktu Asar.
Seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki akan mengalami getaran, seakan-akan
menggigil.

Contohnya seperti daging sapi/kambing yang baru disembelih, dimana jika diperhatikan dengan teliti
kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya nikmat, dan bagi
mereka yang sadar dan berdetak di hatinya bahwa mungkin ini adalah tanda kematian maka getaran
ini akan berhenti dan hilang setelah sadar akan kehadiran tanda ini.

Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa
memikirkan soal kematian , tanda ini akan lenyap begitu saja tanpa ada manfaat. Bagi yang sadar
dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah peluang terbaik untuk memanfaatkan masa yang ada
untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah
mati.

40 Hari Sebelum Hari Kematian

Tanda ini juga akan terjadi sesudah waktu Asar. Bagian pusat kita akan berdenyut-denyut. Pada
ketika ini daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pohon yang letaknya di atas Arash Allah swt.
Maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai membuat persediaannya ke atas kita
antaranya adalah ia akan mulai mengikuti kita sepanjang waktu.

Akan terjadi malaikat maut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas dan jika ini terjadi, mereka
yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung seketika. Adapun malaikat maut ini wujudnya
cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa
yang akan dicabutnya.

7 Hari Sebelum Hari Kematian

Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah sakit di mana
orang sakit yang tidak makan secara tiba- tiba dia berselera untuk makan.

3 Hari Sebelum Hari Kematian

Pada masa ini akan terasa denyutan di bahagian tengah dahi kita yaitu diantara dahi kanan dan kiri.
Jika tanda ini dapat diketahui/ dipahami maka berpuasalah kita setelah itu supaya perut kita tidak
mengandungi banyak najis dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan kita
nanti.

Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan
perlahan-lahan turun, dan ini dapat diketahui jika kita melihatnya dari bahagian sisi. Telinganya akan
layu dimana bahagian ujungnya akan berangsur-angsur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang
terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.

1 Hari Sebelum Hari Kematian

Akan berlaku sesudah waktu Asar di mana kita akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang
yaitu di bahagian ubun-ubun di mana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu
Asar keesokan harinya.

Tanda akhir

Akan berlaku keadaan di mana kita akan merasakan satu keadaan dingin di bahagian pusat dan akan
turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bahagian halkum. Ketika ini hendaklah kita terus
mengucap kalimah syahadah dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikatmaut untuk
menjemput kita kembali kepada Allah SWT yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan
mematikan pula.

Karya Sang Hujjatul Islam

Puluhan karya yang ditulisnya merupakan bukti kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki Al-
Ghazali.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii atau lebih dikenal dengan
nama Imam Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh Muslim terkemuka sepanjang zaman. Ia dikenal
sebagai seorang ulama, filsuf, dokter, psikolog, ahli hukum, dan sufi yang sangat berpengaruh di
dunia Islam.Selain itu, berbagai pemikiran Algazel–demikian dunia Barat menjulukinya–juga banyak
mempengaruhi para pemikir dan filsuf Barat pada abad pertengahan.

Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sungguh fenomenal. ”Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali
begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa,” tutur Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul
Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London, 

Salah seorang pemikir Kristen terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-
Ghazali, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M). Aquinas merupakan filsuf yang
kerap dibangga-banggakan peradaban Barat. Ia telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa
telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sangat
mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan
dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.

Perbedaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen, terletak
pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filsuf
metafisik non-Islam, seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan.
Sedangkan, Aquinas mengakomodasi buah pikir filsuf Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya
filsafatnya.

Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk pemikiran
filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-
Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang
didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya
membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal
sebagai teori occasionalism.
Sosok Al-Ghazali sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Baginya, filsafat yang dilontarkan
pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, melainkan
komponen penting buat pembelajaran dirinya.

Filsafat dipelajar Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafat pun telah
ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain, Maqasid al-Falasifah (The Intentions
of the Philosophers) (maksud tujuan filsafat)  Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang sangat
termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers).(kehancuran kaum
filsafat) 

Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan
syariah. Konsep-konsep sufisme begitu baik dikawinkan sang pemikir legendaris ini dengan hukum-
hukum syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal
dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritik aliran
lainnya. Ia tertarik dengan sufisme sejak berusia masih belia.

Sebagai pimpinan komunitas intelektual Islam, Al-Ghazali begitu sibuk mengajarkan ilmu hukum
Islam di madrasah yang dipimpinnya. Empat tahun memimpin Madrasah Nizamiyyah, Al-Ghazali
merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Batinnya dilanda kegalauan. Ia merasa telah jatuh
dalam krisis spiritual yang begitu serius. Al-Ghazali pun memutuskan untuk meninggalkan Baghdad.

Kariernya yang begitu cemerlang ditinggalkannya. Setelah menetap di Suriah dan Palestina selama
dua tahun, ia sempat menunaikan ibadah Haji ke Tanah Suci, Makkah. Setelah itu, Al-Ghazali kembali
ke tanah kelahirannya. Sang ulama pun memutuskan untuk menulis karya-karya serta
mempraktikkan sufi dan mengajarkannya.

Apa yang membuat Al-Ghazali meninggalkan kariernya yang cemerlang dan memilih jalur sufisme?
Dalam autobiografinya, Al-Ghazali menyadari bahwa tak ada jalan menuju ilmu pengetahuan yang
pasti atau pembuka kebenaran wahyu kecuali melalui sufisme. Itu menandakan bahwa bentuk
keyakinan Islam tradisional mengalami kondisi kritis pada saat itu.

Keputusan Al-Ghazali untuk meninggalkan kariernya yang cemerlang itu, sekaligus merupakan
bentuk protesnya terhadap filsafat Islam. Al-Ghazali wafat di usianya yang ke-70 pada tahun 1128 M
di kota kelahirannya, Thus. Meski begitu, pemikiran Al-Ghazali tetap hidup sepanjang zaman.

Karya-karya Sang Sufi

Selama masa hidupnya (70 tahun), Imam Al-Ghazali banyak menulis berbagai karya dalam sejumlah
bidang yang dikuasainya. Mulai dari fikih, tasawuf (sufisme), filsafat, akidah, dan lainnya.
Dalam kitab Mauqif Ibn Taimiyyah min al-Asya’irah dan Thabawat Asy-Syafi’iyyah karya
Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif. Sejumlah
karyanya kini tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Bidang Ushuluddin dan Akidah

1. Arba’in Fi Ushuliddin merupakan juz kedua dari kitabnya, Jawahir Alquran.

2. Qawa’id al-’Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.

3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.

4. Tahafut Al Falasifah berisi bantahan Al-Ghazali terhadap pendapat dan pemikiran para filsuf,
dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.

5. Faishal At-Tafriqah Bayn al-Islam Wa Zanadiqah.

Bidang Usul Fikih, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf

1. Al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul

2. Mahakun Nadzar

3. Mi’yar al’Ilmi

4. Ma’arif al-`Aqliyah

5. Misykat al-Anwar

6. Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna

7. Mizan al-Amal

8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi

9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fi al-Masa1il Ukhrawiyah

10. Ma’arij al-Qudsi fi Madariji Ma’rifati An-Nafsi

11. Qanun At-Ta’wil

12. Fadhaih Al-Bathiniyah

13. Al-Qisthas Al-Mustaqim

14. Iljam al-Awam ‘An ‘Ilmi al-Kalam

15. Raudhah ath-Thalibin Wa Umdah al-Salikin

16. Ar-Risalah Al-Laduniyah


17. Ihya` Ulum al-din

18. Al-Munqidzu Min adl-Dlalal

19.Al-Wasith

20. Al-Basith

21. Al-Wajiz

22. Al-Khulashah

23. Minhaj al-’Abidin

Dalam ilmu filsafat 

1. Maqosyidul falasifah

2. Tachafudzul falasifah 

3, Tachrirul Falasifah 

4. Tobaqotul Masyriqiyah

Masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali. Begitu banyak karya yang dihasilkan, menunjukkan
keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Ghazali. Ia merupakan pakar dan ahli dalam bidang fikih, namun
menguasai juga tasawuf, filsafat, dan ilmu kalam. Sejumlah pihak memberikan gelar padanya sebagai
seorang Hujjah al-Islam.

Ihya ‘Ulum al-Din; Magnum Opus Al-Ghazali

Salah satu karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal di dunia adalah kitab Ihya` Ulum al-din. Kitab
ini merupakan magnum opus atau masterpiece Al-Ghazali. Bahkan, kitab ini telah menjadi rujukan
umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia dalam mempelajari ilmu tasawuf. Di dalamnya,
dijelaskan tentang jalan seorang hamba untuk menuju ke hadirat Allah.

Saking luas dan dalamnya pembahasan ilmu tasawuf (jalan sufi) dalam karyanya ini, sejumlah ulama
pun banyak memberikan syarah (komentar), baik pujian maupun komentar negatif atas kitab ini.
Syekh Abdullah al-Idrus

”Pasal demi pasal, huruf demi huruf, aku terus membaca dan merenunginya. Setiap hari kutemukan
ilmu dan rahasia, serta pemahaman yang agung dan berbeda dengan yang kutemukan sebelumnya.
Kitab ini adalah lokus pandangan Allah dan lokus rida-Nya. Orang yang mengkaji dan
mengamalkannya, pasti mendapatkan mahabbah (kecintaan) Allah, rasul-Nya, malaikat-Nya, dan
wali-wali-Nya.”

Imam an-Nawawi

”Jika semua kitab Islam hilang, dan yang tersisa hanya kitab al-Ihya`, ia dapat mencukupi semua kitab
yang hilang tersebut.”

Imam ar-Razi

”Seolah-olah Allah SWT menghimpun semua ilmu dalam suatu rapalan, lalu Dia membisikkannya
kepada Al-Ghazali, dan beliau menuliskannya dalam kitab ini.”

Abu Bakar Al-Thurthusi

”Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Saya tidak
tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur
dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasa`il Ikhwan ash-Shafa. Mereka adalah
kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” 

Sebagian ulama ada pula yang mengkritik karya Imam Al-Ghazali ini karena memuat sejumlah hadis,
yang diduga beberapa sanadnya terputus. Wa Allahu A’lam. 

Dan bagi pribadi saya sendiri Imam Ghozali adalah wasilah untuk saya mengetahui ilmu fiqh.
tashowuf . Filsafat dll
Nasab ilmu fiqh yang saya yakini adalah lewat Imam Ghozali sebelum ke Imam Syafi'i dan keatas
sampai Rosululloh SAW.

Wiyonggo seto di 12.02

Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi

Minggu, 01 Februari 2015

Sejarah Wali Abdal

Dalam al-Ma‘azi disebutkan bahwa ia adalah al-Syaikh al-Arif, al-Shiddiq al-Akbar, Abu Madyan
Syu‘aib ibn al-Husain al-Anshari. Ia berasal dari Qutniyanah Sevilla Spanyol beliau tinggal beberapa
lama di Jayy, dan kemudian mengajak para pengikutnya pindah ke Marakis. Ia meninggal dunia
sebelum tiba di tempat tujuannya, dan dimakamkan di dekat kota itu. 

Kami berpendapat bahwa ia meninggal di lembah dekat Tilmisan yang pernah ia datangi pada 594 H.
Sebagian mengatakan ia pernah ke sana pada 588 H. Namun, pendapat pertama lebih populer. Ia
dikebumikan di daerah Abad, dekat Tilmisan. Pendapat ini di antaranya dituturkan oleh al-Tadili.

Abu al-Shabr Ayyub ibn Abdillah al-Fihri ketika memperkenalkan Syekh Abu Madyan berkata, “Ia
seorang zahid yang mulia dan mengenal Allah.”

Ia juga berkata, “Syekh adalah seorang zahid, warak, dan berpengetahuan luas. Ia mengarungi lautan
ahwal (kondisi ruhani) serta mendapatkan berbagai rahasia makrifat, terutama maqam tawakal.
Tidak ada yang sama dengannya dan jejaknya dikenal banyak orang.” 

Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Pengetahuannya luas, selalu menjaga murâqabah, dan
setiap saat menghadap kepada Allah dengan hatinya sehingga keadaan itu menjadi salah satu
cirinya.”

Sementara, Abu al-Abbas Zaruq berkata, “Ia selalu memasuki kondisi khalwat dengan kalimat lâ ilâha
illallâh wahdahu lâ syarîka lahu. Lahu al-Mulk wa lahu al-hamd yuhyî wa yumîtu wa huwa alâ kulli
syay’in qadîr.”

Ia memiliki keistimewaan dalam maqam tawakal. Karena itu, tidak ada yang sama dengannya dan
kedudukannya sulit ditandingi.

Ketika bercerita tentang Syekh Abu Madyan, penulis al-Najm berkata, “Sayyid Abu Madyan adalah
pemimpin para arif dan teladan para salik. Ia adalah tokoh istimewa dan wali Allah yang berada di
garis terdepan. Allah menghimpun pada dirinya ilmu syariat dan hakikat. Dengannya Allah terangi
rambu-rambu tarekat. Allah menjadikannya sebagai salah satu pilar alam maujud. Ia dimunculkan di
wilayah Maroko sebagai pemberi petunjuk dan penyeru seluruh makhluk. Murid-muridnya datang
dari berbagai penjuru dunia hingga ia dikenal dengan gelar Syaikh al-Syuyûkh (mahaguru).

Ibn Badis, Ibn al-Khatib, Ibn al-Zayyat dan para pengagumnya yang lain mengatakan, “Lewat
tangannya lahir seribu syekh yang merupakan wali Allah. Mereka semua memiliki karamah dan doa
mereka mustajab.”

Kami hendak menyebutkan sebagian gambaran yang mereka tuturkan dengan harapan semoga kita
mendapat berkah dari jejak-jejak mereka itu:

Apabila tokoh-tokoh dari Andalusia disebutkan, sang guru berkata, “Orang Andalusia terbaik adalah
Syuaib.”

Abu Madyan memiliki berkah dan berbagai karamah yang menakjubkan. Ia sering mengunjungi
majelis para ulama.

Al-Tadili meriwayatkan dari Muhammad ibn Ibrahim ibn Muhammad al-Anshari yang mendengar
Abu Madyan bercerita tentang awal mula kehidupannya: “Aku seorang yatim dari Andalusia.
Saudara-saudaraku mempekerjakanku sebagai gembala ternak mereka. Setiap kali melihat orang
yang shalat atau membaca Al-Quran, aku selalu tertarik dan terpesona. Maka, aku mendekati dan
memperhatikan mereka. Tetapi aku sering kali berduka lantaran tidak hafal Al-Quran dan tidak tahu
cara shalat. Ketika itulah muncul tekad kuat dalam diriku untuk meninggalkan gembalaan agar bisa
belajar Al-Quran dan shalat. Saat aku berlari meninggalkan gembalaan, salah seorang saudaraku
berlari mengejarku, mengacungkan tombak, dan berteriak, ‘Demi Allah, kalau tidak kembali, kau
akan kubunuh.’ Mendengar ancamannya, aku berhenti dan memutuskan menetap kembali di sana
beberapa waktu. Namun, aku telah bertekad meninggalkan tempat itu. Suatu malam aku pergi lewat
jalan lain. Namun, saat matahari baru terbit, saudaraku berhasil mengejarku. Ia berkata, ‘Demi Allah,
akan kubunuh kau agar aku merasa tenang.’ Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu
menyabetkannya kepadaku. Kutangkis sabetan pedangnya itu dengan tanganku. Aku tersentak
kaget, pedang itu hancur berantakan. 

Menyaksikan keanehan itu, saudaraku menangis dan berkata, ‘Hai saudaraku! Pergilah ke mana pun
kausuka.’ Tanpa pikir panjang lagi, aku pergi meninggalkannya menuju laut, lalu menyeberang ke
Thanja. Aku bergerak menuju pelabuhan Ceuta dan bekerja sebagai buruh untuk sejumlah nelayan.
Setelah beberapa lama, aku pergi berlayar ke Marakis.”

Ia melanjutkan kisahnya, “Setibanya di pantai, aku melihat sebuah kemah besar. Lalu, tiba-tiba
seorang laki-laki keluar dari kemah itu menemuiku. Ia menyangka aku melarikan diri dari agama
Nasrani. Setelah beberapa lama mengobrol, ia lemparkan kail ke laut memancing ikan. Saat
mendapatkan ikan, ia langsung membersihkannya dan memberikannya kepadaku. Aku menerimanya
dengan senang hati dan memakannya. Setiap kali aku merasa lapar, ia melakukan hal serupa.

Setelah itu ia berkata, ‘Hai Fulan, sepertinya kau punya tujuan tertentu datang ke sini. Ketahuilah,
Allah tidak boleh disembah tanpa ilmu. Karena itu, pergilah ke kota untuk belajar agama.’
Maka, aku segera berjalan menuju kota Sala, kemudian ke Marakis. Saat tiba di Andalusia,
penduduknya mendaftarkanku menjadi tentara. 

Beberapa lama bergabung dengan pasukan, mereka hanya memberiku sedikit jatah makan,
sementara mereka sendiri makan sepuasnya. 

Beberapa orang bijak yang kutemui di sana memberi nasihat, “Jika kau ingin fokus beribadah, kau
harus pergi ke kota Fes.” Karena memang itu telah menjadi tujuanku, aku segera pergi ke sana
meninggalkan barak tentara. Kuhabiskan sebagian besar waktuku untuk belajar dan beribadah di
masjid al-Qurawiyyin. Di sanalah aku belajar wudu dan shalat. Aku tak pernah absen menghadiri
majelis ilmu yang digelar di sana. Namun, meski banyak ulama yang menyampaikan nasihat dan
peringatan, tak seorang pun berkesan di hatiku hingga aku mendengar ceramah seorang syekh yang
menggugah jiwaku. 

Ketika kutanyakan kepada orang-orang tentang syekh itu, mereka menjawab, “Ia Abu al-Hasan ibn
Harzahem. Setelah mengenal namanya, aku berusaha menemuinya dan kusampaikan kepadanya
bahwa yang kuhafal hanyalah yang kudengar darinya. Syekh berkata, ‘Kebanyakan orang hanya
berbicara dengan lisan sehingga ucapannya cuma sampai ke telinga. Sementara, tujuan ucapanku
adalah Allah sehingga keluar dari hati dan masuk ke hati.’ Syekh kemudian bercerita tentang
kunjungannya kepada Abu Ya‘zi.” Itulah penuturan Syekh Abu Madyan mengenai pertemuannya
dengan Abu al-Hasan. 

Syekh Abu Madyan mendampingi dan mengikuti Abu Ali Hasan ibn Muhammad al-Ghafiqi al-
Shawwaf selama tiga puluh tahun. Ia tak pernah meninggalkannya sehingga Syekh Abu Ali Hasan
meninggal dunia. 

Ibn al-Zayyat menuturkan bahwa ia mendengar Syekh Abu Madyan bercerita, “Ketika menetap di
Qutniyanah, muncul hasrat besar dalam diriku untuk meninggalkan dunia. Maka aku pun berjalan
menuju laut Maghrib selama tiga atau empat hari. Di tengah lautan aku melihat pulau kecil yang di
atasnya berdiri sebuah kemah. Dari kemah itu keluar seorang syekh berjubah mendatangiku. Ia
menatapku tajam dan menyangka aku tawanan yang lari dari negeri Romawi. Ia bertanya tentang
diri juga asal-usulku dan kuceritakan semuanya termasuk peristiwa terbaru yang kualami. Kemudian
ia mengambil seutas tali dengan kail di ujungnya, lalu melemparkannya ke laut. Tak lama berselang
ia berhasil mendapatkan ikan dan memberikannya kepadaku. Aku menerima dan memakannya. Aku
tinggal bersamanya selama tiga hari. 

Setiap kali aku merasa lapar, ia lemparkan pancingnya hingga mendapatkan ikan untuk kumakan.
Setelah itu ia berkata kepadaku, “Kelihatannya kau sedang menghendaki sesuatu. Kembalilah ke
kota. Allah hanya disembah dengan landasan ilmu.’ Maka aku kembali ke Sevilla, kemudian ke Seres
dan dari sana menuju pulau hijau. Kuseberangi lautan untuk mencapai pelabuhan Ceuta. Dari sana
aku bergerak ke Fes, dan di sanalah aku bertemu dengan beberapa syekh. Aku mendapatkan
pelajaran Ri’âyah al-Muhâsibi dan Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn dari Syekh Abu al-Hasan ibn Hazrahem. Aku juga
mempelajari kitab al-Sunan karya Abu Isa al-Tirmidzi dari Abu al-Hasan Ali ibn Ghalib. Aku belajar
tasawuf dari Abu Abdillah al-Daqqaq dan Abu al-Hasan al-Salawi.”
Dalam tulisan yang lain Syekh berkata, “Aku mengenakan khirqah  dari Abu Ya‘zi, yang ia kenakan
dari gurunya, Abu Syuaib, sementara yang terakhir mengenakan khirqah dari beberapa orang
gurunya.

Menurut mereka, kelompok-kelompok sufi terbagi dua. Pertama, orang yang hanya sebatas berguru
dan meneladani. Kedua, berguru, meneladani, mengenakan khirqah, serta mendiktekan zikir dan
berjabat tangan. 

Jadi, orang yang mengingkarinya hanyalah orang yang bodoh dan tidak pernah bersentuhan atau
mengenal jalan ini. 

Syekh Abu Madyan berkata, “Aku menetap di Fes untuk mempelajari satu ayat Al-Quran dan hadis.
Setelah belajar, aku menuju sebuah tempat di pegunungan yang arahnya tembus ke pantai. Di
tempat itulah aku mengamalkan ayat dan hadis yang kupelajari. Setelah itu aku kembali ke Fes untuk
mempelajari satu ayat dan hadis yang kemudian kembali kuamalkan. Tempat yang kutinggali di
pegunungan itu berupa bangunan yang sudah rusak. Hanya ruangan tempat shalat yang tersisa dari
bangunan itu. Setiap kali aku duduk di dalam tempat shalat itu seekor kijang betina datang
menghampiri. Aku tidak tahu, mungkin kijang itu tadinya mencari pemilik bangunan ini yang sudah
pergi. Mungkin kijang itu terus datang ke sana karena merasa nyaman, atau mungkinkah ia sengaja
datang kepadaku?! Entahlah, tetapi yang jelas kijang itu selalu datang setiap kali aku berada di sana.
Ia mencium tubuhku dari atas sampai bawah kemudian merebahkan diri di hadapanku. Pada hari
Kamis aku pergi ke Fes dan malam Jumat menginap di sana. Suatu hari aku bertemu seorang dari
Andalusia, Abu Abdillah ibn Abi Haj. Kutanyakan kepadanya tentang pakaianku yang ada padanya. Ia
bertanya, “Apa yang hendak kaulakukan dengan pakaian itu?”

“Aku ingin menjualnya dan uangnya akan kuberikan kepada seseorang sebagai jamuan untuknya.” 

Ia menjawab, “Ambillah sepuluh dirham ini dan berikanlah kepadanya!” 

Setelah menerima uang itu aku mencari orang yang kumaksud, tetapi aku tak melihatnya. Akhirnya,
uang itu kusimpan dalam sebuah kantong, tergantung di ikat pinggangku.”

Dalam sejumlah riwayat disebutkan, “Kupegang uang itu, kemudian aku pergi ke tempatku di
pegunungan melewati sebuah desa yang di dalamnya banyak anjing. Semakin dekat ke desa itu,
semakin nyaring bunyi gonggongan anjing yang kudengar. Saat memasuki desa itu, anjing-anjing
serabutan seperti hendak menyerangku. Mereka menyalak keras. Untung saja penduduk desa
melindungiku hingga aku bisa meneruskan perjalanan dan sampai di tempatku di pegunungan.
Setibanya di bangunan rusak itu, kijang betina kembali datang menciumku. Tetapi ia segera
menjauhiku dengan sorot mata tidak bersahabat. Lalu ia kembali datang untuk kedua dan ketiga kali,
tetapi langsung menandukku. 

Kuterima tanduknya dengan tanganku, dan kijang itu pun berbalik pergi. Aku merenung memikirkan
tingkah kijang itu yang tak seperti biasanya, begitu pula anjing-anjing di desa tadi yang tidak
bersahabat. Setelah lama berpikir, aku baru sadar, semua itu terjadi lantaran uang yang tergantung
di ikat pinggangku. Maka, aku langsung melepas kantong itu dan melemparnya ke sebuah sudut.
Kijang itu kembali datang, menatapku, dan merebahkan tubuhnya seperti biasa. Aku bermalam di
tempat itu. Keesokan paginya, aku mengambil kantong uang itu lalu kubawa kembali ke Fes. 

Setibanya di sana, aku segera mencari orang yang berhak atas uang itu. Setelah kutemukan orang
itu, aku segera memberikan kantong uang itu dan aku pun kembali pulang ke tempatku di gunung.
Aku kembali melewati desa yang banyak anjing, tetapi anjing-anjing itu terlihat jinak. Mereka hanya
memandang ke arahku sambil mengibas-kibaskan ekor, tak ada seekor pun yang menyalak keras ke
arahku hingga aku tiba di gunung. Kijang itu juga datang menghampiri. Ia menciumku dari bawah
hingga ke kaki. Setelah itu ia merebahkan diri di depanku.’” 

Syekh Abu Madyan mengalami begitu banyak mujahadat dan perjuangan, terutama dalam hal
tawakal. Ia juga memiliki banyak karamah.

Abu Ali Hasan ibn Muhammad al-Ghafiqi al-Shawwaf mendengar Abu Madyan berkata, “Orang yang
mencari karamah sama seperti penyembah berhala. Ia mengerjakan shalat hanya untuk melihat
karamah.”

Ia berkata, “Aku melihat orang yang wushul hanya dalam enam bulan.” Ketika dikatakan kepadanya
sejumlah rintangan seperti yang disebutkan oleh Hujjatul Islam dalam Minhâj al-‘Abidîn, ia bilang,
“Aku telah melihat orang yang menempuhnya dalam tujuh puluh tahun. Ia menempuh setiap
rintangan darinya dalam waktu sepuluh tahun. Namun, aku juga melihat orang yang melewati
seluruh rintangan hanya dalam waktu satu jam. Ibrahim ibn Adham, misalnya, hanya melewatinya
dalam waktu satu jam berkat taufik dari Allah.”

Al-Tadili meriwayatkan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Khalish dari Abu al-Rabi’ al-Madyuni yang
berkata, “Seorang ahli mukasyafah mendatangi murid-murid Abu Madyan. Ada beberapa hal yang
tidak disukainya dari mereka yang kemudian ia laporkan kepada Abu Madyan. 

Setelah orang itu pergi, Abu Madyan berkata kepada murid-muridnya, ‘Biarkanlah ia. Anugerah yang
diberikan kepadanya akan hilang.’ Ternyata mukasyafah yang ia miliki lenyap. Na‘ûdzu billâh. Orang
itu kembali menjadi kalangan biasa.”

Ia menjadikan Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn sebagai bacaan utamanya. Buku Risâlah al-Qusyairiyyah juga selalu
dibacakan di hadapannya sehingga berbagai jenis ilmu ladunni terlimpah kepadanya.

Suatu hari, seperti diceritakan orang yang bisa dipercaya, di sebuah majelis ketika seseorang hendak
membaca sebagaimana biasanya, Syekh berkata, “Tunggu sebentar!” Lalu, ia berpaling kepada
seseorang yang ternyata datang untuk menyanggah dan mengkritik Syekh. “Apa maksud
kedatanganmu?” tanya Syekh. 

Orang itu menjawab, “Aku datang untuk mereguk sebagian cahayamu.” 

“Apa isi bungkusanmu itu?” tanya Syekh lagi. 


“Mushaf.” 

“Keluarkan!” 

Orang itu mengeluarkan mushaf dari kantongnya. Abu Madyan berkata, “Bacalah baris pertama!” Ia
membuka dan membaca baris pertama: orang-orang yang mendustakan Syu‘aib itulah yang merugi. 

Syekh Abu Madyan berujar, “Apakah ayat ini tidak cukup bagimu?” Orang itu akhirnya bertobat.

Ketika keinginannya untuk belajar kepada para syekh terpenuhi, mata hatinya terbuka, jiwanya
bersinar, dan ia mendapat petunjuk dari Tuhan. Dan saat beberapa gurunya meninggal dunia, ia
pindah ke daerah timur. Ia berjumpa dengan beberapa syekh lain, mereguk cahaya mereka,
mengambil pelajaran dari para zahid di antara mereka, serta mendapat banyak ilmu dari para alim
dan para wali.

Kemudian ia dipertemukan dengan seorang syekh yang mulia, yang fasih berbicara dan menulis,
yang kokoh hati dan langkahnya, pemimpin para arif, Abu Muhammad Abdul Qadir al-Jailani. Ia
belajar banyak hadis darinya di tanah suci. Syekh Abdul Qadir menganugerahinya pakaian tasawuf, 

menyingkapkan untuknya banyak rahasia, serta menghiasinya dengan busana cahayanya. 

Diceritakan bahwa Sayyid Abu Madyan sangat bangga bisa bersahabat dengan Sayyid Abdul Qadir,
yang ia anggap sebagai salah satu guru utamanya. Setelah itu, Abu Madyan kembali ke Timur,
tempat cahayanya semakin terang bersinar.

Ia sering pulang pergi ke Afrika hingga akhirnya menetap di Bijayah. Allah membuatnya suka tinggal
di kota itu. 

Ia berkomentar, “Kota ini membantuku mendapatkan sesuatu yang halal.”

Penulis kitab al-Najm berkata, “Abu Madyan rahimahullâh termasuk pemimpin ulama dan penghafal
hadis. Ia dapat menjawab berbagai fatwa dalam Mazhab Maliki yang ditanyakan kepadanya.”

Ia memiliki sebuah majelis ilmu tempatnya menyampaikan berbagai nasihat kepada jamaah yang
datang dari berbagai penjuru. Dikisahkan bahwa kadang-kadang ketika ia berbicara dan ada burung
yang lewat, burung itu berhenti di udara. Ada sebagian burung itu yang mati dan jatuh ke tanah, dan
banyak pula yang mati di majelisnya. 

Dikisahkan pula bahwa ketika membaca Al-Quran, Syekh Abu Madyan tidak melampaui surah al-
Mulk, karena rasa takutnya yang sangat besar kepada Allah sehingga tak kuasa melanjutkannya.

Gurunya, Sayyid Abu Ya’zi bercerita, “Ia pernah membaca sampai akhir surah al-Zalzalah. Ketika
bacaannya sampai pada ayat, “Siapa yang melakukan amal kebaikan meski seberat biji sawi, niscaya
ia akan mendapat balasannya. Sebaliknya, siapa yang melakukan keburukan meski seberat biji sawi,
niscaya ia akan mendapatkan balasannya,”  ia berkata, ‘Cukuplah itu bagiku.’”
Ketika Syekh Abu Madyan menetap di Bijayah, para ulama, pejabat, dan pembesar setempat
mendatanginya. Mereka mengetahui ketinggian ahwal, ilmu, dan pandangannya. Tetapi ada seorang
alim yang tidak pernah mendatanginya, yaitu Abu Muhammad Abdul Haq al-Asybili. Ia dikenal
sebagai pemuka ahli ilmu, hadis, dan nasihat. Ia juga menulis beberapa buku, di antaranya al-Ahkâm
al-Kubrâ wa al-Shugrâ fî al-Hadîts, dan al-‘Âqibah fî al-Tadzkîr. 

Ia berkata, “Dari sisi ilmu, ia bersama kami, tetapi dari sisi amal, kami masih harus berjuang untuk
mengikutinya.”

Suatu ketika ia bermimpi melihat Nabi saw. berkata kepadanya, “Temuilah Abu Madyan dan bacalah
Al-Quran di hadapannya.”

Ketika bangun ia mengucap, “Subhânallâh. Aku bisa membaca Al-Quran dengan tujuh bacaan,
menghafal tafsir beserta penjelasannya, dan juga menghafal banyak hadis. Mengapa aku bermimpi
seperti ini?” Maka, ia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pada malam kedua ia kembali bermimpi bertemu Nabi saw. yang mengucapkan perintah serupa.
Begitu pun pada malam ketiga. Ia langsung bangun membulatkan tekadnya, dan berkata, “Tentu ini
petunjuk dari Allah.” Kemudian ia pergi menemui seorang Syekh ahli fikih, al-Qadhi al-Shalih Abu Ali
Abdul Haq al-Musayli, penulis al-Tadzkirah dan buku-buku ushuluddin. Keduanya memang
bersahabat dalam hal agama, ilmu, dan amal. Mereka pun bersaudara dalam urusan zuhud,
keyakinan, dan peneladanan terhadap para salaf saleh. Mereka bersepakat menemui Abu Madyan
dan mendengarkan ucapannya. Keduanya telah mendengar sejumlah pengetahuan yang asing,
pemahaman yang menakjubkan, dan rahasia makrifat tersembunyi yang berasal darinya. Mereka
ingin mengetahui langsung apa yang terdapat padanya.

Keduanya segera beranjak pergi menuju masjid tempat Abu Madyan duduk bersama beberapa
murid khususnya. Mereka masuk dan melihatnya sedang membahas sejumlah hal. Ia mengeluarkan
mutiara dari kedalaman laut. Mereka mengenali keutamaan Syekh Abu Madyan, tetapi belum
mengetahui kedudukannya. Kemudian mereka mengucapkan salam dan duduk di dalam majelis. 

Ketika majelis itu bubar dan ditutup doa, mereka bangkit dan mengucapkan salam kepada Syekh
Abu Madyan, yang langsung berujar, “Orang ini, Abu Muhammad Abdul Haq al-Isybili, adalah
seorang fakih,. Sementara orang kedua adalah Abu Ali al-Musayli.” 

“Benar,” jawab mereka, “Kami mendengar engkau membaca Al-Quran tidak melampaui surah al-
Mulk.”

Syekh menjawab, “Itu adalah surahku. Andaikata aku melampauinya, tentu aku akan terbakar.”
Kemudian Syekh berpaling kepada orang-orang yang berkata dengan bahasa tasawuf, “Ucapkan
dengan-Ku. Tunjukkan kepada-Ku. Dan Seluruhnya adalah Aku.”
Setelah itu Syekh pergi meninggalkan keduanya. Kini, mereka telah mengetahui keutamaannya. 

Mereka tahu bahwa Allah memiliki sejumlah anugerah yang tidak bisa ditampung semata-mata
dengan upaya manusia. Semua keutamaan berada di tangan Allah yang Dia berikan kepada siapa
yang Dia kehendaki. Syekh Abdul Haqq mendatanginya dengan niat tulus, dan ketika mereka
bertemu, Syekh Abu Madyan menampakkan mukasyafahnya dan berkata, “Nabi saw. menyuruhmu
membacakan Al-Quran di hadapanku.” Maka, Syekh Abdul Haqq membaca basmalah dan membaca
surat al-Fatihah sampai habis.

Syekh Abu Madyan berkomentar, “Bacalah dengan tujuh bacaan berbeda.” 

Syekh Abdul Haqq tuntas membaca, Syekh Abu Madyan berkata, “Jelaskan tafsirnya kepadaku.” 

Syekh Abdul Haqq menafsirkannya dari berbagai sisi hingga mencapai ayat, “Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta.” 

Syekh Abu Madyan berkomentar, “Jika kau meminta kepada Allah, tentu kau tidak akan meminta
kepada raja dan menteri.” 

Abu Muhammad Abdul Haqq mengucapkan sesuatu, memotong pembicaraannya sehingga Syekh
Abu Madyan berujar keras, “Jika kau ingin belajar, perhatikan dan sibukkan dirimu dengan sesuatu
yang berguna. Diamlah di rumah! Allah pasti akan mencukupimu dan membuatmu tidak butuh
kepada seluruh makhluk.”

“Engkau benar,” jawab Syekh Abdul Haqq. Kemudian ia beranjak pergi dan berniat menjalankan
nasihat Syekh Abu Madyan.

Diriwayatkan bahwa gubernur dan menteri datang berkunjung ke kota Abu Muhammad, tetapi ia
tidak pergi menemui kedua pejabat itu seperti yang biasa dilakukannya di masa lalu. Maka, kedua
pejabat itu bertanya kepada orang-orang mengenai sikap Syekh Abdul Haqq. Seseorang yang dengki
kepadanya berujar, “Abdul Haqq bersikap sombong kepada penguasa.”

Tetapi sang gubernur berkata, “Ilmu memang harus didatangi, tidak datang sendiri.” Karena itulah si
gubernur itu pun mendatangi Abu Muhammad di rumahnya. 

Sejak saat itu, setiap kali Abu Muhammad mendatangi Syekh Abu Madyan, ia mendapatkan sejumlah
anugerah Tuhan, ilmu laduni, dan berbagai hal menakjubkan lainnya, yang sebagiannya disebutkan
Ibn al-Arabi al-Hatimi yang dikenal dengan Ibn Suraqah.
Kisah tentang mimpi itu diceritakan oleh Abu Zaid Abdurrahman al-Tanmili al-Fihri yang dikenal
dengan nama al-Farmi. Syekh Abu Madyan memiliki ungkapan terkenal dalam bidang tasawuf yang
kemudian disusun oleh para imam.

Di antara ucapannya adalah sebagai berikut:

“Apabila kau melihat orang yang mengaku sedang bersama Allah, sementara lahiriahnya tidak
menunjukkan tanda-tanda kebersamaan dengan-Nya maka kau harus berhati-hati kepadanya!”

“Akhlak yang baik adalah memperlakukan setiap orang dengan sesuatu yang menyenangkan dan
tidak membuatnya kesal. Akhlak kepada ulama adalah menjadi pendengar yang baik dan
menunjukkan rasa butuh. Akhlak kepada ahli makrifat adalah diam dan sabar menunggu. Akhlak
kepada orang yang memiliki kedudukan mulia adalah menunjukkan tauhid dan kondisi papa.”

“Allah Swt. mengetahui segala rahasia dan apa yang tersembunyi pada setiap jiwa. Hati siapa pun
yang lebih mengutamakan-Nya akan dijaga dari berbagai ujian dan fitnah.”

Ketika ditanya tentang sikap pasrah, ia berkata, “Pasrah adalah membiarkan jiwa berada dalam
wilayah keputusan-Nya serta tidak mengasihaninya lantaran ujian dan derita.”

“Orang yang diberi kenikmatan munajat, hilanglah keinginan untuk beristirahat.” 

“Orang yang sibuk mencari dunia akan diuji dengan kehinaan di dalamnya.”

“Allah menjadikan hati pecinta dunia sebagai tempat kelalaian dan bisikan. Sebaliknya, Allah
menjadikan hati para arif sebagai tempat zikir dan kesenangan bersama-Nya.”

“Orang yang mengenali dirinya tidak akan tertipu pujian manusia.”

“Orang yang melayani para saleh derajatnya akan naik. Sementara, orang yang tidak menghormati
mereka, Allah akan membuatnya dimurkai oleh makhluk-Nya.”

“Pecinta dunia dilayani para budak dan gendak, sementara pecinta akhirat dilayani orang-orang yang
merdeka dan mulia.”

“Duka dan kesedihan orang yang bermaksiat lebih baik daripada kesombongan orang yang taat.”

“Tanda ikhlas adalah kau tidak melihat makhluk, karena kau menyaksikan Allah.” 

“Orang arif selalu naik, bertemu lathifah yang berharga, tidak menoleh kepada apa pun. Ia tak puas
dengan Ka‘bah; ia hanya puas dengan Pemilik Ka‘bah.

Ketika ditanya tentang cinta, ia menjawab, “Awalnya berupa ingat terus-menerus, pertengahannya
menikmati zat yang diingat, dan ujungnya hanya melihat Allah.” 
Ketika ditanya tentang sosok Syekh yang mencapai hakikat, ia menjawab, “Syekh adalah orang yang
keistimewaannya disaksikan oleh dirimu serta dihormati dan dimuliakan oleh jiwamu.”

“Syekh adalah yang mendidikmu dengan akhlaknya, mengajarimu dengan diamnya, serta menyinari
batinmu dengan cahayanya.”

Ia berkata, “Tauhid adalah rahasia yang memancarkan sinar dengan kuat dan meninggikan perhatian
dengan kemuliaan akhlak. Tauhid adalah sumber kehidupan, sementara yang lain hanyalah
kematian.”

Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi al-Fadhl ibn Sa‘d al-Tilmisani berkata, “Di antara syair
Syekh al-Imam al-Quthb al-Allamah al-Himam Abu Madyan r.a. adalah yang ditujukan kepada para
syekh, misalnya:

Kita hidup dirahmati dan dipenuhi berkah

Sukacita bertambah, kelapangan sempurna

Waktu semakin bening, dibantu cerah zaman

Kehidupan sangat subur, dan airnya berlimpah 

Hati penuh bahagia dan kabar gembira tersebar

Dada sangat lapang dan benar-benar terasa hidup

Kebahagiaan terbit disertai tanda-tanda yang jelas

Setiap bahagia menjelang, tanda-tandanya terbaca

Meskipun musuh mengepung dari timur dan barat

Alhamdulillah, segala yang mati telah terangkat 

Sebagaimana dituturkan Ibn Jarir, Syekh Ibn Abi al-Fadhl berkata kepada Syekh Abu Madyan r.a.:

Wahai yang tinggi dan menyaksikan yang ada dalam hati

Serta yang ada di bawah tanah ketika malam gelap gulita

Engkau penolong bagi mereka yang dirundung kesulitan 

Engkau petunjuk bagi mereka yang tak bisa berbuat apa-apa

Sungguh hanya Engkau yang kami tuju dengan penuh harap

Engkaulah yang diseru oleh semua dengan lara dan duka

Jika Kau mengampuni, itu lantaran Kau memang pemurah


Tapi jika Kau menghukum, sungguh Kau penguasa yang adil

Syairnya yang lain:

Penolong Ayyub dan yang mencukupi Dzunnun

Memberiku kelapangan dengan huruf kaf dan nun

Betapa papa menyelimuti angkasa-Nya yang terhampar

Dan terhadap yang lain wajahku belum lagi dihadapkan 

Ia juga memiliki doa-doa menakjubkan yang berkaitan dengan istikharah dan lainnya. Salah satu doa
istikharahnya adalah yang seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Fadhl dalam al-Najm-nya:

Ya Allah, pengetahuan adalah milik-Mu, terhijab dariku. Aku tidak mengetahui urusan yang kupilih
untuk diriku. Karena itu, kuserahkan urusanku sekaligus aku berharap kepada-Mu lantaran aku papa.

Tunjukkanlah diriku kepada sesuatu yang paling Engkau cintai, yang paling Engkau ridai, dan yang
paling baik akibatnya. Engkau maha berbuat apa yang Engkau kehendaki. Engkau Mahakuasa atas
segala sesuatu.

Jika kau ingin melakukan istikharah dan mempergunakan doa di atas, perhatikanlah adab dan tata
cara yang baik, seperti yang diriwayatkan dari Nabi saw. berkaitan dengan istikharah. 

Diriwayatkan bahwa siapa saja yang mendirikan shalat dua rakaat, kemudian membaca salawat
kepada Nabi saw. sesudah beristigfar, lalu membaca doa seperti yang diajarkan oleh Nabi dan
dilengkapi doa Syekh di atas, tentu ia akan mendapatkan akibat yang baik dan besar harapan
keinginannya akan dikabulkan. Sebab, ia telah memadukan sunnah dan teladan al-imam. Ia akan
mendapatkan keberkahan. Allah akan menunjukkannya kepada jalan yang terbaik.

Doanya yang lain adalah seperti yang diriwayatkan oleh penulis kitab al-Najm, juga yang disebutkan
oleh Sayyid Muhammad ibn Yahya dan juga Sayyid Abdul Aziz al-Baburji. Diceritakan bahwa doa ini
memiliki rahasia menakjubkan untuk menyingkap bencana dan menyingkirkan musibah:

Dengan samarnya kelembutan Allah, dengan lembutnya ciptaan Allah, dengan indahnya hijab Allah,
aku masuk dalam perlindungan Allah dan aku berlindung dengan seribu lâ hawlâ walâ quwwata illâ
billâh.
Syekh Abu Madyan hafal banyak hadis. Di antara riwayat yang berasal dari Abu Umamah al-Bahili r.a.
bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tuhan berjanji ada tujuh puluh ribu umatku yang
masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Bersama setiap seribu orang terdapat tujuh puluh ribu
orang lainnya berikut tiga cidukan.” 

Dan hadis ini diriwayatkan hanya darinya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tujuh puluh ribu orang
dari umatku masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang yang tidak melakukan rukyah dan tidak
minta dirukyah, tidak merasa sial, serta hanya bersandar kepada Tuhan.”  

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku memohon kepada Tuhan, dan ternyata Dia
memberiku tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab.”

Umar r.a. bertanya, “Ya Rasulullah, engkau tidak meminta tambahan?” 

“Sudah”, jawab Rasulullah saw.. 

“Berapa Dia menambahkan untukmu?” 

“Setiap orang dari ketujuh puluh ribu orang itu bisa memintakan syafaat untuk tujuh puluh ribu
orang. 

Demikian pula orang yang ketiga atau keempat.”

Beliau menambahkan, “Disertai tiga cidukan.” Mendengar kalimat terakhir itu, Umar r.a. berkata,
“Ya Rasulullah, Allah Mahakuasa untuk memasukkan mereka semua ke dalam surga tanpa hisab
dengan satu cidukan.”  

Perhatikan pula redaksi hadis Nabi saw. yang berisi harapan, “Umatku semuanya diberi rahmat. Di
antara mereka ada yang diberi rahmat oleh Allah lewat shalatnya ...” 

Ketika membaca firman Allah: Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka. Di antara
mereka ada yang pertengahan. Dan diantara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan ijin Allah. Itu adalah karunia yang amat besar,  Rasulullah saw. bersabda, “Semuanya berada
di surga.” 

Dalam riwayat lain disebutkan, “Mereka yang lebih dahulu berbuat kebaikan dari kita telah
mendahului. Kelompok yang pertengahan menyusul. Lalu, yang berbuat zalim di antara kita
diampuni.”  
Hadis lain yang ia riwayatkan adalah yang berasal dari Jabir ibn Abdillah bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Syafaatku akan diberikan kepada umatku yang melakukan dosa besar.” 

Juga hadis dari Anas ibn Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seluruh infak adalah di jalan
Allah kecuali infak bangunan (yang di luar kebutuhan). Tidak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya.” 

Maksudnya adalah bangunan yang tidak terlalu dibutuhkan. Tetapi jika bangunan itu benar-benar
dibutuhkan, orang yang memberikan infak akan mendapat pahala. Demikianlah mereka menafsirkan
hadis di atas. Hanya Allah yang lebih mengetahui.

Hadis lain yang diriwayatkan olehnya dengan sanad tersambung kepada Nabi saw. adalah, “Siapa
yang bangun malam, lalu membangunkan istrinya dan mendirikan shalat dua rakaat maka mereka
termasuk laki-laki dan wanita yang banyak berzikir kepada Allah.”  

Hadis lain diriwayatkan dari Jabir ibn Abdillah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, “Tiga hal yang jika
kalian lakukan pasti Allah akan memberikan naungan-Nya dan memasukkanmu ke dalam surga-Nya:
bersikap lembut kepada kaum duafa, mengasihi orangtua, dan berbuat baik kepada budak sahaya.” 

Diriwayatkan pula bahwa Syekh Abu Madyan selalu membaca dan tenggelam dalam kitab Ihyâ’.
Salah satu bagian yang disukainya dari kitab itu adalah kisah seorang Imam yang zahid, Malik ibn
Dinar. 

Disebutkan bahwa pada suatu malam Ibn Dinar merasa lemah dan tak bisa bangun. Ia berkata, “Aku
bermimpi melihat seorang wanita yang tidak seperti wanita dunia. Wanita itu memegang lembaran,
dan ia berkata. ‘Wahai Malik, kau bisa membaca?’ tanyanya. ‘Ya,’ jawabku. Ia memberiku lembaran
itu yang ternyata berisi tulisan sebagai berikut:

Jika perhatianmu tertuju pada kelezatan dan kenikmatan

Maka ketahuilah, kesenangan hanya terdapat dalam surga

Engkau akan hidup kekal, dan takkan kaudapati kematian

Setiap saat engkau bercanda dengan para bidadari istana

Karena itu, bangunlah dari tidur panjangmu

Tahajud dengan Al-Quran, lebih baik dari tidurmu


Riwayat lain menuturkan peristiwa serupa terjadi pada Dzunnun. Sejak peristiwa itu Malik tidak tidur
malam sehingga ada yang mengatakan bahwa ia mendirikan shalat subuh dengan wuduk shalat isya
selama empat puluh tahun.

Pada masa itu ada empat puluh tabiin yang melaksanakan shalat subuh dengan wuduk shalat Isya
selama empat puluh tahun. Wallâhu a‘lam.

Semua ini ditegaskan oleh Abu Thalib al-Makki. Ia meriwayatkan bahwa Dzunnun menyebutkan
sebuah syair: 

Al-Quran dengan semua janji dan ancamannya

Membuat mataku enggan terpejam tiap malam

Mereka yang benar-benar pahami firman Tuhan

Leher mereka selalu tertekuk, sujud kepada-Nya

Ada sebuah cerita tentangnya sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok ulama seperti Ibn al-
Khathib, Abu al-Shabr, al-Azafi, dan Ibn al-Zayyat. Syekh Abu Madyan r.a. berkata, “Seorang saleh
datang kepadaku dan menceritakan mimpinya. Ia melihat satu majelis dengan para sufi besar di
dalamnya, termasuk Abu Yazid al-Busthami, Dzunnun al-Mishri, dan para Syekh yang lain. 

Mereka berada di atas mimbar cahaya. Abu Thalib al-Makki berada di atas mimbar yang tinggi,
sementara Abu Hamid al-Ghazali berada di atas mimbar di depannya. Abu Thalib bertanya kepada
para sufi itu. Masing-masing mereka memberikan jawaban sesuai dengan ilmu yang dimiliki. 

Setelah mendengar semuanya, Abu Thalib berkata kepada Abu Hamid, “Ke mana perginya ilmu yang
diajarkan oleh Abu Madyan di dunia?” 

“Ia ada di samping kananmu. Tanyakan langsung kepadanya!” 

Abu Thalib menoleh kepadanya. “Wahai Abu Madyan, ceritakan kepadaku tentang rahasia
hidupmu?” 

Ia menjawab, “Dengan rahasia kehidupan-Nya hidupku tampak, dengan cahaya sifat-Nya sifatku
bersinar, dengan cahaya nama-Nya karakterku terlihat terang, dan dengan keabadian-Nya
kerajaanku kekal, serta dalam tauhid kepada-Nya kufanakan keinginanku.

Rahasia tauhid terletak pada ucapan lâ ilâha illâ anâ (tiada Tuhan selain Aku). Sementara, seluruh
alam wujud adalah huruf yang mengandung makna. Karena makna-makna itulah huruf-huruf itu
tampak. Dengan nama-nama-Nya semua yang jinak mendekat. Dengan sifat-sifat-Nya semua yang
diberi sifat tampak. Perhatian-Nya terhadapnya sungguh tak terbagi. Seluruh makhluk berserah diri
kepada-Nya. Sebab, Dia adalah Zat yang mencipta dan menghadirkan mereka. Dari-Nya mereka
bermula dan kepada-Nya mereka kembali. Keadaan itu seperti yang tampil pada hari ketika
dikatakan, ‘Bukankah aku Tuhanmu?’ ‘Ya,’ jawab mereka.’  Wahai Abu Thalib, Dia menggerakkan
wujudmu. Dia juga yang bertutur dan menggenggam. Jika kau melihat dengan hakikat, semua
makhluk lenyap. Dengan-Nya wujud menjadi tegak serta perintah-Nya dalam kerajaan-Nya bersifat
kekal. Hukum-Nya pada makhluk berlaku umum sama seperti kedudukan ruh dalam tubuh.
Dengannya mereka tampak meski dalam bentuk yang berbeda-beda. Di antaranya lisan untuk
menjelaskan. Namun dalam waktu yang sama Dia tidak dilalaikan oleh satu pun urusan sehingga
melupakan urusan lain.”

“Dari mana engkau mengetahui semua ini, wahai Abu Madyan?” tanya Abu Thalib. 

“Ketika Dia memberiku dengan rahasia-Nya, aku tenggelam dalam lautan karunia-Nya. Wujudku
dipenuhi cahaya, yang kemudian melahirkan kondisi lenyap dan hadir bersama-Nya. Dia memberiku
minuman yang suci sekaligus melenyapkan kesesatan dan kepalsuan. Cahaya-Nya menyelimuti
akhlakku. Semoga di hari kiamat aku bisa melihat Tuhan Yang Mahaabadi.”

Jadi, pertanyaan Abu Thalib kepada Abu Hamid, “Di mana Abu Madyan dan ilmu yang ia ajarkan?”
seakan-akan merupakan jawaban terhadap mereka yang ditanya tetapi tidak bisa menjawab dengan
benar. Pertanyaan itu pun dimaksudkan untuk menegaskan kemuliaan Abu Madyan,
memuliakannya, serta menjelaskan kedudukannya yang agung. Ini seperti bunyi pepatah, “Bicaralah!
Dari sana dirimu akan dikenal.”

Perlu diketahui, Syekh Abu Madyan selalu menjaga sikap istikamah yang dibuktikan dengan
pencapaian karamah yang tak terhitung. Keadaan lahiriahnya tampak sama seperti gurunya, Sayyid
Abu Ya‘zi dan Sayyid Abdul Qadir.

Ada banyak manakib tentang dirinya, di antaranya dikisahkan oleh Ibn Badis dalam syarah al-Nafahât
al-Qudsiyyah. Ia menukilnya dari Syekh al-Fadhil al-Imam al-Zahid, dari Sayyid Abu Muhammad
Shalih, yang menuturkan, “Suatu ketika di Barat, tepatnya di Andalusia berlangsung perang antara
pasukan Romawi dan kaum muslimin. 

Ketika pasukan Romawi mengalahkan kaum muslim, Syekh mengambil pedangnya lalu keluar
menuju padang pasir ditemani beberapa orang, termasuk aku. Kemudian ia duduk di atas gundukan
pasir. Tiba-tiba sekelompok pasukan Romawi berdiri di hadapannya. Syekh langsung lompat ke
tengah-tengah mereka. Ia hunus pedang dan mengangkatnya tinggi-tinggi melampaui kepala
mereka. Ia tebas seorang penunggang kuda hingga jatuh menggelepar beserta kudanya. Ia terus
sabetkan pedangnya hingga banyak orang Romawi yang tumbang. Akhirnya, pasukan Romawi yang
tersisa melarikan diri menghindarinya.

Setelah keadaan kembali tenang, kami mendekatinya dan ia berkata, ‘Mereka adalah orang Eropa—
semoga Allah menghinakan. Waktu telah mencatat perjalanan kita dalam lembaran sejarah. Saat ini
merupakan saat kemenangan.’ 
Para pejuang mendatanginya dan memeluk kedua kakinya. Mereka berkata, ‘Tuan, seandainya
engkau tidak menolong kami, tentu kami binasa.’ Mereka bilang, seandainya ia tidak ada, tentu
mereka sudah dibunuh kaum kafir atau menjadi tawanan.’ Kaum muslimin yang ikut berperang saat
itu menyaksikan kegigihan dan ketangkasannya menghancurkan kavaleri Romawi. 

Ketika perang selesai dan kaum musyrik dikalahkan, mereka tidak pernah melihatnya lagi. Jarak
antara dirinya dan daerah itu lebih dari sebulan perjalanan.

Abu Shalih Muhammad al-Dakkali berkata, “Beberapa orang dari Timur datang dan menginginkan
anggur dari daerah kami di luar musim anggur. Maka, Syekh Abu Madyan berkata kepadaku, ‘Hai
Shalih, pergilah ke kebun dan ambilkan anggur untuk kami.’

Maka aku bergegas pergi ke kebun, tetapi segera kembali menemuinya karena belum ada anggur
yang berbuah. Namun, Syekh berkata tegas, ‘Ada di dalam.’

Aku kembali memasuki kebun dan mendapati semua anggur di dalam kebun itu berbuah lebat.
Maka, aku memetiknya dan membawanya ke hadapan mereka sehingga semua orang memakannya,
termasuk aku.”

Abu al-Abbas al-Warnidi yang dikenal dengan nama Ibn al-Hajj, ketika men-syarah al-Nafahât al-
Qudsiyyah, menuturkan sebuah riwayat dari Abu Muhammad Shalih dan Ibn Badis, dari Abu al-Hajjaj
al-Anshari yang mendengar Syekh Abu Muhammad Abdurrazzaq al-Jazuli berkata, “Syekh Abu
Madyan melewati beberapa desa di Maghrib. Di sebuah desa, ia melihat seekor singa memakan
keledai sehingga pemilik keledai itu yang sangat miskin menangis sedih. Syekh Abu Madyan
memegang ubun-ubun atau telinga singa itu dan menggiringnya dengan mudah. Ia berkata kepada si
pemilik keledai, ‘Peganglah singa ini dan pergunakanlah ia sebagai ganti keledaimu.’ 

‘Aku takut,’ jawabnya. 

‘Ia tidak akan menyakitimu.’

Akhirnya, ia memberanikan diri membawa singa itu sehingga membuat semua orang terheran-
heran. Di sore hari si pemilik keledai membawa singa itu menemui Syekh dan berkata, ‘Tuan, ke
mana pun aku berjalan, singa ini terus membuntuti. Aku takut.’ 

Syekh berkata, ‘Kalau begitu, tinggalkan saja singa itu! Tidak apa-apa.’ Kemudian Syekh berkata
kepada singa, ‘Pergilah! Kalau kau menyakiti manusia, aku akan membuatmu berada dalam kendali
mereka.’”

Al-Harfusyi menuturkan bahwa Syekh Abu Madyan termasuk wali utama. Ia memiliki kedudukan
mulia, pemilik lintasan pikiran, langkah, dan karamah.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari setelah shalat subuh, sebagaimana hari-hari lainnya, Syekh
berbicara tentang hakikat di sebuah masjid di Andalusia. Banyak orang hadir di sana. Para rahib
kerajaan yang mengetahui kemasyhuran Syekh bermaksud mengujinya. 

Sebenarnya, jumlah mereka ada tujuh puluh orang, tetapi hanya sepuluh rahib yang diutus untuk
menguji Syekh. Agar tidak terlihat mencurigakan, mereka mengubah penampilan dan mengenakan
pakaian kaum muslim. Mereka masuk masjid kemudian duduk bersama yang lain. Tak seorang pun di
antara hadirin yang mengenali mereka. 

Syekh duduk diam cukup lama seperti menunggu sesuatu. Ketika seorang tukang jahit datang, Syekh
bertanya, “Apa yang membuatmu terlambat?” 

Ia menjawab, “Wahai Syekh, aku baru saja menyelesaikan beberapa kopiah yang Tuan pesan.
Sekarang saya telah menyelesaikan semuanya, dan ini salah satunya.” Tukang jahit itu menyerahkan
sebuah kopiah kepada Syekh yang ternyata serupa benar dengan kopiah yang dikenakan sepuluh
rahib yang hadir di majelis itu. Syekh berdiri dan orang-orang yang hadir di sana merasa heran
melihat kesamaan kopiah milik Syekh dengan kopiah sepuluh rahib itu. Mereka tak mengetahui apa
yang sedang terjadi. 

Kemudian Syekh memulai pembicaraannya dan kemudian ia berujar, “Wahai kaum yang fakir, jika
angin penerimaan, taufik, dan karunia berembus dari Tuhan ke dalam hati yang bersinar,
embusannya akan memadamkan seluruh cahaya.”

Syekh menarik napas dan tiba-tiba semua lilin di masjid, yang jumlahnya lebih dari tiga puluh, padam
bersamaan. Kemudian Syekh diam dan menundukkan kepala. 

Keadaan benar-benar hening. Tak seorang pun berani bicara atau bergerak. Semua tunduk diam.

Beberapa saat kemudian Syekh mengangkat kepalanya dan berkata, “Lâ ilâha illallâh. Wahai kaum
yang fakir, ketika cahaya pertolongan-Nya menyinari hati yang mati, ia akan menyingkirkan semua
kegelapan.” 

Syekh menarik napas lagi, dan tiba-tiba semua lilin di masjid kembali nyala. Cahayanya bersinar
sangat kuat sehingga nyaris saling bertumpuk. 

Kemudian Syekh membaca ayat sajadah, lalu ia sujud dan semua orang ikut sujud, termasuk para
rahib itu. Mereka ikut-ikutan sujud karena takut samaran mereka terbongkar. 

Dalam sujudnya, Syekh Abu Madyan berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui pengaturan terhadap
makhluk-Mu dan apa yang menjadi kemaslahatan hamba-Mu. Para rahib itu mengikuti kaum muslim
dari sisi pakaian dan sujud kepada-Mu. Aku telah mengubah lahiriah mereka, namun tak ada yang
mampu mengubah hati mereka selain-Mu. Telah kutundukkan mereka dalam hidangan karunia-Mu.
Selamatkanlah mereka dari syirik dan perbuatan yang melampaui batas. Keluarkan mereka dari
gelap kekufuran menuju cahaya iman.”
Ketika para rahib itu mengangkat kepala, terangkat pula semua penentangan dan sikap permusuhan
kepada Syekh dari dalam dada mereka. Tak sedikit pun mereka merasakan kebencian atau keraguan
kepada Syekh, seakan-akan mereka telah lama mengenalnya. Mereka menundukkan diri di bawah
keteduhan agama Allah Yang Maha Esa. Mereka putuskan untuk masuk Islam dan berusaha
mencapai tujuan. 

Usai shalat, mereka bergegas menemui Syekh Abu Madyan dan menyatakan diri masuk Islam di
hadapannya. Mereka bertobat, menangis, dan menyesali semua yang telah mereka lakukan. Ratapan
dan tangisan menggema memenuhi rongga-rongga masjid.”

Kisah keislaman para rahib ini sangat terkenal. Dikisahkan bahwa ada tiga orang yang meninggal
dalam majelis itu karena desakan sukacita yang tak tertanggungkan. Tentu saja Syekh sangat
gembira menyaksikan keislaman mereka. 

Tidak ada riwayat yang dengan jelas menyebutkan bahwa Syekh kembali pulang atau menetap lagi di
Andalusia setelah meninggalkan kota itu. Namun, karena ia termasuk wali Allah yang memiliki
berbagai karamah dan keajaiban maka segala sesuatu mungkin terjadi, termasuk apa yang
sebelumnya dianggap tidak mungkin terjadi, seperti kisah keislaman para rahib itu. 

Setelah menceritakan kisah itu Syekh al-Harfusyi berkata, “Sungguh ini merupakan sifat wali pilihan,
pemimpin para alim, sosok kepercayaan Allah atas hamba-Nya, dan rahmat untuk mereka.”

Dalam Karâmât al-Awliyâ’, Hujjatul Islam mengatakan, “Bagi mereka, bumi hanya satu langkah.
Mereka bisa berjalan ke mana pun mereka inginkan.”

Ketika ditanya tentang sifat wali ahli hakikat, Muhammad ibn Sahl ibn Abdillah menjawab, “Ketika
menghendaki suatu tempat, ia akan berada di tempat itu seketika. Saat disibukkan dengan suatu
urusan, Allah menggantinya dengan malaikat yang berbicara dengan lisannya. Orang-orang mengira
yang berbicara adalah ia, padahal bukan.”

Sementara, penulis Raudh al-Rayyâhîn menuturkan, “Percayalah kepada mereka, tentu kau akan
mendapat keutamaan mereka dan meraih berkah mereka. Jangan sekali-kali mendustakan mereka,
karena kau akan celaka. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang
Mahatinggi dan Mahaagung.”

Dikisahkan bahwa di antara karamah yang dimiliki Syekh Abu Madyan adalah bahwa ia mendirikan
shalat subuh di Baghdad kemudian datang ke Makkah untuk menemui murid-muridnya di waktu
subuh. Ia termasuk kalangan shiddiqqin yang shalat Subuh di Makkah, Lohor di Madinah, Asar di
Baitul Makdis, Magrib di bukit Tursina, dan Isya di bendungan Zulkarnain, bermalam di sana,
kemudian kembali mendirikan shalat Subuh di Makkah.

Bagi sebagian mereka, waktu seperti dilipat sehingga terasa sangat cepat. Bagi sebagian lain, waktu
seperti dibentangkan sangat luas sehingga mereka bisa berzikir dan membaca Al-Quran sekehendak
hati tanpa batas. Karamah seperti itu di antaranya dimiliki oleh al-Shadrani Musa, murid Abu
Madyan. Hal senada diceritakan oleh Jamaluddin ibn Syihabuddin al-Suhrawaradi dalam hujjah yang
ia sampaikan kepada ayahnya pada 628 H. 

Abu Hafsh Umar ibn al-Faridh menuturkan fenomena itu dalam sebaris syairnya: 

Dalam waktu satu jam atau kurang 

Mereka membaca seribu kali khatam 

Al-Farghani dan penulis mukhtashar-nya, Abu Abdillah Sayyid Muhammad ibn Abdil Aziz al-Marakisy
menyebutkan berbagai karamah yang menakjubkan.

Seandainya lebih banyak ruang yang tersedia, kami akan tuturkan lebih banyak lagi keutamaan
hamba-hamba Allah yang dianugerahi berkah dan karamah ini sehingga dapat memuaskan jiwa dan
melenyapkan keraguan. Allah memberikan manfaat kepada manusia melalui mereka. Sungguh
mereka adalah orang yang telah mendapat pertolongan-Nya. Orang yang tenggelam dan tersesat
sehingga tidak memercayai kesucian mereka pasti tidak akan selamat kecuali jika Allah memberinya
karunia hingga diselamatkan lewat cinta, pembenaran, dan penyerahan. 

Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Warnidi yang dikenal dengan nama Ibn al-Hajj serta imam
Abu Ali al-Husain ibn Abi al-Qasim menuturkan dalam Syarh al-Nafahât al-Qudsiyyah, “Dikisahkan
bahwa dalam sebuah perjalanannya Syekh Abu Madyan melewati pesisir. 

Tiba-tiba, sekelompok pasukan Romawi menyerang dan menawannya kemudian menggiringnya ke


atas kapal. Ternyata di atas kapal itu ada beberapa muslim lain yang ditawan pasukan Romawi.
Namun, sekuat apa pun orang Romawi itu berusaha, kapal mereka tak mau berlayar meskipun angin
bertiup kencang. Tentu saja pasukan Romawi panik karena yakut dikejar pasukan muslim. Mereka
sadar bahwa Syekh yang mereka tawan memiliki keutamaan dan rahasia luar biasa sehingga mereka
menyuruhnya turun.

Namun, Syekh Abu Madyan berkata, ‘Aku tidak akan turun kecuali jika kalian melepaskan seluruh
tawanan muslim.’ Orang Romawi itu tak memiliki pilihan lain sehingga melepaskan semua umat
Islam yang mereka tawan. Setelah semua tawanan turun dari kapal, barulah kapal itu bisa berlayar
kembali.”
Dalam syarah al-Nafahât al-Qudsiyyah, Abu Bakar Ali Hasan juga meriwayatkan bahwa Abu
Muhammad Shalih mendengar Syekh Abu Madyan r.a. pada 560 H berkata, “Aku telah berjumpa
dengan Abu al-Abbas al-Khidir. Kutanyakan kepadanya perihal beberapa Syekh dari negeri timur dan
barat yang hidup di era tersebut serta tentang Syekh Abdul Qadir. Ia menjawab, ‘Ia adalah imam
kaum shiddiqin dan hujjah kaum arifin.’”

Syekh Abu Ya‘zi dan Syekh Abu Madyan sama-sama memuliakan Syekh Abdul Qadir, mengagungkan
namanya, dan meninggikan kedudukannya. Mereka merupakan orang-orang mulia yang senantiasa
menjaga adab dan etika masing-masing. Syekh Abu Madyan juga sering memuji Syekh Abu Ya‘zi
seperti yang kami ceritakan dalam bab kelima tentang kesaksian para Syekh. Menurutnya, Syekh Abu
Ya‘zi memiliki kedudukan yang tinggi dan berada di barisan terdepan para saleh.

Diriwayatkan bahwa Syekh Abu Madyan memiliki tingkatan cinta yang tinggi dan agung. Abu Ali
Hasan ibn Badis dan Abu al-Abbas al-Warnidi menceritakan bahwa suatu hari Syekh Abu Madyan
berbicara di majelisnya, tiba-tiba segerombol burung datang dan terbang mengelilinginya. 

Syekh melantunkan bait syair berikut:

Derita orang yang sakit, rasa takut orang yang diburu 

Rasa cemas orang yang risau, duka orang yang lara

Cinta orang yang digelisahkan kerinduan 

Tarikan napas orang yang mabuk kepayang

 Jatuhnya orang yang sakit tak mendapat tabib

Pikiran yang melayang, penglihatan orang yang tenggelam

Mereka semua ingin mengambil bagian dari minyak shafa

Pedih kalbu yang dibingungkan segala yang datang

Lantaran rindu kepayang, diri hina tidak seperti lazimnya

Menahan rasa gelisah dan memendam perasaan cinta

Bertempat dan menetap di hati yang senantiasa dicinta

Majelis itu tersentak mendengar lantunan syair tersebut dan sekejap kemudian suasana menjadi
riuh. Seekor burung tiba-tiba mengepakkan sayap dengan keras lalu jatuh dari udara dan
menggelepar mati di tengah majelis. Tak hanya burung, salah seorang jamaah yang hadir di majelis
itu meninggal dunia.
Bait-bait syair yang dilantunkan Syekh Abu Madyan sesungguhnya merupakan milik Imam Dzunnun
al-Mihsri. Diceritakan bahwa suatu ketika Dzunnun ditanya oleh seseorang, “Apa yang membuat
manusia lemah dan penat?” 

Ia menjawab, “Ia lemah dan penat karena mengingat kedudukannya, sementara bekalnya sedikit,
dan takut kepada hisab.”

Ia melanjutkan, “Bagaimana mungkin tubuh bisa tegak dan akal tidak linglung sementara tak lama
lagi amal ditampakkan di hadapan-Nya, buku catatan amal akan dibacakan, dan malaikat berdiri di
hadapan Tuhan Yang Mahagagah menunggu perintah-Nya atas orang yang baik maupun yang
jahat.” 

Dzunnun berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Bayangkan itu terjadi kepada kalian dan
renungkanlah selalu!” Setelah itu ia mengucapkan bait-bait syair di atas. Dzunnun dikenal sebagai
sufi yang banyak menggubah syair. 

Ada banyak bait syair lain yang ia ungkapkan selain bait-bait di atas.

Abu Ali Hasan ibn Muhammad al-Ghafiqi al-Shawwaf mendengar Abu Madyan berkata, “Aku pernah
mengerjakan shalat magrib bersama Umar al-Shabbagh. Usai salam, ia berujar, ‘Tadi dalam shalat
aku melihat tiga atau empat bidadari. Mereka menampakkan diri di sudut rumah.’ 

Aku berkata kepadanya, ‘Ulangi shalatmu! Orang yang shalat sesungguhnya sedang bermunajat
dengan Tuhan, sementara kau bermunajat dengan bidadari.’”

Syekh Abu Madyan menegur Umar al-Shabbagh dan ingin mengangkatnya menuju kedudukan yang
lebih tinggi. Ucapannya, “Ulangi shalatmu!” dimaksudkan untuk mendidiknya. Sebab, segala sesuatu
selain Allah merupakan hijab. Seorang salik tidak boleh berhenti pada sesuatu dan merasa puas
dengan sesuatu.

Abu Yazid menuturkan bahwa ia pernah diperlihatkan kepada empat puluh bidadari cantik, dan
kemudian ada yang berujar, “Lihatlah mereka!” Ketika melihat mereka, ia terhijab dari
kedudukannya selama empat puluh hari sesuai dengan jumlah bidadari yang dilihatnya. Itu
merupakan teguran baginya. Dan di waktu lain diperlihatkan kepadanya delapan puluh bidadari yang
jauh lebih cantik. Ketika ada yang berujar, “Lihatlah mereka!” Abu Yazid memejamkan mata dan
bersujud seraya berkata, “Aku hanya butuh kepada Allah; tidak kepada mereka.”

Ia terus berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari selain-Mu.” 


Abu Yazid terus menangis dan bersimpuh dalam sujud hingga para bidadari itu lenyap dan terhijab
darinya. Barulah ia mengangkat kepalanya. Ada banyak riwayat lain yang menuturkan sikap dan
pencapaian Abu Yazid. 

Dengan keluasan pengetahuan yang dimilikinya, Syekh Abu Madyan r.a. mendorong para murid
untuk menempuh perjalanan ruhani melalui berbagai sisi. Ia juga mendorong mereka dengan
berbagai isyarat dan petunjuk. 

Diceritakan, suatu hari Syekh Abu Madyan berada di majelisnya yang dikhususkan untuk murid-
muridnya yang telah mencapai makrifat. Seperti biasa, ia ajari mereka berbagai hakikat dan
menghadirkan aneka hal menakjubkan yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah serta semua
keutamaan para pecinta. 

Ketika mereka tenggelam dalam kondisi itu, seseorang datang dan berkata dengan nada yang sedih
dan bingung, “Wahai kaum, adakah keledai yang masuk ke sini?”

Lelaki itu bertanya sambil membawa sepotong bambu untuk menggiring keledai. 

Melihat kedatangan lelaki itu, seseorang di antara mereka mengangkat kepalanya dan berkata, “Hai
fulan, ini masjid. Kami tidak melihat keledaimu.” Syekh Abu Madyan diam dan menundukkan kepala.
Tidak lama kemudian, ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Adakah di antara kalian yang sedang
jatuh cinta?” Tiba-tiba saja ia berbicara tentang cinta, padahal sebelumnya ia tengah membahas
masalah yang lain. Semua diam, tak ada yang menjawab, karena tidak mengetahui maksud ucapan
Syekh. Mereka saling pandang satu sama lain. Lalu, Syekh Abu Madyan kembali kepada topik
pembicaraan sebelumnya, menyelesaikannya, dan kemudian menutup majelis.

Setelah itu Syekh bangkit berdiri diikuti oleh murid-muridnya, sementara kepala mereka
merenungkan pertanyaan Syekh, “Adakah di antara kalian yang sedang jatuh cinta?” Akhirnya,
sebagian mereka berpendapat bahwa dengan pertanyaan itu Syekh hendak menjelaskan bahwa
seorang pecinta pasti mencari kekasihnya di setiap tempat ke mana pun ia pergi seperti kelakuan
lelaki itu yang mencari keledainya hingga ke dalam masjid.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Najm, Abu al-Fadhl berkata, “Aku mimpi melihat Sayyid Abu
Madyan sedang belajar al-Muwaththâ kepada seorang alim, Syekh Abu Abdillah ibn al-Abbas.
Kemudian aku bermimpi seakan-akan berziarah di makam Sayyid Ibrahim al-Mashmudi, dan di sana
aku melihat seorang Syekh yang penuh wibawa. Ia duduk di depan kuburan sultan yang dikubur di
sisi Sayyid Ibrahim. 

Terlintas dalam benakku bahwa ia adalah Sayyid Abu Madyan. Aku maju untuk mencium tangannya.
‘Salâm ‘alayk!’ ujarnya. Aku baru sadar, saat masuk tidak mengucapkan salam karena tertegun
melihat orang yang masuk. Syekh mengulurkan tangannya yang berbalut kain wol kasar, pakaian
khas orang Mesir.

Ketika mencium tangannya aku merasakan ketenangan. Aku meminta sesuatu darinya, doa atau apa
pun. Tangan kanannya memegang sajadah dari kulit binatang. Ia memberikannya kepadaku dan aku
langsung menerimanya. Setelah itu aku pergi. Hatiku dipenuhi rasa senang luarbiasa. Hanya Allah
yang lebih mengetahui betapa aku sangat berbahagia saat itu.”

Mimpi itu sepertinya dimaksudkan sebagai peringatan agar selalu bersikap tawaduk, tetapi
disampaikan dengan cara yang baik, tidak merendahkan. Itulah ciri kaum shiddiqin. 

Ketawadukan seperti itu bukan untuk kepentingan diri sendiri seperti yang dilakukan para pecinta
dunia, dan juga bukan untuk mendapat pahala seperti yang dilakukan para pecinta akhirat. Tawaduk
itu semata-mata dengan Allah dan untuk Allah. Itulah sifat kaum arif.

Penulis al-Najm al-Tsâqib menceritakan dari murid utama Syekh Abu Madyan, yaitu Abu Muhammad
Shalih al-Dakkali al-Majidi al-Qurasyi al-Makhzumi, yang berkata, “Ketika aku dan murid-murid lain
duduk bersama Syekh Abu Madyan, tiba-tiba ia menundukkan kepala dan berdoa, ‘Ya Allah, Engkau
dan para malaikat-Mu menjadi saksi, bahwa aku mendengar dan aku taat.’

Ketika para murid menanyakan maksudnya, Syekh berkata, ‘Saat ini Sayyid Abu Muhammad Abdul
Qadir al-Jailani naik mimbar di majelisnya di Baghdad, kemudian berujar, “Kakiku ini berada di atas
leher setiap wali.” Kami diperintah untuk mendengar dan taat.’ 

Abu Muhammad Shalih melanjutkan, “Peristiwa yang terjadi hari itu tidak dapat kami lupakan.
Beberapa hari kemudian, beberapa murid yang baru tiba dari Baghdad menceritakan bahwa Syekh
Abdul Qadir mengucapkan perkataan tersebut pada hari yang Syekh Abu Madyan menyampaikannya
kepada kami.” 

Meski memiliki kedudukan yang agung, Syekh Abu Madyan sering memuji Abu Ya’zi dan
memuliakannya sebagai wali yang berada di barisan terdepan. Pujian seperti itu pulalah yang
disampaikan para tokoh sufi lain. 

Ibn Sha’id mengatakan, “Abu Madyan menghafal banyak hadis, terutama yang terdapat dalam kitab
al-Tirmidzi. Ia banyak meriwayatkan hadis-hadis itu dari gurunya.”

Salah satu karamah Sayyid Abu Madyan yang menakjubkan adalah bahwa para wali pada zamannya
meminta fatwa kepadanya mengenai berbagai persoalan rumit yang tidak dipahami para fukaha.
Abu Madyan dapat menjawabnya saat itu juga, seperti saat ia memberikan jawaban kepada seorang
murid yang bernama Abu Imran Musa al-Shadrani al-Thayyar.
Penulis al-Najm, al-Imam Ibn al-Khathib dan Ibn al-Zayyat berkata, “Mereka semua meriwayatkan
dari Abu Abdillah Muhammad ibn Abdul Khaliq ibn Muhammad al-Tunisi, bahwa Abu Madyan r.a.
berkata, ‘Setiap hari ketika fajar merekah, seseorang datang kepadaku menanyakan berbagai hal
yang tidak dipahami banyak orang. 

Saat itu aku sering mendengar kabar tentang seseorang bernama Musa yang konon bisa berjalan di
atas air, terbang di udara, dan memiliki berbagai karamah lain. Pada suatu malam, terlintas dalam
benakku bahwa pagi ini pemilik aneka karamah itu akan datang kepadaku. Karena itulah aku tak
sabar menunggu datangnya fajar agar segera bertemu dengannya. 

Saat fajar tiba, orang itu datang mengetuk pintu. Aku langsung menemuinya. Ia tanyakan sebuah
pertanyaan. Aku menjawab pertanyaannya dan kemudian balik bertanya kepadanya, ‘Apakah
engkau Musa?’ Ia menjawab ‘Ya.’ Keajaiban semacam itu adalah sesuatu yang biasa terjadi di
kalangan para wali. 

Abu Ali Hasan ibn Badis al-Qasthanthini r.a. berkata, “Ketahuilah bahwa Abu Madyan termasuk
orang yang paling dekat kepada Allah, pemuka ahli makrifat, pemilik berbagai hakikat dan karamah,
yang mampu menggabungkan ilmu hakikat dan syariat. Ia adalah pemimpin di jalan ini. Banyak yang
datang berguru kepadanya, termasuk Sayyid Abdurrahim al-Qanawi, Abu Abdillah al-Qurasy, dan
Abu Muhammad Shalih.

Penulis Hirz al-Atqiyâ bercerita, “Seorang saleh mimpi bertemu Nabi saw. dan ia bertanya kepada
beliau, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang Abu Madyan?’ Rasulullah saw.
menjawab, ‘Ia guru para guru.’”

Syekh Abu Madyan mengambil tarekatnya dari Abu al-Hasan Harazim, dari Ibn al-Arabi, dari al-
Ghazali, dari Abu Thalib al-Makki, dari al-Junaid, serta dari pamannya, al-Sari al-Saqathi, dari Ma‘ruf
al-Karkhi, dari Dawud al-Tha’i, dari Habib al-Ajami, serta dari Hasan al-Bashri.

Ia juga mengambil tarekat dari Syekh Abu Ya‘zi, yang memberinya khirqah seperti yang juga
diberikan oleh Abu al-Hasan ibn Harazim. Keduanya menerima dari al-Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi
dari al-Imam.

Ia juga mengambil tarekat dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan sanadnya sebagaimana telah
disebutkan. 

Secara lahiriah dikatakan bahwa Sayyid Abu Ya‘zi menerima tarekat dari al-Imam Ibn al-Arabi,
sementara Ali ibn Harazim menerimanya dari Syekh.
Al-Ustad al-Allamah Abu Ja’far Ahmad ibn Ibrahim ibn al-Zubair al-Gharnathi memberikan
komentarnya mengenai Syekh Abu Madyan dalam kitabnya, Hilyah. Abu al-Shabr al-Fihri bercerita
mengenai keterkaitannya dengan beberapa tokoh sufi. Ia pun menyebutkan sifat zuhud dan makrifat
mereka. Ibn Badis dan beberapa orang lain bercerita tentang kezuhudan Syekh yang selalu
memisahkan diri dari dunia dan memusatkan diri kepada Allah, juga kezuhudan Abu al-Najat Salim
al-Jayjali yang berasal dari Saragosa, tetapi menetap dan wafat di Bijay. 

Ada beberapa tokoh terkemuka yang mengambil riwayatnya dari Syekh Abu Madyan r.a., termasuk
Abu Ja’far ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Sidyunah al-Khuza‘i yang menetap di timur Andalusia
termasuk wilayah Jativa—semoga Allah mengembalikan wilayah ini kepada Islam. 

Abu Muhammad termasuk sufi pemilik maqam tawakal. Ada juga Syekh Abu Muhammad Abdul Aziz
ibn Abu Bakr al-Harawi yang, menurut Abu al-Abbas Zaruq, dimakamkan di Marsa Eidun. Ia dikenal
sebagai sufi pemilik maqam cinta. 

Kemudian ada Syekh Abu Muhammad Abdurraziq al-Jazuli, pemilik maqam ilmu. Ia dikebumikan di
Iskandariah Mesir.

Abu al-Abbas ibn al-Khatib bercerita, “Aku bermimpi melihat Nabi saw. bersama Abu Hamid al-
Ghazali dan Abu Madyan. Abu Hamid bertanya kepada Abu Madyan, ‘Apakah ruh dari ruh?’ 

‘Makrifat,’ jawab Abu Madyan. 

‘Lalu, apakah ruh makrifat?’ 

‘Kenikmatan.’ 

‘Apakah ruh kenikmatan?’

‘Melihat Allah.’” 

Abu al-Abbas melanjutkan, “Kemudian cahaya yang sangat dahsyat pancarannya menerangi mereka
sehingga mereka diraih para malaikat dan terus dibawa sampai akhirnya menghilang dari
pandanganku.”

Sebuah riwayat menuturkan keluasan pengetahuannya, yaitu ketika terjadi perbedaan pendapat di
kalangan fukaha wilayah Jayy mengenai hadis Nabi saw. yang berbunyi, “Jika seorang mukmin
meninggal dunia, ia mendapat separuh surga.” 

Secara lahiriah dipahami bahwa ketika seorang mukmin mati, ia berhak mendapatkan surga
seluruhnya, bukan hanya separuh. Tetapi dalam hadis ini disebutkan bahwa ketika mukmin mati, ia
diberi separuh surga. Para fukaha merasa kesulitan memahaminya sehingga akhirnya sebagian
mereka berkata, mereka berkata, “Hadis ini hanya bisa dijelaskan oleh seorang Shiddiq.” 

Pada masa itu Syekh Abu Madyan dikenal sebagai Syekh yang paling terkemuka. Maka mereka
bergegas menemuinya karena mereka mengenal hakikat dan kedalamannya dalam bidang ilmu dan
makrifat. Sebelumnya ia juga dapat memecahkan persoalan yang sulit mereka pahami. 

Ketika mereka datang, ia tengah membahas al-Risâlah al-Qusyairiyyah di majelisnya. Melihat


kedatangan mereka, Syekh beralih dari kitab yang sedang dibaca dan bertanya kepada mereka,
“Apakah kalian datang untuk menanyakan makna hadis yang sulit kalian pahami itu?” Mereka sadar,
Syekh telah mengetahui maksud kedatangan mereka. “Ya,” jawab mereka. 

Ia menjelaskan, “Maksud Nabi saw. adalah bahwa apabila seorang mukmin meninggal, Allah
memberinya separuh dari surga yang telah dituliskan untuknya di Lauh Mahfuzh sebagaimana yang
dijanjikan untuknya di akhirat. 

Ketika ajal menjemputnya, Allah memperlihatkan kepadanya kedudukan yang akan ia raih di surga
dengan tujuan agar ia merasa senang, tenteram, dan bahagia melihat tempat kembalinya. Ketika
kiamat tiba, lalu manusia dikumpulkan, timbangan ditegakkan, dan hisab dilakukan, barulah ia diberi
separuhnya lagi sehingga apa yang ditetapkan untuknya di Lauh Mahfuzh menjadi sempurna.”

Memang benar, sebelum kematian datang menjemput, seorang mukmin akan melihat surga yang
dijanjikan untuknya. Nabi saw. bersabda, “Seorang hamba memiliki dua tempat: tempat di surga dan
tempat di neraka. Apabila hari kiamat tiba, orang kafir mengambil tempatnya di neraka, sementara
orang mukmin menempati tempatnya di surga.”  

Allah berfirman, “Kami akan mewarisi apa yang ia katakan dan ia akan datang kepada Kami seorang
diri.”  Jadi, ia mendapatkan separuh ketika mati dan separuhnya lagi diberikan ketika setiap orang
mendapatkan kemuliaan dan kemurahan yang telah Allah siapkan. Allah berfirman, “Orang yang
takut kepada kedudukan Tuhannya mendapatkan dua surga.” 

Syekh Abu Madyan menjelaskan makna hadis itu secara menyeluruh. Makna serupa terdapat dalam
beberapa hadis yang berkaitan dengan pertanyaan dua malaikat kepada hamba

“Ketika seorang mukmin mati, dibukakan kepadanya sebuah pintu menuju neraka sehingga ia bisa
melihat kedudukannya. Kedua malaikat berkata kepadanya, ‘Ini kedudukanmu seandainya kau
berbuat baik.
Syekh Abu Madyan pertama kali dibaiat ke jalan Sufi oleh Syekh Abdullah al-Daqaq, seorang sufi
eksentrik yang sering berkeliaran di jalan-jalan dan berteriak mengaku-aku dirinya Wali Allah, dan
oleh Syekh Abu Hasan al-Salawi, seorang sufi misterius. Kepada Syekh al-Daqqaq, seorang Wali Allah
yang aneh dan luar biasa, Abu Madyan mendalami kandungan kitab Tasawuf penting, ar-Risalah
karya ABU AL-QASIM AL-QUSYAIRI. Syekh Abu Madyan juga berteman dan berguru kepada Syekh
AHMAD RIFA’I, seorang Wali Qutub pendiri Tarekat Rifa’iyyah di Irak. Meski disebut2 ketenaran dan
signifikansinya sejajar dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Madyan mengakui dan tunduk
pada ucapan syatahat Syekh Abdul Qadir Jailani, “Kakiku berada di atas bahu Awliya Allah” dan salah
satu riwayat mengatakan beliau menerima ijazah ruhaniah dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Melalui jalur Abu Madyan inilah di kawasan maghribi muncul sufi-sufi besar yg menjadi poros2
utama kewalian di kawasan maghribi dan sekitarnya. Syekh Ahmad Rifa’i, guru dari Syekh ABu
Madyan, juga dikenal sebagai sufi yg eksentrik. Tarekatnya dianggap agak aneh karena cara zikirnya
yang terdengar seperti meraung atau seperti suara gergaji. Pengikut Tarekat Rifaiyyah belakangan
lebih dikenal karena kekuatan dan keajaiban-keajaiban mereka, seperti kebal senjata, kebal racun
dan sebagainya. Tentu saja, efek-efek ini menyebabkan tarekat ini rawan diselewengkan oleh orang-
orang yg tidak bertanggung jawba, sehingga sebagian sufi secara tegas mengecam penyimpangan
tersebut tersebut. Namun apapun penyelewengan itu, ajaran dan amalan Syekh Ahmad Rifai
sesungguhnya adalah amalan tarekat yang mu’tabar, atau sesuai dengan Qur’an dan Sunnah Nabi.

Jadi pada periode sesudah Syekh ABu Hamid al-Ghazali ini mulai berkembang bentuk baru organisasi
tarekat yang strukturnya lebih kompleks. Perkembangan ini barangkali adalah keniscayaan sebab
pada masa itu mulai banyak sekali orang Islam yg menempuh jalan ruhani (tasawuf). Sebagaimana
lazimnya sesuatu yang menjadi besar, selalu ada penyimpangan-penyimpangan yg dilakukan oleh
sufi-sufi palsu. Karenanya, sebagian syekh Sufi merasa perlu “melembagakan” ajarannya dalam satu
wadah di mana otoritas mursyid yg kamil-mukammil bertindak sebagai pembimbing sekaligus
penjaga agar pengikut mereka tidak menyeleweng. Tetapi itu bukan berarti bahwa sufi-sufi yang
berada di luar organisasi tarekat tidak menjalankan amalan tarekat – sebab tarekat dalam
pengertian yg lebih umum adalah “Jalan” ruhani itu sendiri.

Apapun efeknya, organisasi tarekat telah membuka kesempatan baru bagi orang-orang Islam yang
tidak menemukan akses ke wali-wali Allah yg biasanya tersembunyi. Kemunculan wali-wali masyhur
di dalam organisasi tarekat menambah semarak perkembangan keruhanian Islam. Sebagian dari
alasan meningkatnya popularitas tarekat paada saat itu adalah karena kondisi sosial politik di dunia
ISlam sedang mengalami pergolakan hebat, setelah pasukan Salib mulai merangsek ke wilayah
kekuasaan kekhalifahan Islam. Banyak murshid-murshid tarekat dan sufi-sufi individual yg terlibat
langsung dalam peperangan itu. Syekh Abu Madyan, misalnya, ikut membantu perang melawan
tentara Salin dari kelompok pasukan Perancis di sekitar Maroko, dan berperan penting dalam
kemenangan pasukan Islam di sana. 

Kaum sufi, baik di dalam dan di luar organisasi tarekat, berdasar fakta sejarah sesungguhnya
berperan penting dalam pengembangan potensi ekonomi, sosial, poliitk dan ilmu pengetahuan di
dalam peradaban Islam. Namun peran sosial mereka yg penting itu sering terlupakan, atau sengaja
disembunyikan oleh kelompok anti-Tasawuf – terutama karena kebanyakan pengikut tarekat atau
sufi yang terkenal lebih menonjol dalam bidang keruhanian dan lebih ketat dalam menjalani
kehidupan yg zuhud, serta karena karamah-karamah mereka lebih memikat untuk dikisahkan
ketimbang peran ekononi dan sosial-politik mereka.Peran-peransosial atau peran “horisontal”
mereka semakin jelas dalam perkembangan sesudah tahun 1100-an M.

Selain perkembangan tarekat-tarekat, dunia Tasawuf juga diwarnai oleh perkembangan pemikiran
mistis/makrifat yang luar biasa. Periode menjelang abad 13 M, atau akhir era 1100-an adalah era di
mana hampir semua bidang peradaban Islam sedang mengalami kejayaan sekaligus melahirkan
benih-benih bayang-bayang kesuraman peradaban Islam. Kemajuan sisi lahiriah di bidang ekonomi,
politik, ilmu pengetahuan dan sebagainya diimbangi oleh lahirnya kemajuan ruhani. Namun pada
masa ini perkembangan paling menonjol selain tarekat adalahmunculnya sufi-sufi besar yang
menulis literatur yang “abadi,” yang sangat memengaruhi dunia Tasawuf dan dunia Islam pada
umumnya sampai ke abad 21 – dan barangkali akan masih terus berpengaruh hingga di abad-abad
mendatang. Tokoh-tokoh sufi yang agung pada periode ini antara lain Fariduddin Attar (wafat 1220),
Ibn al-Farid sang penyair mistis (wafat 1235), Syekh Akbar Ibn Arabi, penggagas “konsep” wahdatul
wujud, Jalaluddin Rumi sang penyair cinta mistis terbesar sepanjang sejarah Islam (w. 1273) dan al-
Iraqi, penyair penerus tradisi wahdatul wujud.

Pada tanggal 28 Juli 1165 lahirlah seorang anak manusia yang kemudian dikenal sebagai Muhammad
ibn Ali ibn Muhammad ibn al Arabi al Ta’i al Hatimi atau lebih populer dengan nama Ibn Arabi. Beliau
dikemudian hari lebih dikenal sebagai seoarang sufi dari andalusia, dan diberi gelar Muhyidin
(Penghidup agama) dan Syaikh al Akbar (Syaikh Agung). Karya karya yang lahir darinya terutama dari
dua kitabnya yang monumental Fushush al Hikam dan Futuhat al Makkiyyah telah mempengaruhi
sudut pandang kaum muslimin dalam memahami agamanya, yang diridhai Allah (Islam). Pemikiran
Ibn Arabi adalah pemikiran yang telah mempengaruhi salah satu cara pandang kita dalam melihat
otosentisitas Islam (Tauhid).

Gagasan gagasan dasar ajaran Ibn Arabi telah menimbulkan reaksi yang luas di kalangan kaum
muslimin, yang pro maupun yang kontra. Yang tidak setuju menuduh bahwa ajarannya merupakan
panteisme. Yang pro justru menganggap ajaran ini merupakan ajaran yang tinggi dan sangat radikal
dalam interpretasinya mengenai tauhid. Ibn Arabi lebih dikenal sebagai tokoh ajaran wahdatul
wujud, yang sering disalah tafsirkan sebagai ajaran yang menekankan pada aspek imanensi mutlak
Tuhan.

Namun sesungguhnya Ibn Arabi tidak menekankan imanensi Tuhan semata, namun juga
transendensi-Nya. Menurut beliau: dilihat dari sisi tasybih, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat
seruap dan satu dengan alam walaupun kedua duanya tidak setara karena Dia, melalui nama nama
Nya, menampakkan diri Nya dalam alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan berbeda sama sekali
dengan alam karena Dia adalah Dzat Mutlak yang tidak terbatas, di luar alam nisbi yang terbatas. Ide
ini dirumuskan oleh ibn Arabi dengan ungkapan singkat ‘huwa la huwa’. Tuhan adalah imanen
(tasybih) dan transenden (tanzih) sekaligus.
Dalam doktrin wahdat al wujud Tuhan betul betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki
kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan Nya. Doktrin ini
mengakui hanya satu wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama
sekali independen berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al
wujud ibn Arabi mempunyai posisi yang kuat karena didukung oleh atau bersumber dari ayat ayat Al
Qur’an dan Hadis Nabi saw.

Wahdat al Wujud Menurut Syaikh Akbar Ibnu al Arabi benar benar merupakan pemikiran genius di
zamannya. Karya karyanya telah membuktikan hal itu. Ibn al Arabi mengungkapkan ajaran ajaran
dan berbagai pandangan genarasi sufi yang mendahuluinya secara sistematis dan rinci. Ibn Arabi
adalah jembatan atau penghubung antar dua fase historis Islam dan tasawuf dan penghubung antara
tasawuf Barat dan Timur.

Menurut Ibn Arabi, dalam hadis Qudsi, Allah berfirman, Aku adalah harta simpanan tersembunyi,
karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk, sehingga melalui Ku mereka
mengenal Ku. [hadits Qudsi] Allah adalah “harta simpanan tersembunyi” (kanz makhfiyan), yang
tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Maka alam adalah cermin bagi Tuhan, yang dengannya Ia
mengenal dan memperkenalkan ‘Wajah Nya’. Kanz makhfi, dengan demikian adalah ‘Yang
‘Tersembunyi dari Yang Tersembunyi’, Dzaat, yang tidak dapat dijangkau oleh siapapun ditinjau dari
segi Dzaat Nya. Misteri Dzaat, yang tersembunyi ini berakibat “kerinduan” dan “kesepian”. Dalam
“kerinduan” dan “kesepian” primordial ini membuat Dia rindu untuk dikenal. Maka Ia pun ber
‘tajalli’. Tajalli Al Haqq adalah penampakan diri Nya dengan menciptakan alam. Tajalli Al Haqq terjadi
dalam bentuk bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Alam berubah setiap saat, terus menerus tanpa
henti. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Q.S.55;29). Seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi;
“Sesungguhnya Allah Subhanahu selama lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk bagi dua
individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali.”

Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis seperti yang ada dalam
A’yan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan. Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap
segala sesuatu yang berasal dari tajaliyyat Nya selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud
Nya (Potensi Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan abadi (a’yan
tsabitah). Dari sudut padang ini, dunia pada hakekatnya merupakan perwujudan (manifestasi)
Tuhan, namun dalam Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya, Dia terlepas dari setiap perwujudan itu sendiri.
A’yan tsabitah pada dasarnya hanyalah potensi abadi yang karena sifatnya itu ia bisa menjadi aktual
atau bisa juga tidak. Karenanya, ‘Kemungkinan’ (Potensialitas) itulah yang sesungguhnya nyata. Dan
karena itulah, a’yan tsabita tetap tidak berubah dan “tidak ada” secara aktual dalam ilmu Tuhan.
Meskipun disifati dengan kepermanenan, ia tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam
keadaan yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh yang tidak
mungkin. Jadi, A’yan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima wujud. (Fusus al Hikam). Dalam
Futuhat al Makiyyah mengenai hal ini dikatakan:

Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena alam selama lamanya
disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan. Sedangkan alam tidak disaksikan oleh
dirinya [sendiri] karena ia tidak ada. Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu
orang orang yang tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya
ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam;karena itu ilmu Nya tentang alam
selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut
bentuk Nya dalam ilmu Nya. Karena itu, alam tidak pernah ada ‘diluar’ Tuhan yakni; tidak ada dalam
wujud kecuali Allah dan sifat sifat dari a’yan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam [ketiadaan]
kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan untuk diberi wujud. (Futuhat)

Dengan demikian, alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya adalah wujud, dan pada
saat yang sama adalah tak berwujud (adum). Dengan cara yang sama, Tuhan selalu meliputi alam
dan juga mengatasi alam. Dia sekaligus transenden dan imanen, tanzih dan tasybih, seperti yang
dikatakan oleh Ibn Arabi sendiri:

Allah Ta’ala berfirman, Laysa kamitslihi bi syai, maka dengan demikian Dia menyatakan Tanzih Nya;
wa huwa al sami’al bashir, maka dengan demikian Dia menyatakan Tasybih Nya.

Gaung gagasan Ibn Arabi melampaui batas-batas geografis dunia Islam. Gagasannya dengan cepat
menyebar dari Afrika sampai ke anak benua India, kemudian masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke
Indonesia. Sebagian pengikut Ibn ‘Arabi di era yg lebih modern menyebarkannya ke Eropa dan
Amerika, hingga ke Amerika Selatan dan Amerika Latin. Di Inggris didirikan Ibn Arabi Society, yang
berpusat di Oxford. Sebelumnya, Rauf dari Turki mendirikan Beshara, dan Rauf sendiri
menerjemahkan sebagian karya Ibn Arabi, terutama Fusush al-Hikam ke dalam bahasa Inggris.

Selain memengaruhi kajian spiritualitas Islam, gagasan Ibn Arabi juga memengaruhi filsafat Islam
pada umumnya, seni Islam (arsitektur, musik, dan sastra) dan sebagainya. Salah satu contoh luar
biasa dari penerapan gagasan kosmologi mistis Ibn Arabi ke dalam wilayah aristektur adalah
bangunan Taj Mahal di India. Bangunan indah ini dibangun berdasarkan prinsip keselarasan
geometris struktur kosmos ruhani dan makrokosmos lahiriah dan perhitungan astronomi yang rumit.

Wiyonggo seto di 11.59

Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi

Jumat, 05 Desember 2014

kisah Nabi Khidzir dan air kehidupan

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ats-Tsa'labi rohmatulloh 'alaihi yang diperoleh dari Sayidina 'Aly
bin Abi Tholib Ra...
Bermula dari Sultan Iskandar Dzulqornain yang di segani dan ditakuti oleh seluruh dunia pada
zamannya... walau demikian ia bukanlah Raja yang sombong.. namun salah satu Manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada ALLOH SWT

Suatu ketika Sultan Iskandar Dzulqornain berjalan diatas bumi menuju ke tepi bumi... ALLOH
memerintahkan seorang Malaikat bernama Rofa'il As untuk mendampingi Sultan Iskandar
Dzulqornain.

Di tengah perjalanan mereka berbincang bincang... Sultan Iskandar Dzulqornain berkata kepada
Malaikat Rofa'il "wahai Malaikat Rofa'il ceritakan lah kepada ku tentang ibadah para Malaikat di
langit ".

Malaikat berkata "ibadah para Malaikat di langit di antaranya ada yang berdiri tidak mengangkat
kepalanya selama-lamanya, ada yang rukuk tidak mengkat kepala selamanya dan ada yang sujud
tidak mengangkat kepalanya selamanya "

Mendengar keterangan itu Sultan tercenung.. dalam fikiran beliau punya keinginan melakukan hal
yang sama seperti para Malaikat, yaitu beribadah kepada ALLOH melebihi Malaikat... sebagai rasa
syukur atas anugerah kebesaran yang diberikan ALLOH kepada nya.

Namun... apakah bisa melakukan ibadah hingga hari kiamat seperti para Malaikat?? sebab semua
manusia pasti mati!!

Keinginan nya itu di katakan kepada Malaikat Rofa'il.. lalu Malaikat Rofa'il berkata "sesungguhnya
ALLOH telah menciptakan sumber air di bumi.. namanya 'ainul chayat (sumber air kehidupan) ..
barang siapa yang meminumnya seteguk.. maka tidak akan mati sampai hari kiamat... kecuali ia
memohon kepada ALLOH agar di matikan "

Kemudian Sultan bertanya kepada Malaikat Rofa'il "apakah kau tahu tempat air kehidupan itu????"
Malaikat Rofa'il menjawab "sesungguhnya 'ainul Chayat itu berada di bumi yang gelap" Malaikat
Rofa'il dalam memberikan keterangan hanya sepotong sepotong sebab bahasa dan pengetahuan
yang diberikan ALLOH hanya berupa simbol simbol yang masih misteri... dan setelah itu Malaikat
Rofa'il pun pergi.

Setelah mendapat keterangan dari Malaikat Rofa'il Sultan segera mengumpulkan para ;alim ulama....
Sultan bertanya kepada mereka tentang air kehidupan... para ulama tidak ada yang tahu kabar
keberadaan nya... namun salah seorang yang 'alim di antara mereka mengatakan "sesungguhnya aku
pernah membaca di dalam wasiat Kanjeng Nabi Adam As, beliau berkata bahwa sesungguhnya
ALLOH meletakkan air kehidupan itu di bumi yang gelap "

Sultan menanyakan dimana kah tempat bumi yang gelap itu??? Seorang yang 'alim menjawab "yaitu
di tempat keluarnya matahari " maka Sultan bersiap siap mendatangi tempat itu... dalam kondisi
seperti ini... Malaikat Rofa'il pun hadir. lantas Sultan bertanya kepada sahabat nya itu.. tentang kuda
apa yang sangat tajam penglihatan nya di waktu gelap. Diberikan keterangan.. yaitu kuda betina
yang perawan... kemudian Sultan memerintahkan pada para prajurit nya untuk mengumpulkan 1000
ekor kuda betina yang masih perawan.. setelah itu memilih para prajurit dan cendikiawan dari 6000
orang yang ahli berkuda.. Diantaranya adalah Nabi Khidzir As yang menjabat sebagai perdana
menteri.

Setelah persiapan matang perbekalan dan lainnya siap.. akhirnya Sultan Iskandar dan rombongan
berangkat... Nabi Khidzir As berjalan di barisan terdepan memimpin rombongan... arah terbitnya
matahari itu berada di arah kiblat saat ini dr wilayah kerajaan Sultan Iskandar waktu itu.
Setelah 12 tahun menempuh perjalanan akhirnya sampai juga di tepi bumi yang gelap... ternyata
gelapnya bukan seperti gelapnya malam... tetapi memancar seperti kabut.. dan pasukan berjalan
menerobos kegelapan... namun.. semakin lama semakin gelap.

Dalam perjalanan.. di sepanjang jalan yang dilalui banyak terdapat kerikil kerikil gemerlapan
melancarkan cahaya merah kuning dan biru laksana bintang gemintang di angkasa.

Untuk mencari tahu Sultan Iskandar pun menanyakan kepada Malaikat Rofa'il.. dan diberikan
jawaban bahwa benda benda gemericik yang gemerlapan itu apabila seseorang mengambil nya
niscaya ia akan menyesal dan apabila tidak mengambil nya ia pun akan menyesal juga.

Untuk mengatasi rasa penasaran Sultan Iskandar pun mengambil nya dalam kegelapan terasa seperti
batu.... maka benda itu di bawa ke tempat yang terang... terkejut Sang Sultan karena ternyata benda
tsb adalah benda2 langit... manikam..yakut merat...zamrud dll

Maka Sultan pun kembali dan memunguti benda2 yang berkilau itu.. di masukkan dalam karung
bekas wadah perbekalan... akibatnya perjalanan semakin berat...

Nabi Khidzir selaku pimpinan rombongan berkali-kali memperingatkan Sultan bahwa perjalanan
masih jauh.. hendaknya benda benda itu ditinggalkan saja untuk meringankan beban... permata yang
berkarung karung sedikit demi sedikit dikurangi.. namun perjalanan terasa makin jauh... dan bumi
terlihat makin gelap... Sultan yang perkasa pun lama kelamaan kondisi nya melemah. dan tidak kuat
meneruskan perjalanan... akhirnya memutuskan untuk kembali ke negerinya tanpa hasil...
sementara Nabi Khidzir tetap meneruskan perjalanan.

Di riwayat kan Nabi Khidzir akhirnya menemukan 'Ainul chayat... sebab dalam perjalanan beliau
menerima Wahyu dari ALLOH bahwa air itu untuknya... beliau yang dipilih ALLOH... begitu sampai di
sumber 'Ainul Chayat... perjalanan Nabi Khidzir diperintahkan berhenti.. sebab di sebelah kanan
terdapat jurang yang menyerupai lembah.. ditempat itulah 'Ainul Chayat berada... maka dilepaskan
lah terompah dan pakaian beliau.. serta minum dan mandi di air kehidupan tsb.

Ada sebuah penafsiran bahwa perjalanan mencari air kehidupan merupakan kiasan... yaitu
menggambarkan perjalanan rohani menuju sisi ALLOH...

Dalam menempuh perjalanan rohani harus meninggalkan jubah keduniawian harta benda dunia...

Itu sebabnya Nabi Khidzir memperingatkan Sultan Iskandar yang sudah Kaya raya untuk
meninggalkan permata dan berlian yang dipungutinya.

Perjalanan rohani tidak bisa terbebani sedikit pun urusan dunia. Baik dlm fikiran maupun perasaan.

Sultan Iskandar walaupun Raja yang beriman dan bertaqwa.. tidak mampu menempuh jalan rohani..
penyebab nya masih membawa beban kekuasaan dan harta duniawi. Kerena beban duniawi masih
berat baginya.. maka ia pun kembali.

Perihal ini tidak tertulis dan tidak tersirat... tetapi harus dipelajari dan di pahami. hal tsb pernah
diwejangkan Nabi Khidzir kepada Nabi Musa As.

Nabi Khidzir yang memperoleh Wahyu berhasil mendapatkan ilmu di sisi ALLOH.. yang lazim disebut
ilmu laduni (rohmat sekaligus mukjizat)
Memang... itu semua kehendak ALLOH... namun kehendak itu harus di tempuh melalui jalan rohani
oleh hamba2 ALLOH.

Sekiranya riwayat tsb bisa kita ambil pelajaran untuk kita semua dlm menjalani kehidupan dan
beribadah.... ibadah tidak cukup hny mengedepankan syariat namun hakikat pun di perlukan untuk
alam batiniah kita.

Wiyonggo seto di 02.03

Skip to content

Menu

Biografi Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani

Share

Tweet

BIOGRAFI AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI

(12 Sya’ban tahun 773H sd 28 Dzulhijjah 852H)

Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa
keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu,
walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan
perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama
serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab
berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah
dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang
namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab

Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin
Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-
Suyuthi hal 45)
Gelar dan Kunyah Beliau

Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi, syaikhul islam, hafizh
Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki
syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan
nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau,
Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.

Kelahirannya

Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat
tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid. (Lihat Adh-Dahu’ Al-Laami’ karya imam
As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani 1/87 no. 51).

Sifat beliau

Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya,
bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek
kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil
mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat
cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.

Pertumbuhan dan belajarnya

Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun
dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah
berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut
bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak
tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah
berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin
Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga
sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena
kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.

Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa),
sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu
Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan
serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah
hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal
Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi
gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar belum berhasil menghafal
Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin
Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu
Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur sembilan tahun.

Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada
tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar menyertainya sampai
tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786
H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa
kitab-kitab induk seperti Al-‘Umdah Al-Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-
Hadits karya guru beliau Al-Haafizh Al-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu
Al-Haajib fi Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’rob serta yang lainnya.

Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-
nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H. dan menjadi
pakar dalam syair.

Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau belum
konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh
untuk mencari hadits dan ilmunya.

Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al-Hafizh Al-
Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang
madzhab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan
bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini
Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu
Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi
untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat
dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin
Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-
Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu
juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksinya ulama
didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.

Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaz dan Yaman
dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau
untuk berfatwa dan mengajar.
Beliau mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di Al-madrasah Al-
Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-
Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis Tasmi’ Al-hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan
fikih di Al-Muayyudiyah dan selainnya.

Beliau juga memegang masyikhakh (semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan
madrasah lainnya (Lihat Ad-Dhau’ Al-Laami’ 2/39).

Para Guru Beliau

Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka
dalam banyak karya-karya ilmiahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:

Al-Mu’jam Al-Muassis lil Mu’jam Al-Mufahris.

Al-Mu’jam Al-Mufahris.

Imam As-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:

Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits

Guru yang memberikan ijazah kepada beliau

Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya
ilmiahnya.

Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil Ad-Dimasyqi dalam kitab
Jumaan Ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya
639 orang.

Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka  yang memiliki
pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.

Diantara para guru beliau tersebut adalah:

I. Bidang keilmuan Al-Qira’aat (ilmu Alquran):

Syeikh Ibrahim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan At-Tanukhi Al-Ba’li Ad-
Dimasyqi (wafat tahun 800 H.) dikenal dengan Burhanuddin Asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan
membaca langsung kepada beliau sebagian Alquran, kitab Asy-Syathibiyah, Shahih Al-Bukhari dan
sebagian musnad dan Juz Al-Hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar
dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.

II. Bidang ilmu Fikih:

Syeikh Abu Hafsh Sirajuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Shalih Al-Kinaani Al-‘Asqalani Al-
Bulqini  Al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau
memiliki karya ilmiah, diantaranya: Mahaasin Al-Ish-thilaah Fi Al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala Ar-
Raudhah serta lainnya.

Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Al-Andalusi Al-Mishri (wafat
tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiahnya
dizaman tersebut. Diantara karya beliau: Al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah Al-Ahkam (dicetak dalam 11
jilid) dan Takhrij ahaadits Ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan Syarah Shahih Al-Bukhari dalam 20
jilid.

Burhanuddin Abu Muhammad Ibrahim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi  (725-782 ).

III. Bidang ilmu Ushul Al-Fikih :

Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah
bin Jama’ah Al-Kinaani Al-Hamwi Al-Mishri (Wafat tahun 819 H.) dikenal dengan Ibnu Jama’ah
seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar Mulazamah
kepada beliau dari tahun 790 H. sampai 819 H.

IV. Bidang ilmu Sastra Arab :

Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar  Asy-Syairazi
Al-Fairuzabadi (729-827 H.). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.

Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq Al-Ghumaari 9720 -802 H.).

V. Bidang hadits dan ilmunya:

Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrahim Al-Mahraani Al-
Iraqi (725-806 H. ).

Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih Al-Haitsami
(735 -807 H.).

Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:

Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan hadits.

Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.


Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.

A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.

Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.

Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.

Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.

At-Tanukhi, seorang yang terkenal dengan qira’atnya dan ketinggian sanadnya dalam qira’at.

Murid Beliau

Kedudukan dan ilmu beliau yang sangat luas dan dalam tentunya menjadi perhatian para penuntut
ilmu dari segala penjuru dunia. Mereka berlomba-lomba mengarungi lautan dan daratan untuk
dapat mengambil ilmu dari sang ulama ini. Oleh karena itu tercatat lebih dari lima ratus murid beliau
sebagaimana disampaikan murid beliau imam As-Sakhawi.

Diantara murid beliau yang terkenal adalah:

Syeikh Ibrahim bin Ali bin Asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhahiirah Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat
tahun 891 H.).

Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karmaani Al-hanafi (wafat
tahun 835 H.) dikenal dengan Syihabuddin Abul Fathi Al-Kalutaani seorang Muhaddits.

Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Anshari Al-Khazraji (wafat tahun 875 H.)
yang dikenal dengan Al-Hijaazi.

Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari wafat tahun 926 H.

Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan As-Sakhaawi Asy-Syafi’i
wafat tahun 902 H.

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Makki 
wafat tahun 871 H.

Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.

Ibnu Al-Haidhari.

At-Tafi bin Fahd Al-Makki.

Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.

Qasim bin Quthlubugha.

Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.

Ibnu Quzni.

Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.


Al-Muhib Al-Bakri.

Ibnu Ash-Shairafi.

Menjadi Qadhi

Wafatnya

Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dalam khidmah kepada
ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit
dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal
Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-
majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H.
Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak
memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau
berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan
membacakan imla’. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan
penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari
satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam As-
Sakhaawi berkata, “Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena
penyakit tha’un telah muncul.  Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 852 H.
berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya
menyaksikan hadirnya sakaratul maut.”

Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai
orang nonmuslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi
menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua
para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak
sekali menshalatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau lebih dari 50.000
orang dan Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu
Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra
untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara
makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.

Sanjungan Para Ulama Terhadapnya

Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka
tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha
untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”

Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits
(ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat
bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin
Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul
kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai
Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang
banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek.” Dan
masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.

Karya Ilmiah Beliau.

Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya
dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka
ragam bidang keilmuan untuk umat ini.

Murid beliau yang ternama imam As-Sakhaawi dalam kitab Ad-Dhiya’ Al-Laami’ menjelaskan bahwa
karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab Al-Jawaahir wad-Durar
disampaikan lebih dari 270 karya.

Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:

Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.

An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.

Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).

Taghliq At-Ta’liq.

At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).

Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.

Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari.

Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabbi an Musnad Al-Imam Ahmad.

Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.

Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.

Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.

Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.

Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.

Komentar dan kritik atas kitab Ulum Hadits karya Ibnu As-Shalah.

Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.


Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.

Ta’jil Al-Manfaah bi Zawaid Rijal Al-Aimmah Al-Arba’ah.

Taqrib At-Tahdzib.

Tahdzib At-Tahdzib.

Lisan Al-Mizan.

Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.

Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.

Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Miah Ats-Tsaminah.

Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.

Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.

Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.

Artikel www.KisahMuslim.com

Anda belum mahir membaca Qur'an?

Ingin segera bisa? Klik di sini sekarang!

Borok-Borok Sufi

BOROK-BOROK SUFI

Oleh

Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij

Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada para filosof dan ahli
syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi
dengan berkedok Islam. Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka
barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi
bukan Islam. Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.

MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI

Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni,
dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta
merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.

Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak
manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah
perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan
menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan keyakinan-keyakinan mereka.

ILMU LADUNI

Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:

‫َو َعلَّمْ َناهُ مِنْ لَ ُد َّنا عِ ْلمًا‬

“…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi/18 : 65].

Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka.
Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung
dengan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[1]. Mereka berdalil dengan firman-Nya
Subhanahu wa Ta’ala.

ُ ‫ َوي َُعلِّ ُم ُك ُم هَّللا‬ ۖ َ ‫َوا َّتقُوا هَّللا‬


“Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua”. [Al-
Baqarah/2 : 282].

Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi’ah
yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah. [2]

Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting
itu, diantaranya :

1. Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar’i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi : “Yang
paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan
menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits)
dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena
hal itu hanya akan menyita perhatiannya“.[3]
Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, “Jika seseorang menimba ilmu (hadits),
bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia“[.4]

2. Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha’if (lemah), munkar dan
maudhu’ (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, “Kalian
mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak
pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami : “Telah mengabarkan pada
aku hatiku dari Rabbku”. Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-Hadits) mengatakan : “Telah
mengabarkan kepada kami Fulan”. Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?. Tentu akan
dijawab : “Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal”.
“(Kemudian) dari Fulan (lagi)”. Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan
dijawab : “Ia telah meninggal”.[5] Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, “Ulama Tulisan mengambil
peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau
menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah
(secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali”[6].
Dikatakan oleh Asy-Sya’rani, “Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama
ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf”.[7].

3. Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju
kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang
murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid
tersebut :”Sembunyikan auratmu”.[8] Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo
yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka
salahnya lebih banyak dari benarnya.

Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap diatas :

Pertama.

Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir
berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir,
dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.

Padahal Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-
beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi.
Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.

Sesungguhnya para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad
shalallallahu ‘alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari kiamat. Telah
bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‫اس َعام ًَّة‬ ُ ‫ث إِلَى َق ْو ِم ِه َخاص ًَّة َو ُبع ِْث‬
ِ ‫ت إِلَى ال َّن‬ ُ ‫ان ال َّن ِبيُّ ُيب َْع‬
َ ‫َو َك‬

“Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”. [Hadits
Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].

ِ ‫ان مِنْ أَصْ َحا‬


ِ ‫ب ال َّن‬
  ‫ار‬ ُ ‫اَل َيسْ َم ُع ِبي أَ َح ٌد مِنْ َه ِذ ِه اأْل ُ َّم ِة َواَل َيهُودِيٌّ َواَل َنصْ َرانِيٌّ َو َماتَ َولَ ْم ي ُْؤمِنْ ِبالَّذِي أُرْ سِ ْل‬
َ ‫ت ِب ِه إِاَّل َك‬

“Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian
tidak beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka” [Hadits Shahih Riwayat Muslim
I/93]

Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

َ ‫َو َما أَرْ َس ْل َنا‬


ِ ‫ك إِاَّل َكا َّف ًة لِل َّن‬
‫اس بَشِ يرً ا َو َنذِيرً ا‬

“Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan
pemberi peringatan”. [Saba’/34 : 28]

Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

‫قُ ْل َيا أَ ُّي َها ال َّناسُ إِ ِّني َرسُو ُل هَّللا ِ إِلَ ْي ُك ْم َجمِيعًا‬

“Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua”. [Al-
A’raf/7: 158]

Dan siapa saja yang ‘alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi
ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan
petunjuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa,
Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Seandainya Musa turun, lalu kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka
sungguh sesatlah kalian. Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari umat-umat yang
ada”. [Riwayat Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, dan lihat pula dalam Irwa’al-Ghalil karangan Al-Bani
hal. 1588]
Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan
dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-
nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur’an
secara nyata :

‫َو َما َج َع ْل َنا لِ َب َش ٍر مِنْ َق ْبل َِك ْال ُخ ْل َد‬

“Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi”. [Al-Anbiya’/22: 34]

“Artinya :Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun
sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup”. [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari
Jabir]

Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu’ (palsu) menurut
kesepakatan seluruh ulama hadits.[9]

Kedua.

Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

ُ ‫ َوي َُعلِّ ُم ُك ُم هَّللا‬ ۖ َ ‫َوا َّتقُوا هَّللا‬


“Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)”. [Al-Baqarah/2 : 282]

Hal itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan
pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari’atkan dan diwajibkan
atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar”. [Hadits Riwayat Daruquthni
dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda’. Lihat Silsilah Ash-
Shahihah 342]

Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.

Ketiga.

Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan
yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian
dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna.
Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas
mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, “Iblis menginginkan untuk menutup jalan tersebut
dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya
bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah menyembunyikan
masalah pengamalannya. [10] Dan tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya
khayalan setan belaka.

َ ُ‫﴾ ي ُْلق‬٢٢٢﴿ ‫﴾ َت َن َّز ُل َعلَ ٰى ُك ِّل أَ َّفاكٍ أَث ٍِيم‬٢٢١﴿ ُ‫َه ْل أ ُ َن ِّب ُئ ُك ْم َعلَ ٰى َمنْ َت َن َّز ُل ال َّشيَاطِ ين‬
َ ‫ون ال َّس ْم َع َوأَ ْك َث ُر ُه ْم َكا ِذب‬
‫ُون‬

“Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada
setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan),
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”. [Asy-Syu’ara/ : 221-223]

ُ ْ‫﴾ َي ْو َم َنح‬٨٤﴿ ‫ إِ َّن َما َن ُع ُّد لَ ُه ْم َع ًّدا‬ ۖ ‫﴾ َفاَل َتعْ َج ْل َعلَي ِْه ْم‬٨٣﴿ ‫ين َتؤُ ُّز ُه ْم أَ ًّزا‬
َ ‫ش ُر ْال ُم َّتق‬
‫ِين إِلَى الرَّ حْ ٰ َم ِن َو ْف ًدا‬ َ ِ‫أَلَ ْم َت َر أَ َّنا أَرْ َس ْل َنا ال َّشيَاط‬
َ ‫ين َعلَى ْال َكاف ِِر‬
‫ِين إِلَ ٰى َج َه َّن َم ِورْ ًدا‬ ْ
َ ‫ُوق المُجْ ِرم‬ ُ ‫﴾ َو َنس‬٨٥﴿

“Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir
untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ? Maka janganlah kamu
tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari
siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan
orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat.
Dan kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga”.
[Maryam/ : 83-86]

Adapun pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian
dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan
tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf
semacam inilah yang disebutkan dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman. [11] Jadi
bila ada perkataan mereka semacam ini : “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku” tidak
lain adalah perkataan khurafat.

Keempat.

Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya,
lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu.
Seperti, kata Ibnu Arabi, “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq.
Saat itu di tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku,
‘Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam’. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik
manfa’at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil
amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan
cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana
diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya”.

Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:

1. Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi kitab
Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir’aun itu
telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung
(yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).

2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari’at. Sesungguhnya, ada
yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan
terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi
yang demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal
itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

“Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena
sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku”. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah,
mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Lihat Shahih Al-Jami’ dan ziyadahnya V/293]

Berdasarkan keterangan diatas, maka kita berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para pengikutnya
adalah dajjal-dajjal Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka dusta dan tidak mengandung
kebenaran sama sekali.

SYARI’AT DAN HAKIKAT

Para pemimpin sufi mengatakan, bahwa setiap ayat mempunyai unsur lahir dan bathin. Atau, Islam
itu terdiri dari syari’at dan hakikat. Syari’at, bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat
merupakan tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.

Cara agar mampu untuk mencapainya adalah dengan memiliki ilmu laduni, kasyaf Rabbani serta
Faidh Ar-Rahmani. Dalihnya, hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dari Abu Hurairah :

“Artinya : Aku menghafalkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua kantung ilmu. Adapun
salah satunya telah aku sebarkan. Sedangkan lainnya, bila ku sebarkan akan dipotong tenggorokan
ini”. [Hadits Riwayat Bukhari dalam kitab Fitan]
Padahal ini sebagai isyarat dari beliau rahimahullah tentang akan tidak adanya kaitan antara ilmu
batin dan ilmu zhahir. Kalau tidak begitu, pasti beliau akan mencantumkannya dalam Al-‘Ilm.
Sesungguhnya, Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan masalah tersebut secara rinci dalam
kitabnya, Fathu Al-Bari I/216.

Oleh karena itu, barangsiapa menyatakan Islam terdiri dari lahir dan batin, berarti dia telah
menyangka Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menghianati tugas kerasulannya.
Tapi, inilah kenyataannya. Mereka berkeyakinan, Rasulullah hanya menyampaikan yang zhahir saja.
Sedang, yang batin beliau beritahukan kepada orang-orang tertentu.[12]

Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas dari yang mereka kaitkan
kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah, malaikat Jibril serta orang-orang shalih dari
kalangan yang beriman menyaksikan yang demikian itu. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫يت لَ ُك ُم اإْل ِسْ اَل َم دِي ًنا‬ Tُ ‫ت لَ ُك ْم دِي َن ُك ْم َوأَ ْت َمم‬


ُ ِ‫ْت َعلَ ْي ُك ْم نِعْ َمتِي َو َرض‬ ُ ‫ْال َي ْو َم أَ ْك َم ْل‬

“Pada hari ini Aku sempurnakan untuk mu agamamu, dan Aku lengkapkan untukmu semua ni’mat-
Ku serta Aku ridhai bagimu Islam sebagai agama”. [Al-Maidah/5 : 3]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meminta persaksian dihadapan segenap manusia muslim
yang berkumpul di bawah Jabal Ar-Rahmah pada hari haji akbar. Kata beliau, “Sesungguhnya, kalian
akan ditanya tentang aku. Maka, apakah yang akan kalian katakan ?” Jawab mereka : “Kami bersaksi
bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu dan telah menunaikannya. Engkau telah
menasehati umatmu dan menunaikan kewajibanmu”.

Lantas beliau bersabda seraya mengacungkan telunjuknya ke arah langit dan menggerak-
gerakkannya kehadapan manusia : “Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah”. [Potongan dari
hadits Jabir bin Abdullah tentang hajinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di-tahqiq ulang
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Hijjah An-Nabi, hal. 37-41].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menyatakan secara terang-terangan, dan hal ini sebagai
hujjah nyata guna menampar setiap pendusta dan yang suka berbuat dosa. Kata beliau :

“Artinya : Sesungguhnya seorang nabi tidak mengenal main isyarat (dengan mata)”. [Hadits Shahih
Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dari Anas. lihat Shahih Al-Jami’ II/303]
Maksudnya memberi isyarat dengan isyarat rahasia. Hal ini agar tidak ada seorangpun yang
berburuk sangka yang menyebabkan tumbuhnya keyakinan, bahwa dalam agama Allah ada rahasia
yang tidak banyak diketahui manusia.

Yang semakna dengan hadits ini adalah sabdanya : “Artinya : Sesungguhnya tidak selayaknya bagi
seorang nabi mempunyai mata yang khianat”. [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Hakim
dari Sa’id. Lihat Shahih Al-Jami’ II/307]

AL-HULUL WA AL-ITTIHAD

Sebagaimana kelomppok sufi berkhayal, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya
akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah. Ketika itulah ia menempati dzat tersebut,
hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi
hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.

Orang-orang yang berpikiran demikian, misalnya Al-Hallaj, ibnu Al-Faradh, Ibnu Sab’in dan lainnya
dari kalangan sufi. Berikut ini kami paparkan sebagian perkataan mereka : Al-Hallaj berkata : [13]

Maha Suci yang menampakkan sifat kemanusiannya,

Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,

Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,

Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,

Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti

jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.

Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab

yang tergambar dalam seluruh bentuk pada

hamban-Nya, Fulan. [14]

Dan Ibnu Al-Faradh berkata : [15]

Tidaklah aku shalat kepada selainku,

dan tidaklah shalatku kepada selainku

ketika menunaikan dalam setiap raka’atku.

Dan cukuplah bagi orang-orang sufi merasakan kesedihan tatkala Ibnu Al-Faradh berpayah-payah
dibalik fatamorgana. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, tatkala menceritakan keadaan Ibnu Al-
Faradh : “Orang yang mengucapkan sya’ir tersebut ketika meninggalnya mengucapkan syair sebagai
berikut :

Jika kedudukanku dalam cinta disisi-Mu,

tidak seperti yang pernah aku jumpai,

maka sesungguhnya aku telah membuang-buang umurku.

Angan-angan yang menancap dalam diriku beberapa lama,

dan pada hari ini aku mengiranya sebagai mimpi kosongku belaka.

At-Tusturi berkata : [16]

Akulah yang dicintai dan yang mencintai,

tidak ada selainnya.

Para syaikh tasawuf tersebut mencari-cari dalih dengan hadits yang berbicara masalah wali. Padahal,
segala dalih dan alasan itu tak mendukung mereka. Misalnya sebuah hadits :

“Artinya : Tidak henti-hentinya seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan perbuatan-
perbuatan yang disunnahkan hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Akulah yang
menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang dia gunakan
untuk melihat, dan tangannya yang dia julurkan, dan kakinya yang dia langkahkan. Maka, jika ia
meminta kepada-Ku, sungguh aku akan beri. Dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku
akan melindunginya”. [Hadits Riwayat Bukhari, akan tetapi kami ringkas sesuai dengan makna
pembahasan].

Hadits ini menunjukan dengan sangat adanya pembedaan dan pemisahan. Dalam hal ini ada ‘Abid
(yang beribadah) dan Ma’bud (yang diibadahi). Sa-il (yang meminta) dan Mas-ul (yang diminta), ‘A-
idz (yang minta perlindungan) dan Mu’idz (yang melindungi). Sedang, orang-orang sufi tersebut
mengaku bahwa Allah berdiam dalam dzat hambanya. Yaitu, jika Dia menjadi dia dan keduanya
menjadi dua dzat yang menyatu.

Betapa anehnya ! Bagaimana akal orang-orang sufi tersebut menerimanya dengan cara
membenarkan kebohongan ini ? Dan bagaimana pula hingga lisan mereka mengulang-ngulangnya ?
Sungguh, Kursi-Nya seluas langit dan bumi, maka bagaimana mungkin jasad manusia dapat
menampung-Nya ?.

Adapun hadits berikut :


“Artinya : Langit dan bumi-Ku sempit bagi-Ku, akan tapi hati hamba-Ku yang beriman lapang bagi-
Ku”

Maka hadits ini adalah hadits palsu menurut kesepakatan para ulama ilmu hadits.

WIHDAH AL-WUJUD

Pemahaman hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan wihdah al-wujud. Istilah ini
berdasar pola pikir orang-orang sufi bermakna, bahwa dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali
Allah. Maka, tidaklah segala yang nampak ini kecuali penjelmaan dzat-Nya semata. Yaitu, Allah.
Maha Suci Allah, Rabb kita, Rabb yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan.

Ibnu Arabi berkata : “Tidak ada yang tampak ini kecuali Allah, dan tidaklah Allah mengetahui kecuali
Allah”.

Dan termasuk dalam keyakinan ini adalah orang-orang yang mengatakan :”Akulah Allah, Maha Suci
Aku”. Seperti, Abu Yazid Al-Bustahmi.[17]

Katanya : “Rabb itu haq dan hamba itu haq. Maka, betapa malangku. Siapakah kalau demikian yang
menjadi hamba ? Jika aku katakan hamba, maka yang demikian itu haq, atau aku katakan Rabb,
sesungguhnya aku hamba”.

Dikatakan pula : [18] “Suatu saat hamba menjadi Rabb tanpa diragukan, dan suatu saat seorang
hamba menjadi hamba tanpa kedustaan”.

Keberanian mereka kepada Allah sampai puncaknya ketika tukang sya’ir mereka, Muhammad
Baha’uddin Al-Baithar mengatakan : [19] “Tidaklah anjing dan babi itu melainkan sesembahan kita,
dan tidaklah Allah itu melainkan rahib-rahib yang ada dalam gereja-gereja”.

Pensyarah kitab Aqidah At-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, berkata :”Perkataan yang demikian
itu mengantarkan manusia pada teori hulul wa al-ittihad. Hal ini lebih keji daripada kafirnya orang-
orang Nashrani. Karena orang-orang Nashrani mengkhususkan menyatunya Alllah hanya dengan Al-
Masih, sedangkan mereka memberlakukan secara umum terhadap seluruh mahluk. termasuk
keyakinan mereka pula, bahwa Fir’aun dan kaumnya memiliki kesempurnaan iman, sangat mengenal
Allah secara hakiki.

Termasuk dari cabangnya pula, bahwa para penyembah berhala berada diatas kebenaran, dan
mereka sesungguhnya beribadah kepada Allah, tidak kepada lainnya. Keyakinan lainnya, tida ada
perbedaan dalam penghalalan dan pengharaman antara ibu, saudara perempuan dan yang bukan
mahram. Dan tidak ada perbedaan antara air dengan khamer, zina dengan nikah. Semuanya itu
berasal dari sumber yang satu. Dan termasuk cabangnya pula, bahwa para nabi mempersempit
manusia. Maha Tinnggi Allah dari apa yang mereka katakan”. [20]

Keyakinan semacam ini merupakan puncak tertinggi dari kekafiran, yang dengannya hancurlah
seluruh agama, membatalkan seluruh syari’at, dihalalkan seluruh perkara yang diharamkan, dan
disamakannya orang yang beriman dengan orang fasik, orang bertaqwa dengan orang binasa,
muslim dengan mujrim, yang hidup dengan yang mati. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

َ ‫﴾ أَ ْم لَ ُك ْم ِك َتابٌ فِي ِه َت ْد ُرس‬٣٦﴿ ‫ُون‬


‫ُون‬ َ ‫ْف َتحْ ُكم‬
َ ‫﴾ َما لَ ُك ْم َكي‬٣٥﴿ ‫ِين‬ َ ‫أَ َف َنجْ َع ُل ْالمُسْ لِم‬
َ ‫ِين َك ْالمُجْ ِرم‬

“Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang yang suka berbuat dosa,
bagaimana kalian dengan apa yang kalian putuskan. Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat
dibaca ? [Al-Qalam/68 : 35-37].

Benar, mereka mempunyai kitab selain Al-Qur’an. yaitu, Al-Fushush Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-
Makkiyah. Dan telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

ِ َّ‫ِين َك ْالفُج‬
‫ار‬ ِ ْ‫ِين فِي اأْل َر‬
َ ‫ض أَ ْم َنجْ َع ُل ْال ُم َّتق‬ َ ‫ت َك ْال ُم ْفسِ د‬ َ ‫أَ ْم َنجْ َع ُل الَّذ‬
ِ ‫ِين آ َم ُنوا َو َع ِملُوا الصَّال َِحا‬
“Apakah Kami hendak menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih seperti orang-orang yang
membuat kerusakan di muka bumi. Ataukah Kami hendak menjadikan orang-orang yang bertaqwa
seperti orang-orang kafir”. [Shad/38: 28].

Dan apa yang kami paparkan di sini bukanlah hasil istimbath kami dan bukan pula ijtihad. Akan
tetapi, semua itu adalah perkataan mereka yang diucapkan dengan lisannya. Yang syaikh paling
senior diantara mereka selalu mengulang kekafirannya dan menyatakan kefasikannya.

Bila pembaca menghendaki hakikat yang kami paparkan dan dalil yang kami kukuhkan, maka lihatlah
kitab Al-Fathu Ar-Rabbani dan Al-Faidh Ar-Rahmani, karangan Abdul Ghani An-Nablisi hal.
84,85,86,87.

Semoga Allah memaafkan kita.

CAHAYA (NUR) MUHAMMADI

Termasuk dalam madzhab wihdah al-wujud, ialah adanya keyakinan dikalangan orang-orang sufi
tentang masalah Aqthab, Autad, Abdal, Aghwats, An-Najba (yakni beberapa istilah status, jabatan
atau peringkat dikalangan sufi), bahwa ruh Allah berdiam pada diri mereka sehingga merekalah yang
mengatur apa yang ada.

Mereka menduduki kedudukan Allah dalam mencipta dan mengatur. Yang demikianpun termasuk
keyakinan Syi’ah terhadap para imamnya. Seperti dikatakan Khumeini dalam kitabnya Al-Hukumah
Al-Islamiyah hal.52 : “Sesungguhnya imam mempunyai kedudukan yang terpuji dan derajat yang
tinggi, dan kekuasaan untuk mencipta serta tunduk di bawah kekuasaannya seluruh unsur dari
semesta ini. Dan termasuk madzhab kami yang sangat penting pula, bahwa para imam kita
mempunyai kedudukan yang tidak dapat diraih oleh para malaikat terdekatpun, dan tidak pula oleh
nabi yang didekatkan. Dan berdasarkan riwayat-riwayat yang ada pada kita, dengan hadits-
haditsnya, bahwa Rasul teragung Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam, mereka semua,
sebelum adanya alam semesta ini berupa cahaya yang dijadikan Allah mengelilingi Ars-Nya. [21]

Sesungguhnya orang-orang sufi, dimana beribu-ribu kaum muslimin dari segala penjuru dirangkul
mereka, lalai ketika mengangkat orang-orang tersebut (para imamnya) ke derajat ketuhanan atau
yang mendekati hal itu. Yaitu menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkedudukan
diantara mereka dalam mengatur semesta, baik masalah penciptaan dan pengaturan,
mendatangkan manfaat dan memberikan madharat, qadha dan qadar …. Maka, mulailah mereka
mengada-ngadakan perkataan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teori Al-
Haqiqah Al-Muhammadiyah yang mengeluarkan Rasulullah dari alam manusia dan menjadikannya
cahaya (nur). Dari cahaya Muhammad itulah seluruh mahluk diciptakan.

َ ُ‫ إِنْ َيقُول‬ ۚ ‫ت َكلِ َم ًة َت ْخ ُر ُج مِنْ أَ ْف َواه ِِه ْم‬


‫ون إِاَّل َك ِذبًا‬ ْ ‫َكب َُر‬

” … Sungguh besar perkataan yang keluar dari mulut mereka. Tiadalah yang mereka katakan itu
kecuali dusta”. [Al-Kahfi /18: 5]

Berikut ini sebagian dari perkataan mereka :

1. Muhammad Adalah Asal Semesta.

“Sesungguhnnya akal yang pertama adalah dinasabkan kepada Muhamad. Karenanya Allah
menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi Jibril dan merupakan
asal dari seluruh alam semesta”.[22]

2. Muhammad Di Atas ‘Arsy.

“Mahluk yang pertama adalah debu, dan mahluk yang pertama yang berwujud secara hakiki adalah
Muhammad yang disifatkan istiwa’ di atas ‘Arsy Ar-Rahmani, yaitu ‘Arsy ilahi. [23]

3. Cahaya Muhammad (Nur Muhammadi) Adalah Cahaya Allah.


4. Muhammad Adalah Penjaga Atas Semesta.

5. Semesta Diciptakan Karena Muhammad.

Ibnu Nabatah Al-Mishri berkata :

Kalau bukan karenanya,

tidak adalah bumi dan tidak pula ufuk.

Tidak pula waktu, tidak pula mahluk,

tidak pula gunung.

6. Muhammad Mengetahui Yang Ghaib.

Berikut ini dalil-dalil mereka yang mereka sembunyikan di balik punggung-punggunya :

Hadits pertama.

“Artinya : Pertama kali yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, wahai Jabir” [Hadits Palsu]

Hadits kedua.

“Artinya : Aku sudah menjadi nabi sedangkan Adam masih berwujud antara air dan tanah”. [Hadits
Palsu. Lihat Syarah Jami’ash-Shagir III/91 dan Asna Al-Mathalib hal. 195]

Ini adalah perkataan yang sangat lemah dan matan-nya mungkar. Bukankah air adalah bagian dari
tanah ? Adapun hadits shahih berlafadz : “Artinya : Aku sudah menjadi Nabi, sedangkan Adam
adalah keadaan antara ruh dan jasad”, tetapi ini pada ilmu Allah yang azali.

Hadits ketiga.

“Artinya : Kalau tidak karena engkau, maka bintang-bintang itu tidak diciptakan”. [Shan’ani berkata
bahwa hadits ini Palsu dan disepakati Imam Syaukani dalam kitab Fawaid Al-Majmu’ah hl. 116]

Padahal sesungguhnya Allah telah menutup berbagai jalan menuju perbuatan yang melebih-lebihkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

‫صالِحً ا َواَل ُي ْش ِركْ ِب ِع َبا َد ِة َر ِّب ِه أَ َح ًدا‬ َ ‫ َف َمنْ َك‬ ۖ ‫ُوح ٰى إِلَيَّ أَ َّن َما إِ ٰلَ ُه ُك ْم إِ ٰلَ ٌه َوا ِح ٌد‬
َ ‫ان َيرْ جُو ِل َقا َء َر ِّب ِه َف ْل َيعْ َم ْل َع َماًل‬ َ ‫قُ ْل إِ َّن َما أَ َنا َب َش ٌر م ِْثلُ ُك ْم ي‬
“Katakanlah, sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kamu semua. Hanyasanya diwahyukan
kepadaku (wahyu). Sesungguhnya sesembahanmu adalah sesembahan yang Esa. Maka barangsiapa
yang mengharapkan bertemu dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal dengan amalan yang shalih
dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya”. [Al-Kahfi /18: 110]

Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.

‫ت إِاَّل َب َشرً ا َرسُواًل‬


ُ ‫ان َربِّي َه ْل ُك ْن‬
َ ‫قُ ْل ُسب َْح‬
“Katakanlah, Maha Suci Rabbku. Bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul ?”. [Al-
Isra/17 : 93]

Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.

‫ أَ َفاَل‬ ۚ ‫ قُ ْل َه ْل َيسْ َت ِوي اأْل َعْ َم ٰى َو ْالبَصِ ي ُر‬ ۚ َّ‫ُوح ٰى إِلَي‬


َ ‫ إِنْ أَ َّت ِب ُع إِاَّل َما ي‬ ۖ ‫ك‬
ٌ َ‫ْب َواَل أَقُو ُل لَ ُك ْم إِ ِّني َمل‬
َ ‫قُ ْل اَل أَقُو ُل لَ ُك ْم عِ ْندِي َخ َزائِنُ هَّللا ِ َواَل أَعْ لَ ُم ْال َغي‬
َ ‫َت َت َف َّكر‬
‫ُون‬

“Katakanlah, tidaklah aku mengatakan kepada kalian semua bahwa aku mempunyai perbendahaaran
Allah, tidak pula aku mengetahui yang ghaib, tidak juga aku katakan bahwasanya aku ini malaikat.
Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, apakah sama orang
yang melihat dengan orang yang buta ? Apakah kalian semua tidak berpikir ?”. [Al-An’am/6 : 50]

Telah bersabda pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah kalian semua melebih-lebihkan aku seperti orang-orang Nashrani melebih-
lebihkan Isa anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan
utusan-Nya”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]

Dan telah bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sesungguhnya aku ini adalah manusia yang dapat marah pula”. [Hadits Shahih Riwayat
Bukhari dan Muslim]

Dan riwayat lainnya yang sangat banyak. Inilah sifat-sifat kemanusiaan yang di sandang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak lahirnya hingga bertemu dengan Rabbnya. Beliaulah yang
mengajak manusia untuk mencontohnya dan menempuh jejak-jejaknya.
Kalau bukan dari alam kita, tidaklah kita diperintahkan untuk mengikuti beliau dan menjalani sunah-
sunahnya. Siapakah yang lebih benar perkataannya dari Allah, sedangkan Dia telah menyetujui
hakikat ini melalui lafadz-lafadz Qur’ani yang pasti dan terinci :

َ ‫﴾ولَ ْو َج َع ْل َناهُ َملَ ًكا لَ َج َع ْل َناهُ َر ُجاًل َولَلَ َبسْ َنا َعلَي ِْه ْم َما َي ْل ِبس‬
‫ُون‬ َ ٨﴿‫ُون‬ ٌ َ‫َو َقالُوا لَ ْواَل أ ُ ْن ِز َل َعلَ ْي ِه َمل‬
َ ‫ َولَ ْو أَ ْن َز ْل َنا َملَ ًكا لَقُضِ َي اأْل َ ْم ُر ُث َّم اَل ُي ْن َظر‬ ۖ ‫ك‬

“Mereka berkata, kenapa tidak diturunkan kepada kita malaikat ? kalau diturunkan kepada mereka
malaikat, maka pasti telah diselesaikan perkaranya (dengan dibinasakan mereka semua) kemudian
mereka tidak diberi tangguh. Dan kalau seandainya Kami turunkan malaikat, pasti akan Kami jadikan
dia seorang manusia, Kami-pun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana mereka kini ragu”. [Al-
An’am/6 : 8-9]

Dan ketahuilah, semoga Allah menambahkan ilmu kepadamu, semesta ini adalah mahluk yang
diciptakan dengan tujuan tertentu. Yaitu beribadah kepada Allah. Seperti dinyatakan dalam firman-
Nya.

‫ُون‬ َ ‫ت ْال ِجنَّ َواإْل ِ ْن‬


ِ ‫س إِاَّل لِ َيعْ ُبد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. [Adz-Dzariyat/51 : 56]

PENDIDIKAN SUFI

Supaya ajaran tasawuf mencapai tujuannya, mereka kenakan pada tokoh-tokohnya sifat bebas dari
dosa (‘ishmah). Selain itu, menuntut kepada muridnya agar bersikap seperti mayit di tangan yang
memandikannya. Maka janganlah engkau melampauinya dengan mengambil ilmu sufi dari guru lain,
karena seorang murid yang menimba ilmu dari dua guru ibarat seorang wanita di tangan dua lelaki.
[24]

Ibnu Arabi berkata : “Sesungguhnya termasuk syarat imam batin, hendaklah ia ma’shum (bebas dari
dosa)” [25] Katanya lebih lanjut : “Dan engkau, wahai para murid yang tertipu dan tersesat, bantulah
apa yang diinginkan terhadap engkau. Dan bersangka baiklah, jangan membantah. Bahkan yakinilah.
Dan manusia dalam masalah ini mempunyai perkataan yang banyak. Tapi terserah dirilah, niscaya
engkau akan selamat. Dan Allah lebih mengetahui perkataan para walinya. [26]

Kami tidak mengetahui kenapa banyak ulama kaum muslimin berdiam diri terhadap kekufuran dan
keingkaran yang bersembunyi dalam pakaian Islam yang bertujuan menipu, menyesatkan serta
mengajak kaum muslimin untuk meyakininya serta menegakan agama mereka di atas asasnya ?
Sesungguhnya termasuk suatu kebaikan jihad di sisi Allah untuk menghapuskan fitnah ini dari
kalangan muslimin, karena sesungguhnya fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Kenapa kaum muslimin tidak terang-terangan memerangi mereka secara keseluruhan demi
tumbangnya kepalsuan-kepalsuan yang telah memburamkan keindahan Islam ?.

Bahkan kenyataannya banyak kaum muslimin yang tersembelih kesesatan dan kekufuran ini. Dan
tidaklah menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian ini kecuali usaha para ulama Islam
untuk menyingkap kebatilan-kebatilan tadi dengan berbagai bahasa dan dengan berbagai
kedudukan. Maka wahai Rabbku, bangkitkanlah orang-orang yang memperbaharui agama-Mu ini,
karena sesungguhnya kaum sufi telah kembali bangkit dengan wajah baru pula.

[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha’u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 17//Tahun IX/1416H/1996M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]

_______

Footnote.

[1]. Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.

[2]. Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226

[3]. Quwat Al-Qulub, III/35

[4]. Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.

[5]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.

[6]. Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.

[7]. Al-Mizan, I/28.

[8]. Tablis Iblis, hal. 370.

[9]. Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.

[10]. Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.

[11]. Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27.

[12]. Ihya’Ulumuddin, AL-Ghazali, I/19

[13]. Ath-Thawasin. Al-Hallaj, cet. Masoniyah, hal. 139

[14]. Tablis Iblis, Ibnul Jauzi, hal.145.

[15]. Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, XI/247-248

[16]. Ma’arij At-Tashawuf Ila Laqaiq At-Tashawuf, Ahmad Bin ‘Ajibah, hal.139.
[17]. Al-Futuhat Al-Makiyah, I/354.

[18]. Fushush Al-Hikam, hal.90

[19]. Shufiyat, hal.27

[20]. Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.79

[21]. Al-Hukumat Al-Islamiyah, Khumeini, hal. 52

[22]. Al-Insan Al-Kamil lil Jalil, hal.4

[23]. Futuhat Al-Makkiyah, I/152

[24]. Ihya’ Ulumuddin, I/50-51 dan III/75-76

[25]. Futuhat Al-Makkiyah, III/183

[26]. Muqaddimah AL-Futuhat, I/5

Anda mungkin juga menyukai