Anda di halaman 1dari 13

Minggu, 24 Juli 2016

3 TINGKAT TENTANG KEYAKINAN

By. Dedie Kusmayadi

Seberapa yakinkah kita dengan agama yang kita anut. Apakah kita beragama cuma ikutan/taklid saja
kepada keluarga atau ulama? Dan ibadah yang selama ini kita kerjakan apakah itu sekedar
memenuhi kewajiban (gugur kewajiban) ataukah dilandasi ketulusan dan kecintaan kepada Allah?
Nah, pada umumnya seseorang yang beragama didasarkan atas salah satu dari 3 keyakinan berikut
ini :

1. ‘Ilmul Yaqin

2. ‘Ainul Yaqin

3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)

1. ‘Ilmul Yaqin

Ini adalah tingkatan terendah dari suatu keyakinan beragama. Misal seseorang mendapat
pengetahuan dari si A yang mengatakan bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa, padahal si A
tidak pernah ke negeri Cina. Jadi pengetahuan yang didapat dari si A hanyalah pada tataran teori
belaka.

Seseorang yang beragama pada tingkat ini hanyalah yakin karena “kata orang”. Maka ia pun
akhirnya menerima saja apa yang dikatakan oleh orang orang tanpa melakukan penyelidikan atau
mendalami secara sungguh-sungguh agamanya sendiri.

Jika agamanya sendiri tidak pernah dikaji lalu bagaimana mau mempelajari agama orang lain? Yang
terjadi kemudian adalah sikap memusuhi agama diluar dirinya. Merasa diri paling benar sehingga
mengkafirkan yang lain.

Menyalah-nyalahkan ajaran agama orang lain seakan-akan dirinya adalah orang yang paling benar.

Orang pada tataran ilmu yaqin ini biasanya mudah diprovokasi dan dihasut contohnya ya teroris
seperti Noordin M Top, Dr. Azhari dan para pelaku bom bunuh diri yang membunuh orang-orang
yang tidak bersalah. Teroris seperti mereka selalu memahami jihad dengan berperang. Kalau tidak
berperang serasa kurang afdhol. Lebih suka mati medan berperang ketimbang mati di meja belajar.
Padahal ketika meledakkan diri, mereka tidak sedang diserang malah justru menyerang orang yang
tidak bersalah. Orang yang seperti inilah yang menghancurkan nama baik Islam sebagai agama yang
mengajarkan kedamaian. Mereka jelas bukan orang Islam melainkan orang kafir karena melakukan
kerusakan di muka bumi.

Nah, bagi mereka yang masih pada tahap ilmul yaqin, sholat lima waktu yang dikerjakan masih sulit
untuk khusyu’ karena hanya gerak fisik belaka (sholat raga). Ibarat orang yang sedang menghormat
dan berbicara kepada raja tapi rajanya tidak ada di depannya. Ini yang disebut menyembah adam
sarpin (kekosongan). Ibarat menyumpit burung tapi burungnya tidak ada, yang disumpit adalah
kekosongan. Sholat seperti ini sia-sia karena tidak mampu menghadirkan zikir didalamnya. Padahal
sholat itu haruslah dapat menghadirkan zikir sebagaimana yang diperintahkan Allah :
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah
sholat untuk berzikir kepadaKu. (Q.S Thaahaa 20 : 14)

Mengapa sholatnya seseorang harus mampu menghadirkan zikir? Sebab dengan zikir akan hadir
ketenangan, kedamaian dalam batin dan pikiran kita. Kalau batin dan pikiran sudah tenang maka
hawa nafsu bisa dikendalikan. Dirinya akan mampu melihat mana perbuatan yang baik dan mana
yang buruk. Sholat yang mampu menghadirikan zikir inilah yang akan mampu mencegah manusia
dari berbuat keji dan mungkar :

Dan sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabuut 29 : 45)

Bagi mereka yang tidak mampu menghadirkan zikir ketika sholatnya maka sholatnya tidak akan
mampu mencegah diri mereka dari berbuat keji dan mungkar. Sholatnya tidak salah! Tapi orang yang
mengerjakannya yang lalai.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (Q.S
Al Maa'un 107 : 4-5)

Tidaklah heran jika kita sering melihat orang rajin sholat, punya pengetahuan agama yang luas tapi
malah jadi tersangka kasus korupsi. Kerjanya sih di Departemen Agama tapi malah tempat kerjanya
dijadikan lahan korupsi. Inilah tandanya orang yang melalaikan sholat. Rajin ibadah ritual tapi masih
suka KKN, dengki, suka bergunjing, memfitnah, dan melakukan perbuatan yang merugikan orang
lain. Inilah ibadah yang sia-sia karena cuma berolah raga saja dan tidak menghujam ke dalam batin.

2. ‘Ainul Yaqin

Tahapan ini lebih tinggi dari yang ‘ainul yaqin. Misal seseorang diberitahu oleh si A bahwa di negeri
Cina terdapat tembok raksasa. Dan ternyata si A pernah ke Cina melihat tembok raksasa. Jadi pada
tahapan ini seseorang mendapat pengajaran dari si A yang pernah mengalami atau praktek. Si A
bukan hanya tahu secara teori tapi ia telah membuktikannya dengan pergi ke negeri Cina.

Dalam kaitannya dengan agama, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang sedang
“mencari Tuhan”. Pencariannya meliputi penelitian melalui buku-buku, bertanya kepada orang-
orang mengenai masalah Ketuhanan/spiritual dan orang yang ditanya pun tidak hanya pandai
berteori namun sudah mempraktekannya juga.

Sholatnya orang yang telah mencapai tahap ini tentu akan lebih baik lagi karena akan mampu
menghadirkan zikir dalam sholatnya sehingga dapat mencegahnya dari berbuat keji dan mungkar.

Namun demikian bagi kita yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin jangan puas dulu. Perjalanan
belum selesai bung! kita harus terus meningkatkan keyakinan kita sampai kita tahapan yang nyata
dan terbukti. Kita harus pergi ke negeri Cina untuk menyaksikan tembok raksasa tersebut agar
haqqul yaqin.

Mereka yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin seringkali terjebak berpuas diri dengan keyakinan
atau pengetahuan yang dimilikinya. Mereka merasa cukup puas mengerjakan rukun iman dan rukun
Islam tanpa berusaha mencapai makrifat kepada Allah. Sebagian dari mereka sering berceramah
tentang keutamaan mendapat lailatul qadr tapi mereka sendiri tidak pernah mendapat atau
mengalami pengalaman lailatul qadr. Sering juga berceramah Isra Mikraj tapi tidak pernah
mengalami Isra Mikraj. Kita ternyata cuma bisa kebanyakan berceramah (teori) tanpa bisa
membuktikan ceramahnya. Padahal di Al Quran kita telah di ingatkan agar jangan cepat berpuas
diri :

Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang amat rugi
perbuatannya?” Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya ketika hidup di dunia sedang mereka mengira
bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik (Q.S Al Kahfi 18 : 103-104)

3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)

Inilah tahapan keyakinan yang tertinggi. Dalam hal ini kita bukan hanya mendengar cerita saja
bahwa di negeri Cina ada tembok raksasa, namun kita mengalaminya sendiri dengan pergi ke negeri
Cina. Kalau sudah ke negeri Cina dan melihat sendiri tembok tersebut tentu keyakinannya sangat
kuat sekali. Inilah kebenaran yang haq (nyata) dan terbukti (isbat).

Dalam kaitannya dengan keyakinan beragama, orang yang telah mendapat haqqul yaqin adalah
orang yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Orang yang telah bermakrifat berarti ia mengenal
Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Ia akan mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya
(ladunni).

Perihal ilmu laduni ini telah disampaikan juga melalui Al Quran :

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (Q.S Al
Kahfi 18 : 65)

Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarimu. (Q.S Al Baqarah 2 : 282)

Manusia yang telah mendapat ilmu laduni berarti telah mendapatkan kebenaran yang Haq. Tidak
ada keraguan sama sekali. Mereka pun telah mencapai Mikraj, bertemu dengan Allah. Bagi mereka,
Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual yang langsung dialaminya sendiri bukan teori belaka.

Lho… bukankah Isra Mikraj itu hanya untuk Nabi Muhammad saja? Nah doktrin seperti inilah yang
telah banyak memasung pemikiran umat Islam. Pendapat ulama dijadikan taklid, harga mati yang
tidak bisa dirubah. Padahal pendapat ulama itu hanya untuk dijadikan referensi saja. Ibarat
makanan, jangan ditelan mentah-mentah. Kunyahlah dulu. Untuk itu, carilah guru atau ulama
sebanyak-banyaknya. Jangan hanya cari ulama yang levelnya SD tapi cari juga ulama yang levelnya
SMP , SMA, S1 ,S2, S3 dan seterusnya. Jangan hanya belajar dari ulama yang sering muncul di
televisi saja tapi belajarlah juga ulama lain yang lebih tinggi ilmunya. Ulama ini tidak muncul
kepermukaan karena tidak mau menjadi selebritis. Mereka harus dicari!. Kalau kita hanya belajar
dari ulama level SD ya pengetahuan kita tidak akan pernah berkembang. Bagai katak dalam
tempurung. Merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki dan yang ditingkatkan pun hanya ibadah ritual
saja. Padahal ilmu Allah itu teramat sangat luas dan ini justru menjadi tantangan umat Islam abad
modern untuk terus mengkaji Al Quran sesuai perkembangan jaman.

Kalau kita taklid kepada pendapat seorang ulama, memangnya ketika kita mati, ulama tersebut mau
bertanggung jawab kepada kita? Nah karena tiap manusia itu sendirian ketika meninggal maka
manusia itu sendiri yang harus menentukan jalan hidupnya. Segala pendapat atau tafsiran
hendaknya hanya dijadikan referensi saja. Termasuk postingan yang anda baca inipun hanya bersifat
referensi untuk mendekati kebenaran.
Kitalah nantinya yang akan menemukan kebenaran itu sendiri setelah diberi petunjuk Tuhan, tentu
kita juga harus meminta petunjuk-Nya terlebih dahulu. Saya tidak mengatakan pendapat saya di
postingan ini adalah yang paling benar. Sekali lagi tidak! Karena kebenaran hanyalah milik Allah
semata. Dan saya tidak mau ikut-ikutan sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebenaran
dari Tuhan lalu dengan seenaknya mengatakan orang lain sesat, kafir bahkan melakukan tindak
kekerasaan kepada orang lain yang tidak sependapat/sealiran dengan mereka. Sesat adalah
menyimpang dari kebenaran dan yang empunya kebenaran adalah Allah. Jadi Allah-lah yang
memiliki otoritas penuh untuk menentukan sesat atau tidaknya seseorang. Simak ayat berikut ini :

Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang
bertaqwa. (Q.S An Najm 53 : 32)

Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk (Q.S Al An'aam 6 : 117)

Isra Mikraj. Peristiwa ini seringkali hanya dipahami sebagai turunnya perintah sholat lima waktu.
Banyak orang yang hanya mengambil hikmahnya saja dari peristiwa Isra Mikraj tapi sedikit sekali
yang mau meneladaninya atau mengalaminya langsung bertemu dengan-Nya. Hal ini disebabkan
terpengaruh oleh pendapat ulama yang mengatakan bahwa Isra Mikraj cuma bisa dilakukan oleh
Nabi Muhammad. Seharusnya ulama tersebut jujur kepada diri sendiri kalau memang belum mampu
melakukan atau mengalami Isra Mikraj. Nah, kalau belum mengalami seharusnya introspeksi diri
jangan lantas kemudian mengatakan sesat jika ada orang lain yang mampu melakukan Isra Mikraj.
Peristiwa Isra Mikraj sama sekali bukan untuk dikagumi belaka! bukan pula untuk dimitoskan! tapi
untuk diteladani. Sekali lagi, diteladani!. Peristiwa Isra Mikraj dapat kita baca dalam Al Quran,
sebagaimana dibawah ini:

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S
Al Israa 17 : 1)

Para ulama berbeda pendapat tentang perjalanan Nabi dalam Isra Mikraj ini. Sebagian ulama
mengatakan bahwa perjalanan Isra Mikraj Nabi Muhammad adalah secara fisik dan ruh, dan
sebagian lagi mengatakan hanya ruh saja yang melakukan perjalanan. Perbedaan pendapat ini
bukanlah hal yang harus dipersoalkan karena yang terpenting adalah memahami hakekat Isra Mikraj
itu sendiri. Saya tetap menghargai pendapat ulama lain meski saya sendiri berpendapat bahwa Nabi
melakukan perjalanan secara ruhani – bukan fisik. Tuhan adalah Maha Roh dan untuk menemui-Nya
adalah melalui ruh juga.

Fisik hendaknya “ditanggalkan” atau dimatikan dahulu. Istilah jawanya adalah mati sakjroning urip
(mati selagi hidup). Nabi juga bersabda muutuu qobla an tamuutu (matikan dirimu sebelum mati
yang sesungguhnya). 

Bagi sebagian ulama, perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sering
ditafsirkan secara harfiah yakni Nabi benar-benar melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha. Padahal ketika ayat diatas turun, Masjidil Aqsha belum ada sama sekali. Tempat
sebelum Masjidil Aqsha didirikan adalah reruntuhan candi Sulaiman. Masjidil Aqsha baru didirikan
pada kekhalifahan Umar bin Khattab dan baru selesai pembangunannya pada kekhalifahaan Abdul
Malik bin Marwan pada 68 H yakni lima puluh tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Jadi masjid
tersebut adalah “simbol” yang harus dikaji maknanya lebih mendalam. Oleh karena sulit
menjelaskan hal gaib maka simbol diperlukan untuk memudahkan pemahaman. Nah, Masjidil Haram
dan Masjidil Aqsha adalah simbol dari bayt Allah (rumah Allah). Tentu makna rumah Allah disini tidak
diartikan secara harfiah sebagaimana rumah manusia karena sesungguhnya Allah tidak
membutuhkan rumah. Peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa dimana Rasulullah berkunjung ke bayt
Allah. Dimana letaknya bayt Allah? Ya di dalam diri tiap manusia.

Beliau melakukan perjalanan ruhani ke dalam diri. Dalam sebuah Hadistnya Nabi mengatakan :
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Dalam suatu riwayat lain juga
diceritakan bahwa tempat nabi melakukan Mikraj masih hangat. Ini artinya nabi tidak melakukan
perjalanan spiritual secara fisik melainkan perjalanan secara ruhani yakni melalui zikir dan tafakur.
Manusia tidak perlu melakukan perjalanan secara fisik untuk menemui Allah karena sesungguhnya
Allah tidak berada disuatu tempat yang terikat oleh ruang dan waktu layaknya manusia. Allah itu
meliputi segala sesuatu.

Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu. (Q.S Fushshilat 41 : 54)

Dan Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Q.S Qaaf 50 : 16)

Dan Allah bersama kamu dimana saja kamu berada. (Q.S Al Hadiid 57 : 4)

Dari ayat diatas, kita akan menyadari bahwa Allah itu tidaklah berjauhan dengan hamba-Nya dan
untuk mengenal Allah cukup dengan mengkaji ke dalam diri pribadi. Usaha untuk mengkaji ke dalam
diri dimulai dengan Isra. Isra adalah usaha atau pencarian yang dilakukan manusia untuk mencari
lalu menemui Tuhannya.

Hal ini disimbolkan melalui perjalanan malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Disebut
perjalanan malam karena kebanyakan manusia ini hidup dalam kegelapan karena tidak tahu akan
kemana tujuan hidupnya.

Orang yang tidak tahu tujuan hidup disebut orang yang buta mata batinnya.

Dan barang siapa yang buta (mata batinnya) di dunia ini, niscaya di akherat nanti akan lebih buta lagi
dan lebih tersesat dari jalan yang benar. (Q.S Al Israa 17 : 72)

Nah, kalau di dunia saja buta kita tidak tahu arah yang dituju apalagi di kehidupan yang akan datang?
Ibarat mau ke Surabaya tapi tidak punya petunjuk jalan untuk mencapai daerah tersebut. Di
perjalanan ya tentu akan nyasar. Tersesat ke arah yang makin kita tidak tahu dan tentu akan
membuat kita makin menderita karena berada ditempat yang asing.

Lalu apa tujuan hidup kita sebenarnya? Ini telah saya jelaskan di post terdahulu  yaitu kembali
kepada Allah (Ilayhi Roji’un). Nah agar manusia tidak tersesat (buta mata batinnya) dan selamat
sampai kepada-Nya maka manusia harus mampu melakukan Isra Mikraj. Dan Isra Mikrajnya tidak
perlu pergi ke Mekkah atau Yerusalem. Tidak perlu menjual tanah. Orang miskin harta pun bisa
melakukan Isra Mikraj asalkan ia bersungguh-sungguh ingin menemui-Nya.

Hai Manusia, bersungguh-sungguhlah kamu dengan setekun-tekunnya sehingga sampai kepada


Tuhanmu lalu kamu menemui-Nya. (Q.S Al Insyiqaaq 84 : 6)

Dalam Isra atau pencarian ini manusia harus melakukan jihad ke dalam diri yakni melakukan takhalli
dan tahalli agar kemudian bisa melakukan Mikraj yakni berkunjung ke bayt Allah untuk menemui-
Nya. Apa itu takhalli dan tahalli ?
TAKHALLI

sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya. (Q.S As Syams 91 : 9-10)

Takhalli adalah mensucikan diri. Dalam hal ini disimbolkan dengan kisah pembedahan hati Nabi oleh
Malaikat Jibril dengan air zam-zam. Harap dipahami bahwa pembedahan hati tersebut hanya
simbol!. Maksud dari simbol itu adalah untuk menemui Allah harus bersih/suci dari penyakit hati.
Artinya adalah manusia harus berusaha mensucikan dirinya. Kenapa? Karena Allah itu Maha Suci. Dia
hanya akan menerima hamba-Nya yang suci. Mereka yang belum suci ya belum bisa kembali kepada-
Nya. Ini berarti mereka masih

berada di alam surga dan neraka-Nya. Sebagian dari mereka masih melakukan kejahatan. Sebagian
dari mereka beribadah karena takut neraka (mental budak) dan sebagian mereka lagi beribadah
karena berharap surga (mental pedagang). Jadi masih harus dilatih! Masih harus disempurnakan!

Bertakhalli adalah jihad yang paling besar karena harus mengalahkan diri sendiri. Harus
mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Sifat-sifat iri, dengki, munafik, tamak, dan perbuatan lain
yang merugikan orang haruslah dibuang jauh-jauh. Jelas bahwa musuh terbesar manusia bukanlah
siapa-siapamelainkan dirinya sendiri. Ada sebuah ungkapan bijak dari Walt kelly yang mengatakan :

“Kita telah menemukan sang musuh, dan ternyata dia adalah diri kita sendiri”. Dalam suatu
Hadistnya, Nabi juga mengatakan bahwa orang mukmin yang kuat bukanlah yang kuat fisiknya
melainkan yang mampu mengalahkan hawa nafsunya.

TAHALLI

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An Nahl 16 : 90)

Tahallli adalah mengisi hidup kita dengan kebajikan atau perbuatan yang baik seperti jujur, kasih
sayang, sabar, ikhlas, mudah memberi maaf, menegakan perdamaian dan menebar salam kepada
sesama manusia. Nah, sekarang ini sebagian umat Islam memposisikan dirinya ekslusif. Paling benar.
Merasa paling masuk surga sendirian sehingga mengharamkan menjawab salam dari umat non
muslim.

Padahal fatwa tersebut jelas menyalahi perintah Allah. Bahkan di Al Quran surah An Nisaa (4):94,
pada saat berperang orang mukmin itu dilarang mengatakan “kamu bukan mukmin” terhadap orang
yang mengucapkan salam. Dalam situasi perang saja kita diperintahkan demikian apalagi dalam
situasi damai!. Ayat lain di Al Quran juga memerintahkan hal yang sama :

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah ialah mereka yang berjalan dimuka bumi ini dengan
rendah hati. Apabila orang jahil menyapa mereka, maka mereka berkata “Salam” (kata-kata yang
baik). (Q.S Al Furqan 25 : 63)

Coba kita baca kembali ayat diatas. Sangat jelas bahwa orang mukmin yang rendah hati pun akan
membalas salam bahkan dari orang jahil atau iseng sekalipun. Inilah mukmin yang mampu mengajak
orang lain ke sorga dengan menebar salam. Ayat diatas adalah ayat Quran, jadi tidak perlu ditanya
lagi keshahihannya. Sayangnya oleh para ulama, ayat diatas dibatalkan oleh Hadist yang melarang
menjawab salamnya orang non muslim. Tidaklah mengherankan jika kemudian Islam dipandang
sebagian orang non muslim sebagai agama yang tidak bersahabat. Sungguh aneh jika Al Quran
dihapus oleh Hadist. Seharusnya kita hanya mengambil Hadist yang tidak bertentangan dengan
Quran. Kalau ada Hadist yang bertentangan dengan Quran sebaiknya tidak masuk hitungan meski
diriwayatkan oleh perawi yang terkenal sekalipun. Perbuatan dan perkataan Rasul tentu disesuaikan
dengan kondisinya pada saat itu. Kita harus melihat kemungkinannya bahwa Hadist itu sifatnya
kasus per kasus dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua keadaan. Dalam hal perintah Nabi untuk
membunuh cecak misalnya, Hadits ini tidak bisa digeneralisasi bahwa semua cecak harus dibunuh
sebab Nabi mengatakan perintah demikian karena pada saat itu Nabi terkena kotoran cecak. Malah
dalam Hadist lainnya, Nabi justru memerintahkan kita untuk tidak membunuh binatang yang tidak
mengganggu.

Begitu juga dengan Hadist yang melarang menjawab salam dari kalangan non muslim harusnya
jangan kita telan bulat-bulat. Jadi dalam hal ini kita harus berhati-hati dengan Hadist. Bukan berarti
kita ingkar Hadist. Bukan!! Tapi berhati-hati dalam berfatwa menggunakan Hadist. Jangan kita
terjebak mengagung-agungkan (taklid) kepada perawinya. Tidak ada jaminan dari Allah atau Nabi
Muhammad yang menyatakan bahwa perawi A atau B adalah perawi yang harus ditaati, dipercaya
karena bebas dari kesalahan.

Sejarah Hadist sendiri dimulai pada tahun 100 H dimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendorong
penulisan Hadist. Jika Al Qurannya pada masa itu sudah baku dan hanya ada satu yakni versi Ustman
bin Affan -versi lainnya dibakar agar tidak terjadi perbedaan-, tidaklah demikian dengan Hadist. Di
masa Umar bin. Abdul Aziz -yang wafat 101 H- riwayat, dongeng, sabda Yesus, dan doktrin di luar Al
Quran menjamur dan tak terkontrol sehingga pemalsuan Hadist sulit untuk bisa di edit kembali.
Lebih dari 125 tahun kemudian, Bukhari baru muncul di permukaan bumi. Tak alang kepalang jumlah
Hadist, lebih dari sejuta Hadist. Bukhari sendiri menyeleksi sekitar

600.000 Hadis. Dan dari yang terseleksi pun banyak yang miring kepada daulat Abbasiyah.

Coba bayangkan, menguji validitas Hadist setelah 200 tahun Nabi wafat, tentunya merupakan
pekerjaan yang hampir mustahil dikerjakan manusia. Karena itu, tumbuhlah ilmu-ilmu untuk
menyaring Hadist, misalnya uji isnad/rijal, cara periwayatan, dan juga matan. Jika Al quran yang
ribuan ayat saja perlu kejelian untuk menjadikannya kitab di masa Umar bin Khatthab, bagaimana
membakukan Hadist yang jumlahnya lebih dari sejuta? Secara logis, “Pesan berantai” dari Nabi
Muhammad hingga ratusan tahun ke depan tentu akan sulit ditelusuri keasliannya. Tidak heran jika
ada kelompok yang saling berbeda pendapat akhirnya saling menuduh bahwa kelompok itu
menggunakan Hadist palsu. Pertengkaran dalil seperti ini jelas akan mengorbankan ukhuwah Islam
demi ego kelompoknya masing-masing.

Setelah pembakuan Hadist secara besar-besaran, terbukti umat Islam malah kian tertinggal
dibandingkan umat agama lain karena patokan mereka cukup dengan Hadist saja, bahkan sebagian
lagi malah ada yang “menuhankan” Hadist dan melupakan Quran. Dengan demikian, dalam
menyikapi Hadist, harusnya kita sangat berhati-hati karena walau bagaimanapun ada Hadist yang
sifatnya kasuistis (per kasus) dan ini bisa berbahaya bila digeneralisasi dan dijadikan hukum.

Hanya Al Quranlah yang dijamin keasliannya oleh Allah. Yang terbaik adalah menafsirkan Quran
dengan Quran. Boleh saja kita menafsirkan Quran dengan Hadist asal Hadistnya tidak bertentangan
dengan Quran. Kalau semua Quran ditafsirkan dengan Hadist ya umat Islam bakalan mandeg. Al
Quran akhirnya cuma dikeramatkan. Orang malah lebih sering ngaji Quran ketimbang mengkaji
Quran. Umat Islam jadi malas berpikir untuk mengkaji kembali Quran karena merasa sudah cukup
ditafsirkan oleh Hadist. Al Quran jadinya

malah tertutup untuk bisa ditafsirkan kembali sesuai perubahan jaman. Jadilah kita umat Islam abad
ke-21 dengan produk pemikiran di abad silam. Islam akhirnya tidak bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin
yang mampu menjadi solusi di segala jaman. Sungguh kita membutuhkan ulama-ulama reformis
yang mampu membenahi citra Islam sebagai agama yang terbuka terhadap perkembangan jaman.

TAJALLI

Maka Kami bukakan tirai yang menutupi engkau, oleh sebab itu pandangan engkau amatlah
terangnya. (Q.S. Qaaf 50 : 22)

Pada proses takhalli dan tahalli, seseorang berarti telah makrifat kepada Af’al, Asma dan Sifat-Nya.
Puncak dari seagala makrifat adalah makrifat Dzat. Inilah yang disebut tajalli. Dalam istilah lain
disebut juga Musyahadah atau Mukhasafah. Manusia yang sudah mencapai tajalli berarti ia telah
bermikraj.

Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi diceritakan telah sampai ke “Pohon Sidrah” (Pohon Lotus) yang
biasa dikenal dengan sebutan Sidratul Muntaha. Dengan Mikraj berarti beliau telah sampai kepada
bayt Allah lalu menemui-Nya. Nabi mengatakan : Ra’aitu Robbii fii ahsani su’uura (Aku telah melihat
Tuhanku yang seelok-eloknya rupa yang tiada umpamanya). Dengan demikian, tidak ada hijab lagi
antara diri dan Tuhannya. Yang ditemui adalah Cahaya diatas cahaya!

Allah adalah cahaya semua langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca (dan) kaca itu bak
bintang yang memancarkan sinar gemerlapan yang dinyalakan (dengan minyak) dari pohon yang
diberkati – yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun barat. Minyaknya pun bercahaya
meski tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah memberikan cahaya pada orang yang
menghendaki cahaya-Nya. (Q.S An Nuur 24 :35)

Nah, sholatnya orang-orang beriman (makrifat) sangatlah khusyu karena ketika mereka sholat, tidak
ada hijab antara ia dan Tuhannya. Nabi bersabda :

“Sholat adalah mikrajnya orang-orang yang beriman”. Ya! Hanya orang-orang berimanlah yang
mengalami Mikraj ketika sholatnya Ini artinya mereka tidak menyembah adam sarpin (kekosongan).
Mereka bashar (melihat) Allah ketika sholat dan Allah pun bashar kepada mereka. Sunan Bonang 
salah satu walisongo, penyebar agama Islam di nusantara, pernah bertutur, seperti yang tertulis
dalam Suluk Wujil sebagai berikut :

Endi ingaran sembah sejati

Aja nembah yen tan katingalan

Temahe kasor kulane

Yen sira nora weruh

Kang sinembah ing dunya iki

Kadi anulup kaga


Punglune den sawur

Manuke mangsa kenaa

Awekasa amangeran adam sarpin

Sembahe siya-siya

Artinya : “manakah yang disebut sholat yang sesungguhnya? Janganlah menyembah bila tidak tahu
siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak
mengetahui siapa yang disembah didunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya disebar
tetapi tak ada satupun yang mengenai burungnya. Akhirnya cuma menyembah adam sarpin,
penyembahan yang tiada berguna”

Dalam beragama, ada golongan orang ‘alim dan ada golongan orang ‘arif (telah makrifat).
Perbedaannya adalah, kalau orang ‘alim mengenal Tuhan hanyalah sebatas percaya saja. Syahdatnya
pun hanya diucapkan di bibir. Sedangkan orang ‘arif mengenal Tuhannya adalah melalui
(penyaksian). Syahadatnya bukan hanya diucapkan belaka melainkan telah dibuktikannya. Jika
seseorang sudah mencapai tahap alim maka seyogyanya ia meningkatkan kualitas dirinya menjadi
seorang yang ‘arif. Orang yang telah mengenal Tuhannya akan mampu sholat terus menerus dalam
keadaan berdiri, duduk, bahkan tidur nyenyak Intinya adalah segala perbuatannya adalah sholat.
Inilah yang disebut “sholat daim”. Aladzina hum ‘ala sholaatihim daa’imuun. Yaitu mereka yang terus
menerus melakukan sholat (Q.S Al-Ma’aarij : 70:23)

Mereka yang mampu sholat daim adalah mereka yang tidak akan berkeluh kesah dalam hidupnya
dan senantiasa mendapat kebaikan sebagaimana disampaikan Q.S 70 : 19-22. Nah, sholat daim ini
modelnya seperti apa? Ah, tentu saja tidak bisa dibeberkan disini karena sholat daim adalah “oleh-
oleh” dari hasil pencarian spiritual manusia. Tidak bisa diceritakan ke semua orang kecuali mereka
yang telah memiliki kematangan spiritual. Ibarat pelajaran fisika S3, ya tentu tidak bisa diajarkan
kepada anak SMP. Harus lulus dulu S2-nya agar menerima ilmu tersebut lebih mudah.

Sholat daim adalah sholatnya orang ‘arif yang telah mengenal Allah. Ini adalah sholatnya para Nabi,
Rasul, dan orang-orang ‘arif. Ilmu ini memang tidak banyak diketahui orang awam. Lantas bagaimana
dengan sholat lima waktu? Nah sholat lima waktu sebenarnya adalah jumlah minimal saja yang
harus dikerjakan manusia untuk mengingat Allah. Pada hakekatnya kita malah harus terus menerus
untuk mengingat Allah sebagaimana firman-Nya :

Dan ingatlah kepada Allah diwaktu petang dan pagi (Q.S Ar-Ruum 30 : 17)

Dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang. (Q.S Al-Insaan 76 : 25)

Ayat diatas bukan berarti mengingat Allah hanya dua kali saja yaitu waktu pagi dan petang sebab
makna ayat diatas justru sehari-semalam! Yakni pagi dimulai dari jam 12 AM-12 PM, sampai dengan
petang jam 12 PM-12 AM, begitu seterusnya. Nah, karena tidak semua orang sanggup untuk
mengingat Allah dalam sehari-semalam maka sholat lima waktu itu adalah merupakan event khusus
untuk mengingat-Nya. Jika orang awam tidak ada perintah sholat lima waktu maka tentu saja Allah
akan mudah terlupakan. Kalau Allah terlupakan maka bumi ini bisa rusak oleh berbagai kejahatan
yang dilakukan manusia. Orang awam perlu dilatih disiplin melalui sholat lima waktu ini untuk
mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, kontrol diri akan lebih kuat.
Namun demikian, janganlah merasa cukup puas hanya dengan sholat lima waktu. Tingkatkanlah agar
kita mampu melakukan sholat daim. Mari kita simak kembali ungkapan Sunan Bonang yang tertulis
dalam Suluk Wujil :

Utaming sarira puniki

Angawruhana jatining salat

Sembah lawan pujine

Jatining salat iku

Dudu ngisa tuwin magerib

Sembahyang araneka

Wenange puniku

Lamun aranana salat

Pan minangka kekembaning salat daim

Ingaran tata krama

Artinya : “Unggulnya diri itu mengetahui hakekat sholat, sembah dan pujian. Sholat yang sebenarnya
bukan mengerjakan isya atau magrib. Itu namanya sembahyang, apabila disebut sholat maka itu
hanya hiasan dari sholat daim. Hanyalah tata krama”

Dari ajaran Sunan Bonang diatas, maka kita bisa memahami bahwa sholat lima waktu adalah sholat
hiasan dari sholat daim. Sholat lima waktu ganjarannya adalah masuk surga dan terhindar neraka.
Tentu yang mendapat surga pun adalah mereka yang mampu menegakan sholat yaitu dengan sholat
tersebut, ia mampu mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar.

Sayangnya, saat ini banyak orang yang hanya meributkan sholat fisiknya saja dan melupakan hakekat
sholat itu sendiri. Seringkali jika terdapat perbedaan pada gerakan ataupun bacaan sholat, mereka
saling ribut mengatakan sholatnya paling benar dengan menyebut sejumlah Hadist yang diyakininya
benar.

Harap diingat! Perbedaan gerak maupun bacaan adalah hal yang wajar karena Nabi sendiri tidak
mengajarkan sholat secara khusus melainkan hanyamengatakan “Sholatlah sebagaimana aku
sholat”. Nah karena banyak orang yang menyaksikan sholatnya Nabi, maka penglihatan masing-
masing orang bisa berbeda sehingga tidaklah aneh jika ada perbedaan dikemudian hari.

Mengapa Nabi tidak mengajarkan sholat secara khusus? karena gerakan sholat yang dicontohkan
Nabi sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Arab. Gerakan sholat yang dicontoh Nabi berasal dari
agama Kristen Ortodoks Syiria yang telah muncul satu abad sebelum Nabi lahir. Ritual sholat mereka
dikerjakan dalam tujuh waktu. Gerakannya ada berdiri, ruku dan sujudnya mirip sekali dengan sholat
lima waktu umat Islam. Cara sholat umat Kristen Ortodoks Syiria sampai hari ini pun masih bisa kita
saksikan. Bagi umat Islam yang tidak mengerti sejarah, pasti akan sewot dan mengatakan mereka
telah mencontek sholatnya orang Islam atau menuduh mereka melakukan kristenisasi gaya baru.
Padahal, justru kitalah yang mengadopsi sholat dari mereka.
Dengan demikian, Nabi ternyata tidak membawa syariat baru. Nabi hanya memodifikasi berbagai
syariat yang telah ada sebelumnya. Contoh lainnya adalah Ibadah Haji dan Umroh. Ibadah ini sudah
menjadi kelaziman pada jaman pra Islam. Hampir seluruh ritualnya sama dengan yang dilakukan
umat Islam pada saat sekarang, yakni memakai pakaian ihram, wukuf, melempar jumrah, sa’i dll.
Nabi hanya mewarisi saja dengan menyingkirkan ibadah ini dari kesyirikan dan diganti dengan
kalimah thoyibah. Begitu juga dengan

pengagungan bulan Ramadhan, perkumpulan di hari jum’at, telah ada sebelumnya pada jaman pra
Islam. Aturan pra Islam lainnya yang diadopsi dari tradisi hanifiyyah antara lain : pengharaman
minum arak, riba, zina, memakan babi, kemudian ada juga pemotongan hukum tangan pelaku
pencuri dlsb. Dengan demikian, Nabi hanya melakukan modifikasi saja pada beberapa syariat dan
aturan. Termasuk dalam hal poligami yang tadinya dilakukan orang Arab pra Islam tanpa batas
kemudian oleh Nabi dibatas menjadi empat istri sesuai perintah dari Allah.

Nah, fakta-fakta diatas dapat Anda baca secara lebih luas melalui buku-buku yang mengulas sejarah
dan peradaban pra Islam, misalnya karangan Khalil Abdul Karim dengan judulnya Al-Judzurat at-
Tarikhiyyah la asy-syariah al Islamiyyah. Nah, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Nabi tidak
membawa syariat yang sama sekali baru? Jawabannya mudah saja, karena jika membawa syariat
baru maka hampir bisa dipastikan dakwah Nabi gagal. Sama halnya jika Nabi mengenalkan kesenian
wayang di tanah Arab tentulah akan gagal karena ketidakcocokan budaya. Meski Islam itu untuk
seluruh umat manusia, namun dalam konteks mengenalkan agama tersebut haruslah tetap mengacu
dan berkompromi pada ritual dan budaya lokal Arab agar tetap bisa diterima masyarakat pada saat
itu. Perhatikan firman Allah berikut ini :

Dan jikalau Kami jadikan Al Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka
mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing
sedang (Rasul adalah orang) Arab? (Q.S Fushishilat 41 : 44)

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat
memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (Q.S Ibrahim 14 : 4)

Kalau Nabi membawa syariat baru maka sudah pasti akan ditolak oleh orang Arab karena syariat itu
akan menjadi sangat asing bagi mereka. Coba kita ingat kembali misi utama Nabi yaitu memperbaiki
ahlak dan mengajarkan tauhid. Bayangkan jika Nabi harus mengenalkan syariat baru, maka tentunya
dakwah Nabi malah akan dipenuhi oleh pengajaran ritual-ritual ibadah yang baru. Bisa jadi nantinya
fokus pada pembinaan ahlak akan terbengkalai karena umat lebih sibuk belajar ibadah ritual tanpa
memahami hakekat ritual itu sendiri. Padahal semua ritual tersebut, tujuannya adalah untuk
membentuk ahlak yang baik.

Hal yang sama juga telah dilakukan oleh para wali songo. Contohnya Sunan Kudus membuat Masjid
dengan atapnya sama seperti pura (rumah ibadah umat Hindu). Syekh Siti Jenar tidak mengajarkan
“sholat ala Arab” kepada orang jawa. Sujud bagi orang Arab adalah penghormatan yang tertinggi,
sedangkan bagi orang jawa, penghormatan tertinggi adalah duduk dengan tangan ditangkupkan
diatas kepala. Wali lain seperti Sunan Kalijaga juga mengenalkan Islam melalui sekatenan, muludan,
selametan, wayang dll.

Sampai saat ini, kita masih mendapati Islam jawa yang diajarkan oleh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga
yang kemudian lebih dikenal dengan nama Islam abangan atau kejawen. Dengan demikian, para wali
ini sebenarnya telah mengikuti sunnah Nabi yakni tidak merubah kebiasaan masyarakat setempat
melainkan memodifikasi sedemikian rupa agar dakwahnya bisa diterima. Bagi para wali, yang
terpenting dari ibadah itu adalah tujuannya sedangkan “wadahnya” bisa fleksibel sesuai dengan
tradisi setempat.

Sekarang, sudah saatnya bagi kita tidak lagi perang syariat antar aliran agama. Yang terpenting dari
syariat adalah isinya bukan kulitnya!. Syariat tanpa hakekat adalah sia-sia. Hakekat tanpa syariat?
Nah ini yang sebenarnya tidak ada!, orang yang sudah mencapai hakekat, sudah pasti syariatnya ikut
meski penerapannya berbeda antar tiap kelompok, aliran dan agama. Adanya perbedaan haruslah
dihargai, bukan diperangi! Sebab cuma Allah-lah yang mengetahui sesat atau tidaknya seseorang
(Q.S 53 : 32, 6 : 117).

Kita harus mampu melampaui batasan yang sifatnya lahiriah. Jangan melulu meributkan ritual fisik
sholat! Tapi lihatlah tujuan dari sholat itu sendiri. Jangan pula hanya berhenti pada tataran sholat
lima waktu saja. Sholat yang sejati adalah sholat yang terus menerus selama 24 jam (sholat daim)
karena sholat inilah yang mampu melampui alam surga sehingga dapat kembali kepada-Nya.
Disanalah nanti orang-orang ‘arif akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal, manunggal bersama-
Nya!

Bagi mereka yang ingin mendalami sholat daim maka silahkan mencari ulama tauhid (guru mursyid).
Ulama ini cukup banyak hanya saja mereka tidak muncul ke permukaan. Mereka hanya mau
mengajari orang-orang yang mau mencapai maqam makrifat saja. Sama halnya Nabi Muhammad
pun hanya mengajari orang-orang tertentu saja misalnya para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abu
Bakar dll. Nah karena tidak mengajarkan secara terang-terangan inilah maka kemudian sebagian
umat Islam menghakimi bahwa tasawuf yang bermunculan adalah sesat. Padahal ajaran tasawuf
yang bermunculan semuanya bermuara ke para sahabat Nabi seperti Ali, Abu Bakar dll. Bahkan ada
kelompok tasawuf yang mewajibkan murid-muridnya harus hafal silsilah dari guru mursyidnya
hingga ke Rasulullah. Ini menandakan bahwa Rasulullah memang mengajarkan tasawuf atau cara
mencapai makrifat kepada sahabatnya

lalu diwariskan kembali oleh sahabat tersebut kepada generasi selanjutnya. Para imam mazhab
sendiri mengakui tasawuf sebagai ajaran yang sangat penting. Imam Syafi’i Ra mengatakan : “Aku
diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua. Meninggalkan hal-hal yang memaksa, bergaul dengan
sesama penuh kelembutan dan mengikuti ahli tasawuf”.

Imam Ahmad bin Hambal Ra sebelum bertasawuf mengatakan “Hai anakku, hendaknya engkau
berpijak kepada Hadist. Kamu harus berhati-hati bersama orang yang menamakan dirinya kaum sufi.
Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama”. Kemudian setelah berguru tasawuf
kepada Abu Hamzah Al Baghdady, beliau meralat ucapannya : “Hai anakku, hendaknya engkau
bermajlis kepada para sufi karena mereka bisa memberikan tambahan bekal kepada kita melalui
ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur. Aku tidak
pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum sufi”.

Jadi, cara, usaha atau wasilah apapun sepanjang itu bisa mendekatkan diri kepada Allah tidaklah
dilarang. Malah di Al Quran, kita dianjurkan mencari jalan yang mampu mendekatkan diri kepada-
Nya :

Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan bersungguh-sungguh lah pada jalan- Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan
(Q.S Al Maaidah 5 : 35)

Belajar tasawuf dengan berguru kepada ulama tauhid merupakan usaha atau jalan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Mengapa berguru itu penting? Keutamaan seorang guru mursyid
adalah mampu membimbing kita lebih terarah ketimbang kita melakukan pencarian seorang diri.
Dari sisi efisiensi waktu, jelas belajar kepada seorang guru akan lebih cepat ketimbang belajar tanpa
guru. Meski demikian guru mursyid hendaknya tidak dikultuskan sedemikian rupa. Kita menimba
pelajaran dari beliau dan kita sendirilah yang akan menjalankannya. Kita tetap menjaga hubungan
yang baik dengan dengan guru mursyid sebagai sesama orang yang beriman.

Diluar sana, banyak juga orang yang melakukan perjalanan spiritual seorang diri. Tentunya ia akan
membutuhkan waktu yang panjang dan hasilnya pun belum pasti bahkan bisa terperosok kepada
jalan yang keliru. Imam Ghozali adalah salah seorang filsuf yang melakukan perjalanan panjang
(salik) dalam menemui Tuhannya. Ia bahkan harus mengasingkan diri dari keramaian orang banyak
(uzlah) agar tidak terganggu tirakatnya.

Tentu hidup di jaman sekarang sangat sulit mengasingkan diri dari keramaian orang. Uzlah yang
harus dilakukan manusia modern hendaknya tidak harus menyendiri dari keramaian dan tidak harus
melepas tanggung jawab dunia dengan meninggalkan anak, istri. Seorang sufi bernama Abu Said Al
Khudri bahkan mengatakan :

“Manusia sempurna adalah orang yang duduk diantara semua mahluk, berdagang bersama mereka,
menikah serta bercampur dengan sesama manusia. Namun mereka tidak lengah sedetikpun dari
mengingat Allah”.

Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa usaha untuk menemui Allah tidak mesti harus memutus
hubungan bermasyarakat. Allah bisa ditemui siapapun, ditempat apapun. Untuk menemui Allah
ternyata ada jalan terpendek (mazhud) yakni dengan mendapat bimbingan dari guru mursyid.
Rasullullah sendiri telah mencontohkan dalam hal menemui Allah yaitu dengan mikraj yang
dilakukan cukup semalaman saja. Bandingkan dengan Sidharta Gautama yang membutuhkan waktu
6 tahun untuk mencapai mikraj. Guru mursyid inilah yang mampu mengajarkan mikraj dengan cepat
sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad. Carilah guru mursyid yang mampu
memberikan jalan tercepat dan paling efektif dalam usaha menemui-Nya sebagaimana yang
dinyatakan dalam Al Quran :

Aku dapat membawa singgasana-Nya dalam sekejab mata (Q.S An Naml 27 : 40)

Jalan pendek ini pun akhirnya diakui jauh lebih efektif oleh Imam Ghozali dalam bukunya yang
berjudul “misykat cahaya”. Sebab Allah selalu memberi kemudahan kepada umat-Nya khususnya
bagi mereka yang memiliki keinginan kuat untuk menemui-Nya. Nabi Muhammad, dalam Hadistnya
mengatakan :

“Barang siapa ingin menjumpai Allah, maka Allah pun ingin menjumpainya”

“Barang siapa yang tidak ingin menjumpai Allah, maka Allah pun tidak ada keinginan untuk
menjumpainya”

”berjalan kamu menuju Allah, maka berlari Allah menghampirimu. Sejengkal kamu mendatangi
Allah, maka sedepa Allah mendatangimu”.

Dedie Kusmayadi di Minggu, Juli 24, 2016

Anda mungkin juga menyukai