Anda di halaman 1dari 71

Seputar Ilmu Falak

A.    Pengertian Ilmu  Falak

Menurut bahasa, falak mempunyai arti orbit atau lintasan benda-benda langit (madar al-nujum).
Dengan demikian, ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tentang lintasan benda-benda langit, di
antaranya Bumi, Bulan dan Matahari. Mereka berjalan sesuai orbitnya masing-masing, dengan
tujuan untuk mengetahui posisi benda-benda langit antara satu dengan yang lain.

Ilmu ini juga disebut ilmu Rashd karena memerlukan observasi (pengamatan). Menurut Howard R.
Turner, oleh kaum muslim abad pertengahan disebut ilmu Miiqat, sains penentu waktu, juga dikenal
sebagai sains mengenai waktu-waktu tertentu, diterapkan melalui pengamatan langsung dan
menggunakan alat serta melalui perhitungan matematis dalam rangka menentukan waktu shalat
lima waktu, matahari tenggelam, malam, fajar, lewat tengah malam, dan sore. 

Ilmu Falak di kalangan umat Islam juga dikenal dengan sebutan ilmu hisab, sebab kegiatan yang
paling menonjol pada ilmu tersebut adalah melakukan “perhitungan-perhitungan.” Namun demikian
menurut penulis, karena dalam ilmu Falak pada dasarnya menggunakan dua pendekatan “kerja
ilmiah” dalam  mengetahui waktu-waktu ibadahnya dan posisinya, yakni pendekatan hisab
(perhitungan) dan pendekatan rukyah (observasi) benda-benda langit, maka idealnya penamaan
ilmu falak ditinjau dari “kerja Ilmiah”nya, disebut ilmu hisab rukyah, tidak disebut ilmu hisab (saja).

Ilmu Falak juga dapat disebut ilmu astronomi, karena di dalamnya membahas tentang Bumi dan
Antariksa (Kosmografi), perhitungan-perhitungan dalam ilmu Falak berkaitan dengan benda-benda
langit, walaupun hanya sebagian kecil saja, dari benda-benda langit yang menjadi objek perhitungan.
Karena secara etimologis, astronomi berarti peraturan bintang "law of the stars". Sebagaimana
dikemukakan oleh Robert H. Baker bahwa :

“Astronomy the science of the stars, is concerned not morely with the star, but with all the celestial
bodies with together comprise, the known physical universe. It deals with planets and their
satellites, including the earth, of course wit comets and meteor, with stars and the instellar material,
with stars clusters, the system of the milky way, and the other systems which lie beyond the milky
way”.

Benda langit yang dipelajari oleh umat Islam untuk keperluan praktek ibadah adalah matahari dan
bumi dalam tinjauan posisi-posisinya sebagai dampak pada gerakannya (Astromekanika). Hal ini
disebabkan karena perintah-perintah ibadah dalam waktu dan cara pelaksanaannya hanya
melibatkan  posisi benda-benda langit tersebut.

B. Ruang Lingkup Pembahasan


Ilmu Falak pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, macam yaitu :

1.   Theoritical astronomy, yaitu ilmu yang membahas teori dan konsep benda-benda langit yang
meliputi:

a.       Cosmogoni yaitu teori tentang asal usul benda-benda langit dan alam semesta.

b.      Cosmologi yaitu cabang astrologi yang menyelidiki asal-usul struktur dan hubungan ruang
waktu dari alam semesta.

c.       Cosmografi yaitu pengetahuan tentang seluruh susunan alam, penggambaran umum tentang
jagad raya termasuk Bumi.

d.      Astrometrik yaitu cabang astronomi yang kegiatannya melakukan pengukuran terhadap benda-
benda langit dengan tujuan mengetahui ukurannya dan jarak antara satu dengan lainnya.

e.       Astromekanik yaitu cabang astronomi yang mempelajari gerak dan gaya tarik benda-benda
langit dengan cara dan hukum mekanik.

f.       Astrofisika yaitu bagian astronomi tentang benda-benda angkasa dari sudut ilmu alam dan ilmu
kimia.

2. Theoritical astronomy yaitu ilmu yang melakukan perhitungan untuk mengetahui posisi dan
kedudukan benda-benda langit antara satu dengan yang lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan
ilmu Falak atau ilmu Hisab Rukyah.

Pokok bahasan dalam ilmu Falak adalah penentuan waktu dan posisi benda langit (matahari dan
bulan) yang diasumsikan memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan ibadah (hablum mina Allah). 
Sehingga pada dasarnya pokok bahasan ilmu Falak adalah berkisar pada:

a.      Penentuan arah kiblat dan bayangan arah kiblat

b.     Penentuan waktu sholat


c.      Penentuan awal Bulan ( khususnya bulan Qamariyah )

d.     Penentuan gerhana baik gerhana matahari maupun gerhana bulan .

Ilmu falak yang membahas penentuan arah kiblat pada dasarnya adalah menghitung berapa besar
sudut yang diapit oleh garis meridian yang melewati suatu tempat yang dihitung arah kiblatnya
dengan lingkaran besar yang melewati tempat yang bersangkutan dan ka’bah, serta menghitung jam
berapa matahari itu memotong jalur menuju ka’bah.

Sedangkan dalam penentuan waktu sholat pada dasarnya adalah menghitung tentang waktu ketika
matahari berada di titik kulminasi atas dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi
pancer  pada awal waktu-waktu sholat.

Penentuan awal bulan (Qamariyah) pada dasarnya adalah menghitung kapan terjadinya ijtima’
(konjungsi), yakni di mana posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi serta
menghitung posisi Bulan tanggal satu ( hilal ) ketika matahari terbenam pada hari terjadinya
konjungsi tersebut.

Sedangkan dalam pokok bahasan penentuan gerhana adalah menghitung waktu terjadinya kontak
antara matahari dan bulan yakni kapan bulan mulai menutupi matahari dan lepas darinya pada
gerhana matahari, serta kapan bulan mulai masuk pada umbra bayangan bumi serta keluar darinya
pada gerhana bulan.

Dengan melihat pokok bahasan dalam ilmu Falak tersebut, kiranya tidak berlebihan manakala
dikatakan bahwa keberadaan ilmu Falak menjadi sangat urgen bagi umat Islam, karena sangat
terkait dengan sah  atau tidaknya ibadah yang terkait.

 C. Dasar Hukum Ilmu Falak

            Terkait dengan keberadaan urgensi ilmu Falak tersebut di atas, kiranya bukan tanpa dasar.
Secara umum dasar hukumnya adalah  :

1.      Al Qur’an, antara lain:

Surat ar Rahman: (55) ayat  5.


ٍ ‫(ال َّشمْسُ َو ْال َق َم ُر ِبحُسْ َب‬
۵:‫ان )الرحمن‬

Artinya :   “Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungannya”.    (Q S. Ar Rahman: 55 ayat  5)

Surat Yunus: (10) ayat 5.

ِ ‫ص ُل اآْل َيا‬
‫ت لِ َق ْو ٍم‬ َ ِ‫اب َما َخلَقَ هَّللا ُ َذل‬
ِّ ‫ك إِاَّل ِب ْال َح ِّق ُي َف‬ َ ‫ِين َو ْالح َِس‬ ِ ‫ْس ضِ َيا ًء َو ْال َق َم َر ُنورً ا َو َقد ََّرهُ َم َن‬
َ ‫از َل لِ َتعْ لَمُوا َعدَدَ ال ِّسن‬ َ ‫ه َُو الَّذِي َج َع َل ال َّشم‬
۵:‫ُون ) يونس‬ َ
َ ‫( َيعْ لم‬

Artinya :   “Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkannya
manzilah-manzilah bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan”. (QS. Yunus:10 ayat 5)

Surat al-Baqarah: (2) ayat 189.

۱٨٩ :‫اس َو ْال َح ّج ِ) البقرة‬


ِ ‫ِيت لِل َّن‬ َ ‫ك َع ِن اأْل َ ِهلَّ ِة قُ ْل ه‬
ُ ‫ِي َم َواق‬ َ ‫( َيسْ أَلُو َن‬

Artinya :   “Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan sabit, katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”. (QS. al Baqarah: 2 ayat 189)

d.   Surat Yasin ayat: (36) ayat 38-40.

‫يز ْال َعل ِِيم َو ْال َق َم َر‬


ِ ‫ك َت ْقدِي ُر ْال َع ِز‬
َ ِ‫َوال َّشمْسُ َتجْ ِري ِلمُسْ َت َقرٍّ لَّ َها َذل‬

 ‫ اَل ال َّشمْسُ َين َبغِي‬ ‫ِيم‬ ْ ِ ‫از َل َح َّتى َعا َد َك ْالعُرْ ج‬


ِ ‫ُون ال َقد‬ ِ ‫َقدَّرْ َناهُ َم َن‬

َ ‫لَ َها أَن ُت ْد ِر‬


ِ ‫ال َّن َه‬  ‫ َس ِاب ُق‬  ‫ك ْال َق َم َر َواَل اللَّ ْي ُل‬
  ٍ‫فِي َفلَك‬  ‫ َو ُك ٌّل‬  ‫ار‬

َ ‫( َيسْ َبح‬
 ٤۰ -۳٨ : ‫)يس‬  ‫ُون‬

Artinya : “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui.Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua.Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Q.S Yasin: 36 ayat 38-40).
2.      Dalam hadits-hadits, antara lain :

a.   Hadits riwayat Ibn Sunni :

‫تعلموا من النجوم ما تهتدون به فى ظلمات البر والبحر ثم‬

 )‫انتهوا (رواه ابن السنى‬

Artinya : ”Pelajarilah keadaan bintang-bintang supaya kamu mendapat petunjuk dalam kegelapan
darat dan laut, lalu berhentilah” (HR Ibn Sunni)

b.  Hadits riwayat Imam Tabrani :

‫ان خيارعباد هللا الذين يراعون الشمس والقمر لذكرهللا‬

(‫)رواه الطبرانى‬

Artinya : ”Sesungguhya hamba-hamba Allah yang baik adalah yang selalu memperhatikan matahari
dan Bulan, untuk mengingat Allah”  ( HR Thabrani)

d.     Hadits riwayat Imam Bukhari

‫ الشهر‬R‫حدثنا سعيد بن عمرو انه سمع ابن عمر رضي هللا عنهما عن النبى صلى هللا عليه وسلم انه فال انا امة امية النكتب والنحسب‬
‫(هكذا وهكذا يعنى مرة ثسعة وعشرون ومرة ثالثين )رواه البخارى‬

Artinya: “Dari Said bin Amr bahwasanya dia mendengar Ibn Umar ra dari Nabi saw beliau bersabda :
sungguh bahwa kami adalah umat yang Ummi tidak mampu menulis dan menghitung umur Bulan
adalah sekian dan sekian yaitu kadang 29 hari dan kadang 30 hari (HR Bukhari)

HAKIKAT ILMU FALAK

1.      Pengertian Ilmu Falak

ِ ‫ْس َوال َق َم ِر َوال َك َو ِك‬


‫ب‬ Rِ ‫العِل ُم الذِى َي ْخ َتصُّ ِب ِح َسا‬
ِ ‫ب َسي ِْر ال َّشم‬
Ilmu falak adalah ilmu khusus yang membahas pergerakan matahari, bulan, dan bintang-bintang.

Menurut Howard R. Turner ilmu falak atau miqat yaitu sains mengenai waktu-waktu tertentu yang
diterapkan melaui pengamatan langsung menggunakan alat serta melalui perhitungan matematis
dalam rangka menentukan shalat lima waktu, matahari tenggelam, fajar, malam, lewat tengah
malam dan sore.

Menurut Ahmad Izzudin, Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tentang lintasan benda-benda
langit, diantaranya bumi, bulan, dan matahari.

      Dari beberapa pengertian yang di paparkan, dapat di simpulkan bahwa ilmu falak adalah ilmu
yang membahas tentang orbit atau lintasan serta kedudukan dan keadaan benda langit antar satu
dengan lainya yang berhubungan dengan ibadah.

2.      Ruang Lingkup Ilmu Falak

Ruang lingkup Ilmu falak pada dasarnya dapat di bedakan menjadi dua macam, yaitu:

a.       Theoretical astronomy atau ilmu falak ilmy, yaitu ilmu yang membahas teori dan konsep
banda-benda langit yang meliputi:

1)      Cosmogony yaitu teori tentang asal usul benda-benda langit dan alam semesta.

2)      Cosmology yaitu cabang astrologi yang menyelidiki asal usul struktur dan hubungan ruang
waktu alam semesta.

3)      Cosmografi yaitu pengetahuan tentang seluruh susunan alam, penggambaran umum tentang
jagad raya termasuk bumi.

4)      Astrometrik yaitu cabang astronomi yang kegiatanya melakukan pengukuran terhadap benda-
benda langit dengan tujuan mengetahui ukuran dan jarak antara satu benda langit dengan benda
langit lainya.
5)      Astromekanik yaitu cabang astronomi yang mempelajari gerak dan gaya tarik benda-benda
langit dengan cara hukum mekanik.

6)      Astrofisika yaitu bagian astronomi tentang beda-benda angkasa dari sudut ilmu alam dan ilmu
kimia.

b.      Practical astronomy/observational astronomy atau ilmu falak amaly yaitu ilmu yang melakukan
perhitungan untuk mengetahui posisi dan kedudukan benda-benda langit antara satu dengan lainya.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai ilmu falak atau ilmu hisab.

Pokok bahasanya dalam ilmu falak meliputi penentuan waktu, posisibenda lagit (Matahari dan
Bulan) yang di asumsikan memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan ibadah umat islam. Sehingga
pada dasarnya pokok bahsan ilmu falak berkisar pada:

1.       Penetuan arah kiblat (azimuth) dan bayangan arah kiblat (rashdul kiblat).

2.      Penentuan awal waktu shalat.

3.      Penetuan awal bulan (khususnya bulan Qamariyah atau Hijriyah).

4.      Penetuan gerhana baik gerhana matahari atau gerhana bulan.

3.      Dasar Ilmu Falak

Terkait dengan keberadaan urgensi ilmu falak terhadap pelaksanaan ibadah umat islam di atas,
kiranya bukan tanpa dasar hukum. Secara umum dasar hukumnya antara lain:

a.       Firman Allah SWT. Dalam QS.Yasin : 38-40

‫ِيم اَل ال َشمْسُ َيمْ َبغِيلَ َها‬ ْ ْ ِ ‫ك َت ْق ِد ْى ُر ا ْل َع ِز‬


َ ِ‫َوال َّشمْشُ َت ْخ ِرى ِلمُسْ َت َقرٍّ لَّ َها َذل‬
ِ ‫يز ا َلعل ِِيم ؤا ل َق َم َر َق َّد ر َنا ةُ َم َنا ِز َل َح َّتى َعا َد َكا لعُر ُخو ِن ال َقد‬
َ َ ُ
َ ‫ار َو ك ُّل فِي فلكٍ َيسْ َبح‬
‫ُون‬ َّ ُ َ ‫اَل‬ َ ُ َ
َ ‫انْ ت ْد ِر‬....
ِ ‫ك الق َم َر َو الل ْي ُل َسا ِبق الن َه‬

…“Dan matahari berjalan di tempat peredaranya. Demikianlah ketetapan yang maha perkasa lagi
maha mengetahui. Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia
sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bantuk tendon yang tua. Tidaklah mungkin
bagi matahari mendapatkan Bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing
beredar pada garis edarnya” (QS. Yasin [36] : 38-40).

b.      Hadist riwayat Ibn Sunni:

)‫ت ال َبرِّ وال َبحْ ِر ُث َم ا ْن َته ُْوا (رواة الطبرانى‬ ُ ‫َتعْ لَمُوا مِن ال ُّن ُخمْ وم َما َت ْه َتد ُْو َن ِب ِه فِي‬
ِ ‫ظلُ َما‬

“pelajarilah keadaan bintang-bintang supaya kamu mendapat petunjuk dalam kegelapan darat dan
laut, lalu berhentilah” (HR. Ibnu Sunni).

4.      Sejarah Ilmu Falak

Perkembangan ilmu falak atau yang lebih dikenal oleh dunia dengan sebutan Astronomi memang
laksana kurva ekonomi, sering mengalami pasang surut bahkan pertentangan. Seperti yang kami
kutip pada suatu buku perkembangan global astronomi dari masa kemasa antara lain sebagau
berikut.

v  Pra sejarah sebelum 500 SM : pada era prasejarah, orang-orang mengamati gerak harian dan
musiman dari matahari, bulan, dan bintang dan belajar ke penggunaan gerak siklis mereka untuk
waktu simpan dan arah penentu.

v  klasik (500 SM – 1400 M)pada periode klasik, ahli filsafat ahli sains mulai membuat pengukuran
dari atsir dan, dengan pengetahuan mereka dari geometri, dibangun model diidealkan untuk dapat
bertanggungjawab atas gerak dari badan surgawi.

v  kebangkitan kembali (1400 – 1650 M)  : pada periode kebangkitan kembali model geometris itu
dimana menilai ulang dan mendirikan tidak cukup. ahli astronomi oleh sebab itu dipikirkan model
lagi yang pertimbangkan satu jauh lebih besar tubuh dari data berlandaskan rekaman penelitian
mengakumulasi berlalu abad. ahli astronomi juga menguntung dari satu thrcnological memajukan
yang ijinkan mereka untuk mengamati lebih lagi teleskop.

v  modern (1650 M sekarang) akhirnya pada periode modern, ahli sains mulai pencarian dari hukum
fisik (seperti hukum daya berat) yang mendasari gerakan pengamatan pada atsir. kontribusi penting
yang lain untuk pemahaman kita dari alam raya berasal dari pendahulu teknologi (untuk
penelitian,ilmu pengetahuan, elektronik, dan komputer) dan baiknya ilmu pengetahuan tentang
teknik matematis( kalkulus seperti itu) . faktor demikian berlanjut hari ini penting.
Selain pemaparan dari masa kemasa secara umum tersebut, falak (astronomi) juga dapat ditilik
perkembanganya melalui peristiwa-peristiwa sejarah, antara lain sebagai berikut.

Ø  Sejarah falak (astronomi) di dunia

Dalam perkembanganya ilmu falak diyakini pertamakali ditemukan oleh nabi Idris, ilmu falak terus
berkembang pada abad ke-28 SM, di gunakan untuk menentukan waktu guna penyembahan
berhala, pada abad 20 SM di Tionghoa ditemukan alat untuk mengetahui gerak matahari dan benda-
benda langit. Mereka pula yang pertama kali dapat menetukan gerhana matahari.

Kemudian berkembang asumsi-asumsi mengenai bentuk bumi, menurut Phytagoras (580-500 SM)
bahwa bumi berbentuk bulat, yang di lanjutkan Heraklitus dari Pontus (388-315 SM) yang
mnegemukakan bahwa bumi berputar pada sumbunya, Merkurius dan Venus mengelilingi Matahari ,
dan Matahari mengelilingi Bumi.

Setelah ilmu falak mengalami perkembangan yang pesat, pada pertengahan abad ke-13 M ilmu
falak  merambah Eropa yang dimana Eropa sedang dilanda banjir paham pada masa itu, yang dimana
paham-paham tersebut dilarang kontradiksi oleh paham gereja, kemudian muncul Nicolas Coperlicus
(1473-1543) yang berusaha membongkar teori Geosentris dari Claudius Ptalomus, Nicolas Coperlicus
lebih condong pada teori Heleosentris daripada Geosentris yang kemudian teori Geosentris itu di
bongkar oleh Galilio Galilie dan John Kepler. Dimana penyelidikan Galilleo Galilie dan Jhon kepler
meyatakan pembenaran pada teori Heliosentris.

Namun dalam wacana historis Ilmu falak bahwa tokoh yang pertama kali mengkritik teori Geosentris
adalah Abu Raihan al-Biruni. Namun ini menjadi perdebatan dan perselisihan dikalangan para peniliti
modern tentang sejarah ilmu pengetahuan.

Ø  Sejarah falak (astronomi) bangsa Arab

Pada masa islam kemunculan falak pada masa Rasulullah saw memang belum mashyur, hanya
beberapa yang mahir soal hitung-hitungan, wacana ilmu falak mulai Nampak pada saat adanya
penetapan tahun Hijriyah pada masa Umar bin Khatab pada tahun 17 H.

      Baru pada masa Bani Abbasiyah kejayaan ilmu falak mulai Nampak sebagaimana pada masa
kholifah Abu Jafar al Mansyur dengan upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India. Kemudian
pada masa Al Makmun naskah Tabril Magesthyduterjemahkan dalam bahasa arab oleh Hunain bin
Ishak. Disinilah mulai muncul istilah ilmu falak sebagai salah satu cabang ilmu keislaman.
Observatorium didirikan di Sinyar dan Jundai Shahfur Baghdad dimasa ini menghasilkan karya yang
disebut Tables of Makmun(astronomos/astronomy).
Masa kejayaan juga ditandai dengan munculnya beberapa tokoh anyara lain:

a)      Al-Farghani (Farghanus) yang bukunya diterjemahkan oleh orang latin dengan nama
Compendium. 

b)      Ibnu al-Marjiti dari Andalusia , mengubah tahun persi dengan tahun hijriah.

c)      Mirza Ulugh bin Timurlaink yang terkenal dengan ephemerisnya.

d)     Ibnu Yunus (950-1000 m), Nasiruddin (1201-1274 M) dan Ulugh Beik (1344-1449 M) yang
terkenal dengan landasan ijtima’ penentuan awal bulan Qamariyah.

e)      Abu Ali Hasan bin al-Haytam  dari bashrah (965-1039M) dengan bukunya kitabul Manadhir.

Beberapa tokoh tersebut sangat berpengaruh positif bagi perkembangan ilmu falak didunia islam
bahkan eropa.

Ø  Sejarah falak (astronomi) di Indonesia

Sebelum islam datang di Indonesia telaj ada kalender jawa hindu atau tahun soko yang dimulai hari
sabtu, 14 maret 78 M. namun sejak tahun 1043 H/ 1633 M tahuin soko di asimilasikan dengan tahun
hijriyah tokoh dibalik ini adalah Sultan Agung. Sehingga jelas bahwa pada masa kerajaan islam
Indonesia umat islam Indonesia sudah terlibat dalam pemikiran ilmu falak terbukti dengan
penggunaan kalender hiriyah secara resmi.

Setelah indonoseia dijajah oleh Belanda, penggunaan Kalender beralih dari hijriyah ke Masehi,
namun pemerintah Belanda Tidak melarang penggunaan kalender hijriyah pada kerajaan-kerajaan
islam yang masih ada terutama dalam penetapan hari-hari yang berkaitan dengan persoalan ibadah.

Dalam lintasan sejarah, selama pertengahan pertama abad ke-20,peringkat kajian islam yang paling
tinggi hanya dapat dicapai di Makkah, yang kemudian diganti di Kairo. Sehingga kajian islam
termasuk kajian ilmu falak tidak dapat lepas dari adanya “Jaringan ulama”. Ini terbukti adanya
“Jaringan ulama” yang dilakukan oleh ulama-ulama ilmu falak Indonesia. Seperti Muhammad
Mansyur al-Batawi, ternyata dalam lacakan sejarah kitab monumentalnya Sullamun Nayyirain adalah
hasil dari “Rihlah Ilmiyah” yang beliau lakukan selama di Jazirah Arab.
Kemudain mengenai eksistensi kitab-kitab ilmu falak di Indonesia sampai saat ini, Nampak masih
mewarnai diskursus ilmu falak di Indonesia. Sayangnya dalam dataran Islamic Studies, khususnya
ilmu falak nyaris terabaikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan ilmu falak hanya merupakan
disiplin minori.

 Sementara itu perukembangan ilmu astronomi di Indonesia sangat pesat dan menggembirakan. Ini
nampak dari banyaknya pakar astronomi yang muncul, bahkan juga memiliki perhatian besar
terhadap fikih ilmu falak, seperti Prof.Dr.Bambang Hidayat, Prof.Ahmad Baiquni dsb.

Ilmu falak sebenarnya tumbuh subur terutama di pondok-pondok pesantren di Jawa dan sumatera,
ini terbukti dengan banyaknya kitab-kitab falak hasil karya ulama-ulama ahli hisab Indonesia antara
lain.

·         Nawawi Mahammad Yunus al-kadiri dari Kediri dengan karyanya Risalatul Qamarin.

·         Muhammad Mnshur dari Jakarta, dengan Karyanya Sullamun Nayyiran.

·         Qusyairi dari pasuruan dengan karyanya Jadawil Falakiyyah. dll.

Dan sampai sekarang, hasanah (kitab-kitab) ilmu falak di Indonesia dapat dikatakan relative banyak,
apalagi banyak pakar falak sekarang yang ada di masyarakat disamping adanya kecanggihan
teknologi yang dikembangkan oleh pakar astronomi dalam mengolah data-data kontemporer yang
berkaitan dengan ilmu falak

5.      Manfaat Ilmu Falak

Dalam penggunaan praktis, ilmu falak merupakan ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan
bulan dan matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Dari
penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini manusia dapat mengetahui dan memanfaatkan
banyak hal.

Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap
waktu dan zaman. Hal demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati
langit, yang merupakan kegiatan utama ilmu falak adalah aktifitas pengamatan benda-benda
angkasa alamiah ciptaan Allah Swt yang selalu berubah dan bergerak serta menawarkan berbagai
tantangan bagi para pengamatnya. Dahulu, dan hingga kini, langit atau angkasa merupakan obyek
wisata yang menarik dan banyak digemari manusia.

Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan matahari.
Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah
seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-
Qur’an dan as-Sunnah.

Al-Quran Dan Ilmu Falak

Fenomena astronomi banyak terulas dalam al-Qur’an, ini merupakan bukti bahwa al-Qur’an
menganjurkan kepada manusia untuk merenungi fenomena alam. Al-Qur’an dalam konstruksinya
selain berisi tentang hidayah, akidah, ibadah dan sejarah, juga berisi dan bernuansa ilmu
pengetahuan , meski al-Qur’an tidak disebut sebagai kitab ilmu pengetahuan. Cukup banyak
temuan-temuan terkini yang terdeteksi melalui al-Qur’an. Sejatinya pula al-Qur’an tidak
menghambat laju kemajuan ilmu pengetahuan, namun penemuan dan penelitian ilmiah yang
bersifat relatif tidak harus dilegalisir oleh al-Qur’an karena al-Qur’an bukan buku ilmu
pengetahFenomena astronomi (falak) banyak tertera dalam al-Qur’an yang pada kenyataannya
sangat terkait dengan aktifitas manusia. Sumbangsih terbesar ilmu falak dalam Islam adalah
peranannya dalam penentuan waktu-waktu ibadah.

Di dalam Al-Quran terdapat banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan bidang Ilmu Falak seperti :

[1.] QS. Al An’am [06] ayat 96:

Ertinya: “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan)
matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang maha perkasa lagi maha
mengetahui”.

[2.] QS. Yunus [10] ayat 05:

Ertinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak,
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.

[3.] QS. Al Baqarah [2] ayat 189:

Ertinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.

Ketiga ayat diatas secara zahir menyatakan bahwa perhitungan bilangan tahun dan perhitungan
waktu-waktu lainnya adalah melalui pergerakan matahari dan bulan, dan QS. Al-Baqarah [02] ayat
189 diatas menegaskan perbedaan kalender Islam dengan kalender lainnya.

Di dalam al-Qur´an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang peredaran matahari dan bulan
yang menandakan adanya rotasi-revolusi bumi dan matahari, antara lain:

[4.] QS. Ar Ra’du [13] ayat 02:

Ertinya: “Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian
dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar
hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”.

[5.] QS. Ibrahim [14] ayat 33

Ertinya: “Dan dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar
(dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”.

[6.] QS. Ar-Rahman [55] ayat 05:

Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”

[7.] QS. At-Takwir [81] ayat 15-16:

Artinya: “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam”

[8.] QS. Yasin [36] ayat 38:

Artinya: “Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang maha perkasa
lagi maha mengetahui”.

[9.] QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 33:

Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing
dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”.
[10.] QS. Yasin [36] ayat 40:

Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.

D.  Sejarah Ilmu Falak

1.    Dalam Lintasan Sejarah Dunia

Merujuk pada penemu pertama ilmu hisab atau astronomi yakni Nabi Idris sebagaimana disebutkan
dalam setiap mukadimah kitab-kitab falak,  nampak bahwa wacana ilmu Falak sudah ada sejak waktu
itu, atau bahkan lebih awal dari itu. Ini kiranya maklum, karena suatu temuan baru biasanya
merupakan suatu respon atau tanggapan dari sebuah persoalan yang muncul dari  masyarakat.
Sehingga kemunculan ilmu Falak dalam telusuran historis, kiranya dapat diyakinkan kalau muncul
sebelum temuan ilmu falak itu sendiri. Walaupun demikian, penulis belum dapat melacak benang
merahnya dalam upaya menyambungkan  historisitas pada persoalan hisab rukyah sesudahnya.

Dalam lacakan penulis, baru sekitar abad ke-28 sebelum masehi, embrio ilmu falak mulai nampak. Ia
digunakan untuk menentukan waktu bagi saat-saat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini
sudah nampak di beberapa negara seperti di Mesir untuk menyembah Dewa Orisis, Isis dan Amon, di
Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal.

Pada abad XX sebelum masehi, di negeri Tionghoa telah ditemukan alat untuk mengetahui gerak
Matahari dan benda-benda langit lainnya dan mereka pulalah yang mula-mula dapat menentukan
terjadinya gerhana Matahari.

Kemudian berlanjut pada asumsi  Pytagoras (580-500 SM) bahwa Bumi berbentuk bulat bola, yang
dilanjutkan Heraklitus dari Pontus (388-315 SM) yang mengemukakan bahwa bumi berputar pada
sumbunya, mercurius dan venus mengelilingi matahari dan matahari mengelilingi bumi. Kemudian
temuan dipertajam dengan penelitan Aristarchus dari Samos (310-230 SM)  tentang hasil
pengukuran jarak antara Bumi dan Matahari, dan pernyataannya Bumi beredar mengelilingi
Matahari. Lalu Eratosthenes dari Mesir (276-196 SM) juga sudah dapat menghitung keliling bumi. 

Oleh karena itu, penulis menduga bahwa sejak sebelum masehi  ternyata sudah nampak adanya
persoalan ilmu Falak, walaupun dalam kemasan yang berbeda. Kemudian di masa sesudah masehi
ditandai dengan temuan Claudius Ptalomeus (140 M) berupa catatan-catatan tentang bintang-
bintang  yang diberi nama “Tabril Magesthi”. Berasumsi bahwa bentuk semesta alam adalah
geosentris, yakni pusat alam terletak pada Bumi yang tidak berputar pada sumbunya dan dikelililingi
oleh bulan, mercurius, venus, matahari, mars, jupiter, dan saturnus. Asumsi tersebut dalam dunia
astronomi disebut teori Geosentris.  
Selanjutnya di masa Islam (masa Rasulullah) muncul ilmu Falak memang belum masyhur di kalangan
umat Islam, sebagaimana terekam dalam hadits Nabi : “inna ummatun umiyyatun la naktubu wala
nahsibu”. Walaupun sebenarnya ada juga di antara mereka yang mahir dalam perhitungan. Sehingga
realitas persoalan ilmu Falak pada masa itu tentunya sudah ada walaupun dari sisi hisabnya tidak
begitu masyhur.  Sebenarnya  perhitungan tahun Hijriyah   pernah digunakan  sendiri   oleh Nabi
Muhammad  ketika  beliau menulis surat  kepada kaum  Nasrani bani  Najran, tertulis    ke V  
Hijriyah,  namun  di dunia Arab  lebih mengenal  peristiwa-peristiwa yang terjadi  sehingga  ada
istilah  tahun gajah, tahun  izin,  tahun  amar  dan tahun zilzal.

Namun  secara formal,   wacana ilmu hisab rukyah di masa ini baru nampak dari adanya penetapan
hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai pondasi dasar kalender Hijriyah yang dilakukan oleh
sahabat Umar bin Khattab tepatnya pada tahun ke tujuh  belas Hijriyah dan dengan berbagai
pertimbangan bulan Muharram ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah. 

Dalam sejarah, kalau  kita tilik secara jeli ternyata di dunia astronomi khususnya, dan ilmu
pengetahuan pada umumnya, selama hampir delapan abad tidak nampak adanya masa keemasan.
Baru di masa Daulah Abbasiyahlah, masa kejayaan itu nampak. Sebagaimana di masa khalifah Abu
Ja’far al-Manshur, ilmu astronomi mendapat perhatian khusus, seperti upaya menterjemahkan kitab
Sindihind dari India.

Kemudian di masa khalifah al-Makmun, naskah “Tabril Magesthy” diterjemahkan dalam bahasa Arab
oleh Hunain bin Ishak. Dari sinilah lahir istilah ilmu hisab rukyah sebagai salah satu dari cabang ilmu
keislaman dan tumbuhnya ilmu hisab tentang penentuan awal waktu shalat, penentuan gerhana,
awal bulan qomariyah dan penentuan arah kiblat. Tokoh yang hidup di masa ini adalah Sultan Ulugh
Beik, Abu Raihan, Ibnu Syatir dan Abu Manshur al-Balkhiy. Observatorium didirikan al-Makmun di
Sinyar dan Junde Shahfur Bagdad, dengan meninggalkan teori Yunani kuno dan membuat teori
sendiri dalam menghitung kulminasi Matahari. Dan juga menghasilkan data-data yang berpedoman
pada buku Shindihind yang disebut “Tables of Makmun” dan oleh orang Eropa dikenal dengan 
“Astronomos” atau “Astronomy”.

Masa kejayaan itu juga ditandai dengan adanya Al- Farghani seorang ahli falak, yang oleh orang
Barat dipanggil Farganus, buku-bukunya diterjemahkan oleh orang Latin dengan nama
“Compendium”  yang dipakai pegangan dalam mempelajari ilmu perbintangan oleh Astronom-
astronom Barat seperti Regiomontanus.

Kemudian Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah merubah tahun Persi dengan tahun Hijriyah
dengan meletakkan bintang-bintang sesuai dengan awal tahun Hijriyah. Di samping juga ada pakar
falak kenamaan lainnya seperti : Mirza Ulugh bin Timurlank yang terkenal dengan Ephemerisnya,
Ibnu Yunis (950-100 M), Nasiruddin (1201-1274 M), Ulugh Beik (1344-1449 M) yang terkenal dengan
landasan ijtima’ dalam penentuan awal Bulan qomariyyah.
Di Bashrah, Abu Ali Al Hasan bin al Haytam (965-1039 M) seorang pakar falak yang terkenal dengan
bukunya “Kitabul Manadhir” dan tahun 1572 diterjemahkan dengan nama “Optics” yang merupakan
temuan baru tentang refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut sangat mempengaruhi dan
memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ilmu falak di dunia Islam pada masanya
masing-masing. Meskipun masih terkesan bernuansa Ptolomeus.

Setelah umat Islam menampakkan kemajuan dalam  ilmu pengetahuan, pada pertengahan abad ke
XIII M terjadi expansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol. Sedangkan Eropa pada waktu itu
tengah dilanda oleh tumbuhnya isme-isme baru seperti Humanisme, Rasionalisme, dan Renaisance,
sebagai reaksi dari filsafat Scholastik di masa itu, di mana orang dilarang menggunakan rasio atau
berfaham kontradiksi dengan faham Gereja. Kemudian  muncul Nicolass Copernicus (1473-1543)
yang berupaya membongkar teori Geosentris yang dikembangkan oleh Claudius Ptalomeus. Teori
yang dikembangkan adalah bukan Bumi yang dikelilingi Matahari, tetapi sebaliknya, serta planet-
planet beserta satelit-satelit mengelilingi Matahari, yang kemudian dikenal dengan teori
Heliosentris. Perdebatan teori tersebut berkembang sampai abad XVIII, di mana penyelidikan
Galilleo Galilie dan John Kepler menyatakan pembenaran pada teori Heliosentris. Walaupun John
Kepler juga berbeda dengan Copernicus dalam hal lintasan planet mengelilingi Matahari, di mana
menurut Copernicus berbentuk bulat sedangkan menurut John Kepler berbentuk ellips (bulat telur).
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya banyak ditemukan temuan-temuan seputar kosmografi.

Namun dalam wacana historisitas  ilmu hisab rukyah Islam, bahwa tokoh yang pertama kali
melakukan kritik tajam terhadap teori geosentris adalah al-Biruni dengan asumsi tidak masuk akal
karena langit yang begitu besar dan luas dengan bintang-bintannya dinyatakan mengelilingi bumi
sebagai pusat tata surya. Dari temuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa al-Birunilah peletak dasar
teori Heliosentris.

Fenomena di atas menimbulkan perselisihan di kalangan  para peneliti modern tentang sejarah ilmu
pengetahuan. Mereka berselisih pendapat tentang orisinalitas kontribusi dan peranan orang-orang
Islam. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid misalnya, cenderung meremehkan
tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang filsafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat
orisinalitas yang tinggi di bidang matematika, termasuk di dalamnya astronomi.

Kembali pada temuan Ulugh Beik (1344-1449) yang berupa jadwal Ulugh Beik, pada tahun 1650 M
diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J. Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet disalin dalam
bahasa Prancis. Kemudian Simon New Comb (1835-1909 M) berhasil membuat jadwal astronomi
baru ketika beliau berkantor di Nautical Al Manac Amerika (1857-1861), sehingga jadwalnya sampai
sekarang terkenal dengan nama Almanac Nautica.

Kedua jadwal itulah yang selama ini mewarnai tipologi ilmu hisab rukyah di Indonesia. Di mana
tipologi ilmu hisab rukyah klasik diwakili oleh kitab Sullamun Nayyirain sebagaimana diakui sendiri
oleh Mansur al-Batawi dalam kitabnya, bahwa jadwal yang dipakai adalah bersumber pada data
Ulugh Beik. Sedangkan tipologi hisab modern, sebagaimana yang berkembang dalam wacana ilmu
hisab rukyah dan tehnik hisab, bahwa Almanac Nautica, diklasifikasikan dalam tipologi hisab (hakiki)
kontemporer. 

2.  Dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Dalam lintasan sejarah, selama pertengahan pertama abad ke dua puluh, peringkat kajian Islam yang
paling tinggi hanya dapat dicapai di Makkah, yang kemudian diganti di Kairo. Sehingga kajian Islam
termasuk  kajian hisab rukyah tidak dapat lepas dari adanya “jaringan ulama” (meminjam istilah
Azyumardi Azra). Ini terbukti adanya “jaringan ulama” yang dilakukan oleh ulama-ulama hisab
rukyah Indonesia. Seperti Muhammad Manshur al-Batawi, ternyata dalam lacakan sejarah  kitab
monumentalnya Sullamun Nayyirain adalah hasil dari “rihlah ilmiyyah” yang beliau lakukan selama di
Jazirah Arab. Sehingga diakui atau tidak, pemikiran hisab rukyah di Jazirah Arab seperti di Mesir,
sangat berpengaruh dalam pemikiran  hisab rukyah di Indonesia. Begitu juga beberapa kitab hisab
rukyah yang berkembang di Indonesia menurut Taufik, banyak merupakan hasil cangkokan dari kitab
karya ulama Mesir yakni al-Mathla’ al-Said ala Rasdi al-Jadid. Sehingga dalam perjalanan sejarah
hisab rukyah di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah Islam di Indonesia yang memang merupakan
hasil dari jaringan ulama.

Dalam pemetaan sejarah Islam di Indonesia menurut Karel A. Steenbrink, terpilah menjadi dua
periode yang harus mendapat perhatian khusus, yakni periode masuknya Islam di Indonesia dan
periode zaman reformisme abad ke dua puluhan.

Sejarah mencatat bahwa sebelum kedatangan agama Islam di Indonesia telah tumbuh perhitungan
tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa Hindu atau tahun Soko yang dimulai pada hari Sabtu,
14 Maret 78 M yakni tahun penobatan Prabu Syaliwohono (Aji Soko). Dan kalender inilah yang
digunakan umat budha di Bali guna mengatur kehidupan masyarakat dan agama.

Namun sejak tahun 1043 H / 1633 M yang ketepatan  1555 tahun Soko, tahun Soko diasimilasikan
dengan Hijriyah, kalau pada  mulanya tahun Soko berdasarkan peredaran Matahari, oleh Sultan
Agung diubah menjadi  tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran Bulan, sedangkan tahunnya
tetap meneruskan tahun Soko tersebut. Sehingga jelas bahwa sejak zaman berkuasanya kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran hisab rukyah, hal ini ditandai
dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi. Dan patut dicatat dalam
sejarah, bahwa prosesi tersebut berarti merupakan prosesi penciptaan suatu masyarakat lama
menjadi baru yakni masyarakat kehinduan dalam masyarakat keislaman. 

Setelah adanya penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pergeseran penggunaan kalender resmi
pemerintahan, semula kalender Hijriyah diubah menjadi kalender masehi (miladiyyah). Meskipun
demikian, umat Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, terutama daerah kerajaan-kerajaan
Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh pemerintah kolonial bahkan penetapannya diserahkan kepada
penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada, terutama penetapan terhadap hari-hari yang
berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah.

Sehingga jelas bahwa di samping adanya upaya membumikan kalender Hijriyah dengan adanya 
asimilasi,  sebagaimana telah  penulis   kemukakan di atas bahwa jaringan ulama, dalam hal ilmu
falak memang benar-benar ada. Prosesi tersebut nampak dengan adanya   perkembangan yang
pesat, sejak abad pertengahan yang didasarkan pada  sistem serta tabel matahari dan bulan yang
disusun oleh astronom  Sultan Ulugh Beik Asmarakandi. Ilmu falak  ini  berkembang dan tumbuh
subur  terutama  di pondok-pondok   pesantren di Jawa dan Sumatera. Kitab-kitab ilmu hisab yang 
dikembangkan  para  ahli  hisab di Indonesia biasanya  mabda’ (epoch) dan markaznya disesuaikan
dengan tempat tinggal pengarangnya. Seperti Nawawi Mahammad Yunus al-Kadiri dengan karyanya
“Risalatul  Qamarain” dengan markaz Kediri. Walaupun ada juga yang tetap berpegang pada kitab
asal (kitab induk)   seperti al-Mathla’ul Said fi  Hisabil Kawakib ala Rasydil Jadid karya Syeh Husain 
Zaid al-Misra dengan markaz Mesir. Dan sampai sekarang, hasanah (kitab-kitab) ilmu falak di
Indonesia dapat dikatakan relatif banyak, apalagi  banyak pakar falak sekarang yang menerbitkan 
(menyusun) kitab falak dengan cara mencangkok kitab-kitab yang sudah lama ada di masyarakat
disamping adanya kecanggihan teknologi yang dikembangkan oleh para pakar Astronomi dalam
mengolah data-data kontemporer yang berkaitan dengan hisab rukyah.

Dengan melihat fenomena tersebut, Departemen  Agama telah mengadakan pemilahan kitab dan
buku astronomi atas dasar keakuratannya yakni hisab hakiki  taqribi, hisab hakiki tahkiki, dan hisab
hakiki  kontemporer.  Namun nampaknya pemilahan tersebut belum (tidak) diterima oleh semua
kalangan, karena  masih ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa   kitab karyanya adalah
sudah akurat. Walaupun menurut  pemilahan Departemen Agama melihat keakuratannya  masih
taqribi.    

Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa pada masa penjajahan persoalan penentuan awal Bulan
yang berkaitan dengan ibadah diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada. Kemudian
setelah Indonesia  merdeka, secara  berangsur-angsur  mulai  terjadi perubahan. Setelah terbentuk
adanya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946, persoalan–persoalan yang  berkaitan
dengan  hari libur  (termasuk penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah) diserahkan kepada
Departemen Agama  berdasarkan P.P. tahun  1946 No.2/Um.7/Um.9/Um   jo  keputusan Presiden
No. 25 tahun  1967,  No. 148 tahun 1968 dan No. 10 tahun 1971.

Walaupun penetapan hari libur telah diserahkan pada Departemen Agama namun  dalam  wilayah
etis praktis saat ini masih (terkadang) belum seragam,  sebagai dampak adanya perbedaan
pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada dalam wacana hisab rukyah.

Memperhatikan fenomena tersebut, nampak bahwa  Departemen Agama berinisiatif untuk


mempertemukan  perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga dibentuklah Badan Hisab Rukyah
Departemen Agama dengan  tim perumus : Unsur Departemen  Agama:  A Wasit Aulawi, H Zaini
Ahmad Noeh dan Saaduddin Jambek, dari Lembaga Metereologi dan Geofisika: Susanto, Planetarium
dan Santosa Nitisastro. Berdasarkan keputusan  Menteri Agama pada tanggal 16 Agustus 1972, maka
terbentuklah Badan  Hisab  Rukyah Departemen Agama  dengan diketui oleh Saaduddin Djambek.
Sampai sekarang,  Badan  tersebut masih  ada  yang secara ex officio ketua dijabat Direktur Urusan
Agama Islam Depag Pusat setelah Badan Peradilan Agama bernaung dalam satu atap dengan
Mahkamah Agung .

Pada dasarnya  kehadiran Badan Hisab rukyah untuk  menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyyah 
khususnya  dalam beribadah. Hanya saja  dalam dataran  realistis praktis  dan etika   praktis, masih
belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dengan  seringkali terjadinya  perbedaan berpuasa  Ramadan 
maupun berhari  raya  Idul Fitri.

Melihat fenomena tersebut, penulis melihat bahwa perhatian  pemerintah dalam persoalan hisab
rukyah ini masih terkesan formalis belum membumi dan belum  menyentuh pada akar penyatuan
yang baik. Sehingga  wajar kiranya di masa pemerintahan Gus Dur,  sebagaimana disampaikan 
Wahyu Widiana bahwa  Badan Hisab Rukyah Departemen Agama  akan dibubarkan dan persoalan 
hisab rukyah ini akan dikembalikan pada masyarakat (umat Islam Indonesia). Namun demikian,
nampak bahwa eksistensi  Badan Hisab  Rukyah  di  Indonesia ini memberikan warna tersendiri
dalam  dinamika penetapan awal Bulan Qamariyah di Indonesia.

Kemudian mengenai eksistensi kitab-kitab  ilmu hisab rukyah di  Indonesia sampai  saat  ini,  nampak
masih  mewarnai diskursus hisab rukyah  di  Indonesia. Hanya sayang,  dalam dataran belantara 
Islamic Studies,  khususnya ilmu hisab rukyah  nyaris terabaikan sebagai  sebuah  disiplin. Bahkan
ilmu falak hanya merupakan disiplin minor. Sementara itu perkembangan ilmu  Astronomi di
Indonesia sangat pesat dan menggembirakan. Ini nampak dari  muncul banyak  pakar Astronomi,
bahkan juga besar perhatiannya  dalam  fiqh hisab rukyah,   seperti Prof  DR.  Bambang Hidayat, Prof
Ahmad  Baiquni, MSc, PhD, DR Djoni N  Dawanas, DR.  Moedji Raharto dan  DR Thomas Djamaluddin.

Ilmu Falak dan Peranannya dalam Islam

Fenomena astronomi banyak terulas dalam al-Qur’an, ini merupakan bukti bahwa al-Qur’an
menganjurkan kepada manusia untuk merenungi fenomena alam. Al-Qur’an dalam konstruksinya
selain berisi tentang hidayah, akidah, ibadah dan sejarah, juga berisi dan bernuansa ilmu
pengetahuan , meski al-Qur’an tidak disebut sebagai kitab ilmu pengetahuan. Cukup banyak
temuan-temuan terkini yang terdeteksi melalui al-Qur’an. Sejatinya pula al-Qur’an tidak
menghambat laju kemajuan ilmu pengetahuan, namun penemuan dan penelitian ilmiah yang
bersifat relatif tidak harus dilegalisir oleh al-Qur’an karena al-Qur’an bukan buku ilmu
pengetahFenomena astronomi (falak) banyak tertera dalam al-Qur’an yang pada kenyataannya
sangat terkait dengan aktifitas manusia. Sumbangsih terbesar ilmu falak dalam Islam adalah
peranannya dalam penentuan waktu-waktu ibadah.
Pengertian Ilmu Falak

Secara sederhana ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tentang tata lintas pergerakan benda-
benda langit, khususnya bumi, bulan dan matahari dalam garis edarnya masing-masing untuk
dipelajari fenomenanya dalam rangka kepentingan manusia. Khusus dalam Islam, ilmu ini berguna
untuk menentukan waktu-waktu ibadah.

Ilmu falak merupakan cabang ilmu pengetahuan yang sudah tua, sebab ilmu ini ada sejak jagat raya
ini terbentuk. Kata ‘falak’ atau ‘aflâk’ dalam bahasa Arab bermakna orbit atau edar benda-benda
angkasa.[1]Ibnu Khaldun (w. 808 H) menyebut ilmu ini dengan “hai’ah” yaitu ilmu yang menjelaskan
tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang diam maupun yang bergerak, serta
menjelaskan tentang gumpalan-gumpalan awan yang bertaburan.[2]

Sejarah Ilmu Falak

Dalam peradaban Islam, ilmu falak pada mulanya tidak lebih hanya sebagai kegiatan pengamatan
alam untuk kepentingan pertanian, perdagangan, penentuan ritual keagamaan, dan kepentingan
lainnya. Namun tak jarang pula digunakan untuk kegiatan peramalan (nujûm, astrologi). Orang-orang
dahulu percaya bahwa alam ini berada di bawah kekuasaan tersembunyi dari benda-benda angkasa
di cakrawala (matahari, bulan, planet-planet dan benda angkasa lainnya). Mereka percaya bahwa
kehidupan dan ketenangan hidup manusia berada di bawah kendali peredaran benda-benda
angkasa tersebut. Pemahaman ini didapat secara turun-temurun dari peradaban (bangsa-bangsa)
kuno sebelumnya. Bangsa Arab primitif (jâhilî) misalnya sangat gemar mengamati dan mempelajari
perbintangan (nujûm). Mereka memberi perhatian penuh pada gerakan angkasa terutama bintang-
bintang, hingga mereka berani meramal kejadian-kejadian di masa datang tentang keberuntungan
dan kesialan seseorang atau sekelompok orang, bahkan nasib seorang raja dan negara yang di
dasarkan pada peredaran benda-benda langit tersebut.[3] Datangnya Rasulullah Saw bersama
dengan turunnya al-Qur’an memberi cara pandang baru dalam kehidupan masyarakat ketika itu.
Allah Swt dan Rasul-Nya menjelaskan bahwa bahagia dan celaka mutlak dalam kekuasaan Allah Swt.

Dalam perkembangan berikutnya, Islam banyak melahirkan sarjana-sarjana astronomi yang


berpengaruh di dunia, antara lain Al-Buzjani (w. 388 H), Ibnu Yunus (w. 399 H), Ibn al-Haitsam (w.
430 H), Al-Biruni (w. 440 H), Abu Ali al-Hasan al-Marrakusyi (w. ± 680 H), Ibn al-Majdi (w. 850 H), dan
tokoh-tokoh lainnya. Adalah Dinasti Abbasiah, tepatnya masa pemerintahan Jakfar al-Mansur, yang
berjasa meletakkan ilmu falak pada posisi istimewa setelah ilmu tauhid, fikih, dan kedokteran. Ketika
itu ilmu falak tidak hanya dipelajari dan dipandang dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja,
namun lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan ilmu-ilmu lain, seperti
ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, dan lain-lain. Tidak tanggung-tanggung, khalifah Al-Mansur
membelanjakan dana negara yang besar dalam rangka mengembangkan kajian ilmu falak. Tak pelak,
Ilmu falak berkembang dan mencapai kecemerlangannya pada peradaban Islam.
Matahari, Bulan & Penanggalan dalam al-Qur’an

Dalam Islam sistem penanggalan di dasarkan pada peredaran faktual bulan mengelilingi bumi pada
porosnya, sementara penanggalan Masehi (Miladi) berdasarkan peredaran faktual bumi mengelilingi
matahari. Bila diperhatikan, cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan peredaran
benda-benda angkasa tersebut, antara lain:

[1.] QS. Al An’am [06] ayat 96:

Artinya: “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan)
matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang maha perkasa lagi maha
mengetahui”. [QS. Al-An’am [06] : 96]

[2.] QS. Yunus [10] ayat 05:

Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak,
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”. [QS. Yunus
[10] : 05]

[3.] QS. Al Baqarah [2] ayat 189:

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. [QS. Al-
Baqarah [02] : 189]

Ketiga ayat diatas secara zahir menyatakan bahwa perhitungan bilangan tahun dan perhitungan
waktu-waktu lainnya adalah melalui pergerakan matahari dan bulan, dan QS. Al-Baqarah [02] ayat
189 diatas menegaskan perbedaan kalender Islam dengan kalender lainnya.

Di dalam al-Qur´an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang peredaran matahari dan bulan
yang menandakan adanya rotasi-revolusi bumi dan matahari, antara lain:

[4.] QS. Ar Ra’du [13] ayat 02:


Artinya: “Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian
dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar
hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”. [QS. Ar-Ra’d [13] : 02

[5.] QS. Ibrahim [14] ayat 33

Artinya: “Dan dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. [QS. Ibrahim [14] : 33]
[4]

[6.] QS. Ar-Rahman [55] ayat 05:

Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” [QS. Ar Rahman [55]: 05]

[7.] QS. At-Takwir [81] ayat 15-16:

Artinya: “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam” [QS.At
Takwir [81] : 15 – 16][5]

[8.] QS. Yasin [36] ayat 38:

Artinya: “Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang maha perkasa
lagi maha mengetahui”. [QS. Yaasin [36] : 38][6]

[9.] QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 33:

Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing
dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”. [QS. Al Anbiya’ [21]: 33] [7]

[10.] QS. Yasin [36] ayat 40:


Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”. [QS. Yasin [36]: 40][8]

Dalam suatu penelitian diketahui bahwa bumi dan matahari memiliki dua gerak yaitu rotasi &
revolusi, sebagaimana percikan makna ayat-ayat diatas. Rotasi matahari adalah perputaran matahari
pada porosnya dari arah barat ke timur (atau dari arah timur ke barat secara semu). Sementara itu
rotasi bumi adalah waktu yang diperlukan bumi dalam sekali putaran pada sumbunya hingga
menyebabkan terjadinya siang dan malam.[9] Melalui penelitian intensif, ditemukan bahwa
matahari juga mengadakan revolusi, dimana al-Qur’an telah memberi isyarat tentang hal ini
berdasarkan ayat di atas (QS. Yasin [36] ayat 38).[10]

Sementara itu revolusi bumi adalah proses bergeraknya bumi mengelilingi matahari dalam orbitnya
dari arah timur ke barat, yang pada satu ketika bumi berada di titik terjauh dari matahari  yang
disebut denganaphelion, dan pada ketika yang lain berada di titik yang terdekat dengan matahari
yang disebut perihelion.[11]Fenomena ini antara lain ditegaskan Allah Swt dalam firman-Nya:

Artinya: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan
sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh segala
sesuatu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [QS. An Naml [27]: 88]

Dalam peredarannya, matahari beredar di ekliptika secara sempurna satu kali peredaran selama
365,25636042 hari, dan masa yang diperlukan matahari secara sempurna sekali beredar di ekliptika
ini disebut satu tahun Sidereal.[12] Sementara itu waktu berangkat matahari dari equinox (titik
hamal) ke equinox(titik hamal) berikutnya disebut satu tahun Tropical.[13]

Dalam penanggalan Hijriah, perhitungan penanggalan dilakukan berdasarkan peredaran bulan di


ekliptika selama 12 bulan. Satuan waktu bulan kamariah yang digunakan sebagai perhitungan
penanggalan Hijriah adalah waktu bulan Synodic yang berjumlah 29, 530589 hari, yaitu dengan
menetapkan secara bergantian antara 30 hari dan 29 hari. Adapun sisa pecahan 0,530589 hari
dibulatkan menjadi satu hari dan ditambahkan kepada bulan Zulhijah dengan berjumlah 30 hari.
Tahun yang mendapat penambahan satu hari pada bulan Zulhijah ini dinamakan tahun Kabisat.

Awal Bulan Kamariah

Penetapan awal bulan kamariah dalam Islam dimulai dengan munculnya hilal, yaitu bulan sabit yang
pertama kali terlihat yang terus membesar menjadi bulan purnama, menipis kembali dan akhirnya
menghilang dari langit sebagaimana diisyaratkan QS. Al-Baqarah [02] ayat 189 diatas. Belakangan,
penentuan awal bulan dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan (hisab) astronomi. Satu
tahun kamariah adalah jangka waktu yang dibutuhkan bulan mengelilingi bumi selama 12 kali
putaran dengan rata-rata satu tahun lamanya 354 11/30 hari. Berbeda dengan tahun matahari, yaitu
jangka waktu yang dibutuhkan oleh bumi untuk mengelilingi matahari (berevolusi) dengan rata-rata
satu tahun lamanya 365 1/4 hari.[14] Ilmu astronomi modern sudah sangat akurat
memperhitungkan dan memperkirakan terlihatnya hilal dengan sangat teliti, tingkat ketelitian ini
sudah lebih dari cukup untuk keperluan teknis penentuan awal-awal bulan kamariah. Namun dalam
penentuan awal bulan Ramadan – Syawal dan Zulhijah persoalan tidak sederhana, hadis Nabi Saw.
menyatakan awal dan akhir Ramadan ditetapkan melalui pengamatan hilal (rukyat).

Sebuah hadis Nabi Saw menyatakan “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbuka (berhari-
raya)-lah karena melihat hilal, dan jika hilal tertutup oleh awan, lakukanlah pengkadaran” (HR.
Bukhari-Muslim). Nabi Saw menegaskan lagi “Kita adalah umat yang ‘ummî‘, tidak menulis dan tidak
menghitung, bulan itu ada kalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari” (HR. Bukhri-Muslim)[15]. Jumhur
ulama berpendapat bahwa hadis Nabi Saw diatas bermakna bahwa dalam memulai dan mengakhiri
puasa & hari raya hanya dengan melakukan pengamatan bulan sabit saja, yaitu terlihatnya hilal di
awal Ramadan dan Syawal sesuai dengan keumuman dan keliteralan hadis. Dengan kriteria jika hilal
terlihat pada saat terbenam matahari tanggal 29 Syakban maka esok harinya adalah awal puasa,
demikian pula jika hilal terlihat pada tanggal 29 Ramadan maka esok harinya adalah hari raya dan
rukyatul hilal mutlak dilakukan. Namun jika terdapat penghalang yang menutupi hilal – seperti
mendung – maka pelaksanaan puasa dan atau hari raya harus ditunda sehari dengan
menggenapkan (istikmâl) bilangan bulan Syakban dan atau Ramadan menjadi 30 hari. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Nabi Saw yang menyatakan bahwa umur bulan itu adakalanya 30 hari dan
adakalanya pula 29 hari. Ibnu Rusyd (w. 595 H) dalam “Bidâyatu’l Mujtahid”nya mewakili jumhur
dalam hal ini.[16]

Betapa demikian, tidak sedikit ulama dan ilmuan yang memberi ruang yang luas terhadap ilmu hisab
astronomi dalam sumbangsihnya terhadap penetapan waktu-waktu ibadah di kalangan umat Islam,
dengan alasan bahwa pada dasarnya penetapan waktu-waktu ibadah tersebut terkait erat dengan
fenomena astronomi yang pada dasarnya dapat teratasi dengan kemajuan dan kemapanan
teknologi. Berdasarkan penelitian intensif yang dilakukan oleh para pakar hisab-falak terdapat
beberapa kelemahan dan kesulitan dalam rukyat, antara lain jauhnya jarak hilal, kehadiran hilal yang
sangat singkat, kondisi sore hari yang terkadang tidak bersahabat seperti banyaknya awan, asap
kenderaaan dan pabrik, dan lain-lain. Dan tak kalah pentingnya adanya faktor psikis (kejiwaan)
dalam melihat hilal.[17]

Imam Taqî ad-Dîn as-Subkî (w. 756 H) dalam “Al-Fatâwâ”nya, Ibnu Suraij dan Ibnu Daqiq al-’Id  yang
dikutip Ahmad Muhammad Syakir dalam risalah kecilnya (Awâ’il al-Syuhûr al-‘Arabiyah Hal Yajûzu
Syar’an Itsbâtuhâbi’l Hisâb al-Falakî), Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manâr-nya, Dr. Yusuf al-
Qaradhawi dalam Fiqh al-Shiyâm-nya, Dr. Ali Jum’ah dalam fatwa kemasyarakatannya (Al-Bayân Li
mâ Yasyghalu’l Adzhân), dan Tanthawi Jauhari dalam Tafsir Al-Jawâhir-nya adalah sederetan ulama
klasik dan kontemporer yang memberi ruang luas atau setidak-tidaknya mentolerir terhadap
kemajuan teknologi (hisab-falak) dalam memulai dan mengakhiri puasa-hari raya.[18]

Taqî ad-Dîn as-Subkî misalnya, menyatakan bahwa beberapa ulama besar telah mewajibkan atau
setidak-tidaknya membolehkan berpuasa berdasarkan hasil hisab yang menyatakan hilal telah
mencapai ketinggian yang memungkinkan untuk terlihat (imkânu al-ru’yah). Menurutnya, pendapat
ini yang disebut sebagai wajhmemandang imkan rukyat sebagai sebab wajibnya puasa dan hari raya,
namun berbeda dengan wajh ashahyang tetap mengaitkannya dengan perintah rukyat (nafs al-
ru’yah) atau ikmâl al-‘iddah (penggenapan bilangan). Selanjutnya as-Subki mengemukakan, bila pada
suatu kasus ada orang yang menginformasikan atau menyaksikan bahwa hilal telah terlihat padahal
hisab akurat (qath’i) menyatakan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, misalnya karena posisinya yang
terlalu dekat dengan matahari, maka informasi tersebut harus dianggap keliru dan kesaksian
tersebut harus ditolak. Hal ini beliau kemukakan mengingat nilai khabar(informasi) dan kesaksian
bersifat dugaan (zhân), sedang hisab bersifat pasti (qath’i). Telah dimaklumi bahwa sesuatu
yang qath’i tidak dapat didahului atau dipertentangkan dengan sesuatu yang zhân.[19]

Ahmad Muhammad Syakir, dalam karyanya juga secara cermat menerangkan kronologi pembolehan
hisab. Kesimpulannya; telah dimaklumi bahwa pada mulanya bangsa Arab sebelum dan di awal
berkembangnya Islam tidak mengerti ilmu falak dengan pemahaman secara
komprehensif (ma’rifatan ‘ilmiyyatan jâzimatan)sebab mereka adalah umat yang ‘ummî‘, tidak
menulis dan tidak menghitung. Karena itu Rasul Saw menjadikan sarana termudah dalam
menentukan awal Ramadan dan Syawal yang dapat dilakukan oleh semua bangsa Arab ketika itu,
yaitu rukyatul hilal. Ini adalah sarana terbaik dan efektif dalam aktifitas ibadah mereka untuk
menghasilkan rasa yakin dan percaya dalam batas kesanggupan mereka. Sesungguhnya pula, Allah
Swt tidak membebani hamba-Nya lebih dari kesanggupannya. Akan tetapi seiring tumbuh dan
berkembangnya Islam dengan terjadinya berbagai kemenangan (futûhât), diiringi dengan kemajuan
yang pesat ilmu pengetahuan di semua disiplin, tanpa terkecuali ilmu hisab-falak (astronomi).
Sementara itu sebagaimana disinggung diatas, tidak banyak fukaha dan muhadditsîn yang
memahami ilmu ini secara komperehensif. Sementara mereka yang percaya dan mengerti pun, tidak
mampu mengelaborasi ilmu ini dengan tuntutan fikih. Lantas beliau (baca: Ahmad Muhammad
Syakir) memberi hujah dengan argumen yang dikemukakan oleh Taqî ad-Dîn as-Subkî dalam Fatâwâ-
nya.[20]

Waktu Salat

Firman Allah Swt:

Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan Salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah
salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman”. [QS. AnNisa’ [4]:103]

Firman Allah Swt.:

Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh Malaikat)”. [QS. Al Isra’ [17]: 78]
Hadis baginda Nabi Saw.:

[  ‫ت‬ ُ ‫ َو َو ْق‬, ُ‫ت ْال َعصْ ِر َما لَ ْم َتصْ َفرِّ ال َّشمْس‬ ُ ‫ان ظِ ُّل الرَّ ج ُِل َك ًط ْولِ ِه َما َل ْم َيحْ ضُرْ َو ْق‬
ُ ‫ َو َو ْق‬,‫ت ْال َعصْ ِر‬ ُّ ‫ت‬
ْ َ‫الظه ِْر إِ َذا َزال‬
َ ‫ت ال َّشمْسُ َو َك‬ ُ ‫َو ْق‬
ُ‫طلُ ْوع ْال َفجْ ِر َما لَ ْم َت ْطلع‬
ُ ْ‫صبْح مِن‬ َ ُ ْ َ ْ َّ
َ ‫ َو َوقت‬, ِ‫لى نِصْ فِ اللي ِْل األ ْو َسط‬ َ ْ َ ُ ْ ُ َ َّ
َ ‫ َو َوقت‬,‫ب َما ل ْم َيغِبْ الشفق‬ َ ْ
ِ ‫صالَ ِة ال َمغ ِر‬
ْ
ِ ِ ِ ُّ ‫صال ِة ال‬ َ ِ‫ء إ‬Rِ ‫صال ِة ال ِعشا‬ َ
ُ‫]ال َّشمْس‬.[21]

Artinya: ”Waktu Zuhur ketika matahari tergelincir dan bayang seseorang sama panjang selama
belum datang waktu Asar. Waktu Asar selama matahari belum menguning, waktu Magrib selama
awan merah belum hilang, waktu Isya’ hingga pertengahan malam, dan waktu Subuh dari sejak
terbit fajar hingga sebelum matahari terbit”. [HR. Muslim]

Dari keterangan tiga dalil di atas, dengan jelas diterangkan bahwa waktu salat punya limit dan
ketentuan dalam praktiknya. Dalam penentuan waktu salat, data astronomi terpenting adalah posisi
matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit, dan fenomena yang dicari
kaitannya dengan posisi matahari adalah fajar, terbit, melintasi meridian, terbenam, dan senja.
Dalam hal ini ilmu falak berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan al-Qur’an dan hadis di
atas, dan teraplikasikan dalam berbagai bentuk rumus matematis. Dalam penetapan waktu-waktu
salat, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data astronomi (baca: perhitungan) sebagai
acuan.

Arah Kiblat

Firman Allah Swt.:

Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram;
sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhan-mu. Dan Allah sekali-kali tidak
lengah atas apa yang kamu kerjakan”. [QS Al Baqarah [2]: 149]

Kiblat (Kakbah) adalah arah yang dituju kaum muslimin dari seluruh penjuru bumi dalam Salat yang
terletak di kota Mekah al-Mukarramah kerajaan Arab Saudi.[22] Bagi Umat Islam, mengetahui arah
ke Mekah menjadi penting, karena di sanalah letak Kakbah yang menjadi arah kiblat Salat umat
Islam. Khusus dari Indonesia, Kakbah berada sekitar 20º – 30º dari arah barat dihitung ke utara.
Posisi ini pada prinsipnya dapat ditentukan jika kita mengetahui posisi geografis Kakbah (Lintang dan
Bujur Mekah) dan posisi geografis tempat kita berada (Lintang dan Bujur wilayah/kota di Indonesia).

Untuk keperluan penentuan arah kiblat, diperlukan informasi lokasi setempat dan Kakbah (Mekah)
dan arah mata angin benar. Untuk menentukan posisi kita (lintang dan bujur geografis) secara tepat,
kita bisa menggunakan GPS (Global Positioning System) atau merujuk Daftar Lintang-Bujur yang
dikeluarkan oleh Instansi resmi, seperti: Kementerian Agama RI, Badan Hisab Rukyat RI, Badan
Metereologi dan Geofisika (BMG), dan lain-lain. Sedangkan mengenai arah mata angin, jika kita akan
menggunakan kompas, maka kita harus memiliki data posisi kutub utara magnetik bumi sebagai
fungsi posisi dan waktu. Nah, jika kita telah mengetahui posisi geografis Kakbah dan posisi kita, maka
dengan trigonometri bola (ditambah koreksi bentuk bumi yang tidak bulat sempurna) kita dapat
menghitung arah kiblat.

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK DI INDONESIA (bag 1)

Pendahuluan

Dalam makalah ini mungkin belum dapat dirumuskan secara sistematis tentang sejarah
perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Hal ini karena dari buku-buku ilmu Falak yang telah ditulis
oleh berbagai kalangan ahli dan praktisi ilmu Falak sampai sekarang belum banyak yang
mengulasnya secara memadai. Namun akan berusaha diungkapkan poin-poin penting dalam
perkembangan ilmu Falak di Indonesia.

Untuk mengungkapkan sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia perlu penelitian tentang
bagaimana transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Literatur awal yang diajarkan dan
bagaimana perkembangannya. Hal ini untuk memetakan jaringan ulama Falak  Nusantara.

Sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah ilmu Falak mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akan dibahas juga bagaimana ahli
Falak—yang sebagiannya adalah dari kalangan ulama di pondok-pondok pesantren dalam mengikapi
persoalan tersebut. Dalam pengembangan kajian ilmu Falak ini terdapat momentum-momentum
yang menjadi tahapan penting bagi perkembangannya. Di antara momentum-momentum itu yang
penulis anggap signifikan untuk diungkap antara lain:

1.Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan, 

2.KH Turaichan Adjhuri yang berbeda dalam penetapan awal bulan Kamariah dengan pemerintah
dan menyerukan untuk menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal
tersebut,  
3.Kisah “kecelakaan” ilmu Falak secara akademik dengan dikeluarkannya mata kuliah ilmu Falak dari
Kurikulum PTAI tahun 1995,

4.Yang paling belakangan adalah peristiwa yang terjadi di tahun 2008 dan 2009 lalu; Hasil Penelitian
lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang
melenceng.

5. Dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah
lebih dahulu dari yang seharusnya.

Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa catatan tentang perkembangan ilmu Falak Indonesia.

Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia

Pembahasan tentang ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Ini karena bahasan utama dalam
kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan
gerhana.  Sebagai bagian dari kegiatan ibadah, ilmu Falak tentu saja masuk ke Indonesia beriringan
dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Berbicara tentang sejarah perkembangan awal ilmu
Falak di Indonesia secara keilmuan masih belum diungkap secara memadai.

Pembicaraan tentang sejarah awal perkembangan ilmu Falak di Indonesia di dalam buku-buku ilmu
Falak hampir sama saja. Rata-rata mereka menyatakan bahwa perkembangan awal ilmu Falak di
Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang
dilakukan oleh sultan Agung. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit
untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan
sistem kalender kamariah atau lunar 

Penanggalan Islam; penanggalan hijriah ini diasumsikam secara umum digunakan oleh kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara sejak zaman meeka berdaulat penuh. Penanggalan ini digunakan
sebagai penanggalan resmi kerajaan-kerajaan tersebut. Namun setelah datangnya penjajahan
Belanda di Nusantara pada abad ke-16, Belanda mengganti penanggalan tersebut dengan
penanggalan masehi. Penaggalan masehi inilah yang digunakan untuk administrasi pemerintahan
dan penanggalan resmi (BHR, 1981: 22).
Kajian Keilmuan Ilmu Falak Nusantara

Tahapan perkembangan ilmu Falak di Nusantara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Pengaruh Ulugh Beik (w. 1449 M) dengan tabel Zeij Sulthaninya

Sejarah tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di Indonesia
dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-
20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai
metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat
peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.

Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang dirumuskan
oleh  Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini
merupakan penemuan yang sangat berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga
oleh para astronom di Barat selama berabad-abad lamanya. 

Setelah Nicolas Copernicus (1473-1543 M) menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat
tata surya (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan
berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan.
Awalnya tdak mudah untuk menentang doktrin yang diyakini gereja, namun pada tahapan
selanjutnya teori ini mendapat dukungan secara ilmiah dari ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang
digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia pada
pertengahan abad ke-20.

Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai
dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya
para ulama yang telah berguru di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan
berkembang di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu
agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang mendorong umat Islam yang
pada masa itu rata-rata di bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga
membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada
para murid mereka di tanah air (Khazin, 2008: 28-29).

Dengan semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang baerdakwah ke
berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra
(berasal dari Mesir) pada tahun 1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi)
Ulugh Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia kemudian
mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya adalah Ahmad
Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn
Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi. 

Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan)  dengan
menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Semarang yang selesai
ditulis pada 1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di
Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada
1321H/1903M. Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang
masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan
oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin
Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullamun
Nayyiran dicetak pertama kali pada 1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama
Falak nusantara pada priode awal ini. Kitab Sullamun Nayyiranlah paling dikenal dari karya ulama
Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai sekarang.

Sementara tokoh Falak  yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil
Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima
diterbitkan pada 1357H/1938M, dan Natijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar
and Direction of Qiblat according to Shafie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek
dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’al Niri fi ma Yata’allaq bi al-Kawakib (Azhari, 2007:
10). Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar antara lain Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’I, dan KH Sholeh Darat (Azhari, 2007: 10).

2.      Pengaruh Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah.

   

Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya  pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala
Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid
Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut dibawa oleh mereka yang menunaikan ibadah
haji setelah menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Menurut M. Taufik  bahwa kitab ilmu
Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan
cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut
adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertam kalinya pada
1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan Dipo
Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-
Falaki,  dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M) (Murtadho,  2008: 29).

Sebagian kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan  al-Mathla’ as-
Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya
juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok
kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang
merupakan kitab yang dipelajari guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya
adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara
yang dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-
Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.

3. “Perkawinan” Ilmu Falak dan Astronomi

Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran
Saadoe'ddin Djambek. Ia  lahir di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. ia wafat di
Jakarta pada tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta
ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-
1367 H) dari Minangkabau (http://bimasislam.depag.go.id).

Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari Syekh
Taher Jalaluddin, yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya
dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan
keahliannya di bidang penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti
kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti
kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung
pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H (http://bimasislam.depag.go.id).

Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas yang
dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H menjadi lektor kepala
dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar,
Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu Falak, ia banyak
menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer
Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952
M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H),
(3)Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4)
Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974
M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada
tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas
pada tahun 1976 M/1397 H) (http://bimasislam.depag.go.id).

Karya yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan pemikirannya yang
akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan Kamariah
(http://bimasislam.depag.go.id). Ia lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah
menggunakan hisab yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia.

Satu lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat geografis Ka’bah.
Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan pengukuran koordinat geografis Ka’bah. Ia
menyatakan bahwa koordinat geografis Ka’bah adalah lintang (Φ) 21° 25’  LU dan bujur (λ) 39° 50’
BT.

Jaringan keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara muridnya adalah
Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983,
Perhitungan Awal Bulan dan Gerhana Matahari system Newcomb.

Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini antara
lain: Taufik.  Ia dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0 pada tahun 1998. Hak lisensinya pada
badan Hisab dan Rukyat Depag RI. Win Hisab ini dikenal juga dengan Sistem Ephemeris (Khazin,
2008: 36-37).

Perbedaan dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 medatang berkah tersendiri bagi
perkembangan ilmu Falak Indonesia. Dengan lahirnya software-software Falak yang praktis dari para
ahli Falak. Sofware Falak itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang
disempurnakan menjadi Mawaqitt versi 2002 oleh Khafid, program falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad
tahun 1995, program Astinfo oleh jurusan Astronomi ITB pada tahun 1996, dan program Badiah al-
Mitsal tahun 2000, Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun 2004
(Khazin, 2008: 37).
Klasifikasi Metode Falak

Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama
Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke dalam beberapa
kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat
awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki yang didasarkan pada
peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab Haqīqī
Taqrībī,  kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab Ңaqīqī bi at-Tahqīqī, kitab
yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki kontemporer, kitab yang tingkat
akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27
April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat (Izzuddin,  2006: 135-136).

Dalam sistem  hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi
Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang
ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari.
Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga
puluh hari (Anwar,  Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader: 8)

Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender
Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi
Bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik  setiap satu
bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi
berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan
Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu
bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung  awal
bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman 2006).

Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti
lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga
puluh tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita
sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari.  Dalam siklus 30
tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari
ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya
merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30
tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu  daur (Taqwim
Hijriyah,  hhtp://afdacairo. blogspot.com).  Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah
(Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-
tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.

Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim (pdf – Adobe Reader: 136-137 ) penanggalan
berdasarkan hisab Urfi memiliki karakteristik:
1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;

2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 

3. dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah).
Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair: 

‫فصانه‬ ‫حبه‬ ‫خل‬ ‫كل‬ ‫عن‬ * ‫نه‬ ‫ديا‬ ‫كفه‬ ‫الخليل‬ ‫كف‬

Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan
tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18,
21, 24, 26, dan 29;

4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 

5. bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari
(kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari);  

6. panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu,
periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari
(29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).

7. perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar  sebelum


melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila
tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan
mengalami kesulitan.

Sistem kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah
kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki. Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang
didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa
konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:                                        

1. Umur Bulan
Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi
bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua
puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan
atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut (Azhari,  2004,  30-31)

Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan
kalender Urfi, bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh
hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu (Anwar,  pdf – Adobe Reader: 8). 

2. Permulaan Hari

Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya.
Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib
setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji”… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189

Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal
dan  sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.

Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan  hari berlangsung saat posisi Matahari


berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan
dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian
atau permulaan  hari  dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat
terbenamnya Matahari (Fathurohman, 2004: 114-115).

3. New Month (Bulan Baru)

Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan
ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya
ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.

Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak  terjadi sebelum Matahari
terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama
sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari
terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan
bulan baru dimulai (BHR, 1981: 99). Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan
Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan
kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan
memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.Sebaliknya kelompok yang
berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah
pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir
dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari, 2007: 109).

Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang
lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di
sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams.  Dan dalam perkembangan wacana dalam
penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih
mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok
yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian
dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.

Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan
adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di
atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa
patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada
saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah. 

4. Hilal

Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu
ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah
yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan
dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini
berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan
(konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.

Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan
awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau
ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian
kelompok yang lain, maka esok harinya  adalah tanggal satu bulan yang baru. 
Berdasarkan klasifikasi metode Hisab dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di
Tugu, Bogor, Jawa Barat di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin
Abdul Hamid bin Muhammad Damiri dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil
adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data
yang dijadikan acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam
pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus. Secara ilmiah teori ini
telah gugur. Kenyataannya hasil perhitungannya itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi
ilmiah sebagai pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan
kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui di lapangan ketika
observasi rukyatul hilal dilakukan.

Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain  kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya
Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor
Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya
Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id
al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum
Jombang.

Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya
Khafid, Ephimeris Departemen Agama, al-Falakiyah karya Sriyatin Shadiq. Metode  hisab Hakiki
Kontemporer yang memiliki tingkat akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu Astronomi. Metode
dalam melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang banyak dan menyajikan data-data
yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal. 

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK DI INDONESIA (bag 2)

Badan Hisab Rukyat (BHR): Upaya Penyatuan Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia

Departemen Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah berdirinya Depag,
persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan
Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148
tahun 1968 dan No.10 tahun 1971 (Azhari, 1999: 14).

Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan  awal bulan Kamariah tersebut belum
seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi penyebab friksi dan mengusik ukhuwah islamiah di antara
mereka (Azhari, 1999: 15). Persoalan inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga Hisab
dan Rukyat.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Mentri Agama no.76 tahun 1972 tentang
Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Adapun diktumnya sebagai berikut:

1. Membentuk Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.

2. Tugas Badan Hisab dan Rukyat  yang termuat dalam dictum pertama ialah memberikan saran-
saran kepada Mentri Agama dalam penentuan permulaan tanggal bulan-bulan Kamariah.

3. Kepengurusan dari Badan Hisab dan Rukyat  tersebut terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris,
anggota-anggota tetap dan anggota tersebar (associate members).

4. Anggota-anggota tetap tersebut merupakan pengurus harian yang menangani mmasalah sehari-
hari, sedangkan anggota tersebar bersidang dalam waktu-waktu tertentu menurut keperluan.

5. Anggota-anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh Dirjen Bimas Islam.

6. Badan Hisab dan Rukyat   tersebut dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada
Direktur Peradilan Agama.

7. Kepada ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota-anggota diberikan honorarium menurut
peraturan yang berlaku.

8. Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan Rukyat  tersebut dibebankan kepada
anggaran dan belanja Departemen Agama mata anggaran 18.1.1241 dan untuk tahun-tahun
berikutnya  mata anggaran yang selaras untuk itu.

9. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Selanjutnya dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972 memutuskan
susunan personalian Badan Hisab dan Rukyat  Departemen Agama sebagai berikut:

Sa’adoeddin Djambek, Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA, Jakarta sebagai
wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur, Jakarta sebagai sekretaris merangkap
anggota. Adapun anggotanya adalah: ZA Noeh, Jakarta, Drs Susanto LMC, Jakarta, Drs Santoso,
Jakarta, Rodi Saleh, Jakarta, Djunaidi, Jakarta, Kapten Laut Muhadji, Jakarta,  Drs Peunoh Dali,
Jakarta, dan Syarifuuin BA, Jakarta.

Adapun anggota tersebar diserahkan penyrlesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas Islam. Dirjen
Bimas Islam dengan surat keputusannya No. D.I/96/P/1973 tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan
susunan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: KH Muchtar
Jakarta, KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung Pandang, KH A
Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Adb Rachim Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir
Muchlas Hamidi Yogyakarta, H Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat
Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ust Ali Ghozali Cianjur, Banadji
Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman Nganjuk.

Tujuan Pendirian Badan Hisab Rukyah adalah mengupayakan unifikasi dalam menentukan awal
bulan Kamariah di Indonesia; terutama  awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah
etik praktis belum bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan tersebut tidak
hanya tarik menarik antara mereka yang berpedoman kepada hisab ataupun mereka yang
menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian
hisab misalnya, selama ini lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan wilayah
teoritis-filosofis.

Kehadiran  Badan Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia.
Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam perjalanannya badan Hisab dan Rukyat
terkungkung oleh rutinitas dan lebih bercorak bayani ketimbang burhani. Sudah saatnya Badan Hisab
dan Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis.

Dalam hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh
Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama memperhatikan
masyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik
temu dari berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan mengalami
kegagalan.

Momen-Momen Bagi Kajian Ilmu Falak di Indonesia

Ada beberapa momen penting bagi kajian ilmu Falak di Indonesia. Momen-momen ini dianggap
memiliki peranan yang signifikan dalam mengaktualkan kajian ilmu Falak. Di antara momen itu
adalah:
KH Ahmad Dahlan

1. Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan.

Ia adalah anak seorang kyai tradisional yaitu K.H. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, seorang khatib di
Masjid Sultan di kota Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak Haji Ibrahim, seorang penghulu.
Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara (http://peaceman.multiply.com/journal).

Ia lah yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat
itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat.
Sebagai ulama yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat
mengoreksi kekeliruan. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat
lurus, tidak tepat menuju arah kiblat

Dengan berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari melalui  K.H. Dahlan
(Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh Darat (Semarang), Syekh Muhammad Djamil
Djambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Dahlan menghitung arah kiblat pada setiap masjid.
Dahlan dicatat sebagai pelopor pembetulan  arah kiblat dari semua surau dan masjid di Nusantara.
(http://www.ilmufalak.or.id).

Setelah "tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui
organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam.

Ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak


kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan,
bahkan dicap hendak mendirikan agama baru. (http://www.ilmufalak.or.id).

KH Turaichan Adjhuri

2. KH Turaichan Adjhuri yang menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang
hal tersebut.
Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan), semasa kecil menghabiskan waktunya untuk belajar,
mengaji dan muthola’ah Kitab. Ia belajar Falak secara atodidak. Tapi ketika menemui kemusykilan, ia
berkonsultasi dengan KH. Abdul Djalil (gurunya) (http://www.arwaniyyah.com).

Mbah Tur dalam ilmu falak tak dapat diragukan lagi kepiawaiannya, mulai dari penentuan dari awal
bulan Hijriah, adanya gerhana dan dalam penerbitan almanak yakni Kalender Menara Kudus yang
sampai saat ini masih berjalan dan dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya msyarakat Kudus,
bahkan sampai ke penjuru tanah air (http://www.arwaniyyah.com). Perhitungan itu umumnya
dipakai oleh Nahdlatul Ulama. Penyusunan Kalender Menara Kudus saat ini diteruskan putranya,
Sirril Wafa (http://www.wawasandigital.com).

Turaikhan disebut-sebut sebagai Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi stabilitas pemerintah.
Ia pernah diadili pada 1990 karena menentukan waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah.
Sebagian kalangan masyarakat yang menggunakan keputusannya dan meninggalkan keputusan
pemerintah. Ia juga menentang maklumat pemerintah yang menyerukan agar masyarakat
bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari total pada tahun 1983 dengan menganjurkan
umat melihat dan mendirikan salat gerhana (http://blogcasa.wordpress.com).

  Kisah Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam menghitung waktu.
Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar
mazab heliosentrisme-bahwa matahari adalah pusat tata surya-seperti ditulisnya dalam Script
Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus Urbanus yang geosentrisme.
Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra,
pengarang kitab al-Mathla’ as-Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya
(http://blogcasa.wordpress.com).

Di antara bentuk pengakuan atas ketingggian keilmuannya dibidang ilmu Falak, oleh pemerintah ia
diangkat sebagai  anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag RI.

3.Kisah “Kecelakaan” Ilmu Falak Secara Akademik

Secara akademik, ilmu Falak pernah eksit dari kurikulum PTAI. Mata kuliah ilmu Falak keluar dari
Kurikulum Nasional PTAI tahun 1995. Hal ini sangat ironis, ilmu Falak dianggap tidak lagi penting
untuk menjadi salah satu ilmu yang menjadi kompetensi para lulusan PTAI terutama fakultas
Syari’ah. Pada satu sisi ilmu Falak mulai terabaikan tetapi di sisi lain pemikiran hisab rukyat pada saat
bersamaan mulai berkembang dengan munculnya ide pembuatan teleskop rukyat. Padahal dari
lembaga inilah diharapkan muncul dan berkembangnya pemikiran ilmu Falak atau hisab rukyat yang
komprehensif dan filosofis. Bahkan ide perubahan Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) adalah untuk melihat kontribusi Islam kepada ilmu pengetahuan
sehingga dikotomi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama akan dapat dieliminir (Azhari,
1990: 20).

Kini telah berhebus angin yang menyejukkan bagi perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Misalnya
didirikannya prodi ilmu Falak di IAIN Walisongo pada tahun 2007 dan untuk Strata 2 pada tahun
2009. Adapun Strata 3 baru setingkat konsentrasi  dibuka pada tahun 2008.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di internetpun banyak dijumpai blog dan
webset yang menyajikan tentang ilmu Falak. Banyaknya interaksi yang terjadi seputar permasalahan
dan problematika ilmu Falak terutama masalah-masalah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat,
adalah perkembangan yang positif. Hal yang akan menggairahkan perkembangan ilmu falak pada
masa-masa yang akan datang.

4.Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di
Jogjakarta yang melenceng.

Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak menghadap
ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazette melaporkan, orang-orang yang melihat ke bawah dari atas
gedung-gedung tinggi yang baru di Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak
mengarah langsung ke Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat mungkin menghadap
ke Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan kompas khusus untuk mencari arah kiblat itu
(http://blogcasa.wordpress.com/).

Wartawan BBC, Sebastian Usher, mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan


pembangunan kembali kawasan di dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun, masjid-masjid lama di
Mekah tetap dipertahankan keberadaannya. Kini bila dilihat dari gedung-gedung tinggi yang baru,
sejumlah warga menemukan lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak tepat arah kiblatnya.
(http://blogcasa.wordpress.com/).

Jika memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya di Indonesia saja
tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya. Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya,
seperti dituliskan Ahmad Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat
(http://blogcasa.wordpress.com). Masalah yang penting selanjutnya setelah kita melakukan
pengecekan arah kibalat masjid dan musala di sekitar kita adalah sosialisasi. Ibarat mengambil
rambut dalam tepung. Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya
dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang permasalahan ini secara
komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut. Penyempurnaan arah kiblat bukan berarti adanya
perubahan  arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlu penyempurnan atau
pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita.

Tantangannya, bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan hasil-


hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar tidak terjadi situasi di mana ada
pihak yang merasa “tersakiti”, yang terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk
perkara yang sebenarnya (http://blogcasa.wordpress.com).

5.  Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah
lebih dahulu dari yang seharusnya.

Artikel dalam majalah Qiblati yang berjudul, “Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar
Shadiq” dalam Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu
Subuh Adalah Bid'ah Kuno”  dalam Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, dan “Salah Kaprah Waktu
Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4 tulisan Mamduh
Farhan al-Buhairi telah mengagetkan umat Islam Indonesia khususnya. Dalam tulisannya ditulis
bahwa waktu salat Subuh yang kita gunakan selama ini lebih cepat dari yang seharusnya—bahkan
sampai di atas dua puluh menit. Sehingga menurutnya bahwa salat Subuh yang kita laksanakan
selama ini dilaksanakan sebelum masuknya awal waktu salat Subuh yang seharusnya (Mamduh,
Salah Kaprah Waktu Subuh:  Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan
Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno”  dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para
Ulama”, http://id.qiblati.com).

Setelah penerbitan majalah Qiblati yang mempertanyakan tentang kebenaran awal waktu Subuh
yang dikeluarkan Departemen Agama dan dijadikan pedoman oleh umat Islam selama ini, timbullah
kegoncangan. Masyarakat mulai goncang, mereka mulai mempertanyaan keabsahan pedoman
penentuan awal waktu Subuh yang mereka gunakan selama ini.

Mereka membahasnya lewat forum-forum diskusi keislaman di masjid-masjid bahkan juga di


internet. Begitu banyak tanggapan yang muncul tentang hal ini. Tanggapan yang sebagiannya alih-
alih memberikan pencerahan terhadap masyarakat malah justru membuat mereka bertambah
bingung.

Dalam menyikapi hal ini umatpun terbelah. Sebagian pengurus/ta’mir masjid mengambil jalan
tengah menurut mereka sendiri. Menurut mereka azan tetap dikumandangkan sesuai dengan jadwal
yang ada (jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama, namun pelaksanaan salat Subuh
dimundurkan waktunya dari biasanya.
Yang lain malah melangkah lebih jauh lagi. Mereka mengundurkan waktu pengumandangan azan
sebagai pertanda masuknya awal waktu Subuh. Sehingga tidak heran bila dalam keseharian, kita
mendapati dalam pengumandangan azan Subuh ada masjid-masjid yang baru mengumandangkan
azan di saat masjid-masjid yang lain telah selesai melaksanakan salat Subuh berjamaah.

Namun mayoritas mereka masih menggunakan jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama.
Mereka tidak mau merubah apa yang diyakini selama ini tentang penentuan awal waktu salat Subuh
sampai terwujudnya kesepatan para ahli atau pemerintah dalam hal ini Departemen Agama
mengumumkan perubahannya.Kondisi ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut dan
mendalam.

RINGKASAN DASAR-DASAR ILMU FALAK Oleh: Syarief Ahmad Hakim (bag 1)

1.      Pengertian; Falak ( ‫ ) الفلك‬menurut bahasa, artinya orbit atau peredaran/lintasan benda-benda
langit, menurut istilah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit
khususnya bumi, bulan dan matahari pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui
posisi benda langit tersebut antara satu dengan yang lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di
permukaan bumi. Dinamakan juga Ilmu Hisab karena kegiatan yang menonjol dari ilmu ini ialah
menghitung kedudukan ketiga benda langit di atas.

2.      Ruang lingkup; Pembahasan dan kegiatan dalam ilmu falak hanyalah terbatas pada
pembahasan mengenai peredaran bumi, matahari dan bulan saja, karena peredaran ketiga benda
langit inilah yang mempunyai sangkut paut dengan perhitungan waktu shalat, penentuan arah kiblat,
perhitungan awal bulan qomariyah dan perhitungan terjadinya gerhana matahari dan gerhana
bulan.

3.   Manfa'at Ilmu Falak; dapat menentukan arah kiblat suatu tempat di permukaan bumi, dapat
memastikan waktu shalat telah tiba, atau matahari sudah terbenam untuk berbuka puasa. Dapat
mengarahkan pandangannya dengan tepat ke posisi hilal ketika melakukan rukyatul hilal bahkan
dapat mengetahui akan terjadinya peristiwa gerhana matahari dan gerhana bulan berpuluh bahkan
beratus tahun yang akan datang.

4.   Hukum Mempelajari Ilmu Falak; Para ulama, misalnya Ibnu Hajar dan ar-Ramli berkata bahwa
bagi orang yang hidup dalam kesendirian maka mempelajari ilmu falak itu fardlu 'ain baginya.
Sedangkan bagi masyarakat banyak hukumnya fardlu kifayah.

5.   Perkembangan Ilmu Falak


a.   Sebelum Islam;

Aristoteles (384-322 SM) berpendapat bahwa pusat jagat raya adalah bumi. Bumi tidak bergerak dan
tidak berputar. Semua benda-benda angkasa bergerak mengitari bumi. Lintasan masing-masing
benda langit berbentuk lingkaran.

Claudius Ptolomeus (+100-178 M), pendapat dia tentang jagat raya sama seperti yang dikemukakan
Aristoteles, yaitu geosentris. Bumi dikitari oleh bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter,
Saturnus. Benda-benda langit tersebut jaraknya dari bumi berturut-turut semakin jauh. Lintasan
benda-benda langit tersebut berupa lingkaran di dalam bola langit. Sementara langit merupakan
tempat bintang-bintang sejati, sehingga mereka berada pada dinding bola langit.

b.   Peradaban Islam;

Tahun 773 M, seorang pengembara India mempersembahkan sebuah buku data astronomis berjudul
"Sindhind" atau "Sidhanta" kepada khalifah Abu Ja'far al-Mansur (719-775 M), kemudian beliau
menyuruh Muhamad ibn Ibrahim al Fazari (w. 796) untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.

Abu Ja'far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-847 M), sebagai ketua observatorium al-
Makmun. Beliau menemukan bahwa ekliptika itu miring sebesar 23.5 derajat terhadap equator,
serta memperbaiki data astronomis yang ada pada buku terjemahan "Sindhind" ke dalam bukunya
"al-Mukhtashar fi Hisabil Jabr wal Muqabalah" dan "Suratul Ardl".

Ibrahim ibn az-Zarqali (1029-1089), yang di Eropa dikenal dengan nama Arzalchel, adalah seorang
ahli ilmu falak dan ahli teropong bintang, ia memiliki daftar tabel astronomis bintang-bintang yang
bernama "as-Shafihah".

Nasiruddin Muhammad at-Thusi (1201-1274), seorang ahli ilmu falak yang telah membangun
observatorium di Maragha atas perintah Hulagu. Dengan observatoriumnya itu ia membuat tabel-
tabel data astronomis benda-benda langit yang diberi nama "Jadwalul Kaniyan".

Ibnu Jabr al-Battani (858-929 M), yang di dunia barat dikenal Albatenius. Dia melakukan penelitian di
observatorium ar-Raqqah, di hulu sungai al-Furat di Baghdad. Dia melakukan perhitungan-
perhitungan jalan bintang, garis edar dan gerhana. Dia membuktikan kemungkinan terjadinya
gerhana matahari cincin. Dia menetapkan garis kemiringan perjalanan matahari, panjang tahun
sideris dan tahun tropis, musim-musim serta garis lintasan matahari semu dan sebenarnya, adanya
bulan mati dan fungsi sinus. Dia juga mempergunakan tangens (bayangan tegak lurus) dan cotangen
(bayangan datar) dari sebuah Gnomom (tongkat yang ditancapkan ke dalam tanah untuk mengukur
sudut dan tinggi matahari di atas kaki langit). Dia juga yang mempopulerkan pengertian-pengertian
tentang perbandingan trigonometri sebagaimana yang digunakan sampai sekarang ini. Dia-lah yang
menerjemahkan dan memperbaiki teori Ptolomeus dalam bukunya "Syntasis" yang berisi tentang
perhitungan garis edar bulan dan beberapa planet dalam judul barunya "Tadribul al-Maghesti" di
samping bukunya sendiri yang berjudul "Tamhidul Musthafa li Ma'nal Mamar".

Ali bin Yunus (w. 1009 M) dengan karyanya "Zaijul Kabir al-Hakimi" yang berisi antara lain tentang
data astronomis matahari, bulan dan komet, serta perubahan titik equinox.

Abdur Rahman al-Biruni (w.1048 M) yang menemukan perputaran bumi pada sumbunya dan
membuat daftar lintang dan bujur tempat di permukaan bumi.
Ulugh Bek (w.1420 M) ahli astronomi asal Iskandaria dengan observatoriumnya ia berhasil
menyusun data astronomi yang banyak digunakan pada perkembangan ilmu falak masa-masa
selanjutnya.

      c.   Peradaban Eropa;

Buku "al-Mukhtashar fi Hisabil Jabr wal Muqabalah" karya al-Khawarizmi diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Gerald dari Cremona. Buku hasil terjemahan ini dengan judul barunya "The
Mathematics of Integration and Equations". Buku "Suratul Ardl" karya al-Khawarizmi diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin oleh Aderald dari Bath.

Dua buku "al-Madkhalul Kabir" dan "Ahkamus Sinni wal Mawalid" karya Abu Ma'syar diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin oleh John dari Seville dan Gerald dari Cremona.

Buku "Tabril al- Maghesti" karya al-Battani diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Plato dari
Tipoli (w. 1150 M), dan dikutip oleh Nicolas Copernicus dalam karangannya De Revolutionibus
Orbium Coelestium. Buku "Tabril al-Maghesti" ini diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris oleh
Alphonso X. Selain itu, tabel bintang–bintang karya az-Zarqali diterjemahkan oleh Ramond dari
Marsceilles.

Di antara ilmuwan Eropa dalam bidang astronomi pada dekade ini adalah :

Nicolas Copernicus (1473-1543 M)

Copernicus adalah seorang ahli astronomi amatir dari Polandia yang menentang pandangan
Geosentris dari Ptolomeus. Ia mengemukakan dalam bukunya "De Revolutionebus Orbium
Coelestium" (tentang revolusi peredaran benda-benda langit) bahwa matahari merupakan pusat dari
suatu sistem peredaran benda-benda langit, yang dikenal dengan Heliosentris yakni matahari
sebagai pusat peredaran bumi dan benda-benda langit lain yang menjadi anggotanya.

      Selanjutnya dikemukakan pula bahwa bumi berputar pada sumbunya (rotasi) sekali dalam satu
hari dan bulan pun bergerak mengitari bumi dalam 27 1/3 hari untuk sekali putaran.

      Sejak Copernicus mengumumkan pandangan heliosentrisnya, maka dalam dunia astronomi
sampai abad 18 M ada 2 aliran, yaitu aliran Ptolomeus (pendapat lama dengan Geosentrisnya) dan
aliran Copernicus (pendapat baru dengan Heliosentrisnya).

Galileo Galilei (1564-1642 M)

Setelah Galileo membaca karya Copernicus tentang gerak benda-benda langit, kemudian ia
menyusun teori kinematika tentang benda-benda langit yang sejalan dengan Copernicus.
      Di samping itu, ia berhasil membuat teleskop yang dapat dengan jelas melihat relief permukaan
bulan, noda-noda matahari, planet Saturnus dengan cincinnya yang indah, planet Yupiter dengan 4
buah satelitnya, dsb.

Karya Galileo tentang peredaran benda-benda langit seperti itu, oleh gereja ketika itu dinyatakan
terlarang untuk dibaca umum, karena bertentangan dengan pandangan dan kepercayaan kaum
gereja.

Johanes Kepler (1571-1630 M)

      Kepler seorang bangsa Jerman, dengan tidak kenal lelah ia selalu mengadakan penelitian benda-
benda langit. Ia memperluas dan menyempurnakan ajaran Copernicus. Teori-teori yang
dikemukakan dilandasi matematika yang kuat. Ia berhasil menjadikan hukum universal tentang
kinematika planet menjadi landasan dalam ilmu astronomi. Tiga hukum itu ialah :

1.      Lintasan planet menyerupai ellips dengan matahari berada pada salah satu titik apinya.

2.      Garis hubung planet-matahari akan menyapu daerah yang sama luasnya dalam selang waktu
yang sama panjangnya.

3.      Pangkat dua kala edar planet sebanding dengan pangkat tiga jarak planet ke matahari.

      d.   Di Indonesia

            1)  Awal Perkembangan

Syekh Abdurrahman bin Ahmad al-Misri (1314 H/1896 M) datang ke Jakarta (Betawi), beliau
membawa Zaij (tabel astronomis) Ulugh Bek (w. 1420 M) dan mengajarkannya kepada Ahmad
Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w.1329 H/1911 M) dan Habib Usman bin Abdullah bin 'Aqil bin
Yahya.

Ahmad Dahlan as-Simarani mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan) dengan menyusun buku ilmu
falak yang berjudul "Tadzkiratul Ikhwan fi Ba'dli Tawarikhi wal A'mali Falakiyati bi Semarang". Kitab
ini memuat perhitungan ijtima' dan gerhana dengan mabda' kota Semarang (λ = 110º 24').

Habib Usman mengajarkan ilmu falak di daerah Jakarta dengan menyusun buku yang berjudul
"Iqadzun Niyam fima yata'alaqahu bil ahillah was Shiyam". Ilmu falak yang ia ajarkan adalah
perhitungan ijtima' dengan epoch Batavia atau Jakarta (λ = 106º 49').
Muhammad Manshur bin Abdul Hamid Dumairi al-Batawi (murid Habib Usman) membukukan ilmu
falak yang ia peroleh dari gurunya dalam kitab yang berjudul "Sullamun Nayyirain fi ma'rifati Ijma'i
wal Kusufain" yang pertama kali dicetak tahun 1344 H/1925 M.

Thahir Djalaluddin dengan buku karyanya "Pati kiraan" dan Djamil Djambek dengan buku karyanya
"Almanak Jamiliyah". Beliau berdua merupakan ahli falak kenamaan dari daerah Sumatra.

Pada umumnya mereka menggunakan tabel astronomis Ulugh Bek as-Samarkandi, serta
perhitungannya tidak menggunakan segitiga bola, melainkan dengan cara perhitungan biasa, yakni
penambahan ( + ), pengurangan ( - ), perkalian ( × ) dan pembagian ( : ).

2)      Perkembangan Baru

§ 

Syekh Muhammad Mukhtar bin Atarid al-Bogori

, beliau menetap di Mekah dan menyusun buku ilmu falak "Taqribul Maqshad fil Amali bir Rubu'il
Mujayyabi", diterbitkan 26 Juni 1913 M. Buku tersebut telah menggunakan kaedah-kaedah segitiga
bola.  

§  "Al-Mathla'us Sa'id fi Hisabil Kawakib 'ala Rashdil Jadid" karya Syekh Husain Zaid (Mesir) yang
dibawa pulang oleh salah seorang jama'ah haji pun ternyata membawa pengaruh yang cukup besar
dalam perkembangan dan kemajuan ilmu falak di Indonesia. Pada bagian akhir kitab al-Mathla'us
Sa'id karya Husain Zaid dinyatakan bahwa perhitungan-perhitungan dengan logaritma itu tidak
diragukan akan tingkat akurasinya, sebab pada dasarnya sinus itu sama dengan jaib dan tangens
sama dengan Dhil.

§ 

Muhammad Maksum bin Ali al-Maksumambangi al-Jawi (w. 1351 H/1933 M)

menyusun buku ilmu falak dengan judul "Badi'atul Misal fi Hisabis Sinin wal Hilal". Data astronomis
yang digunakan oleh Badi'atul Misal adalah sama dengan data yang ada pada buku al-Mathla'us
Sa'id, tetapi menggunakan epoch Jombang (λ = 112º 13').            

§ 
Zubair Umar al-Jailani

, (w. 10 Desember 1990 M) menyusun buku ilmu falak dengan judul "Al-Khulashatul Wafiyyah fil
Falaki bijadwalil Lugharitmiyyah". Pada  tahun 1935 M           Data astronomis yang digunakan oleh al-
Khulashatul Wafiyyah adalah sama dengan data yang ada pada buku al-Mathla'us Sa'id, tetapi
menggunakan epoch Mekah (λ = 39º 50'),     

§ 

KRT Wardan Diponingrat

, menyusun dua buah buku yang berjudul "Ilmu Falak dan Hisab" dan "Hisab Urfi dan Hakiki" pada
tahun 1957 M. Data astronomisnya yang digunakan oleh Wardan adalah sama dengan data yang ada
pada buku al-Mathla'us Sa'id, tetapi menggunakan epoch Yogyakarta (λ = 110º 21').     

Para ahli ilmu falak putra Indonesia selain yang tersebut di atas, antara lain :

(1)   A. Kasir (Malang), karyanya "Matahari dan Bulan dengan Hisab"

(2)   Abdul Faqih (Demak), karyanya "Al-Kutubul Falakiyah"

(3)   Abdul Fatah (Gresik), karyanya "Mudzakaratul Hisab"

(4)   Ahmad Badawi (Yogyakarta), karyanya "Hisab Hakiki"

(5)   Ahmad Dahlan (Yogyakarta), karyanya "Hisab Ijtima'"

(6)   Dawam (Solo), karyanya "Taqwimun Nayyirain"

(7)   Hasan Asy'ari (Pasuruan), karyanya "Jadwalul Auqat" dan "Muntaha Nata'ijil Aqwal"

(8)   Mawardi (Semarang), karyanya "Risalalatun Nayyiriyah"


(9)   Muhammad Amin (Surakarta), karyannya "Al-Jadawilul Falakiyah"

(10) Muhammad Khalil (Gresik), karyanya "Wasilatut Thalab"

(11) Nawawi (Bogor), karyanya "Al-Mujastha"

(12) Nawawi (Kediri), karyanya "Risalatul Qamarain"

(13) Qudsiyah (Kudus), karyanya "Nujumun Nayyirain"

(14) Qusyairi (Pasuruan), karyanya "Al-Jadawilul Falakiyah"

(15) Ramli Hasan (Gresik), karyanya "Ar-Risalatul Falakiyah"

(16) Ridwan (Sedayu-Gresik), karyanya "Taqribul Maqshad"

(17) Siraj Dahlan (?), karyanya "Ilmu Falak"

RINGKASAN DASAR-DASAR ILMU FALAK Oleh: Syarief Ahmad Hakim (bag 2)

3)      Perkembangan Lanjut

§ 

Saadoe'ddin Djambek

(24 Maret 1911-22 Nopember 1977 M) seorang ahli falak yang banyak menyusun buku ilmu falak
diantaranya:

1)  "Waktu dan Jadwal" yang diterbitkan oleh Tintamas, 1952


2)  "Almanak Jamiliyah" yang diterbitkan oleh Tintamas, 1953

3)  "Arah Kiblat" yang diterbitkan oleh Tintamas, 1956

4)  "Perbandingan Tarikh" yang diterbitkan oleh Tintamas, 1968

5)  "Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa" yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1974

6)  "Shalat dan Puasa di Daerah Kutub" yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, 1974

7)  "Hisab Awal Bulan Qamariyah" yang diterbitkan oleh Tintamas, 1976

Beliau menggunakan data astronomis dari negara-negara maju, misalnya Almanak Nautika dari
Amerika, Ephemeris dari Uni Soviet, dan lain-lain. Penyelesaian perhitungannya menggunakan daftar
logaritma.    

§  Pada tahun 1975-an Abdur Rachim menyusun dua buah buku ilmu falak yang berjudul "Ilmu Falak"
tahun 1983 dan buku "Perhitungan Awal Bulan dan Gerhana" yang di kalangan ahli ilmu falak
Indonesia dikenal dengan "Sistem Newcomb" yang sampai sekarang buku ini belum diterbitkan.
Buku perhitungan awal bulan sistem Newcomb ini memuat perhitungan awal bulan dan gerhana
matahari. Data astronomis dan proses perhitungannya adalah data astronomis dan proses
perhitungan yang digunakan oleh S. Newcomb dalam A Compendium of Spherical Astronomy (New
York : 1960),

§  Pada tahun 1993 Drs. H.

Taufiq SH. beserta putranya

menyusun program software data astronomis yang dikenal dengan "Hisab for Windows versi 1.0"
yang hasilnya mirip Nautical Almanac atau semacamnya. Kemudian pada tahun 1998, program ini
disempurnakan dan dinamai dengan "WinHisab versi 2.0"

4)      Pada Komputer


Pada waktu akhir-akhir ini muncul program-program software yang menyiapkan data sekaligus
melakukan perhitungan, sehingga program ini dirasa lebih praktis dan lebih mudah bagi pemakainya.
Program-program itu misalnya;

§  "Mawaqit" yang diprogram oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993,

§  "Falakiyah Najmi" oleh Nuril Fu'ad pada tahun 1995,

§  "Astinfo" oleh jurusan astronomi MIPA ITB Bandung tahun 1996,

§  "Badi'atul Misal" tahun 2000 dan program "Ahillah" tahun 2004 oleh Muhyiddin Khazin,

§  Program "Mawaqit versi 2002" oleh Hafizd pada tahun 2002.

6.   Alam Semesta dan Penghuninya

      a.   Jagat Raya: Ruang yang maha luas tempat benda-benda langit berada, termasuk bumi tempat
manusia hidup.

      b.   Galaksi: Suatu sistem bintang yang terdiri atas sebuah atau lebih benda langit yang besar yang
menjadi pusatnya dan dikelilingi oleh benda langit lain sebagai anggotanya, semuanya bergerak
mengelilingi pusat dengan gerakan yang sangat teratur.

      c.   Gugus Galaksi: Galaksi-galaksi yang berkerumun dengan jarak yang berdekatan dan
membentuk kelompok masing-masing.

      d.   Rasi Bintang: Bintang-bintang di langit yang selalu berada pada kelompoknya masing-masing
dengan membentuk rupa-rupa tertentu.

      e.   Bintang: benda angkasa yang mempunyai cahaya sendiri dan terdiri dari gas pijar.
 

7.   Satuan Jarak di Jagat Raya

      a.   Satuan astronomi: Satu kali jarak bumi ke matahari ( + 150.000.000 km).

      b.   Kecepatan Cahaya: Dalam satu detik cahaya dapat merambat dengan kecepatan 300.000 km,
dalam satu tahun = 365 × 24 × 60 × 60 × 300.000 km = 9.460.800.000.000 km

      c.   Parsec: Paralaks bintang yang besarnya 1 detik busur (1/3.600 derajat), disebut 1 Parsec.
Paralaks yang terdekat dengan bumi ialah bintang Alpha Centauri = 0,76 detik busur atau sama
dengan + 4,3 tc.

8.   Pandangan Manusia Terhadap Alam Semesta

      a.   Egosentris: Manusia memandang dirinya sebagai pusat alam semesta.

      b.   Geosentris: Bumi sebagai pusat alam raya.

      c.   Heliosentris: Matahari sebagai pusat tatasurya.

      d.   Galaktosentris: Galaksi sebagai pusat jagat raya.

9.   Tatasurya: Sistem matahari beserta benda-benda langit yang mengelilinginya (planet, satelit,
asteroid dan komet).

      a.   Matahari: Benda langit yang mempunyai cahaya sendiri (bintang yang paling dekat dengan
bumi).
§  Fisik matahari:       1)   Volume = 1.300.000 kali bumi

                                                2)   Diameter = 1.400.000 km

                                                3)   Masa = 1,99 ×1030 kg = 334.000 kali massa bumi

                                                4)   Gravitasi = 28 kali gravitasi bumi

§  Posisi matahari:     1)   Berjarak ± 150.000.000 km dari bumi

                                                2)   Berada di pinggir cakram galaksi Bimasakti berjarak 30.000 tahun
cahaya dari titik pusatnya.

§  Gerak matahari:

      1)   Gerak hakiki:   a)   Gerak rotasi, berputar pada porosnya dalam waktu 25½ hari pada
ekuatornya dan 27 hari pada bagian kutubnya.

                                    b)   Bergerak di antara Gugusan-gugusan Bintang menuju titik Apeks di daerah
antara bintang Wega dan rasi bintang Herkules dengan kecepatan ± 600 juta km pertahunnya.

   2)   Gerak semu:   a)   Gerak semu harian, akibat rotasi bumi dari arah barat ke arah timur langit,
sekali putaran penuh ditempuh dalam waktu 23 jam 56 menit (sehari semalam), maka matahari
bergerak dari arah timur ke arah barat.

                                 b)   Gerak semu tahunan, akibat revolusi bumi dari arah barat ke arah timur langit,
sekali putaran penuh ditempuh dalam waktu 365,2425 hari, sehingga kita melihat matahari bergerak
dari satu rasi bintang ke rasi bintang lainya dari arah barat ke arah timur juga.

      b.   Planet: Benda langit yang tidak mempunyai cahaya sendiri yang selalu mengitari matahari.

§  Delapan planet yang mengelilingi matahari adalah Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter,
Saturnus, Uranus dan Neptunus.
§  Selain Merkurius dan Neptunus, semuanya memiliki satelit alami, seperti bumi memilikinya yang
disebut bulan.

      c.   Asteroid: Kumpulan planet kecil yang menyebar antara Mars dan Jupiter. Ada sekitar 5000
buah yang telah diidentifikasi.

d.     Satelit: Benda langit yang senantiasa mengitari Planet.

e.      Komet: Bongkahan benda langit yang terdiri dari kepala dan ekor, tidak mempunyai cahaya
sendiri dan selalu mengitari matahari pada lintasannya yang sangat panjang dan berbentuk hiferbol.

f.       Meteor: Benda langit yang jatuh ke atmosfer bumi sehingga terbakar dan mengeluarkan
cahaya.

10. Bumi: Bumi adalah planet yang ketiga dari urutan tata surya kita dan merupakan satu-satunya
planet yang dihuni oleh makhluk hidup.

§  Fisik Bumi:   a.  Berbentuk bulat agak lonjong karena memipih pada kedua kutubnya.

§  Bukti-bukti bahwa bumi bulat:

   1)   Yang pertama kelihatan dari kapal laut yang menuju pantai adalah puncak tiang dan
cerobongnya, baru seluruh badannya.

2)   Terbit dan terbenamnya matahari tidak sama waktunya bagi seluruh permukaan bumi.

3)   Saat gerhana bulan bayangan bumi di bulan senantiasa berbentuk busur lingkaran.

4)   Orang dapat mengelilingi bumi dan kembali ke tempat semula.

5)   Pemotretan di luar angkasa menunjukkan bumi itu berbentuk bulat.


                           b.  Diameter pada khatulistiwa 12.756,776 km dan yang melalui kutubnya hanya

                                 12.713,824 km.

                           c.  Keliling pada ekuator 40.092,725 km.

                           d.  Luas permukaannya sekitar 510.101.000 km2.

                           e.  Volume (isi) bumi 1,083 × 1027 m3.

                           f.    Diselimuti oleh lapisan atmosfer.

§  Posisi Bumi: a.   Planet urutan ketiga yang mengitari matahari setelah Merkurius dan Venus.

                           b.   Bidang lintasannya berbentuk ellips dan matahari berada pada salah satu titik
apinya, sehingga jarak bumi ke matahari adakalanya dekat adakalanya jauh.

                           c.   Jarak terdekat bumi ke matahari adalah 147 juta km, sekitar tanggal 2 Januari.

                           d.   Jarak terjauh bumi ke matahari adalah 152 juta km, sekitar tanggal 5 Juli.

§  Gerak Bumi:  a.  Gerak Rotasi: Bumi berputar pada porosnya dari arah barat ke arah timur,

                                sekali putaran penuh (360°) ditempuh dalam waktu 23 jam 56 menit.

1)      Bukti-bukti Rotasi Bumi:

a)      Ayunan Foucault

b)      Percobaan Benzenberg dan Reich


c)      Bentuk rasi bintang yang tetap

2)      Akibat Rotasi Bumi

a)      Gerakan Semu Harian Benda Langit

b)      Peristiwa Siang dan Malam

c)      Perbedaan Waktu

d)     Batas Penanggalan

e)      Pembelokan Angin

f)       Pemepatan Bumi Pada Kedua Kutubnya

b.   Revolusi Bumi: Peredaran bumi mengelilingi matahari dari arah barat ke arah timur, satu
lingkaran penuh ditempuh dalam waktu 365 hari 6 jam 9 menit 10 detik (satu tahun sideris).

                                       1)   Bukti-bukti Revolusi Bumi

a)  Gejala Paralaksis (beda lihat).

b)  Aberrasi Sinar (sesatan sinar).

                                       2)   Akibat Revolusi Bumi

      a)   Pergeseran Matahari antara GBU dengan GBS

     b)  Peredaran Semu Tahunan Matahari


     c)  Gerak Semu Bintang Tetap di Bola Langit

     d)  Perubahan Panjang Siang dan Panjang Malam

     e)  Pergantian Musim

     f)  Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari

      g)  Pasang Naik dan Pasang Surut Air Laut

     h)  Tarikh Matahari

c. Gerak Presesi: Pergerakan sumbu bumi terhadap bidang ekliptika, tempat gerakan ini berbentuk
lingkaran yang ditempuh bumi dalam waktu 26.000 th.

d. Gerakan Nutasi: Ternyata tempat pergerakan poros bumi (presesi) itu tidak berbentuk lingkaran
datar/halus tetapi lingkaran yang bergelombang. Tiap gelombang ditempuh dalam waktu sekitar
18,66 tahun (digenapkan 19 tahun).

e.   Gerakan Apsiden: Gerak titik aphelium dan perihelium bergeser dari arah timur ke arah barat.
Pergeseran titik aphelium dan perihelium ini menempuh sekali putaran (360º) selama sekitar 21.000
tahun.

11. Bulan: Benda langit yang tidak mempunyai cahaya sendiri yang senantiasa mengelilingi bumi.

§  Fisik Bulan: a.   Berbentuk bulat seperti bola dengan garis tengah + 1.738 km (sama dengan ¼ garis
tengah bumi).

b.      Massanya hanya  1/80 kali massa bumi, massa bumi adalah 6 × 1021 ton. 
c.       Gaya gravitasinya 1/5 gaya gravitasi di bumi.

d.      Permukaan bulan sangat kering dan terdiri atas: daratan, lembah, gunung dan kawah-kawah
yang diduga bekas benturan meteorit.

e.       Tidak mempunyai lapisan udara.

§  Posisi Bulan:  a.  Satu-satunya satelit alami yang dimiliki bumi.

b.      Bidang lintasannya berbentuk ellips, dimana bumi berada pada salah satu titik apinya.,sehingga
jarak Bulan ke Bumi adakalanya dekat adakalanya jauh.

c.       Jarak terdekat Bulan ke Bumi adalah 356.400 km.

d.      Jarak terjauh Bulan ke Bumi adalah 406.700 km

§  Gerak Bulan: a.   Gerakan hakiki

1) Gerak Rotasi: Berputar pada porosnya dengan arah anti arah jarum jam (Barat-Timur). Satu
lingkaran penuh ditempuh dalam waktu 29,5 hari.

2)   Gerak Revolusi: Beredar mengelilingi bumi dari arah baratke arah timur dalam waktu 29,5 hari.

3)  Gerak bulan bersama-sama dengan bumi beredar mengitari matahari.

                                  b.  Gerak Semu

1)   Gerak semu harian: Diakibatkan oleh gerak rotasi bumike arah timur sehinga kita melihat bulan
terbit di arah timur dan terbenam di arah barat.

2)   Gerak Librasi: Gerak goyangan semu terhadap bumi.


a)      Librasi melintang (Gerak angguk)

Librasi ini terjadi karena sumbu bulan selalu bersudut 88,5º terhadap bidang lintasannya, hal ini
mengakibatkan kutub utara dan kutub selatan bulan bergiliran terlihat dari bumi sebanyak 1,5º.

b)      Librasi membujur (Gerak geleng)

Yaitu gerakan bulan ke kanan dan ke kiri yang disebabkan karena rotasinya teratur, sedang gerak
revolusinya tidak teratur.

c)      Librasi Paralaksis (Beda lihat)

Perbedaan penampakan bulan bila dilihat dari dua tempat yang berlainan letak geografisnya.

Belajar Ilmu Falak (bag 1)

Bab 1

~ ‫الشمس والقمر بحسبا ن‬

~ ‫وكل في فلك يسبحو ن‬

I.     PENDAHULUAN

1.    Ilmu Falak ialah suatu ilmu yang mempelajari segala gerak-gerik benda langit (termasuk Bumi)
dengan segala perhitungannya secara matematics. Hukum mempelajarinya adalah Fardhu Kifayah.
Sesuai yang telah dikatakan oleh Imam Ghojali dalam kitabnya : Ihya’ Ulumuddin Juz I halaman 17.

 “Maka janganlah engkau heran bila aku mengatakan bahwa Ilmu Kedokteran, Ilmu Astronomi dan
Ilmu Matematic adalah Fardhu dari bagian-bagian fardhu kifayah.”

2. Ilmu Nujum (Astrologi) ialah suatu ilmu yang menghubung-hubungkan nasib seseorang/keadaan
dengan posisi suatu bintang. Mempercayainya hukumnya Haram.

II.   BENDA-BENDA LANGIT DAN ISTILAH.

1.    Tsawabit atau Bintang tetap. Termasuk diantaranya adalah Matahari kita. Semua Bintang (An-
najm) yang bercahaya sendiri.

2.    Sayyaroh (Planet) yang berputar mengikuti matahari, diantaranya adalah bumi kita. Bintang-
bintang ini bercahaya karena pantulan (Alkaukab), bukan karena cahaya sendiri.

1.    Bulan (Satelit), semua benda yang mengikuti Sayyaroh. Diantaranya adalah Bulan Kita (Alqomar).
4.    Majarroh (Galaxy), yaitu sekumpulan berjuta-juta bintang termasuk system matahari kita, dan
nampak seperti kabut.

5.    Mudhannibat (Bintang berekor), suatu bintang yang tidak padat dan ekornya selalu
bertentangan dengan posisi matahari.

6.    Syuhub (Meteor) atau carit bintang. Yaitu suatu bintang yang keluar dari orbitnya karena daya
tarik bumi. Pada saat memasuki angkasa bumi, benda tersebut bergosokan dengan udara bumi dan
terbakar.

7.    Dan lain-lain

Bab 2

III.  GERAK BUMI, MATAHARI DAN BULAN

BUMI

1.         Keliling Bumi = 40.076.630 meter.

2.         Jauh Bumi dari Matahari rata-rata 149 juta Km.

3.         Garis tengah Kutub ke Kutub = 12.711 Km.

4.         Garis tengah Katulistiwa = 12.756 Km.          Bumi tidak bulat penuh.

5.         Gerak harian ( ‫) حركة يومية‬. Bumi berputar secara penuh (Rotasi) selama 24 jam.

6.         Gerak tahunan ( ‫ ) حركة سنو ية‬Bumi berputar mengelilingi matahari selama 365 hari, 5 jam, 48
menit, 46 detik. (365 + ¼ hari). Karena itulah setiap empat tahun kelebihan ± 1 hari. Untuk itu
ditentukan tahun Kabisat = 366 hari (tiap empat tahun sekali) dan tahun Basitot = 365 hari.

7.         Garis Edar (Falak) Bumi terhadap Matahari ternyata bukan merupakan lingkaran, tetapi
merupakan elips, dengan kelonjongan 0,0168, dan sedikit berubah mengecil sehinga falaknya
mengarah ke bulat.

8.    Gerak Dairoh Buruj ( ‫) ميل‬

Karena poros Bumi membuat sudut 66¬¬033′ dari falak bumi, maka pada saat melakukan revolusi,
posisi matahari terlihat berpindah-pindah kadang-kadang di utara Khottul Istiwa’ kadang-kadang di
sebelah selatan Khottul Istiwa’ dengan kemiringan maximum  dari 00 sampai 23027′ ( ‫)ميل كلي‬

Posisi matahari pada Dairoh Buruj ditandai dengan 12 nama Buruj (Zodiac), sesuai Nadhom dibawah
ini :

‫حمل وثور وجوزاء سرطان أسد‬


‫سنبلة لثمال هذه نسبت‬
‫ميزان عقرب قوس جدي دلو وحوت‬
‫نسبت لجنوب غفلتىغلبت‬

( 5 ‫) جزا صحبقة‬
Tiap-tiap Buruj berderajah 300 dihitung mulai 00 sampai 290. Angka 300 berarti titik 00 pada Buruj
berikutnya.

Berikut nama-nama Zodiac (Buruj), posisi matahari dan tanggalnya :

00 HAML             ( Aries )         -21 Maret                       (µ) Buruj 0

00 TSAUR          ( Taurus )         -21 April                                   µ  1

00 JUZA’            ( Gemini )        -21 -Mei                                   µ  2

00 SAROTHON ( Cancer ) -21 -Juni — Titik Balik Utara          µ  3

00 ASAD              ( Leo )            -23 -Juli                                    µ  4

00 SUMBULAH  ( Virgo )      -24 -Agustus                                µ  5

00 MIZAN           ( Libra )     -22 -September                              µ  6

00 AQROB        ( Scorpio )    -24 -Oktober                                µ  7

00 QOUS         ( Sagitarius )   -23 -November                            µ  8

00 JADYU  ( Capricorn ) -23-Desember – Titik Balik Selatan     µ  9

00 DALWU   ( Aquarius )         -19 -Januari                               µ  10

00 HUT            ( Pisces )         -21 -Februari                              µ 11

Titik Hamal dan Mizan adalah sejajar dengan Khottul Istiwa’.  Dari titik Hamal matahari bergerak ke
utara sampai Sarothon (230 27′), kemudian balik ke selatan sampai akhir Sumbulah. Karena matahari
di utara Khottul Istiwa’ maka disebut  ‫(شمالى‬Utara). Dari titik Mizan matahari bergerak ke selatan
sampai Jadyu (230 27′), kemudian balik ke utara sampai akhir Hut. Karena matahari di selatan
Khottul Istiwa’ maka disebut ‫ ( جنوبى‬Selatan ).

Tiap hari matahari bergeser ± 10 Buruj.

Tanggal 21 Maret matahari di Buruj 0 µ 00

Tanggal 26 Maret matahari di Buruj 0 µ 50 ( Buruj Hamal 50 )

8.a  Menentukan Derajat Matahari pada Buruj dengan Tafawut.

Kita bisa menentukan dimana posisi matahari pada tanggal tertentu dengan cara menghitung
Tafawut-nya sesuai tabel dibawah ini dengan rumus :

DERAJAT MATAHARI = TANGGAL + TAFAWUT

BILA LEBIH 300 PINDAH KE BURUJ BERIKUTNYA

BULAN AFRANJI    TAFAWUT    BURUJ/ZODIAC

JANUARI                           9                             JADYU

FEBRUARI                       10                          DALWU

MARET                              8                                 HUT

APRIL                                10                             HAML


MEI                                    9                             TSAUR

JUNI                                   9                            JAUZA’

JULI                                    7                   SAROTHON

AGUSTUS                          7                               ASAD

SEPTEMBER                     7                    SUMBULAH

OKTOBER                        6                            MIZAN

NOVEMBER                     7                            AQROB

DESEMBER                      7                               QOUS

Contoh :

1.  Januari tanggal 10.

Matahari pada Buruj 10 + 9 = 190 Jadyu.

2.  Januari tanggal 21.

Matahari pada Buruj 21 + 9 = 300 Jadyu = 00 Dalwu.

3.  April tanggal 1.

Matahari pada Buruj 1 + 10 = 110 Haml.

4.    April tanggal 22.

Matahari pada Buruj 22 = 10 320 Haml = 20 Tsaur.

8.b. Menentukan Jauh Derajat (Bu’dud Darrojah) Matahari.

Seperti kita ketahui bahwa matahari pada saat ini 21-Maret ada pada Awal Buruj Haml yang sejajar
dengan Khottul Istiwa’. Kemudian matahari terus bergerak ke utara sampai Awal Buruj Tsaur, yaitu
300 Buruj dari Khottul Istiwa’, terus ke utara sampai Awal Buruj Jauza‘ (600 Buruj), terus ke utara
sampai Awal Sarothon (900 Buruj). Dari sini matahari tidak bergeser ke utara tetapi mulai balik ke
selatan. Tiba di Awal Buruj Asad (600), sampai ke Awal Buruj Sumbulah (300), terus sampai di Awal
Buruj Mizan (00). Dari sini matahari mulai berada di selatan Khottul Istiwa’. Sampai di Awal Aqrob
(300), terus Awal Qous (600), Awal Jadyu (900). Dari sini matahari mulai kembali mendekati Khottul
Istiwa’, sampai di Awal Dalwu (600) Awal Hut (300) kembali lagi ke Buruj Haml (00).

Bu’dud Darrojah = Beberapa derajat jauh Matahari dari titik Haml. Secara Ikhtisar demikian.

Misal   :    Tanggal 19 Februari.

Matahari tiba di Buruj 19 + 10 = 290 Dalwu

Awal Dalwu = 600

Bu’dud Darrojah = 600-290 = 310 dari titik Haml.

Catatan : Menjauh Khottul Istiwa’ = Ditambahkan (+)

Mendekat Khottul Istiwa’ = Dikurangi (-)


Bab 3

9.    Thul dan Taqwim Matahari

Thul Matahari adalah jauh derajat pergeseran matahari dari titik Haml. Dihitung dari 00-3600.
(Bu’dud Darrojah hanya sampai 900), misal tanggal 31-April. Tanggal 21-April adalah Tsaur 00.

Taqwim Matahari  adalah 31-21 = 100 Tsaur 100.

Tsaur adalah Buruj 1.           1 x 300 =  300.

Jadi Thul Matahari pada tanggal itu adalah 300 + 100 = 400.

10.   Thul dan Taqwim Bulan

Pada setiap akhir bulan Arab, bulan berada segaris dengan posisi matahari (Ijtima’/Conjuctie), maka
Thul-nya sama dengan Thul matahari pada tanggal itu.

Bila ingin mengetahui Thul Bulan pada selain akhir bulan Arab, maka harus ditambah Buhut Bulan,
yaitu 13010’35″).

Misal Taqwim akhir bulan Sya’ban pada 26¬-Mei.

21-Mei adalah Buruj Jauza’ 00 . 26-Mei = Jauza’ 50.

Jauza’ adalah Buruj 2            Thul = 2 x 300 + 5  = 650.

1-Romadhon adalah  27-Mei, jadi Thul Bulan = 650 + ( 1 x 130 10’35″).            780 10’35″.

11.   Khottul Istiwa’.

Yaitu garis khayal yang membagi bumi tepat menjadi dua bagian yaitu bagian bumi bagian utara dan
bagian bumi bagian selatan.

12.   Menentukan Garis Timur Barat Sejajar Khottul Istiwa’.

-    Buatlah lingkaran di tanah yang datar.

-    Tepat ditengahnya dipancangkan tiang tegak.

-         Pagi hari bayangan tiang memanjang ke Barat. Pada saat ujung bayangan tepat bertemu
dengan lingkaran, tandailah. Itulah titik Barat.

-    Sore hari bayangan tongkat memanjang ke Timur. Saat ujung bayangan tepat pada lingkaran,
tandailah. Itulah titik Timur. Bila dari kedua titik tersebut ditarik Sebuah Garis, maka garis tersebut
tepat mengarah Barat Timur dan Sejajar dengan garis Khottul Istiwa’.

13.   Urudlul Balad dan Thulul Balad (Panjang Tempat dan Lebar Tempat).

-    Urudlul Balad adalah letak suatu kota/daerah diukur jauhnya dari Khottul Istiwa’, berapa derajat
di utara atau di selatannya. Daerah yang berada tepat di Khottul Istiwa’ seperti Pontianak, lebar
tempatnya 00.

Mekkah lebar tempatnya = 210 30′ sebelah Khottul Istiwa’.


Pekalongan lebar tempatnya 60 55′ sebelah selatan Khottul Istiwa’.

-    Thulul Balad adalah letak suatu tempat diukur jauhnya dari titik 00 (Kota Greenwich) di sebelah
barat atau timur.

Mekkah panjang tempatnya 400 sebelah timur Greenwich.

Pekalongan panjang tempatnya 1090 41′ timur Greenwich.

-    Garis-garis yang sejajar dengan Khottul Istiwa’ disebut garis lintang (Dawairul Urudl).

-    Garis-garis yang sejajar dengan garis yang membelah dari kutub ke kutub (Meridian) disebut Garis
Bujur.

14.   Menentukan Kiblat dengan Thul dan Urudhul Balad.

Misalnya arah kiblat kota Pekalongan. Thul  = 1090 41′  BT.

Urudl =     60 55′  LS.

a.       Buat garis Barat Timur Tepat keterangan nomor 12.

b.      Buat titik-titik yang berjarak sama (bisa dengan penggaris). sepanjang garis Barat Timur,
sebanyak 109,68-40 = 69, 72.

c.       Pada awal titik kiri dibuat Garis Tegak keatas (utara ).

d.      Pada akhir titik 109,68 – 40 dibuat garis tegak ke Bawah (selatan). (Tepatnya 390 58′          39,96
)

e.       Pada garis tegak keatas dibuat titik-titik yang sama sebanyak 21,5 titik .

f.        Pada garis tegak ke bawah dibuat titik-titik yang sama sebanyak 6,91.

g.       Bila titik terakhir pada garis tegak keatas dan kebawah dihubungkan, maka itulah garis yang
menunjukkan tepat kearah kiblat .

Gb. Mencari Arah Kiblat.

Catatan: Bila suatu tempat Thul-nya sama dengan Mekkah, maka :

-    Bila di sebelah Utara Khottul Istiwa’  kiblatnya tepat ke Selatan.

-    Bila di sebelah Selatan Khottul Istiwa’ kiblatnya ke Utara Tepat.

Bila perbedaan Thul-nya 1800 (tepat dibelakang Bola pada posisi Mekkah), maka :

-    Bila di Selatan Khottul Istiwa’ 39058′, kiblatnya ke Segala Arah.

-    Bila di Selatan Khottul Istiwa’ lebih dari 390 58′, maka kiblatnya ke Selatan Benar.

-    Bila di Selatan Khottul Istiwa’ kurang dari 39058′, maka kiblatnya adalah Utara Benar. Bila lebar
tempatnya di Utara Khottul Istiwa’, maka kiblatnya ke Utara Benar.

 
Belajar Ilmu Falak (bag 2)

Bab 4

15.   Menentukan Waktu Dhuhur

Mulainya waktu Dhuhur adalah setelah matahari bergeser ke Timur dari titik kulminasinya (Zawal), di
daerah Khottul Istiwa’ pada saat 21 Maret dan 22 September pada jam 12.00 bayangan akan hilang
karena matahari berada tepat 900 diatas benda. Saat ada bayangan muncul di sebelah timur itulah
saatnya waktu Dhuhur. Pada waktu dan tempat yang lain jam 12.00 siang bayangan tidak hilang
sama sekali, tetapi berada di sebelah selatan atau utara benda tersebut. Hal ini terjadi karena posisi
matahari yang bergeser sesuai Buruj-nya. Untuk itu dalam membuat suatu alat penunjuk waktu
diperlukan suatu garis ke arah Utara Selatan Tepat, yang tegak lurus dengan benda/tiang pancang
tersebut.

Cara Pembuatan :

1.    Pilih tiang pancang, misalnya tebal 10 mm.

2.    Pilih suatu bidang datar di tempat yang lapang.

3.    Tentukan arah Barat Timur Tepat seperti keterangan nomor 12.

4.    Buatlah dua buah berjarak 10 mm (sesuai tebal tiang pancang), tegak lurus siku-siku dengan
garis barat timur tepat. Itulah garis Utara Selatan Tepat.

5.    Tancapkan tiang pancang tepat di titik silang garis Utara Selatan – Barat Timur. Buatlah benar-
benar tegak lurus. Ukurlah dengan penggaris siku-siku.

6.    Waktu Dhuhur adalah bila bayangan telah keluar dari garis utara selatan tersebut diarah
timurnya.

Catatan :

Garis-garis dan tiang pancang bisa kita buat dulu diatas sebuah papan/tegel. Kemudian baru
dipasang di tempat yang telah ditentukan setelah diukur arahnya. Pemasangan diukur dengan Water
Level agar-benar-benar datar dan tiangnya benar-benar tegak.

-          Pembuatan Garis Utara Selatan – Barat Timur bisa juga memakai kompas, tetapi hasilnya
kurang akurat karena :

a.   Arah jarum utara tidak menunjuk tepat ke kutub utara, tetapi ke arah Basin Island (dekat
Kanada).

b.  Arah jarum kompas berubah-ubah karena perubahan medan magnet yang terjadi karena adanya
Sun Spot, suatu efek yang timbul saat terjadi fusi nuklir di matahari.
16. Rembang Pagi dan Rembang Petang

Pada saat dini hari dimana matahari masih 17-19 derajat dibawah ufuk, langit sudah berpendar
terang. Hal ini di sebabkan sinar matahari dipantulkan dan menyinari udara. Kejadian ini disebut
Rembang Pagi atau Fajar. Waktu Shubuh dimulai saat Rembang Pagi sampai terbitnya matahari dari
ufuk.

Sore hari matahari terbenam di ufuk barat. Sampai matahari terbenam sejauh 17-19 derajat di ufuk
barat, langit masih nampak terang dengan warna kemerah-merahan. Kejadian ini disebut Rembang
Petang atau Syafaq Ahmar sebagai pertanda mulainya Sholat Maghrib sampai warna cahaya merah
hilang dari langit.

Lama Rembang tidak sama disemua tempat, tergantung dari posisi matahari pada waktu itu. Tempat
dimana posisi matahari terbit atau terbenam dengan tegak lurus, lama Rembang adalah 17 derajat,
atau sama dengan 17 x 4 menit = 68 menit. (1 derajat = 4 menit. —3600 = 360 x 4 : 60 = 24 jam).
Seperti misalnya terbenam matahari di kota Pontianak pada tanggal 21 Maret.

Di tempat yang lurus atau naiknya matahari miring, lama Rembang akan lebih dari 68 menit.

17. Udara

Tadi sudah dijelaskan bahwa walaupun matahari masih di bawah ufuk, langit sudah nampak terang.
Hal itu disebabkan adanya udara yang melingkupi Bumi kita sehingga cahaya dipantulkan oleh udara
ke mata kita sehingga nampak terang. Bila tak ada udara, langit langsung terang saat terbit matahari.

Oleh karena adanya udara pada siang hari, kita tidak bisa melihat bintang-gemintang di langit,
karena mata kita silau melihat udara memantulkan cahaya matahari. Bila tidak ada udara, langit
akan nampak hitam kelam walaupun di siang hari.

18.   Ketebalan Udara

Tebal lapisan udara di atas kita tidak sama. Makin ke atas lapisan udara makin tipis. Makin ke bawah
makin tebal. Oleh karena itulah saat pagi atau sore hari kita dapat memandang langsung ke arah
matahari tanpa merasa terlalu silau, karena cahaya matahari harus menembus lapisan udara yang
lebih tebal dan panjang pada waktu tersebut dibanding saat tengah hari.

19. Pembelokan Cahaya / Refractie (-  ‫) – دقائق األختالف‬

Pembelokan/pembiasan cahaya terjadi bila cahaya melewati beberapa benda tembus cahaya yang
mempunyai kepadatan berbeda. Karena ketebalan udara dilapisan atas dan bawah berbeda, maka
benda-benda langitpun akan mengalami Refractie, dimana benda langit yang kita lihat itu pada
hakekatnya mempunyai kedudukan lebih rendah dari posisinya saat kita lihat. Pada saat kedudukan
benda berada di titik Samtur Ro’si (Zenith), benda tidak mengalami refractie. Makin ke bawah
refractie-nya makin besar. Di Ufuq besarnya refractie adalah sebesar 34′ 5″, artinya saat kita melihat
matahari tepat tenggelam, pada hakekatnya ia telah berada 24′ 5″ di Bawah Ufuq.
Bila diameter matahari adalah 32′ bola langit, maka saat terbenam atau terbit, titik pusat matahari
telah berada ½ x 32′ +  34′ 5″ = 50′ 5″ (hampir satu derajat). Ini disebut Daqoiq Tamkiniyyah.
Sehingga kalau diukur dari Samtur Ro’si (Zenith) Busurnya sebesar 900 + 50′ 5″ = 900 50′ 5″.

Karena ketebalan lapisan udara yang tidak sama inilah maka besarnya refractie tidak tetap. Makin
rendah suatu benda langit refractie-nya makin besar. Saat tinggi 10 refractie-nya = 24′ 3″, saat ½0
refractie-nya 28′ 7″, dan saat 00 refractie-nya 34′ 5″ seperti telah disebutkan diatas.

Bab 5

20.  Ufuk Hakiki dan Ufuk Mar’i

Kalau kita berada ditengah laut dan memandang kearah kiri langit mungkin kita bisa melihat sebuah
tiang layar dibatas kaki langit, namun kapalnya belum kelihatan (dibawah ufuk). Ufuk yang kita lihat
itu adalah Ufuk Hakiki.

Bila kemudian kita naik keatas tiang kapal, sekarang nampak di kaki langit ada sebuah kapal lengkap
dengan layarnya. Kaki langit yang nampak setelah kita naik diketinggian disebut Ufuk Mar’i.

Dengan demikian batas pandang kita ‫ ش‬setelah naik ke tiang kapal lebih jauh daripada batas
pandang kita dipermukaan laut. Sudah pernah dijelaskan bahwa jarak dari Samtur Ro’si ke Ufuk
Hakiki adalah 900.

Maka jarak dari Samtur Ro’si ke Ufuk Mar’i adalah 900 + X0. Jarak sebesar X0 inilah biasa kita sebut
dengan Perbedaan Ufuk ( ‫) اختالف األ فق‬Makin tinggi kita naik, derajat kerendahan ufuknya makin
besar.

21.   Jarak Kaki Langit

Di sebutkan diatas bahwa batas pandang kita setelah naik ke tiang kapal menjadi lebih besar. Jarak
ini kita sebut Jarak Kaki Langit. Besarnya jarak kaki langit dapat kita hitung demikian :

Diketahui     :

P  = Pusat bumi dengan R = 6.000 Km.

O = Pengamat.

U = Ufuk ———  O – U = Jarak kaki langit.

h   = Ketinggian mata.

Maka dari gambar dibawah dapat dihitung :

Contoh :
Bila kita berada diatas layar setinggi 25 meter, maka jarak kaki langit  =  √¯  12 x 25 Km = 17,32 Km.

Bab 6

22.  Kerendahan Ufuk

Dari keliling bumi, kita tahu bahwa setiap 01′ adalah sejauh 1,85 km. Bila jarak kaki langit  = 17,32 km
maka kerendahan ufuk adalah sebesar

x 01′ = 9’36″.

Catatan: Keliling bumi     =  40076630 m.

Tiap 10 =     40076630 =  111323,97 m = 111,3 km.

360°

Tiap 1′  =    111,3 =  1,855 km.

60

23.  Meil Awal dan Meil Tsani

•    Meil Awal atau Meil ‫) الميل‬  )  adalah jauh suatu benda langit (termasuk matahari, bulan, dsb) dari
Khottul Istiwa’ dihitung dengan derajat sepanjang lingkaran declinatie ( ‫ ) د وائرالميل‬.

Misal : Pada bulan Juni tanggal 21, Meil Awal matahari dari kota Pontianak (Lintang 00) = 230 27′
Lintang Utara (+).

•    Meil Tsani adalah jauh suatu benda langit dihitung dengan derajat Dawairul Urudh yang
ditempati pada waktu itu.

Misal : Pekalongan letaknya 60 55′ Lintang Selatan (-60 55′). Pada tanggal 21–Juni tersebut Meil
Matahari dari Pekalongan = + 230 27′– (-60 55′).

=  230 27′ + 60 55′

=  300 22′.

24.  Waktu Ashar

Waktu Ashar jatuh bila bayangan sudah sama dengan panjang bendanya. Menentukan waktu Ashar
pada saat bayangan Dhuhur  hilang adalah sangat mudah. Bila benda tingginya 10 cm dan
bayangannya sepanjang 10 cm, berarti waktu Ashar sudah tiba.

Menentukan waktu Ashar dimana bayang-bayang waktu Dhuhur tidak hilang, namun bisa diukur
dengan melihat ketinggian matahari. (Berapa besar sudutnya dari puncak bayangan ke matahari).

Perhitungannya dapat kita jelaskan dengan menggunakan dalil Ilmu Ukur Sudut (Goneometri)
demikian :

Lihat gambar :
A-B     =    Tongkat yang dipancangkan. Ujungnya mengarah ke Samtur Ro’si (Zenith).

B-C      =    Panjang bayangan waktu Dhuhur.

C-D     =    Panjang bayangan waktu Ashar.

Maka dengan demikian tinggi matahari pada waktu Ashar adalah =

Cotg ha = Tg. Zm + 1

Dimana h² =         Tinggi matahari waktu Ashar.

Zm =         Tinggi matahari waktu Dhuhur.

Sehingga pada tanggal 21-Juni tinggi matahari waktu Ashar adalah : Cotg.  h² =  Tg 300 22′ + 1 =
1,5205

h² =  330 20′ di Pekalongan.

Bab 7

25.  Mengukur Tinggi Matahari

Dengan Ilmu Ukur Sudut pula kita dapat memperoleh berapa besarnya sudut yang terjadi antara
puncak bayangan dengan puncak benda pada suatu saat yang kita hendaki. Sudut tersebut disebut
Tinggi Matahari ‫ )) األرتفاع‬Yaitu :

Misal :

Pada suatu waktu kita lihat panjang bayangan = 24,7509 cm dari suatu tiang pancang setinggi 10 cm.

Berapa derajatkah tinggi matahari ?

Jawab : Cotangens   hm = 2,47509 = 2,47509.

10

hm =  21060′  (lihat daftar logaritma).

Catatan : Derajat tinggi matahari sesungguhnya harus pula kita perhitungkan Refractie ( ‫دقاْئق اإلختالف‬
)nya. Besarnya bisa dilihat dalam daftar Daqoiqul Ikhtilaf. Hasil perhitungan harus dikurangi dengan
harga Daqoiqul Ikhtilaf tersebut.
Dengan cara ini saat Kulminasi kita bisa tahu Meil-nya pada saat tersebut dengan menghitung : Zm =
1800 – 900 – hm – Bila lebar tempat = 0. Bila lebar tempat tidak nol maka : Dikurangi bila
berlawanan. Ditambah bila searah Meil-nya.

Bab 8

Mengenal Ilmu Sudut dan Segi Tiga Bola

Tanbihun – Karena makin seringnya kita berhadapan dengan hitungan yang menggunakan Ilmu Ukur
Sudut dan Segitiga Bola, maka alangkah baiknya kita mengenal serba sedikit tentang hal tersebut.

I.     Ilmu ukur sudut.

Seperti kita ketahui bahwa pada sebuah segitiga siku-siku, sudutnya selalu berubah besarnya sesuai
perubahan perbandingan antara sisinya.

Contoh :  Bila sisi tegak sama panjang dengan Alas, maka sudut antara Alas dengan sisi miring = 450.

Tetapi bila Alas panjang separuh dari sisi tegaknya, maka sudut antara Alas dengan Sisi Miring = 640.

Para cerdik pandai telah menemukan rumus demikian :

Segala perhitungan Goniometri tersebut dapat dengan mudah dilakukan dengan suatu alat yang
disebut Rubu’ Mujayyab ( ‫)ربع مجيب‬yang insya Allah nanti akan diterangkan.

Anda mungkin juga menyukai