Anda di halaman 1dari 186

Langkah-langkah Sholat Khusyu’

 Asmadi
6 tahun yang lalu
Selama ini shalat dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan, karena
kebanyakan dari kita tidak mengetahui dan merasakan ketinggian nilai spiritual
yang ada di dalamnya.
Sering kali terbersit di dalam perasaan kita dimana shalat terasa menjemukan,
tidak membuat hati lebih enak di saat kita butuhkan untuk menolong
menyelesaikan perasaan yang gelisah. Atau shalat tidak memiliki gereget yang
mampu mempengaruhi mental kita untuk menjadi lebih baik dan
menyenangkan.
Nabi mengatakan bahwa shalat adalah pemandangan yang menyejukkan
hatinya, suatu amalan yang paling disukainya. Tetapi masyarakat terlanjur
menilai shalat sebagai sebuah perintah, sebuah kewajiban yang tidak
terelakkan. Akibatnya shalat tidak menjadi sebuah kebutuhan (aksioma) untuk
pribadinya, apalagi untuk meraih rasa khusyu’.
Disini ada langkah-langkah untuk mencapai sholat khusyu’ agar sholat kita
menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan kita, membuat hati kita
menjadi tenang dan terutama menjadi orang yang beruntung.
Allah berfirman :
 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang
yang khusyu dalam sholatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
perbuatan dan perkataan yang tiada berguna”. (Al-Quran: Surat Al-Mu`minun)
1. Pengertian Khusyu :
Menurut pendapat para ulama :
Amru ibn Dinar : tenang dan bagus
Ibnu Sirin : tiada mengangkat pandangan dari tempat sujud.
Ibnu Jubair : tetap mengarahkan pikiran kepada shalat, sehingga tidak
mengetahui orang sebelah kanan dan sebelah kiri.
Ali bin Abi Thalib : tiada berpaling ke kanan dan tiada berpaling ke kiri.
Khusyu’ adalah buah dari iman kepada-Nya dan sholat yang benar bukan
sekedar memahami makna sholat dari takbir hingga salam. Tetapi hati juga
hadir merasakan, menikmati setiap gerak dari takbir hingga salam dalam
tatapan Allah, perhatian Allah dan pendengaran Allah. Dan puncak dari
kekhusyu’an adalah akhlakul karimah. Inilah inti ibadah, doa zikir dan ilmu.
Imam Ali berkata :
“Sungguh orang berdusta di pagi hari tidak akan khusyu’ sholat di siang hari “
Betapa hebatnya pengaruh dusta terhadap sholat. Ringkasnya, sholat yang
khusyu’ akan melahirkan akhlak yang mulia, dan akhlak yang mulia buah dari
kekhusyu’an.
Khusyu’ juga merupakan amalan hati yaitu suatu keadaan yang mempengaruhi
jiwa, lahir bekasnya pada anggota, seperti tenang dan menundukkan diri.
Ketika shalat, jagalah hati, yakni  setiap kali mengerjakan shalat,  jagalah hati
hanya untuk Allah, janganlah palingkan kepada selain-Nya, usahakan hati yang
menggerakkan bibir, bukan bibir yang menggerakkan hati.
2. Langkah-langkah Sholat khusyu
Dimulai sejak wudlu
Ali bin Abi Thalib ra, Setelah wudlu ditanya oleh seorang sahabat: Mengapa
setiap kali wudlu wajah anda kelihatan pucat dan gemetaran ? apakah anda
sakit ? Ali menjawab, tahukah kamu setelah wudlu ini saya akan menghadap
siapa ? Ali berkata: Kalau seorang budak dipanggil tuannya menghadap dengan
takut dan gemetar, apalagi saya yang akan mengadap Allah.
Hatim al-Asham  mengatakan aku berwudhu dengan tujuh perkara:
Dengan tobat
Dengan penyesalan atas dosa di masa lalu
Meninggalkan ketergantungan kepada dunia.
Meninggalkan pujian para makhluq
Meninggalkan keterikatan kepada benda
Meninggalkan kedengkian
Meninggalkan hasad
Melaksanakan Sholat
Dalam melaksanakan shalat. Di waktu menghadap ke kiblat, jadikan dirimu
sebagai seorang hamba yang selalu bergantung kepada Allah. Seakan-akan
engkau berada di hadapan Allah, dan syurga berada di sebelah kanan, neraka
di sebelah kiri, sementara Izrail berada di belakang, dan seakan-akan kedua
kaki berada di atas jembatan Shirat dan anggap shalat ini adalah shalat
terakhir. Lintaskan kematian setiap menjelang shalat, maka shalat akan
dilaksanakan dengan serius, sungguh-sungguh, karena merasa sebagai shalat
terakhir. Lintasan kematian melahirkan rasa dekat dengan Allah Yang Maha
Kuasa dalam menggenggam ruh manusia.
Rasulullah bersabda:
”Laksanakan shalat, seakan shalat yang engkau lakukan adalah shalat terakhir”.
 Penuhi delapan syarat shalat khusyu’
Khusnul  Qiro’ah yaitu bacaan baik, meliputi makhraj, tajwid, suara, lagu,
pemenggalan bacaan dan waqaf. Bacaan yang baik mendukung suasana
khusyu’ dalam shalat, terutama ketika shalat berjama’ah.
Tartibul Arkan yaitu menunaikan rukun shalat dengan tertib. Shalat harus
dilakukan dengan tertib dan tuma’ninah, tenang, penuh penghayatan dari satu
gerakan ke gerakan yang lain, dari satu bacaan ke bacaan yang lain. Tidak akan
khusyu’ shalat yang dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Ingat “Al-’Ajalatu
minasy-syaithan” tergesa-gesa adalah perbuatan syetan.
Khudlurul Qalbi Yakni menghadirkan hati. Shalat harus dilakukan dengan
segenap jiwa dan raga.
Al- Haibah yakni mengarahkan seluruh konsentrasi hanya kepada Allah semata.
Tafahhum yakni memahami makna bacaan, gerakan, dan seluruh kegiatan
shalat
Al- Haya’ yakni merasa malu kepada Allah, malu menikmati rahmat sedikit
bersyukur, dosa sudah banyak taubat belum maksimal, umur sudah lanjut,
ibadah masih kurang.
Al- Khauf yakni merasa takut kepada Allah, takut hidupnya tidak diridlai, takut
ibadah tidak diterima, takut do’a tidak dikabulkan, takut tidak mendapat
pertolongan dan perlindungan dari Allah.
Ar- Roja’ yakni penuh harap kepada Allah, sikap optimis ibadahnya akan
diterima, hidup diridlai, maka tetap istiqamah dalam beribadah dan berdo’a
kepada Allah.
 
Ciri-ciri orang-orang yang sholatnya khusyu:
Sangat menjaga waktunya, dia terpelihara dari perbuatan dan perkataan sia-sia
apa lagi maksiat. Jadi orang-orang yang menyia-nyiakan waktu suka berbuat
maksiat berarti sholatnya belum berkualitas atau belum khusyu.
Niatnya ikhlas, jarang kecewa terhadap pujian atau penghargaan, dipuji atau
tidak dipuji, dicaci atau tidak dicaci sama saja.
Cinta kebersihan karena sebelum sholat, orang harus wudhu terlebih dahulu
untuk mensucikan diri dari kotoran atau hadast.
Tertib dan disiplin, karena sholat sudah diatur waktunya.
Selalu tenag dan tuma`ninah, tuma`ninah merupakan kombinasi antara tenang
dan konsentrasi.
Tawadhu dan rendah hati, tawadhu merupakan akhlaknya Rosulullah.
Tercegah dari perbuatan keji dan munkar, orang lain aman dari keburukan dan
kejelekannya.
Nabi Muhammad SAW dalam sholatnya benar-benar dijadikan keindahan dan
terjadi komunikasi yang penuh kerinduan dan keakraban dengan Allah. Ruku,
sujudnya panjang, terutama ketika sholat sendiri dimalam hari, terkadang
sampai kakinya bengkak tapi bukannya berlebihan, karena ingin memberikan
yang terbaik sebagai rasa syukur terhadap Tuhannya. Sholatnya tepat pada
waktunya dan yang paling penting, sholatnya itu teraflikasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Orang yang sholatnya khusyu dan suka beramal baik tapi masih suka
melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, mudah-mudahan orang
tersebut tidak hanya ritualnya saja yang dikerjakan tetapi ilmunya bertambah
sehingga membangkitkan kesadaran dalam dirinya.
Jika kita merasa sholat kita sudah khusyu dan kita ingin menjaga dari keriaan
yaitu dengan menambah pemahaman dan mengerti bacaan yang ada didalam
sholat dan dalam beribadah jangan terhalang karena takut ria.
Inti dalam sholat yang khusyu yaitu akhlak menjadi baik, sebagaimana
Rosulullah menerima perintah sholat dari Allah, agar menjadikan akhlak yang
baik. Itulah ciri ibadah yang disukai Allah.
Itulah sedikit langkah-langkah melaksanakan sholat dengan khusyu’ semoga
kita bisa menjalankan sholat dengan khusyu.
Wallahu a’lam.

PENGARUH DZIKIR-MEDITASI
PADA OTAK DAN PERILAKU MANUSIA
Dr H MAMAN SW SpOG
direvisi
12 Februari 2018

Manusia adalah mahluk yang paling sempurna.  Otaknya juga sempurna


sebagai hasil evolusi otak selama jutaan tahun yang lalu.  Otak tua adalah
sistim limbik sebagai pusat emosi, pusat segala nafsu manusia.   Didalamnya
ada struktur amigdala seperti buah almon. Struktur lain yang penting adalah
hippocampus yang menyimpan data-data rasional untuk mengenali perbedaan
makna yang mengandung tata nilai universal sebagai fitrah manusia yang
kemudian disimpan secara permanen di daerah kulit otak yang disebut korteks
serebri…

Bila hippocampus memunculkan suatu fakta, maka amigdala akan


mengingatkan apakah ada hubungan emosional dengan fakta
tersebut.  Sedangkan thalamus, berfungsi sebagai station relay dan juga
bersama hypothalamus, hipofisis dan kelenjar pineal bekerja mengatur siklus
hormonal.  Bagian otak untuk berpikir adalah korteks serebri yang menerima
informasi dari panca indera.  Korteks serebri otak kiri untuk berpikir analitis,
matematis, logika, bahasa dan aksara, sedangkan korteks serebri otak
kanan untuk berpikir Pada bagian otak kanan ada yang
disebut God Spot yang akan bercahaya pada saat kita melakukan aktivitas
spiritual, berdo’a, berdzikir atau bermeditasi.   Otak kiri untuk Kecerdasan
Intelektual ( IQ ), sistim limbik untuk Kecerdasan Emotional ( EQ ), dan otak
kanan untuk Kecerdasan Spiritual ( SQ ).  Dengan demikian manusia memiliki
Kesadaran Fisik, Kesadaran Jiwa atau  Kesadaran Nafs dan  Kesadaran Ruh….

Tiap bagian otak manusia tidak berdiri sendiri, namun saling berhubungan satu
sama lain secara terintegrasi dan terkoordinasi melalui korteks
asosiasi.  Dengan adanya korteks asosiasi maka korteks serebri berfungsi untuk
mengetahui, untuk berpikir, menerima dan mengolah data, menyimpulkan dan
mengembangkan sebagai aktivitas intelektual manusia.  Melalui korteks serebri
inilah peradaban, budaya dan agama lahir. 

Sebagai contoh kerja asosiasi otak : bila kita melihat seseorang yang kita benci,
informasi masuk ke korteks serebri diteruskan ke thalamus, kemudian bila
langsung ke amigdala maka memori emosi negatif bergolak merangsang sistim
hormonal adrenalin dan sistim sarap motorik, ada perintah ke otot wajah
menjadi tegang dan otot anggota gerak untuk memukul.  Juga ada perintah ke
sistim sarap otonom, sehingga jantung berdebar-debar, napas memburu. 
Reaksi tersebut terjadi karena hippocampus sebagai pusat data-data rasional
tidak bekerja dengan baik atau datanya minim, kurang lengkap sehingga
kebobolan.  Bila data dari hippokampus lengkap bahwa orang tersebut hanya
mirip dengan orang yang kita benci mungkin reaksinya akan lain. 

Menurut penelitian para ahli, dengan cara dzikir-meditasi bisa mengatasi


masalah tersebut, sehingga reaksi spontan dari amigdala dan reaksi hormonal
bisa terkendali.
Dzikir-meditasi bukan monopoli ajaran Rosulullah saw.  Semua agama untuk
mencapai puncak spiritualnya harus melalui Dzikir-Meditasi.  Hasil akhirnya
juga sama baik secara fisik maupun secara spiritual.. Metode dzikir-meditasi
banyak sekali… Carilah metode yang sederhana dan mampu laksana... 

CARA BERDZIKIR YANG DIAJARKAN ROSULULLAH SAW KEPADA SAYIDINA


ALI : Wahai Ali, pejamkan matamu dan rapatkan bibirmu, lipat lidahmu ke
langit-langit mulutmu dan berdzikirlah dalam hatimu Allah-Allah-Allah. ( HR.
THABRANI/BAIHAQI )
LAFAD ALLAH
Dengan berdzikir kita mengukir ASMA ALLAH dengan ujung lidah pada langit-
langit.. Bila suatu saat nanti kita sudah tidak sanggup lagi untuk mengucapkan
Asma Allah, cukup dengan menempelkan ujung lidah pada ukiran tersebut,
maka kita mati dalam keadaan muslim..
 
Pada saat kita berdzikir-bermeditasi.. santai, senyum dan pasrah kepada
Allah.   Mata dipejamkan, UJUNG LIDAH menyentuh langit-langit.  Setiap keluar
masuk nafas, DALAM HATI kita mengucapkan ASMA ALLAH… Ujung lidah yang
menyentuh langit-langit menimbulkan rangsangan yang akan diteruskan ke
otak, maka otak akan bereaksi mengeluarkan HGH, yaitu Hormon
Pertumbuhan yang berfungsi untuk peremajaan sel-sel di tubuh kita, sehingga
aura kita jadi bagus.  Kemudian daya kekebalan tubuh, sel anti kanker serta
morphin yang disebut ENDOMORPHIN atau ENDORPHIN dan melatonin juga
akan meningkat…
NAHHH ENDORPHIN inilah yang menyebabkan kita ekstase, rileks, emosi
terkendali… Bila direkam gelombang otaknya mencapai gelombang ALFA DAN
TETA…GELOMBANG TETA POWERNYA BESAR.  Karena rileks, pembuluh
darahnya melebar, sirkulasi ke otak meningkat, nutrisi dan oksigenisasi ke otak
meningkat, sehingga sel otak yang aktifpun meningkat, bisa mencapai 20%.
Orang yang Genius, sel otak yang aktifnya hanya 15%.  Wajar bila Kecerdasan
Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritualnya (SQ)
juga meningkat… Kerja otak kiri dan otak kanan serasi, selaras dan seimbang…
Sesuai Firman Allah :
Dengan berdzikrillah hati menjadi tenang dan tentram ( AR-RAD 13 : 28 ).

Bila sistim limbik otak manusia sebagai pusat nafsu, apakah mungkin yang
disebut hati atau qolbu menurut Al Qur’an untuk merasakan atau untuk
memahami sesuatu adalah sistim limbik di otak bukan di dalam dada
…???  Perlu penelitian lebih lanjut….

Manusia memiliki tiga unsur yaitu jasmani, ruhani dan nafsu… Bila manusia itu
dalam keadaan tidur, pingsan atau koma maka nafsunya tidak ada, yang ada
hanya jasmani dan ruhaninya… Ruh tidak terikat pada Jasmani.  Bila
jasmaninya rusak maka Ruh bersama nafsunya akan meninggalkan jasmani.
Itulah yang disebut kematian…

Setelah aku sempurnakan kejadiannya aku hembuskan RUH-KU kepadanya …


( AL HIJR 15 : 29  dan ASH-SHAD 38 : 72 )

Berarti Ruh adalah ESSENSI DZAT ILLAHIAH yang IMANEN, yang bersemayam di


dalam setiap ciptaanNYA.. ALLAH MELIPUTI SEGALANYA, DIA berada dimana-
mana, namun dalam Ke-ESA-annya DIA tidak kemana-mana.  Dia berada di
dalam atom, di dalam debu, di dalam diri manusia sebagai RUH, sebagai
ESSENSI DZAT ALLAH, sebagai sumber Energi… Ruh tetap suci, tidak akan kena
polusi duniawai.  Ruh yang bisa berkomunikasi dengan Allah Yang Maha Suci. 
Oleh karena itu kesadaran Ruh harus dibangkitkan, jasmani dan nafsu atau
EGO harus dimatikan melalui dzikir-meditasi… Itulah yang disebut belajar mati
sebelum mati.
Ketika manusia masih hidup, Ruh itu tidak larut di dalam jasmani… Kata
sesepuh seperti tangan memegang anak kunci.  Tangan yang menggerakan
anak kunci.   Seperti mengendarai kuda… Kata sesepuh Cirebon seperti
NUNGGANG KUDA JARAN NAFAS.  Kuda atau bahasa jawanya JARAN… Ruh
itulah yang mengendalikan nafsu kudanya manusia.. Oleh karena itu kenapa
kita harus berlatih melakukan DZIKIR QOLBU-MEDITASI SAMBIL MENGATUR
PERNAFASAN..  Perintah berdzikir di dalam Al Qur’an cukup banyak, ada sekitar
sepuluh ayat.. Silahkan cari..!!! Wajar bila menurut para Sufi dzikir-meditasi itu
hukumnya wajib…

Telah Aku turunkan Adz Dzikir ( Al Hijr 15 : 9 ).  Berarti Adz Dzikir adalah Al
Qur’an…
Aku jadikan Al Qur’an itu Cahaya…( Asy Syura 42 : 52 ).. berarti Adz-Dzikir
adalah Cahaya…
Allah adalah Cahaya… An Nuur adalah Allah… ( An Nuur 24 : 35 ).. Adz-dzikir
adalah Allah
Bila Surat Al Hijr 15 : 9, Asy Syura 42 : 52 dan Surat An Nuur 24 : 35 kita
rangkum dan kita simpulkan maka kesimpulannya : Adz-Dzikir adalah Allah…

LAA ILAHA ILALLAH adalah statement…  Essensinya adalah ALLAH…


Semakin pendek Asma Allah yang kita dzikirkan, semakin kita cepat terfokus.
Wajar bila ada sesepuh yang mengatakan : Dengan berdzikir
Allah..Allah..Allah.. maka insya Allah, Tuhan akan memperlihatkan
Cahayanya.    Amin..Amin..Ya Robbal alamin.. 
Kata sesepuh perhatikan lafad ALLAH.. !!!
         ALIF LAM LAM HA : sebagai simbol jasmani yang berasal dari unsur
tanah-api-air-angin… sebagai simbol ilmu syareat, thareqat, haqeqat dan
ma’rifat.  Sebagai simbol amarah, luwamah, sofiyah dan mutmainah
         TASYDID : disebut juga titik tiga yaitu SIR-RASA-PIKIR.. RASA-KARSA-
PANGAWASA. Pusat rasa adanya di ujung lidah.  Oleh karena itu untuk
memanunggalkan rasa pada saat berdzikir ujung lidahnya harus menyentuh
langit-langit…
         ALIF DIATAS TASDID : SIMBOL AHADIYAT.. keluar masuk nafas diisi
Ashma Allah..
         ALIF berasal dari TITIK yang menjadi titik huruf B dalam Basmallah…
sebagai sumber segala sumber yang disebut NUR MUHAMMAD…
         Dengan dzikir Ashma Allah… maka NUR-MUHAMMAD akan muncul...    
           Wajar bila ada sesepuh Cirebon yang mengatakan bahwa memperingati
maulid Nabi Muhammad saw.. pada hakikatnya adalah memperingati turunnya
Nur Muhammad yang Rahmatan lil alamin

      SABDA ROSULULLAH SAW :


         1. Berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunnah agar selamat…
         2. Tidak ada kewajiban bai’at bagi seorang muslim…
         3. Pembersih qolbu adalah DZIKIR
         4. Jalan terdekat menuju Allah adalah DZIKIR
Harus bisa mati sebelum mati… agar kesadaran Ruhnya bangkit…
         6. Urusan dunia engkau lebih tahu, tata cara beribadah ikutilah caraku..  
     Dengan Al Qur’an dan Sunnah kita bersyareat, memiliki landasan hukum
sebagai aturan dalam kehidupan kita bermasyarakat… Jangan terpaku hanya
pada syareat.. Raihlah haqeqat untuk mencapai ma’ripat, untuk mencapai
tingkat ikhsan dan menjadi insan kamil.  Namun jangan abaikan syariat..
Junaed al Bagdadi dan Imam
Malik                                                                                   
Syareat tanpa haqikat fasik.  Haqikat tanpa syariat zindik.
Bila seseorang melakukan kedua-duanya maka sempurnalah kebenaran orang
itu.

Urusan dunia terserah kita, namun tata cara beribadah ikutilah tata cara
Rosulullah saw.  Jangan lupa tata cara beribadah beliau sewaktu di guha Hiro…
Apa yang beliau lakukan di Guha Hiro sehingga Allah mendekat dan
memberikan wahyu kepada Rosulullah saw.   Kata kuncinya DZIKIR-MEDITASI….
Dzikirnya dzikir kolbu.. karena yang bisa berkomunikasi dengan Allah adalah
Ruhnya, bukan jasmaninya…

Sabda Rosulullah saw kita harus bisa mati sebelum mati. Jasmaninya dan EGO-
nya dimatikan agar kesadaran Ruhnya bangkit untuk berkomunikasi dengan
Allah… Jangan mengharapkan apapun, jangan mengharapkan surga.. tapi
harapkanlah keridhoan Allah.. Karena keridho’an Allah jauh lebih besar.

Saat Allah mendekat rasakan getaran ENERGINYA.. bergetar hatinya (Al Anfal


8 : 2 ), merinding kulitnya ( Az- Zumar 39 : 23 ), menyungkur dan
menangis ( Maryam 19 : 58 )…
Itulah yang disebut sujud iman atau JUDRAH.. Sujud pasrah… APAKAH KITA
PERNAH MENGALAMINYA... ??? YA ALHAMDULILLAH...
APAPUN NAMA AGAMANYA… untuk merasakan kehadiran-Nya… untuk
merasakan Getaran Energi-Nya… Bukan melalui golok dan parang, bukan
melalui perang, bukan merasa diri harus jadi pemenang, namun ego kita harus
hilang.. Kita harus hening, dalam hening, melalui nurani yang bening…Dia
menyapa hamba-Nya… Dia memberi petunjuk kepada hatinya…

Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri sendiri,


janganlah kamu berputus asa atas Rahmat Allah yang akan mengampuni
semua dosa, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang  ( AZ-
ZUMAR 39 : 53 )
 
Bila kita berdzikir dengan penuh keikhlasan dan keridhoan, insya Allah suatu
saat Allah akan memperlihatkan Cahayanya… NUR MUHAMMAD..  Bila HATI itu
INTI maka seluruh inti atom akan bergetar menjadi gelombang electromagnet
yang muncul sebagai CAHAYA AURA…

Dengan Dzikir hati akan menjadi tenang dan tenteram  ( AR- RAD 13 : 28 )

Barang siapa menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah dan berbuat kebaikan,
baginya pahala pada Tuhan-nya, tiada mereka ketakutan dan tiada mereka
bersedih hati
( Al BAQARAH 2 : 112 )
Dan keridhoan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar
( AT TAUBAH 9 : 72 )

Wahai nafsu mutmainah ( jiwa yang tenang ), datanglah kepada Tuhan-


mu dengan rasa suka cita dan penuh keridhoan, masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku dan masuklah kedalam surga-Ku ( AL FAJR 89 : 27 – 30 )

Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi karena
kesabarannya dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan
selamat di dalamnya.  Mereka kekal di dalamnya.  Surga itu sebaik-baiknya
tempat menetap dan tempat kediaman ( AL FURQON 25 : 75 – 76 )
Ucapan selamat dari Tuhan. Salaamun qaulam mirobbirahiim ( YAASSIIN 36 :
58 )
Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka …
( ALI IMRAN 3 : 159 )
Barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk
perbuatan yang mulia ( ASY-SYURA 42 : 43 )

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah akan
menanamkan dalam (hati ) mereka rasa kasih sayang ( Maryam 19 : 96 )

Allah akan membimbing dengan Cahayanya kepada Cahayanya bagi siapa  yang


Dia kehendaki (AN NUUR 24 : 35).
Barang siapa yang hatinya dibuka oleh Allah kepada Islam ( Fitrah ), maka dia
itu mendapat Nur dari Tuhan-nya ( AZ-ZUMAR 39 : 22 )
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan ( AL
QASHASH 28 : 77 )

DZIKIR selain sebagai pembersih qolbu juga sebagai pembuka jalan menuju
Allah… Bila hati kita bersih, jalan menuju Allah terbuka lebar dan Allahpun akan
mendekat. Allah akan memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita sehingga
keimanan kita pun akan meningkat.. 
Allah juga akan menurunkan rahmatnya kepada mereka yang beriman
sehingga perilakunya berubah menjadi lemah-lembut, penyabar disertai rasa
kasih sayang terhadap semua mahluk ciptaan Allah…tawadu .. karena CAHAYA
ALLAH sudah menerangi hatinya…

Bila kita belum memilik sifat-sifat tersebut, masih pemarah, masih sombong,
membuat kerusakkan, belum tawadu,  berarti HATI kita masih GELAP… EGO-
nya masih tinggi… sehingga BELUM BISA DIKATAKAN BERIMAN …BELUM
MUSLIM…
Iman gue juga BRO…masih jjjaaauuuhhh… Gue juga ngerasa diri gue belum
muslim…Gue belum ngerasa berserah diri sepenuhnya kepada Allah…Gue
belum ngerasa diri gue beriman..

Menurut lo gimana BRO kalo ada kelompok yang menganggap orang lain yang
tidak sepaham adalah kafir…mereka membuat kerusakkan dan menghalalkan
darah orang lain yang tidak sepaham untuk dibunuh…???  Apakah dia sudah
beriman ataukah EGOnya yang bicara…???
Contohnya pada zaman dulu WAHABI, sekarang  kelompok yang menamakan
dirinya ISSIS…

Firman Allah :
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati ( ALI IMRAN 3 : 13 )
Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya ( AT-TAGABUN 64 : 11 )
Di dalam diri manusia ada Cahaya Yang Maha Melihat ( AL QIYAMAH 75 : 14 )
Allah akan membimbing dengan Cahayanya kepada Cahayanya bagi siapa  yang
Dia kehendaki (AN NUUR 24 : 35).

Tiadakah mereka melakukan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka


mempunyai hati, yang dengan itu mereka memahami ( merasa ) dan
mempunyai telinga, yang dengan itu mereka mendengar.  Sungguh bukanlah
matanya yang buta, tetapi yang buta adalah hatinya yang ada di dalam dada
( AL HAJJ 22 : 46 )
Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhan-nya, hendaklah
ia berbuat kebaikan dan jangan mempersekutukan Tuhan-nya dengan apapun (
AL KAHFI 18 : 110 ).
ALLAH adalah AL BATHIN.  Perjalanan menuju Allah adalah perjalanan dari
alam lahiriyah menuju alam bathiniyah… Bukan perjalanan ke Mekah…
 
HADITS QUDSI :
Di dalam setiap rongga anak Adam Aku ciptakan suatu mahligai yang disebut
dada, dalam dada ada kolbu, dalam kolbu ada fuad ( hati yang bersih ), dalam
fuad ada syagofa, di dalam syagofa ada Sir, di dalam Sir ada AKU ….ADA
CAHAYA YANG MAHA MELIHAT….

Oleh karena itu kata para Sufi : KOLBU MUKMIN BAITULLAH… Itulah Rumah
Allah yang hakiki yang harus dibersihkan agar tidak menjadi sarang syetan dan
iblis..  Bila hati kita kita bersih maka jalan menuju Allah terbuka lebar…
Kolbu berfungsi untuk memahami sesuatu, untuk mempelajari sesuatu melalui
logika yang berpusat di OTAK KIRI sehingga menghasilkan karya.. Di dalam
kolbu ada JIWA-NAFS dimana melalui rasa dan karsa akan menghasilkan karya
dan pangawasa, kekuatan-kekuasaan.
Kolbu ini dalam memahami sesuatu dipengaruhi oleh NAFS yang menghasilkan
perilaku budi pekerti.  Bila kerja OTAK KIRI sangat dominan maka muncul EGO-
NAFSU, sehingga perilaku menjadi tidak terkendali.. Akibatnya jasmani yang
merugi..  Sesungguhnya Allah memberi amanah dan membai’at NAFS melalui
syahadat itu adalah agar NAFS terkendali… namun Nafs melalaikan amanah
Allah.  Oleh karena itu manusia disebut INSAN yang artinya LALAI…

Wa iz akhaza Robbuka min bani adama min zuhurihim zurriyyatahum wa


asyhadahum ala anfusihim alastu birobbikum, qolu bala syahidna…
Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap  mereka ( seraya berfirman ) :
Bukankah AKU TUHANMU…??? Semua jiwa ( anfusihim ) menjawab : Benar
kami bersaksi  (Surat AL A’RAAF 7 : 172)…
ANFUSIHIM adalah bentuk jamak dari NAFS.. NAFSU.. namun ada yang
mengartikan NAFS sebagai JIWA dan ada juga yang mentafsirkannya sebagai
RUH… Secara logika yang diberi amanah, yang bersyahadat, yang bersaksi,
yang dibai’at itu NAFSNYA, jiwanya, agar NAFS TERKENDALI, bukan jasmaninya
dan bukan pula Ruhnya…!!! 
Ada sesepuh yang mengatakan bahwa :
Kita semua sudah bersyahadat, kita semua sudah muslim, kita semua sudah
dibai’at oleh Allah ketika masih di alam arwah : Bukankah Aku Tuhan-
mu…???  Semua jiwa menjawab : Benar kami bersaksi…

Belajar agama awalnya dipikir pake otak kemudian berdzikir untuk


menyeimbangkan serta menyelaraskan kerja otak kiri dan otak
kanan.  Berdzikir adalah sebagai pembersih hati, sehingga hati pun akan
menjadi lembut, penuh kasih-sayang, sabar, tulus dan ikhlas…!!! 
Dengan berdzikir maka Allah-pun akan membimbing dengan Cahaya-Nya
menuju Cahaya-Nya…sehingga sampailah kita kepada makripat…

Sedangkan FUAD artinya HATI YANG BERSIH yang didominasi OTAK


KANAN.  Melalui FUAD inilah manusia berkomunikasi dengan Allah sehingga
bisa memasuki yang lebih dalam lagi … SYAGOFA.. mencapai SIR… menjumpai
AKU… Itulah yang disebut makripat…

Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati ( fuad ) agar kamu


bersyukur
( AN NAHL 16 : 78 ).
Dia-lah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan
dan hati (fuad).  Namun sedikit saja kamu bersyukur ( AL MU’MINUN 23 : 78 )

Dengan bersyukur kita berkomunikasi dengan Allah…


Sabda Rosulullah saw : Manusia itu dalam keadaan tidur, ketika mati barulah
dia bangkit..
Kita harus belajar mati sebelum mati…agar kesadaran Ruhnya bangkit.
Kesadaran Ruh adalah  KESADARAN SEJATI untuk berkomunikasi dengan Allah
Yang Maha Suci.   Karena RUH berasal dari Dzat Allah… RUH berasal dari DZAT
YANG MAHA SUCI… Di dalam SIR ada AKU.. Berarti  AKU dan AKU yang laesa
kamislihi syaeun..saling berkomunikasi…
SANG AKU akan menggerakan SIR.. dan SIR akan menggerakan FUAD.. dan
FUAD akan menggerakan Otak, kemudian otak akan menggerakan
tubuh,  maka muncul budi pekerti yang baik…perilaku yang terkendali..

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu
( AL BAQARAH 2 : 185 ).
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati ( ALI IMRAN 3 : 13 )
Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya
( YUNUS 10 : 100 )
Sesungguhnya telah kami mudahkan Al Aqur’an dalam bahasa-mu…
( MARYAM 19 : 97 , AD-DUKHAN 44 : 58 ).   Bahasamu yaitu BAHASA
INDONESIA…. BAHASA INDONESIA GAUL…. 
PELAJARI AL QUR;AN DAN PAHAMI TAFSIRNYA KEMUDIAN AMALKAN…!!!

Menurut ajaran Islam, kesempurnaan keberagamaan seseorang bila kita telah


mencapai tingkatan iman – islam – ikhsan.. Iman melalui  ilmu
ushuluddin.  Islam melalui ilmu fiqih.   Ikhsan melalui ilmu tasawuf yang
disebut juga sebagai ilmu thareqat.. Ilmu Ushuluddin dan Ilmu Fiqih muncul
setelah Rosulullah saw wafat, sebagai hasil oplosan para ulama sehingga
munculah mazhab-mazhab..  Masing-masing merasa mazhabnya yang paling
benar… Sedangkan tasawuf yang dianut para Sufi sudah ada sejak zaman
Rosulllah saw walaupun waktu itu belum ada istilah tasawuf, namun itu adalah
pelajaran asli dari Rosulullah saw dimulai sejak Rosulullah saw di Guha Hiro.
Sabda Rosulullah saw :
Segala sesuatu ada pembersihnya, pembersih qolbu adalah dzikir
DZIKIR jalan terdekat menuju Allah
Urusan dunia engkau lebih tahu..
Tata cara beribadah ikutilah caraku…
Kita jangan melupakan tata cara Beliau ketika di GUHA HIRO, yaitu
DZIKIR_MEDITASI..

PERINTAH DZIKIR  :
Ingatlah kepada-Ku niscaya Akupun akan ingat kepadamu, bersyukurlah
kepada-Ku dan jangan mengingkari ( AL BAQARAH 2 : 152 )
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah ( dengan
menyebut ) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu
atau berdzikirlah lebih banyak dari itu ( AL BAQARAH 2 : 200 )
Apabila kamu telah selesai sholat, ingatlah Allah disaat berdiri, disaat duduk
dan ketika berbaring ( AN-NISA 4 : 103 )
Sesungguhnya sholat itu menjauhkan perbuatan keji dan munkar, namun dzikir
lebih utama dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (AL ANKABUT 29 :
45)
Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah ( menyebut nama Allah ),
berdzikirlah sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi
dan petang … Dia akan mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada Cahaya
yang terang, dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman  ( AL
AHZAB 33 : 41-42-43 )
Selesai sholat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, carilah karunia
Allah, berdzikirlah sebanyak-banyaknya agar kamu sukses ( AL JUMU’AH 62 :
10 ).  
Allah akan memudahkan segala urusan, diberi kecukupan, diberi rizki yang tak
terduga, diampuni segala kesalahan, pahalanya berlipat ganda… ( AT-THOLAK
65 : 2-3-4-5 ). 
Dan sebutlah nama Tuhan-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan
rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai ( AL A’RAF 7 : 205 )
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram ( AR-RA’D 13 :
28 )
Janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, maka Allahpun akan
membuat mereka lupa pada dirinya (AL HASYR 59 : 19)

OLEH KARENA ITU MENURUT PARA SUFI DZIKIR ITU HUKUMNYA WAJIB…
SUDAH SAATNYA KITA BELAJAR TASAWUF.. SUFISME … Agar otak kita tidak
terpasung hanya pada masalah lahiriyah..  Karena Allah AL BATHIN. Perjalanan
menuju Allah adalah perjalanan dari alam lahiriyah menuju alam bathiniyah…
Sufisme bukan sebuah aliran atau sekte..  .Sufisme adalah ajaran bathiniah,
ajaran rahasia dalam semua agama.  Sufisme atau Tasawuf dimulai sebagai
ilmu, di tengahnya amal, yaitu lelaku khusus dan pada akhirnya adalah karunia
Allah.

Puisi sufistik Kahlil Gibran :


Tuhan telah memasang pelita di dalam setiap hati kita yang menyinarkan
pengetahuan dan keindahan, dosa lah yang mematikan pelita itu dan
menguburkannya dalam abu…Tuhan telah menciptakan jiwa-jiwa kamu
dengan sayap-sayap untuk terbang di langit Cinta dan Kebebasan yang
luas.  Alangkah sayangnya kalau kamu tebas sayapmu dengan tanganmu
sendiri dan memaksa jiwamu merangkak-rangkak bagaikan kutu di atas
tanah… 
Cape deh…!!!

Untuk membuktikan adanya ENERGI ILAHI, sebelum kita berlatih dzikir-


meditasi, siapkan aqua di gelas atau di botol tertutup.. Aquanya kita cicipi dulu
rasa aqua seperti apa, kemudian kita lanjutkan membaca do’a ini sebelum
berlatih dzikir-meditasi.. Setelah selesai berlatih dzikir-meditasi aquanya
diminum, rasanya akan berubah agak pahit.. sebagai obat utk kita.  Dengan
demikian kita menjadi yakin bahwa saat kita mendekatkan diri kepada Allah
melalui dzikir-meditasi maka kita akan merasakan getaranNYA sebagai tanda
kehadiran Allah…

Ya Allah …Ya Robbi … rahmatilah aku dengan Kitab-Mu


Jadikanlah ia sebagai pemimpin, cahaya, petunjuk dan rahmat bagiku
Ya Allah ingatkanlah aku apa yang aku lupa dari padanya
Berikanlah aku ilmu apa yang belum aku ketahui mengenainya
Anugerahkanlah kepadaku untuk membacanya
Di tengah malam dan di penghujung siang
Jadikanlah ia sebagai pegangan bagiku wahai Tuhan Sekalian Alam

Ya Allah … Ya Robbi…   Di kaki-MU … aku bersimpuh


Ya Allah … Ya Robbi…  Sesungguhnya …
Aku … tidak pernah merasa bahwa … diriku bersih
Aku … tidak pernah merasa bahwa … diriku suci
Aku … tidak ingin menjadi orang yang munafik
Aku … tidak ingin menjadi orang … yang sok moralis
Di usia yang tersisa ini …
Aku sekedar ingin jujur  … terhadap diriku sendiri
Aku sadar … bahwa selama darah ini masih merah
Omong kosong …bila diri ini tidak pernah berbuat salah

Aku tidak tahu lagi …


Berapa banyak … kebodohan …kebatilan  … dan kedzoliman yang aku lakukan
Betapa tebalnya … noda dan dosa … yang meliputi … dinding hati ini
Yang aku tahu …
Baju keimananku compang-camping..  Baju taqwaku porak poranda
Namun tak henti-hentinya aku berharap… kepada-Mu … Ya Allah
Engkaulah Lautan Ampunan…Engkaulah Lautan Kasih Sayang
Di Pantai-Mu …Aku hanya sebutir pasir yang tersingkir
Dalam Laut-Mu …Aku hanya sekedar buih yang tersisih
Namun kurentangkan juga sayapku menuju kepada-Mu
dengan hati merunduk dan sujud
Ya Allah … Ya Robbi … Maha Suci Engkau
Sesungguhnya aku orang yang dzolim
Ampunilah hamba-Mu ini … Ya Allah
Dengan izin dan keridoan-Mu
Masukkanlah aku kedalam golongan orang-orang yang bersyukur dan berserah
diri         
Cabutlah … nyawaku … kala aku sedang menyebut Nama-Mu
Terimalah aku …dalam naungan kasih-sayang-Mu
sebagaimana … dan … sebagai apa adanya           
Amin… amin… Ya Robbal alamin 
 

INGAT-INGAT YA...
Dzikir-meditasi bukan monopoli ajaran Rosulullah saw.  Semua agama untuk
mencapai puncak spiritualnya harus melalui Dzikir-Meditasi.  Hasil akhirnya
juga sama baik secara fisik maupun secara spiritual.. Metode dzikir-meditasi
banyak sekali… Carilah metode yang sederhana dan mampu
laksana… Bila metode di bawah ini sederhana dan mampu laksana silahkan
berlatih dzikir-meditasi dengan metode ini...
Duduk tegak dikursi atau dilantai dengan alas yang empuk.  Pejamkan mata,
katupkan bibir, ujung lidah menyentuh langit-langit… santai.. senyum..
pasrah… Tarik nafas perlahan-lahan sambil dalam hati mengucapkan
HUUUUU  dan membayangkan seolah-olah ada energy masuk melalui pusar..
turun ke tulang ekor, merambat naik melalui tulang belakang menembus
ubun-ubun menuju angkasa ke titik tak berhingga, kemudian turunkan ka
dada… Tahan nafas… rongga dada dikempiskan, rongga perut agak
dikembangkan.  Kemudian ucapkan dalam hati ALLAH.. ALLAH.. ALLAH 3x.. 7x..
9x.. terserah asalkan bilangan ganjil… Kemudian hembuskan nafas secara
perlahan-lahan sambil dalam hati ucapkan ALLAHHHHH…
Ulangi tata cara tersebut diatas 3 kali .. 
Pada tarikan nafas selanjutnya kita tidak usah membayangkan energy masuk
kemana-kemana.. yang penting pada saat menarik nafas ucapkan dalam hati
HUUUUU…  Tahan nafas dan dalam hati ucapkan asma Allah.. sebanyak yang
kita suka dengan bilangan ganjil..  Hembuskan nafas sambil dalam hati ucapkan
ALLAHHHHHHH…

Lanjutkan latihan pernafasan ini selama 30 menit… Setelah selesai ditutup


dengan membaca Al Fatihah 1 kali dan Shodaqollahul adzim 1 kali..
Selanjutnya aqua nya kita minum ternyata rasanya akan berubah menjadi
kesat agak pahit.. Itu sebagai bukti bahwa ada ENERGI ILLAHI yang mengalir
pada saat kita berdzikir-bermeditasi... Aqua itu bisa menjadi obat bagi yang
meminumnya.. sehingga kita menjadi yakin seyakin-yakinnya... bahwa Allah
hadir saat kita mendekatkan diri kita kepadaNYA melalui dzikir-meditasi...

Dzikir Kunci Kebaikan


DZIKIR KUNCI KEBAIKAN
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Tidak diragukan lagi, setiap orang ingin mendapat kebaikan dan dijauhkan dari
kemudharatan. Namun tidak semua orang menyadari dan mau bersungguh-
sungguh dalam mencapai keinginannya itu. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menjelaskan kunci-kunci kebaikan tersebut dalam wahyunya secara
gamblang dan tegas. Kunci kebaikan itu adalah dzikir kepada Allah (dzikrullah).
URGENSI DAN KEDUDUKAN DZIKIR
Dzikir dan do’a adalah sebaik-baik amalan yang dapat mendekatkan diri
seorang muslim kepada Rabb-nya. Ia merupakan kunci semua kebaikan yang
diinginkan seorang hamba di dunia dan akhirat. Kapan saja Alah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan kunci ini kepada seorang hamba, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala menginginkan ia membukanya. Dan jika Allah menyesatkannya,
maka pintu kebaikan terasa jauh darinya, sehingga hatinya gundah gulana,
bingung, pikiran kalut, depresi, lemah semangat dan keinginannya. Apabila ia
menjaga dzikir dan do’a serta terus berlindung kepada Allah, maka hatinya
akan tenang, sebagaimana firman Allah :
ُ‫هللا َت ْط َمئِنُّ ْالقُلُوب‬ ِ ‫ِين َءا َم ُنوا َو َت ْط َمئِنُّ قُلُو ُبهُم ِبذ ِْك ِر‬
ِ ‫هللا أَالَ ِبذ ِْك ِر‬ َ ‫الَّذ‬
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram. [Ar Ra’du/13 :28].
Dan ia akan mendapat keutamaan serta faidah yang sangat banyak di dunia
dan akhirat.[1]
Allah berfirman menjelaskan arti penting dan kedudukan dzikir dalam banyak
ayatnya, diantaranya:
‫ين‬
َ ‫َّاب ِر‬
ِ ‫ت َوالص‬ ِ ‫ِين َوالصَّا ِد َقا‬ َ ‫ت َوالصَّا ِدق‬ ِ ‫ِين َو ْال َقا ِن َتا‬
َ ‫ت َو ْال َقا ِنت‬ِ ‫ِين َو ْالم ُْؤ ِم َنا‬
َ ‫ت َو ْالم ُْؤ ِمن‬ ِ ‫ِين َو ْالمُسْ لِ َما‬
َ ‫إِنَّ ْالمُسْ لِم‬
‫ين‬َ ِ‫ت َو ْال َحافِظ‬
ِ ‫ِين َوالصَّآ ِئ َما‬ َ ‫ت َوالصَّآ ِئم‬ َ ‫ِين َو ْال ُم َت‬
ِ ‫ص ِّد َقا‬ َ ‫ص ِّدق‬ َ ‫ت َو ْال ُم َت‬ ِ ‫ِين َو ْال َخاشِ َعا‬ َ ‫ت َو ْال َخاشِ ع‬ ِ ‫َّاب َرا‬
ِ ‫َوالص‬
‫ت أّ َع َّد هللاُ لَهُم م َّْغف َِر ًة َوأَجْ رً ا عَظِ يمًا‬ َّ ‫هللا َك ِثيرً ا َو‬
ِ ‫الذاك َِرا‬ َ ‫ين‬ َ ‫الذاك ِِر‬ َّ ‫ت َو‬ ِ ‫ُوج ُه ْم َو ْال َحاف َِظا‬
َ ‫فُر‬
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. [Al-
Ahzaab/33 :35].
Dan firmanNya:
‫ِين َءا َم ُنوا ْاذ ُكرُوا هللاَ ذ ِْكرً ا َك ِثيرً ا‬
َ ‫َيآأَ ُّي َها الَّذ‬
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah,
dzikir yang sebanyak-banyaknya. [Al-Ahzaab/33 :41].
‫اس َمن َيقُو ُل َر َّب َنآ َءا ِت َنا فِي ال ُّد ْن َيا‬ َ ‫ض ْي ُتم َّم َناسِ َك ُك ْم َف ْاذ ُكرُوا‬
ِ ‫هللا َكذ ِْك ِر ُك ْم َءا َبآ َء ُك ْم أَ ْو أَ َش َّد ِذ ْكرً ا َفم َِن ال َّن‬ َ ‫َفإِ َذا َق‬
‫َو َمالَ ُه فِي ْاألَخ َِر ِة مِنْ َخالَ ٍق‬
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah, sebagimana kamu menyebut-nyebut (membangga-
banggakan) nenek-moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.
Maka di antara manusia ada orang yang mendo’a: “Ya, Rabb kami. Berilah kami
kebaikan di dunia,” dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat. [Al- Baqarah/2 :200].
Demikian juga dalam banyak hadits, Rasulullah telah menjelaskan secara
gamblang arti penting dan kedudukan dzikir bagi diri seorang muslim,
diantaranya:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َث ُل الَّذِي َي ْذ ُك ُر َر َّب ُه َوالَّذِي اَل َي ْذ ُك ُر‬ َ ‫َعنْ أَ ِبي م‬
َ ُّ‫ُوسى َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه َقا َل َقا َل ال َّن ِبي‬
ِ ‫َر َّب ُه َم َث ُل ْال َحيِّ َو ْال َم ِّي‬
‫ت‬
Dari Abu Musa , ia berkata: Telah bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Permisalan orang yang berdzikir kepada Allah dan yang tidak berdzikir, (ialah)
seperti orang yang hidup dan mati.” [2]
Dan hadits Beliau yang berbunyi:

ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَسِ ي ُر فِي َط ِر‬


‫يق َم َّك َة َف َمرَّ َعلَى َج َب ٍل ُي َقا ُل َل ُه‬ َ ِ ‫ان َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة َقا َل َك‬
‫ُون هَّللا َ َك ِثيرً ا‬ َّ ‫ون َيا َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل‬
َ ‫الذا ِكر‬ َ ‫ون َقالُوا َو َما ْال ُم َفرِّ ُد‬ َ ‫جُمْ دَانُ َف َقا َل سِ يرُوا َه َذا ُج ْمدَانُ َس َب َق ْال ُم َفرِّ ُد‬
ُ ‫الذاك َِر‬
‫ات‬ َّ ‫َو‬

Dari Abu Hurairah, Beliau berkata,”Al mufarridun telah mendahului,” mereka


bertanya,”Siapakah al mufarridun, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Laki-
laki dan perempuan yang banyak berdzikir.” [3]
Oleh karena itu dzikir-dzikir yang telah diajarkan Rasulullah (adzkaar
nabawiyah) memiliki kedudukan dan arti penting yang tinggi bagi seorang
muslim; sehingga banyak ditulis kitab dan karya tulis yang beraneka ragam
tentang permasalahan ini. Namun seorang muslim diperintahkan untuk
berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang telah disyari’atkannya; karena dzikir
merupakan bagian dari ibadah. Dan ibadah hanyalah dibangun di atas dasar
tauqifiyah (berdasar kepada dalil wahyu) dan ittiba’ (mencontoh Rasulullah)’
tidak menuruti hawa nafsu dan kehendak hati semata.
Untuk itu Ibnu Taimiyah berkata,”Tidak diragukan lagi, adzkaar (dzikir-dzikir)
dan do’a-do’a merupakan ibadah yang utama. Sedangkan ibadah dibangun di
atas dasar tauqifiyah dan ittiba’; tidak menurut hawa nafsu dan kebid’ahan.
Sehingga do’a-do’a dan adzkar nabawiyah merupakan dzikir dan do’a yang
paling harus dicari oleh pencarinya. Pelakunya berada di jalan yang aman dan
selamat. Sedangkan faidah dan hasil yang diperoleh tidak dapat diungkap
dengan kata-kata, dan lisan tidak dapat mencakupnya. Adzkaar yang lainnya
ada kalanya diharamkan atau makruh, atau terkadang berisi kesyirikan yang
banyak tidak diketahui oleh orang bodoh. Permasalahan ini cukup panjang
penjabarannya.
Seseorang tidak diperbolehkan membuat sebuah dzikir atau do’a yang tidak
dicontohkan Rasulullah, dan menjadikannnya sebagai ibadah ritual yang
dilakukan oleh manusia secara rutin, seperti rutinitas shalat lima waktu. Ini
jelas kebid’ahan dalam agama yang dilarang Allah. Berbeda dengan do’a yang
dilakukan seseorang, kadang-kadang tidak rutin dengan tidak menjadikannya
sunnah untuk manusia; maka, jika ini tidak diketahui mengandung makna yang
haram, tidak boleh dipastikan keharamannya. Akan tetapi, terkadang ada
keharaman padanya, sedangkan manusia tidak merasakannya. Ini sebagaimana
seorang berdo’a ketika genting, dengan do’a-do’a yang ia ingat pada waktu itu.
Ini dan yang semisalnya hampir sama. Adapun mengambil wirid-wirid
(ma’tsurat, Pent.) yang tidak disyari’atkan dan membuat-buat dzikir yang tidak
syar’i, maka ini terlarang. Demikian do’a-do’a dan dzikir syar’i, berisi
permintaan yang agung lagi benar. Tidak meninggalkannya dan beralih kepada
dzikir-dzikir bid’ah yang dibuat-buat, kecuali orang bodoh atau lemah atau
melampaui batas.”[4]
KEUTAMAAN DAN FAIDAH DZIKIR
Keutamaan dan faidah dzikir sangatlah banyak, hingga Imam Ibnul Qayyim
menyatakan dalam kitabnya Al Wabil Ash Shayyib [5], bahwa dzikir memiliki
lebih dari seratus faidah, dan menyebutkan tujuh puluh tiga faidah di dalam
kitab tersebut. Diantara keutamaan dan faidah dzikir ialah:
Pertama : Dzikir dapat mengusir syetan dan melindungi orang yang berdzikir
darinya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‫ك َك َم َث ِل َرج ٍُل َخ َر َج ْال َع ُدوُّ فِي أَ َث ِر ِه سِ َراعًا َح َّتى إِ َذا أَ َتى َعلَى حِصْ ٍن‬ َ ِ‫َوآ ُم ُر ُك ْم أَنْ َت ْذ ُكرُوا هَّللا َ َفإِنَّ َم َث َل َذل‬
ِ ‫ان إِاَّل ِبذ ِْك ِر هَّللا‬ َ ِ‫ين َفأَحْ َر َز َن ْف َس ُه ِم ْن ُه ْم َك َذل‬
َ ‫ك ْال َع ْب ُد اَل يُحْ ِر ُز َن ْف َس ُه مِنْ ال َّشي‬
ِ ‫ْط‬ ٍ ِ‫َحص‬
Dan Aku (Yahya bin Zakaria) memerintahkan kalian untuk banyak berdzikir
kepada Allah. Permisalannya itu, seperti seseorang yang dikejar-kejar musuh,
lalu ia mendatangi benteng yang kokoh dan berlindung di dalamnya.
Demikianlah seorang hamba, tidak dapat melindungi dirinya dari syetan,
kecuali dengan dzikir kepada Allah.[6]
Ibnul Qayim memberikan komentarnya terhadap hadits ini: “Seandainya dzikir
hanya memiliki satu keutamaan ini saja, maka sudah cukup bagi seorang
hamba untuk tidak lepas lisannya dari dzikir kepada Allah, dan senantiasa
gerak berdzikir; karena ia tidak dapat melindungi dirinya dari musuhnya,
kecuali dengan dzikir kepada Allah. Para musuh hanya akan masuk melalui
pintu kelalaian dalam keadaan terus mengintainya. Jika ia lengah, maka musuh
langsung menerkam dan memangsanya. Dan jika berdzikir kepada Allah, maka
musuh Allah itu meringkuk dan merasa kecil serta melemah sehingga seperti al
wash’ (sejenis burung kecil) dan seperti lalat”.[7]
Manusia, ketika lalai dari dzikir, maka syetan langsung menempel dan
menggodanya serta menjadikannya sebagai teman yang selalu menyertainya,
sebagaimana firman Allah.
َ ‫َو َمن َيعْ شُ َعن ذ ِْك ِر الرَّ حْ َم ِن ُن َقيِّضْ لَ ُه َشي‬
ٌ‫ْطا ًنا َفه َُو لَ ُه َق ِرين‬
Barangsiapa yang berpaling dari dzikir (Rabb) Yang Maha Pemurah (Al Qur’an),
Kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan itulah yang
menjadi teman yang selalu menyertainya. [Az Zukhruf/43 :36].
Seorang hamba tidak mampu melindungi dirinya dari syetan, kecuali dengan
dzikir kepada Allah.
Kedua : Dzikir dapat menghilangkan kesedihan, kegundahan dan depresi, dan
dapat mendatangkan ketenangan, kebahagian dan kelapangan hidup. Hal ini
dijelaskan Allah dalam firmanNya.
ُ‫هللا َت ْط َمئِنُّ ْالقُلُوب‬ ِ ‫ِين َءا َم ُنوا َو َت ْط َمئِنُّ قُلُو ُبهُم ِبذ ِْك ِر‬
ِ ‫هللا أَالَ ِبذ ِْك ِر‬ َ ‫الَّذ‬
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram. [Ar Ra’du/13 : 28].
Ketiga : Dzikir dapat menghidupkan hati. Bahkan, dzikir itu sendiri pada
hakikatnya adalah kehidupan bagi hati tersebut. Apabila hati kehilangan dzikir,
maka seakan-akan kehilangan kehidupannya; sehingga tidaklah hidup sebuah
hati tanpa dzikir kepada Allah.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dzikir bagi hati, seperti
air bagi ikan. Lalu bagaimana keadaan ikan jika kehilangan air?”[8]
Keempat : Dzikir menghapus dosa dan menyelamatkannya dari adzab Allah;
karena dzikir merupakan satu kebaikan yang besar, dan kebaikan adalah untuk
menghapus dosa dan menghilangkannya. Tentunya, hal ini dapat
menyelamatkan orang yang berdzikir dari adzab Allah, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ِ ‫َما َع ِم َل آ َدمِيٌّ َع َماًل َق ُّط أَ ْن َجى لَ ُه مِنْ َع َذا‬
ِ ‫ب هَّللا ِ مِنْ ذ ِْك ِر هَّللا‬
Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang lebih
menyelamatkan dirinya dari adzab Allah dari dzikrullah.[9]
Kelima : Dzikir menghasilkan pahala, keutamaan dan karunia Allah yang tidak
dihasilkan oleh selainnya, padahal sangat mudah mengamalkannya; karena
gerakan lisan lebih mudah daripada gerakan anggota tubuh lainnya. Diantara
pahala dzikir yang disebutkan Rasulullah adalah:
‫ك َولَ ُه ْال َح ْم ُد َوه َُو َعلَى ُك ِّل َشيْ ٍء َقدِي ٌر فِي َي ْو ٍم مِا َئ َة َمرَّ ٍة‬ َ ‫َمنْ َقا َل اَل إِ َل َه إِاَّل هَّللا ُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري‬
ُ ‫ك لَ ُه لَ ُه ْالم ُْل‬
‫ان‬ ِ ‫ْط‬َ ‫ت لَ ُه حِرْ ًزا مِنْ ال َّشي‬ ْ ‫ت َع ْن ُه مِا َئ ُة َس ِّي َئ ٍة َو َكا َن‬ ْ ‫ت لَ ُه مِا َئ ُة َح َس َن ٍة َو ُم ِح َي‬ْ ‫ب َو ُك ِت َب‬ٍ ‫ت لَ ُه َع ْد َل َع ْش ِر ِر َقا‬ ْ ‫َكا َن‬
‫ض َل ِممَّا َجا َء ِب ِه إِاَّل أَ َح ٌد َع ِم َل أَ ْك َث َر مِنْ َذل َِك‬ َ ‫ت أَ َح ٌد ِبأ َ ْف‬ ِ ْ‫ك َح َّتى ُيمْسِ َي َولَ ْم َيأ‬ َ ِ‫َي ْو َم ُه َذل‬
Barangsiapa mengucapkan (dzikir):
‫ك َولَ ُه ْال َحمْ ُد َوه َُو َعلَى ُك ِّل َشيْ ٍء َقدِي ٌر‬ َ ‫اَل إِلَ َه إِاَّل هَّللا ُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري‬
ُ ‫ك لَ ُه لَ ُه ْالم ُْل‬
Dalam sehari seratus kali, maka itu sama dengan pahala sepuluh budak; ditulis
seratus kebaikan untuknya, dan dihapus seratus dosanya. Juga menjadi
pelindungnya dari syetan pada hari itu sampai sore, dan tidak ada satupun
yang lebih utama dari amalannya, kecuali seorang yang beramal dengan
amalan yang lebih banyak dari hal itu. [10]
Ibnul Qayim berkata,”Dzikir adalah ibadah yang paling mudah, namun paling
agung dan utama; karena gerakan lisan adalah gerakan anggota tubuh yang
paling ringan dan mudah. Seandainya satu anggota tubuh manusia sehari
semalam bergerak seukuran gerakan lisannya, tentulah hal itu sangat
menyusahkannya, bahkan tidak mampu.” [11]
Keenam : Dzikir adalah tanaman syurga [12]. Ini berlandaskan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdillah bin Mas’ud yang berbunyi.
‫ك ِم ِّني ال َّساَل َم َوأَ ْخ ِبرْ ُه ْم أَنَّ ْال َج َّن َة َط ِّي َب ُة ال ُّترْ َب ِة َع ْذ َب ُة‬َ ‫ي ِبي َف َقا َل َيا م َُح َّم ُد أَ ْق ِرئْ أ ُ َّم َت‬
َ ‫ِيت إِب َْراهِي َم لَ ْيلَ َة أُسْ ِر‬
ُ ‫لَق‬
‫ان هَّللا ِ َو ْال َحمْ ُد هَّلِل ِ َواَل إِلَ َه إِاَّل هَّللا ُ َوهَّللا ُ أَ ْك َب ُر‬
َ ‫ْال َما ِء َوأَ َّن َها قِي َعانٌ َوأَنَّ غِ َرا َس َها ُسب َْح‬
Aku berjumpa dengan Ibrahim pada malam isra’ dan mi’raj, lalu ia
berkata,”Wahai, Muhammad. Sampaikan salamku kepada umatmu dan
beritahulah mereka bahwa syurga memiliki tanah yang terbaik dan air yang
paling menyejukkan. Syurga itu dataran kosong (Qai’aan) dan tumbuhannya
adalah (dzikir) Subhanallahi wa la ilaha illallah wallahu Akbar.” [13]
Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari hadits Abu Ayub Al Anshari yang
ada dalam Musnad Ahmad bin Hambal, 5/418.
Ketujuh : Dzikir menjadi cahaya penerang bagi di dunia, di kubur dan di akhirat.
Meneranginya di shirat, sehingga tidaklah hati dan kubur memiliki cahaya,
kecuali seperti cahaya dzikrullah, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala, yang artinya: Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan
cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa
dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak
dapat keluar dari padanya. [Al-An’am/6 : 122].
Begitulah perbandingan antara seorang mukmin dengan lainnya. Seorang
mukmin memiliki cahaya dengan sebab keimanan, kecintaan, pengenalan dan
dzikir kepada Allah, sedangkan yang lain adalah orang yang lalai dari Allah,
tidak mau berdzikir dan tidak mencintaiNya.[14]
Kedelapan : Dzikir menjadi sebab mendapatkan shalawat dari Allah dan para
malaikatNya, sebagaimana firman Allah, yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-
banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya pada waktu pagi dan petang. Dia-lah
yang memberi rahmat kepadamu dan malaikatNya (memohonkan ampunan
untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya
(yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang
beriman. [Al- Ahzaab/33 : 41-43].
Kesembilan : Banyak berdzikir dapat menjauhkan seseorang dari kemunafikan;
karena orang munafik sangat sedikit berdzikir kepada Allah, sebagiamana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang
munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali. [An Nisa’/4:142].
Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Abad berkata, ”Bisa jadi karena hal
tersebut, Allah menutup surat Munafiqin dengan firmanNya, yang artinya: Hai,
orang-orang yang beriman. Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian,
maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al Munafiquun:9). Karena
terdapat padanya peringatan dari fitnah kaum munafiqin yang lalai dari
dzikrullah, lalu terjerumus dalam kemunafikan. Wal ‘iyadzubillah.
Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Khawarij: “Apakah mereka munafik ataukah
bukan?” Beliau menjawab,”Orang munafik tidak berdzikir kepada Allah, kecuali
sedikit.” Ini merupakan isyarat, bahwa kemunafikan hanyalah sedikit berdzikir
kepada Allah. Berdasarkan hal ini, maka banyak berdzikir merupakan
penyelamat dari nifaq. [15]
Kesepuluh : Dzikir adalah amalan yang paling baik, paling suci dan paling tinggi
derajatnya, sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam sabdanya:
ُ
‫ب َو ْال َو ِر ِق‬ ِ ‫الذ َه‬َّ ‫اق‬ِ ‫أَاَل أ َن ِّب ُئ ُك ْم ِب َخي ِْر أَعْ َمالِ ُك ْم َوأَ ْز َكا َها عِ ْن َد َملِي ِك ُك ْم َوأَرْ َف ِع َها فِي د ََر َجا ِت ُك ْم َو َخ ْي ٌر َل ُك ْم مِنْ إِ ْن َف‬
‫َو َخ ْي ٌر لَ ُك ْم مِنْ أَنْ َت ْل َق ْوا َع ُد َّو ُك ْم َف َتضْ ِربُوا أَعْ َنا َق ُه ْم َو َيضْ ِربُوا أَعْ َنا َق ُك ْم َقالُوا َبلَى َقا َل ذ ِْك ُر هَّللا ِ َت َعالَى‬
Inginkah kalian aku beritahu amalan kalian yang terbaik dan tersuci serta
tertinggi pada derajat kalian? Ia lebih baik dari berinfak emas dan perak, dan
lebih baik dari kalian menjumpai musuh lalu kalian memenggal kepalanya dan
mereka memenggal kepala kalian?” Mereka menjawab”Ya,” lalu Rasulullah
menjawab,”Dzikrullah.” [16]
Demikian beberapa keutamaan dan faidah yang dapat diutarakan dalam
makalah singkat ini.
ADAB DALAM BERDZIKIR
Berdzikir memiliki adab-adab yang perlu diperhatikan dan diamalkan,
diantaranya:
Pertama : Ikhlas dalam berdzikir dan mengharap ridha Allah.
Kedua : Berdzikir dengan dzikir dan wirid yang telah dicontohkan Rasulullah;
karena dzikir adalah ibadah. Telah lalu penjelasan Ibnu Taimiyah tentang hal
tersebut.
Ketiga : Memahami makna dan maksudnya serta khusyu’ dalam melakukannya.
Ibnul Qayim berkata,”Dzikir yang paling utama dan manfaat, ialah yang sesuai
antara lisan dengan hati dan merupakan dzikir yang telah dicontohkan
Rasulullah. Serta orang yang berdzikir memahami makna dan tujuan
kandungannya.” [17]
Keempat : Memperhatikan tujuh adab yang telah dijelaskan Allah dalam
firmanNya.
َ ‫ال َوالَ َت ُكن م َِّن ْال َغافِل‬
‫ِين‬ ِ ‫ص‬َ َ‫ون ْال َجه ِْرم َِن ْال َق ْو ِل ِب ْال ُغ ُدوِّ َو ْاأل‬
َ ‫ضرُّ عًا َو ِخ ْف َي ًة َو ُد‬ َ ‫َو ْاذ ُكر رَّ ب‬
َ ِ‫َّك فِي َن ْفس‬
َ ‫ك َت‬
Dan sebutlah (nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan
rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [Al A’raf/7 :205].
Ayat yang mulia ini menunjukkan tujuh adab penting dalam berdzikir, yaitu:
• Dzikir dilakukan dalam hati, karena hal itu lebih dekat kepada ikhlas.
• Dilakukan dengan merendahkan diri, agar terwujud sikap penyembahan yang
sempurna kepada Allah.
• Dilakukan dengan rasa takut dari siksaan Allah akibat lalai dalam beramal dan
tidak diterimanya dzikir tersebut. Oleh karena itu, Allah mensifati kaum
mukminin dengan firmanNya:
َ ‫ون َمآ َءا َت ْوا َوقُلُو ُب ُه ْم َو ِجلَ ٌة أَ َّن ُه ْم إِلَى َرب ِِّه ْم َرا ِجع‬
‫ُون‬ َ ‫َوالَّذ‬
َ ‫ِين ي ُْؤ ُت‬
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan
hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan
kembali kepada Rabb mereka. [Al Mu’minun/23 :60].
• Dilakukan tanpa mengeraskan suara, karena hal itu lebih dekat kepada
tafakkur yang baik.
• Dilakukan dengan lisan dan hati.
• Dilakukan pada waktu pagi dan petang. Memang dua waktu ini memiliki
keistimewaan, sehingga Allah menyebutnya dalam ayat ini. Ditambah lagi
dengan keistimewaan lainnya, yaitu sebagaimana disampaikan Rasulullah
dalam sabdanya:
َ ‫صاَل ِة ْال َعصْ ِر ُث َّم َيعْ ُر ُج الَّذ‬
‫ِين‬ َ ‫صاَل ِة ْال َفجْ ِر َو‬َ ‫ُون فِي‬ َ ‫ار َو َيجْ َت ِمع‬ ِ ‫ُون فِي ُك ْم َماَل ِئ َك ٌة ِباللَّي ِْل َو َماَل ِئ َك ٌة ِبال َّن َه‬
َ ‫َي َت َعا َقب‬
‫ون َوأَ َت ْي َنا ُه ْم َو ُه ْم‬
َ ُّ‫ُصل‬ َ ‫َبا ُتوا فِي ُك ْم َف َيسْ أَلُ ُه ْم َر ُّب ُه ْم َوه َُو أَعْ لَ ُم ِب ِه ْم َكي‬
َ ُ‫ْف َت َر ْك ُت ْم عِ َبادِي َف َيقُول‬
َ ‫ون َت َر ْك َنا ُه ْم َو ُه ْم ي‬
َ ُّ‫ُصل‬
‫ون‬ َ ‫ي‬
Bergantian pada kalian malaikat pada waktu malam dan malaikat pada waktu
siang. Mereka berjumpa di waktu shalat Fajr dan Ashr, kemudian naiklah
malaikat yang mendatangi kalian, dan Rabb mereka menanyakan mereka, dan
Allah lebih tahu dengan mereka: “Bagaimana keadaan hambaKu ketika kamu
tinggalkan?” Mereka menjawab,”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan
shalat, dan kami datangi mereka dalam keadaan shalat.” [18]
• Larangan lalai dari dzikrullah. [19]
Dengan ini jelaslah keutamaan dzikir sebagai kunci kebaikan dan adabnya.
Mudah-mudahan yang sedikit ini dapat bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 1/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar, karya Dr. Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Alibadr,
Bagian pertama, Cetaakan pertama, Tahun 1999 M-1419 H, Dar Ibnu Affaan, Al
Khubaar, KSA. Hlm 5-6.
[2]. Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ad Da’awat, Bab Fadhlu
Dzikrullah, no. 6407.
[3]. Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab Ad Du’a Wa Dzikir Wat
Taubah Wal Istighfar, Bab Al Hats Ala Dzikr, no. 2676.
[4]. Majmu’ Al Fatawa, karya Ibnu Taimiyah, disusun oleh Abdurrahman bin
Muhammad bin Qasim, tanpa cetakan dan penerbit, juz 22/ 510-511.
[5]. Lihat Al Wabil Ash Shayyib Wa Rafi’ Al Kalimi Ath Thayyib, karya Ibnul
Qayyim, tahqiq Hasan Ahmad Isbir, Cetakan pertama, Tahun 1997-1418 H, Dar
Ibnu Hazm, Bairut, Libanon, hlm. 69-141.
[6]. Hadits riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya (4/202), At Tirmidzi dalam
Sunan-nya, kitab Al Amtsal ‘An Rasulullih, Bab Ma Ja’a Fi Matsal Ash Shalat Wal
Shiyaam Wal Shadaqah, no. 2863 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam
Shahih Al Jami’, no. 1724.
[7]. Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 61.
[8]. Dinukil murid beliau Ibnul Qayim dalam Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 70.
[9]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya 5/239 dan dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 5644.
[10]. Hadits riwayat Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Badi’ Al Khalq, Bab Sifat
Iblis Wa Junuduhu, no. 3293; Muslim dalam Shahih-nya, kitab Ad Du’a Wa
Dzikir Wa Taubah Wal Istighfar, Bab Fadhlu At Tahlil Wa Takbir Wa Tahmid, no.
2691; At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Al Da’awat ‘An Ar Rasul, Bab Ma Ja’a
Fi Fadhl Tasbiih Wa Tahlil Wa Takbir Ta Tahmid, no.3390.
[11]. Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 73.
[12]. Lihat Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 73-74; Fiqh Al Ad’iyah Wal Adzkar, hlm.
19-20 dan Dzikru Wa Tadzkiir, karya Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As
Sadlan, Cetakan kedua, tahun 1415 H, Dar Al Balansiyah, Riyadh, KSA, hlm.8.
[13]. Hadits riwayat At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ad Da’awat ‘An Ar
Rasul, Bab Ma Ja’a Fi Fadhl Tasbih Wa Tahlil Wa Takbir Wa Tahmid, no.3462,
dan dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 105.
[14]. Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 82-83.
[15]. Fiqh Al Ad’iyah Wal Adzkar, hlm. 24.
[16]. Hadits riwayat At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ad Da’awat ‘An Ar
Rasul, no. 3377 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Adab, Bab Fadhlu
Dzikr, no. 3790, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 2629.
[17]. Dinukil dari Fiqh Ad Ad’iyah Wal Azkar, hlm. 9.
[18]. Hadits riwayat Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqit Ash Shalat,
Bab Fadl Shalat Al Ashr, no. 522 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al
Masajid Wa Mawadi’ Ash Shalat, Bab Fadl Shalat Al Fajr Wal Ashr Wa
Muhafadztu ‘Alaihima, no. 632.
[19]. Diringkas dengan beberapa perubahan dan tambahan dari Fiqh Ad
Ad’iyah Wal Adzkar, hlm.57-59.

TUJUH TINGKATAN ZIKIR DALAM TASAWUF


1). Zikir Thawaf: Zikir ini dilakukan dg cara memutar kepala, mulai bahu kiri
menuju bahu kanan dgn mengucap Laailahaaillallah sambil sedikit menahan
nafas, stlh smpi bahu kanan nafas ditarik lalu mengucapkan illaallah yg dipukul
kan kedlm hati sanubari yg bertmpt di 4 lapisan hati di dada sebelah kiri tmpt
berdiamnya nafsu lawwamah.
2). Zikir nafi isbat: Zikir ini mengucapkan Laailahaillallah dgn lebih mengeraskan
nafinya Laailaha ketimbang isbatnya allallah yg diucapkan spt memasukan
kedlm yg empuNya Asma Allah.

3). Zikir Isbat faqad: Zikir ini dg mengucapkan illallah yg dihujamkan kedlm hati
ruhani.

4). Zikir Ismul Azam: Zikir ini dg menyebut asma Allah yg dihujamkan ke tengah
dada tmpt bersemayam nya Ruh yg menandai adanya hidup

5). Zikir Ismu Zat: Zikir ini dgn menyebut Ismu Zat iaitu Hu dgn mata dipejam
kan dan mulut dikatupkan, dgn lidah yg diangkat ke langit2 kemudian
diarahkan ketmpt tengah2 dada menuju kearah kedlman rasa sehingga
mendptkan rasa sejati dan sejatining rasa.

6). Zikir Taraqqi: Zikir ini dilakukan dgn cara menarik nafas dgn lafal Allah dan
mengeluarkan nafas dgn lafaz Hu/ Allah-Hu yg diambil dlm dada dan lafaz Hu
dimasukan ke baitul makmur/otak dan Allah dimasukan ke dlm dada. Ini agar
salik dlm bahasa thariqahnya otaknya yg ada di baitul makmur/kepala
tercerahkan.

7). Zikir Tanazul: Zikir ini dilakukan dgn Hu-Allah iaitu menarik nafas dgn lafal
Hu menghembuskan nafas dg lafal Allah. Lafal ismu zat Hu-Allah diambil dari
baitul makmurdan Allah dimasukan kedlm dada paling dlm tmpt hati sirr tmpt
timbulnya tauhid. Hal ini dimaksudkan agar si salik menjadi manusia
cahaya/insan cahaya ilahi menuju puncak kesempurnaan ruhani.

Menu
Bagian Atas Formulir
Bagian Bawah Formulir
ISLAM IS PEACE
Blog yang berkenaan dengan Filsafat, Agama dan Pendidikan
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat
Sufisme merupakan salah satu tradisi tasawuf yang berasal dari agama-agama
dunia, khususnya Islam. Apa yang menjadi ciri khas dan karakter dari tasawuf
ini adalah motif mereka dalam melakukan suatu pencarian mistik (mystical
quest) dan oleh karena itu menjalankan perjalanan spiritual menuju Tuhannya
(Realitas yang sejati, absolut dan hakiki). Terkait dengan definisi Tasawuf
sendiri, di sini penulis mengambil definisi dari Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara
(2006) yang mengatakan bahwa Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam
yang menekankan dimensi atau aspek spiritualitas, dan spiritualitas ini dapat
mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Karena keterkaitannya dengan
agama (yakni Islam), maka kebanyakan kaum arif[1] meyakini bahwa
penamaan khusus kehidupan mistis direpresentasikan dalam gabungan antara
syari’at, tarekat (tharîqah), dan hakikat (haqîqah). Artinya, mencapai hakikat
adalah dengan berpegang pada substansi agama dan hukum-hukumnya
dengan memelihara lahiriah syariat.[2] Demikian pula yang diungkapkan oleh
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (2006) bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang
harus dipandang bid’ah dalam kaitannya dengan ibadah (syari’at), melainkan
sebagai pelengkap dan sekaligus hiasan bagi ibadah-ibadah formal kita sehari-
hari, yang sering kita rasakan telah kehilangan makna spiritualnya.
Dalam keterbatasan penulis di sini, penulis hendak membatasi makalah ini
pada penjelasan mengenai gagasan sentral dalam sufisme Islam yakni
mengenai 3 level perjalanan spiritual yang dikenal dengan Syari’at, Tarekat,
Hakikat yang dalam bahasa  Inggris dikenal juga dengan istilah The Law, The
Way and The truth. Di sini pun kami akan menambahkan makrifat (ma’rifah)
yang juga dikatakan sebagai salah satu tahapan dalam melakukan perjalanan
spiritual, serta akan mencoba secara sepintas memaparkan mengenai
intergrasi antara level-level tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. SYARIAT
Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata ‫َش َر َع – َي ْش َر ُع – َشرْ عًا‬
yang berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam
bukunya “Studi Tentang Ushul Fiqih”[4] memberi definisi bahwa Menurut
pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah sumber air yang tidak pernah
kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan demikian
pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman
sumber pedoman.[5]
Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik (penempuh jalan
ruhani) menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang
diusahakannya. Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan
Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang diambil dari
buku “Sufism and Shari‘ah” yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari.
Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat, yaitu makna
umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan
penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan
kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah
pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik
secara langsung (wahyu) maupun melalui nabi-Nya itulah yang disebut syariat.
Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan.
Syariat bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih
dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju
realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan
ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak
mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju
makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat,
karena menurut mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang
seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara syariat dan
hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari
hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan
bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka
mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan.
 ‘Mereka yang lebih maju (dalam sufisme) membutuhkan ibadah sepuluh kali
lipat ketimbang pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada
pengabdian dan perolehan mereka dikondisikan atas keistikomahannya
menaati syariat.’[6]
Adapun ketika seseorang mencapai kasyf  (penyingkapan), maka kasyf itu tidak
bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk
syariat yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran
syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi
yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan oleh Nabi atau
sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini memproduksi syariat
baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide yang
didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan
mabuk dan dianggap tidak benar.
REPORT THIS AD
Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya memuat
syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik
adalah melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf
bisa disejajarkan dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf
itu bisa menguak makna-makna dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah
sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu.
2. TAREKAT
Tarekat secara bahasa berasal dari kata ‫ْق‬ ُ ‫الطري‬  ُ dan ‫ اَ ْطرُق‬yang
َّ jamaknya ‫طرُق‬
َّ
bermakna jalan, lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi ‫الطر ْي َق ُة‬
yang bermakna jalan atau metode. Istilah tarekat ini menunjuk pada metode
penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-hukum syariat. Semua
muslim wajib menerapkan syariat, namun ada sebagian muslim yang hanya
berfokus pada kewajiban-kewajiban ibadah dan ada sebagian lagi yang selain
fokus pada kewajiban-kewajiban ibadah juga memperhatikan adab, akhlak,
dan sisi batin dari syariat itu, yang sebetulnya semua itu sudah dijelaskan
dalam syariat.
Dalam Mystical Dimensions Of Islam, Annemarie Schimmel memberikan
definisi tarekat yaitu:
“The tariqa,  the “path” on which the mystics walk, has been defined as “the
path which comes out of the sharia, for the main road is called shar‘i, the path,
tariq.” This derivation shows that the Sufi’s considered the path of mystical
education a  branch of that high -way that consists of the God-given  law, on
which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main
road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the
binding injunctions of the shar’ia are not followed faithfully first. The path ,
tariqa, however, is narrower and more difficult to walk and leads the adept—
called salik, “wayfarer”—in his suluk, “wandering,” through different stations
(maqam) until he perhaps reaches, more or less slowly, his goal, the perfect
tauhid, the existential confession that God is One.”[8]
Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus
bagi salik (penempuh jalan ruhani) untuk mencapai kesempurnaan tauhid,
yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama,
syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan
mereka yang tidak melakukan disiplin diri.
REPORT THIS AD
Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan,
sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam
keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan
milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang
milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan,
milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat
kepemilikan hanya milik Allah.
Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat
punya tiga bagian, yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni (ikhlas).
Setiap salik harus mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat
baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah. Ketika ia sudah mengetahui,
maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata perbuatan itu
ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah
ikhlas, dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan
karena manusia cenderung memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang
memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan Allah larang. Selain itu
manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka
diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam
setiap tindakannya (mukhlis), sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya
(mukhlas), metode itulah yang disebut tarekat.
Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga
kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui
adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan
melakukan apapun yang Dia syariatkan dan memurnikan tujuan dari tujuan-
tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga yang
mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada
banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari
ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan
tauhid.
Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat,
yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya berjuang
dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha dengan giat
dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan, agar
hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu.[9] Yang kedua
adalah riyadhah. Riyadhah (Olah Ruhani) bisa dilakukan tanpa harus
meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus
menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri, keluarga, dan
masyarakat sosial.[10] Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah.
Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses
yang ketiga adalah muahasabah. Yang terakhir adalah
muhasabah. Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan
membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan apa yang
disukai-Nya.[11] Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang
akan datang. Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah
menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita
sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan datang telah
ditentukan oleh al-Qur’an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah
adalah dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf (rasa
takut) dan raja’ (harapan).
Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul  pada abad 11. Awalnya
merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang
sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu
kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim.
[12] Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-
murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid (yang
dibimbing) menuju hakikat sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang
dinisbahkan pada mursyid tertentu yang dianggap punya metode tersendiri
yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs as-Suhrawardi,
Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah
para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran
dan praktik-praktik tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus
reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi lingkaran kelompoknya.[13]
3.  HAKIKAT
A. Pengertian Hakikat
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat (Haqiqah) seakar
dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf
menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari
transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan
spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang merupakan
kenyataan eksoteris dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme,
sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang
esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin
juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.[14]
Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah
kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam
syari’at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap
amal, inti, dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik.
Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud
baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada
substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau
mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan.[15]
Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi
akan realitas dalam pengalaman mistik.[16] Sementara penafsiran Prof. Dr.
Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana
banyak para sufi menyebut diri mereka ‘ahl-haqiqah’ dalam pengertian sebagai
pencerminan obsesi mereka terhadap ‘kebenaran yang hakiki’ (kebenaran
yang esensial). Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj (w. 922)
yang mengungkapkan kalimat ‘ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan). Obsesi
terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula ‘la
ilaha illa Allah’ yang mereka artikan ‘tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah’.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul
ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak
hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan
Tuhan. Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara
Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan
cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek
yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan
pemberi wujud.[17] Pernyataan ‘la ilaha illa Allah’ ditafsirkan para sufi sebagai
penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya
sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep ‘fana’ , atau ‘fana al-
fana’ yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan
konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah.
Fana’ dan baqa’ ini dipandang sebagai ‘stasion’ (maqam) terakhir yang dapat
dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para
sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang
dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan.
Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai
syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata,
“Lobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”[18]
B. Fana’ dan Baqa’ sebagai ciri khas Hakikat
Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj
(w.922) yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan ‘Ana al-Haqq’ yang
berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut
dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat ‘la ilaha
illa Allah’ tidak lagi kita artikan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, melainkan ‘Tidak ada
realitas (hakikat) yang sejati kecuali Allah’. Di sini dapat dipahami bahwa hanya
Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu.
REPORT THIS AD
Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar
diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi.
Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan
kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan ‘fana’. Setelah itu hanya
kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan
keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqa’, saat ketika seorang sufi
hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang
hakiki.
Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang
merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan
dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak 
Persia,
The true lover finds light only if, like the candle, he is his own fuel, consuming
himself.
Attar of Neishapur (w. 1230)
Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat
menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya
sendiri, memakan dirinya sendiri.
Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan
Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan
gambaran seekor ngengat (yang diumpamakan sebagai jiwa manusia) yang
sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin (yang
diumpamakan sebagai Kebenaran) hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi
satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan
istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda
dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah
konsep mengenai fana dan baqa’. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris
sering diterjemahkan sebagai ‘annihilation’, ‘extinction’, atau ‘cessation of
being’, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa
Arab tidak ada kata kerja ‘to be’, dan mengacu pada istilah Jerman
tradisional Entwerden, ‘de- becoming’, sebagai yang lebih akurat.[19] Nah, di
sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan
meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar.
Fana’ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika
proses ini selesai, maka ‘baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi
pun terbangun – kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, ‘kesatuan’
dengan Tuhan. Konsep mengenai fana’ dan baqa’ ini telah ditafsirkan sebagai
kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari
tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang
mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada
level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas (salah satu
pengertian dari tarekat) atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang
merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan
Tuhan. [20]
REPORT THIS AD
4.  MAKRIFAT
A. Pengertian Makrifat
            Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun
terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat
dari beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang
mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai
berikut:
Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti
persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan
pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu
sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain.
Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat;
Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah
menguasai syari’at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti
thariqah dari mistik, dan ‘jalan’ yang mengantarkan pada pengetahuan yang
lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat,
kebenaran, atau makrifat, gnosis.
Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara
makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut
pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan
mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami
sebagai suatu stasion atau keadaan (state),
First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge
that comes after that asceticism. The ultimate ‘knower’ is worth a hundred
thousand ascetics.
Jalal al-Din Rumi[21]
Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan.
kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah
asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami,
menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas.  Akan tetapi, berhubungan
dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna
makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi.
REPORT THIS AD
Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata ‘arafa,
yu’rifu, ‘irfan, ma’arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau
pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat
diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan.
Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama,
yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada
umumnya.
Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal
bersama dengan makhafah (cemas terhadap Tuhan) dan mahabbah (cinta).
[22] Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual
(thariqat). Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati.
Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu
al-Nun al-Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam[23]:
Pertama, makrifat kalangan orang awam (orang banyak pada umumnya),
tauhid melalui syahadat.
Kedua, makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan
merenungkan fenomena  alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-
tanda atau dalil-dalil pemikiran.
Ketiga, makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal
Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan
dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. Dan makrifat
inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini.
Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan
menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya.
Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at, hukum Allah untuk
kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat
al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke
dalam hakikat (kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang
seluruh eksistensi). Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua
pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai
pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang
disebut ‘makrifat’ (pengetahuan).[24]
REPORT THIS AD
Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat
sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat
Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat
terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang
prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan
usaha keras dalam waktu yang panjang.[25] Baik lewat meditasi, tazkiyatun
nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik.
Zybura dalam esainya mengatakan bahwa selain dari 3 tingkatan yang telah
dideskripsikan dalam pencarian menuju kesatuan dengan Tuhan, ada lagi
tahapan-tahapan yang lebih banyak yang secara umum dibedakan sebagai
stasion (station/ maqam). Pencapaian pada tiap maqam tergantung kepada
perbandingan dari anak tangga-anak tangga yang kita daki dengan upaya kita
sendiri, dan ‘kondisi’ (state/ahwal) sendiri merupakan hadiah dari Tuhan yang
lebih sulit lagi untuk diklasifikasikan.[26]
Untuk lebih jauh membahas mengenai makrifat ini, penulis memilih untuk
memaparkannya melalui penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi
Kartanegara.
B. Pengetahuan Sejati dan Perbedaannya dengan Ilmu Pengetahuan
Yang dimaksud dengan makrifat sebagai pengetahuan sejati/hakiki tidak sama
dengan ‘ilm yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan. Pertama-tama yang
membedakannya adalah cara perolehannya dimana ilmu pengetahuan
diperoleh secara hushuli (melalui mediasi/representasi, tidak secara langsung).
Sementara makrifat diperoleh secara hudhuri, langsung hadir dalam intuisi
manusia dan dialami secara langsung. Perbedaan lainnya terletak pada objek
dari pengetahuan itu sendiri. Adapun objek dari ilmu pengetahuan adalah
objek-objek yang bersifat fisik, sementara objek dari makrifat kebanyakan
bersifat non-fisik. Secara rincinya, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menguraikan
perbedaan antara keduanya dalam tabel berikut,

Ilmu Pengetahuan Pengetahuan


Sisi (‘Ilm) Sejati (Makrifat)

Hushuli (Tidak
Langsung), Hudhuri
dipelajari, (Langsung),
Perolehan representasi dialami

Hadir begitu saja


Di luar diri subjek, ke dalam jiwa
mahsusat atau kesadaran
(terindra, fisik) seseorang,
atau juga kebanyakan non-
Objek ma’qulat fisik (ma’qulat).

Instrumen Indra dan Akal Intuisi/Hati


Tidak Orisinil
langsung dari si
subjek, kecuali Orisinil, langsung
dari otoritas orang dari Tuhan,
terdahulu yang bukan melalui
pertama kali simbol-simbol
menemukannya (seperti buku,
dan perkataan orang
Sifat mengalaminya. lain, dsb).

Tataran Indrawi dan


Pengalaman rasional Intuitif

Tidak
mendatangkan Mendatangkan
Kepastian kepastian intuitif kepastian intuitif

Antara subjek
dan objek
terdapat
keintiman,
sebagaimana
konsep kesatuan
dari
pengetahuan,
yang
Ada dualisme mengetahui dan
Jarak antara (Ada jarak yang yang diketahui
subjek dan lebar antara (‘alim, ‘ilm, dan
objek subjek dan objek) ma’lum)

Pencapaian Melalui upaya Melalui upaya


keras dan bisa keras namun
diperoleh. pencapaian
tergantung pada
kemurahan
Tuhan.

Metode Diskursif (Bahtsi) Intuitif (Dzawqi)

REPORT THIS AD
Dari segi objek, meskipun ilmu-ilmu rasional juga sama-sama menangkap
ma’qulat, sebagaimana intuisi, tetapi cara di antara keduanya berbeda.
Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang
telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya
langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang
dikenal sebagai ‘penyingkapan’ (mukasyafah) atau ‘penyinaran’ (iluminasi) dan
‘penyaksian’ (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga
atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya
kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.
[27]
Secara sederhana Mulyadhi Kartanegara memberikan analogi mengenai bahwa
kepastian intuitif yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang dialami secara
langsung laksana orang yang mengetahui manis dengan mencicipi butiran gula.
Kita tidak dapat mengetahui rasa manis melalui pengkajian akan definisi atau
konsepsi mengenai manis. Atau pun melalui membaca buku-buku tebal yang
menjelaskan mengenai rasa gula maupun asal usul gula. Selama apa pun kita
pelajari semua itu selama lidah kita tidak merasakannya sendiri maka kita tidak
akan pernah mengetahui rasa manis yang sebenarnya. Karena manis tidak bisa
kita ketahui melalui rangkaian huruf dari kata M.A.N.I.S. Untuk mengetahui
manis maka kita harus mendatangi yang empunya manis itu sendiri (gula), dan
merasakannya sendiri secara langsung.
Kesatuan pengetahuan dan yang diketahui dijelaskan dengan ilmu hudhuri
bahwa objek diketahui secara langsung setelah dihadirkan dalam kesadaran
jiwa seseorang. Ketika objek hadir dalam kesadaran diri maka objek itu dapat
teridentifikasi dengan diri sendiri, ketika itu terjadi maka objek-objek itu
menjadi dirinya, maka keintiman pengetahuan itu kini sama dengan terhadap
diri sendiri, sementara pengetahuan tentang diri sendiri dapat kita ketahui
secara langsung tanpa harus ada pemilahan antara subjek dan objek. Maka
dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang
mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini
merujuk pada entitas yang sama dan satu: diri kita sendiri.
Makrifat juga diandaikan seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke
dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan yang
menyilaukan. Bagai kaca yang bersih dan selalu dibersihkan sehingga kemudian
cahaya mampu memasukinya dan menerangi jantung rumah dan beriluminasi
(menerangi semua yang tersembunyi/ tak nampak).
REPORT THIS AD
C.  Analogi Rumi : Makrifat bagai Mutiara di Dasar Laut
Jalal al-Din Rumi pernah mengumpamakan makrifat sebagai mutiara di dalam
kerang yang berada di dasar laut karena keindahannya yang membuat banyak
orang menyukainya. Menurut Rumi makrifat tidak dapat diperoleh secara
inderawi, karena hal itu sama saja dengan mencari-cari mutiara yang berada di
dasar laut dengan hanya datang dan memandangi laut dari darat. Sedangkan
makrifat juga tidak bisa diperoleh melalui penggalian nalar, karena hal
demikian sama saja dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu
sendiri. Agar bisa mendapatkan mutiara makrifat itu, maka dibutuhkan
penyelam yang ulung dan beruntung, yakni seorang mursyid yang
berpengalaman. Rumi mengatakan butuh pada penyelam yang ulung dan
beruntung karena pencapaian itu bergantung pada kemurahan Tuhan. Karena
tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba.
Menyelam di sini diartikan sebagai menyelami lubuk atau dasar hati kita yang
dalam. Karena laut itu begitu dalam, maka dibutuhkan penyelam (mursyid)
yang benar-benar professional dalam teknik penyelaman. Cara menyelam
inilah yang kita sebut dengan metode intuitif.
5. INTEGRASI ANTARA SYARI’AT, TAREKAT DAN HAKIKAT
            Dalam pemaparan ini penulis hanya akan membahas relasi antara
syariat, tarekat dan hakikat secara sepintas karena keterbatasan pemahaman
yang penulis miliki.
            Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa Syariat berbeda dengan
Tarekat, dan Tarekat berbeda dengan Hakikat. Mereka membayangkan bahwa
ada perbedaan yang pasti yang melekat pada setiap level nya, kemudian
mereka melekatkan hal-hal tertentu pada masing-masingnya yang mana
pengatribusian itu tidaklah tepat, khususnya bagi kelompok sufi.[28] Adapun
miskonsepsi ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi-
kondisi spiritual yang beragam (various spiritual states) pada setiap levelnya
dan juga kekurang pemahaman mereka akan keimanan dan prinsip-prinsip
mereka sendiri.
            Apa yang harus diklarifikasi adalah bahwa Syari’at, Tarekat maupun
hakikat merupakan sinonim bagi kebenaran yang satu meskipun istilahnya
berbeda-beda. Sesungguhnya pada setiap 3 level itu adalah merupakan
prasyarat bagi level yang lainnya. Dan keseluruhannya satu sama lain saling
terkoneksi. Adapun penjelasannya yang lebih lebar akan dikupas berdasarkan
pada pandangan Sayyid Haydar Amuli mengenai koneksi antara 3 level ini.
            Hal yang pertama-tama mesti kita ketahui adalah bahwa ketiga nama
tersebut (Syariat, Tarekat maupun Hakikat) merupakan aspek-aspek dari satu
realitas. Yang kedua, meskipun ketiganya berasal dari realitas yang satu, tapi
sangat perlu kita ketahui bahwa orang-orang hakikat lebih tinggi dari orang-
orang tarekat, demikian pula orang-orang tarekat lebih tinggi dari orang-orang
syari’at,[29] dan tak ada penyimpangan apapun yang ditemukan dalam
tingkatan tersebut.
            Sekedar menyebutkan kembali bahwa Syari’at adalah nama dari jalan
yang diberikan Tuhan yang sudah ada sebelum kehidupan manusia di dunia ini.
Syari’at meliputi ushul al-din dan furu’ al-din, juga meliputi kewajiban-
kewajiban dan petunjuk-petunjuk yang mengakui adanya tingkatan tertentu
akan pilihan manusia dari segi metode atau waktu mereka dalam menjalani
kewajiban-kewajiban mereka. Pun meliputi seluruh tindakan-tindakan yang
paling baik di hadapan Tuhan. Sedangkan tarekat adalah jalan dari
kebijaksanaan tertinggi.  Jalan dari tindakan yang paling baik dan paling
meyakinkan. Dengan demikian, jalan apapun yang mengantarkan manusia
kepada yang terbaik dan paling meyakinkan dalam perkataan maupun
tindakan, dalam karakternya yang ia peroleh, ataupun kondisi-kondisi (states)
yang ia alami, maka disebut dengan tarekat.
 Hakikat adalah afirmasi akan eksistensi wujud, baik melalui penyingkapan dan
penyaksian substansinya, atau dengan mengalami keadaan spiritual, atau
mengafirmasi akan Ketunggalan Tuhan. Dengan demikian, Sayyid Haydar Amuli
dalam Jami’ al-Asrar hendak mengatakan bahwa makna dari Syari’at adalah
bahwa kamu beribadah kepada-Nya, dan Tarekat adalah kamu mencapai
kehadiran-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu menyaksikan-Nya.
[30] Adapun Zybura menggambarkan relasi antar ketiga level dalam bagan
berikut,

1. Syari’at 2. Tarekat

Islam eksoterik (Zhahir) Islam Esoterik (Bathin)

Penafsiran al-Qur’an Penafsiran al-Qur’an


secara Literal (Tafsir) secara alegoris (Ta’wil)

“Milikmu adalah “Milikmu adalah


Milikmu, Milikmu,

Milikku adalah Milikmu


Milikku adalah Milikku.” juga.”

3. Hakikat/ Makrifat
“There is neither mine nor thine”

            Sudah terang dikatakan bahwa syari’at berarti kamu dipertahankan dan
terpelihara dalam eksistensi oleh perintah-Nya, tarekat adalah bahwa kamu
melaksanakan perintah-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu ada oleh dan
dalam diri-Nya. Ketiga level ini tercakup oleh syari’at Islam dan sama sekali
tidak di luar darinya. Allah telah mengacu kepada tiga level ini dengan
frase ‘ilm al-yaqin (Kepastian Pengetahuan), ‘ayn al-yaqin (kepastian
penglihatan atau pengalaman), dan haqq al-yaqin (kepastian kebenaran
realitas).
Terdapat level-level manusia yang berbeda, yakni ada yang awam dan yang
elit, dan yang elit dari yang elit (Diumpamakan sebagai Permulaan (Beginning,
antara (Intermediate), Akhir (Final). Dengan demikian, Syari’at adalah nama
dari hukum Tuhan dan pola perilaku Nabi, dan juga merupakan permulaan.
Tarekat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan
intermediate dan hakikat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan
tahapan akhir. Tak ada lagi tingkatan yang ada di luar dari ketiga level ini.
            Bagaimanapun, Syari’at itu mungkin meskipun tanpa tarekat, akan
tetapi tarekat tidak akan mungkin jika tanpa syari’at; demikian pula, tarekat itu
mungkin tanpa hakikat, tapi hakikat tanpa tarekat itu tidak mungkin. Hal ini
karena setiap level itu adalah penyempurna bagi yang lainnya.  Oleh karena itu,
meskipun tidak terdapat kontradiksi antara tiga level tersebut, namun
kesempurnaan dari Syari’at hanya mungkin diperoleh melalui tarekat dan
begitu pula dengan tarekat yang hanya mungkin didapatkan kesempurnaannya
melalui hakikat. Deskripsi bahwa tiap level itu tidak kontradiksi dijelaskan oleh
Sayyid Haidar Amuli sebagai berikut:
Para ahli syari’at dianalogikan sebagai para Fuqaha’ serta kondisi-kondisi
mereka.
Para ahli tarekat dianalogikan sebagai para sarjana dan filosof beserta stasion-
stasion mereka.
Orang-orang Hakikat dianalogikan sebagai sufi/gnostik, beserta stasion-stasion
mereka.[31]
Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, maka kesempurnaan dari
kesempurnaan tergabung secara bersamaan dalam ketiga level. Karena jumlah
dari dua hal, atau dua keadaan ketika digabungkan bersama sudah pasti lebih
baik dan lebih sempurna dari pada yang dua ketika dalam keadaan terpisah.
Oleh karena itu, orang-orang hakikat lebih superior dalam hubungannya
dengan orang-orang syari’at dan tarekat.[32]
REPORT THIS AD
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas pemakalah menyimpulkan bahwa antara syariat,
tarekat, makrifat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir
dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Syariat adalah
landasan awal menuju hakikat dan penyingkapan hakikat tidak menggugurkan
syariat, bahkan menguatkan kebenaran syariat. Jika bertentangan maka
penyingkapan tersebut diragukan, yang boleh jadi itu adalah kerjaan setan.
Untuk sampai pada hakikat, maka dibutuhkan metode dan disiplin diri yang
aturan dasarnya sudah ditentukan oleh syariat. Proses menuju realitas sejati
(hakikat) inilah yang disebut tarekat. Ketika selubung hijab terbuka maka
tampaklah realitas sejati, maka saat itu pula penempuh jalan spiritual
memperoleh makrifat.
Sebagai penutup kami nukilkan sebuah hadis yang dinukil oleh Syaikh Sayyid
Haidar Amuli. Rasulullah SAW bersabda, “Syariat adalah ucapanku, tarekat
adalah perilakuku, hakikat adalah halku, makrifat adalah modalku, akal adalah
pilar agamaku, cinta adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa
takut adalah sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman
seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qana’ah adalah harta simpananku,
kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah tempat kembaliku, dan
kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua itu, aku memiliki keunggulan
atas seluruh nabi.”[33]

[1] Arif adalah istilah yang digunakan bagi orang yang telah mencapai ma’rifah
hakiki. Pembahasan mengenai ma’rifah hakiki akan dibahas di dalam makalah
pada bab berikutnya.
[2] Pernyataan ini didapatkan dari potongan tulisan yang berjudul Islamic
Mysticism 1 (Question and Answer) mengenai Prinsip-prinsip Mistisisme
Teoritis. Tulisan ini merupakan bahan kuliah the study of Comparative
Mysticism yang dibimbing oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. Beliau mengatakan
bahwa fondasi dasar Islam adalah rukun Islam yang menjadi prinsip-prinsip
dasar agama (ushuluddin), sementara dalam mencapai tujuan tertinggi dalam
beragama adalah dengan melalui pengetahuan dan aksi dalam akar-akar
agama (ushul) dan cabang-cabangnya (furu’). Adapun yang ushul berfungsi
untuk mensucikan kehidupan batin, sementara yang furu’ untuk mensucikan
kehidupan lahir. Maka siapapun yang memiliki keinginan untuk mensucikan diri
secara lahir maupun bathin, maka harus mendirikan ushul dan furu’ dalam
kerangka tiga level dari Syari’at, Tarekat dan Hakikat.
[3] Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
[4] Diterjemahkan dari Studies in Usul ul-Fiqh, diterbitkan oleh Islamic Cultural
Workshop, Walnut USA
[5] Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007),
hal. 8
[6] Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shari‘ah: A Study of Shaykh
Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism,  (The Islamic Foundation:     , 1990),
hal 75
[7]  Ibid, hal. 71
[8] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions Of Islam, (USA: The University
of North Carolina Press, 1975), hal. 98
[9] Kafie, Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Republika, 2003), hal. 58
[10] Ibid, hal. 70
[11] Muhasibi, Sebuah Karya Klasik Tasawuf: Memelihara Hak-Hak Allah. Diterj.
Abdul Halim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), hal. 53
[12] Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf. Penerj. Arif Anwar,
(Yogyakarkat: Penerbit Pustaka Sufi, 2003), hal 153
[13] Ibid, hal. 162
[14] Kata yang bergaris miring merupakan pendapat dari penulis.
[15] Pengertian ini penulis dapatkan dari slide power point dalam mata
kuliah Islamic Mysticism yang dibuat oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. (ICAS
Jakarta, 2005). Setelah penulis coba selidiki akan sumber referensinya, maka
kemungkinan pengertian ini didapatkan dari sebuah buku karya Sayyid Haidar
Amuli. The Inner secrets of The Path (Dorset : Element Books, 1989).
[16] Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufism and Shari’ah, A study of syakh
Ahmad Sirhindi’s Effort to reform Sufism, (Malaysia: The Islamic Foundation,
1990), Hal. 74.
[17] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2006), Hal. 6.
[18] Ibid, hal. 9.
[19][19] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, (Quelle: http://www.ruhr-uni-
bochum.de/orient, 1999), hal. 4. Lihat juga Schimmel, A.; hal. 142 and Denny,
F.M.; hal. 233.
[20] Ibid., hal. 4-5.
[21] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, (Quelle: http://www.ruhr-uni-
bochum.de/orient, 1999), hal. 5. Lihat juga Shah, I.; The Way of the Sufi;hal.
189.
[22] Al-Ghazali dan al-Qushairi berbeda pendapat mengenai urutan manakah
yang lebih dahulu antara makrifat dan mahabbah. Al-Ghazali berpendapat
bahwa kita tidak akan mampu mencintai Tuhan tanpa mengenal Tuhan
terlebih dahulu, sehingga menurut al-Ghazali urutan makrifat ada di bawah
mahabbah. Sementara al-Qushairi berpandangan bahwa karena kecintaan
pada Allah maka melahirkan pengetahuan hakiki Ilahi (Makrifat), sehingga
menurut pandangan ini, Makrifat menjadi tujuan akhir dan tujuan tertinggi di
atas mahabbah. Adapun pengetahuan penulis hanya terbatas pada pemaparan
mengenai perbedaan ini.
[23] Ensiklopedi Tasawuf jilid II, (Tim Penyusun UIN Syarif Hidayatullah. 2008),
Hal. 795.
[24] Ensiklopedi Tasawuf jilid III (Tim Penyusun UIN Syarif Hidayatullah.
2008),Hal. 1187.
[25] Ensiklopedi Tasawuf jilid II, (Tim Penyusun UIN Syarif Hidayatullah. 2008),
Hal. 798.
[26] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, (Quelle: http://www.ruhr-uni-
bochum.de/orient, 1999), hal. 5.
[27] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2006), Hal. 11.
[28] Penjelasan ini didapatkan dari mata kuliah, A lesson on Islamic Mysticism.
Dr. Sayyed Hossein Miri, (ICAS Jakarta, 2005)
[29] Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, (Dorset : Element Books,
1989), hal. 36.
[30] Surahman, Cucu. Thesis: The Integration of Shari’ah, Tariqah and Haqiqah
according to Sayyid Haidar Amuli, (Jakarta: ICAS, 2008).  Hal. 64.
[31] Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, (Dorset : Element Books,
1989), hal. 39.
[32] Ibid., hal. 36.
[33] Yatsribi, Agama & Irfan: Wahdat al-Wuju dalam Ontologi dan Antropologi,
serta Bahasa Agama. Diterj. Muhammad Syamsul Arif. (Jakarta: Sadra Press,
2011), hal. 37
Advertisements
REPORT THIS AD

Menu

Jumat, 10 Maret 2017


MAKALAH TENTANG MA'RIFAT LENGKAP
BAB I
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Tanda Ma’rifat


Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah
yang artinya mengetahui atau pengalaman.[1] Dan apabila dihubungkan
dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal
Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf,
antara lain:
a.         Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf
yang mengatakan:
ِ َ ‫ب ْال َم ْوج ُْو ِد ُم ّتصِ فا ً ِبساَئ ِِر ْال َكلِما‬
‫ت‬ ِ ‫ب ِبوُ ج ُْود ِْال َوا ِج‬ِ ‫اَ ْل َمعْ ِر َف ُة َج ْز ُم َق ْل‬
Artinya:
“Ma’rifah adalah  ketepatan  hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang
wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”
b.        Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
ُ ‫اَ ْل َمعْ ر َف ُة‬
ِ ‫صلَ ِة ااْل َ ْن َو‬
‫ار‬ َ ‫ َوه َُو ْال َق ْلبُ ِبم َُوا‬،‫طلُ ْو ِع ْال َح ِّق‬ ِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c.    Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin
Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:

ْ َ‫ت َمعْ ِر َف ُت ُه ا ِْزدَاد‬


‫ت َس ِك ْي َن ُت ُه‬ ْ ‫ َف َم ِن‬،‫ب َكما َ اَنَّ ْالع ِْل َم ي ُْو ِجبُ ال ّس ُك ْو َن‬
ْ َ‫ازدَاد‬ ِ ‫ْا ْل َمعْ ِر َف ُة ي ُْو ِجبُ ال ّسكِي َن َة فيِ ْال َق ْل‬
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat
ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”[2]

Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada
tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri
yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah
sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu
benar.
c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan
kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar
dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi,
cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu
bersama-sama dengan Tuhannya.
a.       Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah,
bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat
lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka
tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya
dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b.    Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya.
Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai
sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu
merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada
Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c.       Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah
keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan
dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf,
harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan
Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara
terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.

B.       Hakikat Ma’rifat


Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah.
Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1.       Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata
kepalanya tertutup, dan waktu inilah yang dilihat hanya Allah.
2.       Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin
maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3.       Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah
SWT.
4.       Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua orang yang melihat akan
mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua
cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
[3]
Menurut “Zunnun Al-Misrilah” (Bapak paham Ma’rifah) bahwa pengetahuan
tentang Tuhan ada tiga macam.
1.       Pengetahuan Awam
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2.      Pengetahuan Ulama
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
3.    Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama di atas belum dapat memberikan
pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehinggga kedua pengetahuan tersebut
baru disebut “Ilmu” belum dapat dikatakan sebagai “Ma’rifah”. Akan tetapi
pengetahuan yang disebut ma’rifah adalh pengetahuan Sufi. Ia dapat
mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga ma’rifah hanya dapat
diperoleh pada kaum Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui
hati sanubarinya. Disamping itu juga mereka mereka didalam hatinya penuh
dengan cahaya.
Untuk  memperoleh “Ma’rifah” tentang Tuhan, Zunun Al-Misrilah mengatakan:

‫ّى‬ ُ ‫ت َربّى َولَ ْوالَ َربّى لَما َ َع َر ْف‬


ِ ‫ت َرب‬ ُ ‫َع َر ْف‬
Artinya:
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekitarnya tidak karena Tuhan aku
tak akan tahu Tuhan.”

Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifat itu ada tiga:


1.      Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2.      Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah hukum.
3.      Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak
membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang
diharamkan oleh Allah.[5]
C.      Jalan Ma’rifat
Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1)      Qalb ( ُ‫ ) اَ ْل َق ْلب‬fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan.
2)      Ruh (ُ‫ ) اَلرُّ ح‬fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3)      Sir ( ُّ‫ ) اَلسِّر‬fungsinya untuk melihat Tuhan.

Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan Qalb. Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di
samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya
qalb dengan aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang
hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala  yang ada dan
manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan.
Posisi Sir ( ُّ‫) اَلسِّر‬bertempat di dalam Ruh. Dan ruh ( ‫) اَلرُّ ْو ُح‬sendiri berada di
dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb
dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana
yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi).
Dan sebaliknya mereka yang melakukannya ( orang Sufi ) yang dilihat hanyalah
Allah SWT.
Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah berada pada tingkat “Ma’rifah”.
Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi adalah kontinyu (terus menerus).
Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan, semakin banyak yang diketahui
tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi semakin dengan Tuhan.
Namun untuk memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan mustahil,
sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.
Disamping itu, proses sampainya qalb pada cahaya tuhan ini erat kaitannya
dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri
sari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan
dengan Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal
ibadah. Sedangkan Tajalli adalah tersingkapnya hijab (penutup) sehingga
tampak jelas cahaya Tuhan.[6]

D.      Macam-macam Ma’rifat


Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat
dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifat
Laduniah.
1.    Ma’rifat  Ta’limiyat
Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di lontarkan oleh al-
Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha
memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-
ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain
memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari
ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan untuk
mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat
orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan,
kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan
pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun
penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan
dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna,
sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna
adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai dengan
sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama.
Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan,
nama-nama Tuhan itu menujukan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada
hubungannya dengan Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan
tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung
pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang
disifati. Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah
Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya  :  “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu
seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al-Isra’: 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses
bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya  salik (muta’alim)
memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara
khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan  proses perjalanan ruhani
(suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan
secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber
Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para
sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan
al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat
cara (suluk), ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari
maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat
terpuji/mahmudah (dengan taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan
sekedar untuk maksud mendapat ni’mat dunia dan akhirat atau untuk
memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah,  arau mendapatkan sorotan
cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui
suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk Allah semata. Dengan jalan suluk,
maka semua pelajaran-pelajaran yang dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat,
dengan karunia-Nya salik sendiri akan mengalami keyakian dekat dengan
Tuhan. Firman Allah :
ًّ‫ك ُذلال‬
َ ‫َفاْسلُكِى ُس ُب َل َر ِّب‬
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu.
Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa
yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Kearah menempuh tujuan itu, salik (muta’alim) menempuh bermacam-macam
cara yang dapat membawa meraka yang pada akhirnya sampai pada hadirat
Allah :al-Ghazali menyebutkan cara tersebut berupa Penycian jiwa (tazkiyat an-
nafs) artinya sesorang harus melakukan penyucian jiwa  terlebih dahulu.
Perolehan Ma’rifat  yang merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus
terlebih dahulu dengan metode mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki
stasiun demi stasiun menuju Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir
dapat dipastikan bahwa telah memperoleh jiwa yang bersih dari segala
kejahatan dan dosa, yang diakibatkan dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti
ini akan bercahaya dengan segala sifat yang terpuji sehingga dapat menangkap
gambar suatu informasi atau pengetahuan yang tertera di lauh al-Mahfudh,
yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya dalam kondisi Ma’rifat
Adapun fase-fase yang harus ditempuh  kerah mencapai hakikat, salik
(muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan
menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan
amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan
Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah)
dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi
hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir
dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati
dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase
ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong
diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin 
untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan
jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam
ghazali mengumpamakan seperti kaca cermin yang dapat menangkap sesuatu
apapun yang bersifat suci, sehgingga salih dapat menerima informasi hakiki
tentang Allah.
Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada
martabat  menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil
haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka
didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”
2.      Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan
keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan
menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya,
kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu
‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan
Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu
‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan
kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat  Laduniyah.
Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah
mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu
yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu
perantara  (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat
untuk memeperoleh ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat
talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan.
Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim
yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu
laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu
Yazid al Bistami bahwa “Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub)
jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena
seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah
melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia ”Seorang yang ‘alim
(ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari
Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan
pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai
‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-. Dengan demikian
Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat
disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk
mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat
yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian
kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
65 : ‫ا َت ْي َناهُ َرحْ َم ًة مِنْ عِ ْن ِد َن َاو َعلَمْ َناهُ مِنْ لَ ُد ّناَعِ ْلمًا الكهف‬
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang telah
kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifat laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda
dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut
dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan
antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya.
Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih
murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya persis
sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu
laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat
dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu
ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak
dengan susah payah. Oleh karena itu, para sufi tidak tertelan belajar melalui
pengkajian buku-buku atau penelitian secara radikal terhadap kenyataan
alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi menginginkan jalan pintas untuk
memperoleh sumber asli dari segala ilmu  yang tersurat di lauh mahfudz.
Penghayatan Kasf dan Zauq itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat
memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat
itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan
ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasuki  hadharah al-
qudsiyah (hadirat kesucian) atau hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan),
akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat lebih signifikan karena keberadaan
musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat dan dengan Ma’rifat
pula, ilmu laduni ikut menyertainya.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
َ ْ ‫ت ِبإِلَ ِه َّي ِت ِه الّ َظ َو ِهر َُو َت َح َّق َق‬
ِ ‫ت ِبأ َحدِيـــَّــ ِت ِه ْالقُلُ ْوبُ َوالس ََّرا‬
‫ِئر‬ ْ ‫ك َف َن َط َق‬
َ ‫ك مِنْ َقب ِْل اَنْ َيسْ َت ْش َه َد‬
َ ‫اَ ْش َه َد‬
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut
kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan
(mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke
Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran
dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut
persaksian kepadamu mengenai  kebesaran dan keluhuran-Nya dengan
melakukan dzikir dan Ibadah.  Ibadah yang dilakukan dengan anggota lahir
sebagai persaksian mengenai keagungan  dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang
dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya”.

E.     Manfaat Ma’rifat


Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat
fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah
mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan
belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas
pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin
mengenal Allah.
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan
akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap,
didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila
demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat
kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat,
tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia
tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita
dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya
kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak
diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat
tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar
setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya.
Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama, Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir
dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal
harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun
yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan
menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan
seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti
kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem
pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan
memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan
memiliki kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin
pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita
akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila
kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang
diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia
dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan
nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya
menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai
power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk
menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara
logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti
panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa
mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia
hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha
kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas
anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan.

F.       Tokoh Ma’rifat


Dalam litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham
ma’rifat, yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.
Al-Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat
“pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di
tengah masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat
ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat,
sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya
sendiri, karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia
berada, tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk
meyakinkan kebenaran itu kepada khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka
terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup
pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya,
dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan
cinta keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku
bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena
mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa
mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga
dan desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan
pikiran berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak
membersihkan suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus
harapanku dan segala arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya
dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah
mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah.
Kebetulan datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri
Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya
segara pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di
tanggalkannya.
Pada 499 H = 1105 M, Al-gazali pulang kembali ke Niesabur dengan hati yang
penuh bangga sebagai seorang pahlawan yang gagah yang pulang dangan
kemenangan dari suatu pertempuran terhadap kepulangannya ini, dikatakan
oleh H.K. Sherwani: “Malik Shah was Succeeded by his youngest son, mahmud,
was in turn succeeded by his eldest by brother barqijaruq, while another of
Malik Shahs son, Sanjar, gevernor of Khorrasan, made Nizamul Mulk’s son
Fakru’l Mulk his shief minister, and he, true to tradition of his illustrious
melalui jalan yang aneh-aneh. Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi
maut, ia minta teman-temannya meninggalkannya, dan ia menyilakan pada
para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-teman itu berjalan keluar, mereka
mendengar Rabiah mengucapkan syahadah, dan ada suara yang menjawab,
“Sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya, ini
akan memberikan kepuasan kepada-Nya”.
Diantara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah ada doa yang
dipanjatkannya pada waktu larut malam, diatas atap rumahnya. “Tuhanku,
bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-
raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masuk
dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”
Doa lain : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka
bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembahmu-Mu karena harap akan
surga jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi
Engkau maka janganlah Kau tutup Keindahan Abadi-Mu.
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak
diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun
246H/865M. Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan
jalan menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang
diturunkan dan takut terpalingkan dari jalan yang benar. Dalam sebuah
hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta
mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun
muncul ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang
dimilikinya. Pada saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu
berharga yang mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan,
Dzunnun berdoa dan memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya
do’anya dikabulkan melalui ribuan ikan yang membawa batu berharga di
mulutnya dan mendekati kapal kemudian menyerahkan kepada saudagar yang
menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu
tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik
manusia biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama
adalah tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan
ini mengakui adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-
Nya. Kedua tingkatan Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan
berdasarkan pertimbangan empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan
langsung dalam penyingkapan bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan
yang paling tinggi didalam kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat
dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan
dapat dilihat dengan mengetahui cirri-cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada
Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau
rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai
dari segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk
dicintainya bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun
dari pada berpisah dari sang khaliq. Dalam berbagai pandang yang
disampaikan, Dzunnun ternyata banyak membawa dampak dan inspirasi bagi
ulama’ sesudahnya.

G. KESIMPULAN
Apabila melihat dari keterangan diatas   dihubungkan dengan pengalaman
tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi
mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Dijelaskan pula, bahwa tanda orang
makrifat itu ada tiga:
1.      Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2.      Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah huku
3.      Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak
membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang
diharamkan oleh Allah.
Dan di jelaskan pula macamnya ma’rifat diantaranaya:
1.Ma’rifat Ya’limiyat yaitu dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan
dalam usaha memperoleh Ilmu.
      2. Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan
dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya.
      Bila melihat keterangan  di atas manfaaat Ma’rifat adalah dapat mengigat
Allah,bisa menbetahui keagungan Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Mustafa, Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Studi al-Qur’an.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

Tebba, Sudirman. 2006. Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual. Jakarta:


Pustaka Irvan.

Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka
Hidayah.

Renard, John. 2006. Mencari Tuhan Menyelam ke Dalam Samudra Makrifat.


Bandung: Mizan.

Hasan F Abdillah. 2004. Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara.

Pelajaran Ruhani Abah Fatwa Kehidupan


Syeikh Muhammad Zuhri
 Laman Utama Hakikat Segala Sesuatu Nasihat Abah FK 2011 Nasihat Abah FK
2012 Penting Bagi Seorang Salik Hubungi Beliau ▼
 Home Nasihat Abah FK 2011 Hakikat Segala Sesuatu Pengendalian
Nafsu Nasihat Abah FK 2012 Wejangan Guru FK 2012 Khusus Bagi Para
Murid Dzikir Jahar Penting Bagi Seorang Salik Hubungi Beliau ▼
Hakikat Segala Sesuatu
TENTANG SHOLAT
Derajad2 dan tingkatan sholat

1.Assholatu imadduddin. yaitu sholat sebagai tiang agama, tonggak dari


ageman/pakaian. ini adalah sholatnya ahli SYARIAT. sholat yang demikian
adalah untuk membedakan antara satu agama (pakaian) dengan agama yang
lain. sebatas kewajiban dan rutinitas saja, belum menyentuh kedalaman qolbu
yang lebih jauh, masih berkutat pada kulitnya saja. inilah yg mengakibatkan
banyak orang yang sholat tetapi maksiatnya jalan terus (STMJ).

2.Assholatu bitaqwallah. yaitu sholat untuk menggapai level taqwa. sholat


yang demikian telah mulai masuk dan meresap dalam hati sanubari insan. ini
adalah tingkat sholatnya ahli TAREKAT/THORIQOH. sholat yang telah
menyentuh kedalaman sanubari akan menghasilkan assholatu tanha anil
fahsyai wal munkar, yaitu sholat yang telah mampu untuk mencegah
perbuatan fasik dan munkar. dalam derajad ini sholat tak sebatas wajibnya,
akan tetapi telah dilengkapi sunnah2 nya. dimana ciri khas wilayah ini ada pada
kesukaan berdzikir dan qiyamul lail (tahajjud). "Dan pada sebagian malam hari
bersalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-
mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji" (Q.S. 17:79 ).
sholat yang diikuti latihan-latihan dasar dalam pengendalian hawa nafsu,
disertai dzikir2 nafas/ seiring keluar masuknya nafas.
HU...ALLAH...HU....ALLAH...HU...ALLAH.

3.Assholatu lii dzikri. yaitu sholat sebagai dzikir. sholat yang demikian adalah
sholatnya ahli HAKIKAT. sholat yang telah menggapai kesadaran JATI DIRI,
meresap dalam nurani insan, dzikirnya adalah sholatnya,sholatnya adalah
dzikirnya. dimana realitas-realitas bawah sadar, telah bangkit dan sadar,
mengenal cerminan-cerminan diri pribadi. sholatnya bersifat sirri atau
sholatnya sirr. dengan rahasia latifah Ketuhanan, tersingkap dan tersibak
maknawi-maknawi kehidupan. wajah hati yang bersih suci yang senantiasa
menghadap wajah sang Khalik, karenanya sholatnya juga sbg Assholatu mi'rajul
mukminin. sholat sebagai mi'raj naik kealam tinggi, dimana hati tak lenggah
dari memandang wajah Allah Azza wa Jalla. Subhanallah.

4.Assholatu daiman abada.yaitu sholat yang langgeng tiada habis-habisnya,


tiada henti-hentinya, tak putus karena tidur/mati. sholat yang demikian adalah
sholatnya ahli MAKRIFAT. yaitu orang-orang suci yang telah mengenali realitas
Ketuhanan, sebagaimana mestinya Tuhan itu dikenal. sholat yang demikian
telah mencapai dhohir batinnya sholat itu sendiri. dimana jami'il badan/
keseluruhan anggota2 badan telah lebur satu di dalam sholat, berdzikir dengan
sendirinya setiap sel-sel tubuh tanpa kecuali. Subhanallah. seluruh jiwa raga
telah meresap ke dalam sholat. sholatnya bersifat batiniah /tak tampak,
dengan putaran latifah2 batin.berpindah dan berputar dengan sendirinya
seperti thawaf.dari latiful qolbi (lembutnya qolbu), menuju latifah ruhani
(lembutnya ruhani),menuju latifah sirr(lembutnya rahasia), menuju latifah
khofi (lembutnya lembut), menuju latifah akhfa (lembutnya akhfa), menuju
latifah akal, menuju latifah jami'il badan, dan kembali lagi, berputar seperti
thawaf, berputar dengan sendirinya. ia memandang dunia dengan hampa,
kosong, tidak ada apa-apa, dhohir batin hanya mengenal Allah,lenyap selain
Allah, yang Maha Hidup, Langgeng tiada awal tiada akhir, tanpa sebab akibat,
tanpa asal-usul dan tak mengenal konsekuensi.

~oleh :FK Al-majenun

7 Bumi, dimana dan bagaimana Keadaannya???


"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula Bumi. Perintah
Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu." QS. At Thalaq (65): 12
Bumi adalah tempat berdiam/berpijak atau habitat hidup, sdg langit adalah
ruang di atasnya, dimanapun tempat berdiam manusia di atasnya itulah yg di
sebut langit.
Lalu dimanakah 7 bumi berada??
7 Bumi adalah 7 tempat berdiam manusia dalam prosesnya menuju kehidupan
akherat yg kekal. Bumi-bumi itu adalah:
1. ketika manusia masih berupa sperma, buminya adalah buah zakar.
2. ketika manusia berupa janin, buminya adalah rahim ibunya.
3. ketika manusia keluar dari dalam perut ibunya, inilah buminya. skrng
ini,inilah bumi yang ke tiga. langitnya berwarna kebiruan.
4. ketika manusia mati, ia dikubur.alam kubur menjadi buminya. tempatnya di
barzah. barzah adalah alam antara utk menuju kehidupan akherat yg kekal.
barzah berada dibumi ini juga, namun berbeda dimensi. barzah adalah alam
gelap gulita, shg penghuni2nya gentayangan seperti anai-anai (laron) yg sibuk
mencari cahaya. hanya ruh-ruh orang2 yg berimanlah yg terang benderang tak
sesat jalan. pada pagi dan petang, bagi ruh-ruh penghuni barzah ditampakkan
dlm pandangan matanya surga dan neraka, sesuai tempat yg akan dituju
masing-masing. keadaan barzah spt org2 yg bermimpi, ada yg mimpi indah ada
pula yg buruk. ruh-ruh dlm barzah akan mawujud dalam bentuk energi positif
(+) dan energi (-) yg melayang-layang bebas diudara alam ini. ruh-ruh itu akan
masuk kedalam hati manusia-manusia yg masih hidup, lalu mempengaruhi
manusia yg masih hidup. adapun ruh-ruh yg negatif akan menimbulkan
pengaruh buruk dan menyesatkan manusia. inilah yg menjadi setan-setan yg
berasal dari bangsa manusia. sdg ruh-ruh yg positif akan dimanfaatkan utk
mempengaruhi manusia kedalam jalan yg benar. inilah yg menjadi malaikat-
malaikat yg asalnya bangsa manusia. langitnya berwarna gelap gulita.
5. ketika manusia dibangkitkan kembali, setelah pemusnahan alam semesta
(kiamat) terjadi, makhsyarlah buminya. makhsyar adalah bumi yg lain, bumi yg
baru yg dibentuk kembali dari penyatuan unsur2 alam semesta. makhsyar akan
menjadi bumi yg sgt luas. keadaan manusia ketika bangkit dari alam barzah
menuju makhsyar spt org yg bangun tidur dari mimpi. adapun pendosa akan
gelisah sebab ketika dialam barzah telah dinampakkan neraka kpd
mereka.mereka bangkit spt org yg sedang mimpi buruk. keadaan manusia di
makhsyar berbeda dgn manusia didunia, adapun didunia wujud luar (dhohir)
menutupi wujud dalam (batin). sdg di makhsyar wujud batin akan di dhohirkan,
karenanya kebanyakan manusia akan bangkit dalam rupa-rupa binatang, sesuai
dengan amal perbuatannya masing-masing. langitnya berwarna kuning
kemerah-merahan (jingga).
6. ketika manusia harus mempertanggung jawabkan segala dosa-
dosanya,manusia dilempar dalam neraka,untuk menerima pembalasan akibat
sgala dosa-dosanya. neraka inilah bumi ke 6. ada yg terjebak dalam bumi ke 6
ini slama-lamanya,ada pula yg  diangkat menuju bumi kesempurnaan
berikutnya. neraka adalah tempat yang membuat setiap penghuninya frustasi
dan gemar melakukan percobaan bunuh diri.tapi tak ada satupun yang berhasil
mati, sbb tubuhnya dihimpun kembali lalu dihidupkan lagi. langitnya berwarna
merah kehitam-hitaman.
7. bumi terakhir yaitu surga. inilah bumi ke 7, tmpat kesempurnaan. peradaban
manusia tdklah berhenti disini, ilmu akan dikaji,terus dan terus, sampai
ketertakhinggaan. kekal tanpa batas waktu. kekal didalam kedinamisan, dalam
gerak dan perubahan. Surga terus ditata, terus dibangun lebih baik dari waktu
ke waktu. surga bukanlah sekedar tempat makan, minum enak dan
kenikmatan-kenikmatan sexual. jauh dari itu. surga adalah tempat kedamaian
dan pencerahan tiada henti. di situlah Tuhan dimengerti melalui ilmu yg
senantiasa berkembang. langitnya berwarna putih cerah.
sholatul wustho
Hidup hendaknya tengah-tengah, menurut batas2 kewajaran, tdk berlebih-
lebihan dalam hal apapun, menetapi jalan wustho (tengah2), "jagalah
sholatmu, sholatul wustho". mski sesuatu itu tampak baik, jikalau berlebihan
pastilah akan jd tdk baik. bahkan,mencintai Tuhan pun jika berlebih-lebihan
akan jd tdk baik, sbb hal trsebut akan memicu seseorang mninggalkan
keduniawian scr totalitas,spt tdk mau bekerja. pdhl manusia jg mmrlukan
sarana2 duniawi dan hdup brmasyarakat. bknlah pada tmptnya manusia
menginginkan kesucian,spt malaikat, sbb manusia berasal dr 'nafsu birahi'.
manusia diciptakan bukanlah utk jadi suci spt malaikat, bkn pula kotor spt
setan. tp utk mnjd manusia ssungguhnya, yg kamil, yaitu sempurna dlm budi
luhurnya,dlm kemanusiaannya. ktka kesucian yg dicari,seseorang tdklh
mmrlukan org lain utk mnggapainya, tp ktk kesempurnaan budi luhur yg dicari,
seseorng akan slalu mmrlukan org lain, mgp? sbb saat seseorang ingin
menolong org misalnya, ia akan slalu membutuhkan org lain yg perlu
pertolongan sbg sasaran atau objek dari budi luhurnya. itulah bedanya mencari
'kesucian' dgn mencari 'ke-kamilan'.
Seseorang spt syeh Abdul Qodir Jaelani tlh berpuluh2 thn mncari 'kesucian' dgn
menyepi,menyendiri. pd akhirnya kembali ke masyarakat guna meraih
'kekamilan', sbb sesuci apapun engkau di sbt, bilmn tdk ada darma baktinya,
tdk ada manfaatnya bagi org lain, kesucian trsbt hanylah sia-sia. hny ibarat
pohon besar dan subur tp mandul tanpa buah.

ALLAH
Allah adalah Robb dilangit dan dibumi dan apa2 yang ada diantara keduanya.
Allah bukanlah alam yang diawali suatu proses pembentukan, Allah itu azali, Al
Awwal, DIA yang awal tanpa diawali suatu proses kejadian dan pembentukan
diri. Adanya adalah ada dengan sendirinya, bukan diada-adakan, ada dalam
ketiadaan. Sebelum ada segala sesuatu yang ada hanyalah DIA (HUWA), yang
Maha tak terkata-katakan, tak terbayang-bayangkan, tak terdefinisi, tak
bernama, asing dan tak mungkin dikenali. Maka adanya segenap eksistensi
adalah suatu pendekatan dan cara agar DIA yang tak terjelaskan menjadi bisa
dijelaskan dan di mengerti, sebab DIA ingin dikenali. Allah itu nyata (Ad dhohir)
sekaligus tidak nyata (Al batin), Allah itu transenden (jauh diatas langit diatas
Arsy) sekaligus imanen/dekat (lebih dekat dari urat leher), Allah itu Awwal
sekaligus Akhir.... Allah jauh tak terukur jauhnya, Allah pun dekat teramat
sangat dekat, jauh tak terukur, dekat tak bercampur. tentang Allah adalah tak
akan henti2 nya dan tak akan habis2nya, jika ditulis tak akan cukup 7 samudra
sbg tintanya. Allah adalah segala sesuatu, tetapi segala sesuatu bukanlah
Allah....===> selanjutnya engkau dituntut untuk merasakan sendiri garam,
bukan mendengarkan cerita tentang rasa asin. engkau haruslah mencari
sendiri. WAHAI PENCARI!!... MARILAH MENCARI, PENCARIAN ADALAH
GERBANG DARI SEMUA PENGETAHUAN...

ASAL USUL MATERI


Partikel terkecil dari suatu materi adalah atom, atom disusun dari neutron,
proton dan elektron. neutron,proton dan elektron mungkin juga disusun dr
partikel yg lbh kecil, hanya saja ilmu pengetahuan tidak mampu
menjangkaunya. neutron, proton dan elektron sebenarnya adalah bentukan
dari energi. sederhananya materi itu berasal dari energi. energi membentuk
materi dan cahaya (gelombang elektromagnetis), energi inilah yang kita sebut
sebagai nur, mski scr terminologi nur berarti cahaya, namun maksd dan
tujuannya mengacu kepada energi. energi (nur) ini pun berasal dari energi yg
lbh tinggi, energi yg lbh tinggi itu berasal dari energi yg lbh tinggi lagi, nur di
atas nur, berlapis-lapis, sampai kepuncaknya adalah nur Allah sendiri, lalu Nur
Allah itu darimana?... tentu dari Dzat Allah sendiri.

Dengan demikian teranglah kesimpulan2 sbb :


1. Allah adalah asal usul dari segala sesuatu.
2. Alam semesta bukanlah sesuatu yg benar2 bersifat baru, melainkan adalah
sesuatu yg azali tetapi berubah2 keadaannya saja.
3. Perubahan2 keadaan semesta, adalah mengikuti Qodrat/kehendak sang
Pencipta.
4. Alam semesta berasal dari Dzat Allah sendiri, sebab dalam awal penciptaan,
tiada dzat selain DzatNYA.
5. Pada awal kesimpulan, orang akan mengatakan "Tidak ada Tuhan selain
Allah", maka pada akhir kesimpulan orang akan mengatakan "Tidak ada yang
mawujud selain Allah".

TENTANG MOKSA

Moksa adalah peristiwa lenyapnya/gaibnya jasad ragawi. Moksa dalam islam


memang kurang dikenal sbb bukan berasal dari bahasa arab. Tetapi peristiwa
moksa sbnarnya jelas adanya dlm Qur'an, hanya saja dgn istilah yg beda. salah
satu contoh paparan ttng moksa dlm Qur'an yaitu sbgmn yg trjadi kpd Isa al
masih bin maryam as yg lenyap jasad ragawinya diangkat kelangit. Moksa
hanya bisa trjadi pd org2 yang jasad ragawinya telah suci. Moksa bs trjadi dgn
brbagai cara, yg prtama sebelum kematian, dimana seseorang lenyap jasad
ragawinya sblm ia mengalami kematian. yg kedua moksa setelah kematian,
dmn seseorang mati dan dikubur sbgmn umumnya, kemudian jasad ragawinya
lenyap, bilamana kuburannya digali maka mayatnya sudah tdk ada lagi tanpa
bekas.
Bilamana jasad ragawinya belum mencapai kesucian tetapi telah mendekati
kesucian, maka jasad ragawinya tdk mengalami moksa tetapi utuh dan tak
tersentuh kehancuran, sbgmn yg sering terjadi dan terbukti secara empiris,
saat org yg telah meninggal berpuluh2 tahun, jasadnya masih utuh dan tdk
mengalami kehancuran.
JAGAD WALIKAN

Akherat iku akhiring rat. akherat adalah akhir dari kehidupan dunia kita, atau
matinya diri kita. Kita menuju kehidupan hakiki yang langgeng. dalam realitas
dunia ini, maka kita melihat bahwasannya dhohir/lahiriah menguasai dan
menutupi batiniah kita. dalam kehidupan akherat kelak akan berlaku hukum
jagad walikan atau jagad kebalikan, maksudnya batiniah akan menguasai dan
menutupi wujud ragawi kita. Seseorang di dunia ini bisa jadi wujud ragawinya
cantik atau tampan tetapi wujud batiniahnya buas spt serigala. wujud batiniah
itu tersembunyi yg nampak adalah wujud lahiriahnya yg cantik/tampan. tetapi
di jagad walikan/jagad kebalikan, akan berlaku sebaliknya dimana wujud
ragawi tdk tampak yang tampak adalah wujud batiniahnya yg berwujud srigala.
Kehidupan dunia ini segera berlalu dan kita akan sambut jagad walikan, maka
silahkan dibuktikan kelak bahwasanya akherat mirip kebun binatang....
wellcome to the jungle..
REINKARNASI

Reinkarnasi dalam islam berbeda konsep dengan reinkarnasi dalam


hindu/budha. Dalam islam urut-urutannya, adalah mati, hidup, mati lagi, hidup
lagi. semua diawali dari mati/tidak ada, lalu kita hidup/ada di dunia ini
sekarang ini, kelak kita mati, lalu dibangkitkan dan hidup lagi dalam alam
akherat. Kita tidaklah dibangkitkan lagi didunia ini untuk hidup kembali. Lalu
bagaimana dengan konsep "nitis"/titisan??.... diantara ruh2 orang terdahulu,
ruhnya ada yang difungsikan kembali sebagai guru ruhani kpd org2 yg
terkemudian, ini istilahnya guru ruhani atau guru sejati, kadang2
menampakkan diri pada seseorang, bisa melalui mimpi atau pada org2
tertentu bisa secara langsung/tatap muka. Guru sejati inilah yang tampak
seolah2 nitis kepada org tersebut, atau dengan kata lain org yang diikuti oleh
guru sejatinya, kemudian tampak seolah-olah sebagai titisan dari seseorang
dimasa lampau (guru sejatinya itu). memang umumnya antara org itu dengan
guru sejatinya memiliki kecendrungan kesamaan sifat, pola pikir dan cara
hidup.
Siapa tahu anda diberi kesempatan dengan di datangi guru sejatimu lewat
mimpi?... mungkin saja dia datang dalam rupa orang alim dan memberi sedikit
wejangan kepada anda.....

jangan lupa minta duit sing akeh... heheheh

Diantara cara2 turunnya wahyu:

1. Jibril menjelma dalam rupa manusia lalu menyampaikan wahyu


2. Dalam pandangan batin, tidak tampak bagi mata biasa. jibril turun dari ufuk
tinggi dalam wujud asli lalu menyampaikan wahyu
3. Dicampakkan dalam qolbu, lalu diterjemahkan oleh jibril kedalam bahasa yg
dimengerti oleh akal manusia, shngga akal mengerti dan paham dgn
sendirinya, tanpa terlihat adanya jibril. umumnya didahului oleh suatu gejala,
seperti suara mendesing yg memekakkan telinga didalam kepala, begitu berat
seolah kepala serasa mau pecah.
4. melalui mimpi.
MALAIKAT
Malaikat secara terminologi berasal dari "malak" maknanya
kekuasaan/kekuatan. Ada 3 hal mendasar yang berkaitan dengan malaikat,
yaitu: malik,malak dan muluk. malik adalah sang raja, malak adalah
kekuasaan/kekuatan daripada sang raja, sedang muluk adalah kerajaan
daripada sang raja.

Bilamana sang raja berkehendak/berqodrat akan sesuatu hal, maka


kehendaknya ini akan melahirkan suatu kekuatan yang disebut malak. Dengan
demikian malak adalah sbg iradat bagi qodrat. Karena kehendakNYA itu
beragam, makanya malak pun beragam menurut fungsinya masing-masing.
contoh: ketika kehendakNYA akan maut bagi seseorang, malaknya di sebut
malakul maut. malak inilah apa yang kita sebut sebagai malaikat, dimana
Tuhan memperbuat sesuatu melalui malakNYA.
Apakah malaikat selalu berwujud makhluk individu??... jawabannya tidak.
malaikat tidak serta merta mesti berwujud makhluk individu, bisa berwujud
makhluk bisa pula tidak, malak bisa berupa nur/cahaya maknawiah atau bisa
pula berupa sifat yang tak kentara, yg lembut masuk ke dalam qolbu lalu
menginduksi qolbu menimbulkan sifat2 kebaikan. Alam bagi malak disebut
alam malakut yang setara dan berada pada satu level global dengan alam
arwah.
Wujud2 malak di alam malakut yg sejatinya adalah wujud manifestasi
maknawiah, mrk bisa berwujud makhluk putih bersayap, makhluk spt terbuat
dr air antara tampak dan tidak tampak, makhluk putih bercahaya tanpa terlihat
tangan dan kaki dengan mata yg bulat bersinar spt seorang wanita bermukena,
bisa pula mawujud dalam rupa diri kita pribadi. kesemuanya itu adalah wujud
maknawiah dan pembelajaran saja. yang sejatinya malaikat adalah wujud
manifestasi dari kehendak Ilahi di alam malakut
Berdiri itu maknanya engkau harus tegak, kokoh, kuat seperti alif, tidak boleh
tengak-tengok, harus datar, jujur apa adanya, harus adil, adil dari bawah
sampai atas, tidak boleh miring sebelah.
Rukuk itu merendah hati, tak boleh mendongak keatas, bersahaja dan
membungkuk spt orang yang telah tua.
Sujud itu membumi, pasrah tak brontak, tak melawan, menyerah secara
totalitas, seperti tanah yang selalu setia memberi kehidupan meski diinjak2,
diludahi da dikencingi.
Duduk itu adalah kesabaran, menanti dan menunggu dalam masa penantian
ini, tetap setia dan duduk ditempatmu sampai harimu tiba.
Salam, tengok kanan tengok kiri, itu artinya engkau harus peka terhadap
lingkunganmu, sebab hidup tiada diciptakan sendiri, banyak yag mungkin perlu
bantuanmu dan diantara dirimu adalah diberi kekuatan untuk berbuat sesuatu
dan mengulurkan tanganmu terhadap mereka2 yg membutuhkanmu.....
aqimissholah itu dirikanlah sholat, bukan sekedar laksanakanlah sholat,
bagaimana sholatmu jika engkau tak mengerti tentang sholat? Apakah sekedar
jidat hitam kapalan andalanmu??.... engkau sangat bodoh dan tercela jika tak
mengerti tujuan dari ibadahmu.... ayo bangunlah dari mimpi2 indahmu.... dan
kenali setiap gerak-gerik langkahmu.... kenali setiap hembusan nafasmu....
hayati hidup ini..... dan biarkanlah dirimu menjadi INDAH....
13 June 2012 at 11:06 · Public

TENTANG SYAHADAT
Syahadat adalah persaksian. Apakah yang disaksikan?
pada alam alastu, semua manusia sejatinya telah bersaksi:" Alastu
birobbikum?" (bukankan AKU Tuhanmu?) "Balaa syahidna" (benar saya
bersaksi). Lalu kesaksian itu menjadi sebuah janji, dan janji menjadi sebuah
hutang bagi diri kita semua. Karenanya kita lahir dalam keadaan berhutang,
yang suatu ketika kelak, hutang itu akan ditagihNYA.
Kesaksian diri pribadi adalah berderajad dan bertingkat-tingkat. Kesaksian
selalu beserta 'ilmu', baik itu ilmu lahiriah maupun ilmu batiniah. segala
sesuatu yg kita saksikan dalam pandangan lahir maupun batin beserta ilmu,
inilah wujud dari kesaksian kita kepada Allah.
Diantara saksi itu ada yg mengenalNYA dlm keilmuan lahiriah, ada pula dalam
keilmuan batiniah, semakin lengkapnya persaksian seseorang maka akan
semakin sempurna kesaksiannya. Kesaksian tertinggi akan Ketuhanan adalah
penyaksian dgn mata batiniah yang paling jernih.

22 June 2012 at 15:48 · Public

Hakekat adalah realitas-realitas batiniah disebalik realitas lahiriah. Lahiriahnya


engkau merasakan hebusan dan tiupan angin, hakekatnya ada malak
(malaikat) yang mendorong kekuatan-kekuatan alam, sebagai penggerak angin
tersebut.
hakekatnya hakekat ada Allah yang menetapkan semuanya, mengatur secara
lembut semua, tiada yang kebetulan sama sekali.

17 July 2012 at 15:47 · Public

tentang berbuka, apa yang sebenarnya dibuka??.... Kita ketahui bahwa buka
itu artinya membuka apa yg tadinya tertutup, sudah bisa untuk memasukkan
makanan dsb sbg tanda selesainya puasa. Saat berbuka itulah kemudian nafsu
mulai masuk menyerbu, hawa mulai kembali bergejolak seiring asupan
makanan. Menjadi teranglah bahwa hawa nafsu memanglah berhubungan
sangat erat dengan makanan. berasal dari makanan itulah terolah menjadi
hawa nafsu. ini bisa diterangkan scr sdrhana, org2 yg hidup ditepi
pantai/pesisir memiliki kecendrungan tempramen yg lbh keras dari org yang
tinggal digunung, diantaranya krn faktor makanan dan suhu udara. Orang yang
banyak mengkonsumsi daging/makhluk hidup akan cendrung memiliki hawa
nafsu yang lebih tinggi ketimbang yang kurang. Faktor makanan adalah
trmasuk faktor utama keberhasilan perjalanan salik, sbb makanan akan
menjadi sel2 tubuh.
*Selamat berbuka..........

Pelajaran Ruhani Abah Fatwa Kehidupan


Syeikh Muhammad Zuhri
 Laman Utama Hakikat Segala Sesuatu Nasihat Abah FK 2011 Nasihat Abah FK
2012 Penting Bagi Seorang Salik Hubungi Beliau ▼
 Home Nasihat Abah FK 2011 Hakikat Segala Sesuatu Pengendalian
Nafsu Nasihat Abah FK 2012 Wejangan Guru FK 2012 Khusus Bagi Para
Murid Dzikir Jahar Penting Bagi Seorang Salik Hubungi Beliau ▼
Penting Bagi Seorang Salik
Iblis akan masuk kedalam org2 disekitarmu untuk mempengaruhimu dgn kata2
yg nampaknya baik, spt ini: "buat apa cari Allah, beribadah saja yg tekun
seperti tuntunan rasulullah, pasti akan selamat". kata2 spt itu adalah kata2 yg
di dorong oleh iblis, sbb dia tahu, selagi manusia tdk kenal TUHANNYA, maka
ibadahnya manusia sebanyak apapun akan spt debu yg berhamburan dan
mudah dipengaruhi iblis, krnnya iblis akan berusaha keras agar manusia jangan
sampai kenal TUHANNYA, kalau sampai kenal, iblis akan gagal dalam misinya.

Bagi pejalan (salik) yang hendak berjalan. Ketahuilah, iblis itu adanya disebalik
akalmu sendiri, kerajaannya adalah angan2. semakin berangan, kerajaan iblis
semakin besar dlm dirimu. Meskipun seseorang bisa terbang ke alam tinggi, ia
tetap akan disertai iblis. Iblis itu tahu banyak rahasia langit, bahkan rahasia yg
tdk diketahui para malaikat, dia bisa tahu. Maka tidak ada cara lain untuk bisa
mengalahkannya, kecuali dengan kepasrahan totalitas dan mengosongkan
pikiran, sbb iblis tahu semua isi akal pikiranmu sejak kamu lahir. Dalam setiap
keadaan harus bisa kosong dan hampa, ora ono opo-opo. tinggalkanlah
rancang2 akalmu, mulailah berlatih hidup dlm spontanitas dan lebur dalam
refleks alami dan gerak dalam ruhani yg lembut. belajarlah untuk memahami
gerak dalam ini.

Tentang tahapan dzikir yang kami sampaikan, banyak yang bertanya tentang
MURSYID/GURU, bahwa itu harus digurukan dsb, maka akan saya jawab dan
terangkan, bahwasannya engkau haruslah yakin bahwa kita itu hidup dibawah
pengaturan langsung dari Qodrat dan Irodat Allah ta'ala, apa yang engkau
terima dariku adalah sebuah pintu masuk bagimu, menuju jalan yang lebih
baik. kelak saat waktunya tiba bagimu untuk menerima penambahan keilmuan
dari Allah Ta'ala, engkau dengan sendirinya akan dipertemukan dgn GURU
untukmu sampai sekian waktu tertentu. lalu akan dipertemukan dgn GURU2
lainnya, semuanya itu adalah proses alam yg akan terjadi dgn sendirinya. Tidak
perlu engkau rancang2 dengan akalmu sendiri untuk mencari guru kesana
kemari, cukup engkau yakin kepada Allah saja, maka proses bertemu guru
demi guru akan terjadi dgn sendirinya dalam hidupmu kelak

Allah... Dialah yang awal, Dialah yang akhir, Dialah yang Dzahir Dialah yang
batin. Awal-akhir, dzahir-batin adalah Allah tanpa terkecuali, semuanya adalah
ALLAH tanpa terkecuali, tiada hijab sama sekali. Sejatinya yang engkau
perlukan bukanlah "mencari" ALLAHMU, melainkan "menerima" ALLAHMU.
Engkau bisa melakukan semua itu bilamana engkau telah menyerahkan dirimu
secara totalitas kepadaNYA, bukan dengan merasa sebagai Allah. Bilamana
engkau mengawali perjalanan ini dengan merasa sbg Allah, engkau sedang
salah jalur, tetapi bilamana engkau mengawali perjalanan ini dengan
MENIADAKAN/MENGOSONGKAN dirimu, jalanmu benar. Perjalanan ini bisa
engkau lakukan dengan selalu melatih dirimu dalam zuhud dan kosong, hampa,
memandang dunia ini dengan hampa, ora ono opo-opo. melenyapkan merasa
ini itu, perasaan ini itu, ingin ini itu, pikiran ini itu. Untuk menuju pengosongan
diri itu adalah perkara yang super sulit, karenanya diperlukan metode dan
latihan2 khusus selalu tekun mengolah rasa mencapai manjinge roso ing Gusti
(hidupnya rasa Ketuhanan di dalam hati/hadirnya ALLAH didalam hati).
Lalu apakah yang akan engkau peroleh dari semua ini??.....
Puncak pencapaian adalah adanya KEBAHAGIAAN ABADI, yang tiada putus-
putusnya, baqa' billah, kekal didalam ALLAH. Kebahagiaan sejati yang tiada
dapat diukur-ukur, tiada dapat dikata-kata lagi. Adapun anak, istri, harta, dan
semua kesenangan dunia ini adalah kebahagiaan yg segera lenyap dan
terputus, dan menyisakan rasa sedih di dalam ruhanimu ketika engkau
meninggalkannya kelak.
29 May 2012 at 22:00 · Public

TITIK-TITIK KANDAS DARI PERJALANAN


engkau akan segera kandas dan perjalananmu tidak bisa lebih jauh lagi apabila:
1. engkau meninggalkan zuhud dan kosong.
2. engkau sibuk mengejar urusan gaib, memburu-buru barang-barang gaib,
makhluk halus dsb
3. engkau sibuk bermain-main dengan karomah dan menebar karomah dan
sana-sini, ilmu disana-sini.
4. engkau sibuk bermain-main dengan mata batiniah, teropong sana-sini.
Meskipun kesemuanya itu juga anugrah, tetapi bilamana engkau disibukkan
olehnya, engkau akan kandas. Ibaratnya sebuah perjalanan menuju suatu
tempat, lalu ditengah perjalanan engkau melewati kompleks pelacuran,
engkau mampir dan terlena mngencani para pelacur, engkau akan segera
tertinggal kereta. Tidak bisa lebih jauh lagi

Bagi murid2 cinta yang hendak beranjak dewasa, pesan tambahan bagimu:
Bilamana dalam perjalanan ini yang engkau kejar adalah wujud rupa, maka
engkau akan senantiasa dalam keadaan tertipu. Bila pikirmu ALLAH adalah
seperti cahaya terang benderang yang luar biasa, maka DIApun akan
mawujudkan cahaya terang benderang. Adalah DIA sejatinya hanyalah
mengikuti prasangkamu saja tentangNYA. Oleh sebab itu engkau tetap saja
dalam keadaan tertipu. Cukup engkau duduk manis saja, dan kosongkan
dirimu, menikmati hari2mu dalam penjara tubuh ini. Bila engkau cukup setia,
maka hari demi hari, semuanya akan menjadi terang bagimu dan kebebasan
yang membahagiakan akan menghampirimu.

31 May 2012 at 02:58 · Public

Berlatihlah mengolah rasamu, mengosongkan dirimu, menghidupkan


kewaspadaanmu. Dalam suatu perkataan, yang engkau pandang bukan lagi
siapa yang mengatakan, apakah ulama ataukah tukang becak, tak ada pilah
pilih. Apa yang dikatakannya, apakah tampaknya baik ataukah tampaknya
buruk juga tak ada pilah-pilih. Hidupkanlah rasamu yang terdalam, tangkaplah
rasa yang terpancar, apakah polos penuh keluguan kata-kata itu ataukah
kepalsuan. Inilah seni jiwa yg terdalam namanya. Maka ketauhilah di dalam
kedalaman samudra ruhani itu hanya ada dua alternatif, polos ataukah palsu,
black or white, hitam atau putih, terbuka ataukah tertutup, iman ataukah kafir.
Yang palsu2 segera singkirkan atau hindari saja, tidak perduli siapa saja. Kudu
ati-ati lan waspodo, ngertiyo sak kedeping netro (harus hati-hati dan waspada,
jadilah tahu dalam sekejab mata).

1 June 2012 at 22:10 · Public

POLOS... LUGU... TELANJANG.... BUGIL.... BLOKO SUTO... ALAMI.... ASLI...


ORIGINAL... SEJATI.... KOSONG.... ORA ONO OPO-OPO

1 June 2012 at 22:24 · Public

TEN COMMANDS.... sepuluh perintah 


Wahai saudara2ku jama'ah yang saya cintai, peganglah teguh ajaran-ajaran
kehidupan dariku:

1. Ketahuilah sejatine ORA ONO OPO-OPO, peganglah teguh prinsip ini


dimanapun dan kapanpun engkau berada dan sampai kapanpun engkau ada.
2. Bilamana engkau berurusan dengan orang yang bikin sulit atau bikin ribet,
katakanlah "ORA URUS!!"
3. Bilamana saudara2 bertemu orang2 yang berbicara muluk-muluk dan mulut
manis berbisa, katakanlah "ORA PERCOYO!!"
4. Bilamana saudara2 bertemu dengan orang2 yang sotoy, katakanlah "ORA
TAKON!!"
5. Bilamana saudara2 bertemu wanita cantik dan seksi, katakanlah "ORA
KUDU!!"
6. Bilamana saudara ditimpa bencana dan musibah, katakanlah "ORA OPO-
OPO!!"
7. Bilamana ada yang mengajakmu berbuat maksiyat, katakanlah "ORA SUDI!!"
8. Bilamana ada yang bernasib baik dan hidup enak lebih darimu, katakanlah
"ORA MELEK" (ora iri)
9. Bilamana ada yang memberimu amplop berisi duit, katakanlah "ORA
NOLAK!!" (asal halal)
10. Bilamana ada yang nanya melulu, katakanlah "ORA RETI!!"
11 June 2012 at 02:42 · Public

BAGI PARA SALIK


Hendaknya mengetahui perihal keadaan yang ada pada kenyataan diri pribadi
sendiri, ada dua keadaan yang mungkin dalam perjalanan salik:
1. asbab
2. tajrid
asbab adalah keadaan dimana engkau memiliki tanggungan, misal punya
keluarga dsb. dalam keadaan ini mensyaratkan seseorang utk beraktifitas dan
berinteraksi dgn org lain, mencari rizki dan jalan penghidupan bagi
keluarganya/org yg berada dlm tanggungannya. Shg perjalanan bagi salik yg
menempati keadaan spt ini adalah tidak bisa mengkonsentrasikan diri secara
penuh/totalitas dlm hal Ketuhanan. Ia mesti bercampur baur dgn urusan
duniawi. meski demikian para salik spt ini tak perlu berkecil hati sbb
perjuangan maupun jerih payah keringatnya dlm menghidupi keluarga jg
bernilai ibadah.
tajrid adalah keadaan dimana engkau tidak memiliki tanggungan atau
kebutuhan hidupmu ada orang2 yang menanggungnya. Keadaan ini
memungkinkan seseorang untuk berkonsentrasi penuh dlm urusan Ketuhanan
dan meninggalkan keduniawiann secara totalitas.
Tajrid dan asbab adalah 2 keadaan yang berbeda, dan mesti bekerja sama
saling dukung mendukung agar pencapaian bisa diraih dengan indah. Asbab
mendukung urusan duniawi tajrid, dan tajrid mendukung urusan akherat
asbab. Seorang yg menempati keadaan asbab mesti mengerti keadaannya,
seseorang yg menempati keadaan tajrid jg mesti mengerti keadaannya.

12 June 2012 at 06:55 · Public

TENTANG SUWUNG/KOSONG
Ketiadaan mutlak itu sejatinya juga tiada, sederhananya begini, jikalau pada
diri ALLAH itu ada URIP(HIDUP) itu artinya sudah ADA, bukan lagi mutlak
TIADA. Lalu yang bagaimanakah tentang suwung/kosong itu??
Suwung itu bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis, kuibaratkan seperti
mengupas TENGAH, apakah tengah itu?... tengah adalah noktah (titik). ketika
engkau memperbesar titik, maka ditengah titik itu masih ada titik lagi, ketika
diperbesar lagi ditengahnya ada titik lagi, ketika diperbesar lagi ditengahnya
ada titik lagi, trus menerus seperti itu, sampai sebanyak-banyaknya lapisan
titik. Tiap kupasan dari titik itu, itulah yang tampil sebagai
suwung(kosong). Oleh sebab itu, suwung selalu bertingkat-tingkat, sampai tak
bisa lagi disimpulkan sebanyak apa lapisannya. Ibarat kata seperti pertanyaan
sederhana tentang angka, berapa angka terkecil? dgn mudah engkau
menjawab 0 (nol), tapi berapa angka terbesar, tidak ada yang pernah tahu.
Akal semesta/universal yang pertama kali diciptakan itu tidaklah bersifat statis
(segitu saja), melainkan bersifat dinamis, trus menerus memancar kesegala
arah, makin meluas dari waktu ke waktu, sampai tak terhingganya waktu.
Ruang dan waktu pun makin melebar terus menerus....
Dengan demikian ketiadaan mutlak, juga mutlak tidak ada. yang ada adalah
bergerak mendekati ketiadaan mutlak. Selalu ada rahasia dibalik rahasia.....
13 June 2012 at 17:50 · Public
.
Hawa nafsu itulah musuh abadi yang mesti mampu dikalahkan dengan latihan-
latihan. Diantaranya dengan memperbanyak PUASA dan tirakat. Puasa yang
dimaksud bukan sekedar menahan lapar dan syahwat, tetapi menahan semua
nafsu2 yang ada. Sebab puasa yang sesungguhnya adalah PUSATNYA
RASA. Ayo puasa tiap hari, kalau gak kuat buka aja tengah hari. Puasa buat
tambahan bagi metode dzikir yg telah ada. akan mempercepat perjalanan

14 June 2012 at 21:08 · Public

BIAR PADA TIDAK BINGUNG TENTANG MATI DAN HIDUP, BAGI PARA SALIK,
INILAH URUT-URUTAN PROSES PERJALANANNYA:
1. Laa ya muutu wa laa yahya.... mati tidak hidup tidak.... hidup bernyawa
tetapi hatinya mati... (ini adalah sebelum proses perjalanan)
2. Mati didalam hidup (mematikan hawa nafsu, menutup howo songo, tetapi
masih berdasarkan dorongan kehendak diri pribadi)
3. Hidup di dalam mati (menghidupkan/membangkitkan kesadaran
batiniah/ruhaniah, mulai masuk kedunia realitas batiniah)
4. Mati di dalam mati (mati kedua, mematikan totalitas keakuan/dorongan
kehendak pribadi lebur dlm kehendak Allah)
5. Hidup didalam hidup (baqo' billah, fana ul fana, kekal didalam Allah).
Bagi para pejalan minimal sudah berjalan sampai tahapan nomor 2 sudah
Alhamdulillah.....
15 June 2012 at 14:47 · Public

Susah dan senang adalah dua orang penipu yang memalingkan perhatian dan
merusak citra dari bening.... Kejernihan itu ada dalam tanpa rasa, sejatine tan
ono roso

18 June 2012 at 21:27 · Public

Diantara para pejalan (salik) banyak yg lebih tertarik kepada bab-bab kegaiban,
untuk mengetahui rahasia-rahasia alam gaib, ketimbang untuk belajar
menerima setiap keadaan dan kenyataan hidupnya, nrimo ing pandum.
Mereka akan terkecoh jebakan batman, memburu hantu gentayangan, tetapi
lengah dan tidak mengerti maksud dan tujuan adanya dirinya. Batinnya tak
mencapai pencerahan jiwa yang memadai, tetaplah diselimuti rasa tidak
tenang dan was-was, ingin lekas sampai tetapi malah tidak sampai-sampai.
Ketahuilah, pada akhirnya semua perjalanan itu akan tetap mentok, yaitu tetap
saja untuk mengikuti maunya Allah, menuruti kehendakNYA, baik kita suka
maupun tidak suka. Alangkah baiknya, jikalau engkau berkonsentrasi kepada
kenyataan hidup, dan melatih dirimu menerima setiap kenyataan yang ada,
dan bersyukur karenaNYA, untukNYA dan besertaNYA.
25 June 2012 at 00:30 · Public

Wahai salik.... teruslah berjalan dan berjalan untuk menggapai PENCERAHAN


JIWA mu masing-masing. Setiap jiwa yang belum mengetahui tempat
kedudukan akhirnya kelak, ia masih dalam perjalanan menuju pencerahan,
tetapi belum sempurna dalam pencapaian pencerahan jiwa. Ketika pencerahan
jiwa sudah mencapai kesempurnaannya, akan terang dan jelas tempat
kedudukan akhirnya sendiri-sendiri. Dimana tempat kedudukan akhirmu
kelak??.... Ayo, gapailah pencerahanmu.....

25 June 2012 at 18:57 · Public

Yang disebut ilmu bukanlah apa yang kukatakan padamu, tetapi apa yang
engkau lakukan dalam lelakumu. Walaupun engkau membaca hikam 1000x
sampai berbusa mulutmu, semuanya adalah sia-sia dan percuma saja tanpa
lelaku. Lelaku itulah ilmu yang sesungguhnya, karena "ngelmu iku kalakone
kanti laku" (ilmu adalah lelaku itu sendiri). Lelaku inti dalam ilmu Ketuhanan itu
adalah pengendalian hawa nafsu, untuk mampu mengalahkan dan
menundukkannya. Harus banyak-banyak tirakat, kuat lapar dan kuat melek
malam, wening dan dzikir sbg ibadah utama. Hampa, kosong, ora ono opo-
opo....... langsung terbang tinggi saja, embuh ora ngerti sampai mana......
jadilah penduduk langit, migrasi ke alam baka, alam kelanggengan..... *cling

27 June 2012 at 03:12 · Public


KUNCI ISTIQOMAH
Istiqomah itu teguh tegak kokoh pendirian seperti alif, itulah istiqomah.
Maksudnya apa yang sdh diyakini agar diyakini sekuat-kuatnya tdk mudah
goyah dan terpengaruh lagi, tetap dan rutin.
Bagaimana agar seseorang mudah untuk istiqomah??.... hanya ada satu
jawaban saja. Laa syarikalahu, DIA tidak berserikat, karenanya janganlah
engkau terlalu banyak berserikat/kumpul2, menurut seperlunya saja. Kapan
engkau terlalu banyak kumpul2 engkau akan terpengaruh dan luntur secara
pelan-pelan. mengapa bisa begitu??
Dalam proses berserikat/kumpul2 itu sbnarnya mudhorot2 dari orang2 akan
masuk kedalam tubuh, namun mmng tidak kasat mata, wujudnya spt hawa
negatif yang masuk menyelinap, lalu menimbulkan rasa sesak didalam dada,
rasa terhimpit dan resah. Mudhorot2 ini hanya tertangkap dgn mata hakiki, tdk
trtangkap mata lahiriah. Kalau terlalu banyak yang masuk engkau akan
mengalami kegoyahan secara pelan-pelan, cara setan mmng spt itu.
Pengetahuanmu ttg hal ini mungkin blm sampai.
3 July 2012 at 15:29 · Public

DUNIA PAGARNYA ADALAH DUNIA


Bagi para murid dan salik....
yang dimaksud "dunia pagarnya adalah dunia" itu maksudnya adalah begini,
bahwa semua urusan-urusan yang berkaitan dengan duniawi, semisal rejeki
dsb.... itu hendaknya dipagari dan dijaga dengan dunia, dlm hal ini adalah
dipagari dgn sedekah, bukan dengan doa atau amalan-amalan. Adapun
doa/amalan2 itu sebenarnya hanyalah sebagai pendorong saja dlm urusan
duniawi, sdg pagar/utk melestarikan urusan dunia yg benar itu yah melalui
sedekah. bagaimana bila miskin/kekurangan, sama saja, saya juga miskin, tdk
apa-apa, kalau ada sedikit yah sedekahkan meski sedikit. Bila ada pengemis
yah kasih saja, jgn prnah menghitungnya bhwa uangmu berkurang, atau
khawatir dan sedih hati, nanti ada gantinya yg lebih banyak....
Setelah mengetahui hal ini engkau tidak perlu lagi sibuk kesana-kemari
mencari kyai-kyai dsb utk meminta amalan atau doa-doa agar urusan
duniawimu lancar. Sedekah itulah kunci utamanya, tdk ada yang lain lagi.
3 July 2012 at 21:42 · Public

Bagi seorang salik, kecintaan dan kedekatannya kepada gurunya, sebenarnya


adalah kunci utama keberhasilannya. Sebelum cahayanya cukup kuat dan
mampu kokoh menerima banyak benturan, ia senantiasa memerlukan cahaya
dari gurunya untuk memperkuat tekat perjalanannya. Bagi sang guru pun
sama, itu juga penguat, sebab cahaya akan bersinergi dgn cahaya menjadi
saling menguatkan dan bertambah terang benderang.

13 July 2012 at 22:39 · Public

Dlm kesufian engkau harus memperbanyak ibadah2 lahiriah dulu agar bs naik
sampai kealam malakut. baru melanjutkan kealam yg lbh tinggi. Salah satu cara
utk naik adlah lewat shalat yg byk,terutama shalat malam, dzikir dan puasa. Klo
engkau memulai perjalananmu hnya dgn skdr duduk diam, mengosongkan
pikiran, engkau tak kan sampai mana-mana, malah rentan kemasukan makhluk
halus.

17 July 2012 at 07:59 · Public


Wahai salik, jangan terlalu banyak membaca buku/kitab, tapi perbanyaklah
lelaku/amaliah. Wawasan dari buku membuatmu pintar bicara dan
menampakkan dirimu menonjol dibanding yang lain, lalu timbullah merasa
lebih tahu, padahal sbnrnya kamu tidak tahu selain hanya baca tulisan org lain
saja, itulah hijab bagimu. Engkau malah merugi. Sbb sulit untuk belajar bodoh
kalau sudah terlanjur pintar.
Lelaku membuatmu tidak banyak tahu, tetapi mampu menangkap dan
mengerti "rasa" nikmatnya makrifatullah.
"mengertilah apa yang engkau rasakan, dan rasakanlah apa yang engkau
mengerti"

26 July 2012 at 15:53 · Public

saudara mesti menemukan iblismu sndiri dahulu, baru bs faham ttg angan-
angan, iblis itu nyata bukan cuman kiasan. mski tampak semulia apapun,
angan-angan itu adalah hanya hayalan belaka. meski engkau berangan-angan
kaya raya lalu uangmu utk memelihara 1000 anak yatim, sekalipun tampak baik
dimatamu, tetapi itu hanya angan-angan dan hayalan saja, bukan suatu
kenyataan. adalah jauh lebih mulia menyumbang 500 perak kekotak amal
daripada berangan2 spt itu.

14 August 2012 at 00:29 · Public


Ingat-ingatlah, ketika dalam lelakumu engkau mengincar suatu kekuatan gaib
atau bisa menjadi super full karomah, engkau saat itu sedang salah arah, yang
engkau tuju malah ilmu, bukan Pemilik ilmu. Keadaanmu bisa diumpamakan
orang yang hendak mengawini seorang wanita, tetapi yang engkau incar untuk
merampok hartanya. Waspadalah itu pikiran dari tipudaya setan.
14 August 2012 at 05:18 · Public

Allah ingin dikenali. itulah mengapa org ingin berthoriqoh/berjalan


menujuNYA, agar bisa mengenalNYA, tetapi hrs kenal diri sendiri dulu sblm bs
mengenalNYA. jgnlah berputus asa, seorang yg hendak mengenalNYA akan
diuji bertahun2, sampai ia bosan dan merasa "semua ini percuma" dan hendak
pergi meninggalkan apa yg sdh menjadi lelakunya.
16 August 2012 at 21:19 · Public

engkau adalah kesadaranmu sendiri, kemanakah kesadaranmu pergi, disanalah


dirimu berada. kemanakah kesadaranmu tertuju, itulah dirimu. dirimu adalah
apa yang engkau pikirkan, bukan apa yg orang lain pikirkan tentangmu.
16 August 2012 at 20:04 · Public

Achmad Suchaimi
"Maha Suci Engkau,Ya Alloh, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana". (QS 2:32)
Senin, 22 Mei 2017
Naskah Suluk WUJIL dan Terjemahnya
Naskah SULUK  WUJIL ini Disalin  dari  Buku  “AJARAN RAHASIA SUNAN
BONANG, SULUK WUJIL” (SULUK WUJIL : DE geheime Leer van Bonang),  Oleh
Poerbatjaraka,  dan  diterjemahkan  kedalam  bahasa  Indonesia  oleh       R.
Suyadi Pratomo, terbitan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah, Jakarta 1985)

(1). Dyan warnanen sira ta pun Wujil // matur sira ing sang adinira // Ratu
Wahdat pangerane // sumungkem aneng lebu // telapakan Sang Maha Muni //
Sang adhekah ing Benang // mangke atur bendu // sawitnya nedha jinarwan //
sapratingkahing agama kang sinelir // teka ing rahsa purba.
Tersebutlah cerita seseorang bernama Wujil, tengah berdatang sembah
kepada gurunya yang bernama Ratu Wahdat; ia bersujud di tanah dekat kaki
sang guru yang bertempat tinggal di desa Benang. Sebelumnya ia mohon maaf
atas tindakannya mengharap ajaran Islam yang musykil, hingga sedalam-
dalamnya.

(2). Sadasa warsa sira pun Wujil // angastu pada sang adinira // tan antuk wara
ndikane // ri kawijilanipun // ira Wujil ing Maospait // ameng-amenganira //
nateng Majalangu // telas sandining aksara // pun Wujil matur maring Sang adi
Gusti // anuhun pangatpada.
Selama sepuluh tahun Wujil berguru, namun belum juga mendapat ajaran yang
diharapkan; dahulunya ia berasal dari Majapahit, bekerja sebagai “pelayan”
Raja. Ia menguasai tata bahasa dan mahir sastra Jawa Kuno; maka
menyembahlah Wujil seraya berkata dengan hormat.

(3). Pun Wujil byakteng kang anuhun sih // ing talapakan Sang Jati Wenang //
pejah gesang katur mangke // sampun manuh pamuruk // sastra Arab paduka
warti // wekasane angladrang // anggeng among kayun // sabran dina
raraketan // malah bosen kawula kang angludrugi // ginawe alan-alan.
Hamba Wujil mohon dengan tulus di hadapan guru, memohon diberikan
ajaran, hamba serahkan mati dan hidup hamba. Telah tamat ajaran Guru
dalam bahasa arab; masih juga kami mencari-cari, mengembara mengikuti
kehendak hati; tiap hari kita bergaul bermain bersama, rasanya seperti bosan
saya melawak, menjadi tumpuan olok-olok.

(4). Ya Pangeran  ing Sang adi Gusti // jarwaning wisik aksara tunggal //


pangiwa lan panengene // nora na bedanipun // dene maksih atata
gendhing // maksih ucap-ucapan // karone puniku // datan pulih anggeng
mendra // atilar tresna saka ring Majapahit // nora antuk usada.
“Aduhai Kanjeng Sunan, penjelasan mengenai ajaran rahasia tentang kesatuan
(huruf), baik pada waktu sebelum datangnya ajaran Islam (di Jawa) maupun
pada zaman Islam adalah sama. Antara lain orang masih memperhatikan musik
atau nada. Tetapi keduanya tetap hanya dalam kata-kata belaka. Dengan
kepergian hamba dari Majapahit dan meninggalkan semua yang hamba cintai,
hamba tidak mencapai cita-cita hamba, hamba tidak mendapatkan obat”.

(5). Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal //


sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining
urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan //
reming neta kalawan  suruping pati // wekasing ana-ora.
“Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk
mencari rahasia daripada kesatuan, mecari kesempurnaan dalam semua
tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat
hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur,
terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata
dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan
yang tiada”

(6). Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi // hih ra Wujil kapo kamakara // tan
samanya mangucape // lewih anuhun bendu // atinira taha nanagih // dening
genging swakarya // kang sampun kalebu // tan pandhitane  wong dunya //
yen adol warta tuku wartaning tulis // angur aja wahdata.
Sunan Wahdat tersenyum simpul, “Ah Wujil, betapa nakal kamu ini. Kau
katakan hal-hal yang tidak lumrah. Kamu terlalu berani, sehingga ingin
memperoleh imbalan untuk hal yang telah banyak kau lakukan untukku. Aku
tidak layak disebut Maha Yogi , orang suci, di dunia ini, apabila aku
mengharapkan imbalan bagi tulisan yang telah kuajarkan. Kiranya lebih layak
jika aku tidak melakukan wahdat”.

(7). Kang adol warta atuku warti // kumisun kaya-kaya weruha // mangke ki
andhe-andhene // awarna kadi kuntul // ana tapa sajroning warih // meneng
tan kena obah // tingalipun terus // ambek sadu anon mangsa // lir antelu
putihe putih ing jawi // ing jro kaworan rakta.
“Barangsiapa yang mengharapkan imbalan dalam mengajarkan tulisan-tulisan,
ia hanya memuaskan dirinya sendiri. Seolah-olah ia tahu tentang segalanya
dengan tepat. Orang macam itu dapat diibaratkan seperti seekor burung
bangau yang bermenung di tepi danau. Si burung berdiam diri tidak bergerak,
pandangannya angker. Ia sama dengan sebutir telur yang tampak putih (suci)
di luar, tetapi didalamnya bercampur kuning”.

(8). Suruping arka aganti wengi // pun Wujil anuntumaken wreksa // badhiyang
aneng dagane // patapane Sang Wiku // ujung tepining wahudadi // aran
dhekah ing Benang // saha sunya samun // anggayang tan ana pala // boga
anging jraking sagara nempuhi // parang rong asiluman.
Setelah matahari terbenam, hari menjadi malam, Wujil menyusun beberapa
potong kayu dan membakarnya guna memanaskan tempat pemujaan Sang
Pertapa, di tepi pantai yang disebut Benang yang sunyi sekali. Tempat itu
gersang, tidak ada buah-buahan makanan apapun, hanya gelombang-
gelombang laut yang memukul batu-batu karang, sangat menakutkan.
(9). Sang Ratu Wahdat lingira aris // Hih ra Wujil marengke den  enggal // trus
den cekel kekucire // sarwi den elus-elus // tiniban sih ing sabda wadi // ra
Wujil  rungokena // sasmita kateng sun // lamun sira kalebua // ing naraka
ingsun dhewek angleboni // aja kang kaya sira.
Sunan Wahdat berkata dengan ramah, “Hai Wujil, kemarilah”. Maka Wujil pun
dipegang kuncungnya; sebagai tanda kasih sayang, dibelainya kuncung Wujil.
Kemudian Kanjeng Sunan mengucapkan kata-kata rahasia, “Wujil,
dengarkanlah petunjukku. Jika karena kata-kataku kamu harus masuk neraka,
maka akulah yang akan menggantikanmu masuk neraka, bukan kamu”.

(10). Sigra pun Wujil atur subakti // matur sira ing guru adimulya //
sakalangkung panuwune // sampun rekeh pukulun // leheng dasih rekeh pun
Wujil // manjinga ing naraka // pun Wujil sawegung // pan sami wruh ing
kalinga // guru lan siswa tan asalayah kapti // kapti saekapraya.
Dengan sangat hormat Wujil menyembah seraya mengatakan terima kasihnya
kepada Sang Mahayogi. “Bukan Paduka yang masuk neraka, biarlah hamba
yang masuk”. Mengingat bahwa Wujil selalu tahu diri, maka Sang Mahayogi
dengan siswanya itu tidak pernah berselisih faham, keduanya selalu seia dan
sekata.

(11). Pengetisun ing sira ra Wujil // den yatna uripira neng dunya // ywa
sumabaraneng gawe // kawruhana  den estu // sariranta pan dudu jati // kang
jati dudu sira // sing sapa puniku // weruh rekeh  ing sarira // mangka sasat
wruh sira maring Hyang Widi // iku marga utama.
“Ingat-ingatlah, Wujil, berhati-hatilah dalam hidup di dunia ini. Jangan masa
bodoh terhadap setiap tindakan. Dan sadarlah serta yakin, bahwa kau
bukanlah Hyang Jati Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Hyang Jati Tunggal
bukanlah engkau. Barangsiapa yang mengenal diri sendiri sekarang, seakan-
akan ia mengenal Tuhan. Itulah jalan yang sebaik-baiknya”.
(12). Utamane sarira puniki // angawruhana jatining salat // sembah lawan
pamujine // jatining salat iku // dudu ngisa tuwin magrib // sembayang
aranika // wenange puniku // lamun ora nana salat // pan minangka
kekembanging salat da’im // ingaran tatakrama.
“Jalan yang sebaik-baiknya bagi manusia adalah mengetahui hakekat shalat,
menyembah dan memuji (berdzikir). Shalat yang sebenarnya bukanlah seperti
shalat isyak atau maghrib. Shalat seperti itu disebut sembahyang, yang
dilakukan seolah-olah,  shalat yang sebenarnya tidak ada dan sekedar
kembangnya shalat daim, yang dinamakan tatakrama”.

(13). Endi ingaran sembah sejati // aja nembah yen tan katingalan // temahe
kasor kulane // yen sira nora weruh // kang sinembah ing dunya iki // kadi
anulup kaga // punglune den sawur // manuke mangsa kena’a // awekasan
amangeran adam-sarpin // sembahe siya-siya.
“Manakah yang disebut sembahyang sebenarnya? Begini, kau tidak
menyembah-memuja, jika kau tidak tahu kepada siapa; hal itu berakibat kau
akan merendahkan dirimu sendiri. Jika kau tidak tahu kepada siapa kau
menyembah di dunia ini, ibaratnya seperti kau menembak burung tanpa
dengan bidikan, toh tidak mengenai burungnya; jadi pada hakekatnya kau
menyembah kepada adam sarpin, sembahmu tiada memberi faidah”.

(14). Lan endi kang ingaranan puji // samya amuji dalu lan siyang // yen ora
sarta wisike // tan sampurna kang laku // yen sirarsa weruh ing puji // den
nyata ing sarira // panjing wetunipun // kang atuduh ananing  Hyang // panjing
wetuning napas yogya kawruhi // suksma catur prakara.
“Dan manakah yang disebut puji (dzikir). Meskipun orang memuji (berdzikir)
siang-malam, jika ia tidak pernah memperoleh petunjuk dari pemujaannya itu,
tindakannya tidak akan sempurna. Jika kau kehendaki dzikir yang
sesungguhnya, keluar-masuknya pada dasarnya ada pada diri kamu, yang
menunjukkan adanya Tuhan, maka harus kau ketahui keluar-masuknya hayat,
ada yang lewat pernafasan, yakni terjadi dari empat hal yang baik”.
(15). Catur  prakara anasirneki // bumi geni angin iku toya // samana duk
panapele // sipate iku catur // kahar jalal jamal lan kamil // katrapan sipating
Hyang // wowolu kehipun // lampahe punang sarira // manjing metu  yen
metu ndi paraneki // yen manjing ndi pernahnya.
“Empat macam anasir itu adalah : tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan
menciptakan Adam, maka digunakanlah empat macam anasir tersebut : kahar,
jalal, jamal dan kamal yang menmgandung sifat-sifat Tuhan delapan macam.
Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa sifat-sifat itu masuk dan keluar.
Jikalau keluar, ke mana perginya, dan jika masuk, di mana tempatnya?”

(16). Tuwa anom kang anasir bumi // lakune puniku kawruhana // yen atuwa
ndi enome // lamun anom puniku // pundi rekeh tuwanireki // anasir geni
ika // apes kuwatipun // yen kuwat endi apesnya // lamun apes pundi nggene
kuwatneki // tan sampun kasapeksa.
“Anasir tanah menimbulkan adanya kedewasaan dan keremajaan. Sifat-
sifatnya harus kau ketahui. Di manakah adanya keremajaan dalam
kedewasaan, dan di manakah kedewasaan dalam keremajaan. Anasir api
menimbulkan kelemahan dan kekuatan; di manakah adanya kekuatan dalam
kelemahan? Itu harus kau ketahui”.

(17). Miwah ta rekeh anasir angin // lakune iku ana lan ora // yen ora pundi
anane // lamun ana puniku // aneng endi oranineki // ingkang anasir toya //
pejah gesangipun // yen urip pundi patinya // lamun mati ndi parane
uripneki // sasar yen ora wruha.
“Sifat-sifat anasir angin mencakup ada dan tiada. Didalam tiada, dimanakah
letaknya ada ? Didalam ada, dimanakah letaknya tiada ? Anasir air memiliki
sifat mati dan hidup. Dimanakah adanya mati dalam hidup, dan kemanakah
perginya hidup pada waktu mati? Kaum akan tersesat jika kamu tidak
mengetahuinya”.
(18). Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat
pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta
kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing
uripira sejati // uripira neng dunya.
“Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil
tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga,
dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka
orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui
dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini”.

(19). Dipun weruh ing urip sejati // lir kurungan raraga sadaya // becik den
wruhi manuke // rusak yen sira tan wruh // Hih ra Wujil salakuneki // iku
mangsa dadiya // yen sira yun weruh // becikana kang sarira // awismaa ing
enggon punang asepi // sampun kacakrabawa.
“Kau harus mengetahui hidup yang sebenarnya. Tubuh ini seluruhnya bagaikan
sangkar. Akan lebih baik jika kau mengenal burungnya. Oh, Wujil, dengan
tindakan-tindakn-Nya, kau akan jatuh sengsara tanpa hasil jika tak kau ketahui.
Dan jika kau ingin mengenal-Nya, kau harus membersihkan dirimu. Tinggallah
di suatu tempat sunyi, sepi dan jangan menghiraukan keramaian dunia ini”

(20). Aja doh dera ngulati kawi // kawi iku nyata ing sarira // punang rat wus
aneng kene // kang minangka pandulu // tresna jati sariraneki // siyang dalu
den awas  // pandulunireku // punapa rekeh pracihna // kang nyateng sarira
sakabehe iki // saking sipat pakarya.
“Jangan jauh-jauh kau mencari ajaran. Karena ajaran itu telah berada didalam
dirimu sendiri. Bahkan seluruh dunia ini berada didalam dirimu sendiri. Maka
jadikanlah dirimu cinta sejati, untuk dapat melihat dunia. Arahkanlah dengan
tajam dan hening wajahmu kepadanya, baik siang maupun malam, karena
apakah kenyataannya. Segala sesuatu yang tampak di sekeliling kita adalah
akibat perbuatan”.
(21). Mapan rusak kajatinireki // dadine lawan kaarsanira // kang tan rusak den
wruh mangke // sampurnaning pandulu // kang tan rusak anane iki //
minangka tuduhing Hyang // sing wruh ing Hyang iku // mangka sembah
pujinira // mapan awis kang wruha ujar puniki // dahat sipi nugraha.
“Akibat dari perbuatan ini, timbul kehancuran yang terjadi karena
kehendakmu. Apa yang tidak mengalami kehancuran, harus kau ketahui, yakni
pengetahuan yang sempurna, yang keadaannya tidak mengalami kehancuran.
Pengetahuan itu meluas sampai kepada mengenal adanya Tuhan (Ma’rifat).
Dengan mengenal Tuhan, maka akan menjadi bekal bagi seseorang untuk
menyembah dan memuji-Nya. Namun tidak banyak orang yang mengenal kata
itu. Siapa yang mampu mengenal-Nya, ia akan mendapat nugraha yang besar”.

(22). Sayogyane mangke sira  Wajil // den nyata sireng sariranira // yektya


angayang temahe // raraganira iku // lamun Wujil dera lalisi // kang nyata ing
sarira // solahe den besur // amurang raraganira // kang dadi tingal anging
kainaneki // kang den liling nityasa.
“Sebaiknya kau Wujil, kenalilah dirimu sendiri. Nafsumu akan terlena jika kamu
membalikkan punggung. Mereka yang tahu akan dirinya, hawa nafsunya tidak
binal untuk menelusuri jalan yang salah. Oleh karena senantiasa melihat
kelemahan dan selalu diamatinya”.

(23). Wujil kawruh ing sariraneki // iya iku nyataning pangeran // tan angling
yen tan ana wadine // dene wasitanipun // ana malih  kang angyakteni //
samya  luruh sarira // sabdane tanpa sung // amojok saking susanta // tanpa
sung kaliru saking pernah neki // iku kang aran lampah.
“Oh, Wujil! Mengenal diri sendiri berarti mengenal Tuhan. Dan orang yang
mengenal Tuhan, ia tidak sembarang bicara, kecuali jika kata-katanya
mempunyai maksud penting. Ada pula orang lain yang mengenal-Nya, mereka
telah mencari dan menemukan dirinya. Mereka tahu, bahwa seseorang tidak
boleh terpelanting diluar kehalusan, dan bahwa tidak boleh memilih tempat
yang keliru. Demikianlah laku yang benar”.
(24). Pan nyata ananing Hyang aneng sih // ening kasucianing pangeran // ana
ngaku kang wruh mangke // laksanane tan anut // raga sastra tan den
gugoni // anglalisi subrata // kang sampun yekti wruh // anangkreti punang
raga // paningale den wong-wong rahina wengi // tanpa sung agulinga.
“Oleh karena itu jelaslah, bahwa Tuhan beserta kesucian yang murni berada
didalam kecintaan. Ada pula orang yang merasa mengenal Dia. Perilaku orang
itu tidak sesuai dengan kaidah. Ia tidak patuh terhadap ajaran tentang
(pengendalian) hawa nafsu, menyampingkan kehidupan yang saleh.
Sesungguhnya orang yang mengenal Dia, ia akan mampu mengekang hawa
nafsunya. Siang malam ia mengatur indera penglihatannya, dan dicegahnya
untuk tidur”.

(25). Iku tapakane hi ra Wujil // tan bisa sira mateni raga // aja mung angrungu
bae // den sayekti ing laku // ayun sarta lawan pandeling // yen karone wus
nyata // panjing wetunipun // tan ana pakewuhira // tikeling pikulan saros
samineki // beneh kang durung wikan.
“Kini, inilah dasarnya. Oh, Wujil. Kau harus mampu memampatkan
(mengerem) hawa nafsumu, dan jangan hanya dibatasi pada indra
pendengaran saja. Bersungguh-sungguhlah dalam tindakan, sesuaikan segala
kemauan dan keyakinanmu. Kamu tidak akan menemukan kesulitan lagi.
Apabila masuk dan keluar, keduanya telah jelas bagimu, usaha mematikan
hawa nafsu seperti halnya kau potong seruas panjang bambu pikulan. Lain
halnya dengan orang yang belum mengenal-Nya.”

(26). Kasompokan denira ningali // karane tan katon pan kaliwat // tanpa rah-
arah rupane // tuwin si ananipun // mapan wartaning kang utami // yen ta ora
enggona // pegat tingalipun // tingal jati kang sampurna // aningali nakirah
yakti dumeling // kang sajatining rupa.
“Pengertian tentang hal ini sangat terbatas. Dia sama sekali tidak berbentuk,
oleh karena Dia tidak tampak oleh orang biasa, tetapi Dia Ada. Sesungguhnya
menurut orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi
orang yang berakhir penglihatannya, tampak sesuatu yang benar dan agung.
Dan ketika dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak membayang Wujud yang
sebenarnya”.

(27). Mapan tan ana bedane Wujil // dening kalindhih solahe ika // bedane tan
seng purbane // Wujil sampun tan emut // lamun anggung tinutur Wujil //
nora na kawusannya // siyang lawan dalu // den rasani wong akathah //
kitabipun upama perkutut adi // asring den karya pikat.
“Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. Hanya Dia
tidak tampak oleh karena terdesak oleh gerakan-gerakan (dari alam semesta).
Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada sumbernya. Jangan kau lupakan
selama-lamanya Wujil. Jika kita bicarakan tentang hal itu, tidak akan habis.
Siang dan malam orang berbicara mengenai Dia. Kitab-kitab-Nya yang Suci
seolah-olah merupakan burung perkutut yang bersuara merdu, yang kerap kali
memikat orang lain kepada-Nya.”

(28). Raosana ing rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na
gawene // lewih wong meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun
punapa // pan saosikipun // ing kalbu nyateng aksinya // wedharing netra sara’
widya nampani // meneng muni den wikan.
“Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya, tetapi jika ia belum
pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada
faedahnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia. Betapapun orang
membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan tentang Dia? Karena
sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya tercermin jelas dalam
matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti
pengetahuan. Maka pahamilah arti diam dan bicara.”

(29). Den wruh suruping meneng lan muni // yen tan wruha iku tanpa pala //
sampun tan mesi enenge // yen muni away umung // kokila neng kanigara njrit
// puniku saminira // nora tegesipun // yen ujar kang ginedhongan // sira Wujil
aja kaya bisa angling // lingira kang sampurnan.
“Kamu harus tahu tentang hakekat diam dan bicara. Jika kau tidak mampu,
semuanya tidak ada gunanya. Diam tidak boleh kosong dan bicara tidak boleh
dengan suara hampa. Jika tidak demikian, orang berbuat seperti burung Beo, ia
berteriak-teriak tanpa maksud di atas pohon kanigara. Jadi menurut
perumpamaan rahasia, berbuatlah seperti kau bisu. Begitulah dikatakan oleh
orang-orang yang telah sempurna”
(30).nDi rupane wong melek ing wengi // sampun kadi andha
tingalira //  karoneku tanpa gawe // yen ora lan tinuntun // ing paningal ing
hakul yakin // paran margane wruha // ing sariranipun // pangrungunisun
saking a- // sale sampurna iku kalawan muni // tanpa sung yen menenga.
“Apakah faeahnya berjaga malam hari? Sebaliknya kau tidak boleh menutup
mata seperti orang yang buta. Kedua-duanya tiada manfaatnya. Apabila
seseorang tidak diberi petunjuk untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya,
bagaimana mungkin bisa mengenal diri sendiri? Aku pernah mendengar bahwa
kesempurnaan itu timbul karena berbicara. Oleh karena itu, orang tidak boleh
diam”.

(31).Ora meneng ora muni Wujil // Hih ra Wujil atakona sira // kang ateki-teki
kabeh // sembah puji den weruh // sembah akeh warnane malih // lingira sang
utama // wong amuji iku // sanalika keh sawabnya // padha lan wong
asembayang satus riris // yen weruh parantinya.
“Tetapi Wujil, begitu percaya, baik karena diam ataupun karena berbicara,
kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Sebaliknya mengenai hal itu,
bertanyalah kepada orang-orang yang shalih, Wujil. Harus kau ketahui juga,
apakah memuji itu dan apakah shalat itu? Sebab banyak orang yang memuja.
Seorang terkemuka mengatakan bahwa shalat satu rekaat banyak
pengaruhnya. Shalat itu pada lahirnya sama dengan sembahyang seratus
tahun, asal saja dapat memberikan arah tujuan yang tepat”.

(32). Kang sampun weruh parantineki // pujinipun iku nora pegat // nora
kalawan wektune // wong agung lyan amuwus // padha lawan sawidak warsi //
pan sampun amardika // purna raganipun // ing wektu tan kabandana //
kapradana solahe aneng jro masjid // apindhah manuk baka.
“Barangsiapa yang mampu mengarahkan sembahyangnya dengan tepat, ia
akan sembahyang secara terus menerus, bahkan pada waktu yang tidak
ditentukan. Orang shaleh yang lain mengatakan, bahwa shalat seperti itu sama
dengan shalat selama enam puluh tahun. Orang yang bersembahyang dengan
cara yang tepat, ia telah bebas, tubuhnya sempurna dan tidak terikat oleh
waktu-waktu yang telah ditentukan. Perilakunya didalam masjid merupakan
contoh. Jadi sangat berbeda dengan sembahyangnya Burung bangau.”

(33). Tan kena pinaido ra Wujil // wuwusing nayaka dipaning rat // Wujil
atakena mangke // ana muji ing dalu // ing rahina gung sawabneki // kalamun
kena tata // ing sasaminipun // padha lan rowelas warsa // yogya wenang ra
Wujil ataki-taki // sampun tan kapanggiha.
“Tidaklah mungkin, hai Wujil, untuk menghindari sabda dari Pemimpin Cahaya
Dunia ini (yakni Nabi Muhammad saw). Kau bertanyalah tentang hal itu. Ada
orang yang bersembahyang pada malam hari dan siang hari, sangat besar
pengaruhnya dari sembahyang itu, asal saja dilakukan menurut kaidah. Shalat
seperti itu adalah sama dengan shalat zhahir selama 12 (duabelas) tahun.
Sangat diharapkan dan kau mampu melaksanakannya, Hai Wujil, dan bahwa
kau akan berusaha hingga menemukannya”.

(34). Ana malih kang wong angabekti // sanalika gung sawabe ika // yen wikana
ing tuduhe // padha rowelas tangsu // ingaranan tafakkur iki // yen meneng
ndi parannya // takokena iku // sapa kang atuduh ika // unggah turuning
meneng kalawan muni // iku dipun waspada.
“Ada beberapa orang yang hanya sebentar saja melakukan shalat, namun
pengaruhnya(pahalanya) besar, asalkan diarahkan dengan sebaik-baiknya.
Shalat ini, yang disebut tafakur (batin), adalah sama dengan shalat zhahir 12
(duabelas) tahun. Dan selanjutnya kau harus bertanya, kemanakah orang harus
mengarahkan batinnya didalam berdiam diri? Siapa yang akan menerangkan
kepada kita antara diam dan bicara? Itu harus kau ketahui”.
(35). Hih ra Wujil ing wong meneng  lewih // iku sembayang tanpa pegatan //
iku nora na wektune // sampurna ta wong iku // raragane nora na kari //
tekeng purisa turas // satuhuning laku // pagurokena den nyata // ing sira sang
kawi-man sampurneng jati // wekasing duta tama.
“Bagi manusia, hai Wujil, diam adalah yang baik. Ialah shalat tanpa perantara,
tanpa waktu. Orang seperti itu adalah orang yang sempurna. Dari tubuhnya,
termasuk kotoran dan air kencing, tidak tersisa apa-apa lagi. Inilah perilaku
yang utama. Maka berusahalah mendapatkan ajaran yang jelas pada seorang
sastrawan Kawi, yang mengetahui benar-benar tentang Kebenaran yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad saw”.

(36). Aja nyembah hih sira Wujil // yen iku nora katon sawahnya // sembah puji
tanpa gawe // pan kang Sinembah iku // aneng ngarsa wahya dumeling //
ananta minangka a-// nanira kang agung // ananing dhawak pan sunya // iya
iku enenge ing wong amuji // nyata kang sadya purba.
“Dan janganlah kau memuja, Wujil, jika tidak tahu kepada siapa. Karena
pemujaanmu dan shalatmu tidak berfaedah. Lain halnya jika yang kau sembah
ada di hadapanmu. Tetapi, karena Dia tidak pernah hadir di hadapan siapa pun
juga, maka anggaplah kehadiranmu juga kehadiran Yang Maha Agung. Bahkan
keadaanmu harus kau anggap tidak ada (Fana’). Itulah yang
dinamakan Diam dari orang-orang yang tengah shalat, yang terbuka sumber
kehendaknya dan sumber kekuatannya”.

(37). Lawan atakona sura malih // mapan awis kang sayaktanira // sakwehning
punang punggawe // yen tan ingulah iku // pundi rekeh nggene kepanggih //
kang aulah tan lepyan // iku wus atuduh // nugrahaning Jati-Wenang // kang
tan molah atuduh dosanireki // keneng papa cetraka.
“Dan selanjutnya, tanyalah mengenai hal berikut, mengingat tidak setiap orang
mengerti keadaan yang sebenarnya. Yaitu bagaimana semua tindakan bisa
diselesaikan apabila tindakan itu tidak dikerjakan? Barangsiapa melakukan
sesuatu, juga tanpa diselesaikan, sedangkan ia tidak melupakan Tuhan,
tindakannya itu telah merupakan tanda, bahwa ia mendapat ampunan dari
Yang Maha Kuasa. Siapa yang tidak bertindak untuk menyatakan dosanya, akan
ditimpa oleh kemalangan dan kesengsaraan”.

(38). Lawan malih sira ta ra Wujil // atakona sajanining niyat // aja mungaken
ciptane // kang anyipta anebut // dudu iku niyat sejati // ewuh kang aran
niyat // sembah puji iku // tan wrung punan pangurakan // kang atampa
dhendha kisas lawan jilid // ramya padu giliran.
“Selanjutnya, Wujil, kau harus bertanya tentang hakekat yang murni
dari kemauan (niat). Orang tidak boleh membatasi kemauan (niat) sampai
memikirkan sesuatu, baik memikirkan maupun menyebut sesuatu, adalah
kemauan yang murni (Niat yang ikhlas). Tidak mudah untuk mengetahui apa
yang disebut Kemauan (niat). Pemujaan dan shalat tidak mengenal hal-hal
yang kasar, demikian juga tidak benci kepada orang-orang yang didenda, di-
qishash dan dihukum jilid (hukuman karena perzinahan), juga kepada orang-
orang yang selalu bertengkar”.

(39). Pangabaktine ikang utami // nora lan waktu sasolahira // punika mangka
sembahe // meneng muni punika // sasolahe raganireki // tan simpang dadi
sembah // tekeng wulunipun // tinja turas dadi sembah // iku ingaranan niyat
kang sejati // puji tanpa pegatan.
 Persembahan bagi orang yang utama (sufi, ulama, kaum shalihin) tidak
mengenal waktu. Semua gerak lakunya digunakan untuk sembahyang (ibadah).
Sikap membisu, berbicara dan ulah gerak tubuhnya, bahkan bulu romanya,
kotoran dan air kencingnya diperuntukkan sembahyangnya. Itulah yang
dinamakan “niat” yang sejati..

 (40). Hih ra Wujil niyat iku luwih // saking amale punang akathah // nora basa
swara reke // niyating pingil iku // kang gumelar nyananireki // sajatine kang
niyat // nora niyatipun // nyataning pingil gumelar // niyating sembahyang
nora bedaneki // lan niyat ambebegal.
“Niat (kemauan), hai Wujil, adalah lebih penting daripada perbuatan
umumnya. Sebab kemauan (niat) itu tidak dapat dinyatakan dengan kata
maupun suara. Kemauan (niat) untuk berbuat sesuatu merupakan ungkapan
suatu pikiran. Kemauan (niat) untuk melakukan perbuatan ialah ungkapan
perbuatan itu sendiri. Jadi, kemauan (niat) untuk shalat sama nilainya dengan
kemauan (niat) untuk merampok”.

(41). Hih ra Wujil marmane wong sirik // kufur kinufuraken ing lafal //
agunggungan sa-elmune // pijet-pinijet iku // aksarane asru den pidi //
sawusing asembayang // magerib punika // rame samya kabarangan //
awekasan malik kebyok lan kulambi // dhastar akuleweran.
“Oleh karena itu, hai Wujil, bagi manusia adalah sesuatu perbuatan syirik
(kesesatan), yaitu saling kafir mengkafirkan sesama, punya anggapan bahwa
kepandaiannya itu yang terpenting, – kepandaian – yang oleh orang-orang
untuk saling meyakinkan (bahwa dirinya yang paling benar). Ia selalu
berpegang teguh pada bunyi kata-kata (huruf)-nya. Dan sehabis shalat maghrib
orang-orang biasa bertengkar mulut. Akhirnya saling pukul dengan baju dan
ikat kepalanya (sorban) dilepas”

(42). Kepet kinepetaken ing masjid // awekasan padha pepurikan //


asembahyang dhewek-dhewek // puniku palanipun // sirik gugon ujaring
tulis // tan wruh jatining niyat // palaning wong bingung // lanang wadon
padha ngrarah // angulati niyat kang sejati-jati // tan wruh ing dedalannya.
“Sorban itu digunakan untuk pukul memukul didalam masjid setelah mereka
marah satu sama lain, dan bersembahyang sendiri-sendiri. Itulah hasil dari
syirik (kesesatan), sebab menganggap bahwa kepandaian masing-masing
adalah yang terpenting. Akibatnya, orang itu tidak mengerti kemauan yang
murni (niat yang ikhlas). Laki-laki dan perempuan berusaha menemukan
kemauan (niat) yang murni, tetapi tidak tahu jalannya”.

(43). Aningsetana raganireki // hih ra Wujil yen wus kabandana //aywah’keh


ingucap mangke // ujar ngedohken kayun // angiyaken karsa pribadi // iku
marganing sasar // nyanane kang den gung // angagungaken trebangan // tan
wande yen trebangan den gawe undhi // dadi ababagelan.
“Kekanglah nafsu-nafsumu, hai Wujil. Setelah kau ikat nafsumu, janganlah
terlalu banyak bicara. Kata-kata yang kau gunakan untuk menyatakan
kehendak sendiri, serta untuk menegaskan bahwa pendapat sendiri yang
benar, dapat menyeret ke arah kesesatan, akibat mendewa-dewakan
pendapat sendiri. Maka orang itu berbuat tidak lain kecuali – bagaikan –
memainkan rebana yang kemungkinan berakhir dengan saling melempar
rebana (alat musik) tersebut”.

(44). Meh rahina Hyang aruna mijil // tatas wetan ndan Sang Ratu Wahdat //
angling pun Wujil kinengken // Haih ra Wujil sun utus // mara sira ta den
agelis // mara eng pawadonan // si Satpada iku // aglis kenen marengkeya //
pun Wujil mangkat lampahira agelis // prapta mring pawadonan.
Saat itu siang hampir tiba, matahari yang terbit dari ufuk timur menjadi terang.
Sunan Wahdat memerintahkan Wujil, “Hai Wujil, pergilan ke asrama
(pondokan) putri dan panggillah Satpada”. Wujil cepat-cepat berlalu dan
sampailah di asrama pondokan putri.

(45). Ling pun Wujil hih manira nini // ingutus angundang mareng tuwan //
dening sang adi kang aken // ken Satpada amuwus // Hih ra Wujil punapa
wadi // dening enjing ngandikan // maras atiningsun // tan wikan wadining
lampah // lah mangkata Satpada dipun agelis // hyun-hyunen kang sinembah.
Berkatalah Wujil kepada Satpada, “Nona. Kanjeng Sunan menyuruh aku untuk
memanggil kamu”. “Apa maksudnya, pagi-pagi begini memanggil aku? Aku jadi
gemetar”, kata Satpada. Wujil : “Aku tidak tahu maksudnya. Pergilah
segera  Satpada, Kanjeng Sunan menunggu kamu”.

(46). Mangkat Sartpada den tatakoni // Hih ra Wujil aja salah tampa // Ki Wujil
sun atataken // punapa marganipun // oleh aran para Ki Wujil // pun Wujil
angling ing tyas // iki wong asemu // patakonipun basaja // wadining basaja
anopak ing wuri // liyen sun yen wruhi.
Satpada berangkat sambil bertanya kepada Wujil, “Maafkan aku wujil,
mengapa kau bernama Wujil?”. Wujil berfikir didalam hati, bahwa wanita ini
cerdik. Pertanyaannya lugu sederhana, tetapi di balik keluguan itu agaknya ada
sesuatu yang terpendam. Ia menjawab, “Akan kukatakan mengapa, jika Anda
tidak tahu”.

(47). Karane isun arane Wujil // nenggih kang aran kalawan rupa // datan ana
prabedane // tan amindhoni laku // nem prakara rasaning jati // pan wus
kajalajahan // dening sun pukulun // pun Satpada ‘smu kemengan // Hih ra
Wujil dudu wijile wong mangkin // wijil ing Wilatikta.
“Mengapa aku bernama Wujil, begini : bahwa antara nama dan bentuk tidak
ada bedanya. Aku tidak berhenti di tengah jalan karena telah kualami enam
macam kebenaran, Nona”. Wajah Satpada menjadi kemerah-merahan, lalu
berkata: “Wujil, Anda bukan orang pertama yang tiba ke sini, tetapi Anda
berasal dari Majapahit”.

(48). Sigra pun Wujil Satpada prapti // alunguh ing ngarsa angabiwada //
ingkang sudibya ataken // paran wartanireku // he Satpada duk prapta wingi //
sira saking Jawana // pun Satpada matur // Dening rayi pakanira // Seh Malaya
angraket wonten ing Pati // lamine sapta dina.
Wujil dan Satpada tiba di hadapan Sang Pertapa. Mereka duduk di hadapan
Sang Pertapa setelah menyembah memberi hormat. Bertanya Sang Pertapa,
“Apakah kabar yang kaubawa Satpada, sekembalimu dari Juwana”. Satpada
jawab, “Ya Paduka, adik Paduka, Seh Malaya (Sunan Kalijaga), bermain topeng
di kota Pati tujuh hari lamanya”.

(49). Sang Ratu Wahdat angandikani // Hih ra Wujil sira ‘glis ameta // satapatra
dipen age // tan kawarna ‘glis rawuh // satapatra mangke tinulis // lawenipun
sadaya // ingisen jronipun // rambuyut sinereng laya // aturena satapatra iku
Wujil // ing yayi Seh Malaya.
Berkata Sang Ratu Wahdat kepada Wujil, “Wujil, kau ambil segera bunga
teratai”. Wujil pun segera pergi. Tidak lama kemudian ia kembali membawa
bunga; di atas kelopaknya ditulis surat. Dalam bunga itu, Sang Pertapa
menyelipkan anting-anting berhias dengan Surengpati keramat. “Berikan
bunga ini kepada adikku, Seh Malaya, Wujil”.

(50). Iki susumpinge wong acermin // wong angraket pantes anganggeya //


pun Wujil ‘glis mangkat mangke // amit saha wotsantun // lampahira dhateng
ing Pati // tan kawarnaeng marga // prapta lampahipun // atataken ing para
desa // lamun ana wong anggagambuh linuwih // aran ki She Malaya.
“Ini adalah anting-anting untuk orang yang bermain sandiwara. Patut
dikenakan oleh seorang penari topeng”. Setelah mohon diri seraya
menyembah, Wujil berangkat ke Pati. Tidak diceritakan perjalanannya, tibalah
ia di tempat yang dituju. Ia bertanya kepada  seorang desa, apakah
mengetahui adanya pemain gambuh yang luar biasa, namanya Seh Malaya.
(51). Kang tinanyan tanggap anauri // singgih wonten  aran Seh Malaya // lagya
angraket ing mangke // desa Wasana kidul // akeh punang aniningali // pun
Wujil lampahira // tan asarag rawuh // Seh Malaya sampun wusan // denya
ngraket pun Wujil prapta Wotsari // angaturaken patra.
Orang desa itu menjawab tegas, “Benar, ada seorang bernama Seh Malaya.
Kini sedang menari topeng di desa Wasana, di sebelah selatan sana. Banyak
orang yang melihatnya”. Wujil melanjutkan perjalanannya perlahan-lahan. Ia
tiba di tempat Seh Malaya, saat pertunjukan baru saja selesai. Wujil
menghampiri, menyembah dan menyampaikan surat.

(52). Satapatra tinampan tumuli // winedhar ing jro mesi kusuma // surengpati
panggalange // Seh Malaya amuwus // mara sira ing punang Wujil // dahat
dennya murwendah // kang sekar ambuyut // sinurengpati winingan // wohing
saga rinawid lawan malathi // langkung sih sang sinembah.
Bunga teratai itu diterima oleh Seh Malaya. Segera dibukanya, dan didapatinya
didalam bunga itu hiasan Surengpati . “Alangkah cantiknya bunga dengan
hiasan Surengpati yang keramat ini. Sekuntum melati diselingi dengan biji saga.
Sunan Bonang benar-benar sayang kepadaku”.

 (53). Punapa wadhining surengpati // awoh saga kuneng satapatra // ra Wujil


paran karsane // pun Wujil awotsantun // matur Gusti nora  saweksi // Seh
Malaya lingira // Hih ra Wujil semu // ne sang Sinuhun ing Murya // sagawe
aso katarateyan Pati // entingning panarima.
“Apakah kiranya arti Surengpati? Biji-biji saja dimasukkan didalam bunga?
Apakah yang dikehendaki Gustimu, hai Wujil?”. Sambil menyembah, Wujil
menjawab, “Hamba tidak tahu, Gusti”. Seh Malaya berkata : “Hai Wujil, aku
kira junjunganmu dari Muria mempunyai maksud begini, bahwa setiap
perbuatan akan berakhir setelah mati, titik akhir dari penyerahan”.

(54). Punang tarate ingiling-iling // winaca sira sinuksmeng driya // punang


thika sawiyose // tyas ruksa angga trenyuh // rujit dening raosing tulis // aglar
punang sasmita // wirasan arja ‘lus // winelan-walen winaca // rarasing thika
munya padha kakawin // kidung wekasing patra.
Tulisan di atas kelopak bunga teratai dibaca berulang-ulang, serta dicamkan
didalam hati. Isinya mengharukan, hati Seh Malaya tersentuh karena
banyaknya kiasan didalamnya; lagi pula susunan kata-katanya amat halus dan
indah. Berulang-ulang dibacanya surat itu, yang diakhiri dengan penuh Jawa
Kuna Aswalalita.

(55). Irika Acwalalita ta sang sumitra ri sedeng // mahas tekap ikang suwesma
siwaya // taki-taki teng tutur-kwa huningan // ku masku rari yan kaka
katawengan // pilih alupa ing sepet rari baliknya // harja katuturnya sewaka
tular // trena lata rupa jar kwari sedheng // katiga wara dibya nungsung (ing)
udan.
Penutup surat itu berbunyi sebagai berikut : “Selama adinda pergi
meninggalkan rumah dan keluarga, aku harapkan agar adinda ingat kepada
kata-kataku. Selanjutnya aku beritahukan kepada adinda, bahwa aku ingin
sekali dapat bertemu dengan adinda, seperti tumbuh-tumbuhan
mengharapkan hujan di musim kering”

(56). Kadi puspita asehen sari // dhuh sumitraningong // iwir bramarengsun


tan polih rume // wonten puspita asehen sari // bramara ‘ngrerengih // arsa
wruhing santun.
“Diriku ibarat kumbang, kawanku, yang tidak dapat memperoleh bau wangi
dari bunga yang penuh dengan tepung sari. Aku sangat rindu bertemu dengan
adinda, seperti kumbang yang merindukan bunga”.
(57). Punang tarate sampun winuning // mangke sinalah punang puspita //
meneng anggrahiteng twase // pun Wujil awotsantun // paran marma meneng
tanpa ‘ngling // kawula ‘rsa miharsa // wuwus kang minangun // sadalemning
walapatra // wiyosing ling kang siniwi ing ki Wujil // donisun maring Mekah.
Setelah membaca teratai itu, Seh Malaya meletakkannya, kemudian duduk
termenung. Wujil bertanya, “Mengapa Gusti berdiam diri? Hamba ingin juga
mengetahui isi surat”. Seh Malaya berkata: “Gurumu mengutarakan tentang
perjalanan yang kulakukan ke Mekah”.

(58) Pun Wujil sigra binakta mulih //mantuk sireng dhekeh Pagambiran //
punang randha tumut kabeh // pun Wujil tan seng pungkur // tan kawarneng
sopana prapti // wus adan kukurenan // pun Wujil ingutus // ananjak pareng
akathah // wusing ananjak linorod maring puri // sampun sami anginang.
Selanjutnya Seh Malaya mengajak Wujil ke pondoknya di kampung
Pegambiran. Banyak orang yang telah bercerai, janda, mengikutinya. Wujil
berjalan paling belakang. Mereka tiba di pondok, dan mereka makan siang.
Wujil diminta makan bersama-sama dengan orang banyak. Selesai makan,
piring-piring diundurkan dan mereka mengunyah sirih.
(59). Suruping arka Seh Malaya ‘ngling // ra Wujil mbenjang yen sira pulang //
matura salingku mangke // sampun rekeh kadulu // dhapur sabda tuturireki //
satutur-tuturingwang // den katur punika // dipun katon saking sira // aja
katon sabda saking isun Wujil // sa-kabisa-anira.
Setelah matahari terbenam, Seh Malaya berkata kepada Wujil, “Jika kau
pulang besok, harus kau sampaikan kepada Gustimu, segala yang (akan)
kukatakan. Tetapi utarakan dengan kata-katamu sendiri. Kau pasti bisa
mengatakan seperti hal itu dengan kata-katamu sendiri. Jangan ketahuan
bahwa itu kata-kataku, Wujil”.

(60). Karaningsun ra Wujil awali // maring Mekah wangsul ing Malaka // guru
awangsul ing Pase // marmane kang sinuhun // wangsulira kinen abali // mara
ing Nusa Jawa // kang akon awangsul // nenggih pawong-sanakira // pangeran
Molana iku Maghribi // kang akon awangsula.
“Sebabnya, setelah aku pergi ke Mekah dan kembali ke Malaka lagi, sedang
Guru besarku kembali ke Pasai. Seorang teman guruku menyarankan agar
beliau kembali ke Jawa. Teman guruku itu bernama Maulana Maghribi.”

(61). Samana ‘ngling Molana Maghribi // singgih pakanira awangsula // nora’na


ing Mekah rekeh // ing Mekah kulon iku // Mekah tiron wastanireki // watu
ingkang kinarya // pangadhepanipun // Nabi Ibrahim akarya // Nusa Jawa yen
tuwan tinggala kapir // lan tuwan awangsula.
Beginilah kata Maulana Maghribi, “Kembalilah, sebab apa yang Anda cari itu
tidak Anda temukan di Makah. Mekah yang di barat itu dapat disebut Mekah
palsu. Benda keramat yang ada di didalamnya adalah batu, yang dibuat oleh
Nabi Ibrahim. Dan jika Anda meninggalkan tanah Jawa, maka tanah air ini
menjadi kafir. Oleh karena itu, kembalilah”.

(62). Nora’na weruh ing Mekah iki // alit mila teka ing awayah // mangsa
tekaeng parane // yen ana sangunipun // tekeng Mekah tur dadi Wali //
sangunipun alarang // dahat dening ewuh // dudu srepi dudu dinar //
sangunipun kang sura legaweng pati // sabar lila ing dunya.
“Tidak ada orang yang tahu, di mana Mekah yang sebenarnya, meskipun
mereka memulai perjalanannya sejak muda hingga tua, mereka tidak akan
mencapai tujuannya. Apabila orang mempunyai bekal perjalanan cukup, ia
dapat sampai di Mekah untuk menjadi Wali. Tetapi bekal itu mahal, besar dan
sukar diperoleh. Bekal itu bukan berupa uang rupiah atau dinar. Bekal itu
adalah keberanian dan kesanggupan untuk mati, kehalusan budi dan menjauhi
kesenangan duniawi (zuhud)”.

(63). Masjid ing Mekah tulya ngideri // Ka’batullah punika ‘neng tengah //


gumantung tanpa cecanthel // dinulu sakung ruhur // langit katon ing
ngandhap iki // dinulu saking ngandhap // bumi aneng ruhur // tinon kulon
katon wetan // tinon wetan katon kulon iku singgih // tingalnya awalesan.
“Didalam masjid di Mekah itu terdapat singgasana Tuhan (Ka’bah), yang
berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa kaitan.
Dan jika orang melihatnya dari atas, orang akan melihat langit di bawah.
Apabila orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika
orang melihatnya ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur, maka
akan terlihat barat. Ini sungguh. Di sana pemandangan menjadi terbalik”.

(64). Tinon Kidul katon lor angrawit // tinon lor katon kidul asineng //
pepeloking mrak samine // Ka’batullah puniku // lamun ana sembahyang siji //
anging kawrat satunggal // yen roro tetelu // anging samono ambanya //
yadyan wong salaksa kawrat iku singgih // tungkep rat pan kawawa.
“Jika orang melihat ke selatan, yang tampak ialah utara, indah. Dan jika melihat
ke utara, nampak selatan, gemerlapan seperti (ekornya) burung merak. Apabila
seseorang yang bersembahyang di Ka’batullah maka hanya ada ruangan cukup
untuk satu orang itu. Jika ada dua atau tiga orang orang, maka ruangan itu juga
hanya cukup untuk dua atau tiga orang itu. Akan tetapi jika terdapat 10.000
orang yang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka
itu semua. Itu sungguh. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan di
sana, akan tertampung juga”.

(65). Iku tuturingsun hih ra Wujil // tutur Wujil maring kang sinembah //
katona saking awake // aja katon yen isun // yen atakon sang Mahamuni //
mature : Sahur sembah // sembah ingkang katur // pun Wujil angabiwada //
keras saking ngarsanira santri Wujil // lampahnya garawalan.
“Itulah Wujil, yang kusampaikan kepadamu. Katakanlah kepada Gustimu
seperti kata-katamu sendiri, bukan kata-kataku. Dan sekiranya Kanjeng Sunan
menanyakan dariku, katakanlah bahwa aku hanya menghaturkan sembahku”.
Wujil menyembah, meninggalkan Seh Malaya dan segera berlalu.

(66). Datang kawarnaeng marga prapti // sang kaya lagya pindha


niskala //  alinggih majeng mangilen // pun Wujil wruh ing semu // nora matur
teka alinggih // prayanti kang sinaptan // pun Wujil wus emut // emut
asewakeng nata // akit mila angawuleng sri bupati // nora beda mangkana.
Kita tidak membicarakan perjalanannya. Wujil tiba di Bonang ketika Sang
Pertapa tengah bersemedi dan menganggap dirinya seakan-akan tidak ada,
duduk menghadap ke barat (kiblat). Wujil yang tahu suasana, tidak segera
membuka mulut, tetapi langsung duduk. Ia sabar menunggu, karena selalu
ingat akan aturan saat mengabdi kepada Raja Majapahit dan ia berlaku seperti
itu juga terhadap Sang Pertapa.

(67). Trehing karsa sinapa ra Wujil // bagya ra Wujil asarag prapta // stutinira
matur mangke // saksana ‘glis umatur // tanpa ‘nggosthi sang pinaran ling //
atur sembah kewala // sudibya anuhun // sawekase Seh Malaya // kang
aksama denira sang Maha Muni // wruh wekasing wasita.
Setelah Sang Pertapa melepas semedinya, beliau berpaling kepada Wujil, dan
berkata, “Selamat datang kau Wujil. Cepat benar kau kembali”, Wujil
menyembah dan menjawab, “Gusti Malaya yang Paduka kirimi surat, tidak
berpesan suatu apa. Hanya menyampaikan sembahnya”. Wujil pandai sekali
melaksanakan pesan Seh Malaya, oleh karena itu Sang Pertapa
memaafkannya. Beliau tahu diri dari bahasa.

(68). Wruhanira iku hih ra Wujil // pawong-sanakku ki Seh Malaya // saking


Malaka wangsule // ing garage kadunung // amangun reh amanting ragi //
ingaran Kalijaga // nggenira mangun kung // laminipun limang warsa //
pinondhongan denira nateng  ngawanggi // marganira neng Demak.
“Ketahuilah Wujil, bahwa kawanku Seh Malaya, sekembalinya dari Malaka,
bertempat tinggal di Cirebon. Ia menjalankan penyucian diri di sana selama
lima tahun. Tempat ia melaksanakan penyucian bernama Kalijaga. Setelah itu,
Raja Awanggi memanggilnya. Itulah sebabnya ia mempunyai rumah di Demak”.

(69). Wonten putrane ilang sasiki // lanang sudi (bya) manggeh ing tapa //
angirangi pangan kule // yayah rena anapu // sampun gege maksih taruni //
dadya rujit tyasira // marma tibra ‘nglamung // putra lunga tan sjarwa //
manah lampus lunga angingkis ing wengi // rena dadya sungkawa.
Seorang putranya telah hilang, seorang anak yang cakap yang gemar bertapa
dengan mengurangi makan dan tidur. Orang tuanya menghibur dia dengan
kata-kata, “Janganlah kau tergesa-gesa. Usiamu masih muda”. Kata-kata itu
justru menyebabkan hatinya sakit, akibatnya ia selalu nampak murung. Pada
suatu malam, dengan hati yang hancur, anak itu diam-diam pergi tanpa pamit
hingga menyebabkan orang tuanya bersedih hati.

(70). Marmane pawong-sanakku Wujil // asalin tapuk araraketan // wetning


tresna ing anake // margane anggambuh // singa desa kang den leboni // tan
etang sandhang pangan // wirang tan tinutur // Hih ra Wujil ing agesang //
mapan ewuh mati sajroning aurip // awis kang lumabuha.
“Itulah sebabnya, Wujil, mengapa kawanku kemudian mengambil peran yang
lain, dan justru sebagai penari topeng. Bahwa ia memilih menjadi penari
sandiwara keliling, disebabkan amat besar cintanya kepada anaknya. Ia
mengunjungi tiap—tiap desa (guna mencari anaknya), tanpa menghiraukan
makan dan pakaian, dan tanpa memikirkan pula aib dirinya. Ah Wujil, dalam
kehidupan ini, sukar untuk mati selagi masih hidup. Tidak banyak orang yang
dapat melakukannya”.

(71). Pati patitising angabakti // nora etang Wujil wiwilangan // pan mulih
maring jatine // yen ana ketang-ketung // yekti sira tan apapunggih // kalawan
kang sinadya // yen sira’rsa temu // sirnakena raganira // yen sira wus atemu
akaron kapti // kapti anunggal karsa.
“Mati merupakan kebaktian yang paling tepat, tiada lagi yang diperhitungkan
atau diri, Oh Wujil, oleh karena orang kembali ke asalnya. Jika kau masih
memperhitungkan sesuatu, kau tidak akan menemukan Apa yang kau
harapkan. Jika kau ingin menemukan-Nya, maka kau harus menghancurkan
nafsu-nafsumu. Jika kau telah menemukan-Nya,
maka kemauanmu akan manunggal dengan kemauan-Nya”

(72). Tunggal rupa saose namaneki // tunggal rasa saos rupanira // tinunggal
sarwi-sarwine // sampune tunggal iku // saha satya pati saurip // larangane tan
ana // sandhang pangan iku // sakarsane tunggal karsa // wong sinihan tan
kena andum amilih // cihna tinunggal karsa.
“Engkau akan manunggal dengan Dia; hanya nama saja yang berlainan. Engkau
akan menjadi satu dalam rasa dengan Dia, dengan berbeda wujud. Dalam
segala hal kau akan manunggal dengan Dia. Setelah manunggal serta kau
serahkan mati dan hidupmu kepada-Nya, maka tidak ada larangan bagimu
dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan
kehendak-Nya. Orang yang telah diampuni tidak boleh memilih atau membagi
(yakni membeda-bedakan dalam segala hal), sesuatu tanda
tentang manunggalnya kehendak dengan Dia”.

(73). Punang kang sinung andum amilih // iya iku wong kang aneng jaba // nora
weruh ing jerone // sembahipun den sawur // tan wruh rekeh ing dalem puri //
anging warta kewala // kang ketang kadhatun // aja sira umung warta // warta
iku anasaraken sajati // yen sira sisip tampa.
“Mereka yang masih memilih atau membagi ialah orang yang masih berada di
luar; mereka tidak tahu isinya. Diarahkannya shalat ke tujuan yang tidak
menentu. Karena ia tidak mengenal (Raja) didalam Kraton. Ia hanya
mendengar-dengar saja tentang Dia. Baginya kratonnya yang utama,
bukan Rajanya. Janganlah bertindak hanya berdasarkan pendengaran saja,
karena jika kau salah mengerti maka kau akan kesasar”.

(74) Hi Satpada aglis amet cermin // mangkatpun Satpada aglis prapta //


punang cermin katur mangke // sang guru lingnya muwus // Sandhakena ing
kayu tangi // Wujil Satpada padha // angilowa iku // mangkat karo kang
inangyan // pun Satpada angling kaca iki Wujil // ambane andhap sira.
“Hai Satpada, cepat kaum ambil cermin”. Satpada pergi dan segera kembali
membawa cermin serta diserahkan kepada Gustinya. Sang Maha Guru berkata,
“Gantungkan cermin ini pada pohon wungu itu. Kalian, Wujil dan Satpada,
bercerminlah” Keduanya menjalankan perintah Gustinya, Satpada berkata :
“Cermin ini lebih besar daripada Anda, Wujil”.

(75). Kawan kilan ambane kang cermin // paran dene amba punang kaca // ra
Wujil lawan dedege // punang Wujil ingutus // angadega hih ra Wujil // sang
kinon sampun mangkat // pun Wujil kadulu // kakar sakukuncitira // kadi rare
wedana anjeruk wangi // dening sampun atuwa
“Cermin ini lebarnya empat jengkal, tetapi tinggal Wujil kalah besar”.
Kemudian Wujil mendapat perintah : “Berdirilah kau di depan Cermin”. Wujil
melakukan perintah dan tampaklah bayangannya sampai kuncung keriput
seperti jeruk wangi, karena sudah tua.

(76). Pun Satpada angling hih ra Wujil // sira angadeg isun asila // paran dene
padha mangke // lir rare yen dinulu // wadanane anjeruk wangi // mesem sang
Adigarwa // ra Wujil sireku // amalesa dipun enggal // Uni enjing kawula lagi
den sapih // dening pun ra Satpada.
Satpada berkata, “Wujil, kau berdiri dan aku duduk, tetapi kita sama besarnya.
Anda tampak seperti anak-anak, tetapi berwajah penuh keriput seperti jeruk
wangi”. Guru Besar yang agung tersenyum atasnya, “Wujil, kau harus
membalas, cepat”. Wujil berkata, “Tadi pagi, baru saja hamba disindir oleh
Satpada”.

(77). Pun Satpada ‘ngling angalesani // guguyone ra Wujil kakarsa // atutug


pabanyole // sang sinuhun amuwus // siswa  kalih sinungan tuding // ra Wujil
awasena // jroning kaca iku // karo sira si Satpada // ling pun Wujil puniki rupa
kakalih // tan sah tinunggal karsa.
Satpada berkata sambil mencari alasan untuk menghindar, “Ejekan Wujil
memang jitu dan lawakannya lucu”. Sang Maha Guru berkata kepada siswanya,
“Wujil dan Satpada, lihatlah didalam cermin”. Wujil berkata, “Kami lihat
didalam cermin ada dua bayangan, yang selalu berkemauan satu”.
(78). Pun Satpada ‘ngling hih kaki Wujil // karsaningsun lawan karsanira // pun
endi rekeh tunggale // sira kalawan isun // mapan jalu kalawan istri // pundi
tunggale ika // pun Wujil amuwus // nora beda ing jalu ka- // lawan istri pan
sira tinunggal cermin // lir rupa ‘nang papreman.
Satpada berkata, “Apa Wujil, di manakah kemauan antara anda dan aku?
Bukankah aku wanita dan anda laki-laki? Dimanakah kesatuannya?”. Jawab
Wujil, “Tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, karena Anda
dipersatukan dengan aku didalam cermin seperti dalam ranjang”.

(79). Pun Satpada nora  wruh tumuli // pundi tunggale gusti kawula // ra Wujil
sasar idhepe // pun Wujil glis sumahur // Nora beda jalu myang istri //  kang
aneng jro pahesan // tunggal rupanipun // lanang wadon yen wus tunggal //
ing pahesan tan kocap jalu myang istri // pan iku rasa tunggal.
Satpada tidak segera dapat mengerti bagaimana manunggalnya antara Gusti-
Kawula, sedangkan pendapat Wujil tidak benar. Wujil berkata, “Tidak ada
perbedaan antara lelaki dan perempuan yang berada didalam cermin. Kedunya
mempunyai wajah yang sama. Jika kini lelaki dan perempuan didalam cermin
menjadi satu, maka tidak ada persoalan lagi antara lelaki atau perempuan,
karena mereka pada hakekatnya adalah satu”.

(80). Pun Satpada sira aglis aris // kalingane Wujil anjajawat // lir wong awulus
rupane // ra Wujil glis sumahur // Nora nyana ujar puniki // pan sira salah
tampa // mesem sang sinuhun // lah Wujil sira menenga // awasena rupa kanf
aneng jro cermin // teka lunganing rupa.
Perlahan-lahan Satpada berkata, “Hai Wujil, mungkin anda menyindir soal
asmara. Seperti halnya anda berbentuk normal”. Wujil menanggapi, “Bukan itu
yang kumaksudkan. Anda salah faham”. Sang Maha Guru dengan senyum
berkata, “Diam, Wujil, lihat bayangan didalam cermin, dan lihat datang dan
perginya (bayangan itu)”.

(81). Rupa kang aneng sajroning cermin // lamun manjing punendi enggenya //
yen lunga endi parane // hih ra Wujil sireku // angerana wurining cermin // ra
Satpada ‘wasena // rupa roro iku // rupane si Wujil ika  // ingkang ana ing
cermin  enggene mangkin // Ken Satpada kemengan.
“Bagaimana bayangan itu datang dalam cermin dan ke mana perginya jika
bayangan itu menghilang? Berdirilah di belakang cermin, Wujil!”. Kepada
Satpada, “Lihatlah kedua bayangan, bayanganmu dan bayangan Wujil yang tadi
ada didalam cermin;  kemana bayangan Wujil sekarang?”. Satpada tidak segera
mengerti dan berkata :

(82). Singgih pukulun rupa sawiji // pun Wujil wonten wurining kaca // nora
katingal rupane // kang katingal pukulun // anging rupa kawula singgih // ra
Satpada lungaha // anggonana iku // enggone si Wujil ika // Hih ra Wujil,
metuwa sira den aglis // dulunen rupanira.
“Wahai Gusti, hanya ada satu bayangan. Wujil ada di belakang cermin, jadi
bayangannya tidak tampak. Hanya bayangan hamba yang nampak”. Sang Maha
Guru berkata kepada Satpada, “Pergilah dan berdirilah di tempat dimana Wujil
sekarang berdiri”. Kepada Wujil, sang Guru berkata , “Pergilah dari tempatmu
dan lihatlah bayanganmu”.

(83). Rupane pun Wujil den tingali // si Satpada Wujil ana ora // rupane iku
samangke // ndan pun Wujil umatur // boten wonten rupaning isteri // anging
rupa kahula // punuika pukulun // aneng ngendi si Satpada // ing rupane pun
Wujil matur abakti // suhun sembah kahula.
Wujil melihat dalam cermin. Sang Maha Guru bertanya, “Melihatkah kau
sekarang bayangan Satpada didalam cermin?”. Jawab Wujil, “Hamba tidak
melihat bayangan seorang wanita dalam cermin, tetapi bayangan hamba
sendiri”. Sang Maha Guru berkata, “Dimanakah bayangan Satpada?”  Wujil
menjawab, “Hamba tidak tahu”.

(84). Pun Wujil matur asahur bakti // panggrahitaning kawula mindha //


tunggaling roro karsane // orane ananipun // ananipun oranireki // Sang Guru
adi lingira // unggahe lingiku // pun Wujil asahur sembah // tan kena munggah
raos kadi uniki // anuhun pangandika.
Wujil melanjutkan dengan hormat, “Menurut pendapat seorang dungu seperti
hamba, yang dimaksudkan oleh Gusti ialah Manunggalnya dua unsur : Ke-
Tiada- -annya adalah  Ke-Ada-annya, dan Ke-Ada-annya adalah Ke-Tiada-
-annya”. Sang Guru berkata, “Bagaimana penjelasanmu selanjutnya?”. Wujil
sambil berdatang sembah, “Hal ini tidak dapat dijelaskan lagi. Apa pendapat
Gusti?”.

(85). Sang Ratu Wahdat lingira aris // hih ra Wujil bener ujanira // samene iku
unggahe // LA ILAHA puniku // amot Itsbat kalawan Nafi // Jatine ana-ora // iku
tegesipun // Pangeran asipat ora // ing orane samput awit ananeki //
anane’ku nakirah.
Sang Ratu Wahdat (Sunan Bonang) berkata perlahan-lahan, “Kau benar Wujil.
Hal ini hanya dapat dibicarakan sampai di sini saja. La
Ilaha meluputi Itsbat (konfirmasi) dan Nafi (negasi, penyangkalan), adalah ke-
Ada-an dan ke-Tiada-an. Artinya : Hakekat dari Tuhan adalah Ketiadaan, dan
didalam Ketiadaan-Nya itu Dia mulai Ada. Dan ADA-Nya itu
disebut Nakirah (Ada Tuhan yang bersifat umum).  

(86). Nafi Nakirah lan Nafi Jinis // mapan iku jinising Pangeran // kang Nafi
nyateng Itsbate // Nafi lan Itsbat iku // nora pisah pan ora tunggil // Nafi
kalawan Itsbat // Nafi karoni pun // Nafi roro winaleran // dining ILLA karone
tan kena manjing // maring lafal ILLA’LLAH.
Nafi Nakirah dan Nafi Jinis merupakan Wujud (jenisnya) Tuhan. Nafi (negasi)
mengandung Itsbat (konfirmasi, pengakuan). Nafi dan Itsbat itu tidak terpisah,
dan juga tidak manunggal. Akan tetapi Nafi dan Itsbat, juga kedua macam Nafi
(Nafi nakirah dan Nafi jinis) kedua-duanya dibatasi oleh
kata ILLA (pengecualian, pembatasan), dan tidak boleh (atau tidak dapat)
masuk kedalam lafazh ILLA’LLAH.

(87). Hih ra Wujil kawruhana malih // kang Itsbat iku rekeh den nyata // atuduh
marang Mutsbate // dalil kalawan mad-lul // iki rekeh saminireki // ingkang
lafal ILLA’LLAH // Mutsbat aranipun // mutlak iku Ismu’llah // tan kena liyanena
Pangeran kalih // anging lafal ILLA’LLAH.
“Selanjutnya kau harus tahu, Wujil, bahwa yang namanya Itsbat (pengakuan :
Ke-Ada-anNya) harus memberi petunjuk yang jelas kepada Mutsbat-nya
(segala sesuatu yang dianggap “Ada”), seperti suatu Dalil (petunjuk)
terhadap Madlul-nya (yang ditunjuk).
Rumus Illa’allah dinamakan Mutsbat (Yang dianggap “Ada”), yakni secara
mutlak merupakan Ismu’llah (Nama Pribadi Allah). Tuhan lain tidak boleh
ditempatkan di samping-Nya. Hanya Dia Allah-lah rumus Illa’llah itu
layak/tepat”.

(88). Hih ra Wujil eweh ujar iki // mapan eweh rekeh ing panarima // pan eweh
lalabuhane // marmane wong puniku // kudon-kudon ujungan liring // sami
amijet lafal // tartibe den lembut // bayan mani’ lawan sharaf // Nahwu den
gulang-gulang rahina wengi // kawruh kandheg ing lafal.
“Baiklah Wujil, masalah ini memang sukar, susah dimengerti, dan juga sukar
dijadikan pegangan. Itulah yang menyebabkan orang-orang saling bertengkar,
karena keinginannya yang keras untuk meyakinkan orang lain. Mereka
berpegang erat-erat pada hurufnya, mengikuti kaidah-kaidah mempelajarinya,
bayan mani’, sharaf dan nahwu (tatabahasa). Akan tetapi pengetahuannya
terhenti pada hurufnya”.

(89). Meh sumurup mangke sang hyang rawi // awatara tunggang ing acala //
matur pun Wujil ndan linge // Singgih rekeh pukulun // wonten rekeh ngaturi
ringgit // wesma ing pananggungan // wastane pun santun // tilikana
panggungira // gebogane yen ala Wujil salini // noli konen aleksa.
Matahari hampir tenggelam, sudah berada di puncak gunung. Wujil berkata,
“Ada orang yang akan memberi pertunjukan wayang. Ia tinggal di
Penanggungan dan bernama si Sari”. Sang Pertapa berkata, “Lihatlah sebentar
pentasnya. Jika batang pisanya tidak dapat digunakan lagi, harus kau ganti, dan
sekalian suruhlah segera mulai”.

(90). Mantuk ing gedhong sang mahamuni // sampun atatalu kang awayang //
saha nitir gegembinge // tan angangge pupucuk // dhalang Sari tumulya
angringgit // angangge Bratayudha // ing kawitanipun // bikseka Sang Nateng
Daha // kalaning amuja ‘ngglar palane dadi // ra  Aji Jayabaya.
Sang pertapa yang agung kembali ke kamarnya, dan pertunjukan wayang telah
dimulai dengan talu terus menerus orang memukul gembing. Tidak
dipertunjukkan permainan permulaan, dan Dalang si Sari telah mulai dengan
Lakon Bratayudha. (syair ini) mulai dengan pujian terhadap Raja Daha. Tatkala
Raja itu tenggelam dalam samadinya (meditasi) yang menyebabkan Raja itu
diberi nama Jayabaya.

(91). Panerus tinggal tataning Nabi (tahun 1529) // sasangkala kawitan angripta


// babakane pawayange // duk jawata tumurun // sang Narada Janaka
nadwu // bagawan parasu kang // tumut ing salaku // laku sang nararya Kresna
// sigra mijil saking gedhong kang siniwi // glis Seh Malaya teka.
Tulisan ini digubah dalam tahun Syaka 1529 (atau tahun 1607 M). Fragmen
(adegan) yang dimainkan ialah turunnya Narada, Janaka dan Parasurama, yang
akan mengikuti Kresna sebagai duta dari Pandawa ke Hastina. Sang Pertapa
segera keluar dari kamar dan Seh Malaya segera datang juga.

(92). Sisya kakalih ingkang umiring // ken Lawungsalawe Wanakarta // katur


sang adi tekane // ingaturan glis rawuh // sami sira sareng alinggih // ingaturan
adhahar // tan arsa sang tamu // sang guru adi awasita // sun pariksa sampun
tekeng Mekah yayi // Singgih sampun Pangeran.
Diikutinyalah oleh dua orang murid, Lawungsalawe dan Wanakarta.
Kedatangan Seh Malaya diberitahukan kepada Sang Pertapa, oleh orang yang
mempersilahkan tamunya. Setelah bertemu, mereka duduk bersama. Makanan
dihidangkan, akan tetapi tamunya menolak. Sang Maha Guru berkata
(setengah menyindir), “Seperti kuketahui, Dinda telah pergi ke Mekah,
bukan?”. Jawab Tamu, “Benar, Pangeran, aku telah ke sana”.

(93). Kahula duk teka’ng Mekah singgih // amangun reh duk ing Kalijaga // ing
Mekah liwat rusite // ombaking  sagara gung // jukung rekeh kang sun titihi //
margane maring Mekah // toyane sumurup // palwa sumurup ing toya //
maring bumi pandoman malim tan kari // malim saking jengira.
“Aku pergi ke Mekah waktu aku sedang bertapa di Kalijaga. Mekah sukar
dicapai; gelombang-gelombang lautan amat besar, dan aku berada di atas
perahu. Air dari jalan ke Mekah menggenangi (permukaan laut). Dan perahuku
juga masuk kedalam air, bahkan kedalam bumi. Akan tetapi ajian sebagai
kompas telah kumiliki, ajian yang kuperoleh dari Paduka”.

(94). Sampun liwat saking toya asin // prapteng sagara wedya awalikan // lir rat
sangara ombake // gek gra nggurnita guntur // lindhu sayat belah kairing //
wukir pating gulimpang // umumbul mring dhuwur // atarung ing awang-
awang // surya wulan tan ana cahyanireki // kang lintang sumamburat.
“Setelah aku melintasi laut asin, aku sampai di padang pasir, yang ombaknya
bergulung-gulung menggelora seakan-akan dunia ini akan kiamat. Gelombang-
gelombang itu menggelegar gemuruh laksana gunung meletus, bumi
berguncang-guncang, terbelah dan miring; gunung-gunung terguncang jauh
dan melayang-layang di udara untuk saling berbenturan di sana. Matahari dan
bulan tidak memancarkan cahayanya, sedangkan bintang-bintang bertebarann
ke segala penjuru”.

(95). Duk liwat saking sagara wedhi // sagara geni mangka andungkap // kadi
ndaru ombake // sindhung wukir kaguntur // agni rupa muntap lir thathit //
kukusnya awalikan // gandhanya mis arung // ambune kadi sundawa // lir
walirang sumuking geni awalik // lir gelap sasra laksa.
“Setelah aku melewati padang pasir, aku sampai pada lautan api, yang
gelombang-gelombangnya seperti meteor (bintang jatuh). Karena angin yang
kencang, gunung-gunung terlempar jauh. Gunungan-gunungan api menyala
seperti kilatan halilintar. Asapnya beterbangan naik turun, mengeluarkan bau
busuk dan tidak sedap seperti mesiu dibakar . Uap api berbau belerang,
menggelegar bagaikan seribu, ya selaksa, halilintar bersama-sama”.

(96). Angin malim saking jengireki // datan sah kacekel aneng tangan //
lulusing lampah tekane // liwat saking iriku // dennya ngaji basa alami //
ewahing basa Mekah // tan sasaminipun // nora mambu tutulisan //
marmanipun wong ngaji akeh kabali // pilih wong wruheng Mekah.
“Akan tetapi ajian yang kuterima dari Paduka, kugenggam selalu dalam
tanganku, akibatnya perjalananku dikaruniai keberhasilan. Setelah aku
melewati lauitan api (aku sampai di Mekah), dimana aku masih harus
mempelajari bahasanya agak lama. Kesukaran dari bahasa Mekah tidak dapat
diperbandingkan, karena tidak ada sedikitpun yang mirip tulisan. Itulah
sebabnya banyak mahasiswa yang berhenti di tengah jalan. Tidak banyak orang
yang mengenal Mekah”.
(97). Punang awayang babakanneki // kalane teka ing jajabelan // kinon
awusana mangke // Seh Malaya winuwus // sigra mangke ingajak mulih //
maring gedhong pasunyan // sisyane tan kantun // lawungsalawe kalawan //
wanakarta katiga lawan ra Wujil // sami ababar-babar.
Permainan wayang sekarang sudah sampai pada bagian minta kembalinya
separo negara. Waktu itu pertunjukan selesai. Seh Malaya diajak oleh Sang
Pertapa masuk kedalam sanggar pamujan (tempat bersemedi); para siswa juga
mengikuti: Lawungsalawe, Wanakarta dan ketiga si Wujil. Mereka akan
bertukar pikiran.

(98). Sasampunira sami alinggih // Hih yayi Malaya nedha padha // winicara iki
mangke // punang awayang wahu // lalakone punang angringgit // angangge
Kresna Duta // semune ki empu // nedha sami winicara // sinemoke Agama
Islam puniki // padha turuna sabda.
Setelah semua duduk, Sang Pertapa berkata, “Adinda Malaya, marilah kita
membicarakan kembali pertunjukan wayang yang baru saja dimainkan. Lakon
yang telah dipilih adalah Kresna Duta (Kresna sebagai utusan). Marilah kita
berbicara tentang maksud yang terdalam dari penggubah syair, hubungannya
dengan Agama Islam. Keluarkanlah pendapat kalian masing-masing”.

(99). Seh Malaya sahur sembah angling // datan wikan patemoning basa //
arab kalawan jawane // aksara ‘rab pukulun // boten bisa sisya kakalih // tan
asawala karsa // ing aturireku // sang Ratu Wahdat lingira // pasemone Nafi
Isbat iku yayi // wayang tengen lan kiwa.
Seh Malaya berkata sambil menyembah, “Aku tidak dapat menghubungkan
persoalan Jawa dengan agama Islam. Juga karena kedua muridku tidak
mengenal sastra arab. Mereka hanya mengikuti pendapat Paduka”.
Sunan  Wahdat berkata, “Wayang yang ada di sebelah kiri dan kanan
merupakan perlambang (ibarat) dari Nafi – Itsbat, Adindaku”.
(100). Kang kiwa puniku maring Nafi // kang tengen puniku maring Itsbat //
pandhawa maring Nafine // Itsbat karowa ikut // Itsbat iku pan asal Nafi // Nafi
pan asal Itsbat // mutsbat kang den rebut // Kresna kang dadi pahesan //
Kresna kaca pahesaning ringgit kalih // kalah menang ing kaca.
“Wayang-wayang di sebelah kiri mewakili Nafi, di sebelah kanan
mewakili Itsbat. Para Pandawa memerankan Nafi, para Korawa
memerankan Itsbat. Timbulnya Nafi disebabkan oleh Itsbat, akan tetapi juga
sebaliknya (timbulnya Itsbat disebabkan oleh Nafi). Sekarang mereka
berperang memperebutkan Mutsbat, sedangkan Kresna pegang peranan
sebagai cermin dari kedua belah pihak. Menang atau kalah tergantung dari
cermin itu”.

(101). Mulaneku arebat nagari // iya Mutsbat iku kang den rebat // mulane
perang dadine // nagara kang den rebat // Korawandra rebut nagari // lan
jenenging Pandhawa // iku semunipun // mulane wong asawala // Nafi-Itsbat
kang den rebut iku yayi // ing mangke tekeng kina.
“Perebutan negara adalah sama dengan
perebutan Mutsbat antara Nafi dan Itsbat. Peperangan berebut antara
Pandawa dan Korawa dapat disamakan dengan perebutan Mutsbat. Maka
sejak dahulu hingga sekarang manusia berperang, tidak lain, untuk
keperluan Nafi-Itsbat”

(102). Mapan angeling ujar puniku // nora kena ngukuhi aksara // kang aksara
kadadine // dadining nyana iku // nyana nora amung sawiji // nyana awarna-
warna // dadine kapahung // akeh anyembah ing nyana // paksa hresthi sarira
bisa angaji // ujare nyananira.
“Persoalan ini sangat sukar. Orang tidak boleh berpegang teguh pada
aksaranya (huruf, ajaran yang tertulis). Karena lahirnya aksara itu berkat
adanya Faham (= nyana, gagasan, dugaan). Dan tidak ada satu faham, akan
tetapi banyak faham, hal mana menyeret ke arah kesesatan, karena banyak
orang yang mendewa-dewakan fahamnya. Orang sudah merasa senang,
menyadari bahwa dia sudah dapat mengaji (membaca Al-Qur’an, kitab atau
buku lainnya), akan tetapi itu adalah bisikan dari faham kita”.

(103). Yen sira ‘yun yayi  wruhing wadi // ujar iku anduluwa surya // hih yayi
paran rupane // sampun ta kakduk semu // padha pisan dennya aningali //
atining wuluh wungwang // ilir gigiring punglu // sanepa purusing ayam // kuda
‘ngrap ing pandengan punika yayi // kembang lo tanpa wigar.
“Jika ingin mengerti persoalannya, Adinda, lihatlah wajah Dinda sendiri (yaitu
melihat diri sendiri). Bagaimana rupa-bentuknya? Jangan membuat banyak
komentar. Dinda harus melihat tengah-tengahnya bambu yang terbuka kedua
ujungnya; atau melihat garis punggung peluru; atau melihat anggota rahasia
seekor ayam jantan; atau melihat seekor kuda yang berlari kencang, sedangkan
binatang itu tetap berdiri di bawah atap; atau melihat bunga Lo, yang tidak
pernah layu”.

(104). Mereneya yayi den agelis // isun kangen yayi maring sira // apepekulan
karone // susu adu lan susu // netra karna grana pan sami // suku lan suku
padha // Sang Ratu amuwus // maring sira Seh Malaya // padha merem aja ’na
winalang ati // sakedhap tekeng Mekah.
“Kemarilah, Dinda, aku telah menantimu sejak lama”. Keduanya saling
berpelukan, dada beradu dada, muka beradu muka, kaki beradu kaki, Kanjeng
Sunan Bonang berkata kepada Seh Malaya, “Mari kita memejamkan mata dan
jangan ragu”. Dan sekonyong-konyong mereka berdua sampai di Mekah.

Suluk Wujil ( Sunan Bonang )


SASTRA PESISIR JAWA TIMUR DAN
SULUK-SULUK SUNAN BONANG•
Oleh Abdul Hadi W. M.
Jawa Timur adalah propinsi tempat kediaman asal dua suku bangsa besar,
yaitu Jawa dan Madura, dengan tiga subetnik
yang memisahkan diri dari rumpun besarnya seperti Tengger di Probolinggo,
Osing di Banyuwangi dan Samin di
Ngawi. Dalam sejarahnya kedua suku bangsa tersebut telah labih sepuluh abad
mengembangkan tradisi tulis dalam
berkomunikasi dan mengungkapkan pengalaman estetik mereka.
Kendati kemudian, yaitu pada akhir abad ke-18 M, masing-masing
menggunakan bahasa yang jauh berbeda dalam
penulisan kitab dan karya sastra – Jawa dan Madura – akan
tetapi kesusastraan mereka memiliki akar dan
sumber yang sama, serta berkembang mengikuti babakan sejarah yang sejajar.
Pada zaman Hindu kesusastraan
mereka satu, yaitu sastra Jawa Kuno yang ditulis dalam bahasa Kawi dan aksara
Jawa Kuno. Setelah agama Islam
tersebar pada abad ke-16 M bahasa Jawa Madya menggeser bahasa Jawa
Kuno. Pada periode ini dua aksara dipakai
secara bersamaan, yaitu aksara Jawa yang didasarkan tulisan Kawi dan aksara
Arab Pegon yang didasarkan huruf Arab
Melayu (Jawi).
Pigeaud (1967:4-7) membagi perkembangan sastra Jawa secara keseluruhan ke
dalam empat babakan: (1) Zaman
Hindu verlangsung pada abad ke-9 – 15 M. Puncak perkembangan sastra pada
periode ini berlangsung pada zaman
kerajaan Kediri (abad ke-11 dan 12 M, dilanjutkan dengan zaman kerajaan
Singosari (1222-1292 M) dan Majapahit
(1292-1478 M); (2) Zaman Jawa-Bali pad abad ke-16 – ke-19 M. Setelah
Majapahit diruntuhkan kerajaan Demak pada
akhir abad ke-15 M, ribuan pengikut dan kerabat raja Majapahit pindah ke Bali.
Kegiatan sastra Jawa Kuno dilanjutkan di
tempat tinggal mereka yang baru ini; (3) Zaman Pesisir berlangsung pada abad
ke-15 -19 M. Pada zaman ini kegiatan
sastra berpindah ke kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan
penyebaran agama Islam; (4) Zaman
Surakarta dan Yogyakarta berlangsung pada abad ke-18 – 20 M. Pada akhir
abad ke-18 M di Surakarta, terjadi renaisan
sastra Jawa Kuno dipelopori oleh Yasadipura I. Pada masa itu karya-karya Jawa
Kuno digubah kembali dalam bahasa
Jawa Baru. Lebih kurang tiga dasawarsa kemudian, karya Pesisir juga mulai
banyak yang disadur atau dicipta ulang
dalam bahasa Jawa Baru di kraton Surakarta.
Khazanah Sastra Jawa Timur.
Khazanah sastra zaman Hindudan Islam Pesisir – dua zaman yang
relevan bagi pembicaraan kita — sama
melimpahnya. Keduanya telah memainkan peran penting masing-masing
dalam kehidupan dalam masyarakat Jawa dan
Madura. Pengaruhnya juga tersebar luas tidak terbatas di Jawa, Bali dan
Madura. Karya-karya Pesisir ini juga
mempengaruhi perkembangan sastra di Banten, Palembang, Banjarmasin,
Pasundan dan Lombok (Pigeaud 1967:4-8).
Di antara karya Jawa Timur yang paling luas wilayah penyebarannya ialah siklus
Cerita Panji. Versi-versinya yang paling
awal diperkirakan ditulis menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit pada akhir
abad ke-15 M (Purbatjaraka, 1958). Cerita
mengambil latar belakang di lingkungan kerajaan Daha dan Kediri. Versi roman
ini, dalam bahasa-bahasa Jawa, Sunda,
Bali, Madura, Melayu, Siam, Khmer dan lain-lain, sangat banyak. Dalam sastra
Melayu terdapat versi yang ditulis dalam
bentuk syair, yang terkenal di antaranya ialah Syair Ken Tambuhan dan Hikayat
Andaken Penurat.
Tetapi bagaimana pun juga yang dipandang sebagai puncak perkembangan
sastra Jawa Kuno ialah kakawin seperti
Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh), Gatotkacasraya
(Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (Mpu
Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna),
Arjunawijaya (Mpu Tantular), Lubdhaka (Mpu Tanakung); atau karya-karya
yang ditulis lebih kemudian seperti
Negarakertagama (Mpu Prapanca), Kunjarakarna, Pararaton, Kidung
Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Sastra Parwa
(serial kisah-kisah dari Mahabharata) dan lain-lain (Zoetmulder 1983: 80-478).
Apabila sumber sastra Jawa Kuno
terutama sekali ialah sastra Sanskerta, seperti diperlihatkan oleh puitika dan
bahasanya yang dipenuhi kosa kata
Sanskerta; sumber sastra Pesisir ialah sastra Arab, Parsi dan Melayu. Bahasa
pun mulai banyak meminjam kosa kata
Arab dan Parsi, terutama yang berhubungan dengan konsep-konsep
keagamaan.
Kegiatan sastra Pesisir bermula di kota-kota pelabuhan Gresik, Tuban, Sedayu,
Surabaya, Demak dan Jepara. Di kotakota
inilah komunitas-komunitas Muslim Jawa yang awal mulai terbentuk. Mereka
pada umumnya terdiri dari kelas
menengah yang terdidik, khususnya kaum saudagar kaya. Dari kota-kota ini
kegiatan sastra Pesisir menyebar ke
Cirebon dan Banten di Jawa Barat, dan ke Sumenep dan Bangkalan di pulau
Madura. Pengaruh sastra Pesisir ternyata
tidak hanya terbatas di pulau Jawa saja. Disebabkan mobilitas para pedagang
dan penyebar agama Islam yang tinggi,
kegiatan tersebut juga menyebar ke luar Jawa seperti Palembang, Lampung,
Banjarmasin dan Lombok. Pada abad ke-
18 dan 19 M, dengan pindahnya pusat kebudayaan Jawa ke kraton Surakarta
dan Yogyakarta, kegiatan penulisan
sastra Pesisir juga berkembang di daerah-daerah Surakarta dan Yogyakara,
serta tempat lain di sekitarnya seperti
Banyumas, Kedu, Madiun dan Kediri (Pigeaud 1967:6-7)
Khazanah sastra Pesisir tidak kalah melimpahnya dibanding khazanah sastra
Jawa Kuno. Khazanah tersebut meliputi
karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Madya, Madura dan Jawa Baru,
dan dapat dikelompokkan menurut jenis
dan coraknya sebagaimana pengelompokan dalam sastra Melayu Islam, seperti
berikut. (1) Kisah-kisah berkenaan
dengan Nabi Muhammad s.a.w; (2) Kisah para Nabi, di Jawa disebut Serat
Anbiya’. Dari sumber ini muncul kisahkisah lepas seperti kisah Nabi
Musa, Kisah Yusuf dan Zuleikha, Kisah Nabi Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail,
Sulaiman, Yunus,
Isa dan lain-lain; (3) Kisah Sahabat-sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan
Ali bin Abi Thalib; (4) Kisah Para Wali
seperti Bayazid al-Bhiztami, Ibrahim Adam dan lain-lain; (5) Hikayat Raja-raja
dan Pahlawan Islam, seperti Amir
Hamzah, Muhammad Hanafiah, Johar Manik, Umar Umayya dan lain-lain.
Dalam sastra Jawa, Madura dan Sunda
disebut Serat Menak, serial kisah para bangsawan Islam; (6) Sastra Kitab,
uraian mengenai ilmu-ilmu Islam seperti tafsir
al-Qur’an, hadis, ilmu fiqih, usuluddin, tasawuf, tarikh (sejarah), nahu
(tatabahasa Arab), adab (sastra Islam) dan
lain-lain, dengan menggunakan gaya bahasa sastra; (7) Karangan-karangan
bercorak tasawuf. Dalam bentuk puisi
karangan seperti itu di Jawa disebut suluk. Tetapi juga tidak jarang dituangkan
dalam bentuk kisah perumpamaan atau
alegori. Dalam bentuk kisah perumpamaan dapat dimasukkan kisah-kisah
didaktis, di antaranya yang mengandung
ajaran tasawuf; (7) Karya Ketatanegaraan, yang menguraikan masalah politik
dan pemerintahan, diselingi berbagai cerit;
(8) Karya bercorak sejarah; (9) Cerita Berbingkai, di dalamnya termasuk fabel
atau cerita binatang; (10) Roman, kisah
petualangan bercampur percintaan; (11) Cerita Jenaka dan Pelipur Lara.
Misalnya cerita Abu Nuwas (Ali Ahmad dan Siti
Hajar Che’ Man:1996; Pigeaud I 1967:83-7 ).
Yang relevan untuk pembicaraan ini ialah no. 6, karangan-karangan bercorak
tasawuf dan roman yang sering digubah
menjadi alegori sufi. Karangan-karangan bercorak tasawuf disebut suluk dan
lazim ditulis dalam bentuk puisi atau
tembang. Jumlah karya jenis ini cukup melimpah. Contohnya ialah Kitab
Musawaratan Wali Sanga, Suluk Wali Sanga,
Mustika Rancang, Suluk Malang Sumirang, Suluk Aceh, Suluk Walih, Suluk
Daka, Suluk Syamsi Tabris, Suluk Jatirasa,
Suluk Johar Mungkin, Suluk Pancadriya, Ontal Enom (Madura), Suluk Jebeng
dan lain-lain. Termasuk kisah
perumpunaan dan didaktis ialah Sama’un dan Mariya, Masirullah,
Wujud Tuinggal, Suksma Winasa, Dewi Malika,
Syeh Majenun (Pigeaud I: 84-88). Agak mengejutkan juga karena dalam
kelompok ini ditemukan kisah didaktis berjudul
Bustan, yang merupakan saduran karya penyair Parsi terkenal abad ke-13 M,
Syekh Sa’di al-Syirazi, yang
petikan sajak-sajaknya dalam bahasa Persia terdapat pada makam seorang
muslimah Pasai, Naina Husamuddin yang
wafat pada abad ke-14 M.
Dalam khazanah sastra Pesisir juga didapati karya ketatanegaraan dan
pemerintahan seperti Paniti Sastra dan saduran
Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari (1603) dari Aceh. Saduran Taj al-Salatin
dalam bahasa Jawa ini ditulis dalam
bentuk tembang. Karya-karya kesejarahan tergolong banyak. Di antaranya
ialah Babad Giri, Babad Gresik, Babad
Demak, Babad Madura, Babad Surabaya, Babad Sumenep, Babad Besuki,
Babad Sedayu, Babad Tuban, Kidung Arok,
Juragan Gulisman (Madura) dan Kek Lesap (Madura). Ada pun roman yang
populer di antaranya ialah Certta Mursada,
Jaka Nestapa, Jatikusuma, Smarakandi, Sukmadi, sedangkan dari Madura ialah
Tanda Anggrek, Bangsacara
Ragapadmi dan Lanceng Prabhan (Ibid). Karya-karya Pesisir lain dari Madura
yang terkenal ialah Caretana Barakay,
Jaka Tole, Tanda Serep, Baginda Ali, Paksi Bayan, Rato Sasoce, Malyawan, Serat
Rama, Judasan Arab, Menak Satip,
Prabu Rara, Rancang Kancana, Hokomollah, Pandita Rahib, Keyae Sentar,
Lemmos, Raja Kombhang, Sesigar Sebak,
Sokma Jati, Rato Marbin, Murbing Rama, Barkan, Malang Gandring, Pangeran
Laleyan, Brangta Jaya dan lain-lain.
Penulis-penulis Pesisir yang awal pada umumnya ialah para wali dan ahli
tasawuf terkemuka seperti Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan
Gunung Jati, Sunan Panggung dan
Syekh Siti Jenar. Yang amat disayangkan ialah karena dalam daftar yang
terdapat dalam katalog-katalog naskah Jawa
Timur, nama pengarang dan penyalin teks jarang sekali disebutkan. Namun
sejauh mengenai teks-teks dari Madura,
terdapat beberapa nama pengarang terkenal pada abad ke-17 – 19 M
yang dapat dicatat. Misalny Abdul Halim
(pengarang Tembang Bato Gunung), Mohamad Saifuddin (pegarang Serat
Hokomolla dan Nabbi Mosa), Ahmad Syarif,
R. H. Bangsataruna, Sasra Danukusuma, Umar Sastradiwirya dan lain-lain
(Abdul Hadi W. M. 1981).
Penelitian ini tidak akan membahas semua karya yang telah disebutkan, karena
apabila dilakukan maka pembicaraan
akan menjadi sangat luas. Supaya terfokus, pembicaraan akan ditumpukan
pada suluk-suluk karya Sunan Bonang,
khususnya Suluk Wujil, yang sedikit banyak mencerminkan kecenderungan
umum sastra Pesisir awal. Beberapa alasan
lain dapat dikemukakan di sini, sebagai berikut:
Pertama, Kajian terhadap karya Jawa Kuna telah banyak dilakukan baik oleh
sarjana Indonesia maupun asing,
sedangkan karya Pesisir masih sangat sedikit yang memberi perhatian. Padahal
pengaruh karya Pesisir itu tidak kecil
terdahap kebudayaan masyarakat Jawa Timur. Pengaruh tersebut meliputi
bidang-bidang seperti metafisika, kosmologi,
etika, psikologi dan estetika, karena yang diungkapkan karya-karya Pesisir itu
mencakup persoalan-persoalan yang
dibicarakan dalam bidang-bidang tersebut.
Kedua, Selama beberapa dasawarsa Sunan Bonang hanya dikenal sebagai
seorang wali dan belum banyak yang
membahas karya-karya serta pemikirannya di bidang keruhanian, kebudayaan
dan agama. Kajian yang cukup
mendalam sebagian besar dilakukan oleh sarjana asing seperti Schrieke (1911),
Kraemer (1921) dan Drewes (1967).
Sarjana Indonesia yang meneliti, namun tidak mendalam ialah Purbatjaraka
(1938). Selebihnya pembicaraan mengenai
Sunan Bonang hanya menyangkut kegiatannya sebagai wali penyebar agama
Islam.
Ketiga, Suluk sebagai karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam
bentuk tembang, mempunyai pengaruh
besar terhadap kehidupan spiritual masyarakat Jawa Timur. Mengingkari
peranan suluk dan sastra suluk adalah
mengingkari realitas budaya masyarakat Jawa Timur.
Keempat, Suluk-suluk Sunan Bonang mencerminkan babakan sejarah yang
penting dalam kebudayaan Jawa, yaitu
zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlangsung secara damai.
Kelima, Suluk-suluk tersebut merupakan karya bercorak tasawuf paling awal
dalam sejarah sastra Jawa secara umum
dan pengaruhnya tidak kecil bagi perkembangan sastra Pesisir.
Sunan Bonang Sebagai Pengarang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat
pada awal abad ke-16 M. Ada yang
memperkirakan wafat pada tahun 1626 atau 1630, ada yang memperkirakan
pada tahun 1622 (de Graff & Pigeaud 1985:55). Dia adalah ulama sufi, ahli
dalam berbagai bidang ilmu agama dan sastra. Juga dikenal ahli falak, musik
dan
seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia menguasai bahasa dan kesusastraan
Arab, Persia, Melayu dan Jawa Kuno.
Nama aslinya ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dan dari sumber-
sumber sejarah lokal ia disebut dengan
berbagai nama gelaran seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah
dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat
1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1968). Nama Sunan Bonang diambil dari
nama tempat sang wali mendirikan
pesujudan (tempat melakukan `uzlah) dan pesantren di desa Bonang, tidak
jauh dari Lasem di perbatasan Jawa Tengah
– Jawa Timur sekarang ini. Tempat ini masih ada sampai sekarang dan
ramai diziarahi pengunjung untuk
menyepi, seraya memperbanyak ibadah seperti berzikir, mengaji al-
Qur’an dan tiraqat (Abdul Hadi W. M. 2000:96-
107).
Kakeknya bernama Ibrahim al-Ghazi bin Jamaluddin Husain, seorang ulama
terkemuka keturunan Turki-Persia dari
Samarkand. Syekh Ibrahim al-Ghazi sering dipanggil Ibrahim Asmarakandi
(Ibrahim al-Samarqandi), nama takhallus
atau gelar yang kelak juga disandang oleh cucunya. Sebelum pindah ke Campa
pada akhir abad ke-14 M, Syekh
Ibrahim al-Ghazi tinggal di Yunan, Cina Selatan. Pada masa itu Yunan
merupakan tempat singgah utama ulama Asia
Tengah yang akan berdakwah ke Asia Tenggara. Di Campa dia kawin dengan
seorang putri Campa keturunan Cina dari
Yunan. Pada tahun 1401 M lahirlah putranya Makhdum Rahmat, yang kelak
akan menjadi masyhur sebagai wali
terkemuka di pulau Jawa dengan nama Sunan Ampel. Setelah dewasa Rahmat
pergi ke Surabaya,mengikuti jejak
bibinya Putri Dwarawati dari Campa yang diperistri oleh raja Majapahit Prabu
Kertabhumi atau Brawijaya V. Di Surabaya,
ayah Sunan Bonang ini, mendapat tanah di daerah Ampel, Surabaya, tempat
dia mendirikan masjid dan pesantren. Dari
perkawinannya dengan seorang putri Majapahit, yaitu anak adipati Tuban,
Tumenggung Arya Teja, dia memperoleh
beberapa putra dan putri. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Makhdum
Ibrahim alias Sunan Bonang. (Hussein
Djajadiningrat 1983:23; Agus Sunyoto 1995::48).
Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan
muballigh yang handal. Setelah mempelajari
bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting
seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’,
hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah
dengan singgah terlebih dahulu di Malaka,
kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai mereka mempelajari bahasa dan
sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu
merekam kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum
melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dar
Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang
ditugaskan oleh ayahnya ntuk memimpin
masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). Di sini dia memulai
kariernya pertama kali sebagai pendakwah.
Ketika masjid Demak berdiri pada tahun 1498 M Sunan Bonang untuk menjadi
imamnya yang pertama. Dalam
menjalankan tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan
wali yang lain. Di bawah pimpinannya
masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan dan
kebudayaan terkemuka. Tetapi sekitar tahun 1503
M, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk
meletakkan jabatannya sebagai imam masjid
agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang
sebagai tempat kegiatannya yang baru.
Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan
Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil
latar kisah di pesujudannya ini. Di tempat inilah dia mengajarkan tasawuf
kepada salah seorang muridnya, Wujil,
seorang cebol namun terpelajar dan bekas abdi dalem kraton Majapahit (Abdul
Hadi W. M. 2000:96-107).
Setelah cukup lama tinggal di Bonang dan telah mendidik banyak murid, dia
pun pulang ke Tuban. Di sini dia mendirikan
masjid besar dan pesantren, meneruskan kegiatannya sebagai seorang
muballigh, pendidik, budayawan dan sastrawan
terkemuka sehingga masa akhir hayatnya.
Dalam sejarah sastra Jawa Pesisir, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang
prolifik dan penulis risalah tasawuf
yang ulung. Dia juga dikenal sebagai pencipta beberapa tembang (metrum
puisi) baru dan mengarang beberapa cerita
wayang bernafaskan Islam. Sebagai musikus dia menggubah beberapa gending
(komposisi musik gamelan) seperti
gending Dharma yang sangat terkenal. Di bawah pengaruh wawasan estetika
sufi yang diperkenalkan para wali
termasuk Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, gamelan Jawa berkembang
menjadi oskestra polyfonik yang sangat
meditatif dan kontemplatif. Sunan Bonang pula yang memasukkan instrumen
baru seperti rebab Arab dan kempul
Campa (yang kemudian disebut bonang, untuk mengabadikan namanya) ke
dalam susunan gamelan Jawa.
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat
dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang
mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa
pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan
melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab,
Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluksuluknya
ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur,
Suluk Wasiyat, Suluk
Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita
Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain
(Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis
dalam bentuk dialog antara seorang guru
sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra
Arab dan Persia.
Suluk-suluk Sunan Bonang
Sebagaimana telah dikemukakan suluk adalah salah satu jenis karangan
tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa
dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang)
tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti,
smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya,
yang diungkapkan ialah pengalaman atau
gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti
ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai
kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang
Wujud. Jalan itu ditempuh melalui
berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan
mengalami keadaan ruhani (ahwal)
tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya
penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal
Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara
keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang
sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa
mendalam), sukr (kegairahan mistis),
fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’
(perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
. Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai
seorang ahli tasawuf, sebagai buah
pencapaian keadadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam
artian sebenarnya menurut pandangan ahli
tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya
tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan
dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki
keterpautan lagi kepada segala sesuatu
kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-
hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak
berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Sufi Persia abad ke-13 M menyebut
bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta
merupakan kecenderungan yang kuat
terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian
dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan
kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang
Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-
suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik.
Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya
penyair sufi di mana pun, biasanya
disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis
(mutasyabihat). Demikian dalam
mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-
suluknya Sunan Bonang tidak jarang
menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-
citraan tersebut tidak sedikit yang diambil
dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab,
Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lainlain,
dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi
(Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf
merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh
suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau
diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih
(mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-
suluk yang diidentifikasikan sebagai karya
Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum
Perpustakaan Universitas Leiden, dan
memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil
pencinta dan Kekasih misalnya terdapat
dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini
menggambarkan seorang pencinta yang
gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan
dan kegelisahannya semakin mengusiknya,
dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika
Kekasihnya datang dia lantas lupa segala
sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang
pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak
dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para
wali dan pengalaman mereka
mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup
panjang. Sunan Bonang juga
menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya
serta perjalanannya menunaikan ibadah
haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk
Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang
wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarja
jalan yang harus ditempuh seorang sufi
untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan
berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh
sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang
penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah
syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah
kata pun dalam waktu yang lama, sambil
mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran
dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam
lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke
dalam kekosongan (suwung). Demikian
pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap
dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah
kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian
tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi,
iaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk
lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya
kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penghlihatannya tentang
Allah sebagai Yang Kekal dan Yang
Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang
sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat
al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini
digambarkan melalui peumpamaan asyrafi
(emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan
substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat
dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang
sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya
bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga
macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia
iaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian)
sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah
Aku ini Tuhanmu? Ya, aku
menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua
ialah syahadat ketika seseorang
menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan
selain allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para
Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati.
Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat dimpamakan
seperti kesatuan transenden antara tidakan
menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat
diumpamakan sperti gelas, isinya dan
gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening
sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu
pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan
memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati
itu bersih, tulus dan jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan
cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam
melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia
selalu diawasi oleh Tuhan, yang
menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamman ini
dapat dirujuk kepada perumpamaan
seupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik
yang memikat. Dipaparkan bahwa hati
seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan
atau seperti api yang membakar sesuatu
sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi
“Qalb al-mucmin bait Allah” (Hati
seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Suluk Jebeng. Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan
perbimcanganmengenai wujud manusia
sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta
menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu).
Hakekat diir yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan
seseorang di dunia mencerminkan
kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema
dengan suara. Manusia harus mengenal
suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh sperti api
yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah
bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud
tersembunyi, yang pemunculan dan
kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahsia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai
sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah
satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS
Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah
ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda oleh Schrieke dalam disertasi
doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah
meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya
”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913).
Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan
disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978),
disertai ulasan dan terjemahannya dalam
bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut
ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya
Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai
sebagai julukan kepada seorang murid
yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan
untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi
seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di
Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan,
Persia Timur Daya (Drewes 1968:12). Secara umum ajaran tasawuf yang
dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh
tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi
(1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf
lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri
(mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin
(mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan
sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-
Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu
”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran
tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf
merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian
ini ialah Suluk Wujil. Dari segi bahasa
dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan
awal sastra Pesisir, SW benar-benar
mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang
sangat penting dalam sejarah Jawa Timur.
Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI
merdeka disimpan di Museum
Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam
huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka
dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek
Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII,
1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi
Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami
berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan
Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti
berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual
dan keagamaan di Jawa pada akhir abad
ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di
arena politik peralihan itu ditandai denga
runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya
kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama.
Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi
atau Brawijaya V daripada perkawinannya
dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya
Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan
budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam
dan demikian pula tata nilai kehidupan
masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan
sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir
Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda
pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat.
Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir.
Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan
“keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu”
(Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada
zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula,
cermin zaman peralihan begitu ketara.
Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain
tembang Dhandhanggula. Aswalalita
adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah
wafatnya Sunan Bonang tembang ini
tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa,
menunjukkan sikap yang sangat berbeda
dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal
kegiatan kreatifnya menggunakan huruf
Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim
Jawa yang awal masih menggunakan
huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab
digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa
Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan
tamsil-tamsil yang tidak asing dalam
kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon
cerita pewayangan seperti Perang Bharata
antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan
penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu
aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian,
kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai
sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai
suatu kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah
hakiki di sekitar wujud dan rahasia
terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada
umumnya menyukai mistisisme atau
metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan
metafisik yang esensial dan menggoda
sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba
2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan
4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada
5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora
Artinya, lebih kurang:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Ssampai rahsia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya
Sudah Wujil
Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan
universal dan eksistensial, serta menukik hingga
masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya
matahari dan bulan, akhir utara dan
selatan, berkaitan dengan kiblar dan gejala kehidupan yang senantiasa
berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis
dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan
astronomi. Kapan mata tertutup
berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar,
bingung dan gelisah, adalah persoalan
psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang
diberikan sepanjang zaman di tempat
yang berbeda-beda, selalu uni, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat
hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam
hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya
sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan
tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang
Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak
yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya
melalui pertanyaan seperti itu dia dapat
menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan
Bonang pun menjawab:
6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat
7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta
8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
… 11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama
Artinya lebih kurang:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tiggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namuni isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan
suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa
Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran
Tuhan, maka ’pengetahuan
diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya.
’Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam
pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya
di atas bumi? Dari mana ia berasal dan
kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang
dimaksud penulis sufi ialah ‘diri
ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang
merupakan esensi kehidupan manusia, bukan
jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an,
surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh
Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai
‘hamba-Nya’. Itulah hakikat
kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan
kemana perginya tersimpul dari ucapan
”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali
ke Allah).
Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa,
kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk
Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang
tasawuf, Sunan Bonang menekankan
bahwa konsep fana’ atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak
mengisyaratkan kesamaan manusia dengan
Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah.
Seperti penyair sufi Arab, Persia dan Melayu, Sunan Bonang – dalam
mengungkapkan ajaran tasawuf dan
pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf –
menggunakan baik simbol (tamsil) yang diambil dari
budaya Islam universal maupun dari budaya lokal. Tamsil-tamsil dari budaya
Islam universal yang digunakan ialah
burung, cermin, laut, Mekkah (tempat Ka’bah atau rumah Tuhan)
berada, sedangkan dari budaya lokal antara
lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan Pandawa (dari kisah
Mahabharata) dan bunga teratai. Tamsil-tamsil
ini secara berurutan dijadikan sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan
tahap-tahap perjalanan jiwa manusia
dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya
mencapai makrifat, yaitu mengenal
Tuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya.
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai
pengetahuan diri dan hakikat wujud
tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta
yang dimaksudkan para sufi ialah
kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan
tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai
tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia
(Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan
tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin
(1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian
jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb);
ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari
selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan
batin untuk mengalah hawa nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan
representasi dari jiwa yang menguasai jasmani
manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah
da mukasyafah. Musyahadah ialah
mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya
kepada Yang Satu, sehingga pada
akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah
ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya
tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh.
Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan
salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melarih
ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh
Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri
dalam Syarab al-`Asyiqin
(“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah
dengan membersihkan niat buruk yang
dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-
keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan
pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada
Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah
sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi
Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur,
menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari
kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan
sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan
Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah
‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat
(tinbgkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau
pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz
makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling
esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat
wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu
ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang
banyak dan aneka ragam. Pada peringkat
ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau
hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya).
Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan
Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat
Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut
gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta
dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah
perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu)
untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W.
M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu
Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat
tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh
makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban
Sunan Bonang terhadap pertanyaanpertanyaan
Wujil tentang aka yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan,
apa hakikat kesatuan huruf
dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang
berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri,
meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat
atau memuja Tuhan. Simbol burung dan
cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan
bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber
kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia
dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi
Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya
lakon perang besar antara Kurawa dan
Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik
yang merupakan pusat jagat raya, bukan
hanya di alam kabir (macrokosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos),
yaitu dalam diri manusia yang terdalam;
(7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan
diri, sebab dengan melakukan salat
seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang
menyembah’, dan sekaligus berusaha
mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan
selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan
isyarat-isyarat yang mendorong Wujil
melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata
dan perkatannya semakin memasuki inti
persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang
melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah
tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik
mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat
ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja
tidak mengetahui benar-benar sispa yang
dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah
dilakukan dengan makrifat. Ketika
melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran
dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan
dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab
yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan,
Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan
adanya makhluq-makhluq, termasuk
manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni
‘kemauan’. Kemauan yang sejati
tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut
sesuatu memang merupakan kemauan murni.
Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak
(iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah
diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik.
Perbuatan yang baik datang dari kemauan
baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak
baik pula. Apa yang dikatakan oleh
Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu
(anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan

La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)<;br /> Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam
SulukWujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayangbayang
yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan
tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi.
Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan
falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan
cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran
Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau
perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan
anekaragam. Yang banyak di alam
kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku
Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat
cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya
Ken Satpada mengambil cermin dan
menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka
cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan
Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga
yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya:
&rdquo;Bagaimana bayang-bayang
datang/Dan kemana dia menghilang?&rdquo; (bait 81). Melalui contoh datang
dan perginya bayangan dari cermin, Wujil
kini tahu bahwa &rdquo;Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada
terkandung ada&rdquo; Sang Guru
membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek
nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan)
yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah).
Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan
yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke
pusat renungan yang bernama Mekkah,
yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang
dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi,
tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka&rsquo;bah yang ada di
dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang
yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya
berpandapat bahwa Ka&rsquo;bah yang di
Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka&rsquo;bah
dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan
sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya
menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam
pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam
semesta bukan tempat pertemuan
manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan
berupa kedekatan dengan Tuhan, maka
tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang
memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam
semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi
sejati sebenarnya merupakan tamsil
perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu
sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan
(musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang
mendalam dan luluhnya diri seseorang
(fana&rsquo;) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil
dikatakan, &ldquo;Tidak ada orang tahu di
mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan
sejak muda sehingga tua renta. Mereka
tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu
yang cukup, ia akan dapat sampai di
Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu
semacam itu diliputi rahasia dan sukar
diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan
kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin,
serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi keseangan duniawi. Di
dalam masjid di Mekkah itu terdapat
singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung
di atas tanpa tali. Dan jika orang
melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke
barat, ia akan melihat timur, dan jika
melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika
orang melihat ke selatan yang tampak ialah
utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan
tampak selatan, gemerlapan seperti ekor
burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan
untuk satu orang saja. Jika ada dua atau
tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang.
Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat
di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya
seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya,
seluruh dunia pun akan tertampung juga&rdquo;.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia
tetap merasa asing dengan lingkungan
kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang. Berbeda dengan di
Majapahit dahulu, untuk mencapai rahsia Yang
Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan,
menyepi dan melakukan kekearsan ragawi. Di
Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seprti biasa. Shalat fardu
lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlismajlis
untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan
senantiasa diadakan. Di sela-sela itu
para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan
pentas-pentas seni dan pembacaan tembang
Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang
dilakukan secara lahir dan batin, demikian
juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan
jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam
Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan
pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agaa
Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam.
Sunan bonang mengajarkan tentang
egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan
rukun Islam yang lima, ibadat batin
ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah
seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat
nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara
cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan
kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahsia keesaan Tuhan, alam
semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian
dan ibadah dapat dilakukan di tengah
keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari
perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di
dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi
transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula
bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya
milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan
dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Akhir Kalam: Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan
lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa
yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi
Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan
Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan
mistis yang dicapai seorang ahli makrifat
dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang
Cina memang sangat populer (Abdul Hadi
W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang
dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayangbayang
dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan
Bonang seakan-akan ingin
mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya
merupakan kelanjutan dari tradisi sastra
sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung
pertunjukan wayang dan hubungannya dengan
ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang
Barata), perang besar antara Kurawa dan
Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah
kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan
Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan layar mewakili
golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan
Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa
manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar
dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan
dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: &ldquo;Ketahuilah Wujil, bahwa
pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan
dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan
ini untuk memahami dan mengenal Yang.
Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli
(pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam
kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir meupakan alam inderawi.
Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan
makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah
tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak
adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala
kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung.
Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan
merupakan tabir yang menghalangi
penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur
dan kacau. Dia hilang di dalam
ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.&rdquo;
Selanjutnya kata Sunan Bonang&ldquo;Suratan segala ciptaan ini ialah
menumbuhnkan rasa cinta dankasih. Ini
merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya,
jwalaupun kita pergi ke Timur-arat, Utara-
Selatan atau atas ke bawah. Demikinlah kehidupan di dunia ini merupakan
kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil.
Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak
gerik kita sebenarnya secara diam-diam
digerakkan oleh Sang Dalang.&rdquo;
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-
dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara
mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya
Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12
dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan
bahwa ketika dunia mengalami kekacauan
akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih
Arjuna sebagai kesatria yang pantas
dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia
menjelma seorang pendeta tua dan menemui
Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila
sehingga mencapai kelepasan (moksa)..
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna:
&ldquo;Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di
dunia ini seprti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari
kesenangan, kebahagiaan, namun hanya
kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra
kita. Manusia senantiasa tergoda oleh
kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri
peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa
nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan
wayang ia ditimpa perasaan sedih dan
menangis tesedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu
benar bahwa wayang hanya merupakan
sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti
berbicara. Inilah kias seseorang yang
terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.&rdquo;
(Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, &ldquo;Demikianlah Arjuna! Sebenarnya
dunia ini adalah maya. Semua inisebenarnya dunia peri dan mambang, dunia
bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam mayayang
dipenuhi bayang-bayang ini.&rdquo; Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud
di hadpan Yang Satu, menyerahkan
diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia
merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam
batinnya. . Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil
meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari
zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi
kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara
spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan.
Memang secara lahir kedua agama tersebut
menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan
mampu melihat hakikat sehingga
penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan
dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti
ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
Suluk Wujil 4 macam anasir adalah : tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan
menciptakan Adam maka di gunakan empat macam anasir tersebut, kahar
(kuat), jalal (terkenal), jamal (indah), kamil (sempurna), yang mengandung
sifat-sifat Tuhan delapan macam. Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa
sifat-sifat itu masuk dan keluar. Jika keluar kemana perginya, jika masuk
dimana tempatnya?
Anasir Tanah
Menimbulkan adanya kedewasaan dan keremajaan. Sifat-sifatnya harus
diketahui. Dimana adanya keremajaan dalam kedewasaan. Dan di manakah
adanya kedewasaan dalam keremajaan.
Anasir Api
Menimbulkan kelemahan dan kekuatan; dimanakah adanya kekuatan dalam
kelemahan? Itu harus diketahui.
Anasir Angin
Mencakup ada dan tiada. Di dalam tiada, dimanakah letaknya ada? Di dalam di
manakah letaknya tiada.
Anasir Air
Memiliki sifat : mati dan hidup. Di manakah adanya mati dalam hidup, dan
kemanakah perginya hidup pada waktu mati? Kamu akan tersesat apabila kau
tidak mengetahuinya. Kau harus mengetahui hidup yang sebenarnya.
Tubuh ini seluruhnya bagaikan sebuah sangkar.
Akan lebih baik jika mengenal burungnya.
Dengan tindakan-tindakanmu
kau akan jatuh sengsara tanpa hasil jika tak kau ketahui.
Dan jika kau ingin mengenalnya,
kau harus membersihkan dirimu.
Tinggallah disuatu tempat sepi
dan jangan menghiraukan keramaian dunia ini.
Jangan jauh-jauh kau mencari ajaran,
karena ajaran-ajaran itu telah berada dalam dirimu sendiri.
Bahkan seluruh dunia ini berada dalam dirimu sendiri.
Maka jadikanlah dirimu CINTA sejati,
untuk dapat melihat dunia.
Arahkan dengan tajam dan hening wajahmu kepadanya
baik siang maupun malam.
Karena apakah kenyataannya.
Segala sesuatu yang tampak di sekeliling kita
adalah akibat perbuatan.
Akibat dari perbuatan ini timbul kehancuran
yang terjadi oleh kehendakmu.
Apa yang tidak mengalami kehancuran harus kau ketahui,
yakni pengetahuan yang sempurna,
yang keadaannya tidak mengalami kehancuran.
Pengetahuan itu meluas sampai mengenal adanya Tuhan.
Dengan mengenal Tuhan maka akan menjadi bekal
bagi seseorang untuk menyembah dan memuji-Nya.
Namun tidak banyak orang yang mengenal kata itu.
Siapa yang mampu mengenalnya mendapat anugrah besar.
Mengenal diri sendiri berarti mengenal Tuhan.
Dan orang yang mengenal Tuhan tidak sembarang bicara,
kecuali jika kata-katanya mempunyai maksud penting.
Ada pula yang mengenal-Nya,
mereka telah mencari dan menemukan dirinya.
Mereka tahu, bahwa seseorang tidak boleh terpelanting
di luar kehalusan,
dan bahwa orang tidak boleh memilih tempat yang keliru.
Demikianlah laku yang benar

MEMBANTAH KEYAKINAN SESAT KYAI MUHAMMAD LUTHFI GHAZALI


TENTANG RUQYAH
BERIBADAH DENGAN MENGHADIRKAN MURYID SECARA RUHANI

 Perdana Akhmad S.Psi


10 tahun yang lalu
Iklan

Penulis mengatakan (pada halaman 30):


Apabila dipraktekkan dalam pelaksanaan amal ibadah, maka yang dimaksud
dengan ber-yatawalla itu ialah bertawassul atau melaksanakan tawassul orang-
orang yang ber-thariqah harus bertawassul kepada Rasulullah saw melalui
guru-guru mursyidnya, supaya terjadi hubungan. Dalam istilah lain
melaksanakan interaksi ruhaniyah, yaitu menghadirkan gurunya secara
ruhaniyah di saat melaksanakan ibadah untuk diajak bersama-sama
menghadapkan wijhah atau ber-tawajjuh kepada Allah ta’ala. Hal tersebut
dilakukan supaya ibadah yang dilaksanakan lebih terfasilitasi kekhusyu’annya
dan terbukanya pintu ijabah Allah Ta’ala.
Kesimpulan
Orang-orang yang ber-thariqah harus bertawassul kepada Rasulullah saw
melalui guru-guru mursyidnya, supaya terjadi hubungan.
Menghadirkan gurunya secara ruhaniyah di saat melaksanakan ibadah untuk
diajak bersama-sama menghadapkan wijhah atau ber-tawajjuh kepada Allah
ta’ala. Hal tersebut dilakukan supaya ibadah yang dilaksanakan lebih
terfasilitasi kekhusyu’annya dan terbukanya pintu ijabah Allah Ta’ala.
Bantahan kami:
Tarekat sufi yang dilakoni Kyai Luthfi ini tidak semata bid’ah. Bahkan, di
dalamnya terdapat banyak kesesatan dan kesyirikan yang besar, hal ini
dikarenakan mereka mengkultuskan syaikh atau guru mereka dengan meminta
berkah darinya, berdzikir membayangkan wajah mursyidnya dalam hati agar
bisa khusyuk dan penyelewengan-penyelewengan lainnya bila dilihat dari Kitab
dan Sunnah
Bertawassul Pada Rasul Melalui guru-guru Mursyid
Tawassul kepada Rasulullah saw melalui guru-guru mursyidnya adalah bid’ah!
Ini bisa menyebabkan pada kemusyrikan. Yaitu jika ia mempercayai bahwa
Allah membutuhkan perantara. Sebagai-mana seorang pemimpin atau
penguasa. Sebab dengan demikian ia menyamakan Tuhan dengan makhluk-
Nya. Abu Hanifah berkata, “Aku benci memohon kepada Allah, dengan selain
Allah.” [1].
Kesimpulannya bertawassul kepada Rasulullah saw melalui guru-guru
mursyidnya adalah syirik. Sebab bertentangan dengan firman Allah : “dan
orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun
setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar
seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat
memperkenankan permintaanmu. dan dihari kiamat mereka akan mengingkari
kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu
sebagai yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir :13-14)
Membayangkan Mursyid
Kyai Luthfi mengatakan bahwa orang-orang yang ber-thariqah dapat
menghadirkan (membayangkan-red) gurunya secara ruhaniyah (didalam hati-
red) di saat melaksanakan ibadah untuk diajak bersama-sama menghadapkan
wijhah atau ber-tawajjuh kepada Allah ta’ala. Hal tersebut dilakukan supaya
ibadah yang dilaksanakan lebih terfasilitasi kekhusyu’annya dan terbukanya
pintu ijabah Allah Ta’ala.
Pernyataan yang dikemukakan Kyai Luthfi adalah pernyataan syirik dan bid’ah.
Bertentangan dengan sabda Rasulullah :“Ihsan adalah engkau menyembah
Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Ia yang melihatmu”.(HR. Muslim). Inilah martabat tertinggi,
engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Ketika tidak
seorang pun dapat melihat Allah SWT didunia, maka Rasulullah bersabda,
sembahlah Allah dengan keyakinan bahwa ia melihatmu, ini merupakan salah
satu martabat Ihsan; pengawasan Allah SWT. Sementara para sufi yang tidak
mengerti akan hal ini menjadikan para syeikh mereka pengawas dan penuntun,
sebagai ganti pengawasan Allah terhadap dirinya. Apa yang mereka lakukan ini
merupakan perbuatan syirik dan kesesatan.
Untuk membantah pernyataan Kyai Luthfi, keami akan mengetengahkan
pengalaman Syeikh Muhammad Jamil Zainu [2].
Syeikh Muhammad Jamil Zainu menceritakan kisahnya bersama para sufi
ketika masih mengikuti kepadanya hingga ia kembali dari keseatan tasawuf
dan berjalan menurut manhaj ulama salaf. Ia berkata, “ Ketika saya masih
dalam usia muda, saya mendatangi Syeikh Thariqat Naqsyabandiah di masjid.
Seorang syeikh memerintahkan orang-orang yang hadir agar memberikan
kepada saya wirid Rhariqah an-naqsyabandiyah, mereka memberikan wirid
yang harus dibaca pada waktu pagi dan petang, saya menghadiri majelis zikir
bersama paman sya yang mereka namakan dengan “khatam” saudara saya
meminta saya untuk membaca sepuluh ayat al-Qur’an di
pernghujung khatam karena saya hafal al-Qur’an. Dzikir dengan suara pelan,
pemimpin khatam memberikan batu-batu kecil, ia membaca tasbih dan ayat
sesuai jumlah batu-batu tersebut, dalam majelis khatam ini ada beberapa hal
yang saya perhatikan:
Saya mendengar ada yang mengatakan, “Rabithah yang mulia.”, kemudian
segera mereka mengangkat suara tinggi dengan mengatakan “hu—hu….,”
tubuh mereka bergoncang dan mereka menangis. Saya menanyakan
makna Rabithah yang mulia”, mereka berkata kepada saya, “maksudnya
adalah, engkau membayangkan wajah syaikh dihadapanmu saat engkau
berdzikir”, oleh sebab itu mereka tidak khusyuk ketika membaca tasbih dan
membaca al-Qur’an, akan tetapi merka khusyuk ketika mengingat syaikh
mereka mulai menangis dan menjerit.
Suatu kali saya bertanya kepada kerabat saya bagaimana cara agar khusyuk
dalam shalat dan mengusir was-was, ia berkata kepada saya, “bayangkanlah
syaikh dalam shalatmu”. Saya berkata kepadanya, “bagaimana sya
membayangkan syikh, apakah saya melaksanakan shalat untuk syaikh atau
karena Allah?”
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Ihsan adalah engkau menyembah
Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Ia yang melihatmu”.(HR. Muslim). Inilah martabat tertinggi,
engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Ketika tidak
seorangpun dapat melihat Allah SWT didunia, maka Rasulullah bersabda,
sembahlah Allah dengan keyakinan bahwa ia melihatmu, ini merupakan slah
satu martabat Ihsan; pengawasan Allah SWT. Sementara para sufi yang tidak
mengerti akan hal ini menjadikan para syeikh mereka pengawas, sebagai ganti
pengawasan Allah terhadap dirinya. Apa yang mereka lakukan ini merupakan
perbuatan syirik dan kesesatan.
Saya mengenal seseorang yang bertauhid, dulu ia mengikuti tasawuf, ia
menceritakan kepada saya latar belakang dirinya meninggalkan tasawuf. Ia
berkata, “Setelah wakil Syikh memberikan wirid thariqat kepada kami,
kamipun pergi, kemudian ia memanggil kami semua, ia berkata kepada kami,
“Aku lupa mengatakan kepadamu, kamu harus membayangkan syeikh saat
kamu membaca wirid ketika berdzikir”. Ketika pemuda ini mendengar ucapan
tersebut, ia meninggalkan tasawuf. Ia menjadi bertauhid mengikuti manhaj
salafy salafus shaleh. Thariqat pemuda ini bukanlah thariqat yang saya ambil
dari syeikh yang melihat saya dimasjid, akan tetapi kebanyakan thariqat.
Tasawuf walaupun jumlahnya banyak dan bermacam-macam, akan tetapi
mereka sepakat untuk membayangkan syeikh saat melakukan dzikir.
Kerabat saya mengajak saya untuk menghadiri perayaan mauled di rumahnya,
ketika saya memasuki rumah, saya mendengar para hadirin membaca
syair : “Tunjukkan aku dengan Allah tunjukkan aku, Melalui seyikh tolong
tunjukkan kepadaku yang menjauhkan penyakit yang menyembuhkan orang
gila”. Saya berhenti dipintu dan saya katakan kepada kerabat saya, “apakah
syeikh kamu ini dapat menyembuhkan orang sakit dan gila?”, ia berkata “Ya”,
aku berkata, “Mengapa kamu tidak mengatakan dengan Izin Allah,
sebagaimana yang dikatakan nabi Isa as. Sedangkan hal itu merupakan mu’jizat
yang disebutkan dalam al-Qur’an, tidak seorang pun dapat melakukan apa
yang dia lakukan”. Kemudian saya kembali, saya tidak mau memasuki rumah
yang diperlihatkan kesyirikan secara nyata. Karena Nabi Ibrahim as
menceritakan akidahnya dalam al-Qur’an “…..Dan apabila aku sakit maka
Dialah yang menyembuhkan aku”, kalimat ini lebih ditekankan dengan adanya
kata ganti terpisah (dhamir munfashil), agar seorang muslim mengetahui
bahwa yang menyembuhkan hanyalah Allah saja, bukan selain Dia.
Saya mengunungi kerabat saya pada hari raya, saya melihat gambar syeikh
tergantung didinding arah kiblat, saya berkata kepadanya, “Rasulullah saw,
melarang gambar di dalam rumah dan melarang seseorang melakukan hal
itu.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan). Bagaimana engkau melaksanakan shalat
sedangkan gambar yekh berada didepanmu? Apakah engkau shalat karena
allah swt atau karena syeikh? Ia tidak dapat menerima walaupun perdebatan
telah berlangsung lama, saya meminta agar ia memindahkan gambar syaikh
dari dinding yang mengarah kiblat kedinding lain, namun  dia tetap menolak,
karena menurut keyakinannya ia hanya dapat khusyuk bila di hadapan Syeikh.
Kemudian tibalah hari raya, saya kembali mengunjunginya karena ia kerabat
dekat saya, saya berkata kepadanya bahwa saya mengunjunginya karena ingin
memberinya nasehat kepdanya agar saya tidak tidak berdosa dihadpan Allah
swt saat mengunjunginya. Saya duduk , saya melihat gambar syeikh, saya ingin
mencabutnya dari dinding yang mengarah ke kiblat. Saya katakan pada anak
saya yang masih muda, apakah engkau bisa mencabutnya dari dinding, ia
melakukannya, kemudian saya memegangnya dan meletakkannya di belakang
meja makan, lalu saya katakan kepada anaknya, “Wahai Ahmad, engkau masih
muda dan berpendidikan, alumni fakultas syari’ah, ambil gambar ini,
sembunyikan dan jangan engkau gantungkan, sesuai dengan perintah
Rasulullah saw”. Ia berjanji kepada saya untuk melaksanakan itu dan ia pun
tidak menggantungkan gambar itu lagi.
Kerabat saya bangun setiap pagi sebelum fajar untuk berdzikir kepada Allah
dengan ribuan dzikir, akan tetapi gambar dan rambut syeikh thariqat berada
didalam kantongnya, sebagai sarana meminta pertolongan dan
mendapatkan khusyuk.
Saya telah duduk bersama dengan para sufi dan menghadiri majelis dzikir
mereka, saya mengetahui banyak thariqat yang bermacam ragam, namun saya
belum pernah melihat satu thariqat pun yang sesuai dengan manhaj Islam yang
benar, syair dan nasyid mereka di majelis dzikir dan masjid dipenuhi seraun
kepada selain Allah. Itu merupakan syirik terbesar yang termasuk dosa besar
disisi Allah. Itu merupakan sebab turunnya bala pada umat Islam didunia dan
merek kekal dalam siksa pada hari kiamat. Saya pernah mendengar seorang
sufi membacakan syair dalam halaqah dzikir, “Wahai orang-orang ghaib,
berikanlah kepada kami kekuatan, bantulah kami, selamatkan kami dan
tolonglah kami…” dan seterusnya sebagai bentuk istighasah kepada selain
Allah. Setalah dzikir berakhir, saya katakan kepada syekh mereka, “bagaimana
kamu menyebut majelis ini majelis dzikir, padahal mereka tidak mengingat
Allah, tidak berdoa pada Allah, bahkan meminta kepada selain Allah, kepada
orang-orang ghaib, siapa mereka orang-orang ghaib?” Apakah mereka adalah
orang-orang yang mengetahui segala hal yang ghaib sedangkan mereka telah
mati dan hancur, kemudian mreka dimintai tolong untuk menghadapi musuh?
Al-Qur’an berkata untuk orang-orang seperti mereka, “Jika kamu menyeru
mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar,
mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu”. (QS. Faathir:15) [3]

[1] Demikian seperti disebutkan dalam kitab Ad-Durrul Mukhtaar.


[2] Dia adalah Syeikh Muhammad Jamil Zano, lahir di Syiria, seorang guru yang
mengajar mata pelajaran Tauhid di Masjidil Haram Makkah.
[3] Lihat buku “Kesesatan Sufi” karya Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hushain dan DR.
Abdullah Mushtofa Numsuk. Penergit Pustaka As-Sunnah. Hal 223-226
MEMBANTAH KEYAKINAN SESAT KYAI MUHAMMAD LUTHFI GHAZALI
TENTANG RUQYAH
Just another WordPress.com weblog
DITULIS DALAM KESESATAN AKIDAH KYAI LUTHFI
KEBATHILAN MENGAJARKAN CARA MEMASUKI ALAM JIN
Halaman 87-88
Contoh ketiga: inikalau dihubungkan dengan pelaksanaan para ruqyah ialah :
dengan dominasi indera hayal dan melalui indera pendengaran, apa yang
didengar itu menarik manusia untuk mendekati dimensi  jin. Saat itulah jin
yang sudah menunggu langsung menarik kesadaran manusia masuk ke dalam
wilayah dimensinya. Dalam kaitan ini, tanpa harus diperdengarkan ayat-ayat
al-Qur’an pun, tetapi hanya dengan sekadar mendengar suara air yang
menetes atau air mengalir manusia bisa memasuki dimensi jin. Manusia yang
berhasil memasuki dimensi jin tidak harus mengalami penderitaan dengan
menjerit-jerit dan muntah-muntah bahkan dengan kencing di tempat. Dengan
latihan yang terbimbing dan terjaga, melalui suara air tersebut, manusia
dengan izin Allah dapat memasuki wilayah dimensi jin dengan nikmat bagaikan
sedang mengadakan perjalanan menuju alam surga buatan.
Bantahan kami :
Kegilaan dan kesintingan apa lagi yang dikatakan Kyai “Sufi” sesat dan
menyesatkan ini! Sesungguhnya kepribadian Kyai sesat ini adalah selain ahlus
syirik, bid’ah, khurafat juga seorang yang munafik kelas berat. Apa Kyai sufi ini
tidak malu kepada Allah dengan menyebut Insya Allah “dengan izin Allah”
untuk dapat memasuki wilayah dimensi jin dengan nikmat bagaikan sedang
mengadakan perjalanan menuju alam surga buatan.
Wahai Kyai sesat! Dimana letak nikmatnya masuk dimensi jin setelah anda
khusyuk meditasi pada suara air yang menetes atau air mengalir!
Apa yang anda maksud dengan syurga buatan yang didapat ketika anda
khusyuk meditasi pada suara air yang menetes atau air mengalir! Anda ini
bagaikan tukang mabuk yang lagi fly menghisap ganja! Dan memang
sesungguhnya setiap sufi adalah tukang mabuk yang paling suka memasuki
dimensi syetan! Kegilaan ini mereka dapatkan ketika mereka berdzikir dengan
ucapan bagaikan orang gila,
Wahai Kyai sesat, siapa yang melatih anda dengan terbimbing dan terjaga!
Iklan
REPORT THIS AD
Januari 28, 20105 Balasan
KISAH KHURAFAT KYAI M. LUTHFI GHOZALI

1.  Siapakah yang Tiap hari Thawaf di Makkah al-Mukarromah?


Penulis mengatakan (pada halaman 234) dalam bukunya :
Ketika doa-doa yang ikhlas itu mendapatkan ijabah dari-Nya, maka jadilah
ijabah itu sebagai sebab membukanya pintu rahmat-Nya kepada umat. Dari
sebab linangan air mata yang meleleh di pipinya karena menangisi kesedihan
umat, kadang-kadang menjadikan sebab Allah ta’ala menurunkan air hujan di
daerah yang ditangisinya. Konon, apabila di Baitullah Makkah al-Mukarromah,
selama tujuh hari saja mereka absen tidak melakukan thawaf di sana, berarti
hari kiamat segera akan datang.
Bantahan dari kami : Wahai Kyai M. Luthfi Ghozali, siapakah mereka yang
punya kekuatan luar biasa yang kerjanya tiap hari thawaf di Baitullah Makkah
al-Mukarromah? Apakah yang anda maksud adalah para Wali Quthub?
Ketahuilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Fatawa, telah
menjelaskan: Manakala banyak nama yang disebut oleh ahli ibadat sufi dan
orang awam seperti Ghawth di Makkah, Awtad ada empat, Qutb ada tujuh,
Abdal ada 40, Nujaba’ ada 300, semuanya tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an
dan hadits Nabi. Apalagi adanya kepercayaan para Wali Qutub itu turut
mengatur alam semesta.[1]
Baca lebih lanjut →
Januari 28, 20105 Balasan
BERAKIDAH QUBBURIYYUN

Benarkah Kyai M. Luthfi Ghozali seorang qubburiyyun? Untuk mengetahui ciri-


ciri seorang yang berakidah qubburiyyun, maka sekali lagi silahkan para
pembaca sekalian sekali lagi mengkaji tulisan saudara Luthfi yang penuh
syubhat.
Kyai Luthfi mengatakan (pada halaman 229-232) :
Ditegaskan pula bahwa sesungguhnya rahmat Allah Ta’ala amatlah dekat dari
orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinin), yaitu orang yang selalu berdoa
sendirian maupun berjama’ah, baik di rumah maupun di majelis-majelis dzikir
dan mujahadah yang diadakan. Di situlah letak sasaran yang diharapkan,
karena dari tempat seperti itu sumber rahmat terus menerus memancar,
sehingga usaha seorang hamba akan mendapatkan hidayah dan kemudahan-
kemudahan dari Allah ta’ala berkat doa-doa mereka. Karena keberadaan
mereka (al-muhsinin) di suatu tempat, seakan-akan memang telah ditetapkan
menjadi sumber kehidupan dan keberkahan dari Allah ta’ala bagi daerah
sekelilingnya.
Dari doa-doa yang mereka panjatkan setiap pagi dan petang sebagai bentuk
keprihatinan hati untuk umatnya, akan menjadi sebab tersampaikannya
rahmat Allah Ta’ala kepada orang-orang yang didoakan. Hal itu menjadikan
sebab terbentangnya keberkahan bagi daerah sekitanya. Demikianlah yang
terjadi dimana-mana. Di tempat tinggal mereka yang asalnya sepi dan mati,
ketika manusia sudah mengetahui keberadaan mereka beserta kelebihan-
kelebihan yang ada di tangan mereka sebagai anugrah dan buah pengabdian
yang hakiki, daerah itu kemudian menjadi hidup dan bergairah. Orang-orang
berdatangan untuk mengambil berkah dari mereka, mencari obat kesembuhan
bagi penyakit-penyakit yang diderita, baik penyakit lahir maupun penyakit
batin.
Itulah kenyataan yang terjadi sejak dahulu sampai sekarang, bahkan sampai
dengan sesudah matinya. Oleh karena setiap saat banyak orang berziarah ke
makam mereka, maka ekonomi di daerah itu menjadi bangkit dan hidup
bahkan mampu menjadikan sebab kemakmuran bagi daerah sekitarnya.
Demikianlah kenyataan kasat mata yang tidak bisa dipungkiri bahwa
keberkahan Allah ta’ala telah mampu menghidupi orang melalui kehidupan
orang yang sudah mati walau di mana-mana bahkan mensyirikkan orang yang
berziarah ke makam mereka.
REPORT THIS AD
Kalau sekedar minta kepada kuburan …! Minta kepada batu mati yang
menancap di atas sesonggok tanah kering, siapa yang tidak mengerti bahwa
hal yang demikian itu perbuatan syirik …? Kalau memang benar bahwa orang
yang setiap hari dating ke kuburan para waliyullah itu berbuat syirik…?
Sekarang ada pertanyaan “sekiranya yang ditanam di bawah seonggok tanah
kering yang ditancapi batu mati itu adalah jasad kasar kita, maukah orang-
orang yang berbuat syirik itu menziarahi kburan kita …? “, kalau ternyata tidak
mau, apa bedanya jasad kita dengan jasad oara waliyullah itu …? Ada apa di
dalam jasad kita dan ada apa pula di dalam jasad mereka, padahal sama-sama
jasad yang sudah mati…? Mengapa jasad mereka dapat menarik hati orang
banyak hingga tiap hari datang dari tempat yang jauh sekedar ziarah
atau tabarukan, sedang jasad kita tidak …?
Baca lebih lanjut →
Januari 28, 20101 Balasan
BERIBADAH DENGAN MENGHADIRKAN MURYID SECARA RUHANI

Penulis mengatakan (pada halaman 30):


Apabila dipraktekkan dalam pelaksanaan amal ibadah, maka yang dimaksud
dengan ber-yatawalla itu ialah bertawassul atau melaksanakan tawassul orang-
orang yang ber-thariqah harus bertawassul kepada Rasulullah saw melalui
guru-guru mursyidnya, supaya terjadi hubungan. Dalam istilah lain
melaksanakan interaksi ruhaniyah, yaitu menghadirkan gurunya secara
ruhaniyah di saat melaksanakan ibadah untuk diajak bersama-sama
menghadapkan wijhah atau ber-tawajjuh kepada Allah ta’ala. Hal tersebut
dilakukan supaya ibadah yang dilaksanakan lebih terfasilitasi kekhusyu’annya
dan terbukanya pintu ijabah Allah Ta’ala.
Baca lebih lanjut →
Januari 28, 20103 Balasan
MENGANGGAP “MAKSUM” GURU SUFINYA
Penulis mengatakan (pada halaman 267-269) dalam bukunya :
Penulis sekedar “jarkoni”, menurut istilah pepatah jawa yaitu ; (biso ujar tapi
ora biso ngelakoni), apalagi bagian yang ketiga, yaitu “penyakit pada hati
manusia”
Oleh karena penulis sama sekali bukan ahlinya, maka penulis tidak mampu
memberikan solusi apapun. Hanya guru-guru mursyid yang suci, baik lahir
maupun batinnya serta mulia akhlaknya, yang akan sanggup melakukannya.
Mereka bagaikan dokter spesialis, maka merekalah yang paling berhak
memberikan jalan keluar serta penerapannya.
Juga dilanjutkan (pada halaman 271) penulis mengatakan :
Untuk jenis penyakit yang ada dalam hati ini tidak ada seorangpun yang dapat
menyembuhkannya kecuali dengan usahanya sendiri, yaitu dengan
menjalankan thariqah-thariqah yang terbimbing oleh membimbingnya
hanyalah guru ahlinya. Dalam kaitan ini yang berhak
membimbingnya  hanyalah guru mursyid thariqah  yang suci lagi mulia, karena
dengan menjalani thariqah-thariqah itu, di samping penyakit hatinya akan
mendapatkan kesembuhan juga derajat seorang hamba di sisi Allah ta’ala akan
meningkat, baik derajat di dunia maupun di akhirat.
Kesimpulan :

Anda mungkin juga menyukai