Asmadi
6 tahun yang lalu
Selama ini shalat dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan, karena
kebanyakan dari kita tidak mengetahui dan merasakan ketinggian nilai spiritual
yang ada di dalamnya.
Sering kali terbersit di dalam perasaan kita dimana shalat terasa menjemukan,
tidak membuat hati lebih enak di saat kita butuhkan untuk menolong
menyelesaikan perasaan yang gelisah. Atau shalat tidak memiliki gereget yang
mampu mempengaruhi mental kita untuk menjadi lebih baik dan
menyenangkan.
Nabi mengatakan bahwa shalat adalah pemandangan yang menyejukkan
hatinya, suatu amalan yang paling disukainya. Tetapi masyarakat terlanjur
menilai shalat sebagai sebuah perintah, sebuah kewajiban yang tidak
terelakkan. Akibatnya shalat tidak menjadi sebuah kebutuhan (aksioma) untuk
pribadinya, apalagi untuk meraih rasa khusyu’.
Disini ada langkah-langkah untuk mencapai sholat khusyu’ agar sholat kita
menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan kita, membuat hati kita
menjadi tenang dan terutama menjadi orang yang beruntung.
Allah berfirman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang
yang khusyu dalam sholatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
perbuatan dan perkataan yang tiada berguna”. (Al-Quran: Surat Al-Mu`minun)
1. Pengertian Khusyu :
Menurut pendapat para ulama :
Amru ibn Dinar : tenang dan bagus
Ibnu Sirin : tiada mengangkat pandangan dari tempat sujud.
Ibnu Jubair : tetap mengarahkan pikiran kepada shalat, sehingga tidak
mengetahui orang sebelah kanan dan sebelah kiri.
Ali bin Abi Thalib : tiada berpaling ke kanan dan tiada berpaling ke kiri.
Khusyu’ adalah buah dari iman kepada-Nya dan sholat yang benar bukan
sekedar memahami makna sholat dari takbir hingga salam. Tetapi hati juga
hadir merasakan, menikmati setiap gerak dari takbir hingga salam dalam
tatapan Allah, perhatian Allah dan pendengaran Allah. Dan puncak dari
kekhusyu’an adalah akhlakul karimah. Inilah inti ibadah, doa zikir dan ilmu.
Imam Ali berkata :
“Sungguh orang berdusta di pagi hari tidak akan khusyu’ sholat di siang hari “
Betapa hebatnya pengaruh dusta terhadap sholat. Ringkasnya, sholat yang
khusyu’ akan melahirkan akhlak yang mulia, dan akhlak yang mulia buah dari
kekhusyu’an.
Khusyu’ juga merupakan amalan hati yaitu suatu keadaan yang mempengaruhi
jiwa, lahir bekasnya pada anggota, seperti tenang dan menundukkan diri.
Ketika shalat, jagalah hati, yakni setiap kali mengerjakan shalat, jagalah hati
hanya untuk Allah, janganlah palingkan kepada selain-Nya, usahakan hati yang
menggerakkan bibir, bukan bibir yang menggerakkan hati.
2. Langkah-langkah Sholat khusyu
Dimulai sejak wudlu
Ali bin Abi Thalib ra, Setelah wudlu ditanya oleh seorang sahabat: Mengapa
setiap kali wudlu wajah anda kelihatan pucat dan gemetaran ? apakah anda
sakit ? Ali menjawab, tahukah kamu setelah wudlu ini saya akan menghadap
siapa ? Ali berkata: Kalau seorang budak dipanggil tuannya menghadap dengan
takut dan gemetar, apalagi saya yang akan mengadap Allah.
Hatim al-Asham mengatakan aku berwudhu dengan tujuh perkara:
Dengan tobat
Dengan penyesalan atas dosa di masa lalu
Meninggalkan ketergantungan kepada dunia.
Meninggalkan pujian para makhluq
Meninggalkan keterikatan kepada benda
Meninggalkan kedengkian
Meninggalkan hasad
Melaksanakan Sholat
Dalam melaksanakan shalat. Di waktu menghadap ke kiblat, jadikan dirimu
sebagai seorang hamba yang selalu bergantung kepada Allah. Seakan-akan
engkau berada di hadapan Allah, dan syurga berada di sebelah kanan, neraka
di sebelah kiri, sementara Izrail berada di belakang, dan seakan-akan kedua
kaki berada di atas jembatan Shirat dan anggap shalat ini adalah shalat
terakhir. Lintaskan kematian setiap menjelang shalat, maka shalat akan
dilaksanakan dengan serius, sungguh-sungguh, karena merasa sebagai shalat
terakhir. Lintasan kematian melahirkan rasa dekat dengan Allah Yang Maha
Kuasa dalam menggenggam ruh manusia.
Rasulullah bersabda:
”Laksanakan shalat, seakan shalat yang engkau lakukan adalah shalat terakhir”.
Penuhi delapan syarat shalat khusyu’
Khusnul Qiro’ah yaitu bacaan baik, meliputi makhraj, tajwid, suara, lagu,
pemenggalan bacaan dan waqaf. Bacaan yang baik mendukung suasana
khusyu’ dalam shalat, terutama ketika shalat berjama’ah.
Tartibul Arkan yaitu menunaikan rukun shalat dengan tertib. Shalat harus
dilakukan dengan tertib dan tuma’ninah, tenang, penuh penghayatan dari satu
gerakan ke gerakan yang lain, dari satu bacaan ke bacaan yang lain. Tidak akan
khusyu’ shalat yang dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Ingat “Al-’Ajalatu
minasy-syaithan” tergesa-gesa adalah perbuatan syetan.
Khudlurul Qalbi Yakni menghadirkan hati. Shalat harus dilakukan dengan
segenap jiwa dan raga.
Al- Haibah yakni mengarahkan seluruh konsentrasi hanya kepada Allah semata.
Tafahhum yakni memahami makna bacaan, gerakan, dan seluruh kegiatan
shalat
Al- Haya’ yakni merasa malu kepada Allah, malu menikmati rahmat sedikit
bersyukur, dosa sudah banyak taubat belum maksimal, umur sudah lanjut,
ibadah masih kurang.
Al- Khauf yakni merasa takut kepada Allah, takut hidupnya tidak diridlai, takut
ibadah tidak diterima, takut do’a tidak dikabulkan, takut tidak mendapat
pertolongan dan perlindungan dari Allah.
Ar- Roja’ yakni penuh harap kepada Allah, sikap optimis ibadahnya akan
diterima, hidup diridlai, maka tetap istiqamah dalam beribadah dan berdo’a
kepada Allah.
Ciri-ciri orang-orang yang sholatnya khusyu:
Sangat menjaga waktunya, dia terpelihara dari perbuatan dan perkataan sia-sia
apa lagi maksiat. Jadi orang-orang yang menyia-nyiakan waktu suka berbuat
maksiat berarti sholatnya belum berkualitas atau belum khusyu.
Niatnya ikhlas, jarang kecewa terhadap pujian atau penghargaan, dipuji atau
tidak dipuji, dicaci atau tidak dicaci sama saja.
Cinta kebersihan karena sebelum sholat, orang harus wudhu terlebih dahulu
untuk mensucikan diri dari kotoran atau hadast.
Tertib dan disiplin, karena sholat sudah diatur waktunya.
Selalu tenag dan tuma`ninah, tuma`ninah merupakan kombinasi antara tenang
dan konsentrasi.
Tawadhu dan rendah hati, tawadhu merupakan akhlaknya Rosulullah.
Tercegah dari perbuatan keji dan munkar, orang lain aman dari keburukan dan
kejelekannya.
Nabi Muhammad SAW dalam sholatnya benar-benar dijadikan keindahan dan
terjadi komunikasi yang penuh kerinduan dan keakraban dengan Allah. Ruku,
sujudnya panjang, terutama ketika sholat sendiri dimalam hari, terkadang
sampai kakinya bengkak tapi bukannya berlebihan, karena ingin memberikan
yang terbaik sebagai rasa syukur terhadap Tuhannya. Sholatnya tepat pada
waktunya dan yang paling penting, sholatnya itu teraflikasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Orang yang sholatnya khusyu dan suka beramal baik tapi masih suka
melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, mudah-mudahan orang
tersebut tidak hanya ritualnya saja yang dikerjakan tetapi ilmunya bertambah
sehingga membangkitkan kesadaran dalam dirinya.
Jika kita merasa sholat kita sudah khusyu dan kita ingin menjaga dari keriaan
yaitu dengan menambah pemahaman dan mengerti bacaan yang ada didalam
sholat dan dalam beribadah jangan terhalang karena takut ria.
Inti dalam sholat yang khusyu yaitu akhlak menjadi baik, sebagaimana
Rosulullah menerima perintah sholat dari Allah, agar menjadikan akhlak yang
baik. Itulah ciri ibadah yang disukai Allah.
Itulah sedikit langkah-langkah melaksanakan sholat dengan khusyu’ semoga
kita bisa menjalankan sholat dengan khusyu.
Wallahu a’lam.
PENGARUH DZIKIR-MEDITASI
PADA OTAK DAN PERILAKU MANUSIA
Dr H MAMAN SW SpOG
direvisi
12 Februari 2018
Tiap bagian otak manusia tidak berdiri sendiri, namun saling berhubungan satu
sama lain secara terintegrasi dan terkoordinasi melalui korteks
asosiasi. Dengan adanya korteks asosiasi maka korteks serebri berfungsi untuk
mengetahui, untuk berpikir, menerima dan mengolah data, menyimpulkan dan
mengembangkan sebagai aktivitas intelektual manusia. Melalui korteks serebri
inilah peradaban, budaya dan agama lahir.
Sebagai contoh kerja asosiasi otak : bila kita melihat seseorang yang kita benci,
informasi masuk ke korteks serebri diteruskan ke thalamus, kemudian bila
langsung ke amigdala maka memori emosi negatif bergolak merangsang sistim
hormonal adrenalin dan sistim sarap motorik, ada perintah ke otot wajah
menjadi tegang dan otot anggota gerak untuk memukul. Juga ada perintah ke
sistim sarap otonom, sehingga jantung berdebar-debar, napas memburu.
Reaksi tersebut terjadi karena hippocampus sebagai pusat data-data rasional
tidak bekerja dengan baik atau datanya minim, kurang lengkap sehingga
kebobolan. Bila data dari hippokampus lengkap bahwa orang tersebut hanya
mirip dengan orang yang kita benci mungkin reaksinya akan lain.
Bila sistim limbik otak manusia sebagai pusat nafsu, apakah mungkin yang
disebut hati atau qolbu menurut Al Qur’an untuk merasakan atau untuk
memahami sesuatu adalah sistim limbik di otak bukan di dalam dada
…??? Perlu penelitian lebih lanjut….
Manusia memiliki tiga unsur yaitu jasmani, ruhani dan nafsu… Bila manusia itu
dalam keadaan tidur, pingsan atau koma maka nafsunya tidak ada, yang ada
hanya jasmani dan ruhaninya… Ruh tidak terikat pada Jasmani. Bila
jasmaninya rusak maka Ruh bersama nafsunya akan meninggalkan jasmani.
Itulah yang disebut kematian…
Telah Aku turunkan Adz Dzikir ( Al Hijr 15 : 9 ). Berarti Adz Dzikir adalah Al
Qur’an…
Aku jadikan Al Qur’an itu Cahaya…( Asy Syura 42 : 52 ).. berarti Adz-Dzikir
adalah Cahaya…
Allah adalah Cahaya… An Nuur adalah Allah… ( An Nuur 24 : 35 ).. Adz-dzikir
adalah Allah
Bila Surat Al Hijr 15 : 9, Asy Syura 42 : 52 dan Surat An Nuur 24 : 35 kita
rangkum dan kita simpulkan maka kesimpulannya : Adz-Dzikir adalah Allah…
Urusan dunia terserah kita, namun tata cara beribadah ikutilah tata cara
Rosulullah saw. Jangan lupa tata cara beribadah beliau sewaktu di guha Hiro…
Apa yang beliau lakukan di Guha Hiro sehingga Allah mendekat dan
memberikan wahyu kepada Rosulullah saw. Kata kuncinya DZIKIR-MEDITASI….
Dzikirnya dzikir kolbu.. karena yang bisa berkomunikasi dengan Allah adalah
Ruhnya, bukan jasmaninya…
Sabda Rosulullah saw kita harus bisa mati sebelum mati. Jasmaninya dan EGO-
nya dimatikan agar kesadaran Ruhnya bangkit untuk berkomunikasi dengan
Allah… Jangan mengharapkan apapun, jangan mengharapkan surga.. tapi
harapkanlah keridhoan Allah.. Karena keridho’an Allah jauh lebih besar.
Dengan Dzikir hati akan menjadi tenang dan tenteram ( AR- RAD 13 : 28 )
Barang siapa menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah dan berbuat kebaikan,
baginya pahala pada Tuhan-nya, tiada mereka ketakutan dan tiada mereka
bersedih hati
( Al BAQARAH 2 : 112 )
Dan keridhoan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar
( AT TAUBAH 9 : 72 )
Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi karena
kesabarannya dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan
selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baiknya
tempat menetap dan tempat kediaman ( AL FURQON 25 : 75 – 76 )
Ucapan selamat dari Tuhan. Salaamun qaulam mirobbirahiim ( YAASSIIN 36 :
58 )
Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka …
( ALI IMRAN 3 : 159 )
Barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk
perbuatan yang mulia ( ASY-SYURA 42 : 43 )
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah akan
menanamkan dalam (hati ) mereka rasa kasih sayang ( Maryam 19 : 96 )
DZIKIR selain sebagai pembersih qolbu juga sebagai pembuka jalan menuju
Allah… Bila hati kita bersih, jalan menuju Allah terbuka lebar dan Allahpun akan
mendekat. Allah akan memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita sehingga
keimanan kita pun akan meningkat..
Allah juga akan menurunkan rahmatnya kepada mereka yang beriman
sehingga perilakunya berubah menjadi lemah-lembut, penyabar disertai rasa
kasih sayang terhadap semua mahluk ciptaan Allah…tawadu .. karena CAHAYA
ALLAH sudah menerangi hatinya…
Bila kita belum memilik sifat-sifat tersebut, masih pemarah, masih sombong,
membuat kerusakkan, belum tawadu, berarti HATI kita masih GELAP… EGO-
nya masih tinggi… sehingga BELUM BISA DIKATAKAN BERIMAN …BELUM
MUSLIM…
Iman gue juga BRO…masih jjjaaauuuhhh… Gue juga ngerasa diri gue belum
muslim…Gue belum ngerasa berserah diri sepenuhnya kepada Allah…Gue
belum ngerasa diri gue beriman..
Menurut lo gimana BRO kalo ada kelompok yang menganggap orang lain yang
tidak sepaham adalah kafir…mereka membuat kerusakkan dan menghalalkan
darah orang lain yang tidak sepaham untuk dibunuh…??? Apakah dia sudah
beriman ataukah EGOnya yang bicara…???
Contohnya pada zaman dulu WAHABI, sekarang kelompok yang menamakan
dirinya ISSIS…
Firman Allah :
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati ( ALI IMRAN 3 : 13 )
Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya ( AT-TAGABUN 64 : 11 )
Di dalam diri manusia ada Cahaya Yang Maha Melihat ( AL QIYAMAH 75 : 14 )
Allah akan membimbing dengan Cahayanya kepada Cahayanya bagi siapa yang
Dia kehendaki (AN NUUR 24 : 35).
Oleh karena itu kata para Sufi : KOLBU MUKMIN BAITULLAH… Itulah Rumah
Allah yang hakiki yang harus dibersihkan agar tidak menjadi sarang syetan dan
iblis.. Bila hati kita kita bersih maka jalan menuju Allah terbuka lebar…
Kolbu berfungsi untuk memahami sesuatu, untuk mempelajari sesuatu melalui
logika yang berpusat di OTAK KIRI sehingga menghasilkan karya.. Di dalam
kolbu ada JIWA-NAFS dimana melalui rasa dan karsa akan menghasilkan karya
dan pangawasa, kekuatan-kekuasaan.
Kolbu ini dalam memahami sesuatu dipengaruhi oleh NAFS yang menghasilkan
perilaku budi pekerti. Bila kerja OTAK KIRI sangat dominan maka muncul EGO-
NAFSU, sehingga perilaku menjadi tidak terkendali.. Akibatnya jasmani yang
merugi.. Sesungguhnya Allah memberi amanah dan membai’at NAFS melalui
syahadat itu adalah agar NAFS terkendali… namun Nafs melalaikan amanah
Allah. Oleh karena itu manusia disebut INSAN yang artinya LALAI…
PERINTAH DZIKIR :
Ingatlah kepada-Ku niscaya Akupun akan ingat kepadamu, bersyukurlah
kepada-Ku dan jangan mengingkari ( AL BAQARAH 2 : 152 )
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah ( dengan
menyebut ) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu
atau berdzikirlah lebih banyak dari itu ( AL BAQARAH 2 : 200 )
Apabila kamu telah selesai sholat, ingatlah Allah disaat berdiri, disaat duduk
dan ketika berbaring ( AN-NISA 4 : 103 )
Sesungguhnya sholat itu menjauhkan perbuatan keji dan munkar, namun dzikir
lebih utama dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (AL ANKABUT 29 :
45)
Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah ( menyebut nama Allah ),
berdzikirlah sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi
dan petang … Dia akan mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada Cahaya
yang terang, dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman ( AL
AHZAB 33 : 41-42-43 )
Selesai sholat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, carilah karunia
Allah, berdzikirlah sebanyak-banyaknya agar kamu sukses ( AL JUMU’AH 62 :
10 ).
Allah akan memudahkan segala urusan, diberi kecukupan, diberi rizki yang tak
terduga, diampuni segala kesalahan, pahalanya berlipat ganda… ( AT-THOLAK
65 : 2-3-4-5 ).
Dan sebutlah nama Tuhan-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan
rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai ( AL A’RAF 7 : 205 )
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram ( AR-RA’D 13 :
28 )
Janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, maka Allahpun akan
membuat mereka lupa pada dirinya (AL HASYR 59 : 19)
OLEH KARENA ITU MENURUT PARA SUFI DZIKIR ITU HUKUMNYA WAJIB…
SUDAH SAATNYA KITA BELAJAR TASAWUF.. SUFISME … Agar otak kita tidak
terpasung hanya pada masalah lahiriyah.. Karena Allah AL BATHIN. Perjalanan
menuju Allah adalah perjalanan dari alam lahiriyah menuju alam bathiniyah…
Sufisme bukan sebuah aliran atau sekte.. .Sufisme adalah ajaran bathiniah,
ajaran rahasia dalam semua agama. Sufisme atau Tasawuf dimulai sebagai
ilmu, di tengahnya amal, yaitu lelaku khusus dan pada akhirnya adalah karunia
Allah.
INGAT-INGAT YA...
Dzikir-meditasi bukan monopoli ajaran Rosulullah saw. Semua agama untuk
mencapai puncak spiritualnya harus melalui Dzikir-Meditasi. Hasil akhirnya
juga sama baik secara fisik maupun secara spiritual.. Metode dzikir-meditasi
banyak sekali… Carilah metode yang sederhana dan mampu
laksana… Bila metode di bawah ini sederhana dan mampu laksana silahkan
berlatih dzikir-meditasi dengan metode ini...
Duduk tegak dikursi atau dilantai dengan alas yang empuk. Pejamkan mata,
katupkan bibir, ujung lidah menyentuh langit-langit… santai.. senyum..
pasrah… Tarik nafas perlahan-lahan sambil dalam hati mengucapkan
HUUUUU dan membayangkan seolah-olah ada energy masuk melalui pusar..
turun ke tulang ekor, merambat naik melalui tulang belakang menembus
ubun-ubun menuju angkasa ke titik tak berhingga, kemudian turunkan ka
dada… Tahan nafas… rongga dada dikempiskan, rongga perut agak
dikembangkan. Kemudian ucapkan dalam hati ALLAH.. ALLAH.. ALLAH 3x.. 7x..
9x.. terserah asalkan bilangan ganjil… Kemudian hembuskan nafas secara
perlahan-lahan sambil dalam hati ucapkan ALLAHHHHH…
Ulangi tata cara tersebut diatas 3 kali ..
Pada tarikan nafas selanjutnya kita tidak usah membayangkan energy masuk
kemana-kemana.. yang penting pada saat menarik nafas ucapkan dalam hati
HUUUUU… Tahan nafas dan dalam hati ucapkan asma Allah.. sebanyak yang
kita suka dengan bilangan ganjil.. Hembuskan nafas sambil dalam hati ucapkan
ALLAHHHHHHH…
3). Zikir Isbat faqad: Zikir ini dg mengucapkan illallah yg dihujamkan kedlm hati
ruhani.
4). Zikir Ismul Azam: Zikir ini dg menyebut asma Allah yg dihujamkan ke tengah
dada tmpt bersemayam nya Ruh yg menandai adanya hidup
5). Zikir Ismu Zat: Zikir ini dgn menyebut Ismu Zat iaitu Hu dgn mata dipejam
kan dan mulut dikatupkan, dgn lidah yg diangkat ke langit2 kemudian
diarahkan ketmpt tengah2 dada menuju kearah kedlman rasa sehingga
mendptkan rasa sejati dan sejatining rasa.
6). Zikir Taraqqi: Zikir ini dilakukan dgn cara menarik nafas dgn lafal Allah dan
mengeluarkan nafas dgn lafaz Hu/ Allah-Hu yg diambil dlm dada dan lafaz Hu
dimasukan ke baitul makmur/otak dan Allah dimasukan ke dlm dada. Ini agar
salik dlm bahasa thariqahnya otaknya yg ada di baitul makmur/kepala
tercerahkan.
7). Zikir Tanazul: Zikir ini dilakukan dgn Hu-Allah iaitu menarik nafas dgn lafal
Hu menghembuskan nafas dg lafal Allah. Lafal ismu zat Hu-Allah diambil dari
baitul makmurdan Allah dimasukan kedlm dada paling dlm tmpt hati sirr tmpt
timbulnya tauhid. Hal ini dimaksudkan agar si salik menjadi manusia
cahaya/insan cahaya ilahi menuju puncak kesempurnaan ruhani.
Menu
Bagian Atas Formulir
Bagian Bawah Formulir
ISLAM IS PEACE
Blog yang berkenaan dengan Filsafat, Agama dan Pendidikan
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat
Sufisme merupakan salah satu tradisi tasawuf yang berasal dari agama-agama
dunia, khususnya Islam. Apa yang menjadi ciri khas dan karakter dari tasawuf
ini adalah motif mereka dalam melakukan suatu pencarian mistik (mystical
quest) dan oleh karena itu menjalankan perjalanan spiritual menuju Tuhannya
(Realitas yang sejati, absolut dan hakiki). Terkait dengan definisi Tasawuf
sendiri, di sini penulis mengambil definisi dari Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara
(2006) yang mengatakan bahwa Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam
yang menekankan dimensi atau aspek spiritualitas, dan spiritualitas ini dapat
mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Karena keterkaitannya dengan
agama (yakni Islam), maka kebanyakan kaum arif[1] meyakini bahwa
penamaan khusus kehidupan mistis direpresentasikan dalam gabungan antara
syari’at, tarekat (tharîqah), dan hakikat (haqîqah). Artinya, mencapai hakikat
adalah dengan berpegang pada substansi agama dan hukum-hukumnya
dengan memelihara lahiriah syariat.[2] Demikian pula yang diungkapkan oleh
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (2006) bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang
harus dipandang bid’ah dalam kaitannya dengan ibadah (syari’at), melainkan
sebagai pelengkap dan sekaligus hiasan bagi ibadah-ibadah formal kita sehari-
hari, yang sering kita rasakan telah kehilangan makna spiritualnya.
Dalam keterbatasan penulis di sini, penulis hendak membatasi makalah ini
pada penjelasan mengenai gagasan sentral dalam sufisme Islam yakni
mengenai 3 level perjalanan spiritual yang dikenal dengan Syari’at, Tarekat,
Hakikat yang dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan istilah The Law, The
Way and The truth. Di sini pun kami akan menambahkan makrifat (ma’rifah)
yang juga dikatakan sebagai salah satu tahapan dalam melakukan perjalanan
spiritual, serta akan mencoba secara sepintas memaparkan mengenai
intergrasi antara level-level tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. SYARIAT
Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata َش َر َع – َي ْش َر ُع – َشرْ عًا
yang berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam
bukunya “Studi Tentang Ushul Fiqih”[4] memberi definisi bahwa Menurut
pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah sumber air yang tidak pernah
kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan demikian
pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman
sumber pedoman.[5]
Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik (penempuh jalan
ruhani) menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang
diusahakannya. Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan
Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang diambil dari
buku “Sufism and Shari‘ah” yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari.
Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat, yaitu makna
umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan
penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan
kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah
pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik
secara langsung (wahyu) maupun melalui nabi-Nya itulah yang disebut syariat.
Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan.
Syariat bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih
dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju
realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan
ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak
mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju
makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat,
karena menurut mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang
seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara syariat dan
hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari
hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan
bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka
mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan.
‘Mereka yang lebih maju (dalam sufisme) membutuhkan ibadah sepuluh kali
lipat ketimbang pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada
pengabdian dan perolehan mereka dikondisikan atas keistikomahannya
menaati syariat.’[6]
Adapun ketika seseorang mencapai kasyf (penyingkapan), maka kasyf itu tidak
bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk
syariat yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran
syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi
yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan oleh Nabi atau
sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini memproduksi syariat
baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide yang
didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan
mabuk dan dianggap tidak benar.
REPORT THIS AD
Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya memuat
syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik
adalah melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf
bisa disejajarkan dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf
itu bisa menguak makna-makna dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah
sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu.
2. TAREKAT
Tarekat secara bahasa berasal dari kata ْق ُ الطري ُ dan اَ ْطرُقyang
َّ jamaknya طرُق
َّ
bermakna jalan, lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi الطر ْي َق ُة
yang bermakna jalan atau metode. Istilah tarekat ini menunjuk pada metode
penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-hukum syariat. Semua
muslim wajib menerapkan syariat, namun ada sebagian muslim yang hanya
berfokus pada kewajiban-kewajiban ibadah dan ada sebagian lagi yang selain
fokus pada kewajiban-kewajiban ibadah juga memperhatikan adab, akhlak,
dan sisi batin dari syariat itu, yang sebetulnya semua itu sudah dijelaskan
dalam syariat.
Dalam Mystical Dimensions Of Islam, Annemarie Schimmel memberikan
definisi tarekat yaitu:
“The tariqa, the “path” on which the mystics walk, has been defined as “the
path which comes out of the sharia, for the main road is called shar‘i, the path,
tariq.” This derivation shows that the Sufi’s considered the path of mystical
education a branch of that high -way that consists of the God-given law, on
which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main
road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the
binding injunctions of the shar’ia are not followed faithfully first. The path ,
tariqa, however, is narrower and more difficult to walk and leads the adept—
called salik, “wayfarer”—in his suluk, “wandering,” through different stations
(maqam) until he perhaps reaches, more or less slowly, his goal, the perfect
tauhid, the existential confession that God is One.”[8]
Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus
bagi salik (penempuh jalan ruhani) untuk mencapai kesempurnaan tauhid,
yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama,
syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan
mereka yang tidak melakukan disiplin diri.
REPORT THIS AD
Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan,
sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam
keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan
milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang
milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan,
milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat
kepemilikan hanya milik Allah.
Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat
punya tiga bagian, yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni (ikhlas).
Setiap salik harus mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat
baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah. Ketika ia sudah mengetahui,
maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata perbuatan itu
ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah
ikhlas, dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan
karena manusia cenderung memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang
memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan Allah larang. Selain itu
manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka
diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam
setiap tindakannya (mukhlis), sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya
(mukhlas), metode itulah yang disebut tarekat.
Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga
kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui
adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan
melakukan apapun yang Dia syariatkan dan memurnikan tujuan dari tujuan-
tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga yang
mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada
banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari
ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan
tauhid.
Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat,
yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya berjuang
dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha dengan giat
dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan, agar
hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu.[9] Yang kedua
adalah riyadhah. Riyadhah (Olah Ruhani) bisa dilakukan tanpa harus
meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus
menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri, keluarga, dan
masyarakat sosial.[10] Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah.
Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses
yang ketiga adalah muahasabah. Yang terakhir adalah
muhasabah. Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan
membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan apa yang
disukai-Nya.[11] Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang
akan datang. Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah
menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita
sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan datang telah
ditentukan oleh al-Qur’an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah
adalah dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf (rasa
takut) dan raja’ (harapan).
Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul pada abad 11. Awalnya
merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang
sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu
kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim.
[12] Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-
murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid (yang
dibimbing) menuju hakikat sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang
dinisbahkan pada mursyid tertentu yang dianggap punya metode tersendiri
yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs as-Suhrawardi,
Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah
para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran
dan praktik-praktik tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus
reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi lingkaran kelompoknya.[13]
3. HAKIKAT
A. Pengertian Hakikat
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat (Haqiqah) seakar
dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf
menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari
transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan
spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang merupakan
kenyataan eksoteris dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme,
sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang
esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin
juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.[14]
Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah
kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam
syari’at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap
amal, inti, dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik.
Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud
baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada
substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau
mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan.[15]
Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi
akan realitas dalam pengalaman mistik.[16] Sementara penafsiran Prof. Dr.
Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana
banyak para sufi menyebut diri mereka ‘ahl-haqiqah’ dalam pengertian sebagai
pencerminan obsesi mereka terhadap ‘kebenaran yang hakiki’ (kebenaran
yang esensial). Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj (w. 922)
yang mengungkapkan kalimat ‘ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan). Obsesi
terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula ‘la
ilaha illa Allah’ yang mereka artikan ‘tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah’.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul
ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak
hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan
Tuhan. Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara
Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan
cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek
yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan
pemberi wujud.[17] Pernyataan ‘la ilaha illa Allah’ ditafsirkan para sufi sebagai
penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya
sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep ‘fana’ , atau ‘fana al-
fana’ yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan
konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah.
Fana’ dan baqa’ ini dipandang sebagai ‘stasion’ (maqam) terakhir yang dapat
dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para
sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang
dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan.
Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai
syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata,
“Lobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”[18]
B. Fana’ dan Baqa’ sebagai ciri khas Hakikat
Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj
(w.922) yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan ‘Ana al-Haqq’ yang
berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut
dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat ‘la ilaha
illa Allah’ tidak lagi kita artikan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, melainkan ‘Tidak ada
realitas (hakikat) yang sejati kecuali Allah’. Di sini dapat dipahami bahwa hanya
Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu.
REPORT THIS AD
Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar
diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi.
Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan
kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan ‘fana’. Setelah itu hanya
kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan
keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqa’, saat ketika seorang sufi
hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang
hakiki.
Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang
merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan
dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak
Persia,
The true lover finds light only if, like the candle, he is his own fuel, consuming
himself.
Attar of Neishapur (w. 1230)
Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat
menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya
sendiri, memakan dirinya sendiri.
Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan
Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan
gambaran seekor ngengat (yang diumpamakan sebagai jiwa manusia) yang
sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin (yang
diumpamakan sebagai Kebenaran) hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi
satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan
istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda
dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah
konsep mengenai fana dan baqa’. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris
sering diterjemahkan sebagai ‘annihilation’, ‘extinction’, atau ‘cessation of
being’, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa
Arab tidak ada kata kerja ‘to be’, dan mengacu pada istilah Jerman
tradisional Entwerden, ‘de- becoming’, sebagai yang lebih akurat.[19] Nah, di
sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan
meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar.
Fana’ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika
proses ini selesai, maka ‘baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi
pun terbangun – kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, ‘kesatuan’
dengan Tuhan. Konsep mengenai fana’ dan baqa’ ini telah ditafsirkan sebagai
kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari
tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang
mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada
level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas (salah satu
pengertian dari tarekat) atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang
merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan
Tuhan. [20]
REPORT THIS AD
4. MAKRIFAT
A. Pengertian Makrifat
Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun
terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat
dari beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang
mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai
berikut:
Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti
persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan
pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu
sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain.
Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat;
Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah
menguasai syari’at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti
thariqah dari mistik, dan ‘jalan’ yang mengantarkan pada pengetahuan yang
lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat,
kebenaran, atau makrifat, gnosis.
Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara
makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut
pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan
mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami
sebagai suatu stasion atau keadaan (state),
First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge
that comes after that asceticism. The ultimate ‘knower’ is worth a hundred
thousand ascetics.
Jalal al-Din Rumi[21]
Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan.
kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah
asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami,
menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas. Akan tetapi, berhubungan
dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna
makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi.
REPORT THIS AD
Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata ‘arafa,
yu’rifu, ‘irfan, ma’arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau
pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat
diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan.
Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama,
yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada
umumnya.
Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal
bersama dengan makhafah (cemas terhadap Tuhan) dan mahabbah (cinta).
[22] Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual
(thariqat). Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati.
Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu
al-Nun al-Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam[23]:
Pertama, makrifat kalangan orang awam (orang banyak pada umumnya),
tauhid melalui syahadat.
Kedua, makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan
merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-
tanda atau dalil-dalil pemikiran.
Ketiga, makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal
Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan
dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. Dan makrifat
inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini.
Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan
menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya.
Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at, hukum Allah untuk
kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat
al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke
dalam hakikat (kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang
seluruh eksistensi). Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua
pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai
pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang
disebut ‘makrifat’ (pengetahuan).[24]
REPORT THIS AD
Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat
sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat
Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat
terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang
prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan
usaha keras dalam waktu yang panjang.[25] Baik lewat meditasi, tazkiyatun
nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik.
Zybura dalam esainya mengatakan bahwa selain dari 3 tingkatan yang telah
dideskripsikan dalam pencarian menuju kesatuan dengan Tuhan, ada lagi
tahapan-tahapan yang lebih banyak yang secara umum dibedakan sebagai
stasion (station/ maqam). Pencapaian pada tiap maqam tergantung kepada
perbandingan dari anak tangga-anak tangga yang kita daki dengan upaya kita
sendiri, dan ‘kondisi’ (state/ahwal) sendiri merupakan hadiah dari Tuhan yang
lebih sulit lagi untuk diklasifikasikan.[26]
Untuk lebih jauh membahas mengenai makrifat ini, penulis memilih untuk
memaparkannya melalui penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi
Kartanegara.
B. Pengetahuan Sejati dan Perbedaannya dengan Ilmu Pengetahuan
Yang dimaksud dengan makrifat sebagai pengetahuan sejati/hakiki tidak sama
dengan ‘ilm yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan. Pertama-tama yang
membedakannya adalah cara perolehannya dimana ilmu pengetahuan
diperoleh secara hushuli (melalui mediasi/representasi, tidak secara langsung).
Sementara makrifat diperoleh secara hudhuri, langsung hadir dalam intuisi
manusia dan dialami secara langsung. Perbedaan lainnya terletak pada objek
dari pengetahuan itu sendiri. Adapun objek dari ilmu pengetahuan adalah
objek-objek yang bersifat fisik, sementara objek dari makrifat kebanyakan
bersifat non-fisik. Secara rincinya, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menguraikan
perbedaan antara keduanya dalam tabel berikut,
Hushuli (Tidak
Langsung), Hudhuri
dipelajari, (Langsung),
Perolehan representasi dialami
Tidak
mendatangkan Mendatangkan
Kepastian kepastian intuitif kepastian intuitif
Antara subjek
dan objek
terdapat
keintiman,
sebagaimana
konsep kesatuan
dari
pengetahuan,
yang
Ada dualisme mengetahui dan
Jarak antara (Ada jarak yang yang diketahui
subjek dan lebar antara (‘alim, ‘ilm, dan
objek subjek dan objek) ma’lum)
REPORT THIS AD
Dari segi objek, meskipun ilmu-ilmu rasional juga sama-sama menangkap
ma’qulat, sebagaimana intuisi, tetapi cara di antara keduanya berbeda.
Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang
telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya
langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang
dikenal sebagai ‘penyingkapan’ (mukasyafah) atau ‘penyinaran’ (iluminasi) dan
‘penyaksian’ (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga
atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya
kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.
[27]
Secara sederhana Mulyadhi Kartanegara memberikan analogi mengenai bahwa
kepastian intuitif yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang dialami secara
langsung laksana orang yang mengetahui manis dengan mencicipi butiran gula.
Kita tidak dapat mengetahui rasa manis melalui pengkajian akan definisi atau
konsepsi mengenai manis. Atau pun melalui membaca buku-buku tebal yang
menjelaskan mengenai rasa gula maupun asal usul gula. Selama apa pun kita
pelajari semua itu selama lidah kita tidak merasakannya sendiri maka kita tidak
akan pernah mengetahui rasa manis yang sebenarnya. Karena manis tidak bisa
kita ketahui melalui rangkaian huruf dari kata M.A.N.I.S. Untuk mengetahui
manis maka kita harus mendatangi yang empunya manis itu sendiri (gula), dan
merasakannya sendiri secara langsung.
Kesatuan pengetahuan dan yang diketahui dijelaskan dengan ilmu hudhuri
bahwa objek diketahui secara langsung setelah dihadirkan dalam kesadaran
jiwa seseorang. Ketika objek hadir dalam kesadaran diri maka objek itu dapat
teridentifikasi dengan diri sendiri, ketika itu terjadi maka objek-objek itu
menjadi dirinya, maka keintiman pengetahuan itu kini sama dengan terhadap
diri sendiri, sementara pengetahuan tentang diri sendiri dapat kita ketahui
secara langsung tanpa harus ada pemilahan antara subjek dan objek. Maka
dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang
mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini
merujuk pada entitas yang sama dan satu: diri kita sendiri.
Makrifat juga diandaikan seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke
dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan yang
menyilaukan. Bagai kaca yang bersih dan selalu dibersihkan sehingga kemudian
cahaya mampu memasukinya dan menerangi jantung rumah dan beriluminasi
(menerangi semua yang tersembunyi/ tak nampak).
REPORT THIS AD
C. Analogi Rumi : Makrifat bagai Mutiara di Dasar Laut
Jalal al-Din Rumi pernah mengumpamakan makrifat sebagai mutiara di dalam
kerang yang berada di dasar laut karena keindahannya yang membuat banyak
orang menyukainya. Menurut Rumi makrifat tidak dapat diperoleh secara
inderawi, karena hal itu sama saja dengan mencari-cari mutiara yang berada di
dasar laut dengan hanya datang dan memandangi laut dari darat. Sedangkan
makrifat juga tidak bisa diperoleh melalui penggalian nalar, karena hal
demikian sama saja dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu
sendiri. Agar bisa mendapatkan mutiara makrifat itu, maka dibutuhkan
penyelam yang ulung dan beruntung, yakni seorang mursyid yang
berpengalaman. Rumi mengatakan butuh pada penyelam yang ulung dan
beruntung karena pencapaian itu bergantung pada kemurahan Tuhan. Karena
tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba.
Menyelam di sini diartikan sebagai menyelami lubuk atau dasar hati kita yang
dalam. Karena laut itu begitu dalam, maka dibutuhkan penyelam (mursyid)
yang benar-benar professional dalam teknik penyelaman. Cara menyelam
inilah yang kita sebut dengan metode intuitif.
5. INTEGRASI ANTARA SYARI’AT, TAREKAT DAN HAKIKAT
Dalam pemaparan ini penulis hanya akan membahas relasi antara
syariat, tarekat dan hakikat secara sepintas karena keterbatasan pemahaman
yang penulis miliki.
Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa Syariat berbeda dengan
Tarekat, dan Tarekat berbeda dengan Hakikat. Mereka membayangkan bahwa
ada perbedaan yang pasti yang melekat pada setiap level nya, kemudian
mereka melekatkan hal-hal tertentu pada masing-masingnya yang mana
pengatribusian itu tidaklah tepat, khususnya bagi kelompok sufi.[28] Adapun
miskonsepsi ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi-
kondisi spiritual yang beragam (various spiritual states) pada setiap levelnya
dan juga kekurang pemahaman mereka akan keimanan dan prinsip-prinsip
mereka sendiri.
Apa yang harus diklarifikasi adalah bahwa Syari’at, Tarekat maupun
hakikat merupakan sinonim bagi kebenaran yang satu meskipun istilahnya
berbeda-beda. Sesungguhnya pada setiap 3 level itu adalah merupakan
prasyarat bagi level yang lainnya. Dan keseluruhannya satu sama lain saling
terkoneksi. Adapun penjelasannya yang lebih lebar akan dikupas berdasarkan
pada pandangan Sayyid Haydar Amuli mengenai koneksi antara 3 level ini.
Hal yang pertama-tama mesti kita ketahui adalah bahwa ketiga nama
tersebut (Syariat, Tarekat maupun Hakikat) merupakan aspek-aspek dari satu
realitas. Yang kedua, meskipun ketiganya berasal dari realitas yang satu, tapi
sangat perlu kita ketahui bahwa orang-orang hakikat lebih tinggi dari orang-
orang tarekat, demikian pula orang-orang tarekat lebih tinggi dari orang-orang
syari’at,[29] dan tak ada penyimpangan apapun yang ditemukan dalam
tingkatan tersebut.
Sekedar menyebutkan kembali bahwa Syari’at adalah nama dari jalan
yang diberikan Tuhan yang sudah ada sebelum kehidupan manusia di dunia ini.
Syari’at meliputi ushul al-din dan furu’ al-din, juga meliputi kewajiban-
kewajiban dan petunjuk-petunjuk yang mengakui adanya tingkatan tertentu
akan pilihan manusia dari segi metode atau waktu mereka dalam menjalani
kewajiban-kewajiban mereka. Pun meliputi seluruh tindakan-tindakan yang
paling baik di hadapan Tuhan. Sedangkan tarekat adalah jalan dari
kebijaksanaan tertinggi. Jalan dari tindakan yang paling baik dan paling
meyakinkan. Dengan demikian, jalan apapun yang mengantarkan manusia
kepada yang terbaik dan paling meyakinkan dalam perkataan maupun
tindakan, dalam karakternya yang ia peroleh, ataupun kondisi-kondisi (states)
yang ia alami, maka disebut dengan tarekat.
Hakikat adalah afirmasi akan eksistensi wujud, baik melalui penyingkapan dan
penyaksian substansinya, atau dengan mengalami keadaan spiritual, atau
mengafirmasi akan Ketunggalan Tuhan. Dengan demikian, Sayyid Haydar Amuli
dalam Jami’ al-Asrar hendak mengatakan bahwa makna dari Syari’at adalah
bahwa kamu beribadah kepada-Nya, dan Tarekat adalah kamu mencapai
kehadiran-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu menyaksikan-Nya.
[30] Adapun Zybura menggambarkan relasi antar ketiga level dalam bagan
berikut,
1. Syari’at 2. Tarekat
3. Hakikat/ Makrifat
“There is neither mine nor thine”
Sudah terang dikatakan bahwa syari’at berarti kamu dipertahankan dan
terpelihara dalam eksistensi oleh perintah-Nya, tarekat adalah bahwa kamu
melaksanakan perintah-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu ada oleh dan
dalam diri-Nya. Ketiga level ini tercakup oleh syari’at Islam dan sama sekali
tidak di luar darinya. Allah telah mengacu kepada tiga level ini dengan
frase ‘ilm al-yaqin (Kepastian Pengetahuan), ‘ayn al-yaqin (kepastian
penglihatan atau pengalaman), dan haqq al-yaqin (kepastian kebenaran
realitas).
Terdapat level-level manusia yang berbeda, yakni ada yang awam dan yang
elit, dan yang elit dari yang elit (Diumpamakan sebagai Permulaan (Beginning,
antara (Intermediate), Akhir (Final). Dengan demikian, Syari’at adalah nama
dari hukum Tuhan dan pola perilaku Nabi, dan juga merupakan permulaan.
Tarekat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan
intermediate dan hakikat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan
tahapan akhir. Tak ada lagi tingkatan yang ada di luar dari ketiga level ini.
Bagaimanapun, Syari’at itu mungkin meskipun tanpa tarekat, akan
tetapi tarekat tidak akan mungkin jika tanpa syari’at; demikian pula, tarekat itu
mungkin tanpa hakikat, tapi hakikat tanpa tarekat itu tidak mungkin. Hal ini
karena setiap level itu adalah penyempurna bagi yang lainnya. Oleh karena itu,
meskipun tidak terdapat kontradiksi antara tiga level tersebut, namun
kesempurnaan dari Syari’at hanya mungkin diperoleh melalui tarekat dan
begitu pula dengan tarekat yang hanya mungkin didapatkan kesempurnaannya
melalui hakikat. Deskripsi bahwa tiap level itu tidak kontradiksi dijelaskan oleh
Sayyid Haidar Amuli sebagai berikut:
Para ahli syari’at dianalogikan sebagai para Fuqaha’ serta kondisi-kondisi
mereka.
Para ahli tarekat dianalogikan sebagai para sarjana dan filosof beserta stasion-
stasion mereka.
Orang-orang Hakikat dianalogikan sebagai sufi/gnostik, beserta stasion-stasion
mereka.[31]
Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, maka kesempurnaan dari
kesempurnaan tergabung secara bersamaan dalam ketiga level. Karena jumlah
dari dua hal, atau dua keadaan ketika digabungkan bersama sudah pasti lebih
baik dan lebih sempurna dari pada yang dua ketika dalam keadaan terpisah.
Oleh karena itu, orang-orang hakikat lebih superior dalam hubungannya
dengan orang-orang syari’at dan tarekat.[32]
REPORT THIS AD
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas pemakalah menyimpulkan bahwa antara syariat,
tarekat, makrifat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir
dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Syariat adalah
landasan awal menuju hakikat dan penyingkapan hakikat tidak menggugurkan
syariat, bahkan menguatkan kebenaran syariat. Jika bertentangan maka
penyingkapan tersebut diragukan, yang boleh jadi itu adalah kerjaan setan.
Untuk sampai pada hakikat, maka dibutuhkan metode dan disiplin diri yang
aturan dasarnya sudah ditentukan oleh syariat. Proses menuju realitas sejati
(hakikat) inilah yang disebut tarekat. Ketika selubung hijab terbuka maka
tampaklah realitas sejati, maka saat itu pula penempuh jalan spiritual
memperoleh makrifat.
Sebagai penutup kami nukilkan sebuah hadis yang dinukil oleh Syaikh Sayyid
Haidar Amuli. Rasulullah SAW bersabda, “Syariat adalah ucapanku, tarekat
adalah perilakuku, hakikat adalah halku, makrifat adalah modalku, akal adalah
pilar agamaku, cinta adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa
takut adalah sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman
seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qana’ah adalah harta simpananku,
kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah tempat kembaliku, dan
kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua itu, aku memiliki keunggulan
atas seluruh nabi.”[33]
[1] Arif adalah istilah yang digunakan bagi orang yang telah mencapai ma’rifah
hakiki. Pembahasan mengenai ma’rifah hakiki akan dibahas di dalam makalah
pada bab berikutnya.
[2] Pernyataan ini didapatkan dari potongan tulisan yang berjudul Islamic
Mysticism 1 (Question and Answer) mengenai Prinsip-prinsip Mistisisme
Teoritis. Tulisan ini merupakan bahan kuliah the study of Comparative
Mysticism yang dibimbing oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. Beliau mengatakan
bahwa fondasi dasar Islam adalah rukun Islam yang menjadi prinsip-prinsip
dasar agama (ushuluddin), sementara dalam mencapai tujuan tertinggi dalam
beragama adalah dengan melalui pengetahuan dan aksi dalam akar-akar
agama (ushul) dan cabang-cabangnya (furu’). Adapun yang ushul berfungsi
untuk mensucikan kehidupan batin, sementara yang furu’ untuk mensucikan
kehidupan lahir. Maka siapapun yang memiliki keinginan untuk mensucikan diri
secara lahir maupun bathin, maka harus mendirikan ushul dan furu’ dalam
kerangka tiga level dari Syari’at, Tarekat dan Hakikat.
[3] Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
[4] Diterjemahkan dari Studies in Usul ul-Fiqh, diterbitkan oleh Islamic Cultural
Workshop, Walnut USA
[5] Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007),
hal. 8
[6] Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shari‘ah: A Study of Shaykh
Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism, (The Islamic Foundation: , 1990),
hal 75
[7] Ibid, hal. 71
[8] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions Of Islam, (USA: The University
of North Carolina Press, 1975), hal. 98
[9] Kafie, Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Republika, 2003), hal. 58
[10] Ibid, hal. 70
[11] Muhasibi, Sebuah Karya Klasik Tasawuf: Memelihara Hak-Hak Allah. Diterj.
Abdul Halim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), hal. 53
[12] Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf. Penerj. Arif Anwar,
(Yogyakarkat: Penerbit Pustaka Sufi, 2003), hal 153
[13] Ibid, hal. 162
[14] Kata yang bergaris miring merupakan pendapat dari penulis.
[15] Pengertian ini penulis dapatkan dari slide power point dalam mata
kuliah Islamic Mysticism yang dibuat oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. (ICAS
Jakarta, 2005). Setelah penulis coba selidiki akan sumber referensinya, maka
kemungkinan pengertian ini didapatkan dari sebuah buku karya Sayyid Haidar
Amuli. The Inner secrets of The Path (Dorset : Element Books, 1989).
[16] Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufism and Shari’ah, A study of syakh
Ahmad Sirhindi’s Effort to reform Sufism, (Malaysia: The Islamic Foundation,
1990), Hal. 74.
[17] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2006), Hal. 6.
[18] Ibid, hal. 9.
[19][19] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, (Quelle: http://www.ruhr-uni-
bochum.de/orient, 1999), hal. 4. Lihat juga Schimmel, A.; hal. 142 and Denny,
F.M.; hal. 233.
[20] Ibid., hal. 4-5.
[21] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, (Quelle: http://www.ruhr-uni-
bochum.de/orient, 1999), hal. 5. Lihat juga Shah, I.; The Way of the Sufi;hal.
189.
[22] Al-Ghazali dan al-Qushairi berbeda pendapat mengenai urutan manakah
yang lebih dahulu antara makrifat dan mahabbah. Al-Ghazali berpendapat
bahwa kita tidak akan mampu mencintai Tuhan tanpa mengenal Tuhan
terlebih dahulu, sehingga menurut al-Ghazali urutan makrifat ada di bawah
mahabbah. Sementara al-Qushairi berpandangan bahwa karena kecintaan
pada Allah maka melahirkan pengetahuan hakiki Ilahi (Makrifat), sehingga
menurut pandangan ini, Makrifat menjadi tujuan akhir dan tujuan tertinggi di
atas mahabbah. Adapun pengetahuan penulis hanya terbatas pada pemaparan
mengenai perbedaan ini.
[23] Ensiklopedi Tasawuf jilid II, (Tim Penyusun UIN Syarif Hidayatullah. 2008),
Hal. 795.
[24] Ensiklopedi Tasawuf jilid III (Tim Penyusun UIN Syarif Hidayatullah.
2008),Hal. 1187.
[25] Ensiklopedi Tasawuf jilid II, (Tim Penyusun UIN Syarif Hidayatullah. 2008),
Hal. 798.
[26] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, (Quelle: http://www.ruhr-uni-
bochum.de/orient, 1999), hal. 5.
[27] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2006), Hal. 11.
[28] Penjelasan ini didapatkan dari mata kuliah, A lesson on Islamic Mysticism.
Dr. Sayyed Hossein Miri, (ICAS Jakarta, 2005)
[29] Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, (Dorset : Element Books,
1989), hal. 36.
[30] Surahman, Cucu. Thesis: The Integration of Shari’ah, Tariqah and Haqiqah
according to Sayyid Haidar Amuli, (Jakarta: ICAS, 2008). Hal. 64.
[31] Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, (Dorset : Element Books,
1989), hal. 39.
[32] Ibid., hal. 36.
[33] Yatsribi, Agama & Irfan: Wahdat al-Wuju dalam Ontologi dan Antropologi,
serta Bahasa Agama. Diterj. Muhammad Syamsul Arif. (Jakarta: Sadra Press,
2011), hal. 37
Advertisements
REPORT THIS AD
Menu
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada
tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri
yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah
sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu
benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan
kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar
dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi,
cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu
bersama-sama dengan Tuhannya.
a. Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah,
bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat
lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka
tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya
dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b. Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya.
Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai
sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu
merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada
Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah
keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan
dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf,
harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan
Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara
terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.
Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan Qalb. Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di
samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya
qalb dengan aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang
hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala yang ada dan
manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan.
Posisi Sir ( ُّ) اَلسِّرbertempat di dalam Ruh. Dan ruh ( ) اَلرُّ ْو ُحsendiri berada di
dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb
dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana
yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi).
Dan sebaliknya mereka yang melakukannya ( orang Sufi ) yang dilihat hanyalah
Allah SWT.
Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah berada pada tingkat “Ma’rifah”.
Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi adalah kontinyu (terus menerus).
Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan, semakin banyak yang diketahui
tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi semakin dengan Tuhan.
Namun untuk memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan mustahil,
sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.
Disamping itu, proses sampainya qalb pada cahaya tuhan ini erat kaitannya
dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri
sari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan
dengan Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal
ibadah. Sedangkan Tajalli adalah tersingkapnya hijab (penutup) sehingga
tampak jelas cahaya Tuhan.[6]
G. KESIMPULAN
Apabila melihat dari keterangan diatas dihubungkan dengan pengalaman
tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi
mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Dijelaskan pula, bahwa tanda orang
makrifat itu ada tiga:
1. Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2. Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah huku
3. Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak
membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang
diharamkan oleh Allah.
Dan di jelaskan pula macamnya ma’rifat diantaranaya:
1.Ma’rifat Ya’limiyat yaitu dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan
dalam usaha memperoleh Ilmu.
2. Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan
dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya.
Bila melihat keterangan di atas manfaaat Ma’rifat adalah dapat mengigat
Allah,bisa menbetahui keagungan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Studi al-Qur’an.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka
Hidayah.
3.Assholatu lii dzikri. yaitu sholat sebagai dzikir. sholat yang demikian adalah
sholatnya ahli HAKIKAT. sholat yang telah menggapai kesadaran JATI DIRI,
meresap dalam nurani insan, dzikirnya adalah sholatnya,sholatnya adalah
dzikirnya. dimana realitas-realitas bawah sadar, telah bangkit dan sadar,
mengenal cerminan-cerminan diri pribadi. sholatnya bersifat sirri atau
sholatnya sirr. dengan rahasia latifah Ketuhanan, tersingkap dan tersibak
maknawi-maknawi kehidupan. wajah hati yang bersih suci yang senantiasa
menghadap wajah sang Khalik, karenanya sholatnya juga sbg Assholatu mi'rajul
mukminin. sholat sebagai mi'raj naik kealam tinggi, dimana hati tak lenggah
dari memandang wajah Allah Azza wa Jalla. Subhanallah.
ALLAH
Allah adalah Robb dilangit dan dibumi dan apa2 yang ada diantara keduanya.
Allah bukanlah alam yang diawali suatu proses pembentukan, Allah itu azali, Al
Awwal, DIA yang awal tanpa diawali suatu proses kejadian dan pembentukan
diri. Adanya adalah ada dengan sendirinya, bukan diada-adakan, ada dalam
ketiadaan. Sebelum ada segala sesuatu yang ada hanyalah DIA (HUWA), yang
Maha tak terkata-katakan, tak terbayang-bayangkan, tak terdefinisi, tak
bernama, asing dan tak mungkin dikenali. Maka adanya segenap eksistensi
adalah suatu pendekatan dan cara agar DIA yang tak terjelaskan menjadi bisa
dijelaskan dan di mengerti, sebab DIA ingin dikenali. Allah itu nyata (Ad dhohir)
sekaligus tidak nyata (Al batin), Allah itu transenden (jauh diatas langit diatas
Arsy) sekaligus imanen/dekat (lebih dekat dari urat leher), Allah itu Awwal
sekaligus Akhir.... Allah jauh tak terukur jauhnya, Allah pun dekat teramat
sangat dekat, jauh tak terukur, dekat tak bercampur. tentang Allah adalah tak
akan henti2 nya dan tak akan habis2nya, jika ditulis tak akan cukup 7 samudra
sbg tintanya. Allah adalah segala sesuatu, tetapi segala sesuatu bukanlah
Allah....===> selanjutnya engkau dituntut untuk merasakan sendiri garam,
bukan mendengarkan cerita tentang rasa asin. engkau haruslah mencari
sendiri. WAHAI PENCARI!!... MARILAH MENCARI, PENCARIAN ADALAH
GERBANG DARI SEMUA PENGETAHUAN...
TENTANG MOKSA
Akherat iku akhiring rat. akherat adalah akhir dari kehidupan dunia kita, atau
matinya diri kita. Kita menuju kehidupan hakiki yang langgeng. dalam realitas
dunia ini, maka kita melihat bahwasannya dhohir/lahiriah menguasai dan
menutupi batiniah kita. dalam kehidupan akherat kelak akan berlaku hukum
jagad walikan atau jagad kebalikan, maksudnya batiniah akan menguasai dan
menutupi wujud ragawi kita. Seseorang di dunia ini bisa jadi wujud ragawinya
cantik atau tampan tetapi wujud batiniahnya buas spt serigala. wujud batiniah
itu tersembunyi yg nampak adalah wujud lahiriahnya yg cantik/tampan. tetapi
di jagad walikan/jagad kebalikan, akan berlaku sebaliknya dimana wujud
ragawi tdk tampak yang tampak adalah wujud batiniahnya yg berwujud srigala.
Kehidupan dunia ini segera berlalu dan kita akan sambut jagad walikan, maka
silahkan dibuktikan kelak bahwasanya akherat mirip kebun binatang....
wellcome to the jungle..
REINKARNASI
TENTANG SYAHADAT
Syahadat adalah persaksian. Apakah yang disaksikan?
pada alam alastu, semua manusia sejatinya telah bersaksi:" Alastu
birobbikum?" (bukankan AKU Tuhanmu?) "Balaa syahidna" (benar saya
bersaksi). Lalu kesaksian itu menjadi sebuah janji, dan janji menjadi sebuah
hutang bagi diri kita semua. Karenanya kita lahir dalam keadaan berhutang,
yang suatu ketika kelak, hutang itu akan ditagihNYA.
Kesaksian diri pribadi adalah berderajad dan bertingkat-tingkat. Kesaksian
selalu beserta 'ilmu', baik itu ilmu lahiriah maupun ilmu batiniah. segala
sesuatu yg kita saksikan dalam pandangan lahir maupun batin beserta ilmu,
inilah wujud dari kesaksian kita kepada Allah.
Diantara saksi itu ada yg mengenalNYA dlm keilmuan lahiriah, ada pula dalam
keilmuan batiniah, semakin lengkapnya persaksian seseorang maka akan
semakin sempurna kesaksiannya. Kesaksian tertinggi akan Ketuhanan adalah
penyaksian dgn mata batiniah yang paling jernih.
tentang berbuka, apa yang sebenarnya dibuka??.... Kita ketahui bahwa buka
itu artinya membuka apa yg tadinya tertutup, sudah bisa untuk memasukkan
makanan dsb sbg tanda selesainya puasa. Saat berbuka itulah kemudian nafsu
mulai masuk menyerbu, hawa mulai kembali bergejolak seiring asupan
makanan. Menjadi teranglah bahwa hawa nafsu memanglah berhubungan
sangat erat dengan makanan. berasal dari makanan itulah terolah menjadi
hawa nafsu. ini bisa diterangkan scr sdrhana, org2 yg hidup ditepi
pantai/pesisir memiliki kecendrungan tempramen yg lbh keras dari org yang
tinggal digunung, diantaranya krn faktor makanan dan suhu udara. Orang yang
banyak mengkonsumsi daging/makhluk hidup akan cendrung memiliki hawa
nafsu yang lebih tinggi ketimbang yang kurang. Faktor makanan adalah
trmasuk faktor utama keberhasilan perjalanan salik, sbb makanan akan
menjadi sel2 tubuh.
*Selamat berbuka..........
Bagi pejalan (salik) yang hendak berjalan. Ketahuilah, iblis itu adanya disebalik
akalmu sendiri, kerajaannya adalah angan2. semakin berangan, kerajaan iblis
semakin besar dlm dirimu. Meskipun seseorang bisa terbang ke alam tinggi, ia
tetap akan disertai iblis. Iblis itu tahu banyak rahasia langit, bahkan rahasia yg
tdk diketahui para malaikat, dia bisa tahu. Maka tidak ada cara lain untuk bisa
mengalahkannya, kecuali dengan kepasrahan totalitas dan mengosongkan
pikiran, sbb iblis tahu semua isi akal pikiranmu sejak kamu lahir. Dalam setiap
keadaan harus bisa kosong dan hampa, ora ono opo-opo. tinggalkanlah
rancang2 akalmu, mulailah berlatih hidup dlm spontanitas dan lebur dalam
refleks alami dan gerak dalam ruhani yg lembut. belajarlah untuk memahami
gerak dalam ini.
Tentang tahapan dzikir yang kami sampaikan, banyak yang bertanya tentang
MURSYID/GURU, bahwa itu harus digurukan dsb, maka akan saya jawab dan
terangkan, bahwasannya engkau haruslah yakin bahwa kita itu hidup dibawah
pengaturan langsung dari Qodrat dan Irodat Allah ta'ala, apa yang engkau
terima dariku adalah sebuah pintu masuk bagimu, menuju jalan yang lebih
baik. kelak saat waktunya tiba bagimu untuk menerima penambahan keilmuan
dari Allah Ta'ala, engkau dengan sendirinya akan dipertemukan dgn GURU
untukmu sampai sekian waktu tertentu. lalu akan dipertemukan dgn GURU2
lainnya, semuanya itu adalah proses alam yg akan terjadi dgn sendirinya. Tidak
perlu engkau rancang2 dengan akalmu sendiri untuk mencari guru kesana
kemari, cukup engkau yakin kepada Allah saja, maka proses bertemu guru
demi guru akan terjadi dgn sendirinya dalam hidupmu kelak
Allah... Dialah yang awal, Dialah yang akhir, Dialah yang Dzahir Dialah yang
batin. Awal-akhir, dzahir-batin adalah Allah tanpa terkecuali, semuanya adalah
ALLAH tanpa terkecuali, tiada hijab sama sekali. Sejatinya yang engkau
perlukan bukanlah "mencari" ALLAHMU, melainkan "menerima" ALLAHMU.
Engkau bisa melakukan semua itu bilamana engkau telah menyerahkan dirimu
secara totalitas kepadaNYA, bukan dengan merasa sebagai Allah. Bilamana
engkau mengawali perjalanan ini dengan merasa sbg Allah, engkau sedang
salah jalur, tetapi bilamana engkau mengawali perjalanan ini dengan
MENIADAKAN/MENGOSONGKAN dirimu, jalanmu benar. Perjalanan ini bisa
engkau lakukan dengan selalu melatih dirimu dalam zuhud dan kosong, hampa,
memandang dunia ini dengan hampa, ora ono opo-opo. melenyapkan merasa
ini itu, perasaan ini itu, ingin ini itu, pikiran ini itu. Untuk menuju pengosongan
diri itu adalah perkara yang super sulit, karenanya diperlukan metode dan
latihan2 khusus selalu tekun mengolah rasa mencapai manjinge roso ing Gusti
(hidupnya rasa Ketuhanan di dalam hati/hadirnya ALLAH didalam hati).
Lalu apakah yang akan engkau peroleh dari semua ini??.....
Puncak pencapaian adalah adanya KEBAHAGIAAN ABADI, yang tiada putus-
putusnya, baqa' billah, kekal didalam ALLAH. Kebahagiaan sejati yang tiada
dapat diukur-ukur, tiada dapat dikata-kata lagi. Adapun anak, istri, harta, dan
semua kesenangan dunia ini adalah kebahagiaan yg segera lenyap dan
terputus, dan menyisakan rasa sedih di dalam ruhanimu ketika engkau
meninggalkannya kelak.
29 May 2012 at 22:00 · Public
Bagi murid2 cinta yang hendak beranjak dewasa, pesan tambahan bagimu:
Bilamana dalam perjalanan ini yang engkau kejar adalah wujud rupa, maka
engkau akan senantiasa dalam keadaan tertipu. Bila pikirmu ALLAH adalah
seperti cahaya terang benderang yang luar biasa, maka DIApun akan
mawujudkan cahaya terang benderang. Adalah DIA sejatinya hanyalah
mengikuti prasangkamu saja tentangNYA. Oleh sebab itu engkau tetap saja
dalam keadaan tertipu. Cukup engkau duduk manis saja, dan kosongkan
dirimu, menikmati hari2mu dalam penjara tubuh ini. Bila engkau cukup setia,
maka hari demi hari, semuanya akan menjadi terang bagimu dan kebebasan
yang membahagiakan akan menghampirimu.
TENTANG SUWUNG/KOSONG
Ketiadaan mutlak itu sejatinya juga tiada, sederhananya begini, jikalau pada
diri ALLAH itu ada URIP(HIDUP) itu artinya sudah ADA, bukan lagi mutlak
TIADA. Lalu yang bagaimanakah tentang suwung/kosong itu??
Suwung itu bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis, kuibaratkan seperti
mengupas TENGAH, apakah tengah itu?... tengah adalah noktah (titik). ketika
engkau memperbesar titik, maka ditengah titik itu masih ada titik lagi, ketika
diperbesar lagi ditengahnya ada titik lagi, ketika diperbesar lagi ditengahnya
ada titik lagi, trus menerus seperti itu, sampai sebanyak-banyaknya lapisan
titik. Tiap kupasan dari titik itu, itulah yang tampil sebagai
suwung(kosong). Oleh sebab itu, suwung selalu bertingkat-tingkat, sampai tak
bisa lagi disimpulkan sebanyak apa lapisannya. Ibarat kata seperti pertanyaan
sederhana tentang angka, berapa angka terkecil? dgn mudah engkau
menjawab 0 (nol), tapi berapa angka terbesar, tidak ada yang pernah tahu.
Akal semesta/universal yang pertama kali diciptakan itu tidaklah bersifat statis
(segitu saja), melainkan bersifat dinamis, trus menerus memancar kesegala
arah, makin meluas dari waktu ke waktu, sampai tak terhingganya waktu.
Ruang dan waktu pun makin melebar terus menerus....
Dengan demikian ketiadaan mutlak, juga mutlak tidak ada. yang ada adalah
bergerak mendekati ketiadaan mutlak. Selalu ada rahasia dibalik rahasia.....
13 June 2012 at 17:50 · Public
.
Hawa nafsu itulah musuh abadi yang mesti mampu dikalahkan dengan latihan-
latihan. Diantaranya dengan memperbanyak PUASA dan tirakat. Puasa yang
dimaksud bukan sekedar menahan lapar dan syahwat, tetapi menahan semua
nafsu2 yang ada. Sebab puasa yang sesungguhnya adalah PUSATNYA
RASA. Ayo puasa tiap hari, kalau gak kuat buka aja tengah hari. Puasa buat
tambahan bagi metode dzikir yg telah ada. akan mempercepat perjalanan
BIAR PADA TIDAK BINGUNG TENTANG MATI DAN HIDUP, BAGI PARA SALIK,
INILAH URUT-URUTAN PROSES PERJALANANNYA:
1. Laa ya muutu wa laa yahya.... mati tidak hidup tidak.... hidup bernyawa
tetapi hatinya mati... (ini adalah sebelum proses perjalanan)
2. Mati didalam hidup (mematikan hawa nafsu, menutup howo songo, tetapi
masih berdasarkan dorongan kehendak diri pribadi)
3. Hidup di dalam mati (menghidupkan/membangkitkan kesadaran
batiniah/ruhaniah, mulai masuk kedunia realitas batiniah)
4. Mati di dalam mati (mati kedua, mematikan totalitas keakuan/dorongan
kehendak pribadi lebur dlm kehendak Allah)
5. Hidup didalam hidup (baqo' billah, fana ul fana, kekal didalam Allah).
Bagi para pejalan minimal sudah berjalan sampai tahapan nomor 2 sudah
Alhamdulillah.....
15 June 2012 at 14:47 · Public
Susah dan senang adalah dua orang penipu yang memalingkan perhatian dan
merusak citra dari bening.... Kejernihan itu ada dalam tanpa rasa, sejatine tan
ono roso
Diantara para pejalan (salik) banyak yg lebih tertarik kepada bab-bab kegaiban,
untuk mengetahui rahasia-rahasia alam gaib, ketimbang untuk belajar
menerima setiap keadaan dan kenyataan hidupnya, nrimo ing pandum.
Mereka akan terkecoh jebakan batman, memburu hantu gentayangan, tetapi
lengah dan tidak mengerti maksud dan tujuan adanya dirinya. Batinnya tak
mencapai pencerahan jiwa yang memadai, tetaplah diselimuti rasa tidak
tenang dan was-was, ingin lekas sampai tetapi malah tidak sampai-sampai.
Ketahuilah, pada akhirnya semua perjalanan itu akan tetap mentok, yaitu tetap
saja untuk mengikuti maunya Allah, menuruti kehendakNYA, baik kita suka
maupun tidak suka. Alangkah baiknya, jikalau engkau berkonsentrasi kepada
kenyataan hidup, dan melatih dirimu menerima setiap kenyataan yang ada,
dan bersyukur karenaNYA, untukNYA dan besertaNYA.
25 June 2012 at 00:30 · Public
Yang disebut ilmu bukanlah apa yang kukatakan padamu, tetapi apa yang
engkau lakukan dalam lelakumu. Walaupun engkau membaca hikam 1000x
sampai berbusa mulutmu, semuanya adalah sia-sia dan percuma saja tanpa
lelaku. Lelaku itulah ilmu yang sesungguhnya, karena "ngelmu iku kalakone
kanti laku" (ilmu adalah lelaku itu sendiri). Lelaku inti dalam ilmu Ketuhanan itu
adalah pengendalian hawa nafsu, untuk mampu mengalahkan dan
menundukkannya. Harus banyak-banyak tirakat, kuat lapar dan kuat melek
malam, wening dan dzikir sbg ibadah utama. Hampa, kosong, ora ono opo-
opo....... langsung terbang tinggi saja, embuh ora ngerti sampai mana......
jadilah penduduk langit, migrasi ke alam baka, alam kelanggengan..... *cling
Dlm kesufian engkau harus memperbanyak ibadah2 lahiriah dulu agar bs naik
sampai kealam malakut. baru melanjutkan kealam yg lbh tinggi. Salah satu cara
utk naik adlah lewat shalat yg byk,terutama shalat malam, dzikir dan puasa. Klo
engkau memulai perjalananmu hnya dgn skdr duduk diam, mengosongkan
pikiran, engkau tak kan sampai mana-mana, malah rentan kemasukan makhluk
halus.
saudara mesti menemukan iblismu sndiri dahulu, baru bs faham ttg angan-
angan, iblis itu nyata bukan cuman kiasan. mski tampak semulia apapun,
angan-angan itu adalah hanya hayalan belaka. meski engkau berangan-angan
kaya raya lalu uangmu utk memelihara 1000 anak yatim, sekalipun tampak baik
dimatamu, tetapi itu hanya angan-angan dan hayalan saja, bukan suatu
kenyataan. adalah jauh lebih mulia menyumbang 500 perak kekotak amal
daripada berangan2 spt itu.
Achmad Suchaimi
"Maha Suci Engkau,Ya Alloh, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana". (QS 2:32)
Senin, 22 Mei 2017
Naskah Suluk WUJIL dan Terjemahnya
Naskah SULUK WUJIL ini Disalin dari Buku “AJARAN RAHASIA SUNAN
BONANG, SULUK WUJIL” (SULUK WUJIL : DE geheime Leer van Bonang), Oleh
Poerbatjaraka, dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh R.
Suyadi Pratomo, terbitan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah, Jakarta 1985)
(1). Dyan warnanen sira ta pun Wujil // matur sira ing sang adinira // Ratu
Wahdat pangerane // sumungkem aneng lebu // telapakan Sang Maha Muni //
Sang adhekah ing Benang // mangke atur bendu // sawitnya nedha jinarwan //
sapratingkahing agama kang sinelir // teka ing rahsa purba.
Tersebutlah cerita seseorang bernama Wujil, tengah berdatang sembah
kepada gurunya yang bernama Ratu Wahdat; ia bersujud di tanah dekat kaki
sang guru yang bertempat tinggal di desa Benang. Sebelumnya ia mohon maaf
atas tindakannya mengharap ajaran Islam yang musykil, hingga sedalam-
dalamnya.
(2). Sadasa warsa sira pun Wujil // angastu pada sang adinira // tan antuk wara
ndikane // ri kawijilanipun // ira Wujil ing Maospait // ameng-amenganira //
nateng Majalangu // telas sandining aksara // pun Wujil matur maring Sang adi
Gusti // anuhun pangatpada.
Selama sepuluh tahun Wujil berguru, namun belum juga mendapat ajaran yang
diharapkan; dahulunya ia berasal dari Majapahit, bekerja sebagai “pelayan”
Raja. Ia menguasai tata bahasa dan mahir sastra Jawa Kuno; maka
menyembahlah Wujil seraya berkata dengan hormat.
(3). Pun Wujil byakteng kang anuhun sih // ing talapakan Sang Jati Wenang //
pejah gesang katur mangke // sampun manuh pamuruk // sastra Arab paduka
warti // wekasane angladrang // anggeng among kayun // sabran dina
raraketan // malah bosen kawula kang angludrugi // ginawe alan-alan.
Hamba Wujil mohon dengan tulus di hadapan guru, memohon diberikan
ajaran, hamba serahkan mati dan hidup hamba. Telah tamat ajaran Guru
dalam bahasa arab; masih juga kami mencari-cari, mengembara mengikuti
kehendak hati; tiap hari kita bergaul bermain bersama, rasanya seperti bosan
saya melawak, menjadi tumpuan olok-olok.
(6). Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi // hih ra Wujil kapo kamakara // tan
samanya mangucape // lewih anuhun bendu // atinira taha nanagih // dening
genging swakarya // kang sampun kalebu // tan pandhitane wong dunya //
yen adol warta tuku wartaning tulis // angur aja wahdata.
Sunan Wahdat tersenyum simpul, “Ah Wujil, betapa nakal kamu ini. Kau
katakan hal-hal yang tidak lumrah. Kamu terlalu berani, sehingga ingin
memperoleh imbalan untuk hal yang telah banyak kau lakukan untukku. Aku
tidak layak disebut Maha Yogi , orang suci, di dunia ini, apabila aku
mengharapkan imbalan bagi tulisan yang telah kuajarkan. Kiranya lebih layak
jika aku tidak melakukan wahdat”.
(7). Kang adol warta atuku warti // kumisun kaya-kaya weruha // mangke ki
andhe-andhene // awarna kadi kuntul // ana tapa sajroning warih // meneng
tan kena obah // tingalipun terus // ambek sadu anon mangsa // lir antelu
putihe putih ing jawi // ing jro kaworan rakta.
“Barangsiapa yang mengharapkan imbalan dalam mengajarkan tulisan-tulisan,
ia hanya memuaskan dirinya sendiri. Seolah-olah ia tahu tentang segalanya
dengan tepat. Orang macam itu dapat diibaratkan seperti seekor burung
bangau yang bermenung di tepi danau. Si burung berdiam diri tidak bergerak,
pandangannya angker. Ia sama dengan sebutir telur yang tampak putih (suci)
di luar, tetapi didalamnya bercampur kuning”.
(8). Suruping arka aganti wengi // pun Wujil anuntumaken wreksa // badhiyang
aneng dagane // patapane Sang Wiku // ujung tepining wahudadi // aran
dhekah ing Benang // saha sunya samun // anggayang tan ana pala // boga
anging jraking sagara nempuhi // parang rong asiluman.
Setelah matahari terbenam, hari menjadi malam, Wujil menyusun beberapa
potong kayu dan membakarnya guna memanaskan tempat pemujaan Sang
Pertapa, di tepi pantai yang disebut Benang yang sunyi sekali. Tempat itu
gersang, tidak ada buah-buahan makanan apapun, hanya gelombang-
gelombang laut yang memukul batu-batu karang, sangat menakutkan.
(9). Sang Ratu Wahdat lingira aris // Hih ra Wujil marengke den enggal // trus
den cekel kekucire // sarwi den elus-elus // tiniban sih ing sabda wadi // ra
Wujil rungokena // sasmita kateng sun // lamun sira kalebua // ing naraka
ingsun dhewek angleboni // aja kang kaya sira.
Sunan Wahdat berkata dengan ramah, “Hai Wujil, kemarilah”. Maka Wujil pun
dipegang kuncungnya; sebagai tanda kasih sayang, dibelainya kuncung Wujil.
Kemudian Kanjeng Sunan mengucapkan kata-kata rahasia, “Wujil,
dengarkanlah petunjukku. Jika karena kata-kataku kamu harus masuk neraka,
maka akulah yang akan menggantikanmu masuk neraka, bukan kamu”.
(10). Sigra pun Wujil atur subakti // matur sira ing guru adimulya //
sakalangkung panuwune // sampun rekeh pukulun // leheng dasih rekeh pun
Wujil // manjinga ing naraka // pun Wujil sawegung // pan sami wruh ing
kalinga // guru lan siswa tan asalayah kapti // kapti saekapraya.
Dengan sangat hormat Wujil menyembah seraya mengatakan terima kasihnya
kepada Sang Mahayogi. “Bukan Paduka yang masuk neraka, biarlah hamba
yang masuk”. Mengingat bahwa Wujil selalu tahu diri, maka Sang Mahayogi
dengan siswanya itu tidak pernah berselisih faham, keduanya selalu seia dan
sekata.
(11). Pengetisun ing sira ra Wujil // den yatna uripira neng dunya // ywa
sumabaraneng gawe // kawruhana den estu // sariranta pan dudu jati // kang
jati dudu sira // sing sapa puniku // weruh rekeh ing sarira // mangka sasat
wruh sira maring Hyang Widi // iku marga utama.
“Ingat-ingatlah, Wujil, berhati-hatilah dalam hidup di dunia ini. Jangan masa
bodoh terhadap setiap tindakan. Dan sadarlah serta yakin, bahwa kau
bukanlah Hyang Jati Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Hyang Jati Tunggal
bukanlah engkau. Barangsiapa yang mengenal diri sendiri sekarang, seakan-
akan ia mengenal Tuhan. Itulah jalan yang sebaik-baiknya”.
(12). Utamane sarira puniki // angawruhana jatining salat // sembah lawan
pamujine // jatining salat iku // dudu ngisa tuwin magrib // sembayang
aranika // wenange puniku // lamun ora nana salat // pan minangka
kekembanging salat da’im // ingaran tatakrama.
“Jalan yang sebaik-baiknya bagi manusia adalah mengetahui hakekat shalat,
menyembah dan memuji (berdzikir). Shalat yang sebenarnya bukanlah seperti
shalat isyak atau maghrib. Shalat seperti itu disebut sembahyang, yang
dilakukan seolah-olah, shalat yang sebenarnya tidak ada dan sekedar
kembangnya shalat daim, yang dinamakan tatakrama”.
(13). Endi ingaran sembah sejati // aja nembah yen tan katingalan // temahe
kasor kulane // yen sira nora weruh // kang sinembah ing dunya iki // kadi
anulup kaga // punglune den sawur // manuke mangsa kena’a // awekasan
amangeran adam-sarpin // sembahe siya-siya.
“Manakah yang disebut sembahyang sebenarnya? Begini, kau tidak
menyembah-memuja, jika kau tidak tahu kepada siapa; hal itu berakibat kau
akan merendahkan dirimu sendiri. Jika kau tidak tahu kepada siapa kau
menyembah di dunia ini, ibaratnya seperti kau menembak burung tanpa
dengan bidikan, toh tidak mengenai burungnya; jadi pada hakekatnya kau
menyembah kepada adam sarpin, sembahmu tiada memberi faidah”.
(14). Lan endi kang ingaranan puji // samya amuji dalu lan siyang // yen ora
sarta wisike // tan sampurna kang laku // yen sirarsa weruh ing puji // den
nyata ing sarira // panjing wetunipun // kang atuduh ananing Hyang // panjing
wetuning napas yogya kawruhi // suksma catur prakara.
“Dan manakah yang disebut puji (dzikir). Meskipun orang memuji (berdzikir)
siang-malam, jika ia tidak pernah memperoleh petunjuk dari pemujaannya itu,
tindakannya tidak akan sempurna. Jika kau kehendaki dzikir yang
sesungguhnya, keluar-masuknya pada dasarnya ada pada diri kamu, yang
menunjukkan adanya Tuhan, maka harus kau ketahui keluar-masuknya hayat,
ada yang lewat pernafasan, yakni terjadi dari empat hal yang baik”.
(15). Catur prakara anasirneki // bumi geni angin iku toya // samana duk
panapele // sipate iku catur // kahar jalal jamal lan kamil // katrapan sipating
Hyang // wowolu kehipun // lampahe punang sarira // manjing metu yen
metu ndi paraneki // yen manjing ndi pernahnya.
“Empat macam anasir itu adalah : tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan
menciptakan Adam, maka digunakanlah empat macam anasir tersebut : kahar,
jalal, jamal dan kamal yang menmgandung sifat-sifat Tuhan delapan macam.
Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa sifat-sifat itu masuk dan keluar.
Jikalau keluar, ke mana perginya, dan jika masuk, di mana tempatnya?”
(16). Tuwa anom kang anasir bumi // lakune puniku kawruhana // yen atuwa
ndi enome // lamun anom puniku // pundi rekeh tuwanireki // anasir geni
ika // apes kuwatipun // yen kuwat endi apesnya // lamun apes pundi nggene
kuwatneki // tan sampun kasapeksa.
“Anasir tanah menimbulkan adanya kedewasaan dan keremajaan. Sifat-
sifatnya harus kau ketahui. Di manakah adanya keremajaan dalam
kedewasaan, dan di manakah kedewasaan dalam keremajaan. Anasir api
menimbulkan kelemahan dan kekuatan; di manakah adanya kekuatan dalam
kelemahan? Itu harus kau ketahui”.
(17). Miwah ta rekeh anasir angin // lakune iku ana lan ora // yen ora pundi
anane // lamun ana puniku // aneng endi oranineki // ingkang anasir toya //
pejah gesangipun // yen urip pundi patinya // lamun mati ndi parane
uripneki // sasar yen ora wruha.
“Sifat-sifat anasir angin mencakup ada dan tiada. Didalam tiada, dimanakah
letaknya ada ? Didalam ada, dimanakah letaknya tiada ? Anasir air memiliki
sifat mati dan hidup. Dimanakah adanya mati dalam hidup, dan kemanakah
perginya hidup pada waktu mati? Kaum akan tersesat jika kamu tidak
mengetahuinya”.
(18). Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat
pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta
kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing
uripira sejati // uripira neng dunya.
“Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil
tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga,
dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka
orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui
dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini”.
(19). Dipun weruh ing urip sejati // lir kurungan raraga sadaya // becik den
wruhi manuke // rusak yen sira tan wruh // Hih ra Wujil salakuneki // iku
mangsa dadiya // yen sira yun weruh // becikana kang sarira // awismaa ing
enggon punang asepi // sampun kacakrabawa.
“Kau harus mengetahui hidup yang sebenarnya. Tubuh ini seluruhnya bagaikan
sangkar. Akan lebih baik jika kau mengenal burungnya. Oh, Wujil, dengan
tindakan-tindakn-Nya, kau akan jatuh sengsara tanpa hasil jika tak kau ketahui.
Dan jika kau ingin mengenal-Nya, kau harus membersihkan dirimu. Tinggallah
di suatu tempat sunyi, sepi dan jangan menghiraukan keramaian dunia ini”
(20). Aja doh dera ngulati kawi // kawi iku nyata ing sarira // punang rat wus
aneng kene // kang minangka pandulu // tresna jati sariraneki // siyang dalu
den awas // pandulunireku // punapa rekeh pracihna // kang nyateng sarira
sakabehe iki // saking sipat pakarya.
“Jangan jauh-jauh kau mencari ajaran. Karena ajaran itu telah berada didalam
dirimu sendiri. Bahkan seluruh dunia ini berada didalam dirimu sendiri. Maka
jadikanlah dirimu cinta sejati, untuk dapat melihat dunia. Arahkanlah dengan
tajam dan hening wajahmu kepadanya, baik siang maupun malam, karena
apakah kenyataannya. Segala sesuatu yang tampak di sekeliling kita adalah
akibat perbuatan”.
(21). Mapan rusak kajatinireki // dadine lawan kaarsanira // kang tan rusak den
wruh mangke // sampurnaning pandulu // kang tan rusak anane iki //
minangka tuduhing Hyang // sing wruh ing Hyang iku // mangka sembah
pujinira // mapan awis kang wruha ujar puniki // dahat sipi nugraha.
“Akibat dari perbuatan ini, timbul kehancuran yang terjadi karena
kehendakmu. Apa yang tidak mengalami kehancuran, harus kau ketahui, yakni
pengetahuan yang sempurna, yang keadaannya tidak mengalami kehancuran.
Pengetahuan itu meluas sampai kepada mengenal adanya Tuhan (Ma’rifat).
Dengan mengenal Tuhan, maka akan menjadi bekal bagi seseorang untuk
menyembah dan memuji-Nya. Namun tidak banyak orang yang mengenal kata
itu. Siapa yang mampu mengenal-Nya, ia akan mendapat nugraha yang besar”.
(23). Wujil kawruh ing sariraneki // iya iku nyataning pangeran // tan angling
yen tan ana wadine // dene wasitanipun // ana malih kang angyakteni //
samya luruh sarira // sabdane tanpa sung // amojok saking susanta // tanpa
sung kaliru saking pernah neki // iku kang aran lampah.
“Oh, Wujil! Mengenal diri sendiri berarti mengenal Tuhan. Dan orang yang
mengenal Tuhan, ia tidak sembarang bicara, kecuali jika kata-katanya
mempunyai maksud penting. Ada pula orang lain yang mengenal-Nya, mereka
telah mencari dan menemukan dirinya. Mereka tahu, bahwa seseorang tidak
boleh terpelanting diluar kehalusan, dan bahwa tidak boleh memilih tempat
yang keliru. Demikianlah laku yang benar”.
(24). Pan nyata ananing Hyang aneng sih // ening kasucianing pangeran // ana
ngaku kang wruh mangke // laksanane tan anut // raga sastra tan den
gugoni // anglalisi subrata // kang sampun yekti wruh // anangkreti punang
raga // paningale den wong-wong rahina wengi // tanpa sung agulinga.
“Oleh karena itu jelaslah, bahwa Tuhan beserta kesucian yang murni berada
didalam kecintaan. Ada pula orang yang merasa mengenal Dia. Perilaku orang
itu tidak sesuai dengan kaidah. Ia tidak patuh terhadap ajaran tentang
(pengendalian) hawa nafsu, menyampingkan kehidupan yang saleh.
Sesungguhnya orang yang mengenal Dia, ia akan mampu mengekang hawa
nafsunya. Siang malam ia mengatur indera penglihatannya, dan dicegahnya
untuk tidur”.
(25). Iku tapakane hi ra Wujil // tan bisa sira mateni raga // aja mung angrungu
bae // den sayekti ing laku // ayun sarta lawan pandeling // yen karone wus
nyata // panjing wetunipun // tan ana pakewuhira // tikeling pikulan saros
samineki // beneh kang durung wikan.
“Kini, inilah dasarnya. Oh, Wujil. Kau harus mampu memampatkan
(mengerem) hawa nafsumu, dan jangan hanya dibatasi pada indra
pendengaran saja. Bersungguh-sungguhlah dalam tindakan, sesuaikan segala
kemauan dan keyakinanmu. Kamu tidak akan menemukan kesulitan lagi.
Apabila masuk dan keluar, keduanya telah jelas bagimu, usaha mematikan
hawa nafsu seperti halnya kau potong seruas panjang bambu pikulan. Lain
halnya dengan orang yang belum mengenal-Nya.”
(26). Kasompokan denira ningali // karane tan katon pan kaliwat // tanpa rah-
arah rupane // tuwin si ananipun // mapan wartaning kang utami // yen ta ora
enggona // pegat tingalipun // tingal jati kang sampurna // aningali nakirah
yakti dumeling // kang sajatining rupa.
“Pengertian tentang hal ini sangat terbatas. Dia sama sekali tidak berbentuk,
oleh karena Dia tidak tampak oleh orang biasa, tetapi Dia Ada. Sesungguhnya
menurut orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi
orang yang berakhir penglihatannya, tampak sesuatu yang benar dan agung.
Dan ketika dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak membayang Wujud yang
sebenarnya”.
(27). Mapan tan ana bedane Wujil // dening kalindhih solahe ika // bedane tan
seng purbane // Wujil sampun tan emut // lamun anggung tinutur Wujil //
nora na kawusannya // siyang lawan dalu // den rasani wong akathah //
kitabipun upama perkutut adi // asring den karya pikat.
“Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. Hanya Dia
tidak tampak oleh karena terdesak oleh gerakan-gerakan (dari alam semesta).
Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada sumbernya. Jangan kau lupakan
selama-lamanya Wujil. Jika kita bicarakan tentang hal itu, tidak akan habis.
Siang dan malam orang berbicara mengenai Dia. Kitab-kitab-Nya yang Suci
seolah-olah merupakan burung perkutut yang bersuara merdu, yang kerap kali
memikat orang lain kepada-Nya.”
(28). Raosana ing rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na
gawene // lewih wong meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun
punapa // pan saosikipun // ing kalbu nyateng aksinya // wedharing netra sara’
widya nampani // meneng muni den wikan.
“Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya, tetapi jika ia belum
pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada
faedahnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia. Betapapun orang
membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan tentang Dia? Karena
sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya tercermin jelas dalam
matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti
pengetahuan. Maka pahamilah arti diam dan bicara.”
(29). Den wruh suruping meneng lan muni // yen tan wruha iku tanpa pala //
sampun tan mesi enenge // yen muni away umung // kokila neng kanigara njrit
// puniku saminira // nora tegesipun // yen ujar kang ginedhongan // sira Wujil
aja kaya bisa angling // lingira kang sampurnan.
“Kamu harus tahu tentang hakekat diam dan bicara. Jika kau tidak mampu,
semuanya tidak ada gunanya. Diam tidak boleh kosong dan bicara tidak boleh
dengan suara hampa. Jika tidak demikian, orang berbuat seperti burung Beo, ia
berteriak-teriak tanpa maksud di atas pohon kanigara. Jadi menurut
perumpamaan rahasia, berbuatlah seperti kau bisu. Begitulah dikatakan oleh
orang-orang yang telah sempurna”
(30).nDi rupane wong melek ing wengi // sampun kadi andha
tingalira // karoneku tanpa gawe // yen ora lan tinuntun // ing paningal ing
hakul yakin // paran margane wruha // ing sariranipun // pangrungunisun
saking a- // sale sampurna iku kalawan muni // tanpa sung yen menenga.
“Apakah faeahnya berjaga malam hari? Sebaliknya kau tidak boleh menutup
mata seperti orang yang buta. Kedua-duanya tiada manfaatnya. Apabila
seseorang tidak diberi petunjuk untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya,
bagaimana mungkin bisa mengenal diri sendiri? Aku pernah mendengar bahwa
kesempurnaan itu timbul karena berbicara. Oleh karena itu, orang tidak boleh
diam”.
(31).Ora meneng ora muni Wujil // Hih ra Wujil atakona sira // kang ateki-teki
kabeh // sembah puji den weruh // sembah akeh warnane malih // lingira sang
utama // wong amuji iku // sanalika keh sawabnya // padha lan wong
asembayang satus riris // yen weruh parantinya.
“Tetapi Wujil, begitu percaya, baik karena diam ataupun karena berbicara,
kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Sebaliknya mengenai hal itu,
bertanyalah kepada orang-orang yang shalih, Wujil. Harus kau ketahui juga,
apakah memuji itu dan apakah shalat itu? Sebab banyak orang yang memuja.
Seorang terkemuka mengatakan bahwa shalat satu rekaat banyak
pengaruhnya. Shalat itu pada lahirnya sama dengan sembahyang seratus
tahun, asal saja dapat memberikan arah tujuan yang tepat”.
(32). Kang sampun weruh parantineki // pujinipun iku nora pegat // nora
kalawan wektune // wong agung lyan amuwus // padha lawan sawidak warsi //
pan sampun amardika // purna raganipun // ing wektu tan kabandana //
kapradana solahe aneng jro masjid // apindhah manuk baka.
“Barangsiapa yang mampu mengarahkan sembahyangnya dengan tepat, ia
akan sembahyang secara terus menerus, bahkan pada waktu yang tidak
ditentukan. Orang shaleh yang lain mengatakan, bahwa shalat seperti itu sama
dengan shalat selama enam puluh tahun. Orang yang bersembahyang dengan
cara yang tepat, ia telah bebas, tubuhnya sempurna dan tidak terikat oleh
waktu-waktu yang telah ditentukan. Perilakunya didalam masjid merupakan
contoh. Jadi sangat berbeda dengan sembahyangnya Burung bangau.”
(33). Tan kena pinaido ra Wujil // wuwusing nayaka dipaning rat // Wujil
atakena mangke // ana muji ing dalu // ing rahina gung sawabneki // kalamun
kena tata // ing sasaminipun // padha lan rowelas warsa // yogya wenang ra
Wujil ataki-taki // sampun tan kapanggiha.
“Tidaklah mungkin, hai Wujil, untuk menghindari sabda dari Pemimpin Cahaya
Dunia ini (yakni Nabi Muhammad saw). Kau bertanyalah tentang hal itu. Ada
orang yang bersembahyang pada malam hari dan siang hari, sangat besar
pengaruhnya dari sembahyang itu, asal saja dilakukan menurut kaidah. Shalat
seperti itu adalah sama dengan shalat zhahir selama 12 (duabelas) tahun.
Sangat diharapkan dan kau mampu melaksanakannya, Hai Wujil, dan bahwa
kau akan berusaha hingga menemukannya”.
(34). Ana malih kang wong angabekti // sanalika gung sawabe ika // yen wikana
ing tuduhe // padha rowelas tangsu // ingaranan tafakkur iki // yen meneng
ndi parannya // takokena iku // sapa kang atuduh ika // unggah turuning
meneng kalawan muni // iku dipun waspada.
“Ada beberapa orang yang hanya sebentar saja melakukan shalat, namun
pengaruhnya(pahalanya) besar, asalkan diarahkan dengan sebaik-baiknya.
Shalat ini, yang disebut tafakur (batin), adalah sama dengan shalat zhahir 12
(duabelas) tahun. Dan selanjutnya kau harus bertanya, kemanakah orang harus
mengarahkan batinnya didalam berdiam diri? Siapa yang akan menerangkan
kepada kita antara diam dan bicara? Itu harus kau ketahui”.
(35). Hih ra Wujil ing wong meneng lewih // iku sembayang tanpa pegatan //
iku nora na wektune // sampurna ta wong iku // raragane nora na kari //
tekeng purisa turas // satuhuning laku // pagurokena den nyata // ing sira sang
kawi-man sampurneng jati // wekasing duta tama.
“Bagi manusia, hai Wujil, diam adalah yang baik. Ialah shalat tanpa perantara,
tanpa waktu. Orang seperti itu adalah orang yang sempurna. Dari tubuhnya,
termasuk kotoran dan air kencing, tidak tersisa apa-apa lagi. Inilah perilaku
yang utama. Maka berusahalah mendapatkan ajaran yang jelas pada seorang
sastrawan Kawi, yang mengetahui benar-benar tentang Kebenaran yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad saw”.
(36). Aja nyembah hih sira Wujil // yen iku nora katon sawahnya // sembah puji
tanpa gawe // pan kang Sinembah iku // aneng ngarsa wahya dumeling //
ananta minangka a-// nanira kang agung // ananing dhawak pan sunya // iya
iku enenge ing wong amuji // nyata kang sadya purba.
“Dan janganlah kau memuja, Wujil, jika tidak tahu kepada siapa. Karena
pemujaanmu dan shalatmu tidak berfaedah. Lain halnya jika yang kau sembah
ada di hadapanmu. Tetapi, karena Dia tidak pernah hadir di hadapan siapa pun
juga, maka anggaplah kehadiranmu juga kehadiran Yang Maha Agung. Bahkan
keadaanmu harus kau anggap tidak ada (Fana’). Itulah yang
dinamakan Diam dari orang-orang yang tengah shalat, yang terbuka sumber
kehendaknya dan sumber kekuatannya”.
(37). Lawan atakona sura malih // mapan awis kang sayaktanira // sakwehning
punang punggawe // yen tan ingulah iku // pundi rekeh nggene kepanggih //
kang aulah tan lepyan // iku wus atuduh // nugrahaning Jati-Wenang // kang
tan molah atuduh dosanireki // keneng papa cetraka.
“Dan selanjutnya, tanyalah mengenai hal berikut, mengingat tidak setiap orang
mengerti keadaan yang sebenarnya. Yaitu bagaimana semua tindakan bisa
diselesaikan apabila tindakan itu tidak dikerjakan? Barangsiapa melakukan
sesuatu, juga tanpa diselesaikan, sedangkan ia tidak melupakan Tuhan,
tindakannya itu telah merupakan tanda, bahwa ia mendapat ampunan dari
Yang Maha Kuasa. Siapa yang tidak bertindak untuk menyatakan dosanya, akan
ditimpa oleh kemalangan dan kesengsaraan”.
(38). Lawan malih sira ta ra Wujil // atakona sajanining niyat // aja mungaken
ciptane // kang anyipta anebut // dudu iku niyat sejati // ewuh kang aran
niyat // sembah puji iku // tan wrung punan pangurakan // kang atampa
dhendha kisas lawan jilid // ramya padu giliran.
“Selanjutnya, Wujil, kau harus bertanya tentang hakekat yang murni
dari kemauan (niat). Orang tidak boleh membatasi kemauan (niat) sampai
memikirkan sesuatu, baik memikirkan maupun menyebut sesuatu, adalah
kemauan yang murni (Niat yang ikhlas). Tidak mudah untuk mengetahui apa
yang disebut Kemauan (niat). Pemujaan dan shalat tidak mengenal hal-hal
yang kasar, demikian juga tidak benci kepada orang-orang yang didenda, di-
qishash dan dihukum jilid (hukuman karena perzinahan), juga kepada orang-
orang yang selalu bertengkar”.
(39). Pangabaktine ikang utami // nora lan waktu sasolahira // punika mangka
sembahe // meneng muni punika // sasolahe raganireki // tan simpang dadi
sembah // tekeng wulunipun // tinja turas dadi sembah // iku ingaranan niyat
kang sejati // puji tanpa pegatan.
Persembahan bagi orang yang utama (sufi, ulama, kaum shalihin) tidak
mengenal waktu. Semua gerak lakunya digunakan untuk sembahyang (ibadah).
Sikap membisu, berbicara dan ulah gerak tubuhnya, bahkan bulu romanya,
kotoran dan air kencingnya diperuntukkan sembahyangnya. Itulah yang
dinamakan “niat” yang sejati..
(40). Hih ra Wujil niyat iku luwih // saking amale punang akathah // nora basa
swara reke // niyating pingil iku // kang gumelar nyananireki // sajatine kang
niyat // nora niyatipun // nyataning pingil gumelar // niyating sembahyang
nora bedaneki // lan niyat ambebegal.
“Niat (kemauan), hai Wujil, adalah lebih penting daripada perbuatan
umumnya. Sebab kemauan (niat) itu tidak dapat dinyatakan dengan kata
maupun suara. Kemauan (niat) untuk berbuat sesuatu merupakan ungkapan
suatu pikiran. Kemauan (niat) untuk melakukan perbuatan ialah ungkapan
perbuatan itu sendiri. Jadi, kemauan (niat) untuk shalat sama nilainya dengan
kemauan (niat) untuk merampok”.
(41). Hih ra Wujil marmane wong sirik // kufur kinufuraken ing lafal //
agunggungan sa-elmune // pijet-pinijet iku // aksarane asru den pidi //
sawusing asembayang // magerib punika // rame samya kabarangan //
awekasan malik kebyok lan kulambi // dhastar akuleweran.
“Oleh karena itu, hai Wujil, bagi manusia adalah sesuatu perbuatan syirik
(kesesatan), yaitu saling kafir mengkafirkan sesama, punya anggapan bahwa
kepandaiannya itu yang terpenting, – kepandaian – yang oleh orang-orang
untuk saling meyakinkan (bahwa dirinya yang paling benar). Ia selalu
berpegang teguh pada bunyi kata-kata (huruf)-nya. Dan sehabis shalat maghrib
orang-orang biasa bertengkar mulut. Akhirnya saling pukul dengan baju dan
ikat kepalanya (sorban) dilepas”
(44). Meh rahina Hyang aruna mijil // tatas wetan ndan Sang Ratu Wahdat //
angling pun Wujil kinengken // Haih ra Wujil sun utus // mara sira ta den
agelis // mara eng pawadonan // si Satpada iku // aglis kenen marengkeya //
pun Wujil mangkat lampahira agelis // prapta mring pawadonan.
Saat itu siang hampir tiba, matahari yang terbit dari ufuk timur menjadi terang.
Sunan Wahdat memerintahkan Wujil, “Hai Wujil, pergilan ke asrama
(pondokan) putri dan panggillah Satpada”. Wujil cepat-cepat berlalu dan
sampailah di asrama pondokan putri.
(45). Ling pun Wujil hih manira nini // ingutus angundang mareng tuwan //
dening sang adi kang aken // ken Satpada amuwus // Hih ra Wujil punapa
wadi // dening enjing ngandikan // maras atiningsun // tan wikan wadining
lampah // lah mangkata Satpada dipun agelis // hyun-hyunen kang sinembah.
Berkatalah Wujil kepada Satpada, “Nona. Kanjeng Sunan menyuruh aku untuk
memanggil kamu”. “Apa maksudnya, pagi-pagi begini memanggil aku? Aku jadi
gemetar”, kata Satpada. Wujil : “Aku tidak tahu maksudnya. Pergilah
segera Satpada, Kanjeng Sunan menunggu kamu”.
(46). Mangkat Sartpada den tatakoni // Hih ra Wujil aja salah tampa // Ki Wujil
sun atataken // punapa marganipun // oleh aran para Ki Wujil // pun Wujil
angling ing tyas // iki wong asemu // patakonipun basaja // wadining basaja
anopak ing wuri // liyen sun yen wruhi.
Satpada berangkat sambil bertanya kepada Wujil, “Maafkan aku wujil,
mengapa kau bernama Wujil?”. Wujil berfikir didalam hati, bahwa wanita ini
cerdik. Pertanyaannya lugu sederhana, tetapi di balik keluguan itu agaknya ada
sesuatu yang terpendam. Ia menjawab, “Akan kukatakan mengapa, jika Anda
tidak tahu”.
(47). Karane isun arane Wujil // nenggih kang aran kalawan rupa // datan ana
prabedane // tan amindhoni laku // nem prakara rasaning jati // pan wus
kajalajahan // dening sun pukulun // pun Satpada ‘smu kemengan // Hih ra
Wujil dudu wijile wong mangkin // wijil ing Wilatikta.
“Mengapa aku bernama Wujil, begini : bahwa antara nama dan bentuk tidak
ada bedanya. Aku tidak berhenti di tengah jalan karena telah kualami enam
macam kebenaran, Nona”. Wajah Satpada menjadi kemerah-merahan, lalu
berkata: “Wujil, Anda bukan orang pertama yang tiba ke sini, tetapi Anda
berasal dari Majapahit”.
(48). Sigra pun Wujil Satpada prapti // alunguh ing ngarsa angabiwada //
ingkang sudibya ataken // paran wartanireku // he Satpada duk prapta wingi //
sira saking Jawana // pun Satpada matur // Dening rayi pakanira // Seh Malaya
angraket wonten ing Pati // lamine sapta dina.
Wujil dan Satpada tiba di hadapan Sang Pertapa. Mereka duduk di hadapan
Sang Pertapa setelah menyembah memberi hormat. Bertanya Sang Pertapa,
“Apakah kabar yang kaubawa Satpada, sekembalimu dari Juwana”. Satpada
jawab, “Ya Paduka, adik Paduka, Seh Malaya (Sunan Kalijaga), bermain topeng
di kota Pati tujuh hari lamanya”.
(49). Sang Ratu Wahdat angandikani // Hih ra Wujil sira ‘glis ameta // satapatra
dipen age // tan kawarna ‘glis rawuh // satapatra mangke tinulis // lawenipun
sadaya // ingisen jronipun // rambuyut sinereng laya // aturena satapatra iku
Wujil // ing yayi Seh Malaya.
Berkata Sang Ratu Wahdat kepada Wujil, “Wujil, kau ambil segera bunga
teratai”. Wujil pun segera pergi. Tidak lama kemudian ia kembali membawa
bunga; di atas kelopaknya ditulis surat. Dalam bunga itu, Sang Pertapa
menyelipkan anting-anting berhias dengan Surengpati keramat. “Berikan
bunga ini kepada adikku, Seh Malaya, Wujil”.
(52). Satapatra tinampan tumuli // winedhar ing jro mesi kusuma // surengpati
panggalange // Seh Malaya amuwus // mara sira ing punang Wujil // dahat
dennya murwendah // kang sekar ambuyut // sinurengpati winingan // wohing
saga rinawid lawan malathi // langkung sih sang sinembah.
Bunga teratai itu diterima oleh Seh Malaya. Segera dibukanya, dan didapatinya
didalam bunga itu hiasan Surengpati . “Alangkah cantiknya bunga dengan
hiasan Surengpati yang keramat ini. Sekuntum melati diselingi dengan biji saga.
Sunan Bonang benar-benar sayang kepadaku”.
(55). Irika Acwalalita ta sang sumitra ri sedeng // mahas tekap ikang suwesma
siwaya // taki-taki teng tutur-kwa huningan // ku masku rari yan kaka
katawengan // pilih alupa ing sepet rari baliknya // harja katuturnya sewaka
tular // trena lata rupa jar kwari sedheng // katiga wara dibya nungsung (ing)
udan.
Penutup surat itu berbunyi sebagai berikut : “Selama adinda pergi
meninggalkan rumah dan keluarga, aku harapkan agar adinda ingat kepada
kata-kataku. Selanjutnya aku beritahukan kepada adinda, bahwa aku ingin
sekali dapat bertemu dengan adinda, seperti tumbuh-tumbuhan
mengharapkan hujan di musim kering”
(58) Pun Wujil sigra binakta mulih //mantuk sireng dhekeh Pagambiran //
punang randha tumut kabeh // pun Wujil tan seng pungkur // tan kawarneng
sopana prapti // wus adan kukurenan // pun Wujil ingutus // ananjak pareng
akathah // wusing ananjak linorod maring puri // sampun sami anginang.
Selanjutnya Seh Malaya mengajak Wujil ke pondoknya di kampung
Pegambiran. Banyak orang yang telah bercerai, janda, mengikutinya. Wujil
berjalan paling belakang. Mereka tiba di pondok, dan mereka makan siang.
Wujil diminta makan bersama-sama dengan orang banyak. Selesai makan,
piring-piring diundurkan dan mereka mengunyah sirih.
(59). Suruping arka Seh Malaya ‘ngling // ra Wujil mbenjang yen sira pulang //
matura salingku mangke // sampun rekeh kadulu // dhapur sabda tuturireki //
satutur-tuturingwang // den katur punika // dipun katon saking sira // aja
katon sabda saking isun Wujil // sa-kabisa-anira.
Setelah matahari terbenam, Seh Malaya berkata kepada Wujil, “Jika kau
pulang besok, harus kau sampaikan kepada Gustimu, segala yang (akan)
kukatakan. Tetapi utarakan dengan kata-katamu sendiri. Kau pasti bisa
mengatakan seperti hal itu dengan kata-katamu sendiri. Jangan ketahuan
bahwa itu kata-kataku, Wujil”.
(60). Karaningsun ra Wujil awali // maring Mekah wangsul ing Malaka // guru
awangsul ing Pase // marmane kang sinuhun // wangsulira kinen abali // mara
ing Nusa Jawa // kang akon awangsul // nenggih pawong-sanakira // pangeran
Molana iku Maghribi // kang akon awangsula.
“Sebabnya, setelah aku pergi ke Mekah dan kembali ke Malaka lagi, sedang
Guru besarku kembali ke Pasai. Seorang teman guruku menyarankan agar
beliau kembali ke Jawa. Teman guruku itu bernama Maulana Maghribi.”
(62). Nora’na weruh ing Mekah iki // alit mila teka ing awayah // mangsa
tekaeng parane // yen ana sangunipun // tekeng Mekah tur dadi Wali //
sangunipun alarang // dahat dening ewuh // dudu srepi dudu dinar //
sangunipun kang sura legaweng pati // sabar lila ing dunya.
“Tidak ada orang yang tahu, di mana Mekah yang sebenarnya, meskipun
mereka memulai perjalanannya sejak muda hingga tua, mereka tidak akan
mencapai tujuannya. Apabila orang mempunyai bekal perjalanan cukup, ia
dapat sampai di Mekah untuk menjadi Wali. Tetapi bekal itu mahal, besar dan
sukar diperoleh. Bekal itu bukan berupa uang rupiah atau dinar. Bekal itu
adalah keberanian dan kesanggupan untuk mati, kehalusan budi dan menjauhi
kesenangan duniawi (zuhud)”.
(64). Tinon Kidul katon lor angrawit // tinon lor katon kidul asineng //
pepeloking mrak samine // Ka’batullah puniku // lamun ana sembahyang siji //
anging kawrat satunggal // yen roro tetelu // anging samono ambanya //
yadyan wong salaksa kawrat iku singgih // tungkep rat pan kawawa.
“Jika orang melihat ke selatan, yang tampak ialah utara, indah. Dan jika melihat
ke utara, nampak selatan, gemerlapan seperti (ekornya) burung merak. Apabila
seseorang yang bersembahyang di Ka’batullah maka hanya ada ruangan cukup
untuk satu orang itu. Jika ada dua atau tiga orang orang, maka ruangan itu juga
hanya cukup untuk dua atau tiga orang itu. Akan tetapi jika terdapat 10.000
orang yang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka
itu semua. Itu sungguh. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan di
sana, akan tertampung juga”.
(65). Iku tuturingsun hih ra Wujil // tutur Wujil maring kang sinembah //
katona saking awake // aja katon yen isun // yen atakon sang Mahamuni //
mature : Sahur sembah // sembah ingkang katur // pun Wujil angabiwada //
keras saking ngarsanira santri Wujil // lampahnya garawalan.
“Itulah Wujil, yang kusampaikan kepadamu. Katakanlah kepada Gustimu
seperti kata-katamu sendiri, bukan kata-kataku. Dan sekiranya Kanjeng Sunan
menanyakan dariku, katakanlah bahwa aku hanya menghaturkan sembahku”.
Wujil menyembah, meninggalkan Seh Malaya dan segera berlalu.
(67). Trehing karsa sinapa ra Wujil // bagya ra Wujil asarag prapta // stutinira
matur mangke // saksana ‘glis umatur // tanpa ‘nggosthi sang pinaran ling //
atur sembah kewala // sudibya anuhun // sawekase Seh Malaya // kang
aksama denira sang Maha Muni // wruh wekasing wasita.
Setelah Sang Pertapa melepas semedinya, beliau berpaling kepada Wujil, dan
berkata, “Selamat datang kau Wujil. Cepat benar kau kembali”, Wujil
menyembah dan menjawab, “Gusti Malaya yang Paduka kirimi surat, tidak
berpesan suatu apa. Hanya menyampaikan sembahnya”. Wujil pandai sekali
melaksanakan pesan Seh Malaya, oleh karena itu Sang Pertapa
memaafkannya. Beliau tahu diri dari bahasa.
(69). Wonten putrane ilang sasiki // lanang sudi (bya) manggeh ing tapa //
angirangi pangan kule // yayah rena anapu // sampun gege maksih taruni //
dadya rujit tyasira // marma tibra ‘nglamung // putra lunga tan sjarwa //
manah lampus lunga angingkis ing wengi // rena dadya sungkawa.
Seorang putranya telah hilang, seorang anak yang cakap yang gemar bertapa
dengan mengurangi makan dan tidur. Orang tuanya menghibur dia dengan
kata-kata, “Janganlah kau tergesa-gesa. Usiamu masih muda”. Kata-kata itu
justru menyebabkan hatinya sakit, akibatnya ia selalu nampak murung. Pada
suatu malam, dengan hati yang hancur, anak itu diam-diam pergi tanpa pamit
hingga menyebabkan orang tuanya bersedih hati.
(71). Pati patitising angabakti // nora etang Wujil wiwilangan // pan mulih
maring jatine // yen ana ketang-ketung // yekti sira tan apapunggih // kalawan
kang sinadya // yen sira’rsa temu // sirnakena raganira // yen sira wus atemu
akaron kapti // kapti anunggal karsa.
“Mati merupakan kebaktian yang paling tepat, tiada lagi yang diperhitungkan
atau diri, Oh Wujil, oleh karena orang kembali ke asalnya. Jika kau masih
memperhitungkan sesuatu, kau tidak akan menemukan Apa yang kau
harapkan. Jika kau ingin menemukan-Nya, maka kau harus menghancurkan
nafsu-nafsumu. Jika kau telah menemukan-Nya,
maka kemauanmu akan manunggal dengan kemauan-Nya”
(72). Tunggal rupa saose namaneki // tunggal rasa saos rupanira // tinunggal
sarwi-sarwine // sampune tunggal iku // saha satya pati saurip // larangane tan
ana // sandhang pangan iku // sakarsane tunggal karsa // wong sinihan tan
kena andum amilih // cihna tinunggal karsa.
“Engkau akan manunggal dengan Dia; hanya nama saja yang berlainan. Engkau
akan menjadi satu dalam rasa dengan Dia, dengan berbeda wujud. Dalam
segala hal kau akan manunggal dengan Dia. Setelah manunggal serta kau
serahkan mati dan hidupmu kepada-Nya, maka tidak ada larangan bagimu
dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan
kehendak-Nya. Orang yang telah diampuni tidak boleh memilih atau membagi
(yakni membeda-bedakan dalam segala hal), sesuatu tanda
tentang manunggalnya kehendak dengan Dia”.
(73). Punang kang sinung andum amilih // iya iku wong kang aneng jaba // nora
weruh ing jerone // sembahipun den sawur // tan wruh rekeh ing dalem puri //
anging warta kewala // kang ketang kadhatun // aja sira umung warta // warta
iku anasaraken sajati // yen sira sisip tampa.
“Mereka yang masih memilih atau membagi ialah orang yang masih berada di
luar; mereka tidak tahu isinya. Diarahkannya shalat ke tujuan yang tidak
menentu. Karena ia tidak mengenal (Raja) didalam Kraton. Ia hanya
mendengar-dengar saja tentang Dia. Baginya kratonnya yang utama,
bukan Rajanya. Janganlah bertindak hanya berdasarkan pendengaran saja,
karena jika kau salah mengerti maka kau akan kesasar”.
(75). Kawan kilan ambane kang cermin // paran dene amba punang kaca // ra
Wujil lawan dedege // punang Wujil ingutus // angadega hih ra Wujil // sang
kinon sampun mangkat // pun Wujil kadulu // kakar sakukuncitira // kadi rare
wedana anjeruk wangi // dening sampun atuwa
“Cermin ini lebarnya empat jengkal, tetapi tinggal Wujil kalah besar”.
Kemudian Wujil mendapat perintah : “Berdirilah kau di depan Cermin”. Wujil
melakukan perintah dan tampaklah bayangannya sampai kuncung keriput
seperti jeruk wangi, karena sudah tua.
(76). Pun Satpada angling hih ra Wujil // sira angadeg isun asila // paran dene
padha mangke // lir rare yen dinulu // wadanane anjeruk wangi // mesem sang
Adigarwa // ra Wujil sireku // amalesa dipun enggal // Uni enjing kawula lagi
den sapih // dening pun ra Satpada.
Satpada berkata, “Wujil, kau berdiri dan aku duduk, tetapi kita sama besarnya.
Anda tampak seperti anak-anak, tetapi berwajah penuh keriput seperti jeruk
wangi”. Guru Besar yang agung tersenyum atasnya, “Wujil, kau harus
membalas, cepat”. Wujil berkata, “Tadi pagi, baru saja hamba disindir oleh
Satpada”.
(79). Pun Satpada nora wruh tumuli // pundi tunggale gusti kawula // ra Wujil
sasar idhepe // pun Wujil glis sumahur // Nora beda jalu myang istri // kang
aneng jro pahesan // tunggal rupanipun // lanang wadon yen wus tunggal //
ing pahesan tan kocap jalu myang istri // pan iku rasa tunggal.
Satpada tidak segera dapat mengerti bagaimana manunggalnya antara Gusti-
Kawula, sedangkan pendapat Wujil tidak benar. Wujil berkata, “Tidak ada
perbedaan antara lelaki dan perempuan yang berada didalam cermin. Kedunya
mempunyai wajah yang sama. Jika kini lelaki dan perempuan didalam cermin
menjadi satu, maka tidak ada persoalan lagi antara lelaki atau perempuan,
karena mereka pada hakekatnya adalah satu”.
(80). Pun Satpada sira aglis aris // kalingane Wujil anjajawat // lir wong awulus
rupane // ra Wujil glis sumahur // Nora nyana ujar puniki // pan sira salah
tampa // mesem sang sinuhun // lah Wujil sira menenga // awasena rupa kanf
aneng jro cermin // teka lunganing rupa.
Perlahan-lahan Satpada berkata, “Hai Wujil, mungkin anda menyindir soal
asmara. Seperti halnya anda berbentuk normal”. Wujil menanggapi, “Bukan itu
yang kumaksudkan. Anda salah faham”. Sang Maha Guru dengan senyum
berkata, “Diam, Wujil, lihat bayangan didalam cermin, dan lihat datang dan
perginya (bayangan itu)”.
(81). Rupa kang aneng sajroning cermin // lamun manjing punendi enggenya //
yen lunga endi parane // hih ra Wujil sireku // angerana wurining cermin // ra
Satpada ‘wasena // rupa roro iku // rupane si Wujil ika // ingkang ana ing
cermin enggene mangkin // Ken Satpada kemengan.
“Bagaimana bayangan itu datang dalam cermin dan ke mana perginya jika
bayangan itu menghilang? Berdirilah di belakang cermin, Wujil!”. Kepada
Satpada, “Lihatlah kedua bayangan, bayanganmu dan bayangan Wujil yang tadi
ada didalam cermin; kemana bayangan Wujil sekarang?”. Satpada tidak segera
mengerti dan berkata :
(82). Singgih pukulun rupa sawiji // pun Wujil wonten wurining kaca // nora
katingal rupane // kang katingal pukulun // anging rupa kawula singgih // ra
Satpada lungaha // anggonana iku // enggone si Wujil ika // Hih ra Wujil,
metuwa sira den aglis // dulunen rupanira.
“Wahai Gusti, hanya ada satu bayangan. Wujil ada di belakang cermin, jadi
bayangannya tidak tampak. Hanya bayangan hamba yang nampak”. Sang Maha
Guru berkata kepada Satpada, “Pergilah dan berdirilah di tempat dimana Wujil
sekarang berdiri”. Kepada Wujil, sang Guru berkata , “Pergilah dari tempatmu
dan lihatlah bayanganmu”.
(83). Rupane pun Wujil den tingali // si Satpada Wujil ana ora // rupane iku
samangke // ndan pun Wujil umatur // boten wonten rupaning isteri // anging
rupa kahula // punuika pukulun // aneng ngendi si Satpada // ing rupane pun
Wujil matur abakti // suhun sembah kahula.
Wujil melihat dalam cermin. Sang Maha Guru bertanya, “Melihatkah kau
sekarang bayangan Satpada didalam cermin?”. Jawab Wujil, “Hamba tidak
melihat bayangan seorang wanita dalam cermin, tetapi bayangan hamba
sendiri”. Sang Maha Guru berkata, “Dimanakah bayangan Satpada?” Wujil
menjawab, “Hamba tidak tahu”.
(85). Sang Ratu Wahdat lingira aris // hih ra Wujil bener ujanira // samene iku
unggahe // LA ILAHA puniku // amot Itsbat kalawan Nafi // Jatine ana-ora // iku
tegesipun // Pangeran asipat ora // ing orane samput awit ananeki //
anane’ku nakirah.
Sang Ratu Wahdat (Sunan Bonang) berkata perlahan-lahan, “Kau benar Wujil.
Hal ini hanya dapat dibicarakan sampai di sini saja. La
Ilaha meluputi Itsbat (konfirmasi) dan Nafi (negasi, penyangkalan), adalah ke-
Ada-an dan ke-Tiada-an. Artinya : Hakekat dari Tuhan adalah Ketiadaan, dan
didalam Ketiadaan-Nya itu Dia mulai Ada. Dan ADA-Nya itu
disebut Nakirah (Ada Tuhan yang bersifat umum).
(86). Nafi Nakirah lan Nafi Jinis // mapan iku jinising Pangeran // kang Nafi
nyateng Itsbate // Nafi lan Itsbat iku // nora pisah pan ora tunggil // Nafi
kalawan Itsbat // Nafi karoni pun // Nafi roro winaleran // dining ILLA karone
tan kena manjing // maring lafal ILLA’LLAH.
Nafi Nakirah dan Nafi Jinis merupakan Wujud (jenisnya) Tuhan. Nafi (negasi)
mengandung Itsbat (konfirmasi, pengakuan). Nafi dan Itsbat itu tidak terpisah,
dan juga tidak manunggal. Akan tetapi Nafi dan Itsbat, juga kedua macam Nafi
(Nafi nakirah dan Nafi jinis) kedua-duanya dibatasi oleh
kata ILLA (pengecualian, pembatasan), dan tidak boleh (atau tidak dapat)
masuk kedalam lafazh ILLA’LLAH.
(87). Hih ra Wujil kawruhana malih // kang Itsbat iku rekeh den nyata // atuduh
marang Mutsbate // dalil kalawan mad-lul // iki rekeh saminireki // ingkang
lafal ILLA’LLAH // Mutsbat aranipun // mutlak iku Ismu’llah // tan kena liyanena
Pangeran kalih // anging lafal ILLA’LLAH.
“Selanjutnya kau harus tahu, Wujil, bahwa yang namanya Itsbat (pengakuan :
Ke-Ada-anNya) harus memberi petunjuk yang jelas kepada Mutsbat-nya
(segala sesuatu yang dianggap “Ada”), seperti suatu Dalil (petunjuk)
terhadap Madlul-nya (yang ditunjuk).
Rumus Illa’allah dinamakan Mutsbat (Yang dianggap “Ada”), yakni secara
mutlak merupakan Ismu’llah (Nama Pribadi Allah). Tuhan lain tidak boleh
ditempatkan di samping-Nya. Hanya Dia Allah-lah rumus Illa’llah itu
layak/tepat”.
(88). Hih ra Wujil eweh ujar iki // mapan eweh rekeh ing panarima // pan eweh
lalabuhane // marmane wong puniku // kudon-kudon ujungan liring // sami
amijet lafal // tartibe den lembut // bayan mani’ lawan sharaf // Nahwu den
gulang-gulang rahina wengi // kawruh kandheg ing lafal.
“Baiklah Wujil, masalah ini memang sukar, susah dimengerti, dan juga sukar
dijadikan pegangan. Itulah yang menyebabkan orang-orang saling bertengkar,
karena keinginannya yang keras untuk meyakinkan orang lain. Mereka
berpegang erat-erat pada hurufnya, mengikuti kaidah-kaidah mempelajarinya,
bayan mani’, sharaf dan nahwu (tatabahasa). Akan tetapi pengetahuannya
terhenti pada hurufnya”.
(89). Meh sumurup mangke sang hyang rawi // awatara tunggang ing acala //
matur pun Wujil ndan linge // Singgih rekeh pukulun // wonten rekeh ngaturi
ringgit // wesma ing pananggungan // wastane pun santun // tilikana
panggungira // gebogane yen ala Wujil salini // noli konen aleksa.
Matahari hampir tenggelam, sudah berada di puncak gunung. Wujil berkata,
“Ada orang yang akan memberi pertunjukan wayang. Ia tinggal di
Penanggungan dan bernama si Sari”. Sang Pertapa berkata, “Lihatlah sebentar
pentasnya. Jika batang pisanya tidak dapat digunakan lagi, harus kau ganti, dan
sekalian suruhlah segera mulai”.
(90). Mantuk ing gedhong sang mahamuni // sampun atatalu kang awayang //
saha nitir gegembinge // tan angangge pupucuk // dhalang Sari tumulya
angringgit // angangge Bratayudha // ing kawitanipun // bikseka Sang Nateng
Daha // kalaning amuja ‘ngglar palane dadi // ra Aji Jayabaya.
Sang pertapa yang agung kembali ke kamarnya, dan pertunjukan wayang telah
dimulai dengan talu terus menerus orang memukul gembing. Tidak
dipertunjukkan permainan permulaan, dan Dalang si Sari telah mulai dengan
Lakon Bratayudha. (syair ini) mulai dengan pujian terhadap Raja Daha. Tatkala
Raja itu tenggelam dalam samadinya (meditasi) yang menyebabkan Raja itu
diberi nama Jayabaya.
(93). Kahula duk teka’ng Mekah singgih // amangun reh duk ing Kalijaga // ing
Mekah liwat rusite // ombaking sagara gung // jukung rekeh kang sun titihi //
margane maring Mekah // toyane sumurup // palwa sumurup ing toya //
maring bumi pandoman malim tan kari // malim saking jengira.
“Aku pergi ke Mekah waktu aku sedang bertapa di Kalijaga. Mekah sukar
dicapai; gelombang-gelombang lautan amat besar, dan aku berada di atas
perahu. Air dari jalan ke Mekah menggenangi (permukaan laut). Dan perahuku
juga masuk kedalam air, bahkan kedalam bumi. Akan tetapi ajian sebagai
kompas telah kumiliki, ajian yang kuperoleh dari Paduka”.
(94). Sampun liwat saking toya asin // prapteng sagara wedya awalikan // lir rat
sangara ombake // gek gra nggurnita guntur // lindhu sayat belah kairing //
wukir pating gulimpang // umumbul mring dhuwur // atarung ing awang-
awang // surya wulan tan ana cahyanireki // kang lintang sumamburat.
“Setelah aku melintasi laut asin, aku sampai di padang pasir, yang ombaknya
bergulung-gulung menggelora seakan-akan dunia ini akan kiamat. Gelombang-
gelombang itu menggelegar gemuruh laksana gunung meletus, bumi
berguncang-guncang, terbelah dan miring; gunung-gunung terguncang jauh
dan melayang-layang di udara untuk saling berbenturan di sana. Matahari dan
bulan tidak memancarkan cahayanya, sedangkan bintang-bintang bertebarann
ke segala penjuru”.
(95). Duk liwat saking sagara wedhi // sagara geni mangka andungkap // kadi
ndaru ombake // sindhung wukir kaguntur // agni rupa muntap lir thathit //
kukusnya awalikan // gandhanya mis arung // ambune kadi sundawa // lir
walirang sumuking geni awalik // lir gelap sasra laksa.
“Setelah aku melewati padang pasir, aku sampai pada lautan api, yang
gelombang-gelombangnya seperti meteor (bintang jatuh). Karena angin yang
kencang, gunung-gunung terlempar jauh. Gunungan-gunungan api menyala
seperti kilatan halilintar. Asapnya beterbangan naik turun, mengeluarkan bau
busuk dan tidak sedap seperti mesiu dibakar . Uap api berbau belerang,
menggelegar bagaikan seribu, ya selaksa, halilintar bersama-sama”.
(96). Angin malim saking jengireki // datan sah kacekel aneng tangan //
lulusing lampah tekane // liwat saking iriku // dennya ngaji basa alami //
ewahing basa Mekah // tan sasaminipun // nora mambu tutulisan //
marmanipun wong ngaji akeh kabali // pilih wong wruheng Mekah.
“Akan tetapi ajian yang kuterima dari Paduka, kugenggam selalu dalam
tanganku, akibatnya perjalananku dikaruniai keberhasilan. Setelah aku
melewati lauitan api (aku sampai di Mekah), dimana aku masih harus
mempelajari bahasanya agak lama. Kesukaran dari bahasa Mekah tidak dapat
diperbandingkan, karena tidak ada sedikitpun yang mirip tulisan. Itulah
sebabnya banyak mahasiswa yang berhenti di tengah jalan. Tidak banyak orang
yang mengenal Mekah”.
(97). Punang awayang babakanneki // kalane teka ing jajabelan // kinon
awusana mangke // Seh Malaya winuwus // sigra mangke ingajak mulih //
maring gedhong pasunyan // sisyane tan kantun // lawungsalawe kalawan //
wanakarta katiga lawan ra Wujil // sami ababar-babar.
Permainan wayang sekarang sudah sampai pada bagian minta kembalinya
separo negara. Waktu itu pertunjukan selesai. Seh Malaya diajak oleh Sang
Pertapa masuk kedalam sanggar pamujan (tempat bersemedi); para siswa juga
mengikuti: Lawungsalawe, Wanakarta dan ketiga si Wujil. Mereka akan
bertukar pikiran.
(98). Sasampunira sami alinggih // Hih yayi Malaya nedha padha // winicara iki
mangke // punang awayang wahu // lalakone punang angringgit // angangge
Kresna Duta // semune ki empu // nedha sami winicara // sinemoke Agama
Islam puniki // padha turuna sabda.
Setelah semua duduk, Sang Pertapa berkata, “Adinda Malaya, marilah kita
membicarakan kembali pertunjukan wayang yang baru saja dimainkan. Lakon
yang telah dipilih adalah Kresna Duta (Kresna sebagai utusan). Marilah kita
berbicara tentang maksud yang terdalam dari penggubah syair, hubungannya
dengan Agama Islam. Keluarkanlah pendapat kalian masing-masing”.
(99). Seh Malaya sahur sembah angling // datan wikan patemoning basa //
arab kalawan jawane // aksara ‘rab pukulun // boten bisa sisya kakalih // tan
asawala karsa // ing aturireku // sang Ratu Wahdat lingira // pasemone Nafi
Isbat iku yayi // wayang tengen lan kiwa.
Seh Malaya berkata sambil menyembah, “Aku tidak dapat menghubungkan
persoalan Jawa dengan agama Islam. Juga karena kedua muridku tidak
mengenal sastra arab. Mereka hanya mengikuti pendapat Paduka”.
Sunan Wahdat berkata, “Wayang yang ada di sebelah kiri dan kanan
merupakan perlambang (ibarat) dari Nafi – Itsbat, Adindaku”.
(100). Kang kiwa puniku maring Nafi // kang tengen puniku maring Itsbat //
pandhawa maring Nafine // Itsbat karowa ikut // Itsbat iku pan asal Nafi // Nafi
pan asal Itsbat // mutsbat kang den rebut // Kresna kang dadi pahesan //
Kresna kaca pahesaning ringgit kalih // kalah menang ing kaca.
“Wayang-wayang di sebelah kiri mewakili Nafi, di sebelah kanan
mewakili Itsbat. Para Pandawa memerankan Nafi, para Korawa
memerankan Itsbat. Timbulnya Nafi disebabkan oleh Itsbat, akan tetapi juga
sebaliknya (timbulnya Itsbat disebabkan oleh Nafi). Sekarang mereka
berperang memperebutkan Mutsbat, sedangkan Kresna pegang peranan
sebagai cermin dari kedua belah pihak. Menang atau kalah tergantung dari
cermin itu”.
(101). Mulaneku arebat nagari // iya Mutsbat iku kang den rebat // mulane
perang dadine // nagara kang den rebat // Korawandra rebut nagari // lan
jenenging Pandhawa // iku semunipun // mulane wong asawala // Nafi-Itsbat
kang den rebut iku yayi // ing mangke tekeng kina.
“Perebutan negara adalah sama dengan
perebutan Mutsbat antara Nafi dan Itsbat. Peperangan berebut antara
Pandawa dan Korawa dapat disamakan dengan perebutan Mutsbat. Maka
sejak dahulu hingga sekarang manusia berperang, tidak lain, untuk
keperluan Nafi-Itsbat”
(102). Mapan angeling ujar puniku // nora kena ngukuhi aksara // kang aksara
kadadine // dadining nyana iku // nyana nora amung sawiji // nyana awarna-
warna // dadine kapahung // akeh anyembah ing nyana // paksa hresthi sarira
bisa angaji // ujare nyananira.
“Persoalan ini sangat sukar. Orang tidak boleh berpegang teguh pada
aksaranya (huruf, ajaran yang tertulis). Karena lahirnya aksara itu berkat
adanya Faham (= nyana, gagasan, dugaan). Dan tidak ada satu faham, akan
tetapi banyak faham, hal mana menyeret ke arah kesesatan, karena banyak
orang yang mendewa-dewakan fahamnya. Orang sudah merasa senang,
menyadari bahwa dia sudah dapat mengaji (membaca Al-Qur’an, kitab atau
buku lainnya), akan tetapi itu adalah bisikan dari faham kita”.
(103). Yen sira ‘yun yayi wruhing wadi // ujar iku anduluwa surya // hih yayi
paran rupane // sampun ta kakduk semu // padha pisan dennya aningali //
atining wuluh wungwang // ilir gigiring punglu // sanepa purusing ayam // kuda
‘ngrap ing pandengan punika yayi // kembang lo tanpa wigar.
“Jika ingin mengerti persoalannya, Adinda, lihatlah wajah Dinda sendiri (yaitu
melihat diri sendiri). Bagaimana rupa-bentuknya? Jangan membuat banyak
komentar. Dinda harus melihat tengah-tengahnya bambu yang terbuka kedua
ujungnya; atau melihat garis punggung peluru; atau melihat anggota rahasia
seekor ayam jantan; atau melihat seekor kuda yang berlari kencang, sedangkan
binatang itu tetap berdiri di bawah atap; atau melihat bunga Lo, yang tidak
pernah layu”.
(104). Mereneya yayi den agelis // isun kangen yayi maring sira // apepekulan
karone // susu adu lan susu // netra karna grana pan sami // suku lan suku
padha // Sang Ratu amuwus // maring sira Seh Malaya // padha merem aja ’na
winalang ati // sakedhap tekeng Mekah.
“Kemarilah, Dinda, aku telah menantimu sejak lama”. Keduanya saling
berpelukan, dada beradu dada, muka beradu muka, kaki beradu kaki, Kanjeng
Sunan Bonang berkata kepada Seh Malaya, “Mari kita memejamkan mata dan
jangan ragu”. Dan sekonyong-konyong mereka berdua sampai di Mekah.