Anda di halaman 1dari 144

Bebas Dari Penjara Pikiran Melalui Pintu Kesadaran

The human condition: lost in thought


~Eckhart Tolle
Saya sengaja memberikan judul yang menggigit
untuk artikel ini. Banyak orang yang salah
mengerti bila saya berbicara mengenai pikiran.
Semua buku dan artikel yang saya tulis selalu
berbicara mengenai pikiran. Banyak yang
bertanya pada saya, ”Pak, berarti kunci untuk
mencapai sukses atau kebahagiaan adalah dengan
pikiran?”
”Ya dan belum tentu”, jawab saya.
Lha, kok bisa ya dan belum tentu. Bukankah
semua ini hanya permainan pikiran?
Anda benar sekali. Semua adalah permainan
pikiran . Namun sayangnya seringkali yang kita
alami adalah kita dipermainkan pikiran kita
dalam suatu permainan yang pikiran mainkan
dengan tidak main-main.
Bingung?
Manusia pada umumnya, tanpa mereka sadari,
hanya menjalani kehidupan dalam koridor
penjara pikiran yang sempit yang dibatasi oleh
tembok-tembok tinggi persepsi. Mereka jarang
sekali, jika tidak mau dikatakan tidak pernah,
mampu menjelajah melampaui perangkap
penjara pikiran yang dikondisikan oleh
keterbatasan persepsi akibat ketidaktahuan akan
ketidaktahuan.
Dengan bahasa yang lebih sederhana manusia
hidup dalam realita yang ditentukan oleh
seperangkat aturan (baca: program pikiran) yang
ada dalam pikirannya. Kita tidak melihat segala
sesuatu apa adanya. Kita melihat sesuatu apa
kita-nya.
Sang Buddha pernah berkata, “Pikiran itu
sungguh sukar diawasi. Ia amat halus dan senang
mengembara sesuka hati. Karena itu hendaklah
orang bijaksana selalu menjaganya. Pikiran yang
dijaga dengan baik akan membawa kebahagian.
Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap, sulit
dijaga dan sulit dikuasai; namun orang bijaksana
akan meluruskannya, bagaikan seorang pembuat
panah meluruskan anak panah”
Benar, kita bisa mencapai kebahagian atau sukses
di bidang apa saja dengan menggunakan pikiran
secara benar. Namun bila kita tidak hati-hati
seringkali kita dipedayai oleh pikiran kita.
Ambil contoh ”kebencian” dan ”kebahagiaan”.
Jika dilihat sekilas maka kita tahu bahwa
”kebencian” adalah suatu emosi yang negatif
sedangkan ”kebahagiaan” adalah emosi positif.
Benarkah demikian? Ternyata ”kebahagiaan”
justru bisa menjadi sumber masalah. Pikiran
yang terlalu melekat, atau selalu menginginkan,
atau berusaha mempertahankan ”kebahagiaan”
justru akan menimbulkan efek negatif. Dan
bahkan keinginan untuk bahagia bisa
mengobarkan api ”kebencian”. Untuk lebih jelas
mengenai hal ini anda bisa membaca artikel saya
yang berjudul ”Bahaya Kebencian Dan
Kebahagiaan”.
Untuk bisa keluar dari perangkap pikiran maka
kita perlu mengerti cara kerja pikiran. Dengan
memahami cara kerja pikiran kita bisa mengerti
permainan yang sedang pikiran mainkan di suatu
saat. Sehingga kita, bukannya larut dalam
permainan itu atau didikte dengan suatu aturan
main yang pikiran tetapkan sendiri, dapat
menetapkan rule of game yang menguntungkan
diri kita.
Untuk itu mari kita amati proses belajar setiap
manusia. Kita melewati empat tahap belajar
yaitu:
1. Unconscious Incompetence
2. Conscious Incompetence
3. Conscious Competence
4. Unconscious Competence
Pada tahap pertama, Unconscious Incompetence,
kita tidak tahu kalau kita tidak tahu. Misalnya,
sewaktu kita masih kecil, kita tidak tahu bahwa
kita, saat itu, belum bisa jalan. Melalui interaksi
dengan orang dewasa atau lingkungan kita, yang
masih kecil, akhirnya tahu (Conscious
Incompetence) bahwa kita belum bisa jalan.
Mengapa? Karena kita melihat orang di sekeliling
kita berjalan tegak.
Selanjutnya kita mulai belajar berjalan dan
akhirnya bisa berjalan dengan sempurna
(Conscious Competence). Sekarang, kita bahkan
tidak sadar lagi bahwa kita bisa jalan dengan
sempurna (Unconscious Competence).
Kemampuan berjalan, yang dulunya kita pelajari
dengan begitu susah payah, mengalami jatuh
bangun, bahkan ada yang sampai kepalanya
benjol karena jatuh, kini telah menjadi kecakapan
yang bekerja secara otomatis.
Nah, saat suatu skill telah masuk ke tahap
Unconscious Competence maka sejak saat itu, bila
tidak dilakukan intervensi secara sadar, skill ini
akan bekerja dengan prinsip automatic pilot.
Hal yang sama berlaku juga dengan kecakapan
berpikir, yang note bene adalah keahlian pikiran
itu sendiri.
Automatic pilot berfungsi untuk memudahkan
hidup kita. Yang akan dijalankan oleh sistem
automatic pilot adalah program/kebiasaan yang
paling kuat. Baru-baru ini, saat sedang
mengendarai mobil, saya larut dalam pemikiran
yang cukup intens mengenai sesuatu. Saat itu
pikiran (bawah sadar) saya secara otomatis
mengambil alih kendali. Tanpa saya sadari, saat
bertemu jalan yang bercabang dua, secara
otomatis mobil saya belokkan ke kanan. Padahal
rute yang seharusnya saya lewati adalah belok ke
kiri. Jalan ke arah kanan adalah rute yang setiap
hari saya lalui untuk ke kantor.
Nah, apa sih yang membuat kita terperangkap di
dalam penjara pikiran?
Salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat
menonjol adalah kebutuhan akan konsistensi.
Saat pikiran telah memutuskan untuk menerima
sesuatu sebagai ”kebenaran” maka ia akan
konsisten dengan ”kebenaran” itu. ”Kebenaran”
ini belum tentu sejalan dengan ”kebenaran” yang
kita setujui kebenarannya. ”Kebenaran” menurut
pikiran sejalan dengan pemikiran pikiran itu
sendiri yang didukung dengan berbagai
pengalaman yang pernah kita alami.
”Kebenaran” ini dikenal dengan istilah belief.
Jadi, setelah pikiran mengadopsi suatu belief
maka selanjutnya belief ini yang mengendalikan
pikiran. Tanpa intervensi yang dilakukan secara
sadar maka hidup kita sepenuhnya dikendalikan
oleh berbagai belief yang telah kita adopsi dan
yakini kebenarannya.
Saat kita percaya/belief akan kebenaran sesuatu
maka kita tidak akan lagi mempertanyakan
keabsahan data atau landasan pijak berpikir yang
digunakan sebagai dasar penerimaan suatu belief.
Belief kita selalu benar menurut kita. Yang benar
menurut kita belum tentu benar menurut orang
lain. Kita akan mati-matian mempertahankan
belief kita karena kita yang memutuskan bahwa
”sesuatu” itu adalah hal yang benar. Masa kita
meragukan kebenaran yang telah kita putuskan
”kebenarannya” ?
Lalu, bagaimana caranya untuk bisa keluar dari
perangkap penjara pikiran? Sesuai dengan judul
artikel ini maka jalan kebebasan adalah melalui
pintu kesadaran.
Nah, anda mungkin akan bertanya, ”Mengapa
harus melalui pintu kesadaran?”
Hanya melalui pintu kesadaran kita bisa
menyadari bahwa kita bukanlah pikiran kita, kita
bukanlah perasaan kita, kita bukanlah kebiasaan
kita, dan yang lebih penting lagi adalah bahwa
kita bukanlah belief kita. Kesadaran membuat
kita mampu untuk melakukan disosiasi atau
pemisahan yang jelas.
Dengan kesadaran kita mampu melakukan
metakognisi atau berpikir mengenai pikiran.
Dengan berpikir dan mengamati pikiran maka
kita akhirnya mengenal ”sosok” pikiran kita. Kita
akan tahu pola atau kebiasaan yang pikiran
lakukan. Dengan kesadaran kita dapat
memahami bahwa pikiran, walaupun merupakan
piranti yang sangat luar biasa, tetap hanyalah
sebagian kecil dari kesadaran itu sendiri.
Lalu, bagaimana cara untuk bisa mengamati
pikiran?
Oh, caranya mudah sekali. Yang perlu kita
lakukan adalah belajar untuk menjadi hening.
Kita perlu membiasakan diri ”berjalan” di
keheningan. Hanya dengan hening kita baru
mampu mengamati pikiran kita dengan jelas.
Pikiran ibarat segelas air yang keruh karena
berisi kotoran atau partikel kecil (baca: buah
pikir). Dalam kondisi keruh kita tidak akan bisa
melihat melampaui gelas air itu. Kita tidak akan
mampu melihat dan mengamati berbagai
komponen yang membuat air (baca: pikiran)
menjadi keruh.
Lalu, bagaimana caranya untuk bisa melihat
partikel kecil yang mengotori air? Bagaimana
cara untuk bisa melihat melampaui gelas yang
keruh?
Sekali lagi, caranya sangat mudah. Letakkan
gelas yang berisi air keruh dan biarkan selama
beberapa saat. Jangan digerak atau diaduk-aduk.
Biarkan saja.
Selang beberapa saat kotoran-kotoran itu akan
mulai mengendap dengan sendirinya, tanpa harus
kita upayakan. Setelah semuanya mengendap air
di gelas menjadi sangat jernih. Kotoran itu akan
turun ke dasar gelas dan menjadi sangat mudah
diamati. Kita juga akan dapat melihat melampaui
gelas. Mudah, kan?
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana
caranya menjadi hening?
Setiap hari, selama sekitar 30 menit sampai 60
menit, lakukan meditasi. Duduklah dengan tenang
dan mulailah mengamati pikiran anda. Bagi
pemula anda bisa melatih diri dengan melakukan
meditasi 15 menit di pagi hari dan malam hari.
Pengamatan terhadap pikiran akan membawa
kita pada pengenalan dan pemahaman mendalam
yang kita namakan kebijaksanaan. Nah,
kebijaksanaan inilah sebenarnya kunci pembuka
pintu kebebasan kita.
Bill Gould, mentor saya, selalu berpesan pada
saya, “Adi, if you want to keep growing, you have
to challenge everything. Even your own thinking
and beliefs
Bersahabat Dengan Masalah
If a problem doesn’t kill you, it will make you
stronger
Seorang kawan mengeluh, ”Pak, saya kok sering
kena masalah ya? Padahal saya ini sudah rajin
berdoa, selalu positive thinking, tidak pernah
bikin susah orang lain, suka menolong orang lain,
jujur dalam bekerja, dan nggak neko-neko.
Kenapa ya Pak? Apa masalah saya? Saya sudah
bosan kena masalah terus.”
”Wah, selamat ya”, balas saya.
”Lho, bagaimana sih Pak Adi ini. Saya punya
banyak masalah kok malah diberi selamat.
Senang ya Pak kalo lihat orang susah?”, kawan
saya balik bertanya dan agak jengkel.
“Sabar...sabar... bukan begitu maksud saya.
Jangan tersinggung dong”, jawab saya cepat
sambil berusaha menenangkan kawan saya ini.
Nah, pembaca, apa yang saya tulis di artikel ini
merupakan hasil obrolan saya dan kawan saya.
Masalah. Setiap orang pasti punya masalah.
Setiap hari kita pasti berhadapan dengan
masalah. Kita berusan dengan masalah. Kita
mendapat masalah. Kita membuat masalah. Kita
bahkan bisa jadi sumber masalah. Masalah
terbesar adalah kalau kita tidak tahu bahwa
masalah kita adalah kita merasa tidak punya
masalah.
Pembaca, waktu anda mengalami masalah,
bagaimana reaksi anda?
Apakah anda marah? Jengkel? Sakit hati?
Frustrasi? Takut? Menyalahkan diri sendiri?
Atau anda cenderung untuk menyalahkan orang
lain?
Anda mungkin bertanya-tanya mengapa saya
menggunakan judul ” Bersahabat Dengan
Masalah”. Apa nggak salah, nih? Kita kok
diminta bersahabat dengan masalah?
Benar. ”Masalah” sebenarnya adalah hal yang
sangat positif. Mari kita bahas terlebih dahulu
makna di balik kata ”masalah”. Masalah, yang
dalam bahasa Inggris adalah ”problem”, ternyata
mempunyai akar kata yang maknanya sangat
berbeda dengan yang kita pahami selama ini.
Akar kata ”problem” berasal dari bahasa Yunani,
proballein, yang bila ditelusuri lebih jauh
mengandung makna yang sangat positif. Pro
berarti forward atau maju. Sedangkan ballein
berarti to drive atau to throw . Jadi, problem
berarti bergerak maju. Problem berarti
kesempatan untuk maju dan berkembang.
Sewaktu pertama kali mengetahui bahwa akar
kata problem, proballein, artinya bergerak maju,
saya sempat terhenyak dengan perasaan kaget
dan takjub. Sungguh luar biasa dan sungguh
benar. Coba kita renungkan bersama. Masalah
sebenarnya adalah suatu simtom yang
menunjukkan adanya suatu penyebab atau akar
masalah. Justru dengan seringnya seseorang
mendapat “masalah”, bila orang ini cukup bijak
dan jujur pada dirinya sendiri, ia akan
berkembang dan bisa lebih maju.
Lha, kok bisa begini?
Pernahkah anda, atau mungkin orang yang anda
kenal, mendapat atau mengalami masalah?
Jawabannya, “Sudah tentu pernah.”
Pertanyaan saya selanjutnya, “Apakah masalah
yang dialami anda mirip dengan masalah
sebelumnya?
Jika kita mau bersikap jujur dan jeli dalam
mengamati maka seringkali masalah yang kita
alami sifatnya “mengulang” masalah sebelumnya.
Ada kemiripan atau kesamaan. Bentuk
masalahnya bisa berbeda namun polanya sama.
Satu contoh. Ada seorang wanita yang putus
dengan pacarnya. Ia marah, kecewa, sakit hati,
dendam, dan bersumpah akan mencari pasangan
yang jauh lebih baik. Namun kenyataannya? Ia
mendapatkan pacar baru yang mempunyai
karakter yang serupa dengan mantan pacarnya.
Ada lagi seorang pengusaha besar, kawan saya,
berulang kali kena tipu. Sekali kena tipu
jumlahnya nggak main-main. Bukan puluhan juta
tapi ratusan juta. Dan ini terjadi berulang kali.
Seorang kawan yang lain seringkali ribut dengan
istrinya hanya karena hal-hal sepele. Misalnya
hanya karena si istri memencet pasta gigi tidak
dari bawah, tetapi dari tengah, ia marah besar.
Sebaliknya si istri walaupun telah diberitahu
suaminya tetap mengulangi pola perilaku yang
sama.
Masalah yang kita hadapi sebenarnya
menunjukkan ”level” kita. Siapa diri kita
sebanding dengan masalah yang kita hadapi.
Bukankah ada tertulis bahwa Tuhan tidak akan
membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan
kita untuk mengatasinya? Dan setiap masalah
pasti ada jalan keluarnya?
Masalah atau problem sebenarnya guru sejati
yang seringkali kita abaikan. Kebanyakan orang
mengalami masalah yang serupa atau berulang
karena mereka tidak belajar dari masalah yang
pernah mereka alami.
Ibarat anak sekolah bila kita tidak naik kelas,
karena nilai ujian kita jelek, maka kita akan
mengulang di level atau kelas yang sama. Tidak
mungkin guru akan menaikkan kita ke kelas
berikutnya. Mengapa? Lha, soal ujian di level ini
saja kita nggak lulus apalagi kalau diberi soal
ujian level di atasnya.
Kita harus mengulang, tidak naik kelas, dengan
harapan kita akan belajar, meningkatkan diri,
dan akhirnya mampu mengerjakan soal ujian
dengan benar. Dengan demikian kita ”lulus” ke
kelas berikutnya.
Saat tidak naik kelas, bukannya belajar dari
”masalah” ini, banyak yang malah membuat
masalah baru dengan menjadi marah, frustrasi,
dan menyalahkan guru atau sekolah. Anda
pernah bertemu dengan orang seperti ini?
”Ah, itu kan anak sekolah. Memang harusnya
begitu”, ujar kawan saya.
Lho, kita ini kan juga anak sekolah. Kita sekolah
di Sekolah Kehidupan. Kehidupan adalah tempat
kita belajar. Untuk maju kita harus menjadi
pembelajar seumur hidup atau life long learner.
Ada yang mengatakan bahwa pengalaman adalah
guru yang paling baik. Saya kurang setuju dengan
pernyataan ini. Menurut saya pengalaman adalah
guru terbaik bila itu pengalaman orang lain. Jadi,
kita belajar dan mendapat pengetahuan dan
kebijaksanaan dengan menelaah dan mempelajari
pengalaman orang lain dan kita terapkan untuk
kemajuan hidup kita.
Lha, lebih baik mana, anda kena tipu Rp. 1 Miliar
atau anda belajar dari pengalaman orang lain
yang tertipu Rp. 1 Miliar dan anda gunakan
pengetahuan ini untuk melindungi diri anda agar
tidak mengalami masalah yang sama?
Pengalaman adalah guru yang terbaik bila kita
dapat memetik pelajaran berharga dari apa yang
kita alami. Kebanyakan orang mengalami
”pengalaman” hanya sekedar mengalami. Mereka
tidak memetik pelajaran atau manfaat apapun
dari pengalaman (baca: masalah) mereka.
OK. Sekarang sudah jelas bahwa kita bisa belajar
dari masalah. Tapi bagaimana caranya?
Ada 4 langkah mujarab untuk mengatasi setiap
masalah dalam hidup:
1.Mengakui adanya masalah
2.Setiap masalah pasti ada sumber atau akar
masalahnya
3.Bila akar masalah ditemukan maka masalah
dapat dipecahkan
4.Jalan keluar untuk menyelesaikan masalah
Contoh konkritnya?
Mari kita analisis kasus yang dialami kawan saya.
Itu lho, yang bolak-balik kena tipu ratusan juta
rupiah.
Langkah pertama adalah mengakui atau
menerima bahwa ia punya masalah. Ia harus
berani mengakui dan memutuskan untuk
mengubah hal ini. Masalahnya adalah ia berkali-
kali kena tipu. Banyak orang yang bila mendapat
masalah, hanya bisa berdoa, pasrah, nerimo, dan
berkata bahwa masalah mereka adalah bentuk
cobaan dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa
masalah yang mereka alami, karena merupakan
cobaan dari Tuhan, maka Tuhan-lah yang harus
mengubah keadaan ini. Saya tidak setuju dengan
pandangan ini. Bukankah ada tertulis bahwa
Allah tidak akan membantu mengubah nasib
umatNya apabila umatNya tidak bersedia
mengubah nasib mereka sendiri.
Langkah kedua adalah memahami bahwa
masalah (simtom) yang ia alami pasti ada sumber
atau akar masalah. Dan akar masalahnya bukan
terletak di luar dirinya, misalnya ia tertipu
karena ke-lihay-an si penipu dalam meyakinkan
dirinya sehingga mau meminjami uang, tapi akar
masalahnya terletak di dalam dirinya.
Langkah ketiga, bila akar masalah yang ada di
dalam dirinya berhasil ditemukan, maka ia dapat
mengatasi masalahnya.
Langkah keempat adalah memilih solusi terbaik
yang akan digunakan dalam mengatasi masalah.
Setelah sukses melakukan empat langkah di atas
maka ia dapat memetik hikmah dari apa yang ia
alami.
Sekarang akan saya uraikan langkah demi
langkah yang dilakukan kawan saya.
Langkah 1. Masalah : Saya tertipu ratusan juta
berkali kali.
Langkah 2. Saya menyadari bahwa akar masalah
terletak di dalam diri saya
Langkah 3. Akar masalah saya adalah belief yang
menyatakan bahwa saya adalah kasirnya Tuhan.
Langkah 4. Saya mengubah belief saya, dari
kasirnya Tuhan menjadi Fund Manager uangnya
Tuhan. Saya akan mengelola uang yang
dipercayakan kepada saya dengan hati-hati
karena saya harus mempertanggungjawabkan
uang ini setiap akhir tahun buku.
Hikmah yang didapat dari masalah ini adalah
bahwa apa yang ia alami dipengaruhi oleh belief-
nya. Setiap belief mengakibatkan konsekuensi
tertentu. Cara paling tepat untuk mengevaluasi
apakah suatu belief bermanfaat atau justru
merugikan diri kita bisa dilihat dari akibat yang
ditimbulkan oleh belief-belief itu terhadap hidup
kita.
Selama seseorang masih tetap memegang belief
yang sama maka ia akan mendapat hasil yang
sama. Tidak mungkin terjadi seseorang mendapat
hasil yang berbeda dengan belief yang sama.
Einstein menjelaskan dengan sangat tepat saat ia
berkata, ”Insanity is doing the same thing over
and over but expecting different result”.
The Law of Attraction (1)
The vibrations of mental forces are the finest and
consequently the most powerful in existence
~Charles Haanel
Banyak orang yang bingung saat saya
menjelaskan prinsip sukses yang kami ajarkan di
Supercamp (SC) Becoming a Money Magnet.
Berbeda dengan kebanyakan prinsip sukses yang
telah mereka ketahui di SC kami mengajarkan 5
langkah sukses yang menjadi intisari dari teknik
untuk menggunakan The Law of Attraction
(LOA) dengan mudah dan optimal.
Ada seorang pembaca buku dari Jakarta yang
menelpon saya dan bersikeras mengatakan bahwa
keberhasilan yang dialami oleh rekan-rekan yang
mempraktikkan apa yang kami bagikan di SC
hanyalah kebetulan. Pembaca ini merasa bahwa
sukses itu nggak mudah. Sukses hanya bisa diraih
dengan perjuangan keras dan kalau perlu sampai
“berdarah-darah”.
Melalui percakapan yang cukup intens selama
hampir setengah jam saya menjelaskan prinsip
kerja LOA. Salah satu hal yang saya sampaikan
padanya adalah, “Do you want to be successful
through the hard way or easy way?” Keberhasilan
akan sangat sulit dicapai, atau membutuhkan
upaya yang sangat keras (massive action), bila
kita bekerja tidak sejalan dengan LOA.
Banyak orang yang kurang atau tidak mengerti
mengenai cara kerja LOA. Akibatnya mereka
menggunakan LOA secara tidak sadar (by
default) dan membuat hidup mereka menderita.
Ada juga orang yang walaupun tidak menyadari
adanya LOA namun mereka dapat
menggunakannya untuk kemajuan hidup mereka.

Melalui artikel ini saya ingin menjelaskan lebih


detil mengenai LOA dan bagaimana kita, dengan
pemahaman yang benar mengenai LOA, akan
dapat menggunakan LOA untuk kemajuan kita di
berbagai aspek kehidupan.
Untuk bisa mengerti cara kerja LOA kita perlu
mengetahui cara kerja pikiran. Pikiran
mempunyai vibrasi. Dan apapun yang kita
pikirkan akan dikirim ke semesta alam dalam
bentuk sinyal yang akan menarik segala sesuatu
yang sejalan dengan vibrasi pikiran kita. Likes
attract likes. Dengan memahami hal ini maka
apapun yang terjadi dalam hidup kita baik yang
positif dan negatif adalah akibat dari hasil kerja
LOA yang diaktifkan dan diarahkan oleh pikiran
kita.
Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah
sifat LOA yang selalu ”on”. ”Selalu” artinya tiap
detik selama kita hidup dan pikiran masih
bekerja maka LOA akan aktif.
Untuk mudahnya saya berikan ilustrasi berikut.
Bayangkan anda bekerja, sebagai seorang
manajer, di stasiun televisi. Tugas anda
menentukan materi siaran yang akan ditayangkan
secara live. Anda bebas menentukan apa jenis
materinya. Setiap materi yang akan disiarkan
akan ditampilkan di layar monitor dan setelah itu
akan di-broadcast dengan satelit ke seluruh dunia.
Anda mendapat materi siaran dari dua tim yang
berbeda. Ada tim A dan tim B. Apapun usulan
materi siaran yang mereka ajukan, andalah yang
berhak menentukan pilihannya.
Apa yang saya jelaskan di atas sama dengan cara
kerja pikiran. Anda, pada ilustrasi di atas adalah
kesadaran diri. Tim A adalah pikiran sadar dan
Tim B adalah pikiran bawah sadar. Layar
monitor adalah layar mental/pikiran anda. Dan
karena sifat siarannya adalah live maka apapun
yang muncul di layar monitor akan langsung
disiarkan tanpa sensor sama sekali.
Namun jangan khawatir. Walaupun apa yang ada
di pikiran akan selalu disiarkan hal ini tidak
berarti kita akan langsung bisa mendapatkan
atau menarik hal-hal yang ada di pikiran kita ke
dalam realita fisik kita. Dengan bahasa yang lebih
sederhana ada waktu jeda/time-delay antara saat
kita mem-broadcast materi pikiran dan saat kita
mendapatkan apa yang kita broadcast.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa ada
lebih banyak orang yang hidupnya susah
dibandingkan dengan orang yang bahagia?
Mengapa lebih banyak orang yang gagal
dibandingkan dengan yang sukses?
Dengan memahami cara kerja LOA maka akan
sangat mudah menjawab pertanyaan ini. Orang
gagal/susah adalah orang yang menggunakan
LOA untuk menarik hal-hal yang justru tidak
mereka inginkan. Sedangkan orang
sukses/bahagia adalah orang yang, baik secara
sadar atau tidak, menggunakan LOA untuk
menarik hal-hal yang mereka inginkan.
Anda bisa membantah saya dengan berkata,
“Lha, Pak, siapa yang mau hidup susah. Hanya
orang edan saja yang mau hidup susah. Bukankah
orang yang gagal atau hidup susah itu juga telah
berusaha keras untuk bisa sukses/bahagia?”
Anda benar sekali dan juga keliru. Anda benar
bahwa tidak ada orang yang mau gagal. Namun
anda keliru jika hanya menilai seseorang
berdasar tindakan atau ucapannya. Mengapa bisa
begitu? Karena LOA tidak memberikan respon
pada tindakan atau ucapan. LOA hanya
memberikan respon pada (vibrasi) pikiran yang
mendasari tindakan atau ucapan. Anda jelas
sekarang? Yang paling penting adalah pikiran di
balik setiap tindakan atau ucapan kita.
Pikiran mempunyai dua outlet yaitu ucapan dan
tindakan. Jadi, apapun yang kita ucapkan dan
lakukan selalu diawali dengan pikiran. Untuk bisa
menggunakan LOA demi kemajuan kita maka
yang perlu kita benahi dan tingkatkan adalah
kualitas berpikir kita. Bukan ucapan atau
tindakan kita.
Anda mungkin ingat cerita mengenai seorang
wanita yang sangat membenci ibunya. Sejak kecil
wanita ini memutuskan bahwa kelak saat dewasa
ia tidak ingin menjadi seperti ibunya. Keinginan
untuk tidak menjadi seperti ibunya begitu kuat
tertanam di pikiran si wanita ini. Setelah dewasa
apa yang terjadi? Wanita ini menjadi serupa
dengan ibunya. Lha, kok bisa? Ini adalah salah
satu bentuk dari hasil kerja LOA. Dengan tidak
ingin menjadi seperti ibunya maka yang muncul
di layar mentalnya adalah si ibu. Wanita ini
secara tidak sadar telah memberikan perhatian,
fokus, dan energi dalam bentuk emosi kepada
buah pikirnya. Sehingga ia mendapatkan hasil
yang seakan-akan bertentangan dengan
keinginannya.
Dari umpan balik yang saya terima dari para
alumnus SC, sudah ada 3 (tiga) orang yang
mendapatkan mobil gratis. Dua alumnus
mendapat hadiah dari kawan mereka padahal
mereka sama sekali tidak meminta. Sedangkan
yang satunya mendapatkannya dari sebuah bank.
Yang lebih istimewa dari kawan kami yang dapat
mobil dari bank yaitu saldonya hanya sebesar Rp.
300.000 saja.
Anda mungkin bingung dan bertanya, ”Ah, yang
benar saja. Masa semudah ini?”. Pertanyaan ini
juga yang sering muncul di pikiran saya dan
kawan-kawan yang ”beruntung”. Kita mengalami
LOA namun kita tetap masih begitu terkagum-
kagum.
Di SC kami mengajarkan 5 langkah sukses yang
menjadi intisari apa yang kami tulis di buku
Becoming a Money Magnet yaitu 1) Tahu apa
yang diinginkan/Dream, 2) Yakin, 3) Syukur, 4)
Pasrah, dan 5) Doa.
Sederhana, bukan?
Apakah dengan mengetahui dream berarti kita
bisa langsung mendapatkan apa yang kita
inginkan dengan bantuan LOA? Belum bisa. Ada
syarat lain yang harus dipenuhi. Apa itu ? Buah
pikir (thought) bila hanya dipikirkan ”apa
adanya” akan mempunyai efek tarikan yang kecil.
Untuk bisa memperbesar efek tarikannya, dengan
demikian mempercepat realisasi pikiran-menjadi-
realita fisik, dibutuhkan bantuan emosi sebagai
booster. Emosi yang dimaksud bisa berupa emosi
positif maupun yang negatif.
Sekarang coba kita lihat hidup kebanyakan orang
yang ”biasa-biasa”. Mereka biasanya salah
menggunakan pikiran mereka. Apa maksudnya?
Pikiran tidak mengenal garis waktu yang
membagi waktu menjadi masa lalu, sekarang, dan
masa depan. Yang ada hanya satu waktu saja
yaitu saat ini, the moment. Kebanyakan orang
hidup di masa lalu mereka. Yang mereka ingat
sering kali adalah pengalaman buruk, kegagalan,
dan atau kejadian traumatik yang pernah mereka
alami. Kalaupun mereka ”melihat” ke masa
depan maka yang dilihat adalah juga sesuatu yang
suram dan tidak menyenangkan.
Sekali lagi, pikiran hanya mengenal ”saat ini”.
Saat kita memikirkan kejadian di masa lalu
maupun sesuatu yang kita antisipasi di masa
depan maka semua bentuk pikiran ini langsung
muncul di layar monitor kita. Apa yang terjadi
setelah itu? Benar sekali. Apa yang ada di layar
monitor (pikiran) langsung disiarkan. Selanjutnya
apa yang terjadi? Dengan ”bantuan” LOA kita
akan menarik segala sesuatu yang sejalan dengan
vibrasi buah pikir kita.
Oh ya satu hal yang perlu saya tekankan adalah
bila saya berbicara mengenai pikiran maka saya
selalu mengacu pada kedua pikiran yaitu pikiran
sadar dan bawah sadar. Pengalaman klinis
membuktikan bahwa yang mendominasi pikiran
kita adalah pikiran bawah sadar yang
kekuatannya sembilan kali lebih kuat dari pikiran
sadar.
Jika kita ingin membuat LOA bekerja maksimal
maka kita perlu membereskan berbagai mental
block yang ada di pikiran bawah sadar. Seringkali
apa yang kita pikirkan secara sadar, misalnya
ingin sukses, ternyata bertentangan dengan buah
pikir yang ada di pikiran bawah sadar.
Yang terjadi selanjutnya adalah kita mem-
broadcast dua macam vibrasi pikiran. Yang satu
ingin kita sukses dan yang satu lagi tidak ingin
kita sukses. Mana yang lebih kuat efeknya? Sudah
tentu vibrasi dari pikiran bawah sadar. Mengapa?
Karena buah pikir dari pikiran bawah sadar telah
di-charge dengan emosi.
Nah, setelah mengetahui hubungan antara pikiran
dan LOA lalu apa yang bisa kita lakukan untuk
memanfaatkan LOA untuk kemajuan kita?
Kuncinya satu yaitu kesadaran diri. Kita harus
berusaha selalu sadar untuk mengarahkan
pikiran kita untuk hanya memikirkan hal-hal
yang kita inginkan.
Pada artikel selanjutnya saya akan membahas
lebih dalam lagi mengenai The Law of Attraction.
The Law of Attraction (2)
Your thoughts and your feelings create your life.
It will always be that way. Guaranteed!
~Lisa Nichols
Pada akhir artikel sebelumnya saya mengatakan
bahwa kunci untuk memanfaatkan LOA demi
kemajuan kita adalah dengan kesadaran diri. Kita
harus selalu sadar untuk senantiasa mengarahkan
pikiran kita untuk memikirkan hal-hal yang kita
inginkan.
Apakah ini mudah? Oh, sudah tentu tidak mudah.
Deepak Chopra pernah berkata bahwa dalam
satu hari kita melakukan self-talk sebanyak
55.000 – 65.000 kali. Nah, self-talk ini termasuk
bentuk pikiran. Pertanyaannya sekarang,
”Bagaimana caranya kita bisa menggunakan
kesadaran untuk mengendalikan buah pikir
sebanyak ini?” Jawabannya, ”Tidak mungkin
bisa”.
Jawaban ini berlaku bagi orang awam. Ada
segelintir orang yang mampu mengendalikan
pikiran mereka sepenuhnya. Namun untuk bisa
mencapai kemampuan ini dibutuhkan latihan
dengan disiplin diri yang tinggi selama bertahun-
tahun.
Sekarang kita hidup di jaman serba instan. Saya
yakin tidak ada satupun di antara kita yang mau
melakukan latihan mental semacam itu. Apakah
ada cara yang lebih mudah dan nggak usah kerja
keras? Ada. Mau tahu? Gunakan perasaan atau
emosi sebagai Guiding System.
Beberapa waktu lalu saya sempat menulis artikel
dengan judul ”Emosi: Kunci Rahasia
Kebijaksanaan”. Saya sangat menyarankan anda
untuk membaca artikel ini agar bisa lebih
memahami apa yang saya uraikan di artikel ini.
Kembali ke laptop... eh salah... ke perasaan.
Karena kita tidak mungkin mengawasi satu per
satu pikiran yang muncul maka cara paling
mudah adalah dengan selalu mengawasi perasaan
kita. Bagaimana caranya? Mudah saja. Jika kita
merasa senang, bahagia, gembira, atau
gampangnya merasa ”enak” maka ini artinya
baik. Jika perasaan yang kita rasakan bersifat
negatif (tidak ”enak”) maka ini sebenarnya
merupakan warning signal dari Guiding System
kita bahwa ada bagian, di pikiran bawah sadar,
yang kerjanya tidak in-line.
Saat emosi kita muncul terhadap sesuatu objek,
objek apapun termasuk objek pikiran, maka pada
saat itu kita mengaktifkan dan memberikan
”perintah” pada LOA untuk mulai bekerja dan
menarik hal-hal yang membuat munculnya
perasaan kita.
Contohnya begini. Ada seorang wanita yang baru
putus cinta. Hatinya sakit bak disayat sembilu.
Emosinya bergejolak. Saat itu ia memutuskan
bahwa ia ingin mendapat pasangan yang jauh
lebih baik daripada mantan kekasihnya yang
brengsek, kurang ajar, nggak tahu diri, dan egois.
Selang beberapa bulan apa yang terjadi?
Benar. Wanita ini mendapatkan pasangan yang
kurang lebih sama dengan mantan kekasihnya.
Lha, kok bisa begitu? Bukankah ia ingin
mendapatkan pasangan yang lebih baik?
Bukankah ia ingin bahagia?
Sekali lagi, anda benar. Namun wanita ini secara
tidak sadar telah mengaktifkan LOA untuk
menarik pria yang justru tidak ia inginkan.
Mengapa bisa terjadi? Saat ia memutuskan
bahwa ia ingin mendapatkan pasangan yang
”tidak seperti” mantan kekasihnya maka yang
muncul di layar mentalnya justru gambar mantan
kekasihnya. Begitu gambarnya muncul maka
semua emosi yang berhubungan dengan
pengalaman negatifnya juga ikut muncul.
Akibatnya? LOA bekerja mewujudkan apa yang
menjadi fokus perhatian dengan muatan emosi
terkuat.
Beberapa waktu lalu saya mendapat telpon dari
seorang pembaca buku Becoming a Money
Magnet (BMM). Ibu ini, sebut saja Yuni, tinggal
di Surabaya dan kebetulan seorang dokter. Ibu
Yuni bercerita mengenai anaknya yang berusia 2
tahun yang sangat susah makan. Sudah sangat
banyak cara ia coba agar bisa membuat anaknya
mau makan. Namun selalu gagal.
Nah, setelah Ibu Yuni membaca buku BMM ia
mencoba melakukan pendekatan yang berbeda.
Selama ini yang ada dipikiran Ibu Yuni adalah,
”Anak saya susah makan”. Dan sesuai dengan
prinsip kerja LOA itulah yang ia dapatkan.
Perubahan terjadi saat Ibu Yuni, di pagi hari,
mengubah pola pikirnya. Pagi ini Ibu Yuni mulai
berpikir bahwa, “Anak saya suka makan dan
pintar makan”. Dengan mindset seperti ini Ibu
Yuni mulai menyiapkan sarapan pagi putranya.
Hasilnya? Ibu Yuni bingung dan bengong.
Anaknya, padahal nggak di-apa-apain, pagi itu
langsung makan sarapannya dengan lahap.
Satu contoh lagi. Mengapa orang kaya makin
kaya dan orang miskin makin miskin? Orang
miskin, pada umumnya, hanya memikirkan needs
(kebutuhan). Orang kaya memikirkan wants
(keinginan). Ada perbedaan yang signifikan
antara needs dan wants.
Needs mencerminkan kondisi kita saat ini, what-
it-is. Sedangkan wants mewakili kondisi what-it-
shall-be. Karena dasar pikirannya berbeda maka
bisa anda bayangkan bagaimana gambar yang
muncul di monitor pikiran? Yang selalu di-
broadcast oleh pikiran orang miskin adalah
kondisi mereka yang serba minim, kekurangan,
dan menderita. Dengan demikian gambar mental
ini mengaktifkan emosi negatif yang semakin
memperkuat kerja LOA. Mereka dapatkan apa
yang mereka ”minta”
Berbeda dengan orang kaya. Yang mereka
pikirkan adalah apa yang mereka inginkan
(wants). Emosi yang muncul adalah emosi positif.
Akibatnya? Mereka menjadi semakin kaya.
Anda mungkin berkata, ”Lho, Pak, saya kenal
ada orang miskin yang juga senantiasa
memikirkan wants, lho. Tapi kenapa hidupnya
kok ya tetap susah?”
Ingat, LOA memberikan respon pada vibrasi
pikiran yang mendasari setiap ucapan dan
tindakan. Bisa saja orang miskin ini memikirkan
wants. Tapi dasar pemikiran mereka bukan demi
kebahagiaan namun lebih agar mereka bisa
”terbebas” dari himpitan kemiskinan. Nah, yang
dominan sebenarnya apakah wants atau needs?
Yang ada di pikiran orang miskin ini adalah
scarcity (kekurangan) bukan abundance
(keberlimpahan).
Lalu bagaimana dengan nasib sial yang
beruntun? Wah, kalau ini jawabannya agak
susah. Bagi yang sering mengalami sial atau
ketidakberuntungan, misalnya musibah, sakit,
masalah, dan yang lainnya, maka saran saya
adalah anda harus segera cari orang pintar untuk
di-ciswak atau di-ruwat. He..he...kalau yang ini
jangan ditanggapi serius. Ini hanya bercanda.
Nah, kembali ke masalah nasib sial yang
beruntun. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebelum saya jelaskan, saya akan berikan contoh
kasus nyata yang pernah saya tangani.
Seorang pengusaha besar, Pak Agung, datang ke
tempat saya, diantar oleh rekannya yang
kebetulan juga kawan saya. Pak Agung mengeluh
bahwa sudah dua tahun lebih ia mengalami
depresi. Usahanya merosot hanya tinggal 30%
dari biasanya. Orang terbaiknya keluar dan ia
mendapatkan banyak hambatan/musibah dalam
usahanya.
Melalui in-depth interview saya akhirnya
menemukan akar masalahnya. Ceritanya begini.
Dua tahun lalu Pak Agung pergi ke salon di
sebuah hotel bintang lima. Pak Agung berniat
memotong rambutnya. Saat itu ada beberapa
orang yang juga sedang dipotong rambutnya.
Tiba-tiba salah satu dari tamu itu terbatuk-batuk,
gemetar, napasnya sesak, dan jatuh dari kursi.
Semua yang ada di salon itu panik dan tidak ada
yang berani mendekat. Pak Agung duduk persis
di samping tamu ini.
Dengan terpaksa Pak Agung berusaha membantu
tamu yang sakit ini. Lima belas menit kemudian
tamu ini tubuhnya membiru dan meninggal.
Ternyata ia kena serangan jantung. Nah,
celakanya Pak Agung mempunyai belief bahwa
bila ia berada di samping orang yang meninggal
maka ini merupakan pertanda sangat buruk. Ini
benar-benar apes yang sangat berat. Ia meyakini
hal ini. Emosinya bergejolak.
Sejak saat itu Pak Agung mulai mengalami
banyak ”kesialan” dalam hidupnya. Dan
”kesialan” ini semakin lama semakin banyak dan
beruntun. Seakan-akan seperti sebuah downward
spiral yang semakin lama semakin cepat menarik
Pak Agung turun.
Apa yang saya lakukan untuk membantu Pak
Agung. Sederhana saja. Saya tidak menggunakan
hipnosis/hipnoterapi karena beberapa alasan.
Salah satunya adalah karena Pak Agung belum
bersedia diterapi dengan hipnoterapi. Salah dua
adalah karena Pak Agung masih minum obat
penenang sehingga kesadarannya tidak bekerja
optimal.
Saya hanya menyarankan Pak Agung untuk
mulai memikirkan hal-hal yang ia inginkan.
Bukan hal-hal yang justru tidak ia inginkan.
Tujuannya untuk menghentikan suplai energi ke
pikiran ”sial” dan mulai mengarahkan energi
pikirannya ke ”keberuntungan”.
Pak Agung mengakui bahwa sulit baginya untuk
melakukan hal ini. Saya bisa menyadari
kesulitannya karena daya kerja LOA telah begitu
kuat mencengkram pikirannya. Selanjutnya yang
bisa saya sarankan adalah untuk mengalihkan
pikirannya ke hal-hal yang, bila ia lakukan, akan
menimbulkan perasaan senang, tenang, damai,
atau bahagia. Pokoknya hal-hal apa saja yang
bisa membuatnya feel good. Teknik ini dikenal
dengan nama distraction.
Apa itu? Misalnya karaoke, bermain dengan
anak, memelihara ikan, merawat bunga/tanaman,
liburan, nonton film, jalan ke mall, berdoa,
meditasi, atau apa saja.
Setelah membaca uraian di atas saya yakin anda
kini pasti mengerti mengapa ”nasib” seseorang
bisa berubah setelah di-ciswak atau diruwat.
Prosesi ciswak atau ruwatan ini sebenarnya
hanyalah tool untuk meyakinkan pikiran
seseorang sehingga fokusnya berubah dari yang
sebelumnya berpikiran negatif ke pikiran yang
positif. Dengan demikian, sesuai dengan prinsip
kerja LOA, orang ini mulai menarik hal-hal
positif ke dalam hidupnya. Dengan demikian
nasibnya berubah.
Misalnya anda pengusaha dan anda merasa nasib
anda sial terus. Lalu anda memutuskan menjalani
ruwatan. Eh... ternyata usaha anda masih rugi ,
katakanlah, Rp. 1 miliar. Pikiran anda akan
berkata, ”Untung sudah diruwat. Coba kalau
nggak. Wah saya bisa rugi Rp. 10 miliar. Karena
sudah mengalami kerugian maka sialnya sudah
lewat. Setelah ini pasti yang datang hanyalah
keberuntungan”. Dengan mindset seperti ini
sudah tentu anda akan mengalami
keberuntungan.
Sebagai penutup saya ingin berbagi cerita
mengenai kawan saya. Sebut saja namanya Pak
Hari. Pak Hari adalah kepala kantor wilayah
salah satu bank plat merah terbesar di Indonesia.
Beliau mencapai posisi ini dengan mudah dan
lancar. Bahkan beliau adalah kakanwil termuda
dalam sejarah bank ini. Pak Hari ini memang
sangat luar biasa kepribadiannya. Low profile
tapi high profit.
Karena penasaran mendengar perjalanan
karirnya saya lalu bertanya hal apa saja yang ia
lakukan untuk bisa mencapai posisinya sekarang.
Beliau memang tipe orang yang suka kerja keras.
Namun ada satu hal yang berbeda yang akhirnya
saya temukan. Apa itu? Beliau adalah seorang
muslim yang taat. Selalu melakukan sholat lima
waktu. Yang istimewanya, setiap selesai
menyelesaikan sholat, beliau selalu memanjatkan
doa, yang saya simpulkan sebagai afirmasi yang
sangat dahsyat yang membuat LOA bekerja
mendukung dirinya.
Apa doanya? Sederhana dan singkat. Beliau tidak
minta macam-macam. Doa atau afirmasi yang
selalu beliau panjatkan kepada Sang Hidup
adalah, ”Ya, Allah, saya mohon agar dimudahkan
jalanku”.
Pada artikel berikutnya saya akan menjelaskan
cara untuk mendapatkan hasil spektakular tanpa
harus mengubah belief.
The Law of Attraction (3)
Giving thought, on the one hand, and expecting or
believing, on the other hand, is the balance that
brings to you that which you receive
Pada artikel pertama mengenai LOA saya telah
menyinggung sekilas mengenai prinsip sukses
yang saya tulis di buku Becoming a Money
Magnet (BMM) dan yang menjadi intisari dari
materi yang diajarkan di Supercamp (SC)
Becoming a Money Magnet. Pada kesempatan ini
saya akan menguraikan sedikit lebih mendalam
mengenai prinsip sukses BMM, mengapa kami
menyusunnya sedemikian rupa, dan hubungannya
dengan LOA.
Rumus sukses yang kami ajarkan adalah 1) Tahu
apa yang diinginkan/dream, 2) Yakin, 3) Syukur,
4) Pasrah, dan 5) Doa.
Langkah pertama “Tahu apa yang diinginkan”,
atau mudahnya kita sebut saja dream, merupakan
kunci untuk bisa merealisasikan hal-hal yang
ingin dicapai dalam hidup. Bagaimana kita bisa
mendapatkan apa yang kita inginkan kalau kita
tidak jelas apa yang kita inginkan? Kejelasan
(clarity) merupakan kunci dan tidak bisa ditawar.
Dream merupakan buah pikir (thought) yang
akan tampil di layar mental dan selanjutnya di-
broadcast. Apakah hanya dream saja cukup?
Tentu tidak. Dream yang kami maksudkan adalah
dream yang mempunyai muatan emosi positif
yang tinggi. Semakin tinggi akan semakin kuat
efeknya.
Mengapa perlu dream? Alasan lainnya adalah
dream merupakan wants bukan needs. Jika kita
ditanya apa impian kita maka kita pasti akan
menjawab sesuatu yang sangat kita inginkan di
masa depan. Jika kita sudah punya mobil Kijang
Inova maka dream kita bisa jadi Toyota Fortuner.
Pasti sesuatu yang lebih tinggi. Nah, dengan
pemahaman ini maka sudah jelas dream sangat
penting.
Langkah kedua adalah yakin. Nah, ini yang susah.
Yakin atau belief adalah urusan pikiran bawah
sadar. Tidak mudah untuk bisa mengubah belief
atau keyakinan kita. Itulah sebabnya mengapa
banyak orang tahu apa yang mereka inginkan
namun sangat sulit untuk mendapatkan impian
mereka. Syarat pertama sudah terpenuhi. Mereka
tahu apa yang mereka inginkan. Namun mereka
tidak yakin. Terjadi konflik antara pikiran sadar
dan bawah sadar. Pikiran sadar mau tapi pikiran
sadar nggak yakin. Dan yang selalu menang
adalah pikiran bawah sadar.
Saya mendapat banyak sekali respon positif dari
para alumnus SC yang mengatakan bahwa,
”Miracle happens in my life” , ”Mengapa
sekarang sukses kok sangat mudah dicapai?”,
”Saya bingung melihat perkembangan bisnis saya
yang sedemikian pesat?”, ”Dulu saya susah payah
mencari order, sekarang saya kepayahan dikejar-
kejar order”. Dan masih banyak lagi komentar
positif senada yang dikirim baik via sms maupun
email ke saya.
Di SC di Trawas baru-baru ini kami melihat
begitu banyak peserta yang mengalami
transformasi diri. Kami menangis tangis bahagia
bersama-sama. Sungguh satu kebahagiaan yang
tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata saat
melihat para naga bangun dari mimpi yang
selama ini membuat mereka bertindak hanya
seperti layaknya cacing atau ular.
Apa yang kami lakukan di SC sebenarnya
sederhana. Kami membantu para peserta untuk
bisa keluar dari penjara mental yang telah sekian
tahun membatasi mereka. Hanya itu. Setelah
terbebas dari penjara mental (limiting belief)
maka mereka bisa yakin. Dengan demikian dua
langkah pertama telah berhasil dicapai.
Sebenarnya hanya dengan dua langkah ini saja,
dream dan yakin, kita sudah bisa berhasil. Dua
langkah ini sudah memenuhi syarat untuk bisa
membuat LOA bekerja keras untuk kita.
Sebelum melanjutkan saya ingin membahas
sedikit lebih dalam mengenai dream dan
yakin/belief.
Dalam kondisi normal perkembangan diri kita
bersifat gradual, perlahan-lahan, step by step.
Demikian juga dengan belief. Itulah sebabnya
goal setting ... eh.. salah... outcome setting harus
dilakukan dengan hati-hati. Idealnya kita menset
outcome paling tinggi 20% lebih tinggi dari
pencapaian sebelumnya. Mengapa demikian?
Karena ini adalah lompatan yang masih dianggap
wajar/masuk akal oleh pikiran kita. Dengan
demikian tidak akan ditolak.
Dalam kondisi normal, bila kita ingin mencapai
hasil yang spektakuler, jauh di atas pencapaian
yang selama ini kita capai, suatu quantum leap,
maka yang perlu diotak-atik bukan belief kita.
Mengapa? Karena dalam kondisi normal belief
kita tidak bisa berubah drastis.
Nah, karena belief tidak bisa berubah drastis
maka yang direkayasa adalah ”keinginan” kita
untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Bingung? Ini saya beri satu contoh.
Anda mungkin pernah mendengar cerita
mengenai seorang wanita yang mampu
mengangkat mobil demi membebaskan anaknya
yang terjepit di bawah mobil itu? Secara logika
atau belief wanita ini tidak mungkin ia mampu
mengangkat mobil yang berat. Namun ia sangat
ingin menyelamatkan nyawa anaknya. Satu-
satunya cara adalah dengan mengangkat mobil
dan membebaskan si anak dari himpitan mobil.
Hasilnya? Ia sukses mengangkat mobil itu. Jika ia
diminta mengulangi lagi, apakah bisa? Tidak bisa.

Dengan kata lain, bila ”keinginan” benar-benar


kuat maka pengaruh belief dapat di-by-pass
sehingga kita bisa mendapatkan apa yang kita
inginkan.
Di SC kita mengajarkan peserta untuk berani
menetapkan outcome 2 X lipat (200%) dari
pencapaian sebelumnya. Edukasi ini dilakukan
langsung ke pikiran bawah sadar.
Mengapa kami melakukan hal ini? Jawabannya
sederhana. Untuk bisa mencapai hasil yang
spekatuler atau quantum leap maka kita harus
melepas belief lama dan mengadopsi belief baru
yang mendukung pencapaian tujuan. Hanya ini
caranya. Tidak ada cara lain. Ini hanya bisa
dilakukan dengan melakukan rekonstruksi atau
restrukturisasi berbagai program pikiran yang
ada di pikiran bawah sadar.
Nah, setelah langkah pertama, dream, dan
langkah kedua, yakin/belief, saya jelaskan maka
kini saya akan menjelaskan langkah ketiga yaitu
syukur.
Pertanyaannya, ”Mengapa syukur? Mengapa
bukan yang lain?”
Syukur mempuyai makna: 1) rasa terima kasih
kepada Tuhan, dan 2) pernyataan lega, senang,
dan sebagainya.
Setelah melewati langkah pertama dan kedua
sebenarnya kemampuan peserta SC untuk
menarik hal-hal yang mereka inginkan sudah
sangat kuat. Kemampuan ini semakin diperkuat
dengan level energi yang sangat tinggi dari
perasaan syukur. Jika kita punya dream dan kita
yakin bahwa kita pasti akan mendapatkan apa
yang kita inginkan, atas ijin Tuhan, maka yang
perlu kita lakukan tinggal bersyukur dan
bersyukur. Bersyukur berarti kita senantiasa
berterima kasih atas kemurahan Tuhan.
Bersyukur berarti kita merasa lega, senang,
gembira, bahagia, dan damai karena kita tahu
bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita
inginkan. Level energinya sangat tinggi, bisa
mencapai 600. Bagi pembaca yang bingung
mengenai level energi, anda bisa membaca artikel
saya yang terdahulu yang berjudul ”Energi Psikis
Sebagai Akselerator Keberhasilan”.
Setelah bersyukur maka selanjutnya kita pasrah.
Kapan kita mendapatkan apa yang kita inginkan
ini sepenuhnya bergantung pada Yang Kuasa,
melalui kerja LOA. Dengan pasrah, kita justru
semakin memperkuat kerja LOA.
Langkah terakhir adalah doa. Mengapa saya
tidak menempatkan doa sebagai langkah awal?
Karena sudah terlalu banyak orang yang berdoa
namun tidak mendapatkan jawaban untuk doa
mereka. Mungkin anda juga pernah
mengalaminya. Mengapa bisa begitu? Karena
kebanyakan orang tidak tahu apa yang mereka
inginkan (dream). Kalaupun mereka tahu,
mereka tidak yakin bisa mendapatkan dream
mereka. Akibatnya mereka tidak bisa bersyukur
karena tidak pernah mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Dan selanjutnya mereka juga
nggak pasrah. Banyak orang yang mengaku
pasrah namun sebenarnya tidak. Hal ini
tercermin dari sikap mereka yang cenderung
negatif dan suka mengeluh.
Dengan menempatkan doa pada bagian akhir
justru saya ingin mengatakan bahwa doa inilah
yang paling penting. Mengapa? Karena definisi
doa yang saya tawarkan berbeda. Ini menurut
saya pribadi lho. Anda boleh setuju boleh juga
tidak. Doa kita kepada Sang Hidup sebenarnya
berupa pola pikir, ucapan, tindakan, sikap,
perilaku, harapan, dan hidup keseharian kita.
Setelah membaca sejauh ini pasti anda bingung
dan bertanya, “Lho, Pak Adi kok sama sekali
tidak bicara mengenai action atau kerja?”.
He..he... sudah tentu kita perlu kerja. Namun jika
telah menggunakan bantuan LOA untuk
mencapai keberhasilan hidup maka kerjanya kita
bisa sangat minim. Nggak usahlah melakukan
massive action. Capek ah.. kalau terus-terusan
massive action. Cukup action-action seperlunya
saja lah. Inilah yang saya jelaskan panjang lebar
di buku BMM. Anda akan mengalami berbagai
kebetulan yang tidak kebetulan yang kebetulan
mempermudah pencapaian tujuan anda dengan
cara yang sangat kebetulan.
Lha, kalau bisa dibuat mudah mengapa harus
dipersulit? Gitu aja kok repot?
Oh ya... mengakhiri seri tulisan ini, The Law of
Attraction, saya sangat menyarankan anda untuk
bisa segera membeli dan membaca buku The
Secret yang ditulis oleh Rhonda Byrne. Buku ini
sudah diterbitkan oleh Gramedia. Selain itu anda
juga perlu menonton video The Secret yang
merupakan satu video sangat dahsyat yang akan
membuka wawasan berpikir anda mengenai
LOA.
Quitters Can Win
Pembaca, saya yakin anda pasti pernah
mendengar ungkapan, “Winners never quit and
quitters never win”, yang jika diterjemahkan
menjadi, “Pemenang tidak pernah berhenti
(mencoba) dan pecundang tidak akan pernah
menang (karena berhenti mencoba)”.
Tahukah anda siapa tokoh terkenal yang
mendeklarasikan pernyataan di atas? Benar
sekali. Beliau adalah Vince Lombardi, pelatih
sepakbola Amerika yang mashyur.
Mungkin anda juga pernah mendengar perdana
menteri Inggris, saat perang dunia kedua, Sir
Winston Churchill berkata, “Never, never, never
quit”.
Nah, pertanyaan saya sekarang adalah, “Apakah
anda yakin dan percaya serta menerima
sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kedua tokoh
ini?”
Saya dulu sangat percaya. Bahkan saya
menambahkannya dengan pernyataan, “Sukses
diukur bukan dari tingginya pencapaian. Sukses
diukur lebih berdasarkan seberapa besar
hambatan yang berhasil kita atasi dalam proses
mencapai sukses” dan “Tidak penting berapa kali
anda jatuh, yang penting adalah berapa kali anda
bangkit kembali setelah anda jatuh”.
Lengkaplah sudah keyakinan saya ini. Berbekal
keyakinan ini saya membuat keputusan untuk
terus maju tak gentar membela yang benar… eh
salah.. tak gentar menghadapi berbagai hambatan
dan kesulitan dalam proses menuju sukses yang
saya idamkan.
Setiap kali saya ingin berhenti, selalu tidak bisa.
Mengapa? Ya itu tadi. Katanya, “Winners never
quit and quitters never win”. Jika saya berhenti
maka saya menjadi seorang pecundang. Wah…
siapa yang mau jadi pecundang? Karena tidak
mau dikatakan sebagai pecundang inilah yang
membuat saya terus maju tak gentar, selama
tujuh tahun, mengejar impian tanpa melakukan
analisis kritis terhadap situasi dan kondisi
kehidupan pribadi saya. Saya menggunakan jurus
“pokoke”. Pokoke maju terus.
Semua ini diperparah lagi dengan kepercayaan
“Tidak ada orang gagal. Semua orang pada
dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena
mereka berhenti terlalu cepat”. Ck.. ck.. ck…
betapa berbahayanya kepercayaan ini.
Nah, pembaca, setelah mendengar sekilas kisah
saya, dan melihat judul artikel ini saya yakin anda
pasti tahu ke mana arah pembahasan yang akan
saya lakukan. Sebelum saya teruskan saya ingin
bertanya kepada anda. Anda jawab jujur ya.
Apakah anda juga pernah atau sedang mengalami
hal yang sama seperti yang saya alami?
Bersyukurlah bila anda belum. Bersyukurlah juga
bila ternyata anda telah mengalaminya seperti
saya. He..he..anda tidak sendirian.
Pertanyaan kritis yang seharusnya kita ajukan
adalah, “Benarkah winners never quit and
quitters never win?” Bagaimana kalau
pernyataan Vince Lombardi di atas kita plesetkan
sedikit menjadi “Quitters can win if they know the
right reasons, the right way,and the right time to
quit ”.
Saya mendapat banyak email dan sms dari
pembaca buku saya. Saya melihat satu pola yang
sama yaitu umumnya mereka berkeluh kesah
mengenai hidup mereka. Ada juga yang mengeluh
mengenai bisnis yang sedang mereka jalankan.
Bisnis ini telah dijalani selama beberapa tahun
tapi belum membuahkan hasil seperti yang
mereka inginkan. Mereka sangat ingin berhenti
tapi nggak bisa. Alasannya nanggung nih… sudah
dijalankan beberapa tahun. Kan sayang kalau
berhenti di tengah jalan. Waktu saya kejar lebih
jauh ternyata mereka meyakini apa yang telah
saya uraikan di atas. Intinya, jika berhenti
mereka akan menjadi pecundang. Benarkah
seperti itu?
Keengganan berhenti atau quit juga terjadi di
aspek kehidupan lain. Ada seorang rekan yang
telah menjalin hubungan dengan seseorang pria
selama hampir sepuluh tahun, dan dia tahu
hubungan ini tidak akan ke mana-mana, dan dia
tahu pacarnya ini bukan tipe pria yang
bertanggung jawab, namun ia tidak berani quit
atau memutuskan untuk putus. Waktu saya tanya
apa alasannya kok nggak berani putus dan cari
pasangan lain yang lebih cocok, jawaban yang
saya terima sungguh mengejutkan saya, “Lha,
saya kan sudah pacaran hampir sepuluh tahun.
Kalau harus memulai dari awal lagi rasanya berat
bagi saya. Selain itu usia saya sekarang juga
sudah hampir 30 tahun. Sulit mencari pasangan
dengan usia saya sekarang ini. Rugi dong kalo
saya berhenti sekarang”.
Wah… ini jawaban yang kurang pas. Menikah
kan untuk seterusnya. Lha, kalau ternyata waktu
pacaran saja sudah begini modelnya trus.. mau
jadi apa nanti waktu sudah menikah? Saya hanya
bisa geleng-geleng kepala saja karena bingung.
Kalau dilihat sepintas rekan saya ini tampaknya
nggak mau rugi. Mungkin masa pacaran yang
sudah sepuluh tahun ini dianggap sebagai masa
investasi. Dengan demikian ia telah menghitung
ROI (return on investment) dan berapa potential
loss yang mungkin terjadi jika ia quit.
Pembaca, apakah kita boleh quit?
Tentu boleh. Siapa yang berhak melarang? Kan
ini hidupnya kita sendiri. Kita mau quit atau terus
itu urusan kita. Orang lain nggak boleh ikut
campur. Satu hal yang harus diperhatikan dengan
sungguh-sungguh yaitu saat kita quit, kita harus
quit dengan alasan yang tepat. Tidak asal quit.
Untuk yang ini saya serahkan sepenuhnya pada
anda. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah
kita quit karena kita memang malas, tidak
termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet,
ataukah kita quit karena kita, setelah bekerja
sangat keras dan berusaha dengan sungguh-
sungguh, sepenuh hati, melakukan whatever it
takes, massive action dengan burning desire,
sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang
kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value
atau nilai-nilai hidup kita.
Quit di sini jangan diartikan hanya untuk orang
yang belum berhasil mencapai sesuatu. Quit yang
saya uraikan di sini juga berlaku bagi mereka
yang sebenarnya telah berhasil mencapai
kesuksesan pada level tertentu namun merasa
hambar dengan hidup mereka.
Saya pernah membaca kisah seorang financial
consultant, di Jakarta, yang sangat sukses dengan
karirnya, pada usia 40 tahun, memutuskan untuk
quit dan banting setir menjadi seorang pelukis.
Benar, anda tidak salah baca, menjadi seorang
pelukis.
Tentu tidak mudah melakukan hal ini. Banyak
kawannya yang berkata bahwa ia gila karena
meninggalkan karir yang begitu cemerlang, karir
yang telah memberikan hasil yang begitu besar,
khususnya di aspek finansial. Namun apa
jawaban si financial consultant ini? “Saya merasa
jauh lebih tenang, damai, dan bahagia dengan
menjadi seorang pelukis. Ini adalah impian yang
saya kubur sekian lama. Sekarang saya telah
menjadi orang yang bebas mengekspresikan diri
saya sendiri” jawabnya lugas.
Nah, pembaca, pada contoh di atas, yang terjadi
adalah seringkali seseorang mendaki tangga
kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga,
ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di
tembok yang salah. Nah, kalau begitu apa yang
harus dilakukan? Ya banting setir seperti si
financial consultant ini.
Mengapa sampai bisa terjadi tangga bersandar di
tembok yang salah dan kita tidak tahu atau
menyadarinya? Jawabannya sangat sederhana.
Apa itu?
Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan
hati-hati dan saksama. Manusia pada umumnya
menjalani hidup asal-asalan. Mereka tidak punya
peta kehidupan yang akan mereka jalani.
Bagaimana caranya agar bisa punya peta
kehidupan? Ya, kita rancang sendiri, dong.
Bagaimana cara merancang peta kehidupan?
Di berbagai buku pengembangan diri, seminar
motivasi, seminar sukses, dan berbagai program
video yang saya pernah pelajari, umumnya kita
diminta untuk membuat daftar impian tertulis.
Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek
kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-
karir, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan
mental. Sayapun dulunya melakuan hal yang
sama dengan yang dianjurkan.
Namun seiring dengan berkembangnya kesadaran
diri melalui proses pembelajaran dan perjalanan
hidup, saya akhirnya menyadari satu hal yang
selama ini luput dari perhatian saya. Ternyata
untuk menyusun impian tidak asal susun.
Pemahaman yang saya dapatkan, dan ini yang
sekarang saya bagikan kepada para peserta
seminar, workshop, dan kepada khalayak ramai
melakui buku-buku yang saya tulis, yaitu
menyusun impian yang benar hanya bisa
dilakukan dengan satu syarat. Dan syarat inilah
yang selama ini tidak diperhatikan kebanyakan
orang.
Apa itu?
Langkah awal menyusun impian adalah dengan
mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-
nilai hidup (value).
Lho, mengapa value? Kok bukan berdasar
pendidikan yang kita jalani?
Value adalah apa yang kita yakini sebagai hal
yang penting bagi hidup kita. Value berperan
sebagai kompas yang mengarahkan perahu
kehidupan kita. Jika dihubungkan dengan cerita
mengenai “tembok yang salah” maka yang
dimaksudkan dengan “tembok” sebenarnya value.

Dengan value sebagai fondasi maka impian yang


disusun tidak akan menyimpang dari tujuan
hidup kita. Dengan demikian saat kita mencapai
puncak kesuksesan kita justru akan semakin
semangat dan bahagia. Untuk mengukur
pencapaian seseorang sebenarnya bisa dilihat dari
seberapa bahagia kita saat kita mencapai impian.
Mengapa bukan berdasar pendidikan formal
kita?
Karena ada begitu banyak orang yang salah
jurusan, saat kuliah di perguruan tinggi. Saya
pernah memberikan konseling pada seorang
wanita, dokter umum usia 29 tahun, yang sedang
mengambil spesialisasi menjadi dokter tulang
(orthopedist). Wanita ini mengaku bahwa ia
sebenarnya tidak suka dengan jurusan yang saat
ini ia tempuh. Ia merasa letih sekali. Padahal ini
baru di tahun pertamanya.
Waktu saya tanya, mengapa kok diteruskan, kok
nggak berhenti saja?
Jawabannya, sama seperti jawaban yang biasa
saya terima, “Sudah kepalang basah, Pak. Kalo
berhenti sekarang, trus… ngapain saya kuliah di
kedokteran umum?”
“Lho, dulu kok bisa milih masuk kedokteran?”
tanya saya lagi.
“Ya, soalnya katanya Om saya, kalo jadi dokter,
hidupnya enak” jawabnya.
“Trus… kenapa kok pilih tulang, kok bukan
spesialis yang lain?” kejar saya.
“Sebenarnya saya lebih suka jadi spesialis anak.
Tapi jurusan ini sangat sulit dimasuki. Saya
sudah coba tapi nggak bisa. Saya hanya dapat
kesempatan spesialisasi tulang. Daripada nggak
bisa kuliah lagi, ya saya masuki saja”, jawabnya
enteng.
Kisah ini sangat berbeda dengan kisah kawan
saya, Lan Fang, di Surabaya. Lan Fang dulunya
adalah seorang agen asuransi yang sangat
berhasil. Namun hatinya selalu gelisah. Ia merasa
asuransi bukan dunia yang sesuai dengan
panggilan hatinya. Lan Fang senang menulis.
Sambil menjadi agen asuransi ia telah menulis
beberapa novel yang ternyata sangat berhasil.
Cukup lama Lan Fang bimbang. Ia
dipersimpangan jalan. Namun setelah
menimbang-nimbang, setelah melakukan
perenungan mendalam, Lan Fang akhirnya
memutuskan untuk mengikuti suara hatinya,
menjadi seorang penulis buku, full time.
Banyak yang menyayangkan Lan Fang berhenti
sebagai agen asuransi mengingat potensinya yang
sangat luar biasa. Namun Lan Fang memutuskan
quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat,
dan dengan exit strategy yang tersusun dengan
baik dan matang.
Sampai saat ini Lan Fang telah menulis delapan
novel. Diantaranya Reinkarnasi, Laki-laki Yang
Salah, Perempuan Kembang Jepun, dan Kota
Tanpa Kelamin.
So… siapa bilang quitters never win? Seringkali
the real winner adalah mereka yang berani quit.
Dan the real loser justru mereka yang bersikeras
berkata, “Never, never, never quit”. Anda perlu
hati-hati agar tidak menjadi winner di antara
para loser karena anda adalah yang paling tidak
mau quit.
Lima Kekuatan Untuk Optimalisasi
Pengembangan Potensi Diri
Merdeka!! Tepat di hari Minggu, 17 Agustus
2008, hari kemerdekaan RI ke 63, saya diundang
talkshow di Malang bersama Y.M. Uttamo
Mahathera. Topik talkshow kali ini mengenai
pengembangan potensi diri. Nah, ide menulis
artikel ini muncul di tengah serunya acara tanya
jawab yang dihadiri lebih dari 600 peserta.
Judul artikel ini mengatakan bahwa ada lima
kekuatan yang bisa digunakan untuk
mengembangkan potensi diri. Apakah lima
kekuatan itu? Ini yang akan saya jelaskan secara
urut di artikel ini.
Pertama, yaitu Kekuatan Keyakinan atau The
Power of Belief. Mengapa harus dimulai dengan
Kekuatan Keyakinan? Keyakinan adalah fondasi
untuk melakukan apa saja. Kita baru akan
bertindak bila kita merasa yakin mampu
melakukan sesuatu. Jika tidak yakin maka upaya
yang kita lakukan akan dikerjakan dengan
setengah hati. Dan kita tahu, apapun yang
dilakukan dengan setengah hati, tanpa
kesungguhan, maka hasilnya pasti tidak akan
pernah maksimal. Seringkali upaya kita, jika
diawali dengan perasaan tidak yakin, akan
berakhir dengan kegagalan.
Yakin pun ada syaratnya, tidak asal yakin. Yakin
yang saya maksudkan di sini adalah yakin yang
berlandaskan kebijaksanaan dan akal sehat.
Tidak asal “yakin” dan “ngotot”.
Mengapa harus dilandasi kebijaksanaan?
Ya, karena yakin ini sebenarnya ada tiga macam.
Pertama, yakin yang hanya bermain di level
kognisi atau pikiran sadar. Kedua, yakin yang
bermain pada level afeksi atau pikiran bawah
sadar. Ada lagi yakin yang tipe ketiga yaitu yakin
yang “ngaco” alias “ngawur”. Yakin tipe ini
adalah yakin yang berlebihan atau overconfident
tapi tidak ekologis.
Yakin tipe ketiga ini sangat berbahaya. Ini ada
satu cerita nyata. Kawan saya pernah bercerita
bahwa ada seorang kawannya, sebut saja Bu
Yuni, yang setelah mengikuti suatu pelatihan
motivasi, menjadi begitu semangat dan menjadi
sangat-sangat yakin bahwa ia akan bisa sukses
dalam waktu yang sangat singkat dan mudah.
Sepulang dari pelatihan itu Bu Yuni dengan
“haqul yaqin” (sangat yakin) memutuskan bahwa
ia dalam waktu maksimal 3 (tiga) bulan akan
menjadi orang kaya dan akan berhasil
mengumpulkan uang sebesar Rp. 3 Miliar. Benar,
anda tidak salah baca, 3 bulan untuk Rp. 3 miliar.
Ck.. ck… ck… sungguh dahsyat sekali.
Kekuatan kedua untuk mengembangkan potensi
diri adalah dengan Kekuatan Semangat atau The
Power of Enthusiasm. Yang menjadi komponen
atau bagian dari Kekuatan Semangat adalah
konsistensi, persistensi, kegigihan, atau whatever
it takes.
Tindakan yang dilandasi dengan suatu keyakinan
yang teguh, bahwa kita pasti bisa berhasil, pasti
akan dilakukan dengan penuh semangat.
Semangat ini sebenarnya adalah motivasi
intrinsik atau dorongan bertindak yang berasal
dari dalam diri kita. Kekuatan Semangat ini yang
membuat seseorang akan terus mencoba
walaupun telah gagal berkali-kali. Kekuatan
Semangat ini yang mendasari peribahasa “Tidak
ada yang namanya kegagalan. Yang ada hanyalah
hasil yang tidak seperti yang kita inginkan”,
“Winners never quit. Quitters never win”, “Tidak
penting berapa kali anda jatuh, yang penting
adalah berapa kali anda bangkit setelah anda
jatuh.”
Kekuatan Semangat ini yang menjadi pendorong
Thomas Edison untuk terus mencoba walaupun ia
telah berkali-kali “belum berhasil” menemukan
bahan yang sesuai untuk membuat bola lampu
listrik. Kekuatan Semangat ini pula yang
mendorong Harland Sanders untuk terus
menawarkan resep ayam gorengnya yang
istimewa Kentucky Fried Chicken, walaupun ia
telah ditolak berkali-kali.
Nah, bagaimana dengan kisah Bu Yuni? Saya
lanjutkan ya ceritanya.
Bu Yuni, dengan bekal keyakinan yang “pasti”
dan “kuat” memutuskan untuk menjalankan
suatu usaha yang akan menjadi kendaraannya
untuk mengumpulkan Rp. 3 miliar dalam waktu 3
bulan. Bu Yuni bekerja dengan sungguh serius.
Kekuatan ketiga adalah Kekuatan Fokus atau
The Power of Focus. Fokus berarti kita hanya
melakukan hal-hal yang memang berhubungan
dengan target yang ingin kita capai. Pikiran kita
menjadi sangat tajam, terpusat, seperti sinar laser
yang siap untuk menembus berbagai penghalang.
Kita tidak akan membiarkan berbagai cobaan
atau distraksi membuat pikiran atau kegiatan kita
menyimpang dari tujuan semula.
Saat Kekuatan Fokus bekerja kita akan sangat
memperhatikan hal-hal detil dalam upaya
mencapai keberhasilan. Kekuatan Fokus ini yang
mendorong kita untuk menghasilkan master
piece.
Sekarang saya lanjut lagi cerita tentang Bu Yuni.
Apakah Bu Yuni fokus? Oh, sangat fokus. Begitu
fokusnya sehingga ia bisa melihat banyak sekali
peluang di sekitar dirinya. Bu Yuni mengajak
kawannya kerjasama. Ia bahkan bersedia
menanamkan modal yang cukup besar untuk
mengembangkan bisnis kawannya karena ia yakin
bisnis ini bisa memberikan sangat banyak uang
dalam waktu yang singkat. Bahkan saat
kawannya, yang selama ini telah menggeluti bisnis
itu, mengatakan bahwa tidak mungkin bisa
secepat itu perkembangan bisnisnya, walaupun
mendapat suntikan dana besar, Bu Yuni tetap
yakin, semangat, dan fokus berkata, “Ah, yang
penting yakin. Kalau yakin maka segala sesuatu
mungkin terjadi.”
Kekuatan keempat adalah Kekuatan Kedamaian
Pikiran atau The Power of Peace of Mind.
Kekuatan keempat ini sangat penting
diperhatikan karena ini merupakan barometer
untuk menentukan apakah keyakinan kita
terhadap sesuatu itu ekologis atau tidak.
Saat kita yakin, semangat, dan fokus melakukan
sesuatu maka kita perlu memeriksa apakah kita
merasakan ketenangan baik di pikiran maupun di
hati. Jika jawabannya “Tidak” maka kita perlu
memeriksa ulang keyakinan kita.
Kita perlu memeriksa apakah keyakinan kita itu
sudah benar-benar yakin ataukah lebih karena
dorong emosi tertentu, misalnya emosi takut atau
keserakahan.
Pada kasus Bu Yuni, ternyata ia sama sekali tidak
merasakan kedamaian. Hal ini tampak dalam
kehidupannya. Bu Yuni, dalam upaya mencapai
targetnya, ternyata tidak mendapat dukungan
dari suaminya. Bu Yuni tetap memaksakan
kehendaknya. Ia bersikeras bahwa dengan
keyakinannya yang pasti ia akan dapat mencapai
apapun yang ia inginkan.
Apa yang terjadi? Bu Yuni sering ribut dengan
suaminya dan selalu tampak murung dan stress.
Bila keyakinan kita bersifat ekologis, didasari
dengan pikiran yang benar dan kebijaksanaan,
maka saat kita bekerja keras dan giat untuk
mencapai impian-impian kita, pikiran dan hati
kita akan tetap merasa tenang, damai, dan
bahagia. Ini adalah satu aspek penting yang
jarang sekali diperhatikan oleh kebanyakan
orang.
Perasaan tenang, damai, dan bahagia merupakan
indikasi bahwa apa yang kita lakukan benar-
benar kita yakini akan berhasil. Kita hanya
tinggal melakukan kerjanya saja dan sukses
sudah pasti akan kita dapatkan. Sukses hanyalah
efek samping yang pasti akan terjadi.
Kekuatan kelima adalah Kekuatan
Kebijaksanaan atau The Power of Wisdom.
Kekuatan ini sangat penting karena digunakan
untuk melakukan evaluasi terhadap apa yang
telah kita lakukan pada empat langkah pertama.
Dengan menggunakan kebijaksanaan kita dapat
melakukan evaluasi dengan baik, benar,akurat,
dan tanpa melibatkan emosi. Jika hasil yang
dicapai belum seperti yang kita inginkan maka
dengan menggunakan kebijaksanaan kita dapat
mengetahui permasalahannya dan dapat
meningkatkan diri kita.
Jika hasilnya sudah seperti yang kita inginkan
maka, dengan menggunakan kebijaksanaan, kita
dapat mempertahankan dan meningkatkan
pencapaian itu.
Kebijaksanaan juga digunakan untuk memeriksa
keyakinan atau kepercayaan yang menjadi
langkah awal tindakan untuk mencapai goal.
Dengan bijaksana kita dapat memeriksa
keabsahan keyakinan kita. Apakah kita sudah
benar-benar yakin secara benar ataukah kita
sebenarnya tidak yakin tapi memaksa diri yakin
karena kita takut?
Bu Yuni ternyata tidak menggunakan Kekuatan
Keyakinan dalam mengejar impiannya. Setelah
mendengar penjelasan kawan saya secara cukup
detil saya akhirnya menyimpulkan bahwa Bu
Yuni ini sebenarnya tidak yakin namun ia
memaksakan kehendak, tanpa
mempertimbangkan kondisi riil yang sedang ia
alami, untuk bisa sukses.
Ternyata emosi yang mendorong Bu Yuni untuk
“Yakin” adalah ketakutannya akan masa depan.
Ia, setelah menghadiri seminar motivasi, menjadi
“sangat yakin” dengan apa yang diajarkan oleh si
pembicara dan akhirnya menjadi “buta” oleh
emosinya sendiri.
Hal ini diperkuat lagi saat Bu Yuni mendapat
peneguhan dari mentornya, pembicara tadi, yang
mengatakan, “Pokoknya, kalo kamu yakin, maka
kamu bisa mencapai apapun yang anda
inginkan.”
Pembaca, belief seperti ini, yang menggunakan
kata-kata “pokoknya”, yang saya kategorikan
sebagai “belief” yang perlu diwaspadai. Belief ini
seringkali tidak membumi dan menyesatkan.
Bila kita menggunakan lima kekuatan yang telah
saya jelaskan dalam artikel ini maka dengan
bekal yakin, semangat, fokus, damai, dan
bijaksana niscaya kita akan dapat
mengembangkan potensi diri secara optimal.
Rumah Tangga Berantakan Karena PLR
Artikel ini saya tulis dengan keprihatinan
mendalam terhadap kasus hipnoterapi yang
menurut hemat saya masuk dalam kategori
malpraktik yang berakibat sangat buruk
terhadap klien. Besar harapan saya setelah
membaca artikel ini kita semua bisa lebih hati-
hati dan arif dalam bertindak, baik sebagai klien
maupun hipnoterapis, agar kasus seperti ini tidak
terulang lagi.
Beberapa bulan lalu saya mendapat cerita dari
salah satu murid saya yang menangani seorang
pria yang depresi akibat ditinggal oleh istrinya
setelah sang istri, sebut saja Ani, menjalani sesi
“hipnoterapi” dengan seorang hipnoterapis
terkenal di Jakarta.
Minggu lalu saya mendapat cerita dari murid
saya yang lain yang mengatakan bahwa seorang
suami, sebut saja sebagai Anto, meninggalkan
istrinya juga setelah menjalani sesi “hipnoterapi”.
Setelah bertanya lebih dalam akhirnya diketahui
bahwa hipnoterapis yang menangani kedua kasus
ini adalah hipnoterapis yang sama dan
menggunakan teknik terapi yang sama.
Saya sungguh prihatin dengan apa yang
dilakukan hipnoterapis ini karena menurut hemat
saya ini sudah masuk kategori malpraktik yang
sangat fatal.
Cerita lengkapnya begini. Pada kasus pertama,
Ani bertemu dengan hipnoterapis ini untuk
menjalani Past Life Regression (PLR). Alasan Ani
adalah ia ingin mengetahui siapa soulmate-nya di
kehidupan lampau. Tanpa bertanya lebih
mendalam, menggali lebih detil alasan dan tujuan
klien meminta PLR, hipnoterapis ini langsung
melakukannya.
Singkat cerita soulmate Ani di “kehidupan
lampau” ternyata bukan suaminya yang
sekarang, di kehidupan ini. Soulmate-nya adalah
pria lain, yang kebetulan ia kenal. Setelah
mengetahui siapa soulmate-nya akhirnya Ani
memutuskan meninggalkan suaminya dan
memilih “melanjutkan” hubungan asmaranya
dengan soulmate-nya. Ck.. ck… ck.. ini sungguh
tidak masuk akal dan merusak kehidupan rumah
tangga. Suami Ani shock dan kaget karena tiba-
tiba ditinggal istrinya akhirnya mengalami
depresi.
Pada kasus kedua, ceritanya lebih seru lagi.
Setelah menikahi seorang gadis di kota kecil, Anto
memilih untuk merantau ke Jakarta untuk
bekerja dan mengadu nasib. Baru beberapa bulan
di Jakarta ternyata Anto tertarik pada wanita
lain. Semakin lama Anto semakin erat
hubungannya dengan WILnya dan mulai tidak
lagi menghiraukan istrinya.
Selanjutnya Anto bersama dengan WILnya
menemui hipnoterapis ini dan meminta untuk
dilakukan PLR. Saat ditanya oleh si hipnoterapis
apa tujuan dilakukan PLR mereka menjawab
untuk mengetahui apakah di kehidupan lampau
mereka punya hubungan khusus atau tidak.
Informasi apa yang didapat setelah dilakukan
PLR pada Anto dan WILnya?
Luar biasa. Ternyata “benar”, Anto dan WILnya
di kehidupan lampau adalah soulmate. Berdasar
temuan yang sangat meyakinkan ini Anto
selanjutnya menelpon istrinya dan
menyampaikan bahwa ia tidak bisa putus
hubungan dengan WILnya karena wanita yang
menjadi WILnya adalah seseorang yang istimewa,
soulmatenya dari kehidupan lampau. Dan sejak
saat ini pula Anto tidak lagi pernah menghubungi
istrinya.
Sampai saat ini status hubungan Anto dan
istrinya tidak jelas. Apakah masih akan terus
ataukah pisah.
Pembaca, apa yang dilakukan oleh hipnoterapis
ini sungguh suatu tindakan yang tidak
bertanggung jawab dan sangat merusak keutuhan
keluarga dan rumah tangga.
Mari kita bahas satu per satu. Pada kasus
pertama, dari mana si hipnoterapis tahu bahwa
benar pria yang dijumpai Ani di “kehidupan
lampaunya” benar-benar adalah soulmatenya.
Bisa jadi rumah tangga Ani kurang harmonis, ada
masalah, dan ini adalah alasan bagi Ani untuk
meninggalkan suaminya.
Apakah si hipnoterapis benar-benar bisa
menjamin apa yang Ani alami adalah benar-
benar pengalaman PLR ataukah sekedar hasil
rekayasa atau ciptaan pikiran sadar Ani? Bisa
jadi Ani memang berniat meninggalkan
suaminya, sudah punya PIL.
Kasus kedua lebih parah lagi. Dalam hal ini
hipnoterapis tidak cermat, tidak hati-hati, tidak
profesional, dan hanya bekerja berdasarkan
orderan. Logika berpikirnya sederhana. Kalau
dua orang lagi jatuh cinta maka emosi cinta ini
akan mempengaruhi baik pikiran sadar maupun
bawah sadarnya. Jika lagi jatuh cinta maka tanpa
PLR pun mereka bisa yakin 1.000% kalau
mereka ini adalah soulmate. Lalu, buat apa lagi
dilakukan PLR?
PLR yang dilakukan oleh si hipoterapis ini justru
digunakan oleh Anto dan WILnya untuk
membenarkan perbuatan mereka dan dijadikan
alasan yang kuat dan masuk akal bagi Anto untuk
meninggalkan istrinya.
Murid saya pernah bertanya, “Pak Adi, jika
misalnya Bapak yang menangani kasus seorang
wanita yang bertemu soulmatenya di kehidupan
lampau dan ternyata soulmate-nya ini bukan
suaminya di kehidupan sekarang, apa yang akan
Bapak lakukan?”
Yang pertama, saya harus menegaskan ulang
bahwa saya dan semua alumni QHI tidak
diperkenankan melakukan PLR berdasarkan
pesanan. PLR yang terjadi, kalaupun ada, adalah
yang terjadi secara spontan. Dan dari pengalaman
profesional saya sebagai hipnoterapis, dari lebih
dari 1.000 kasus terapi personal yang saya
tangani, yang mengalami PLR spontan tidak lebih
dari 12 (dua belas) kasus saja.
Nah, sekarang kembali ke pertanyaan murid saya.
Apa yang akan saya lakukan?
Jawaban saya selalu sebagai berikut: Saya akan
menaikkan perasaan cinta dan sayang klien pada
soulmate-nya setingg-tingginya, dan setelah itu
saya akan melakukan Ctrl-A, Ctrl-C, dan Ctrl-X
perasaan cinta dan sayang klien pada soulmate-
nya ini dan saya pindahkan semuanya ke
suaminya yang sekarang. Sehingga klien akan
menjadi sangat cinta dan sayang pada suaminya,
yang sekarang, dan menjadi hambar dengan
soulmate-nya. Case closed.
Mengapa tindakan ini yang pasti saya lakukan?
Prinsip hidup saya menyatakan bahwa keutuhan
rumah tangga harus dipertahankan dan
ditingkatkan. Dengan demikian bila suatu rumah
tangga ada masalah maka kita, hipnoterapis,
dengan semua pengetahuan, pengalaman hidup,
kebijaksanaan, dan teknik yang kita kuasai, harus
membantu memulihkan kembali keutuhan rumah
tangga ini. Tentu kami tidak bisa memaksa jika
tidak ada komitmen dari kedua pihak, suami dan
istri. Perpisahan orangtua selalu menimbulkan
luka batin dalam diri anak-anaknya dan ini perlu
dicegah.
Menurut hemat saya cerita tentang soulmate dari
kehidupan lampau adalah alasan yang dicari-cari
agar seseorang bisa melepas tanggung jawab
untuk komit membina rumah tangga dan
membahagiakan pasangannya.
Apakah benar kita bisa melakukan “transfer”
perasaan? Bisa dan mudah. Semua hanya
permainan pikiran. Tinggal teknik apa yang kita
gunakan dan bagaimana caranya kita
melakukannya.
Dari hasil diskusi dengan rekan sejawat saya,
para hipnoterapis QHI, kami memutuskan untuk
lebih berhati-hati menangani kasus rumah tangga
atau perselingkuhan. Bila ada klien yang meminta
kami untuk menghilangkan perasaan sayang,
kasihan, atau cinta pada PIL atau WIL-nya,
karena klien sekarang sadar dan sudah mau
kembali ke pasangannya yang sah, maka kami
pasti akan meminta klien untuk menunjukkan
KTP, Surat Nikah, dan KSK.
Mengapa demikian? Bisa jadi klien berbohong.
Yang ia katakan PIL atau WIL bisa jadi adalah
pasangannya yang sah. Klien ingin
menghilangkan perasaan cinta atau sayang
terhadap pasangannya karena ia ingin hidup
bersama selingkuhannya. Kalau ini yang terjadi
maka kita hipnoterapis juga ikut andil dalam
rusaknya rumah tangga klien.
Dengan teknik tertentu kami bisa menetralisir
atau memunculkan perasaan tertentu, baik yang
positif maupun yang negatif, dalam diri klien.
Kembali pada dua kasus di atas. Saran dan
himbauan saya pada para pembaca semua agar
lebih berhati-hati saat memilih hipnoterapis.
Pastikan hipnoterapisnya adalah yang kompeten,
bertanggung jawab, berpengalaman, dan yang
terutama melakukan hipnoterapi dengan
kesadaran dan integritas yang tinggi yang
ditujukan untuk kebaikan klien.
Selain itu, jangan ke hipnoterapis dan meminta
untuk dilakukan PLR. Mengapa? Karena PLR
yang anda alami belum tentu PLR yang
sesungguhnya. PLR yang dilakukan oleh
hipnoterapis umumnya bersifat leading,
mengarahkan pikiran anda dengan memberikan
perintah atau sugesti tertentu. Jadi, anda
bukannya sungguh-sungguh mundur ke
kehidupan lampau anda, bila benar ada past life,
tapi anda mencipta kehidupan lampau di pikiran
anda berdasar ekspektasi anda dan bimbingan
hipnoterapis. Dengan demikian anda mengalami
false memory. Ini sangat berbahaya dan
merugikan diri anda sendiri.
Uji Sugestibilitas: Perlukah?
Salah satu peserta Indonesia Hypnosis Summit
(IHS) 2010 mengirimi saya email dan bertanya,
“....saat Bapak menjelaskan mengenai induksi,
Bapak tidak bicara tentang uji sugestibilitas. Kita
tahu bahwa sangat penting untuk bisa mengetahui
tipe sugestibilitas klien agar dapat melakukan
teknik induksi yang sesuai sehingga dapat
membawa klien masuk ke kondisi deep trance
sebelum melakukan terapi. Kemarin itu apakah
memang tidak sempat dijelaskan ataukah Pak Adi
merasa uji sugestibilitas tidak penting?”
Wah, peserta ini cukup jeli. Saya memang tidak
menjelaskan mengenai uji sugestibilitas. Saya
menjelaskan enam teknik dasar induksi dan
pengelompokkan teknik induksi. Enam teknik
dasar induksi adalah Eye Fixation, Relaxation of
Nervous System, Mental Confusion, Mental
Misdirection, Loss of Equilibrium, dan Shock to
Nervous System.
Dari enam teknik dasar ini dikembangkan
menjadi sangat banyak teknik induksi. Walaupun
saat ini ada begitu banyak teknik induksi namun
bila dicermati dengan sungguh-sungguh maka
teknik induksi yang ada dapat dikategorikan
menjadi empat kelompok: Progressive Relaxation
(yang biasanya membutuhkan waktu 30 – 45
menit), Rapid Induction ( sekitar 4 menit), Instant
Indcution (beberapa detik), dan Emotionally
Induced Induction (induksi karena emosi yang
dialami klien).
Nah, kembali ke pertanyaan yang menjadi judul
artikel ini, “Uji Sugestibilitas : Perlukah?”
Jawabannya bergantung kebutuhan. Bila untuk
melakukan stage hypnosis maka uji sugestibilitas
harus dilakukan untuk bisa memilih atau
menemukan subjek hipnosis yang mudah. Bisa
anda bayangkan apa yang terjadi jika stage
hypnotist tidak melakukan uji sugestibilitas dan
langsung memilih subjek dari penonton.
Akibatnya akan fatal karena subjek tidak akan
bisa dihipnosis dengan cepat dan tidak akan ada
pertunjukkan yang menarik.
Bagaimana dengan hipnoterapi? Apa perlu uji
sugestibilitas?
Di tahun-tahun awal saya sebagai hipnoterapis
saya memang sangat menekankan pentingnya uji
sugestibilitas. Hal ini bertujuan agar saya dapat
melakukan induksi dengan tepat sehingga klien
bisa masuk ke kondisi deep trance.
Bila mengacu pada SHSS (Stanford Hypnotic
Suceptibility Scale) yang dikembangkan oleh
Ernest Hilgard maka manusia terbagi menjadi
85% yang moderat, 10% mudah, dan 5% sulit
dihipnosis. SHSS ini banyak digunakan sebagai
acuan oleh hipnoterapis hingga saat ini.
Dr. Kappas mengembangkan teori sugestibilitas
yang menyatakan bahwa manusia terbagai
menjadi dua kategori besar yaitu physical
suggestibility (sugestibilitas yang bersifat fisik)
dan emotional suggestibility (sugestibilitas yang
bersifat emosi). Dari penelitian ditemukan bahwa
60% populasi bersifat emotionally suggestible dan
40% physically suggestible. Kelompok
emotionally suggestible mempunyai sub kategori
yang dinamakan intellectual suggestibility yang
mewakili sekitar 5% populasi.
Pakar lain, Herbert Spiegel, mengembangkan
teknik uji sugestibilitas, dengan menggunakan
gerakan bola mata dan empat indikator lainnya,
yang dikenal dengan Hypnotic Induction Profile
(HIP). Selanjutnya Spiegel juga mengembangkan
Spectrum of Hypnotizability and Personality Style
dan mengelompokkan subjek ke dalam tipe
Apollonian, Odyssean, dan Dionysian.
Ada pengalaman menarik saat seorang rekan
menceritakan pengalamannya saat diinduksi oleh
seorang hipnoterapis. Rekan ini, di depan kelas
pelatihan, diinduksi berkali-kali dengan
menggunakan bermacam teknik, tetap tidak bisa
masuk ke kondisi hipnosis. Akhirnya hipnoterapis
ini berkata, “Anda tidak bisa trance karena anda
masuk kategori orang yang tidak bisa dihiposis.”
Saat mendengar cerita ini ada dua hal yang
muncul di pikiran saya. Pertama, hipnoterapis ini
mengacu pada HIP Spiegel, Regular Zero Profile,
yang menyatakan bahwa orang dalam kategori ini
tidak bisa dihiposis. Kedua, hipnoterapis ini
mungkin gemas pada rekan saya ini karena telah
dicoba dihipnosis berulang kali tapi tetap tidak
berhasil sehingga untuk mudahnya ia mengatakan
bahwa rekan saya ini masuk kategori orang yang
tidak bisa dihipnosis.
Benarkah ada kategori orang yang tidak bisa
dihipnosis?
Jawabannya bergantung pada teori apa atau
pendapat pakar mana yang kita gunakan sebagai
acuan. Di sini tidak ada jawaban benar atau
salah. Yang ada adalah untuk setiap teori atau
pendapat pakar mempunyai konsekuensi yang
spesifik terhadap hasil induksi yang kita lakukan.
Dulu waktu saya pertama kali mendalami
hipnoterapi saya sempat bingung saat membaca
riset para pakar mengenai tipe sugestibilitas dan
apa yang harus dilakukan untuk bisa melakukan
induksi dengan benar yang bisa membawa klien
masuk ke kondisi deep trance.
Di awal karir saya sebagai hipnoterapis saya
sangat memperhatikan uji sugestibilitas. Biasanya
sebelum menghipnosis klien saya akan meminta
klien melakukan The Hand Drop Test, Arm
Rising and Falling Test, Postural Sway, dan
kadang bisa ditambah dengan The Pendulum
Swing Test.
Dari pengalaman saya menemukan bahwa uji
sugestibilitas di atas sebenarnya adalah untuk
menemukan klien yang masuk kategori Physically
Suggestible. Kalau klien sulit menjalankan tes,
misalnya Arm Rising and Falling Test, maka saya
tahu klien ini masuk kategori emotionally
suggestible atau mungkin yang tipe intellectual.
Untuk klien yang “sulit” maka saya perlu
menggunakan teknik induksi yang sesuai.
Misalnya dengan teknik 7 plus minus 2, auto dual
method, teknik hand rolling, dan teknk yang
bersifat membingungkan pikiran.
Namun jujur saya merasa tidak nyaman dengan
hal ini. Setiap kali mau melakukan terapi saya
harus melakukan uji sugestibilitas. Dan yang
membuat hal ini menjadi semakin sulit bagi saya
adalah ada banyak klien yang telah ke
hipnoterapis lain yang juga melakukan hal ini, uji
sugestibilitas. Nah, klien datang ke saya karena
merasa belum mengalami perubahan signifikan.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saya
melakukan, di awal sesi terapi, hal yang sama
yang dilakukan terapis sebelumnya. Seringkali
sejak awal terapi klien sudah menolak. Mereka
berpikir, “Lho, ini kan yang dilakukan terapis
sebelumnya. Saya tahu apa yang akan ia lakukan
selanjutnya. Cara ini nggak mungkin berhasil.”
Berangkat dari pengalaman ini saya selanjutnya
berpikir, “Apakah ada teknik induksi yang
sederhana, yang bisa dilakukan pada semua klien
tanpa perlu tahu tipe sugestibilitasnya? Apakah
ada teknik yang sederhana, mudah dipelajari,
mudah diaplikasikan, mudah diduplikasi, dan
yang paling penting telah teruji sangat efektif
untuk bisa membawa subjek tipe apapun masuk
ke kondisi deep trance dengan cepat dan pasti?”
Saya mencari hampir 3 tahun. Dan akhirnya
menemukannya. Teknik ini selanjutnya saya
ujicobakan di ruang praktik saya dengan hasil
yang sangat memuaskan. Seiring dengan
perkembangan pemahaman mengenai cara kerja
pikiran saya menyempurnakan teknik induksi ini
sehingga menjadi jauh lebih efektif. Dan baru-
baru ini, di kelas Quantum Hypnosis Indonesia
angkatan 9 saya kembali menyempurnakan
teknik ini dan hasilnya sungguh luar biasa.
Yang saya lakukan adalah saya menggabungkan
teknik induksi asli dengan pengetahuan yang saya
dapatkan dari hasil riset dengan menggunakan
Mind Mirror IV dengan melihat langsung
perubahan gelombang otak dan kedalaman trance
saat induksi diberikan.
Sebelum penyempurnaan di QHI 9, dari
pengalaman, teknik induksi ini terbukti
mempunyai tingkat efektivitas antara 90% -
92,17% mampu membawa klien tipe apapun
masuk ke kondisi profound somnambulism. Yang
“gagal” diinduksi bukan berarti tidak masuk deep
trance namun sering kali klien melampaui kondisi
profound somnambulism dan masuk ke level
Esdaile atau Hypnotic Coma. Untuk yang level ini
tidak dihitung.
Penyempurnaan teknik induksi di QHI 9 ini
mempunyai tingkat efektivitas yang sangat tinggi.
Hasil uji sementara menghasilkan rata-rata
97,34%. Saya masih menunggu laporan lanjutan
dari alumni QHI. Semua hipnoterapis QHI,
termasuk saya pribadi hanya menggunakan
teknik induksi ini di ruang praktik kami.
Jadi, menjawab pertanyaan di atas, uji
sugestibilitas apakah perlu dilakukan atau tidak
semuanya bergantung pada masing-masing
individu. Sekali lagi ini bukan benar atau salah.
Namun lebih pada teori yang digunakan.
Untuk saya pribadi dan semua alumni QHI,
dalam konteks hipnoterapi, kami sama sekali
tidak menggunakan uji sugestibilitas saat akan
melakukan induksi.
Terima Kasih Tuhan... Ternyata Anak Saya
Normal
Saya menulis artikel ini berdasar pengalaman
membantu menangani kasus anak SD kelas 3,
sebut saja Ani, dari salah satu sekolah swasta
ternama di Surabaya. Cerita lengkapnya sebagai
berikut.
Minggu lalu saya mendapat telpon dari seorang
ibu, sebut saja Lina, yang dengan nada cemas dan
agak frustasi menceritakan kondisi Ani. Ani
mengalami beberapa masalah seperti tidak
percaya diri, sulit konsentrasi, dan sangat sulit
menghapal materi pelajaran. Untuk membantu
Ani, Bu Lina telah meminta bantuan guru dari
sekolah Ani memberikan les atau pelajaran
tambahan pada Ani setiap hari 3 jam. Namun
hasilnya Ani tetap mengalami kendala belajar.
Bahkan untuk pelajaran Pensos Ani sudah remedi
3 x dan hasilnya selalu jelek. Bu Lina pusing dan
stress memikirkan anaknya.
Saat bertemu saya di ruang terapi, penilaian awal
saya adalah Ani adalah anak yang pemalu dan
memang kurang percaya diri. Namun setelah
berinteraksi beberapa saat dengan saya Ani
berani bicara dengan lebih leluasa.
Menindaklanjuti apa yang disampaikan oleh
ibunya saya mulai melakukan serangkaian
penggalian data untuk mencari tahu apa
sebenarnya yang terjadi pada diri Ani.
Menurut Bu Lina guru les Ani telah berulang kali
meminta agar Ani menjalani tes IQ. Alasannya
adalah karena Ani sulit belajar dan konsentrasi.
Namun Bu Lina tidak bersedia melakukan tes IQ
pada Ani karena ia yakin anaknya normal dan
tidak bermasalah.
Setelah melewati serangkaian tes yang saya
lakukan dan kemas melalui permainan saya
sampai pada kesimpulan yaitu:
1. Ani anak yang manis, baik, dan normal.
2. Kendala belajar, dalam hal ini menghapal,
sebenarnya lebih disebabkan karena adanya
mental block pembelajaran.
3. Guru les mengajar Ani dengan cara
konvensional, bukan dengan teknik yang sesuai.
Dan Ani telah les pada guru ini selama 2 tahun.
4. Ani tidak suka dengan guru lesnya.
5. Sistem pengujian yang dilakukan di sekolahnya
mengharuskan Ani untuk bisa menjawab
pertanyaan persis sama seperti yang ada di
catatan.
6. Rasa kurang percaya diri Ani juga
berhubungan dengan kemampuan
Matematikanya, dalam hal ini penguasaan tabel
perkalian yang masih lemah.
Saya membuktikan kepada Bu Lina mengenai
temuan saya di atas. Pertama saya meminta Ani
menghapalkan 10 kata yang saling tidak
berhubungan. Seperti murid lainnya Ani
menghapal dengan membaca kata demi kata
secara berulang. Setelah itu saya meminta Ani
mengulangi apa saja yang telah ia hapalkan. Ani
mengalami kesulitan. Dari 10 kata yang Ani ingat
hanya 3 saja.
Selanjutnya saya bertanya, "Tadi waktu Pak Adi
minta Ani menghapalkan kata-kata ini, apa yang
Ani rasakan?"
"Males, bosan, takut, merasa nggak bisa, nggak
suka" jawab Ani dengan agak takut.
Selanjutnya saya menanyakan intensitas emosi
yang ia rasakan. Ternyata sangat intens. Dari
skala 1 sampai 10 Ani merasakannya di skala 8.
Pantas, tadi saat Ani menghapal, walaupun ia
telah berusaha keras, tetap saja tidak bisa
maksimal.
Saya lalu mendemokan teknik Surrogate Hypno-
EFT sambil disaksikan oleh Bu Lina. Hanya
dengan kalimat Set Up ambil mengurut sore spot
intesitas emosi langsung turun ke 0. Lalu saya
lakukan uji hasil terapi ini. Hasilnya...
confirmed...emosinya sudah clear semua.
Selanjutnya memberikan beberapa sugesti
tambahan untuk memperkuat hasil terapi ini.
Baru setelah itu saya meminta Ani menghapal 10
kata yang telah saya siapkan namun kali ini saya
mengajarkan teknik memori pada Ani.
Hasilnya?
Dahsyat. Ani mampu mengingat 10 kata ini
dengan sempurna. Bahkan saya beberapa kali
meminta Ani untuk mengulangi menyebutkan 10
kata yang telah ia hapalkan dan hasilnya Ani
tetap bisa mengingat semuanya dengan sangat
baik.
Saya melihat mata Bu Lina berkaca-kaca. Dan
saya katakan bahwa Ani sebenarnya tidak ada
masalah. Yang bermasalah justru guru lesnya
yang tidak tahu cara mengajari Ani dengan
benar. Dan yang lebih menjengkelkan adalah
guru les ini dengan entengnya mengatakan bahwa
Ani bermasalah, anak yang lamban, dan masalah
belajar Ani disebabkan oleh IQ yang rendah. Itu
sebabnya guru les ini berulang kali meminta agar
Ani menjalani tes IQ. Keprihatinan seperti inilah
yang saya tuangkan ke dalam artikel saya
sebelumnya yang berjudul "Teaching Disabled vs
Learning Disabled".
Sungguh kasihan Ani. Dalam satu hari ia
"sekolah" 2 kali. Bayangkan, setiap hari Ani les 3
jam @ 60 menit sama dengan 180 menit. Kalau 1
jam pelajaran di sekolah adalah 35 menit maka
ini sama saja Ani "sekolah" lagi di rumahnya,
dan yang mengajar adalah guru les yang nota
bene adalah guru di sekolahnya juga, selama 5
jam pelajaran.
Kendala kedua yang Ani hadapi adalah sistem
sekolah yang kaku yang mengharuskan siswa
menjawab sama persis seperti yang di catatan.
Lha, kalau begini kondisinya, anak pasti akan
mengalami kendala. Apalagi kalau yang
ditanyakan adalah definisi. Jangankan muridnya,
gurunya saja belum tentu bisa menghapal dan
menjawab dengan benar.
Selanjutnya saya melakukan terapi pada
beberapa aspek yang berhasil saya gali dari Ani,
antara lain perasaan negatif yang muncul akibat
ulah temannya dan juga gurunya. Dalam hal ini
tidak penting apakah teman atau gurunya
memang membuat masalah pada Ani. Yang
penting adalah emosi yang tersimpan dalam diri
Ani, akibat persepsinya atas kejadian itu,
dinetralisir.
Sedangkan mengenai penguasaan tabel perkalian
yang masih lemah saya menyarankan Bu Lina
untuk segera fokus membantu Ani untuk
menguasainya. Hal ini sangat penting karena
tabel perkalian ini mutlak dibutuhkan untuk bisa
mengerjakan soal yang lebih rumit di kelas atas.
Jika tidak menguasai tabel perkalian maka anak
akan mengalami kendala belajar yang bisa
mempengaruhi konsep dirinya hingga dewasa.
Saya menyarankan Bu Lina untuk membaca
buku saya Cara Genius Menguasai Tabel
Perkalian dan mengajarkannya pada Ani. Saya
juga mendemokan cara menghapal perkalian 9
yang ternyata dalam waktu yang singkat berhasil
Ani kuasai.
Saya mengatakan pada Bu Lina bahwa hanya ini
yang saya bisa lakukan untuk membantu Ani.
Untuk sistem di sekolah Ani, saya tidak bisa apa-
apa. Bu Lina bisa memahami hal ini dan benar-
benar merasa lega karena akhirnya terbukti
bahwa anaknya normal.
Untuk memperkuat efek perubahan yang telah
berhasil dicapai saya mengajarkan Bu Lina apa
saja yang perlu ia dan suaminya lakukan di
rumah untuk mendukung Ani agar bisa
berkembang lebih baik lagi di masa depan.
Understanding Ego State
Dalam hipnoterapi ada sangat banyak teknik
intervensi klinis yang bisa digunakan untuk
membantu klien mengatasi masalah mereka. Dari
sekian banyak teknik, salah satunya yang sangat
efektif adalah Ego State Therapy.
Ego State Therapy adalah terapi yang dilakukan
pada Ego State. Untuk memahaminya kita perlu
memahami Ego State. Apa sih Ego State itu?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas ijinkan
saya mengajukan beberapa pertanyaan pada
anda. Pernahkah anda mengalami hal berikut:
1.Sewaktu bangun di pagi hari anda merasa ada
dua bagian dari diri anda yang “ribut”. Satu
bagian ingin anda segera bangun dan yang satu
lagi ingin anda melanjutkan tidur.
2.Saat anda harus memilih atau membuat
keputusan anda bingung karena ada beberapa
bagian dari diri anda yang saling tidak setuju
dengan keputusan anda.
3.Anda merasa tidak nyaman atau ada perasaan
bersalah setelah melakukan suatu tindakan.
Padahal saat melakukannya anda merasa sangat
yakin dengan tindakan anda.
Pembaca, bila anda mengalami salah satu saja
dari tiga hal di atas maka sebenarnya ada telah
mengalami Ego State. Dengan kata lain, Ego State
sebenarnya adalah bagian dari diri kita yang aktif
atau mengendalikan diri kita pada suatu saat
tertentu.
Ego State, menurut Watkins dan Watkins, adalah
sebuah sistem perilaku dan pengalaman yang
terorganisir yang elemen-elemennya saling
terhubung melalui beberapa prinsip yang sama
tetapi saling dipisahkan oleh batas-batas yang
dapat ditembus (permeabilitas) hingga derajat
kedalaman dan fleksibilitas tertentu.
Ada berapa banyak Ego State dalam diri kita?
Tidak ada satupun pakar yang bisa menentukan
secara pasti. Ini juga bergantung pada teori
masing-masing pakar itu. Tansactional Analysis
(TA) yang dikembangkan oleh Eric Berne
mengatakan dalam diri kita ada lima ”diri”.
Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh
Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob
Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu.
Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan
kita punya banyak ”diri”. Carl Jung juga
mengatakan hal yang sama, tidak diketahui
secara pasti ada berapa banyak ”diri” dalam diri
kita.
Namun untuk lebih mudah memahami maka saya
akan mengutip apa yang dikatakan oleh Rowan.
Menurut Rowan kita punya antara empat sampai
sembilan ”diri” atau ”bagian” yang masing-
masing adalah tema besar yang menaungi ”sub-
diri”. Masing-masing ”diri” mempunyai
kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas
masing-masing. Mereka saling terhubung antara
satu dengan yang lain.
Nah, itu sekilas tentang beberapa teori yang mirip
dengan Ego State. Sekarang mari kita bahas
sejarah dan perkembangan Ego State Therapy.
Orang pertama yang menulis tentang Ego State
adalah Paul Federn, rekan sejawat Freud.
Menurut teori yang dikembangkannya Federn
mengatakan bahwa kepribadian seseorang
tersusun atas sekelompok bagian yang ia sebut
sebagai Ego State. Ego State yang aktif pada suatu
saat tertentu menentukan kepribadian orang itu.
Walaupun Federn (1952) menetapkan dan
menyusun teori tentang Ego State, ia tidak
mengembangkan teknik terapi menggunakan
dasar teori kepribadian ini. Federn melakukan
praktik terapi psikoanalisa sejalan dengan
orientasi terapi yang populer pada jamannya.
Sementara itu, di tahun 1957, Eloardo Weiss,
seorang Italia yang sedang dalam proses
menyelesaikan pendidikannya untuk menjadi
seorang psikoanalis, belajar ke Paul Federn.
Federn menceritakan pandangannya tentang
kepribadian kepada Weiss.
Selanjutnya John Waktins mendapat
pengetahuan ini pada saat belajar di bawah
bimbingan Weiss sebagai bagian dari proses
pendidikannya untuk menjadi seorang
psikoanalis. Dari sinilah Ego State Therapy
berkembang.
Dalam praktiknya sebagai psikolog utama di
Welsh Convalescent Center membantu tentara
yang kembali dari perang dunia kedua Waktins
menemukan bahwa tentara yang diterapi dengan
menggunakan hipnosis mengalami pertukaran
kondisi emosi tertentu. Pada saat itu Watkins
belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada
tentara yang ia tangani. Barulah pada saat ia
belajar ke Weiss dan mendapatkan informasi
mengenai Ego State akhirnya Watkins bisa
memahami dasar teori dari apa yang ia temukan.
Di pertengahan tahun 1970, Hilgard dan Hilgard
menemukan bagian dari diri manusia yang
mereka sebut dengan Hidden Observer atau
Pengamat Tersembunyi. Mereka menemukan
adanya Hidden Observer melalui eksperimen
fenomena trance seperti negative auditory
hallucination dan anesthesia.
Dalam eksperimen ini subjek penelitian seakan
tidak bisa mendengar atau merasakan sakit
namun ternyata ada bagian dari diri subjek yang
sesungguhnya tetap mendengar dan merasakan
semua ini.
John Waktins mengenali Hidden Observer sama
dengan Ego State yang dikatakan oleh Federn dan
Weiss. Untuk memastikan hal ini, John Watkins
dan istrinya, Helen Watkins, mengulang
eksperimen Hilgard dan menemukan bukti yang
memvalidasi pemikiran mereka.
Sejak awal tahun 1970an John dan Helen Watkins
mulai mempublikasikan hasil riset mereka
mengenai Ego State di berbagai jurnal dan
artikel. Dan pada tahun 1997 mereka
menerbitkan buku dengan judul Ego States:
Theory and Therapy.
Beberapa pakar yang juga menulis tentang Ego
State Therapy dan dipublikasikan dalam bentuk
artikel jurnal dan buku: Maggie Phillips, Clare
Frederick, Shirley McNeal, Moshe Torem,
Waltermade Hartman, Gordon Emmerson,
Hunter, George Fraser, dan Michael Gainer. Di
tahun 2003 diselenggarakan kongres dunia
pertama Ego State Therapy di Bad Orb, satu kota
dekat Frankfurt.
Bagaimana Ego State Terbentuk?
Menurut Watkins Ego State terbentuk karena
tiga hal. Pertama melalui normal differentiation
yaitu anak belajar membedakan satu hal dengan
yang lainnya, misalnya makanan yang ia suka dan
tidak suka, orang yang baik dan tidak baik
terhadap dirinya.
Kedua adalah introjection of significant others
yaitu anak menyerap energi positif atau negatif
dari orang “penting” di sekitar anak, misalnya
orangtua, guru, teman, atau siapa saja yang
dianggap penting oleh anak, dan energi ini
termanifestasi dalam diri anak dalam bentuk
“Bagian Diri” yang dinamakan Introject.
Dengan kata lain introject adalah
manifestasi/perwujudan suatu figur yang
mempunyai peranan penting dalam kehidupan
seseorang yang diadopsi/tersimpan dan “hidup”
di dalam ingatan/mental/pikiran bawah sadar
orang tersebut. Contoh introject antara lain sosok
atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara,
anak, tokoh agama, guru spiritual, dan lain-lain.
Ketiga, Part atau bagian diri yang terbentuk
akibat pengalaman traumatik. Saat anak
mengalami suatu pengalaman traumatik dan
tidak ada Ego State dalam dirinya yang mampu
menangani trauma ini maka akan muncul atau
tercipta Ego State baru yang khusus berfungsi
menangani trauma ini.
Sedangkan menurut teori perkembangan otak,
Ego State terbentuk sebagai akibat dari
pengalaman atau kejadian yang dialami anak
yang bersifat berkesinambungan atau berulang.
Misalnya pada masa kecil seorang anak
dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih
sayang dan mendukungnya maka akan muncul
Ego State yang mempunyai sifat kasih sayang.
Ego
State ini muncul karena anak mengalami
pengalaman secara berulang (baca: stimulasi)
sehingga di otak anak terjadi pembentukan jalur
saraf yang terdiri dari koneksi axon dan dendrite
yang mewakili pengalaman ini. Demikan pula bila
anak dibesarkan dalam lingkungan yang keras
maka akan muncul atau tercipta Ego State
dengan sifat yang keras.
Klasifikasi Ego State
Surface dan Underlying Ego State
Dilihat dari seberapa sering suatu Ego State
muncul atau aktif maka kita mengenal ada dua
jenis Ego State yaitu Surface dan Underlying Ego
State. Surface Ego State adalah Ego State yang
sering muncul atau digunakan dalam menjalani
hidup dan berinteraksi dengan lingkungan.
Sedangkan Underlying Ego State adalah Ego
State yang jarang muncul atau digunakan.
Saat seseorang mengalami suatu pengalaman
hidup dengan menggunakan Ego State tertentu
maka Ego State ini disebut sebagai Ego State yang
executive atau yang memegang kendali. Secara
umum dalam keseharian Surface Ego State yang
aktif berkisar antara empat hingga lima.
Seseorang yang sedang mengendarai mobil
menuju ke kantor atau tempat kerjanya
menggunakan satu Surface Ego State. Sedangkan
saat bekerja di kantor ia menggunakan Ego State
lain. Saat ia membaca buku atau bermain bisa
jadi ia menggunakan Ego State yang lain lagi.
Ego State saling berkomunikasi satu dengan yang
lain. Umumnya yang paling mudah diajak
berkomunikasi adalah Surface Ego State karena
mereka mudah untuk berbagi informasi. Bisa
juga terjadi ada Underlying Ego State yang tidak
berkomunikasi dengan Surface Ego State. Bila
demikian kondisinya kita tidak bisa mengakses
informasi yang ada pada Underlying Ego State ini
dengan menggunakan cara biasa.
Ego State dan Alter
Bila dilihat dari jalur komunikasinya maka kita
mengenal dua jenis Ego State yaitu normal Ego
State dan Alter. Normal Ego State mampu
berkomunikasi dengan baik dengan Ego State
lainnya. Sedangkan Alter adalah Ego State yang
jalinan komunikasinya sangat buruk atau
(hampir) terputus dengan Ego State lainnya.
Putusnya komunikasi ini mengakibatkan apabila
Alter ini sedang executive maka apa yang ia
lakukan tidak diketahui oleh Ego State lainnya.
Kondisi ini dikenal dengan nama DID atau
Dissociative Identity Disorder atau dulunya lebih
terkenal dengan MPD (Multiple Personality
Disorder). Alter terjadi karena anak mengalami
pengalaman yang sangat traumatik (severe and
chronic abuse) sehingga mekanisme pertahanan
diri pikiran bawah sadar membuat anak “lupa”
pada kejadian itu dengan cara memutus jalur
komunikasi antara Alter (Ego State yang
mengalami trauma) dan Ego State lainnya yang
“sehat”.
Dari beberapa penelitian MPD (Kluft, Greaves,
Bliss, Putnam, Lienhart, Schreiber, Loewenstein)
yang saya pelajari dan dalami ternyata ada
minimal 16 (enam belas) kelompok alter.
Penanganan alter menggunakan strategi yang
berbeda dengan penanganan Ego State.
Ego State Berdasar Sifat Dan Fungsinya
Ego State yang berfungsi normal, non-patologis,
mempunyai peran yang konstruktif demi
kemajuan Ego State lain dan juga si individu.
Selain Ego State yang bekerja dan berfungsi
normal, juga ada yang bersifat patologis yang
dikenal dengan Ego State yang bersifat vaded,
retro-functioning, conflicting, dan malevolent.
Vaded Ego State adalah Ego State yang tidak bisa
lagi menjalankan fungsi mereka yang seharusnya
karena mengalami trauma atau pengalaman yang
negatif. Saat Ego State jenis ini tampil dan aktif
atau executive maka individu akan mengalami
kembali emosi negatif yang berhubungan dengan
trauma. Kondisi ini yang oleh Freud disebut
dengan situational neurosis. Vaded Ego State
tidak selalu tampil dan aktif. Untuk bisa
membuatnya berfungsi normal kembali maka Ego
State ini harus dibuat tampil dan aktif sehingga
emosi yang berhubungan dengan trauma yang ia
alami dapat diproses tuntas.
Retro-functioning Ego State adalah Ego State
yang menjalankan peran lama yang bertentangan
dengan Ego State lainnya atau tidak mendukung
kemajuan individu. Ego State jenis ini antara lain
menampilkan simtom berupa kemarahan yang
tidak terkendali, kebiasaan berbohong yang
kronis, atau berbagai gejala psikosomatis. Untuk
mengatasi hal ini bisa dilakukan negosiasi
sehingga Retro-functioning Ego State bersedia
menjalankan peran baru yang lebih positif dan
konstruktif. Ego State bisa bersifat vaded dan
retro-functioning.
Conflicting Ego State mempunyai tujuan yang
positif bagi individu namun mengalami konflik
kepentingan dan tujuan dengan Ego State lainnya.
Contoh seseorang mengalami Conflicting Ego
State adalah saat ia ingin melakukan sesuatu
tetapi mendapat pertentangan dari dalam dirinya.
Misalnya seseorang ingin berhenti merokok
namun tidak bisa karena ada bagian dari dirinya
yang sangat suka merokok. Dalam hal ini
terdapat dua Ego State yang saling bertentangan.
Konflik ini juga bisa muncul saat seseorang ingin
diet namun tidak bisa menahan keinginan
makannya.
Malevolent Ego State adalah Ego State yang
bersifat keras, ganas, dan bahkan bisa sangat
kejam, baik terhadap Ego State lain, diri individu,
maupun orang lain. Ego State jenis ini yang
biasanya membuat seseorang memukul atau
menyiksa dirinya sendiri, bahkan bisa sampai
mengakibat seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
Dalam konteks terapi Malevolent Ego State
adalah jenis Ego State yang paling sulit untuk bisa
diajak berkomunikasi, negosiasi, bekerja sama,
atau ditundukkan. Ego State ini jugalah yang
selalu menghambat dan menghalangi proses
terapi. Teknik terapi konvensional yang hanya
mengandalkan pemberian sugesti pada klien tidak
akan bisa berhasil selama Ego State ini belum
berhasil ditundukkan.
Ego State Menurut Gender dan Usia
Ego State umumnya tercipta saat seseorang masih
kecil atau di usia muda. Namun dalam diri klien
juga bisa ditemukan Ego State janin, bayi, anak
kecil, remaja, dewasa, atau orang tua. Ego State
juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita.
Ego State ini bisa ada dalam diri baik klien pria
maupun wanita. Dengan kata lain, dalam diri
seorang wanita bisa ada Ego State berjenis
kelamin baik pria maupun wanita, mulai yang
usia muda hingga yang tua. Demikian juga dalam
diri seorang pria.
Masing-masing Ego State biasanya mempunyai
nama atau panggilan yang digunakan untuk
berkomunikasi baik dengan sesama Ego State,
dalam bentuk komunikasi internal,maupun
dengan pihak luar melalui komunikasi eksternal.
Ego State dan Fisiologi
Setiap Ego State berperan sebagai “manusia”
kecil di dalam diri seseorang. Ego State
mempunyai karakter, logika berpikir, sikap, sifat,
perilaku, memori, emosi, kebutuhan, dan tujuan
sendiri.
Pada aspek fisik, saat satu Ego State tampil dan
aktif maka individu akan mengalami perubahan
fisik yang nyata. Bila Ego State mempunyai sifat
percaya diri maka saat ia tampil dan aktif
individu juga akan tampil percaya diri, berdiri
tegak, berbicara dengan suara yang tegas, dan
pandangan mata penuh keyakinan. Bila Ego State
mengidap suatu penyakit tertentu maka saat ia
tampil dan aktif penyakitnya akan muncul di fisik
si individu.
Michael Gainer (1993) melaporkan bahwa
seorang wanita yang mengidap penyakit reflex
sympathetic dystrophy tidak menunjukkan gejala
penyakit ini saat tiga Ego State lainnya tampil dan
aktif. Dari temuan ini Grainer selanjutnya
menggunakan Ego State Therapy dan berhasil
menemukan Ego State, yang mengalami trauma,
yang menyebabkan sakit pada wanita ini. Setelah
trauma berhasil diselesaikan wanita ini sembuh
total dari penyakit yang dideritanya.
Emmerson dan Farmer (1996) melakukan Ego
State Therapy terhadap para wanita yang
menderita menstrual migraine kronis dan berhasil
mengurangi rata-rata jumlah hari migraine per
bulan dari 12,2 menjai 2,5. Subjek penelitian juga
menunjukkan berkurangnya depresi dan
kemarahan secara signifikan.
Lokasi Ego State
Ego State bisa menempati lokasi di luar tubuh
atau di dalam tubuh. Di luar tubuh bisa di depan,
di atas, di bawah, atau di belakang. Sedangkan
kalau di dalam tubuh bisa di satu lokasi tertentu,
misalnya di dada, kepala, hati, tangan, punggung,
perut, atau kaki, dan bisa juga menempati seluruh
tubuh secara merata.
Apa Beda Ego State dan Introject?
Ego State dan Introject walaupun sama-sama
disebut sebagai Part atau Bagian Diri namun
berbeda menurut sumber terciptanya. Ego State
berasal dari dalam diri individu sedangkan
Introject berasal dari luar.
Introject adalah persepsi tentang seseorang yang
terinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar.
Dengan demikian bisa terdapat sangat banyak
Introject dalam diri seseorang.
Dalam proses terapi, khususnya saat
menggunakan teknik Ego State Therapy, untuk
bisa memproses trauma, maka Ego State yang
mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi
yang tersimpan dalam Ego State ini bisa diproses.
Dalam upaya ini seringkali melibatkan Introject
yang ada dalam diri klien. Dialog dengan
Introject ini yang seringkali salah dimengerti oleh
orang awam. Apalagi bila Introject ini adalah
Part yang merupakan internalisasi persepsi
terhadap orang yang telah meninggal. Mereka
yang tidak mengerti mengira yang diajak bicara
adalah roh orang yang telah meninggal.
Lebih jelasnya begini. Saat anak masih kecil
muncul Introject, atau biasa sering disebut
sebagai figur, Ayah dalam diri anak. Selama anak
masih hidup, mulai kecil hingga usia tua, Introject
ini akan terus “hidup” di dalam diri anak.
Misalnya setelah anak beranjak dewasa, si ayah
meninggal dunia. Yang meninggal adalah si ayah
yang sesungguhnya, namun Introject Ayah dalam
diri anak tetap hidup atau ada. Sehingga pada
saat proses Ego State Therapy dilakukan
terhadap Introject Ayah, dalam diri anak, akan
terjadi dialog seakan-akan terapis berbicara
dengan si Ayah. Tujuan dialog ini untuk
memproses emosi negatif yang masih tersisa
dalam diri anak terhadap ayahnya atau
sebaliknya.
Saya pernah membantu klien wanita, 37 tahun,
yang melakukan aborsi hingga lima kali. Aborsi
pertama dilakukan saat klien berusia 25 tahun.
Saat membantu klien mengatasi berbagai emosi
negatif yang berhubungan dengan aborsi yang ia
lakukan, salah satu teknik yang saya gunakan
adalah memproses emosi yang berhubungan
Introject Janin yang ia gugurkan. Saat itu muncul
lima Introject Janin yang digugurkan. Dan yang
luar biasa lagi Introject dari janin yang pertama
digugurkan, yang dipanggil dengan nama
Michael, telah tumbuh dan besar, di dalam
pikiran klien tentunya, hingga usia 11 tahun. Bila
anda perhatikan usia klien saat melakukan aborsi,
masa kehamilan sekitar 9 – 10 bulan, dan saat ia
bertemu saya untuk terapi maka usia Introject
Michael adalah benar 11 tahun.
Kasus menarik lainnya yang pernah ditangani
murid saya adalah kasus wanita yang
“kerasukan”. Wanita ini, katanya, “dirasuki” oleh
“makhluk” halus dan tubuhnya menjadi kaku
dan lumpuh.
Oleh murid saya, “makhluk” ini diajak bicara
dan ditanya apa maunya. “Makhluk” ini minta
diberi nama. Ternyata “makhluk” ini sebenarnya
adalah Introject dari janin wanita ini yang
keguguran. Setelah “makhluk” ini diberi nama,
wanita ini langsung sembuh, bisa bangkit berdiri
dan jalan normal.
Fenomena ini sama sekali tidak ada hubungannya
dengan hal-hal yang bersifat metafisis. Yang
terjadi adalah Introject janin (baca: anak) wanita
ini muncul dan minta nama. Tubuh wanita yang
menjadi kaku dan lumpuh sebenarnya adalah
indikasi bahwa ia berada dalam kondisi trance
sangat dalam yang disebut dengan level Catatonic,
dua level di bawah Profound Somnambulism.
Contoh lain lagi, biar lebih jelas mengenai
Introject, saya pernah bertukar peran dengan
seorang peserta seminar saya. Peserta ini, sebut
saja Agung, saya sugestikan menjadi diri saya.
Dan langsung Agung mengaku bernama Adi W.
Gunawan. “Adi” ini lalu saya minta untuk
melanjutkan presentasi saya (Adi yang asli) dan ia
melakukannya dengan sangat baik. Yang terjadi
adalah Introject Adi di dalam diri Agung tampil
dan aktif dan berperan sebagai Adi melalui diri
Agung.
Saat saya bertanya pada “Adi”, “Pak Adi, Bapak
sudah menulis berapa buku?”
Pak “Adi” menjawab, “Saya sudah menulis
delapan buku.”
Dari sini saya tahu kalau data jumlah buku yang
telah ditulis pada Introject Adi belum diupdate.
Saat itu saya, Adi yang asli, telah menulis 12
buku. Dan pola pikir “Adi” tentunya berbeda
dengan saya, Adi yang asli. Pola pikir “Adi” atau
Introject Adi adalah pola pikir berdasarkan
persepsi Agung terhadap diri saya.
Obat Antidepresan dan Ego State
Klien yang mengalami depresi biasanya diberi
obat antidepresan agar bisa tenang. Pemberian
obat antidepresan sampai pada taraf tertentu
sangat membantu klien untuk bisa stabil dan
berinteraksi dengan lingkungannya walaupun
masalah yang dialami klien belum diatasi.
Yang sesungguhnya terjadi adalah obat ini
memblok atau menekan Ego State yang
mengalami depresi sehingga tidak bisa muncul,
dari surface menjadi underlying, dan klien
merasa tidak ada masalah atau baik-baik saja,
selama obatnya terus diminum. Jika klien
berhenti minum obat maka kondisinya akan
kembali menjadi tidak stabil karena Ego State
yang tadinya tertekan kini muncul kembali dan
aktif.
Saya pernah menangani klien yang sempat
depresi karena pasangannya selingkuh. Klien
selama 8 tahun minum obat dan merasa dirinya
baik-baik saja. Dalam kondisi sadar normal klien
mengatakan bahwa ia telah sembuh. Buktinya, ia
sudah tidak lagi marah pada pasangannya.
Bahkan saat bertemu dengan selingkuhan
pasangannya ia juga biasa-biasa saja. Saya yakin
kondisi klien yang tenang dan “sembuh” ini
adalah karena pengaruh obat yang masih ia
minum.
Selanjutnya saya melakukan pemeriksaan
langsung ke pikiran bawah sadarnya, ternyata
klien masih menyimpan perasaan terluka, marah,
benci, dan dendam kepada pasangannya. Selama
Ego State yang menyimpan emosi ini tidak
diproses maka klien akan selalu bergantung obat
untuk bisa tenang.
Kondisi ideal, bila memungkinkan, sebaiknya
sebelum diberi obat klien dibantu dengan Ego
State Therapy. Dalam kondisi ini klien dan terapis
dapat mengakses Ego State yang mengalami
depresi dan memproses emosinya dengan cepat
dan tuntas sehingga klien tidak perlu harus
minum obat.
Cara Mengakses Ego State
Dalam kondisi normal kita hanya bisa mengakses
Surface Ego State. Namun bila kita ingin
mengakses Underlying Ego State yang
menyimpan trauma tertentu maka dibutuhkan
teknik yang spesifik dengan prasyarat khusus.
Ada dua cara untuk mengakses Underlying Ego
State. Pertama, dengan menggunakan rileksasi
pikiran dan kedua, tanpa rileksasi pikiran.
Umumnya buku atau literatur tentang Ego State
Therapy mensyaratkan rileksasi pikiran sebagai
sarana untuk mengakses Underlying Ego State.
Dengan kondisi pikiran yang rileks dan
penggunaan teknik yang tepat akan dicapai hasil
terapi yang sangat luar biasa dalam waktu yang
relatif singkat.
Level kedalaman rileksasi pikiran yang umumnya
digunakan untuk bisa mengakses Underlying Ego
State adalah profound somnambulism. Bila
kurang dalam atau lebih dalam dari profound
somnambulism, Ego State Therapy biasanya akan
kurang efektif.
Dari eksperimen dan pengalaman praktik saya
menemukan bahwa kita bisa mengakses
Underlying Ego State tanpa harus merilekskan
pikiran sama sekali. Hasil terapi yang dicapai
juga sama efektifnya.
Masing-masing cara mengakses Underlying Ego
State mempunyai kelebihan masing-masing dan
digunakan dalam situasi yang berbeda.
Manfaat Ego State Therapy
Ego State Therapy bila dipelajari dengan
mendalam, cermat, dan dikuasai dengan baik
akan memberikan manfaat terapeutik yang
sungguh sangat luar biasa. Dalam praktik
profesional sebagai hipnoterapis, dengan
menggunakan Ego State Therapy, saya berhasil
membantu klien mengatasi masalah, antara lain:
•phobia
•trauma/luka batin
•tidak percaya diri
•kesulitan diet
•takut sukses
•takut gagal
•insomnia
•migraine
•masalah seks
•kecemasan
•stress
•depresi
•takut berbicara di depan umum
•konflik diri (inner conflict)
•pencapaian prestasi hidup rendah
•perilaku obsessive/compulsive
•perilaku adiktif
•berbagai penyakit psikosomatis
•sabotase diri
•dan masih banyak lagi.
The Science of Gratitude
Albert Schweitzer pernah berkata, “Gratitude is
the secret to life. The greatest thing is to give
thanks for everything. He who has learned this
has penetrated the whole mystery of life – giving
thanks for everything” atau “Perasaan syukur
adalah kunci rahasia kehidupan. Hal paling agung
adalah berterima kasih untuk segala hal. Barang
siapa yang telah mempelajari hal ini berarti telah
menembus dan menguak semua misteri
kehidupan – berterima kasih untuk segala hal.”
Gratitude atau syukur adalah salah satu dari lima
komponen prinsip sukses Quantum Life
Transformation yang saya tulis di buku dan juga
diajarkan di pelatihan yaitu: (1) Impian, (2)
Yakin, (3) Syukur, (4) Pasrah, dan (5) Doa.
Akhir minggu lalu saat menyampaikan
pentingnya syukur sebagai salah satu komponen
meraih keberhasilan hidup yang hakiki, saya
mendapat banyak pertanyaan dari para peserta
yang ingin lebih memahami makna dan manfaat
(perasaan) syukur dalam kehidupan baik di aspek
mental, emosi, maupun spiritual.
Penjelasan dalam artikel ini sebagian merupakan
jawaban atas pertanyaan peserta pelatihan
Quantum Life Transformation dan juga update
pengetahuan berdasar riset literatur yang saya
lakukan.
Apa sih sebenarnya syukur ?
Syukur memiliki dua makna: makna harafiah dan
makna transenden. Secara harafiah, syukur
adalah perasaan yang muncul dalam hubungan
interpersonal saat seseorang menerima sesuatu
yang (dipandang) berharga dari orang lain.
Dalam hal ini syukur membantu jalinan
keakraban dan memperkuat relasi antarindividu.
Perasaan syukur berasal dari dua tahap
pemrosesan informasi: (1) penerimaan atas
kebaikan, kemudahan, rejeki, keberlimpahan,
atau hal-hal yang baik dalam hidup seseorang,
dan (2) pengakuan bahwa sumber kebaikan ini
sebagian terletak di luar diri kita.
Makna syukur yang kedua bersifat abadi,
spiritual, dan transenden. Ilmu filsafat dan teologi
memandang syukur sebagai suatu bentuk
hubungan yang intim antara manusia dan Sang
Pencipta.
Penjelasan makna syukur menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) sejalan dengan dua
makna di atas:
•syukur = rasa terima kasih kepada Tuhan
•bersyukur = berterima kasih
•mensyukuri = berterima kasih kepada Tuhan
karena sesuatu hal
Dari definisi di atas tampak jelas bahwa syukur
merupakan suatu bentuk komunikasi atau
ungkapan hati kita, ungkapan rasa terima kasih
yang tulus kepada Sang Pencipta, atas nikmat,
berkah, rejeki, atau impian yang akan kita
dapatkan.
Kitab suci juga mengingatkan kita betapa
pentingnya perasaan syukur:
Dan (ingatlah) di waktu Tuhan kalian
memperingatkan. Jika kalian bersyukur, niscaya
Aku akan menambah nikmat-Ku kepada kalian;
dan jika kalian mengingkarinya, maka azab-Ku
amat berat sekali. ~QS Ibrahim 7
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang
apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal
keinginanmu kepada Allah dalam doa dan
permohonan dengan ucapan syukur. ~Filipi 4:6
Kualitas spiritual dari syukur yang berlaku dalam
berbagai tradisi agama dengan sangat apik
dijelaskan oleh Streng (1989) dalam kalimat, “
………dalam sikap ini orang menyadari bahwa
mereka saling terhubung satu dengan yang lain
melalui cara yang ajaib dan penuh misteri yang
tidak sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan fisik,
tetapi merupakan bagian dari konteks yang lebih
luas atau transenden.”
Syukur selain berhubungan dengan spiritualitas
ternyata juga telah diteliti secara ilmiah oleh
Emmons dan McCullough (2003). Peneliti ini
meminta subjek penelitian untuk membuat jurnal
syukur, rutin mencatat hal-hal yang mereka
syukuri, dan setelah beberapa saat didapatkan
hasil sebagai berikut:
1.subjek merasa lebih tenang, nyaman, optimis,
dan lebih sedikit gejala sakit fisik.
2.subjek merasa lebih semangat, waspada,
antusias, yakin, fokus, dan lebih berenergi.
3.subjek lebih mampu memberikan dukungan
emosi dan memecahkan masalah orang lain yang
membutuhkan bantuan mereka.
4.subjek tidur lebih lama dengan kualitas tidur
yang lebih baik.
Dalam pelatihan Quantum Life Transformation
saya menyarankan peserta untuk rutin mengisi
Rekening Syukur. Hal ini sangat penting
dilakukan karena tiga alasan berikut.
Pertama, saat kita merasakan perasaan syukur,
berterima kasih, dan menghargai maka kita juga
secara otomatis akan merasa lebih berharga,
mencintai, bahagia, dan antusias.
Kedua, menurut riset David R. Hawkins yang
berjudul Qualitative and Quantitative Analysis
And Calibration Of The Level Of Human
Consciousness, saat kita merasakan berbagai
emosi positif di atas maka level energi psikis kita
naik sangat tinggi.
Ketiga, hal positif yang kita tulis dan emosi positif
yang kita rasakan sebelum tidur akan diproses di
fase mimpi yang disebut precognitive dream dan
akan terintegrasi ke pikiran bawah sadar kita.
Hal ini tentunya sangat baik bagi untuk
perkembangan dan kemajuan hidup kita.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa orang yang
secara rutin merasakan dan mempraktikkan
perasaan syukur tampak lebih bahagia, nyaman
untuk diajak berkomunikasi, dan memberikan
pengaruh positif pada lingkungannya. Orang
yang penuh syukur dipandang sebagai orang yang
lebih suka membantu sesama, lebih ceria dan
bersahabat, lebih optimis, dan lebih bisa
dipercaya (McCullough, 2002).
Peran perasaan syukur sebagai salah satu
komponen dalam mencapai sukses sungguh
sangat penting namun sayangnya jarang
mendapat perhatian.
Sarah Breathnach dalam bukunya Simple
Abundance Journal of Gratitude mengatakan
bahwa apapun yang anda cari – ketenangan
pikiran, kemakmuran / kekayaan, kesehatan,
cinta – semuanya bisa anda dapatkan hanya jika
anda bersedia menerimanya dengan hati yang
terbuka dan dipenuhi rasa syukur.
Sedangkan Richelieu (1996) menyatakan bahwa
syukur adalah salah satu instrumen kesadaran
yang paling dahsyat, bersifat menyembuhkan,
dinamis, dan penting untuk
menunjukkanpengalaman hidup yang diinginkan.

Untuk bisa merasakan pengaruh positifnya untuk


kehidupan maka anda perlu melatih diri untuk
secara konsisten melakukan perenungan, menulis,
dan merasakan syukur. Bila hanya dilakukan
atau dialami sesekali efeknya tidak signifikan.
Nah, pembaca, setelah mendapat penjelasan
sejauh ini, kapan anda akan mulai bersyukur
untuk apapun yang anda alami dalam hidup anda
hingga saat ini?
Jika anda belum bisa bersyukur maka syukuri hal
ini sebagai hal yang sangat pantas untuk
disyukuri. Katakan pada diri sendiri,”Saya
bersyukur karena saat ini saya belum bisa
bersyukur.”
Advanced Hypnotic Abreaction Techniques
Abreaction adalah topik yang sangat menarik
untuk dibahas. Setiap hipnoterapis dalam praktik
membantu klien mengatasi masalahnya pasti
pernah mengalami klien yang meledak emosinya.
Nah, ledakan emosi ini yang disebut dengan
abreaction atau catharsis.
Saya pernah membahas abreaction di artikel
sebelumnya dengan judul “How to Handle
Abreaction and Catharsis”. Jika anda belum
membacanya saya sarankan untuk mengunjungi
http://www.quantum-hypnosis.com/index.php?
pid=dtl_artikel&id=60.
Materi yang saya tulis di artikel ini adalah materi
update, hasil penelitian, pengujian, dan
pengembangan yang dilakukan oleh Tim
Advanced Research & Development Quantum
Hypnosis Indonesia, dan saya ajarkan di kelas 100
jam sertifikasi hipnoterapis melalui pelatihan
Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy.
Penggunaan abreaction dalam terapi bukanlah
hal baru. Freud juga menggunakan teknik ini dan
menemukan bahwa simtom histeria pada klien
hilang seketika dan tidak bisa muncul lagi jika
klien berhasil secara menyeluruh membangkitkan
kembali memori-memori beserta emosi yang
menjadi penyebab histeria.
Freud dan kawannya Breuer menyimpulkan
bahwa simtom muncul sebagai akibat dari represi
memori yang berhubungan pengalaman yang
sangat traumatik. Hal ini mengakibatkan
terjadinya blocking energi. Freud menggunakan
hipnosis dan sugesti untuk melakukan release
terhadap blok energi dan berhasil
menyembuhkan kliennya. Temuan ini mereka
tulis dalam buku Studien Uber Hysterie di tahun
1895.
Namun dalam perjalanan karirnya Freud
menemukan bahwa simtom yang telah berhasil
dihilangkan ternyata muncul lagi. Inilah sebabnya
mengapa Freud merasa bahwa kemajuan terapi
yang dialami klien, bila menggunakan teknik
abreaction, hanya bersifat temporer.
Penelitian literatur menghasilkan satu temuan
menarik. Freud hanya melakukan single
abreaction pada kliennya. Padahal, untuk kasus
berat akibat pengalaman yang sangat traumatik,
emosi yang tertekan di bawah sadar sangatlah
intens. Single abreaction umumnya tidak mampu
secara tuntas menguras habis semua emosi ini.
Untuk bisa benar-benar mengeluarkan semua
emosi klien, untuk kasus yang berat, perlu
dilakukan multiple abreactions, dan ini yang tidak
dilakukan oleh Freud.
Penelitian manfaat teknik abreaction secara
sangat terkontrol dilakukan oleh William Brown
(1920) yang melakukan terapi pada ribuan
mantan tentara yang mengalami masalah mental
setelah pulang dari medan perang. Brown
menggunakan abreaction untuk mengeluarkan
emosi yang tertekan di bawah sadar dan berhasil
membantu klien-kliennya pulih. Brown
mengatakan bahwa agar efektif maka abreation
harus intens, tuntas, dan diulangi. Baru setelah itu
dilakukan rekonstruksi psikologis agar
kesembuhan bersifat permanen.
Penelitian pemanfaatan abreaction selanjutnya
dilakukan oleh Grinker dan H. Spiegel pada masa
perang dunia kedua. Teknik ini selanjutnya
disempurnakan oleh John G. Watkins dan
berkembang hingga saat ini dengan banyak
pendalaman dan penajaman teknik.
Abreaction sebenarnya adalah hal yang normal
dan terjadi secara spontan dengan tujuan untuk
melepas tekanan (mental atau emosi) atau
stimulasi berlebihan yang mengganggu
keseimbangan sistem diri manusia. Abreaction
adalah bagian dari proses pemeliharaan diri,
upaya penyesuaian individu untuk mencapai atau
mempertahankan keseimbangan (equilibrium)
yang diinginkan.
Untuk lebih memudahkan anda memahami
abreaction, bayangkan sebuah tungku yang
terbuat dari tanah liat. Tungku ini berisi air dan
dalam kondisi normal ada api yang menyala dan
membakar dasar tungku.
Bila api ini terus dibiarkan membakar tungku
maka temperatur air di dalamnya akan naik dan
akhirnya akan mendidih atau menguap. Ini
adalah proses alamiah dan normal. Air yang
bergolak dan mendidih ini adalah sama dengan
abreaction yang terjadi secara alamiah pada diri
manusia.
Namun apa yang terjadi bila tungkunya ditutup
rapat?
Api yang terus membakar tungku akan membuat
isi tungku semakin panas dan tekanan uap
semakin tinggi. Bila ini diteruskan maka suatu
saat nanti tungku akan meledak dan hancur.
Agar tidak hancur maka perlu dibuat lobang atau
retakan kecil di dinding tungku untuk melepas
uap yang terperangkap di dalamnya. Uap yang
keluar akan muncul dalam bentuk simtom baik
berupa perasaan tidak nyaman atau sakit fisik
(psikosomatis).
Lebih jelas mengenai Teori Tungku Mental bisa
anda baca di http://www.quantum-
hypnosis.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=48.
Dalam kondisi tertentu, biasanya saat seseorang
dalam kondisi deep trance, maka pikiran bawah
sadar bisa membuat retakan besar sehingga uap
air keluar dengan sangat deras dan banyak. Bila
ini terjadi maka klien akan mengalami
spontaneous hypnotic abreaction yang hebat.
Kita perlu membedakan antara hypnotic
abreaction, abreaction yang terjadi baik secara
spontan atau karena disengaja melalui provokasi
terencana dan terstruktur saat subjek dalam
kondisi deep trance, dan abreaction yang terjadi
dalam kondisi kesadaran normal. Beda dua
abreaction ini ada pada kondisi kesadaran saat
abreaction terjadi, intensitas, dan tujuannya.
Jadi, bila melihat penyebab terjadinya maka
abreaction dibagi menjadi dua jenis. Pertama,
abreaction yang disengaja. Abreaction jenis ini
memang sengaja dilakukan oleh terapis terhadap
klien dengan menggunakan tenik tertentu dan
telah direncanakan dengan sangat hati-hati dan
terstruktur. Terapis benar-benar tahu apa dan
mengapa ia melakukan hal yang ia lakukan.
Kedua, abreaction yang tidak direncanakan atau
bersifat spontan. Abreaction ini dapat terjadi
sewaktu-waktu saat sesi terapi berlangsung.
Terapis yang andal akan mampu memfasilitasi
dengan baik abreaction yang disengaja maupun
yang spontan karena secara teknis
penanganannya sebenarnya sama saja.
Abreaction bila ditinjau dari siapa yang
mengalaminya terbagi menjadi dua jenis yaitu
abreaction yang dialami oleh (total) individu dan
yang kedua, abreaction yang hanya dialami oleh
Ego State. Dua jenis abreaction ini secara teknis
sama namun berbeda pada proses
penanganannya. Masing-masing mengikuti aturan
main yang berbeda namun dengan tujuan akhir
yang sama.
Bila ditinjau dari metode untuk mengeluarkan
emosi, kami di Quantum Hypnosis Indonesia,
mengenal ada enam teknik abreaction. Dua dari
total enam teknik abreaction yang diajarkan di
kelas QHI adalah fractionated abreaction dan
borrowed abreaction. Teknik borrowed
abreaction adalah hasil riset dan pengembangan
yang dilakukan oleh alumnus QHI Bpk. Sjahsjam
Susilo.
Seringkali terjadi klien tidak bisa, lebih tepatnya
tidak bersedia, mengeluarkan emosinya karena
pertimbangan tertentu dan tidak terjadi
abreaction, walaupun ia berada dalam kondisi
profound somnambulism. Terapis perlu
menggunakan strategi lain untuk membantu klien
mengalami abreaction. Dari pengalaman , dua
teknik yang saya sebutkan di atas sangat efektif
untuk bisa mengatasi resistensi klien dan
membuat klien bersedia melepaskan emosinya.
Ditinjau dari jenis emosi yang dikeluarkan, pada
satu waktu tertentu, maka abreaction terbagi
menjadi 3 (tiga): Mixed Emotion Abreaction,
Anger Based Abreaction, dan Hate Based
Abreaction. Untuk setiap jenis abreaction ini
dibutuhkan teknik yang sangat spesifik agar
dicapai hasil yang optimal dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Abreaction memang sangat ampuh untuk
membantu klien mengeluarkan tekanan emosi
yang selama ini tersimpan atau ditekan di bawah
sadar. Namun abreaction sendiri tidak bersifat
terapeutik. Benar, dengan mengalami abreaction
klien akan merasakan kelegaan yang luar biasa.
Namun kelegaan ini hanya bersifat sementara.
Tanpa penanganan lanjutan, setelah abreaction,
maka klien akan kembali ke kondisi awal. Itu
sebabnya ada pakar yang mengatakan,
“Revivification is not healing.”
Saat yang paling kritis untuk melakukan
abreaction adalah saat terapis memutuskan
apakah ia akan melakukan prosedur hypnotic
abreaction atau tidak. Pilihannya hanya satu, “Ya
atau tidak.” Tidak bisa ragu atau setengah-
setengah. Begitu proses abreaction dimulai maka
klien dan terapis masuk ke wilayah Point of No
Return. Abreaction harus dilakukan hingga
benar-benar tuntas.
Bila abreaction terjadi, apalagi abreaction yang
bersifat spontan akibat emosi yang terpendam
dan selama ini tidak disadari oleh klien, dan tidak
dituntaskan penanganannya maka ini akan sangat
riskan dan merugikan klien. Klien bisa
mengalami goncangan emosi dan bahkan bisa
mengakibatkan klien menjadi tidak stabil.
Menangani abreaction sebenarnya mudah.
Sehebat apapun abreaction yang dialami klien,
bila terapisnya siap secara mental, tanggap,
percaya diri, dan telah membekali diri dengan
teknik penanganan abreaction yang efektif maka
klien tetap bisa dengan mudah dibawa keluar dari
kondisi ini.
Kesulitan penanganan abreaction sebenarnya
bukan pada diri klien namun lebih pada diri
terapis. Terapis yang tidak siap mental akan
kaget atau bahkan ketakutan saat melihat
kliennya abreaction.
Saat klien berada dalam kondisi deep trance dan
mengalami abreaction maka adalah tugas terapis
untuk membantu klien melakukan navigasi
pikiran dan emosi untuk melewati pengalaman
traumatik itu, mengeluarkan emosinya hingga
tuntas, dan melakukan pembelajaran ulang baik
secara kognitif maupun afektif.
Pada umumnya untuk membawa klien keluar
dari kondisi abreaction digunakan teknik
“Tempat Kedamaian” atau Peaceful Place.
Teknik ini dilakukan dengan cara meminta klien,
sebelum proses hypnoanalysis dilakukan,
membayangkan dirinya berada di tempat yang
tenang, aman, dan nyaman. Klien diminta berada
di tempat ini beberapa saat dan diminta untuk
berjanji bahwa bila terapis meminta ia kembali ke
tempat ini, kapanpun dan apapun situasinya,
maka klien langsung kembali ke tempat ini.
Ini adalah emergency exit yang paling banyak
digunakan oleh hipnoterapis pada umumnya
namun dengan dua kelemahan yang sering tidak
disadari.
Pertama, secara statistik diketahui bahwa orang
yang modalitas utamanya visual hanya sekitar
27%. Berarti sisanya yang auditori dan kinestetik
tidak akan bisa melakukan visualisasi tempat
kedamaian.
Kedua, bila energi psikis klien lemah karena telah
banyak terkuras dalam proses terapi maka besar
kemungkinan klien tidak bisa menjalankan
permintaan terapis untuk segera kembali ke
tempat kedamaiannya, walaupun ia sangat ingin
melakukannya.
Saya pernah mengalami hal ini. Saat seorang
klien yang fobia terhadap benda tajam seperti
pisau atau pedang, mengalami abreaction, dan
saya perintahkan keluar dari situasi yang
membuatnya “meledak” , ternyata ia hanya bisa
keluar sesaat dan setelah itu “tersedot” masuk
kembali ke kejadian traumatiknya. Kembali saya
meminta klien keluar dari pengalaman traumatik
dan ia kembali “tersedot” masuk. Ini terjadi
berulang kali.
Dalam melakukan terapi saya tidak menggunakan
teknik “Tempat Kedamaian”. Ada teknik lain
yang jauh lebih praktis dan powerful yang selama
ini saya gunakan dan selalu berhasil membawa
klien keluar dari abreaction, sehebat apapun
abreaction yang ia alami, hanya dalam waktu 2 - 3
detik.
Namun pada kasus di atas teknik ini tidak efektif.
Hingga akhirnya saya terpaksa menggunakan
teknik lain yang lebih advanced untuk membawa
klien keluar dan akhirnya berhasil.
Saat saya tanyakan kepada klien, “Mengapa tadi
kok tidak bisa berhenti abreactionnya?” Klien
menjawab, “Saya sudah mengikuti bimbingan
Pak Adi. Sempat keluar sesaat tapi setelah itu
tersedot masuk kembali. Beberapa kali seperti
itu.”
Abreaction yang efektif dan mampu memberikan
hasil terapi yang permanen adalah yang
dilakukan pada Initial Sensitizing Event (ISE),
bukan pada Subsequent Sensitizing Event (SSE).
Bila affect yang dikeluarkan berasal dari SSE
maka release tidak bersifat menyeluruh dan cepat
atau lambat klien pasti akan relapse. Ibarat
memadamkan api, tidak langsung ke sumbernya.
ISE adalah kejadian yang menjadi awal atau akar
masalah klien. Sedangkan SSE adalah kejadian
lanjutan, yang dialami klien, yang memberikan
kontribusi emosi dan memperkuat efek ISE
hingga suatu saat muncul sebagai simtom.
Untuk menemukan ISE digunakan hypnoanalysis
yang harus dilakukan secara cermat. Bila tidak,
seringkali, terapis mengira telah berhasil
menemukan ISE padahal masih SSE. Seringkali
untuk bisa menemukan ISE harus melewati
beberapa SSE. Dari pengalaman biasanya
dibutuhkan penelusuran melalui antara satu
hingga lima SSE untuk akhirnya bisa menemukan
ISE.
ISE adalah memori yang berisi data mengenai
kejadian yang dialami klien, plus pemaknaan dan
emosi. Dalam melakukan penelusuran untuk
mencari ISE bisa dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah dengan menggunakan
cognitive bridge. Dalam hal ini terapis berusaha
menemukan ISE melalui rangkaian pertanyaan
yang diajukan pada klien dalam kondisi sadar
normal. Prinsip kerja cognitive bridge adalah
setiap memori saling terhubung. Dengan
mengajukan pertanyaan yang tepat maka
penelusuran data atau memori bisa dilakukan
secara bertahap dan diharapkan, suatu saat nanti,
berhasil mengungkapkan ISE.
Contohnya begini. Misalnya ada 3 data yang
saling berhubungan, A, B, dan C. Kita bisa
mencapai C, dengan titik awal A, melalui B.
Dalam hal ini B adalah cognitive bridge yang
menghubungkan A dan C.
Penggalian data menggunakan cognitive bridge
bisa mengungkap ISE namun membutuhkan
upaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama.
Biasanya kegagalan analytic therapy seperti ini
terjadi karena data yang muncul lebih sering
berasal dari pikiran sadar yang tidak mengakses
perasaan atau emosi.
Dalam hipnoterapi ada cara yang jauh lebih
efektif untuk mengungkapkan ISE yaitu dengan
menggunakan affect bridge. Affect bridge bekerja
berdasar prinsip bahwa semua memori atau
kelompok memori yang ada di pikiran bawah
sadar saling terhubung dengan emosi tertentu.
Dengan prinsip ini maka emosi yang dirasakan
oleh klien saat sekarang, pada suatu kejadian atau
situasi tertentu, dapat dilacak sumbernya di masa
lalu klien, hingga ditemukan memori paling awal
atau ISE. Syarat untuk bisa melakukan affect
bridge yang efektif adalah menggunakan bantuan
kondisi hipnosis, terutama pada level kedalaman
profound somnambulism, dan intensitas emosi
yang tinggi.
Apakah affect bridge adalah satu-satunya teknik
yang efektif untuk bisa menemukan ISE?
Di pelatihan saya mengajarkan beberapa teknik
lain yang sangat efektif untuk menemukan ISE.
Affect bridge hanya salah satunya. Ada satu
teknik yang sangat efektif yang mampu langsung
membawa klien ke ISE, tanpa harus melewati
rangkaian SSE. Teknik lain ini akan saya bahas di
kesempatan lain karena akan cukup teknis dan
panjang.
Nah, pembaca, saya akhiri artikel ini dengan hal
penting yang perlu diperhatikan bila hendak
melakukan proses abreaction:
1.Ego Strength terapis dan klien (cukup) kuat
untuk menjalani proses abreaction.
2.Terapis menguasai dengan baik teknik
penanganan abreaction.
3.Klien dibimbing masuk hingga ke kedalaman
profound somnambulism.
4.Abreaction paling optimal bila dilakukan
dengan klien mengalami kembali pengalaman
traumatik (revivification) yang dulunya tidak
bisa/berhasil ia hadapi sepenuhnya.
5.Melalui kerjasama dan bantuan terapis, klien
mampu menghadapi situasi traumatik, kembali
mengalaminya, melepas emosi yang tertekan, dan
mengalami pembelajaran ulang baik pada aspek
kognitif maupun afektif.
6.Dalam kasus kekerasan yang dilakukan pada
anak, klien bersama terapisnya berhadapan
dengan pelaku kekerasan, mengatasi, dan
membawa anak melewati pengalaman traumatik.
7.Jika dirasa perlu dilakukan proses abreaction
maka abreaction dilakukan hingga emosi yang
selama ini tertekan di bawah sadar keluar
semuanya hingga tuntas.
8.Saat emosi yang tertekan telah berhasil
dikeluarkan semuanya, terapis membantu klien
melakukan pemaknaan ulang atas kejadian itu.
9.Abreaction melibatkan prinsip counter-
conditioning atau systematic desensitization.
Hipnoterapi: Berkat atau Kuasa Kegelapan?
Hari Minggu, 31 Januari 2010, saya berbicara di
Gereja Maria Bunda Karmel, Jakarta, membahas
materi hipnoterapi dalam seminar sehari
“Hipnotrerapi : Berkat atau Kuasa Kegelapan?”
yang dimulai pukul 08.15 sampai 15.00.
Pembahasan materi hipnoterapi kali ini sungguh
menarik karena hipnosis/hipnoterapi dibahas oleh
tiga orang dengan sudut pandang yang berbeda.
Pembicara pertama adalah Ibu Ratih A. Ibrahim,
seorang psikolog, pembicara topik psikolog,
pendidikan, wanita, dan keluarga. Pembicara
kedua, saya sendiri, Adi W. Gunawan, mengulas
materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy.
Pembicara ketiga adalah Romo DR. BS.
Mardiatmadja SJ, rohaniwan, Guru Besar
Sekolah Tinggi Filsafat DRIYARKARA Jakarta,
yang mengulas hipnoterapi menurut pandangan
agama Katolik.
Dalam pembahasannya Bu Ratih menjelaskan
mengenai apa itu hipnosis, sejarah hipnosis,
sugesti, stage hypnosis, beda hipnosis dan gendam,
dan aplikasi hipnosis untuk membantu klien
mengatasi masalah. Bu Ratih juga menjelaskan
bagaimana menggunakan pendulum untuk
membantu klien mengendalikan pikiran mereka.
Pembahasan teknik terapi oleh Bu Ratih lebih
menekankan penggunaan sugesti positif untuk
membantu klien berubah. Level kedalaman
hipnosis yang biasa digunakan, oleh Bu Ratih
untuk membantu kliennya masih di level light
trance. Jika ada kasus yang berat dan
membutuhkan kondisi kedalaman hipnosis yang
dalam atau sangat dalam maka Bu Ratih akan
mengirim klien ke psikiater untuk terapi lanjutan.

Ibu Ratih membawakan materi mulai jam 08.30


sampai 10.00, sudah termasuk tanya jawab yang
cukup intens dengan audiens. Banyak pertanyaan
menarik seputar hipnosis/hipnoterapi yang
sebenarnya menggambarkan kebingungan
masyarakat akibat tayangan di televisi yang
kurang tepat, bila tidak mau dikatakan salah,
tentang hipnosis dan hipnoterapi.
Melalui sesi tanya jawab ini Bu Ratih meluruskan
banyak hal dan memberikan wawasan yang benar
mengenai hipnosis dan hipnoterapi pada audiens.
Sesi kedua, jam 10.00 sampai 12.30, saya
memaparkan materi Scientific EEG & Clinical
Hypnotherapy yang sebenarnya adalah intisari
dari pelatihan 100 jam yang saya selenggarakan.
Sudah tentu materinya sudah saya sederhanakan
agar tidak terlalu teknis sehingga mudah
dimengerti oleh audiens.
Materi yang saya bahas antara lain:
1.Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy
2.Sejarah hipnosis/hipnoterapi
3.Jenis-jenis hipnosis
4.Manfaat hipnoterapi
5.Teori Tungku Mental
6.Teori Pikiran
7.Prosedur hipnoterapi
8.Berbagai teknik hipnoterapi
Agar terdapat kesamaan persepsi dan
pemahaman maka saya menggunakan definisi
hipnosis yang menjadi acuan para hipnoterapis
dunia yaitu definisi yang dikeluarkan oleh US.
Dept. of Education, Human Services Division.
Saya juga memberikan definisi hipnosis yang
baru menurut Scientific EEG Hypnotherapy.
Dari sini saya melanjutkan pembahasan mengenai
manfaat hipnoterapi dalam menangani sangat
banyak masalah yang berhubungan dengan
mental atau emosi. Saya juga memaparkan hasil
survei mengenai efektivitas hipnoterapi
dibandingkan dengan psikoterapi dan behavior
therapy. Survei ini dilakukan oleh Psychotherapy
Literature dan dimuat di American Health
Magazine.
Materi selanjutnya adalah mengenai pandangan
yang salah mengenai hipnosis. Masyarakat
umumnya meyakini bahwa hipnosis adalah
praktik supranatural, menggunakan kekuatan
makhluk lain, bisa untuk menguasai pikiran
orang seperti yang mereka lihat di televisi. Ini
semua tidak benar. Dan saya jelaskan apa
sebenarnya hipnosis yang modern dan ilmiah.
Selanjutnya saya menjelaskan bahwa
hipnosis/hipnoterapi telah mendapat pengakuan
internasional oleh British Medical Association
(1955), American Medical Association (1958), dan
American Psychological Association (1960).
Gereja Katolik, menurut riset literatur yang saya
lakukan, ternyata telah menerima penggunaan
hipnosis. Hal ini tampak pada pernyataan Gereja
Katolik, pada tahun 1847, pernah mengeluarkan
pernyataan yang mengatakan bahwa penggunaan
magnetisme hewani (sebutan untuk hipnosis di
jaman Mesmer) sebenarnya hanyalah suatu
tindakan yang menggunakan media fisik yang
secara hukum dibenarkan, dan oleh sebab itu
secara moral tidak dilarang, dengan catatan
penggunaannya tidak ditujukan untuk sesuatu
yang melanggar hukum atau melanggar
kemoralan.
Aplikasi hipnosis untuk anestesi, dalam hal ini
membantu wanita melahirkan, juga telah
diterima. Paus Pius XII, melalui pernyataan yang
dipublikasi di tahun 1956 dan 1957, juga dengan
sangat hati-hati memberikan persetujuan
terhadap penggunaan hipnosis untuk terapi.
Sikap Gereja Katolik terhadap hipnosis, hingga
saat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Hipnosis adalah pengetahuan ilmiah yang
serius, dan bukan sesuatu yang dilakukan asal-
asalan.
2.Dalam pemanfaatan hipnosis secara ilmiah
harus dengan memperhatikan kehati-hatian dan
tanggung jawab keilmuan dan kemoralan.
3.Pemanfaatan hipnosis untuk anestesi mengikuti
prinsip yang sama yang berlaku untuk anestesi
lainnya.
Saya juga menjelaskan bahwa ada dua buku yang
sangat bagus yang bisa dibaca oleh audiens. Buku
pertama sebenarnya berisi tentang teknik inner
child dan ditulis oleh seorang pastor. Buku kedua,
bicara tentang kekuatan pikiran bawah sadar,
diterbitkan oleh Keuskupan Denpasar.
Seperti biasa, saya pasti menjelaskan mengenai
teori dan mekanisme pikiran dengan detil, beda
pikiran sadar dan bawah sadar, cara masuk ke
pikiran bawah sadar dengan menembus critical
factor, teknik dasar induksi, jenis induksi, dan
level kedalaman trance/hipnosis.
Saya menjelaskan sangat detil level kedalaman
trance beserta demo untuk menunjukkan
fenomena yang bisa muncul dalam kedalaman
tertentu.
Mengacu pada skala Davis Husband, saya
membawa seorang peserta, yang bersedia menjadi
subjek hipnosis, turun sangat cepat, hanya sekitar
2 menit, hingga ke level 29 dari 30 level
kedalaman. Yang terjadi di level 29 adalah
negative visual hallucination.
Dalam demo ini saya jelaskan juga apa
sebenarnya yang dilakukan oleh stage hypnotist,
bagaimana mereka memilih subjek, apa yang
boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan,
bagaimana seorang stage hypnotist seharusnya
bersikap yaitu tetap menghargai harkat dan
martabat subjek, tetap menghargai dan tidak
boleh mempermalukan subjek, sugesti yang
seakan positif namun sebenarnya berbahaya bagi
keselamatan subjek, dan masih banyak hal lain
lagi.
Audiens melihat saya melakukan demo hanya
dengan menggunakan kekuatan kata melalui
teknik komunikasi baik verbal dan nonverbal,
dan sama sekali tidak menggunakan mantra atau
ilmu tertentu. Kalaupun ada ilmu yang gunakan
ya ilmu hipnosis atau hipnoterapi.
Untuk lebih membuka wawasan audiens, bahwa
hipnoterapi bukan sekedar sugesti seperti yang
diyakini kebanyakan orang, saya juga
menjelaskan mengenai berbagai teknik yang
digunakan dalam hipnoterapi, termasuk beberapa
teknik advanced.
Sesi saya akhiri dengan melakukan demo
pengukuran gelombang otak salah satu peserta
dengan menggunakan DBSA. Melalui pengukuran
ini tampak bagaimana perubahan gelombang otak
saat seseorang berpindah dari kondisi sadar
normal ke kondisi relaksasi pikiran yang dalam
atau deep trance.
Setelah sesi saya selesai kita break untuk makan
siang selama kurang lebih satu jam.
Sesi selanjutnya diisi oleh Romo Mardi. Beliau
mengatakan bahwa hipnosis dan hipnoterapi yang
dijelaskan oleh Bu Ratih dan saya, bila digunakan
dengan hati-hati, bertanggung jawab, tetap
menghargai kehendak bebas (free will) klien, dan
digunakan dalam upaya membantu klien
mengatasi masalah mental atau emosi maka hal
ini dibenarkan dan tidak bertentangan dengan
aturan gereja Katolik.
Dalam pandangan Beliau hipnosis atau
hipnoterapi hanyalah salah satu cabang dari
psikologi dan pemanfaatannya bersifat horizontal,
yaitu membantu sesama. Sama seperti ilmu
kedokteran yang digunakan membantu pasien
mengatasi masalah sakit fisik, hipnoterapi
digunakan untuk membantu klien yang
mengalami masalah mental. Sama-sama
bertujuan meneymbuhkan namun yang disentuh
aspeknya berbeda. Yang satu sistem tubuh, yang
satu sistem pikiran atau mental.
Masih menurut Romo Mardi, Tuhan berkarya,
campur tangan, dalam membantu manusia
melalui banyak cara, salah satunya namun tidak
selalu atau harus , bisa dengan bantuan kondisi
hipnosis. Doa, dalam hal tertentu juga
menggunakan kondisi hipnosis yaitu kondisi
pikiran yang tenang, terkonsentrasi, dan hati
yang damai.
Kesimpulang yang didapat setelah mendengar apa
yang disampaikan Romo Mardi yaitu bahwa
pemanfaatan hipnosis/hipnoterapi boleh dan tidak
melanggar aturan gereja asalkan benar-benar
memperhatikan kepentingan klien seutuhnya.
Konsultasi atau terapi hanya terbatas untuk
mengatasi masalah pikiran atau emosi klien. Bila
masalahnya sudah berhubungan dengan
keimanan maka ini tidak boleh dilakukan, apapun
alasannya, karena ini adalah wilayah yang hanya
dimengerti oleh seorang pembimbing spiritual
yang seiman dengan klien.
Hypnosis and Memory
Ide untuk menulis artikel ini muncul saat saya
sedang berdiskusi (post hypnotic interview)
tentang proses dan hasil terapi dengan seorang
klien, usai melakukan hipnoterapi. Klien ini
bertanya, “Pak Adi, tadi waktu dalam proses
terapi, saat Bapak membantu mencari dan
menemukan akar masalah yang saya alami,
ternyata muncul memori dari masa kecil yang
selama ini saya tidak ingat sama sekali. Memori
ini apa memang benar seperti itu kejadiannya
ataukah hanya fantasi saya saja?”
Pembaca, untuk menjawab pertanyaan di atas
saya perlu menceritakan sekilas proses yang
terjadi selama sesi hipnoterapi. Klien datang
kepada hipnoterapis karena mengalami suatu
masalah atau simtom tertentu.
Untuk membantu klien menemukan akar dari
masalah atau simtom yang dialami klien,
hipnoterapis akan menggunakan uncovering
technique, ada major uncovering technique dan
minor uncovering technique, yang dipilih untuk
diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi
klien.
Tebbetts, seorang maestro hipnoterapi,
menyatakan bahwa eliminasi simtom dengan
menggunakan teknik uncovering meliputi empat
hal:
1.Memori yang menjadi dasar munculnya simtom
harus ditemukan/diketahui.
2.Perasaan yang terhubung dengan memori harus
dialami kembali (revivification).
3.Relasi simtom ke memori harus terjalin.
4.Pembelajaran pada level pikiran bawah sadar
atau emosi harus terjadi agar klien dapat
membuat keputusan di masa depan tidak
terpengaruh oleh materi yang direpres atau
belum terselesaikan.
Saat mencari akar masalah, seperti yang
dinyatakan oleh Tebbets, klien akan mengalami
regresi yang akhirnya membawa ia kembali ke
kejadian awal yang menjadi sumber masalahnya.
Dalam dunia hipnoterapi, kejadian awal ini
disebut I.S.E atau Initial Sensitizing Event.
Pertanyaan yang selalu menggelitik hati adalah,
“Apakah I.S.E ini benar-benar kejadian yang
dialami klien ataukah hanya sekedar fantasinya?”

Bagi seorang hipnoterapis jawabannya adalah,


“Tidak penting dan tidak peduli. Yang penting
klien sembuh dari masalahnya.”
Lho, kok begitu?
Saya pribadi tidak pernah memusingkan apakah
data yang tergali saat terapi adalah benar-benar
data otentik/akurat atau hanya fantasi. Yang
penting klien sembuh, titik. Namun tentu saja,
bila berbicara mengenai penggalian data dari
memori, seperti dalam forensic hypnosis, saya
tidak bisa berkata seperti di atas. Untuk forensic
hypnosis saya tentu akan lebih hati-hati dan harus
didukung dengan riset mengenai hal ini. Namun
untuk sesi terapi biasa, tidak jadi masalah apapun
data yang muncul. Yang penting klien sembuh.
Nah, kembali ke pertanyaan awal, “Apakah
data/memori yang tergali saat proses terapi
adalah data yang akurat ataukah hanya fantasi?
Kalau akurat, seberapa akuratkah data ini?”
Jawabannya adalah, “Tidak akurat.”
Ceritanya begini ya. Informasi yang berasal dari
luar diri kita jumlahnya sangat banyak sekitar
2.000.000 bit informasi pada suatu saat. Karena
banyaknya informasi yang harus diproses, agar
kita tidak mengalami overload, maka pikiran
sadar akan melakukan filter berdasar kriteria
berikut:
• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
• Informasi yang berhubungan dengan
keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran
bawah
sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem
sensori (visual, auditori, atau kinestetik) .
Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu
aspek daripada yang lainnya.
Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk
melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh
pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori
atau suatu skenario pemikiran. Setelah proses
saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di
bagian otak yang dinamakan thalamus. Thalamus
bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke
bagian otak yang bertugas memproses informasi
sesuai dengan komponennya, misalnya warna,
kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.
Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah
menerima dan memproses tiap komponen
informasi, mengirimnya kembali ke thalamus,
ternyata informasi ini telah bertambah sekitar
80% lebih banyak daripada saat pertama kali
diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih
banyak informasi daripada saat pertama kali
informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari
persepsi kita terhadap suatu informasi adalah
hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi
itu adanya.
Sekarang anda pasti telah memahami mengapa
saya mengatakan bahwa data yang tergali saat
sesi terapi adalah “tidak akurat”. Data ini
bukannya salah namun sudah terdistorsi oleh
persepsi kita, telah kita beri makna, plus disertai
dengan emosi tertentu. Jadi, bisa dikatakan data
yang ada di memori adalah fakta + pemaknaan +
emosi.
Freud pada mulanya juga berkeyakinan bahwa
data yang tergali dalam sesi terapi adalah data
yang akurat, apa adanya. Namun di kemudian
hari Freud menyadari bahwa memori yang tergali
dalam proses terapi ternyata mengandung emosi
yang kuat, campuran antara perasaan takut,
fakta, dan persepsi.
Panel yang dibentuk oleh AMA (American
Medical Association) yang terdiri dari delapan
pakar, antara lain Martion Orne, Bernard
Diamond, Herbert Spiegel, dan David Spiegel,
sepakat pada satu hal yaitu bahwa dalam age
regression pengalaman subjektif mengalami
kembali pengalaman di masa kecil walaupun
seakan-akan nyata dan benar demikian adanya –
tidak berarti sama persis dengan kejadian
sesungguhnya (Council on Scientific Affairs, 1985,
p. 1919)
Memori bersifat interaktif dan dinamis, tidak
statis. Hasil riset membuktikan bahwa teori yang
menyatakan pikiran merekam secara objektif
kejadian atau pengalaman ,apa adanya seperti
yang terjadi, seperti sebuah kamera video,
tidaklah benar.
Informasi yang masuk ke pikiran bawah sadar
dan disimpan di memori, mengalami distorsi baik
saat pertama kali data diterima dan disimpan,
saat telah berada di memori, saat pemanggilan
data (retrieval), saat data keluar dari memori dan
diungkapkan secara verbal maupun non verbal.
Walaupun data yang tergali adalah data yang
subjektif, data yang telah mengalami distorsi,
namun bila data ini tergali dalam kondisi
profound somnambulism, akurasinya jauh lebih
tinggi daripada bila digali dalam kondisi sadar
normal.
Akurasi yang dimaksud di sini adalah minimnya
distorsi yang terjadi akibat tercampurnya data
yang berasal dari pikiran bawah sadar dengan
“data” yang berasal dari pikiran sadar, saat
proses penggalian di memori.
Kondisi hipnosis, khususnya very deep hypnosis
atau profound somnambulism, adalah kondisi
yang sangat kondusif untuk menggali data di
pikiran bawah sadar. Dalam kondisi ini pikiran
sadar, khususnya critical factor, tidak bekerja
sehingga data, dari pikiran bawah sadar, bisa
dengan sangat mudah naik ke pikiran sadar.
Di pelatihan QHI, Scientific EEG & Clinical
Hypnotherapy, saya menjelaskan mekanisme
komunikasi pikiran sadar dan bawah sadar ,
naiknya data dari pikiran bawah sadar ke pikiran
sadar secara real time.
Saat seseorang berada dalam kondisi profound
somnambulism pikirannya menjadi sangat
terkonsentrasi dan kesadarannya, seperti yang
dikatakan oleh Dave Elman, meningkat hingga
2.000%.
Informasi apapun yang tergali saat sesi terapi
digunakan sepenuhnya untuk membantu klien
mengatasi masalahnya, bukan melakukan
pengecekan dan validasi data seperti yang
dilakukan dalam forensic hypnosis. Jadi,
hipnoterapis dalam hal ini tidak akan
mempermasalahkan akurasi data itu. Yang
penting klien sembuh.
Saat data tergali dari pikiran bawah sadar klien
akan ada dua skenario yang bisa terjadi,
bergantung pada level kedalaman hipnosis yang
berhasil dicapai klien. Pertama, klien hanya akan
mengingat kejadian itu. Kondisi ini disebut
hypermnesia atau pseudo revivification yang akan
dialami klien yang berada dalam kondisi medium
trance. Kedua, pada kedalaman deep trance, klien
mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu
sama seperti dulu ia mengalaminya. Kondisi ini
disebut dengan revivification.
Hal yang yang juga sangat penting diperhatikan
adalah pertanyaan yang diajukan terapis kepada
klien, apakah bersifat leading ataukah guiding.
Pertanyaan yang bersifat leading akan
mengakibatkan terciptanya false memory yang
akan sangat merugikan klien dan malah bisa
membuat kondisi klien menjadi semakin parah.
Sedangkan pertanyaan yang bersifat guiding
bersifat netral dan objektif.
Saya pernah diminta membantu menangani satu
kasus yang, katanya, akibat dari penggunaan
hipnoterapi secara tidak bertanggung jawab.
“Korban”, juga menurut informasi yang saya
dapatkan, telah menjalani beberapa sesi terapi
dengan terapis lain untuk mengatasi masalahnya.
Setelah saya pertimbangkan dengan saksama
akhirnya saya putuskan untuk tidak menangani
kasus ini. Saya tidak yakin bila saya melakukan
forensic hypnosis pada “korban”, untuk menggali
informasi mengenai apa yang telah terjadi, akan
bisa mendapatkan data yang otentik. Tidak
bermaksud meragukan apa yang telah dilakukan
terapis lainnya, yang juga telah membantu
menangani “korban”, saya tidak tahu teknik apa
yang telah digunakan. Selain itu, terapis yang
membantu “korban” ternyata datang dari
beberapa disiplin ilmu yang berbeda.
Berikut saya berikan contoh bahaya false
memory. Misalnya seorang klien wanita mengaku
merasa mengalami pelecehan seksual oleh
pamannya, saat ia masih kecil. Terapis yang tidak
profesional dan tidak mengerti bahaya
pertanyaan leading akan melakukan hal berikut,
setelah klien diregresi ke “kejadian” pelecehan itu
terjadi:
Terapis : Kamu sekarang berada di mana?
Klien : Di kamar.
Terapis : Berapa usia kamu saat ini?
Klien : Lima tahun.
Terapis : Apakah Om ada di dalam kamar?
Klien : Ya.
Terapis : Apa yang Om lakukan padamu?
Pembaca, ini sangat berbahaya. Saat seseorang
berada dalam kondisi deep hypnosis apa yang
dikatakan atau ditanyakan oleh terapis akan
memunculkan gambaran mental yang seakan-
akan merupakan kejadian yang sesungguhnya.
Pada contoh di atas yang terjadi sebenarnya
adalah belum tentu Om itu ada di dalam kamar.
Om menjadi berada di dalam kamar karena
sugesti, dalam bentuk pertanyaan, yang diberikan
oleh si terapis.
Negara Dengan Kualitas Pendidikan Terbaik di
Dunia
Teman-teman semua, berikut ini adalah artikel
yang sangat bagus yang ditulis oleh sahabat saya
Bapak Satria Dharma, salah satu tokoh
pendidikan nasional. Semoga bermanfaat.
Tahukah Anda negara mana yang kualitas
pendidikannya menduduki peringkat pertama di
dunia? Finlandia. Negara dengan ibukota
Helsinki (tempat ditandatanganinya perjanjian
damai antara RI dengan GAM) ini memang
begitu luar biasa. Peringkat 1 dunia ini diperoleh
Finlandia berdasarkan hasil survei internasional
yang komprehensif pada tahun 2003 oleh
Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD).
Tes tersebut dikenal dengan nama PISA
(Programme for International Student Assesment)
mengukur kemampuan siswa di bidang Sains,
Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya,
Finlandia bukan hanya unggul secara akademis
tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan
anak-anak lemah mental.
Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua
siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga
Finlandia menjadi Top No 1 dunia?
Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia
memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-
rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan
beberapa negara lainnya. Finlandia tidaklah
menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam
belajar, memberi beban PR tambahan,
menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir
siswa dengan berbagai tes.
Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada
usia yang agak lambat dibandingkan dengan
negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan
jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu
hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan
Korea, ranking kedua setelah Finlandia, yang
siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.
Apa gerangan kuncinya?
Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di
Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas
terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi
guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai,
meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan
sekolah menengah terbaik biasanya justru
mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah
pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa
diterima. Persaingannya lebih ketat daripada
masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!
Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan
evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang
sangat penting bagi kualitas pendidikan,
Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing
itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa.
Terlalu banyak testing membuat kita cenderung
mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos
dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia.
Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk
mengetahui kualifikasi mereka di perguruan
tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke
perguruan tinggi.
Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri,
bahkan sejak Pra-TK!. Ini membantu siswa
belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka
sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD
Poikkilaakso, Finlandia.
Siswa didorong untuk bekerja secara independen
dengan berusaha mencari sendiri informasi yang
mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai
dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando
hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan
mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak
menyenangkan.
Kelompok siswa yang lambat mendapat
dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat
Finlandia sukses.
Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di
Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa
yang berprestasi baik dan yang buruk dan
merupakan yang terbaik menurut OECD.
Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda
kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk
memperbaiki. Seorang guru yang bertugas
menangani masalah belajar dan prilaku siswa
membuat program individual bagi setiap siswa
dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus
dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas;
kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa
buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan
tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang
penting mereka berusaha.
Para guru sangat menghindari kritik terhadap
pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika
kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka
hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika
mereka malu maka ini akan menghambat mereka
dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan
melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta
membandingkan hasil mereka dengan nilai
sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya.
Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap
dirinya masing-masing. Ranking hanya membuat
guru memfokuskan diri pada segelintir siswa
tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.
Memahami Penyakit Psikosomatis
Baru-baru in saya mendapat klien, seorang pria,
sebut saja Pak Rudi, yang mengeluh sakit kepala
sebelah yang sudah berlangsung sekitar 6 bulan.
Pak Rudi telah berobat ke dokter, telah
melakukan cek darah lengkap, dan bahkan telah
menjalani CT Scan dan MRI. Hasil pemeriksaan
laboratorium menyatakan Pak Rudi sehat, sama
sekali tidak ada masalah.
Tidak puas dengan hasil pemeriksaan lab dalam
negeri, Pak Rudi memutuskan berobat ke negeri
jiran dan kembali menjalani pemeriksaan
menyeluruh. Hasilnya? Sama, Pak Rudi
dinyatakan sepenuhnya sehat. Dokter tidak bisa
menemukan apa yang menyebabkan sakit kepala
Pak Rudi.
Dokter di dalam negeri dan di negeri jiran sama-
sama mengatakan bahwa sakit kepala Pak Rudi
ini disebabkan karena pikiran, bukan karena
masalah fisik. Mereka menyarankan Pak Rudi
untuk tidak banyak pikiran, hidup lebih santai,
berolahraga, dan kalau perlu mengambil cuti dan
berlibur untuk menenangkan pikiran.
Pembaca, apa yang dialami oleh Pak Rudi dikenal
sebagai penyakit psikosomatis. Psiko artinya
pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit
psikosomatis artinya penyakit yang timbul atau
disebabkan oleh kondisi mental atau emosi
seseorang. Penyakit ini juga disebut dengan
penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis
sekarang sering disebut dengan penyakit
psikofisologis. Namanya saja yang sedikit berbeda
namun maknanya sama.
Salah satu hipnoterapis alumnus Quantum
Hypnosis Indonesia juga pernah menangani klien,
seorang wanita, yang alergi gula atau makanan
yang manis. Jika ia makan permen atau minum
minuman yang manis maka seluruh tubuhnya
akan gatal dan bengkak. Yang aneh adalah bila ia
makan nasi atau roti tidak apa-apa. Padahal yang
namanya gula itu kan glukosa. Bukankah
karbohidrat setelah masuk ke tubuh akan diubah
menjadi glukosa? Secara logika, harusnya kalau
ia makan nasi atau roti maka reaksi tubuhnya
akan sama dengan makan permen atau minum
minuman yang manis.
Banyak orang menderit penyakit psikosomatis
namun tidak menyadarinya. Mereka biasanya
akan terus berusaha sembuh dari sakit yang
dideritanya dengan terus berobat namun tidak
bisa sembuh. Kalaupun ada perubahan biasanya
intensitas penyakitnya saja yang menurun tapi
tidak bisa sembuh total. Selang beberapa saat
biasanya akan kambuh lagi dan bisa lebih parah
dari sebelumnya.
Baik Pak Rudi dan klien wanita ini sembuh hanya
dalam satu sesi terapi setelah akar masalah yang
mengakibatkan penyakit psikosomatisnya
berhasil ditemukan dan dibereskan.
Apa saja sakit yang masuk kategori psikosomatis?
Semua sakit fisik yang disebabkan oleh kondisi
mental atau emosi penderitanya; mulai sakit
kepala, sesak napas, badan lemas lunglai tak
bertenaga, jantung berdebar, sulit tidur, sakit
maag, mata berkunang-kunang, bahkan lumpuh,
dan masih banyak lagi.
Bagaimana Terjadinya?
Untuk memahami terjadinya penyakit
psikosomatis kita perlu mencermati hukum
pikiran dan pengaruh emosi terhadap tubuh. Ada
banyak hukum yang mengatur cara kerja pikiran,
salah duanya adalah:
• Setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi
fisik.
• Simtom yang muncul dari emosi cederung akan
mengakibatkan perubahan pada tubuh fisik bila
simtom ini bertahan cukup lama.
Hukum pertama mengatakan setiap pikiran atau
ide mengakibatkan reaksi fisik. Bila seseorang
berpikir, secara konsisten, dan meyakinkan
dirinya bahwa ia sakit jantung, maka cepat atau
lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di
daerah dada, yang ia yakini sebagai gejala sakit
jantung. Bila ide ini terus menerus dipikirkan dan
akhirnya ia menjadi sangat yakin, menjadi belief,
karena gejalanya memang “benar” adalah gejala
sakit jantung maka, sesuai dengan bunyi hukum
yang kedua, ia akan benar-benar sakit jantung.
Biasanya orang tidak akan secara sadar
menginginkan mengalami sakit tertentu. Umunya
yang mereka rasakan adalah suatu perasaan tidak
nyaman, secara emosi. Sayangnya mereka tidak
mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini
sebenarnya adalah salah satu bentuk komunikasi
dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar.
Ada lima cara pikiran bawah sadar
berkomunikasi dengan pikiran sadar. Bisa
melalui perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan
dialog internal. Umumnya pikiran bawah sadar
menyampaikan pesan melalui perasaan atau
emosi tertentu. Bila emosi ini tidak ditanggapi
atau diperhatikan maka ia akan menaikkan level
intensitas pesannya menjadi suatu bentuk
gangguan fisik dan terjadilah yang disebut
dengan penyakit psikosomatis.
David Cheek M.D., dan Leslie LeCron menulis
dalam buku mereka, Clinical Hypotherapy (1968),
terdapat 7 hal yang bisa mengakibatkan penyakit
psikosomatis:
-Internal Conflict : konflik diri yang melibatkan
minimal 2 Part atau Ego State.
-Organ Language : bahasa yang digunakan oleh
seseorang dalam mengungkapkan perasaannya.
Misalnya, “Ia bagaikan duri dalam daging yang
membuat tubuh saya sakit sekali.” Bila
pernyataan ini sering diulang maka pikiran
bawah sadar akan membuat bagian tubuh
tertentu menjadi sakit sesuai dengan semantik
yang digunakan oleh klien.
-Motivation / Secondary Gain: keuntungan yang
bisa didapat seseorang dengan sakit yang
dideritanya, misalnya perhatian dari orangtua,
suami, istri, atau lingkungannya, atau
menghindar dari beban tanggung jawab tertentu.
-Past Experience : pengalaman di masa lalu yang
bersifat traumatik yang mengkibatkan
munculnya emosi negatif yang intens dalam diri
seseorang.
-Identification : penyakit muncul karena klien
mengidentifikasi dengan seseorang atau figur
otoritas yang ia kagumi atau hormati. Klien akan
mengalami sakit seperti yang dialami oleh figur
otoritas itu.
-Self Punishment : pikiran bawah sadar membuat
klien sakit karena klien punya perasaan bersalah
akibat dari melakukan suatu tindakan yang
bertentangan dengan nilai hidup yang klien
pegang.
-Imprint : program pikiran yang masuk ke
pikiran bawah sadar saat seseorang mengalami
emosi yang intens. Salah satu contohnya adalah
orangtua menanam program ke pikiran bawah
sadar anak dengan berkata, “Jangan sampai
kehujanan, nanti bisa flu, pilek, dan demam."
Sedangkan Tebbets, pakar hipnoterapi
terkemuka, mengatakan bahwa kebanyakan
penyakit bersifat psikosomatik dan dipilih (untuk
dimunculkan) pada level pikiran bawah sadar
untuk lari dari suatu situasi yang dipersepsikan
sebagai suatu tekanan mental yang berlebihan
(overload) yang disebabkan oleh emosi destruktif
seperti marah, benci, dendam, takut, dan
perasaan bersalah.
Bagaimana Mengatasinya?
Karena yang menjadi sumber masalah
sebenarnya adalah emosi maka terapis harus
mampu membantu klien memproses emosi
terpendam yang menjadi sumber masalah.
Tebbets mengatakan bahwa ada 4 langkah yang
harus dilakukan untuk mengatasi penyakit
psikosomatis dan menghilangkan simtomnya
melalui teknik uncovering:
1.Memori yang menyebabkan munculnya simtom
harus dimunculkan dan dibawa ke level pikiran
sadar sehingga diketahui.
2.Perasaan atau emosi yang berhubungan dengan
memori ini harus kembali dialami dan dirasakan
oleh klien.
3.Menemukan hubungan antara simtom dan
memori.
4.Harus terjadi pembelajaran pada secara emosi
atau pada level pikiran bawah sadar, sehingga
memungkinkan seseorang membuat keputusan, di
masa depan, yang mana keputusannya tidak lagi
dipengaruhi oleh materi yang ditekan (repressed
content) di pikiran bawah sadar.
Mencari tahu apa yang menjadi sumber masalah
dilakukan dengan hypnoanalysis mendalam. Ada
banyak teknik hipnoterapi yang bisa digunakan
untuk melakukan hypnoanalysis. Setelah itu,
emosi yang berhubungan dengan memori dialami
kembali, dikeluarkan, diproses, dan di-release.
Dan yang paling penting adalah kita mengerti
pesan yang selama ini berusaha disampaikan oleh
pikiran bawah sadar dengan membuat klien
mengalami penyakit psikosomatis. Baru setelah
itu proses kesembuhan bisa terjadi.
Pada saat alasan untuk terciptanya penyakit
psikosomatis telah berhasil dihilangkan maka
pikiran bawah sadar tidak lagi punya alasan
untuk mempertahankan penyakit itu atau
memunculkannya lagi di masa mendatang.
Saya akhiri artikel ini dengan kalimat bijak yang
disampaikan oleh Dr. Raymond Charles Barker,
“When there is a problem, there is not something
to do. There is something to know.

Anda mungkin juga menyukai