“Benar sekali, romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari masih tertegun-
tegun dicekam pesona pengalaman ruhaninya, ”Saya melihat cahaya
kemerahan yang sangat menyilaukan memancar seperti kilatan petir
dari kedalaman qalbu saya dan cahaya itu menyelimuti seluruh
cakrawala. Apakah itu bukan cahaya-Nya?”
“Tapi romo kyai,” kata Mas Wardi Bashari berkilah,”Bukankah Allah itu
adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah ibarat
misykat. Di dalam misykat itu ada Pelita. Pelita itu ada di dalam Kaca.
Kaca itu laksana bintang berkilau yang dinyalakan dengan minyak dari
pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat.
Yang minyaknya hampir-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun
tidak ada Api yang menyentuhnya. Cahaya di atas Cahaya! Allah
menuntun kepada Cahaya-Nya, siapa saja yang Ia kehendaki. Allah
membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh Allah mengetahui
segala sesuatu. (Q.S. An Nur : 35). Bukankah ayat Qur’an ini
menunjukkan bahwa Allah adalah cahaya?”
“Ketahuilah wahai salik, bahwa Allah itu dalam haqqiqat meliputi satu
kesatuan Asma’, Af’al, Shifat, Dzat. Apa yang terungkap dalam Al-Qur’an
surah An-Nuur ayat 35 yang engkau sitir, tiada lain adalah ungkapan
tentang Af’al-Nya menerangi dan meliputi langit dan bumi. Itu artinya,
ayat Al-Qur’an itu mengungkapkan tentang Dia dalam iktibar bahasa
yang bisa difahami manusia. Jadi jangan ditafsir-tafsirkan dengan akal
pikiranmu, tetapi fahami dengan qalbumu. Bukankah Rasulullah Saw
sudah melarang kita untuk memikirkan Dzat-Nya?” kata Guru Sufi
menjelaskan.
“Lalu makna Allah sebagai cahaya dalam ayat itu apa romo kyai?” tanya
Mas Wardi.
“Lalu cahaya aneka warna yang saya saksikan itu apa romo kyai?” tanya
Mas Wardi Bashari ingin tahu.
“Saya mohon petunjuk, romo kyai!” kata Mas Wardi Bashari memohon.
“Benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari, ”Saya saksikan
harimau itu sangat ganas. Meraung-raung kelaparan seperti ingin
memangsa segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Berarti, itu nafsu saya
sendiri. Nafsu Ammarah. Dan perwujudan harimau itu sejatinya
pantulan dari jiwa rendah saya sendiri, yaitu nafsu hewani (an-nafs al-
hayawaniyyah) saya sendiri. Apakah seperti itu maknanya romo kyai?”
“Itu benar demikian,” sahut Guru Sufi, ”Cahaya kehitaman yang engkau
saksikan hanya sekilas bukan?”
“Itu artinya, engkau bukan golongan manusia yang kemaruk harta benda
dan tidak cukup kuat terikat dengan kehidupan duniawi. Artinya,
engkau tidak punya bakat menjadi orang matre yang kikir, pelit, bakhil,
medhit seperti Qarun,” kata Guru Sufi tegas.
“Apakah setelah ini saya boleh khalwat lanjut ke ruang al-jihad?” tanya
Mas Wardi Bashari dengan mata berbinar-binar diliputi kegembiraan
dan harapan.
“Oo belum waktunya,” kata Guru Sufi datar,”Engkau justru harus pulang
ke rumah dulu dan secepatnya menikah. Setelah cukup waktu hidup
berumah tangga, engkau akan dipanggil untuk bisa memasuki ruang al-
jihad.”
“Engkau belum bisa tenang secara paripurna, o Mas Wardi,” sahut Guru
Sufi tegas, “Sebab jiwamu masih belum berdaya menghadapi kuasa
nafsu sufliya yang sangat kuat memancar dari kedalaman jiwamu.
Maksudnya, engkau masih banyak melewatkan waktu hidupmu dengan
berimajinasi tentang hal-hal yang erotis yang merangsang syahwatmu.
Justru itulah, nafsu sufliya yang masih kuat menguasaimu itu akan
menjadi penghalang utama bagimu untuk melangkah ke tahap ruhani
berikutnya. Jadi engkau harus melampiaskan terlebih dulu gelegak
nafsu sufliya hewanimu lewat perkawinan yang sah menurut sarak.”
“Aduh benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari dengan wajah
tersipu malu, “Kilasan-kilasan bayangan erotis itulah yang paling sering
mengganggu khalwat saya.”
“Jadi untuk mengatasi kendala itu engkau harus kawin dulu,” kata Guru
Sufi ketawa.
“Waduh berarti masih jauh ya perjalanan yang akan saya tempuh untuk
sampai kepada-Nya,” kata Mas Wardi Bashari kurang semangat.
“Memang masih jauh dan engkau harus mulai sadar itu,” kata Guru Sufi
tersenyum, “Jangan sekali-kali engkau berangan-angan bahwa berjuang
(jihad) menuju Dia itu sesuatu yang mudah dan instant dengan cukup
berkhalwat 40 hari sudah sampai. Ingat-ingatlah, bahwa Rasulullah Saw
berkhalwat di Gua Hira itu sejak usia 25 tahun dan baru menyaksikan
Namus (Jibril) pada usia 40 tahun. Ada jedah waktu 15 tahun yang
mengantarai khalwat Rasulullah Saw dari awal sampai ketersingkapan
awal.”