Anda di halaman 1dari 6

Minggu, 01 Januari 2017

Cahaya-Cahaya Watak Diri An Nafsiyyah

Setelah tujuh hari khalwat di ruang al-Fath, di bulan Ramadhan Mas


Wardi Bashari keluar dengan wajah berbinar-binar memancarkan
kegembiraan. Meski tampilannya kusut, namun wajahnya memantulkan
suatu keluas-bebasan jiwa yang tidak diberati beban-beban yang
menekan. Dan sewaktu menghadap Guru Sufi yang sedang  berbincang-
bincang dengan para sufi dan salik di teras mushola, Mas Wardi Bashari
mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Guru Sufi yang
telah menunjukkannya ‘jalan’ Kebenaran yang haqqiqi kepadanya
sampai ia menemukanNya. “Saya telah menyaksikan-Nya,  romo kyai.
Saya telah sampai. Matur nuwun.”

Guru Sufi ketawa mendengar pengakuan Mas Wardi Bashari sambil


memandang para sufi yang juga ketawa. Setelah itu, dengan suara
lembut Guru Sufi bertanya,”Engkau telah menyaksikan apa? Engkau
merasa telah sampai di mana?”

“Saya telah menyaksikan cahaya Kebenaran, romo  kyai,” sahut Mas


Wardi Bashari menegaskan,”Saya telah sampai kepada-Nya. Saya sudah
menyaksikan cahaya-cahaya aneka warna memancar dari qalbu saya.
Saya tidak bisa menceritakan bagaimana cahaya-cahaya itu, tetapi
keindahannya tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata dalam
bahasa manusia,” sahut Mas Wardi Bashari menjelaskan pengalaman
ruhaninya.

“Apakah cahaya yang engkau lihat ada yang merah? Kuning?


Kehitaman? Putih? Hijau bening seperti kristal?” tanya Guru Sufi
memancing.

“Benar sekali, romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari masih tertegun-
tegun dicekam pesona pengalaman ruhaninya, ”Saya melihat cahaya
kemerahan yang sangat menyilaukan memancar seperti kilatan petir
dari kedalaman qalbu saya dan cahaya itu menyelimuti seluruh
cakrawala. Apakah itu bukan cahaya-Nya?”

“Ketahuilah wahai sahabat, bahwa Allah kesucian dan keazalian-Nya


diselubungi oleh tujuh puluh cahaya dan kegelapan. Syaikh Ahmad Rifa’i
malah menyebut 70.000 selubung hijab cahaya dan kegelapan. Jadi
jangan sekali-kali engkau menganggap jika sudah menyaksikan cahaya
itu sudah sama dengan sudah melihat-Nya,” kata Guru Sufi
menjelaskan.

“Tapi romo  kyai,” kata Mas Wardi Bashari berkilah,”Bukankah Allah itu 
adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya  adalah ibarat
misykat. Di dalam misykat itu ada Pelita. Pelita  itu ada di dalam Kaca.
Kaca  itu laksana bintang berkilau yang dinyalakan dengan minyak dari 
pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat.
Yang minyaknya hampir-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun
tidak ada Api  yang menyentuhnya. Cahaya di atas Cahaya! Allah 
menuntun kepada Cahaya-Nya, siapa saja yang Ia kehendaki. Allah 
membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh Allah  mengetahui
segala sesuatu. (Q.S. An Nur : 35). Bukankah ayat Qur’an ini
menunjukkan bahwa Allah adalah cahaya?”

“Ketahuilah wahai salik, bahwa Allah itu dalam haqqiqat meliputi satu
kesatuan Asma’, Af’al, Shifat, Dzat. Apa yang terungkap dalam Al-Qur’an
surah An-Nuur ayat 35 yang engkau sitir, tiada lain adalah ungkapan
tentang Af’al-Nya menerangi dan meliputi langit dan bumi. Itu artinya,
ayat Al-Qur’an itu mengungkapkan tentang Dia dalam iktibar bahasa
yang bisa difahami manusia. Jadi jangan ditafsir-tafsirkan dengan akal
pikiranmu, tetapi fahami dengan qalbumu.  Bukankah Rasulullah Saw
sudah melarang kita untuk memikirkan Dzat-Nya?” kata Guru Sufi
menjelaskan.

“Lalu makna Allah sebagai cahaya dalam ayat itu apa romo kyai?” tanya
Mas Wardi.

“Asma’, Af’al dan Shifat-Nya yang menyelubungi haqqiqat  Dzat-Nya


yang tersembunyi dan terahasia,” kata Guru Sufi menjelaskan, “Dan
ungkapan kata cahaya di dalam Surah An-Nuur: 35 itu jangan sekali-kali
engkau anggap sama dengan cahaya yang engkau saksikan. Sebab
Cahaya langit dan bumi yang dimaksud di dalam al-Qur’an itu tidak bisa
disaksikan mata inderawi karena diselubungi beribu-ribu cahaya dan
kegelapan yang menghijab-Nya.”

“Woo begitu ya romo  kyai,” sahut Mas Wardi Bashari mengerutkan


kening,”Kalau begitu cahaya apa itu yang sudah saya saksikan
memancar dari qalbu saya itu?”

“Syaikh Abdul Jalil al-Jawy  menjelaskan bahwa pemahaman cahaya 


(nuur) itu mengikuti  limpahan anugerah yang memancar dari qalbu dan
keadaannya mengikuti  kadar cahaya dalam  batinnya qalbu. Cahaya
sendiri   beragam dan berbeda-beda: ada cahaya watak diri (an-
nafsiyyah), ada cahaya akal (al-lubbu), ada cahaya ruh (ruhiyyah), ada
cahaya qalbu (fawaid), ada cahaya titik hitam dalam qalbu (suwaidaa’ul
qalb), ada pula cahaya batin yang terahasia (sirr), dan ada pula  cahaya
rahasia di dalam rahasia batin (sirr al-asrar). Sirr al-Asrar itulah cahaya 
yang paling agung dan paling sempurna,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Tapi bagaimana dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan


cahaya-cahaya itu?”

Guru Sufi menjawab,”Tiap-tiap cahaya dari semua cahaya itu memang


beragam dengan fungsi dan peran masing-masing sebagai selubung
cahaya-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam kosmos (‘alam) senantiasa
terdapat sesuatu yang bertentangan di mana yang bercahaya (nurani)
selalu berlawanan dengan yang gelap (zhulmani). Dan ketahuilah,
bahwa sesuatu yang gelap senantiasa berhubungan dengan sesuatu yang
bersifat jasmani. Nah keragaman tiap-tiap cahaya itu berhubungan
dengan tiap-tiap kegelapan yang menjadi lawannya. Demikianlah,
masing-masing anasir cahaya itu eksis dalam keragamannya bersama
kegelapan yang menjadi lawannya  sebagai hijab-hijab  yang
menyelubungi rahasia Keberadaan-Nya.”

“Lalu cahaya aneka warna yang saya saksikan itu apa romo kyai?” tanya
Mas Wardi Bashari ingin tahu.

“Itu adalah cahaya watak diri (an-nafsiyyah) yang memancar dari


qalbumu,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Cahaya merah adalah pancaran
dari nafsu  ammarah (an-nafs al-ammarah). Cahaya kuning adalah
pancaran dari nafsu sufliya (an-nafs as-sufliyyah). Cahaya kehitaman
adalah pancaran nafsu lwammah (an-nafs al-lwammah). Cahaya putih
adalah pancaran nafsu muthmainnah (an-nafs al-muthmainnah). Itu
artinya, engkau sudah masuk ke dalam matra alam gaib (‘alam al-ghayb)
dengan melalui ketersingkapan (kasyf) alam kecil (‘alam as-shaghir)
dirimu sendiri. Itu berarti, pandangan batinmu (bashirah) yang tertutup
karat jiwa (al-rayn)  telah mulai sedikit tersingkap.”

“Saya mohon petunjuk, romo kyai!” kata Mas Wardi Bashari memohon.

“Ketahuilah wahai salik, bahwa di balik ketersingkapan (kasyf)


pandangan batinmu (bashirah) itu masih cukup kuat peranan angan-
anganmu (khayal) yang bersumber dari akalmu (‘aql) untuk
memperlambat bahkan menghambat ketersingkapan (kasyf) yang lebih
luas, sehingga engkau terhenti pada sekat (barzakh) yang mengantarai
alam gaib dengan alam nyata,” kata Guru Sufi.

“Apakah gambaran-gambaran yang terbentuk dari cahaya-cahaya yang


saya saksikan  itu adalah pantulan dari angan-angan (khayal) saya
sendiri, romo kyai?” tanya Mas Wardi Bashari.

“Dalam cahaya merah engkau menyaksikan perwujudan harimau, kan?”


tanya Guru Sufi.

“Benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari, ”Saya saksikan
harimau itu sangat ganas. Meraung-raung kelaparan seperti ingin
memangsa segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Berarti, itu nafsu saya
sendiri. Nafsu Ammarah. Dan perwujudan harimau itu sejatinya
pantulan dari jiwa rendah saya sendiri, yaitu nafsu hewani (an-nafs al-
hayawaniyyah) saya sendiri. Apakah seperti itu maknanya  romo kyai?”

“Itu benar demikian,” sahut Guru Sufi, ”Cahaya kehitaman yang engkau
saksikan hanya sekilas bukan?”

“Benar romo kyai, saya hanya sekilas menyaksikan cahaya kehitaman


yang lenyap ditelan kumparan cahaya kuning yang sangat terang dan
meliputi segenap cakrawala kesadaran saya.”

“Itu artinya, engkau bukan golongan manusia yang kemaruk harta benda
dan tidak cukup kuat terikat dengan kehidupan duniawi. Artinya,
engkau tidak punya bakat menjadi orang matre yang kikir, pelit, bakhil,
medhit seperti Qarun,” kata Guru Sufi tegas.

“Apakah setelah ini saya boleh khalwat lanjut ke ruang al-jihad?” tanya
Mas Wardi Bashari dengan mata berbinar-binar diliputi kegembiraan
dan harapan.
“Oo belum waktunya,” kata Guru Sufi datar,”Engkau justru harus pulang
ke rumah dulu dan secepatnya menikah. Setelah cukup waktu hidup
berumah tangga, engkau akan dipanggil untuk bisa memasuki ruang al-
jihad.”

“Apa, pulang dan kawin?” Mas Wardi Bashari terhenyak kaget,”Saya


sangat senang berada di sini, romo kyai. Saya sudah merasa tenang dan
damai di sini. Kenapa saya harus pulang dan kawin?”

“Engkau belum bisa tenang secara paripurna, o Mas Wardi,” sahut Guru
Sufi tegas, “Sebab jiwamu masih belum berdaya menghadapi kuasa
nafsu sufliya yang sangat kuat memancar dari kedalaman jiwamu.
Maksudnya, engkau masih banyak melewatkan waktu hidupmu dengan
berimajinasi tentang hal-hal yang erotis yang merangsang syahwatmu.
Justru itulah, nafsu sufliya yang masih kuat menguasaimu itu akan
menjadi penghalang utama bagimu untuk melangkah ke tahap ruhani
berikutnya. Jadi engkau harus melampiaskan terlebih dulu gelegak
nafsu sufliya hewanimu lewat perkawinan yang sah menurut sarak.”

“Aduh benar sekali romo kyai,” sahut Mas Wardi Bashari dengan wajah
tersipu malu, “Kilasan-kilasan bayangan erotis itulah yang paling sering
mengganggu khalwat saya.”

“Jadi untuk mengatasi kendala itu engkau harus kawin dulu,” kata Guru
Sufi ketawa.

“Waduh berarti masih jauh ya perjalanan yang akan saya tempuh untuk
sampai kepada-Nya,” kata Mas Wardi Bashari kurang semangat.

“Memang masih jauh dan engkau harus mulai sadar itu,” kata Guru Sufi
tersenyum, “Jangan sekali-kali engkau berangan-angan bahwa berjuang
(jihad) menuju Dia itu sesuatu yang mudah dan instant dengan cukup
berkhalwat 40 hari sudah sampai. Ingat-ingatlah, bahwa Rasulullah Saw
berkhalwat di Gua Hira itu sejak usia 25 tahun dan baru menyaksikan
Namus (Jibril) pada usia 40 tahun. Ada jedah waktu 15 tahun yang
mengantarai khalwat Rasulullah Saw dari awal sampai ketersingkapan
awal.”

Mas Wardi Bashari termangu-mangu mendengar penjelasan Guru Sufi.


Ia faham bahwa selama ini telah keliru mengasumsikan laku ruhani
sebagai sesuatu yang gampang dijalani akibat pengaruh buku-buku
tentang sufisme yang sering dibacanya. Bahkan saat ia menyaksikan
kilasan-kilasan cahaya nafsiyyah selama bermujahadah dan
musyahadah  telah ia sangkakan secara keliru sebagai cahaya Kebenaran
Ilahi.
 

Anda mungkin juga menyukai