Anda di halaman 1dari 3

Alkisah di wilayah Sumatera Selatan, hiduplah seorang gadis dari keluarga sederhana yang bernama

Juani gadis remaja yang hadir ditengah-tengah keluarga petani yang hidup di sekitar aliran sungai.
Juani merupakan gadis desa yang elok parasnya, memiliki warna kulit kuning langsat dan rambut
hitam lebat. Keelokkan paras Juani telah terkenal dikalangan masyarakat, wajar jika banyak pria yang
ingin bersamanya. Namun Juani belum mau menentukan pilihan hati kepada pria manapun di
desanya. suatu hari kemarau panjang datang bapak juani yang seorang petani tidak bisa menjual
hasil panennya karena semua hasil tanamnya gagal panen.

akibatnya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga bapak juani terpaksa berhutang pada
seorang kaya raya di kampungnya

Kapan kamu akan menyicil hutangmu?

Hutang lama saja belum dibayar, mau pinjem lagi.Pakai apa membayarnya?.” Ujar Rentenir keliling
yang kerap dipinjami uang oleh bapak Juani akhir-akhir ini.

“nantilah, kemarau belum usai. tidak ada hasil kebun yang bisa saya jual. mau dapat uang dari mana
aku. kalau sudah musim hujan lagi,bisa panen. Bisa berjualan di pasar sepekan. bisa kucicil hutang-
hutangku.” Ujar bapak Juani memberi alasan.

“Bisa diatur soal pembayaran hutang, mau nambah uang juga bisa. hanya saya ada syaratnya?”
sambung renternir itu memberikan alternatif

“apa itu?” tanya bapak Juani

“Nikahkan anak gadismu dengan anak laki-laki kami. Lunas semua hutang-hutamu berikut
bunganya.” Ujar rentenir itu mengutarakan maksudnya

“Kalau itu, aku tidak bisa menjawab.kutanyakan dulu pada anakku dulu.” Jawab bapak Juani yang
sedikit terkaget.

“Terserah kamu. Bayar hutang berikut bunganya sekarang atau nikahkan anakmu dengan anakku.
Sebelum ada jawaban, tidak ada lagi pinjaman.” Tambahnya lagi sambil meninggalkan bapak Juani.

Hingga pada suatu hari,dengan sangat terpaksa Bapak Juani menerima lamaran dari anak rentenir
itu yang Bernama Juandan karena memiliki hutang kepada Keluarganya. Juandan adalah seorang
pemuda dari keluarga kaya raya, namun tidak memiliki paras yang tampan. Juandan pun menderita
penyakit kulit di sekujur tubuhnya yang membuat dirinya dikenal sebagai Bujang Kurap.

Mendengar hal itu, Juani pun bersedih. Ia hendak menolak, namun tidak bisa karena kasihan kepada
Bapaknya. Setiap ditagih hutang dan belum bisa membayar selalu di marah-marah oleh rentenir itu.
Kecintaan ia pada orang tuanya menyebabkan ia pasrah tentang perjodohan itu.

“Jika engkau keberatan, bapak tidak memaksa nak. Kamu anak bapak satu-satunya. Apa yang kamu
mau, pasti bapak ikuti. Hutang bisa kita cicil jika sudah musim penghujan lagi. Sementara ini kita
tahan lapar. Makan apa yang masih bisa kita makan” Jelas bapak Juani degan sangat hati-hati saat
mengutarakan keinginan rentenir itu pada anak gadisnya.

“Tidak pak, apa saja akan Juani jalani untuk bapak. Jika itu yang bisa membebaskan bapak dari
hutang, Juani Iklas.” Ujar Juani meyakinkan bapaknya.
Berhari-hari Ia menangisi nasibnya. namun apa boleh buat, pesta pernikahan pun telah
dipersiapkan. Sebagai anak satu-satunya dari keluarga yang kaya raya, membuat bapak Juanda
menggelar pesta secara besar-besaran. Selain senang akan anaknya yang telah menemukan
jodohnya, calon istri putranya itu adalah gadis paling cantik di seantora dusun.

Orang-orang desa ikut sibuk mempersiapkan upacara perkawinan Juani dan Juandan. Suasana yang
penuh suka cita dan dijadikan ajang silaturahmi oleh warga dusun ini tidak menjadikan Juani gembira
Malam perkawinan pun tiba. Juani dirias dan mengenakan pakaian pengantin yang begitu anggun.
Orang yang melihatnya dengan pakaian pengantin itu terkagum-kagum.

“Begitu beruntungnya si Bujang Kurap Itu. Berjodoh dengan kembang desa yang begitu mempesona.
Apa hendak di kata, kalau bukan takdir yang mempertemukan mereka” begitu bisik-bisik orang yang
melihat Gadis Juani. Tentu saja pandangan mereka penuh dengan rasa iba dan kasihan.

Usai di rias, Juani menunggu di kamar tidurnya. Semua keluarga yang hadir menunggu kedatangan
rombongan Juandan di ruang tamu. Di panggung depan juga ramai bujang gadis yang sedang
bercengkrama dan warga desa yang ingin menghadiri pernikahan.

Di tengah kesibukan orang menyambut arakan yang kian mendekat, kekalutan Juani kian menjadi.
Tak bisa ia berdiam diri atas semua ini. Terbayang olehnya cibiran semua orang ketika ia bersanding
dengan Juandan di pelaminan.

Ia juga tak kuasa melihat tatapan iba dari keluarga dan orang tuanya. Belakangan ini, ketika orang
sibuk mempersiapkan pernikahan anaknya, Gadis Juani menangkap kesedihan yang mendalam dari
muka bapaknya. Bapak mungkin tak punya pilihan, seperti halnya dirinya. “Kasian bapak, akibat
ulahku selama ini, bukan saja aku yang menanggung malu. Bapak juga ikut merasakan murka dari
yang maha agung atas sikapku selama ini” isak Juani makin menjadi.

Ia pun mengambil keputusan dengan berurai air mata untuk keluar lewat pintu belakang. Menuruni
anak tangga yang terbuat dari bulatan kayu. Meskipun dengan berpakaian pengantin yang lengkap
dan membuat langkahnya tak begitu leluasa. Juani tetap berlari menuju sungai yang tak jauh dari
rumahnya dengan telanjang kaki. Tak ada yang sadar akan kepergiannya. Semua sedang bersuka ria
menyambut calon suaminya.

Juani menghentikan langkahnya di bibir sungai yang curam. Ia memandang kedalam sungai yang
ada di bawahnya. Airnya yang begitu jernih terlihat di bawah sinaran bulan purnama. Terbayang
raut muka suaminya yang begitu buruk dengan kulit yang dipenuhi kurap. Apalah artinya hidup
dengan kemewahan yang berlimpah jika ia sendiri tak sudi hidup dengan bujang kurap yang ditakuti
anak-anak dan menjadi bahan ledekan mereka. Membayangkan semua itu, akhirnya dengan berurai
air mata Gadis Juani pun mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai.

Kepergiannya baru disadari ketika pengantin laki-laki tiba dan orang tuanya ke atas menjemput
anaknya. Mendapati kamarnya yang kosong dan pintu belakang terbuka, membuat ibunya berteriak
dan mengundang perhatian semua orang yang berada di sana. Bapak Juani yang diikuti ibu dan para
tamu lainnya segera berlari menuju sungai. Mereka berteriak memanggil Juani

“Juani….Juani…dimana kamu,nak?” teriak bapak Juani sekeras-kerasnya


“Juani, jangan nekad nak, bisa kita bicarakan kalau kamu berubah pikiran. Ibu tidak akan memaksa
kamu nak!” teriak ibu Juani tak kalah histeris.

Tak ada sahutan dari putrinya. Sungai disekitar mereka begitu tenang tanpa adanya tanda tanda
yang mecurigakan. Pencarian pun sia-sia. Menjelang tengah malam satu persatu warga pamit
kepada keluarga Juani. Keluarga mempelai laki-laki juga melakukan hal yang sama. Mereka pulang
dengan perasaan sedih dan penuh kecewa. Orang tua dan beberapa sanak keluarga tetap
melanjutkan pencaria. Menyisiri tepi sungai dengan tak henti-hentinya memanggil nama gadis itu.
Ketika matahari terbit, mereka baru memutuskan untuk kembali ke rumah untuk istirahat.

Dua hari pencarian tidak membuahkan hasil. Tak ada kabar dari hilir sungai tetang temuan mayat.
Meyakinkan kedua orang tuanya bahwa anaknya baik-baik saja. Usaha bapak Juani untuk
menemukan anaknya tetap diteruskan hingga beberapa desa di pinggiran aliran sungai. Tak lupa ia
menanyakan pada warga desa yang disinggahi tentang penemuan orang di sungai.

Dihari ketiga pencarian, ketika bapak Gadis Juani yang ditemani dua keluarga terdekanyat melintas
di pasar kalangan. Warga yang sedang belanja bercerita kepada pedagang yang berasal dari luar
desa, tentang ditemukannya mayat perempuan tak dikenal. Seketika bapak Juani lemas mendengar
berita itu. Setelah mencari kepastian tentang apa yang didengarnya itu, ia meminta izin pada warga
setempat untuk membongkar makam perempuan yang tak mereka kenal itu. Benar saja, setelah
makam itu di gali ia masih mengenali anak gadisnya itu meskipun sekujur tubuhnya membengkak
dan mulai membusuk. Isak tangis bapak Juani tak terbendung, begitu juga kedua orang yang
menemaninya.

Kematiannya yang penuh derita menjadi buah pembicaraan warga hingga ke desa tetangga. Sejak
peristiwa itu, konon selalu terdengar suara tangis seorang gadis saat bulan purnama yang berasal
dari sungai. Warga setempat meyakini itu adalah tangis Juani yang menjadi arwah penunggu sungai.
Wargapun menyebutnya sebagai Antu Ayek. Setiap tahunnya arwah ini selalu mencari korban,
terutama anak laki-laki.

Anda mungkin juga menyukai